Fakta paling mengejutkan mengenai Amerika Serikat bukanlah prinsip pendiriannya — yang lebih sering dielu-elukan daripada dipelajari dan dipraktekkan — namun seberapa sering “negara paling hebat di muka bumi” ini mengobarkan perang.
Jika kita menghitung peperangan melawan musuh dalam negeri (contoh: Indian), perang rahasia melawan asing, dan pemberian bantuan terhadap perang agresif negara lain baik internal amupun eksternal, kita bisa melihat bahwa Amerika Serikat hampir selalu berada dalam masa perang sejak ia membebaskan diri dari Inggris.
Hasil dari salah satu estimasi mengatakan bahwa negara ini telah berperang selama 214 tahun dari 228 tahun sejak Konstitusi mulai efektif — itu adalah 94 persen dari total waktu berdirinya AS. Bahkan pada periode Articles of Confederation pun terjadi perang. Berlawanan dengan miskonsepsi yang populer, status berperang tidak mulai dari tahun 1945.
Dari awal, perang adalah cara yang dapat diterima untuk memenuhi kepentingan politik nasional, entah untuk membuka pasar, atau untuk menempatkan rezim yang bersahabat.
Jika catatan ini dinilai memalukan, itu adalah penilaian yang ringan. Harusnya catatan ini disebut kriminal, jika anda menghitung totalan yang bisa diprediksi dari penjagal ini — termasuk pembunuhan non-kombatan, target yang disengaja dan yang disebut-sebut sebagai ‘collateral damage’ — belum termasuk penghancuran sumber daya yang langka yang akan membuat kehidupan orang-orang menjadi lebih baik.
Apakah orang Amerika tidak tahu? Informasinya ada dan siap, namun butuh keberanian dan kemauan untuk melihatnya. Kebanyakan orang Amerika tidak mau. Mereka tidak mau tahu kebenarannya. Mereka lebih memilih untuk mengelu-elukan “para tentara” atas tindakan heroisme mereka dan mendengar para terpelajar mendeskripsikan Amerika sebagai “Kekuatan untuk kebaikan di dunia”. Hal ini adalah ideologi penyembah negara yang menyerupai agama, di mana para elit pemimpin mengambil keuntungan darinya secara ekonomi dan finansial.
Tentu saja kata — Amerika — itu ambigu. Dalam kata itu, penemu Amerika, wirausahawan, pekerja, pedagang, dan semua jenis artis yang menguntungkan dunia termasuk di dalamnya. Namun di dalam kata Amerika juga termasuk politisi egois dan birokrat militer, yang selalu berpakaian bagus, dan tidak bisa membuat kerusakan apapun tanpa mesin-mesin pembuat kerusakan di bawah kekuasaannya.
Berapa banyak sumbangan sukarela yang bisa mereka pungut untuk membiayai perang dan operasi domestik mereka? Saya tidak tahu lagi jika hal ini bukan merupakan tuntutan dari negara itu sendiri. Hal ini juga merusak istilah “limited government” (pemerintahan terbatas), menjadi “terbatas” hanya untuk militer, polisi dan sipir penjara. Orang-orang Libertarian sejak dulu berpendapat apakah mereka perlu “membenci negara”, bagaimana bisa anda tidak membenci negara ketika anda telah melihat esensi penghancurannya?
Beberapa perang Amerika akhirnya kehilangan dukungan publik — contohnya: Vietnam, meskipun hal itu baru terjadi setelah 2 juta orang Vietnam dan (hanya) 58.000 orang Amerika meninggal — Komentar terburuk yang bisa kita katakan terhadap hal ini hanyalah bahwa mereka adalah kesalahan dengan maksud baik yang dilakukan untuk “tujuan mulia”.
Coba anda komentari hal ini dengan “War Criminals” dan anda akan dikeluarkan dari daftar panggilan jurnalis. Anda pasti tidak akan lagi dipublikasikan di media US terkemuka. Jika anda adalah reporter investigatif terkenal dengan track record panjang dalam mendokumentasikan kejahatan perang Amerika, anda akan diasingkan ke London Review of Books atau Die Welt milik Jerman.
Amerika Berhenti Berperang dan Membantai? Omong Kosong!
Tapi mari bersikap adil tentang perang. Ia memiliki manfaat selain membuat beberapa orang kaya dan memiliki kekuatan. Perang bagus untuk mengalihkan perhatian masyarakat, yang mungkin akan muak dengan tipuan jelas yang kita sebut pemerintahan. Shakespare paham hal ini, terlihat saat ia menunjukkan bagaimana ia membuat Henry IV berkata pada anaknya, “Dengan demikian, Harry, jadikanlah jalanmu dipusingkan dengan perseteruan dengan asing (Giddy Minds with Foreign Quarrels). Aksi itu, jika terwujud, mungkin bisa menghapuskan ingatan tentang masa lalu.” (Henry IV Pt.2) [Ini adalah bagian dari text Shakespare, tidak terlalu pintar menerjemahkan karya seni sastra — transaltor note]. Maka muncullah kebutuhan akan musuh-musuh yang diada-adakan, dengan Rusia selalu bisa dijadikan kepala penjahatnya.
