Takutlah pada Allah (Foto: Muslim.or.id)
Allah SWT berfirman;
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ * فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُن جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan. Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.”[1]
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْماً كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيراً * وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً * إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لاَ نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلاَ شُكُوراً * إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا يَوْماً عَبُوساً قَمْطَرِيراً * فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُوراً.
“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.”[2]
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى.
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).”[3]
Sebagian ulama menyebutkan bahwa takut dan sedih memiliki kesamaan dari segi derita dan beban batin, dan bahwa perbedaannya ialah bahwa sedih adalah beban batin atas apa yang telah hilang, sedangkan takut adalah beban batin atas apa yang akan terjadi.[4]
Dijelaskan pula bahwa rasa takut yang dialami oleh kalangan umum adalah berkenaan dengan azab. Takut demikian menjadi bukti sahnya keimanan karena lahir dari kepercayaan kepada ancaman, ingatan kepada kesalahan, dan kewaspadaan terhadap akibatnya. Sedangkan rasa takut yang dialami oleh kalangan khusus adalah berkenaan dengan keterhijaban. Dua kategori takut ini juga berbeda dengan pengertian takut yang dialami kalangan yang lebih khusus lagi, karena rasa takut kalangan ini berkenaan dengan wibawa Allah SWT semata.[5]
Tiga kategori atau tingkatan rasa takut ini tak dapat dipungkiri adanya, dan bahwa kategori yang ketiga sebenarnya merupakan sesuatu yang melampau rasa takut. Takut dalam kategori pertama disinggung dalam firman Allah SWT;
إِنَّ فِي ذَلِكَ لاَ يَةً لِّمَنْ خَافَ عَذَابَ الآخِرَةِ ذَلِكَ يَوْمٌ مَّجْمُوعٌ لَّهُ النَّاسُ وَذَلِكَ يَوْمٌ مَّشْهُودٌ.
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi) nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk).”[6]
Sedangkan rasa takut pada kategori kedua diisyaratkan antara lain dalam Doa Kumail;
فهبني يا إلهي وسيّدي ومولاي صبرت على عذابك فكيف أصبر على فراقك.
“Wahai Tuhanku, Junjunganku, Pelindungku, sekiranya aku dapat bersabar menanggung siksaMu, mana mungkin aku mampu bersabar berpisah dariMu?”[7]
Sedangkan keterhijaban maksudnya ialah keterhalangan spiritual, bukan keterhalangan dari memandang Allah SWT dengan pandangan secara materi, karena memandangNya dengan mata yang bersifat materi ini memang mustahil bagi siapapun, termasuk para insan maksum as, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya;
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكّاً وَخَرَّ مُوسَى صَعِقاً فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ.
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: ‘Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.’ Tuhan berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.’ Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: ‘Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.’”[8]
لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ.
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”[9]
Referensi:
[1] QS. Al-Sajdah [32]: 16 – 17.
[2] QS. Al-Insan [76]: 7-11.
[3] QS. Al-Nazi’at [79]: 40-41.
[4] Syarah Manazil al-Sa’irin, Kamaluddin Abdul Razzaq al-Kasyani, hal. 48 – 49.
[5] Syarah Manazil al-Sa’irin, Kamaluddin Abdul Razzaq al-Kasyani, hal. 48 , dan Syarah Manazil al-Sa’irin karya Sulaiman al-Talmasi, hal. 124 – 125.
[6] QS. Hud [11]: 103.
[7] Mafatih al-Jinan, Doa Kumail.
[8] QS. Al’A’raf [7]: 143.
[9] QS. Al-An’am [6]: 103.
Adapun rasa takut pada kategori ketiga telah diisyaratkan dalam Doa Shabah Imam Ali as;
وأجر اللَّهمّ لهيبتك من آماقي زفرات الدموع.
“Ya Allah, linangkan air mata dari saluran-saluran air mataku atas kewibaanMu.”
Namun demikian, masih perlu dipertimbangkan kembali anggapan bahwa kalangan khusus tidak memiliki rasa takut kategori pertama, atau bahwa kalangan yang lebih khusus tidak memiliki rasa takut kategori kedua. Karena kepada Ahlul Baitlah dinisbatkan firman Allah, “Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.”
Hanya saja, rasa takut para insan maksum seperti Ahlul Bait as tentu tidaklah sama dengan rasa takut manusia biasa yang terjadi akibat maksiat. Para insan maksum tidak berbuat dosa dan maksiat dalam pengertian yang umum sehingga apa yang mereka takutkan adalah dosa tertentu yang tidak menyalahi kemaksuman. Mereka juga mengalami rasa takut tapi di luar pengertian yang terbayang oleh manusia biasa. Mereka takut dan merasa berdosa misalnya karena meninggalkan sesuatu yang lebih utama, dan setiap pesuluk juga memiliki kondisi demikian sesuai jenjang irfan dan kesempurnaan yang dicapainya, sebagaimana dialami oleh Dzun Nun (Nabi Yunus as) yang diabadikan dalam firman Allah SWT;
فَلَوْلاَ أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ * لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ.
“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.”[1]
Atau mereka juga bisa takut karena keterhijaban dari Allah SWT seperti yang dilukiskan dalam Doa Kumail; “Wahai Tuhanku, Junjunganku, Pelindungku, sekiranya aku dapat bersabar menanggung siksaMu, mana mungkin aku mampu bersabar berpisah dariMu?”
Pencapaian jenjang seorang salik setinggi apapun tetap tidak menutup kemungkinan ada ketakutan pada keterhijaban lagi. Kesucian tingkat tinggi juga tidak menegasikan rasa takut kepada kemungkinan terjadinya ketercemaran lagi atau keterjebakan lagi pada kelayakan untuk mendapat azab.
Berikut ini adalah beberapa riwayat mengenai rasa takut kepada Allah SWT;
Hamzah bin Hamran meriwayatkan; Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Jakfar al-Shadiq as) berkata;
إنّ ممّا حُفِظَ من خطب رسول الله أ نّه قال: أيّها الناس، إنّ لكم معالم فانتهوا إلى معالمكم، وإنّ لكم نهاية فانتهوا إلى نهايتكم، ألا إنّ المؤمن يعمل بين مخافتين: بين أجل قد مضى لا يدري ما الله صانع فيه؟ وبين أجل قد بقي لا يدري ما الله قاض فيه؟ فليأخذ العبد المؤمن من نفسه لنفسه، ومن دنياه لآخرته، وفي الشبيبة قبل الكِبَر، وفي الحياة قبل الممات، فوالذي نفس محمّد بيده ما بعد الدنيا من مستعتب، وما بعدها من دار إلاّ الجنّة أو النار.
“Wahai manusia, sesungguhnya kalian memiliki ajaran maka berhentilah pada ajaran kalian, dan kalian memiliki batas akhir maka berhentilah pada batas akhir kalian. Ketahuilah bahwa seorang mukmin berbuat di antara dua rasa takut; antara ajal yang telah lalu tanpa dia mengetahui apa yang dilakukan Allah padanya dan ajal yang masih tersisa tanpa dia mengetahui apa yang telah ditetapkan Allah padanya. Maka seorang hamba mukmin hendaknya mengambil dari jiwanya untuk dirinya dan dari dunia untuk akhiratnya, dan dalam masa muda sebelum masa tua, dalam hidup sebelum mati. Maka demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tak ada yang diminta kerelaannya sesudah dunia dan tak ada tempat tinggal sesudahnya kecuali surga atau neraka.”[2]
Abu Ubaidah al-Hadzdza’ juga meriwayatkan bahwa Abu Abdillah as berkata;
المؤمن بين مخافتين: ذنب قد مضى لا يدري ما صنع الله فيه، وعمر قد بقي لا يدري ما يكتسب فيه من المهالك؟ فلا يصبح إلاّ خائفاً، ولا يصلحه إلاّ الخوف.
“Seorang mukmin berada di antara dua ketakutan; dosa yang telah lalu tanpa dia mengetahui apa yang diperbuat Allah padanya; dan usia yang tersisa tanpa dia mengetahui apa yang dia peroleh di dalamnya berupa kebinasaan. Maka jadilah dia takut semata, dan tak ada yang patut baginya kecuali takut.”[3]
Allah SWT berfirman;
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ.
“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga.”[4]
Tentang ayat suci ini Dawud al-Raqqi meriwayatkan bahwa Imam Abu Abdillah as berkata;
من علم أنّ الله يراه، ويسمع ما يقول، ويعلم ما يعمله من خير أو شرّ، فيحجزه ذلك عن القبيح من الأعمال، فذلك الذي خاف مقام ربّه ونهى النفس عن الهوى.
“Barangsiapa mengetahui bahwa Allah melihatnya, mendengar apa yang dia katakan, mengetahui apa yang dia ketahui berupa kebaikan maupun keburukan maka dialah orang yang takut kepada kedudukan Tuhannya dan menahan hawa nafsu.”[5]
Referensi:
[1] QS. Al-Shaffat [37]: 143 – 144.
[2] Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 218 – 219, Bab 14 Jihad al-Nafs, Hadis 1.
[3] Ibid, hadis 2.
[4] QS. Al-Rahman [55]: 46.
[5] Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 219, Bab 14 Jihad al-Nafs, Hadis 3.
Imam Jakfar al-Shadiq as meriwayatkan dari para leluhurnya bahwa Rasulullah saw dalam sebuah wasiatnya berpesan kepada Imam Ali as;
يا عليّ ثلاث درجات، وثلاث كفّارات، وثلاث مهلكات، وثلاث منجيات، فأمّا الدرجات فإسباغ الوضوء في السَبَرات(3)، وانتظار الصلاة بعد الصلاة، والمشي بالليل والنهار إلى الجماعات. وأمّا الكفّارات فإفشاء السلام، وإطعام الطعام، والتهجّد بالليل والناس نيام. وأمّا المهلكات فشحّ مطاع، وهوى متّبع، وإعجاب المرء بنفسه. وأمّا المنجيات فخوف الله في السرّ والعلانية، والقصد في الغنى والفقر، وكلمة العدل في الرضا والسخط.
“Wahai Ali, ada tiga derajat tinggi, tiga kaffarat (tebusan atas kesalahan), tiga pembinasa, dan tiga penyelamat. Tiga derajat tinggi ialah berwudhu dengan baik meskipun cuaca sangat dingin, menunggu shalat setelah shalat, berjalan di malam dan siang hari menuju shalat jamaah. Adapun kaffarat ialah menebar salam, memberi makan, dan bertahajjud di malam hari ketika orang-orang lain tidur. Adapun pembinasa ialah kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan rasa takjub orang atas dirinya. Adapun penyelemat ialah takut kepada Allah dalam keadaan sepi maupun ramai, bersikap pertengahan dalam keadaan kaya maupun miskin, dan berkata adil dalam keadaan senang maupun marah.”[1]
Ishaq meriwayatkan bahwa Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
يا إسحاق خفِ الله كأنك تراه، وإن كنت لا تراه فإنّه يراك، وإن كنت ترى أ نّه لا يراك فقد كفرت، وإن كنت تعلم أ نّه يراك ثُمّ برزت له بالمعصية فقد جعلته من أهون الناظرين عليك.
“Wahai Ishaq, takutlah kepada Allah seolah kamu melihatNya, dan kalaupun kamu tidak melihatNya maka sungguh Dia melihatmu. Jika kamu mengira bahwa Dia tidak melihatmu maka kamu telah kafir, dan jika kamu mengetahui bahwa Dia melihatMu lalu kamu menampakkan maksiat kepadaNya maka kamu telah memasukkanNya dalam golongan para pengawas yang paling remeh terhadapmu.”[2]
Takut Dan Harapan
Patut diingat pula bahwa takut saja tanpa dibarengi harapan baik –sebagaimana akan dibahas pada catatantersendiri- berdampak buruk bagi kebanyakan orang. Sebagaimana rasa takut kepada Allah yang pada hakikatnya memang dapat membenahi hati dan jiwa, optimisme dan pengharapan saja juga demikian halnya, seperti disebutkan dalam riwayat dari Ibnu Abi Najran dari para perawi lain bahwa seseorang bertanya kepada Imam Jakfar al-Shadiq as; “Bagaimana dengan suatu kaum yang melakukan maksiat dan berkata, ‘Kami berharap (kelak akan baik),’ lalu mereka berkelanjutan demikian hingga kematian mendatangi mereka?” Imam as menjawab;
هؤلاء قوم يترجّحون في الأماني، كذبوا ليسوا براجين من رجا شيئاً طلبه، ومن خاف من شيء هرب منه.
“Mereka adalah kaum yang berharap dalam angan-angan belaka, mereka berdusta, dan bukan orang yang berpengharapan. Barangsiapa berharap sesuatu maka dia mencarinya, dan barangsiapa takut kepada sesuatu maka dia lari darinya.”[3]
Husain bin Abu Sarah meriwayatkan; Aku mendengar Abu Abdillah berkata;
لا يكون المؤمن مؤمناً حتّى يكون خائفاً راجياً، ولا يكون خائفاً راجياً حتّى يكون عاملاً لما يخاف ويرجو.
“Orang yang beriman tidak akan menjadi mukmin sampai dia takut sembari berharap, dan dia tidak akan takut sembari berharap sampai dia berbuat berkenaan dengan apa yang dia takuti dan dia harapkan.”[4]
Jelas bahwa takut saja atau berharap saja justru berdampak kontra produktif bagi jiwa, tapi ini terjadi bukan karena rasa takut dan harapan itu sendiri, melainkan akibat kelemahan jiwa manusia pada umumnya. Karena itu, al-Quran dan sunnah Nabi saw sangat menekan keseimbangan antara takut dan harapan. Allah SWT berfirman;
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً. . .
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap,…”[5]
Imam Ali bin Abi Thalib as dalam menyifati orang-orang yang bertakwa berkata;
فهم والجنّة كمن قد رآها فهم فيها منعّمون، وهم والنار كمن قد رآها فهم فيها معذّبون.
“Mereka seolah benar-benar melihat surga dan merasakan nikmat di dalamnya, dan mereka seolah benar-benar melihat neraka dan merasa tersiksa di dalamnya.”[6]
Jika yang ada dalam diri hanyalah harapan saja maka akan terjebak pada angan-angan belaka seperti disebutkan dalam riwayat yang dari Ibnu Abi Najran. Sedangkan jika yang ada diri hanyalah rasa takut saja maka yang akan terjadi adalah keputus asaan sebagai terjadi pada Hamid bin Qahtabah yang kisanya yang terkenal dan diriwayatkan oleh Ubaidillah al-Bazzaz al-Nisaburi.
Referensi:
[1] Kitab al-Khishal, jilid 1, hal. 84-85, Bab al-Tsalatsah, Hadits 12.
[2] Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 220, bab 14 Bab Jihad al-Nafs, Hadis 6.
[3] Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 216, bab 13 Bab Jihad al-Nafs, Hadis 2.
[4]Ibid, hal. 217, hadis 5.
[5] QS. Al-Sajdah [32]: 16.
[6] Nahjul Balaghah, Khutbah 193.
Kisah Tragis Algojo Hamid bin Qahtabah
Ubaidillah al-Bazzaz al-Nisaburi, seorang lelaki tua, mengutarakan kisah manusia kejam dan sadis Hamid bin Qahtabah, antek penguasa Harun al-Rasyid, kurang lebih sebagai berikut;
“Antara aku dan Hamid bin Qahtabah terdapat suatu transaksi. Suatu hari aku mengadakan perjalanan dari Nisabur ke Tus (dekat kota Masyhad, Iran). Ketika Hamid bin Qahtabah mendengar kedatanganku ke sana dia memintaku datang kepadanya. Tengah hari bulan Ramadhan aku mendatangi rumahnya. Aku mengucapkan salam kepadanya dan melihatnya duduk dalam rumah. Dia membawakan air kepadaku dan akupun mencuci tangan. Dia menyajikan santapan istimewa dan akupun lupa sedang berada di bulan Ramadhan. Saya berhenti makan setelah ingat puasaku.
“Hamid bertanya; ‘Mengapa kamu berhenti makan?’ Aku menjawab, ‘Wahai Amir, ini bulan puasa, aku sedang sehat dan berpuasa, sedangkan Amir mungkin berhalangan sehingga tidak dapat berpuasa.’ Hamid menjawab, ‘Tak ada sebab apapun, aku juga sehat dan tak berhalangan.’ Setelah mengucapkan kalimat ini dia tiba-tiba berderai air mata. Setelah dia selesai makan aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang terjadi? Apa sebabnya?’
“Dia menjawab, ‘Sebabnya ialah ketika Harun al-Rasyid berada di Tus dia mencari dan memanggilku. Ketika aku mendatanginya di malam hari aku melihatnya duduk dengan lilin menyala di sebelahnya. Dia meletakkan pedang dia depannya sementara seorang pelayan berdiri di dekatnya. Harun mendongakkan wajahnya ketika melihatku. Dia berucap, ‘Bagaimana ketaatanmu kepada Amirul Mukmin (Harun mengaku sebagai Amirul Mukminin)?’Aku menjawab, ‘Saya siap menjalankan perintahmu dengan harta dan jiwaku.’ Dia kemudian menundukkan wajahnya dan membiarkan aku pergi pulang. Di rumah ketika aku sedang beristirahat tiba-tiba datang lagi utusan Harun dan berkata, ‘Amir memanggilmu.’
“Kali ini aku tercekam rasa takut dan berkata dalam hati, ‘Inna lillahi wa inna ilahi raji’un. Kali pertama dia memanggilku untuk membunuhku tapi kemudian segan setelah melihatku. Tapi kali ini dia pasti akan memerintahkan eksekusi terhadapku.’ Tiba di hadapannya dia kembali menunjukkan perilaku seperti pada kali pertama. Dia mendongak ketika melihat kedatanganku lalu berkata, ‘Seperti apa kepatuhanmu kepada Amirul Mukminin?’
“Aku menjawab, ‘(Siap berkorban) dengan jiwa, harta, keluarga serta anak dan isteriku.” Dia tersenyum dan menundukkan wajah lalu menyilakan aku pergi. Tiba di rumah, belum sempat duduk tenang tiba-tiba datang lagi utusan Harun sembari berkata, ‘Amir memanggilmu.’ Dia membawaku menghadap Harun. Setiba di hadapannya dia melontarkan lagi perkataan sebelumnya. Kali ini saya menjawab, ‘Aku siap menjalankan titah Yang Mulia dengan mengorban jiwa, harta, keluarga, agama dan kehormatanku.’
“Mendengar jawabanku Harun tertawa dan berkata kepadaku, ‘Raihlah pedang ini dan patuhilah segala yang diperintahkan oleh pelayanku ini.’ Pelayan meraih pedang dan menyerahkannya kepadaku. Dia membawaku ke sebuah rumah yang pintunya terkunci rapat lalu diapun membukanya. Di situ saya melihat lubang sumur di tengah halaman dan sekitarnya terdapat tiga bilik yang juga terkunci rapat. Pelayan membuka satu bilik dan di situ saya melihat 20 orang yang terdiri dari orang-orang tua dan anak-anaku muda berambut panjang (saat itu rambut panjang merupakan salah satu tanda keturunan Imam Ali as) dalam keadaan terbelenggu. Pelayan berkata kepadaku, ‘Amirul Mukminin menyuruhmu membunuh mereka.’ Mereka semua adalah kalangan Alawi keturunan pasangan Ali dan Fatimah. Pelayan mengeluarkan mereka satu persatu, dan akupun memenggal kepala mereka semua lalu pelaran mencampakkan jenazah dan kepala mereka ke dalam sumur.
“Pelayan kemudian membuka bilik lain dan ternyata di dalamnya juga terdapat 20 orang Alawi keturunan Fatimah dan Ali dalam keadaan terbelenggu. Pelayan berkata lagi kepadaku, ‘Amirul Mukimin menyuruhmu membunuh mereka.’ Dia mengeluarkan mereka satu persatu sehingga aku menebas lehernya lalu mencampakkan mereka semua ke dalam sumur. Pelayan melanjutkan dengan membuka bilik ketiga yang di dalamnya juga terdapat 20 orang berambut panjang keturunan Ali dan Fatimah dalam kondisi terbelenggu. Pelayan berkata, ‘Amirul Mukminin juga menyuruhmu membunuh mereka.’ Dia mengeluarkan mereka satu persatu lalu aku juga menebas batang leher mereka dan pelayan mencampakkan jenazah mereka ke dalam sumur. Setelah sampai 19 orang dan tersisa satu orang tua di antara mereka yang juga berambut panjang. Orang tua itu berkata kepadaku, ‘Celakalah kamu wahai manusia sial, apa yang dapat kamu katakan pada hari kiamat kelak di hadapan kakek kami, Rasulullah, sementara kamu telah membunuh 60 orang keturunannya yang berasal dari Ali dan Fatimah?’
“Tanganku lantas gemetaran. Melihat kondisiku ini pelayan marah dan membentakku sehingga aku lantas mendatangi dan membunuh pula lelaki tua itu, dan pelayanpun mencampakkannya ke sumur. Jadi aku telah membunuh 60 orang keturunan Rasulullah, lantas apa gunanya aku berpuasa dan bersembahyang? Dan aku tidak ragu bahwa aku akan kekal di dalam neraka.”[1]
Referensi:
[1] Bihar al-Anwar, jilid 48, hal. 176 – 178.
Dari kisah Hamid bin Qahtabah terlihat betapa sebab kebinasaannya adalah keputus asaan dirinya, bukan kejahataannya yang meskipun memang sangat biadab terhadap keturunan Rasulullah saw tersebut. Sebab, seandainya kedurjaan itu tidak membuatnya putus asa niscaya masih ada kesempatan baginya untuk mencari kesembuhan jiwa, terutama dengan menghadap imam maksum yang hidup pada zamannya, Imam Musa bin Jakfar al-Kadhim as atau Imam Ali bin Musa al-Ridha as.
Apakah kedua imam maksum ini akan menolak kedatangan Hamid seandainya dia benar-benar ingin bertaubat, mengingat dia sebenarnya sangat menyadari besarnya dosa yang dia lakukan itu? Sama sekali tidak demikian. Dia juga seolah tidak pernah membaca ayat suci al-Quran;
وَالَّذِينَ لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلهاً آخَرَ وَلاَ يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلاَ يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً * يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً * إِلاَّ مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَات وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً.
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[1]
Ayat ini menegaskan ancaman Allah SWT untuk melipat gandakan azab yang kekal di akhirat terhadap orang yang telah merenggut jiwa yang diharamkan Allah dan orang yang berbuat zina. Tapi kemudian ada pengecualian, yaitu orang yang bertaubat dan beramal baik. Allah SWT bahkan berjanji kepada orang yang dikecualikan ini untuk mengganti keburukan mereka dengan kebajikan.
Bisa jadi, bagian dari amal salih yang harus dijalani oleh seorang pembunuh adalah kesiapannya menerima hukuman qisas. Yang jelas, dalam kondisi bagaimanapun pintu rahmat Allah tetap terbuka baginya, hanya saja manusia semisal Hamid bin Qahtabah justru menutup sendiri pintu itu dengan keputus asaannya.
Abu Hamzah al-Tsumali meriwayatkan bahwa Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
ارج الله رجاءً لا يجرئك على معصيته، وخفِ الله خوفاً لا يؤيسك من رحمته.
“Berharaplah kepada Allah dengan pengharapan yang membuatmu tak berani bermaksiat kepadaNya, dan takutlah kepada Allah dengan rasa takut yang tidak membuatmu berputus asa kepada rahmatNya.”[2]
Pada intinya, rasa takut dan harapan jika dikombinasikan dengan seimbang maka segala dampak yang buruk masing-masing sifat ini bagi jiwa yang lemah akan teratasi. Keduanya saling melengkapi kekurangan yang ada.
Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
: إنّه ليس من عبد مؤمن إلاّ وفي قلبه نوران: نور خيفة، ونور رجاء، لو وزن هذا لم يزد على هذا، ولو وزن هذا لم يزد على هذا.
“Ayahku pernah berkata, ‘Tak ada hamba mukmin kecuali dalam hatinya terdapat dua cahaya; cahaya rasa takut dan cahaya harapan yang jika ini ditimbang maka tidak akan lebih berat daripada yang itu, dan yang itu dityimbang maka tidak lebih berat daripada yang ini.”[3]
Imam Jakfar al-Shadiq as juga berkata;
كان فيما أوصى به لقمان لابنه أن قال: يا بنيّ خفِ الله خوفاً لو جئته ببرّ الثقلين خفت أن يعذّبك الله، وارج الله رجاءً لو جئته بذنوب الثقلين رجوت أن يغفر الله لك.
“Luqman dalam berwasiat kepada puteranya berkata, ‘Wahai puteraku, takutlah kepada Allah dengan rasa takut yang seandainyapun kamu menghadapNya dengan membawa kebaikan manusia dan jin niscaya kamu masih takut Allah mengazabmu, dan berharaplah kepada Allah dengan harapan yang seandainyapun kamu menghadapnya dengan membawa dosa manusia dan jin niscaya kamu tetap berharap Allah mengampunimu.’”[4]
Dalam nash para imam maksum terdapat berbagai ungkapan yang membangkitkan rasa takut sekaligus pengharapan, antara lain dalam penggalan Doa Kumail yang diajarkan oleh Imam Ali as sebagai berikut;
يا إلهي وسيّدي وربّي أَتُراك معذّبي بٍنَارِك بعد توحيدك، وبعد ما انطوى عليه قلبي من معرفتك، ولهج به لساني من ذكرك، واعتقده ضميري من حبّك، وبعد صدق اعترافي ودعائي خاضعاً لربوبيّتك، هيهات أنت أكرم من أن تضيّع من ربيته، أو تبعّد من أدنيته، أو تشرّد من آويته، أو تسلّم إلى البلاء من كفيته ورحمته. وليت شعري يا سيّدي والهي ومولاي أتسلّط النار على وجوه خرّت لعظمتك ساجدة، وعلى ألسن نطقت بتوحيدك صادقة وبشكرك مادحة، وعلى قلوب اعترفت بالهيّتك محقّقة، وعلى ضمائر حوت من العلم بك حتّى صارت خاشعة، وعلى جوارح سعت إلى أوطان تعبّدك طائعة، وأشارت باستغفارك مذعنة، ما هكذا الظنّ بك، ولا أُخبرنا بفضلك عنك يا كريم.
Ya Allah, Junjunganku, Pemeliharaku, Apakah Engkau akan menyikasaku dengan apiMu, setelah aku mengesakanMu, setelah hatiku tenggelam dalam makrifatMu, setelah lidahku bergetar menyebutMu, setelah jantungku terikat dengan cintaMu, setelah segala ketulusan pengakuanku dan permohonanku, seraya tunduk bersimpuh pada rububiahMu?
Tidak, Engkau terlalu mulia untuk mencampakkan orang yang Engkau pelihara atau menjauhkan orang yang Engkau dekatkan, atau menyisikan orang yang Engkau naungi, atau menjatuhkan bencana pada orang yang Engkau cukupi dan Engkau sayangi.
Aduhai diriku! Junjunganku, Tuhanku, PelindungKu! Apakan Engkau akan melemparkan ke neraka wajah-wajah yang tunduk rebah karena kebesaranMu, lidah-lidah yang dengan tulus mengucapkan keEsaanMu dan dengan pujian mensyukuri nikmatMu, kalbu-kalbu yang dengan sepenuh hati mengakui uluhiahMu, hati nurani yang dipenuhi ilmu tentang Engkau, sehingga bergetar katakutan, tubuh-tubuh yang telah biasa tunduk untuk mengabdiMu dan dengan merendah memohon ampunanMu
Tidak sedemikian itu persangkaan kami tentangMu, padahal telah diberitakan pada kami tentang keutamaanMu, Wahai Pemberi karunia.
Referensi:
[1] QS. Al-Furqan [25]: 68-70.
[2] Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 217 – 218, Bab 13 Jihad al-Nafs, Hadis 7.
[3] Ibid, hal. 217, Hadis 4.
[4] Ibid, hadis 6.
(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email