Pesan Rahbar

Home » » Apakah Wali Faqih Itu Lebih Utama Dibandingkan Malaikat?

Apakah Wali Faqih Itu Lebih Utama Dibandingkan Malaikat?

Written By Unknown on Wednesday, 18 October 2017 | 09:32:00


Apakah benar apa yang disinyalir oleh Imam Khonmeini Ra di dalam bukunya “Hukumat-e Islami" (Pemerintahan Islam) bahwa pemimpin Negara Islam itu (Wali Faqih) lebih mulia daripada malaikat Ilahi?


Jawaban Global:

Wilâyatul Faqih(pemerintahan juris) pada masa gaib seperti sekarang ini, merupakan perpanjangan Wilâyah Nabi Muhammad Saw dan para Imam maksum As. Dengan kata lain bahwa Wilâyatul Faqihitu diambil dan bersumber dari Wilâyah Nabi Saw dan wilâyah para Imam maksum As. Seorang Wali Faqih memiliki wewenang yang sama di dalam mendirikan Negara Islam dan menjalankan konstitusinya.

Sesuai dengan pandangan Imam Khomeini Ra bahwa Nabi Muhammad Saw dan para Imam suci As telah memiliki kesempurnaan-kesempurnaan dan maqam-maqam maknawi (spiritual) yang sangat tinggi dan khusus. Karena itu, mereka juga memiliki wilâyah takwini (kemampuan untuk mengatur dan menundukkan alam). Dengan dasar itu, maka maqam maknawi mereka lebih tinggi dari semua makhluk yang ada di alam semesta ini. Bahkan lebih tinggi dari maqam malaikat. Ketika kami katakan bahwa Wilâyatul Faqihitu sama dengan Wilâyah Nabi saw dan Wilâyah para Imam maksum As, tidak berarti bahwa maqam dan kedudukan maknawi Wali Faqih juga sama dengan maqam maknawi Nabi Saw dan para Imam maksum As. Demikian itu apabila Wali Faqih juga memiliki kesempurnaan-kesempurnaan maknawi dan insani yang tinggi, maka disamping ia memiliki wilâyah tasyri’i, ia juga memiliki sedikit wilâyah takwini dan juga sebagai mishdaq (contoh) insan kamil yang maqamnya lebih tinggi dibandingkan maqam malaikat.


Jawaban Detil:

Sebelum kami jelaskan tentang keutamaan pemimpin Islam dan Wali Faqih atas para malaikat, kiranya definisi, kedudukan, kewenangan dan dalil-dalil Wilâyatul Faqihperlu dijelaskan terlebih dahulu. Menurut pandangan dan ajaran Islam bahwa kekuasaan hanyalah milik Allah Swt “Inil hukmu illa lillah” (kekuasaan itu hanyalah milik Allah)[1] Kandungan yang semakna dengan ayat tersebut dapat pula ditemukan pada ayat-ayat yang lainnya.

“Al-Hukm” di dalam ayat ini mempunyai makna yang luas, yaitu mencakup hukumah (pemerintahan) dan pengadilan.[2] Ketika kita telah menerima dan meyakini bahwa seluruh alam raya ini adalah makhluk dan ciptaan Allah Swt, maka konsekuensinya kita pun harus menerima bahwa pemilik dan penguasa hakiki atas seluruh alam ini adalah Dia. Karena itu, seluruh kekuasaan harus berujung kepada-Nya dan segala perintah hanya bersumber dari-Nya. Siapapun yang berani menduduki kekuasaan tanpa izin dan perintah-Nya, maka ia dianggap telah melanggar dan merampas kekuasaan. Dengan dasar itulah seluruh nabi Ilahi dan juga penutup mereka; Nabi Muhammad Saw merupakan para pemimpin dan penguasa yang langsung dilantik oleh-Nya. Dan setelah Nabi terakhir Saw, yang berhak menduduki kekuasaan dan kursi khilâfah hanyalah orang-orang yang telah ditentukan dan diangkat oleh-Nya, baik melalui perantara maupun tidak. Berdasarkan pemikiran dan keyakinan ini, maka pada masa gaib Imam Mahdi Ajf sekarang ini, yang berhak menduduki kursi khilâfah dan kepemimpinan umat adalah orang yang telah ditentukan dan dilantik oleh-Nya, baik bersifat umum maupun khusus.[3]

Oleh karena itu, berdasarkan ajaran Syi’ah, Wilâyatul Faqih pada masa gaib ini merupakan perpanjangan wilâyah dan kepemimpinan para Imam maksum As. Sebagaimana pula wilâyah mereka itu sebagai tongkat estafet wilâyah Nabi Saw. Kesimpulannya bahwa pucuk kepemimpinan umat Islam yang menduduki dan menjalankan roda umat adalah seseorang yang mengetahui dengan benar dan menyeluruh tentang ajaran Islam, yakni seorang Imam maksum As. Jika seorang maksum berhalangan hadir, maka tugas dan tanggung jawab ini berada di pundak para faqih (juris) dan ulama.[4]

Untuk memperoleh satu kesimpulan yang utuh dari persoalan ini, perlu kita ketahui bahwa wilâyah dengan makna pengelolaan dan penguasaan atas seseorang atau atas pekerjaan orang lain, maka wilâyah ini terbagi menjadi dua, wilâyah takwini dan wilâyah tasyri’i.

Wilâyah takwini adalah kemampuan mengelola dan menundukkan alam materi dan tatanan tabiat. Sedang wilâyah tasyri’i adalah kemampuan dan kekuasaan dalam menetapkan undang-undang, mengeluarkan perintah dan pensyari’atan hukum-hukum (mengeluarkan fatwa) yang -pada tataran irsyad (memandu)- disamping mempunyai tugas untuk menjelaskan undang-undang Ilahi, juga menjelaskan kewajiban mentaati urusan-urusan hukumati (politik) dan ijtima’i (sosial).

Nabi Muhammad Saw demikian juga kebanyakan para nabi dan para Imam maksum As memiliki derajat wilâyah takwini yang dinamakan dengan mukjizat yang sesuai dengan ketinggian martabat wujud dan kesempurnaan mereka. Wilâyah tasyri’i juga memiliki berbagai tingkatan dan derajat yang berbeda-beda yang martabat puncaknya yang sempurna hanyalah milik Allah Swt. Sebagaimana mereka memiliki wilâyah takwini dan hal itu merupakan hal yang sudah jelas (musallam), maka wilâyah tasyri’i juga dimiliki oleh sebagian para nabi, Nabi Muhammad Saw dan para Imam maksum As. Dan pada masa gaibah ini, seorang juris yang adil, mengerti berbagai peristiwa, memahami berbagai problem pada masanya dan mempunyai kemampuan untuk memecahkan dan memutuskan berbagai masalah, ia pun memiliki wilâyah tasyri’i.[5]

Imam Khomeini Ra terkait masalah keutamaan derajat dan maqam seorang Wali dan pemimpin Islam dibandingkan dengan derajat malaikat berkata: “Para Imam maksum As juga memiliki maqam-maqam maknawi yang berbeda dengan tugas hukumah dan pemerintahan. Dan hal itu merupakan maqam khilafah universal Ilahi yang terkadang disebutkan melalui lisan Imam maksum As. Adapun wilâyah takwini dimana seluruh atom dan partikel bisa tunduk kepada seorang Wali dan Imam maksum, adalah suatu hal yang bersifat dharuri (gamblang) dalam mazhab Syi’ah dan siapapun selain Imam maksum tidak akan mencapai derajat tersebut sekalipun para malaikat dan nabi.[6] Tetapi fokus bahasan kita di sini adalah masalah wilâyah tasyri’i. Termasuk bagian dari akidah Syi’ah adalah bahwa Wilâyatul Faqih itu masih dalam lingkaran (perpanjangan) wilâyah Nabi Saw dan wilâyah para Imam maksum As. Hal itu sebagaimana telah disinggung di dalam Al-Qur’an: “Nabi itu lebih utama terhadap orang-orang mukmin daripada diri-diri mereka sendiri.” (Qs. Al-Ahzab [33]:6) Artinya bahwa kehendak dan keinginan Nabi Saw itu harus lebih diutamakan daripada kehendak dan keinginan siapapun. Para Imam maksum As pun –dalam masalah ini- seperti Rasulullah Saw yang memiliki wilâyah mutlak. Wali Faqih juga dalam semua urusan yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan, memiliki wewenang yang sama dengan Nabi Saw dan para Imam suci As. Sehubungan dengan kewenangan Wali Faqih, Imam Khomeini Ra pernah berkata: “Adanya dugaan bahwa wewenang pemerintahan dan kekuasaan Rasulullah Saw itu lebih banyak daripada kewenangan Imam Ali As, atau kewenangan pemerintahan Imam Ali As itu lebih banyak dari kewenangan Wali Faqih, adalah dugaan yang batil dan salah. Yang jelas bahwa fadhilah dan keutamaan Rasulullah Saw itu jauh lebih unggul dibandingkan dengan seluruh alam. Dan setelah itu keutamaan Imam Ali As lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Akan tetapi keutamaan masalah maknawi tidak akan menambah kewenangan kekuasaan dan pemerintahan.[7] Selanjutnya untuk menghilangkan kesalapahaman dan berdasarkan mabna (pandangan) adanya kesetaraan antara maqam Wali Faqih dan para Imam maksum As, Imam berkata demikian: “Ketika kita berkata bahwa Rasulullah Saw dan para Imam maksum As memiliki wilâyah, dan setelah masa gaibah kubra, Imam Zaman Ajf Wali Faqih yang adil memiliki wilâyah, maka jangan sampai ada yang menduga bahwa maqam Wali Faqih itu sama dengan maqam Rasulullah Saw dan para Imam maksum As. Karena inti pembahasan di sini bukanlah masalah maqam dan kedudukan, tetapi masalah tugas dan kewajiban. Wilâyah yakni kekuasaan, pengaturan negara dan menjalankan undang-undang syariat Islam yang suci. Hal ini merupakan tugas yang penting dan sangat berat. Bukanlah bagi orang yang memiliki kedudukan dan maqam yang tidak wajar, kemudian ia diangkat dari batas kemanusiaan yang biasa”.[8]

Boleh jadi bahwa seorang pemimpin Islam itu terpilih sebagai Wali Faqih bagi kaum mukminin, karena memiliki dua sifat kepemimpinan yang utama, yaitu ilmu pengetahuan dan amal perbuatan sehingga amanah pemerintahan Islam di letakkan di pundaknya. Pada kondisi seperti ini, menurut pandangan Imam Khomeini Ra : “Karena Wilâyatul Faqih itu merupakan perpanjangan dari Wilâyah Rasulullah Saw, maka seluruh umat diwajibkan mengikuti dan mentaatinya.[9]

Tetapi dalil tersebut tidak menunjukkan bahwa kedudukan dan maqam Wali Faqih sama dengan kedeudukan Nabi Saw yang menjadikan beliau lebih baik daripada malaikat. Kecuali jika Wali Faqih dan penguasa Islam itu juga -dengan jalan penghambaan yang ikhlas dan mencapai kesucian batin dan ruh ubudiah- telah memiliki kesempurnaan-kesempurnaan maknawi dan insani dan merupakan mishdaq (contoh) dari insan kamil (manusia sempurna), maka pada saat itu bisa jadi ia akan lebih utama dibandingkan malaikat. Berdasarkan argumen Al-Qur’an bahwa manusia memiliki nilai dan kemuliaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan semua makhluk di alam raya ini, sebagai khalifah Allah di muka bumi ini, masjud (yang sujud kepadanya) para malaikat langit, seluruh langit dan bumi ditundukkan untuk memenuhi segala keperluan hidupnya.[10]

Dari satu sisi bahwa jika seseorang menghendaki, maka ia dapat mendahului dan mengalahkan maqam para malaikat, yaitu dengan cara mempergunakan berbagai sarana dan potensi wujudnya. Maqam dan kedudukannya itu akan terangkat sehingga menjadi lebih tinggi dari maqam malaikat dengan amal perbuatan, pilihan yang baik dan keikhlasan. Dan bahkan dari sisi lain, manusia dapat mencapai maqam dan kedudukan yang jauh melebihi malaikat sehingga mencapai satu maqam dimana langit sendiri tidak akan mampu mengemban amanat tersebut.[11] Dengan ungkapan lain bahwa di dalam diri manusia itu tersimpan mutiara-mutiara yang dapat memperindah dan menghiasi seluruh alam ini. Karenannya ia dapat mencapai “masjudul malaikat” (malaikat sujud kepadanya).[12] Mutiara tersebut adalah potensi yang ada pada diri khalifatullah. Dengan mengembangkan dan meningkatkan potensi itu, ia dapat mencapai jalan tersebut sementara para malaikat Ilahi tidak menemukan jalan tersebut.

Selamanya Jibril diam dalam kebingungan

Jika Ahmad membuka rahasia safar nan agung

Maqam Jibril telah dilalui sampai kepada Sidrartul Muntaha

Jibril berkata: Pergilah ! pergilah! Kutak sanggup menyertaimu

Beliau berkata: Terbanglah kesini bersamaku!

Jibril berkata: Hingga di sinilah aku mendapatkan titah

Beliau berkata: Teruslah terbang dan jangan helah!

Jibril: Aku tidak diutus hingga ke maqam sana

Beliau berkata: Tidak, mari kesini, terbanglah!

Jibril: Sejengkal saja aku mendekat, aku akan terpanggang

Beliau berkata: tunggulah aku di batas itu wahai kawan!

Tak sadar sejenak dalam kekhususan, yang ada hanyalah kebingungan

di atas kebingungan mendengar kisah itu.[13]


Untuk mencapai kepada maqam-maqam tersebut dapat ditempuh dengan mengamalkan aturan-aturan dan undang-undang Islam, memperoleh nilai-nilai akhlak dan menjaga simpanan berharga ini.[14] Sebagaimana pula dengan mengikuti hawa nafsu dan keinginan-keinginan buruk nafsu, boleh jadi akan menjungkalkan manusia menjadi lebih buruk dari binatang itu sendiri.[15] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seseorang yang tidak menyia-nyiakan mutiara tersebut dan mengembangkannya pada jalan Ilahi, maka ia akan lebih baik[16] dari kelompok malaikat yang mempunyai derajat tinggi (Para malaikat yang membawa ‘Arsy, memantau berbagai amal hamba dan juga sebagai muballigh (penyampai) wahyu Ilahi dan ……..[17]). Dan seorang Wali Faqih dan Hakim Islam dapat mencapai kedudukan seperti itu.[]


Untuk telaah lebih jauh dalam masalah ini, Anda dapat merujuk pada referensi berikut ini:
1. Wilâyat-e Faqih (Hukumate Islami), Imam Khomeini, Muassasah Tanzhim wa Nasyre Atsare Imam Khomeini ra.
2. Wilâyat wa Diyânat, Hadawi Tehrani, Mahdi, Intisyarat Khaneh Kherad, Qum.
3. Payâme Qur’ân, Makarim Syirazi, jilid 10.
4. Pâsyukh be Syubuhati Peiramune Wilâyat Faqih, Syirazi, Ali.


Referensi:

[1] .Qs. Al-An’am: 57; Yusuf: 40 dan 67.
[2] .Mu’in, hal. 400, satu jilid.
[3] . Makarim Syirazi, Payâme Qur’an, jilid 1, hal. 53-54.
[4]. Hadawi Tehrani, Mahdi, Wilâyat wa Diyânat, hal. 63 dan 64.
[5]. Syirazi, Ali, Pâsyukh be Syubuhâte Wilâyate Faqih, hal. 9, 10.
[6] .Imam Khomeini Ra, Wilâyatu faqih (Hukûmate Islâmi), cet ke-9, hal. 42-43.
[7] . .Imam Khomeini Ra, Wilâyatu faqih (Hukûmate Islâmi), cet ke-9, hal. 42-43.
[8] . Ibid, hal. 40
[9] . Ibid.
[10] .Lihat Qs. Al-Baqarah: 30 & 34; Qs. Luqman: 20.
[11] .Lihat Diwan Khojah Hafiz Syirazi.
[12] .Keunggulan manusia dari makhluk lainnya, Pertanyaan 711 (Site: 751).
[13] .Matsnawi Ma'nawi, Rumi.
[14] .Sudah jelas dengan bahwa apabila Wali Faqih tidak menjaga ketakwaan dan aturan-aturan Ilahi, maka dengan sendirinya kedudukan rahbari (kepemimpinan) akan copot darinya. Indeks: Syarat-syarat Wali Faqih, Pertanyaan 30 (Site: 363).
[15] .Qs. al-A’raf: 179.
[16] Qs. An-Nisa: 172, Al-Haqah: 17, an-Nazi’at: 5, al-Infithar: 10-12, an-Nahl: 2.
[17] Iskandari, Husein, Âyehâye Zendegi, jilid 4 hal. 100.

(Islam-Quest/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: