Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Shalat. Show all posts
Showing posts with label Shalat. Show all posts

Bagaimana Hukum Puasa Para Musafir?


Bagaimana hukum salat dan puasa bagi para dosen dan mahasiswa yang jika berniat untuk tinggal lebih dari 10 hari di tempat belajar dan mengajar?
 
Pertanyaan-pertanyaan yang paling banyak diajukan oleh masyarakat kepada Pusat Nasional Solusi Keagamaan adalah sebagai berikut:

Para dosen dan mahasiswa jika mereka berniat untuk tinggal lebih dari 10 hari di tempat studi dan mengajar, bagaimana hukum salat dan puasa mereka?

Jawaban: semua Marja mengatakan:

Untuk orang-orang seperti ini, salatnya harus dikerjakan secara sempurna (tidak di-qashar) dan juga wajib berpuasa.

Dan orang-orang yang sesuai dengan pandangan Marja’ taklidnya digolongkan sebagai orang yang sangat banyak bepergian dan safar, maka tempat studi dan mengajarnya dikategorikan sebagai tempat tinggalnya (watan), dengan demikian mereka harus mengerjakan salatnya secara sempurna (tidak dipendekkan atau di-qashar-kan) dan berpuasa dengan tanpa berniat tinggal sepuluh hari. (Taudhihul Masail Maraji’, jilid 1, Masalah1292).

(Shabestan)

Seni Harus Berkhidmat untuk Budaya Salat


“Masjid adalah tempat yang digunakan oleh masyarakat untuk mengerjakan salat berjamaah. Di samping itu, masjid juga mereka gunakan untuk mendiskusikan masalah kontemporer masyarakat.”
Begitu ditegaskan oleh Ali Jannati Menteri Budaya dan Bimbingan Islam hari ini, Rabu (13/5), kepada Kantor Berita Shabestan.

Masjid, lanjut Jannati, bukan hanya tempat untuk melakukan ibadah semata. Banyak problematikan sosial bisa dikaji di tempat suci ini. Untuk itu, Lembaga Budaya dan Seni Masjid yang kini sudah berjumlah sekitar 20 ribu lembaga harus selalu memperluas dan memperdalam aktifitasnya untuk manjawab tuntutan ini.

“Untuk itu, perpustakaan masjid harus diaktifkan. Seluruh aktifitas kebudayaan dan kesenian juga harus dituntaskan melalui badan ini,” ujar Jannati.

Di bagian lain uraian, Jannati menekankan supaya fasilitas kesenian harus dimanfaatkan untuk memperluas budaya salat.

“Buku dan film sinema adalah fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk memperluas dan memasyarakatkan budaya salat,” ujar Jannati.

Tetapi, tentu, lanjut Jannati, maksud kami adalah salat yang memperoleh keridaan Ilahi. Salat yang dapat menghiasai akhlak masyarakat kita dan menjauhkan mereka dari kebejatan akhlak.

Jannati juga menyayangkan mengapa tindakan kita kadang-kadang masih bertentangan dengan efek yang semestinya dapat diperoleh melalui salat. Sebagai contoh nyata, ungkapnya, kita mengerjakan salat. Tetapi kita juga masih sering berbohong dan melemparkan tuduhan kepada orang lain.

(Shabestan)

Warga Rusia Mengerjakan Salat Sesuai Waktu Makkah


Warga muslim yang hidup di kota Vorkuta, Rusia, terpaksa harus mengerjakan salat sesuai dengan waktu Makkah Mukarramah. Hal ini lantaran matahari tidak pernah terbenam pada musim panas tahun ini.
Ketika diklarifikasi mengapa harus menunjuk waktu salat sesuai Makkah, Mahmud Muhammadov kepala dan imam kaum minoritas Vorkuta menegaskan, negara lain yang memiliki problem seperti ini menjadikan Makkah sebagai tolok ukur. Untuk itu, kami juga melakukan demikian.

Sebagai informasi, warga muslim Vorkuta hingga kini masih belum memiliki masjid. Mereka terpaksa harus mengerjakan salat berjamaah di lantai dasar sebuah bangunan. Bangunan ini pun hanya bisa menerima jamaah dalam jumlah kecil.

Kaum minoritas muslim Vorkuta telah membeli sebidang tanah pada tahun 2009 lalu untuk membangun sebuah masjid. Tetapi, lantaran kekurangan dana, pembangunan masjid ini belum dimulai.

Tahun ini, mereka telah berhasil mengumpulkan dana sebesar 20 juta rubel, dan pembangunan masjid akan segera dimulai. Mereka berharap, pembangunan masjid ini bisa rampung hingga akhir musim panas tahun ini. Sekalipun demikian, Mahmud Muhammadov masih berharap bantuan lebih banyak lantaran krisis ekonomi yang melanda dunia.

Sebanyak 2 juta jiwa warga muslim berdomisili di kota Moskow, dan mereka hanya memiliki empat buah masjid.

Salat, Tiket Seorang Mukmin Memasuki Surga


“Salat, doa, dan penghambaan sudah ada di sepanjang sejarah umat manusia. Seluruh agama dari nabi pertama hingga nabi terakhir menekankan masalah ini. Para figur teragung sejarah di setiap masa berkomitmen menegakkan salat. Wasiat pertama para nabi dan wali Ilahi adalah salat.”
Begitu hal ini ditegaskan oleh Hujjatul Islam Hamid Reza Sulaimani kepala pelaksana Badan Penegakan Salat Nasional Republik Islam Iran (RII) pada acara apresiasi para penegak salat hari ini.

Langkah pertama setelah Rasulullah saw diangkat menjadi nabi, lanjut Sulaimani, adalah menegakkan salat, dan itu pun dengan partisipasi para figur agung sejarah; yakni Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Khadijah Kubra. Tindakan pertama beliau setelah berhijrah ke Madinah Munawwarah adalah membangun rumah Allah yang memainkan peran signifikan dalam setiap fenomena sosial masyarakat.

Di bagian lain orasi, Hujjatul Islam Saulaimani menyinggung sikap dan kebiasaan Rasulullah saw ketika mendengar panggilan untuk salat. Beliau berubah seratus persen begitu mendengar suara azan. Para imam Ahlul Bait as juga demikian. Dalam sebuah surat kepada para gubernur, Amirul Mukminin as menekankan supaya mereka mengalokasikan waktu terbaik untuk mengerjakan salat.

“Pertanyaan pertama yang akan diajukan kepada para hamba setelah kematian kelak adalah salat. Untuk menaiki sebuah pesawat, kita harus menggunakan tiket khusus sehingga kita diizinkan masuk. Tiket seorang mukmin untuk memasuki surga adalah salat. Ketika para penghuni Neraka Jahanam ditanyakan mengapa mereka dijebloskan ke dalam penjara, al-Quran menyebutkan sederetan daftar tentang hal ini. Salah satunya adalah mereka tidak memiliki hubungan yang baik dengan salat,” tukas Sulaimani.

(Shabestan)

Urgensi Salah Subuh Berjamaah di Masjid


Hujjatul Islam Musawi, Imam Jamaah Masjidun Nabi, dalam wawancara dengan bagian pemberitaan masjid KBS, dengan menjelaskan bahwa tujuan pembinaan para ruhani di Hawzah Ilmiah untuk menjadi imam jamaah, pelaksaan beragam training dalam bidang manajemen masjid, mengatakan bahwa masalah ini harus menjadi perhatian khusus di Hawzah Ilmiah kita dan mereka yang belajar di Hawzah di awal masuknya sudah seharusnya mengikuti training itu supaya arah dan tujuannya menjadi jelas, dengan demikian mereka akan mendapatkan kemampuan dalam training itu.

Ia melanjutkan, mengadakan pelajaran untuk tingkat lanjutan tertinggi dengan tema Masjid, dalam aspek aspek ilmiah, tentu sangat dibutuhkan dan para ruhani yang berkhidmat di masjid harus mengenal secara sempurna dan menyeluruh tentang masalah fiqh masjid, oleh karena itu, mengajukan pelajaran tentang fikih masjid kepada para pelajar Islam yang terkhusus ingin menjadi imam masjid adalah sangat diperlukan, namun masalah merupakan bagian dari keseluruhan.

Tentang aktivitas keagamaan dan kebudayaan yang luas di masjid, ia mengatakan, menurut saya kecenderungan masyarakat untuk hadir di masjid saat ini lebih besar dari sebelumnya, jika masjid diupayakan berjalan dalam upaya memecahkan masalah masyarakat, maka kecenderungan masyarakat akan semakin kuat untuk hadir di masjid.

Hujjatul Islam Musawi memandang pelaksanaan salat lima waktu di masjid sebagai faktor lain yang mempengaruhi maraknya kegiatan-kegiatan di masjid dan mengatakan bahwa sebagian masjid tidak mengadakan salat subuh berjamaah di masjid sementara kehadiran orang-orang di masjid di awal hari dan mengerjakan salat subuh berjamaah di masjid akan menguatkan semangat keagamaan mereka, di samping itu memulai hari dengan menegakkan salat subuh berjamaah dijanjikan mendapatkan hari yang penuh berkat.

(Shabestan)

Amalan dalam Shalat : Qiyam (berdiri)


Berdiri adalah satu-satunya bagian salat yang menyandang sifat ganda, artinya terkadang menjadi rukun dan terkadang menjadi wajib dan bukan rukun.

Mampu berdiri:
Apabila mukallaf mampu berdiri di waktu  salat, maka wajib baginya berdiri. Namun jika tidak mampu, maka ia harus melakukan salah satu dari perbuatan berikut ini sesuai dengan kemampuannya dimulai dari yang pertama:
  1. Salat duduk.
  2. Salat berbaring ke sebelah kanan dan wajahnya menghadap kiblat seperti bentuk mayit yang dikubur, jika tidak mampu maka salat berbaring ke sebelah kiri kebalikan dari yang pertama, dan ihtiyath wajibnya harus menjaga ketertiban di antara dua arah.
  3. Salat berbaring dan kedua kakinya diarahkan ke kiblat seperti kondisi orang yang sekarat, dan wajib mengisyaratkan dengan kepalanya untuk rukuk dan sujud. Menurut ihtiyath wajib, isyarat untuk sujud harus lebih rendah daripada isyarat untuk rukuk, jika itu tidak bisa dilakukan maka cukup memberi isyarat dengan kedua matanya.
Beberapa hukum berdiri:
  1. Jika ada pilihan antara berdiri bersandar (kepada tongkat atau tembok atau seseorang) atau duduk, maka wajib berdiri.
  2. Apabila mukallaf mampu berdiri tapi tidak mampu rukuk atau sujud, maka ia wajib berdiri dan memberi isyarat untuk rukuk atau sujud.
  3. Apabila mukallaf hanya mampu berdiri dalam takbiratul ihram, maka ia wajib bertakbir dengan berdiri, kemudian menyempurnakan sisa salatnya dengan duduk.
  4. Apabila perkara berputar antara salat berdiri dengan memakai isyarat (untuk rukuk dan sujud) atau dengan duduk beserta rukuk dan sujud, maka ia harus salat berdiri dengan isyarat.
Hal-hal yang disunahkan dalam berdiri:
Terdapat beberapa perkara sunah dalam berdiri, antara lain adalah:
1-Menguraikan kedua bahu.
2-Melepaskan kedua tangan (tidak bersedekap)
3-Merapatkan jari-jari kedua tangan.
4-Hendaknya pandangannya mengarah ke tempat sujudnya.
5-Meletakkan kedua telapak tangan di atas  kedua paha di depan  kedua lutut; tangan kanan di atas  paha kanan dan tangan kiri di atas  paha kiri.
6-Meluruskan kedua kakinya dan memberi jarak antara  keduanya seukuran tiga jari terbuka atau lebih sampai satu jengkal.
7-Menyamakan kedudukan kedua kaki.
8-Hendaknya rendah diri dan khusyuk layaknya berdirinya hamba yang hina di hadapan tuan yang mulia.

Hukum musafir dalam kota-kota besar


SOAL 707:
Bagaimana pendapat Anda YM tentang syarat-syarat dalam rencana seseorang untuk bertempat tinggal secara permanen (tawaththun) atau bermukim (iqamah) selama 10 hari di kota-kota besar?

JAWAB:
Tidak ada perbedaan dalam hukum musafir, niat bertempat tinggal secara permanen (tawaththun) dan dalam niat bermukim 10 hari antara kota-kota besar atau kota-kota biasa lainnya. Bahkan jika berniat untuk bertempat tinggal secara permanen (tawaththun) di sebuah kota besar, tanpa menentukan kawasan tertentu dan menetap selama beberapa waktu dalam kotatersebut, maka hukum wathanberlaku atas dirinya.
Begitu juga jika seseorang berniat untuk bermukim selama 10 hari di kota (besar) semacam ini, meski tanpa menentukan kawasan tertentu dalam kota tersebut, maka hukum berkenaan dengan (kewajiban) melakukan shalat secara tamam dan keabsahan puasa berlaku atas dirinya.

SOAL 708:
Jika seseorang tidak mengetahui fatwa Imam Khomaini (qs) yang menggolongkan Teheran dalam kota-kota besar, dan setelah Revolusi Islam, ia baru mengetahui fatwa Imam itu, apakah hukum shalat dan puasanya yang dilakukan dengan cara biasa?

JAWAB:
Jika ia sekarang tetap bertaglid kepada almarhum Imam (qs) dalam masalah ini, maka ia wajib mengulangi amal-amal ibadah yang dulu dilakukannya tidak sesuai dengan fatwa beliau, dengan cara mengqadha’ secara qashr shalat-shalat yang semestinya dilakukan secara qashr namun ia laksanakannya secara tamam, dan mengqadha’ puasa yang dilakukannya dalam keadaan musafir.

Imam Sajjad, Teladan Pengabdian


Tanggal lima Sya'ban tahun 38 H seorang manusia mulia lahir ke dunia. Beliau adalah Imam Ali bin Husein yang dikenal dengan panggilan Imam Ali Zainal Abidin. Beliau juga dijuluki dengan sebutan Imam Sajjad, karena tekun beribadah dan bersujud kepada Allah Swt. Selain dekat dengan Tuhan, Imam Sajjad juga dikenal sebagai orang yang sangat dermawan, penyantun terutama kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang tertindas.

Manusia mulia ini juga dikenal dengan doa-doanya yang memiliki ketinggian bahasa dan kedalaman maknanya yang menjulang. Beliau menjalani malam dengan doa dan ibadah kepada sang maha Pencipta. Tentang ini, Imam Baqir as, putra Imam Sajjad berkata, "Ketika semua orang di rumah tertidur di awal malam, ayahku, Imam Sajjad bangun mengambil wudhu dan shalat dua rakaat. Kemudian beliau mengambil bahan makanan dalam karung dan memanggulnya sendirian menuju daerah orang-orang miskin dan membagikan makanan kepada mereka. Tidak ada seorangpun yang mengenalnya. Setiap malam orang-orang miskin menunggu beliau di depan rumah mereka untuk menerima jatah makanannya. Tapak hitam dipunggung ayahku merupakan bukti bahwa beliau memanggul sendiri makanan yang dibagikan kepada orang miskin."

Salah satu karakteristik manusia sejak dulu hingga kini adalah hidup bermasyarakat. Dalam interaksi sosial, potensi setiap orang akan muncul untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing sekaligus orang lain. Demikian juga dengan kita sebagai anggota masyarakat. Kita tidak bisa hidup seorang diri tanpa orang lain. Menurut Imam Sajjad, hanya Allah yang tidak membutuhkan yang lain, kita sebagai makhluk saling membutuhkan. Untuk itu, ketika seseorang berkata, "Tuhanku, jadikan aku orang yang tidak membutuhkan orang lain," beliau berkata. Jangan begitu, setiap orang membutuhkan orang lain. Seharusnya beginilah doamu, "Tuhanku! Jadikan aku orang yang tidak membutuhkan orang-orang yang buruk."

Sejatinya, persahabatan dan pengabdian terhadap sesama merupakan salah satu sifat terpuji manusia. Setiap anggota masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjalani kehidupan ini. Imam Zainal Abidin dalam Risalah Huquq menyinggung hak antarsesama manusia. Dengan cemerlang, Imam Sajjad menjelaskan bagaimana hak pemimpin terhadap bawahannya dan sebaliknya. Tidak hanya itu, Imam Sajjad juga menjelaskan bagaimana hubungan keluarga menyangkut hak orang tua terhadap anaknya dan sebaliknya, hak bertetangga, berteman dan hak terhadap harta.

Menurut Imam Sajjad, manusia adalah pelayan bagi yang lain, sehingga di masyarakat tumbuh budaya gotong-royong dan saling membantu. Di bagian lain Imam Sajjad mengungkapkan perkataan tentang saudara. Beliau berkata, "Saudara yang buruk adalah orang yang memperhatikanmu ketika keadaan lapang, namun menjauhi ketika sulit." Untuk itu seorang mukmin berkewajiban untuk berbuat baik kepada orang lain.

Dalam pandangan Imam Sajjad, melayani orang lain memiliki berbagai dampak yang sangat besar baik di dunia maupun di akhirat. Salah satunya yang paling natural adalah membantu orang yang terkena musibah dan membutuhkan pertolongan. Imam Sajjad berkata, "Di dunia ini tidak ada yang lebih mulia dari berbuat baik kepada saudara."

Imam Sajjad dalam berbagai riwayat lain menjelaskan bahwa orang yang membantu orang lain akan mendapat ganjaran pahala akhirat, ampunan dosa, kedudukan yang tinggi di surga serta pahala lainnya. Beliau berkata, "Tuhanku, semoga shalawat tercurah atas Muhammad dan keluarganya.., anugerahilah tanganku ini agar bisa berbuat baik kepada orang lain, dan jangan rusakkan kebaikan itu dengan riya dalam diriku."

Imam Sajjad bahkan dalam doanyapun memberikan contoh bagaimana mengabdi dan melayani kebutuhan orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Imam Zainal Abidin kepada putranya berkata, "Barang siapa yang meminta tolong padamu untuk melakukan suatu pekerjaan baik, maka lakukanlah. Jika kamu ahlinya maka lakukan dengan sebaik-baiknya, Jika bukan engkau telah berbuat baik."

Pengabdian adalah tindakan yang dilakukan untuk memenuhi hak orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini meliputi hubungan antar sesama manusia, hubungan dengan Tuhan, dan alam semesta.

Pengabdian terhadap masyarakat akan memiliki kedudukan tinggi bukan diukur dari seberapa besar pekerjaan itu. Tapi, kualitas layanan dan ketulusan niatlah yang menjadi ukuran dari bernilai atau tidaknya pekerjaan itu. Dengan demikian akan menciptakan sebuah ketenangan spiritual bagi seseorang yang bisa berbuat kebaikan bagi orang lain. Terkait hal ini Imam Sajjad berkata, "Sikap bersahabat dan bersaudara seorang mukmin kepada saudara mukmin lainnya adalah ibadah."

Di bagian lain, Imam Sajjad mengingatkan nilai spiritual berbuat baik kepada orang lain dengan mengatakan, " Allah akan menggembirakan orang yang telah menggembirakan saudaramu."

Imam Sajjad dengan tanpa pamrih dan hanya mengharap keridhaan Allah berbuat baik terhadap orang lain. Ketika bersama rombongan bergerak menuju Mekah untuk menjalankan ibadah haji, beliau meminta supaya pengurus rombongan tidak memperkenalkan jati dirinya kepada yang lain. Dengan cara ini rombongan lain tidak mengenalinya, dan beliau bisa leluasa melayani keperluan mereka yang hendak berangkat untuk menunaikan ibadah haji.

Dalam sebuah perjalanan seseorang mengenalinya dan berkata, "Apakah kalian tahu siapa pemuda ini " Ia tidak lain adalah Ali bin Hussein. Rombongan itu berlari mendekati Imam Sajjad dan memberi hormat serta memohon maaf karena tidak mengenalinya. Imam berkata, "Suatu hari saya berangkat bersama rombongan haji dan anggota rombongan mengenalnya dan menghormatiku, sebagaimana mereka menghormati Rasulullah. Akhirnya merekalah yang melayani keperluanku bukan sebaliknya. Padahal saya ingin melayani keperluan mereka. Inilah alasan saya tidak ingin dikenali oleh mereka."

Rasulullah Menjamin Tiga Hal Jika Anda Menunaikan Shalat Awal Waktu


Islam telah menunjukkan semua jalan yang dapat ditempuh manusia untuk menggapai kebahagiaan. Demi mengantarkan manusia pada perkembangan materi dan maknawi, serta penekanan terhadap masalah ketepatan waktu, Islam melatih manusia untuk teratur dalam menyusun prioritas dalam rutinitas dan kehidupan. Ini juga berlaku dalam ibadah. Dalam surat an-Nisa ayat 103, Allah Swt berfirman:

«إِنَّ الصَّلاةَ کانَتْ عَلَی الْمُؤْمِنینَ کِتابًا مَوْقُوتًا»

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Keutamaan shalat akan terkikis jika tidak dilaksanakan tepat waktu dan peran shalat sebagai ruh hubungan antara manusia dengan Allah Swt, juga tidak akan berpengaruh.

Imam Ja'far as-Shadiq as berkata:

«الصلوةُ تستحبُّ فی اَوَّلِ الأَوقاتِ»

Shalat memiliki pahala mustahab di awal waktu.

(بحارالانوار، جلد 80، صفحه 13)

Dalam riwayat lain imam juga mengatakan bahwa untuk setiap shalat lima waktu telah ditetakan dua waktu, pertama di awal dan kedua di akhir, menunaikan shalat di awal waktu lebih afdol.

Diriwayatkan pula dari Imam Hasan al-Askari, "Allah berbicara kepada Nabi Musa. Nabi Musa bertanya, ya Allah! Apa pahala orang yang menunaikan shalatnya di awal waktu? Allah Swt menjawa; Aku akan mengabulkan hajat dan permintaannya dan Aku akan me-mubah-kan (menghalalkan) sorga-Ku untuknya."
Rasulullah dalam sebuah hadis bersabda: "Tidak ada hamba yang memperhatikan waktu shalat dan posisi matahari, kecuali aku telah menjamin untuknya tiga hal, masalah dan kesedihannya terselesaikan, merasakan ketenagnan dan kebahagiaan ketika meninggal dunia, dan terselamatkan dari api neraka."

(سفینه البحار،جلد 2، صفحه 42)

Dalam hadis lain disebutkan bawa ketika Zuhur, pintu-pintu langit terbuka dan gerbang-gerbang sorga juga terbuka dan doa akan terkabulkan, maka berbahagialah orang-orang yang amal salehnya terangkat.

SUJUD PADA ALAS LANTAI SELAIN DARI BUMI ADALAH MENYALAHI ARAHAN AL-QURAN


Keputusan dari ahli fiqh shia, mengikuti Imam yang suci, adalah dengan jelas mematuhi arahan al-Quran. Sebagai contoh, ulama kamu menganggap bulu, kapas, sutera dan alas lantai yang lain sama dengan bumi. Tetapi dengan jelas benda itu bukan bumi. Tetapi shia, di dalam mematuhi Imam mereka dari ahli bayt nabi yang berkata, ‘Sujud adalah haram diatas yang lain, selain bumi atau apa-apa yang tumbuh dari bumi dan tidak digunakan untuk makan atau pakai.’ Atas sebab ini kamu katakan mereka kafir. Sebaliknya kamu tidak mengatakan sujud pada najis kering kafir. Dan amat jelas sujud pada bumi [sebagaimana diarahkan oleh Allah] dan sujud pada alas lantai adalah berbeza.

Sheikh: Kamu melakukan sujud pada sekeping tanah yang diambil dari Karbala. Kamu menyimpan tanah kecil itu. Ianya adalah seripa berhala, dan kamu menganggap sujud diatasnya wajib. Yang pastinya amalan yang sedimian adalah bertentangan dengan amalan muslim lainnya.

Shirazi: Telah menjadi tabiat kamu yang kedua mengikuti mereka yang terdahulu dengan secara buta, walaupun ianya tidak sesuai bagi manusia yang adil seperti kamu untuk mengatakan tanah suci dari karbala adalah seperti berhala.

Tuan yang dihormati! Kritikan terhadap mana-mana kepercayaan hendaklah berdasarkan pada pembuktian. Jika kamu merujuk pada buku-buku perundangan agama shia, kamu akan dapat jawapan dari kritikan kamu, dan kamu tidak akan diselewengkan oleh saudara sunni dengan bantahan palsu.

MENURUT ULAMA SUNNI SUJUD PADA NAJIS DAN KOTORAN YANG KERING DIBOLEHKAN


Ramai ulama sunni menerima penterjemahan perundangan yang bertentangan dengan arahan yang jelas dari al-Quran, dan bahkan mereka berikan terjemahan yang lemah pada perundangan yang jelas. Ahli perundangan kami berikan pendapat yang sebaliknya. Kamu masih tidak mengatakan amalan mereka sebagai kafir. Tetapi pada amalan kami pada sujud, kami melaungkan bantahan, dengan mengatakan shia menyembah berhala, sedang kamu abaikan kenyataan ulama kamu bahawa sujud pada najis yang kering dibolehkan.

Apakah Nabi Saww Pernah Lupa Dalam Shalat


Oleh: Mohammad Habri Zen

Hadits Lupa di Dalam Kitab “Al-Faqih”.
Didalam Ilmu kalam, menisbatkan sifat lupa kepada nabi saww adalah sesuatu yang mustahil, bahkan dalam segala hal nabi saww tidak pernah lupa, sebab kalau nabi saw pernah lupa dalam sesaat saja, berarti dimungkinkan pula nabi saww pernah lupa dalam menyampaikan wahyu Tuhannya, dan hal itu berhubungan dengan masalah aqidah  yang harus ditolak. Dilain hal ulama besar Syiah seperti Syeikh Shaduq ra pernah mengatakan didalam kitab manla yahdhuruhu alfaqih, dengan mengutip riwayat mengenai shalat, bahwa nabi saww pernah shalat qadha subuh dan lupa didalam shalat dan melakukan sujud sahwi bahkan ekstremnya, orang yang tidak mempercayai nabi saww pernah lupa salah satu ciri dari ghulu.[1]

Riwayat yang dibawa Syeikh Shaduq adalah  :

وروى الحسن بن محبوب عن الرباطي، عن سعيد الاعرج قال: ” سمعت أبا عبدالله عليه السلام يقول: إن الله تبارك وتعالى أنام رسوله صلى الله عليه وآله عن صلاة الفجر حتى طلعت الشمس، ثم قام فبدأ فصلى الركعتين اللتين قبل الفجر، ثم صلى الفجر، وأسهاه في صلاته فسلم في ركعتين ثم وصف ما قاله ذو الشمالين و إنما فعل ذلك به رحمة لهذه الامة لئلا يعير الرجل المسلم إذا هو نام عن صلاته أو سها فيها فيقال: قد أصاب ذلك رسول الله صلى الله عليه وآله.

Al-Husein Ibn Mahbûb meriwayatkan dari Arribâthi, dari Sa’îd al-A’râj berkata : Aku mendengar Aba Abdillah as bersabda: Sesungguhnya Allah Swt menidurkan Rasulullah saww sampai terbit matahari dan nabi saww dalam keadaan belum shalat shubuh, kemudian rasul saww bangun dan melaksanakan shalat dua rakaat (nafilah) sebelum shalat shubuh (qadha), kemudian melaksanakan shalat (qadha) Shubuh, dan Dia Swt juga membuat rasul saww lupa dalam shalatnya dengan memberi salam setelah rakaat kedua (dalam empat rakaat), kemudian yang mengingatkannya adalah dzu as-syimalain, hal itu terjadi untuk dijadikan rahmat bagi ummat ini (nabi saw), supaya tidak ada seorang lelaki muslim dihina karena ketiduran dan belum melaksanakan shalatnya atau lupa didalam shalatnya, dan dikatakan padanya bawa telah menimpa hal itu kepada rasulullah saww juga.[2]

Kemudian Syeikh Shaduq ra dalam hal ini membedakan antara sahw (lupa) dengan Isha (Melupakan-butuh objek), karena kalau  sahw (lupa) dinisbatkan kepada orang yang lalai karena pengaruh syaetan, sedangkan yang terjadi pada nabi bukanlah lupa dalam makna demikian tetapi Allah Swt secara langsung membuat lupa (isha’) nabi dalam hal itu, dan hal ini tidak diakibatkan oleh lalai atau pengaruh syaetan karena

 إِنَّما سُلْطانُهُ عَلَى الَّذينَ يَتَوَلَّوْنَهُ  

(Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukanya dengan Allah)[3]

dan nabi tidaklah berwala kepada syaetan. Begitu pula penulis sekaligus menjawab permasalahan yang menyatakan bahwa kalau nabi pernah lupa maka dimungkinkan nabi saww pernah lupa dalam menyampaikan wahyu tabligh dan risalah, dengan jawabannya yaitu : hal itu terjadi kalau makna lupa adalah disebabkan karena lalai, tetapi hal ini berbeda bukan karena hal itu tetapi karena Allah yang membuat nabi lupa (isha’), dilain hal beliau mengatakan bahwa shalat adalah hal yang musytarak selain nabipun melakukannya sedangkan wahyu, tidaklah demikian karena merupakan hal yang khusus dan mustahil menisbatkan lupa dalam masalah wahyu tabligh kepada ummat.

Syeikh Mufid ra Menolak Pendapat Syeikh Shaqud ra
Sebagian ulama menerima pendapat Syeikh Shaduq mengenai isha nabi saww tsubutan (alam kemungkinan) bukan itsbâtan (alam dalil), sebagian lagi menolak sepenuhnya baik itu sahwi maupun isha karena bertolak belakang dengan dalil aqli dan naqli kemaksuman nabi secara mutlak, terutama Syeikh Mufid didalam risalahnya ‘adam sahwi an-nabi saww, yang mengatakan bahwa isha pun tidak mungkin terjadi, yang mana Syeikh Mufid berkeyakinan bahwa hadits tersebut adalah hadits ahad yang tidak bisa dijadikan pegangan bagi permasalahan aqidah, dan juga beliau menambahkan bahwa hadits tersebut memiliki banyak permasalahan terutama dalam isi hadits tersebut, kadang menceritakan nabi saww lupa dalam shalat dzuhur sebagian riwayat dalam shalat ashar sebagian lagi dalam shalat isya,[4] dan juga hadits itu bertolak belakang dengan aqidah kemaksuman nabi saww. Sebagian Ulama seperti Alamah Jawadi Amuli dan ulama lainnya mengatakan kalau terjadi taarudh permasalahan naqliah dan aqliah yang sudah tsabit dalam permasalahan aqidah maka yang naqli itulah yang harus ditakwil bukan yang aqli.

Bagaimanapun pertentangan Ulama terhadap pernyataan Syeikh Shaduq ra dan riwayat yang diambilnya, sepanjang yang saya teliti hadits yang dibawa Syeikh Shaduq bisa dikatakan hadits sahih kalau perawinya yang bernama Ribâthi bukanlah Al-Hasan ibn Ribâthi Al-Bijli, karena nama itu adalah majhul belum ada keterangan didalam kitab-kitab rijal, sedangkan kalau yang dimaksud adalah Ali Ibn Al-Hasan Ibn Ar-Ribâthi maka dia adalah seorang imami yang tsiqah[5]. Oleh sebab itu dikarenakan nama musytarak yang ada dalam riwayat man la yahdhuruhu alfaqih  tidak bisa dijadikan pegangan untuk mengitsbatkan kesahihan riwayat tersebut.

Isykal Pernyataan Syeikh Mufid ra
Syeikh Mufid mengatakan bahwa permasalahan lupa yang dinisbatkan kepada nabi saww adalah hadits ahad, hal tersebut jikalau dinisbatkan hanya kepada kitab “Al-Faqih” bisa dibenarkan tetapi kalau kita lihat didalam kitab-kitab lainnya seperti Al-Kâfi dan Istibshar maka kita akan menemukan hadits serupa yang lebih dari satu dengan kualitas sahih. Bahkan Syarif Murtadha (Ali Ibn Husein Musawi) didalam Al-Masâil An-Nâshiriyyât menjadikan hadits yang serupa sebagai dalil dalam fiqihnya mengenai sujud sahwi.[6]

Walapun sebenarnya hadits lain mengenai lupa didalam shalat dan sujud sahwi yang tidak dinisbatkan kepada Nabipun banyak jumlahnya.

Kita dapat melihat beberapa hadits sebagai contoh didalam Al-kafi sebagai berikut:

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عِيسَى عَنْ سَمَاعَةَ بْنِ مِهْرَانَ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللهِ (ع): …فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ (ص) صَلَّى بِالنَّاسِ الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَهَا فَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ ذُو الشِّمَالَيْنِ يَا رَسُولَ اللهِ أَ نَزَلَ فِي الصَّلاةِ شَيْ‏ءٌ فَقَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ إِنَّمَا صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ (ص) أَتَقُولُونَ مِثْلَ قَوْلِهِ قَالُوا نَعَمْ فَقَامَ (ص) فَأَتَمَّ بِهِمُ الصَّلاةَ وَسَجَدَ بِهِمْ‏ سَجْدَتَيِ السَّهْوِ …

Berkata Abu Abdillah as: …Sesungguhnya rasulullah saww pernah shalat dzhuhur berjamaah dua rakaat, karena lupa, kemuadian memberi salam akhir, kemudian Dzu As-Syimalain berkata wahai rasulullah saw, apakah ada yang kurang didalam shalat anda, Rasul menjawab : memang apa yang terjadi? Dzu As-Syimalain berkata sesungguhnya anda telah shalat dua rakaat, kemudian Rasul Saww bertanya kepada yang lainnya : apakah kalian melihat benar apa yang dia katakan , mereka berkata : betul, kemudian rasulullah saww, meneruskan shalatnya lalu melaksanakan sujud sahwi…[7]

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ النُّعْمَانِ عَنْ سَعِيدٍ الأَعْرَجِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ (ع) يَقُولُ صَلَّى رَسُولُ اللهِ (ص) ثُمَّ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ فَسَأَلَهُ مَنْ خَلْفَهُ يَا رَسُولَ اللهِ أَحَدَثَ فِي الصَّلاةِ شَيْ‏ءٌ قَالَ وَمَا ذَلِكَ قَالُوا إِنَّمَا صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ أَكَذَلِكَ يَا ذَا الْيَدَيْنِ وَكَانَ يُدْعَى ذَا الشِّمَالَيْنِ فَقَالَ نَعَمْ فَبَنَى عَلَى صَلَاتِهِ فَأَتَمَّ الصَّلاةَ أَرْبَعاً وَقَالَ إِنَّ اللهَ هُوَ الَّذِي أَنْسَاهُ رَحْمَةً للأُمَّةِ …

Berkata Sa’îd Al-A’râj aku mendengar Aba Abdillah as bersabda : Rasulullah melakukan salam setelah dua rakaat, kemudian dibelakangnya bertanya : wahai rasulullah saww apakah terjadi kekurangan didalam shalat? Rasul saww menjawab : apa yang terjadi?, mereka berkata : anda telah shalat dua rakaat, rasul saww bertanya : apakah hal itu benar wahai Dzulyadain, yang mana dipanggil Dzu as-Syimalain, dia berkata betul, kemudian rasul saww meneruskan shalatnya dan menyempurnakan shalatnya menjadi empat rakaat, kemudian Imam as bersabda: Sesungguhnya Allah Swt lah yang melupakan nabi saww sebagai rahmat bagi umat…[8]

Kedua hadits tersebut dan masih ada lagi hadits serupa lainnya dalam bab yang sama didalam Alkafi dengan sanad sahih begitu pula didalam Tahdzib Al-Ahkam didalam bab ahkam As-Sahwi fi As-Shalat dengan sanad sahih pula, walaupun isi dari riwayat tersebut banyak ditemukan permasalahan diantaranya bertolak belakang dengan riwayat sahih lainnya.

Ta’arudh Hadits
Riwayat-riwayat yang sahih yang menceritakan mengenai kejadian lupa didalam shalat yang dinisbatkan kepada nabi saww bertolak belakang isi kandungannya dengan banyak riwayat sahih lainnya semisal riwayat didalam tahdzib:

عَنْهُ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ع هَلْ سَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ ص-‌سَجْدَتَيِ السَّهْوِ قَطُّ فَقَالَ لَا وَ لَا يَسْجُدُهُمَا فَقِيهٌ
‌قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الَّذِي أُفْتِي بِهِ مَا تَضَمَّنَهُ هَذَا الْخَبَرُ فَأَمَّا الْأَخْبَارُ الَّتِي قَدَّمْنَاهَا مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ ص سَهَا فَسَجَدَ فَإِنَّهَا مُوَافِقَةٌ لِلْعَامَّةِ وَ إِنَّمَا ذَكَرْنَاهَا لِأَنَّ مَا تَتَضَمَّنَهُ مِنَ الْأَحْكَامِ مَعْمُولٌ بِهَا عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ

Darinya (Muhammad ibn Ali Ibn Mahbub), dari Ahmad ibn Muhammad dari Al-Hasan ibn Mahbûb dari Abdillah ibn Bukair dari Zurârah berkata : aku bertanya Aba Ja’far as apakah Rasulullah saww pernah melaksanakan dua sujud sahwi (karena lupa) sekali saja, Imam as menjawab tidak , dan tidak pula pernah seorang Faqih (orang alim) melaksanakan dua sujut (sahwi) itu.

Muhammad Ibn Al-Hasan (Syeikh Thûsi) yang mana berfatwa dengan kandungan riwayat tersebut (menolak sahwi nabi) adapun riwayat yang mengatakan nabi lupa kemudian melaksanakan sujud sahwi adalah riwayat yang sesuai dengan pendapat mazhab âmmah dan kami menyebutkan riwayat ini karena kandungannya berlaku didalam ahkam seperti yang telah kami jelaskan. (dari sanalah tidak bisa diambil kesimpulan bahwa nabi pernah lupa) [9]

Hadits ini adalah sahih seluruh perawinya tsiqah imamiah, dan kandungannya bertolak belakang dengan hadits sahih lain yang telah disebutkan diatas, karena riwayat ini menolak sedikitpun bahwa nabi pernah lupa dan melakukan sujud sahwi,  adapun mengenai sifat nabi saww yang tak pernah lupa bahkan nabi saww mengetahui khabar langit dan bumi, sehingga tidak mungkin nabi bertanya kepada dzulyadain atau lainnya mengenai sesuatu yang nabi saww tidak ketahui dari lupanya. Riwayat tersebut disebutkan didalam riwayat sahih semisal riwayat dalam al-kâfi berikut ini :

 عده من اصحابنا، عن احمدبن محمد عن علي بن حديد، عن سماعه بن مهران قال :کنت عند ابي عبدالله و عنده جماعه من مواليه، فقال: اعرفوا العقل و جنوده و الجهل و جنوده تهتدو…فقال ابوعبدالله: ان الله خلق العقل …ثم جعل للعقل خمسه و سبعين جندا فکان مما اعطي الله العقل من الخمسه و السبعين الجند الخير و جعل ضده الشر…والعلم و ضده الجهل و التسليم و ضده الشک و التذکر و ضده السهو و الحفظ و ضده النسيان…فلا تجتمع هذا الخصال کلها من اجناد العقل الا في نبي اووصي او مومن قد امتحن الله قلبه للايمان …

Dari beberapa sahabat kamidari Ahmad ibn Muhammad dari Ali ibn Hadid, dari Samâ’ah ibn Mihrân berkata : ketika aku bersama Abu Abdillah as dan disekitarnya sekumpulan para pengikutnya, Imam as bersabda : jelaskanlah oleh kalian mengenai akal dan tentaranya, kebodohan dan tentaranya pula anda akan memperoleh petunjuk…Abu Abdillah as bersabda : sesungguhnya Allah menciptakan akal… kemudian menjadikan akal tujuh puluh lima tentara, dan yang diberikan oleh Allah Swt dengan tujuh puluh lima tentara kebaikan dan menjadikan pula lawannya kejelekan, Ilmu lawannya Kebodohan, yakin (kepatuhan) lawannya keraguan, tadzakkur lawannya sahw (lupa),  hapalan lawannya nisyân (lupa)… tidaklah terkumpul seluruh tentara akal (kebaikan) tersebut kepada seorangpun kecuali pada nabi, dan washinya atau mukmin yang telah Allah Swt uji mereka hatinya dengan keimanan…[10]

Hadits tersebut adalah sahih sanad, adapun iddat min ashhâbina (beberapa sahabat kami) pun muktabar ketsiqatannya mereka adalah Ali Ibn Ibrahim, Ali Ibn Muhammad Ibn abdillah, Ahmad Ibn Abdillah ibn Umayyah, Ali Ibn Hasan yang meriwayatkan dari Ahmad ibn Muhammad Albarqi.[11]

Isi dari hadits tersebut  secara jelas menerangkan bahwa tazdzakur dan Hifz yang merupakan lawan dari lupa ada pada nabi dan washinya, sehingga tidak mungkin nabi memiliki sifat lupa (nisyân/sahw).
Dan masih banyak lagi hadits sahih lainnya yang menjelaskan hal yang serupa baik dengan manthuqnya atau mafhumnya yang menyatakan nabi tidak pernah lupa sedikitpun dan mengetahui urusan langit dan bumi.
Dan dari kedua belah kubu riwayat yang menyatakan nabi pernah lupa dan kubu lain yang menyebutkan nabi tak pernah lupa mengalami ta’ârudh, dan bagaimanakah kita menyelesaikan hal itu semua serta mencari jalan keluarnya?

Solusi permasalahan hadits yang muta’âridân (yang saling bertolak belakang)
Dari sanalah kita tidak bisa melihat riwayat hanya dari minhaj sanadi saja tetapi harus dilihat dari minhaj madhmûni, minhaj sanadi mengatakan kalau sanadnya sahih maka riwayat tersebut menjadi hujjah, sedangkan kita melihat diantara hadits secara sanad sahih terdapat madhmun (isi hadits) yang bertolak belakang seperti yang disebutkan diatas, oleh sebab itu mana yang harus kita pilih karena kedua-duanya hujjah menurut minhaj sanadi, tetapi kalau kita melihat minhaj Madhmûni, kita bisa melihat rujukan isi dan kandungannya yang bertolak belakang tadi dan mencari solusi lain dari pelajaran ushul fiqih.

Kalau kedua hadits tersebut sanad sahih, dan secara isi bertolak belakang maka hal itu terjadi ta’ârudh, atau didalam istilah Sayyid Syahid Baqir Shadrra “At-Tanâfi baina almadlûlain, wa lamma kâna ad-dalil hua al-ja’l fattanâfi almuhaqqiq littaârudh hua attanâfi baina al-ja’lain…”[12] bahkan ditambahkan didalamnya adalah taarudh diantara dua ja’l ( lisan dalil), yang mana didalam pembahasan kita kali ini adalah diantara dua kubu riwayat (dalil) diatas.

Disebutkan pula didalam ushul bahwa ta’ârudh diantara dua dalil tersebut ada yang mustaqir ada yang ghair mustaqir. Ta’ârudh gheir mustaqir adalah at-taârudh alladzi yumkinu ‘ilâjuhu bita’dîl dilâlah ahad ad-dalilain, wa ta’wîluha binahwin yansajim ma’a ad-dalîl al-âkhar[13] (ta’arudh yang mana dimungkinkan untuk dicarikan solusinya dengan mensinkronkan salah satu dalil dengan dalil lainnya, dan mentakwilkan yang sesuai dengan dalil lainnya. Sedangkan yang mustaqir tidak mungkin ditemukan solusi dengan cara mensinkronkan salah satu dalil dengan dalil lainnya. Ta’arudh gheir mustaqir bisa diambil solusi dengan cara al-jam’ al-‘urfi, maksudnya secara pandangan uruf bisa dicarikan solusinya baik itu dengan mencari salah satu dalil yang lebih dzahir (adzhar) dari yang dzahir, atau yang muqayyad dari yang muthlaq atau yang khas dari yang amm. Sedangkan kalau kita kembali lagi kedalam masalah kedua kubu dalil mengenai nabi pernah lupa atau tidak maka kita bisa meneliti bahwa kedua kubu hadits tersebut tidak bisa ditemukan dengan cara al-jam al-urfi, bahkan kedua kubu tersebut jelas-jelas masuk dalam kategori ta’arudh mustaqir. Lalu apa yang harus kita lakukan kalau memang hadits itu adalah taarudh mustaqir?
Didalam pembahasan Ushul dikatakan bahwa kalau mengalami ta’arudh mustaqir maka yang terjadi adalah tasâquth kila ad-dalilain (jatuh kedua dalil tersebut), tetapi dikatakan pula oleh Sayyid Shadr ra bahwa dengan adanya dalil yang khusus menunjukkan tarjîh (salah satu dalil maka tidak terjadi tasaqut kila ad-dalilain[14]. Riwayat khusus tersebut diantaranya:

إذا ورد عليكم حديثان مختلفان فاعرضوهما على كتاب الله، فما وافق كتاب الله فخذوه، وما خالف كتاب الله فردّوه، فإن لم تجدوهما في كتاب الله فاعرضوهما على أخبار العامة, فما وافق أخبارهم فذروه و ما خالف أخبارهم فخذوه.

Imam Shadiq as bersabda : JIkalau kalian menemukan dua hadits yang bertolak belakang maka rujuklah keduanya pada kitabullah, dan hadits yang sesuai dengan kitabullah maka ambillah, dan yang tidak sesuai maka tinggalkanlah, jikalau kalian tidak menemukan didalam kitabullah maka rujukalah keduanya pada hadits-hadits (mazhab) ‘ammah, yang sesuai dengan akhbar mereka maka tinggalkanlah yang tidak sesuai maka ambillah.[15]

Dari sanalah kita bisa merujuk kepada ayat alquran, sedangkan secara sarih Alquran banyak yang menerangkan ayat mengenai kemaksuman nabi, kalau kita mengambil  makna ithlaq  dari makna maksum yang meliputi juga maksum dari lupa dan salah. Tetapi kalaupun ayat-ayat tersebut mendapatkan permasalahan dengan ayat lainnya dan tidak bisa ditemukan kesimpulan akhir maka kita merujuk pada langkah kedua yaitu merujuk kepada hadits-hadits dari mazhab ammah, dan sudah dipastikan bahwa hadits yang menceritakan bahwa nabi saww pernah lupa sesuai dengan riwayat yang terdapat dalam mazhab Ammah, oleh sebab itulah maka kita mengambil riwayat yang tidak sesuai dengan mazhab tersebut yaitu riwayat yang menolak bahwa nabi pernah lupa, serta menjadikan riwayat yang sesuai dengan mazhab ammah adalah riwayat dalam kondisi taqiah. Kesimpulannya bahwa riwayat yang bisa kita pegang adalah riwayat yang mengatakan bahwa nabi sedikitpun tidak pernah lupa dan salah.

Adapun permasalahan ghulu yang dikatakan oleh Syeikh Shaduq maka hal itu tidak tepat, sebab hal itu tidak termasuk ghulu, dan juga banyak riwayat sahih yang menegaskan dalil mengenai ketiadaan lupa bagi nabi saww. Walaupun hukum ghulu seperti menganggap nabi tuhan atau imam maksum tuhan maka hal itu haram didalam mazhab syiah. Dan menafikan lupa dari rasul saww tidaklah termasuk kategori atau mishdaq dari ghulu seperti yang dikatakan banyak dari para ulama syiah sekalipun.


Rujukan:
[1] Syeikh Shaduq, Man la Yahdhuruhu Al-Faqih, Jilid-1, hal. 359, bab Ahkam As-sahwi fi As-Shalat, Cet. Islami
[2] Idem, hadits ke-1031.
[3] An-Nahl:100
[4] Syeikh Mufid, Adam Sahw An-Nabi Saww, hal 22-23, Maktabah Syamilah
[5] Rijal An-Najâsyi, hal251, Khulashah Al-Hilli, hal.100
[6] Syarif Murtadha, Al-Masâil An-Nâshiriyyât, hal 236, cet. Râbithah as-tsaqafiah,
[7] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.259, bab Man takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits.
[8] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.284, bab Man takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits
[9] Syeikh Thûsi, Tahdzîb Al-Ahkâm, jilid ke-2, hal.351, bab Ahkam As-Sahwi, Cet. Dar Al-Kitab al-Islami
[10] Al-Kulaini, Al-Kâfi,jilid ke-1, hal.42, kitab al-‘ali wa al-jahli, cet. Dârulhadits
[11] Al-Hilli, Al-Kulâshah, hal.272 al-fâidah at-tsâlitsah.
[12] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâlitsah, hal. 542, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430
[13] Idem, hal.452
[14] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430
[15] Sayyid Shadr, Duruf fi Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430, yang mengutip hadits dari alwasail jilid ke 18, bab ke-9 dari bab sifat alqâdhi, hadits ke-29

Shalat-shalat sunah


Jahr dan Ikhfat dalam shalat
Apakah shalat-shalat nafilah wajib dilakukan secara jahr (dibaca dengan suara luar) atau secara ikhfat (dengan suara dalam)?

Keterangan: Yang dimaksud dengan jahr dalam shalat adalah mengeraskan suara dalam membaca surah Al-Fatihah dan surah pendek setelahnya saat berdiri di rakaat pertama dan kedua. Sedang ikhfat adalah merendahkan suara. Ukuran keras dan rendahnya suara adalah: suara yang keras adalah minimal sebatas saat kita membaca surah-surah tersebut sekiranya orang yang berada di satu langkah di belakang kita dapat mendengarnya; sedangkan suara yang direndahkan adalah seperti suara berbisik (hanya terdengar suara angin dari mulut, layaknya orang berbisik). Dalam shalat subuh, maghrib dan isya, Al-Fathihah dan surah-surah pendek setelahnya harus dibaca keras (jahr) sedang dalam shalat dhuhur dan ashar yang dikeraskan hanya bismillahnya saja.

JAWAB:
Dianjurkan (mustahab) melakukan shalat-shalat nafilah siang hari (nahariyah) dengan ikhfat, dan melakukan shalat-shalat nafilah malam hari (lailiyah) dengan jahr.

Shalat sunah hanya dua rakaat:
Apakah boleh melakukan shalat-malam –yang setiap shalatnya terdiri atas 2 rakaat- dengan menggabungkannya menjadi 4 rakaat sekaligus dua kali, lalu shalat dua rakaat, dan diakhiri dengan 1 rakaat shalat witr?

JAWAB:
Melakukan shalat nafilah-malam dengan empat rakaat sekaligus tidaklah sah.

Shalat malam tak harus sembunyi-sembunyi:
Apakah wajib merahasiakan dalam melakukan shalat-malam, agar tidak diketahui orang lain, dan apakah wajib sholat di tempat gelap?

JAWAB:
Tidak disyaratkan melakukannya di kegelapan atau merahasiakannya dari orang lain. Memang benar, sikap riya’ tidaklah diperbolehkan.

Niat qadha shalat:
Apakah melakukan nafilah dhuhur dan ashar setelah melakukan shalat wajib dhuhur dan ashar dan pada waktu nafilah harus dengan niat qadha’ ataukah lainnya?

JAWAB:
Berdasarakan ahwath, ia wajib melakukannya dengan tujuan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah (swt) tanpa niat ada’ maupun qadha’.

Cara-cara shalat malam:
Kami mohon Anda menguraikan kepada kami cara shalat-malam secara rinci.

JAWAB:
Shalat malam terdiri dari 11 rakaat. 8 rakaatnya yang dilakukan dua rakaat dua rakaat disebut shalatul-lail dan dua rakaat berikutnya disebut shalat-syaf’, semuanyanya dilakukan sebagaimana shalat subuh. Satu rakaat terakhir disebut dengan rak’atul-witr yang di dalam qunutnya dianjurkan ber-istighfar dan berdoa untuk orang-orang mukmin, dan memohon hajat dari Allah yang Maha Pemberi secara runut, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab doa.

Hal yang perlu dikerjakan dalam shalat malam:
Bagaimana bentuk shalatul- lail? Dengan kata lain, apakah ada cara tertentu yang wajib dilakukan dalam shalatul- lail seperti surah-surah, istighfar dan doanya?

JAWAB:
Tidak disyaratkan apa pun dari (pembacaan) surah, istighfar dan doa sebagai bagian dari shalatul-lail, juga tidak sebagai wajib taklifi (kewajiban instruktif). Melainkan cukup dalam setiap rakaatnya, setelah niat dan takbir, membaca alfatihah, ruku’, sujud, membaca zikir dalam ruku’ dan sujud, tasyahhud, dan salam.

Qunut dalam Syiah


Qunut adalah amalan mustahab (sunah/tidak wajib) dalam shalat. Baik dalam shalat wajib maupun sunah, qunut adalah amalan yang dianjurkan.

Banyak sekali riwayat yang menjelaskan mustahab-nya qunut dalam shalat sehari-hari, yang mana Syaikh Hurr Amuli telah menyebutkan riwayat-riwayat itu dalam Wasail Syiah, kitab Shalat, bab Qunut, jilid 4, hal. 895-920.

Ahlu Sunah juga meyakini bahwa qunut adalah amalan mustahab. Namun, Syiah lebih menekankan qunut daripada Ahlu Sunah.

Qunut dalam Syiah dilakukan sebelum ruku’. Adapun di Ahlu Sunah qunut dilakukan setelah ruku’.
Tata cara qunut pun juga dijelaskan dalam riwayat-riwayat dalam kitab di atas.

Baca disini:
http://ahlulbaitnabisaw.blogspot.com/search/label/Qunut%20syiah

Alasan Syiah menggabung shalat dhuhur-asar dan maghrib-isya’


Kenapa orang-orang syi’ah melakukan lima shalat wajib harian dalam tiga waktu?
Jamak antara dua shalat merupakan masalah fikih yang penting dan sensitif sekali, dimana belakangan ini para peneliti dari kalangan ulama Syi’ah sering mengulasnya, karena sebagian orang beranggapan bahwa jamak antara dua shalat sama dengan shalat di luar waktu yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Untuk lebih jelasnya, kami akan menerangkan masalah ini dengan poin-poin berikut:[1]
  1. Semua mazhab Islam sepakat bahwa di Arafah, boleh hukumnya seseorang menunaikan shalat dzuhur dan ashar secara langsung pada waktu dzuhur, sehingga tidak ada selang waktu di antara keduanya. Di Muzdalifah pun dia boleh menunaikan shalat maghrib dan isya’ secara langsung pada waktu isya’.
  2. Ulama Mazhab Hanafi mengatakan, ‘Jamak antara shalat dzuhur dan ashar dalam satu waktu, begitu pula jamak antara shalat maghrib dan isya’ dalam satu waktu, hanya diperbolehkan di dua tempat; di Arafah dan Muzdalifah. Adapun di selain dua tempat itu tidak diperbolehkan.’
  3. Ulama Mazhab Hanbali, Maliki dan Syafi’i mengatakan, ‘Jamak antara shalat dzuhur dan ashar atau antara shalat maghrib dan isya’ dalam satu waktu, selain boleh dilakukan di dua tempat tersebut (Arafah dan Muzdalifah) boleh juga dilakukan pada waktu bepergian. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal itu juga boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa, seperti ketika hujan lebat atau ketika pelaku shalat dalam keadaan sakit atau takut dari musuh.[2]
  4. Adapun menurut Syi’ah, masing-masing dari shalat dzuhur dan ashar, begitu pula shalat maghrib dan isya’ mempunyai waktu khusus dan waktu bersama:
  5. Waktu khusus untuk shalat dzuhur adalah dari sejak dzuhur syar’i; yakni zawal atau bergesernya matahari dari lengah langit, sampai batas waktu yang bisa digunakan untuk shalat empat rakaat. Di dalam waktu yang terbatas ini, hanya shalat dzuhur yang boleh dilakukan oleh seseorang.
  6. Waktu khusus shalat ashar adalah dari ashar sampai tcrbenamnya matahari sekiranya waktu itu hanya cukup untuk digunakan shalat empat rakaat. Di dalam waktu yang terbatas ini, hanya shalat ashar yang boleh dilakukan oleh seseorang.
  7. Waktu bersama untuk shalat dzuhur dan ashar adalah dari sejak berakhirnya waktu khusus shalat dzuhur sampai awal bermulanya waktu khusus shalat ashar.
Menurut Syi’ah, di dalam waktu bersama untuk shalat dzuhur dan ashar seseorang boleh melakukan kedua shalat itu sekaligus tanpa jarak waktu di antara keduanya.

Sedangkan Ahli Sunnah, karena pandangan khusus mereka mengenai pembagian waktu dari zawal (bergesemya matarhari dari tengah langit) sampai ghurub (terbenamnya matahari), maka mereka tidak meyakini waktu bersama, baik antara shalat dzuhur dan ashar maupun antara maghrib dan isya’. Menurut mereka, mulai zawal sampai tanda jam matahari menunjukkan bayangan seukurannya maka itu merupakan waktu khusus untuk shalat dzuhur, dan tidak boleh seseorang untuk melakukan shalat ashar pada waktu itu. Sedari itu waktu shalat ashar mulai sampai ghurub, dan itu merupakan waktu khusus untuk shalat ashar. Berdasarkan pandangan ini, jamak antara shalat dzuhur dan ashar tidaklah memungkinkan, karena konsekuensinya adalah melakukan salah satu dari shalat itu di luar waktu yang telah ditentukan.

Menurut Syi’ah, waktu yang diterangkan oleh Ahli Sunnah ini merupakan waktu keutamaan shalat dzuhur dan ashar, bukan waktu yang hanya diperbolehkan untuk shalat dzuhur dan ashar kala itu. Artinya, menurut Syi’ah yang utama adalah menunaikan shalat ashar ketika bayangan tanda jam matahari telah mencapai ukuran yang sama dengan tanda matahari itu sendiri, tapi kalau pun seseorang melakukan shalat ashar sebelum itu tetap dihukumi sah dan tidak perlu untuk mengulanginya.

Di samping itu, banyak sekali hadis yang menmtjukkan bahwa di dalam perjalanan, bahkan terkadang di tempat kediaman dan tanpa uzur sekecil apa pun Rasulullah Saw menjamak antara dua shalat. Maka demi mempertahankan pendapat mereka tentang pembagian waktu tersebut, ulama Ahli Sunnah terpaksa menakwilkan hadis-hadis itu dari maknanya yang literal menjadi makna yang jauh sekali dari aslinya. Mari kita perhatikan bersama pandangan Syi’ah dan Ahli Sunnah mengenai hadis-hadis ini:
  1. Menurut Syi’ah, berdasarkan hadis-hadis ini boleh seseorang melakukan shalat ashar langsung setelah melakukan shalat dzuhur, begitu pula dia boleh melakukan shalat isya’ langsung setelah melakukan shalat maghrib. Dan hukum ini berlaku bukan untuk waktu, tempat, atau kondisi tertentu, melainkan seseorang bisa melakukannya kapan saja (di hari jum’at atau yang lain) dan di mana saja (Arafah, Muzdalifah atau selainnya) serta dalam kondisi apa saja (sakit atau pun sehat).
  2. Ulama di luar mazhab Syi’ah, karena menolak waktu bersama shalat dan membatasinya hanya dalam waktu yang sah untuk shalat, maka mereka menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadis-hadis ini adalah boleh menunaikan shalat dzuhur di akhir waktunya dan shalat ashar di awal waktunya, sehingga dengan demikian terkesan telah terjadi jamak antara dua shalat.
Bila ditinjau dari sisi filosofi jamak antara dua shalat, terang saja penakwilan seperti itu tidak beralasan, karena hikmah pembolehan jamak antara dua shalat adalah memberi kemudahan kepada umat Islam untuk dapat melakukan dua shalat dzuhur dan ashar atau maghrib dan isya’ dalam satu waktu (tanpa pemisah antara keduanya) dan dalam keadaan apa pun (sehat atau sakit, di tempat tinggal atau perjalanan dsb.). Tentu saja hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan menerima waktu bersama bagi shalat dzuhur dan ashar serta waktu bersama bagi shalat maghrib dan isya’.

Dari tinjauan yang sama, apabila kita ingin menafsirkan jamak antara dua shalat sesuai dengan pandangan Ahli Sunnah, bahwa Rasulullah Saw menunaikan shalat dzuhur di akhir waktu dzuhur kemudian langsung shalat ashar di awal waktu ashar, maka bukan kemudahan yang diberikan oleh Islam dalam hal ini, melainkan kesulitan yang lebih rumit. Hal itu karena kapan pun tidak mudah bagi seseorang untuk mengetahui akhir dan awal waktu shalat, lebih lagi jika orang tersebut berada di daerah yang tidak mempunyai fasilitas peralatan yang teliti.

Referensi:
[1] Ada karya-karya berharga yang membahas tentang jamak antara dua shalat, seperti Rosd’il Fiqhiyah karya Allamah Syarafudin Amili, Al-Jam’u baina Al-Sholtitain karya Najmudin Askari, dan Al-Insh6f ft Masti’ila Ddma fiha Al-Khiltifkarya penulis. Apa yang Anda baca di atas adalah ringkasan dari hasil penelitian para ulama terdahulu yang dituliskan oleh Sayid Ridha Husaini Nasab di dalam kitab Syi’eh Posukh Mi-dahad.
[2] Disadur dari kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzdhib Al-Arba’ah, kitab Shalat, bab Jama’ antara dua shalat; baik secara didahulukan atau diakhirkan (Jamak Takdim atau Jamak Ta’khir).

Makna shalat dan shalawat secara leksikal dan teknikal syar’i


Makna shalat dan shalawat secara leksikal dan teknikal syar’i? 
 
Pertanyaan:
Apa hikmah kata sholat dan sholawat bersamaan menggunakan huruf shod dan lam? Apa hubungan di antara keduanya? Demikian juga pada kata sholu pada kalimat "sholu ala muhammad" dan "sholu kama roaitu muni usholli" ?
 
Jawaban Global:
Kata salat (Arab: shalat) sepert puasa (shaum), zakat dan haji adalah sebuah lafaz yang mengalami perubahan dari makna leksikalnya menjadi makna baru dalam syariat.

Asli kata shalat secara leksikal derivatnya dari akar kata shalu yang bermakna doa dan istighfar.[1] Kata shalawat adalah bentuk jamak dari kata shalat.[2] Shalawat adalah kalimat doa dan salam khusus atas Rasulullah Saw yang disampaikan oleh kaum Muslim tatkala menyebutkan nama Nabi Muhammad Saw dengan cara yang beragam seperti,
 
 «اللهم صلّ علی محمد و آل محمد»
   
“Allahuma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad.”

Shalawat Allah Swt kepada Rasulullah Saw bermakna rahmat, “

«إِنَّ اللّٰهَ وَ مَلٰائِکَتَهُ یُصَلُّونَ عَلَى النَّبِیِّ یٰا أَیُّهَا الَّذِینَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَیْهِ وَ سَلِّمُوا تَسْلِیماً»

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (Qs. Al-Ahzab [33]:56).

Shalawat dari sisi para malaikat bermakna doa dan istighfar. [3]  Mengingat bahwa dalam salat terdapat doa dan permohonan ampun karena itu disebut sebagai salat. Dalam makna khusus ini (ibadah khusus dan memiliki rukun serta aktivitas tersendiri) menjadi makna hakiki. Karena itu, menjadi jelas bahwa shalat juga bermakna doa dan juga bermakna ibadah khusus yaitu salat.

Jelas bahwa sebagian lafaz digunakan bukan pada makna leksikalnya dan dipakai secara majas oleh ahli syariat yang kemudian secara perlahan menemukan makna-makna baru. Misalnya penggunaan salat terkait dengan kegiatan-kegiatan tertentu setelah sebelumnya bermakna doa secara leksikal (lughawi).[4] 
 
Penggunaan kata zakat juga demikian yang bermakna sejumlah harta yang dikeluarkan setelah makna yang ditetapkan untuknya adalah berkembang dan tumbuh.[5] Di samping itu, penggunan kata haji yang bermakna pelaksanaan manasik tertentu setelah secara leksikal (lughawi) ditetapkan bermakna niat atau qashd.[6]

Setelah peralihan makna ini, terdapat perbedaan pendapat apakah yang melakukan peralihan dan perubahan ini dilakukan oleh Syari’ (Pembuat Syariat)? Apakah Pembuat Syariat yang menentukan lafaz ini sedemikian sehingga hal tersebut dapat menujukkan makna yang dimaksud tanpa adanya indikasi sehingga ia menjadi hakikat syar’iah atau disebabkan oleh penggunaan lafaz pada makna ini  mendominasi dan Pembuat Syariat menggunakan lafaz ini secara majas sehingga dalam hal ini hanya menjadi hakikat urfiyah bukan syar’iah.
Hasil dari perbedaan pendapat ini apabila dalam ucapan Pembuat Syariat digunakan tanpa adanya sebuah indikasi apa pun berdasarkan pendapat pertama maka hal itu dipredikasikan pada makna sekundernya, namun sesuai dengan pendapat kedua dipredikasikan dengan makna leksikalnya. Namun apabila dalam tuturan Pembuat Syariat tentu saja dipredikasikan dengan makna-makna syar’i.[7] 
 
Sebagai contoh, dalam hadis Imam Shadiq As bersabda, “Shalatlah di samping kuburan Nabi Muhammad Saw, meski salat (shalawat) orang-orang beriman dapat sampai kepadanya dimanapun mereka berada.”[8] 
 
Saya tidak tahu apakah maksud Imam Shadiq As itu adalah salat di samping kuburan Rasulullah Saw atau shalawat dan salam untuknya?
Dengan memperhatikan beberapa poin yang disampaikan di atas, mengingat penggunaan ini dilakukan setelah Pembuat Syariat, karena itu dipredikasikan dengan makna syar’i (salat) kecuali – seperti riwayat di atas – terdapat sebuah indikasi  yang menunjukkan bahwa maksud Imam Shadiq As adalah shalawat dan salam.[9]   

Adapun terkait dengan dua kaliamt “Shallu ‘ala Muhammad” dan “Shallu kama raitumuni ushalli” dalam dua hal terdapat indikasi; karena dengan memperhatikan kalimat pertama  terdapat preposisi ‘ala (atas) tentu saja bermakna shalawat dan salam. Demikian juga pada kalimat kedua mengingat yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah shalat maka shalat di sini bermakna salat (yang memiliki rukun, bacaan dan kegiatan tertentu).
 

[1] . Khalil bin Ahmad Farahidi, Kitab al-‘Ain, jil. 7, hal. 153, Qum, Intisyarat Hijrat, Cetakan Kesepuluh, 1410 H. 
 
«صلو: الصَّلَاة ألفها واو لأن جماعتها الصَّلَوَات» 
 
; Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, jil. 14, hal. 464, Beirut, Dar Shadir, Cetakan Ketiga, 1414 H.
 
«الصلاةُ: الدُّعاءُ و الاستغفارُ»
 
[2]. Kitab al-‘Ain, jil. 7, hal.. 153; Shahib bin Ibad, al-Muhith fi al-Lughah, jil. 8, hal. 184, Beirut, Alam al-Kitab, Cetakan Pertama, 1414 H.  
[3]. Lisân al-‘Arab, jil. 14, hal. 465.  
[4]. Ibid.  
[5]. Raghib Isfahani, Husain bin Muhammad, Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hal. 380, Beirut, Dar al-Qalam, Cetakan Pertama, 1412 H.
[6]. Muhammad bin Hasan Ibnu Duraid, Jamharah al-Lughah, Beirut, Dar al-‘Ilm lil Malayin, Cetakan Pertama, 1988 M.  
[7]. Hasan bin Zainuddin, Ma’âlim al-Din, hal. 35, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Kelima, Tanpa Tahun.
[8]. Muhammad bin Yakub Kulaini, al-Kâfi, hal. 256, Qum, Dar al-Hadits, Cetakan Pertaa, 1429 H.

«صَلُّوا إِلىٰ جَانِبِ قَبْرِ النَّبِیِّ، وَ إِنْ کَانَتْ صَلَاةُ الْمُؤْمِنِینَ تَبْلُغُهُ أَیْنَمَا کَانُوا»
 
[9]. Muhammad Baqir Majlisi, Mir’at al-‘Uqul fi Syarh Akhbâr Ali al-Rasul, Riset oleh Sayid Hasyim Rasuli, jil. 18, hal. 264, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Kedua, 1404 H.

«قوله علیه السلام: "صلوا" المراد بالصلاة فی الموضعین أما الأرکان و الأفعال المخصوصة کما هو الظاهر فیدل على استحباب الصلاة له صلى الله علیه و آله فی جمیع الأماکن أو بمعنى الدعاء إلیه علیه السلام، و احتمال کونها فی الأول الأرکان و فی الثانی الدعاء بعید جدا و الله یعلم».

Tarawih dalam Pandangan KH. Ali Mustafa Yaqub

Tulisan tentang tarawih ini hanya menggunakan sudut pandang hadis, yang disarikan dari buku Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan karya Prof. Dr KH Ali Mustafa Yaqub alias Kyai Duladi, guru saya di Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, anggota komisi fatwa MUI, Imam Besar Masjid Istiqlal, Guru Besar Ilmu Hadis Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta (semoga Allah selalu menjaganya)…

Tidak Ada Istilah “Tarawih”

Kata “tarawih” adalah bentuk plural dari kata “tarwihah”, yang secara kebahasaan memiliki arti “ mengistirahatkan” atau “duduk istirahat”. Maka dari sudut bahasa, salat tarawih adalah salat yang banyak istirahatnya. Kemudian, tarawih dalam nomenklatur Islam digunakan untuk menyebut salat sunah malam hari yang yang dilakukan hanya pada bulan Ramadan.

Pada masa Rasul tidak ada istilah “salat tarawih”. Dalam hadis-hadisnya, Rasul tidak pernah menyebut kata itu. Dan kata yang digunakan adalah “qiyam ramadhan”. Tampaknya istilah “tarawih” muncul dari penuturan Aisyah, isteri Rasul. Seperti diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, Aisyah mengatakan,
“Nabi salat malam empat rakaat, kemudian yatarawwahu (istirahat). Kemudian kembali salat. Panjang sekali salatnya.”
Dalil Tarawih 20 Rakaat Lemah

Di negeri kita, ada dua versi pelaksanaan salat tarawih, dua puluh rakaat dan delapan rakaat.
Rumusan dalil yang menjadi dasar pelaksanaan tarawih duapuluh rakaat adalah hadis riwayat Imam Thabarani dan Imam Khatib Al-Baghdadi. Riwayat itu,
Ibnu Abas bertutur, “Pada bulan Ramadan, Nabi Muhammad salat dua puluh rakaat dan witir.”
Hadis di atas, seperti yang dituturkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam karyanya Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, lemah sekali. Titik lemah hadis ini adalah pada salah satu periwayatnya (dalam rangkaian sanad hadis ini) yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman.

Menurut Imam Bukhari, para ulama tidak mau berkomentar tentang Abu Syaibah. Imam Tirmidzi menilai hadis Abu Syaibah munkar. Sedangkan Imam Nasai menilai matruk. Bahkan Imam Syu’bah menilai Abu Syaibah sebagai pendusta. Dalam disipln ilmu hadis, komentar-komentar miring seperti di atas memberikan implikasi yang bersangkutan jika meriwayatkan hadis, maka status hadis itu menjadi tidak valid.

Maka, hadis riwayat Ibnu Abas di atas dapat dikategorikan sebagai hadis palsu atau minimal matruk (semi palsu), karena ada rawi pendusta (Abu Syaibah) dalam rangkaian sanadnya. Pada gilirannya, hadis di atas tidak dapat dijadikan dalil untuk salat tarawih dua puluh rakaat. Dengan kata lain, apabila kita salat tarawih dua puluh rakaat atas dasar dalil hadis di atas, maka kita telah malakukan kekeliruan.

Dalil Tarawih 8 Rakaat Juga Lemah

Hadis yang diindikasikan sebagai dalil salat tarawih delapan rakaat adalah hadis yang disebutkan dalam kitab Shahih IbnuHibban sebagai berikut,
Jabir bin Abdullah berkata, “Ubay bin Ka’ab datang menghadap Nabi lalu berkata, “Rasul, tadi malam (bulan Ramadan) aku melakukan sesuatu.” Kata Nabi, “Apa itu?” Ubay menjawab, “Para wanita di rumahku tidak ada yang bisa baca Alquran. Mereka memintaku menjadi imam salat. Kemudian kami salat delapan rakaat ditambah witir.” Rasul diam saja mendegar penuturan Ubay. Jabir menganggap Nabi memperkenankan apa yang telah dilakukan oleh Ubay.
Kualitas hadis ini sangat lemah, sebab dalam rangkaian sanadnya terdapat salah seorang periwayat yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut para ahli kritik hadis papan atas, seperti Imam Nasai dan Imam Ibnu Main, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Isa bin Jariyah kualitasnya lemah. Imam Nasai menilai hadisnya matruk (palsu, karena diriwayatkan oleh pendusta). Hadis ini pun gugur sebagai dalil tarawih delapan rakaat.

Ada juga hadis lain tentang salat tarawih delapan rakaat, bahkan lebih kongkrit dari hadis di atas, yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Humaid dari Jabir bin Abdullah,
“Nabi pernah mengimami kami salat pada satu malam Ramadan dengan delapan rakaat.”
Tapi sayang, hadis ini kualitasnya sama dengan hadis di atas, sebab hadis ini juga diriwayatkan oleh Isa bin Jariyah yang hadisnya dinilai matruk .
Dengan demikian, dalil salat tarawih delapan rakaat tidak memiliki sandaran nash yang kuat.

Hadis Shahih Ini Bukan Dalil Salat Tarawih

Hadis Imam Bukhari dan lain-lain yang diriwayatkan oleh Aisyah di bawah ini kerap dijadikan dalil oleh sebagian kalangan yang menganut tarawih delapan rakaat,
Rasul tidak pernah salat lebih dari sebelas rakaat, baik pada bulan Ramadan atau selainnya. Beliau salat empat rakaat. Tak perlu ditanyakan lagi, betapa bagus dan panjang salatnya itu. Setelah salam, ia kembali salat empat rakaat. Setelah itu, ia mengakhiri dengan salat tiga rakaat. Aisyah bertanya, “Rasul, apakah Engkau tidur sebelum melaksanakan salat witir?” Jawab Rasul, “Aisyah, matakau boleh tidur. Tapi tidak dengan hatiku.”
Benarkan hadis itu merupakan dalil salat tarawih delapan rakaat?
Pada hadis tersebut, Aisyah dengan gamblang menyatakan, Nabi tidak pernah salat lebih dari sebelas rakaat, baik pada bulan Ramadan maupun selainnya, alias sepanjang tahun. Salat yang dilakukan setiap malam sepanjang tahun, tentunya bukan salat tarawih. Sebab salat tarawih hanya dilaksanakan pada malam bulan Ramadan.

Oleh karen itu, para ulama berpendapat, hadis Aisyah di atas berbicara tentang salat witir, bukan salat tarawih. Para ulama umumnya juga menempatkan hadis itu pada bab salat witir atau salat malam, bukan pada bab salat tarawih, seperti Al-Qadhi ‘Iyadh dan Imam Nawawi. Imam Ibnu Hajar juga menempatkan hadis di atas dalam konteks salat witir.

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Abu Dauwd dari Aisyah di bawah ini bisa menjadi peneguh pendapat di atas,
Rasulullah salat malam tiga belas rakaat, terdiri dari salat witir dan dua rakaat fajar.
Tarawih Tidak Berorientasi Angka

Justeru, hadis shahih tentang salat tarawih atau “qiyam Ramadan” tidak memberikan batasan jumlah rakaat yang pasti, tidak berorientasi sedikit atau banyaknya jumlah rakaat salat. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu:
“Siapa yang menjalankan “qiyam Ramadan” karena iman kepada Allah dan mengharap pahala kepada-Nya, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan terampuni.”
Pada hadis itu, Nabi sama sekali tidak menyinggung bilangan rakaat salat apalagi membatasinya. Kuantitas bukan orientasi utama dalam salat tarawih, tapi yang mesti diutamakan adalah kualitas. Jadi, mau salat tarawih empat rakaat silakan, enam rakaat monggo, delapan rakaat tidak mengapa, dua puluh rakaat mbonten nopo-nopo, atau bahkan lima puluh, seratus dan seterusnya, dengan catatan tetap menjaga kualitas; ikhlas, khusu’, baik, dan sebagainya.

Wallahu a’lam.



عن ابن عباس قال، كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في رمضان عشرين ركعة والوتر.
عن جابر بن عبد الله، قال: جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إنه كان مني الليلة شيء – يعني في رمضان. قال: وما ذاك يا أبي؟ قال: نسوة في داري قلن إنا لا نقرأ القرأن، فنصلي بصلاتك. قال: قصليت بهن ثماني ركعات ثم أوترت. قال: فكان شبيه الرضا ولم يقل شيئا.
صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة في رمضان ثماني ركعات والوتر.
ما كان رسول الله صلى الله يزيد في رمضان ولا في غيره علىإحدى عشرة ركعة. يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا. قالت عائشة رضي الله عنها، فقلت: يا رسول الله، أتنام قبل أن توتر؟ قال: يا عائشة، إن عيني تنامان ولا ينام قلبي.
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة، منها الوتر وركعتا الفجر.
من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه.

Solat 3 waktu dalam mazhab Syiah dan Ahlusunnah


Solat 3 waktu dalam mazhab Syiah dan Ahlusunnah,

Solat dalam lima waktu dibolehkan seperti mana solat dalam tiga waktu; meskipun begitu jikalau tiada masalah yang timbul akibat kerja-kerja mustahak, maka lebih baik ia solat dalam lima waktu. Tentang perkara ini, mazhab Syiah mempunyai dalil-dalil kukuh dan muḥkam dari kitab-kitab mereka sendiri termasuk dari sumber-sumber ṣaḥīḥ Ahlusunnah. 

Oleh kerana perkara ini mendapat perhatian dan kemusykilan daripada saudara-saudara kita Ahlusunnah, maka kami bawakan dalil-dalil dari sumber ṣaḥīḥ mereka. Kitab Bukhārī dan Muslim mempunyai martabat ṣaḥīḥ setelah al-Qur’ān di kalangan Ahlusunnah, Imām Aḥmad bin Ḥanbal, Aḥmad Ṭayālisī di dalam musnadnya meriwayatkan:

 عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا وَثَمَانِيًا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ ... صحيح البخاري ، 9 مواقيت الصلاة، باب تَأْخِيرِ الظُّهْرِ إِلَى الْعَصْرِ، ج 2 ، ص 428، 

Ibnu ʽAbbas berkata: RasūluLlah (s.a.w) di Madīnah solat Zuhur, ʽAsar, Maghrib dan ʽIshā’ sebanyak 8 dan 7 rakaat. 

Ruj.
- Ṣaḥīḥ Bukhārī, fasal 9 Mawāqīt al-Ṣalāh, bab Ta’khīr al-Zuhr ilā al-ʽAṣr, jilid 2 halaman 428.
- (Bahasa Arab)  Al-Islam.com

Ini bermaksud himpunan solat Zuhur dan ʽAsar adalah 8 rakaat (iaitu solat Zuhur 4 rakaat dan salam, kemudian solat Aṣar 4 rakaat, bukan solat 8 rakaat sekaligus), Maghrib dan ‘Ishā’ pula 7 rakaat (iaitu solat Maghrib 3 rakaat dan salam, kemudian barulah menunaikan solat ʽIshā’ 4 rakaat) sebagaimana solat di dalam mazhab Syiah Imamiyah. 

Berdasarkan Ḥadīth tersebut, Ayyūb mengatakan mungkin pada malam tersebut hujan. Namun menurut Ḥadīth yang lain, RasūluLlah menunaikan solat demikian bukan kerana hujan atau perjalanan mahupun peperangan. Ṣaḥīḥ Muslim, Mālik bin Anas pemimpin mazhab Māliki di dalam kitab Muwaṭṭā’, Abū Dāwūd, Nasā’ī dan Bayhaqī di dalam sunan mereka serta Aḥmad bin Ḥanbal melaporkan:

 عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ .
 مسند أحمد ، وَمِنْ مُسْنَدِ بَنِي هَاشِمٍ، بِدَايَة مُسْنَد عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَبَّاسِ، ج 4 ، ص 384 ، ح 1953 صحيح ابن خزيمة، جماع أبواب المواضع التي تجوز الصلاة عليها ، والمواضع التي زجر عن الصلاة عليها، جماع أبواب الفريضة في السفر، ج 4 ،‌ص 62 ، ح 923 

Ibnu ʽAbbas berkata: RasūluLlah (s.a.w) solat Zuhur bersama Asar, Maghrib bersama ‘Ishā’ bukan dalam situasi ketakutan dan bukan dalam perjalanan. 

Rujuk:
- Musnad Aḥmad bin Ḥanbal, jilid 4 halaman 384, Ḥadīth 1953; Ṣaḥīḥ Ibnu Khuzaymah, jilid 4 halaman 62 ḥadīth 923; dan banyak lagi rujukannya.
 
Namun sayang sekali golongan Ahlusunnah tidak mengizinkan solat seperti ini meskipun terlalu banyak riwayat ṣaḥīḥ didapati dari kitab-kitab mereka. Jikalau diizin pun hanyalah kepada mereka yang memerlukan tumpuan yang lebih kepada kerjanya seperti doktor yang membedah pesakit selama berjam-jam dan melebihi satu waktu solat. Kerana masalah ini juga kita dapati ramai remaja-remaja yang mengabaikan solat kerana tersibuk dengan banyak berbagai pekerjaan dan karenah. 

Jikalau sunnah ini dipraktikkan, kemungkinan besar tidak akan timbul masalah kerana mereka dapat menghimpunkan solat-solat tersebut dalam waktu-waktunya. Dengan ini tidak ada alasan lagi untuk para remaja dan seluruh lapisan masyarakat menghindari solat.

 عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ فِي حَدِيثِ وَكِيعٍ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ . صحيح مسلم ،6 - كتاب صلاة المسافرين وقصرها ، باب الجمع بين الصلاتين في الحضر ، 1 ، ص 894

Ibnu ʽAbbas berkata: RasūluLlah (s.a.w) menghimpunkan solatnya Zuhur dan Aṣar, ʽIshā’ dan Maghrib bukan kerana ketakutan, bukan kerana hujan. Di dalam Hadīth Wakīʽ berkata, saya bertanya kepada Ibnu ʽAbbās: Mengapakah baginda solat seperti itu? Beliau menjawab: Supaya tidak menyusahkan ummatnya. 

Ruj.
- Ṣaḥīḥ Muslim, Kitab Ṣolāh al-Musāfirīn wa Qaṣr ha, Bāb al-Jamʽ Bayn al-Ṣālatayn fi al-Ḥaḍar, jilid 1 halaman 489.
- (Bahasa Arab)  Al-Islam.com
- (Bahasa Inggeris); Book 004, Number 1520: Ibn 'Abbas reported that the Messenger of Allah (may peace be upon him) combined the noon prayer with the afternoon prayer and the sunset prayer with the 'Isha' prayer in Medina without being in a state of danger or rainfall. And in the hadith transmitted by Waki' (the words are):" I said to Ibn 'Abbas: What prompted him to do that? He said: So that his (Prophet's) Ummah should not be put to (unnecessary) hardship."

Ini menunjukkan RasūluLlah (s.a.w) telah melihat seluruh masalah masa depan ummatnya. Tatkala sunnah Rasūl memboleh solat seperti ini, apa lagi alasan yang timbul kepada remaja kita untuk bermalas-malasan dan berkeras kepala dalam menunaikan kewajiban ini? 

Meskipun begitu, tidak ada halangan buat sesiapa yang mampu mendirikan solat dalam lima waktu dan kemungkinan pahalanya besar. Begitu tidak ada halangan juga buat sesiapa yang mendirikan solat dalam tiga waktu kerana riwayat seperti ini terlalu banyak didapati di dalam kitab Ahlusunnah, namun memadailah disebut sehagian kecil daripadanya. 
 

Shalat Tiga Waktu, Sehari Lima Kali Picu Kontroversi di Turki

SHALAT DALAM MAZHAB AHLUL BAIT.

Seorang profesor bidang studi Islam di Turki memicu kontroversi, setelah mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam boleh sholat hanya tiga kali dalam sehari, dan bukan lima kali asalkan memperbanyak doa.Fatwa itu dikeluarkan oleh Profesor Muhammad Nour Dugan, dan ia mendapat dukungan dari sejumlah profesor bidang hukum Islam lainnya, sehingga menimbulkan perdebatan yang panas di media massa Turki.Para cendekiawan Islam yang mendukung fatwa tersebut antara lain Dr. Ali Kusa. Ia beralasan, Nabi Muhammad Saw dalam kasus-kasus khusus menggabungkan dua waktu sholat..

SHALAT DALAM MAZHAB AHLULBAIT.

Jika anda membaca Qs. 17:78 dan Qs. 11:114 maka jelaslah maka shalat 5 kali sehari dalam 3 waktu :
* Zuhur dan ashar
* Maghrib dan isya
* Subuh
.
How many prayer times are mentioned? THREE, NOT five. Count them: the “Sun’s Decline, Darkness of the Night, and the Morning Prayer.” That’s
THREE, not FIVE.
Now, what did the Prophet (PBUH&HF) do? Here’s what Ibn Abbas, one of the most famous narrators, says according to the Musnad of Ibn Hanbal (One of the books of tradition):
“The Prophet (PBUH&HF) prayed in Madina, while residing there, NOT TRAVELING, seven and eight (this is an indication to the seven Raka’t of Maghrib and Isha combined, and the eight Raka’t of Zuhr and
`Asr combined).” Musnad al-Imam Ibn Hanbal, vol. 1, page 221.

Also, in the Muwatta’ of Malik (Imam of Maliki sect), vol. 1, page 161, Ibn Abbas says:
“The Prophet (PBUH&HF) prayed Zuhr and `Asr in combination and Maghrib and Isha in combination WITHOUT a reason for fear or travel.”

As for Sahih Muslim, see the following under the chapter of “Combination of prayers, when one is resident”:
Ibn Abbas reported: The messenger of Allah(may peace be upon him) observed the noon and the afternoon prayers together, and the sunset and Isha prayers together without being in a state of fear or in a
state of journey Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1515

Ibn Abbas reported that the messenger of Allah(may peace be upon him) combined the noon prayer with the afternoon prayer and the sunset prayer with the Isha prayer in Medina without being in a state of danger or rainfall. And in the hadith transmitted by Waki(the words are): “I said to Ibn Abbas: What prompted him to do that? He said: So that his(prophet’s)Ummah should not be put to (unnecessary) hardship.” Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1520

Abdullah b. Shaqiq reported: Ibn Abbas one day addressed us in the afternoon(after the afternoon prayer) till the sun disappeared, and the stars appeared, and the people began to say: Prayer, prayer. A person from Banu Tamim came there. He neither slackened nor turned away, but (continued crying): Prayer, prayer. Ibn Abbas said: May you be deprived of your mother, do you teach me sunnah? And then he said:
I saw the messenger of Allah(may peace be upon him) combining the noon and afternoon prayers and the sunset and Isha prayers. Abdullah b. Shaqiq said: Some doubt was created in my mind about it. So I came to Abu Huraira and asked him(about it) and he testified his assertion. Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1523

Abdullah b. Shaqiq al-Uqaili reported: A person said to Ibn Abbas(as he delayed the prayer): Prayer. He kept silent. He again said: Prayer.
He again kept silent, and he cried: Prayer. He again kept silent and said: May you be deprived of your mother, do you teach us about prayer? We used to combine two prayers during the lifetime of the
messenger of Allah(may peace be upon him). Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1524

Ibn Abbas reported: The messenger of Allah(may peace be upon him) observed the noon and afternoon prayers together in Medina without being in a state of fear or in a state of journey. Abu Zubair said: I asked Sa’id[one of the narrators] why he did that. He said: I asked Ibn Abbas as you have asked me, and he replied that he[the Holy prophet] wanted that no one among his Ummah should be put to
[unnecessary] hardship. Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1516

Ibn Abbas reported that the Messenger of Allah(may peace be upon him) observed in Medina seven (rakahs) and eight(rakahs), i.e., (he combined) the noon and afternoon prayers(eight rakahs) and the sunset
and Isha prayers(seven Rakahs). Sahih Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1522.

Wudhu syi’ah.

Syi’ah Ja’fariyah berwudhu dengan membasuh kedua tangan; dari siku-siku sampai ujung jari-jari, bukan kebalikannya, karena mereka mengambil cara berwudhu para imam Ahlul Bait yang telah mengambilnya dari Nabi saw. Tentunya, para imam lebih mengetahui dari pada yang lainnya terhadap apa yang dilakukan oleh kakek mereka. Rasulullah saw. Telah berwudhu dengan cara demikian itu, dan tidak menafsirkan kata  (Ilaa/ الی) dalam ayat wudhu (Al-Maidah [5]: 6) dengan kata (ma’a/ مع) hal ini juga ditulis Imam Syafi’i dalam kitabnya, Nihâyatul Muhtaj.  Begitu juga, mengusap kaki dan kepala mereka atau tidak membasuhnya ketika berwudhu, dengan alasan yang sama yang telah dijelaskan di atas. Juga karena Ibnu Abbas mengatakan: “Wudhu itu dengan dua basuhan dan dua usapan”.


Sebagaimana diketahui, pada tertib ritual wudhu, madzhab ahlusunnah mewajibkan membasuh kaki.
Sementara, madzhab syi’ah mewajibkan mengusap kaki (bukan membasuh kaki), berdasarkan ayat al-Qur’an :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” [5]

Sedang hadits-hadits seputar hal itu juga diriwayatkan, baik dari jalur ahlusunnah maupun syi’ah. Namun, larangan sebagian ulama ahlusunnah untuk mengusap kaki dikarenakan hadits-hadits yang memerintahkan membasuh kaki; yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Khalid bin Walid, Amr bin al-‘Ash, Urwah, dan lain-lain [6]. Dan sejarah membuktikan bahwa keempat orang tersebut adalah orang-orang yang tidak menyukai, bahkan memerangi Ahlul Bait as. Sementara hadits-hadits dari jalur ahlusunnah, yang memerintahkan untuk mengusap kaki, sebagai berikut :

1. Baihaqi meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Rifa’ah bin Rafi’, yang mengatakan bahwa Rasulullah (saww) bersabda : “Sungguh tidaklah kalian mengerjakan sholat, hingga kalian mengerjakan wudhu sebagaimana perintah Allah, yakni “basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.” [7]

2. Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Ibn Abbas, yang berkata bahwa ayat “usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” mengandung makna “mengusap”. [8]

3. Abdurrazzaq, Ibn Abi Syaibah, dan Ibn Majah meriwayatkan dari Ibn Abbas, yang berkata : “Orang-orang telah membasuh, padahal tidak aku jumpai dalam Kitabullah kecuali mengusap.” [9]
dan lain-lain.

Sementara dari jalur Ahlul Bait as (syi’ah), terdapat banyak sekali riwayat yang memerintahkan untuk mengusap kaki, seperti :
1. Imam Muhammad al-Baqir as, ketika menerangkan wudhu Rasulullah saww, mengatakan bahwa Rasul saww mengusap kakinya sebagaimana Al-Qur’an menjelaskan : “Usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. [10]
2. Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan bahwa ayat : “basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” termasuk ayat muhkam, yang tidak memerlukan takwil lagi. Adapun batasan (hukum) wudhu adalah membasuh muka dan kedua tangan, serta mengusap kepala dan kedua kaki. [11]
3. Imam Ali al-Ridha as, ketika ditanya seseorang, mengatakan bahwa surat al-Maidah tersebut sudah jelas, yaitu mengusap kepala dan kedua kaki. [12]
4. Imam Muhammad al-Baqir as, ketika ditanya tentang darimana perintah untuk mengusap kepala dan kedua kaki, maka beliau menjawab bahwa perintah tersebut tercantum dalam al-Qur’an : “basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. [13]

Referensi:
[5] QS. al-Maidah: 6
[6] Al-Syaukani, “Nailul Authar”, jilid 1, bab “Sifat Wudhu”; Suyuthi, “Durr al-Mantsur”, jilid 3, tentang (QS. al-Maidah: 6).
[7] Suyuthi, “Durr al-Mantsur”, jilid 3, tentang (QS. al-Maidah: 6).
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Al-Hurr al-Amili, “Wasail al-Syi’ah”, jilid 1, hal. 389, riwayat 1022.
[11] Ibid, hal. 399, riwayat 1042.
[12] Al-Majlisi, “Bihar al-Anwar”, jilid 80, hal. 283, riwayat 32.
[13] Al-Kulaini, “Al-Kafi”, jilid 3, hal. 30, riwayat 4.

PERBAHASAN WUDHU’

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرافِقِ وَ امْسَحُوا بِرُؤُسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَ إِنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُوا وَ إِنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا ماءً فَتَيَمَّمُوا صَعيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَ أَيْديكُمْ مِنْهُ ما يُريدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَ لكِنْ يُريدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَ لِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepala dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit, berada dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyetubuhi perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan menggunakan tanah yang baik (bersih); usaplah muka dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS Al Maidah:6).

Di dalam ayat di atas, dua bentuk ayat perintah digunakan:
(i) “faghsilu” yang berarti “basuh”
(ii) “wamsuhu” yang berarti “sapu/usap”.

Adalah jelas bahawa bentuk ayat perintah “basuh” merujuk pada dua objek iaitu mukamu (wujuhakum) dan kedua tanganmu (aidiyakum) manakala bentuk perintah kedua pula (sapu/usap) merujuk pada dua objek lainnya iaitu bagian kepalamu (bi ru’usikum) dan kedua kakimu (arjulakum).

Perkataan “muka” berarti bagian depan kepala, bermula dari bagian dahi dan bawah dagu, dan dari telinga ke telinga. Dalam artinya yang sah, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis2 para A’immah as,ia merangkumi bagian muka dari batas anak rambut ke bagian hujung dagu, dan sebatas sejengkal dari sisi ke sisi.

Perkataan tangan berarti organ yang digunakan untuk menggenggam, dan merangkumi bagian atas antara bahu dan hujung jari. Maka, dari sudut bahasa, perkataan “yad” adalah umum bagi lengan,lengan bawah dan tangan. Apabila sesuatu perkataan itu digunapakai secara umum dalam lebih dari satu maksud, adalah penting untuk pembicara menjelaskan maksud katanya…dengan ini, kita lihat perkataan ‘ill ‘l marafiq “sehingga dengan siku” dalam ayat ini, menjelaskan hingga batas manakah wudu’ itu harus dilakukan.
( Wasa’il, jilid 1. hlm.283-286 bahagian 17-19 pada bab wudu’).

Kini kita sampai pada satu perbedaan utama antara Syiah dan Sunni dalam cara melakukan wudu’. Sunni membasuh lengan mereka dari hujung jari ke siku, manakala Syiah pula, membasuh lengan mereka dari siku ke hujung jemari. Seperti yang dinyatakan di atas, perkataan “hingga dengan siku” tidak menjelaskan kepada kita untuk membasuh lengan dari hujung jari hingga ke siku, malah, perkataan ini semata mata memberitahu bagian tangan yang manakah yang termasuk dalam bagian wudu’.

Lalu, bagaimana kita melakukan wudu’ dari siku ke hujung jemari? Jawaban pada persoalan ini terkandung di dalam sunnah. Salah satu dari tanggungjawab Rasul saaw adalah untuk menjelas dan menunjukkan tatacara sebenar berwudu’, dan ini kita peroleh lewat hadis para A’immah as.

Zurarah bin A’yan meriwayatkan hadis berikut:
“Imam Muhammad al-Baqir (a.s) berkata “Mahukah aku perlihatkan pada kalian cara wudu’nya Rasulullah saaw?” Kami menjawab, “Ya”. Apabila air dibawakan ke hadapan Imam, Imam lalu membasuh tangannya, setelah itu beliau menyingsing lengan bajunya. Beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana, menceduk air dgn tangannya dan mencurahkannya ke dahinya. Beliau membiarkan air itu mengalir hingga ke janggutnya kemudian membasuh mukanya sekali. Kemudian, beliau memasukkan tangan kirinya ke dalam air dan menceduknya dengan tangannya dan menuangkannya ke ke siku tangan kanannya turun ke hujung jemarinya. Beliau mengulangi hal yang sama dengan tangan kanannya dan menuangkannya ke siku kirinya hingga ke hujung jemarinya.

Lalu setelah itu, beliau megusap bagian depan kepalanya dan muka kakinya dengan sisa air dari tangan kanan dan kirinya”( Wasa’il jilid 1 hlm 272).

Dalam hadis yang lain Imam Muhammad al-Baqir (a.s) meriwayatkan cara berwudu yang serupa dari Amirul Mukminin as yang menunjukkan cara berwudu Rasulullah saaw saat diminta seseorang (Wasa’il jilid 1 hlm 272).

Kata perintah “wamsahu “usap/sapu” berarti menyapukan tangan dsb pada sesuatu. Bila perkataan seperti ini digunakan dalam bentuk kata transitif, ia menandakan penyempurnaan dan keseluruhan perbuatan (sebagai contoh maksudnya “basuh seluruh kepalamu”).

Namun, setiap kali verb ini diikuti oleh huruf “ba”, ia menandakan sebagian darinya (bermakna, “basuhlah sebagian dari kepalamu”) Dalam ayat wudu’ ini, huruf “ba” telah digunakan dalam ayat perintah wudu’ yang berarti, terjemahannya yang tepat adalah “basuhlah sebagian dari kepalamu”

Bagian kepala yang manakah yang harus dibasuh saat berwudu’? Al Quran tidak menyebutkannya, namun hal ini bisa kita temukan di dalam sunnah Rasul saaw. Terdapat banyak hadis dari para A’immah as yang menjelaskan hal ini, bahawa “sebagian dari kepala” adalah bagian depannya (Wasa’il jilid 1 hlm 289).

Perkataan “arjulukum ” berarti “kaki, keseluruhan kaki”. Untuk mengkhususkan maksudnya, adalah penting untuk menambahkan perkataan “illa ‘l-ka’bayn”, “hingga kedua mata kaki”. Kata “ar-julakum” adalah berhubung kepada “bi ru’usikum” “sebagian dari kepalamu” oleh kata sendi “wa=dan “. Dengan ini, ayat tersebut berarti “usap/sapu sebagian dari kakimu”.

Sekali lagi, di sini, kita temukan perbedaan di antara Syiah dan Sunni. Sunni membasuh keseluruhan kaki mereka sedangkan Syiah hanya mengusap bagian atas kaki mereka hingga ke mata kaki. Sekaitan hal ini, al Quran dan hadis hadis para A’immah as, menjelaskan bahawa “mengusap sebagian dari kakimu” itulah yang benar, dan tafsir inilah yang juga diterima oleh mufassir kenamaan Sunni Imam Fakhru ‘d-Din ar-Razi in his Tafsir al-Kabir.( ar-Razi, Tafsir al-Kabir, vol.3, p.370).

Satu satunya asas bagi Sunni dalam “membasuh kaki” adalah sebagian hadis yang terakam dalam kitab2 hadis mereka.
Hadis2 ini tidak valid karena:
Pertamanya, terdapatnya percanggahan dengan perintah al Quran. Rasul saaw bersabda “Jika hadisku disampaikan padamu, maka letakkannya di hadapan al Quran, jika ia sejalan dengan kitab Allah, ambillah, dan jika sebaliknya, tolaklah”.

Keduanya, mereka menentang sunnah Rasul saaw, sebagaimana yang dijelaskan oleh para A’immah as, yang diterima oleh semua kaum Muslimin. Bahkan sebagian dari sahabat yang mengatakan adalah salah untuk menisbahkan “membasuh kaki” kepada Rasul saaw.

Sebagai contohnya, sahabat Ibn Abbas berkata, “Allah telah menetapkan dua basuh dan dua usap dalam berwudu’. Tidakkah engkau perhatikan, saat Allah memerintahkan bertayyamum, Allah telah meletakkan duausapan pada dua basuhan (muka dan tangan) dan menghilangkan dua usapan (kepala dan kaki) ( Muttaqi al-Hindi, Kanzu ‘l-Ummal, jil. 5, hlm. 103 (hadith 2213).Juga Musnad Ibn Hanbal, jil. 1, hlm.108).

Ketiga, hadis Sunni dalam hal ini (wudu’) adalah saling bertentangan. Sebagian hadis menyebutkan “membasuh kaki” seperti hadis Humran yang dikutip oleh Bukhari dan oleh Ibn ‘Asim yang dikutip oleh Muslim. Manakala sebagian dari hadis pula mengatakan bahawa Nabi saaw “mengusap kaki”, seperti hadis Ibad bin Tamim yang berkata, “Aku melihat Rasulullah saaw melakukan wudu’, dan Baginda mengusap kakinya”. Hadis ini diriwayatkan di dalam Ta’rikh of al-Bukhari, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Sunan Ibn Abi Shaybah, dan Mu’jamu ‘l-Kabir at-Tabarani; dan semua perawinya adalah tsiqah. ( al-’Asqalani, al-’lsabah, jil. 1, hlm. 193; juga Tahdhib at-Tahdhib).

Dan adalah suatu kesepakatan bahawa di dalam kaedah (usulu ‘l-fiqh) jika ada hadis2 yang bertentangan, maka yang sejalan dengan al Quran diterima dan selainnya ditolak.
Diriwayatkan dari Rifa’ah Ibn Rafi’ bahawa beliau bersama dengan Rasul saaw lalu Baginda saaw bersabda, “Hakikatnya, tiada solat yang diterima sehinggalah seseorang itu menyempurnakan wudu’nya sebagaiman yang ditetapkan oleh Allah yang Maha Perkasa, iaitu membasuh muka dan tangan hingga ke siku dan mengusap kepala dan kedua kaki hingga ke mata kaki” . (Sunan Ibn Majah. jil. 1, bag 57, hadis 460, No. 453; Sunan Abi Dawud, No. 730; Sunan Al-Nisa’i, No. 1124; Sunan Al-Darimi 1295).

Al-Bukhari, Ahmad, Ibn Abi Shaybah, Ibn Abi Umar, Al-Baghawi, Al-Tabarani, Al-Bawirdi dan yang lainnya meriwayatkan dari Abbad Ibn Tamim Al-Mazani yang meriwayatkan bahawa bapanya berkata, “Aku melihat Rasulullah saaw berwudu’ dan mengusap kakinya dengan air”(Al-Isaba, jil. 1, hlm. 185, No. 843).

Abu Malik Ash’ari memberitahu kerabatnya, “Mari, biar aku tunjukkan cara berwudu’nya Rasulullah saaw” Beliau meminta air untuk berwudu’. Beliau menghidu air tersebut lalu membasuh mukanya tiga kali dan membasuh tangannya dari siku tiga kali dan mengusap kepala dan muka atas kakinya. Kemudian mereka solat (Musnad Ahmad Ibn Hanbal, No. 21825).

Diriwayatkan dari Rubayyi’ bahawa dia berkata, “Ibn Abbas datang kepadaku dan bertanyakan tentang hadis yang aku riwayatkan dari Rasul saaw yang menceritakan tentang Nabi saaw membasuh kakinya saat berwudu’. Lalu Ibn Abbas berkata, “Manusia mengelak apa sahaja kecuali basuh, sedang aku tidak melihat di dalam kitab Allah kecuali menyapu” (Sunan Ibn Majah, jil. 1, hlm. 156, No. 458, No. 451; Musnad Ahmad, No. 25773 ).

Ulama Syi’ah berkeyakinan bahwa dalam berwudhu diwajibkan membasuh kedua tangan dari atas ke arah bawah. Sementara kaum Ahlusunnah berpendapat bahwa manusia (mukallaf) bebas memilih antara membasuh kedua tangannya dari atas ke bawah atau sebaliknya. Tetapi disunatkan membasuhnya dari ujung jari-jari ke arah atas.(Al-Fiqhu ‘ala al-madzâhibil khamsah, hal. 80, al-Fiqhu ‘ala al-madzâhibil arba’ah, jilid 1, hal. 65 pada pembahasan jumlah sunat-sunat dan lain-lain; Shalat al-mukmin al-qahthani, jilid 1, hal. 41, 42.).

Fukaha Syi’ah mendasari pandangannya dengan sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Rasululah Saw membasuh kedua tangannya dari atas ke bawah.( Wasâ’il as-Syi’ah, jilid 1, hal. 387 pada abwâbul wudhu, bab 15, bâbu kayfiyati al-wudhu wa jumlatin min ahkamihi).

Dan berdasarkan riwayat sahih lainnya sebagai penafsiran yang disampaikan oleh para Imam makshum As atas ayat yang berkaitan dengan wudhu.(. Surat al-Maidah (5): 6).

Riwayat tersebut berbunyi: “Kalian harus membasuh kedua tanganmu dari atas ke bawah”( Wasa’il as-Syi’ah, jilid 1, abwâbu al-wudhu, bab 19, h 1.).

Adapun mengenai redaksi “ila” yang terdapat di dalam ayat Al-Qur’an, yaitu: “Wahai orang-orang yang beriman, ketika kamu ingin melakukan shalat, maka basuhkan wajahmu dan kedua tanganmu hingga bagian siku” (Qs. Al-Maidah [5]:6) dapat dikatakan bahwa ayat tersebut hanya menjelaskan batasan-batasan basuhan dan kadarnya, bukan menjelaskan tata cara membasuh. Dengan kata lain bahwa ayat tersebut menentukan batasan dan kadar tangan yang harus dibasuh dalam berwudhu itu hingga bagian siku.( Kata “marâfiq” adalah bentuk plural dari kata “mirfaq” yang bermakna siku).

Untuk memperjelas maksud apa yang disebutkan di atas kami akan sampaikan contoh sebagai berikut. Misalnya ada seseorang berkata kepada pembantu masjid: “Uknus al-masjid min al-bâb ila al-mihrâb” (sapulah masjid dari pintu sampai ke mihrab). Dalam kalimat tersebut seseorang ingin menjelaskan kadar dan batasan yang harus di sapu. Dia tidak bermaksud mengatakan dari mana memulainya dan sampai dimana kesudahannya. Terlebih dalam ayat wudhu tersebut tidak terdapat kata “min” (dari). Dengan demikian bahwa kata “ila” yang terdapat pada ayat di atas itu tidak juga menunjukkan dianjurkannya (sunah) membasuh kedua tangan dari ujung jari-jari ke arah siku. Sebagai bukti terbaik atas maksud ayat tersebut adalah kebiasaan dan sunnah Rasulullah Saw yang telah dijelaskan oleh para Imam suci Ahlulbait As.
Dengan demikiian bahwa makna kata “ila” adalah ghayat ( Maknanya: ke, hingga), tetapi menunjukkan tangan yang dibasuh ( Yakni bahwa batas tangan yang harus dibasuh adalah sampai siku). dan bukan untuk cara membasuhnya.( Yakni bukan berarti basuhannya itu sampai siku sehingga menimbulkan dugaan bahwa tata cara membasuhnya itu harus ke arah siku). Atau bermakna “min” ( Bermakna: dari) atau bermakna “ma’a” ( Bermakna: beserta, bersama). sebagaimana pandangan Syaikh Thusi.( Wasâil as-Syi’ah, jilid 1, hal. 406).

Tatacara berwudu’ dalam mazhab Ahlul Bayt as.
Wudu’ dilaksanakan secara empat tahap:
1. Membasuh muka. Selepas berniat, curahkan air dari atas arah anak rambut. Dengan menggunakan tangan kanan, basuhlah muka itu dari atas ke bawah, hingga air itu sampai ke seluruh wajah dari anak rambut ke dagu dan dari sisi ke sisi(bagian yg tidak ditumbuhi janggut)
Bacalah doa ini sebelum mulakan wudu’:
Bis mail-lahi wa bil-lahi ; wal hamdu lil-lahi lazi ja’ala ma’a tahuran wa lam yaj’alu najisa
dan doa ini saat membasuh muka:
Allahumma bayyiz wajhiy yawma tusawwidul wujuh; wa la tusawwid wajhiy yawma tubyyizul wujuh
2. Membasuh tangan dari siku ke hujung jemari. Lurutkan tangan ke bawah dan tidak boleh naik ke atas saat membasuh tangan ke bawah. Mulakan pada tangan kanan dahulu baru diikuti oleh tangan kiri.
Bacalah doa ini saat membasuh tangan kanan:
Allahumma ‘atiniy kitabi bi yaminiy, wal khuda fil jinani bi yasariy, wa hasibniy hisaban yasira
Bacalah doa ini saat membasuh tangan kiri:
Allahumma la tu’tiniy kitabiy bi shimaliy, wa la min wara’i zahriy, wa la taj’alha maghluqatan ila ‘unuqi; wa a ‘uzu bika min muqatta ‘atin niyran
3. Mengusap kepala. Dengan sisa air wudu’ itu (tidak perlu mengambil air lagi), usapkan kepala dari bagian atas kepala turun ke anak rambut. Gunakan tangan kanan, bisa dgn satu jari sahaja, namun sebaik baiknya 3 jari.
Bacalah doa ini saat mengusap kepala:
Allahumma ghash-shiniy bi rahmatika wa barakatika wa ‘afwika
4. Mengusap muka kaki. Seperti kepala tadi, air yg masih tersisa pada tangan tadi di usapkan pada kaki, bermula dari hujung jari kaki hingga ke atas (menggunakan tapak tangan), iaitu pada mata kaki(pergelangan kaki). Kaki tidak boleh digerakkan saat mengusap, hanya tangan sahaja yg digerakkan (kaki juga bisa diusap dari mata kaki ke hujung jari) Gunakan tapak tangan kanan utk kaki kanan dan tapak tangan kiri utk kaki kiri.

Bacalah doa ini saat mengusap kaki:
Allahumma thab-bitniy ‘alas sirati yawma tuzillu fiyhil aqdam ; waj’al sa’iy fi ma urziyka ;anniy ; ya zul jalali wal ikram.

**Adalah penting untuk memperhatikan bahawa saat menyapu kepala dan kaki, kedua dua bagian itu harusnya tidak basah, pastikan keduanya tidak berair.
_______________________________________________________________
di sunni -ketika membahas nasikh-mansukh-ayat wudlu ini dijadikan dalil bolehnya sunnah mengapus hukum qur’an. Di antara dalilnya adalah berikut ini:
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahi, telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Asim al-Ahwal, dari Anas yang mengatakan bahwa Al-Qur’an menurunkan perintah untuk mengusap (kaki), sedangkan sunnah memerintahkan untuk membasuh(nya). Ibnu Katsir berkata Sanad atsar ini sahih.

Ibn Katsir berkata “Memang diriwayatkan dari segolongan ulama Salaf hal yang memberikan pengertian adanya wajib mengusap kaki ini.” kemudian ia membawakan dalil-dalilnya, di antaranya:
1. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Humaid yang mengatakan bahwa Musa ibnu Anas berkata kepada Anas, sedangkan kami saat itu berada di dekat¬nya, “Hai Abu Hamzah, sesungguhnya Hajaj pernah berkhotbah ke pada kami di Ahwaz, saat itu kami ada bersamanya, lalu ia menyebutkan masalah bersuci (wudlu). Maka ia mengatakan, ‘Basuhlah wajah dan kedua tangan kalian dan usaplah kepala serta basuhlah kaki kalian. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun dari anggota tubuh anak Adam yang lebih dekat kepada kotoran selain dari kedua telapak kakinya. Karenanya basuhlah bagian telapaknya dan bagian luarnya serta mata kakinya’.” Maka Anas berkata, “Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya dan dustalah Al-Hajaj. Allah Swt. telah berfirman, ‘Dan usaplah kepala kalian dan kaki kalian’
2. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Qais Al-Khurrasani, dari Ibnu Juraij , dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa wudu itu terdiri atas dua basuhan dan dua sapuan.
3. Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa’id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar Al-Minqari, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mihran, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya “dan sapulah kepala kalian dan kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.”(al-Maidah: 6). Makna yang dimaksud ialah mengusap kedua kaki (bukan membasuhnya).

Yang aneh, kenapa ia justeru menyerang syi’ah dengan pernyataan: “Orang-orang yang menganggap wajib mengusap kedua kaki seperti mengusap sepasang khuf dari kalangan ulama Syi’ah, sesungguhnya pendapat ini sesat lagi menyesatkan.”.

Apa hubungannya dengan syi’ah, kenapa ia tidak mengkritik salaf yang berpendapat demikian tapi malah syi’ah yang disesatkan? aneh…

Ada 3 Amalan Bersuci (QS. 4: 43 dan QS. 5: 6) dengan perintah mandi, membasuh dan mengusap:
1.Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
2.Sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki.
3. Sapulah mukamu dan tanganmu.(tayamum).

Perbedaan qira’at tidak mempengaruhi arti dan maksudnya. Membasuh kaki karena mengikuti perintah “membasuh muka” bertentangan dengan susunan kalimat yang fasih seperti dicontohkan pada perintah “mengusap muka”.

Sunni sendiri umumnya mengakui bahwa ayat tersebut menyuruh mengusap kaki, hanya saja ada sunnah yang mewajibkan membasuh kaki. Sehingga ada yang membawa dalil sunnah tsb sebagai penjelas dan ada juga sebagai penghapus hukum ayat tersebut.

Bagi saya ayat-ayat perintah dalam al-Quran adalah penting. semoga kita tidak termasuk orang yang diadukan oleh Rasul SAW:
“Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan.” (QS. 25: 30).

Terkait Berita: