Ramai ulama sunni menerima penterjemahan perundangan yang bertentangan dengan arahan yang jelas dari al-Quran, dan bahkan mereka berikan terjemahan yang lemah pada perundangan yang jelas. Ahli perundangan kami berikan pendapat yang sebaliknya. Kamu masih tidak mengatakan amalan mereka sebagai kafir. Tetapi pada amalan kami pada sujud, kami melaungkan bantahan, dengan mengatakan shia menyembah berhala, sedang kamu abaikan kenyataan ulama kamu bahawa sujud pada najis yang kering dibolehkan.
Showing posts with label Najis. Show all posts
Showing posts with label Najis. Show all posts
14:05:00
Ramai ulama sunni menerima penterjemahan perundangan yang bertentangan dengan arahan yang jelas dari al-Quran, dan bahkan mereka berikan terjemahan yang lemah pada perundangan yang jelas. Ahli perundangan kami berikan pendapat yang sebaliknya. Kamu masih tidak mengatakan amalan mereka sebagai kafir. Tetapi pada amalan kami pada sujud, kami melaungkan bantahan, dengan mengatakan shia menyembah berhala, sedang kamu abaikan kenyataan ulama kamu bahawa sujud pada najis yang kering dibolehkan.
MENURUT ULAMA SUNNI SUJUD PADA NAJIS DAN KOTORAN YANG KERING DIBOLEHKAN
Ramai ulama sunni menerima penterjemahan perundangan yang bertentangan dengan arahan yang jelas dari al-Quran, dan bahkan mereka berikan terjemahan yang lemah pada perundangan yang jelas. Ahli perundangan kami berikan pendapat yang sebaliknya. Kamu masih tidak mengatakan amalan mereka sebagai kafir. Tetapi pada amalan kami pada sujud, kami melaungkan bantahan, dengan mengatakan shia menyembah berhala, sedang kamu abaikan kenyataan ulama kamu bahawa sujud pada najis yang kering dibolehkan.
Marcadores:
fiqih,
Kajian islam,
Najis,
Shalat,
Sujud,
Sujud Sahwi
02:19:00
SOAL 266:
Apakah darah itu suci?
JAWAB:
Hewan yang mempunyai darah yang mengalir ketika disembelih (nafsun sailah), darahnya najis.
SOAL 267:
Darah yang mengalir dari kepala pada upacara peringatan kesyahidan Al-Husain (as) akibat membenturkan kepala dengan keras pada dinding lalu berhamburan dan mengenai kepala orang-orang yang menghadiri upacara, najis ataukah tidak?
JAWAB:
Darah manusia dalam semua keadaan najis.
SOAL 268:
Apakah warna tipis bekas darah yang masih ada di pakaian setelah dibasuh najis?
JAWAB:
Jika darahnya telah lenyap, dan yang tersisa hanyalah warnanya saja dan tidak dapat lenyap dengan dibasuh, maka ia suci.
SOAL 269:
Apa hukum titik darah dalam telur?
JAWAB:
Dihukumi suci, namun haram dimakan.
SOAL 270:
Apa hukum keringat orang yang junub karena perbuatan haram dan keringat hewan pemakan kotoran?
JAWAB:
Keringat onta pemakan kotoran najis. Sedangkan keringat hewan pemakan kotoran selain onta, demikian pula keringat orang yang junub karena perbuatan haram, berdasarkan aqwa, suci hukumnya. Namun berdasarkan ahwath, wajib meninggalkan shalat dengan keringat janabah karena perbuatan haram.
SOAL 271:
Apakah tetesan-tetesan yang jatuh dari jasad mayat sebelum dimandikan dengan air murni dan setelah dimandikan dengan sidr (bidara) dan kapur suci ataukah tidak?
JAWAB:
Jika jasad mayat belum dimandikan hingga tuntas dengan mandi yang ketiga, maka ia tetap dihukumi sebagai najis.
SOAL 272:
Apakah kulit kedua tangan, bibir atau kedua kaki yang terkadang terlepas dihukumi suci ataukah najis?
JAWAB:
Kulit kedua tangan, bibir, kedua kaki atau bagian tubuh lainnya yang terlepas sendiri, dihukumi suci.
SOAL 273:
Seorang di medan tempur menghadapi situasi yang memaksanya untuk membunuh dan memakan babi. Apakah basah tubuhnya dan ludahnya dihukumi najis?
JAWAB:
Keringat tubuh dan ludah seseorang yang memakan daging haram dan najis tidaklah najis. Ia tidak diwajibkan melakukan istibra’ (membersihkan diri) Tetapi segala sesuatu yang menyentuh daging babi dalam keadaan basah dihukumi najis.
SOAL 274:
Mengingat penggunaan kuas dalam melukis dan pembuatan sketsa, padahal jenis kuas yang berkualitas baik dan digemari, yang kebanyakannya terbuat dari rambut babi, adalah yang didatangkan dari negara-negara non-Islam dan bisa didapat oleh semua orang, terutama di pusat-pusat informasi dan kebudayaan, maka apa hukum syar’iy menggunakan kuas-kuas tersebut? Lalu, apa hukum menulis ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis mulia dengannya?
JAWAB:
Rambut babi hukumnya najis, dan tidak boleh dipergunakan untuk melakukan hal-hal yang mensyaratkan kesucian (thaharah) secara syar’iy. Adapun penggunaannya dalam hal-hal yang tidak mensyaratkan kesucian, maka tidak dipermasalahkan (la isykal). Bahkan menggunakan kuas, jika tidak diketahui apakah terbuat dari rambut babi ataukah tidak, dalam hal-hal yang mensyaratkan kesucian pun , tidaklah dipermasalahkan (la isykal).
SOAL 275:
Apakah halal mengkonsumsi daging yang diimport dari negara non muslim? Apa hukumnya dari sisi suci atau najisnya?
JAWAB:
Sampai kita tidak yakin akan cara penyembelihannya maka dihukumi haram mengkonsumsinya, namun dari sisi kesucian jika tidak yakin, bahwa ia tidak disembelih (secara salah), maka dihukumi suci.
SOAL 276:
Kami mohon YM menerangkan berkenaan dengan bahan-bahan kulit dan anggota tubuh binatang lainnya yang diimport dari negara non muslim!
JAWAB:
Jika Anda memiliki dugaan, bahwa binatang tersebut disembelih dengan cara islamiy, maka suci, dan jika Anda yakin bahwa ia tidak disembelih dengan cara islamiy, maka dihukumi najis.
SOAL 277:
Jika pakaian orang junub menjadi najis karena mani, apakah hukumnya jika tangan menyentuhnya ketika salah satu dari keduanya basah, dan bolehkah orang yang junub menyerahkan pakaiannya kepada orang lain untuk disucikan, dan apakah orang yang mengalami ihtilam (mimpi basah) harus memberitahu orang yang secara sukarela mencuci pakaian tersebut tentang kenajisannya?
JAWAB:
Mani najis hukumnya dan bila mengenai suatu benda dengan tingkat kebasahan yang dapat berpindah, maka menyebabkan kenajisannya. Dan tidak diharuskan memberitahukan kenajisan pakaian kepada yang mencucinya.
SOAL 278:
Setiap kali usai kencing saya melakukan istibra’, namun setelah itu keluar cairan yang beraromakan air mani. Saya mohon Anda berkenan menerangkan hukumnya berkenaan dengan shalat saya?
JAWAB:
Jika Anda belum meyakini bahwa itu mani dan ia tidak disertai dengan tanda-tanda syar’iy keluarnya mani, maka ia suci dan tidak diperlakukan secara hukum sebagai mani.
SOAL 279:
Apakah kotoran burung yang haram dimakan dagingnya, seperti burung gagak, elang dan kakak tua najis?
JAWAB:
Binatang yang halal dimakan dagingnya baik burung atau bukan kotorannya suci. Begitu juga kotoran burung yang haram dimakan dagingnya. .
SOAL 280:
Dalam beberapa risalah amaliyah disebutkan bahwa kotoran binatang dan burung yang dagingnya haram dimakan najis hukumnya. Apakah kotoran binatang yang boleh dimakan, seperti sapi, kambing, dan ayam najis ataukah tidak?
JAWAB:
Kotoran binatang yang halal dimakan suci hukumnya.
SOAL 281:
Jika terdapat benda najis di sudut-sudut kloset dalam wc atau di dalam kloset yang telah dibasuh tempatnya dengan air kur atau dengan air sedikit dan masih tersisa benda najis di dalamnya, apakah tempat yang kosong dari benda najis namun terkena air basuhan tersebut najis ataukah suci?
JAWAB:
Tempat yang tidak terkena oleh air yang najis yang bersambung dengan benda najis ditetapkan secara hukum sebagai suci.
SOAL 282:
Jika seorang tamu menajiskan salah satu benda tuan rumahnya, apakah wajib memberi tahu tuan rumah tentang najis itu?
JAWAB:
Tidak diharuskan memberitahukan hal itu pada selain makanan, minuman dan wadah-wadah makanan.
SOAL 283:
Apakah sesuatu yang bersentuhan dengan mutanajjis (benda yang terkena najis) dihukumi mutanajjis ataukah tidak? Jika dihukumi mutanajjis, apakah hal ini berlaku dalam semua perantara ataukah hanya pada perantara-perantara yang dekat saja?
JAWAB:
Yang bersentuhan dengan najis dihukumi najis karena bersentuhan. Begitu pula yang bersentuhan dengannya. Berdasarkan ahwath, yang bersentuhan dengan benda yang bersentuhan yang kedua juga najis. Adapun yang bersentuhan dengan benda yang bersentuhan yang ke tiga maka tidak dihukumi najis.
SOAL 284:
Bila mengenakan sepatu yang terbuat dari kulit hewan yang tidak disembelih, apakah selalu wajib membasuh kedua kaki sebelum berwudhu? Sebagian orang mengatakan, bahwa bila kaki berkeringat dalam sepatu wajib melakukan hal ini (mencuci kedua kaki). Saya memperhatikan bahwa kaki berkeringat dalam kadar yang berbeda-beda antara sedikit dan banyak dalam berbagai jenis sepatu. Apa pendapat Anda mengenai masalah ini?
JAWAB:
Jika dipastikan bahwa kaki berkeringat dalam sepatu tersebut, maka wajib mensucikan kedua kaki untuk melakukan shalat.
SOAL 285:
Apa hukum tangan anak yang basah, air liur dan sisa minumannya jika ia selalu menajiskan dirinya? Apa hukum anak yang meletakkan tangannya yang basah pada kakinya?
JAWAB:
Selama belum diperoleh keyakinan bahwa ia terkena najis, maka dihukumi suci.
SOAL 286:
Saya mengalami sakit gusi. Menurut pendapat dokter, saya harus selalu memijat-mijat gusi saya. Tindakan ini meyebabkan beberapa bagian gusi menghitam seakan-akan ada darah yang menggumpal di dalamnya. Ketika saya letakan tisu, warnanya berubah merah. Karena itulah saya mensucikan mulut saya dengan air kur. Hanya saja darah yang mengeras itu tetap ada dalam waktu yang cukup lama dan tidak hilang dengan dibasuh. Nah, setelah air kur tersebut terputus, apakah air yang masuk ke dalam mulut kemudian saya keluarkan dan melewati bagian darah yang menggumpal dibawah gusi itu dihukumi najis, ataukah ia termasuk ludah dan dihukumi suci?
JAWAB:
Dihukumi suci, meskipun, berdasarkan ahwath hendaknya dihindari.
SOAL 287:
Saya juga ingin bertanya, apakah makanan yang saya makan dan menyentuh bagian darah yang mengeras dalam gusi itu menjadi mutanajjis ataukah tidak? Jika dianggap mutanajjis, apakah ruang mulut tetap dianggap mutanajjis setelah menelan makanan?
JAWAB:
Makanan dalam contoh kasus yang ditanyakan diatas tidak dihukumi najis dan menelannya tidak dipermasalahkan (la isykal). Sedangkan ruang mulutnya suci.
SOAL 288:
Sejak beberapa waktu tersebar rumor bahwa bahan-bahan kosmetik najis. Dikatakan, bahwa mereka mengambil ari-ari janin bayi yang baru lahir dan menyimpannya dalam alat pendingin. Dikatakan juga bahwa mereka menyimpannya bersama janin yang telah mati untuk dibuat menjadi bahan-bahan kecantikan, seperti pemerah bibir. Bahan-bahan tersebut kadang kala kami gunakan, bahkan sebagian pemerah bibir dapat dimakan. Apakah ia najis?
JAWAB:
Rumor bukanlah hujjah (alasan) syar’iy atas kenajisan bahan-bahan kecantikan. Selama belum dipastikan kenajisannya dengan cara syar’iy yang mu’tabar (diakui), maka pemakaian bahan-bahan tersebut tidak dipermasalahkan (la isykal).
SOAL 289:
Dari setiap pakaian atau potongan kain berguguran rambut-rambut halus. Ketika mensucikan pakaian-pakaian kami menemukan rambut-rambut halus itu dalam timba. Jika timba tersebut penuh dengan air dan bersambung dengan air kran, maka air meluap ke samping setiap kami memasukkan pakaian ke dalamnya. Karena rambut-rambut halus itu ada dalam air yang keluar dari timba, saya berhati-berhati dengan menghindari air tersebut dan mensucikan semua tempat, atau ketika melepas pakaian bayi yang terkena najis, saya mensucikan tempat dimana saya melepaskan pakaian-pakaian itu, meskipun dalam keadaan kering, karena saya beranggapan bahwa rambut-rambut itu berjatuhan disana. Apakah berhati-hati dengan cara demikian perlu dilakukan?
JAWAB:
Air yang meluap ke samping-samping timba ketika bersambung dengan air kran, dan rambut-rambut halus yang terlepas dari pakaian dan mengapung di atas air, dalam kasus yang ditanyakan hukumnya suci. Apabila pakaian anak-anak yang terkena najis kering, maka tidak ada alasan bahwa tempat melepasnya menjadi najis karenanya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk berhati-hati dalam dua kasus yang disebutkan dalam pertanyaan.
SOAL 290:
Basah seukuran apakah yang menyebabkan perpindahan dari satu benda ke benda yang lain?
JAWAB:
Tolok ukur basah yang dapat berpindah adalah jika basah berpindah secara tampak jelas dari benda yang basah kepada benda lain ketika keduanya bersentuhan.
SOAL 291:
Apa hukum pakaian-pakaian yang diserahkan kepada penatu dari segi kesucian, mengingat sebagian penganut agama-agama kaum minoritas, seperti Yahudi, Nasrani dan lainnya juga mencucikan pakaiannya di tempat-tempat tersebut, dan bahwa para pemiliknya menggunakan bahan kimia dalam mencuci pakian?
JAWAB:
Jika pakaian yang yang diserahkan ke tempat-tempat pencucian dan pengeringan sebelumnya tidak najis maka dihukumi suci, dan bersentuhan dengan pakaian para penganut agama minoritas dari kalangan ahli kitab tidak menyebabkan kenajisan.
SOAL 292:
Apakah pakaian yang dicuci dengan mesin cuci di rumah yang bekerja seluruhnya secara otomatis suci ataukah tidak? Proses kerja alat tersebut sebagai berikut:
Tahap pertama ketika pakaian dicuci dengan bubuk deterjen, sebagian air dan busa deterjen cucian akan berhamburan mengenai kaca mesin cuci dan karet yang melingkarinya. Setelah itu, pada tahap kedua untuk menyedot air guna mencuci, busa deterjen akan menutupi pintu mesin secara penuh dan karet yang melingkarinya. Pada-tahap-tahap berikutnya, mesin ini mencuci pakaian sebanyak tiga kali dengan air sedikit, kemudian air cucian akan disedot keluar.
Kami mohon penjelasan apakah pakaian-pakaian yang telah dicuci dengan cara demikian suci ataukah tidak?
JAWAB:
Setelah benda najis (ainun- najasah) lenyap, jika air yang bersambung dengan kran sampai ke pakaian dan semua bagian dalam mesin kemudian terpisah darinya dan keluar, maka ia dihukumi suci.
SOAL 293:
Jika air dialirkan ke tanah atau kolam, atau kamar mandi yang digunakan untuk mencuci pakaian lalu percikannya mengenai pakaian, apakah ia menjadi mutanajjis ataukah tidak?
JAWAB:
Jika air dituang ke tempat yang suci atau tanah yang suci, maka percikan-percikannya juga suci. Dan jika kita ragu apakah tempat tersebut suci atau najis, percikannya pun dihukumi suci.
SOAL 294:
Apakah air yang mengalir di jalan-jalan yang berasal dari mobil-mobil pengangkut sampah Pemerintahan Daerah dan terkadang mengenai orang akibat angin kencang dihukumi suci ataukah najis?
JAWAB:
Ia dihukumi suci, kecuali apabila seseorang meyakini kenajisannya akibat bersentuhan dengan sesuatu yang najis.
SOAL 295:
Apakah air yang menggenang dalam lubang di jalan-jalan suci ataukah tidak?
JAWAB:
Air demikian dihukumi suci.
SOAL 296:
Apa hukum saling melakukan kunjungan keluarga bersama orang-orang yang tidak memperhatikan masalah-masalah kesucian dan kenajisan dalam makan dan minum dan sebagainya?.
JAWAB:
Secara umum berkenaan masalah kesucian dan najis di dalam hukum Islam, segala sesuatu yang tidak diyakini najis dalam pandangan syariat dihukumi suci. ?
SOAL 297:
Kami mohon Anda menjelaskan hukum syar’iy tentang suci atau najisnya muntah dalam beberapa masalah sebagai berikut:
A). Muntah bayi yang masih menyusu.
B). Muntah bayi yang masih menyusu dan mulai makan?
C). Muntah orang dewasa (balig) .
JAWAB:
Semua itu dihukumi suci.
SOAL 298:
Apa hukum sesuatu yang bersentuhan dengan benda yang diduga najis di antara beberapa subyek terbatas (asy-syubhah al-mahshurah)?
JAWAB:
Jika bersentuhan dengan sebagian dari subyek-subyeknya, maka hukum mutanajjis tidak berlaku atasnya.
SOAL 299:
Seseorang yang agamanya tidak diketahui, menjual makanan dan menyentuhnya dalam keadaan basah yang dapat berpindah. Apakah wajib menanyakan agamanya ataukah berlaku “asas kesucian (ashalatuth-thaharah)”, padahal kami tahu ia bukan penduduk negara Islam, namun hanyalah pekerja asing?
JAWAB:
Tidak wajib menayakan agamanya, dan “asas kesucian” berlaku atas orang tersebut dan benda-benda yang disentuh anggota tubuhnya secara langsung dalam keadaan basah.
SOAL 300:
Apa takilf orang yang rumahnya atau rumah kerabatnya ditinggali atau dikunjungi oleh seseorang yang tidak memperhatikan kesucian dan kenajisan sehingga rumah dan benda-benda di dalamnya menjadi najis sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibasuh atau disucikan? Dalam kondisi demikian bagaimana seseorang bisa tetap suci terutama dalam shalat yang disyaratkan suci agar sah? Apa hukum masalah ini?
JAWAB:
Tidak diharuskan mensucikan seluruh rumah. Cukup untuk sahnya shalat apabila pakaian dan tempat dahi dalam sujud suci. Rumah dan perabotnya yang najis tidak menimbulkan taklif lebih dari menjaga kesucian dalam shalat, makan dan minum.
Tanya Jawab: Benda-benda najis
SOAL 266:
Apakah darah itu suci?
JAWAB:
Hewan yang mempunyai darah yang mengalir ketika disembelih (nafsun sailah), darahnya najis.
SOAL 267:
Darah yang mengalir dari kepala pada upacara peringatan kesyahidan Al-Husain (as) akibat membenturkan kepala dengan keras pada dinding lalu berhamburan dan mengenai kepala orang-orang yang menghadiri upacara, najis ataukah tidak?
JAWAB:
Darah manusia dalam semua keadaan najis.
SOAL 268:
Apakah warna tipis bekas darah yang masih ada di pakaian setelah dibasuh najis?
JAWAB:
Jika darahnya telah lenyap, dan yang tersisa hanyalah warnanya saja dan tidak dapat lenyap dengan dibasuh, maka ia suci.
SOAL 269:
Apa hukum titik darah dalam telur?
JAWAB:
Dihukumi suci, namun haram dimakan.
SOAL 270:
Apa hukum keringat orang yang junub karena perbuatan haram dan keringat hewan pemakan kotoran?
JAWAB:
Keringat onta pemakan kotoran najis. Sedangkan keringat hewan pemakan kotoran selain onta, demikian pula keringat orang yang junub karena perbuatan haram, berdasarkan aqwa, suci hukumnya. Namun berdasarkan ahwath, wajib meninggalkan shalat dengan keringat janabah karena perbuatan haram.
SOAL 271:
Apakah tetesan-tetesan yang jatuh dari jasad mayat sebelum dimandikan dengan air murni dan setelah dimandikan dengan sidr (bidara) dan kapur suci ataukah tidak?
JAWAB:
Jika jasad mayat belum dimandikan hingga tuntas dengan mandi yang ketiga, maka ia tetap dihukumi sebagai najis.
SOAL 272:
Apakah kulit kedua tangan, bibir atau kedua kaki yang terkadang terlepas dihukumi suci ataukah najis?
JAWAB:
Kulit kedua tangan, bibir, kedua kaki atau bagian tubuh lainnya yang terlepas sendiri, dihukumi suci.
SOAL 273:
Seorang di medan tempur menghadapi situasi yang memaksanya untuk membunuh dan memakan babi. Apakah basah tubuhnya dan ludahnya dihukumi najis?
JAWAB:
Keringat tubuh dan ludah seseorang yang memakan daging haram dan najis tidaklah najis. Ia tidak diwajibkan melakukan istibra’ (membersihkan diri) Tetapi segala sesuatu yang menyentuh daging babi dalam keadaan basah dihukumi najis.
SOAL 274:
Mengingat penggunaan kuas dalam melukis dan pembuatan sketsa, padahal jenis kuas yang berkualitas baik dan digemari, yang kebanyakannya terbuat dari rambut babi, adalah yang didatangkan dari negara-negara non-Islam dan bisa didapat oleh semua orang, terutama di pusat-pusat informasi dan kebudayaan, maka apa hukum syar’iy menggunakan kuas-kuas tersebut? Lalu, apa hukum menulis ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis mulia dengannya?
JAWAB:
Rambut babi hukumnya najis, dan tidak boleh dipergunakan untuk melakukan hal-hal yang mensyaratkan kesucian (thaharah) secara syar’iy. Adapun penggunaannya dalam hal-hal yang tidak mensyaratkan kesucian, maka tidak dipermasalahkan (la isykal). Bahkan menggunakan kuas, jika tidak diketahui apakah terbuat dari rambut babi ataukah tidak, dalam hal-hal yang mensyaratkan kesucian pun , tidaklah dipermasalahkan (la isykal).
SOAL 275:
Apakah halal mengkonsumsi daging yang diimport dari negara non muslim? Apa hukumnya dari sisi suci atau najisnya?
JAWAB:
Sampai kita tidak yakin akan cara penyembelihannya maka dihukumi haram mengkonsumsinya, namun dari sisi kesucian jika tidak yakin, bahwa ia tidak disembelih (secara salah), maka dihukumi suci.
SOAL 276:
Kami mohon YM menerangkan berkenaan dengan bahan-bahan kulit dan anggota tubuh binatang lainnya yang diimport dari negara non muslim!
JAWAB:
Jika Anda memiliki dugaan, bahwa binatang tersebut disembelih dengan cara islamiy, maka suci, dan jika Anda yakin bahwa ia tidak disembelih dengan cara islamiy, maka dihukumi najis.
SOAL 277:
Jika pakaian orang junub menjadi najis karena mani, apakah hukumnya jika tangan menyentuhnya ketika salah satu dari keduanya basah, dan bolehkah orang yang junub menyerahkan pakaiannya kepada orang lain untuk disucikan, dan apakah orang yang mengalami ihtilam (mimpi basah) harus memberitahu orang yang secara sukarela mencuci pakaian tersebut tentang kenajisannya?
JAWAB:
Mani najis hukumnya dan bila mengenai suatu benda dengan tingkat kebasahan yang dapat berpindah, maka menyebabkan kenajisannya. Dan tidak diharuskan memberitahukan kenajisan pakaian kepada yang mencucinya.
SOAL 278:
Setiap kali usai kencing saya melakukan istibra’, namun setelah itu keluar cairan yang beraromakan air mani. Saya mohon Anda berkenan menerangkan hukumnya berkenaan dengan shalat saya?
JAWAB:
Jika Anda belum meyakini bahwa itu mani dan ia tidak disertai dengan tanda-tanda syar’iy keluarnya mani, maka ia suci dan tidak diperlakukan secara hukum sebagai mani.
SOAL 279:
Apakah kotoran burung yang haram dimakan dagingnya, seperti burung gagak, elang dan kakak tua najis?
JAWAB:
Binatang yang halal dimakan dagingnya baik burung atau bukan kotorannya suci. Begitu juga kotoran burung yang haram dimakan dagingnya. .
SOAL 280:
Dalam beberapa risalah amaliyah disebutkan bahwa kotoran binatang dan burung yang dagingnya haram dimakan najis hukumnya. Apakah kotoran binatang yang boleh dimakan, seperti sapi, kambing, dan ayam najis ataukah tidak?
JAWAB:
Kotoran binatang yang halal dimakan suci hukumnya.
SOAL 281:
Jika terdapat benda najis di sudut-sudut kloset dalam wc atau di dalam kloset yang telah dibasuh tempatnya dengan air kur atau dengan air sedikit dan masih tersisa benda najis di dalamnya, apakah tempat yang kosong dari benda najis namun terkena air basuhan tersebut najis ataukah suci?
JAWAB:
Tempat yang tidak terkena oleh air yang najis yang bersambung dengan benda najis ditetapkan secara hukum sebagai suci.
SOAL 282:
Jika seorang tamu menajiskan salah satu benda tuan rumahnya, apakah wajib memberi tahu tuan rumah tentang najis itu?
JAWAB:
Tidak diharuskan memberitahukan hal itu pada selain makanan, minuman dan wadah-wadah makanan.
SOAL 283:
Apakah sesuatu yang bersentuhan dengan mutanajjis (benda yang terkena najis) dihukumi mutanajjis ataukah tidak? Jika dihukumi mutanajjis, apakah hal ini berlaku dalam semua perantara ataukah hanya pada perantara-perantara yang dekat saja?
JAWAB:
Yang bersentuhan dengan najis dihukumi najis karena bersentuhan. Begitu pula yang bersentuhan dengannya. Berdasarkan ahwath, yang bersentuhan dengan benda yang bersentuhan yang kedua juga najis. Adapun yang bersentuhan dengan benda yang bersentuhan yang ke tiga maka tidak dihukumi najis.
SOAL 284:
Bila mengenakan sepatu yang terbuat dari kulit hewan yang tidak disembelih, apakah selalu wajib membasuh kedua kaki sebelum berwudhu? Sebagian orang mengatakan, bahwa bila kaki berkeringat dalam sepatu wajib melakukan hal ini (mencuci kedua kaki). Saya memperhatikan bahwa kaki berkeringat dalam kadar yang berbeda-beda antara sedikit dan banyak dalam berbagai jenis sepatu. Apa pendapat Anda mengenai masalah ini?
JAWAB:
Jika dipastikan bahwa kaki berkeringat dalam sepatu tersebut, maka wajib mensucikan kedua kaki untuk melakukan shalat.
SOAL 285:
Apa hukum tangan anak yang basah, air liur dan sisa minumannya jika ia selalu menajiskan dirinya? Apa hukum anak yang meletakkan tangannya yang basah pada kakinya?
JAWAB:
Selama belum diperoleh keyakinan bahwa ia terkena najis, maka dihukumi suci.
SOAL 286:
Saya mengalami sakit gusi. Menurut pendapat dokter, saya harus selalu memijat-mijat gusi saya. Tindakan ini meyebabkan beberapa bagian gusi menghitam seakan-akan ada darah yang menggumpal di dalamnya. Ketika saya letakan tisu, warnanya berubah merah. Karena itulah saya mensucikan mulut saya dengan air kur. Hanya saja darah yang mengeras itu tetap ada dalam waktu yang cukup lama dan tidak hilang dengan dibasuh. Nah, setelah air kur tersebut terputus, apakah air yang masuk ke dalam mulut kemudian saya keluarkan dan melewati bagian darah yang menggumpal dibawah gusi itu dihukumi najis, ataukah ia termasuk ludah dan dihukumi suci?
JAWAB:
Dihukumi suci, meskipun, berdasarkan ahwath hendaknya dihindari.
SOAL 287:
Saya juga ingin bertanya, apakah makanan yang saya makan dan menyentuh bagian darah yang mengeras dalam gusi itu menjadi mutanajjis ataukah tidak? Jika dianggap mutanajjis, apakah ruang mulut tetap dianggap mutanajjis setelah menelan makanan?
JAWAB:
Makanan dalam contoh kasus yang ditanyakan diatas tidak dihukumi najis dan menelannya tidak dipermasalahkan (la isykal). Sedangkan ruang mulutnya suci.
SOAL 288:
Sejak beberapa waktu tersebar rumor bahwa bahan-bahan kosmetik najis. Dikatakan, bahwa mereka mengambil ari-ari janin bayi yang baru lahir dan menyimpannya dalam alat pendingin. Dikatakan juga bahwa mereka menyimpannya bersama janin yang telah mati untuk dibuat menjadi bahan-bahan kecantikan, seperti pemerah bibir. Bahan-bahan tersebut kadang kala kami gunakan, bahkan sebagian pemerah bibir dapat dimakan. Apakah ia najis?
JAWAB:
Rumor bukanlah hujjah (alasan) syar’iy atas kenajisan bahan-bahan kecantikan. Selama belum dipastikan kenajisannya dengan cara syar’iy yang mu’tabar (diakui), maka pemakaian bahan-bahan tersebut tidak dipermasalahkan (la isykal).
SOAL 289:
Dari setiap pakaian atau potongan kain berguguran rambut-rambut halus. Ketika mensucikan pakaian-pakaian kami menemukan rambut-rambut halus itu dalam timba. Jika timba tersebut penuh dengan air dan bersambung dengan air kran, maka air meluap ke samping setiap kami memasukkan pakaian ke dalamnya. Karena rambut-rambut halus itu ada dalam air yang keluar dari timba, saya berhati-berhati dengan menghindari air tersebut dan mensucikan semua tempat, atau ketika melepas pakaian bayi yang terkena najis, saya mensucikan tempat dimana saya melepaskan pakaian-pakaian itu, meskipun dalam keadaan kering, karena saya beranggapan bahwa rambut-rambut itu berjatuhan disana. Apakah berhati-hati dengan cara demikian perlu dilakukan?
JAWAB:
Air yang meluap ke samping-samping timba ketika bersambung dengan air kran, dan rambut-rambut halus yang terlepas dari pakaian dan mengapung di atas air, dalam kasus yang ditanyakan hukumnya suci. Apabila pakaian anak-anak yang terkena najis kering, maka tidak ada alasan bahwa tempat melepasnya menjadi najis karenanya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk berhati-hati dalam dua kasus yang disebutkan dalam pertanyaan.
SOAL 290:
Basah seukuran apakah yang menyebabkan perpindahan dari satu benda ke benda yang lain?
JAWAB:
Tolok ukur basah yang dapat berpindah adalah jika basah berpindah secara tampak jelas dari benda yang basah kepada benda lain ketika keduanya bersentuhan.
SOAL 291:
Apa hukum pakaian-pakaian yang diserahkan kepada penatu dari segi kesucian, mengingat sebagian penganut agama-agama kaum minoritas, seperti Yahudi, Nasrani dan lainnya juga mencucikan pakaiannya di tempat-tempat tersebut, dan bahwa para pemiliknya menggunakan bahan kimia dalam mencuci pakian?
JAWAB:
Jika pakaian yang yang diserahkan ke tempat-tempat pencucian dan pengeringan sebelumnya tidak najis maka dihukumi suci, dan bersentuhan dengan pakaian para penganut agama minoritas dari kalangan ahli kitab tidak menyebabkan kenajisan.
SOAL 292:
Apakah pakaian yang dicuci dengan mesin cuci di rumah yang bekerja seluruhnya secara otomatis suci ataukah tidak? Proses kerja alat tersebut sebagai berikut:
Tahap pertama ketika pakaian dicuci dengan bubuk deterjen, sebagian air dan busa deterjen cucian akan berhamburan mengenai kaca mesin cuci dan karet yang melingkarinya. Setelah itu, pada tahap kedua untuk menyedot air guna mencuci, busa deterjen akan menutupi pintu mesin secara penuh dan karet yang melingkarinya. Pada-tahap-tahap berikutnya, mesin ini mencuci pakaian sebanyak tiga kali dengan air sedikit, kemudian air cucian akan disedot keluar.
Kami mohon penjelasan apakah pakaian-pakaian yang telah dicuci dengan cara demikian suci ataukah tidak?
JAWAB:
Setelah benda najis (ainun- najasah) lenyap, jika air yang bersambung dengan kran sampai ke pakaian dan semua bagian dalam mesin kemudian terpisah darinya dan keluar, maka ia dihukumi suci.
SOAL 293:
Jika air dialirkan ke tanah atau kolam, atau kamar mandi yang digunakan untuk mencuci pakaian lalu percikannya mengenai pakaian, apakah ia menjadi mutanajjis ataukah tidak?
JAWAB:
Jika air dituang ke tempat yang suci atau tanah yang suci, maka percikan-percikannya juga suci. Dan jika kita ragu apakah tempat tersebut suci atau najis, percikannya pun dihukumi suci.
SOAL 294:
Apakah air yang mengalir di jalan-jalan yang berasal dari mobil-mobil pengangkut sampah Pemerintahan Daerah dan terkadang mengenai orang akibat angin kencang dihukumi suci ataukah najis?
JAWAB:
Ia dihukumi suci, kecuali apabila seseorang meyakini kenajisannya akibat bersentuhan dengan sesuatu yang najis.
SOAL 295:
Apakah air yang menggenang dalam lubang di jalan-jalan suci ataukah tidak?
JAWAB:
Air demikian dihukumi suci.
SOAL 296:
Apa hukum saling melakukan kunjungan keluarga bersama orang-orang yang tidak memperhatikan masalah-masalah kesucian dan kenajisan dalam makan dan minum dan sebagainya?.
JAWAB:
Secara umum berkenaan masalah kesucian dan najis di dalam hukum Islam, segala sesuatu yang tidak diyakini najis dalam pandangan syariat dihukumi suci. ?
SOAL 297:
Kami mohon Anda menjelaskan hukum syar’iy tentang suci atau najisnya muntah dalam beberapa masalah sebagai berikut:
A). Muntah bayi yang masih menyusu.
B). Muntah bayi yang masih menyusu dan mulai makan?
C). Muntah orang dewasa (balig) .
JAWAB:
Semua itu dihukumi suci.
SOAL 298:
Apa hukum sesuatu yang bersentuhan dengan benda yang diduga najis di antara beberapa subyek terbatas (asy-syubhah al-mahshurah)?
JAWAB:
Jika bersentuhan dengan sebagian dari subyek-subyeknya, maka hukum mutanajjis tidak berlaku atasnya.
SOAL 299:
Seseorang yang agamanya tidak diketahui, menjual makanan dan menyentuhnya dalam keadaan basah yang dapat berpindah. Apakah wajib menanyakan agamanya ataukah berlaku “asas kesucian (ashalatuth-thaharah)”, padahal kami tahu ia bukan penduduk negara Islam, namun hanyalah pekerja asing?
JAWAB:
Tidak wajib menayakan agamanya, dan “asas kesucian” berlaku atas orang tersebut dan benda-benda yang disentuh anggota tubuhnya secara langsung dalam keadaan basah.
SOAL 300:
Apa takilf orang yang rumahnya atau rumah kerabatnya ditinggali atau dikunjungi oleh seseorang yang tidak memperhatikan kesucian dan kenajisan sehingga rumah dan benda-benda di dalamnya menjadi najis sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibasuh atau disucikan? Dalam kondisi demikian bagaimana seseorang bisa tetap suci terutama dalam shalat yang disyaratkan suci agar sah? Apa hukum masalah ini?
JAWAB:
Tidak diharuskan mensucikan seluruh rumah. Cukup untuk sahnya shalat apabila pakaian dan tempat dahi dalam sujud suci. Rumah dan perabotnya yang najis tidak menimbulkan taklif lebih dari menjaga kesucian dalam shalat, makan dan minum.
Marcadores:
Fikih,
Kajian islam,
Najis
18:44:00
MENURUT ULAMA SUNNI SUJUD PADA NAJIS DAN KOTORAN YANG KERING DIBOLEHKAN.
Ramai ulama sunni menerima penterjemahan perundangan yang bertentangan
dengan arahan yang jelas dari al-Quran, dan bahkan mereka berikan
terjemahan yang lemah pada perundangan yang jelas. Ahli perundangan kami
berikan pendapat yang sebaliknya. Kamu masih tidak mengatakan amalan
mereka sebagai kafir. Tetapi pada amalan kami pada sujud, kami
melaungkan bantahan, dengan mengatakan shia menyembah berhala, sedang
kamu abaikan kenyataan ulama kamu bahawa sujud pada najis yang kering
dibolehkan.
Silahkan bagi anda yang sunni mau diskusi?????
Marcadores:
Fikih,
Kajian islam,
Najis,
Sujud,
Tanah
20:56:00
Oleh: Ayatullah Al Uzhma Sistani.
Masalah 84: Benda-benda najis adalah sepuluh macam: (1) air kencing, (2) air besar, (3) air sperma, (4) bangkai, (5) darah, (6) anjing, (7) babi, (8) orang kafir, (9) minuman keras, dan (10) keringat binatang pemakan najis.
(1 – 2) Air Kencing dan Air Besar
Masalah 85: Air kencing dan kotoran setiap manusia dan binatang yang berdaging haram serta memiliki darah memancar; yaitu, apabila urat binatang ini dipotong, darahnya akan keluar memancar, adalah najis. Kotoran binatang berdaging haram yang tidak memiliki darah memancar, seperti ikan berdaging haram, dan begitu juga kotoran binatang-binatang kecil yang tidak memiliki daging, seperti nyamuk dan lalat, adalah suci. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath wajib, kita harus menghindari air kencing binatang berdaging haram yang tidak memiliki darah memancar.
Masalah 86: Air kencing dan kotoran burung yang berdaging haram adalah suci, dan yang lebih baik adalah hendaknya kita menghindarinya.
Masalah 87: Air kencing dan kotoran binatang pemakan najis adalah najis. Begitu juga halnya air kencing dan kotoran anak kambing yang (tumbuh dengan) meminum air susu babi—sesuai dengan penjelasan yang akan dipaparkan pada pembasahan makanan dan minuman nanti—dan binatang berkaki empat yang pernah disetubuhi oleh manusia.
(3) Air Sperma
Masalah 88: Air sperma manusia dan setiap binatang berdaging haram yang memiliki darah memancar adalah najis. Dan berdasarkan ihtiyath wajib, air sperma binatang berdaging halal yang memiliki darah memancar harus dihindari.
(4) Bangkai
Masalah 89: Bangkai manusia dan binatang yang memiliki darah memancar adalah najis, baik ia mati dengan sendirinya atau disembelih tidak sesuai dengan ketentuan syariat. Bangkai ikan adalah suci meskipun ia mati (dengan sendirinya) di dalam air, karena ikan tidak memiliki darah memancar.
Masalah 90: Seluruh anggota tubuh bangkai yang tidak memiliki roh, seperti bulu, rambut, tulang, dan gigi adalah suci.
Masalah 91: Jika kita memotong sebagian daging tubuh seseorang atau seekor binatang yang memiliki darah memancar atau bagian tubuh lainnya yang memiliki roh pada saat ia masih hidup, maka potongan bagian tubuh itu adalah najis.
Masalah 92: Jika kita mengelupas kulit tipis bibir dan bagian tubuh yang lain, maka kulit yang sudah terkelupas itu adalah suci, asalkan tidak memiliki roh dan terkelupas dengan mudah.
Masalah 93: Telur yang keluar dari perut seekor ayam yang telah mati adalah suci, meskipun kulit luarnya belum mengeras. Akan tetapi, bagian luarnya harus diuci dengan air.
Masalah 94: Jika seekor anak kambing mati sebelum menjadi hewan pemakan rerumputan, maka abomasum (bahan dasar penggumpal keju—pen.) yang terdapat di dalam kantong susunya (lambung paling ujung sebelah usus halus—pen.) adalah suci.
Masalah 95: Obat-obatan cair, minyak wangi, minyak goreng, semir sepatu, dan sabun yang diimpor dari luar negeri adalah suci, jika kita tidak yakin dengan kenajisannya.
Masalah 96: Daging, lemak, dan kulit yang dimungkinkan berasal dari hewan yang telah disembelih berdasarkan ketentuan syariat adalah suci. Akan tetapi, jika daging, lemak, dan kulit tersebut diambil dari tangan seorang kafir atau berada di tangan seorang muslim yang telah menerimanya dari seorang kafir dan ia tidak meneliti sebelumnya apakah hewan tersebut telah disembelih berdasarkan ketentuan syariat atau tidak, maka daging dan lemak tersebut haram dimakan. Hanya saja, diperbolehkan kita mengerjakan shalat dengan menggunakan kulit itu. Adapun apabila barang-barang itu diambil dari pasar muslimin atau dari seorang muslim dan tidak diketahui apakah ia telah menerimanya dari seorang kafir atau dimungkinkan ia telah mengadakan penelitian terlebih dahulu sebelum menerimanya dari orang kafir tersebut, maka diperbolehkan kita memakan daging dan lemak tersebut, dengan syarat orang muslim itu melakukan sebuah tindakan berkenaan dengan daging dan lemak tersebut yang hanya dilakukan berkenaan dengan daging-daging yang halal, seperti ia menjualnya untuk dikonsumsi.
(5) Darah
Masalah 97: Darah manusia dan setiap binatang yang memiliki darah memancar ketika uratnya dipotong adalah najis. Dengan demikian, darah hewan yang tidak memiliki darah memancar, seperti ikan dan nyamuk, adalah suci.
Masalah 98: Jika binatang yang berdaging halal disembelih sesuai dengan ketentuan syariat dan darahnya telah keluar dari tubuhnya sesuai dengan kadar yang semestinya, maka darah yang tersisa di dalam tubuhnya adalah suci. Akan tetapi, jika darahnya masuk kembali ke tubuhnya karena tarikan napas atau bagian kepalanya terletak di tempat yang lebih tinggi, maka darah tersebut adalah najis.
Masalah 99: Berdasarkan ihtiyath mustahab, kita hendaknya menghindari (baca: tidak memakan) telur yang setitik darah terdapat di dalamnya. Jika darah tersebut terdapat di dalam kuning telur, maka bagian putih telur—tanpa isykal—adalah suci, selama kulit tipis yang mengelilingi kuning telur tersebut belum robek.
Masalah 100: Darah yang kadang-kadang keluar ketika kita sedang memerah air susu adalah najis dan menajiskan air susu tersebut.
Masalah 101: Jika darah yang keluar dari sela-sela gigi telah hilang setelah bercampur dengan air ludah, maka tidak wajib kita menghindari air ludah tersebut.
Masalah 102: Jika darah yang tersimpan di bawah kuku atau kulit akibat terbentur benda keras telah mati dan tidak lagi dinamakan darah, maka darah tersebut adalah suci, dan jika masih dinamakan darah serta nampak keluar, maka darah itu adalah najis. Atas dasar ini, apabila kuku atau kulit itu terkelupas sehingga darah itu menjadi bagian luar badan, lalu membersihkan darah tersebut dan menyucikan tempatnya untuk berwudhu atau mandi (wajib) menimbulkan kesulitan yang sangat menyusahkan (masyaqqah), maka kita harus bertayamum.
Masalah 103: Jika kita tidak mengetahui apakah yang berada di bawah kuku itu adalah darah yang sudah mengering atau daging yang berbentuk seperti darah mengering karena terbentur dengan benda keras, maka ia adalah suci.
Masalah 104: Jika setetes darah jatuh ke dalam makanan yang sedang mendidih, maka seluruh makanan dan bejananya—berdasarkan ihtiyath wajib—adalah najis. Mendidih, panas, dan api tidak dapat menyucikannya.
Masalah 105: Nanah yang berada di sekeliling luka yang hampir sembuh adalah suci jika tidak diketahui nanah itu telah bercampur dengan darah.
(6 – 7) Anjing dan Babi
Masalah 106: Anjing dan babi yang hidup di daratan adalah najis termasuk bulu, tulang, cakar, kuku, dan cairan (yang keluar) darinya. Akan tetapi, anjing dan babi laut adalah suci.
(8) Orang Kafir
Masalah 107: Orang yang tidak mengakui Allah atau kemahaesaan-Nya, begitu juga kaum Ghulat (yaitu mereka yang menganggap salah seorang imam mas‘hum as sebagai Allah atau meyakini bahwa Allah melakukan reinkarnasi di dalam dirinya), Khawarij, dan Nawashib (yaitu mereka yang menampakkan permusuhan terhadap para imam mas‘hum as) adalah najis. Begitu juga, orang yang mengingkari kenabian atau salah satu ajaran agama yang dharuri (gamblang wajibnya, seperti shalat dan puasa) sekiranya pengingkaran itu berkonsekuensi pembohongan terhadap Rasulullah saw, walaupun secara global. Adapun ahlulkitab (yaitu, para pengikut agama Yahudi, Kristen, dan Majusi) yang tidak menerima kenabian pamungkas para nabi, Muhammad bin Abdillah saw, mereka—berdasarkan pendapat masyhur—adalah najis. Akan tetapi, menghukumi kesucian mereka tidaklah jauh (dari kebenaran), meskipun menghindari (baca: tidak menyentuh tubuh mereka) adalah lebih baik.
Masalah 108: Seluruh tubuh orang kafir termasuk rambut, kuku, dan semua cairan (yang keluar) darinya adalah najis.
Masalah 109: Jika orang tua, kakek, dan nenek seorang anak kecil yang belum balig adalah kafir, maka anak kecil itu juga najis, kecuali apabila ia sudah mumayiz dan menampakkan keisalaman. Dalam kondisi seperti ini, anak kecil itu adalah suci. Jika ia berpaling dari kedua orang tuanya dan lebih memiliki kecenderungan kepada muslimin atau sedang mengadakan penelitian, menghukumi kenajisannya adalah musykil. Jika salah satu dari kedua orang tua, kakek, dan neneknya adalah muslim—sesuai dengan perincian yang akan dijelaskan pada masalah 217, maka anak kecil itu adalah suci.
Masalah 110: Seseorang yang tidak diketahui identitasnya apakah ia adalah seorang muslim atau bukan dan juga tidak ada tanda-tanda tentang keislamannya adalah suci. Akan tetapi, ia tidak memiliki hukum-hukum muslimin yang lain. Misal, ia tidak boleh menikah dengan seorang wanita muslimah atau dikubur di pekuburan muslimin.
Masalah 111: Seseorang yang mencaci-maki salah seorang dari dua belas imam as lantaran ia memusuhi beliau adalah najis.
(9) Minuman Keras
Masalah 112: Minuman keras adalah najis, dan berdasarkan ihtiyath mustahab, segala benda yang dapat memabukkan juga najis apabila benda itu berbentuk cair dengan sendirinya (baca: dari asalnya). Jika benda tersebut tidak cair (dari asalnya), seperti mariyuana, maka benda itu tidak najis, meskipun telah dicampur dengan sebuah cairan supaya ia menjadi cair.
Masalah 113: Seluruh jenis alkohol buatan yang banyak digunakan untuk mengecat pintu, jendela, kursi, dan lain-lainnya adalah suci.
Masalah 114: Anggur dan air anggur yang mendidih dengan sendirinya atau dimasak adalah suci. Akan tetapi, air anggur yang telah mendidih tersebut haram untuk diminum. Begitu juga, berdasarkan ihtiyath wajib, haram memakan anggur yang sudah mendidih itu.
Masalah 115: Kurma dan raisin (kismis) serta air (perasan)nya adalah suci dan halal untuk dimakan, meskipun telah mendidih.
Masalah 116: Fuqo‘—yaitu minuman yang terbuat dari jou (biji-bijian semacam padi yang banyak ditemukan di Timur Tengah—pen.) dan menyebabkan sedikit kemabukan adalah haram dan—berdasarkan ihtiyath wajib—adalah najis. Akan tetapi, minuman jou yang tidak menyebabkan kemabukan sedikit pun adalah suci dan halal.
(10) Keringat Binatang Pemakan Najis
Masalah 117: Keringat unta yang sudah terbiasa memakan kotoran manusia adalah najis. Begitu juga halnya—berdasarkan ihtiyath wajib—keringat binatang lain selain unta yang sudah terbiasa memakan kotoran manusia.
Masalah 118: Keringat orang yang junub secara haram adalah suci. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab ia tidak boleh mengerjakan shalat dengan keringat tersebut. Melakukan hubungan badan dengan istri ketika ia sedang mengalami menstruasi—asalkan suami tahu kondisi istrinya tersebut—memiliki hukum junub secara haram.
Masalah 119: Jika seseorang melakukan hubungan badan dengan istrinya pada waktu-waktu yang diharamkan, seperti pada siang hari di bulan Ramadhan, keringatnya tidak memiliki hukum keringat orang yang junub secara haram.
Masalah 120: Jika seseorang yang junub secara haram melakukan tayamum sebagai ganti dari mandi wajib dan berkeringat setelah melakukan tayamun, keringat tersebut memiliki hukum keringat sebelum ia bertayamum.
Masalah 121: Jika seseorang junub secara haram, kemudian melakukan hubungan badan dengan istrinya sendiri, berdasarkan ihtiyath mustahab ia harus menghindari (baca: membersihkan) keringatnya ketika hendak mengerjakan shalat. Akan tetapi, jika pada kali pertama ia melakukan hubungan badan dengan istrinya sendiri, dan kemudian melakukan sesuatu yang haram (hingga ia mengalami janabah), maka keringatnya tidak memiliki hukum keringat orang yang junub secara haram.
Cara Mengetahui Kenajisan Sebuah Benda
Masalah 127: Kenajisan sebuah benda dapat diketahui melalui tiga cara:
Pertama, kita sendiri yakin atau memiliki kemantapan hati bahwa benda itu adalah najis. Jika kita hanya menyangka bahwa benda itu adalah najis, maka tidak wajib kita menghindarinya. Atas dasar ini, tidak ada masalah kita makan di warung-warung kopi dan restoran-restoran yang biasa digunakan oleh orang-orang yang sembrono dan tidak memperhatikan masalah kesucian dan kenajisan untuk makan selama hati kita tidak mantap bahwa makanan yang disuguhkan untuk kita itu adalah najis.
Kedua, pemilik dan pengurus sebuah barang mengatakan bahwa benda itu adalah najis, dan ia bukanlah orang yang tertuduh. Contoh, istri atau pembantu seseorang mengatakan bahwa bejana atau benda lain yang berada di bawah pengawasannya adalah najis.
Ketiga, dua orang laki-laki yang adil mengatakan bahwa benda itu adalah najis, dengan syarat mereka menegaskan sebab kenajisan benda tersebut. Seperti, mereka mangatakan bahwa benda itu telah menyentuh darah atau air kencing. Jika hanya satu orang adil yang memberitahukan tentang kenajisan benda itu, maka berdasarkan ihtiyath wajib benda itu harus dihindari.
Masalah 123: Jika—karena tidak tahu masalah (hukum)—kita tidak mengetahui kenajisan dan kesucian suatu benda, seperti kita tidak tahu apakah kotoran tikus adalah suci atau tidak, maka kita harus bertanya tentang masalah itu. Akan tetapi, jika kita mengetahui masalah (hukum) dan ragu apakah suatu benda adalah suci atau tidak, seperti kita tidak tahu apakah benda itu adalah darah atau bukan, darah nyamuk atau darah manusia, maka benda tersebut adalah suci, dan tidak wajib kita meneliti atau bertanya.
Masalah 124: Jika kita ragu terhadap suatu barang yang terkena benda najis apakah sudah suci atau belum, maka barang tersebut adalah najis, dan jika kita ragu terhadap suatu barang yang suci apakah sudah najis atau tidak, maka barang itu adalah suci. Seandainya kita mampu untuk mengetahui kenajisan atau kesuciannya, tidak wajib kita menelitinya.
Masalah 125: Jika kita tahu bahwa salah satu dari dua bejana atau baju yang masih kita gunakan sudah najis dan kita tidak mengetahui bejana atau baju yang mana, maka kita harus menghindari keduanya. Akan tetapi, seandainya kita tidak mengetahui apakah baju kita sendiri yang sudah najis atau baju yang berada di luar kekuasaan kita dan milik orang lain, maka tidak wajib kita menghindari baju kita sendiri itu.
Bagaimana Sesuatu yang Suci Bisa Menjadi Najis?
Masalah 126: Jika suatu barang yang suci menyentuh suatu barang yang terkena najis dan keduanya atau salah satunya adalah basah sekiranya kebasahannya itu berpindah kepada yang lain, maka barang yang suci tersebut menjadi najis. Bagitu juga, jika barang yang terkena benda najis itu—dalam kondisi basah—menyentuh barang ketiga, maka barang tersebut dapat menajiskan barang ketiga itu. Masyhur berpendapat bahwa suatu barang yang terkena benda najis dapat menajiskan secara mutlak. Akan tetapi, hukum ini—dengan banyaknya perantara barang yang menyentuh barang yang terkena benda najis tersebut—adalah isykal. Bahkan, menghukumi kesucian barang tersebut bisa dikuatkan. Misal, jika tangan kanan kita menjadi najis karena terkena air kencing, dan lalu tangan kanan ini—dengan kebasahan yang baru—menyentuh tangan kiri kita, persentuhan ini menyebabkan tangan kiri kita itu juga menjadi najis. Jika tangan kiri ini—setelah kering—menyentuh pakaian yang masih basah, maka pakaian itu juga menjadi najis. Akan tetapi, jika pakaian ini—dalam kondisi basah—menyentuh barang lain, maka barang ini tidak dihukumi najis.
Jika kebasahan barang tersebut sangat sedikit sehingga tidak berpindah kepada barang yang lain, maka barang yang suci itu tidak menjadi najis, meskipun barang itu menyentuh benda najis secara langsung.
Masalah 127: Jika suatu barang yang suci menyentuh barang yang terkena benda najis dan kita ragu apakah keduanya atau salah satunya adalah basah atau tidak, maka barang yang suci itu tidak menjadi najis.
Masalah 128: Jika suatu benda yang suci—dalam kondisi basah—menyentuh salah satu dari dua barang yang kita tidak mengetahui mana yang najis dan mana yang suci, maka tidak wajib kita menghindari benda yang suci tersebut (baca: boleh menggunakannya), kecuali dalam beberapa kondisi. Seperti, ketika kondisi yang lalu bagi kedua barang itu adalah kenajisan atau suatu benda suci yang lain—dalam kondisi basah—juga menyentuh benda kedua tersebut.
Masalah 129: Jika benda najis jatuh ke atas tanah, kain, dan barang-barang semisalnya yang basah, maka hanya setiap bagian yang kejatuhan benda najis adalah najis dan bagian lainnya adalah suci. Begitu juga halnya berkenaan dengan timun, melon, dan barang-barang sejenisnya.
Masalah 130: Jika perasan anggur atau kurma, minyak goreng, dan barang-barang sejenisnya berbentuk cair dan tidak kental sehingga ketika kita menciduk sebagiannya, bekas cidukan itu langsung penuh lagi, dalam hal ini apabila salah satu bagiannya menjadi najis, maka seluruh bagiannya menjadi najis pula. Akan tetapi, jika benda-benda itu kental sehingga bekas cidukan itu tidak langsung penuh—meskipun bekas cidukan itu akan penuh juga setelah itu, maka hanyalah bagian yang kejatuhan najis saja yang menjadi najis. Oleh karena itu, jika kotoran tikus jatus ke dalamnya, hanya bagian yang kejatuhan kotoran itu menjadi najis dan selebihnya adalah suci.
Masalah 131: Jika lalat atau binatang yang sejenisnya hinggap di atas sebuah benda najis yang basah dan kemudian hinggap di atas benda suci yang basah pula, maka benda suci itu menjadi najis jika kita mengetahui ada bagian benda najis yang lengket bersamanya. Jika kita tidak mengetahui hal itu, maka benda itu adalah suci.
Masalah 132: Jika salah satu titik tubuh yang berkeringat adalah najis dan keringat itu mengalir ke titik-titik tubuh yang lain, maka seluruh titik tubuh yang dialiri oleh keringat tersebut adalah najis. Dan jika keringat tersebut tidak mengalir ke bagian tubuh yang lain, maka bagian lain tubuh tersebut tidak najis.
Masalah 133: Jika lendir yang berada di hidung atau mulut keluar dengan disertai darah, maka hanya bagian yang terdapat darah adalah najis dan bagian lainnya adalah suci. Oleh karena itu, jika lendir tersebut menyentuh bagian luar mulut atau hidung, hanya bagian yang kita yakin bagian lendir yang najis telah menyentuhnya adalah najis. Sementara, bagian (mulut dan hidung) yang kita ragu apakah bagian lendir yang najis itu telah menyentuhnya atau tidak adalah suci.
Masalah 134: Jika gayung[1] berlubang di bagian bawahnya dan kita letakkan di atas tanah yang najis, maka seluruh air yang ada di dalamnya adalah najis apabila air yang (yang ada di dalamnya) berhenti mengalir keluar dan berkumpul di bawahnya, serta dihitung satu air dengan air yang masih tersisa di dalam air gayung itu. Dan jika air tersebut mengalir keluar dari (bawah) gayung dengan tekanan, maka air (yang masih tersisa di dalamnya) tidak najis.
Masalah 135: Jika sesuatu dimasukkan ke dalam tubuh dan menyentuh benda najis, maka sesuatu itu adalah suci jika ketika dikeluarkan tidak berlumuran najis. Oleh karena itu, jika alat peralatan injeksi atau airnya dimasukkan melalui anus, atau jarum, pisau, dan barang-barang sejenisnya dimasukkan ke dalam tubuh, maka semua alat itu tidak najis apabila tidak berlumuran najis ketika dikeluarkan. Begitu juga halnya berkenaan dengan air ludah dan ingus yang menyentuh darah ketika masih berada di dalam rongga mulut dan hidung, dan ketika dikeluarkan, ia tidak disertai darah.
Catatan Kaki:
[1] Dalam buku aslinya disebutkan aftabeh. Aftabeh adalah sebuah alat semacam kendi terbuat dari plastik dan di Iran digunakan untuk menuangkan air ketika kita ingin bersuci setelah buang hajat. Padanan katanya yang dapat kita bayangkan di Indonesia kira-kira adalah gayung—pen.
Pasal IV - Benda-benda Najis
Oleh: Ayatullah Al Uzhma Sistani.
Masalah 84: Benda-benda najis adalah sepuluh macam: (1) air kencing, (2) air besar, (3) air sperma, (4) bangkai, (5) darah, (6) anjing, (7) babi, (8) orang kafir, (9) minuman keras, dan (10) keringat binatang pemakan najis.
(1 – 2) Air Kencing dan Air Besar
Masalah 85: Air kencing dan kotoran setiap manusia dan binatang yang berdaging haram serta memiliki darah memancar; yaitu, apabila urat binatang ini dipotong, darahnya akan keluar memancar, adalah najis. Kotoran binatang berdaging haram yang tidak memiliki darah memancar, seperti ikan berdaging haram, dan begitu juga kotoran binatang-binatang kecil yang tidak memiliki daging, seperti nyamuk dan lalat, adalah suci. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath wajib, kita harus menghindari air kencing binatang berdaging haram yang tidak memiliki darah memancar.
Masalah 86: Air kencing dan kotoran burung yang berdaging haram adalah suci, dan yang lebih baik adalah hendaknya kita menghindarinya.
Masalah 87: Air kencing dan kotoran binatang pemakan najis adalah najis. Begitu juga halnya air kencing dan kotoran anak kambing yang (tumbuh dengan) meminum air susu babi—sesuai dengan penjelasan yang akan dipaparkan pada pembasahan makanan dan minuman nanti—dan binatang berkaki empat yang pernah disetubuhi oleh manusia.
(3) Air Sperma
Masalah 88: Air sperma manusia dan setiap binatang berdaging haram yang memiliki darah memancar adalah najis. Dan berdasarkan ihtiyath wajib, air sperma binatang berdaging halal yang memiliki darah memancar harus dihindari.
(4) Bangkai
Masalah 89: Bangkai manusia dan binatang yang memiliki darah memancar adalah najis, baik ia mati dengan sendirinya atau disembelih tidak sesuai dengan ketentuan syariat. Bangkai ikan adalah suci meskipun ia mati (dengan sendirinya) di dalam air, karena ikan tidak memiliki darah memancar.
Masalah 90: Seluruh anggota tubuh bangkai yang tidak memiliki roh, seperti bulu, rambut, tulang, dan gigi adalah suci.
Masalah 91: Jika kita memotong sebagian daging tubuh seseorang atau seekor binatang yang memiliki darah memancar atau bagian tubuh lainnya yang memiliki roh pada saat ia masih hidup, maka potongan bagian tubuh itu adalah najis.
Masalah 92: Jika kita mengelupas kulit tipis bibir dan bagian tubuh yang lain, maka kulit yang sudah terkelupas itu adalah suci, asalkan tidak memiliki roh dan terkelupas dengan mudah.
Masalah 93: Telur yang keluar dari perut seekor ayam yang telah mati adalah suci, meskipun kulit luarnya belum mengeras. Akan tetapi, bagian luarnya harus diuci dengan air.
Masalah 94: Jika seekor anak kambing mati sebelum menjadi hewan pemakan rerumputan, maka abomasum (bahan dasar penggumpal keju—pen.) yang terdapat di dalam kantong susunya (lambung paling ujung sebelah usus halus—pen.) adalah suci.
Masalah 95: Obat-obatan cair, minyak wangi, minyak goreng, semir sepatu, dan sabun yang diimpor dari luar negeri adalah suci, jika kita tidak yakin dengan kenajisannya.
Masalah 96: Daging, lemak, dan kulit yang dimungkinkan berasal dari hewan yang telah disembelih berdasarkan ketentuan syariat adalah suci. Akan tetapi, jika daging, lemak, dan kulit tersebut diambil dari tangan seorang kafir atau berada di tangan seorang muslim yang telah menerimanya dari seorang kafir dan ia tidak meneliti sebelumnya apakah hewan tersebut telah disembelih berdasarkan ketentuan syariat atau tidak, maka daging dan lemak tersebut haram dimakan. Hanya saja, diperbolehkan kita mengerjakan shalat dengan menggunakan kulit itu. Adapun apabila barang-barang itu diambil dari pasar muslimin atau dari seorang muslim dan tidak diketahui apakah ia telah menerimanya dari seorang kafir atau dimungkinkan ia telah mengadakan penelitian terlebih dahulu sebelum menerimanya dari orang kafir tersebut, maka diperbolehkan kita memakan daging dan lemak tersebut, dengan syarat orang muslim itu melakukan sebuah tindakan berkenaan dengan daging dan lemak tersebut yang hanya dilakukan berkenaan dengan daging-daging yang halal, seperti ia menjualnya untuk dikonsumsi.
(5) Darah
Masalah 97: Darah manusia dan setiap binatang yang memiliki darah memancar ketika uratnya dipotong adalah najis. Dengan demikian, darah hewan yang tidak memiliki darah memancar, seperti ikan dan nyamuk, adalah suci.
Masalah 98: Jika binatang yang berdaging halal disembelih sesuai dengan ketentuan syariat dan darahnya telah keluar dari tubuhnya sesuai dengan kadar yang semestinya, maka darah yang tersisa di dalam tubuhnya adalah suci. Akan tetapi, jika darahnya masuk kembali ke tubuhnya karena tarikan napas atau bagian kepalanya terletak di tempat yang lebih tinggi, maka darah tersebut adalah najis.
Masalah 99: Berdasarkan ihtiyath mustahab, kita hendaknya menghindari (baca: tidak memakan) telur yang setitik darah terdapat di dalamnya. Jika darah tersebut terdapat di dalam kuning telur, maka bagian putih telur—tanpa isykal—adalah suci, selama kulit tipis yang mengelilingi kuning telur tersebut belum robek.
Masalah 100: Darah yang kadang-kadang keluar ketika kita sedang memerah air susu adalah najis dan menajiskan air susu tersebut.
Masalah 101: Jika darah yang keluar dari sela-sela gigi telah hilang setelah bercampur dengan air ludah, maka tidak wajib kita menghindari air ludah tersebut.
Masalah 102: Jika darah yang tersimpan di bawah kuku atau kulit akibat terbentur benda keras telah mati dan tidak lagi dinamakan darah, maka darah tersebut adalah suci, dan jika masih dinamakan darah serta nampak keluar, maka darah itu adalah najis. Atas dasar ini, apabila kuku atau kulit itu terkelupas sehingga darah itu menjadi bagian luar badan, lalu membersihkan darah tersebut dan menyucikan tempatnya untuk berwudhu atau mandi (wajib) menimbulkan kesulitan yang sangat menyusahkan (masyaqqah), maka kita harus bertayamum.
Masalah 103: Jika kita tidak mengetahui apakah yang berada di bawah kuku itu adalah darah yang sudah mengering atau daging yang berbentuk seperti darah mengering karena terbentur dengan benda keras, maka ia adalah suci.
Masalah 104: Jika setetes darah jatuh ke dalam makanan yang sedang mendidih, maka seluruh makanan dan bejananya—berdasarkan ihtiyath wajib—adalah najis. Mendidih, panas, dan api tidak dapat menyucikannya.
Masalah 105: Nanah yang berada di sekeliling luka yang hampir sembuh adalah suci jika tidak diketahui nanah itu telah bercampur dengan darah.
(6 – 7) Anjing dan Babi
Masalah 106: Anjing dan babi yang hidup di daratan adalah najis termasuk bulu, tulang, cakar, kuku, dan cairan (yang keluar) darinya. Akan tetapi, anjing dan babi laut adalah suci.
(8) Orang Kafir
Masalah 107: Orang yang tidak mengakui Allah atau kemahaesaan-Nya, begitu juga kaum Ghulat (yaitu mereka yang menganggap salah seorang imam mas‘hum as sebagai Allah atau meyakini bahwa Allah melakukan reinkarnasi di dalam dirinya), Khawarij, dan Nawashib (yaitu mereka yang menampakkan permusuhan terhadap para imam mas‘hum as) adalah najis. Begitu juga, orang yang mengingkari kenabian atau salah satu ajaran agama yang dharuri (gamblang wajibnya, seperti shalat dan puasa) sekiranya pengingkaran itu berkonsekuensi pembohongan terhadap Rasulullah saw, walaupun secara global. Adapun ahlulkitab (yaitu, para pengikut agama Yahudi, Kristen, dan Majusi) yang tidak menerima kenabian pamungkas para nabi, Muhammad bin Abdillah saw, mereka—berdasarkan pendapat masyhur—adalah najis. Akan tetapi, menghukumi kesucian mereka tidaklah jauh (dari kebenaran), meskipun menghindari (baca: tidak menyentuh tubuh mereka) adalah lebih baik.
Masalah 108: Seluruh tubuh orang kafir termasuk rambut, kuku, dan semua cairan (yang keluar) darinya adalah najis.
Masalah 109: Jika orang tua, kakek, dan nenek seorang anak kecil yang belum balig adalah kafir, maka anak kecil itu juga najis, kecuali apabila ia sudah mumayiz dan menampakkan keisalaman. Dalam kondisi seperti ini, anak kecil itu adalah suci. Jika ia berpaling dari kedua orang tuanya dan lebih memiliki kecenderungan kepada muslimin atau sedang mengadakan penelitian, menghukumi kenajisannya adalah musykil. Jika salah satu dari kedua orang tua, kakek, dan neneknya adalah muslim—sesuai dengan perincian yang akan dijelaskan pada masalah 217, maka anak kecil itu adalah suci.
Masalah 110: Seseorang yang tidak diketahui identitasnya apakah ia adalah seorang muslim atau bukan dan juga tidak ada tanda-tanda tentang keislamannya adalah suci. Akan tetapi, ia tidak memiliki hukum-hukum muslimin yang lain. Misal, ia tidak boleh menikah dengan seorang wanita muslimah atau dikubur di pekuburan muslimin.
Masalah 111: Seseorang yang mencaci-maki salah seorang dari dua belas imam as lantaran ia memusuhi beliau adalah najis.
(9) Minuman Keras
Masalah 112: Minuman keras adalah najis, dan berdasarkan ihtiyath mustahab, segala benda yang dapat memabukkan juga najis apabila benda itu berbentuk cair dengan sendirinya (baca: dari asalnya). Jika benda tersebut tidak cair (dari asalnya), seperti mariyuana, maka benda itu tidak najis, meskipun telah dicampur dengan sebuah cairan supaya ia menjadi cair.
Masalah 113: Seluruh jenis alkohol buatan yang banyak digunakan untuk mengecat pintu, jendela, kursi, dan lain-lainnya adalah suci.
Masalah 114: Anggur dan air anggur yang mendidih dengan sendirinya atau dimasak adalah suci. Akan tetapi, air anggur yang telah mendidih tersebut haram untuk diminum. Begitu juga, berdasarkan ihtiyath wajib, haram memakan anggur yang sudah mendidih itu.
Masalah 115: Kurma dan raisin (kismis) serta air (perasan)nya adalah suci dan halal untuk dimakan, meskipun telah mendidih.
Masalah 116: Fuqo‘—yaitu minuman yang terbuat dari jou (biji-bijian semacam padi yang banyak ditemukan di Timur Tengah—pen.) dan menyebabkan sedikit kemabukan adalah haram dan—berdasarkan ihtiyath wajib—adalah najis. Akan tetapi, minuman jou yang tidak menyebabkan kemabukan sedikit pun adalah suci dan halal.
(10) Keringat Binatang Pemakan Najis
Masalah 117: Keringat unta yang sudah terbiasa memakan kotoran manusia adalah najis. Begitu juga halnya—berdasarkan ihtiyath wajib—keringat binatang lain selain unta yang sudah terbiasa memakan kotoran manusia.
Masalah 118: Keringat orang yang junub secara haram adalah suci. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab ia tidak boleh mengerjakan shalat dengan keringat tersebut. Melakukan hubungan badan dengan istri ketika ia sedang mengalami menstruasi—asalkan suami tahu kondisi istrinya tersebut—memiliki hukum junub secara haram.
Masalah 119: Jika seseorang melakukan hubungan badan dengan istrinya pada waktu-waktu yang diharamkan, seperti pada siang hari di bulan Ramadhan, keringatnya tidak memiliki hukum keringat orang yang junub secara haram.
Masalah 120: Jika seseorang yang junub secara haram melakukan tayamum sebagai ganti dari mandi wajib dan berkeringat setelah melakukan tayamun, keringat tersebut memiliki hukum keringat sebelum ia bertayamum.
Masalah 121: Jika seseorang junub secara haram, kemudian melakukan hubungan badan dengan istrinya sendiri, berdasarkan ihtiyath mustahab ia harus menghindari (baca: membersihkan) keringatnya ketika hendak mengerjakan shalat. Akan tetapi, jika pada kali pertama ia melakukan hubungan badan dengan istrinya sendiri, dan kemudian melakukan sesuatu yang haram (hingga ia mengalami janabah), maka keringatnya tidak memiliki hukum keringat orang yang junub secara haram.
Cara Mengetahui Kenajisan Sebuah Benda
Masalah 127: Kenajisan sebuah benda dapat diketahui melalui tiga cara:
Pertama, kita sendiri yakin atau memiliki kemantapan hati bahwa benda itu adalah najis. Jika kita hanya menyangka bahwa benda itu adalah najis, maka tidak wajib kita menghindarinya. Atas dasar ini, tidak ada masalah kita makan di warung-warung kopi dan restoran-restoran yang biasa digunakan oleh orang-orang yang sembrono dan tidak memperhatikan masalah kesucian dan kenajisan untuk makan selama hati kita tidak mantap bahwa makanan yang disuguhkan untuk kita itu adalah najis.
Kedua, pemilik dan pengurus sebuah barang mengatakan bahwa benda itu adalah najis, dan ia bukanlah orang yang tertuduh. Contoh, istri atau pembantu seseorang mengatakan bahwa bejana atau benda lain yang berada di bawah pengawasannya adalah najis.
Ketiga, dua orang laki-laki yang adil mengatakan bahwa benda itu adalah najis, dengan syarat mereka menegaskan sebab kenajisan benda tersebut. Seperti, mereka mangatakan bahwa benda itu telah menyentuh darah atau air kencing. Jika hanya satu orang adil yang memberitahukan tentang kenajisan benda itu, maka berdasarkan ihtiyath wajib benda itu harus dihindari.
Masalah 123: Jika—karena tidak tahu masalah (hukum)—kita tidak mengetahui kenajisan dan kesucian suatu benda, seperti kita tidak tahu apakah kotoran tikus adalah suci atau tidak, maka kita harus bertanya tentang masalah itu. Akan tetapi, jika kita mengetahui masalah (hukum) dan ragu apakah suatu benda adalah suci atau tidak, seperti kita tidak tahu apakah benda itu adalah darah atau bukan, darah nyamuk atau darah manusia, maka benda tersebut adalah suci, dan tidak wajib kita meneliti atau bertanya.
Masalah 124: Jika kita ragu terhadap suatu barang yang terkena benda najis apakah sudah suci atau belum, maka barang tersebut adalah najis, dan jika kita ragu terhadap suatu barang yang suci apakah sudah najis atau tidak, maka barang itu adalah suci. Seandainya kita mampu untuk mengetahui kenajisan atau kesuciannya, tidak wajib kita menelitinya.
Masalah 125: Jika kita tahu bahwa salah satu dari dua bejana atau baju yang masih kita gunakan sudah najis dan kita tidak mengetahui bejana atau baju yang mana, maka kita harus menghindari keduanya. Akan tetapi, seandainya kita tidak mengetahui apakah baju kita sendiri yang sudah najis atau baju yang berada di luar kekuasaan kita dan milik orang lain, maka tidak wajib kita menghindari baju kita sendiri itu.
Bagaimana Sesuatu yang Suci Bisa Menjadi Najis?
Masalah 126: Jika suatu barang yang suci menyentuh suatu barang yang terkena najis dan keduanya atau salah satunya adalah basah sekiranya kebasahannya itu berpindah kepada yang lain, maka barang yang suci tersebut menjadi najis. Bagitu juga, jika barang yang terkena benda najis itu—dalam kondisi basah—menyentuh barang ketiga, maka barang tersebut dapat menajiskan barang ketiga itu. Masyhur berpendapat bahwa suatu barang yang terkena benda najis dapat menajiskan secara mutlak. Akan tetapi, hukum ini—dengan banyaknya perantara barang yang menyentuh barang yang terkena benda najis tersebut—adalah isykal. Bahkan, menghukumi kesucian barang tersebut bisa dikuatkan. Misal, jika tangan kanan kita menjadi najis karena terkena air kencing, dan lalu tangan kanan ini—dengan kebasahan yang baru—menyentuh tangan kiri kita, persentuhan ini menyebabkan tangan kiri kita itu juga menjadi najis. Jika tangan kiri ini—setelah kering—menyentuh pakaian yang masih basah, maka pakaian itu juga menjadi najis. Akan tetapi, jika pakaian ini—dalam kondisi basah—menyentuh barang lain, maka barang ini tidak dihukumi najis.
Jika kebasahan barang tersebut sangat sedikit sehingga tidak berpindah kepada barang yang lain, maka barang yang suci itu tidak menjadi najis, meskipun barang itu menyentuh benda najis secara langsung.
Masalah 127: Jika suatu barang yang suci menyentuh barang yang terkena benda najis dan kita ragu apakah keduanya atau salah satunya adalah basah atau tidak, maka barang yang suci itu tidak menjadi najis.
Masalah 128: Jika suatu benda yang suci—dalam kondisi basah—menyentuh salah satu dari dua barang yang kita tidak mengetahui mana yang najis dan mana yang suci, maka tidak wajib kita menghindari benda yang suci tersebut (baca: boleh menggunakannya), kecuali dalam beberapa kondisi. Seperti, ketika kondisi yang lalu bagi kedua barang itu adalah kenajisan atau suatu benda suci yang lain—dalam kondisi basah—juga menyentuh benda kedua tersebut.
Masalah 129: Jika benda najis jatuh ke atas tanah, kain, dan barang-barang semisalnya yang basah, maka hanya setiap bagian yang kejatuhan benda najis adalah najis dan bagian lainnya adalah suci. Begitu juga halnya berkenaan dengan timun, melon, dan barang-barang sejenisnya.
Masalah 130: Jika perasan anggur atau kurma, minyak goreng, dan barang-barang sejenisnya berbentuk cair dan tidak kental sehingga ketika kita menciduk sebagiannya, bekas cidukan itu langsung penuh lagi, dalam hal ini apabila salah satu bagiannya menjadi najis, maka seluruh bagiannya menjadi najis pula. Akan tetapi, jika benda-benda itu kental sehingga bekas cidukan itu tidak langsung penuh—meskipun bekas cidukan itu akan penuh juga setelah itu, maka hanyalah bagian yang kejatuhan najis saja yang menjadi najis. Oleh karena itu, jika kotoran tikus jatus ke dalamnya, hanya bagian yang kejatuhan kotoran itu menjadi najis dan selebihnya adalah suci.
Masalah 131: Jika lalat atau binatang yang sejenisnya hinggap di atas sebuah benda najis yang basah dan kemudian hinggap di atas benda suci yang basah pula, maka benda suci itu menjadi najis jika kita mengetahui ada bagian benda najis yang lengket bersamanya. Jika kita tidak mengetahui hal itu, maka benda itu adalah suci.
Masalah 132: Jika salah satu titik tubuh yang berkeringat adalah najis dan keringat itu mengalir ke titik-titik tubuh yang lain, maka seluruh titik tubuh yang dialiri oleh keringat tersebut adalah najis. Dan jika keringat tersebut tidak mengalir ke bagian tubuh yang lain, maka bagian lain tubuh tersebut tidak najis.
Masalah 133: Jika lendir yang berada di hidung atau mulut keluar dengan disertai darah, maka hanya bagian yang terdapat darah adalah najis dan bagian lainnya adalah suci. Oleh karena itu, jika lendir tersebut menyentuh bagian luar mulut atau hidung, hanya bagian yang kita yakin bagian lendir yang najis telah menyentuhnya adalah najis. Sementara, bagian (mulut dan hidung) yang kita ragu apakah bagian lendir yang najis itu telah menyentuhnya atau tidak adalah suci.
Masalah 134: Jika gayung[1] berlubang di bagian bawahnya dan kita letakkan di atas tanah yang najis, maka seluruh air yang ada di dalamnya adalah najis apabila air yang (yang ada di dalamnya) berhenti mengalir keluar dan berkumpul di bawahnya, serta dihitung satu air dengan air yang masih tersisa di dalam air gayung itu. Dan jika air tersebut mengalir keluar dari (bawah) gayung dengan tekanan, maka air (yang masih tersisa di dalamnya) tidak najis.
Masalah 135: Jika sesuatu dimasukkan ke dalam tubuh dan menyentuh benda najis, maka sesuatu itu adalah suci jika ketika dikeluarkan tidak berlumuran najis. Oleh karena itu, jika alat peralatan injeksi atau airnya dimasukkan melalui anus, atau jarum, pisau, dan barang-barang sejenisnya dimasukkan ke dalam tubuh, maka semua alat itu tidak najis apabila tidak berlumuran najis ketika dikeluarkan. Begitu juga halnya berkenaan dengan air ludah dan ingus yang menyentuh darah ketika masih berada di dalam rongga mulut dan hidung, dan ketika dikeluarkan, ia tidak disertai darah.
Catatan Kaki:
[1] Dalam buku aslinya disebutkan aftabeh. Aftabeh adalah sebuah alat semacam kendi terbuat dari plastik dan di Iran digunakan untuk menuangkan air ketika kita ingin bersuci setelah buang hajat. Padanan katanya yang dapat kita bayangkan di Indonesia kira-kira adalah gayung—pen.
Marcadores:
Fikih,
Hukum,
Kajian islam,
Najis,
Suci
20:40:00
Oleh: Ayatullah Al Uzhma Sistani.
Masalah 149: Ada dua belas hal yang dapat menyucikan najis dan kedua belas hal itu dinamakan muthahhirat (hal-hal yang dapat menyucikan): (1) air, (2) bumi, (3) matahari, (4) istihalah (perubahan substansi), (5) inqilab (perubahan air anggur menjadi cuka), (6) perpindahan (intiqal), (7) Islam, (8) taba‘iyah (mengikuti), (9) hilangnya benda najis, (10) istibra’ yang dilakukan atas binatang pemakan najis, (11) gaibnya seorang Muslim, dan (12) keluarnya darah dari dalam tubuh binatang sembelihan. Hukum-hukum berkenaan dengan kedua belas hal tersebut akan dijelaskan pada pembahasan-pembahasan berikut ini.
(1) Air
Masalah 150: Dengan empat syarat, air dapat menyucikan barang yang najis:
Pertama, air itu harus mutlak. Oleh karena itu, air mudhaf, seperti air perasan bunga dan air semangka tidak dapat menyucikan barang yang najis.
Kedua, air itu harus suci.
Ketiga, ketika kita mencuci barang najis tersebut, air itu tidak menjadi air mudhaf. Di samping itu, pada kali cucian terakhir di mana setelah itu tidak perlu kita mencucinya lagi, bau, warna, atau rasanya tidak berubah karena benda najis itu. Dan pada selain kali cucian ini, perubahan ini tidak ada masalah. Misal, kita ingin mencuci sebuah barang yang najis dengan menggunakan air kur atau air sedikit. Di sini kita harus mencucinya sebanyak dua kali. Jika kita mencucinya dan air tersebut berubah pada kali pertama, tetapi pada kali kedua, kita mencucinya dengan air yang tidak berubah, maka barang tersebut menjadi suci.
Keempat, setelah kita mencucinya, benda najis tidak tersisa di barang tersebut.
Kesucian sebuah barang yang najis dengan menggunakan air sedikit—yaitu, air yang berukuran kurang dari 1 kur—juga harus memenuhi syarat-syarat lain yang akan disebutkan pada pembahasan-pembahasan berikut ini.
Masalah 151: Jika kita mencuci bagian dalam bejana yang najis dengan air sedikit, maka kita harus mencucinya sebanyak tiga kali. Begitu juga halnya—berdasarkan ihtiyath wajib—(jika kita mencucinya) dengan menggunakan air kur dan air mengalir. Jika seekor anjing minum air atau benda cair lainnya di dalam bejana, pertama kali bejana itu harus diolesi dengan tanah yang suci. Setelah itu, kita membersihkan tanah tersebut darinya dan selanjutnya, mencuci bejana tersebut dengan air sebanyak dua kali, baik dengan menggunakan air sedikit, air kur, atau air mengalir. Begitu juga, apabila seekor anjing menjilat bejana dan terdapat bekas sesuatu (air liur atau sisa makanan) yang masih tersisa. Maka, sebelum mencucinya, kita harus mengolesinya dengan tanah terlebih dahulu. Jika air liur anjing jatuh ke dalam bejana atau sebagian badannya menyentuhnya, maka—berdasarkan ihtiyath wajib—kita harus mengolesinya dengan tanah terlebih dahulu dan setelah itu baru mencucinya dengan air sebanyak tiga kali.
Masalah 152: Jika mulut bejana yang telah dijilat oleh anjing sangat sempit (sehingga tidak mungkin bagi kita untuk mengolesinya dengan tanah), maka kita harus memasukkan tanah ke dalam bejana tersebut dan mengocoknya dengan kuat sehingga tanah itu menyentuh seluruh bagian dalam bejana itu. Setelah itu, kita harus mencucinya sesuai dengan cara yang telah disebutkan di atas.
Masalah 153: Jika seekor babi menjilat sebuah bejana atau meminum benda cair di dalamnya, atau tikus gurun pasir mati di dalamnya, maka bejana itu harus dicuci sebanyak tujuh kali, baik dengan menggunakan air sedikit, air kur, atau air mengalir, dan tidak wajib kita mengolesinya dengan tanah terlebih dahulu.
Masalah 154: Bejana yang najis karena minuman keras memiliki hukum bejana-bejana najis yang lain, seperti dijelaskan di atas. Dan berdasarkan ihtiyath mustahab, kita harus mencucinya sebanyak tujuh kali.
Masalah 155: Jika kita meletakkan kendi yang terbuat dari tanah yang najis atau air najis telah meresap ke seluruh pori-porinya di dalam air kur atau air mengalir, maka setiap bagiannya yang telah tersentuh oleh air adalah suci. Jika kita menginginkan bagian dalamnya juga suci, maka kendi itu harus dibiarkan di dalam air selama beberapa waktu sekiranya air itu meresap ke seluruh pori-porinya. Jika kendi tersebut terkena sebuah cairan yang dapat mencegah masuknya air ke bagian dalamnya, maka cairan itu harus dikeringkan terlebih dahulu dan setelah itu, baru diletakkan di dalam air kur atau air mengalir.
Masalah 156: Kita dapat mencuci bejana yang najis dengan menggunakan dua cara:
Pertama, kita memenuhinya dengan air, lalu menuangkannya. (Cara ini kita lakukan) sebanyak tiga kali.
Kedua, kita mengisinya dengan air sedikit saja, lalu memutarnya sekiranya air tersebut mengenai seluruh bagian yang najis. Setelah itu, kita menuangkannya. Kita lakukan cara ini juga sebanyak tiga kali.
Masalah 157: Jika bejana-bejana besar yang najis, seperti ketel besar, dipenuhi dengan air sedikit sebanyak tiga kali dan dituangkan untuk setiap kalinya, maka bejana itu menjadi suci. Begitu juga, (bejana-bejana itu menjadi suci) jika air itu disiramkan dari atas sebanyak tiga kali sekiranya mengenai seluruh bagiannya (yang najis) dan air yang terkumpul di bagian bawahnya dikuras. Dan berdasarkan ihtiyath mustahab, pada kali kedua dan ketiga, bejana lain yang telah digunakan untuk menguras air tersebut harus dicuci dengan air.
Masalah 158: Jika timah yang najis atau barang lain yang sejenis dengannya dicairkan dan lalu dicuci (setelah menjadi padat), maka hanya bagian luarnya saja yang menjadi suci.
Masalah 159: Jika kita menyiramkan air dari atas tanur yang najis karena terkena air kencing sebanyak satu kali sekiranya air tersebut mengenai seluruh bagiannya (yang terkena najis), maka tanur tersebut menjadi suci, dan berdasarkan ihtiyath mustahab, kita harus mengulangi tindakan ini sebanyak dua kali. Untuk benda najis selain air kencing dan setelah benda najisnya hilang, apabila kita menyiramkan air tersebut sebanyak sekali sesuai dengan cara yang telah dijelaskan tersebut, maka hal ini sudah cukup. Dan yang lebih baik adalah hendaknya kita membuat sebuah lubang di bagian bawah tanur sehingga air itu berkumpul di situ dan lalu mengurasnya. Setelah itu, kita penuhi lubang tersebut dengan tanah.
Masalah 160: Jika kita memasukkan barang yang najis ke dalam air kur atau air mengalir sebanyak sekali sekiranya air tersebut menyentuh seluruh bagian yang najis, maka barang itu menjadi suci. Apabila barang yang najis itu adalah karpet, pakaian, dan barang-barang yang sejenis, tidak wajib kita memerasnya atau melakukan tindakan sejenis dengannya, seperti menggerak-gerakkan atau menginjak-injaknya. Apabila tubuh atau pakaian kita yang najis karena terkena air kencing, maka kita harus mencucinya sebanyak dua kali, walaupun dengan menggunakan air kur.
Masalah 161: Jika kita ingin mencuci barang yang najis karena air kencing dengan air sedikit, maka barang itu akan suci ketika kita menuangkan air kepadanya sekali, lalu air itu terpisah darinya dan tidak ada air kencing yang tersisa lagi di barang tersebut, kecuali berkenaan dengan pakaian dan tubuh di mana kita harus mencucinya dengan air sebanyak dua kali untuk menjadi suci. Ala kulli hal, dalam mencuci pakaian, karpet, dan barang-barang yang sejenisnya, kita harus memerasnya sedemikian rupa sehingga ghusalah-nya keluar. (Ghusalah adalah air yang keluar dari sesuatu yang sudah dicuci, baik keluar dengan sendirinya maupun dengan diperas).
Masalah 162: Jika sebuah barang menjadi najis karena air kencing seorang bayi yang masih menyusu dan belum pernah memakan makanan lain, maka barang tersebut akan suci ketika kita menuangkan air kepadanya sekiranya mengenai seluruh bagian yang najis. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab kita harus menuangkan air sekali lagi kepadanya. Dalam hal ini, tidak wajib kita memeras pakaian, karpet, dan barang-barang yang sejenisnya.
Masalah 163: Jika sebuah barang terkena benda najis selain air kencing dan kita menuangkan air sedikit kepadanya sebanyak sekali sembari menghilangkan benda najisnya, serta air itu terpisah darinya, maka barang najis itu menjadi suci. Akan tetapi, bagaimanapun juga kita harus memeras pakaian dan barang-barang yang sejenis dengannya supaya ghusalah-nya keluar.
Masalah 164: Jika kita memasukkan tikar najis yang ditenun dengan benang ke dalam air kur atau air mengalir, maka tikar itu menjadi suci setelah benda najis itu hilang. Akan tetapi, apabila kita ingin mencuci tikar tersebut dengan menggunakan air sedikit, maka kita harus memerasnya bagaimanapun caranya—meskipun dengan cara menginjak-injaknya—supaya ghusalah-nya keluar.
Masalah 165: Jika bagian luar gandum, beras, sabun, dan benda-benda yang sejenis najis, maka semua benda itu akan menjadi suci dengan dimasukkan ke dalam air kur dan air mengalir. Dan jika bagian dalamnya najis dan air kur atau air mengalir itu dapat menyentuh bagian dalam tersebut dalam kondisi masih bersifat air mutlak, maka semua benda itu menjadi suci. Akan tetapi—sepertinya—air mutlak tidak akan pernah masuk ke dalam sabun dan benda-benda yang sejenis dengannya.
Masalah 166: Jika kita ragu apakah air najis telah meresap ke bagian dalam sabun atau belum, maka bagian dalam sabun itu adalah suci.
Masalah 167: Jika bagian luar beras, daging, dan benda-benda yang sejenis dengannya najis, lalu kita meletakkannya di dalam sebuah mangkok yang suci dan kita isi mangkok tersebut dengan air sebanyak sekali, kemudian kita tuang kembali, maka semua benda itu menjadi suci. Jika kita meletakkan benda-benda itu di dalam mangkok yang najis, maka kita harus melakukan tindakan tersebut sebanyak tiga kali. Dengan cara pencucian seperti ini, mangkok tersebut juga menjadi suci. Dan apabila kita ingin mencuci pakaian dan barang-barang lain sejenis yang harus diperas dengan meletakkannya di dalam sebuah ember, maka kita harus memerasnya untuk setiap kali kita mengisi air dan memiringkan ember tersebut supaya ghusalah yang terkumpul di situ keluar.
Masalah 168: Jika kita meletakkan pakaian najis yang sudah diwenter dengan (zat pewarna), seperti serbuk bunga Nile (blueing) dan zat-zat pewarna yang sejenis, di dalam air kur atau air mengalir dan air tersebut telah meresap ke seluruh bagiannya sebelum menjadi air mudhaf karena zat pewarna itu, maka pakaian itu menjadi suci. Jika kita mencucinya dengan menggunakan air sedikit dan ketika kita memerasnya, yang keluar bukanlah air mudhaf, maka pakaian tersebut adalah suci.
Masalah 169: Jika kita mencuci pakaian yang najis di dalam air kur atau air mengalir, lalu setelah itu kita menemukan lumut air melengket di pakaian tersebut, maka pakaian itu adalah suci apabila kita tidak memberikan kemungkinan bahwa lumut tersebut dapat mencegah sampainya air ke dalam pakaian itu.
Masalah 170: Jika kita menemukan segumpal tanah atau sabun di atas pakaian setelah mencucinya dengan air, pakaian itu adalah suci apabila kita tidak memberikan kemungkinan bahwa tanah atau sabun tersebut dapat mencegah meresapnya air (ke dalam pakaian itu). Akan tetapi, jika air najis telah meresap ke dalam tanah atau sabun tersebut, maka hanya bagian luar tanah dan sabun itu yang suci, sementara bagian dalamnya tetap najis.
Masalah 171: Sesuatu yang najis tidak akan pernah suci selama kita belum menghilangkan benda najisnya. Jika hanya bau atau warnanya yang tersisa, hal itu tidak isykal. Oleh karena itu, jika kita telah menghilangkan darah dari pakaian dan mencucinya, tetapi warnanya masih tersisa, maka pakaian tersebut adalah suci.
Masalah 172: Jika kita menghilangkan benda najis dari tubuh kita di dalam air kur atau air mengalir, maka tubuh kita menjadi suci, kecuali apabila tubuh kita itu menjadi najis karena terkena air kencing. Dalam kondisi seperti ini, tubuh kita tidak menjadi suci hanya dengan mencucinya sebanyak sekali. Akan tetapi, tidak wajib juga kita mengeluarkan tubuh dari dalam air dan kemudian memasukkannya kembali. Apabila kita mengusap bagian tubuh yang najis tersebut ketika masih berada di dalam air sehingga air menyentuhnya sebanyak dua kali, maka hal ini sudah cukup.
Masalah 173: Jika sisa makanan yang najis tersisa di sela-sela gigi dan kita berkumur-kumur dengan menggunakan air sehingga air itu menyentuh seluruh makanan yang najis tersebut, maka sisa makanan itu menjadi suci.
Masalah 174: Jika kita mencuci rambut dan jenggot yang tidak lebat dengan air sedikit, maka tidak harus kita “memerasnya” supaya ghusalah keluar, karena ghusalah itu akan keluar dengan sendirinya sesuai dengan kadar yang semestinya (muta‘araf).
Masalah 175: Jika kita mencuci bagian dari tubuh atau pakaian dengan air sedikit, bagian-bagian yang berada di sekitarnya dan pada umumnya akan terkena air tersebut pada saat mencucinya menjadi suci dengan sucinya bagian yang najis itu. Artinya, tidak wajib kita mencuci bagian-bagian tersebut secara independen. Karena bagian-bagian sekitar dan bagian yang najis itu akan menjadi suci secara bersamaan dengan mencucinya. Begitu juga halnya ketika kita meletakkan sesuatu yang suci di samping sesuatu yang najis dan menyiramkan air di atas keduanya. Atas dasar ini, jika kita menuangkan air ke seluruh jari-jari tangan untuk menyucikan satu jari yang najis dan air najis beserta air suci itu menyentuh seluruh jari-jari tersebut, maka dengan sucinya jari yang najis itu, seluruh jari-jari yang lain juga menjadi suci.
Masalah 176: Daging dan lemak yang najis juga bisa dicuci dengan air seperti layaknya benda-benda lainnya. Begitu juga halnya badan atau pakaian yang sedikit berlemak sekiranya tidak mencegah air meresap.
Masalah 177: Jika bejana atau badan kita najis dan setelah itu, terkena lemak sekiranya dapat mencegah masuknya air ke dalamnya, maka kita harus menghilangkan lemak itu terlebih dahulu jika kita ingin menyucikannya supaya air dapat masuk ke dalamnya.
Masalah 178: Air kran yang bersambung dengan air kur memiliki hukum air kur.
Masalah 179: Jika kita mencuci barang yang najis dan yakin bahwa ia telah suci, lalu kita ragu apakah kita telah menghilangkan benda najisnya atau belum, maka kita harus mencucinya untuk kali kedua kali sehingga kita yakin bahwa benda najis itu telah hilang.
Masalah 180: Jika tanah yang dapat menyerap air—seperti tanah yang dilapisi oleh pasir atau kerikil—menjadi najis, maka tanah itu dapat disucikan dengan menggunakan air sedikit.
Masalah 181: Apabila tanah yang dilapisi dengan bebatuan atau batu bata dan tanah keras yang tidak dapat menyerap air menjadi najis, tanah itu dapat disucikan dengan menggunakan air sedikit. Akan tetapi, kita harus menuangkan air di atasnya sedemikian rupa sehingga air tersebut mengalir. Jika air yang telah kita tuangkan di atas tanah itu tidak mengalir melalui sebuah lubang dan tergenang di sebuah tempat, maka—untuk menyucikan tempat yang tergenang air itu—kita harus mengeluarkan air tersebut dengan menggunakan kain atau timba.
Masalah 182: Jika bagian luar batu garam dan benda-benda yang sejenis menjadi najis, maka ia dapat disucikan dengan menggunakan air yang kurang dari 1 kur.
Masalah 183: Jika kita membuat gula batu dengan menggunakan gula pasir najis yang sudah mencair, maka gula batu itu tidak dapat menjadi suci meskipun kita telah meletakkannya di dalam air kur atau air mengalir.
(2) Bumi
Masalah 184: Dengan empat syarat, bumi dapat menyucikan telapak kaki dan bagian bawah sepatu:
Pertama, bumi itu harus suci.
Kedua, berdasarkan ihtiyath wajib, bumi itu harus kering.
Ketiga, berdasarkan ihtiyath wajib, benda najis (yang menempel ke telapak kaki dan bagian bawah sepatu itu) harus berasal dari bumi.
Keempat, jika benda najis seperti darah dan air kencing atau benda yang terkena najis seperti tanah yang najis terdapat di telapak kaki dan bagian bawah sepatu, semua itu harus hilang karena kita berjalan di atas bumi atau mengusapkannya ke atas bumi. Apabila benda najis (yang menempel di telapak kaki atau bagian bawah sepatu) telah hilang sebelumnya, maka berdasarkan ihtiyath wajib telapak kaki dan bagian bawah sepatu itu tidak menjadi suci dengan kita berjalan di atas bumi atau mengusapkannya di atas bumi. Di samping itu, bumi itu harus berbentuk tanah, bebatuan, tanah yang dilapisi oleh batu bata, dan lain sebagainya. Dengan berjalan di atas karpet, tikar, atau sayur-mayur, telapak kaki dan bagian bawah sepatu tidak menjadi suci.
Masalah 185: Kesucian telapak kaki dan bagian bawah sepatu yang najis dengan cara kita berjalan di atas jalan beraspal dan di atas bumi yang sudah dilapisi kayu adalah isykal.
Masalah 186: Untuk menyucikan telapak kaki dan bagian bawah sepatu sebaiknya kita berjalan sebanyak lima belas depa atau lebih, meskipun benda najis akan hilang dengan berjalan kurang dari lima belas depa atau dengan mengusapkan kaki ke tanah.
Masalah 187: Telapak kaki dan bagian bawah sepatu itu tidak harus basah. Dalam kondisi kering sekali pun, bagian itu dapat menjadi suci dengan cara kita berjalan (di atas tanah).
Masalah 188: Setelah telapak kaki atau bagian bawah sepatu menjadi suci dengan berjalan (di atas tanah), sebagian dari bagian pinggirnya yang biasanya juga terkena lumpur juga menjadi suci.
Masalah 189: Orang yang berjalan dengan menggunakan telapak tangan dan lutut, jika telapak tangan dan lutut tersebut menjadi najis, maka kesucian telapak tangan dan lutut itu dengan cara berjalan (di atas tanah) adalah isykal. Begitu juga halnya berkenaan dengan ujung tongkat, telapak kaki palsu, besi pelapis telapak kaki hewan (seperti kuda), roda mobil dan yang semisalnya.
Masalah 190: Jika setelah kita berjalan (di atas tanah) masih tersisa bau, warna, atau butiran-butiran kecil benda najis yang tak terlihat di telapak kaki dan bagian bawah sepatu, maka hal ini tidak isykal, merskipun berdasarkan ihtiyath mustahab kita harus berjalan sedemikian sehingga semua itu hilang.
Masalah 191: Bagian dalam sepatu tidak dapat menjadi suci dengan cara kita berjalan (di atas tanah). Kesucian telapak kaos kaki dengan cara berjalan (di atas tanah) tersebut juga isykal, kecuali jika telapak kaos kaki tersebut terbuat dari kulit atau benda-benda yang semisal dan berjalan dengan menggunakan kaos kaki semacam itu juga suatu hal yang lumrah.
(3) Matahari
Masalah 192: Dengan lima syarat berikut ini, matahari dapat menyucikan bumi, bangunan, dan tembok:
Pertama, bagian yang terkena najis harus basah sedemikian rupa sekiranya sebuah benda menyentuh bagian tersebut, kebasahannya akan berpindah ke benda tersebut. Oleh karena itu, jika bagian itu kering, maka kita harus membasahinya supaya matahari mengeringkannya kembali.
Kedua, jika masih terdapat benda najis di tempat itu, kita harus menghilangkannya terlebih dahulu sebelum dikeringkan oleh sinar matahari.
Ketiga, tidak boleh ada penghalang yang menghalangi sinar matahari (sampai kepada bagian yang najis tersebut). Dengan demikian, jika matahari menyinarinya dari balik hordeng, awan, dan lain sebagainya dan bagian yang najis itu menjadi kering, maka bagian yang najis tersebut belum suci. Akan tetapi, jika awan tersebut sangat tipis sehingga tidak dapat menghalangi sinar matahari, maka hal itu tidak isykal.
Keempat, hanya matahari yang mengeringkan (bagian yang najis tersebut). Dengan ini, jika bagian itu kering dengan perantara matahari dan angin, maka ia belum suci. Akan tetapi, jika angin tersebut sangat sedikit sehingga tidak dapat dikatakan bahwa ia memiliki andil dalam mengeringkannya, maka hal itu tidak isykal.
Kelima, matahari harus mengeringkan bangunan dan bagian dalamnya yang terkena najis secara bersamaan. Dengan demikian, jika pertama kali ia menyinari bumi dan bangunan dan hanya mengeringkan bagian atasnya, lalu pada kali kedua ia mengeringkan bagian dalamnya, maka hanya bagian atasnya saja yang dapat menjadi suci. Sementara itu, bagian dalamnya masih tetap najis.
Masalah 193: Matahari dapat menyucikan reng (yang terbuat dari penjalin atau kayu dan biasanya diletakkan di depan rumah sebagai penghalang masuknya sinar matahari). Akan tetapi, jika reng ini ditenun dengan benang, kesucian benang-benangnya adalah isykal. Begitu juga, kesucian pepohonan, tumbuh-tumbuhan, pintu, dan jendela dengan menggunakan sinar matahari adalah isykal.
Masalah 194: Jika kita ragu setelah proses penyucian dengan sinar matahari usai apakah tanah tersebut basah ketika matahari menyinarinya atau kering, apakah tanah basah itu kering karena matahari atau karena sesuatu yang lain, maka tanah itu masih najis. Begitu juga halnya apabila kita ragu apakah benda najis sudah hilang atau belum sebelum matahari menyinarinya dan apakah ada penghalang yang menghalangi sinar matahari atau tidak.
Masalah 195: Jika matahari menyinari satu sisi tembok yang najis, dan dengan ini, sisi tembok yang tidak disinari olehnya juga kering, maka tidak jauh kedua sisi tembok itu adalah suci. Akan tetapi, jika matahari mengeringkan bagian luar tembok atau bagian atas bumi pada suatu hari dan lalu mengeringkan bagian dalamnya pada hari yang lain, maka hanya bagian luar tembok dan bumi itu yang menjadi suci.
(4) Istihalah (Perubahan Substansi)
Masalah 196: Jika substansi suatu benda yang najis berubah menjadi substansi benda lain yang suci, maka benda itu menjadi suci. Contoh, kayu yang najis dibakar sehingga menjadi abu atau anjing tenggelam ke dalam lautan garam dan ia berubah menjadi garam. Akan tetapi, jika substansinya tidak berubah, seperti gandum yang najis dijadikan tepung atau dimasak menjadi roti, maka gandum itu tidak menjadi suci.
Masalah 197: Kendi tanah yang terbuat dari tanah yang najis adalah najis. Dan arang yang terbuat dari kayu yang najis adalah suci asalkan arang ini sudah tidak memiliki satu pun hakikat yang dimiliki oleh kayu itu.
Masalah 198: Benda najis yang belum diketahui secara pasti apakah sudah mengalami perubahan substansi atau belum adalah najis.
(5) Inqilab (Perubahan Air Anggur Menjadi Cuka)
Masalah 199: Jika minuman keras berubah menjadi cuka, baik berubah dengan sendirinya atau dicampur dengan cuka dan garam, maka minuman keras itu menjadi suci.
Masalah 200: Minuman keras yang terbuat dari anggur yang najis atau bahan lainnya yang najis, atau kejatuhan benda najis lain tidak menjadi suci ketika berubah menjadi cuka.
Masalah 201: Cuka yang terbuat dari anggur, kismis, dan kurma yang najis adalah najis.
Masalah 202: Jika serat-serat anggur atau kurma yang sangat halus terdapat di dalamnya dan dicampur dengan cuka, maka hal itu tidak masalah. Bahkan, tidak isykal kita mencampur timun, terong, dan benda-benda lain yang sejenis dengan (perasan) anggur dan kurma tersebut, meskipun sebelum anggur dan kurma itu menjadi cuka, kecuali apabila anggur dan kurma itu telah memabukkan sebelum menjadi cuka.
Masalah 203: Air anggur yang mendidih dengan dimasak di atas api atau dengan sendirinya adalah haram. Jika air anggur ini terus dididihkan hingga dua pertiga bagiannya menguap dan hanya tinggal sepertiga bagian, maka air anggur ini menjadi halal. Pada masalah 114 telah dijelaskan bahwa air anggur tidak menjadi najis dengan mendidih.
Masalah 204: Jika dua pertiga bagian air anggur menguap tanpa mendidih dan lalu sisanya mendidih, dalam hal ini apabila sisa air anggur yang telah mendidih itu masih dinamakan air anggur secara ‘urf, bukan sari anggur, maka sisa air anggur itu—berdasarkan ihtiyath wajib—adalah haram.
Masalah 205: Air anggur yang tidak diketahui apakah sudah mendidih atau belum adalah halal. Akan tetapi, jika air anggur sudah mendidih, maka selama dua pertiga bagiannya belum menguap, air anggur itu tidak halal.
Masalah 206: Jika dalam setangkai buah anggur muda yang masih mentah dan kecut rasanya (green grape) terdapat satu-dua butir anggur yang sudah matang, dalam hal ini apabila perasan air buah yang berasal dari setangkai anggur mudah tidak dinamakan air anggur dan mendidih, maka perasan air buah itu halal dimakan.
Masalah 207: Jika sebiji anggur jatuh ke dalam masakan yang sedang mendidih di atas api dan anggur itu ikut mendidih, tetapi tidak pecah sehingga tidak bercampur dengan seluruh masakan itu, maka yang haram hanyalah memakan biji anggur tersebut.
Masalah 208: Jika kita ingin memasak sari anggur/kurma dalam beberapa ketel, maka diperbolehkan kita meletakkan saringan yang telah diletakkan di dalam ketel yang telah mendidih di dalam ketel lain yang belum mendidih.
Masalah 209: Buah yang tidak diketahui (substansinya) apakah anggur muda (green grape) atau anggur yang sudah matang adalah halal, meskipun ia sudah mendidih.
(6) Perpindahan (Intiqal)
Masalah 210: Jika darah manusia atau binatang yang berdarah memancar—yaitu binatang yang darahnya memancar ketika uratnya dipotong—diisap oleh binatang lain yang—menurut pandangan ‘urf—tidak memiliki darah memancar dan darah itu memang sudah berfungsi untuk menjadi bagian tubuhnya, seperti nyamuk mengisap darah manusia, maka darah itu adalah suci. Hal ini dinamakan intiqal (perpindahan). Akan tetapi, darah manusia yang diisap oleh lintah dalam rangka untuk melakukan pengobatan adalah najis, karena darah itu tidak berfungsi untuk menjadi bagian tubuhnya dan masih dinamakan darah manusia.
Masalah 211: Jika kita membunuh seekor nyamuk yang hinggap di badan kita dan darah yang telah diisapnya dari tubuh kita keluar dari nyamuk tersebut, maka darah tersebut adalah suci, meskipun jarak antara pengisapan darah dan pembunuhan nyamuk itu sangatlah sedikit. Hal itu lantaran darah itu telah berfungsi sebagai makanan nyamuk tersebut. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab, kita hendaknya menjauhi darah tersebut pada kondisi ini.
(7) Islam
Masalah 212: Jika seorang kafir membaca dua kalimat syahadat, yaitu bersaksi atas keesaan Allah dan kenabian pamungkas para nabi—dengan menggunakan bahasa apapun, maka ia menjadi seorang muslim. Apabila sebelum (menjadi muslim) ia dihukumi najis, maka setelah menjadi seorang muslim, sekujur tubuh, air ludah, ingus, dan keringatnya menjadi suci. Akan tetapi, ketika masih ada benda najis (yang melekat) di badannya pada saat ia menjadi seorang muslim, maka ia harus menghilangkan dan mencucinya dengan air. Bahkan, jika benda najis itu telah hilang sebelum ia menjadi muslim, maka ihtiyath wajib adalah ia mencucinya dengan air.
Masalah 213: Jika pakaiannya—dalam kondisi basah—telah menyentuh tubuhnya ketika ia masih kafir, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus menjauhinya (baca: mencucinya dengan air), baik ia mengenakan pakaian itu pada saat menjadi muslim maupun tidak memakainya.
Masalah 214: Jika seorang kafir membaca dua kalimat syahadat, dan kita tidak mengetahui apakah ia telah masuk Islam dengan sepenuh hati atau tidak, maka ia menjadi suci. Begitu juga halnya apabila kita tahu bahwa ia tidak memeluk Islam dengan sepenuh hati, asalkan ia tidak melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan (kandungan) dua kalimat syahadat tersebut.
(8) Taba‘iyah (Mengikuti)
Masalah 215: Taba‘iyah adalah sucinya suatu benda yang najis karena sucinya suatu benda najis yang lain.
Masalah 216: Jika minuman keras menjadi cuka, maka bejana (yang digunakan sebagai wadahnya) juga menjadi suci sampai batas di mana minuman keras itu menyentuhnya ketika mendidih. Tutup dan kain penyekatnya juga menjadi suci jika keduanya menjadi najis karena minuman keras tersebut. Akan tetapi, jika bagian luar bejana itu juga terkena minuman keras tersebut (ketika meluap ke luar), maka berdasarkan ihtiyath wajib kita harus menjauhi bagian luar bejana ini setelah minuman keras itu menjadi cuka.
Masalah 217: Seorang anak kecil yang kafir dapat menjadi suci lantaran taba‘iyah dalam dua kondisi berikut ini:
a. Ayahnya menjadi muslim. Begitu juga halnya apabila ibu, kakek, atau nenek anak kecil itu menjadi muslim. Hanya saja, anak itu dihukumi suci pada kondisi ini dengan syarat ia hidup bersama dengan orang yang baru masuk Islam itu dan berada di bawah tanggungannya. Begitu juga, orang kafir lain yang memiliki hubungan darah yang lebih dekat dengan anak tersebut tidak hidup bersamanya.
b. Ia menjadi tawanan seorang muslim dan ayah atau salah satu kakek dan neneknya tidak bersamanya.
Pada kedua kondisi ini, kesucian anak kecil itu dapat berlaku dengan syarat ia tidak menampakkan kekafiran apabila pada waktu itu ia telah mencapai usia mumayiz.
Masalah 218: Ranjang atau batu yang digunakan untuk memandikan mayat di atasnya, kain yang digunakan untuk menutupi auratnya, tangan orang yang memandikannya, dan segala sesuatu yang dicuci bersama mayit tersebut menjadi suci setelah ritual memandikan mayit itu usai.
Masalah 219: Jika kita mencuci suatu (barang yang najis), maka tangan kita—yang juga tercuci bersama barang tersebut—menjadi suci setelah barang najis itu menjadi suci.
Masalah 220: Jika kita mencuci pakaian dan barang-barang yang sejenis dan telah memerasnya sedemikian rupa sehingga air yang terdapat di dalamnya terpisah, maka air yang masih tersisa di dalam pakaian itu adalah suci.
Masalah 221: Jika kita mencuci sebuah bejana yang najis dengan air sedikit, setelah terpisahnya air (tuangan terakhir) yang digunakan untuk menyucikannya, maka sedikit air yang masih tersisa di dalam bejana tersebut adalah suci.
(9) Hilangnya Benda Najis
Masalah 222: Jika tubuh seekor binatang terkena benda najis, seperti darah atau barang yang najis, seperti air yang najis, maka tubuh binatang tersebut menjadi suci ketika benda dan barang najis itu hilang. Begitu juga halnya berkenaan dengan bagian dalam tubuh manusia, seperti mulut dan hidung yang menjadi najis karena tersentuh benda najis yang berasal dari luar. Dengan hilangnya benda najis itu, bagian dalam tubuh itu menjadi suci. Akan tetapi, benda najis yang berasal dari dalam tubuh, seperti darah yang keluar dari sela-sela gigi tidak dapat menyebabkan kenajisan bagian dalam tubuh. Bagitu juga, jika sebuah benda yang berasal dari luar tubuh menyentuh benda najis—yang berasal dari dalam tubuh—di dalam tubuh, maka persentuhan ini tidak dapat menyebabkan kenajisan benda tersebut. Oleh karena itu, jika gigi pasangan menyentuh darah yang keluar dari sela-sela gigi di dalam mulut, maka tidak wajib kita mencucinya dengan air. Akan tetapi, jika gigi pasangan ini menyentuh makanan yang najis, maka kita wajib mencucinya dengan air.
Masalah 223: Jika ada sisa makanan yang tersisa di sela-sela gigi dan darah keluar di dalam mulut kita, maka sisa makanan itu tidak menjadi najis dengan menyentuh darah itu.
Masalah 224: Bagian mulut dan kelopak mata yang tertutup ketika kita menutup mata dan mulut memiliki hukum bagian dalam tubuh kita. Oleh karena itu, jika bagian itu menyentuh benda najis yang berasal dari luar tubuh, maka tidak wajib kita mencucinya dengan air. Akan tetapi, jika kita tidak mengetahui apakah satu bagian tubuh termasuk bagian dalam tubuh atau bagian luar dan ia menyentuh benda najis yang berasal dari luar tubuh, maka wajib kita mencucinya dengan air.
Masalah 225: Jika debu dan tanah yang najis menempel di atas pakaian, karpet, dan barang-barang sejenis yang kering, lalu kita menggerak-gerakkannya sedemikian rupa sehingga debu dan tanah najis itu terpisah dalam kadar yang meyakinkan (bahwa debu dan tanah itu sudah terpisah), maka pakaian dan karpet itu adalah suci dan tidak perlu dicuci.
(10) Istibra’ yang Dilakukan atas Binatang Pemakan Najis
Masalah 226: Air kencing dan kotoran binatang yang sudah terbiasa memakan kotoran manusia adalah najis. Jika kita menginginkan air kencing dan kotorannya menjadi suci, maka kita harus melakukan istibra’ atas binatang tersebut. Yaitu, kita mencegahnya memakan benda najis itu dan memberikan makanan-makanan yang suci kepadanya selama masa tertentu sehingga setelah masa itu berlalu, binatang tersebut tidak dianggap lagi sebagai binatang pemakan najis. Berdasarkan ihtiyath mustahab, untuk unta pemakan najis, kita harus melakukan istibra’ atasnya selama 40 hari, untuk sapi 20 hari, untuk kambing 10 hari, untuk itik 7 atau 5 hari, dan untuk ayam rumah 3 hari, meskipun binatang-binatang itu sudah tidak dinamakan binatang pemakan najis sebelum masa-masa (yang telah ditentukan) itu berlalu.
(11) Gaibnya Seorang Muslim
Masalah 227: Jika badan dan pakaian atau barang-barang lain, seperti bejana dan karpet yang berada dalam kekuasaan seorang muslim yang sudah mencapai usia balig atau dapat membedakan najis dan suci menjadi najis dan orang muslim itu gaib dari pandangan kita (baca: berpisah dengan kita), serta kita memberikan kemungkinan bahwa ia telah mencucinya dengan air, maka seluruh barang itu adalah suci. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab, kita jangan menganggap barang itu suci kecuali dengan terpenuhinya beberapa syarat di bawah ini:
a. Ia meyakini bahwa benda najis yang telah menajiskan tubuh atau pakaiannya adalah najis. Atas dasar ini, jika pakaiannya menyentuh tubuh orang kafir dalam kondisi basah dan ia tidak meyakini bahwa tubuh orang kafir itu adalah najis, maka kita tidak boleh menganggap bahwa pakaian itu adalah suci setelah ia gaib dari pandangan kita.
b. Ia mengetahui bahwa tubuh atau pakaiannya telah menyentuh najis.
c. Kita melihat ia menggunakannya dalam sebuah amalan yang disyaratkan bersuci. Seperti kita melihat ia mengerjakan shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.
d. Kita memberi kemungkinan orang muslim tersebut mengetahui bahwa pekerjaan yang sedang dikerjakan dengan menggunakan pakaian tersebut harus memiliki syarat kesucian. Oleh karena itu, jika ia tidak tahu bahwa pakaian mushalli harus suci dan ia mengerjakan shalat dengan pakaian yang telah terkena najis tersebut, maka kita tidak boleh menganggap bahwa pakaian tersebut adalah suci.
e. Kenajisan dan kesucian harus memiliki perbedaan dalam pandangannya. Oleh karena itu, jika ia tidak memiliki kepedulian tentang masalah suci dan najis, maka kita tidak boleh menganggap bahwa pakaian atau tubuhnya adalah suci.
Masalah 228: Jika kita yakin atau mantap hati bahwa suatu benda yang najis sebelumnya telah menjadi suci atau dua orang adil memberikan kesaksian atas kesuciannya dan kesaksian mereka ini berkenaan dengan sebab kesucian (benda tersebut), seperti ia bersaksi bahwa pakaian yang telah terkena air kencing itu telah dicuci sebanyak dua kali, maka benda tersebut adalah suci. Begitu juga halnya jika seseorang yang memiliki kekuasaan atas suatu benda yang najis mengatakan bahwa barang itu telah suci dan ia bukan orang yang tertuduh atau seorang muslim telah mencucinya dengan air—meskipun tidak diketahui apakah ia telah mencucinya dengan benar atau tidak.
Masalah 229: Jika seseorang menjadi wakil untuk mencuci pakaian kita dan ia berkata, “Aku telah mencucinya,” serta kita mendapatkan kemantapan hati dari ucapannya itu, maka pakaian tersebut adalah suci.
Masalah 230: Jika seseorang memiliki sebuah kondisi kejiwaan di mana ia tidak akan pernah mendapatkan keyakinan dalam menyucikan sebuah barang yang najis dan ia telah bertindak sebagaimana orang-orang normal mencuci barang yang najis, maka hal ini sudah cukup.
(12) Keluarnya Darah dari Tubuh Binatang Sembelihan Secara Normal
Masalah 231: Darah yang tersisa di dalam tubuh binatang sembelihan yang telah disembelih sesuai dengan tuntunan syariat Islam adalah suci, asalkan darahnya telah keluar dari tubuhnya sesuai dengan kadar yang normal (muta‘araf)—sebagaimana telah dipaparkan pada masalah 98.
Masalah 232: Berdasarkan ihtiyath wajib, hukum di atas hanya khusus untuk binatang-binatang yang berdaging halal dan tidak berlaku untuk hewan-hewan yang berdaging haram.
Pasal VI - Hal-hal Yang Dapat Menyucikan
Oleh: Ayatullah Al Uzhma Sistani.
Masalah 149: Ada dua belas hal yang dapat menyucikan najis dan kedua belas hal itu dinamakan muthahhirat (hal-hal yang dapat menyucikan): (1) air, (2) bumi, (3) matahari, (4) istihalah (perubahan substansi), (5) inqilab (perubahan air anggur menjadi cuka), (6) perpindahan (intiqal), (7) Islam, (8) taba‘iyah (mengikuti), (9) hilangnya benda najis, (10) istibra’ yang dilakukan atas binatang pemakan najis, (11) gaibnya seorang Muslim, dan (12) keluarnya darah dari dalam tubuh binatang sembelihan. Hukum-hukum berkenaan dengan kedua belas hal tersebut akan dijelaskan pada pembahasan-pembahasan berikut ini.
(1) Air
Masalah 150: Dengan empat syarat, air dapat menyucikan barang yang najis:
Pertama, air itu harus mutlak. Oleh karena itu, air mudhaf, seperti air perasan bunga dan air semangka tidak dapat menyucikan barang yang najis.
Kedua, air itu harus suci.
Ketiga, ketika kita mencuci barang najis tersebut, air itu tidak menjadi air mudhaf. Di samping itu, pada kali cucian terakhir di mana setelah itu tidak perlu kita mencucinya lagi, bau, warna, atau rasanya tidak berubah karena benda najis itu. Dan pada selain kali cucian ini, perubahan ini tidak ada masalah. Misal, kita ingin mencuci sebuah barang yang najis dengan menggunakan air kur atau air sedikit. Di sini kita harus mencucinya sebanyak dua kali. Jika kita mencucinya dan air tersebut berubah pada kali pertama, tetapi pada kali kedua, kita mencucinya dengan air yang tidak berubah, maka barang tersebut menjadi suci.
Keempat, setelah kita mencucinya, benda najis tidak tersisa di barang tersebut.
Kesucian sebuah barang yang najis dengan menggunakan air sedikit—yaitu, air yang berukuran kurang dari 1 kur—juga harus memenuhi syarat-syarat lain yang akan disebutkan pada pembahasan-pembahasan berikut ini.
Masalah 151: Jika kita mencuci bagian dalam bejana yang najis dengan air sedikit, maka kita harus mencucinya sebanyak tiga kali. Begitu juga halnya—berdasarkan ihtiyath wajib—(jika kita mencucinya) dengan menggunakan air kur dan air mengalir. Jika seekor anjing minum air atau benda cair lainnya di dalam bejana, pertama kali bejana itu harus diolesi dengan tanah yang suci. Setelah itu, kita membersihkan tanah tersebut darinya dan selanjutnya, mencuci bejana tersebut dengan air sebanyak dua kali, baik dengan menggunakan air sedikit, air kur, atau air mengalir. Begitu juga, apabila seekor anjing menjilat bejana dan terdapat bekas sesuatu (air liur atau sisa makanan) yang masih tersisa. Maka, sebelum mencucinya, kita harus mengolesinya dengan tanah terlebih dahulu. Jika air liur anjing jatuh ke dalam bejana atau sebagian badannya menyentuhnya, maka—berdasarkan ihtiyath wajib—kita harus mengolesinya dengan tanah terlebih dahulu dan setelah itu baru mencucinya dengan air sebanyak tiga kali.
Masalah 152: Jika mulut bejana yang telah dijilat oleh anjing sangat sempit (sehingga tidak mungkin bagi kita untuk mengolesinya dengan tanah), maka kita harus memasukkan tanah ke dalam bejana tersebut dan mengocoknya dengan kuat sehingga tanah itu menyentuh seluruh bagian dalam bejana itu. Setelah itu, kita harus mencucinya sesuai dengan cara yang telah disebutkan di atas.
Masalah 153: Jika seekor babi menjilat sebuah bejana atau meminum benda cair di dalamnya, atau tikus gurun pasir mati di dalamnya, maka bejana itu harus dicuci sebanyak tujuh kali, baik dengan menggunakan air sedikit, air kur, atau air mengalir, dan tidak wajib kita mengolesinya dengan tanah terlebih dahulu.
Masalah 154: Bejana yang najis karena minuman keras memiliki hukum bejana-bejana najis yang lain, seperti dijelaskan di atas. Dan berdasarkan ihtiyath mustahab, kita harus mencucinya sebanyak tujuh kali.
Masalah 155: Jika kita meletakkan kendi yang terbuat dari tanah yang najis atau air najis telah meresap ke seluruh pori-porinya di dalam air kur atau air mengalir, maka setiap bagiannya yang telah tersentuh oleh air adalah suci. Jika kita menginginkan bagian dalamnya juga suci, maka kendi itu harus dibiarkan di dalam air selama beberapa waktu sekiranya air itu meresap ke seluruh pori-porinya. Jika kendi tersebut terkena sebuah cairan yang dapat mencegah masuknya air ke bagian dalamnya, maka cairan itu harus dikeringkan terlebih dahulu dan setelah itu, baru diletakkan di dalam air kur atau air mengalir.
Masalah 156: Kita dapat mencuci bejana yang najis dengan menggunakan dua cara:
Pertama, kita memenuhinya dengan air, lalu menuangkannya. (Cara ini kita lakukan) sebanyak tiga kali.
Kedua, kita mengisinya dengan air sedikit saja, lalu memutarnya sekiranya air tersebut mengenai seluruh bagian yang najis. Setelah itu, kita menuangkannya. Kita lakukan cara ini juga sebanyak tiga kali.
Masalah 157: Jika bejana-bejana besar yang najis, seperti ketel besar, dipenuhi dengan air sedikit sebanyak tiga kali dan dituangkan untuk setiap kalinya, maka bejana itu menjadi suci. Begitu juga, (bejana-bejana itu menjadi suci) jika air itu disiramkan dari atas sebanyak tiga kali sekiranya mengenai seluruh bagiannya (yang najis) dan air yang terkumpul di bagian bawahnya dikuras. Dan berdasarkan ihtiyath mustahab, pada kali kedua dan ketiga, bejana lain yang telah digunakan untuk menguras air tersebut harus dicuci dengan air.
Masalah 158: Jika timah yang najis atau barang lain yang sejenis dengannya dicairkan dan lalu dicuci (setelah menjadi padat), maka hanya bagian luarnya saja yang menjadi suci.
Masalah 159: Jika kita menyiramkan air dari atas tanur yang najis karena terkena air kencing sebanyak satu kali sekiranya air tersebut mengenai seluruh bagiannya (yang terkena najis), maka tanur tersebut menjadi suci, dan berdasarkan ihtiyath mustahab, kita harus mengulangi tindakan ini sebanyak dua kali. Untuk benda najis selain air kencing dan setelah benda najisnya hilang, apabila kita menyiramkan air tersebut sebanyak sekali sesuai dengan cara yang telah dijelaskan tersebut, maka hal ini sudah cukup. Dan yang lebih baik adalah hendaknya kita membuat sebuah lubang di bagian bawah tanur sehingga air itu berkumpul di situ dan lalu mengurasnya. Setelah itu, kita penuhi lubang tersebut dengan tanah.
Masalah 160: Jika kita memasukkan barang yang najis ke dalam air kur atau air mengalir sebanyak sekali sekiranya air tersebut menyentuh seluruh bagian yang najis, maka barang itu menjadi suci. Apabila barang yang najis itu adalah karpet, pakaian, dan barang-barang yang sejenis, tidak wajib kita memerasnya atau melakukan tindakan sejenis dengannya, seperti menggerak-gerakkan atau menginjak-injaknya. Apabila tubuh atau pakaian kita yang najis karena terkena air kencing, maka kita harus mencucinya sebanyak dua kali, walaupun dengan menggunakan air kur.
Masalah 161: Jika kita ingin mencuci barang yang najis karena air kencing dengan air sedikit, maka barang itu akan suci ketika kita menuangkan air kepadanya sekali, lalu air itu terpisah darinya dan tidak ada air kencing yang tersisa lagi di barang tersebut, kecuali berkenaan dengan pakaian dan tubuh di mana kita harus mencucinya dengan air sebanyak dua kali untuk menjadi suci. Ala kulli hal, dalam mencuci pakaian, karpet, dan barang-barang yang sejenisnya, kita harus memerasnya sedemikian rupa sehingga ghusalah-nya keluar. (Ghusalah adalah air yang keluar dari sesuatu yang sudah dicuci, baik keluar dengan sendirinya maupun dengan diperas).
Masalah 162: Jika sebuah barang menjadi najis karena air kencing seorang bayi yang masih menyusu dan belum pernah memakan makanan lain, maka barang tersebut akan suci ketika kita menuangkan air kepadanya sekiranya mengenai seluruh bagian yang najis. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab kita harus menuangkan air sekali lagi kepadanya. Dalam hal ini, tidak wajib kita memeras pakaian, karpet, dan barang-barang yang sejenisnya.
Masalah 163: Jika sebuah barang terkena benda najis selain air kencing dan kita menuangkan air sedikit kepadanya sebanyak sekali sembari menghilangkan benda najisnya, serta air itu terpisah darinya, maka barang najis itu menjadi suci. Akan tetapi, bagaimanapun juga kita harus memeras pakaian dan barang-barang yang sejenis dengannya supaya ghusalah-nya keluar.
Masalah 164: Jika kita memasukkan tikar najis yang ditenun dengan benang ke dalam air kur atau air mengalir, maka tikar itu menjadi suci setelah benda najis itu hilang. Akan tetapi, apabila kita ingin mencuci tikar tersebut dengan menggunakan air sedikit, maka kita harus memerasnya bagaimanapun caranya—meskipun dengan cara menginjak-injaknya—supaya ghusalah-nya keluar.
Masalah 165: Jika bagian luar gandum, beras, sabun, dan benda-benda yang sejenis najis, maka semua benda itu akan menjadi suci dengan dimasukkan ke dalam air kur dan air mengalir. Dan jika bagian dalamnya najis dan air kur atau air mengalir itu dapat menyentuh bagian dalam tersebut dalam kondisi masih bersifat air mutlak, maka semua benda itu menjadi suci. Akan tetapi—sepertinya—air mutlak tidak akan pernah masuk ke dalam sabun dan benda-benda yang sejenis dengannya.
Masalah 166: Jika kita ragu apakah air najis telah meresap ke bagian dalam sabun atau belum, maka bagian dalam sabun itu adalah suci.
Masalah 167: Jika bagian luar beras, daging, dan benda-benda yang sejenis dengannya najis, lalu kita meletakkannya di dalam sebuah mangkok yang suci dan kita isi mangkok tersebut dengan air sebanyak sekali, kemudian kita tuang kembali, maka semua benda itu menjadi suci. Jika kita meletakkan benda-benda itu di dalam mangkok yang najis, maka kita harus melakukan tindakan tersebut sebanyak tiga kali. Dengan cara pencucian seperti ini, mangkok tersebut juga menjadi suci. Dan apabila kita ingin mencuci pakaian dan barang-barang lain sejenis yang harus diperas dengan meletakkannya di dalam sebuah ember, maka kita harus memerasnya untuk setiap kali kita mengisi air dan memiringkan ember tersebut supaya ghusalah yang terkumpul di situ keluar.
Masalah 168: Jika kita meletakkan pakaian najis yang sudah diwenter dengan (zat pewarna), seperti serbuk bunga Nile (blueing) dan zat-zat pewarna yang sejenis, di dalam air kur atau air mengalir dan air tersebut telah meresap ke seluruh bagiannya sebelum menjadi air mudhaf karena zat pewarna itu, maka pakaian itu menjadi suci. Jika kita mencucinya dengan menggunakan air sedikit dan ketika kita memerasnya, yang keluar bukanlah air mudhaf, maka pakaian tersebut adalah suci.
Masalah 169: Jika kita mencuci pakaian yang najis di dalam air kur atau air mengalir, lalu setelah itu kita menemukan lumut air melengket di pakaian tersebut, maka pakaian itu adalah suci apabila kita tidak memberikan kemungkinan bahwa lumut tersebut dapat mencegah sampainya air ke dalam pakaian itu.
Masalah 170: Jika kita menemukan segumpal tanah atau sabun di atas pakaian setelah mencucinya dengan air, pakaian itu adalah suci apabila kita tidak memberikan kemungkinan bahwa tanah atau sabun tersebut dapat mencegah meresapnya air (ke dalam pakaian itu). Akan tetapi, jika air najis telah meresap ke dalam tanah atau sabun tersebut, maka hanya bagian luar tanah dan sabun itu yang suci, sementara bagian dalamnya tetap najis.
Masalah 171: Sesuatu yang najis tidak akan pernah suci selama kita belum menghilangkan benda najisnya. Jika hanya bau atau warnanya yang tersisa, hal itu tidak isykal. Oleh karena itu, jika kita telah menghilangkan darah dari pakaian dan mencucinya, tetapi warnanya masih tersisa, maka pakaian tersebut adalah suci.
Masalah 172: Jika kita menghilangkan benda najis dari tubuh kita di dalam air kur atau air mengalir, maka tubuh kita menjadi suci, kecuali apabila tubuh kita itu menjadi najis karena terkena air kencing. Dalam kondisi seperti ini, tubuh kita tidak menjadi suci hanya dengan mencucinya sebanyak sekali. Akan tetapi, tidak wajib juga kita mengeluarkan tubuh dari dalam air dan kemudian memasukkannya kembali. Apabila kita mengusap bagian tubuh yang najis tersebut ketika masih berada di dalam air sehingga air menyentuhnya sebanyak dua kali, maka hal ini sudah cukup.
Masalah 173: Jika sisa makanan yang najis tersisa di sela-sela gigi dan kita berkumur-kumur dengan menggunakan air sehingga air itu menyentuh seluruh makanan yang najis tersebut, maka sisa makanan itu menjadi suci.
Masalah 174: Jika kita mencuci rambut dan jenggot yang tidak lebat dengan air sedikit, maka tidak harus kita “memerasnya” supaya ghusalah keluar, karena ghusalah itu akan keluar dengan sendirinya sesuai dengan kadar yang semestinya (muta‘araf).
Masalah 175: Jika kita mencuci bagian dari tubuh atau pakaian dengan air sedikit, bagian-bagian yang berada di sekitarnya dan pada umumnya akan terkena air tersebut pada saat mencucinya menjadi suci dengan sucinya bagian yang najis itu. Artinya, tidak wajib kita mencuci bagian-bagian tersebut secara independen. Karena bagian-bagian sekitar dan bagian yang najis itu akan menjadi suci secara bersamaan dengan mencucinya. Begitu juga halnya ketika kita meletakkan sesuatu yang suci di samping sesuatu yang najis dan menyiramkan air di atas keduanya. Atas dasar ini, jika kita menuangkan air ke seluruh jari-jari tangan untuk menyucikan satu jari yang najis dan air najis beserta air suci itu menyentuh seluruh jari-jari tersebut, maka dengan sucinya jari yang najis itu, seluruh jari-jari yang lain juga menjadi suci.
Masalah 176: Daging dan lemak yang najis juga bisa dicuci dengan air seperti layaknya benda-benda lainnya. Begitu juga halnya badan atau pakaian yang sedikit berlemak sekiranya tidak mencegah air meresap.
Masalah 177: Jika bejana atau badan kita najis dan setelah itu, terkena lemak sekiranya dapat mencegah masuknya air ke dalamnya, maka kita harus menghilangkan lemak itu terlebih dahulu jika kita ingin menyucikannya supaya air dapat masuk ke dalamnya.
Masalah 178: Air kran yang bersambung dengan air kur memiliki hukum air kur.
Masalah 179: Jika kita mencuci barang yang najis dan yakin bahwa ia telah suci, lalu kita ragu apakah kita telah menghilangkan benda najisnya atau belum, maka kita harus mencucinya untuk kali kedua kali sehingga kita yakin bahwa benda najis itu telah hilang.
Masalah 180: Jika tanah yang dapat menyerap air—seperti tanah yang dilapisi oleh pasir atau kerikil—menjadi najis, maka tanah itu dapat disucikan dengan menggunakan air sedikit.
Masalah 181: Apabila tanah yang dilapisi dengan bebatuan atau batu bata dan tanah keras yang tidak dapat menyerap air menjadi najis, tanah itu dapat disucikan dengan menggunakan air sedikit. Akan tetapi, kita harus menuangkan air di atasnya sedemikian rupa sehingga air tersebut mengalir. Jika air yang telah kita tuangkan di atas tanah itu tidak mengalir melalui sebuah lubang dan tergenang di sebuah tempat, maka—untuk menyucikan tempat yang tergenang air itu—kita harus mengeluarkan air tersebut dengan menggunakan kain atau timba.
Masalah 182: Jika bagian luar batu garam dan benda-benda yang sejenis menjadi najis, maka ia dapat disucikan dengan menggunakan air yang kurang dari 1 kur.
Masalah 183: Jika kita membuat gula batu dengan menggunakan gula pasir najis yang sudah mencair, maka gula batu itu tidak dapat menjadi suci meskipun kita telah meletakkannya di dalam air kur atau air mengalir.
(2) Bumi
Masalah 184: Dengan empat syarat, bumi dapat menyucikan telapak kaki dan bagian bawah sepatu:
Pertama, bumi itu harus suci.
Kedua, berdasarkan ihtiyath wajib, bumi itu harus kering.
Ketiga, berdasarkan ihtiyath wajib, benda najis (yang menempel ke telapak kaki dan bagian bawah sepatu itu) harus berasal dari bumi.
Keempat, jika benda najis seperti darah dan air kencing atau benda yang terkena najis seperti tanah yang najis terdapat di telapak kaki dan bagian bawah sepatu, semua itu harus hilang karena kita berjalan di atas bumi atau mengusapkannya ke atas bumi. Apabila benda najis (yang menempel di telapak kaki atau bagian bawah sepatu) telah hilang sebelumnya, maka berdasarkan ihtiyath wajib telapak kaki dan bagian bawah sepatu itu tidak menjadi suci dengan kita berjalan di atas bumi atau mengusapkannya di atas bumi. Di samping itu, bumi itu harus berbentuk tanah, bebatuan, tanah yang dilapisi oleh batu bata, dan lain sebagainya. Dengan berjalan di atas karpet, tikar, atau sayur-mayur, telapak kaki dan bagian bawah sepatu tidak menjadi suci.
Masalah 185: Kesucian telapak kaki dan bagian bawah sepatu yang najis dengan cara kita berjalan di atas jalan beraspal dan di atas bumi yang sudah dilapisi kayu adalah isykal.
Masalah 186: Untuk menyucikan telapak kaki dan bagian bawah sepatu sebaiknya kita berjalan sebanyak lima belas depa atau lebih, meskipun benda najis akan hilang dengan berjalan kurang dari lima belas depa atau dengan mengusapkan kaki ke tanah.
Masalah 187: Telapak kaki dan bagian bawah sepatu itu tidak harus basah. Dalam kondisi kering sekali pun, bagian itu dapat menjadi suci dengan cara kita berjalan (di atas tanah).
Masalah 188: Setelah telapak kaki atau bagian bawah sepatu menjadi suci dengan berjalan (di atas tanah), sebagian dari bagian pinggirnya yang biasanya juga terkena lumpur juga menjadi suci.
Masalah 189: Orang yang berjalan dengan menggunakan telapak tangan dan lutut, jika telapak tangan dan lutut tersebut menjadi najis, maka kesucian telapak tangan dan lutut itu dengan cara berjalan (di atas tanah) adalah isykal. Begitu juga halnya berkenaan dengan ujung tongkat, telapak kaki palsu, besi pelapis telapak kaki hewan (seperti kuda), roda mobil dan yang semisalnya.
Masalah 190: Jika setelah kita berjalan (di atas tanah) masih tersisa bau, warna, atau butiran-butiran kecil benda najis yang tak terlihat di telapak kaki dan bagian bawah sepatu, maka hal ini tidak isykal, merskipun berdasarkan ihtiyath mustahab kita harus berjalan sedemikian sehingga semua itu hilang.
Masalah 191: Bagian dalam sepatu tidak dapat menjadi suci dengan cara kita berjalan (di atas tanah). Kesucian telapak kaos kaki dengan cara berjalan (di atas tanah) tersebut juga isykal, kecuali jika telapak kaos kaki tersebut terbuat dari kulit atau benda-benda yang semisal dan berjalan dengan menggunakan kaos kaki semacam itu juga suatu hal yang lumrah.
(3) Matahari
Masalah 192: Dengan lima syarat berikut ini, matahari dapat menyucikan bumi, bangunan, dan tembok:
Pertama, bagian yang terkena najis harus basah sedemikian rupa sekiranya sebuah benda menyentuh bagian tersebut, kebasahannya akan berpindah ke benda tersebut. Oleh karena itu, jika bagian itu kering, maka kita harus membasahinya supaya matahari mengeringkannya kembali.
Kedua, jika masih terdapat benda najis di tempat itu, kita harus menghilangkannya terlebih dahulu sebelum dikeringkan oleh sinar matahari.
Ketiga, tidak boleh ada penghalang yang menghalangi sinar matahari (sampai kepada bagian yang najis tersebut). Dengan demikian, jika matahari menyinarinya dari balik hordeng, awan, dan lain sebagainya dan bagian yang najis itu menjadi kering, maka bagian yang najis tersebut belum suci. Akan tetapi, jika awan tersebut sangat tipis sehingga tidak dapat menghalangi sinar matahari, maka hal itu tidak isykal.
Keempat, hanya matahari yang mengeringkan (bagian yang najis tersebut). Dengan ini, jika bagian itu kering dengan perantara matahari dan angin, maka ia belum suci. Akan tetapi, jika angin tersebut sangat sedikit sehingga tidak dapat dikatakan bahwa ia memiliki andil dalam mengeringkannya, maka hal itu tidak isykal.
Kelima, matahari harus mengeringkan bangunan dan bagian dalamnya yang terkena najis secara bersamaan. Dengan demikian, jika pertama kali ia menyinari bumi dan bangunan dan hanya mengeringkan bagian atasnya, lalu pada kali kedua ia mengeringkan bagian dalamnya, maka hanya bagian atasnya saja yang dapat menjadi suci. Sementara itu, bagian dalamnya masih tetap najis.
Masalah 193: Matahari dapat menyucikan reng (yang terbuat dari penjalin atau kayu dan biasanya diletakkan di depan rumah sebagai penghalang masuknya sinar matahari). Akan tetapi, jika reng ini ditenun dengan benang, kesucian benang-benangnya adalah isykal. Begitu juga, kesucian pepohonan, tumbuh-tumbuhan, pintu, dan jendela dengan menggunakan sinar matahari adalah isykal.
Masalah 194: Jika kita ragu setelah proses penyucian dengan sinar matahari usai apakah tanah tersebut basah ketika matahari menyinarinya atau kering, apakah tanah basah itu kering karena matahari atau karena sesuatu yang lain, maka tanah itu masih najis. Begitu juga halnya apabila kita ragu apakah benda najis sudah hilang atau belum sebelum matahari menyinarinya dan apakah ada penghalang yang menghalangi sinar matahari atau tidak.
Masalah 195: Jika matahari menyinari satu sisi tembok yang najis, dan dengan ini, sisi tembok yang tidak disinari olehnya juga kering, maka tidak jauh kedua sisi tembok itu adalah suci. Akan tetapi, jika matahari mengeringkan bagian luar tembok atau bagian atas bumi pada suatu hari dan lalu mengeringkan bagian dalamnya pada hari yang lain, maka hanya bagian luar tembok dan bumi itu yang menjadi suci.
(4) Istihalah (Perubahan Substansi)
Masalah 196: Jika substansi suatu benda yang najis berubah menjadi substansi benda lain yang suci, maka benda itu menjadi suci. Contoh, kayu yang najis dibakar sehingga menjadi abu atau anjing tenggelam ke dalam lautan garam dan ia berubah menjadi garam. Akan tetapi, jika substansinya tidak berubah, seperti gandum yang najis dijadikan tepung atau dimasak menjadi roti, maka gandum itu tidak menjadi suci.
Masalah 197: Kendi tanah yang terbuat dari tanah yang najis adalah najis. Dan arang yang terbuat dari kayu yang najis adalah suci asalkan arang ini sudah tidak memiliki satu pun hakikat yang dimiliki oleh kayu itu.
Masalah 198: Benda najis yang belum diketahui secara pasti apakah sudah mengalami perubahan substansi atau belum adalah najis.
(5) Inqilab (Perubahan Air Anggur Menjadi Cuka)
Masalah 199: Jika minuman keras berubah menjadi cuka, baik berubah dengan sendirinya atau dicampur dengan cuka dan garam, maka minuman keras itu menjadi suci.
Masalah 200: Minuman keras yang terbuat dari anggur yang najis atau bahan lainnya yang najis, atau kejatuhan benda najis lain tidak menjadi suci ketika berubah menjadi cuka.
Masalah 201: Cuka yang terbuat dari anggur, kismis, dan kurma yang najis adalah najis.
Masalah 202: Jika serat-serat anggur atau kurma yang sangat halus terdapat di dalamnya dan dicampur dengan cuka, maka hal itu tidak masalah. Bahkan, tidak isykal kita mencampur timun, terong, dan benda-benda lain yang sejenis dengan (perasan) anggur dan kurma tersebut, meskipun sebelum anggur dan kurma itu menjadi cuka, kecuali apabila anggur dan kurma itu telah memabukkan sebelum menjadi cuka.
Masalah 203: Air anggur yang mendidih dengan dimasak di atas api atau dengan sendirinya adalah haram. Jika air anggur ini terus dididihkan hingga dua pertiga bagiannya menguap dan hanya tinggal sepertiga bagian, maka air anggur ini menjadi halal. Pada masalah 114 telah dijelaskan bahwa air anggur tidak menjadi najis dengan mendidih.
Masalah 204: Jika dua pertiga bagian air anggur menguap tanpa mendidih dan lalu sisanya mendidih, dalam hal ini apabila sisa air anggur yang telah mendidih itu masih dinamakan air anggur secara ‘urf, bukan sari anggur, maka sisa air anggur itu—berdasarkan ihtiyath wajib—adalah haram.
Masalah 205: Air anggur yang tidak diketahui apakah sudah mendidih atau belum adalah halal. Akan tetapi, jika air anggur sudah mendidih, maka selama dua pertiga bagiannya belum menguap, air anggur itu tidak halal.
Masalah 206: Jika dalam setangkai buah anggur muda yang masih mentah dan kecut rasanya (green grape) terdapat satu-dua butir anggur yang sudah matang, dalam hal ini apabila perasan air buah yang berasal dari setangkai anggur mudah tidak dinamakan air anggur dan mendidih, maka perasan air buah itu halal dimakan.
Masalah 207: Jika sebiji anggur jatuh ke dalam masakan yang sedang mendidih di atas api dan anggur itu ikut mendidih, tetapi tidak pecah sehingga tidak bercampur dengan seluruh masakan itu, maka yang haram hanyalah memakan biji anggur tersebut.
Masalah 208: Jika kita ingin memasak sari anggur/kurma dalam beberapa ketel, maka diperbolehkan kita meletakkan saringan yang telah diletakkan di dalam ketel yang telah mendidih di dalam ketel lain yang belum mendidih.
Masalah 209: Buah yang tidak diketahui (substansinya) apakah anggur muda (green grape) atau anggur yang sudah matang adalah halal, meskipun ia sudah mendidih.
(6) Perpindahan (Intiqal)
Masalah 210: Jika darah manusia atau binatang yang berdarah memancar—yaitu binatang yang darahnya memancar ketika uratnya dipotong—diisap oleh binatang lain yang—menurut pandangan ‘urf—tidak memiliki darah memancar dan darah itu memang sudah berfungsi untuk menjadi bagian tubuhnya, seperti nyamuk mengisap darah manusia, maka darah itu adalah suci. Hal ini dinamakan intiqal (perpindahan). Akan tetapi, darah manusia yang diisap oleh lintah dalam rangka untuk melakukan pengobatan adalah najis, karena darah itu tidak berfungsi untuk menjadi bagian tubuhnya dan masih dinamakan darah manusia.
Masalah 211: Jika kita membunuh seekor nyamuk yang hinggap di badan kita dan darah yang telah diisapnya dari tubuh kita keluar dari nyamuk tersebut, maka darah tersebut adalah suci, meskipun jarak antara pengisapan darah dan pembunuhan nyamuk itu sangatlah sedikit. Hal itu lantaran darah itu telah berfungsi sebagai makanan nyamuk tersebut. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab, kita hendaknya menjauhi darah tersebut pada kondisi ini.
(7) Islam
Masalah 212: Jika seorang kafir membaca dua kalimat syahadat, yaitu bersaksi atas keesaan Allah dan kenabian pamungkas para nabi—dengan menggunakan bahasa apapun, maka ia menjadi seorang muslim. Apabila sebelum (menjadi muslim) ia dihukumi najis, maka setelah menjadi seorang muslim, sekujur tubuh, air ludah, ingus, dan keringatnya menjadi suci. Akan tetapi, ketika masih ada benda najis (yang melekat) di badannya pada saat ia menjadi seorang muslim, maka ia harus menghilangkan dan mencucinya dengan air. Bahkan, jika benda najis itu telah hilang sebelum ia menjadi muslim, maka ihtiyath wajib adalah ia mencucinya dengan air.
Masalah 213: Jika pakaiannya—dalam kondisi basah—telah menyentuh tubuhnya ketika ia masih kafir, maka berdasarkan ihtiyath wajib ia harus menjauhinya (baca: mencucinya dengan air), baik ia mengenakan pakaian itu pada saat menjadi muslim maupun tidak memakainya.
Masalah 214: Jika seorang kafir membaca dua kalimat syahadat, dan kita tidak mengetahui apakah ia telah masuk Islam dengan sepenuh hati atau tidak, maka ia menjadi suci. Begitu juga halnya apabila kita tahu bahwa ia tidak memeluk Islam dengan sepenuh hati, asalkan ia tidak melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan (kandungan) dua kalimat syahadat tersebut.
(8) Taba‘iyah (Mengikuti)
Masalah 215: Taba‘iyah adalah sucinya suatu benda yang najis karena sucinya suatu benda najis yang lain.
Masalah 216: Jika minuman keras menjadi cuka, maka bejana (yang digunakan sebagai wadahnya) juga menjadi suci sampai batas di mana minuman keras itu menyentuhnya ketika mendidih. Tutup dan kain penyekatnya juga menjadi suci jika keduanya menjadi najis karena minuman keras tersebut. Akan tetapi, jika bagian luar bejana itu juga terkena minuman keras tersebut (ketika meluap ke luar), maka berdasarkan ihtiyath wajib kita harus menjauhi bagian luar bejana ini setelah minuman keras itu menjadi cuka.
Masalah 217: Seorang anak kecil yang kafir dapat menjadi suci lantaran taba‘iyah dalam dua kondisi berikut ini:
a. Ayahnya menjadi muslim. Begitu juga halnya apabila ibu, kakek, atau nenek anak kecil itu menjadi muslim. Hanya saja, anak itu dihukumi suci pada kondisi ini dengan syarat ia hidup bersama dengan orang yang baru masuk Islam itu dan berada di bawah tanggungannya. Begitu juga, orang kafir lain yang memiliki hubungan darah yang lebih dekat dengan anak tersebut tidak hidup bersamanya.
b. Ia menjadi tawanan seorang muslim dan ayah atau salah satu kakek dan neneknya tidak bersamanya.
Pada kedua kondisi ini, kesucian anak kecil itu dapat berlaku dengan syarat ia tidak menampakkan kekafiran apabila pada waktu itu ia telah mencapai usia mumayiz.
Masalah 218: Ranjang atau batu yang digunakan untuk memandikan mayat di atasnya, kain yang digunakan untuk menutupi auratnya, tangan orang yang memandikannya, dan segala sesuatu yang dicuci bersama mayit tersebut menjadi suci setelah ritual memandikan mayit itu usai.
Masalah 219: Jika kita mencuci suatu (barang yang najis), maka tangan kita—yang juga tercuci bersama barang tersebut—menjadi suci setelah barang najis itu menjadi suci.
Masalah 220: Jika kita mencuci pakaian dan barang-barang yang sejenis dan telah memerasnya sedemikian rupa sehingga air yang terdapat di dalamnya terpisah, maka air yang masih tersisa di dalam pakaian itu adalah suci.
Masalah 221: Jika kita mencuci sebuah bejana yang najis dengan air sedikit, setelah terpisahnya air (tuangan terakhir) yang digunakan untuk menyucikannya, maka sedikit air yang masih tersisa di dalam bejana tersebut adalah suci.
(9) Hilangnya Benda Najis
Masalah 222: Jika tubuh seekor binatang terkena benda najis, seperti darah atau barang yang najis, seperti air yang najis, maka tubuh binatang tersebut menjadi suci ketika benda dan barang najis itu hilang. Begitu juga halnya berkenaan dengan bagian dalam tubuh manusia, seperti mulut dan hidung yang menjadi najis karena tersentuh benda najis yang berasal dari luar. Dengan hilangnya benda najis itu, bagian dalam tubuh itu menjadi suci. Akan tetapi, benda najis yang berasal dari dalam tubuh, seperti darah yang keluar dari sela-sela gigi tidak dapat menyebabkan kenajisan bagian dalam tubuh. Bagitu juga, jika sebuah benda yang berasal dari luar tubuh menyentuh benda najis—yang berasal dari dalam tubuh—di dalam tubuh, maka persentuhan ini tidak dapat menyebabkan kenajisan benda tersebut. Oleh karena itu, jika gigi pasangan menyentuh darah yang keluar dari sela-sela gigi di dalam mulut, maka tidak wajib kita mencucinya dengan air. Akan tetapi, jika gigi pasangan ini menyentuh makanan yang najis, maka kita wajib mencucinya dengan air.
Masalah 223: Jika ada sisa makanan yang tersisa di sela-sela gigi dan darah keluar di dalam mulut kita, maka sisa makanan itu tidak menjadi najis dengan menyentuh darah itu.
Masalah 224: Bagian mulut dan kelopak mata yang tertutup ketika kita menutup mata dan mulut memiliki hukum bagian dalam tubuh kita. Oleh karena itu, jika bagian itu menyentuh benda najis yang berasal dari luar tubuh, maka tidak wajib kita mencucinya dengan air. Akan tetapi, jika kita tidak mengetahui apakah satu bagian tubuh termasuk bagian dalam tubuh atau bagian luar dan ia menyentuh benda najis yang berasal dari luar tubuh, maka wajib kita mencucinya dengan air.
Masalah 225: Jika debu dan tanah yang najis menempel di atas pakaian, karpet, dan barang-barang sejenis yang kering, lalu kita menggerak-gerakkannya sedemikian rupa sehingga debu dan tanah najis itu terpisah dalam kadar yang meyakinkan (bahwa debu dan tanah itu sudah terpisah), maka pakaian dan karpet itu adalah suci dan tidak perlu dicuci.
(10) Istibra’ yang Dilakukan atas Binatang Pemakan Najis
Masalah 226: Air kencing dan kotoran binatang yang sudah terbiasa memakan kotoran manusia adalah najis. Jika kita menginginkan air kencing dan kotorannya menjadi suci, maka kita harus melakukan istibra’ atas binatang tersebut. Yaitu, kita mencegahnya memakan benda najis itu dan memberikan makanan-makanan yang suci kepadanya selama masa tertentu sehingga setelah masa itu berlalu, binatang tersebut tidak dianggap lagi sebagai binatang pemakan najis. Berdasarkan ihtiyath mustahab, untuk unta pemakan najis, kita harus melakukan istibra’ atasnya selama 40 hari, untuk sapi 20 hari, untuk kambing 10 hari, untuk itik 7 atau 5 hari, dan untuk ayam rumah 3 hari, meskipun binatang-binatang itu sudah tidak dinamakan binatang pemakan najis sebelum masa-masa (yang telah ditentukan) itu berlalu.
(11) Gaibnya Seorang Muslim
Masalah 227: Jika badan dan pakaian atau barang-barang lain, seperti bejana dan karpet yang berada dalam kekuasaan seorang muslim yang sudah mencapai usia balig atau dapat membedakan najis dan suci menjadi najis dan orang muslim itu gaib dari pandangan kita (baca: berpisah dengan kita), serta kita memberikan kemungkinan bahwa ia telah mencucinya dengan air, maka seluruh barang itu adalah suci. Akan tetapi, berdasarkan ihtiyath mustahab, kita jangan menganggap barang itu suci kecuali dengan terpenuhinya beberapa syarat di bawah ini:
a. Ia meyakini bahwa benda najis yang telah menajiskan tubuh atau pakaiannya adalah najis. Atas dasar ini, jika pakaiannya menyentuh tubuh orang kafir dalam kondisi basah dan ia tidak meyakini bahwa tubuh orang kafir itu adalah najis, maka kita tidak boleh menganggap bahwa pakaian itu adalah suci setelah ia gaib dari pandangan kita.
b. Ia mengetahui bahwa tubuh atau pakaiannya telah menyentuh najis.
c. Kita melihat ia menggunakannya dalam sebuah amalan yang disyaratkan bersuci. Seperti kita melihat ia mengerjakan shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.
d. Kita memberi kemungkinan orang muslim tersebut mengetahui bahwa pekerjaan yang sedang dikerjakan dengan menggunakan pakaian tersebut harus memiliki syarat kesucian. Oleh karena itu, jika ia tidak tahu bahwa pakaian mushalli harus suci dan ia mengerjakan shalat dengan pakaian yang telah terkena najis tersebut, maka kita tidak boleh menganggap bahwa pakaian tersebut adalah suci.
e. Kenajisan dan kesucian harus memiliki perbedaan dalam pandangannya. Oleh karena itu, jika ia tidak memiliki kepedulian tentang masalah suci dan najis, maka kita tidak boleh menganggap bahwa pakaian atau tubuhnya adalah suci.
Masalah 228: Jika kita yakin atau mantap hati bahwa suatu benda yang najis sebelumnya telah menjadi suci atau dua orang adil memberikan kesaksian atas kesuciannya dan kesaksian mereka ini berkenaan dengan sebab kesucian (benda tersebut), seperti ia bersaksi bahwa pakaian yang telah terkena air kencing itu telah dicuci sebanyak dua kali, maka benda tersebut adalah suci. Begitu juga halnya jika seseorang yang memiliki kekuasaan atas suatu benda yang najis mengatakan bahwa barang itu telah suci dan ia bukan orang yang tertuduh atau seorang muslim telah mencucinya dengan air—meskipun tidak diketahui apakah ia telah mencucinya dengan benar atau tidak.
Masalah 229: Jika seseorang menjadi wakil untuk mencuci pakaian kita dan ia berkata, “Aku telah mencucinya,” serta kita mendapatkan kemantapan hati dari ucapannya itu, maka pakaian tersebut adalah suci.
Masalah 230: Jika seseorang memiliki sebuah kondisi kejiwaan di mana ia tidak akan pernah mendapatkan keyakinan dalam menyucikan sebuah barang yang najis dan ia telah bertindak sebagaimana orang-orang normal mencuci barang yang najis, maka hal ini sudah cukup.
(12) Keluarnya Darah dari Tubuh Binatang Sembelihan Secara Normal
Masalah 231: Darah yang tersisa di dalam tubuh binatang sembelihan yang telah disembelih sesuai dengan tuntunan syariat Islam adalah suci, asalkan darahnya telah keluar dari tubuhnya sesuai dengan kadar yang normal (muta‘araf)—sebagaimana telah dipaparkan pada masalah 98.
Masalah 232: Berdasarkan ihtiyath wajib, hukum di atas hanya khusus untuk binatang-binatang yang berdaging halal dan tidak berlaku untuk hewan-hewan yang berdaging haram.
Marcadores:
Fikih,
Kajian islam,
Najis,
Suci