Pesan Rahbar

Home » » Tanggung Jawab Utama Para Ulama

Tanggung Jawab Utama Para Ulama

Written By Unknown on Wednesday 18 October 2017 | 09:19:00


Oleh : Imam Khomeini

esungguhnya Saudara memikul beban tanggung jawab yang sangat berat dan sulit bila saudara tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab di madrasah atau di pesantren-pesantren Islam. Begitu juga sekiranya Saudara hanya mengetahui setengah-setengah tentang masalah fiqh dan ushuluddin. Maka jika keadaannya demikian, niscaya di masa mendatang Saudara akan menjadi anasir-anasir yang melumpuhkan dan membawa kemunduran umat Islam. Barangkali Saudara menjadi faktor yang membawa kesesatan kepada mereka. Oleh karenanya, mintalah perlindungan dari Allah terhadap yang demikian itu. Seandainya seorang di antara umat ini menyeleweng disebabkan oleh saudara, tindakan dan kaidah yang saudara bawa, maka Saudara akan menanggung dosa yang amat besar, jauh sekali taubat Saudara diterima oleh Allah.

Sebaliknya, adalah lebih baik bagi Saudara hanya seorang manusia yang mendapat petunjuk dengan izin Allah karena usaha-usaha Saudara sebagaimana terpancarnya seberkas cahaya matahari seperti telah dinyatakan dalam sebuah hadis Rasulullah Saww. Sebagaimana yang dimaklumi bahwa tanggung jawab Saudara bukan seperti tanggung jawab manusia biasa atau orang awam. Hal ini disebabkan karena semua urusan yang boleh dilakukan (jaiz) oleh manusia biasa atau orang awam, haram untuk saudara lakukan. Sesungguhnya manusia tidak suka melihat terlalu banyak urusan yang Saudara lakukan, apalagi kalau amalan-amalan tersebut dianggap hina dan tidak diterima oleh syariat Islam. Keadaan semacam itu menyebabkan Allah tidak memberi kelapangan dan kekuatan kepada Saudara, sehingga keadaan tersebut menimbulkan anggapan dan gambaran buruk terhadap Islam dan para ulamanya.

Di sini saya kemukakan suatu ibarat dan gagasan yang perlu mendapat perhatian. Bahwa sesungguhnya manusia, apabila melihat jalan dan cara hidup yang menyimpang, yang dilakukan hanya oleh seorang saja dari tingkat golongan orang yang berpendidikan agama, niscaya mereka akan menganggap buruk semua orang dalam golongan itu, mereka tidak membatasi anggapan buruk dan negatif itu hanya kepada pribadi tertentu tetapi lebih jauh lagi mereka menjatuhkan hukuman dan anggapan yang sama kepada semua golongan yang lain.

Sesungguhnya semua umat manusia tidak mempertimbangkan kedudukan Saudara ketika mereka melihat suatu tindakan yang patut oleh seorang ulama yang memakai sorban dan dilakukan perbuatan yang sama oleh orang awam atau pegawai pemerintah yang menyeleweng. Mereka akan mengatakan bahwa ulama-ulama itu tidak mempunyai kepribadian yang baik serta menyeleweng, kemudian mereka akan mengatakan si Fulan itu menyeleweng atau tidak baik atau hanya seorang pedagang biasa, mereka hanya mengatakan bahwa pedagang itu tidak baik. Sebaliknya jika seorang ulama yang bersorban, yakni mereka melihat penyelewengan dilakukan oleh seorang ulama, maka mereka akan berkata bahwa semua ulama yang memakai sorban dan berjubah itu jelek dan jahat. Oleh karenanya tanggung jawab para alim ulama dan orang-orang yang mempelajari ilmu Islam itu sungguh berat, dan tanggung jawab mereka itu lebih banyak daripada tanggung jawab semua golongan manusia yang lain.

Sekiranya dirujuk kepada kitab-kitab hadis, hal ini akan memberikan kepada kita fikrah atau pemikiran yang jelas tentang jawaban ini dan juga kepentingan-kepentingannya: Dari Abû Basîr yang berkata: "Aku telah mendengar Abû ‘Abdillah berkata: Adalah Amirul Mukminin as. berkata: Wahai penuntut (pencari ilmu) sesungguhnya ilmu pengetahuan itu mempunyai keutamaan-keutamaan yang banyak: sehingga kepalanya akan menunjukkan tawadhu, matanya terlepas dari perasaan dengki, ia menjaga percakapannya, hatinya mempunyai niat yang baik, akalnya dapat mengenali perkara dan urusan, tangannya senantiasa bersifat pemurah, kakinya senantiasa menziarahi para alim ulama, dadanya senantiasa berpikir tentang keselamatan, hidupnya wara’, keteguhan pribadinya senantiasa memohon kepada Allah, kepemimpinannya baik dan setia, senjatanya adalah kerelaan, alas kakinya senantiasa bergerak, kekuatannya adalah perilaku ulama, hartanya adalah menjauhi dosa, bekalnya adalah perkara yang ma’ruf, air mukanya jernih, pernyataanya adalah petunjuk, persahabatannya adalah kasih sayang." (Al-Kafi Vol. 4, hlm. 48). Dari Abû ‘Abdillah rh., beliau berkata: Rasulullah Saww. bersabda: "Para Fuqaha (alim ulama) adalah pewaris para rasul, mereka sekali-kali tidak cenderung pada dunia". Dikatakan, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud tidak cenderung kepada dunia?" Sabdanya: "Mengikuti penguasa: apabila mereka berbuat demikian, maka mereka menyimpang dari agamaku". (Al-Kafi, hlm. 46). Dari Abû Abdillah rh. berkata, "Sesungguhnya kami menyukai seseorang yang berakal, paham, mendalami agama, lapang dada, sabar, jujur dan setia. Sesungguhnya Allah mengkhususkan kepada para Nabi as. Dengan sifat-sifat akhlak yang mulia, maka barangsiapa yang mempunyai sifat-sifat itu hendaklah ia memuji Allah (bersyukur) atas hal yang demikian. Sebaliknya, sekiranya seseorang tidak memilikinya, maka hendaklah berusaha dan memohon kepada Allah. Apakah sifat-sifat kemuliaan ahlak itu? Ia adalah wara’, bersifat qana’ah (sabar, bersyukur, lemah lembut, malu, pemurah, berani, bercita-cita tinggi, baik, perkataannya benar, dan menunaikan amanah)". (Al-Wasail, hlm. 155).

1. Amirul Mukminin ‘Alî as. berkata: "Apa yang diperhitungkan oleh Allah atas ulama ialah bahwa mereka tidak bersama tindakan orang-orang yang zalim dan tidak pula ia membawa kesulitan kepada pihak yang dizalimi."
2. Dari Jamîl bin Darraj katanya: "Aku mendengar Abû ‘Abdillah rh., berkata: ‘Apabila nyawa telah sampai di sini, lalu ia mengisyaratkan ke tenggorokkannya, seorang ulama tidak bisa lagi bertaubat. Kemudian ia membaca ayat yang artinya: Adapun taubat kepada Allah itu hanya bagi orang-orang yang berbuat kejahatan dalam keadaan jahil (tidak tahu)." (QS. An-Nisâ’, 4:17)
3. Dari Hafs bin Qiyas dari Abû Abdillah rh. katanya: "Wahai Hafs, Seorang yang jahil diampuni dosanya sehingga ia melakukan tujuh perkara dosa sebelum seorang yang berlimu memperoleh ampunan atas dosanya, walaupun satu dosa." (Al-Wafi, hlm. 52).
4. Rasulullah Saww. bersabda: "Dua golongan dari umatku apabila mereka baik, maka umatku akan menjadi baik dan apabila mereka itu rusak, maka rusaklah umatku, dikatakan: Siapakah mereka itu? Sabda Rasulullah Saww : Alim ulama dan para penguasa."
5. Dari Salim bin Qais al-Hilali, katanya: "Aku telah mendengar Amirul Mukminin ‘Alî as. menceritakan dari Nabi Saww., bersabda: "Maksudnya Alim ulama itu terbagi dua golongan, yaitu: seorang laki-laki yang mempunyai ilmu pengetahuan dan menjadikan ilmunya sebagai mahkota. Satu lagi ialah seorang yang alim tetapi meninggalkan ilmunya, yang ini akan membinasakannya. Dan sesungguhnya ahli neraka mendapat kehinaan dari himbauan-himbauan seorang alim yang meninggalkan ilmunya. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam terdapat perbedaan besar antara seorang yang alim dengan seorang jahil berkenaan dengan perkara memberi manfaat dan membawa kerusakan. Seorang alim yang menyeleweng mungkin akan menyesatkan umatnya dalam kepemimpinannya. Sementara seorang ulama yang mempunyai jiwa istiqamah serta menghias dirinya dengan akhlak yang terpuji, yang mensucikan ruhaninya dan berpegang teguh dengan akhlak Islam, akan berupaya membenahi dan mendidik umatnya dengan kepemimpinannya. Sesungguhnya sepanjang pengamatan saya, di sebagian kota-kota besar yang pernah saya kunjungi, saya dapati bahwa sekiranya terdapat manusia yang berakhlak dan mempunyai kebersihan jiwa niscaya di sana terdapat seorang alim, insan yang bertakwa dan beramal shalih. Keberadaan seorang ulama yang bertakwa disuatu daerah atau wilayah itu, sebenarnya telah mencukupi untuk menyampaikan bimbingan kepada manusia serta mempengaruhi mereka dengan ajaran agama serta nasehat yang berguna."
6. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Fadhl bin Abu Marrah dari Abû ‘Abdillah rh. berkata: "Bahwa Rasulullah Saww. bersabda: "Orang-orang hawariyyun (pengikut Nabi ‘Îsâ) berkata kepada ‘Îsâ bin Maryam as.: Wahai Rasulullah, siapakah yang duduk itu? Nabi ‘Îsâ menjawab, "Dia seorang yang mengerjakan amalan akhirat dan melipatgandakan amalan salehnya."
7. Dan dari Abû Yakfûr, berkata Abû ‘Abdillah rh.: "Jadilah kamu penyeru kepada manusia walaupun dengan bahasa yang lain, niscaya kamu akan melihat golongan yang wara’, berjihad, shalat dan baik dan sesungguhnya yang demikian itu suatu seruan dakwah."

Dan sesungguhnya kita melihat begitu penting adanya seorang ulama berkepribadian yang senantiasa mengingat Allah dan menjadi panutan bagi seluruh umat manusia.

Seperti yang kita maklumi sekarang ini bahwa sekiranya wilayah Teheran mempunyai ulama yang wara’ dan bertakwa, akan berbeda dengan apabila wilayah tersebut terdapat ulama yang bersorban tetapi menyeleweng dan rusak. Pada bagian yang pertama itu kita akan melihat manusia yang beriman dan beramal saleh, sedangkan pada bagian yang kedua manusia-manusia yang menyeleweng dan jauh dari ajaran Islam. Ini disebabkan orang-orang alim mereka menjadikan masjid sebagai kedai perdagangan.

Sesungguhnya menjual agama dan ilmu tanpa amal adalah sarana menuju neraka jahanam. Demikian itu adalah amal-amal jahat yang dilakukan oleh ulama jahat di dunia ini, mendorong akibat buruk yang menghinakan di akhirat kelak. Bahkan bukan hanya sekadar itu saja, seorang yang berilmu telah mengakibatkan para pengikutnya diazab neraka bersamanya, tetapi lebih jauh dari itu, seorang ulama yang tidak beramal dengan pengetahuan agamanya dan tidak memiliki akhlak Islam akan berakibat buruk bagi seluruh makhluk di muka bumi ini.

Kesimpulan dari itu, seorang ulama yang berkelakuan buruk serta berfikir tentang tindakan-tindakan yang menyeleweng, akan menjadi bahaya yang sangat hebat. Sementara manusia biasa atau orang awam tidak akan sampai membawa keadaan yang sedemikian rupa, karena mereka tidak menjadi sebab setiap penyimpangan orang lain, sebagaimana yang telah dilakukan oleh seorang ulama yang bersorban dan berjubah. Orang awam tidak berupaya untuk mendakwahkan dirinya sebagai pemimpin, memberi petunjuk, mempunyai martabat kenabian dan ketuhanan.

Seorang ulama yang fasik dan rusak akan bertanggung jawab dalam membawa kerusakan dunia. Oleh karena itu, apabila alim ulamanya rusak, maka akan rusak pula dunia ini seluruhnya.
PENYELEWENGAN ULAMA MENYESATKAN UMAT

Sesungguhnya kebanyakan mereka yang menjadi sebab penyimpangan manusia adalah dari kalangan alim ulama. Sebagian dari mereka pernah mendapat pendidikan di pusat-pusat pengkajian (pensatren-pesantren) Islam. Malah secara luas terdapat pemimpin segolongan manusia yang sesat pernah belajar di pesantren-pesantren Islam, akan tetapi pelajaran yang mereka peroleh tidak mempunyai pengaruh kuat atas pendidikan dan tarbiyah ruhaninya. Lebih jauh dari itu mereka tidak pernah menempuh jalan yang benar dan selaras dengan Islam. Akibat dari penyimpangan tersebut, mereka membawa kerusakan dan bencana buruk yang menimpa kehidupan ini.

Memang benar, sekiranya seseorang tidak membersihkan diri dari perkara-perkara yang hina dan keji, niscaya pelajaran yang diterima itu akan membawa keburukan. Sebab sudah menjadi sifatnya, ilmu pengetahuan yang rendah dan tidak bersih akan menumbuhkan tanaman serta hasil yang tercela pula. Lihat saja ketika ilmu pengetahuan seseorang itu bertambah sementara hatinya hitam dan jelek serta tidak mendapat pendidikan yang sempurna, niscaya kegelapan yang menutup dirinya akan semakin tebal. Semua ini disebabkan karena ilmu pengetahuan itu akan menjadi hijab atau dinding yang amat gelap. Ilmu tersebut akhirnya menjadi penutup terhadap kebenaran. Kesimpulannya, kejahatan seorang ulama yang rusak adalah lebih berbahaya dari segala kejahatan.

Sekiranya ia mempelajari ilmu Tauhid sekalipun tetapi bukan karena Allah atau bukan untuk menegakkan jalan Allah, sudah barang tentu ia hanya akan menjadi dinding dan kegelapan serta kesesatan. Begitu juga kalau seseorang itu menghafal Al-Quran dengan bacaan qiraat empat belas sekalipun, tetapi bukan untuk mencari keridhaan Allah, maka tidak akan memberi sedikit pun manfaat kepada si penghafalnya, melainkan makin menjauhkan diri dari Allah Swt.

Oleh karena itu, adalah penting bahwa Saudara menuntut ilmu dengan bersusah payah dan begitu tekun sehingga menjadi seorang ulama. Namun adalah lebih penting Saudara mengetahui bahwa ada perbedaan yang besar antara seorang ulama dengan pendidik yang bersih jiwa dan ruhaninya. Ustadz kami — semoga Allah meridhainya — pernah berkata: "Mereka berkata: Adalah mudah menjadi seorang ulama, akan tetapi lebih sulit bagi seseorang untuk menjadi seorang insan. Tetapi kenyataan yang sebenarnya adalah sebaliknya, hendaklah kita mengatakan: Adalah sukar menjadi seorang ulama, dan lebih mustahil untuk menjadi seorang insan".

Berdasarkan ungkapan tersebut jelas menunjukkan betapa usaha-usaha untuk mencapai ketinggian akhlak kemuliaan dan kebijaksanaan manusia itu merupakan beban yang sangat berat, penting dan memerlukan usaha-usaha keras. Janganlah saudara menyangka bahwa dengan menekuni serta mempelajari ilmu-ilmu syariat Islam dan fikih khususnya, yang merupakan semulia-mulia ilmu, itu saja sudah memadai. Dan jangan pula saudara menyangka bahwa amalan tersebut sudah memenuhi segala keperluan. Sekali-sekali tidak memadai selama Saudara tidak mempunyai niat yang ikhlas. Jika Saudara dalam keadaan demikian, maka ilmu-ilmu itu sedikit pun tidak memberikan manfaat kepada Saudara.

Selama pencapaian ilmiah yang Saudara peroleh itu bukan karena Allah, na’udzubillâh, dan semata-mata karena dorongan hawa nafsu, niscaya Saudara hanya akan menghasilkan kepentingan duniawi dan kemasyarakatan semata. Dalam keadaan semacam ini segala pencapaian tersebut akan menuju kecelakaan, perlombaan hawa nafsu keserakahan dan bencana yang besar. Segala istilah ilmu pengetahuan dan perbendaharaan yang Saudara capai dalam bidang ilmu akan membawa kemelaratan dan bahaya kepada umat Islam di dunia dan akhirat, selagi mempunyai hubungan dengan ketakwaan. Pencapaian yang sedemikian rupa tidak membawa kesan dan faedah.

Demikian juga, ilmu Tauhid sekalipun, apabila tidak disertai dengan kebersihan jiwa, maka akan berakibat buruk bagi yang menuntut ilmu-ilmu tersebut. Coba perhatikan berapa banyak tokoh-tokoh ilmu Tauhid, tetapi merekalah yang menjadi puncak penyebab penyelewengan dan kesesatan sebagian besar manusia. Betapa banyak pula mereka yang mempunyai upaya terhadap ilmu-ilmu dalam bidang ini, yang telah dipelajari oleh sebagian besar pelajar (para penuntut ilmu) — tetapi karena mereka tidak membersihkan dan membenahi diri dan ruhaninya — telah menyebabkan mereka menjadi sarana yang membawa kerusakan dan kesesatan dalam masyarakat. Yakni setelah mereka menyertai kegiatan bermasyarakat. Sesungguhnya perbendaharaan ilmu pengetahuan yang kering-kerontang ini bila tersemaikan di alam pikiran tanpa senjata takwa dan pembersihan ruhaninya, maka akan membawa kepada bertambahnya sikap takabur dan kejahatan.

Seorang ulama jahat yang dipengaruhi oleh sifat takabur dan kelalaian tidak akan mampu membenahi dirinya sendiri dan lebih jauh lagi untuk dapat membenahi masyarakatnya. Ia tak akan memberi sumbangan apa pun kepada masyarakat kecuali membawa bahaya dan kerugian kepada Islam dan kaum muslimin.

Dapat ditegaskan bahwa walaupun mereka menghabiskan waktunya bertahun-tahun dalam bidang ilmu pengetahuan dan menghasilkan tugas-tugas agama, ia hanya akan menjadi penghalang bagi kemajuan umat Islam. Sebaliknya, ia menjadi dasar kesesatan mereka.

Apa pun yang dilakukannya, walaupun dengan mendirikan madrasah atau pondok-pondok pesantren pengkajian ilmu pengetahuan Islam sekalipun, tidak akan sedikitpun memberi kesadaran kepada manusia untuk memahami hakikat ajaran Al-Quran. Bahkan lebih jauh dari itu, keberadaannya hanya akan menjadi penghalang bagi masyarakat untuk mengenal dan memahami Islam dan peranan ulama Islam. [ ]

(Al-Mujtaba/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: