Sepanjang sejarah, Rasulullâh Saw dan para sahabatnya setelah wafatnya
Rasulullâh Saw tetap melaksanakan salât sehari semalam di dalam masjid
dan sujud di atas tanah yang murni tanpa adanya alas apapun baik itu
sajadah, karpet ataupun yang lainnya, hingga suatu saat muncullah bid'ah
setelah wafatnya Rasulullâh Saw.
Berikut ini akan kita temukan bukti-bukti dari beberapa orang yang
telah merubah masjid mulia tersebut, yang mana semenjak saat itu mereka
tidak lagi sujud di atas tanah yang murni.
Sebelumnya kami akan
tunjukkan beberapa bukti tentang keberadaan Masjid Nabawi dalam
keadaannya yang murni pada zaman Rasulullâh Saw.
Bukti – bukti tersebut antara lain:
1.
Al Bukhârî di dalam Sahih-nya mengatakan dalam bab Manâqibu 'Alî bin
Abî Tâlîb dengan sanad Abî Hazm, bahwa seorang laki-laki datang
menjumpai Sahl bin Sa'ad. Ia berkata: " Inilah fulan – pemimpin Madinah –
ia memanggil Imâm 'Alî As di atas mimbar ". Ia menjawab: " Apa yang ia
katakan?" Ia berkata: " Ia mengatakan Abu Turâb" . Kemudian ia tertawa
dan berkata " Demi Allâh Swt, tiada yang memberikan julukan kepada 'Alî
selain Rasulullâh Saw dan tidak ada julukan yang lebih beliau cintai
dari pada julukan itu, yaitu Abû Turâb". Kemudian aku berkata: " Wahai
Abû Abbâs bagaimana kisah ini? " . Abû Abbâs berkata : " Suatu hari
seseorang datang menjumpaiku yaitu 'Alî bin Abî Tâlîb As dan Fâtimah Az
Zahrâ kemudian keluarlah 'Alî As dan dia berbaring di atas masjid.
Kemudian Rasulullâh Saw bertanya kepada Fâtimah Az-Zahrâ, mana anak
pamanmu? Az-Zahrâ menjawab : " Ia di dalam masjid. Kemudian Rasulullâh
bertanya kepada 'Alî As, beliau mendapatinya bahwa selendangnya telah
jatuh dari pundaknya dan bagian pundaknya terkena debu. Kemudian
Rasulullâh Saw mengusap debu itu dari pundak 'Alî As dan berkata:
"Duduklah Wahai Abu Turab."[11]
2. Riwayat yang
dikeluarkan oleh Muslim dalam kitabnya dengan sanad yang berasal dari
'Umar bin Khattâb. Dia berkata : " Ketika Nabi Muhammad Saw meninggalkan
istri-istri beliau, beliau masuk ke dalam masjid. Ketika itu,
orang-orang yang ada di dalam masjid sedang melempar kerikil-kerikil
(bermain-main dengan kerikil itu)".[12]
3. Ibnu an-Najjâr
telah menyebutkan dalam kitabnya Addurr al-Tsamînah (mutiara yang
berharga), sebuah hadits yaitu bahwa Masjid Nabawi asy-Syarîf dimasa
Rasulullâh Saw, Abu Bakar dan 'Umar disirami air dan orang-orang ketika
itu membuang riak dan air ludah mereka ke dalam masjid itu. Sehingga
setelah disirami, kembali menjadi bersih. [13]
Sujud di atas batu-batu kerikil bermula pada masa Khalîfah 'Umar bin Khattâb.
Sampai
di sini telah kita buktikan bahwa Rasulullâh Saw bersama orang-orang
yang beriman ketika itu melaksanakan salât di masjid beliau di atas
tanah yang murni tanpa adanya tikar atau karpet.
Berikut ini
kita ingin mengungkap sejak kapan kaum muslimin mulai melaksanakan
salât di dalam masjid Nabi tersebut dan sujud di atas sesuatu yang tidak
pernah dilaksanakan oleh Rasulullâh Saw dan para sahabatnya, yakni
mereka sujud di atas batu kerikil.
Beberapa bukti berikut ini yang menegaskan pernyataan di atas :
1.
Al-Bukhârî mengeluarkan riwayat di dalam kitab Sahih-nya dengan sanad
Ibnu 'Umar yaitu 'Abdullâh bin 'Umar. Dia berkata bahwa sesungguhnya
masjid pada masa Rasulullâh Saw telah dibangun dengan labin – semacam
bata – sedangkan atapnya dari pelepah kurma dan tiangnya dari pohon
kurma dan Abû Bakar ketika itu tidak menambahkan apapun pada masjid itu.
Dan pada masa 'Umar ditambahkan sedikit dan dibangun sebagai tambahan
bangunan pada zaman Rasulullâh Saw. Pada zaman Khalîfah 'Umar, dia
menambahkan bangunan itu sedikit dan tetap menggunakan tiangnya dari
kayu. Kemudian 'Utsmân merubahnya lagi dan menambahkan yang lebih banyak
serta membuat temboknya dari batu-batu yang diukir dan berikut
tiang-tiangnya. Sedangkan atapnya dibuat dari saj(nama jenis kayu)
.[14]
2. As-Samhûdî di dalam kitab Wafâul Wafâ menyebutkan
sebuah hadits bahwa 'Umar bin Khattâb ketika membangun kembali masjid
Rasulullâh Saw, ia bertanya : " kami tidak tahu dengan apakah kami harus
hampari masjid ini? Seseorang berkata padanya : " Hamparilah dengan
batu-batu kerikil ". Umar berkata : " Ini adalah wadî atau lembah yang
penuh berkah dan aku mendengar bahwa Rasulullâh Saw bersabda: "
Batu-batu kerikil adalah batu yang penuh berkah.[15]
3.
As-Samhûdî – menukil dari Ibnû Zubâlah – menyebutkan tentang terjadinya
penghamparan tempat sujud itu dengan batu-batu kerikil. Sufyân bin
'Abdullâh Ats-Tsaqâfî telah datang mengunjungi 'Umar bin Khattâb. Dan
ketika itu masjid Nabi Saw belum dihampari dengan batu kerikil. Ia
berkata kepada 'Umar : " Bukankah anda mempunyai wadi atau lembah (yang
banyak terdapat batu-batu) ? " Umar menjawab : " Ya " . Ia berkata lagi :
" Hamparilah masjid ini dengan al-aqiq yang penuh berkah itu."[16]
4.
As-Samhûdî pada bukti sebelumnya juga menukil dari Ibnu Sa'ad. Ia
berkata bahwa 'Umar bin Khattâb menghampari dan meletakkan batu-batu
kerikil di dalam masjid Rasulullâh Saw. Dan sebelum masjid itu
dihampari dengan batu-batu, orang-orang ketika melaksanakan salât
mengangkat kepala-kepala mereka dari sujud, mengusapkan debu-debu di
dahi mereka dengan tangan- tangannya. Kemudian setelah itu 'Umar bin
Khattâb memerintahkan untuk menghampari masjid itu dengan batu-batu.
Maka didatangkanlah batu-batu itu untuk dijadikan sebagai hamparan
masjid tersebut. [17]
5. Al-Baihaqî di dalam kitabnya
As-Sunanul Kubrâ telah mengeluarkan satu riwayat yang sanadnya dari
Urwah bin Zubair. Ia berkata : " Sesungguhnya orang yang pertama kali
menghampari masjid Rasulullâh Saw dengan batu-batu adalah Umar bin
Khattâb. Ia pernah berkata kepada orang-orang : "Hamparilah masjid ini
dengan wadi atau batu-batu yang penuh berkah yakni al aqiq" . [18]
6.
As-Samhûdî berkata : " Dapatlah ditarik kesimpulan dari ucapan-ucapan
sejarawan bahwa sesungguhnya penghamparan masjid Nabi Saw (Masjid
Nabawi) itu terjadi pada masa Khalîfah 'Umar bin Khattâb.
Dengan
demikian telah jelaslah buat kita dengan pemaparan bukti-bukti di atas
bahwa tanah di dalam Masjid Nabawi Asy-Syarîf itu tidak pernah dihampari
dengan batu-batu dan kerikil-kerikil hingga pada masa 'Umar bin
Khattâb. Dialah orang yang pertama kali yang merubah masjid tersebut dan
menghamparinya dengan batu-batu aqiq. [19]
Sementara pada
masa Khalîfah 'Utsmân bin 'Affân, ruangan masjid nabi ketika itu tidak
berubah sama sekali artinya tetap dihampari batu-batu sebagaimana
perintah Khalifâh 'Umar atas saran seseorang.
Berikut ini kita akan tunjukkan beberapa bukti yang menopang pernyataan di atas :
1.
Asy-Syâtibî dalam kitabnya Al-I'tisâm telah mengeluarkan satu riwayat
dari Hasan Al-Basrî. Ia berkata : " Pada suatu hari 'Utsmân bin 'Affân
keluar dan berkhutbah di hadapan kami. Kemudian orang-orang memotong
khutbahnya tersebut dan melemparinya dengan batu".[20]
2.
As-Sakhâwî menyebutkan suatu bukti yang lainnya dengan merujuk pada
kitab At-Tuhfatul Latîfah. Ia berkata : " Hari terakhir di mana ''Utsmân
keluar yaitu pada hari Jum'at. Ketika dia telah menaiki mimbar (Masjid
Rasulullâh Saw), orang-orang melemparinya dengan batu. Sehingga dengan
lemparan batu menyebabkan ia tidak dapat Imâm Jama'ah, kemudian Abû
Umâmah As'ad bin Sahl bin Hanîf al-Ansârî maju ke depan menggantikannya
menjadi Imâm. [21]
3. Pernah suatu saat 'Utsmân melakukan
tidur qailulah (tidur selama beberapa menit sebelum tibanya salat zuhur)
di dalam Masjid Nabawi. Ketika itu 'Utsmân telah menjadi khalîfah. Hal
ini sebagaimana telah dikeluarkan satu riwayat oleh Al-Baihaqî di dalam
As-Sunanul Kubrâ dengan sanad dari Hasan Al Basrî, yaitu ketika dia
ditanya oleh seseorang tentang hukum tidur qailulah di dalam masjid. Ia
menjawab : " Sesungguhnya aku melihat 'Utsmân bin 'Affân ketika itu dia
telah memangku jabatan sebagai khalîfah , dia melakukan tidur qailulah
di dalam masjid, kemudian ia bangun dan di bagian samping badannya
terdapat bekas-bekas batu ". [22]
Wahai pembaca yang budiman,
dengan teks-teks, bukti-bukti dan dalil-dalil yang telah kami sebutkan
di atas, teranglah bahwa Masjid Nabi Asy-Syarîf tidak pernah dihampari
dengan apapun. Hingga pada masa Khalifâh 'Umar bin Khattâb, kemudian
masjid itu dihampari dengan batu-batu dari lembah. Kaum muslimin
melakukan salat dan mereka bersujud di atas batu-batu hingga pada masa
Khalifâh 'Utsmân pun batu-batu itu tetap ada. Sedangkan sebelum
dihampari dengan batu-batu oleh Khalifâh 'Umar, kaum muslimin
melaksanakan salât di masjid tersebut dan melakukan sujud di atas tanah
tanpa batu satu pun (di atas tanah, red-).
Awal Munculnya Bid'ahSebelumnya
kita telah mengkaji teks-teks, dalil-dalil dan bukti-bukti di atas
bahwa Rasululllah Saw dan kaum muslimin yang melaksanakan salât bersama
Rasulullâh Saw di dalam masjid tersebut. Ketika itu mereka melakukan
sujud di atas tanah yang masih murni. Hingga pada masa 'Umar bin
Khattâb, dialah orang yang pertama kali menghampari lantai masjid itu
dengan batu-batu yang berasal dari lembah. Sejak saat itu kaum muslimin
melaksanakan salât di masjid tersebut dan mereka melakukan sujud di atas
batu-batu yang membuat penghalang antara dahi-dahi mereka dengan
tanah. Kemudian datanglah Hajjâj bin Yusuf. Ia adalah gubernur yang
dilantik oleh 'Abdul Mâlik bin Marwân pada masa Khalifâh Banî Umayyah
untuk memerangi Ibnu Zubaîr. Ketika itu penduduk Haramain – Mekah dan
Madinah – tertimpa kesengsaraan dan kesusahan akibat terjadinya
peperangan. Dialah – Hajjâj bin Yusuf – yang melempari Ka'bah dengan
manjaniq (alat perang semacam ketapel yang berukuran besar) dan telah
membunuh lebih dari 100.000 orang di luar medan peperangan dan 30.000
kaum muslimat, 16.000 dari mereka itu hidup dalam keadaan telanjang di
penjara.[23]
Laki-laki fasiq, durjana dan kejam ini
adalah orang yang pertama kali menghampari masjid Nabawi itu dengan
tikar setelah mengangkat batu -batu dan debu-debu di dalam masjid itu
keluar.
Berikut ini beberapa bukti atas pernyataan tersebut :
1.
Al-Ghazâlî dalam kitabnya Ihyâ 'Ulumûddîn berkata : " Sesungguhnya
ketika itu perbuatan menghampari masjid Nabawi dengan bawari atau tikar
dianggap sebagai perbuatan bid'ah dan ada yang mengatakan bahwa hal itu
dilakukan oleh Hajjâj bin Yusuf. Sebelum itu orang-orang tidak
menempatkan sesuatu penghalang antara dahi-dahi mereka dengan tanah
ketika mereka sujud.[24]
2. Qatâdah berkata bahwa ia
melakukan sujud kemudian kedua matanya tertusuk oleh bagian tikar itu
hingga ia menjadi buta, ia berkata : " Semoga Allâh melaknat Hajjâj. Ia
telah membuat bid'ah dengan menghampari masjid ini dengan Bawari
(sejenis tikar).[25]
3. 'Umar bin 'Abdul 'Azîz pernah
menulis surat kepada 'Udaî bin Artâh. Ia berkata : " Telah sampai berita
kepadaku bahwa engkau telah mengerjakan sunnahnya Hajjâj. Aku
nasihatkan janganlah engkau mengerjakan sunnah tersebut karena
sesungguhnya ia salât tidak pada waktunya. Ia pun mengambil zakât bukan
dari orang yang berhaq diambil zakâtnya dan ketika ia melakukan hal itu,
ia telah membuat kerusakan.[26]
Awal Munculnya Sajadah.
Dengan
membaca dan mengkaji riwayat-riwayat dan kitab-kitab sejarah tentang
keadaan dan perkembangan masjid pada masa Rasulullâh Saw dan khalîfah
yang empat, dapatlah kita ketahui dengan jelas dan pasti bahwa
masjid-masjid ketika itu lantainya tidak dihampari dengan karpet,
permadani, ataupun sajadah, bahkan juga tidak dihampari dengan tikar
yang terbuat dari daun-daun dan pelepah korma atau dedaunan pohon-pohon
lainnya walaupun dibolehkan sujud di atasnya. Apakah ini berarti ketika
itu belum ada permadani, karpet atau sajadah? Tidak demikian. Karena
sejarah menjelaskan baik secara langsung ataupun tidak bahwa kain-kain
tebal dan permadani sudah ada sejak sebelum lahir Rasulullâh Saw.
Masjid-masjid pada zaman khalîfah yang empat tetap tidak dihampari
dengan permadani, bukan pula karena mereka tidak punya ide dan keinginan
untuk itu. Akan tetapi karena hal itu dilarang oleh syari'at Islâm dan
tidak boleh sujud ketika salat kecuali di atas tanah secara langsung.
Dan demi menjaga syariat Islâm serta menganggap bahwa sujud di atas
karpet atau permadani itu adalah termasuk bid'ah. Oleh karena itu,
ketika terik panas para sahabat Nabi Saw - sebagaimana dalam
riwayat-riwayat – menggengam batu-batu kecil agar menjadi dingin dan
mereka jadikan sebagai alas sujud. As-Sakhâwi berkata " Sesungguhnya
masjid-masjid sampai pada tahun 131 Hijriah atau 132 Hijriah masih tetap
menggunakan tanah atau batu-batu kecil."*
Sehubungan dengan
masalah sajadah dapat kita ketahui secara jelas dengan merujuk pada
ensiklopedia Islâm (di dalam kitab itu disebutkan bahwa : " Istilah
sajadah tidak ditemukan di dalam kitab suci Al-Qur'ân dan hadits-hadits
yang sahih. Kata sajadah ini dapat dijumpai satu abad setelah penulisan
hadits-hadits tersebut ".[27]
Ibnu Batutah mengatakan di dalam
kitabnya Rihlah Ibnu Batutah berkata : " Orang-orang pinggiran kota
Kairo Mesir telah terbiasa keluar rumah mereka untuk pergi melakukan
salât Jum'at. Para pembantu mereka biasanya membawakan sajadah dan
menghamparinya untuk keperluan salât mereka. Sajadah mereka itu terbuat
dari pelepah-pelepah daun korma". Dia menambahkan " penduduk kota Mekkah
pada masa ini (pada masanya Ibnu Batutah, red-) melakukan salat di
Masjid Jâmi' dengan menggunakan sajadah. Kaum muslimin yang pulang haji
banyak membawa sajadah buatan Eropa yang bergambar (ada yang bergambar
salib) dan mereka tidak memperhatikan gambar tersebut. Sajadah masuk ke
Mesir dengan jalan impor dari Asia untuk dipakai salat oleh orang-orang
kaya, di dalam sajadah itu terdapat gambar mihrab yang mengarah ke
kiblat.[28]
Syaikh Murtadâ Az-Zubaîdî di dalam kitabnya
Ittihaful Muttaqin berkata : " Musallî hendaknya tidak melakukan salat
di atas sajadah atau permadani yang bergambar dan dihiasi dengan beragam
gambar yang menarik. Karena hal itu membuat si musâlli tidak khusyu' di
dalam salatnya, karena perhatiannya akan tertuju pada warna-warni
sajadah itu. Kita telah tertimpa bencana dengan permadani-permadani
Romawi itu yang kini digelar di masjid-masjid dan rumah-rumah yang
dipakai untuk salât, sehingga kebiasaan bid'ah itu telah membuat orang
yang melakukan salat di tempat lainnya dianggap tidak sah dan kurang
sopan. Lâ Hawla wa lâ Quwwata îllâ Billâh. Aku menduga kuat bahwa semua
ini adalah akibat ulah dan perbuatan orang-orang Barat – semoga Allah
mengutuk mereka – yang telah memasukkan sesuatu ke dalam kalangan kaum
muslimin sedang mereka lalai dan lengah dari tipu daya musuh-musuh
tersebut. Lebih aneh lagi, aku pernah melihat di sebuah masjid yang
berhamparkan permadani, namun permadani itu memiliki gambar salib. Hal
inilah yang membuatku semakin terkejut. Aku yakin bahwa semua ini adalah
perbuatan dan tipu-daya orang-orang Nasrani. "[29]
Sujudnya Rasulullâh Saw selain di Masjid Nabawi.
Sampai
di sini dapat kita pahami bahwa sujudnya Rasulullâh Saw dan para
sahabatnya di Masjid Nabawi Asy-Syarif di atas tanah yang murni tanpa
adanya penghalang apa pun antara dahi dan tanah.
Kemudian kita
bertanya-tanya; Bagaiamana sujudnya Rasulullâh dan para sahabat beliau,
dalam salat mereka selain di Masjid Nabawi. Apakah ketika mereka
bersujud melakukannya di atas tanah sebagaimana yang mereka lakukan di
Masjid Nabawi atau tidak?. Marilah kita mengkaji beberapa riwayat yang
menunjukkan bahwa Rasullulâh dan para sahabatnya melakukan sujud di
tempat-tempat yang berbeda selain di Masjid Nabawi.
1.
Al-Wâil bin Hajar berkata: " Aku melihat Rasulullâh
Saw, apabila beliau bersujud, beliau meletakkan dahi dan hidungnya di
atas tanah.[30]
2. Ibnu 'Abbâs berkata: " Sesungguhnya Nabi Saw pernah melakukan sujud di atas batu.[31]
3.
'Âisya berkata : " Aku tidak pernah melihat
Rasulullâh Saw menyandarkan wajahnya (dahinya) ketika salât dengan
sesuatu apa pun, selain di atas batu atau tanah, ketika beliau melakukan
sujud.[32]
Dengan riwayat ketiga ini, jelaslah bagi kita dengan
kesaksian istri beliau sendiri bahwa sesungguhnya beliau melakukan sujud
di atas tanah dan menyandarkan dahi beliau yang mulia di atas tanah.
4.
Abû Sa'îd al-Khudrî berkata: " Aku melihat
Rasulullâh Saw pada dahinya terdapat bekas-bekas tanah dan air.[33]
5.
Abu Hurairah berkata: " Aku melihat
Rasullah Saw melakukan sujud pada hari turun hujan dan pada dahi beliau
terdapat bekas-bekas tanah.[34]
Bukti ke 4 dan ke 5 ini menegaskan
kepada kita bahwa Rasulullâh Saw mengutamakan sujud di atas tanah
walaupun turun hujan. Sehingga para sahabat beliau dapat dengan jelas
menyaksikan bekas-bekas tanah pada dahi beliau yang mulia.
6.
Ibnu 'Abbâs berkata: " Aku melihat Rasulullâh Saw
melakukan salât dengan kisâ (sejenis kain) yang berwarna putih pada
waktu subuh yang sangat dingin. Untuk menghindar dari dingin, beliau
menghamparkan kisâ itu pada tangan dan kaki beliau.[35]
7.
Pada bagian lainnya Ibnu 'Abbâs berkata: " Aku
melihat Rasulullâh Saw pada hari turun hujan, beliau menghamparkan kisâ
tersebut di atas tanah untuk kedua tangan beliau ketika melakukan
sujud.[36]
8. 'Abdullâh bin
'Abdurrahman berkata: " Rasulullâh Saw datang menjumpai kami, kemudian
beliau salât bersama kami di dalam masjid Banî 'Abdil Asyhal. Ketika itu
aku melihat beliau meletakkan kedua tangannya diatas bajunya ketika
sujud ".[37]
Riwayat-riwayat ini menunjukkan dan
menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw beralaskan kisâ dan aba'ah-nya di atas
tanah yang memisahkan antara kedua tangan dan kaki beliau. Hal ini
menunjukkan keadaan darurat atau keterpaksaan ketika turun hujan. Akan
tetapi walaupun beliau meletakkan alas untuk tangan dan kaki beliau,
beliau tidak meletakkan secarik kain apapun yang menjadi perantara
antara dahi beliau dan tanah sehingga dalam situasi hujan dan cuaca yang
sangat dingin itu, dahi beliau menjadi basah dan terdapat bekas-bekas
tanah.
Setelah kita melewati beberapa riwayat, hadits-hadits
dari kitab-kitab Ahlus Sunnah wal Jama'ah dengan jelas, kita dapat
memahami dan mengambil kesimpulan bahwa Rasulullâh Saw melakukan sujud
ketika beliau melaksanakan salât di atas tanah baik itu masih berupa
tanah yang murni maupun berupa batu-batuan.
Berikut ini kami
ajak anda untuk menyimak hadits-hadits, riwayat-riwayat yang
menceriterakan tentang sujudnya Rasulullâh Saw di atas bagian sesuatu
yang tumbuh di atas tanah. Sebagaimana hal ini dicatat oleh para ahli
hadits dari madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah di dalam kitab-kitab mereka
yang berupa hadits-hadits mu'tabarah atau diakui keabsahannya.
Gambar Turba irak yang asli bukan sembarang tanah (tanah karbala).
Sujudnya Rasulullâh Saw di atas sesuatu yang tumbuh di atas bumi
Kaum
muslimin dan 'ulama mereka telah bersepakat tentang bolehnya melakukan
sujud di atas sesuatu yang tumbuh di atas tanah. Hanya saja, yang mereka
ikhtilaf-kan adalah tentang bolehnya sujud di atas segala sesuatu yang
bisa dimakan dan bisa dipakai. Sebagian dari mereka membolehkan hal
tersebut sesuai dengan ijtihad dan istinbât mereka. Akan tetapi sebagian
yang lainnya tidak membolehkan hal tersebut karena mengikuti Imâm
Ma'sum mereka.
'Ala kulli hal, tanpa diragukan lagi bahwa
kaum muslimin dari pengikut Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak pernah
menyangkal keabsahan sujudnya seorang muslim Syi'ah Imâmiyah di atas
segala sesuatu yang ditumbuhkan oleh bumi yang tidak dimakan dan tidak
dipakai. Dan yang masyhur menurut madzhab Syi'ah Imâmiyah adalah tidak
boleh melaksanakan sujud dalam keadaan ikhtiar, yakni tidak dalam
keadaan terpaksa kecuali di atas tanah atau di atas sesuatu yang
ditumbuhkan oleh bumi dengan syarat tidak dimakan dan tidak dipakai.
Pernah
terjadi perbincangan antara penulis dengan sebagian kaum muslimin
tentang sujudnya orang Syi'ah Imâmiyah di atas tanah atau turbah.
Pertama kali penulis tanyakan kepada mereka adalah apakah anda
menganggap sah sujudnya orang-orang Syi'ah di atas tanah atau turbah itu
sesuai dengan madzhab anda atau tidak. Mereka menjawab : " Ya, sujud
semacam itu hukumnya sah, hatta menurut madzhab kami. Kemudian kami
katakan kepada mereka: " Apabila sujud mereka (orang-orang Syi'ah)
sujudu di atas tanah itu sah dan benar menurut madzhab anda, lalu
mengapa anda memprotes perbuatan mereka itu. Sesungguhnya orang-orang
Syi'ah tidak pernah memprotes dan menyangkal apa yang anda lakukan
ketika kalian salât, tetapi kenapa kalian menyangkal orang-orang Syi'ah "
?
Yang ke dua, yang perlu anda ketahui adalah bahwa
sesungguhnya orang-orang Syi'ah sama sekali tidak mengamalkan dan
mempraktikkan kecuali apa yang telah diamalkan dan yang telah
dipraktikkan oleh para Imâm Ma'sum dan mereka sama sekali tidak
mengambil urusan yang berhubungan dengan ibadah mereka kecuali dari para
Ma'sumîn tersebut. Juga mereka tidak mengikuti dan mentaati kecuali
kepada orang-orang yang telah mendapatkan restu, izin serta ridâ dari
Allâh Swt, dan Allâh Swt sendiri telah memerintahkan mereka dan begitu
pun Rasulullâh Saw untuk melakukan hal itu. Maka bagi anda laksanakanlah
'amal ibadah anda dan biarkan mereka melaksanakan 'amal ibadah mereka.
Hindarilah memprotes mereka tanpa dasar dan argumen karena
sesungguhnya apa yang dilakukan oleh orang Syi'ah itu bersandar pada
sanad dan dalil yang kuat dan dapat ditemukan dalam kitab-kitab utama
anda.
Wahai saudara-saudaraku kaum muslimin yang berpegang
teguh pada Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah, ketahuilah bahwa
sesungguhnya apabila anda malaksanakan sujud di dalam salât-salât anda
di atas turbah atau tanah sesuai dengan apa yang telah biasa dilakukan
oleh orang-orang Syi'ah di dalam salât-salât mereka, maka sesungguhnya
para 'ulama dan para imâm anda menganggap dan menilai perbuatan tersebut
sah dan diterima tanpa adanya keraguan dan isykal(masalah) sedikit pun.
Dan sesungguhnya Rasulullâh Saw serta keluarganya yang mulai dan suci
beliau serta seluruh sahabat beliau akan menerima dan meridâi hal
tersebut tanpa adanya keraguan sedikitpun. Akan tetapi apabila anda
melakukan sujud di dalam salât-salât kalian di atas sesuatu yang tidak
dipakai oleh orang-orang Syi'ah misalnya di atas sajadah atau di atas
karpet maka bisa jadi 'ulama anda akan menerima dan menganggapnya sah.
Akan tetapi sudah pasti bahwa para Imâm Ma'sum dan para 'Ulama Syi'ah
tidak dapat menerima hal itu dan mereka tidak akan pernah mengangapnya
sah.
Dan apabila sujud dalam salât tersebut tidak dianggap
sah, maka salâtnya pun dianggap batal atau tidak sah. Dan tentunya
apabila anda melakukan hal itu, yaitu melakukan sujud diatas selain
apa-apa yang dipakai oleh orang-orang Syi'ah dan para Ma'sumîn mereka,
padahal anda telah membaca hadits-hadits dan riwayat-riwayat Rasulullâh
Saw ini, maka andapun boleh jadi ragu terhadap apa yang telah anda
lakukan itu. Orang yang berakal sehat tidak akan memilih suatu perbuatan
yang hanya diterima dan direstui oleh sebagian 'ulama saja tanpa diakui
oleh 'ulama yang lainnya, apalagi para Ma'sumîn As. Orang yang berakal
pasti akan memilih suatu perbuatan yang ia yakini berdasarkan argumen-
argumen yang kuat yang diterima oleh seluruh 'ulama, para Imâm Ma'sûm
serta Rasulullâh Saw. Silahkan anda menyimak riwayat-riwayat dan
hadits-hadits berikut ini tentang sujudnya Rasulullâh Saw. Setelah itu
renungkan dan pikirkanlah, semoga anda mendapat petunjuk dari Allâh Swt.
Atau kalau tidak lakukanlah apa yang anda kehendaki tapi ingatlah
sesungguhnya anda mas'ul, kelak dimintai tanggung jawab atas segala
perbuatan anda pada hari pembalasan nanti.
Dalam surat At-Taubah
disebutkan: " Berbuatlah kalian, sesungguhnya Allâh Swt dan Rasulnya
serta orang- orang yang beriman, (yaitu para Imâm Ma'sûm) akan melihat
amal perbuatan kalian dan kalian akan dikembalikan kepada Yang Maha
Mengetahui segala yang ghâîb dan yang terang dan kalian akan
diberitahukan tentang apa- apa yang kalian lakukan.( Qs. At-Taubah :
105 ).
Adapun riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang sujudnya Rasulullâh Saw adalah sebagai berikut :
1.
Abî Sa'îd al-Khudrî berkata : " Aku masuk menjumpai Rasulullâh Saw.
Ketika itu beliau sujud di atas hasîr, yaitu tikar yang terbuat dari
daun ".[38]
2. Anas bin Mâlik dan Ibnu 'Abbâs
dan sebagian istri – istri Rasulullâh Saw seperti 'Âisya, Ummu Salamah
dan Maîmunah – meriwayatkan suatu hadits yaitu : Adalah Rasulullâh Saw
biasa melakukan salât di atas humrah yaitu sejenis tikar yang ditenun
dari daun kurma ".[39]
3. Abî Sa'îd al-Khudrî meriwayatkan: " Aku
melihat Rasulullâh Saw salât di atas tikar dan beliau sujud di atas
tikar tersebut ".[40]
4. 'Âisya berkata: " Bahwa Rasulullâh Saw mempunyai tikar dan beliau biasa menggelar dan salât di atasnya ".[41]
5.
Anas bin Mâlik meriwayatkan dan ia berkata : " Rasulullâh Saw salât
di atas humrah dan sujud di atas humrah tersebut ".[42]
6. Anas
juga meriwayatkan dan berkata " Rasulullâh Saw adalah insan yang
mempunyai akhlak yang paripurna. Pernah suatu ketika datang waktu salat
beliau berada di rumah kami. Ketika itu di rumah kami ada sebuah tikar
kemudian beliau menyapu dan membersihkan tikar itu dan mengimami salât,
lalu kami pun salât di belakang beliau dan tikar yang dipakai itu
terbuat dari pelepah kurma ".[43]
7. Bukhârî, Muslim dan Ahmad
meriwayatkan sebuah hadits dari Anas. Mereka berkata: " Maka kemudian
aku berdiri menuju ke tikar yang sudah menghitam karena sudah lamanya
dipakai. Kemudian kami bersihkan tikar itu dengan air. Kemudian
Rasulullâh Saw berdiri dan melakukan salât berjamaah bersama kami ".[44]
8. Abî Sa'îd al-Khudrî bahwa dia pernah masuk menjumpai Rasulullâh
Saw dan menemukan Rasulullâlh Saw sedang salât di atas tikar dan beliau
salât di atasnya.[45]
9. Anas bin Mâlik meriwayatkan satu hadits,
ia berkata : " Pernah Rasulullâh Saw mengunjungi rumah Ummu Sulaîm
ketika tiba waktu salât, beliau melakukan salât di atas tikar yang kami
miliki. Tikar itu beliau bersihkan dengan air ".[46]
Pembaca
yang budiman, setelah mengkaji dan membaca hadits-hadits dan
riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang perbuatan dan amalan-amalan
Rasulullâh Saw dalam sujud beliau maka jelaslah bagi kita bahwa beliau
senantiasa melakukan sujud di atas tanah dan sesuatu yang tumbuh di atas
tanah seperti tikar yang terbuat dari pelepah pohon kurma. Dan kami
sama sekali, hingga kini, belum pernah melihat dan menemukan riwayat –
riwayat bahwa Rasulullâh Saw sujud di atas sesuatu yang dimakan dan
dipakai. Dan yang perlu anda ketahui adalah bahwa hadits-hadits yang
kami paparkan di atas adalah hadits-hadits yang bersumber dari
kitab-kitab Ahlus Sunnah wal Jama'ah sesuai dengan risalah ini. Kalau
pun benar ada sebuah riwayat dan hadits yang menunjukkan sujudnya
Rasulullâh Saw dan sebagian sahabat beliau di atas baju atau diatas kain
dan sebagainya. Akan tetapi riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa
Rasulullâh Saw dan sebagian sahabat-sahabat beliau salat di atas kain
itu menjelaskan sebuah keadaan darurat seperti ketika musim dingin,
dibawah derajat dan musim panas yang menyengat. Sedangkan kaum muslimin
dan ulama seluruhnya telah bersepakat bahwa keadaan darurat itu
menjadikan sesuatu yang sebelumnya dilarang menjadi boleh dilakukan.
Wahai
kaum muslimin, khususnya anda para pengikut setia madzhab Ahlus Sunnah
wal Jama'ah dan terlebih khusus lagi para pengikut madzhab Wahâbî
ketahuilah bahwa para pengikut Syi'ah Imâmiyah, adalah mereka yang
mengamalkan dan mempraktikkan hadits-hadits dan riwayat-riwayat tersebut
ketika mereka melakukan salât itu sejak pada masa Rasulullâh Saw hingga
saat ini. Dan kitab-kitab mereka yaitu kitab-kitab 'Ulama Syi'ah sarat
dengan riwayat-riwayat semacam ini.
Orang-orang Syi'ah
Imâmiyah mempunyai keyakinan bahwa sunnah dan sirah Rasulullâh Saw yang
penuh berkah dan rahamt itu merupakan petunjuk, penuntun, pembimbing dan
berkedudukan sebagai marja' atau tempat rujukan bagi seluruh kaum
muslimin setelah kitab suci al-Qur'ân al-Karîm.
Wahai pengikut
madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengapa anda tidak mempraktikkan
riwayat- riwayat tersebut dan tidak menjalankan perintah- perintah
Rasulullâh Saw. Akan tetapi kalian malah menyalahkan dan melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hal tersebut di dalam sujud kalian.
Bukankan anda membaca Al-Qur'an yang menyatakan :
" Wahai
orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahului Allâh dan
Rasul-Nya. Dan bertaqwalah kepada Allâh sesungguhnya Allâh Mahamendengar
lagi Mahamengetahui." (Qs. Al-Hujurât : 1)
Para mufassirun
dalam menjelaskan tentang asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat
tersebut), mengatakan bahwa ketika Rasulullâh Saw hendak pergi ke medan
Khaibar, beliau meninggalkan seseorang yang telah beliau tunjuk yang
menempati tempatnya di Madinah al-Munawarah dan mengangkat orang itu
sebagai Khalîfah dan pengganti beliau. Ketika itu 'Umar bin Khattâb
memberikan usulan lain. Ia mengusulkan orang lain yang menjadi khalîfah
Rasulullâh Saw di Madinah, bukan orang yang telah ditunjuk Rasulullâh
Saw. Berkenaan dengan sikap 'Umar ini, turunlah ayat tersebut yang
menjelaskan agar 'Umar bin Khattâb tidak mendahului segala yang telah
ditetapkan Allâh dan Rasul-Nya.[47]
Dan perlu dijelaskan
bahwa tidak bolehnya mendahului Allâh dan Rasul-Nya Saw itu berarti
tidak boleh memberikan usulan atau ide tentang apa yang telah ditetapkan
oleh Allâh dan Rasul-Nya tentang suatu urusan atau tidak boleh
tergesa-gesa dalam menetapkan apa yang telah diputuskan oleh Allâh dan
Rasul-Nya. Dan sudah tentu bahwa ayat tersebut mempunyai penafsiran dan
pemahaman yang sangat luas yang mencakup dan meliputi seluruh tindakan
dan perbuatan atas segala ketetapan dan ketentuan Allâh dan
Rasul-Nya.[48]
Jelas bahwa apa yang anda lakukan, yaitu sujud
di atas segala sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allâh dan Rasulnya
itu merupakan misdâq dan bukti akan adanya mendahului ketetapan Allâh
dan Rasul-Nya. Bahkan hal itu pun merupakan bukti dan misdâq dari ayat :
" Demi Tuhanmu, sungguh mereka tidak beriman sehingga mereka bertahkim
kepadamu, wahai Muhammad tentang sesuatu yang mereka ributkan dan mereka
ihtilafkan diantara mereka kemudian setelah itu mereka tidak
mendapatkan kesempitan di dalam diri mereka terhadap apa yang telah
engkau putuskan dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (Qs. An-Nisâ :
65).
Setelah membaca penjelasan dan keterangan- keterangan ini,
yaitu tentang sujudnya Rasulullâh Saw dan para sahabatnya, maka cobalah
anda merujuk dan melihat hati sanubari anda. Perhatikanlah baik-baik
apakah nurani anda mendapatkan kesempitan dan kesesakan setelah melihat
dengan jelas risalah dan apa yang telah diputuskan oleh Rasulullâh Saw
ataukah kalian akan menerimanya dengan sepenuh hati. Maka dari sini
mengemuka sebuah pertanyaan, Sudahkah anda termasuk orang-orang yang
beriman secara hakiki ataukah belum? Karena salah satu tanda-tanda dan
sifat-sifat orang mukmin adalah bahwa dia tidak mempunyai pilihan sama
sekali tantang suatu perkara selain apa yang telah ditetapkan oleh Allâh
dan Rasul-Nya sebagaimana sesuai dengan firman Allâh Swt :
" Dan
tidak sepatutnya bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan, apabila
Allâh dan Rasulnya telah menetapkan suatu perkara atau suatu hukum,
mereka mempunyai pilihan lain atas pilihan mereka dan barang siapa yang
bermaksiat atau menentang Allâh dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah
berada dalam kesesatan yang nyata." (Qs.Al-Ahzâb: 36 ).
Perhatikan, pikirkan dan renungkanlah ayat ini dengan cermat.Wahai
para pengikut setia Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah inilah, Nabi kita
Rasulullâh Saw, Nabi yang penyayang dan yang penuh welas-asih terhadap
seluruh umat manusia dan kaum muslimin. Sungguh beliau telah menjadi
uswah dan suri teladan dalam segala urusan dan perkara bagi kita semua.
Bukankah kaum muslimin telah bersepakat bahwa Rasulullâh Saw merupakan
suri teladan pada setiap masa dan setiap keadaan? Dan sesungguhnya sîrah
dan perilaku beliau merupakan cahaya terang benderang yang menerangi
jalan-jalan mereka dalam seluruh sisi kehidupan? Dan bahkan dalam
masalah sujud dalam salât pun diwajibkan untuk mengikuti dan meneladani
beliau serta mengikuti sunah-sunah beliau.
Bukankah anda telah membaca ayat :
"
Sungguh adalah Rasulullâh Saw merupakan suri teladan yang baik untuk
kalian semua yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan perjumpaan dengan
Allâh dan hari akhirat dan mengingat Allâh sebanyak- banyaknya." (Qs.
Al-Ahzâb : 21).
Sesungguhnya Rasulullâh Saw adalah
merupakan suri teladan yang baik bagi anda, tidak hanya dalam masalah
ini saja, bahkan di dalam seluruh aspek kehidupan dikarenakan sisi
ma'nawiyah beliau yang sangat tinggi dan agung, kesabaran, istiqâmah dan
keteguhan hati, kecerdasan, keikhlasan dan seluruh sifat beliau
merupakan suri teladan bagi kita semua. Juga penguasaan beliau terhadap
berbagai macam peristiwa, ketegaran beliau saat menghadapi berbagai
kesulitan. Dan singkatnya, dalam segala hal beliau merupakan suri
teladan yang paripurna bagi seluruh kaum muslimin.[49]
Dari
uraian-uraian di atas kesimpulan yang dapat kita ambil dalam masalah
sujud secara syar'i adalah meletakkan dahi di atas tanah secara langsung
dan tanpa penghalang apapun, baik tempat sujud itu berupa tanah
ataupun batu-batuan. Oleh karena itu, apabila seorang musallî – orang
yang melaksanakan salât - ia melakukan sujud tanpa memenuhi
syarat-syarat tersebut, misalnya ia dalam sujudnya meletakkan dahinya di
atas sajadah, karpet, kain dan lain sebagainya, maka menurut pandangan
syar'i sujudnya tidak dianggap sah dan salâtnya pun ikut batal.
Teranglah
bahwa dalam madzhab Syi'ah Imâmiyah, hukumnya wajib meletakkan dahi di
atas tanah, termasuk batu-batu, pasir dan tumbuh-tumbuhan yang tidak
dimakan dan tidak dijadikan sebagai bahan untuk membuat pakaian.
Sementara menurut 'ulama dan mujtahid Ahli Sunnah pun sebenarnya wajib
pula hukumnya seperti pendapat Madzhab Syi'ah Imâmiyah bahkan menurut
mereka, nampaknya lebih luas lagi hukum tersebut, yaitu menurut sebagian
mereka sujud itu tidak sempurna kecuali dengan meletakkan anggota tubuh
yang dalam salât wajib melakukan sujud. Anggota tubuh yang dimaksud itu
berjumlah tujuh bagian yaitu : dua telapak tangan, dua dua kaki, dua
lutut dan juga hidung kecuali di atas tanah. Sedangkan menurut Madzhab
Syi'ah Imâmiyah yang diwajibkan menyentuh tanah hanyalah bagian dahi
saja. Sedangkan dua telapak tangan, dua kaki, dua lutut dan juga hidung
tidak diwajibkan untuk menyentuh tanah secara langsung.
Dan
bahkan sebagian 'Ulama Ahlus Sunnah mensyaratkan adanya sentuhan dahi
ke tanah tersebut, artinya sebagian besar dahi harus menyentuh tanah.
Sementara di dalam madzhab Syi'ah Imâmiyyah, apabila dahi tersebut sudah
menyentuh tanah sebesar uang logam saja, atau sebesar kuku ibu jari
kita, itu dianggap sudah sah. Jadi kalau anda melakukan sujud di atas
tanah atau turbah yang hanya sebesar kuku ibu jari saja, maka menurut
madzhab Syi'ah Imâmiyah sujud anda sudah dianggap sah.
Dengan
uraian di atas dapatlah kita pahami bahwa menyentuhkan dahi ke atas
tanah bukanlah suatu hukum biasa tetapi merupakan ketetapan Allâh dan
Rasul-Nya serta perilaku para sahabat dan para tabi'in.
Jadi
sama sekali bukan sesuatu yang dibuat-buat oleh orang Syi'ah. Bahkan
lebih jauh dari itu, bukanlah suatu kemusyrikan, sebagaimana yang
dituduhkan sebagian kaum muslimin bahwa orang-orang Syi'ah telah
menyembah batu atau tanah sujudnya mereka di atas tanah yang besarnya
sebesar korek api itu. Janganlah anda begitu mudahnya menilai orang lain
telah berbuat musyrik sedangkan argumen-argument anda telah cocok dan
sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Syi'ah Imâmiyah.
Jelaslah
bahwa meletakkan dahi di atas tanah ketika salat merupakan kewajiban
yang tidak bisa ditawar-tawar ketika tidak ada halangan. Dan sujud di
dalam syari'at Islâm tidaklah sah dan tidak dapat dinamakan sujud
apabila dahinya itu tidak menyentuh bagian tanah secara langsung. Adapun
adanya hadits-hadits dan riwayat -riwayat yang menceriterakan bahwa
Rasulullâh saw serta para sahabatnya pernah melakukan sujud di atas
kain, hal ini mereka lakukan dalam keadaaan darurat dan terpaksa seperti
dalam keadaan yang sangat panas, sangat dingin atau sehabis turun
hujan. Dengan demikian, bahwa hukum asal atau hukm awwalî sujud dalam
salât adalah wajib meletakkan dahi di atas tanah. Sedangkan hukm tsanawî
ataau hukum ke dua yaitu ketika dalam keadaan darurat, - dalam
pembahasan kita ini – maka dibolehkan meletakkan dahi di atas kain.
Hadits-hadits
berikut ini menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw dan sebagian dari
sahabatnya melakukan sujud di atas kain atau baju ketika berada dalam
keadaan darurat.
1. Ibnu 'Abbâs berkata: " Aku melihat
Rasulullâh Saw melakukan salât di atas baju yang berwarna putih ketika
Salât Subuh. Saat itu udara sangat dingin. Beliau menggunakan kain itu
untuk menghindar dari rasa dingin di bagian tangan dan kakinya ".[50]
2.
Ibnu 'Abbâs berkata: " Aku pernah melihat Rasulullâh Saw pada
musim hujan beliau menghindari lumpur ketika melakukan sujud dengan
meletakkan baju beliau pada tangannya ".[51]
3. 'Abdullâh bin
'Abdurahman berkata: " Rasulullâh Saw datang kepada kami dan melakukan
salât berjamaah bersama kami di masjid Banî 'Abdul Ashal. Aku melihat
beliau meletakkan tangannya di atas bajunya, ketika Beliau melakukan
sujud.[52]
4. Tsâbit bin Samîd berkata: " Sesungguhnya
Rasulullâh Saw pernah salât bersama kami di Masjid 'Abdul Ashal
sementara beliau memakai baju yang berlipat yang beliau jadikan alas
tangannya untuk menghindari dinginnya batu-batu.[53]
5. Anas
berkata: " Apabila kami melakukan salât dibelakang Rasulullâh Saw pada
siang hari yang panasnya sangat menyengat. Kami melakukan sujud di atas
baju kami untuk menghindari terik panas matahari.[54]
Dengan
riwayat-riwayat di atas dapat kita pahami bahwa seseorang dibolehkan
melandasi anggota sujudnya dengan baju ketika berhalangan atau dalam
keadaan darurat. Misalnya, ketika udara sangat panas atau sangat dingin,
atau tanah berlumpur.
Dalam mencermati riwayat-riwayat yang
menjelaskan sujud dalam keadaan darurat atau keadaan terpaksa, kita
melihat bahwa Rasulullâh Saw dan para sahabatnya sujud diatas kain walau
dalam keadaan darurat.
Kita tidak mendapatkan adanya riwayat
yang menjelaskan bahwa Rasulullâh Saw dan para sahabat pernah sujud
atau sajadah di atas karpet meskipun dalam keadaan darurat.
Oleh
karena itu, salah seorang ulama Sunni yaitu Asy-Syaukâni dalam kitabnya
Nairul Autâr ia berkata : " Hadits-hadits diatas yaitu sujud ketika
berhalangan menegaskan bolehnya sujud di atas baju ketika berada dalam
keadaan darurat, hal ini menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah
menyentuh tanah secara langsung karena didalam riwayat-riwayat tersebut
diterangkan bahwa meletakkan baju itu dapat dilakukan hanya ketika
berhalangan. Dan demikian juga sebagian orang berdalil dengan
hadits-hadits tersebut bahwa dibolehkannya melandaskan baju itu hanyalah
baju yang dipakai. Bukan dengan sajadah, karpet dan lainnya yang tidak
digunakan untuk salât.[55]
Dalam hal ini pula An-Nawawi
berkata bahwa Abu Hânifâh memberikan hukum seperti ini yaitu melandaskan
dengan baju yang dipakai ketika sujud. Demikianlah pendapat jumhur
atau umumnya fuqaha dalam madzhab Ahli Sunnah wal Jama'ah.
Bahkan
Al-Bukhârî dalam Sahih-nya memberikan judul sebagai berikut : Sujud di
atas baju ketika udara dan batu-batu sangat panas menyengat.
Hadits-hadits di atas menegaskan tentang tidak bolehnya sujud di atas
batu kecuali benar-benar berhalangan.[56]
Bukan tempatnya di
sini untuk menyebutkan seluruh hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang
ada berkenaan dengan perintah Rasulullâh Saw untuk sujud di atas tanah.
Beberapa hadits dan riwayat yang telah kami sebutkan di atas sudah
memadai untuk menegaskan kepada kita bahwa Rasulullâh Saw senantiasa
memerintahkan para sahabatnya untuk sujud dalam salâtnya dengan
meletakkan dahi secara langsung di atas tanah. Dan bahkan ada beberapa
riwayat dan hadits-hadits yang mengkisahkan pelarangan Rasulullâh Saw
kepada sahabatnya untuk melandasi dahinya yang akan menghalangi antara
dahinya dan tanah. Diantara hadits-hadits larangan Rasulullâh Saw itu,
yang bisa juga dikatakan sebagai dalil bahwa sujudnya beliau dan para
sahabat beliau dalam keadaan darurat adalah :
1. Saleh As-Sabaî
berkata bahwa pernah Rasulullâh Saw melihat seseorang melakukan sujud
dan di sampingnya terdapat surbannya yang menghalangi. Lalu Rasulullâh
Saw menyingkap surbannya itu dari dahinya.[57]
2. Ayat bin Abdullah
berkata : Pernah Rasulullâh Saw melihat seseorang melakukan sujud di
atas surbannya. Lalu beliau memberi isyarat kepada orang tersebut dengan
tangan beliau supaya orang itu mengankat surbannya dan beliau
memberikan isyarat kepada dahi beliau, yang maksudnya supaya orang
tersebut menyentuhkan dahinya di atas tanah.[58]
Masih banyak
lagi hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullâh
Saw senantiasa memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk melakukan sujud
ketika salât agar meletakkan dahi di atas tanah secara langsung.
Mengingat terbatasnya tempat dan waktu, tidak mungkin untuk menuangkan
semua hadits-hadits yang berkenaan dengan hal tersebut - dalam risalah
ini.
Apabila kita telaah dan kaji riwayat-riwayat di atas, dengan
hati yang tulus dan ikhlas, tidaklah sulit bagi kita untuk memahami
bahkan untuk mengikuti segala apa yang telah dilakukan dan dicontohkan
oleh Rasulullâh Saw dan para sahabat beliau.
Sujudnya Para Tabi'in.
Kami
memandang perlu untuk menghadirkan bukti-bukti lainnya yang disandarkan
kepada Tabi'in, generasi setelah Rasulullâh Saw dan sahabat.
Bukti-bukti yang kami hadirkan ini adalah sebagai penopang dan sandaran
atas bukti-bukti yang telah kami hadirkan sebelumnya.
Dalam
pembahasan kita tentang sujud di atas tanah menurut riwayat Ahli Sunnah
wal Jama'ah juga didukung oleh para tabi'in yang merupakan generasi
pertama setelah wafatnya Rasulullâh Saw. Sebagian dari tabiin itu bahkan
membawa alas sujud berupa bata mentah di dalam setiap perjalanan mereka
untuk digunakan sebagai tempat bersujud dalam salât.
Bukti-bukti tersebut antara lain :
1.
Umar bin 'Abdul 'Azis diceriterakan bahwa ia tidak hanya merasa cukup
dengan tikar yang dibuat dari pelepah kurma saja, bahkan ia juga
meletakkan debu di atas tikar tersebut untuk ia jadikan sebagai alas
sujud.[59]
2. Urwah bin az-Zubair dikisahkan bahwa ia tidak suka melakukan salât kecuali di atas tanah.[60]
3.
Masruk bin al-Ajdâ dikatakan bahwa ketika ia melakukan perjalanan
dengan perahu ia selalu membawa bata mentah untuk ia jadikan sebagai
alas sujud.[61]
4. Alî bin 'Abdullâh bin 'Abbâs bahwa Razin berkata :
" Pernah 'Alî bin 'Abdullâh bin 'Abbâs mengirimkan surat kepadaku. Ia
berkata: " Kirimkanlah kepadaku lempengan batu dari Gunung Marwah (nama
sebuah gunung yang ada di kota Mekah) untuk aku jadikan sebagai alas
sujudku " .[62]
5. Atâ bin Abî Rabah berkata : " Tidak dibenarkan melakukan salât kecuali di atas tanah atau batu-batu kecil.[63]
6. bin Az-Zubair. Ia sama sekali tidak suka melakukan sujud dalam salâtnya kecuali di atas tanah.[64].
7. Ibrahîm an-Naha'i. Ia melakukan sujud di atas tikar dari daun burdi dan ia melakukan sujud di atas tanah.[65]
8.
Muhammad bin Muslim Az-Zuhrî bahwa Muammar pernah sujud kepadanya
tentang sujud di atas tinfasah (tikar yang dibuat dari pelepah pohon
kurma). Ia menjawab : " Hukumnya tidak apa-apa yaitu boleh. Karena
Rasulullâh Saw pernah melakukan salât diatas tikar yang dibuat dari
pelepah pohon kurma.[66]
9. Makhul. Ia senantiasa melakukan salât
di atas tikar yang terbuat dari daun burdi dan ia melakukan salât di
atas tikar tersebut.[67]
10. Muhammad bin Sirîn. Ia senantiasa
membawa bata mentah untuk ia jadikan sebagai alat sujud ketika ia
bepergian dengan perahu.[68]
11.Jabir bin Zaid. Ia tidak suka
melakukan salât di atas apapun yang terbuat dari binatang dan ia selalu
menyentuhkan dahinya ketika ia melaksanakan salât di atas tumbuhan.[69]
12. Hasan al-Basrî. Ia selalu meletakkan batu-batu kecil di tempat ia melaksanakan sujudnya.[70]
Riwayat-riwayat
yang kami utarakan kepada anda di atas hanyalah sebagian
riwayat-riwayat yang menjelaskan perilaku salat dan sujudnya para
Tabi'in yang dapat ditulis oleh para perawi dan diabadikan dalam
kitab-kitab sejarah. Yang perlu anda ketahui adalah seluruh riwayat
tersebut adalah riwayat yang bersumber dari Ahlus Sunah wal Jama' ah
yang tersebut di dalam kitab-kitab utama mereka.
Dengan
demikian jelaslah bahwa sujud di atas tanah, lempengan batu yang bisa
dibawa ke mana-mana, batu tanah atau turbah bukanlah merupakan ulah dan
perbuatan orang-orang Syi'ah. Sujud di atas tanah bukan suatu pekerjaan
yang dibuat-buat dan main-main belaka, akan tetapi ia merupakan ajaran
Islâm yang telah disampaikan oleh Rasulullâh Saw kepada sahabat-sahabat
beliau dan diikuti oleh para tabi'in yang pada dasarnya adalah bahwa
sujud itu wajib hukumnya untuk dilakukan diatas tanah atau
tumbuh-tumbuhan yang tidak dimakan dan tidak dipakai, baik tanahnya itu
dibuat dan dipadatkan atau batunya dibuat sedemikian rupa sehingga bisa
dibawa atau dengan tanah apapun. Dengan syarat batu atau tanah tersebut
bersih dari najis dan kotoran yang lainnya.
Sekali lagi kami
ingatkan bahwa sujud di atas tanah, di atas batu ataupun di atas
tumbuhan yang tidak dipakai ataupun tidak dimakan bukanlah berarti sujud
kepada tanah itu. Anda harus bisa menbedakan antara sujud di atas tanah
dengan sujud kepada tanah. Sehingga jelaslah bahwa apa yang dituduhkan
oleh orang-orang Wahâbî kepada orang-orang Syi'ah yang melakukan sujud
di atas sekeping tanah sebagai perbuatan syirik dan menyembah kepada
tanah, tuduhan itu sama sekali tidak benar dan tidak mempunyai dasar
yang kuat.
Karena apabila sujud di atas tanah itu
dikategorikan dan dihukumi sebagai perbuatan syirik karena dianggap
bersujud dan menyembah tanah, maka seluruh kaum muslimin yang melakukan
sujud di atas sajadah, sapu tangan, karpet dan lain sebagainya termasuk
melakukan perbuatan syirik. Karena dengan demikian mereka akan
dikatakan menyembah sajadah, sapu tangan, dan karpet. Jadi sujud di atas
tanah sama sekali bukan sujud dan beribadah kepada tanah itu.
Sebagaimana seluruh kaum muslimin ketika mereka melaksanakan salât
diwajibkan menghadap Ka'bah al-Musyarrafah hal ini berarti bahwa mereka
menyembah Ka'bah itu. Sama sekali tidak demikian. Dan semua ketentuan
dan hukum-hukum syariat ini yang diperintahkan oleh Allâh Swt dan
Rasulnya Saw yang sedemikian rupa itu pasti mengandung hikmah yang
tinggi nilainya yang sebagiannya dapat diungkap dan diketahui oleh para
ulama dan sebagian kaum muslimin dan masih banyak lagi hikmah-hikmah
ibadah itu yang tidak bisa diungkap atau belum dipahami oleh kaum
muslimin. Bagian akhir dari risalah ini kami akan membeberkan sedikit
tentang hikmah sujud di atas tanah.[]
________________________________________
Rujuk:
[1]Lihat Al-Mughnî, jilid 1, hal. 520.
[2] Lihat Al-Umm, jilid 1 , hal. 114.
[3] Lihat Al-Muhâddits Al-Bahrânî, Al-Hadâiqun Nâdira, jilid 8, hal. 273.
[4] Lihat Tahrîr al-Wasilah, jilid 1, hal.156.
[5]
[6] Sahih al-Bukhâri, jilid 1, hal. 209, Muslim, jilid 1, hal. 371 dan Wasâilus Syi'ah, jilid 3, hal. 423.
[7] Lihat kitab "Aqâ'idunâ" hal.115-116.
[8] Lihat Sîrah Sayyidul Mursalîn, jilid 1, hal. 567.
Lihat Sirah Sayidul Mursalin, jilid 1, hal 570. [9]
[10] Lihat As-Sujud 'ala Turbat al-Husaîniyah hal. 193.
[11] Hadits ini dikeluarkan oleh Ashâbul Shihâh yaitu para ulama hadits
yang mempunyai kitab Sahih dan sunan, yang diantaranya adalah
al-Bukhârî di mana ia mengeluarkan hadits tersebut dalam kitab Sahih-nya
pada jilid 1, hal. 19 pada Kitâbus Saleh dalam kitab Naumu al- Rijâl
fil Masjid dan pada jilid 5, hal. 18 dan 19 pada bab Manâqib 'Alî bin
Abî Tâlîb As sebagaimana kami singgung di atas dan pada jilid 8, hal.
45 dalam Kitâbul Adâb pada bab al-Takannî bi Abî Turâb dan pada jilid 8,
hal. 63 dalam kitab Al-Isti'dzân pada bab al-Qâilah fil Masjid dan
juga Muslim meriwayatkannya dalam kitab Sahih-nya yaitu kitab Fadâil
al-Sahâbah pada bab Fadâil 'Alî bin Abî Tâlîb As. Dan juga Ibnu Jarîr
Al-Tabarî meriwayatkannya dalam kitab Târikh-nya paada jilid 2, hal.
124.
[12] Lihat Sahih Muslim pada jilid 4, hal. 188 pada bab al- îlâ
Wa'tizâlun Nisâ wa Takhyîr hunna waqawlahu Ta'ala (wa in Tazzâharâ
'Alaihi).
[13] Lihat Addurr al-Tsamînah hal. 371.
[14] Lihat
Sahih al-Bukhâri, jilid 1, hal. 93, Bab Bunyânul Masâjid dan Fathul Bârî
Jilid 2, hal. 86 dan As-Sunanul Kubrâ, Jilid 2, hal 438.
[15] Lihat Wafâul Wafâ bi akhbâr dârul Mustafâ, jilid 1, hal. 473.
[16] Lihat Wafâul Wafâ bi akhbâr dârul Mustafâ, jilid 1, hal. 473.
[17] Lihat Tabaqât Ibnu Sa'ad, jilid 3, hal. 283-284. Dan Manâqib' Umar Ibn al-Jauzî, Hal. 63.
[18] Lihat As-Sunanul Kubrâ, Jilid 2, Hal. 441 dan Manâqib 'Umar oleh Ibnul Jawzî, Hal. 63.
[19] Wafâul Wafâ bi akhabâril Mustafâ, Jilid 1,Hal.473.
[20] Lihat Al I'tisâm, jilid 1, hal. 64
[21] Lihat At- Tuhfatul Latîfah, jilid 1, hal. 68 dan 291.
[22] Lihat As-Sunanul Kubrâ, jilid 2, hal. 447.
[23] Lihat Murûjudz Dzahab, jilid 3, hal. 166.
[24] Lihat Ihyâ 'Ulumûddîn, jilid 1, hal. 80.
[25] Lihat Ittihâful Muttaqîn, jilid 1, hal.727.
[26] Lihat Sîrah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz oleh Ibnul Jawzî, hal. 88-89.
* Lihat At-Tuhfatul Latifah, jilid 1, hal 376.
[27] Dairatul Ma'ârîf Al-Islamiyah, jilid 11, hal 275.
[28] Lihat Rihlah Ibnu Batutah, jilid 1, hal 72-73.
[29] Lihat Ittihaful Muttaqin bisyarhi Ihya 'Ulumûddîn, jilid 3, hal. 201,
[30] Lihat Ahkamul Qur'ân oleh Al-Jassâs al-Hanafî, jilid 3, hal. 209
[31] Lihat Sunan al-Baihaqî, jilid 2, hal.102.
[32] Lihat al-Musannif, jilid 1, hal.397 dan Kanzul Ummâl, jilid 4, hal. 212.
[33] Lihat Sunan an-Nasâ'î, pada Bab as-Sujud 'alal Jabin. jilid 2, hal 208,
[34] Lihat Majmauz Zawâid, jilid 2, hal 126.
[35] Lihat Sunan al-Baihaqî, jilid 2, hal. 106.
[36] Kitab Sîratunâ wa Sunnatunâ, hal. 132, menukil dari Ahmad bin Hanbal.
[37] Lihat Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hal. 328, pada Bab Sujud 'ala Tsiyâb fil Harri wal Bardi.
[38] Lihat Sunan al-Baihaqî, jilid 2, hal. 421 pada Kitâbus Salât dalam Bâbus Salâh 'alâl Hasîr.
[39] Lihat Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hal. 328 pada Bâbus Salât 'alâl
humrah dan juga lihat Sunan Al-Baihaqî, jilid 2, hal 421 dan Musnad
Ahmad bin Hanbal jilid 1, hal.40.
[40] Lihatlah Sîratunâ wa Sunnatunâ pada hal. 130 yang menukil dari Sahih Muslim.
[41] Lihat Fathul Bârî, jilid 1 hal. 413.
[42] Lihat Al-Mu'jamul Ausat was Saghîr oleh Tabrani.
[43] Lihat Sahih Muslim, jilid 1, hal. 457 dan Sunan Al-Baihaqî, jilid 3 hal 436.
[44] Lihat Sahih al- Bukhârî, jilid 1, hal.107 dan Sahih Muslim, jilid 1 hal. 457.
[45] Lihat Sahih Muslim, jilid 1, hal 458.
[46] Lihat At-Tabaqâtul Kubrâ , jilid 8 hal 312.
[47] Lihat Al-Amtsal fî Tafsîri Kitâbillah, jilid 16, hal. 510 yang menukil dari Tafsir Al-Qurtubî, jilid 9, hal. 621.
[48] Ibid., hal. 512.
[49] Lihat Al Amtsal fi Kitâbillâhil Munzal, jilid 13, hal. 197.
[50] Lihat Sunan Al-Baihaqî Jild 2 hal. 106.
[51] Lihat Sîratunâ wa Sunnatunâ hal. 132 yang menukil dari Ahmad bin Hanbal.
[52] Lihat Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hal. 328 bab as-sujud 'alâ siyab fil harri wal bar.
[53] Ibid.
[54] Lihat Sunan an-Nasa'i, jilid 2, hal.216 dan Sunan ad-Dairimi jilid 1 hal. 308.
[55]Lihat Asy-Syaukani, Nairul Autar jilid 2, hal 1268. Ibn Hajar juga
berkata yang sama didalam kitabnya Fathul Bari, jilid 1, hal. 414.
Demikian juga di dalam Sahih Al-Bukhârî,jilid 1, hal. 101 dan pada jilid
2, hal 61 diterangkan tentang adanya sebagian sahabat yang sujud di
atas baju tersebut.
[56] Lihat juga Sahih Muslim, jilid 2, hal 103.
Sunan Ibnu Mâjah, jilid 1, hal 321. Sunan Abû Dâwûd, jilid 1 hal. 106.
Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal 100. Nailul Autâr jilid 2, hal.
268.
[57] Lihat Sunan Al-Baihaqî, jilid 2, hal 105
[58] ibid.
[59]
Lihat Fathul Barî ,jilid 1, hal. 410 dan Syarh Al-Ahwaji, jilid 1 hal.
272, Ihyâ 'Ulûmuddîn, jilid 1, hal. 149 dan Ittihâtul Muttaqîn , jilid
2, hal. 32.
[60] Ibid.
[61] Lihat Tadaqatul Kubrâ, jilid 6, hal. 79.
[62] Lihat Ahbarîl Makkah, jilid 3, hal 151.
[63] Lihat Al-Muhalah, jilid 4 , hal 83.
Lihat Naidul Autar, jilid 2, hal 127. [64]
[65] Ibid.
[66]Lihat Al Musanif Jilid 1 Hal. 394.
[67] Ibid, hal 399.
[68] Lihat Fathul Bari, jilid 2, hal 33.
[69] Lihat Naidul Autâr, jilid 2, hal 126.
[70] Lihat Al- Musanif , jilid 2, hal. 61 dan 413.