Trump, sang (terduga) Great Disrupter [Gelar, setipe dengan ‘sang pencerah’ — red], mungkin tidak membaca prosa Shakespare, namun ia menunjukkan bahwa ia paham betul nasihat Henry. Serangan Trump di Suriah dan tentara sekutu membuatnya banjir pujian bahkan dari musuh politiknya sendiri. Bahwa musuh-musuh nya kembali membencinya dengan cepat mengajarinya bahwa ia perlu melakukan hal yang sama lebih banyak.
Peringatan terakhirnya kepada Bashar al-Assad adalah petunjuk dari hal ini. Begitu juga dengan statemennya mengenai Qatar, yang hingga saat ini masih dituduh menolong teroris oleh teman barunya di Arab Saudi — Bisa anda bayangkan? Kampanye sinisnya terhadap Iran adalah indikasi lain ke mana arah Trump. Jangan lupakan Ukraina dan North Korea.
Apa yang lebih mungkin untuk mengalihkan orang Amerika dari masalah hidup mereka, mengutak-atik aturan asuransi kesehatan, atau mengambil resiko terjun ke dalam perang baru? Tidak ada martir untuk memperbaiki infrastruktur. [Purple heart = lencana untuk orang yang terluka dalam perang].
Jika kita sedikit mundur, kita mungkin akan bisa melihat gambar lengkapnya. Negara macam apa yang menghabiskan sedemikian banyak waktu dan uang untuk membuat, memfasilitasi, memprovokasi dan menanggung perang? Tentunya bukan negara yang progresif — menurut pengertian umum — ataupun liberal — menurut pengertian Adam Smith. (Liberal yang asli tidak suka apapun yang berkaitan dengan perang). Kita (orang Amerika) bersyukur tidak hidup di negara totalitarian.
Masih ada garis batas yang tidak boleh dilewati oleh politisi. Namun garis itu telah digeser — dan tidak mendukung liberal. Di mana demonstran ketika keluar berita bahwa pemerintah memata-matai seluruh rakyat Amerika dalam rangka “perang terhadap terorisme”? (Yang kita ketahui dari Edward Snowden, sesaat setelah direktur National Intelligence James Clapper bersumpah hal tersebut tidak terjadi).
Tidak hanya tidak ada protes demonstrasi, Clapper sekarang secara rutin muncul di jejaring berita sebagai sumber kredibel mengenai bagaimana Rusia mengobarkan perang cyber dengan Amerika. Kejadian ini mengungkapkan banyak hal. Berbohong di bawah sumpah tidak menjadi masalah jika anda percaya itu untuk keamanan nasional. Kami akan menganggap semua yang anda katakan pada kami selanjutnya seperti tidak pernah terjadi.
Afghanistan menggantikan posisi Vietnam sebagai tempat perang terlama Amerika, namun Amerika telah lama berhenti memperhatikannya. Tim perang paham apa artinya ini: jaga agar korban dari pihak Amerika rendah, sebut pasukan sebagai “penasihat lapangan” dan perang bisa berlanjut tanpa batas — bahkan pemberontakan yang terjadi sesekali dapat diterima.
Berkat special ops dan drones, perang bisa diperlebar atau ditambah intensitasnya di negara lain tanpa medapat hukuman: Iraq, Syria, Pakistan, Somalia, Yemen, Libya, dan entah ada berapa banyak lagi. Jumlah korban dan kesulitan hidup yang dihasilkan terhadap penduduk asli sudah tak terhitung lagi. “Mereka hanya orang asing, Muslim kulit coklat. Lagipula, bukannya kita juga diserang di 9/11 sambil mengurus diri kita sendiri?” Terus saja berkata begitu.
Anggota Kongres antara menerima bulat-bulat kekerasan negara Amerika, atau terlalu pengecut untuk menghentikannya. Sesekali salah satu dari mereka menginginkan otorisasi baru untuk menggunakan kekuatan militer di Suriah karena otorisasi paska 9/11 telah melebar ke mana-mana. Namun hal ini tidak pernah berlanjut.
Saya mendengar Konstitusi mengatakan sesuatu mengenai Kongres memiliki kuasa untuk mendeklarasikan perang, namun hal itu sudah lama menjadi pepesan kosong. Presiden bebas untuk mengobarkan perang dimanapun dan kapanpun. (John Quincy Adams, yang terkenal dengan orasinya bahwa America “tidak pergi keluar negeri dalam rangka mencari monster untuk dihancurkan,” berpikir bahwa mereka yang melakukan kudeta di Philadelphia telah keliru dengan tidak mendukung kekuatan parang di cabang-cabang eksekutif agar Presiden Amerika memiliki kekuatan yang sama seperti raja-raja di Eropa. Ia seharusnya tidak perlu khawatir).
Bagaimanapun juga, untuk orang yang kolot terhadap konstitusi, otorisasi untuk menggunakan kekuatan militer bukanlah deklarasi perang. Lebih tepatnya adalah delegasi kuasa perang kepada Presiden. Maafkan gagasan kuno saya.
Saya tidak melihat bahwa hal ini akan berubah dalam waktu yang dekat ini, yang harusnya menjadi perhatian bagi para liberal karena Kekaisaran AS (kekuasaan luar biasa Amerika), militerisme, dan pengambilan keuntungan dari perang sangat mengancam liberal.
(Seraa-Media/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email