Oleh: H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Tata-cara yang direncanakan untuk memakamkan jenazah suci itu ternyata banyak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, terutama mengenai problema: siapa yang berhak memandikan, siapa yang berhak menurunkan ke liang lahad dan lain sebagainya.
Tentang di mana jenazah suci akan dikebumikan juga menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para sahabat. Sebagian menuntut supaya jenazah Rasul Allah s.a.w. dimakamkan di Makkah. Sebagai alasan dikatakan, di kota itulah beliau dilahirkan. Sebagian lain menuntut supaya jenazah beliau dimakamkan di Madinah, di pemakaman Buqai’, dengan alasan agar beliau bersemayam bersama-sama pahlawan syahid yang gugur dalam perang Uhud. Akhirnya perbedaan pendapat ini dapat disudahi, setelah Abu Bakar mengumumkan, bahwa ia mendengar sendiri penegasan Rasul Allah s.a.w.: “Semua Nabi dimakamkan di tempat mereka wafat”. Berdasarkan itu bulatlah mereka memakamkan jenazah Nabi Muhammad s.a.w. di rumah beliau di Madinah.
Tentang masalah siapa yang akan mengimami shalat jenazah secara berjama’ah juga terdapat pertikaian. Pertikaian itu terjadi karena hal itu dipandang suatu kehormatan yang sangat tinggi bagi seorang yang bertindak selaku Imam shalat jenazah bagi manusia agung seperti Nabi Muhammad s.a.w. Karena tidak tercapai kesepakatan, akhirnya tiap orang melakukan shalat jenazah sendiri-sendiri. Sementara itu terdapat riwayat lain yang mengatakan, bahwa di kala itu Imam Ali r.a. mengusulkan shalat jenazah secara berjema’ah. Usul tersebut diterima oleh kaum muslimin, bahkan disepakati ia bertindak sebagai imam.
Begitu pula, tentang siapa yang akan mendapat kehormatan menurunkan jenazah suci ke liang lahad. Abbas bin Abdul Mutthalib, paman Rasul Allah s.a.w. mengusulkan supaya Abu Ubaidah bin Al Jarrah saja yang menurunkan ke liang lahad. Sebagai alasan dikemukakan, bahwa dia sudah biasa menggali lahad dan mengembumikan orang-orang Makkah. Imam Ali r.a. berpendirian lain. Ia mengusulkan agar Abu Thalhah Al-Anshariy saja yang turun ke liang lahad. Alasannya senada dengan paman Rasul Allah s.a.w. di atas, hanya kotanya lain: “Ia sudah biasa menggali lahad dan memakamkan orang-orang Madinah.”
Setelah melalui pertukaran pendapat beberapa lamanya, akhirnya terdapat saling pengertian dan Abu Thalhah mendapat kehormatan menggali liang lahad. Kemudian timbul pula problema baru. Siapa yang akan menyertai Abu Thalhah dalam melaksanakan tugas terhormat itu?
Problema-problema seperti di atas timbul, karena tidak ada seorang pun yang diakui otoritasnya untuk mengatur dan menentukan tata-cara pemakaman. Juga karena tidak ada wasiyat apa pun dari Rasul Allah s.a.w. tentang sesuatu yang perlu dilakukan kaum muslimin pada saat beliau wafat. Soal-soal yang bagi orang zaman sekarang dianggap kurang penting, pada masa itu benar-benar dipandang sebagai satu soal yang besar. Lebih-lebih karena yang dihadapi kaum muslimin ialah jenazah Rasul Allah s.a.w. Hal itu wajar. Rasanya tidak ada kehormatan yang lebih tinggi dari pada memperoleh kesempatan memberikan pelayanan terakhir kepada jenazah suci itu.
Akhirnya Imam Ali r.a. dengan terus terang dan tegas berkata: “Tidak ada orang yang boleh turun ke liang lahad bersama Abu Thalhah selain aku sendiri dan Abbas.”
Sungguh pun sudah ada ketegasan seperti itu dari Imam Ali r.a., namun dalam praktek ia membolehkan juga Al-Fadhl bin Abbas dan Usamah bin Zaid turun ke liang lahad. Hal itu menimbulkan rasa kurang enak di kalangan kaum Anshar. Mereka menuntut agar ada seorang dari kaum Anshar yang ikut. Tuntutan yang adil itu akhirnya disepakati dan ditunjuklah orangnya, Aus bin Khauliy. Aus dulu pernah ikut aktif dalam perang Badr melawan kaum musyrikin Qureiys.
Dalam semua kegiatan membenahi pemakaman jenazah Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. benar-benar memainkan peranan yang sangat dominan. Bahkan waktu memandikan jenazah beliau, Imam Ali r.a.lah satu-satunya orang yang menjamah jasad manusia agung itu. Hal itu dimungkinkan karena sebelumnya banyak orang yang sudah mendengar, bahwa Rasul Allah s.a.w. sendiri pernah menyatakan, hanya Imam Ali r.a. saja yang boleh melihat aurat beliau.
Kesan Imam Ali r.a. yang sangat mendalam dan selalu terkenang dari peristiwa memandikan jenazah suci itu ialah: “…kubalikkan sedikit saja, jasad beliau sudah menurut. Sama sekali tidak kurasakan berat. Seolah-olah ada tangan lain yang membantuku, bukan lain pasti tangan Malaikat.”
Riwayat lain mengatakan, bahwa yang memandikan jenazah Rasul Allah s.a.w. bukan hanya Imam Ali r.a., tetapi juga Abbas bin Abdul Mutthalib serta dibantu oleh dua orang puteranya yang bernama Al-Fadhl dan Qutsam, di samping Usamah bin Zaid. Usamah bin Zaid dan Syukran, yang sampai saat terakhir menjadi pembantu Rasul Allah s.a.w., dua-duanya menuangkan air. Jasad jenazah suci dimandikan tetap dalam mengenakan pakaian. Di saat memandikan Imam Ali r.a. tertegun oleh keharuman bau semerbak dan sambil bergumam mengucapkan: “Demi Allah, alangkah harumnya engkau di waktu hidup dan setelah meninggal!” Sementara riwayat mengatakan pula, bahwa pemakaman jenazah suci itu dilakukan pada malam hari di bawah cahaya gemerlapan bintang-bintang di langit hening. Di tengah keheningan malam itu terdengar detak-denting suara orang menggali lahad, bercampur suara saling berbisik, seolah-olah jangan sampai mengusik ketenangan jenazah agung yang sedang menuju ke pembaringan terakhir. Tidak jauh dari tempat pamakaman terdengar suara haru para wanita tertahan mengendap-endap rintihan duka. Innaa Lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun…
(Al-Hassanain/Islamic-Sources/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email