Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Mazhab Syafi'i*. Show all posts
Showing posts with label Mazhab Syafi'i*. Show all posts

Tablig Akbar Wahabi Digagalkan di Madura








Ribuan massa turun ke jalan memenuhi sepanjang Jl. Pangeran Diponegoro Pamekasan menolak Tablig Akbar Wahabi Salafi (20/3/2015). Massa yang tergabung dalam Gerakan Santri dan Pemuda Rahmatan lil ‘alamin (GASPER) bersama ribuan Kaum Muslimin Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat untuk menolak ajaran Wahabi Salafi yang telah terbukti dari waktu ke waktu menyebarkan perpecahan di dalam tubuh Kaum Muslimin.

Adapun tujuan pengerahan massa tersebut adalah untuk menyampaikan tiga tuntutan kepada Takmir Mesji ar-Ridwan Pamekasan yang selama ini dikenal sebagai Mesjid Wahabi Salafi; pertama, meminta Masjid Ridwan menggagalkan rencana mendatangkan Ustadz Abdurrahman Thayyib dan tokoh-tokoh Salafi – Wahabi yang mempunyai catatan hitam (membid’ahkan maulid Nabi, mensyirikkan ziarah kubur, mengharamkan tahlil dan amaliah-amaliah Aswaja lainnya);kedua, tidak me-relay siaran Radio Rodja; ketiga, mencabut pernyataan pada Surat Terbuka yang isinya fitnah dan mendiskreditkan GASPER.

Wahabi Salafi selalu memprovokasi Masyarakat dengan membid’ahkan amaliyah-amaliyah ASWAJA dan ini adalah sebuah bentuk terror mental kepada mayoritas Kaum Muslimin pengikut Asyairoh bermazhab Syafi’I (Ahlussunnah wal Jama’ah).

Saat orasi tengah berlangsung, empat orang perwakilan GASPER menemui Takmir Mesjid Wahabi Salafi untuk menyampaikan tuntunannya demi kedamaian umat dan tidak menumbulkan gejolak dan keresahan.

Alhamdulillah pengerahan massa ini membuahkan hasil dan semua tuntutan massa dipenuhi oleh Hanif Ketua Takmir Mesjid ar-Ridwan. Pihak Wahabi Salafi pun meminta ma’af dihadapaan media dan surat terbuka yang akan mereka edarkan. Kelompok Wahabi Salafi pun juga bersedia menggagalkan Tablig Akbar yang rencana akan mengundang Tokoh-tokoh Wahabi Salafi.


Seperti kita ketahui bersama Ajaran Radikal Wahabi Salafi adalah Ajaran yang dipakai oleh ISIS dan semua kelompok teroris. Ajaran Wahabi Salafi adalah Ajaran bathil berkedok tauhid. Mereka tidak segan-segan melakukan kekerasan kepada Kaum Muslimin yang berbeda faham dengan mereka juga memusuhi Kaum Non Muslim dan semua itu mereka lakukan atas nama Agama sementara Agama Islam berlepas diri dari mereka.

Ajaran Radikal Wahabi Salafi sangat berbahaya bagi Islam, Bangsa dan kemanusiaan karena berpotensi merongrong NKRI dan Pancasila. Mereka memiliki ideologi takfir. Takfir adalah sebuah ciri ajaran Wahabi Salafi yang sangat mudah mengkafirkan dan menghalalkan darah sesama Kaum Muslimin. Takfir adalah dosa besar setelah syirik (Habib Umar bin Hafidz).
Semoga semangat menolak Ajaran Radikal Wahabi Salafi (Faham ISIS dan para teroris) akan massif dan juga di dukung oleh Pemerintah agar generasi bangsa ini terhindar dari kehancuran dan tragedi kemanusiaan.

(Sumber)

Alasan Syiah menggabung shalat dhuhur-asar dan maghrib-isya’


Kenapa orang-orang syi’ah melakukan lima shalat wajib harian dalam tiga waktu?
Jamak antara dua shalat merupakan masalah fikih yang penting dan sensitif sekali, dimana belakangan ini para peneliti dari kalangan ulama Syi’ah sering mengulasnya, karena sebagian orang beranggapan bahwa jamak antara dua shalat sama dengan shalat di luar waktu yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Untuk lebih jelasnya, kami akan menerangkan masalah ini dengan poin-poin berikut:[1]
  1. Semua mazhab Islam sepakat bahwa di Arafah, boleh hukumnya seseorang menunaikan shalat dzuhur dan ashar secara langsung pada waktu dzuhur, sehingga tidak ada selang waktu di antara keduanya. Di Muzdalifah pun dia boleh menunaikan shalat maghrib dan isya’ secara langsung pada waktu isya’.
  2. Ulama Mazhab Hanafi mengatakan, ‘Jamak antara shalat dzuhur dan ashar dalam satu waktu, begitu pula jamak antara shalat maghrib dan isya’ dalam satu waktu, hanya diperbolehkan di dua tempat; di Arafah dan Muzdalifah. Adapun di selain dua tempat itu tidak diperbolehkan.’
  3. Ulama Mazhab Hanbali, Maliki dan Syafi’i mengatakan, ‘Jamak antara shalat dzuhur dan ashar atau antara shalat maghrib dan isya’ dalam satu waktu, selain boleh dilakukan di dua tempat tersebut (Arafah dan Muzdalifah) boleh juga dilakukan pada waktu bepergian. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal itu juga boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa, seperti ketika hujan lebat atau ketika pelaku shalat dalam keadaan sakit atau takut dari musuh.[2]
  4. Adapun menurut Syi’ah, masing-masing dari shalat dzuhur dan ashar, begitu pula shalat maghrib dan isya’ mempunyai waktu khusus dan waktu bersama:
  5. Waktu khusus untuk shalat dzuhur adalah dari sejak dzuhur syar’i; yakni zawal atau bergesernya matahari dari lengah langit, sampai batas waktu yang bisa digunakan untuk shalat empat rakaat. Di dalam waktu yang terbatas ini, hanya shalat dzuhur yang boleh dilakukan oleh seseorang.
  6. Waktu khusus shalat ashar adalah dari ashar sampai tcrbenamnya matahari sekiranya waktu itu hanya cukup untuk digunakan shalat empat rakaat. Di dalam waktu yang terbatas ini, hanya shalat ashar yang boleh dilakukan oleh seseorang.
  7. Waktu bersama untuk shalat dzuhur dan ashar adalah dari sejak berakhirnya waktu khusus shalat dzuhur sampai awal bermulanya waktu khusus shalat ashar.
Menurut Syi’ah, di dalam waktu bersama untuk shalat dzuhur dan ashar seseorang boleh melakukan kedua shalat itu sekaligus tanpa jarak waktu di antara keduanya.

Sedangkan Ahli Sunnah, karena pandangan khusus mereka mengenai pembagian waktu dari zawal (bergesemya matarhari dari tengah langit) sampai ghurub (terbenamnya matahari), maka mereka tidak meyakini waktu bersama, baik antara shalat dzuhur dan ashar maupun antara maghrib dan isya’. Menurut mereka, mulai zawal sampai tanda jam matahari menunjukkan bayangan seukurannya maka itu merupakan waktu khusus untuk shalat dzuhur, dan tidak boleh seseorang untuk melakukan shalat ashar pada waktu itu. Sedari itu waktu shalat ashar mulai sampai ghurub, dan itu merupakan waktu khusus untuk shalat ashar. Berdasarkan pandangan ini, jamak antara shalat dzuhur dan ashar tidaklah memungkinkan, karena konsekuensinya adalah melakukan salah satu dari shalat itu di luar waktu yang telah ditentukan.

Menurut Syi’ah, waktu yang diterangkan oleh Ahli Sunnah ini merupakan waktu keutamaan shalat dzuhur dan ashar, bukan waktu yang hanya diperbolehkan untuk shalat dzuhur dan ashar kala itu. Artinya, menurut Syi’ah yang utama adalah menunaikan shalat ashar ketika bayangan tanda jam matahari telah mencapai ukuran yang sama dengan tanda matahari itu sendiri, tapi kalau pun seseorang melakukan shalat ashar sebelum itu tetap dihukumi sah dan tidak perlu untuk mengulanginya.

Di samping itu, banyak sekali hadis yang menmtjukkan bahwa di dalam perjalanan, bahkan terkadang di tempat kediaman dan tanpa uzur sekecil apa pun Rasulullah Saw menjamak antara dua shalat. Maka demi mempertahankan pendapat mereka tentang pembagian waktu tersebut, ulama Ahli Sunnah terpaksa menakwilkan hadis-hadis itu dari maknanya yang literal menjadi makna yang jauh sekali dari aslinya. Mari kita perhatikan bersama pandangan Syi’ah dan Ahli Sunnah mengenai hadis-hadis ini:
  1. Menurut Syi’ah, berdasarkan hadis-hadis ini boleh seseorang melakukan shalat ashar langsung setelah melakukan shalat dzuhur, begitu pula dia boleh melakukan shalat isya’ langsung setelah melakukan shalat maghrib. Dan hukum ini berlaku bukan untuk waktu, tempat, atau kondisi tertentu, melainkan seseorang bisa melakukannya kapan saja (di hari jum’at atau yang lain) dan di mana saja (Arafah, Muzdalifah atau selainnya) serta dalam kondisi apa saja (sakit atau pun sehat).
  2. Ulama di luar mazhab Syi’ah, karena menolak waktu bersama shalat dan membatasinya hanya dalam waktu yang sah untuk shalat, maka mereka menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadis-hadis ini adalah boleh menunaikan shalat dzuhur di akhir waktunya dan shalat ashar di awal waktunya, sehingga dengan demikian terkesan telah terjadi jamak antara dua shalat.
Bila ditinjau dari sisi filosofi jamak antara dua shalat, terang saja penakwilan seperti itu tidak beralasan, karena hikmah pembolehan jamak antara dua shalat adalah memberi kemudahan kepada umat Islam untuk dapat melakukan dua shalat dzuhur dan ashar atau maghrib dan isya’ dalam satu waktu (tanpa pemisah antara keduanya) dan dalam keadaan apa pun (sehat atau sakit, di tempat tinggal atau perjalanan dsb.). Tentu saja hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan menerima waktu bersama bagi shalat dzuhur dan ashar serta waktu bersama bagi shalat maghrib dan isya’.

Dari tinjauan yang sama, apabila kita ingin menafsirkan jamak antara dua shalat sesuai dengan pandangan Ahli Sunnah, bahwa Rasulullah Saw menunaikan shalat dzuhur di akhir waktu dzuhur kemudian langsung shalat ashar di awal waktu ashar, maka bukan kemudahan yang diberikan oleh Islam dalam hal ini, melainkan kesulitan yang lebih rumit. Hal itu karena kapan pun tidak mudah bagi seseorang untuk mengetahui akhir dan awal waktu shalat, lebih lagi jika orang tersebut berada di daerah yang tidak mempunyai fasilitas peralatan yang teliti.

Referensi:
[1] Ada karya-karya berharga yang membahas tentang jamak antara dua shalat, seperti Rosd’il Fiqhiyah karya Allamah Syarafudin Amili, Al-Jam’u baina Al-Sholtitain karya Najmudin Askari, dan Al-Insh6f ft Masti’ila Ddma fiha Al-Khiltifkarya penulis. Apa yang Anda baca di atas adalah ringkasan dari hasil penelitian para ulama terdahulu yang dituliskan oleh Sayid Ridha Husaini Nasab di dalam kitab Syi’eh Posukh Mi-dahad.
[2] Disadur dari kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzdhib Al-Arba’ah, kitab Shalat, bab Jama’ antara dua shalat; baik secara didahulukan atau diakhirkan (Jamak Takdim atau Jamak Ta’khir).

ESENSI BID’AH DALAM AHLUS SUNAH


Oleh : Abdul Qodir Al-Busthomi

Menyangkal tuduhan/fitnah.
Arti bid’ah, memahami arti bid’ah di dalam hadist:

 كل بدعة ضلالة

Lafadz كل punya arti dua, umum dan khusus.

Untuk mengertikan Ulama ada alasan masing-masing.

1. bid’ah dholalah karena ada hadist ini:

 ..مَن أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو
رد. 

DLL.


2 bid’ah mahmudah/hasanah dengan alasan hadist:

 من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شىء، ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شىء “….

Baiklah sy akan uraikan masing-masing serta ulamanya…….

1. Madzab HANAFI.
Dalam kitb Khasianya imam Ibnu ‘Abidin alhanafii juz 1. halaman 376 bahwa bid’ah ada yg baik / sunah, makruh . mubah . dll…..begitu juga Imam badruddin dlm syarah Bukhori tentang ucapan shbt Umar Ra.

“نعمت البدعة هذه”

Syarah Bukhari juz 11 halaman 126:


.- قال الشيخ ابن عابدين الحنفي في حاشيته (1/376):

فقد تكون البدعة واجبة كنصب الأدلة للرد على أهل الفرق الضالة، وتعلّم النحو المفهم للكتاب والسنة، ومندوبة كإحداث نحو رباط ومدرسة، وكل إحسان لم يكن في الصدر الأول، ومكروهة كزخرفة المساجد، ومباحة كالتوسع بلذيذ المآكل والمشارب والثياب

“انتهى.

2-

 قال بدر الدين العيني في شرحه لصحيح البخاري (ج11/126)

عند شرحه لقول عمر ابن الخطاب رضي اللّه عنه:
“نعمت البدعة”
وذلك عندما جمع الناس في التراويح خلف قارىءٍ وكانوا قبل ذلك يصلون أوزاعًا متفرقين:
“والبدعة في الأصل إحداث أمر لم يكن في زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم، ثم البدعة على نوعين، إن كانت مما تندرج تحت مستحسن في الشرع فهي بدعة حسنة وإن كانت مما يندرج تحت مستقبح في الشرع فهي بدعة مستقبحة . انتهى

2. MAZHAD MALIKI…
Dalam kitab syarah Almuatto juz 1, halamn 238 syaikh Imam Muhammad Azzarqoni Almaliki berkata dalam menerangkan ucapan shohabat Umar Ra

نعمت البدعة هذه

Bahwa bid’ah itu ada yang hasanah.

begitu juga Syaikh AHMAD bin Yahya al wansyarisyi Almaliki dlm kitab Almi’yarulmu’arrab juz 1~ hlmn 357-358, bersepakat ulama bahwa ada bid’ah hasanah,

1 .

 قال محمد الزرقاني المالكي في شرحه للموطأ
(ج1/238)
عند شرحه لقول عمر بن الخطاب رضي اللّه عنه: “نعمت البدعة هذه” فسماها بدعة لأنه صلى اللّه عليه وسلم لم يسنّ الاجتماع لها ولا كانت في زمان الصديق، وهي لغة ما أُحدث على غير مثال سبق وتطلق شرعًا على مقابل السنة وهي ما لم يكن في عهده صلى اللّه عليه وسلم، ثم تنقسم إلى الأحكام الخمسة. انتهى

2.

 قال الشيخ أحمد بن يحيى الونشريسي المالكي في كتاب المعيار المعرب
(ج1/357-358)

ما نصه: “وأصحابنا وإن اتفقوا على إنكار البدع في الجملة فالتحقيق الحق عندهم أنها خمسة أقسام”، ثم ذكر الأقسام الخمسة وأمثلة على كل قسم ثم قال:
“فالحق في البدعة إذا عُرضت أن تعرض على قواعد الشرع فأي القواعد اقتضتها ألحقت بـها، وبعد وقوفك على هذا التحصيل والتأصيل لا تشك أن قوله صلى الله عليه وسلم
:” كل بدعة ضلالة”،
من العام المخصوص كما صرح به الأئمة رضوان الله عليهم”.اهـ

3. MAZHAB SYAFI’I.
Berkata dalam kitab Manaqibus Syafi’i juz1, hlmn 469.
Ibnu Hajar juga menjelaskan ucapan Imam Syafi’i dlm kitab Fathul Bari juz 13 hlmn 267.
Alhafidz Abu anNA’IM dlm kitabnya HILYATULAULIYA juz 9 hlmn 76 dari Ibrohim bin Aljunaid.
Dari kesemuanya itu bahwa bid’ah ada yg mahmudah dan ada yg mamdudah.

قال الشافعي رضي الله عنه: المحدثات من الأمور ضربان أحدهما ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة، والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة. رواه البيهقي في

(مناقب الشافعي)
(ج1/469)،

وذكره الحافظ ابن حجر في
(فتح الباري):
(13/267).

ب- روى الحافظ أبو نعيم في كتابه حلية الأولياء ج 9 ص76
عن إبراهيم بن الجنيد قال: حدثنا حرملة بن يحيى قال: سمعت محمد بن إدريس الشافعي رضي الله عنه يقول: البدعة بدعتان، بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم، واحتج بقول عمر بن الخطاب في قيام رمضان: نعمت البدعة هي

IMAM ‘IZUDDIN bin Abdul Salam pada kitabnya ” qowa’idul Ahkam juz 2, hln 172 atau 174, menerangkan pembagian bid’ah dgn beberapa hukum wajibun . muharromah. mandubah. makruhah. mubah,

قال العز بن عبد السلام في كتابه
قواعد الأحكام
(ج2/172-174) :

البدعة منقسمة إلى واجبة ومحرّمة ومندوبة ومكروهة ومباحة ثم قال: والطريق في ذلك أن تُعرض البدعة على قواعد الشريعة، فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، أو في قواعد التحريم فهي محرمة، أو الندب فمندوبة، أو المكروه فمكروهة، أو المباح فمباحة، انتهى

Imam AnNawawi berkata dlm syarah shohih Muslim juz 6, hlm 154,155 dalam menarangkan hadist:

.(وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ)

Yang di maksud hadist tersebut mayoritasnya..dan hadist tadi punya nari umum dan husus..dan ada beberapa macem beserta contohnya:

قال النووى فى شرحه على صحيح مسلم
“(6/154-155):

قوله صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ:
(وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ)

هذا عامٌّ مخصوص، والمراد: غالب البدع. قال أهل اللُّغة: هي كلّ شيء عمل عَلَى غير مثال سابق. قال العلماء: البدعة خمسة أقسام: واجبة، ومندوبة، ومحرَّمة، ومكروهة، ومباحة. فمن الواجبة: نظم أدلَّة المتكلّمين للرَّدّ عَلَى الملاحدة والمبتدعين وشبه ذلك. ومن المندوبة: تصنيف كتب العلم وبناء المدارس والرّبط وغير ذلك. ومن المباح: التّبسط في ألوان الأطعمة وغير ذلك. والحرام والمكروه ظاهران، وقد أوضحت المسألة بأدلَّتها المبسوطة في
(تـهذيب الأسماء واللُّغات)
فإذا عرف ما ذكرته علم أنَّ الحديث من العامّ المخصوص، وكذا ما أشبهه من الأحاديث الواردة، ويؤيّد ما قلناه قول عمر بن الخطَّاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ في التّـَراويح: نعمت البدعة، ولا يمنع من كون الحديث عامًّا مخصوصًا قوله:
(كُلُّ بِدْعَةٍ)
مؤكّدًا بـــــــ كلّ،
بل يدخله التَّخصيص مع ذلك كقوله تعالى:

{تُدَمّرُ كُلَّ شَىءٍ}

[الأحقاف،ءاية 25]اهـ

Imam AnNawai masih dlm kitab syarah shohih Muslim juz 16, halamn 226.
Menerangkan beberapa bid’ah dlm hadist.

.(مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا…) 

dan hadist:

 “كل محدثة بدعة،

وكل بدعة ضلالة”

وقال النووي أيضا “في شرحه على صحيح مسلم”
(16/226-) :
قوله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
(مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا…)
إلى ءاخره. فيه: الحث على الابتداء بالخيرات، وسن السنن الحسنات، والتحذير من اختراع الأباطيل والمستقبحات، وسبب هذا الكلام في هذا الحديث أنه قال في أوله:
“فجاء رجل بصرة كادت كفه تعجز عنها فتتابع الناس”.
وكان الفضل العظيم للبادي بـهذا الخير والفاتح لباب هذا الإحسان. وفي هذا الحديث: تخصيص قوله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
“كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة”،
وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة.اهـ

Ibnu taimiyah gurunya muhammad bin abdul wahab yg banyak bertentangan dgn mazhab 4, tetapi dalam mualidan dia ibnu taimiyah sangat mendukung dalam MULUDAN , tapi aneh sekarang pengikutnya anti muludan …ini ada pada kitabnya.

Iqtidoussirotolmustaqim halaman 297….

ويقول ابن تيمية في كتابه اقتضاء الصراط المستقيم ص/297
: فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي، تمسكوا بها، وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة).

Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rosyidin. Gigitlah sunnah itu dengan geraham kalian (yakni; peganglah jangan sampai terlepas). Dan berhati-hatilah terhadap persoalan yang diada-adakan, maka sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”.

Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Salafy Wahabi dalam berfatwa terutama mengenai bid’ah, tentunya karena pola pikir “kasuistik” atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah dihiasi oleh dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah disebutkan secara khusus di dalam al-Qur’an atau hadits.

Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid’ah yang dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda bisa buktikan itu di dalam buku “Ensiklopedia Bid’ah” karya Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan dalil-dalil pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada tempatnya.

Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di dalam agama, sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang prinsip (ushul/pokok) dan yang tidak prinsip (furu’/cabang). Luar biasanya, dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut, umat Islam di seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar di mana Islam dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski berbeda-beda adat dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan untuk memudah-mudahkan syari’at atau menetapkan syari’at baru, tetapi untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam.

Kaum Salafy Wahabi bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta’wil (penafsiran terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan tidak murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan syari’at, seperti halnya Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam atau para Shahabat beliau. Jadi, segala urusan di dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur’an & hadis apa adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa saja yang diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak terdapat di dalam al-Qur’an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan dinyatakan sebagai sebuah penyimpangan atau kesesatan.

Di sinilah pangkalnya, kenapa kaum Salafy Wahabi selalu mempermasalahkan amalan atau keyakinan orang lain, padahal amalan orang yang disalahkan itu hanyalah masalah furu’ (cabang/tidak prinsip). Ini adalah akibat dari pemahaman mereka terhadap dalil secara harfiyah atau tekstual apa adanya, sehingga semua urusan dan amalan “berbau agama” dipandang oleh kaum Salafy Wahabi sebagai perkara ushul (pokok/prinsip) yang jika tidak ada dalilnya dapat mengakibatkan sesat, syirik, atau kufur.

Sholeh Al-Utsaimin dalam Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, hal: 639-640). Al-Utsaimin mengatakan, “Hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan dunia adalah HALAL. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu HALAL, kecuali ada dalil yang menunjukan akan keharamannya. Tetapi hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan agama adalah DILARANG, jadi bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah HARAM dan BID’AH, kecuali adal dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keberlakuannya.”.

Melalui tulisannya yang lain Al-Utsaimin telah melanggar hukum yang dibuatnya sendiri dalam Al-Ibda’ fi Kamal Al-Syar’i wa Khathar Al-Ibtida’, hal 13. Dia mengatakan tentang hadits Nabi, ”(Semua bid’ah adalah sesat) adalah bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “kull (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya ini tidak akan pernah benar.”.

Dalam pernyataannya diatas Al-Utsaimin menegaskan bahwa “SEMUA BID’AHadalah SESAT”, bersifat general, umum, dan menyeluruh terhadap seluruh bid’ah, tanpa terkecuali, sehingga tidak ada bid’ah yang disebut BID’AH HASANAH. Namun mengapa dalam pernyataannya yang pertama dia membagi bid’ah ada yangHALAL dan yang HARAM? LUCU kan sobat ?!

Berbeda sekali ke’arifan dan kebijakannya dalam menetapkan hukum jika dibandingkan dengan ulama-ulama yang masyhur seperti Imam Nawawi misalnya, dalam memahami hadits Nabi “SEMUA BID’AH ADALAH SESAT”, dalam Syarah Shahih Muslim, jilid 6 hal: 154, beliau sangat hati-hati dengan kata-kata “SEBAGIAN BID’AH ITU SESAT, BUKAN SELURUHNYA.” Hadits “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, BID’AH HASANAH (baik) dan BID’AH SYAIYI’AH (buruk). Lebih rinci bid’ah terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum islam, yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.

KITAB-KITAB YG MEMBAHAS KHUSUS BID’AH
1. AL-I’THISHOM
Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Asy-Syathibi Al-Gharnathi:

ابتدأ طريقة لم يسبقه إليها سابق

فالبدعة إذن عبارة عن طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه

Bid’ah secara bahasa berarti mencipta dan mengawali sesuatu.
Kitab Al-‘Itisham, I/36
Sedangkan menurut istilah, bid’ah berarti cara baru dalam agama, yg belum ada contoh sebelumnya
yg menyerupai syariah dan bertujuan untuk dijalankan & berlebihan dalam beribadah kepada الله سبحانه وتعال .
Kitab Al-‘Itisham, I/37
Imam Syafi’i membagi perkara baru menjadi dua:

قال الإمام الشافعي- رحمه الله -: ((البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة، فهو محمود، وما خالف السنة، فهو مذموم)) واحتج بقول عمر في قيام رمضان:

“نعمت البدعة هذه” رواه أبو نعيم في”حلية الأولياء” (9/113

1. Perkara baru yg bertentangan dgn Al-Kitab & As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah dholalah.
2. Perkara baru yg baik tetapi tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah yg tidak tercela. Inilah yg dimaksud dgn perkataan Imam Syafi’i yg membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah mahmudah terpuji & bid’ah mazmumah tercela/buruk.
Bidah yg sesuai dgn sunnah adalah terpuji & baik, sedangkan yg bertentangan dgn sunnah ialah tercela & buruk”.

Hilyah al-Auliya’, 9/113, & Al-Ba’its ‘ala Inkar Al-Bida’, hal. 15.
Ini kelengkapan kalimatnya:

حدثنا ابوبكر الاجرى ثنا عبد الله بن محمد العطش ثنا ابراهيم بن الجنيد ثنا حرملة بن يحيى قال سمعت محمد بن ادريس الشافعى يقول: البدعة بدعتان، بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وفق السنة فهو محمودة، وما خالف السنة فهو مذمومة. واحتج يقول عمروبن الخطاب فى قيام رمضان: نعمة البدعة هي. جز: 9 ص: 113

[حلية الاولياء وطبقات الاصفياء للحافظ أبى نعيم احمد بن عبدالله الاصفهانى]

وفي الحد ايضا معنى آخر مما ينظر فيه وهو ان البدعة من حيث قيل فيها انها طريقة في الدين مخترعة إلى آخره يدخل في عموم لفظها البدعة التركية كما يدخل فيه البدعة غير التركية فقد يقع الابتداع بنفس الترك تحريما للمتروك أو غير تحريم فان الفعل مثلا قد يكون حلالا بالشرع فيحرمه الانسان على نفسه أو يقصد تركه قصدا

فبهذا الترك اما ان يكون لأمر يعتبر مثله شرعا اولا فان كان لأمر يعتبر فلا حرج فيه اذ معناه انه ترك ما يجوز تركه أو ما يطلب بتركه كالذي يحرم على نفسه الطعام الفلاني من جهة أنه يضره في جسمه أو عقله أو دينه وما اشبه ذلك فلا مانع هنا من الترك بل ان قلنا بطلب التداوي للمريض فان الترك هنا مطلوب وان قلنا باباحة التداوي فالترك مباح

Batasan Arti Bid’ah
Dalam pembatasan arti bid’ah juga terdapat pengertian lain jika dilihat lebih saksama.
yaitu: bid’ah sesuai dgn pengertian yg telah diberikan padanya, bahwa ia adalah tata cara di dalam agama yg baru diciptakan (dibuat-buat) & seterusnya. Termasuk dalam keumuman lafazhnya adalah bid’ah tarkiyyah (meninggalkan perintah agama),
demikian halnya dengan bid’ah yg bukan tarkiyyah. Hal-hal yg dianggap bid’ah terkadang ditinggalkan karena hukum asalnya adalah haram. Namun terkadang hukum asalnya adalah halal, tetapi karena dianggap bid’ah maka ia ditinggalkan. Suatu perbuatan misalnya menjadi halal karena ketentuan syar’i, namun ada juga manusia yg mengharamkannya atas dirinya karena ada tujuan tertentu, atau sengaja ingin meninggalkannya.

Meninggalkan suatu hukum; mungkin karena perkara tersebut dianggap telah disyariatkan seperti sebelumnya, karena jika perkaranya telah disyariatkan, maka tidak ada halangan dalam hal tersebut, sebab itu sama halnya dgn meninggalkan perkara yg dibolehkan untuk ditinggalkan atau sesuatu yg diperintahkan untuk ditinggalkan. Jadi di sini tidak ada penghalang untuk meninggalkannya. Namun jika beralasan untuk tujuan pengobatan bagi orang sakit, maka meninggalkan perbuatan hukumnya wajib. Namun jika kita hanya beralasan untuk pengobatan, maka meninggalkannya hukumnya mubah.
Kitab Al-‘Itisham, I/42]

ITQON ASH-SHUN’AH FI TAHQIQ MA’NA AL-BID’AH
Sayyid Al-‘Allamah Abdullah bin Shodiq Al-Ghumari Al-Husaini:

 قال النووي: قوله صلى الله عليه وسلم
: “وكل بدعة ضلالة” هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع، قال أهل اللغة: هي كل شيء عمل غير مثال سابق. قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرّمة ومكروهة والمباح

في حديث العرباض بن سارية، قول النبي صلى الله عليه وسلم: “وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة” رواه أحمد وأبو داود والترمذي وابن ماجه، وصححه الترمذي وابن حبان والحاكم.

قال الحافظ بن رجب في شرحه: “والمراد بالبدعة ما أحدث مما لا أصل له في الشريعه يدل عليه، وأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا، وإن كان بدعة لغة” اهـ.

Imam Nawawi berkata:
Sabda Nabi Muhammad SAW
Setiap bid’ah itu sesat ini adalah umum yg dikhususkan & maksudnya pengertian secara umum. Ahli bahasa mengatakan: Bid’ah yaitu segala sesuatu amal perbuatan yg tdk ada contoh sebelumnya. Ulama mengatakan bahwa bid’ah terbagi menjadi lima macam yaitu wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.

Dalam hadits Uryadh bin Sariyah tentang sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Takutlah kamu akan perkara-perkara baru, maka setiap bid’ah adalah sesat.
HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim
Al-Hafizh Ibnu Rojab berkata dlm penjelasannya: Yang dimaksud bid’ah adalah sesuatu yg baru yg tdk ada asalnya [contohnya] dlm syari’at yg menunjukkan atasnya. Adapun sesuatu yg ada asalnya dlm syari’at yg menunjukkan atasnya, maka bukan termasuk bid’ah menurut syara’ meski secara bahasa itu adalah bid’ah.

وفي صحيح البخاري عن ابن مسعود قال: “إن أحسن الحديث كتاب الله وأحسن الهدى هدى محمد صلّى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها”.

قال الحافظ بن حجر والمحدثات بفتح الدال جمع محدثه، والمراد بها ما أحدث وما ليس له أصل في الشرع، ويسمى في عرف الشرع بدعة، وما كان له أصل يدل عليه الشرع، فليس ببدعة، فالبدعة في عرف الشرع مذمومة، بخلاف اللغة، فإن كل شيء أحدث على غير مثال، يسمى بدعة سواء كان محمودا او مذموما اهـ.

Dalam shohih Bukhori dari Ibnu Mas’ud berkata. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabulloh AlQur’an & sebaik2 petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW , & sejelek2nya perkara adalah yg baru dlm agama-pent.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata.
Lafadz muhdatsat dgn di fathah huruf dal-nya” kata jama’ plural dari Muhdatsah, maksudnya sesuatu yg baru yg tdk ada asal dasarnya dlm syari’at.
Dan diketahui dalam hukum agama sebagai bid’ah.
Dan sesuatu yg memiliki asal landasan yg menunjukkan atasnya maka tdk termasuk bid’ah. Bid’ah sesuai pemahaman syar’i itu tercela sebab berlawanan dgn pemahaman secara bahasa.
Maka jika ada perkara baru yg tdk ada contohnya dinamakan bid’ah, baik bid’ah yg mahmudah maupun yg madzmumah.

وروى أبو نعيم عن ابراهيم بن الجنيد، قال: سمعت الشافعي يقول: البدعة بدعتان بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود وما خالف السنة فهو مذموم.

وروى البيهقي في مناقب الشافعي عنه، قال: المحدثات ضربان: ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنةً أو أثرا أو إجماعا، فهذه بدعة الضلالة.

وما أحدث من الخير لا خلاف فيه في واحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة وقد قال عمر في قيام رمضان: نعمة البدعة هذه يعني أنها محدثة لم تكن، وإذا كانت، ليس فيها رد لما مضى.

Diriwayatkan Abu Na’im dari Ibrahim bin Al-Janid berkata: Aku mendengar Imam Syafi’i berkata: “Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah & bid’ah madzmumah. Maka perkara baru yg sesuai sunnah, maka itu bid’ah terpuji. Dan perkara baru yg berlawanan dgn sunnah itu…bid’ah..tercela.”.

Al-Baihaqi meriwayatkan dlm Manaqib Syafi’i biografi Syafi’i….Imam Syafi’i berkata:
Perkara baru itu ada dua macam, yaitu perkara baru yg bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah dholalah.

Perkara baru yg baik tetapi tidak bertentangan dgn Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar Sahabat & ijma’. Ini adalah bidah yg tidak tercela.

Dan Umar bin Khothob ra. berkata tentang qiyamu Romadhon sholat tarawih.
Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Yakni sholat tarawih adalah perkara baru yg tidak ada sebelumnya, & ketika ada itu bukan berarti menolak apa yg sudah berlalu.

والمراد بقوله: “كل بدعة ضلالة” ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام اهـ.

وقال النووي في تهذيب الأسماء واللغات: البدعة بكسر الباء، في الشرع، هي إحداث ما لم يكن في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم، وهي منقسمه إلى حسنة وقبيحة.

قال الامام الشافعي: “كل ما له مستند من الشرع، فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به، قد يكون لعذر قام لهم في الوقت، أو لِما هو أفضل منه، أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به” اهـ.

Dan yg dimaksud dgn sabda Rosul, Setiap bid’ah adalah sesat,” adalah sesuatu yg baru dlm agama yg tdk ada dalil syar’i [al-Qur’an dan al-Hadits secara khusus maupun secara umum.

Imam Nawawi berkata dlm At-Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughot bahwa kalimat “Al-Bid’ah” itu dibaca kasror hurup “ba’-nya” di dalam pemahaman agama yaitu perkara baru yg tdk ada dimasa Nabi Muhammad SAW , & dia terbagi menjadi dua baik & buruk.

Imam Syafi’i berkata: Setiap sesuatu yg mempunyai dasar dari dalil2 syara’ maka bukan termasuk bid’ah, meskipun blm pernah dilakukan oleh salaf.
Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yg terjadi saat itu (belum dibutuhkan -pent) atau karena ada amaliah lain yg lebih utama, & atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka (belum dikenal formatnya-pent.

WAHHABI yg mengahalalkan dusta demi agama penuh kepalsuan berjalan lancar.
Para Imam Madzhab yang empat merupakan pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) yang bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salaf yang Sholeh tidak pernah menyampaikan adanya manhaj salaf atau madzhab salaf.

Istilah manhaj salaf atau madzhab salaf adalah perkara baru (bid’ah) yang dapat menyesatkan kaum muslim.
Istilah manhaj salaf atau madzhab salaf adalah bagian dari hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi dalam rangka gerakan anti mazhab.

Salah satu contoh penghasutnya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti thorikat-thorikat tasawwuf.

Laurens mengupah ulama-ulama yang anti thorikat dan anti madzhab untuk menulis buku buku yang menyerang thorikat dan madzhab.
Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis.
Cara ulama-ulama yang anti tasawwuf dan anti madzhab menghasut adalah memotong-motong firman Allah, hadits Rasulullah, perkataan Salafush Sholeh maupun perkataan ulama-ulama terdahulu seperti perkataan Imam Madzhab yang empat.

Imam an-Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab pada bab Adab Berfatwa, Mufti dan Orang Yang Bertanya Fatwa.
Berpendapat :
Tidak boleh bagi si awam untuk bermadzhab kepada salah seorang dari para sahabat r.a atau bermazhab kepada generasi awal, walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi derajatnya dibanding dengan ulama’ sesudah mereka. Kerena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk merumuskan prinsip-prinsip asas dan furu’nya. Maka tidak ada seorang pun dari generasi sahabat yang memiliki madzhab yang telah dianalisis, Tapi para ulama’ yang datang sesudah merekalah yang melakukan usaha merumuskan hukum-hukum serta menerangkan prinsip-prinsip asas dan furu’, seperti Imam Malik dan Imam Abu Hanifah dan lain-lain.”.

Bahkan Imam Syafi’i adalah imam berikutnya yang telah menganalisis madzhab-madzhab pendahulunya seperti mereka melihat madzhab-madzhab para ulama’ sebelumnya. Beliau menguji, mengkritik dan memilih mana yang paling rajih (kuat), dan beliau mendapat hasil dari usaha ulama’ sebelumnya dan telah meluangkan waktu untuk memilih dan mentarjih serta menyempurnakannya. Dan dengan alasan inilah beliau mendapat kedudukan yang lebih kuat dan rajih, bahkan tidak ada sesudah beliau, ulama yang mencapai kedudukan ini. Maka dengan alasan ini pula, madzhab beliau adalah madzhab yang paling utama untuk diikuti dan bertaqlid dengannya”.

Ulama besar Syria, Dr. Said Ramadhan Al-Buthi dengan adanya gerakan paham anti mazhab menuliskan buku berjudul “Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah”. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira-kira makna judul itu adalah : “Paham Anti Mazhab, Bid’ah Paling Gawat Yang Menghancurkan Syariat Islam”.

Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah: Sesuatu yang tidak wujud di zaman Nabi Muhammad S.A.W. maka apa yang dilihat orang-orang Islam sebagai perkara-perkara baru yang tidak berlaku di zaman Nabi S.A.W. maka ia adalah perkara yang harus dilakukan selama mana menjadi keperluan. (Kitab: Itidak Siratul Mustaqim).


Oleh: Zon Jonggol & Adolf Ferdinand

Hal yang perlu kita ingat yang dapat memahamai perkataan atau pendapat Imam Syafi’i ra dalah para ulama Syafi’iyah bukan para ulama pengikut Ibnu Taimiyyah, pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab maupun pengikut Al Albani.

Imam An Nawawi adalah ulama Syafi’iyah yang paling memahami perkataan Imam As Syafi’i dan perkataan ulama-ulama madzhabnya sebagaimana disebut dalam Al Awaid Ad Diniyah (hal. 55).

Sehingga, jika ada seseorang menukil pendapat ulama As Syafi’iyah dengan kesimpulan berbeda dengan pendapat Imam An Nawawi maka pendapat itu tidak dipakai. Lebih-lebih yang menyatakan adalah pihak yang tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah dalam madzhab As Syafi’i.

Imam Syafi’i ra yng bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh menyampaikan:

قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )

Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313).

Imam Nawawi ~rahimahullah mengatakan:

قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ .

“Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).

Kalimat bid’ah (بدعة) di sini adalah bentuk ISIM (kata benda) bukan FI’IL (kata kerja).
Dalam ilmu nahwu menurut kategorinya Isim terbagi 2 yakni Isim Ma’rifat (tertentu) dan Isim Nakirah (umum).

Nah.. kata BID’AH ini bukanlah:
1. Isim dhomir
2. Isim alam
3. Isim isyaroh
4. Isim maushul
5. Ber alif lam

yang merupakan bagian dari Isim Ma’rifat.

Jadi kalimat bid’ah di sini adalah Isim Nakiroh dan KULLU di sana berarti tidak ber-idhofah (bersandar) kepada salah satu dari yang 5 di atas.

Seandainya KULLU ber-idhofah kepada salah satu yang 5 di atas, maka ia akan menjadi ma’rifat.
Tapi pada ‘KULLU BID’AH’, ia ber-idhofah kepada nakiroh.
Sehingga dhalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian.

Pengecualiannya adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Syafi’i ra di atas yakni bi’dah yang tidak menyalahi atau tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) atau dengan kata lain bid’ah yang tidak melanggar satupun larangan Allah Azza wa Jalla.

Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah di luar perkara syariat atau di luar apa yang telah di syariatkan oleh Allah Azza wa Jalla.
Jadi bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah di luar perkara syariat yang tidak melanggar satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat).

Bid’ah yang tidak diperbolehkan adalah bid’ah di luar perkara syariat yang melanggar laranganNya atau bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) serta bid’ah dalam perkara syariat atau dibeberapa hadits disebut sebagai bid’ah dalam urusan agama atau bid’ah dalam “urusan kami” yakni bid’ah dalam urusan yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya yakni melarang sesuatu yang tidak dilarangNya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya.

Allah ta’ala berfirman:

اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah: 3).

Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan nikmat Allah yang paling besar, yaitu ketika Allah menyempurnakan agama bagi manusia sehingga mereka tidak lagi membutuhkan agama selain islam, tidak membutuhkan seorang nabi pun selain nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah Allah ta’ala mengutus beliau sebagai nabi penutup para nabi dan mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di syariatkan-Nya.”.

Mereka telah nyata-nyata mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya atau mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya atau melarang sesuatu yang tidak dilarangNya.

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33).

Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (HR Muslim 5109).

Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi sehingga mereka bertasyabuh dengan kaum Nasrani, menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 ).

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“.

Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi).

*******************************************************
Ada sebuah fenomena yang sangat pelik telah mendorong untuk menulis sebuah catatan/risalah sederhana ini dimana sebagian orang telah menjadikan tarkun-Nabi (ترك النبي) atau dalam bahasa kita (hal-hal yang ditinggalkan atau tidak dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu sebagai hujjah (alasan hukum) untuk mengharamkan amal ibadah orang lain.

Pertanyaannya adalah apakah benar jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan atau tidak melakukan suatu perkara, lantas menjadi haram hukumnya bagi kita untuk melakukan suatu perkara itu? Saya harap Saudara-saudaraku sekalian memahami pertanyaan saya ini sebab di siniah inti dari pembahasan kita ini.

Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas ada baiknya kita memahami dahulu sebuah pertanyaan yang lebih mendasar lagi, apakah benar jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan sesuatu, berarti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memberitahukan kita bahwa sesuatu itu haram?
Jawabannya tentu saja tidak, karena di sana ada sebab-sebab lain mengapa Rasulullah meninggalkan sesuatu yang berarti bukan serta-merta sesuatu yang ditinggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu haram dilakukan oleh kaum muslimin.

Di antaranya adalah:
1. Terkadang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu hanya karena adat atau kebiasaan saja, seperti yang pernah terjadi ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat bertamu ke suatu kaum dimana mereka disuguhkan daging dhob (biawak padang pasir) panggang dan kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membentangkan tangannya yang mulia untuk mengambil daging itu, dan serta merta sahabat mengatakan wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah daging dhob. Langsung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik tangannya kembali dan tidak jadi mencicipi dhob tersebut. Kemudian para sahabat bertanya, “Apakah ianya haram wahai Rasulullah?”

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, hanya saja daging dhob ini tidak ada di tempatku maka aku merasa tidak suka untuk memakannya. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan para sahabat untuk melahap daging itu.

Dari riwayat yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim di atas, sangat jelas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan memakan daging dhob bukan karena ingin memberitahukan bahwa daging dhob itu haram, tetapi karena sebab lain yaitu beliau tidak suka dengan daging dhob.

2. Terkadang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu karena takut sesuatu itu diwajibkan kepada umatnya. Seperti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sholat tarawih justru ketika para sahabat berkumpul untuk mengikuti tarawehnya dari belakang.

3. Terkadang pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu karena tidak terpikir atau terlintas dibenaknya untuk melakukan sesuatu itu. Seperti dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam khutbah jum’at hanya di atas sebuah tunggul kurma dan tidak pernah terlintas sebelumnya dalam benak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membuat sebuah mimbar sebagai tempat berdirinya ketika khutbah. Kemudian para sahabat mengusulkan untuk membuat mimbar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya sebab memang itu sebuah usulan yang baik dan membuat semua jama’ah dapat mendengar suara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Terkadang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu karena sesuatu itu bebas boleh dikerjakan dan boleh tidak dikerjakan semisal ibadah-ibadah tathowwu’ seperti sedekah, zikir, sholat dhuha, tilawah qur’an dan sebagainya. Ibadah-ibadah ini jika ditinggalkan tidak mengapa dan jika dikerjakan sebanyak-banyaknya maka termasuk sebagaimana yang dikatakan dalam keumuman ayat:

وافعلوا الخير لعلكم تفلحون الحج: 77

“…dan lakukanlah kebajikan agar kamu beruntung.” (Al-Hajj:77).

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan sholat dhuha setiap hari. bukan berarti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memberitahukan kepada kita bahwa sholat dhuha tiap hari itu haram. Begitu pula zikir selepas sholat, terkadang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya dengan berbagai alasan seperti perang, menunaikan hak kaum muslimin dan sebagainya. Bukan berarti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memberitahukan kepada kita bahwa melakukan zikir setiap kali selesai sholat adalah haram.

5. Pernah juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu karena sesuatu itu adalah perkara sensitif yang dikhawatirkan akan menyinggung perasaan kaum Quraisy pada waktu itu sehingga berpengaruh akan menggoyang keimanan mereka yang masih baru. Seperti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meninggalkan untuk tidak merehab kembali bangunan ka’bah kepada ukuran semula sebagaimana yang pernah dibangun Nabi Ibrahim Alaihissalam sebab khawatir banyak kaum muslimin Quraisy yang masih baru keislamannya pada waktu itu akan berubah hatinya kembali kepada kekafiran.

6. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meninggalkan untuk menulis hadits-hadits beliau di masa hidupnya karena takut tercampur dengan ayat-ayat Alquran yang juga sedang disuruh untuk menulisnya di daun-daun, tulang-tulang, batu-batu dan pelepah kurma. Ini bukan berarti menulis hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu haram hukumnya. Dan buktinya sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelah Alquran dibukukan, kaum muslimin bersepakat untuk menuliskan dan membukukan hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari sedikit contoh di atas dapat kita jawab pertanyaan di awal risalah ini bahwa jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan atau tidak melakukan suatu perkara maka tidak menjadi haram hukumnya bagi kita untuk melakukan suatu perkara itu.

Berikut saya sertakan dalil dari Alquran dan sunnah akan pernyataan saya di atas:
1. Biasanya untuk menunjukkan sesuatu itu haram, Alquran dan sunnah menggunakan lafazh-lafazh larangan, tahrim atau ancaman siksa (‘iqab), seperti:

ولا تقربوا الزنا الإسراء : 32

“…dan janganlah engkau dekati zina…”(Al-Isra:32).

ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل البقرة: 188

“…dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan cara yang batil…”(Al-Baqarah:188).

حرمت عليكم الميتة و لحم الخنزير المائدة : 3

“Diharamkan atasmu bangkai dan daging babi…”(Al-Maidah:3)

قا ل صلى الله عليه و سلم: من غش فليس منا رواه مسلم

Rasulullah Saw bersabda:”Siapa yang berdusta maka bukan daripada golongan kita.”.

Dari nash-nash di atas, para ulama mengistimbath hukum bahwasanya zina, memakan harta orang lain secara batil, memakan bangkai dan babi serta berbohong adalah haram. Dan tidak pernah di dalam istimbath hukum, para ulama kita menggunakan tark Nabi (sesuatu yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sebagai hujjah untuk mengharamkan sesuatu.

2. Coba perhatikan ayat dan hadits berikut ini:

وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا الحشر:7

“…dan apa-apa yang Rasul datangkan kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang Rasul larang maka tinggalkanlah…”(Al-Hasyr:7).

Dari ayat di atas sangat jelas bahwa kita disuruh meninggalkan sesuatu jika dilarang Rasul, bukan ditinggalkan atau tidak dilakukan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Coba perhatikan bunyi ayat di atas:

 وما نهاكم عنه 

bukan

 وما تركه.

Kemudian coba perhatikan hadits berikut ini:

قال قا ل صلى الله عليه و سلم: ما أمرتكم به فأتوا منه ما ستطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه رواه البخاري

Nabi Saw bersabda: “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah!”.

Dari hadits di atas sangat gamblang bahwa bunyi haditsnya:

“وما نهيتكم عنه” 

dan bukan

 وما تركته فاجتنبوه

3. Bahwasanya para ulama ushul fiqih mendefinisikan sunnah (السنة) sebagai: perkataan (القول), perbuatan (الفعل) dan persetujuan (التقرير) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan tark-nya (الترك). Jadi siapapun yang melakukan sesuatu dan sesuatu itu tidak pernah dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa dikatakan dia telah bertentangan dengan sunnah, sebab tark bukan bagian dari sunnah.

4. Para ulama ushul fiqih telah bersepakat semuanya bahwa landasan hukum (hujjah) untuk menentukan sesuatu itu wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh dengan empat landasan hukum yaitu: Alquran, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dan tidak pernah at-tark dijadikan sebagai landasan hukum (hujjah).

Lalu bagaimana dengan khamar, judi, menyembah berhala?? Bukankah itu semua juga ditinggalkan Rasulullah Saw?? Apakah itu berarti bahwa khamar, judi dan menyembah berhala itu belum tentu haram??
Maka di sini saya menjawab bahwa:

إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Begitulah cara para ulama kita mengetahui hukum dari sesuatu perkara. Dan saya melihat hanya sebagian kecil saja ulama-ulama yang menggunakan at-tark ini sebagai hujjah. Ulama yang pertama sekali menggunakan at-tark ini sebagai hujjah adalah Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan sekarang diikuti manhaj ini oleh para ulama Arab Saudi dan cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama salaf sebelum beliau (Imam Ibnu Taimiyah). Ini adalah sebuah kekhilafan yang sangat fatal sebab akan menyebabkan banyak sekali perkara-perkara sunnah lagi baik digolongkan kepada bid’ah hanya karena perkara-perkara itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Ini akan menyempitkan ladang amal dan ibadah bagi kaum muslimin, padahal kita semua sudah tahu bahwa ladang amal dan ibadah itu bagi kaum muslimin sangat luas sampai-sampai seluruh perkara yang bernilai manfaat dan diniatkan untuk Allah adalah ibadah dan seluruh hamparan bumi ini di anggap sebagai tempat sujud oleh Islam.

Adapun hadits Rasulullah Saw;

وَ شَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Dan seburuk-buruk perkara adalah yang baru dan setiap yang bid’ah adalah sesat” (Riwayat Muslim).

Sama sekali tidak berhubungan dengan pembahasan kita di risalah ini. Sebab hadits tersebut bukan semata-mata mencela hal-hal yang ditinggalkan Nabi Saw (tark Nabi) , akan tetapi mencela perkara-perkara baru yang bertentangan dengan ushul-ushul syar’i yang tidak berhujjah sama sekali seperti adzan ashar sebelum masuk waktu shalat ashar, shalat subuh tiga raka’at, membayar zakat harta hanya 2%, melakukan ibadah haji bukan ke tanah suci mekah, membuat aqidah baru murji’ah, mu’tazilah, jabbariyah dan qadariyah serta membagi tauhid kepada uluhiyah, rububiyah dan asma wa shifat.

Itulah yang dimaksudkan dengan hadits Rasulullah Saw:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang melakukan amalan tidak ada atasnya perkara kami maka ia tertolak” (riwayat Muslim)
Coba lihat lafazh yang digunakan pada hadits di atas adalah

 أمرنا 

dan bukan

 فعل النبي 

Mantuq yang tertulis: siapa yang melakukan amalan tidak ada atasnya perkara kami maka ia tertolak dan mafhumnya tentu saja siapa yang melakukan amalan yang ada atasnya perkara kami maka ia diterima.
Mantuqnya tidak tertulis seperti ini: siapa yang melakukan amalan tidak ada atasnya perbuatan Nabi maka ia tertolak hingga mafhumnya siapa yang melakukan amalan yang ada atasnya perbuatan Nabi maka ia diterima.

Tidak demikian bukan???!!
“Amruna” itu lebih umum dan luas daripada “fi’lun Nabi” sebab amruna mencakup amr Allah dan amr Rasul Saw baik itu diambil dari Alqur’an dan hadits maupun metode istinmbath lainnya yang diambil dari kedua sumber hukum ini seperti ijma’, qiyas, mashalih mursalah, istihsan, saddu adz dzara’i, amal ahlu madinah dan segala amruna lainnya yang telah disepakati.

Yah…begitulah manusia, terkadang benar dan terkadang salah. Terlebih dalam ijtihad agama, benarnya diberi pahala dua dan salahnya masih diberi pahala satu. Dan sebagaimana kata Imam Malik radhiyallahu ‘anhu: “Setiap kalam itu mungkin ditolak dan mungkin diterima kecuali kalam penghuni kubur ini (mutlak dapat diterima)”. Imam Malik sambil mengisyaratkan tangannya kepada maqam Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam…….

semoga catatan/risalah ringkas ini dapat membuka pintu hati dan gambaran ilmu bagi mereka-mereka yang masih saja menyudutkan dan mempermasalahkan amaliyyah orang lain, yang sekiranya masih berada di bawah naungan keumuman ayat atau hadist Rasulullah SaW…


Oleh : Ibnu Abdillah Al – Katibiy

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Benarkah hadits ini bermakna :
“ Barangsiapa yang berbuat hal baru yang tidak ada perintahnya, maka ia tertolak “.

Simak pembahasannya di sini pakai ilmu (bukan pakai nafsu).

Ditinjau dari sisi ilmu lughoh :
- I’rab nahwunya :
من : adalaha isim syart wa jazm mabniyyun ‘alas sukun fi mahalli rof’in mubtada’ wa khobaruhu aljumlatus syartiyyah ba’dahu.
احدث : Fi’il madhi mabniyyun ‘alal fathah fii mahalli jazmin fi’lu syarth wal fa’il mustatir jawazan taqdiruhu huwa.
في : Harfu jar
امرنا : majrurun bi fii wa lamatu jarrihi alkasrah, wa naa dhomirun muttashil mabnyyyun ‘alas sukun fii mahlli jarring mudhoofun ilaihi
هذا : isim isyarah mabniyyun alas sukun fi mahalli jarrin sifatun liamrin
ما : isim mabniy fii mahhli nashbin maf’ul bih
ليس : Fi’il madhi naqish yarfa’ul isma wa yanshbul khobar, wa ismuha dhomir mustatir jawazan taqdiruhu huwa
منه : min harfu jarrin wa hu dhomir muttashil mabniyyun alad dhommi wahuwa littab’iidh
فهو : al-faa jawab syart. Huwa dhomir muttashil mabniyyun alal fathah fi mahalli rof’in mubtada
رد : khobar mubtada marfuu’un wa alamatu rof’ihi dhommatun dzhoohirotun fi aakhirihi. Wa umlatul mubtada wa khobaruhu fi mahalli jazmin jawabus syarth.

Dari uraian sisi nahwunya maka bermakna :” Barangsiapa yang melakukan perkara baru dalam urusan kami yaitu urusan syare’at kami yang bukan termasuk darinya, tidak sesuai dengan al-Quran dan hadits, maka perkara baru itu ditolak “.

Makna tsb sesuai dengan statement imam Syafi’i yang sudah masyhur :

ما أُحدِثَ وخالف كتاباً أو سنة أو إجماعاً أو أثراً فهو البدعة الضالة، وما أُحْدِثَ من الخير ولم يخالف شيئاَ من ذلك فهو البدعة المحمودة

“ Perkara baru yang menyalahi al-Quran, sunnah, ijma’ atau atsan maka itu adalah bid’ah dholalah / sesat. Dan perkara baru yang baik yang tidak menyalahi dari itu semua adalah bid’ah mahmudah / baik “

- Istidlal ayatnya (Pengambilan dalil dari Qurannya) :

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ

“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27).

- Istidlal haditsnya (pengambilan dalil dari haditsnya) :

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim).

- Balaghoh :
Dalam hadits tsb memiliki manthuq dan mafhumnya :
Manthuqnya “ Siapa saja yang melakukan hal baru yang tidak bersumber dari syareat, maka dia tertolak “, misalnya sholat dengan bhsa Indonesia, mengingkari taqdir, mengakfir-kafirkan orang, bertafakkur dengan memandang wajah wanita cantik dll.

Mafhumnya : “ Siapa saja yang melakukan hal baru yang bersumber dari syareat, maka itu diterima “ Contohnya sangat banyak skali sprti pembukuan Al-Quran, pemberian titik al-Quran, mauled, tahlilan, khol, sholat trawikh berjama’ah dll.

Berangkat dari pemahaman ini, sahabt Umar berkata saat mengkumpulkan orang-orang ungtuk melakukan sholat terawikh berjama’ah :
نعمت البدعة هذه “ Inilah sebaik-baik bid’ah “.

Dan juga berkata sahabat Abu Hurairah Ra :

فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)

“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”.
(HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)ز

Jika semua perkara baru itu buruk, maka sahabat2 tsb tidak akan berkata demikian.
Nah sekarang kita cermati makna hadits di atas dari wahhabi salafi :

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Hadits ini mereka artikan :
Pertama : “ Barangsiapa yang berbuat hal baru dalam agama, maka ia tertolak “.

Jika mreka mngartikan demikian, maka mereka sengaja membuang kalimat MAA LAITSA MINHU-nya (Yang bersumber darinya). Maka haditsnya menjadi :

 مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا ُ فَهُوَ رَدٌّ

Kedua : “ Barangsiapa yang berbuat hal baru yang tidak ada perintahnya, maka ia tertolak “
Jika merka mngartikan seperti itu, berarti merka dengan sengaja telah merubah makna hadits MAA LAITSA MINHU-nya MENJADI MAA LAITSA MA-MUURAN BIHI (Yang tidak ada perintahnya). Maka haditsnya menjadi :

 مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا ليَْسَ مَأمُوْراً بهِ فَهُوَ رَدٌّ

Sungguh ini sebuah distorsi dalam makna hadits dan sebuah pengelabuan pada umat muslim.
Jika mereka menentang dan berdalih : “ Bukankah Rasul Saw telah memuthlakkan bahwa semua bid’ah adalah sesat, ini dalilnya :

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)

Maka kita jawab : Hadits tsb adalah ‘Aam Makhsus (lafadznya umum namun dibatasi) dgn bukti banyak dalil yang menjelaskannya sprti hadits 2 sahabat di atas. Maksud hadits tsb adalah setiap perkara baru yang brtentangan dgn al-quran dan hadits.

Perhatikan hadits riwayat imam Bukhori berikut :

أشار سيدنا عمر ابن الخطاب رضي الله عنه على سيدنا أبو بكر الصديق رضي الله عنه بجمع القرآن في صحف حين كثر القتل بين الصحابة في وقعة اليمامة فتوقف أبو بكر وقال:” كيف نفعل شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم؟”
فقال له عمر:” هو والله خير.” فلم يزل عمر يراجعه حتى شرح الله صدره له وبعث إلى زيد ابن ثابت رضي الله عنه فكلفه بتتبع القرآن وجمعه قال زيد:” فوالله لو كلفوني نقل جبل من الجبال ما كان أثقل علي مما كلفني به من جمع القرآن.” قال زيد:” كيف تفعلون شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم.” قال:” هو والله خير” فلم يزل أبو بكر يراجعني حتى شرح الله صدري للذي شرح له صدر أبي بكر وعمر رضي الله عنهما .

“ Umar bin Khothtob member isayarat kpd Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf ktika melihat banyak sahabat penghafal quran telah gugur dalam perang yamamah. Tapi Abu Bakar diam dan berkata “ Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasul Saw ?” MaKA Umar menjawab “ Demi Allah itu suatu hal yang baik “. Beliau selalu mengulangi hal itu hingga Allah melapangkan dadanya. Kmudian Abu bakar memrintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Al-Quran, maka Zaid berkata “ Demi Allah aku telah terbebani untuk memindah gunjung ke satu gunung lainnya, bagaimana aku melakukan suatu hal yang Rasul Saw tdiak melakukannya ?” maka Abu bakar mnjawab “ Demi Allah itu suatu hal yang baik “. Abu bakar trus mngulangi hal itu hingga Allah melapangkan dadaku sbgaimana Allah telah melapangkan dada Umar dan Abu Bakar “.

Coba perhatikan ucapan Umar dan Abu Bakar “ Demi Allah ini suatu hal yang baik “, ini menunjukkan bahwasanya Nabi Saw tidak melakukan semua hal yang baik, sehingga merka mngatakan Rasul Saw tidak pernah melakukannya, namun bukan berarti itu buruk.

Jika merka mengatakan sahabat Abdullah bin Umar telah berkata :

كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة

“ Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik “.

Maka kita jawab :
Itu memang benar, maksudnya adalah segala bid’ah tercela itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik. Contohnhya bertaqarrub pd Allah dengan mndengarkan lagu dangdutan.
Jika sahabat Abdullah bin Umar memuthlakkan bahwa semua bid’ah itu sesat tanpa trkecuali walaupun orang2 mengangaapnya baik, lalu kenapa juga beliau pernah berkata :

بدعة ونعمت البدعة 

“ Itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah “.

Saat beliau ditanya tentang sholat dhuha. Lebih lengkapnya :

عن الأعرج قال : سألت ابن عمر عن صلاة الضحى فقال:” بدعة ونعمت البدعة

“ Dari A’raj berkata “ Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang sholat dhuha, maka beliau menjawab “ Itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah “.

Apakah pantas seorang sahabat sprti Abdullah bin Umar tidak konsisten dalam ucapannya alias pllin-plan ?? sungguh sangat jauh dr hal itu.

KESIMPULAN :
- Cara membedakan bid’ah dholalah dan bid’ah hasanah adalah :

والتمييز بين الحسنة والسيئة بموافقة أصول الشرع وعدمها 
“ Dengan sesuai atau tidaknya dengan pokok-pokok syare’at “.

- Orang yang mengartikan hadits :

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Dengan : “ Bar angsiapa yang melakuakn hal baru maka itu tertolak “ atau “ Brangsiapa yang melakukan hal baru tanpa ada perintahnya maka ia tertolak “.

Orang yang mengartikan seperti itu, berarti ia telah berbuat bid’ah dholalah / sesat, akrena tidak ada dasarnya sama sekali baik dari Al-Quran, hadits maupun atsarnya..Dan telah sengaja merubah makna hadits Nabi Saw tersebut..dan kita tahu apa sangksi bagi orang yang telah berdusta atas nama Nabi Saw..Naudzu billahi min dzaalik..

Semoga bermanfaat bagi yang ingin mencari kebenaran dan bagi yang ingin mencari pembenaran silakan bantah dengan ilmu.

CACI MAKI WAHABI – SALAFY TERHADAP ULAMA AHLUSSUNNAH


OLeh: Shofiyyah Annuuriyah

Doktrin sesat Wahhabi : Suka menghina dan mencaci para ulama.
Perhatikan bagaimana ulama Wahhabi menghina imam Subuki dalam kitab Risalah asy-Syirik berikut :
” Sedangkan Subuki adalah asy-‘Ariyyun dan Quburiyyun “.

Maksud ulama itu adalah imam Subuki itu beraqidah asy’ari yang akidahnya menyimpang yaitu suka mentakwil ayat mutsaybihat. Dan dia adalah quburiyyun yakni suka menyembah kuburan.
Lihat scan kitabnya di foto postingan…

==========
Siapa yang tak kenal Imam Tajuddin as-Subki (727-771 H/1327-1370 M) ?? seluruh ulama Islam di penjuru dunia ini mengenal sosok ulama Ahlus sunnah ini dan puluhan kitab karya beliau pun menjadi rujukan dalam berbagai disiplin ilmu oleh para ulama sesudahnya.

Imam Syihabuddin bin Hajjy mengatakan ” as-Subky adalah seorang ulama’ yang menguasai berbagai ilmu, mulai dari ilmu fiqh, Ushul Fiqh, Hadist, Balaghah, dan ahli membuat syair. Beliau mengarang berbagai macam karangan dalam waktu yang singkat dan disebarkan pada saat beliau masih hidup serta saat beliau telah wafat. “.

Di antara karya tulis kitab beliau yang saya tahu dan pernah mempelajarinya adalah :
1. Thabaqatus Syafi’iyah al-Kubra (nama ulama-ulama madzhab Syafi’i).
2. Thabaqatus Syafi’iyah al-Wustha.
3. Thabaqatus Syafi’iyah al-Sughra.
4. Jam’ul Jawami’
5. Man’ul Mawani’ ‘Ala Jam’ul Jawami’.
6. Al-Asybah wan Nadha’ir.
7. Raf’ul Hajib dari Mukhtashar Ibnu Hajib.
8. Syarh Minhaj Baidlawi dalam bidang Ushul Fiqh yang kemudian diberi nama al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj.
9. Qawa’idud Diin wa ‘Umdatul Muwahiddin.
10. Al-Fatawa.
11. Ad-Dalalah ‘Ala ‘Umumir Risalah.

Kitab “Jam’ul Jawami’ ” karangan beliau adalah salah satu kitab ushul fiqih yang terkenal di Indonesia, karena banyak dikaji pada pondok-pondok pesantren. Disamping itu, kitab Jam’ul Jawami’ tersebut disyarahi oleh banyak ulama, di antaranya oleh:
1. Imam Jalaluddin al-Mahalli (wafat 884 H), dengan nama kitabnya Syarah Jam’ul Jawami’.
2. Imam Zarkasyi (wafat 794 H), dengan nama kitabnya “Tasyniful Masami’ Syarah Jam’ul Jawami’ “.
3. Imam ‘Izzuddin Ibnu Jama’ah al-Kinani (wafat 819 H).
4. Imam al-Ghazzi (wafat 822 H).
5. Ibnu Ruslan (wafat 884 H).

Selain kitab syarah dan hasyiyah, ada pula ulama-ulama yang menazhamkan, yaitu menjadikannya kitab sya’ir sehingga mudah dan dipelajarinya bagi santri-santri yang mengkajinya.
Di antara ulama-ulama yang menazhamkannya adalah:1. Ibnu Rajab at-Thukhi (wafat 853 H).
2. Imam Radhiyuddin bin Muhammad al-Ghazi (wafat 935 H).
3. Imam Jalaluddin as-Suyuthi (wafat 911 H).

Ulama-ulama yang menazhamkan dan mensyarahi kitab Jam’ul Jawami’ tersebut adalah ulama-ulama yang bermadzhab Syafi’i. Itu menunjukkan suatu bukti bahwa ilmu ushul fiqih, yaitu ilmu yang bisa membawa orang-orang ke tingkatan derajat Mujtahid, yang sangat digemari dalam kalangan umat Islam yang menganut Madzhab Syafi’i.

Berapa banyak para ulama besar Ahlus sunnah wal -jama’ah yang menjadi korban cacian dan hinaan para ulama Wahhabi yang datang belakangan ini (anak kemaren sore). Bahkan sampai taraf mengkafirkan para ulama besar Ahlus sunnah.

Nabi bersabda :
Akan ada di akhir zaman suatu kaum yang usianyamuda, dan pemahamannya dangkal, merekamengucapkan perkataan manusia yang paling baik(Rasulullah), mereka lepas dari Islam sebagaimanalepasnya anak panah dari busurnya, iman merekatidak sampai ke tenggorokan..” (HR Bukhari).

Kalau di Malaysia golongan ini lebih dikenal dengan ” Kaum mude yang suka mengkritik kaum tue (Anak kemaren sore yang suka mengkritik ulama terdahulu).

Mencaci maki ulama sudah menjadi makanan ulama wahhabi contohnya Albani yang hampir seluruh kitabnya dipenuhi celaan dan hinaan kepada para ulam ahli hadits dr kalangan Ahlus sunnah (kapan2 saya kupas habis). Dan bnyak lagi.

Mereka mewarisi akhlak Dzul Khuwaishirah yang tidak menghormati Nabi Saw ketika membagikan harta. Dan sekrang para genarasinya pun dengan ringan mencaci dan menghina para ulama besar Ahlus sunnah sperti Imam Nawawi, imam Ibnu Hajar, imam Fkaru Razi, imam Ash-Shawi, imam Subuki dan lainnya.

MUFTI MAZHAB SYAFII DI MASJIDIL HARAM MENOLAK AJARAN WAHABI


Mufti Mazhab Shafie di Masjidil Haram, Sheikh Ahmad Zayni Dahlan sebagai berikut:
* Sheikh Ahmad Zaini Dahlan adalah seorang alim yang tak perlu diperkenalkan lagi dalam sejarah Islam. Bahkan beliau juga ada menulis kitab sejarah Islam yang bertajuk “al-Futuhat al-Islamiyyah” yang ada di dalamnya kisah tentang fahaman Wahhabi.
* Beliau merupakan Mufti Mazhab Shafie di Masjidil Haram di akhir-akhir era Uthmaniyyah di awal kemunculan fahaman al-Wahhabi setelah Mufti Mazhab al-Shafie yang sebelumnya Sheikh Abdullah al-Zawawi mati ditembak oleh puak Wahhabi.
* Beliau juga ada mengarang kitab yang bertajuk “Fitnah al-Wahhabiyyah” yang merupakan satu bahagian daripada kitabnya “al-Futuhat al-’Islamiyyah”.
* Perbahasan beliau adalah begitu teliti dan hebat sekali sehinggakan sesiapa yang membaca kitab beliau akan menyedari kejahilan diri sendiri dan betapa tingginya ilmu beliau.
* Di dalam kitab “al-Durar al-Saniyyah”, beliau mendatangkan hujah-hujah ulama’ empat mazhab (Ahli Sunnah) tentang ke’sunnah’an menziarahi maqam Rasulullah SAW dan bertawassul dengan Baginda SAW.
* Bahkan beliau menegaskan bahawa ulama’ telah ijma’ mengenai ke’sunnah’an menziarahi maqam Baginda SAW dan bertawassul dengan Baginda SAW.
* Adalah satu perkara yang maklum bahawa golongan Wahhabi mengharamkan umat Islam menziarahi maqam Rasulullah SAW semata-semata apatah lagi bertawassul dengan Baginda SAW.
* Sikap mereka melampaui batas sehingga mengkafirkan umat Islam yang berbuat demikian dan menggelar mereka “Quburiyyun” – penyembah-penyembah kubur. Astaghfirullah.
* Golongan ini bukan sahaja melanggar ijma’, tetapi jua mengkafirkan orang yang beramal mengikut ijma’ ulama’.
* Di dalam buku ini, beliau juga mencatatkan peristiwa-peristiwa berkenaan golongan Wahhabi dengan begitu terperinci.
* Beliau juga menukilkan kata-kata Sheikh Alawi al-Haddad tentang kedudukan Wahhabiyyah sebagai khawarij dan kisah Sheikh Alawi al-Haddad bertemu dengan seorang alim besar mazhab hanafi, al-Allamah Sheikh Zahir Sunbul al-Hanafi yang memberitahu beliau tentang kedudukan bid’ah Wahhabiyyah yang sangat bahaya. Banyak lagi yang tidak disebut di sini bagi memendekkan kalam. Sebahagiannya agak sensitif bagi sesetengah negara.
* Beliau mempunyai banyak karangan-karangan yang bermanfaat, semoga Allah SWT merahmati beliau yang tergolong dalam kelompok ulama’ yang terulung dalam sejarah Islam dan memberikan kita manfaat serta cahaya dalam urusan agama dengan berkat kedudukan beliau di sisi-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin.
* Kitab ini bertajuk “al-Durar al-Saniyyah fi al-radd ‘ala al-Wahhabiyyah” yang bermaksud “Mutiara-mutiara Yang Bersinar bagi Menolak [Golongan] Wahhabiyyah” yang di karang oleh Sheikh al-Islam, Tempat Rujuk Orang Awam dan Khusus, Ketua dan Pemimpin kita,
Syeh Ahmad Zaini Dahlan, Mufti Mazhab Shafie di Masjidil Haram, Mekkah al-Mukarramah. (Wafat pada 1304 H/1886M di al-Madinah al-Munawwarah).

Terjemahan:
Dan adapun mengenai ijma’ (ulama’) umat Islam mengenai ke’sunnah’an menziarahi maqam Rasulllah SAW maka al-’Allamah Ibnu Hajar (al-Haytami al-Makki) dan kitab “al-Jawhar al-Munazzam”, sesungguhnya sekumpulan daripada para imam yang mendukung Shariat yang mulia ini yang merupakan tempat rujuk dan bergantung dalam urusan agama telah menukilkan Ijma’ dalam perkara ini.
Dan khilaf di antara mereka ialah sama ada hukumnya wajib atau sunat, maka barangsiapa yang berselisih pendapat tentang keharusan menziarahi maqam Rasulullah SAW sesungguhnya dia telah mencarik/merobek ijma’.

Renungan:
* Ada orang kata gelaran Wahhabiyyah ini dicipta oleh kaum Yahudi dan Nasrani supaya umat Islam lebih jauh daripada pengikut Muhammad Ibn Abdul Wahhab.
* Namun begitu, pada hakikatnya kita melihat gelaran ini diberikan oleh para ulama’ Islam kepada mereka. Maka sebab itulah, mereka lari dari gelaran Wahhabiyyah kepada Salafiyyah.

KERAJAAN SUMEDANG LARANG

PENGANTAR

Nama Sumedang
Didalam cerita rakyat dikenal adanya sejarah penamaan Sumedang. Konon kabar pada suatu ketika Prabu Tajimalela melakukan tapabrata, untuk memperoleh petunjuk dari Sang Pencipta. Pada saat terbangun tiba-tiba mengucapkan kata : “Insun Medal Mandangan”, kemudian menjadi populer dengan sebutan Sumedang.

Didalam masyarakat beredar pula cerita yang mengabarkan, bahwa ucapan Sang Tajimalela tersebut terdiri dari dua kata, yakni “Insun medal; Insun madangan” dalam bahasa Indonesia berarti Aku dilahirkanan (lahir) ; Aku menerangi. Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingnya” (Su= bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya). Selain itu kata Sumedang bisa diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon, sekarang dikenal sebagai pohon Huru.

Dari sinilah kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang, selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.

Topografi
Sumedang saat ini merupakan daerah tingkat dua, terletak di sebelah Timur Propinsi Jawa Barat, secara geografis terletak pada posisi 107˚14’-108˚21’ Bujur Timur dan 60˚40’-70˚83’ Lintang Selatan. Berbatasan dengan Indramayu dan Subang di Sebelah Utara, Majalengka di Sebelah Timur dan Garut di Sebelah Tenggara serta Bandung di Sebelah Barat dan Selatan. Berjarak tempuh dari Ibukota Propinsi Jawa Barat, yakni Kota Bandung kurang lebih 45 km dan berada diantara dua kota tujuan wisata Bandung – Cirebon.
Sumedang disebut-sebut oleh Bujangga Manik didalam catatan pengembaraannya, diperkirakan ditulis pada abad 15 akhir atau awal abad 16. Catatatan Bujangga Manik ini oleh J. Noorduyn dianggap sebagai data Topografis Pulau Jawa dari sumber Sunda Kuno, berbentuk puisi naratif Sunda Kuna – naskah daun. Saat ini tersimpan di Perpustakaan Bodlein, Oxford (AS), sejak 1627 atau 1629. Tokoh Bujangga Manik kemudian diketahui seorang pangeran dari Pakuan (Bogor) yang memilih menjadi rahib Sunda.

Dalam perjalanan Bujangga Manik mencatatkan : “Sadiri aing ti inya – datang ka alas Eronan. Nepi aing ka Cinangsi, – meu(n)tas aing di Citarum. – ku aing geus kaleu(m)pangan, – meu(n)tas di Cipunagara, – ngalalar ka Tompo Omas, – meu(n)tas aing di Cimanuk, – ngalalar ka Pada Beunghar”. (sepergiku dari sana, – tiba ke wilayah Eronan. – Sesampai aku ke Cinangsi, – aku menyebrangi sungai Citarum. – semua itu telah kulalui, – menyebrang di sungai Cipunagara, – daerah Medang Kahiangan, berjalan lewat Tompo Omas, – aku menyebarang di sungai Cimanuk, – berjalan lewat pada Beunghar).

Ketika menanggapi catatan Bujangga Manik, buku “rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat menjelaskan, bahwa : didekat Gunung Tompo Omas terdapat kerajaan Medang Kahiyangan. Nama kerajaan ini tercatat dalam Carita Parahyangan sebagai salah satu sasaran yang diserang pasukan Cirebon dalam masa pemerintahan Surawisesa (Pen : pengganti Sri Baduga). Belum jelas apakah ada hubungan antara nama Medang Kahiyangan dengan Sumedang Larang.

Pada saat Bujangga Manik memasuki Medang Kahiyangan, menurut catatan lain, Sumedang Larang sudah berpusat di Cipameungpeuk. Mungkin juga perjalanan Bujangga Manik melalui sebelah utara Gunung Tampomas, mengingat Sumedang Larang terletak disebelah selatan Tampomas. Sekalipun belum diketahui adanya titik persamaan antara Sumedang Larang dengan Medang Kahiyangan namun kedua catatan tersebut cukup jelas menggambarkan, bahwa di daerah Sumedang pada abad tersebut sudah ada semacam pemerintahan, sekalipun masih sangat sederhana.

Fase Ageman
Sumedang Larang dalam catatan sejarah mengalami dua fase keyakinan. Pertama fase Hindu (mungkin juga Sunda wiwitan), dimulai sejak ada Tembong Agung sampai dengan Galuh, protektor Sumedang Larang dikalahkan Cirebon di Talaga. Sekalipun demikian perlu juga diperhitungkan adanya perkembangan agama Budha, seperti pengaruh dari Talaga (pusat Budhisme) atau ketika Bujangga Manik melakukan pengembaraan. Konon kabar ia seorang rahib.

Kedua fase Islam, dimulai pada tahun 1529 M, mulai disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Sunan Panakaran, putra Maulana Abdurachman alias Pangeran Panjunan. Pangeran Panakaran pada tahun 1504 M menikah dengan seorang putri dari Sindangkasih, kemudian melahirkan seorang putra, diberi nama Ki Gedeng Sumedang, dikenal dengan sebutan Pangeran Santri. Kemudian Pangeran Santri menikah dengan Ratu Setyasih yang bergeralr Pucuk Umum, pewaris syah dari tahta Sumedanglarang.

Sumedang Larang didirikan oleh Prabu Resi Tajimalela, namun Sumedang Larang sebagai kelanjutan dari Tembong Agung – Himbar Buana yang dirintis oleh Prabu Guru Aji Putih. Kisah tembong Agung dengan Sumedang Larang sama halnya dengan sejarah Galuh. Semula dirintis oleh Resi Guru Manikmaya di Kendan, pada jaman Wretikandayun kemudian dialihkan kesuatu daerah, untuk kemudian diberi nama Galuh (permata).

Ada yang menarik dari keberadaan kerajaan di tatar Sunda, pada umumnya didirikan oleh para pemuka agama, sama seperti pendiri Tarumanagara (Sang Maharesi-rajadirajaguru), Kendan (Sang Resiguru), Galuh (Wretikandayun), Indraprahasta (Resi Sentanu), Talaga (Pusat Budhisme), Cirebon (pusat Islam). Mungkin juga kesejarahan demikian menggambarkan ciri pokok dari masyarakat Sunda dahulu yang religius, sehingga tokoh agama merangkap pula dengan pemerintahan.

Ciri lainnya adalah, pada awal penyebaran agama dan masuknya pengaruh baru, nyaris tidak nampak adanya benturan. Mungkin yang lebih jelas ketika masa Sang Bunisora dan Wastukancana, bahkan putra Sang Bunisora, atau kakak sepupu Wastukancana dikenal sebagai haji pertama di daerah Galuh sehingga dikenal dengan sebutan Haji Purwa Galuh. Demikian pula pada masa Sri Baduga. Sebagaimana kita ketahui penyebar agama Islam pertama di Jawa Barat adalah Walangsungsang, putra Sri Baduga, bahkan salah satu istri Sri Baduga alumnus dari pesantren Quro.

Fase Kekuasaan
Mencermati fase kekuasaannya, di Sumedang Larang mengalami beberapa fase. Pertama, fase raja-raja Sumedang Larang dimulai dari Praburesi Tajimalela ada juga yang menyebutkan mulai dari Prabu Guru Aji Putih sampai dengan Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601 M). Pada masa ini Sumedang Larang memiliki kekuasaan yang mandiri, sekalipun memang terseling sebagai kerajaan daerah, mengingat berada dibawah daulat Galuh. Sumedang Larang pernah didaulat sebagai pewaris syah tahta Pajajaran, mengingat ia memiliki kandage lante, perlengkapan pakaian raja-raja Pajajaran yang di persembahkan Jayaperkosa, senapati Pajajaran kepada Geusan Ulun.

Fase kedua, fase Bupati Wedana dibawah daulat Mataram. Fase ini dimulai sejak berkuasanya Rangga Gede alias Rangga Gempol 1 yang berkuasa pada tahun 1601 – 1625 M. Suatu hal yang masih perdebatan umum tentang siapa Rangga Gempol I, apakah ia anak syah dari Geusan Ulun atau anak tirinya, mengingat ada berita yang santer menyatakan, bahwa sebelum Harisbaya dinikahi Geusan Ulun ia telah hamil. Namun apapun isue nya, sejak masa ini Sumedanglarang berada dibawah daulat Mataram dan pernah dihadiahkan kepada Belanda pada masa Amangkurat II. Masa kekuasaan dibawah Mataram berlangsung hingga kekuasaan Rangga Gempol III (1656 – 1676 M).

Fase ketiga, fase Bupati Wedana dibawah daulat Belanda (VOC) kemudian terselang oleh Inggris dan kembali lagi dibawah Belanda dan Jepang. Dimulai pada masa Dalem Tumenggung Tanumaja (1706 – 1709 M). Fase lainnya terjadi pasca Indonesia menyatakan kemerdekaan.

Pada masa lalu dikenal pula adanya eksistensi Pangeran Kornel yang berani menentang Daendels ketika membangun Cadas Pangeran yang banyak memakan korban jiwa rakyat Sumedang. Kemudian ada pula kisah yang terjadi pada tahun 1888. Ketika itu Bupati Pangeran Aria Suriaatmaja atau dikenal juga sebagai Pangeran Mekah mengungkapkan kepada Belanda, bahwa Belanda harus memberikan kemerdekaan bagi bangsa di Nusantara. Hal ini dapat diketahui melalui literatur yang beliau tulis dalam buku dengan judul: “Ditiung memeh hujan” (sedia payung sebelum hujan).

CIKAL BAKAL

Kisah Sumedang diceritakan tumbuh sejak seorang resi keturunan Galuh datang untuk bermukim di pinggiran Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja, ada juga yang menyebutkan didaerah Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Daerah-daerah tersebut telah ada pada abad kedelapan, dirintis oleh Cakrabuana. Konon kabar resi itu bernama Prabu Guru Aji Putih. Ia adalah putra Ratu Komara keturunan Wretikandayun (Galuh).
Prabu Guru Aji Putih menikah dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten), kemudian berputra ; sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, kedua Sakawayana alias Aji Saka, ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.

Jika kisah ini ditelusuri lebih lanjut, tentunya masing-masing putra Wretikandayun dalam versi ini memiliki sejarahnya yang mandiri. Tokoh-tokoh tersebut tidak asing didengar telinga masyarakat tradisional Sunda, dikisahkan secara turun temurun melalui cerita lisan atau cerita pantun. Demikian pula tentang Prabu Guru Aji Putih, didalam kisah tradisional masyarakat Sunda, terutama yang hidup di tatar Parahyangan sangat meyakini bahwa cikal bakal berdirinya Sumedang Larang tidak dapat dilepaskan dari kerajaan sebelumnya, yakni Tembong Agung yang didirikan Prabu Guru Aji Putih.

Menurut catatan Pemda Sumedang : “Berdasarkan catatan sejarah yang ada, sebelum menjadi Kabupaten Sumedang seperti sekarang ini, telah terjadi beberapa peristiwa penting diantaranya : (1) Pada mulanya kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan bernama Kerajaan Tembong Agung dengan rajanya bernama Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang) ; (2) Pada masa pemerintahan Prabu Tuntang Buana yang juga dikenal dengan sebutan Prabu Tajimalela, Kerajaan Tembong Agung berubah nama menjadi kerajaan Sumedanglarang”. (http://www.sumedang. go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010).

Didalam versi lain dijelaskan tentang masalah ini, bahwa : ”Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.” (Sumedang Larang, wikipedia, 17 Maret 2010).

Sebutan untuk kata Sumedang Larang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingnya” (Su=bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya).
Kemudian versi lainnya, seperti buku rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat dan Sejarah Jawa Barat yang ditulis Yoseph Iskandar, memaparkan : Kerajaan Sumedang Larang didirikan oleh Praburesi Tajimalela, berkedudukan di gunung Tembong Agung, menurut Carita Parahyangan disebut Mandala Himbar Buana, sedangkan Tajimalela disebut Panji Rohmayang putera Demung Tabela Panji Ronajaya dari daerah Singapura.

Penulis tidak menemukan eksistensi dari Prabu Guru Aji Putih didalam buku rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat. Buku tersebut langsung menuliskan Praburesi Tajimalela sebagai pendiri Sumedanglarang. Sementara didalam versi lain, Prabu Guru Aji Putih dianggap pendiri dan penguasa Tembong Agung, yang merupakan cikal bakal dari Sumedang Larang.
Mungkin juga kesejarahan Sumedang pada masa lalu tidak sedemikian dikenal sebagai mana masyarakat mengenal sejarah Sunda dan Galuh, karena kedua kerajaan tersebut dianggap sebagai sentra kekuasaan dan budaya Urang Sunda, atau karena Sumedang Larang statusnya sama dengan Talaga, kerajaan daerah yang tumbuh secara mandiri namun berada dibawah Galuh.

Tentang gelar yang Prabu Guru Aji Putih sebagaimana yang dilansir oleh Pemda Sumedang, tentunya menarik untuk ditelusuri lebih jauh tentang siapa Prabu Guru Aji Putih tersebut, mengingat istilah – gelar lengkap yang diberikan adalah Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang).
Sebutan Haji didepan Aji tidak pula disalahkan jika ditafsirkan bahwa Prabu Guru Aji Putih telah memeluk agama islam (Haji), bahkan disebut Aji Purwa Sumedang. Padahal secara resmi islam menjadi ageman penguasa Sumedang sejak tahun 1529 M, pasca Praburesi Tajimalela. Hal ini mengingatkan pada sebutan yang diberikan kepada Bratalegawa, salah seorang putra Sang Bunisora (Sunda – Galuh). Ia mendapat gelar Haji Purwa Galuh, karena dianggap sebagai Haji pertama dari Galuh.

Memang ada kaitannya gelar yang menggunakan Sumedang dengan para penguasa yang berasal dari luar Sumedang, seperti Mangkubumi Sumedang Larang, diberikan kepada Ki Gedeng Sindangkasih, putra dari Niskala Wastukencana penguasa Sunda Galuh, mengingat Sumedang berada di bawah Galuh. (Yoseph Iskandar). Kemudian ditemukan pula gelar Ki Gedeng Sumedang yang diberikan kepada Pangeran Santri (rintisan masa silam sejarah Jawa Barat). Namun kedua tokoh ini tidak ditemukan adanya data yang menyebutkan bahwa mereka pendiri dari Sumedang Larang.
Sebagai perbandingan masa, terlacak pula Praburesi Tajimalela diperkirakan memerintah pada tahun 1300 an (koropak 410), sedangkan Mangkubumi maupun Ki Gedeng Sumedang eksistensi nya disebut-sebut pada tahun 1500 an.

Pertanyaan kedua, apakah yang dimaksudkan Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang) orangnya sama dengan Haji Purwa Galuh (Galuh), mengingat versi ini menambahkan nama Galuh, yakni Prabu Galuh Hadji Adji Putih. Sekalipun demikian, para pemerhati sejarah pada umumnya sepakat, pada masa Prabu Guru Aji Putih, Sumedang memang masih berada dibawah protektorat Galuh dan belum ada pengaruh islam didalam pemerintahannya. Pengaruh islam mulai merebak ketika Galuh telah dikalahkan di Talaga oleh Cirebon, masa Susuhunan Jati. Sedangkan penguasa Sumedang pertama yang beragama islam adalah Pangeran Santri suami dari Setyasih – Pucuk Umum Sumedang.

Dari masing-masing versi sejarah yang dikisahkan diatas tentu pula tidak terlalu salah jika ada dua penafsiran tentang pendiri dari Sumedang Larang, yakni Prabu Galuh Haji Aji Putih disatu pihak dan Prabu Tajimalela dipihak lain. Mungkin akan sama dengan ambiguitas dalam menetapkan hari jadi Cirebon, apakah sejak masa Pangeran Walangsungsang mendirikan daerah Cirebon Larang atau ketika Syarif Hidayat menyatakan Cirebon sebagai Kesultanan yang merdeka dan melepaskan diri dari Pajajaran. Kedua tokoh tersebut terwadahi melalui penetapan hari jadi yang berbeda antara pemerintahan kota dan kabupaten.
Terhadap penetapan pendiri Sumedang Larang hemat saya perlu juga ditarik garis yang tidak menyalahi kesejatian dari sejarahnya. Pertama, keberadaan Sumedang Larang tidak dapat dipisahkan dari pendahulunya yang telah dirintis oleh Prabu Guru Aji Putih di Tembong Agung, kemudian berganti nama menjadi Himbar Buana. Kedua, istilah Sumedang Larang tidak dapat dipisahkan dari kisah Tajimalela yang mengucapkan kalimat “Insun Medal, Insun Madang”, sehingga menjadi kata Sumedang. Tajimalela dikenal pula sebagai cikal bakal yang melahirkan spirit Kasumedangan. Dengan demikian, jika dilihat dari sejarah eksistensi Sumedang telah dirintis sejak jaman Prabu Guru Aji Putih, sedangkan sebutan kata Sumedang Larang berawal dari jaman Praburesi Tajimalela. Hatur punten bilih lepat jujutanana.

MASA PRA ISLAM

Praburesi Guru Aji Putih
Seorang resi keturunan Galuh datang untuk bermukim di pinggiran Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja. Daerah tersebut telah ada sejak abad kedelapan, dirintis oleh Cakrabuana. Konon kabar resi itu bernama Prabu Guru Aji Putih ini.
Berdasarkan versi rakyat Prabu Guru Aji Putih adalah putra Ratu Komara keturunan Wretikandayun (Galuh). Prabu Guru Aji Putih menikah dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten), kemudian berputra ; sulung bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela, kedua Sakawayana alias Aji Saka, ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.

Sama dengan kisah Sang Maharesi Rajadirajaguru dari Tarumanagara yang disusun didalam rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat, lambat laun daerah tersebut menjadi daerah yang ramai. Sekalipun dengan struktur pemerintahan yang sederhana, untuk kemudian berdirilah Tembong Agung sebagai cikal bakal kerajaan tersebut di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja sekarang.
Prabu Guru Aji Putih disebut-sebut mulai eksis di daerah tersebut pada pertengahan abad kesembilan masehi. Namun jarak ini terlalu jauh jika dihubungkan dengan masa pemerintahan Sang Tajimalela versi buku rintisan penelusuran sejarah Jawa Barat. Mungkin juga tahun yang dimaksudkan adalah tahun Saka. Menurut buku rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpmsjb), sama halnya dengan yang dimuat dalam koropak 410, Sang Tajimalela sejaman dengan tokoh Ragamulya (1340 – 1350) yang berkuasa di Sunda Kawali, ia pun sejaman pula dengan Suradewata, Ayahanda Batara Gunung Bitung Majalengka. Mungkin alasan ini pula buku tersebut tidak menghubungkan eksistensi Prabu Guru Aji Putih dengan Tajimalela.

Praburesi Tajimalela
Konon kabar Praburesi Tajimalela naik tahta menggantikan ayahnya pada mangsa poek taun saka. Ia pun sangat menaruh perhatian pada bidang pertanian di sepanjang tepian sungai Cimanuk, peternakan dipusatkan di paniis Cieunteung dan pemeliharaan ikan di Pengerucuk (Situraja).

Prabu Resi Tajimalela dianggap sebagai tokoh berdirinya Kerajaan Sumedang Larang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung, ada juga yang menyebutkan Himbar Buana, dengan ibukota di Leuwihideung – Darmaraja. Konon kabar, istilah Sumedang berasal dari kata “Insun medal – insun madang”.
Sang Tajimalela mempunyai tiga putra, yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun. Menurut Layang (buku rsmsj menyebutnya naskah) Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya, yakni Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung untuk menjadi raja dan yang lain menjadi patihnya. Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja.

Sang Tajimalela memerintahkan kedua putranya untuk pergi ke Gunung Nurmala. Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda. Kisah selanjutnya diceritakan, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang, tetapi wilayah dan ibu kotanya harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung atau Prabu Lembu Peteng Aji tetap di Leuwi-hideung, menjadi raja sementara. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi.

Penerus Taji Malela
Prabu Gajah Agung dikenal pula dengan sebutan Atmabrata. Setelah menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Kemudian setelah wafat Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja.
Kisah Prabu Gajah Agung ketika mendapatkan tahtanya, sebagai mana didalam versi naskah Darmaraja, menurut buku rintisan masa silam sejarah Jawa Barat, mirip dengan kisah awal kerajaan Mataram menurut versi Babad Tanah Jawi. Untuk kemudian dari keturunan Ki Ageng Pamanahan ketiban pulung menjadi raja-raja di Mataram Islam.

Prabu Gajah Agung digantikan oleh putranya yang bernama Prabu Wirajaya, dikenal pula dengan nama Sunan Pagulingan, ia menjalankan pemerintahannya dari Cipameungpeuk.
Perpindahan ibu kota kerajaan ini bukan yang pertama kalinya, sejak masa Prabu Guru Aji Putih dan para penggantinya telah terjadi beberapa perpindahan ibu kota. Sama dengan ciri dari kerajaan lain di tatar Sunda, yakni Tarumanagara dan Sunda. Jadi wajar jika peninggalan raja-raja di tatar Sunda sulit ditemukan. Karena tidak memiliki tempat tinggal yang permanen.

Sunan Pagulingan mempunyai dua orang anak, pertama Ratu Istri Rajamantri yang menikah dengan Sri Baduga Maharaja dan pindah mengikutinya ke Pakuan Pajajaran. Kedua, bernama Mertalaya yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Karena ia berkedudukan di Ciguling maka ia pun diberi gelar Sunan Guling.

Tentang pernikahan Rajamantri dengan Sri Baduga tentunya membuahkan beberapa cerita rakyat, dikelak kemudian hari banyak yang menafsirkan bahwa penguasa Sumedang Larang adalah keturunan dari Sri Baduga Maharaja (Silihwangi).

Pasca meninggalnya Sunan Guling tahta Sumedang kelima dilanjutkan oleh putra tunggalnya, yaitu Tritakusuma atau Sunan Patuakan. Kemudian ia digantikan oleh Ratu Sintawati, putrinya, dikenal pula dengan sebutan Nyi Mas Ratu Patuakan. Ia menikah dengan Sunan Corenda, raja Talaga, putra dari Ratu Simbar Kencana dengan Kusumalaya putra Dewa Niskala. Sintawati menjadi cucu menantu penguasa Galuh.

Sunan Corenda mempunyai dua orang permaisuri, yakni Mayangsari, putri Langlang Buana (Kuningan), sedangkan dari Sintawati (Sumedang) memperoleh putri bernama Ratu Wulansari alias Ratu Parung, ia berjodoh dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum Telaga) putera Munding Surya Ageung, putra Sri Baduga. Sunan Gangsa kemudian ditaklukan Cirebon pada tahun 1530 M dan masuk islam. Putranya Sunan Wanaperih, menggantikannya sebagai bupati Talaga kedua bawahan Cirebon.
Sunan Corenda dari Sintawati mempunyai puteri bernama Setyasih, kemudian setelah menjadi penguasa Sumedang ia diberi gelar Pucuk Umum. Pada masa pemerintahannya (1529 M) islam sudah mulai berkembang di Sumedang, disebarkan oleh Maulana Muhamad alias Palakaran.

Masuknya pengaruh islam
Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya dari pesantren dan perilakunya sangat alim. Sejak itulah mulai penyebaran agama Islam di wilayah Sumedang Larang.

MASA ISLAM

Penyebaran islam di Sumedang
Pasca wafatnya Tirtakusuma atau Sunan Patuakan raja Sumedang Larang kelima, ia digantikan oleh Ratu Sintawati, putrinya yang bergelar Nyi Mas Patuakan. Pada masa pemerintahannya, atau kira kira tahun 1529 M agama islam mulai menyebar di Sumedang. Penyebaran islam di Sumedang dilakukan oleh Maulana Muhamad (Pangeran Palakaran).

Nyi Mas Patuakan kemudian menikah dengan Sunan Corenda, raja daerah Talaga, putra dari pasangan Ratu Simbar Kancana dan Kusumalaya (putra Dewa Niskala). Dari pernikahannya ini melahirkan seorang putri yang diberi nama Satyasih.

Pada saat di nobatkan sebagai penguasa Sumedang, Satyasih diberi gelar Ratu Pucuk Umum. Untuk kemudian menikah dengan Pangeran Santri, putra dari Maulana Muhammad (Pangeran Palakaran) dan Putri Sindangkasih (Majalengka).

Pernikahan
Sebagaimana diatas, Maulana Muhammad (Pangeran Palakaran) disebut-sebut sebagai penyebar islam pertama di wilayah Sumedang Larang. Ia putera Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Jika ditelusuri keatas, ia cucu Syekh Datuk Kahfi dan Ki Ageng Japura. 
Pada tahun 1504 M Pangeran Palakaran menikah dengan seorang putri Sindangkasih. Dari pernikahannya maka pada tahun 1505 M melahirkan seorang putra yang diberi nama Ki Gedeng Sumedang (Pangeran Santri).

Tentang putri Sindangkasih atau ibunda Pangeran Santri memang membuahkan beberapa kesimpulan. Apakah Pangeran Santri tersebut putra dari putri Sindangkasih (Ambetkasih) yang kemudian tilem, karena tidak mau memeluk agama islam, atau putri dari kerabat putri Sindangkasih ?. Mengingat penting untuk mencari benang merah dengan legalitas Pangeran Santri sebagai pewaris Sindangkasih.

Berdasarkan dari rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpmssjb) yang dimaksud putri Sindangkasih adalah yang berdomisili di Majalengka – dekat Kali Cideres, daerah ini pernah menjadi ibukota Majalengka. Penegasan ini perlu dilakukan karena sering kali kasaweur dengan kisah putri Sindangkasih dari daerah Beber Cirebon, yang dikenal dengan nama Ambetkasih, istri Sri Baduga Maharaja.
Sindangkasih di Majalengka yang dimaksud dikenal pula dengan sebutan Rambutkasih – saudara dari Munding Surya Ageung, keduanya pala putra dari Sri Baduga dan Ambetkasih. Penamaan Putri Sindangkasih bagi Ambetkasih dimungkin terjadi karena ia cucu dari Ki Gedeng Sindangkasih.
Kedua menurut riwayat Majalengka, Rambutkasih tidak mau menganut agama islam. Ia menghilang (tilem) tidak kelihatan jasadnya lagi. Ketika Pangeran Palakaran bersama istrinya (Nyi Armilah) menemuinya di Sindangkasih, ia tidak berhasil menemukannya. karena itulah Pangeran Palakaran menganjurkan istrinya (Nyi Armilah) menjadi penguasa di Sindangkasih.

Dari kisah tersebut memang ada sedikit ambigu. Karena ada versi lain yang mengatakan bahwa putri Sindangkasih dimaksud adalah Rambutkasih istri dari Pangeran Palakaran – ibunda Pangeran Santri. Namun versi lainnya memaparkan bahwa Nyi Armila (ibunda Pangeran Santri) memang putri Sindangkasih namun bukan Rambutkasih, melainkan kerabat atau putri dari Rambutkasih. Hal ini penting untuk diuraikan, kalau tidak maka dapat dikatagorikan adanya ‘coup’ terhadap kekuasaan yang syah di Sindangkasih.
Dari peristiwa itu rpmssjb menarik kesimpulan, bahwa : ”tokoh Nyi Armilah itulah ibunda Pangeran Santri, dan seandainya ia bukan putri Rambutkasih tentulah ia kerabat dekatnya yang menempati posisi sebagai ahli waris utama sehingga hak waris itu dapat diturunkan kepada puteranya, Pangeran Santri”.

Pangeran Santri
Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum, kemudian ia menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang.

Peristiwa diatas memiliki kemiripan dengan Kisah Tarusbawa, raja Sunda pertama (penerus Tarumanagara) yang menikah dengan Dewi Manasih putri Linggawarman raja Tarumanagara kedua belas, kemudian Tarusbawa bertahta. Selanjutnya kerajaan Tarumanagara lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Sunda. Mungkin karena Tarusbawa memindahkan ibukotanya kedaerah Sunda, tempat kelahirannya. Konon kabar daerah ini pernah dijadikan ibukota Tarumanagara ketika masa Pemerintahan Purnawarman. Peristiwa ini menginspirasi Wretikandayun untuk menyatakan Galuh memisahkan diri dari Sunda.

Menurut rpmssjb, Pangeran Santri dinobatkan sebagai penguasa Sumedang pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka (+ 21 Oktober 1530 M), bergelar Pangeran Kusumadinata I. Pangeran Santri dikisahkan pula bahwa ia murid dari Sunan Gunung Jati, sehingga, penobatannya sebagai penguasa Sumedang dimungkinkan ada kaitannya dengan perluasan kekuasaan Cirebon di Tatar Sunda, paling tidak Sumedang dapat dijadikan penyangga daerah Cirebon dari Pajajaran yang pada saat itu sedang mengalami ketegangan.

Kemungkinan ini tentunya akan lebih jelas jika menyitir pendapat buku rpmssjb selanjutnya, bahwa : “tiga bulan setelah penobatan Pangeran Santri, pada tanggal 12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 Saka, di keraton Pakungwati diadakan perjamuan “syukuran” untuk merayakan kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan Pangeran Santri. Hal itu menunjukan bahwa Sumedanglarang telah masuk kedalam linngkar pengaruh Cirebon. Pangeran Santri adalah murid Susuhunan Jati. Karena itulah posisi Sumedang lebih merupakan “satelit’ Cirebon”.

Pangeran Santri adalah penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam. Diperkirakan berkedudukan di Kutamaya Padasuka. Pada waktu itu daerah tersebut dijadikan sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru. Di Musium Geusan Ulun dijelaskan, bahwa memang telah ditemukan situs di Kutamaya, berupa batu bekas fondasi ‘tajug’ keraton Kutamaya.

Dari pernikahannya dengan Pucuk Umum, maka pada tahun 1558 M) lahir seorang putra, yang diberi nama Pangeran Angkawijaya. Dikelak kemudian hari ia bergelar Prabu Geusan Ulun. Namun suatu hal yang patut diteliti pula, bahwa Angkawijaya bukanlah satu-satu putra, karena didalam kisah lainnya masih ada putra-putra Pangeran Santri dan Pucuk Umum, yakni (1) Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun) ; (2) Kiyai Rangga Haji ; (3) Kiyai Demang Watang di Walakung ; (4) Santowaan Wirakusumah (Pagaden dan Pamanukan, Subang) ; (5) Santowaan Cikeruh ; (6) Santowaan Awiluar.

Pada masa pemerintahan Pangeran Santri memang hubungan kerajaan islam di Jawa Barat (Banten dan Cirebon) sedang berada dipuncak ketegangan dengan Pajajaran. Namun ketika Pajajaran runtuh (diperkirakan 8 Mei 1579 M) ia sehari-hari sudah tidak lagi memegang kendali Sumedang Larang sebagaimana layaknya kepala pemerintahan, karena usi lanjut.

Patut diperhitungkan, ketika Pangeran Santri sudah tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai penguasa Sumedang, apakah terjadi kekosongan kekuasaan atau telah ada penguasa panyelang, atau Geusan Ulun sudah menduduki tahta ?.

Dalam hal ini ada dua versi. Pertama menyatakan, Geusan Ulun dilantik sebelum wafatnya Pangeran Santri. Adapun pasca wafatnya Pangeran Santri ia diistrenan sebagai raja Sumedang Larang penerus syah tahta Pajajaran. Didalam peristiwa ini pula Kandage Lante diserahkan oleh Jayaperkosa. Kedua Geusan Ulun dilantik 13 bulan setelah wafatnya Pangeran Santri, mengingat umurnya masih masih sangat muda. Pelantikan ini sekaligus dikukuhkan sebagai penerus trah Pajajaran, dengan menerima Kandage Lante.
Pangeran Santri wafat pada bulan Asuji 1501 Saka atau diperkirakan bertepatan dengan tanggal 2 Oktober 1579, Ia di makamkan di Dayeuh Luhur, sedangkan Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.

Menurut rpmsjb, sebagai pengganti penguasa Sumedang Larang, 13 bulan kemudian, atau pada tanggal 10 bagian terang bulan Posya tahun 1502 Saka bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1580 M maka diangkatlah Pangeran Angkawijaya dengan gelar Pangeran Kusumadinata II, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Prabu Geusan Ulun.

PEWARIS PAJAJARAN

Angkawijaya atau Pangeran Kusumahdinata II, lebih dikenal dengan sebutan Geusan Ulun di nobatkan pada tanggal 10 bagian terang bulan Posya tahun 1502 Saka, bertepatan dengan tanggal 18 November 1580. Ia menggantikan Pangeran Santri yang wafat pada tahun 1579 M. 
Lajimnya seorang raja, biasanya memiliki simbul-simbul tertentu dari tradisi dikerajaannya sehingga dengan penguasaan simbol tersebut maka seorang raja akan lengkap mendapat legitimasi, baik secara de facto maupun de jure.

Sama dengan peristiwa yang dialami Geusan Ulun, pengganti Pangeran Santri. Ia bukan sekedar penguasa Sumedang Larang melainkan juga “diistrenan” sebagai pewaris syah tahta Pajajaran. Masalah ini menjadi sangat menarik untuk dibahas, mengingat saat itu eksistensi Cirebon dan Banten masih ada, bahkan selain memiliki kekuatan riil juga masih trah raja Sunda. 

Ada dua simbol yang dapat melengkapi pengesahan pelantikan raja-raja di Pajajaran, yakni : Mahkota raja dan atrbutnya (kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu) serta batu palangka, tempat dilantiknya raja-raja Pajajaran. Memang yang digunakan Angkawijaya pada saat pelantikannya adalah seperangkat Mahkota dan pakaian raja, sedangkan batu palangka telah diboyong Panembahan Yusuf ke Surasowan.

Didalam Pustaka Kertabhumi ½ dikisahkan :
 “Geusan Ulun nyakrawati mandala ning Pajajaran kang wus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang heneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang).
Kemudian ditegaskan pula, bahwa: “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sirna Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).
Simbol raja Pajajaran.

Pasca penyerangan Banten ke Pakuan dan Pakuan sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah (mungkin juga cerita komunitas Abah Anom didaerah Ciptarasa mulai dari sini), sebagian lagi mengungsi ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, seperti Senapati Jayaprakosa atau Sanghyang Hawu, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.

Mahkota Raja Pajajaran
Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Jayaperkosa membawa (menyelamatkan) Mahkota dan atribut raja Pajajaran ke Sumedang Larang, yang menjadi simbol raja Pajajaran. Atribut sebagai simbol yang perlu dimiliki raja-raja Pajajaran. Selain itu biasanya raja-raja Pajajaran diistrenan diatas batu Gilang batu gilang atau palangka batu sriman sriwacana.

Berakhirlah jaman Pajajaran (1482 – 1579), ditandai pula dengan diboyongnya Palangkan Sriman Sriwacana (Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu “mengharuskan” demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang “sah” karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.

Tentang sakralitas batu tersebut diceritakan pula dalam Carita Parahiyangan di beritakan sebagai berikut :
• Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka
• Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja
• Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima
• Punta Narayana Madura Suradipati,
• inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata

(Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).

Batu Pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara Batu Ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).

Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah Tahta Nobat yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka itulah ia diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di Kabuyutan Kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa).

Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya Watu Gigilang. Kata Gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

Kehancuran Pakuan berdasarkan versi Banten dikarenakan ada pengkhianatan dari “orang dalam yang sakit hati”. Konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga pintu gerbang dan membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan Banten memporakporandakan Pakuan. Benteng Pakuan akhirnya dapat ditaklukan. Penduduk Pakuan yang dengan susah payah membangun kembali kehidupannya pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut. Mereka dibinasakan tanpa ampun. keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang dijadikan simbol Pajajaran dibumi hanguskan.

Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.

Menurut legenda “Kadu Hejo”, di daerah Pulasari (tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa mahkota. Ia kemudian memerintah sebagai raja pendeta, tetapi akhirnya dihancurkan oleh Pasukan Banten yang menyerang kerajaan itu.

Ketiadaan pakaian dan perangkat raja dimaksud dapat pula dikaitkan dengan cerita lain. Dalam kisahnya disebutkan bahwa mahkota dan pakain kerajaan Pajajaran disimpan di musium Sumedang (Musium Geusan Ulun). Menurut riwayat mahkota tersebut dibawa oleh Jaya Perkosa dari Pakuan dan adik-adiknya, yakni Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot, kemudian diserahkan untuk digunakan oleh Geusan Ulun pada saat pelantikannya. Dengan penggunaan perangkat tersebut maka Geusan Ulun dianggap syah sebagai pewaris tahta Pajajaran.
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga. Namun pada akhirnya Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya gugur di Pulasari.

Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. : Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).

Geusan Ulun Penerus tahta
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis).

Luas daerah Sumedang Larang pada masa Geusan Ulun dapat diteliti dari surat Rangga Gempol 3 yang ditujukan kepada Gubernur Jendral Willem Van Outhorn, yang dibuat pada tanggal 31 Januari 1691. Dalam surat tersebut ia meminta agar luas wilayah Sumedang dipulihkan sebagai jaman Geusan Ulun. Yang membawahi 44 penguasa daerah yang terdiri dari 26 Kandaga lante dan 18 umbul (menurut babad hanya 4 buah yang berstatus kanda lante). Pada waktu itu Rangga Gempol III hanya menguasai 11 dari Kandage Lante.

Jika dibentangkan dalam peta, daerah kekuasaan Geusan Ulun meliputi wilayah Kabupaten Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung. Sebelah timur berbatasan dengan garis Cimanuk – Cilutung dan Sindangkasih (Cideres – Cilutung), sebelah barat garis Citarum – Cisokan. Memang pada saat itu telah ada beberapa daerah yang masuk Cirebon, seperti Ciamis dan Majalengka yang direbut Cirebon dari Pajajaran pada tahun 1528 M, serta Talaga pada tahun 1530 M.

Sebagaimana diuraikan diatas, Geusan Ulun mendapat dukungan dari para Veteran Senapati Pajajaran, yakni Jayaperkosa dan adik-adiknya. Mereka merasa gagal mempertahankan pakuan dan berniat membangun kembali kejayaan Pajajaran melalui Sumedang Larang. Alasan ini pula yang menyebabkan mereka menyerakan perangkat dan simbol-simbol raja Pajajaran ke Sumedang Larang.

Didalam Pustaka Kertabhumi menjelaskan mengenai para senapati tersebut, bahwa :
 “Sira paniwi dening Pangeran Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya” (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya). Konon kabar para senapati tersebut masih keturunan Sang Bunisora (Sunda Galuh).

Suatu hal yang menarik tentang pelantikan Geusan Ulun, ketika itu ia masih berumur sangat muda (23 tahun), namun ia disepakati oleh 44 penguasa di tatar Parahyangan untuk menjadi penguasa Parahyangan. Padahal ayahnya sendiri, yakni Pangeran Santri tidak memiliki kekuasan yang luas demikian.

Tentunya ada suatu gerakan yang mampu meyakinkan para penguasa daerah untuk mengabdi kepada Geusan Ulun sebagai penerus tahta Pajajaran. Konon inilah salah satu keberhasilan Jayaperkosa dan saudara – saudaranya dalam upayanya mempersatukan puing-puing wilayah Pajajaran. Disini pula dapat dinilai tentang kebesaran pengaruh Jayaperkosa bersama adik-adiknya terhadap para penguasa di Parahyangan.
Menurut buku rpmsjb : “Dengan tokoh Jayaperkosa bersama adik-adiknya sebagai jaminan, para raja daerah Parahyangan dapat menerima dan merestui tokoh Geusan Ulun menjadi narendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna. Faktor Geusan Ulun dan faktor politik inilah yang mungkin yang telah “menunda” penobatan Geusan Ulun menjadi penguasa Sumedang Larang sampai setahun lebih sejak kemangkatan Pangeran Santri”.

Secara politis penobatan Geusan Ulun dapat diartikan sebagai suatu bentuk memproklamirkan kebebasan Sumedang dan mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten dan Cirebon. Selain itu menurut rpmsjb dapat pula disimpulkan adanya pernyataan, bahwa : “Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Pajajaran di Bumi Parahyangan. Mahkota dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jayaperkosa dari Pakuan dengan sendirinya dijadikan bukti dan alat legalisasi sama halnya dengan pusaka kebesaran Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak, Pajang, dan kemudian Mataram”.

Bahan Bacaan :
•  Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).
•  Sejarah singkat Kabupaten Sumedang (http://www.sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010
•  Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemeirntahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.
•  Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.
•  Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.

PERISTIWA HARISBAYA 

Kisah Sumedang pada masa Geusan Ulun banyak dipengaruhi oleh akibat Peristiwa Harisbaya, seperti lepasnya daerah Sindangkasih (asal Pangeran Santri) menjadi wilayah Cirebon ; munculnya mitos-mitos yang berhubungan dengan Jayaperkosa (hanjuang, dago jawa, sindang jawa, penggunaan batik) ; dan berpindahnya ibukota Sumedang dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Kisah ini menjadi mitos yang kerap menimbulkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan sejarah di tatar Sunda umumnya dan khususnya sejarah Sumedang.

Pasca wafatnya Geusan Ulun sangat berpengaruh terhadap perjalanan sejarah tatar Sunda, sulit menarik benang merah untuk mengetahui kesejatian sejarah dan budayanya. Dalam buku History of Java misalnya, Raffles masih dibingungkan, apakah Sunda itu dialek atau bahasa yang mandiri. Mengingat pada masa itu di tatar Sunda sangat sulit menemukan jejak kejayaan Urang Sunda, bahkan berada di bawah daulat Mataram, dan satu persatu wilayah di tatar Sunda diserahkan kepada Kompeni Belanda. Tak cukup sampai disitu, Raffles menyimpulkan pula, bahwa : bahasa Sunda sebagai varian dari bahasa Jawa, bahkan ada juga yang menyebut bahasa Sunda sebagai “bahasa Jawa gunung dibagian barat”.

Nasib kesejarahan di tatar Sunda pasca kemerdekaan pun demikian, banyak sejarah yang dikisahkan, terutama yang berasal dari sejarah lisan tidak menemukan tumbu dengan titi mangsa peristiwanya, sehingga tak jarang dituduh memiliki catatan sejarah palsu, atau tuduhan “sejarahnya diciptakan oleh Belanda”.
Jika ditelusuri lebh lanjut, konon masalah ini dahulu hanya karena Suryadiwangsa, putra Geusan Ulun (ada juga yang menyebutkan putra tirinya), dari Harisbaya menyerahkan Sumedang tanpa syarat kepada Mataram. Penyerahan ini bukan hanya berpengaruh terhadap Sumedang, melainkan juga seluruh tatar Parahyangan. Padahal ketika Geusan Ulun diistrenan, ia dianggap dan di amanahkan sebagai pewaris syah tahta Pajajaran. Pada masa itu Sumedang menguasai sisa Pajajaran yang berada di tatar Parahyangan (selebihnya dikuasai Banten dan Cirebon), tak kurang dari 44 Kandaga Lante dan 8 umbul berada dibawah daulat Sumedang.

Peristiwa Harisbaya dan segala akibatnya diceritakan melalui beberapa versi, diantaranya babad Sumedang, babad Cirebon dan babad Limbangan. Namun masing-masing versi memiliki alasan, adakalanya muncul perbedaan didalam menuturkan peristiwanya. Namun tentunya, kita pun tidak perlu mengadili kebenaran masing-masing yang dikisahkannya, karena masing-masing memiliki paradima yang berasal dari keyakinan kebenaran yang dikisahkannya. Dan memiliki alasan sesuai dengan jamannya.

Makam Geusa Ulun

Kasus Harisbaya
Kisah Harisbaya dan akibat dari peristiwanya dituturkan didalam rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpmssJB), secara garis besar dituturkan sebagai berikut :
•  Didalam Pustaka Kertabumi I/2 dikisahkan, bahwa peristiwa Harisbaya terjadi pada tahun 1507 saka atau 1585 M. Pada peristiwa ini pusat kekuasaan islam tidak lagi di Demak, karena sejak tahun 1546, setelah huru hara Demak yang menewaskan Prawoto (Demak) dan Muhamad Arifin alias Pangeran Paseran (Cirebon) putra Susuhunan Jati maka kekuasaan beralih ke Pajang. Pada masa huru hara Demak Geusan Ulun belum lahir, ia lahir 12 tahun pasca peristiwa dimaksud atau pada 1558 M.

Peristiwa Demak yang menewaskan Muhamad Arifin alias Pangeran Paseran (Cirebon) menyebabkan Susuhunan jati (ayahnya) merasa sakit hati, iapun mendukung penobatan Hadiwijaya (Pajang). Tak cukup sampai disitu, Susuhunan Jati mengirimkan Panembahan Ratu, cicitnya untuk berguru kepada Hadiwijaya (selama 16 tahun), untuk kemudian ia dinikahkan dengan putri Hadiwijaya.

Pada tahun 1582 M hubungan antara Cirebon dengan Pajang menemukan kendala. Hadiwijaya berseteru dengan Sutawijaya, putra Ki Gedeng Pamanahan, bupati Mataram (islam). Hadiwijaya berhasil dikalahkan oleh Mataram, hingga ia pun tewas setelah terjatuh dari gajah. Panembahan Ratu, Sutawijaya dan keluarga keraton Pajang menghendaki agar Banowo, putra bungsu Hadiwijaya menggantikan ayahnya. Dipihak keluarga Trenggono dan kerabat keraton Demak menghendaki agar yang menggantikan Hadiwijaya adalah menantunya, putra Sunan Prawoto, yakni Arya Pangiri. Kemudian Arya Pangiri disepakati menggantikan Hadiwijaya, sedangkan Banowo menjadi bupati Jipang.

Kisah ini menggambarkan, bahwa pada saat peristiwa Harisbaya terjadi (1585 M) yang berkuasa adalah Arya Pangiri (Pajang), sedangkan Panembahan Senopati (Mataram) mulai berkuasa pada tahun 1586 M setelah ia menjatuhkan Arya Pangiri dari tahta. Pajang pun diserahkan kepada Sutawijaya.

Panembahan Ratu pada waktu itu telah menjadi menantu Hadiwijaya, sehingga Arya Pangiri menganggap Panembahan Ratu memiliki pengaruh untuk menentukan kelangsungan Pajang. Ketika Arya Pangiri masih berkuasa, untuk menetralkan sikap Panembahan Ratu yang pro terhadap Banowo, ia diberi hadiah Harisbaya, seorang putri Madura yang cantik. Konon peristiwa ini terjadi ketika Panembahan Ratu menghadiri pemakaman Hadiwijaya. Namun Arya Pangiri tidak mengetahui, bahwa Harisbaya telah menjalin cinta dengan Geusan Ulun.

Harisbaya sebenarnya tidak sedemikian mencintai Panembahan Ratu, bukan karena Panembahan Ratu telah berusia lanjut, ia diperkirakan berusia 38 tahun sedangkan Geusan Ulun 27 tahun, namun karena Harisbaya telah memiliki hubungan dengan Geusan.

Pertemuan Geusan Ulun dengan Harisbaya terjadi ketika Geusan Ulun sedang berguru dan masih berstatus putra mahkota. Jika dilihat dari masanya, dimungkinkan terjadi ketika Geusan Ulun berguru di Pajang bukan di Demak, mengingat sejak huru hara (1546 M) Demak telah kehilangan fungsinya, baik sebagai pusat kekuasaan maupun sebagai pusat perguruan islam. Keberadaan Geusan Ulung di Pajang sama halnya dengan Panembahan, menurut Kertabhumi I/2, waktu itu Pajang sangat bersahabat dengan Cirebon, Banten dan Sumedang. Jika saja Susuhunan Jati yang terkenal sebagai mahaguru agama islam mengirimkan Panembahan Ray untuk berguru kepada Hadiwijaya, Pangeran Santri pun tentu akan menganggap layak mengirimkan putranya (Geusan Ulun) untuk berguru kepada Hadiwijaya di Pajang.

Pertemuan Geusan Ulun dengan Harisbaya di Pajang dalam waktu yang cukup lama (menurut babad antara 5 sampai 5 tahun), tentunya wajar jika menimbulkan benih-benih cinta. Hingga pada suatu ketika Geusan Ulun harus pulang ke Sumedang (tahun 1580 M) untuk dinobatkan sebagai penguasa Sumedang, menggantikan ayahnya. Pada waktu pertemuan tersebut dimungkinkan telah ada janji dari Geusan Ulun kepada Harisbaya tentang pewaris tahtanya dikemudian hari, sehingga Harisbaya mau dipersunting Geusan Ulun, dan rela meninggalkan Panembahan Ratu.

Tujuan Geusan Ulun ke Pajang dipaparkan pula, bahwa dimungkinkan ia bukan hanya untuk berguru agama islam, sama halnya dengan Panembahan Ratu, melainkan berguru tentang ilmu kenegaraan dan ilmu perang dari Hadiwijaya, bahkan disana ia bukan sebagai “santri” melainkan sebagai “satria”. Hal ini berdasarkan pada alasan antara Hadiwijaya disatu sisi dan disisi lain Geusan Ulun (keturunan Pangeran Santri) dan Penambahan Ratu (keturunan Susuhunan Jati) memiliki mazhab yang berbeda. Hadiwijaya penganut madzhab Syiah Muntadar sedangkan Geusan Ulun dan Panembahan Ratu penganut madzhab Syafi’i.
Peristiwa Harisbaya dijamannya membuahkan perseteruan antara Cirebon dengan Sumedang. Menurut cerita dari Sumedang, terjadi peperangan antara Cirebon dengan Sumedang, dimenangkan oleh Sumedang. Berdasarkan Babad Pajajaran yang ditulis pada masa Pangeran Kornel menyebutkan, tentara yang dikerahkan Cirebon sebayak 2.000 orang, sebaliknya menurut sumber Cirebon diceritakan akibat peristiwa Harisbaya hampir terjadi perang di antara kedua negara, tetapi dapat dicegah melalui jalan kompromi, “talak” Ratu Harisbaya dari Penembahan Ratu ditukar dengan daerah Sindangkasih. Dan dalam cerita manapun kompromi ini memang ada disebutkan.

Menurut Babad Cirebon “masa idah” Harisbaya itu 3 bulan 10 hari dan pernikahannya dengan Geusan Ulun menurut Pustaka Kertabhumi I/2 dilangsungkan pada tanggal 2 bagian terang bulan waisak tahun 1509 Saka, bertepatan dengan tanggal 10 April 1587 M. Peristiwa ini dilakukan 2 tahun pasca Harisbaya dilarikan dari Cirebon ke Sumedang.

Menurut Babad
Didalam rpmssJB dijelaskan, bahwa : Peristiwa Harisbaya dalam cerita babad dimulai ketika Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari Demak, ia didampingi empat senapatinya, Jayaperkosa bersaudara. Kemudian singgah di Keraton Panembahan Ratu penguasa Cirebon. Geusan Ulun bertemu dengan Ratu Harisbaya isteri kedua Panembahan Ratu yang masih muda dan cantik, puteri Pajang berdarah Madura. Harisbaya sangat tergila-gila dengan ketampanana Geusan Ulun, ia merayu Geusan Ulun untuk melarikan diri ke Sumedang. Geusan Ulun yang didukung empat senapatinya yang tangguh kemudian mengabulkan permintaan tersebut. Kemudian ditengah malam buta ia meloloskan diri dari Cirebon.

Pelarian ini diketahui, Cirebon kemudian memerintahkan prajurit bayangkaranya untuk menangkap mereka, namun pasukan tersebut berhasil dipukul mundur oleh Jayaperkosa dan adik-adiknya, hingga mereka tiba di Kutamaya dengan selamat. Konon kabar, daerah bekas pertempuran tadi kemudian diberi nama “Dago Jawa” dan “Sindang Jawa”.

Kisah lolosnya Harisbaya membuat kegelisahan Cirebon. Panembahan Ratu mengutus para telik sandi mencari keberadaan Harisbaya. Pada suatu hari dua orang mata-mata Cirebon memergoki Harisbaya yang sedang berbelanja di pasar. Informasi ini disampaikan segera ke Cirebon. Dalam merespon kondisi ini, Cirebon menyiapkan pasukannya untuk menyerang Kutamaya. Namun tidak pernah menemukan sasarannya karena di hadang oleh pasukan Sumedang yang dipimpin Jayaperkosa.

Dalam kisah babad, peperangan ini pula muncul mitos tentang Jayaperkosa dan pohon “hanjuang”. Konon kabar, sebelum berangkat menyambut musuh yang akan menyerang Sumedang, Jayaperkosa berwasiat, : Jika daun hanjuang itu masih segar, maka ia masih hidup (walagri), namun jika daunnya menjadi layu artinya ia telah gugur”. Karena asyiknya Jayaperkosa mengejar musuh ia tersesat. Saudara-saudaranya menduga, Jayaperkosa gugur, sekalipun hanjuan itu masih tetep segar. Nangganan, salah satu saudara Jayaperkosa segera menuju ke Kutamaya untuk membujuk Geusan Ulun agar segera mengungsi ke Dayeuh Luhur. Kemudian evakuasi pun terjadi.

Selanjutnya diceritakan, Jayaperkosa terkejut ketika mendapatkan Kutamaya telah kosong, sementara hanjuang yang ditanam Jayaperkosa masih segar. Ia pun sangat merah ketika mengetahui Geusan Ulun dan rombongannya telah pindah ke Dayeuh Luhur dan menganggap Jayaperkosa dan pasukannya telah di kalahkan Cirebon. Ia mendatangi Geusan Ulun untuk menanyakan pangkal soal kepindahannya ke Dayeuh Luhur, setelah mengetahui persoalannya, kemudian membunuh Nangganan. Ia pun berujar : “tidak akan mau mengabdi lagi kepada siapapun juga”. Konon sebelum menjelang akhir hayatnya ia pun berpesan agar dikuburkan dipuncak bukit dalam sikap duduk yang menghadap ke arah Kabuyutan. Namun ada juga kisah babad yang menceritakan, “Jayaperkosa tidak mau kuburannya menghadap ke arah kuburan Geusan Ulun”. Sekalipun yang terakhir ini masih perlu ditelaah lebih jauh, karena Jayaperkosa lebih dahulu wafat sebelum Geusan Ulun.
Lingga Jayaperkosa

Kemarahan Jayaperkosa
Didalam Babad Limbangan maupun Babad Sumedang peranan Jayaperkosa dimasa Geusa Ulum dicertikan panjang lebar. Menurut rpmssJB, dipaparkan : kedua babad itu seolah-olah menenggelamkan peran Geusan Ulun di Sumedang dan menjadikan babad tersebut sebagai riwayat hidup Jayaperkosa. Padahal Jayaperkosa dan adik-adiknya menganggap Geulan Ulun bukan penguasa biasa, sehingga Jayaperkosa menyerahkan perangkat pakain raja Pajajaran, serta menyerahkan 44 Kanda Lante dan 8 Umbul, sehingga Geusan Ulun ditatar Parahyangan dianggap pewaris syah tahta Pajajaran. Kedudukan Jayaperkosa sendiri menurut koropak 630 adalah Mangkubumi, jabatan itulah yang tertinggi namun berada dibawah raja.

Buku tersebut selanjutnya menjelaskan pula, : seandainya perselisihan antara Geusan Ulun itu memang ada, satu-satunya faktor yang beralasan untuk diketengahkan adalah kesediaan Geusan Ulun untuk menerima tawaran kompromi dari Panembahan Ratu melalui pertukaran talak Harisbaya dengan daerah Sindangkasih. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan Jayaperkosa yang ingin menebus kekalahan Pajajaran dari Banten dan Cirebon. Ketika masa Jayaperkosa, Cirebon dianggap paling lemah, karena Banten dan Pajang sedang terjadi permasalahan di internnya. Jayaperkosa menjamin pula segala akibat dari terjadinya kasus Harisbaya, bukan hanya untuk menyenangkan Geusan Ulun melainkan bertujuan membuka kembali “Perang Pakuan”. Dan memang pada waktu Sumedang sudah kuat.

Disisi lain Panembahan Ratu dianggap tokoh penting dalam penaklukan Pajajaran. Jayaperkosa juga beranggapan, bahwa Panembahan ratu akan merasa terhina jika istrinya dibawa orang lain dan kemudian ia menyerang Sumedang. Kalau saja Panembahan Ratu tidak menawarkan kompromi dan Geusan Ulun tidak menerima tawaran tersebut, diniscayakan rencana ini akan berhasil. Namun nampaknya Panembahan Ratu lebih realistis, ia lebih memilih mendapat kompensasi daerah Sindangkasih ketimbang harus memiliki Harisbaya, atau semacam memilih langkah memenangkan langkah politik dari pada masalah harga diri. Kompromi yang diterima Geusan Ulun menyebabkan kemarahan Jayaperkosa. Dan dari sinilah kemudian muncul mitos tentang Jayaperkosa.

Geusan Ulun wafat pada tanggal 7 bagian gelap bulan Kartika tahun 1530 Saka, bertepatan dengan 5 November 1608 M. Ia dimakamkan di Dayeuh Luhur. Sedangkan Jayaperkosa tinggalah Lingga yang ada di dataran tinggi Dayeuh Luhur, saat ini masih nampak menghadap kabuyutan, suatu wilayah Dangiang Sunda, tempat Urang Sunda dimasa lalu mempertahankan harga dirinya.

Terakhir
Adanya perbedaan penulisan kisah dalam babad dan kisah lainnya dimungkinkan berbeda, suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah paradigma dari para penulis dan petuturnya. Sangat tergantung keyakinannya ketika ia menuturkan atau mengisahkan. Sebagai generasi sesudahnya, kita tidak dapat begitu saja mengadili kebenaran dari masing-masing versi, atau menyalahkan paradigma para penulis dimasa lalu dengan paradigma kebenaran barat yang kadung menyeruak menjadi kebenaran kita saat ini.

Penafsiran kisah dan sejarah tersebut tentunya tidak lebih rumit dibandingkan dengan cara menafsirkan cerita pantun yang telah ada sebelum masa Sri Baduga. Cerita pantun tidak instan sebagai mana mencerna cerita komik atau sejarah lain, ia lebh rumit, penuh simbol-simbol yang perlu dimaknai. Padahal dari cerita pantun akan diketahui tentang budaya dari Urang Sunda “baheula”. Mungkin ini pula cara yang perlu digunakan dalam menafsirkan kesejarahan babad melalui pemaknaan dan membaca simbol-simbol budaya Sunda.
Untuk akhirnya, peristiwa Harisbaya dan segala akibatnya diatas mengajarkan pada generasi berikutnya tentang hidup dan pilihan hidup. Bagaimana suatu cita-cita besar dan masa depan dipertaruhkan hanya karena urusan pribadi. Pada akhirnya generasi yang akan datang menjadi tergadaikan. Disisi lain menggambarkan, bagaimana cita-cita dan harapan dipertahankan dan dijalankan, bagaimana pula pamadegan Urang Sunda dalam mempertahankan harga diri dan cita-citanya. Dan memang demikian seharusnya jika ingin bermartabat dan memiliki harga diri.

WEDANA BUPATI

Prabu Geusan Ulun merupakan raja Sumedang Larang pertama yang memiliki keabsyahan sebagai penerus tahta Pajajaran, setelah Jayaperkosa menyerahkan atribut raja Pajajaran dan 44 Kandaga Lante serta 4 umbul, namun ia juga raja terakhir dari Kerajaan Sumedang Larang, karena para penerusnya hanyalah setingkat bupati.

Geusan Ulun wafat pada tanggal 7 bagian gelap bulan Kartika tahun 1530 Saka, bertepatan dengan 5 November 1608 M, Ia dimakamkan di Dayeuh Luhur. Sebagai pengganti Geusan Ulun ditunjuk Pangeran Arya Suriadiwangsa putranya dari Harisbaya. Didalam Babad Pajajaran Pangeran Arya Suriadiwangsa disebut Pangeran Seda (ing) Mataram.

Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri, pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru ; istri kedua Ratu Harisbaya, dan istri ketiga Nyi Mas Pasarean. Namun yang menjadi pertanyaan sampai sekarang, alasan apakah yang mendorong Prabu Geusan Ulun memberikan tahtanya kepada Pangeran Aria Suradiwangsa, padahal ia anak dari istri kedua, bukan kepada Rangga Gede putanya dari istri pertama, sebagai kebiasaan yang dilakukan para raja sebelumnya.

Dugaan pemberian tahta kepada Suriadiwangsa dimungkin karena ada kesepakatan antara Geusan Ulun dengan Harisbaya, sehingga Harisbaya mau dinikahi dan meninggalkan Panembahan Ratu. Hal tersebut diuraikan di dalam buku rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (rpmsJB).

Menurut babad, Harisbaya tergila-gila oleh Geusan Ulun. Demikianlah waktu tengah malam ia meninggalkan suami yang tidur lelap disampingnya lalu masuk kedalam tajug keraton untuk mengajak Geusa Ulun melarikan diri ke Sumedang. Bila benar demikian keadaannya, Geusan Ulun tentu tidak perlu menjanjikan atau memberikan jaminan apa-apa kepada Harisbaya. Ternyata kemudian yang ditunjuk adalah putranya Harisbaya, padahal putra sulungnya adalah Rangga Gede putra Nyi Gedeng Waru istri Geusan Ulun yang pertama. Penunjukan Suryadiwangsa, putra Harisbaya tak mungkin terjadi tanpa pernah ada “jaminan” dari Geusan Ulun kepada putri Pajang berdarah Madura ini. Hal ini merupakan indikasi bahwa bukan hanya Harisbaya yang “tergila-gila” melainkan harus dua-duanya. Jaminan itu pula tentu yang mendorong Harisbaya berbuat nista sebagai istri kedua seorang raja. Di Cirebon tidak mungkin kedudukan “ibu suri” diperolehnya.

Pangeran Aria Suriadiwangsa
Tentang sirsilah dari Suriadiwangsa sampai sekarang masih membuahkan perdebatan, karena ada versi yang menjelaskan, : ketika Harisbaya dipersunting oleh Geusan Ulun, ia telah mengandung, sehingga Suriadiwangsa dianggap sebagai putra Panembahan Ratu, suami pertama Harisbaya.
Hardjasaputra, didalam bukunya tentang : Bupati Priangan, dijelaskan, bahwa : setelah Prabu Geusan Ulun wafat, pemerintahan Sumedang diteruskan oleh anak tirinya, Raden Aria Suriadiwangsa (1608-1624). Namun rpmsJB menjelaskan dengan menguraikan waktu peristiwa, bahwa : “Suriadiwangsa benar-benar putra dari Geusan Ulun. Menurut Babad Pajajaran, masa idah Harisbaya itu 3 bulan 10 hari. Jadi, idah bisa menunjukan bahwa waktu dilarikan, Harisbaya tidak dalam keadaan mengandung.”

Dalam pembahasan rpmsJB sebelumnya menjelaskan pula, bahwa : “menurut Pustaka Kertabhumi I/2 peristiwa pelarian Harisbaya terjadi pada tahun 1507 Saka atau 1585 Masehi, sedangkan pernikahan Geusan Ulun dengan Harisbaya terjadi pada tanggal 2 bagian terang bulan Waisaka tahun 1509 Saka (kira-kira 10 April 1587), jadi ada selisih waktu dua tahun lamanya sejak Harisbaya dilarikan dari Pakungwati ke Sumedang dengan pelaksanaan pernikahannya”. Disisi lain tidak pernah ditemukan adanya kisah yang menjelaskan, bahwa Suriadiwangsa dilahirkan sebelum Harisbaya dinikahi oleh Geusan Ulun. Kiranya memang Suryadiwangsa adalah putra dari Geusan Ulun.

Pada masa pemerintahan Suriadiwangsa ada dua peristiwa yang berpengaruh terhadap sejarah Sumedang, yakni penyerahan Sumedang kepada Mataram pada tahun 1624 M, dan masalah yang terkait dengan penyerangan Mataram ke Madura. Pada tahun yang sama Pengeran Arya Suriadiwangsa wafat, sehingga banyak yang menafsirkan ia dijatuhi Hukuman Mati oleh Sultan Agung (Mataram).

Berserah Ke Mataram
Pada mulanya diwilayah Priangan hanya ada dua daerah yang berdiri sendiri, yakni Sumedang dan Galuh. Sumedang muncul setelah Kerajaan Sunda (Pajajaran) diruntuhkan oleh Banten (1579). Sumedang Larang menggantikan kekuasaan Pajajaran di Parahyangan ketika masa Geusan Ulun, sedangkan Galuh telah lebih dahulu direbut Cirebon dalam peperangan 1528 – 1530 M, kemudian menjadi Kabupaten sendiri yang berada dibawah daulat Cirebon.

Menurut Hardjasaputra : “Pada tahun 1595 Galuh dikuasai oleh Mataram dibawah pemerintahan Sutawijaya (Panembahan Senopati) yang memerintah Mataram pada tahun 1586 – 1601”. Sedangkan Sumedang Larang setelah wafatnya Prabu Geusan Ulun digantikan oleh Raden Aria Suriadiwangsa.
Penyerahan Sumedang Larang kepada Mataram tentunya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan politik negara disekitar Sumedang Larang, seperti Mataram dan para penguasa di sekitar Jawa Barat (Banten, Cirebon) dan Kompeni Belanda yang selalu berupaya menguasai Nusantara.

Kekuasaan Sumedang Larang pada waktu sebelumnya, yakni pada masa Prabu Geusan Ulun, dianggap berhak meneruskan Pajajaran. Hal ini dibuktikan pada saa diistrenan Geusan Ulun menggunakan atribut raja-raja Pajajaran, ia pun diserahi 44 Kandaga Lante dan 8 Umbul, namun suatu yang tidak dapat disangkal lagi jika ia pun merupakan penguasa Sumedang Larang terakhir yang merdeka, terlepas dari negara lain, karena pasca wafatnya Prabu Geusan Ulun maka Sumedang Larang menjadi suatu daerah setingkat kabupaten yang berada dibawah daulat Mataram.

Pada masa pemerintahan Suriadiwangsa kekuasaan Mataram telah dipegang oleh Sultan Agung (1613-1645 M), Mataram (islam) mengalami masa kejayaannya dan menjadi negara yang kuat. Pada masa inilah Sumedang diserahkan kepada Mataram (1620 M).

Banyak kisah yang menjelaskan tentang alasan Pangeran Aria Suriadiwangsa menyerahkan Sumedang menjadi dibawah daulat Mataram. Paling tidak ada yang menarik dari versi yang bersebarangan ini tentang akibatnya dari pernikahan Harisbaya dengan Geusan Ulun, terutama kaitannya dengan posisi Pangeran Aria Suriadiwangsa, sebagai putra tiri atau anak kandung “pituin” Geusan Ulun.

Hardjasaputra (hal.21) menjelaskan, bahwa : “Ada dua faktor yang mendorong Pangeran Aria Suriadiwangsa bersikap demikian. Pertama, ia merasa bahwa Sumedang Larang terjepit diantara tiga kekuatan, yaitu Mataram, Banten, dan Kompeni (Belanda) di Batavia. Oleh karena itu, ia harus menentukan sikap tegas bila tidak ingin menjadi bulan-bulanan dari ketiga kekuatan tersebut. Kedua, ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan penguasa Mataram dari pihak ibu Harisbaya (menurut Widjajakusumah dan R. Moh. Saleh, Ratu Harisbaya adalah saudara Panembahan Senopati, raja Mataram tahun 1586-1601/pen).
Alasan Hardjasaputra diatas yang tidak memperhitungkan adanya kekhawatiran Sumedang Larang terhadap Cirebon, mengingat ia berpendapat bahwa Pangeran Aria Suradiwangsa adalah bukan putra Geusan Ulun, melainkan putra Harisbaya dari Panembahan Ratu Cirebon, sehingga tidak mungkin Cirebon menyerang Sumedang.

Hal tersebut berlainan dengan pendapat para penulis rpmsJB yang meyakini Pangeran Arya Suriadiwangsa adalah asli anak Harisbaya dari Geusan Ulun. Penafsiran rpmsJB ini berakibat pula ketika memberikan alasan tentang penyerahan Sumedang kepada Mataram. Menurutnya : “Suriadiwangsa menyerah tanpa perang kepada Mataram. Hal ini merupakan bukti bahwa Sumedang sebenarnya lemah dalam kemiliteran. Salah satu penyebabnya ia kebiasaan rajanya mendirikan ibukota yang baru bagi dirinya. Pemerintahnya tak pernah mapan karena tiap ganti raja pusat kegiatannya selalu berpindah. Faktor lainnya yang mendorong Sumedang menyerah “secara sukarela” (prayangan) adalah menghindari kemungkinan adanya serangan dari Cirebon”.

Kekhawatiran terhadap serangan Cirebon tentunya sebagai akibat, pertama, peristiwa Harisbaya menyebabkan perseteruan Cirebon (Panembahan Ratu) dengan Sumedang (Geusan Ulun). Kedua, kekhawatiran Suriadiwangsa terhadap Mataram akan membantu Cirebon karena ada kekerabatan Mataram dengan Cirebon, Permaisuri Sultan Agung adalah Putri Ratu Ayu Sakluh kakak Panembahan Ratu, maka dengan berlindung dibawah Mataram diniscayakan Cirebon tidak akan menyerang Sumedang.
Penyerahan Sumedang kepada Mataram tentunya disambut baik oleh Sultan Agung. Dari persitiwa ini maka seluruh wilayah Priangan ditambah Karawang praktis menjadi bawahan Mataram. Dan Sultan Agung memproklamirkan ini kepada Kompeni. Dengan demikian di Jawa barat hanya Banten dan Cirebon yang masih dianggap memiliki kedaulatan.

Tentang status penguasa Sumedang pasca penyerahan kekuasaan kepada Mataram dijelaskan, sebagai berikut : “ untuk mengawasi wilayah Priangan dan mengkoordinasikan para kepala daerahnya, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suriadiwangsa menjadi Bupati Priangan (1620-1624 M) sekaligus bupati Sumedang, dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, yang terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I. Sejak itulah di Priangan terdapat jabatan atau pangkat bupati, dalam arti kepala daerah, dengan status sebagai pegawai tinggi dari suatu kekuasaan”. (Hardjasaputra, hal 22).

VASSAL  MATARAM

Hukuman Mati
Penyerahan Sumedang menjadi bawahan Mataram tentunya bertujuan agar Sumedang dapat dilindungi oleh Mataram dari gangguang luar. Konsekwensi logis dari penyerahan ini adalah harus tunduknya para penguasa Sumedang terhadap titah Mataram. Dilain sisi, Sultan Agung memilki strong leadership, jika suatu misi yang diperintahkannya tidak berhasil maka ia tak segan-segan untuk memberikan punishment (hukuman).
Dari kisah Sumedang paling tidak ada dua orang Wedana Bupati yang dikenakan punishment hukuman mati oleh Sultan Agung, yakni Pangeran Aria Suriadiwangsa atau Rangga Gempol I (jika memang benar ia dihukum mati) dan Dipati Ukur.

Rangga Gempol I
Pada tahun 1624 Rangga Gempol I diperintahkan oleh Sultan Agung untuk menaklukan Madura, namun setelah Madura ditaklukan Mataram, pada tahun yang sama Rangga Gempol I wafat di Mataram.
Peristiwa tersebut menimbulkan beberapa spekulasi. Ada yang menyatakan kematian Rangga Gempol I di Mataram akibat dihukum mati oleh Sultan Agung, sementara pendapat lain menyatakan bahwa misi yang ditugaskan kepada Rangga Gempol I dianggap berhasil, karena sekalipun terjadi peperangan dan pasukan Madura sangat gigih bertahan, namun Madura dapat ditaklukan Mataram.

Dari salah satu sumber Sumedang menjelaskan, bahwa : “Pada tahun 1624 Rangga Gempol diminta Sultan Agung untuk membantu menaklukan Sampang Madura. Jabatan Bupati di Sumedang sementara dipegang oleh Rangga Gede.

Penaklukan Sampang oleh Rangga Gempol tidak melalui peperangan tetapi melalui jalan kekeluargaan karena Bupati Sampang masih berkerabat dengan Rangga Gempol dari garis keturunan ibu, Harisbaya, sehingga Bupati Madura menyatakan taat kepada Pangeran Rangga Gempol. Atas keberhasilnya Rangga Gempol tidak diperkenankan kembali ke Sumedang oleh Sultan Agung, sampai sekarang ada kampung bernama Kasumedangan yang dahulunya merupakan tempat menetap para bekas prajurit Rangga Gempol dari Sumedang. Pangeran Rangga Gempol wafat di Mataram dimakamkan di Lempuyanganwangi”.
Didalam catatan sejarah lain, menjelaskan, bahwa : Di Madura terdapat lima kerajaan, yakni Arosbaya, Sampang, Balega, Pamekasan dan Sumenep. Kelimanya bersatu untuk menghadapi serbuat Mataram, ketika itu pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Sujonopuro. Pasukan Madura berhasil menahan laju serangan Mataram, bahkan Tumenggung Sujonopuro tewas pada serangan malam hari yang dilakukan pasukan Balega. Pada serangan kedua akhirnya pasukan Madura dapat dikalahkan.

Dalam peristiwa tersebut memang Rangga Gempol berhasil membujuk bupati Sampang untuk menyerah secara damai, namun ia tidak berhasil membujuk bupati lainnya, sehingga terjadi perang hebat. Peristiwa ini dimungkinkan ditafsirkan sebagai kegagalan Rangga Gempol I menjalankan misinya, ia dijatuhi hukuman mati. Karena memang Sultan Agung selalu menghukum para bawahannya yang gagal melaksanakan tugas.
Pendapat yang berbeda, seperti yang dimuat didalam rpmsJB, menyatakan, bahwa : pada tahun yang sama ia dihukum mati di Mataram, bukan karena tidak berhasil menjalankan misinya, namun menurut rpmsJB yang menyimpulkan dari Rutjatan Sadjarah Sumedang memaparkan, bahwa: keberhasilan Rangga Gempol tersebut menjadikan ia sombong dan sesumbar, tanpa Sultan Agung pun ia mampu menaklukan Madura. Ucapannya terdengar oleh Sultan Agung, alasan inilah yang menyebabkan ia dihukum pancung.

Pada saat Rangga Gempol I menjalankan misinya ke Madura, jabatan Wedana Bupati Priangan dikuasakan kepada Rangga Gede, adiknya. Pangeran Dipati Rangga Gempol I meninggalkan 5 putera – putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden Soeriadiwangsa II yang menuntut haknya sebagai putra mahkota. Akan tetapi Rangga Gede menolaknya sehingga Raden Soeriadiwangsa II meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Rangga Gede. Dalam suatu serangan, Rangga Gede tidak mampu menahan laju serangan Banten dan melarikan diri ke Mataram, sehingga ia diberikan sanksi politis dan ditahan di Mataram.

Kisah ini agar berbeda dengan versi lainnya. Menurut sumber Sumedang dijelaskan, bahwa serangan Banten ke Sumedang untuk memenuhi permintaan Raden Suriadiwangsa terjadi pada masa Pangeran Panembahan (1656 – 1706). Namun dalam catatan sejarah manapun, bahwa pada peristiwa ini memang Rangga Gede tidak sanggup menahan pemberontakan Suradiwangsa II, iapun melarikan diri ke Mataram. Sedangkan jabatan Wedana Bupati oleh Sultan Agung diserahkan kepada Dipati Ukur.

Dipati Ukur
Kegagalan Rangga Gede mengakibatkan Sultan Agung menyerahkan jabatan Wedana Bupati Priangan kepada Wangsanata yang dikenal dengan sebutan Dipati Ukur, penguasa tanah Ukur yang berpusat di Bandung Selatan (Krapyak). Ketika itu kekuasaan Dipati Ukur membawahi wilayah Sukapura, Sumedang, Bandung, Limbangan, sebagian daerah Cianjur, Karawang, Pamanukan dan Ciasem. Dipati ukur berasal daerah Purbalingga (Banyumas), ia menikah dengan Nyi Gedeng Ukur, putri Umbul Ukur. Kedudukannya sebagai Dipati Ukur karena menggantikan jabatan mertuanya.

Sultan Agung pada tahun 1628 memerintahkan Dipati Ukur untuk menyerang benteng Batavia, namun Dipati Ukur mengalami kegagalan dan ia tidak melaporkan ke Mataram, akibatnya ia di cap melakukan pemberontakan.

Tentang kisah Dipati Ukur, Soeria di Radja (1927) menemukan delapan versi, tentunya ada persamaan dan ada perbedaannya. Versi-versi tersebut, seperti dari Sumedang, Bandung Sukapura, Galuh, Banten, Talaga, Mataram dan Batavia (Hardjasaputra, 23). Mungkin jika saat ini diinventaris akan lebih banyak lagi, baik yang bersumber dari hasil penelitian sejarah maupun dari kepustakaan.

Versi sejarah resmi di terbitkan pada tahun 1990 an, diperuntukan bagi konsumsi anak-anak pelajar SMP Kelas 3 di Jawa Barat, diterbitkan Geger Sunten – 1990. Buku tersebut menjelaskan sebab musabab Dipati Ukur melakukan pemberontakan, sangat jarang diuraikan didalam sejarah dan catatan lainnya, kecuali kegagalan Dipati Ukur melakukan serangan kebenteng Batavia yang menyebabkan pembangkangan serta penangkapannya yang dilakukan oleh para umbul Priangan.

Didalam buku sejarah tersebut (hal 78) intinya menjelaskan, bahwa : Sultan Agung melihat adanya kekuatan Kumpeni Belanda di Batavia yang berhasil menyaingi Banten, ia mengajak Kumpeni untuk menaklukan Banten dan ditolak Kumpeni. Sultan Agung kemudian meminta kepada Kumpeni agar diakui sebagai pertuanan atas wilayah Jayakarta, ditolak Kumpeni. Pada tahun 1624 M ia pun meminta kepada Kumpeni untuk bersama-sama menaklukan Surabaya, juga ditolak Kumpeni, kemudian mendorongnya untuk menyerah Batavia dan mengusir Kumpeni dari daerah perbentengan di Batavia. (Hal. 78).

Pada tahun tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Dalam catatan sejarah pada umumnya hanya disebutkan, bahwa Dipati Ukur gagal menunaikan tugasnya dan ia melakukan pembangkangan karena takut dihukum. Jarang diuraikan penyebab kegagalannya sebagai akibat komunikasi antara Dipati Ukur dengan Tumenggung Bahureksa.
Gelombang serangan pertama Mataram dilakukan melalui laut, dipimpin Tumenggung Bahureksa, selain itu Sultan Agung memerintahkan pasukan Priangan untuk membantu serangan melalui darat yang dipimpin oleh Dipati Ukur. Kedua pasukan tersebut ditentukan untuk bertemu di Karawang. Ternyata pasukan Priangan lebih dahulu tiba di Karawang.

Setelah ditunggu satu minggu pasukan Bahureksa belum juga tiba, pada akhirnya Dipati Ukur berinisiatif menyerah Batavia tanpa bantuan pasukan Bahureksa. Pasukan Dipati Ukur berhasil dipukul mundur, karena tidak cukup kuat untuk menyerang benteng Batavia yang sangat kokoh. Selang beberapa saat pasukan Bahureksa tiba di Karawang, namun ia tidak menjumpai pasukan Dipati Ukur. Dengan sangat marah ia pun menyerang benteng Batavia, ia pun berhasil di pukul mundur dan kembali ke Mataram.

Sultan Agung sangat marah atas kegagalan ini, ia memerintahkan pasukan Mataram untuk memanggil Dipati Ukur. Sayangnya pasukan Mataram tidak menemukan Dipati Ukur di krapyak, karena saat itu Dipati Ukur masih memusatkan kekuatannya diperbatasan Jayakarta untuk menyerang benteng Batavia kembali. Namun ia mendapat laporan dari salah satu wanita penduduk Tatar Ukur yang berhasil meloloskan diri, bahwa : pasukan Mataram di tatar ukur melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh dan mengganggu kehormatan wanita-wanita. Kondisi inilah yang memicu pemberontakan Dipati Ukur. Berkat bantuan tiga orang umbul Priangan, yakni : Kiwirawangsa Umbul Sukakerta ; Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti ; Ki Somahita Umbul Sindangkasih, pihak Mataram dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur pada tahun 1632.

Hal yang patut diketahui, bahwa : dengan dikuasainya wilayah Priangan oleh Mataram, maka kedudukan penguasa daerah di wilayah itu menjadi turun derajatnya, dari bupati dalam arti raja yang berdaulat penuh atas daerah dan rakyatnya, menjadi bupati vassal dalam arti pejabat tinggi yang wajib mengabdi kepada raja Mataram.

Kisah penangkapan Dipati Ukur yang selama ini kita dilakukan oleh tiga umbul Priangan, namun Naskah Leiden Oriental menjelaskan Dipati Ukur ditangkap oleh Bagus Sutapura (Adipati Kawasen) untuk kemudian dibawa ke Galuh. Naskah tersebut ditulis oleh Sukamandara yang pernah menjadi Jaksa di Galuh. Peristiwa penangkapannya menurut Prof. DR. Emuch Herman Somantri terjadi pada hari Senin tanggal 1 bulan Jumadil Awal 1034 H sekitar pertengahan tahun 1632.

Kisah penangkapan Dipati Ukur oleh Bagus Sutapura diuraikan didalam Sejarah Galuh, disusun oleh Raden Padma Kusumah. Naskah ini disusun berdasarkan naskah yang dimiliki oleh Bupati Galuh R.A.A Kusumah Diningrat 1836-1886 M, bupati Galuh R.T Wiradikusumah 1815 M dan R.A Sukamandara 1819 M. Naskah tersebut antara lain menjelaskan, sebagai berikut :
255 : Heunteu kocap dijalanna – Di dayeuh Ukur geus Neupi – Ki Tumenggung narapaksa – Geus natakeun baris – Gunung Lembung geus dikepung – Durder pada ngabedilan – Jalan ka gunung ngan hiji -Geus diangseug eta ku gagaman perang.
256 : Dipati Ukur sadia – Batuna digulang galing – Mayak – Gagaman di lebak – Rea anu bijil peujit – sawareh nutingkulisik – Pirang-pirang anu deungkeut – kitu bae petana – Batuna sok pulang panting – Ki Tumenggung Narapaksa rerembugan
257 : Urang mundur ka Sumedang – Didinya Urang Badami – Nareangan anu bisa – Nyekel raheden Dipati – Bupati pada mikir – Emut ku Dhipati galuh – Ka Ki bagus Sutapura – Waktu eta jalma bangkit – Seg disaur ana datang diperiksa
258 : Kyai bagus Sutapura – Ayeuna kawula meureudih – Dipati Ukur sing beunang – Ditimbalan dijeng gusti – Nanging kudu ati-ati – Perkakasna eta batu – Gedena kabina-bina – Dikira sagede leuit – Dingaranan Batu Simunding lalampah.
259 : Kyai bagus Sutapura – Perkakasna ngan pedang jeung keris – Datang kana pipir gunung – Tuluy gancangan nanjak – Geus datang kana tengah-tengah gunung – Batu Ngadurungdung datang – Dibunuh geus burak-barik.
260 : Nu sabeulah seug dicandak – Dibalangkeun nyangsang dina luhur kai – Nu matak ayeuna masyhur – Ngarana batu layang – Kocap deui Kyai bagus Sutapura ngamuk – Balad Ukur enggeus ruksak – Ukur ditangkap sakali.
276 : Hariring katu nimbalang – Eta maneh bener Kyai Dipati – Eh ayeuna Tumenggung – Tumenggung Narapaksa – Karep kamenta Ngabehi anu tilu – Ayeuna angkat Bupati
279 : Kyai bagus Sutapura – ayeuna ngarana kudu diganti – Bari diangkat Tumenggung – Tumenggung Sutanangga – Jeung bere cacah 7000 – Ayeuna Geus tetep linggih

Terakhir
Terhadap perbedaan versi ini sangat mungkin terjadi dan dapat menambah pengayaan pengetahuan masyarakat, khususnya di tatar sunda agar mengetahui kebenaran sejarahnya. Suatu hal yang perlu dicermati dari masing-masing versi tentang paradigma para penulis terhadap Dipati Ukur, apakah diakui sebagai pahlawan atau pembuat onar. Jika saja pembuat onar, maka keonaran tersebut harus dibaca sebagai pemberontakan orang tanah ukur – Priangan terhadap para tuan yang menguasai Priangan saat itu. Paling tidak, ada kenyamanan penguasa dan sekeselernya yang terganggu oleh Dipati Ukur, sehingga dikonotasikan negatif.

Pada akhirnya saya hanya bisa mencuplik salah satu “Tawis Katineung Ti Panglawungan Tembang Sunda Pamager Asih Bandung” (Renjagan), tentang proses dan makna penggalian sejarah, sebagai berikut :
Renjagan diri para aji
Ngarenjag para pujangga
Bejana pabeja-beja
Beja dibejakeun deui
Silih gitik ku pangarti
Lali kadiri pribadi.

PEMBAGIAN AJEG

Pemberontakan Dipati Ukur berlangsung dari 1628-1632 M. Hal tersebut menggambarkan, betapa sulitnya Mataram melakukan pengawasan terhadap Priangan yang memang jauh letaknya dari pusat kekuasaan. Berdasarkan latar belakang ini konon kabar Sultan Agung berupaya untuk menjaga stabilitas diwilayah Priangan dan Karawang dengan cara melakukan reorganisasi terhadap daerah-daerah tersebut.
Pembagaian wilayah tersebut menurut Hardjasaputra (hal 23) menjadi sebagai berikut : Pertama, Daerah Karawang, lumbung padi dan garis depan pertahanan Mataram bagian barat, dijadikan kabupaten, dengan statusnya tetap berada dibawah kekuasaan Wedana Bupati Priangan.

Kedua, pada tanggal 9 tahun Alip (menurut Hole : 20 April 1641) Wedana Bupati Priangan Tengah dibagi menjadi empat Kabupaten. Kabupaten Sumedang diperintah oleh Pangeran Dipati Kusumadinata (Rangga Gempol II), merangkan sebagai Wedana Bupati Priangan. Ketiga, daerah Priangan diluar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Sukapura, Bandung dan Parakanmuncang. Untuk memerintah tiga kabupaten tersebut, Sultan Agung mengangkat tiga orang kepala daerah yang dianggap berjasa memadamkan pemberontakan Dipati Ukur, yakni : Ki Wirawangsa Umbul Surakerta menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha ; Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti menjadi Bupati Bandung, dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun ; dan Ki Somahita Umbul Sindangkasih menjadi Bupati Parakanmuncang, dengan gelar Tumenggung Tanubaya. Pengangkatan tersebut sebagaimana ditulis dalam suatu Piagem.

Ketiga, Daerah Priangan Timur, yakni Galuh dipecah menjadi empat daerah, yaitu Utama, Bojonglopang (Kertabumi), Imbanagara, dan Kawasen.
Berdasarkan kisah dari sumber lainnya, : Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara diperintah oleh Adipati Jayanagara, Bojonglopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen diperintah oleh Bagus Sutapura. Konon kabar Bagus Sutapura pada tahun 1634 diberikan jabatan Bupati di Kawasen karena ia dianggap berjasa menaklukan Dipati Ukur. Sementara Dipati Imbanagara yang dicurigai berpihak kepada Dipati Ukur, pada tahun 1636 dijatuhi hukuman mati.

Pasca Sultan Agung
Sultan Agung wafat pada pada tahun 1645 M, ia digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat I atau Sunan Tegalwangi (1645 – 1677).

Kebijakan Sunan Amangkurat I terhadap daerah bawahannya pada umumnya sama dengan yang dilakukan Sultan Agung, terutama dalam hal melakukan reorganisasi kabupaten. Wilayah Mataram di bagian barat pada tahun 1656 – 1657 dibagi menjadi 12 Ajeg (setingkat Kabupaten), sembilan ajeg saat ini berada diwilayah Jawa Barat dan tiga ajeg saat ini termasuk wilayah Jawa Tengah.

Alasan Sunan Amangkurat I membagi daerah tersebut dikarenakan pasca pemberontakan Dipati Ukur di Priangan, khususnya di Priangan Tengah masih kacau. Disamping itu ada kekhawatiran terhadap kedudukan Kompeni Belanda di Batavia semakin kuat dan Banten sedang melebarkan kekuasaanya kewilayah timur. 
Oleh karena itu ia pun beranggapan untuk memperkuat Priangan Barat.

Sembilan ajeg yang berada diwilayah Jawa Barat tersebut, yakni :
(1) Sumedang didperintah oleh Pangeran Rangga Gempol III.
(2) Parakanmuncang diperintah oleh Tumenggung Tanubaya.
(3) Bandung diperintah oleh Tumenggung Wiraangunangun.
(4) Sukapura diperintah oleh Wiradadaha.
(5) Karawang diperintah oleh Tumenggung Panatayuda.
(6) Imbanagara diperintah oleh Ngabehi Ngastanagara.
(7) Kawasen diperintah oleh Mas Managara.
(8) Galuh oleh Wirabaja.
(9) Sekace.

Khusus Sakace terdapat perbedaan versi antara Babad Cirebon dan Babad Pasundan, karena babad Cirebon tidak mengenal daerah Sekace melainkan Sindangkasih, sama dengan yang dijelaskan para penulis dalam rpmsJB.
Reorganisasi ini juga menghapuskan jabatan wedana bupati di Priangan, terakhir dijabat oleh Pengeran Rangga Gempol III atau dikenal pula dengan sebutan Pangeran Panembahan, bupati Sumedang pada periode 1656 – 1706.

Reorganisasi daerah Priangan mengakibatkan jabatan bupati Sumedang, yang semulai bergelar “Pangeran” menjadi sederajat dengan bupati lainnya di Priangan, sama-sama bergelar ministeriales – perantara raja Mataram dengan rakyat Priangan, menurut Natanegara (1936) : “menyebabkan ketidak senangan Rangga Gempol III”. Ia ingin terus menjadi Wedana Bupati Priangan, sehingga memaksa Bupati Bandung, Sukapura, dan Parakanmuncang untuk tetap tunduk kepadanya. Akibatnya timbul konflik antara Rangga Gempol III dengan ketiga Bupati tersebut” (Hardjasaputra, hal 24).

MENGEMBALIKAN KEJAYAAN

Sultan Agung wafat pada tahun 1645, ia digantikan oleh Susuhunan Amangkurat I (1645 – 1677), putranya. Pasca wafatnya Sultan Agung kekuasaan Mataram berangsur-angsur turun dan menjadi lemah. Demikian pula pengaruhnya terhadap daerah-daerah kekuasaan lainnya yang semula dikuasai Mataram.
Mataram menjadi sangat lemah karena perselisihan diantara para pewaris tahta Amangkurat I yang tidak berkesudahan. Disamping itu, kerap terjadi serangan dari luar, seperti dari pasukan Makasar dan Madura. Amangkurat II didalam cara menyelesaikan masalah tersebut banyak meminta bantuan VOC. Bantuan yang diberikan tidak Cuma-Cuma, karena harus dibayar dengan beberapa wilayah yang dikuasainya.

Priangan khususnya dan sebagian Jawa Barat (yang berada diluar Banten dan Cirebon), menjadi wilayah Mataram akibat diserahkan tanpa syarat oleh Pangeran Aria Suriadiwangsa, mengalami nasib yang tidak kalah menyedihkan, daerah ini terpaksa harus diserahkan kepada VOC, sebagai bentuk kompensasi dari Mataram kepada VOC.
Pada mulanya wilayah Priangan Tengah dan Barat diserahkan kepada VOC sebagai daerah pinjaman, namun dalam proses selanjutnya Mataram semakin melemah dan dirundung permasalahan, dan terus menerus meminta bantuan VOC.

Priangan diserahkan melalui dua tahap, yakni pada tahun 1677 dan 1705. Tahap pertama dilakukan pada perjanjian 19-20 Oktober 1677, diserahkan wilayah Priangan Tengah dan Barat. Pada tahap kedua pada perjanjian 5 Oktober 1705, Mataram menyerahkan wilayah Priangan Timur dan Cirebon. Mataram sendiri secara total menjadi kekuasaan VOC pada tahun 1757. (Hardjasaputra, hal 31).

Tentang proses waktu tersebut, sumber Sumedang mengisahkan adanya eksistensi Pangeran Rangga Gempol III yang berupaya mengembalikan kejayaan Sumedang, sebagaimana pada masa Sumedanglarang ketika masih dikuasai Prabu Geusan Ulun. Kisah ini disitir didalam rpmsJB, : Rangga Gempol III pernah mengirimkan surat kepada Gubernur Willem Van Outhoorn pada hari Senin tanggal 2 Rabiul’awal tahun Je (4 Desember 1690) yang dicatat didalam buku harian VOC di Batavia pada tanggal 31 Januari 1691. Isi surat tersebut menuntut kepada VOC agar wilayah kekuasaannya dipulihkan sebagaimana wilayah yang dikuasai Geusan Ulun, leluhurnya (rpmsJB, hal 57).

Pangeran Rangga Gempol III (1656 – 1706) dikenal sebagai bupati yang cerdas dan pemberani. Ketika diangkat menjadi penguasa Sumedang bergelar Kusumahdinata VI, kemudian menyandang gelar Pangeran Panembahan. Suatu gelar yang diberikan Amangkurat I Mataram atas bakti dan kesetiaannya kepada Mataram.

Kekuasaan Rangga Gempol III di anggap wilayah Mataram yang paling besar di Priangan. Namun sejarah mencatat, bahwa Pangeran Gempol III adalah bupati Sumedang yang merangkap Wedana Bupati Priangan terakhir, untuk kemudian status para bupati Sumedang dianggap sederajat dengan bupati lainnya.
Sebagaimana dijelaskan diatas, pasca wafatnya Sultan Agung mengakibatkan Mataram menjadi lemah, hal tersebut akibat banyak gangguan stabilitas dari dalam dan luar keraton. Untuk mengatasi permasalahannya Mataram kerap meminta bantuan VOC. Bantuan tersebut tidak diberikan secara cuma-cuma, melainkan harus dibayar dalam bentuk penyerahan wilayah kekuasaannya kepada VOC.

Dalam rangka memenuhi kewajiban terhadap VOC, konon pada tahun 1652 Mataram mengadakan perjanjian lisan dengan VOC untuk memberikan hak pakai secara penuh atas daerah sebelah barat Sungai Citarum. Wilayah tersebut berada diluar wilayah Sumedang. Ketika itu Sumedang berada dibawah pemerintahan Raden Bagus Weruh alias Rangga Gempol II.

Penghapusan Wedana Bupati
Menurut Hardjasaputra, kira-kira tahun 1657 Amangkurat I membagi daerah priangan, dikarenakan pasca pemberontakan Dipati Ukur di Priangan, khususnya di Priangan Tengah masih kacau. Disamping itu ada kekhawatiran terhadap kedudukan VOC di Batavia semakin kuat dan Banten sedang melebarkan kekuasaanya kewilayah timur. Oleh karena itu ia pun memperkuat Priangan Barat.

Reorganisasi tersebut dilakukan pada masa Rangga Gempol III menjabat “Wedana Bupati Priangan” dan sekaligus merangkap sebagai penguasa Sumedang (1656 – 1706). Para bupati Sumedang sebelumnya bergelar “Pangeran”, dengan adanya reorganisasi maka Rangga Gempol menjadi sederajat dengan bupati lainnya yang ada di Priangan, sama-sama bergelar ministeriales – perantara raja Mataram dengan rakyat Priangan.

Masalah ini dianggap merugikan Rangga Gempol III, menurut Natanegara (1936) : “menyebabkan ketidak senangan Rangga Gempol III”. Ia ingin terus menjadi Wedana Bupati Priangan, sehingga memaksa Bupati Bandung, Sukapura, dan Parakan muncang untuk tetap tunduk kepadanya. Akibatnya timbul konflik antara Rangga Gempol III dengan ketiga Bupati tersebut” (Hardjasaputra, hal 24) 

Tentang masalah konflik tersebut, mungkin ada hubungannya dengan sumber Sumedang yang menghubungkan alasan Rangga Gempol III merebut kabupatian lain yang dibentuk Mataram pada masa Rangga Gempol II, seperti Bandung, Parakan Muncang dan Sukapura. Hal tersebut dikisahkan terjadi pasca Rangga Gempol menguasai pantai utara.

Akibat perjanjian Mataram
Sumber Sumedang menjelaskan adanya perjanjian lisan antara Mataram dengan VOC pada tahun 1652, mungkin yang dimaksud adalah perjanjian pinjam pakai atas tanah, namun VOC merasa tidak puas dengan perjanjian tersebut. Pada tahun 1677 dilakukan perjanjian secara tertulis. Konon dari pihak Sumedang dihadiri oleh Rangga Gempol III. Salah satu butir perjanjian menyebutkan batas sebelah barat antara Cisadane dan Cipunagara harus diserahkan mutlak oleh Mataram kepada VOC, kemudian dari hulu Cipunagara ditarik garis tegak lurus sampai pantai selatan dan laut Hindia. Permintaan tersebut oleh Amangkurat I ditolak, dengan alasan daerah antara Citarum dan Cipunagara termasuk kekuasaan kabupatian Sumedang dan bukan daerah kekuasaan Mataram. Daerah antara Citarum dan Cipunagara termasuk wilayah Sumedanglarang ketika masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun.

Penolakan Mataram diterima dengan baik oleh VOC, sedangkan butir perjanjian lain disetujui oleh Mataram. Dengan demikian VOC menyetujui perjanjian tersebut, namun VOC meminta agar daerah yang dikuasainya sebagai hak pakai yang diberikan Mataram pada tahun 1652 menjadi milik VOC.
Ada kisah dari versi lain yang berasal dari penelitian, bahwa : “Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 19 – 20 Oktober 1677 tersebut menyebabkan Priangan Barat dan Priangan Tengah jatuh ketangan VOC”. (Hardjasaputra, Hal 31).

Memang Hardjasaputra (2004) tidak menjelaskan ada upaya dari Rangga Gempol III untuk mengembalikan wilayah Sumedang sebagaimana pada masa Prabu Geusan Ulun, bahkan didalam tulisannya tidak ditemukan adanya perjanjian lisan yang dibuat pada tahun 1652. Namun sumber Sumedang menyatakan, bahwa : Keinginan Rangga Gempol untuk mengembalikan wilayah kerajaan Sumedanglarang tentunya sangat sulit dilaksanakan, wilayah tersebut sudah dikuasai oleh Banten, Cirebon, Mataram dan VOC. Oleh karena itu Rangga Gempol III baru dapat memperluas wilayahnya ke pantai utara, seperti Ciasem, Pamanukan dan Indramayu yang masih termasuk kekuasaan Mataram.

Sumedang pada masa sebelumnya sangat tergantung kepada Mataram dan tidak memiliki pasukan yang kuat. Untuk memperkuat posisi Sumedang di pantai utara, maka Rangga Gempol III meminta bantuan Banten. Kebetulan saat itu Banten masih konflik dengan Mataram disebabkan Mataram sangat dekat dengan VOC. Banten menyambut baik permintaan ini, dan meminta Sumedang bergabung dengan Banten untuk menyerang VOC dan Mataram.

Permintaan Banten demikian mengurungkan niat Pangeran Panembahan untuk menerima bantuan Banten, mengingat ada kekhawatiran terjadi kembali peristiwa Raden Suriadiwangsa II (lihat : Bab pembagian Ajeg), ia pun memperhitungkan pasukan VOC yang sangat kuat dan tidak mungkin pada masa itu dapat dikalahkan.

Pembatalan rencana permintaan bantuan Banten menimbulkan pula kekhawatirannya akan serangan Banten dikemudian hari. Untuk alasan ini Rangga Gempol III mengirim surat kepada VOC, isinya memohon bantuan untuk menutup muara sungai Cipamanukan dan pantai utara agar dapat mencegah pasukan Banten, sedangkan penjagaan di darat ditangani oleh langsung oleh Sumedang. Surat tersebut dikirimkan pada tanggal 25 Oktober 1677. Sebagai imbalan, Rangga Gempol memberikan daerah antara Batavia dan Indramayu.

Jika dilihat dari wilayah yang dihadiahkan kepada VOC, sebenarnya Sumedang tidak merasa kehilangan, mengingat daerah tersebut sudah diberikan oleh Mataram kepada VOC berdasarkan perjanjian tahun 1677. Disisi lain, perjanjian Mataram dengan VOC pada 25 Februari dan 20 Oktober 1677 memberikan keuntungan langsung bagi Sumedang, karena dengan dikuasainya daerah tersebut oleh VOC maka secara otomatis VOC akan menempatkan pasukannya untuk menjaga wilayah tersebut dan dapat menghambat pasukan Banten untuk menyerang Sumedang. Konon masalah ini tidak disadari VOC pada waktu itu, bahkan menganggap Sumedang sebagai kerajaan yang berdaulat.

Untuk memperkuat posisinya diluar wilayah Sumedang, Rangga Gempol III juga mengadakan hubungan dengan penguasa Batulajang (bagian selatan Cianjur), yakni Rangga Gajah Palembang, cucu (mungkin juga putra) Dipati Ukur.

Langkah Rangga Gempol III selanjutnya, ia menyerang wilayah pantai utara, seperti daerah Ciasem, Pamanukan dan Ciparagi. Daerah tersebut sangat mudah dikuasai, bahkan di Ciparigi ditempatkan pasukan Sumedang untuk mempersiapkan menyerang Karawang. Langkah selanjutnya perluasan wilayah diarahkan ke Indramayu, namun Indramayu segera mengakui Rangga Gempol III sebagai penguasa Indramayu. Dari bertambahnya daerah kekuasaan Sumedang maka secara praktis daerah pantai utara Jawa, kecuali antara Batavia dan Indramayu menjadi bawahan Sumedang.

Serangan Banten
Kekhawatiran Rangga Gempol III terhadap Banten terbukti ketika ia sibuk menaklukan pantai utara, sementara Sultan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang.
Pada tahun 10 Maret 1678 pasukan Banten bergerak untuk menyerang Sumedang melalui Muaraberes, memutar jalur perjalanan dari Tangerang ke Patimun Tanjungpura, sehingga berhasil lolos dari penjagaan VOC.

Perjalanan tersebut tiba di Sumedang pada bulan Oktober, namun pasukan Banten tidak dapat menguasai Ibukota Sumedang karena kokohnya pertahanan Rangga Gempol III. Dari pertempuran yang memakan waktu kurang lebih satu bulan, pasukan Banten kehilangan senapatinya yang tangguh, yakni Raden Senapati.
Kegagalan Banten pada serangan pertama disebabkan huru hara di intern Kesultanan Banten, mengingat adanya pertikaian antara Sultan Agung Tirtayasa yang memerlukan pasukannya untuk menghadap putranya, yakni Sultan Haji yang dibantu Belanda, sehingga pasukan Banten ditarik mundur dari Sumedang.
Untuk memperkuat posisinya Sumedang meminta bantuan VOC, terutama senjata dan mesiu. Didalam buku rpmsJB dijelaskan mengenai jalur pengiriman bantuan tersebut, melalui sebelah utara Gunung Tampomas, yakni dari muara Ciasem dengan menggunakan rakit sampai di Cileungsing, untuk kemudian dilakukan melalui jalan darat (Hal. 52).

Bantuan VOC tersebut tidak mendapat kompensi dari Sumedang, karena Rangga Gempol III tidak taat terhadap janjinya ; tidak pernah datang ke Batavia untuk melakukan Sowan, sebagaimana layaknya penguasa wilayah jajahan ; dan tidak pernah pula memberi penghormatan atau upeti. Akibatnya, VOC menarik pasukannya dari pantai utara. Namun ada versi lain yang mempertanyakan, apakah memang penarikan pasukan VOC disebabkan Rangga Gempol ingkar janji, mengingat kuatnya pasukan VOC yang sewaktu-waktu dapat menyerang Sumedang atau dipersiapkan untuk membantu Sultan Haji yang sedang melakukan pemberontakan di Surasowan.

Pasca menguasai pantai utara, Rangga Gempol III mengalihkan perhatiannya untuk menguasai daerah kebupatian yang dibentuk oleh Mataram, yakni Bandung, Parakan muncang, dan Sukapura. Rangga Gempol III menguasai kembali seluruh daerah bekas Sumedanglarang kecuali antara Cisadane dan Cipunagara yang telah diserahkan oleh Mataram kepada VOC pada tahun 1677.

Kisah ini berbeda dengan apa yang ditulis didalam buku rpmsJB jilid empat dijelaskan, bahwa : Rangga Gempol III hanya menguasai 11 dari 44 daerah yang semula dikuasai Geusan Ulun. Selebihnya sudah menjadi bawahan Bandung (8 daerah), Parakan Muncang (9 daerah) dan Sukapura 16 daerah (Hal. 57).
Kisah yang sama ditemukan pada versi lain, namun hanya mengisahkan adanya perselisihan antara Rangga Gempol III dengan para bupati yang dibentuk Mataram, yakni bupati Bandung, Parakanmuncang dan Sukapura, sebagai dampak dihapusnya jabatan Wedana Bupati yang semula di sandang Rangga Gempol III menjadi sejajar statusnya dengan bupati lain yang ada di Priangan. Sementara Rangga Gempol III masih menganggap para bupati tersebut sebagai bawahannya. Kisah ini tidak sampai pada uraian tentang keberhasilan Rangga Gempol menguasai kembali kabupatian di Priangan Tengah, karena hanya dikisahkan sebatas “ada persilihan”.

Pada masa kekuasaan VOC disadari, bahwa para bupati Priangan memiliki wibawa dan pengaruh terhadap rakyatnya. Akan tetapi disadari pula, pengangkatan salah seorang bupati Priangan untuk menjadi Bupati Kepala akan menimbulkan konflik diantara para bupati seperti yang terjadi pada Vasaal Mataram. Atas dasar pertimbangan ini kemudian VOC mengangkat bupati kepala yang berasa dari luar Priangan. Oleh karena itu VOC mengangkat Pangeran Aria Cirebon untuk menjadi Bupati Kepala (Bupati Kompeni), sebagaimana terdokumentasikan didalam Besluit tanggal 19 Februari 1706. Bupati Kepala bertugas mengawasi dan mengkoordinir bupati-bupati Priangan, agar mereka melaksanakan kewajiban terhadap VOC secara tertib dan lancar (Hardjasaputra – 2007).

KEKUASAAN VOC

Serangan Banten ke dua dilakukan pada awal oktober 1678. Pada awalnya pasukan Banten merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh Sumedang di pantai utara, Ciparigi, Ciasem dan Pamanukan. Pada masa itu daerah-daerah tersebut sudah tidak lagi dijaga pasukan VOC.

Penyerangan ke jantung kekuasaan Sumedang terlebih dahulu dilakukan dengan mengepung Sumedang. Hal ini dalukan oleh gabungan pasukan Banten, Bali dan Bugis, bertepatan pada awal bulan puasa, hari jum’at tanggal 18 Oktober 1678. Konon kabar pasukan gabungan tersebut di pimpinan oleh Cilikwidara dan Cakrayuda. Pelaksanaan penyerangan dilakukan tepat Hari Raya Idul Fitri, ketika itu Rangga Gempol III beserta rakyat Sumedang sedang melakukan Sholat Ied di Mesjid Tegalkalong. Tentunya siapapun tidak akan ada yang pernah menduga serangan tersebut akan dilakukan pada waktu shalat ied, apalagi penyerang dan yang diserang sama-sama memiliki ciri islam yang kental. Akibatnya banyak kerabat keraton dan rakyat Sumedang yang tewas, namun Rangga Gempol berhasil meloloskan diri ke Indramayu.

Rangga Gempol III pada masa pelariannya berupaya mengumpulkan sisa-sisa kekutan. Dengan bantuan dari Galunggung pada akhirnya Sumedang dapat direbut kembali. Namun pada medio Mei 1679 Banten kembali menyerang Sumedang dengan pasukan lebih besar, akhirnya Sumedang jatuh kembali ke tangan Banten, sementara itu Rangga Gempol III terpaksa mundur kembali ke Indramayu.

Pendudukan Sumedang oleh pasukan Banten hanya berlangsung sampai dengan bulan Agustus 1680, karena pasukan Banten ditarik untuk mendukung Sultan Ageng Tirtayasa yang sedang menghadapi Sultan Haji yang didukung oleh VOC. Dalam konflik ayah dengan anak tersebut dimenangkan Sultan Haji. Menurut Untoro (2007) : sejak masa kekalahan Sultan Ageung Tirtayasa oleh Sultan Haji, secara praktis kedaulatan Banten runtuh, apalagi setelah ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 April 1984 (Hal. 41). Banten pada masa Sultan Haji tidak lagi mengganggu Sumedang, bahkan Sultan Haji berjanji kepada VOC, bahwa : Banten tidak akan mengganggu Cirebon dan Sumedang.

Pada tanggal 27 Januari 1681 Rangga Gempol III kembali ke Sumedang. Kemudian pada bulan Mei 1681 Rangga Gempol III memindahkan pusat pemerintahan dari Tegalkalong ke Regolwetan atau daerah Sumedang (sekarang) dan membangun gedung Srimanganti (saat ini menjadi Museum Prabu Geusan Ulun), namun tidak sempat disaksikannya, karena pada tahun 1706 Rangga Gempol III wafat dan dimakamkan di Gunung Puyuh.

Menurut buku rpmsJB, Rangga Gempol III pernah mengirimkan surat kepada Gubernur Willem Van Outhoorn pada hari Senin tanggal 2 Rabiul’awal tahun Je (4 Desember 1690) yang dicatat didalam buku harian VOC di Batavia pada tanggal 31 Januari 1691. Isi surat tersebut menuntut kepada VOC agar wilayah kekuasaannya dipulihkan sebagaimana wilayah yang dikuasai Geusan Ulun, leluhurnya (rpmsJB, hal 57).
Pada perjanjian tanggal 5 Oktober 1705, antara Mataram dengan VOC, wilayah Priangan Timur dan Cirebon diserahkan kepada VOC, dengan demikian seluruh Jawa Barat dan Banten praktis menjadi wilayah kekuasaan VOC, sedangkan Mataram diserahkan kepada VOC pada tahun 1757.

Rangga Gempol III digantikan oleh putranya Raden Tanumaja dengan gelar Adipati, bupati pertama kali yang diangkat oleh VOC. Kemudian didalam salah satu piagamnya yang bertanggal 15 November 1684, VOC mengangkat kepala-kepala daerah di Priangan untuk memerintah atas nama VOC. Pada peristiwa ini jumlah penduduk (cacah) yang berada dibawah masing-masing wilayah sudah ditentukan serta dijadikan ukuran kekuasaan para bupati. Hemat saya, hal ini dilatar belakangi oleh kepentingan VOC untuk memaksimalkan potensi masing-masing wilayah dalam mengelola hasil buminya, semakin produktif daerah tersebut maka semakin besar penghasilan yang didapat VOC.

Menurut de Klein dan Natanegara didalam Volks Almanak Sunda, masing-masing bupati tersebut memperoleh cacah, sebagai berikut : (1) Pangeran Sumedang 1015 cacah ; (2) Demang Timbanganten 1125 cacah ; (3) Tumenggung Sukapura 1125 cacah ; (4) Tumenggung Parakanmuncang 1076 cacah ; (5) Gubernur Imbanagara 708 cacah (6) Gubernur Kawasen 605 cacah (7) Lurang-lurah Bojonglopang 20 cacah dan 10 Desa. (Hardjasaputra, hal. 32).

Referensi :
•  Sumedang Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).
•  Sejarah singkat Kabupaten Sumedang – sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.
•  Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemeirntahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.
•  Bupati Di Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.
•  Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.
Bupati Di Priangan, Kedudukan dan Peranannya pada Abad ke-17 – Abad ke 19, A. Sobana Hardjasaputra, dalam buku : Bupati di Priangan – dan Kajian lainnya mengenai Budaya Sunda (Seri Sunda Lana), Pusat Studi Sunda, Bandung – 2004.
Sejarah singkat Kabupaten Sumedang, sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.
Sumedang dari masa kemasa : sumedanglarang. blogspot.com, 16 Mei 2010.
Bupati Di Priangan, Kedudukan dan Peranannya pada Abad ke-17 – Abad ke 19, A. Sobana Hardjasaputra, dalam buku : Bupati di Priangan – dan Kajian lainnya mengenai Budaya Sunda (Seri Sunda Lana), Pusat Studi Sunda, Bandung – 2004.
•  Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522 – 1684. Kajian Arkeologi Ekonomi, Heriyanti Ongkodharma Untoro, Fakultas Ilmu Pengerahuan Budaya, Jakarta – 2007.
•  Rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk, 1983 – 1984.

Di Kutip dari : GUNUNG SEPUH

Terkait Berita: