Dengan memperhatikan bahwa salah satu tanda iman adalah adanya harapan perjumpaan dengan Tuhan (surah al-Jum’ah) sementara dalam doa kita memohon supaya dipanjangkan umurnya. Bagaimana dua hal yang sepintas bertolak belakang ini dapat disatukan?
*****
Umur panjang merupakan salah satu nikmat Ilahi yang sangat bernilai. Dari sudut pandang Islam mengharapkan kematian merupakan sebuah perbuatan tercela dimana Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As dalam beberapa riwayat melarang adanya harapan seperti ini. Al-Qur’an hanya dua ayat pada surah al-Baqarah dan Jum’ah yang berkata kepada orang-orang Yahudi dan memberikan jawaban yang mematikan kepada mereka yang mengklaim bahwa diri mereka sebagai bangsa terbaik dan memandang bahwa hanya merekalah yang merupakan para kekasih Allah, “Katakanlah, “Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mengaku bahwa hanya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematian (supaya kamu dapat berjumpa dengan kekasihmu itu), bila kamu adalah orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Jumu’ah [62]:6).
Al-Qur’an dengan argumentasi ini mengangkat tirai kebohongan dan kepalsuan mereka; karena mereka sekali-kali tidak rela meninggalkan kehidupan dunia dan hal ini sendiri merupakan dalil kuat atas kebohongan mereka.
Orang-orang beriman yang memiliki harapan untuk berjumpa dengan Allah Swt dimana jalan tersebut adalah mengerjakan amalan-amalan saleh yang akan mengantarkannya kepada makam kedekatan (qurb) dan hal ini memerlukan umur yang panjang dan kesempatan yang cukup. Oleh itu, dalam riwayat disebutkan supaya kita senantiasa berharap berumur panjang kecuali kalau umur manusia dihabiskan pada jalan kesesatan dan maksiat.
Akan tetapi dalam dua hal, kematian bagi para wali Allah menjadi sebuah harapan dan memohon kepada Allah Swt untuk tidak berumur panjang. Pertama seseorang yang mengerjakan dengan baik segala tugasnya dan menunaikan tanggung jawabanya. Ia merasa tidak lagi mampu menunaikan tugasnya dan kehidupan baginya di dunia ini hanya menyebabkan tertundanya pertemuaannya dengan Allah Swt.
Kedua, masalah syahadah di jalan Allah Swt. Harapan untuk mereguk cawan syahadah di jalan Allah Swt adalah sebuah harapan kesempurnaan tertinggi yang dapat dicapai manusia setelah bertahun-tahun beribadah dan dalam penghambaan secara tulus ikhlas dan menunaikan amalan-amalan kebaikan. Dan boleh jadi ia tidak mencapainya (namun kesyahidan merupakan sebuah kesempurnaan yang telah mendapat jaminan) merupakan satu harapan yang ideal.
*****
Umur panjang merupakan salah satu nikmat Ilahi yang sangat bernilai. Dari sudut pandang Islam mengharapkan kematian merupakan sebuah perbuatan tercela dimana Rasulullah Saw[1] dan para Imam Maksum As dalam beberapa riwayat melarang adanya harapan seperti ini. Al-Qur’an menyinggung masalah ini hanya pada dua ayat surah al-Baqarah dan Jum’ah yang berkata kepada orang-orang Yahudi. Dengan memperhatikan sebab pewahyuan surat ini masalah dan falsafah persoalan ini akan menjadi jelas.
Al-Qur’an dalam surah al-Baqarah (2) menyampaikan kepada Rasulullah Saw,
“Katakanlah, “Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian(mu), jika kamu memang orang-orang yang benar.”[2]
Demikian juga pada surah al-Jumu’ah, al-Qur’an menegaskan, “ Katakanlah, “Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mengaku bahwa hanya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematian (supaya kamu dapat berjumpa dengan kekasihmu itu), bila kamu adalah orang-orang yang benar.”[3]
Obyek wicara Rasulullah Saw pada dua ayat ini, sesuai dengan instruksi Allah Swt, adalah orang-orang Yahudi yang mengklaim sebagai bangsa terunggul dan memandang diri mereka sebaga satu-satunya kekasih Tuhan dan meyakini bahwa mereka adalah bangsa pilihan. Surga diciptakan untuk mereka! Api neraka tidak akan membakar mereka! Mereka adalah anak-anak Tuhan dan sahabat-sahabat dekat-Nya. Pendeknya segala kebaikan yang dimiliki orang-orang baik hanya dimiliki oleh mereka! Sikap egosentris yang bodoh ini dinyatakan oleh kaum Yahudi dalam beberapa ayat al-Qur’an, “Kami adalah anak-anak Tuhan dan sahabat dekatnya.”[4] Dan “Dan mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan pernah masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.”[5] Dan mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari.”[6]
Anggapan-anggapan palsu ini dari satu sisi mengajak mereka untuk berbuat aniaya, kejahatan dan berlaku congkak. Dan dari sisi lain, menggiring mereka untuk bersikap sombong, memuja diri dan memandang diri yang terbaik. Al-Qur’an pada ayat-ayat di atas memberikan jawaban yang membungkam mereka, “Dan sekali-kali mereka tidak akan pernah mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.”[7]
Apakah kalian tidak ingin berlindung di haribaan rahmat Ilahi? Segala karunia tanpa batas surgawi berada dalam kekuasaan kalian? Apakah seorang kekasih tidak memiliki keinginan untuk bersua dengan kekasihnya? Orang-orang Yahudi dengan menyatakan bahwa surga terkhusus bagi kami atau kami hanya akan terbakar beberapa hari di neraka, ingin membuat kaum Muslimin ciut dan kecut terhadap agamanya, namun al-Qur’an dengan argumentasi ini mengangkat tirai kebohongan dan kepalsuan mereka; karena mereka sekali-kali tidak rela meninggalkan kehidupan dunia dan hal ini sendiri merupakan dalil kuat atas kebohongan mereka. Sejatinya, apabila manusia sedemikian kukuh imannya dan merindukan akhirat lantas mengapa sedemikian terpatri hatinya pada dunia? Dan untuk sampai padanya terjerembab dalam pelbagai perbuatan dosa? Pada ayat selanjutnya, al-Qur’an mengimbuhkan, “Dan sekali-kali mereka tidak akan pernah mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.”[8]
Benar. Mereka mengetahui bahwa terdapat catatan-catatan hitam dan kelam pada dokumen amalan-amalan mereka. Mereka mengetahui amalan-amalan buruk dan keji mereka. Allah Swt juga mengetahui amalan-amalan para pelaku kezaliman ini. Karena itu, kampung akhirat bagi mereka adalah kampung azab, siksaan dan terbongkarnya aib mereka. Dan atas dasar itu, mereka tidak menghendakinya.
Allah Swt berfirman tentang loba dan tamak mereka terhadap kehidupan materi, “Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba terhadap kehidupan (dunia ini), dan bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka berharap agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan dapat menjauhkannya dari siksa (Ilahi). Dan Allah Maha Mengetahui atas apa yang mereka kerjakan.”[9]
Loba terhadap penumpukan harta dan kekayaan, tamak dalam mencari dunia, mereka bahkan lebih serakah daripada orang-orang Musyrik yang tentu saja secara natural adalah orang-orang yang lebih serakah dalam mengumpulkan harta benda dan menggunakan segala cara untuk hal tersebut.[10] Dan untuk mengumpulkan kekayaan yang lebih banyak atau takut terhadap hukuman mereka berharap untuk hidup seribu tahun lagi.
Oleh itu, ayat ini berbicara tentang orang-orang Yahudi yang sangat rasial yang berpikir bahwa hanya merekalah yang merupakan kekasih Tuhan dan merupakan bangsa terunggul bukan bangsa lainnya. Dan Rasulullah Saw mendapatkan tugas dari Allah Swt untuk menggugurkan klaim mereka dengan argumentasi yang kuat dan kokoh sehingga kedok mereka tersingkap di hadapan masyarakat.
Namun orang-orang beriman dan bertakwa menghendaki perjumpaan dengan Allah Swt (liqauLlah) dan makam kedekatan (qurb) di sisi Allah Swt. Dan konsekuensi logisnya supaya dapat sampai pada makam qurb adalah amalan-amalan saleh dan kebaikan yang melimpah terekam dalam catatan amal setiap manusia. Dan tentu saja setiap manusia yang memiliki amalan-amalan kebaikan yang lebih banyak maka ia akan menggondol derajat-derajat tertinggi dan hal ini memerlukan umur yang panjang dan kesempatan yang cukup. Oleh itu, orang-orang beriman senantiasa memohon supaya dipanjangkan usianya dalam rangka ketaatan kepada Allah Swt. Karena satu-satunya jalan supaya ia dapat sampai kepada makam kedekatan (qurb) adalah mengerjakan amalan-amalan saleh dan kebajikan dan kemestian mengerjakan amalan-amalan ini memerlukan kesempatan yang ideal dan usia yang panjang. Karena itu, mengharapkan kematian sekali-kali bukan sesuatu yang ideal dalam Islam kecuali apabila manusia telah menjadi tawanan setan dan mengutip rintihan doa Imam Sajjad bahwa usianya telah tertawan setan[11] dan dengan amalan-amalannya ia senantiasa terjauhkan dari perjumpaan dengan Allah Swt dan makam kedekatan di sisi Allah Swt.
Karena itu, dalam dua hal kematian menjadi harapan dan kerinduan para wali Allah sehingga ia bermohon kepada Tuhan untuk tidak lagi diberikan usia panjang:
1. Bagi dia yang hidup di dunia mempersiapkan segala kebaikan dan keberkahan maka dunia baginya tidak lain kecuali penjara, karena ia telah menunaikan segala tugasnya dengan baik dan memenuhi tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya. Ia merasa bahwa setelah ini, ia tidak lagi memiliki kemampuan dan kesempatan untuk menunaikan pekerjaan dan kehidupan di dunia ini hanya memperlambat pertemuannya dengan Tuhan Sang Kinasih. Di sini memohon kematian bermakna percepatan (tasri’) untuk berjumpa dengan Tuhan (liqaullah).
Sebagaimana seorang mahasiswa yang berangkat ke luar negeri untuk menuntut ilmu di sana ia belajar dan bekerja dengan baik lalu memperoleh sertifikat. Ia berharap untuk kembali pulang ke tanah air. Lantaran ia telah menunaikan tugasnya dengan baik. Dengan kata lain, kematian bagi para wali Tuhan adalah sebuah harapan. Namun apakah mereka berada pada tataran ingin memenuhi harapan ini atau meski kematian bagi mereka adalah sebuah harapan, mereka berperang dengannya? Poinnya di sini bahwa mereka memiliki harapan juga berperang dengannya (kecuali dalam dua hal yang akan kita jelaskan). Mengapa? Lantaran mereka laksana mahasiswa. Seorang mahasiswa yang merantau ke luar negeri menuntut ilmu hingga detik-detik terakhir yang ia masih memilih peluang untuk bekerja dan berkembang maju dengan keluar dari tempat itu. Ia berjuang seperti yang ia harapkan, kecuali saat-saat yang ia rasakan bahwa tidak ada lagi pekerjaan yang tersisa buatnya. Artinya, apa yang harus ia kerjakan ia telah tunaikan dengan baik.[12]
2. Kedua masalah syahadah. Mengingat syahadah di jalan Allah merupakan setinggi-tingginya derajat kesempurnaan manusia, harapan untuk syahid dan mati di jalan Allah merupakan setinggi-tingginya derajat kesempurnaan yang setelah bertahun-tahun ibadah dan penghambaan yang tulus-ikhlas dan menunaikan amalan-amalan saleh manusia boleh jadi sampai pada derajat kesempurnaan dan mungkin saja tidak sampai. Akan tetapi, syahadah satu kesempurnaan yang telah dijamin. Rasulullah Saw bersabda, “Setiap orang yang mengerjakan kebaikan, di atas amalannya terdapat kebaikan yang lain (yang lebih tinggi), namun syahadah tiada lagi kebaikan di atasnya.”[13] Karena itu, harapan syahadah (mati di jalan Allah) merupakan sebuah harapan ideal, tetapi pada dua hal manusia beriman tidak akan menempatkan dirinya pada lintasan bahaya kematian dan terbunuh. Apabila ia menderita sakit, maka ia harus berobat hingga mendapatkan kepulihan. Atau apabila ia hadir di medan jihad di jalan Allah maka ia harus memperhatikan seluruh masalah keamanan dan penjagaan untuk menjaga dirinya.
Catatan Kaki:
[1]. Bihâr al-Anwâr, jil. 6, hal. 128:
ما، [الأمالی للشیخ الطوسی] ابْنُ مَخْلَدٍ عَنْ أَبِی عَمْرٍو عَنِ الْحَارِثِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْوَاقِدِیِّ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ الزُّهْرِیِّ عَنْ یَزِیدَ بْنِ الْهَادِ عَنْ هِنْدٍ بِنْتِ الْحَارِثِ الْفِرَاسِیَّةِ عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ قَالَتْ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ ص عَلَى رَجُلٍ یَعُودُهُ وَ هُوَ شَاکٍ فَتَمَنَّى الْمَوْتَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ص لَا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ فَإِنَّکَ إِنْ تَکُ مُحْسِناً تَزْدَدْ إِحْسَاناً إِلَى إِحْسَانِکَ وَ إِنْ کُنْتَ مُسِیئاً فَتُؤَخَّرُ لِتَسْتَعْتِبَ فَلَا تَمَنَّوُا الْمَوْتَ.
[2]. (Qs. Al-Baqarah [2]:94):
قُلْ إِنْ کانَتْ لَکُمُ الدَّارُ الْآخِرَةُ عِنْدَ اللَّهِ خالِصَةً مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ کُنْتُمْ صادِقِینَ.
[3]. (Qs. Al-Jumu’ah [62]:6):
قُلْ یَأَیهُّا الَّذِینَ هَادُواْ إِن زَعَمْتُمْ أَنَّکُمْ أَوْلِیَاءُ لِلَّهِ مِن دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُاْ المَْوْتَ إِن کُنتُمْ صَادِقِین
[4]. (Qs. Al-Maidah [5]:18):
نَحْنُ أَبْناءُ اللَّهِ و احبائه.
[5]. (Qs. Al-Baqarah [2]:111)
وَ قالُوا لَنْ یَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ کانَ هُوداً أَوْ نَصارى.
[6]. (Qs. Al-Baqarah [2]:80):
وَ قالُوا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلَّا أَیَّاماً مَعْدُودَةً.
[7]. (Qs. Al-Baqarah [2]:94):
قُلْ إِنْ کانَتْ لَکُمُ الدَّارُ الْآخِرَةُ عِنْدَ اللَّهِ خالِصَةً مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ کُنْتُمْ صادِقِینَ.
[8]. (Qs. Al-Baqarah [2]:95):
وَ لَنْ یَتَمَنَّوْهُ أَبَداً بِما قَدَّمَتْ أَیْدِیهِمْ وَ اللَّهُ عَلِیمٌ بِالظَّالِمِینَ.
[9]. (Qs. Al-Baqarah [2]:96)
لَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلى حَیاةٍوَ مِنَ الَّذِینَ أَشْرَکُوا یَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ یُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ.
[10]. Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 356-357.
[11]. Al-Shahifah al-Sajjadiyah, hal. 93. Bihar al-Anwar, jil. 70, hal. 62:
قَالَسَیِّدُ السَّاجِدِینَ عَمِّرْنِی مَا کَانَ عُمُرِی بِذْلَةً فِی طَاعَتِکَ فَإِذَا کَانَ عُمُرِی مَرْتَعاً لِلشَّیْطَانِ فَاقْبِضْنِی إِلَیْکَ وَ لَوْ لَمْ یَکُنِ الْکَوْنُ فِی الدُّنْیَا صَلَاحاً لِلْعِبَادِ لِتَحْصِیلِ الذَّخَائِرِ لِلْمَعَادِ لَمَا أَسْکَنَ اللَّهُ الْأَرْوَاحَ الْمُقَدَّسَةَ فِی تِلْکَ الْأَبْدَانِ الْکَثِیفَةِ.
[12]. Kulaini, Al-Kâfi, jil. 2, hal. 348; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 71, hal. 61, dengan sedikit perbedaan.
[13]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Murtadha Muthahhari, Âsyanâi ba Qur’ân, jil. 7 (Tafsir Surah Shaf, Jum’ah, Munafiqun dan Taghabun), hal. 64-81.
(Islam-Quest/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)