Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Mazhab Maliki. Show all posts
Showing posts with label Mazhab Maliki. Show all posts

Alasan Syiah menggabung shalat dhuhur-asar dan maghrib-isya’


Kenapa orang-orang syi’ah melakukan lima shalat wajib harian dalam tiga waktu?
Jamak antara dua shalat merupakan masalah fikih yang penting dan sensitif sekali, dimana belakangan ini para peneliti dari kalangan ulama Syi’ah sering mengulasnya, karena sebagian orang beranggapan bahwa jamak antara dua shalat sama dengan shalat di luar waktu yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Untuk lebih jelasnya, kami akan menerangkan masalah ini dengan poin-poin berikut:[1]
  1. Semua mazhab Islam sepakat bahwa di Arafah, boleh hukumnya seseorang menunaikan shalat dzuhur dan ashar secara langsung pada waktu dzuhur, sehingga tidak ada selang waktu di antara keduanya. Di Muzdalifah pun dia boleh menunaikan shalat maghrib dan isya’ secara langsung pada waktu isya’.
  2. Ulama Mazhab Hanafi mengatakan, ‘Jamak antara shalat dzuhur dan ashar dalam satu waktu, begitu pula jamak antara shalat maghrib dan isya’ dalam satu waktu, hanya diperbolehkan di dua tempat; di Arafah dan Muzdalifah. Adapun di selain dua tempat itu tidak diperbolehkan.’
  3. Ulama Mazhab Hanbali, Maliki dan Syafi’i mengatakan, ‘Jamak antara shalat dzuhur dan ashar atau antara shalat maghrib dan isya’ dalam satu waktu, selain boleh dilakukan di dua tempat tersebut (Arafah dan Muzdalifah) boleh juga dilakukan pada waktu bepergian. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal itu juga boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa, seperti ketika hujan lebat atau ketika pelaku shalat dalam keadaan sakit atau takut dari musuh.[2]
  4. Adapun menurut Syi’ah, masing-masing dari shalat dzuhur dan ashar, begitu pula shalat maghrib dan isya’ mempunyai waktu khusus dan waktu bersama:
  5. Waktu khusus untuk shalat dzuhur adalah dari sejak dzuhur syar’i; yakni zawal atau bergesernya matahari dari lengah langit, sampai batas waktu yang bisa digunakan untuk shalat empat rakaat. Di dalam waktu yang terbatas ini, hanya shalat dzuhur yang boleh dilakukan oleh seseorang.
  6. Waktu khusus shalat ashar adalah dari ashar sampai tcrbenamnya matahari sekiranya waktu itu hanya cukup untuk digunakan shalat empat rakaat. Di dalam waktu yang terbatas ini, hanya shalat ashar yang boleh dilakukan oleh seseorang.
  7. Waktu bersama untuk shalat dzuhur dan ashar adalah dari sejak berakhirnya waktu khusus shalat dzuhur sampai awal bermulanya waktu khusus shalat ashar.
Menurut Syi’ah, di dalam waktu bersama untuk shalat dzuhur dan ashar seseorang boleh melakukan kedua shalat itu sekaligus tanpa jarak waktu di antara keduanya.

Sedangkan Ahli Sunnah, karena pandangan khusus mereka mengenai pembagian waktu dari zawal (bergesemya matarhari dari tengah langit) sampai ghurub (terbenamnya matahari), maka mereka tidak meyakini waktu bersama, baik antara shalat dzuhur dan ashar maupun antara maghrib dan isya’. Menurut mereka, mulai zawal sampai tanda jam matahari menunjukkan bayangan seukurannya maka itu merupakan waktu khusus untuk shalat dzuhur, dan tidak boleh seseorang untuk melakukan shalat ashar pada waktu itu. Sedari itu waktu shalat ashar mulai sampai ghurub, dan itu merupakan waktu khusus untuk shalat ashar. Berdasarkan pandangan ini, jamak antara shalat dzuhur dan ashar tidaklah memungkinkan, karena konsekuensinya adalah melakukan salah satu dari shalat itu di luar waktu yang telah ditentukan.

Menurut Syi’ah, waktu yang diterangkan oleh Ahli Sunnah ini merupakan waktu keutamaan shalat dzuhur dan ashar, bukan waktu yang hanya diperbolehkan untuk shalat dzuhur dan ashar kala itu. Artinya, menurut Syi’ah yang utama adalah menunaikan shalat ashar ketika bayangan tanda jam matahari telah mencapai ukuran yang sama dengan tanda matahari itu sendiri, tapi kalau pun seseorang melakukan shalat ashar sebelum itu tetap dihukumi sah dan tidak perlu untuk mengulanginya.

Di samping itu, banyak sekali hadis yang menmtjukkan bahwa di dalam perjalanan, bahkan terkadang di tempat kediaman dan tanpa uzur sekecil apa pun Rasulullah Saw menjamak antara dua shalat. Maka demi mempertahankan pendapat mereka tentang pembagian waktu tersebut, ulama Ahli Sunnah terpaksa menakwilkan hadis-hadis itu dari maknanya yang literal menjadi makna yang jauh sekali dari aslinya. Mari kita perhatikan bersama pandangan Syi’ah dan Ahli Sunnah mengenai hadis-hadis ini:
  1. Menurut Syi’ah, berdasarkan hadis-hadis ini boleh seseorang melakukan shalat ashar langsung setelah melakukan shalat dzuhur, begitu pula dia boleh melakukan shalat isya’ langsung setelah melakukan shalat maghrib. Dan hukum ini berlaku bukan untuk waktu, tempat, atau kondisi tertentu, melainkan seseorang bisa melakukannya kapan saja (di hari jum’at atau yang lain) dan di mana saja (Arafah, Muzdalifah atau selainnya) serta dalam kondisi apa saja (sakit atau pun sehat).
  2. Ulama di luar mazhab Syi’ah, karena menolak waktu bersama shalat dan membatasinya hanya dalam waktu yang sah untuk shalat, maka mereka menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadis-hadis ini adalah boleh menunaikan shalat dzuhur di akhir waktunya dan shalat ashar di awal waktunya, sehingga dengan demikian terkesan telah terjadi jamak antara dua shalat.
Bila ditinjau dari sisi filosofi jamak antara dua shalat, terang saja penakwilan seperti itu tidak beralasan, karena hikmah pembolehan jamak antara dua shalat adalah memberi kemudahan kepada umat Islam untuk dapat melakukan dua shalat dzuhur dan ashar atau maghrib dan isya’ dalam satu waktu (tanpa pemisah antara keduanya) dan dalam keadaan apa pun (sehat atau sakit, di tempat tinggal atau perjalanan dsb.). Tentu saja hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan menerima waktu bersama bagi shalat dzuhur dan ashar serta waktu bersama bagi shalat maghrib dan isya’.

Dari tinjauan yang sama, apabila kita ingin menafsirkan jamak antara dua shalat sesuai dengan pandangan Ahli Sunnah, bahwa Rasulullah Saw menunaikan shalat dzuhur di akhir waktu dzuhur kemudian langsung shalat ashar di awal waktu ashar, maka bukan kemudahan yang diberikan oleh Islam dalam hal ini, melainkan kesulitan yang lebih rumit. Hal itu karena kapan pun tidak mudah bagi seseorang untuk mengetahui akhir dan awal waktu shalat, lebih lagi jika orang tersebut berada di daerah yang tidak mempunyai fasilitas peralatan yang teliti.

Referensi:
[1] Ada karya-karya berharga yang membahas tentang jamak antara dua shalat, seperti Rosd’il Fiqhiyah karya Allamah Syarafudin Amili, Al-Jam’u baina Al-Sholtitain karya Najmudin Askari, dan Al-Insh6f ft Masti’ila Ddma fiha Al-Khiltifkarya penulis. Apa yang Anda baca di atas adalah ringkasan dari hasil penelitian para ulama terdahulu yang dituliskan oleh Sayid Ridha Husaini Nasab di dalam kitab Syi’eh Posukh Mi-dahad.
[2] Disadur dari kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzdhib Al-Arba’ah, kitab Shalat, bab Jama’ antara dua shalat; baik secara didahulukan atau diakhirkan (Jamak Takdim atau Jamak Ta’khir).

ESENSI BID’AH DALAM AHLUS SUNAH


Oleh : Abdul Qodir Al-Busthomi

Menyangkal tuduhan/fitnah.
Arti bid’ah, memahami arti bid’ah di dalam hadist:

 كل بدعة ضلالة

Lafadz كل punya arti dua, umum dan khusus.

Untuk mengertikan Ulama ada alasan masing-masing.

1. bid’ah dholalah karena ada hadist ini:

 ..مَن أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو
رد. 

DLL.


2 bid’ah mahmudah/hasanah dengan alasan hadist:

 من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شىء، ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شىء “….

Baiklah sy akan uraikan masing-masing serta ulamanya…….

1. Madzab HANAFI.
Dalam kitb Khasianya imam Ibnu ‘Abidin alhanafii juz 1. halaman 376 bahwa bid’ah ada yg baik / sunah, makruh . mubah . dll…..begitu juga Imam badruddin dlm syarah Bukhori tentang ucapan shbt Umar Ra.

“نعمت البدعة هذه”

Syarah Bukhari juz 11 halaman 126:


.- قال الشيخ ابن عابدين الحنفي في حاشيته (1/376):

فقد تكون البدعة واجبة كنصب الأدلة للرد على أهل الفرق الضالة، وتعلّم النحو المفهم للكتاب والسنة، ومندوبة كإحداث نحو رباط ومدرسة، وكل إحسان لم يكن في الصدر الأول، ومكروهة كزخرفة المساجد، ومباحة كالتوسع بلذيذ المآكل والمشارب والثياب

“انتهى.

2-

 قال بدر الدين العيني في شرحه لصحيح البخاري (ج11/126)

عند شرحه لقول عمر ابن الخطاب رضي اللّه عنه:
“نعمت البدعة”
وذلك عندما جمع الناس في التراويح خلف قارىءٍ وكانوا قبل ذلك يصلون أوزاعًا متفرقين:
“والبدعة في الأصل إحداث أمر لم يكن في زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم، ثم البدعة على نوعين، إن كانت مما تندرج تحت مستحسن في الشرع فهي بدعة حسنة وإن كانت مما يندرج تحت مستقبح في الشرع فهي بدعة مستقبحة . انتهى

2. MAZHAD MALIKI…
Dalam kitab syarah Almuatto juz 1, halamn 238 syaikh Imam Muhammad Azzarqoni Almaliki berkata dalam menerangkan ucapan shohabat Umar Ra

نعمت البدعة هذه

Bahwa bid’ah itu ada yang hasanah.

begitu juga Syaikh AHMAD bin Yahya al wansyarisyi Almaliki dlm kitab Almi’yarulmu’arrab juz 1~ hlmn 357-358, bersepakat ulama bahwa ada bid’ah hasanah,

1 .

 قال محمد الزرقاني المالكي في شرحه للموطأ
(ج1/238)
عند شرحه لقول عمر بن الخطاب رضي اللّه عنه: “نعمت البدعة هذه” فسماها بدعة لأنه صلى اللّه عليه وسلم لم يسنّ الاجتماع لها ولا كانت في زمان الصديق، وهي لغة ما أُحدث على غير مثال سبق وتطلق شرعًا على مقابل السنة وهي ما لم يكن في عهده صلى اللّه عليه وسلم، ثم تنقسم إلى الأحكام الخمسة. انتهى

2.

 قال الشيخ أحمد بن يحيى الونشريسي المالكي في كتاب المعيار المعرب
(ج1/357-358)

ما نصه: “وأصحابنا وإن اتفقوا على إنكار البدع في الجملة فالتحقيق الحق عندهم أنها خمسة أقسام”، ثم ذكر الأقسام الخمسة وأمثلة على كل قسم ثم قال:
“فالحق في البدعة إذا عُرضت أن تعرض على قواعد الشرع فأي القواعد اقتضتها ألحقت بـها، وبعد وقوفك على هذا التحصيل والتأصيل لا تشك أن قوله صلى الله عليه وسلم
:” كل بدعة ضلالة”،
من العام المخصوص كما صرح به الأئمة رضوان الله عليهم”.اهـ

3. MAZHAB SYAFI’I.
Berkata dalam kitab Manaqibus Syafi’i juz1, hlmn 469.
Ibnu Hajar juga menjelaskan ucapan Imam Syafi’i dlm kitab Fathul Bari juz 13 hlmn 267.
Alhafidz Abu anNA’IM dlm kitabnya HILYATULAULIYA juz 9 hlmn 76 dari Ibrohim bin Aljunaid.
Dari kesemuanya itu bahwa bid’ah ada yg mahmudah dan ada yg mamdudah.

قال الشافعي رضي الله عنه: المحدثات من الأمور ضربان أحدهما ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة، والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة. رواه البيهقي في

(مناقب الشافعي)
(ج1/469)،

وذكره الحافظ ابن حجر في
(فتح الباري):
(13/267).

ب- روى الحافظ أبو نعيم في كتابه حلية الأولياء ج 9 ص76
عن إبراهيم بن الجنيد قال: حدثنا حرملة بن يحيى قال: سمعت محمد بن إدريس الشافعي رضي الله عنه يقول: البدعة بدعتان، بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم، واحتج بقول عمر بن الخطاب في قيام رمضان: نعمت البدعة هي

IMAM ‘IZUDDIN bin Abdul Salam pada kitabnya ” qowa’idul Ahkam juz 2, hln 172 atau 174, menerangkan pembagian bid’ah dgn beberapa hukum wajibun . muharromah. mandubah. makruhah. mubah,

قال العز بن عبد السلام في كتابه
قواعد الأحكام
(ج2/172-174) :

البدعة منقسمة إلى واجبة ومحرّمة ومندوبة ومكروهة ومباحة ثم قال: والطريق في ذلك أن تُعرض البدعة على قواعد الشريعة، فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، أو في قواعد التحريم فهي محرمة، أو الندب فمندوبة، أو المكروه فمكروهة، أو المباح فمباحة، انتهى

Imam AnNawawi berkata dlm syarah shohih Muslim juz 6, hlm 154,155 dalam menarangkan hadist:

.(وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ)

Yang di maksud hadist tersebut mayoritasnya..dan hadist tadi punya nari umum dan husus..dan ada beberapa macem beserta contohnya:

قال النووى فى شرحه على صحيح مسلم
“(6/154-155):

قوله صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ:
(وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ)

هذا عامٌّ مخصوص، والمراد: غالب البدع. قال أهل اللُّغة: هي كلّ شيء عمل عَلَى غير مثال سابق. قال العلماء: البدعة خمسة أقسام: واجبة، ومندوبة، ومحرَّمة، ومكروهة، ومباحة. فمن الواجبة: نظم أدلَّة المتكلّمين للرَّدّ عَلَى الملاحدة والمبتدعين وشبه ذلك. ومن المندوبة: تصنيف كتب العلم وبناء المدارس والرّبط وغير ذلك. ومن المباح: التّبسط في ألوان الأطعمة وغير ذلك. والحرام والمكروه ظاهران، وقد أوضحت المسألة بأدلَّتها المبسوطة في
(تـهذيب الأسماء واللُّغات)
فإذا عرف ما ذكرته علم أنَّ الحديث من العامّ المخصوص، وكذا ما أشبهه من الأحاديث الواردة، ويؤيّد ما قلناه قول عمر بن الخطَّاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ في التّـَراويح: نعمت البدعة، ولا يمنع من كون الحديث عامًّا مخصوصًا قوله:
(كُلُّ بِدْعَةٍ)
مؤكّدًا بـــــــ كلّ،
بل يدخله التَّخصيص مع ذلك كقوله تعالى:

{تُدَمّرُ كُلَّ شَىءٍ}

[الأحقاف،ءاية 25]اهـ

Imam AnNawai masih dlm kitab syarah shohih Muslim juz 16, halamn 226.
Menerangkan beberapa bid’ah dlm hadist.

.(مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا…) 

dan hadist:

 “كل محدثة بدعة،

وكل بدعة ضلالة”

وقال النووي أيضا “في شرحه على صحيح مسلم”
(16/226-) :
قوله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
(مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا…)
إلى ءاخره. فيه: الحث على الابتداء بالخيرات، وسن السنن الحسنات، والتحذير من اختراع الأباطيل والمستقبحات، وسبب هذا الكلام في هذا الحديث أنه قال في أوله:
“فجاء رجل بصرة كادت كفه تعجز عنها فتتابع الناس”.
وكان الفضل العظيم للبادي بـهذا الخير والفاتح لباب هذا الإحسان. وفي هذا الحديث: تخصيص قوله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
“كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة”،
وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة.اهـ

Ibnu taimiyah gurunya muhammad bin abdul wahab yg banyak bertentangan dgn mazhab 4, tetapi dalam mualidan dia ibnu taimiyah sangat mendukung dalam MULUDAN , tapi aneh sekarang pengikutnya anti muludan …ini ada pada kitabnya.

Iqtidoussirotolmustaqim halaman 297….

ويقول ابن تيمية في كتابه اقتضاء الصراط المستقيم ص/297
: فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي، تمسكوا بها، وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة).

Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rosyidin. Gigitlah sunnah itu dengan geraham kalian (yakni; peganglah jangan sampai terlepas). Dan berhati-hatilah terhadap persoalan yang diada-adakan, maka sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”.

Metodologi pembahasan dalil umum seperti ini tampaknya tidak digunakan oleh kaum Salafy Wahabi dalam berfatwa terutama mengenai bid’ah, tentunya karena pola pikir “kasuistik” atau terlalu tekstual (harfiah) dalam memahami dalil. Maka tidak heran bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah dihiasi oleh dalil-dalil umum atau yang berisi lafaz-lafaz umum yang maknanya dipaksakan mengarah pada kasus-kasus tertentu yang tidak pernah disebutkan secara khusus di dalam al-Qur’an atau hadits.

Terbukti, dari ratusan perkara yang mereka fatwakan sebagai bid’ah yang dilarang di dalam agama, mereka hanya mengandalkan 5 sampai 7 dalil yang kesemuanya bersifat umum. Dapat dibayangkan, bila fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah ada 300 jumlahnya, maka dalil yang sama akan selalu disebutkan secara berulang-ulang sampai lebih dari 100 kali. Anda bisa buktikan itu di dalam buku “Ensiklopedia Bid’ah” karya Hammud bin Abdullah al-Mathar diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta. Ini baru dari segi pengulangan dalil, belum lagi dari segi penyebutan dalil-dalil pendukung yang digunakan secara serampangan dan bukan pada tempatnya.

Tanpa metodologi yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, mustahil dapat dibedakan antara yang wajib dan yang tidak wajib di dalam agama, sebagaimana mustahil dapat dibedakan antara perkara yang prinsip (ushul/pokok) dan yang tidak prinsip (furu’/cabang). Luar biasanya, dari metodologi atau rumusan para ulama ushul tersebut, umat Islam di seluruh dunia telah merasakan manfaat yang sangat besar di mana Islam dapat diterima di berbagai wilayah dan kalangan meski berbeda-beda adat dan budayanya (misalnya seperti Wali Songo yang sukses berdakwah di Indonesia). Prinsip dasar argumentasi akal ini tentu bukan untuk memudah-mudahkan syari’at atau menetapkan syari’at baru, tetapi untuk mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil yang ada, agar ajaran Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan baik oleh umat Islam.

Kaum Salafy Wahabi bahkan ada yang menganggap metodologi para ulama berupa ta’wil (penafsiran terhadap dalil) hanya membuat agama ini menjadi semakin tercemar dan tidak murni lagi karena dianggap sudah terkontaminasi oleh pendapat-pendapat manusia yang tidak memiliki wewenang untuk menetapkan syari’at, seperti halnya Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam atau para Shahabat beliau. Jadi, segala urusan di dalam beragama harus dirujuk langsung kepada al-Qur’an & hadis apa adanya seperti yang tersebut secara tekstual. Maka, apa saja yang diamalkan di dalam agama yang secara tekstual (harfiah) tidak terdapat di dalam al-Qur’an atau hadis, otomatis dianggap tertolak dan dinyatakan sebagai sebuah penyimpangan atau kesesatan.

Di sinilah pangkalnya, kenapa kaum Salafy Wahabi selalu mempermasalahkan amalan atau keyakinan orang lain, padahal amalan orang yang disalahkan itu hanyalah masalah furu’ (cabang/tidak prinsip). Ini adalah akibat dari pemahaman mereka terhadap dalil secara harfiyah atau tekstual apa adanya, sehingga semua urusan dan amalan “berbau agama” dipandang oleh kaum Salafy Wahabi sebagai perkara ushul (pokok/prinsip) yang jika tidak ada dalilnya dapat mengakibatkan sesat, syirik, atau kufur.

Sholeh Al-Utsaimin dalam Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, hal: 639-640). Al-Utsaimin mengatakan, “Hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan dunia adalah HALAL. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu HALAL, kecuali ada dalil yang menunjukan akan keharamannya. Tetapi hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan agama adalah DILARANG, jadi bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah HARAM dan BID’AH, kecuali adal dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keberlakuannya.”.

Melalui tulisannya yang lain Al-Utsaimin telah melanggar hukum yang dibuatnya sendiri dalam Al-Ibda’ fi Kamal Al-Syar’i wa Khathar Al-Ibtida’, hal 13. Dia mengatakan tentang hadits Nabi, ”(Semua bid’ah adalah sesat) adalah bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “kull (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya ini tidak akan pernah benar.”.

Dalam pernyataannya diatas Al-Utsaimin menegaskan bahwa “SEMUA BID’AHadalah SESAT”, bersifat general, umum, dan menyeluruh terhadap seluruh bid’ah, tanpa terkecuali, sehingga tidak ada bid’ah yang disebut BID’AH HASANAH. Namun mengapa dalam pernyataannya yang pertama dia membagi bid’ah ada yangHALAL dan yang HARAM? LUCU kan sobat ?!

Berbeda sekali ke’arifan dan kebijakannya dalam menetapkan hukum jika dibandingkan dengan ulama-ulama yang masyhur seperti Imam Nawawi misalnya, dalam memahami hadits Nabi “SEMUA BID’AH ADALAH SESAT”, dalam Syarah Shahih Muslim, jilid 6 hal: 154, beliau sangat hati-hati dengan kata-kata “SEBAGIAN BID’AH ITU SESAT, BUKAN SELURUHNYA.” Hadits “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, BID’AH HASANAH (baik) dan BID’AH SYAIYI’AH (buruk). Lebih rinci bid’ah terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum islam, yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.

KITAB-KITAB YG MEMBAHAS KHUSUS BID’AH
1. AL-I’THISHOM
Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Asy-Syathibi Al-Gharnathi:

ابتدأ طريقة لم يسبقه إليها سابق

فالبدعة إذن عبارة عن طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه

Bid’ah secara bahasa berarti mencipta dan mengawali sesuatu.
Kitab Al-‘Itisham, I/36
Sedangkan menurut istilah, bid’ah berarti cara baru dalam agama, yg belum ada contoh sebelumnya
yg menyerupai syariah dan bertujuan untuk dijalankan & berlebihan dalam beribadah kepada الله سبحانه وتعال .
Kitab Al-‘Itisham, I/37
Imam Syafi’i membagi perkara baru menjadi dua:

قال الإمام الشافعي- رحمه الله -: ((البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة، فهو محمود، وما خالف السنة، فهو مذموم)) واحتج بقول عمر في قيام رمضان:

“نعمت البدعة هذه” رواه أبو نعيم في”حلية الأولياء” (9/113

1. Perkara baru yg bertentangan dgn Al-Kitab & As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah dholalah.
2. Perkara baru yg baik tetapi tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah yg tidak tercela. Inilah yg dimaksud dgn perkataan Imam Syafi’i yg membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah mahmudah terpuji & bid’ah mazmumah tercela/buruk.
Bidah yg sesuai dgn sunnah adalah terpuji & baik, sedangkan yg bertentangan dgn sunnah ialah tercela & buruk”.

Hilyah al-Auliya’, 9/113, & Al-Ba’its ‘ala Inkar Al-Bida’, hal. 15.
Ini kelengkapan kalimatnya:

حدثنا ابوبكر الاجرى ثنا عبد الله بن محمد العطش ثنا ابراهيم بن الجنيد ثنا حرملة بن يحيى قال سمعت محمد بن ادريس الشافعى يقول: البدعة بدعتان، بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وفق السنة فهو محمودة، وما خالف السنة فهو مذمومة. واحتج يقول عمروبن الخطاب فى قيام رمضان: نعمة البدعة هي. جز: 9 ص: 113

[حلية الاولياء وطبقات الاصفياء للحافظ أبى نعيم احمد بن عبدالله الاصفهانى]

وفي الحد ايضا معنى آخر مما ينظر فيه وهو ان البدعة من حيث قيل فيها انها طريقة في الدين مخترعة إلى آخره يدخل في عموم لفظها البدعة التركية كما يدخل فيه البدعة غير التركية فقد يقع الابتداع بنفس الترك تحريما للمتروك أو غير تحريم فان الفعل مثلا قد يكون حلالا بالشرع فيحرمه الانسان على نفسه أو يقصد تركه قصدا

فبهذا الترك اما ان يكون لأمر يعتبر مثله شرعا اولا فان كان لأمر يعتبر فلا حرج فيه اذ معناه انه ترك ما يجوز تركه أو ما يطلب بتركه كالذي يحرم على نفسه الطعام الفلاني من جهة أنه يضره في جسمه أو عقله أو دينه وما اشبه ذلك فلا مانع هنا من الترك بل ان قلنا بطلب التداوي للمريض فان الترك هنا مطلوب وان قلنا باباحة التداوي فالترك مباح

Batasan Arti Bid’ah
Dalam pembatasan arti bid’ah juga terdapat pengertian lain jika dilihat lebih saksama.
yaitu: bid’ah sesuai dgn pengertian yg telah diberikan padanya, bahwa ia adalah tata cara di dalam agama yg baru diciptakan (dibuat-buat) & seterusnya. Termasuk dalam keumuman lafazhnya adalah bid’ah tarkiyyah (meninggalkan perintah agama),
demikian halnya dengan bid’ah yg bukan tarkiyyah. Hal-hal yg dianggap bid’ah terkadang ditinggalkan karena hukum asalnya adalah haram. Namun terkadang hukum asalnya adalah halal, tetapi karena dianggap bid’ah maka ia ditinggalkan. Suatu perbuatan misalnya menjadi halal karena ketentuan syar’i, namun ada juga manusia yg mengharamkannya atas dirinya karena ada tujuan tertentu, atau sengaja ingin meninggalkannya.

Meninggalkan suatu hukum; mungkin karena perkara tersebut dianggap telah disyariatkan seperti sebelumnya, karena jika perkaranya telah disyariatkan, maka tidak ada halangan dalam hal tersebut, sebab itu sama halnya dgn meninggalkan perkara yg dibolehkan untuk ditinggalkan atau sesuatu yg diperintahkan untuk ditinggalkan. Jadi di sini tidak ada penghalang untuk meninggalkannya. Namun jika beralasan untuk tujuan pengobatan bagi orang sakit, maka meninggalkan perbuatan hukumnya wajib. Namun jika kita hanya beralasan untuk pengobatan, maka meninggalkannya hukumnya mubah.
Kitab Al-‘Itisham, I/42]

ITQON ASH-SHUN’AH FI TAHQIQ MA’NA AL-BID’AH
Sayyid Al-‘Allamah Abdullah bin Shodiq Al-Ghumari Al-Husaini:

 قال النووي: قوله صلى الله عليه وسلم
: “وكل بدعة ضلالة” هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع، قال أهل اللغة: هي كل شيء عمل غير مثال سابق. قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرّمة ومكروهة والمباح

في حديث العرباض بن سارية، قول النبي صلى الله عليه وسلم: “وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة” رواه أحمد وأبو داود والترمذي وابن ماجه، وصححه الترمذي وابن حبان والحاكم.

قال الحافظ بن رجب في شرحه: “والمراد بالبدعة ما أحدث مما لا أصل له في الشريعه يدل عليه، وأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا، وإن كان بدعة لغة” اهـ.

Imam Nawawi berkata:
Sabda Nabi Muhammad SAW
Setiap bid’ah itu sesat ini adalah umum yg dikhususkan & maksudnya pengertian secara umum. Ahli bahasa mengatakan: Bid’ah yaitu segala sesuatu amal perbuatan yg tdk ada contoh sebelumnya. Ulama mengatakan bahwa bid’ah terbagi menjadi lima macam yaitu wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.

Dalam hadits Uryadh bin Sariyah tentang sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Takutlah kamu akan perkara-perkara baru, maka setiap bid’ah adalah sesat.
HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim
Al-Hafizh Ibnu Rojab berkata dlm penjelasannya: Yang dimaksud bid’ah adalah sesuatu yg baru yg tdk ada asalnya [contohnya] dlm syari’at yg menunjukkan atasnya. Adapun sesuatu yg ada asalnya dlm syari’at yg menunjukkan atasnya, maka bukan termasuk bid’ah menurut syara’ meski secara bahasa itu adalah bid’ah.

وفي صحيح البخاري عن ابن مسعود قال: “إن أحسن الحديث كتاب الله وأحسن الهدى هدى محمد صلّى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها”.

قال الحافظ بن حجر والمحدثات بفتح الدال جمع محدثه، والمراد بها ما أحدث وما ليس له أصل في الشرع، ويسمى في عرف الشرع بدعة، وما كان له أصل يدل عليه الشرع، فليس ببدعة، فالبدعة في عرف الشرع مذمومة، بخلاف اللغة، فإن كل شيء أحدث على غير مثال، يسمى بدعة سواء كان محمودا او مذموما اهـ.

Dalam shohih Bukhori dari Ibnu Mas’ud berkata. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabulloh AlQur’an & sebaik2 petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW , & sejelek2nya perkara adalah yg baru dlm agama-pent.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata.
Lafadz muhdatsat dgn di fathah huruf dal-nya” kata jama’ plural dari Muhdatsah, maksudnya sesuatu yg baru yg tdk ada asal dasarnya dlm syari’at.
Dan diketahui dalam hukum agama sebagai bid’ah.
Dan sesuatu yg memiliki asal landasan yg menunjukkan atasnya maka tdk termasuk bid’ah. Bid’ah sesuai pemahaman syar’i itu tercela sebab berlawanan dgn pemahaman secara bahasa.
Maka jika ada perkara baru yg tdk ada contohnya dinamakan bid’ah, baik bid’ah yg mahmudah maupun yg madzmumah.

وروى أبو نعيم عن ابراهيم بن الجنيد، قال: سمعت الشافعي يقول: البدعة بدعتان بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود وما خالف السنة فهو مذموم.

وروى البيهقي في مناقب الشافعي عنه، قال: المحدثات ضربان: ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنةً أو أثرا أو إجماعا، فهذه بدعة الضلالة.

وما أحدث من الخير لا خلاف فيه في واحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة وقد قال عمر في قيام رمضان: نعمة البدعة هذه يعني أنها محدثة لم تكن، وإذا كانت، ليس فيها رد لما مضى.

Diriwayatkan Abu Na’im dari Ibrahim bin Al-Janid berkata: Aku mendengar Imam Syafi’i berkata: “Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah & bid’ah madzmumah. Maka perkara baru yg sesuai sunnah, maka itu bid’ah terpuji. Dan perkara baru yg berlawanan dgn sunnah itu…bid’ah..tercela.”.

Al-Baihaqi meriwayatkan dlm Manaqib Syafi’i biografi Syafi’i….Imam Syafi’i berkata:
Perkara baru itu ada dua macam, yaitu perkara baru yg bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar sahabat & ijma’. Ini adalah bidah dholalah.

Perkara baru yg baik tetapi tidak bertentangan dgn Al-Kitab dan As-Sunnah atau atsar Sahabat & ijma’. Ini adalah bidah yg tidak tercela.

Dan Umar bin Khothob ra. berkata tentang qiyamu Romadhon sholat tarawih.
Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Yakni sholat tarawih adalah perkara baru yg tidak ada sebelumnya, & ketika ada itu bukan berarti menolak apa yg sudah berlalu.

والمراد بقوله: “كل بدعة ضلالة” ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام اهـ.

وقال النووي في تهذيب الأسماء واللغات: البدعة بكسر الباء، في الشرع، هي إحداث ما لم يكن في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم، وهي منقسمه إلى حسنة وقبيحة.

قال الامام الشافعي: “كل ما له مستند من الشرع، فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به، قد يكون لعذر قام لهم في الوقت، أو لِما هو أفضل منه، أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به” اهـ.

Dan yg dimaksud dgn sabda Rosul, Setiap bid’ah adalah sesat,” adalah sesuatu yg baru dlm agama yg tdk ada dalil syar’i [al-Qur’an dan al-Hadits secara khusus maupun secara umum.

Imam Nawawi berkata dlm At-Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughot bahwa kalimat “Al-Bid’ah” itu dibaca kasror hurup “ba’-nya” di dalam pemahaman agama yaitu perkara baru yg tdk ada dimasa Nabi Muhammad SAW , & dia terbagi menjadi dua baik & buruk.

Imam Syafi’i berkata: Setiap sesuatu yg mempunyai dasar dari dalil2 syara’ maka bukan termasuk bid’ah, meskipun blm pernah dilakukan oleh salaf.
Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yg terjadi saat itu (belum dibutuhkan -pent) atau karena ada amaliah lain yg lebih utama, & atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka (belum dikenal formatnya-pent.

WAHHABI yg mengahalalkan dusta demi agama penuh kepalsuan berjalan lancar.
Para Imam Madzhab yang empat merupakan pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) yang bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salaf yang Sholeh tidak pernah menyampaikan adanya manhaj salaf atau madzhab salaf.

Istilah manhaj salaf atau madzhab salaf adalah perkara baru (bid’ah) yang dapat menyesatkan kaum muslim.
Istilah manhaj salaf atau madzhab salaf adalah bagian dari hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi dalam rangka gerakan anti mazhab.

Salah satu contoh penghasutnya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti thorikat-thorikat tasawwuf.

Laurens mengupah ulama-ulama yang anti thorikat dan anti madzhab untuk menulis buku buku yang menyerang thorikat dan madzhab.
Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis.
Cara ulama-ulama yang anti tasawwuf dan anti madzhab menghasut adalah memotong-motong firman Allah, hadits Rasulullah, perkataan Salafush Sholeh maupun perkataan ulama-ulama terdahulu seperti perkataan Imam Madzhab yang empat.

Imam an-Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab pada bab Adab Berfatwa, Mufti dan Orang Yang Bertanya Fatwa.
Berpendapat :
Tidak boleh bagi si awam untuk bermadzhab kepada salah seorang dari para sahabat r.a atau bermazhab kepada generasi awal, walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi derajatnya dibanding dengan ulama’ sesudah mereka. Kerena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk merumuskan prinsip-prinsip asas dan furu’nya. Maka tidak ada seorang pun dari generasi sahabat yang memiliki madzhab yang telah dianalisis, Tapi para ulama’ yang datang sesudah merekalah yang melakukan usaha merumuskan hukum-hukum serta menerangkan prinsip-prinsip asas dan furu’, seperti Imam Malik dan Imam Abu Hanifah dan lain-lain.”.

Bahkan Imam Syafi’i adalah imam berikutnya yang telah menganalisis madzhab-madzhab pendahulunya seperti mereka melihat madzhab-madzhab para ulama’ sebelumnya. Beliau menguji, mengkritik dan memilih mana yang paling rajih (kuat), dan beliau mendapat hasil dari usaha ulama’ sebelumnya dan telah meluangkan waktu untuk memilih dan mentarjih serta menyempurnakannya. Dan dengan alasan inilah beliau mendapat kedudukan yang lebih kuat dan rajih, bahkan tidak ada sesudah beliau, ulama yang mencapai kedudukan ini. Maka dengan alasan ini pula, madzhab beliau adalah madzhab yang paling utama untuk diikuti dan bertaqlid dengannya”.

Ulama besar Syria, Dr. Said Ramadhan Al-Buthi dengan adanya gerakan paham anti mazhab menuliskan buku berjudul “Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah”. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira-kira makna judul itu adalah : “Paham Anti Mazhab, Bid’ah Paling Gawat Yang Menghancurkan Syariat Islam”.

Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah: Sesuatu yang tidak wujud di zaman Nabi Muhammad S.A.W. maka apa yang dilihat orang-orang Islam sebagai perkara-perkara baru yang tidak berlaku di zaman Nabi S.A.W. maka ia adalah perkara yang harus dilakukan selama mana menjadi keperluan. (Kitab: Itidak Siratul Mustaqim).


Oleh: Zon Jonggol & Adolf Ferdinand

Hal yang perlu kita ingat yang dapat memahamai perkataan atau pendapat Imam Syafi’i ra dalah para ulama Syafi’iyah bukan para ulama pengikut Ibnu Taimiyyah, pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab maupun pengikut Al Albani.

Imam An Nawawi adalah ulama Syafi’iyah yang paling memahami perkataan Imam As Syafi’i dan perkataan ulama-ulama madzhabnya sebagaimana disebut dalam Al Awaid Ad Diniyah (hal. 55).

Sehingga, jika ada seseorang menukil pendapat ulama As Syafi’iyah dengan kesimpulan berbeda dengan pendapat Imam An Nawawi maka pendapat itu tidak dipakai. Lebih-lebih yang menyatakan adalah pihak yang tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah dalam madzhab As Syafi’i.

Imam Syafi’i ra yng bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh menyampaikan:

قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )

Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313).

Imam Nawawi ~rahimahullah mengatakan:

قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ .

“Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).

Kalimat bid’ah (بدعة) di sini adalah bentuk ISIM (kata benda) bukan FI’IL (kata kerja).
Dalam ilmu nahwu menurut kategorinya Isim terbagi 2 yakni Isim Ma’rifat (tertentu) dan Isim Nakirah (umum).

Nah.. kata BID’AH ini bukanlah:
1. Isim dhomir
2. Isim alam
3. Isim isyaroh
4. Isim maushul
5. Ber alif lam

yang merupakan bagian dari Isim Ma’rifat.

Jadi kalimat bid’ah di sini adalah Isim Nakiroh dan KULLU di sana berarti tidak ber-idhofah (bersandar) kepada salah satu dari yang 5 di atas.

Seandainya KULLU ber-idhofah kepada salah satu yang 5 di atas, maka ia akan menjadi ma’rifat.
Tapi pada ‘KULLU BID’AH’, ia ber-idhofah kepada nakiroh.
Sehingga dhalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian.

Pengecualiannya adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Syafi’i ra di atas yakni bi’dah yang tidak menyalahi atau tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) atau dengan kata lain bid’ah yang tidak melanggar satupun larangan Allah Azza wa Jalla.

Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah di luar perkara syariat atau di luar apa yang telah di syariatkan oleh Allah Azza wa Jalla.
Jadi bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah di luar perkara syariat yang tidak melanggar satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat).

Bid’ah yang tidak diperbolehkan adalah bid’ah di luar perkara syariat yang melanggar laranganNya atau bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) serta bid’ah dalam perkara syariat atau dibeberapa hadits disebut sebagai bid’ah dalam urusan agama atau bid’ah dalam “urusan kami” yakni bid’ah dalam urusan yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya yakni melarang sesuatu yang tidak dilarangNya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya.

Allah ta’ala berfirman:

اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah: 3).

Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan nikmat Allah yang paling besar, yaitu ketika Allah menyempurnakan agama bagi manusia sehingga mereka tidak lagi membutuhkan agama selain islam, tidak membutuhkan seorang nabi pun selain nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah Allah ta’ala mengutus beliau sebagai nabi penutup para nabi dan mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di syariatkan-Nya.”.

Mereka telah nyata-nyata mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya atau mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya atau melarang sesuatu yang tidak dilarangNya.

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33).

Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (HR Muslim 5109).

Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi sehingga mereka bertasyabuh dengan kaum Nasrani, menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 ).

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“.

Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi).

*******************************************************
Ada sebuah fenomena yang sangat pelik telah mendorong untuk menulis sebuah catatan/risalah sederhana ini dimana sebagian orang telah menjadikan tarkun-Nabi (ترك النبي) atau dalam bahasa kita (hal-hal yang ditinggalkan atau tidak dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu sebagai hujjah (alasan hukum) untuk mengharamkan amal ibadah orang lain.

Pertanyaannya adalah apakah benar jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan atau tidak melakukan suatu perkara, lantas menjadi haram hukumnya bagi kita untuk melakukan suatu perkara itu? Saya harap Saudara-saudaraku sekalian memahami pertanyaan saya ini sebab di siniah inti dari pembahasan kita ini.

Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas ada baiknya kita memahami dahulu sebuah pertanyaan yang lebih mendasar lagi, apakah benar jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan sesuatu, berarti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memberitahukan kita bahwa sesuatu itu haram?
Jawabannya tentu saja tidak, karena di sana ada sebab-sebab lain mengapa Rasulullah meninggalkan sesuatu yang berarti bukan serta-merta sesuatu yang ditinggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu haram dilakukan oleh kaum muslimin.

Di antaranya adalah:
1. Terkadang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu hanya karena adat atau kebiasaan saja, seperti yang pernah terjadi ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat bertamu ke suatu kaum dimana mereka disuguhkan daging dhob (biawak padang pasir) panggang dan kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membentangkan tangannya yang mulia untuk mengambil daging itu, dan serta merta sahabat mengatakan wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah daging dhob. Langsung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik tangannya kembali dan tidak jadi mencicipi dhob tersebut. Kemudian para sahabat bertanya, “Apakah ianya haram wahai Rasulullah?”

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, hanya saja daging dhob ini tidak ada di tempatku maka aku merasa tidak suka untuk memakannya. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan para sahabat untuk melahap daging itu.

Dari riwayat yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim di atas, sangat jelas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan memakan daging dhob bukan karena ingin memberitahukan bahwa daging dhob itu haram, tetapi karena sebab lain yaitu beliau tidak suka dengan daging dhob.

2. Terkadang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu karena takut sesuatu itu diwajibkan kepada umatnya. Seperti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sholat tarawih justru ketika para sahabat berkumpul untuk mengikuti tarawehnya dari belakang.

3. Terkadang pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu karena tidak terpikir atau terlintas dibenaknya untuk melakukan sesuatu itu. Seperti dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam khutbah jum’at hanya di atas sebuah tunggul kurma dan tidak pernah terlintas sebelumnya dalam benak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membuat sebuah mimbar sebagai tempat berdirinya ketika khutbah. Kemudian para sahabat mengusulkan untuk membuat mimbar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya sebab memang itu sebuah usulan yang baik dan membuat semua jama’ah dapat mendengar suara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Terkadang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu karena sesuatu itu bebas boleh dikerjakan dan boleh tidak dikerjakan semisal ibadah-ibadah tathowwu’ seperti sedekah, zikir, sholat dhuha, tilawah qur’an dan sebagainya. Ibadah-ibadah ini jika ditinggalkan tidak mengapa dan jika dikerjakan sebanyak-banyaknya maka termasuk sebagaimana yang dikatakan dalam keumuman ayat:

وافعلوا الخير لعلكم تفلحون الحج: 77

“…dan lakukanlah kebajikan agar kamu beruntung.” (Al-Hajj:77).

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan sholat dhuha setiap hari. bukan berarti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memberitahukan kepada kita bahwa sholat dhuha tiap hari itu haram. Begitu pula zikir selepas sholat, terkadang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya dengan berbagai alasan seperti perang, menunaikan hak kaum muslimin dan sebagainya. Bukan berarti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memberitahukan kepada kita bahwa melakukan zikir setiap kali selesai sholat adalah haram.

5. Pernah juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu karena sesuatu itu adalah perkara sensitif yang dikhawatirkan akan menyinggung perasaan kaum Quraisy pada waktu itu sehingga berpengaruh akan menggoyang keimanan mereka yang masih baru. Seperti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meninggalkan untuk tidak merehab kembali bangunan ka’bah kepada ukuran semula sebagaimana yang pernah dibangun Nabi Ibrahim Alaihissalam sebab khawatir banyak kaum muslimin Quraisy yang masih baru keislamannya pada waktu itu akan berubah hatinya kembali kepada kekafiran.

6. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meninggalkan untuk menulis hadits-hadits beliau di masa hidupnya karena takut tercampur dengan ayat-ayat Alquran yang juga sedang disuruh untuk menulisnya di daun-daun, tulang-tulang, batu-batu dan pelepah kurma. Ini bukan berarti menulis hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu haram hukumnya. Dan buktinya sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelah Alquran dibukukan, kaum muslimin bersepakat untuk menuliskan dan membukukan hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari sedikit contoh di atas dapat kita jawab pertanyaan di awal risalah ini bahwa jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan atau tidak melakukan suatu perkara maka tidak menjadi haram hukumnya bagi kita untuk melakukan suatu perkara itu.

Berikut saya sertakan dalil dari Alquran dan sunnah akan pernyataan saya di atas:
1. Biasanya untuk menunjukkan sesuatu itu haram, Alquran dan sunnah menggunakan lafazh-lafazh larangan, tahrim atau ancaman siksa (‘iqab), seperti:

ولا تقربوا الزنا الإسراء : 32

“…dan janganlah engkau dekati zina…”(Al-Isra:32).

ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل البقرة: 188

“…dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan cara yang batil…”(Al-Baqarah:188).

حرمت عليكم الميتة و لحم الخنزير المائدة : 3

“Diharamkan atasmu bangkai dan daging babi…”(Al-Maidah:3)

قا ل صلى الله عليه و سلم: من غش فليس منا رواه مسلم

Rasulullah Saw bersabda:”Siapa yang berdusta maka bukan daripada golongan kita.”.

Dari nash-nash di atas, para ulama mengistimbath hukum bahwasanya zina, memakan harta orang lain secara batil, memakan bangkai dan babi serta berbohong adalah haram. Dan tidak pernah di dalam istimbath hukum, para ulama kita menggunakan tark Nabi (sesuatu yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sebagai hujjah untuk mengharamkan sesuatu.

2. Coba perhatikan ayat dan hadits berikut ini:

وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا الحشر:7

“…dan apa-apa yang Rasul datangkan kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang Rasul larang maka tinggalkanlah…”(Al-Hasyr:7).

Dari ayat di atas sangat jelas bahwa kita disuruh meninggalkan sesuatu jika dilarang Rasul, bukan ditinggalkan atau tidak dilakukan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Coba perhatikan bunyi ayat di atas:

 وما نهاكم عنه 

bukan

 وما تركه.

Kemudian coba perhatikan hadits berikut ini:

قال قا ل صلى الله عليه و سلم: ما أمرتكم به فأتوا منه ما ستطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه رواه البخاري

Nabi Saw bersabda: “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah!”.

Dari hadits di atas sangat gamblang bahwa bunyi haditsnya:

“وما نهيتكم عنه” 

dan bukan

 وما تركته فاجتنبوه

3. Bahwasanya para ulama ushul fiqih mendefinisikan sunnah (السنة) sebagai: perkataan (القول), perbuatan (الفعل) dan persetujuan (التقرير) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan tark-nya (الترك). Jadi siapapun yang melakukan sesuatu dan sesuatu itu tidak pernah dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa dikatakan dia telah bertentangan dengan sunnah, sebab tark bukan bagian dari sunnah.

4. Para ulama ushul fiqih telah bersepakat semuanya bahwa landasan hukum (hujjah) untuk menentukan sesuatu itu wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh dengan empat landasan hukum yaitu: Alquran, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dan tidak pernah at-tark dijadikan sebagai landasan hukum (hujjah).

Lalu bagaimana dengan khamar, judi, menyembah berhala?? Bukankah itu semua juga ditinggalkan Rasulullah Saw?? Apakah itu berarti bahwa khamar, judi dan menyembah berhala itu belum tentu haram??
Maka di sini saya menjawab bahwa:

إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Begitulah cara para ulama kita mengetahui hukum dari sesuatu perkara. Dan saya melihat hanya sebagian kecil saja ulama-ulama yang menggunakan at-tark ini sebagai hujjah. Ulama yang pertama sekali menggunakan at-tark ini sebagai hujjah adalah Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan sekarang diikuti manhaj ini oleh para ulama Arab Saudi dan cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama salaf sebelum beliau (Imam Ibnu Taimiyah). Ini adalah sebuah kekhilafan yang sangat fatal sebab akan menyebabkan banyak sekali perkara-perkara sunnah lagi baik digolongkan kepada bid’ah hanya karena perkara-perkara itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Ini akan menyempitkan ladang amal dan ibadah bagi kaum muslimin, padahal kita semua sudah tahu bahwa ladang amal dan ibadah itu bagi kaum muslimin sangat luas sampai-sampai seluruh perkara yang bernilai manfaat dan diniatkan untuk Allah adalah ibadah dan seluruh hamparan bumi ini di anggap sebagai tempat sujud oleh Islam.

Adapun hadits Rasulullah Saw;

وَ شَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Dan seburuk-buruk perkara adalah yang baru dan setiap yang bid’ah adalah sesat” (Riwayat Muslim).

Sama sekali tidak berhubungan dengan pembahasan kita di risalah ini. Sebab hadits tersebut bukan semata-mata mencela hal-hal yang ditinggalkan Nabi Saw (tark Nabi) , akan tetapi mencela perkara-perkara baru yang bertentangan dengan ushul-ushul syar’i yang tidak berhujjah sama sekali seperti adzan ashar sebelum masuk waktu shalat ashar, shalat subuh tiga raka’at, membayar zakat harta hanya 2%, melakukan ibadah haji bukan ke tanah suci mekah, membuat aqidah baru murji’ah, mu’tazilah, jabbariyah dan qadariyah serta membagi tauhid kepada uluhiyah, rububiyah dan asma wa shifat.

Itulah yang dimaksudkan dengan hadits Rasulullah Saw:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang melakukan amalan tidak ada atasnya perkara kami maka ia tertolak” (riwayat Muslim)
Coba lihat lafazh yang digunakan pada hadits di atas adalah

 أمرنا 

dan bukan

 فعل النبي 

Mantuq yang tertulis: siapa yang melakukan amalan tidak ada atasnya perkara kami maka ia tertolak dan mafhumnya tentu saja siapa yang melakukan amalan yang ada atasnya perkara kami maka ia diterima.
Mantuqnya tidak tertulis seperti ini: siapa yang melakukan amalan tidak ada atasnya perbuatan Nabi maka ia tertolak hingga mafhumnya siapa yang melakukan amalan yang ada atasnya perbuatan Nabi maka ia diterima.

Tidak demikian bukan???!!
“Amruna” itu lebih umum dan luas daripada “fi’lun Nabi” sebab amruna mencakup amr Allah dan amr Rasul Saw baik itu diambil dari Alqur’an dan hadits maupun metode istinmbath lainnya yang diambil dari kedua sumber hukum ini seperti ijma’, qiyas, mashalih mursalah, istihsan, saddu adz dzara’i, amal ahlu madinah dan segala amruna lainnya yang telah disepakati.

Yah…begitulah manusia, terkadang benar dan terkadang salah. Terlebih dalam ijtihad agama, benarnya diberi pahala dua dan salahnya masih diberi pahala satu. Dan sebagaimana kata Imam Malik radhiyallahu ‘anhu: “Setiap kalam itu mungkin ditolak dan mungkin diterima kecuali kalam penghuni kubur ini (mutlak dapat diterima)”. Imam Malik sambil mengisyaratkan tangannya kepada maqam Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam…….

semoga catatan/risalah ringkas ini dapat membuka pintu hati dan gambaran ilmu bagi mereka-mereka yang masih saja menyudutkan dan mempermasalahkan amaliyyah orang lain, yang sekiranya masih berada di bawah naungan keumuman ayat atau hadist Rasulullah SaW…


Oleh : Ibnu Abdillah Al – Katibiy

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Benarkah hadits ini bermakna :
“ Barangsiapa yang berbuat hal baru yang tidak ada perintahnya, maka ia tertolak “.

Simak pembahasannya di sini pakai ilmu (bukan pakai nafsu).

Ditinjau dari sisi ilmu lughoh :
- I’rab nahwunya :
من : adalaha isim syart wa jazm mabniyyun ‘alas sukun fi mahalli rof’in mubtada’ wa khobaruhu aljumlatus syartiyyah ba’dahu.
احدث : Fi’il madhi mabniyyun ‘alal fathah fii mahalli jazmin fi’lu syarth wal fa’il mustatir jawazan taqdiruhu huwa.
في : Harfu jar
امرنا : majrurun bi fii wa lamatu jarrihi alkasrah, wa naa dhomirun muttashil mabnyyyun ‘alas sukun fii mahlli jarring mudhoofun ilaihi
هذا : isim isyarah mabniyyun alas sukun fi mahalli jarrin sifatun liamrin
ما : isim mabniy fii mahhli nashbin maf’ul bih
ليس : Fi’il madhi naqish yarfa’ul isma wa yanshbul khobar, wa ismuha dhomir mustatir jawazan taqdiruhu huwa
منه : min harfu jarrin wa hu dhomir muttashil mabniyyun alad dhommi wahuwa littab’iidh
فهو : al-faa jawab syart. Huwa dhomir muttashil mabniyyun alal fathah fi mahalli rof’in mubtada
رد : khobar mubtada marfuu’un wa alamatu rof’ihi dhommatun dzhoohirotun fi aakhirihi. Wa umlatul mubtada wa khobaruhu fi mahalli jazmin jawabus syarth.

Dari uraian sisi nahwunya maka bermakna :” Barangsiapa yang melakukan perkara baru dalam urusan kami yaitu urusan syare’at kami yang bukan termasuk darinya, tidak sesuai dengan al-Quran dan hadits, maka perkara baru itu ditolak “.

Makna tsb sesuai dengan statement imam Syafi’i yang sudah masyhur :

ما أُحدِثَ وخالف كتاباً أو سنة أو إجماعاً أو أثراً فهو البدعة الضالة، وما أُحْدِثَ من الخير ولم يخالف شيئاَ من ذلك فهو البدعة المحمودة

“ Perkara baru yang menyalahi al-Quran, sunnah, ijma’ atau atsan maka itu adalah bid’ah dholalah / sesat. Dan perkara baru yang baik yang tidak menyalahi dari itu semua adalah bid’ah mahmudah / baik “

- Istidlal ayatnya (Pengambilan dalil dari Qurannya) :

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ

“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27).

- Istidlal haditsnya (pengambilan dalil dari haditsnya) :

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim).

- Balaghoh :
Dalam hadits tsb memiliki manthuq dan mafhumnya :
Manthuqnya “ Siapa saja yang melakukan hal baru yang tidak bersumber dari syareat, maka dia tertolak “, misalnya sholat dengan bhsa Indonesia, mengingkari taqdir, mengakfir-kafirkan orang, bertafakkur dengan memandang wajah wanita cantik dll.

Mafhumnya : “ Siapa saja yang melakukan hal baru yang bersumber dari syareat, maka itu diterima “ Contohnya sangat banyak skali sprti pembukuan Al-Quran, pemberian titik al-Quran, mauled, tahlilan, khol, sholat trawikh berjama’ah dll.

Berangkat dari pemahaman ini, sahabt Umar berkata saat mengkumpulkan orang-orang ungtuk melakukan sholat terawikh berjama’ah :
نعمت البدعة هذه “ Inilah sebaik-baik bid’ah “.

Dan juga berkata sahabat Abu Hurairah Ra :

فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)

“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”.
(HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)ز

Jika semua perkara baru itu buruk, maka sahabat2 tsb tidak akan berkata demikian.
Nah sekarang kita cermati makna hadits di atas dari wahhabi salafi :

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Hadits ini mereka artikan :
Pertama : “ Barangsiapa yang berbuat hal baru dalam agama, maka ia tertolak “.

Jika mreka mngartikan demikian, maka mereka sengaja membuang kalimat MAA LAITSA MINHU-nya (Yang bersumber darinya). Maka haditsnya menjadi :

 مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا ُ فَهُوَ رَدٌّ

Kedua : “ Barangsiapa yang berbuat hal baru yang tidak ada perintahnya, maka ia tertolak “
Jika merka mngartikan seperti itu, berarti merka dengan sengaja telah merubah makna hadits MAA LAITSA MINHU-nya MENJADI MAA LAITSA MA-MUURAN BIHI (Yang tidak ada perintahnya). Maka haditsnya menjadi :

 مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا ليَْسَ مَأمُوْراً بهِ فَهُوَ رَدٌّ

Sungguh ini sebuah distorsi dalam makna hadits dan sebuah pengelabuan pada umat muslim.
Jika mereka menentang dan berdalih : “ Bukankah Rasul Saw telah memuthlakkan bahwa semua bid’ah adalah sesat, ini dalilnya :

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)

Maka kita jawab : Hadits tsb adalah ‘Aam Makhsus (lafadznya umum namun dibatasi) dgn bukti banyak dalil yang menjelaskannya sprti hadits 2 sahabat di atas. Maksud hadits tsb adalah setiap perkara baru yang brtentangan dgn al-quran dan hadits.

Perhatikan hadits riwayat imam Bukhori berikut :

أشار سيدنا عمر ابن الخطاب رضي الله عنه على سيدنا أبو بكر الصديق رضي الله عنه بجمع القرآن في صحف حين كثر القتل بين الصحابة في وقعة اليمامة فتوقف أبو بكر وقال:” كيف نفعل شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم؟”
فقال له عمر:” هو والله خير.” فلم يزل عمر يراجعه حتى شرح الله صدره له وبعث إلى زيد ابن ثابت رضي الله عنه فكلفه بتتبع القرآن وجمعه قال زيد:” فوالله لو كلفوني نقل جبل من الجبال ما كان أثقل علي مما كلفني به من جمع القرآن.” قال زيد:” كيف تفعلون شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم.” قال:” هو والله خير” فلم يزل أبو بكر يراجعني حتى شرح الله صدري للذي شرح له صدر أبي بكر وعمر رضي الله عنهما .

“ Umar bin Khothtob member isayarat kpd Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf ktika melihat banyak sahabat penghafal quran telah gugur dalam perang yamamah. Tapi Abu Bakar diam dan berkata “ Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasul Saw ?” MaKA Umar menjawab “ Demi Allah itu suatu hal yang baik “. Beliau selalu mengulangi hal itu hingga Allah melapangkan dadanya. Kmudian Abu bakar memrintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Al-Quran, maka Zaid berkata “ Demi Allah aku telah terbebani untuk memindah gunjung ke satu gunung lainnya, bagaimana aku melakukan suatu hal yang Rasul Saw tdiak melakukannya ?” maka Abu bakar mnjawab “ Demi Allah itu suatu hal yang baik “. Abu bakar trus mngulangi hal itu hingga Allah melapangkan dadaku sbgaimana Allah telah melapangkan dada Umar dan Abu Bakar “.

Coba perhatikan ucapan Umar dan Abu Bakar “ Demi Allah ini suatu hal yang baik “, ini menunjukkan bahwasanya Nabi Saw tidak melakukan semua hal yang baik, sehingga merka mngatakan Rasul Saw tidak pernah melakukannya, namun bukan berarti itu buruk.

Jika merka mengatakan sahabat Abdullah bin Umar telah berkata :

كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة

“ Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik “.

Maka kita jawab :
Itu memang benar, maksudnya adalah segala bid’ah tercela itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik. Contohnhya bertaqarrub pd Allah dengan mndengarkan lagu dangdutan.
Jika sahabat Abdullah bin Umar memuthlakkan bahwa semua bid’ah itu sesat tanpa trkecuali walaupun orang2 mengangaapnya baik, lalu kenapa juga beliau pernah berkata :

بدعة ونعمت البدعة 

“ Itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah “.

Saat beliau ditanya tentang sholat dhuha. Lebih lengkapnya :

عن الأعرج قال : سألت ابن عمر عن صلاة الضحى فقال:” بدعة ونعمت البدعة

“ Dari A’raj berkata “ Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang sholat dhuha, maka beliau menjawab “ Itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah “.

Apakah pantas seorang sahabat sprti Abdullah bin Umar tidak konsisten dalam ucapannya alias pllin-plan ?? sungguh sangat jauh dr hal itu.

KESIMPULAN :
- Cara membedakan bid’ah dholalah dan bid’ah hasanah adalah :

والتمييز بين الحسنة والسيئة بموافقة أصول الشرع وعدمها 
“ Dengan sesuai atau tidaknya dengan pokok-pokok syare’at “.

- Orang yang mengartikan hadits :

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Dengan : “ Bar angsiapa yang melakuakn hal baru maka itu tertolak “ atau “ Brangsiapa yang melakukan hal baru tanpa ada perintahnya maka ia tertolak “.

Orang yang mengartikan seperti itu, berarti ia telah berbuat bid’ah dholalah / sesat, akrena tidak ada dasarnya sama sekali baik dari Al-Quran, hadits maupun atsarnya..Dan telah sengaja merubah makna hadits Nabi Saw tersebut..dan kita tahu apa sangksi bagi orang yang telah berdusta atas nama Nabi Saw..Naudzu billahi min dzaalik..

Semoga bermanfaat bagi yang ingin mencari kebenaran dan bagi yang ingin mencari pembenaran silakan bantah dengan ilmu.

Terkait Berita: