Arab Saudi sejak 26 Maret lalu telah memulai agresi brutalnya ke Yaman. Serangan ini adalah bid’ah tercela, aksi ilegal dan bukti nyata kejahatan terhadap kemanusiaan. Langkah ilegal Arab Saudi ini ramai dibicarakan pengamat dan berbagai tokoh serta dianalisa. Namun demikian arahan Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei telah membuka dimensi baru kejahatan Arab Saudi di Yaman. Rahbar menyebut agresi Arab Saudi ke Yaman sebagai bid’ah tercela dan sebuah kesalahan. Aksi rezim Al Saud dinilai bid’ah tercela dari sisi bahwa serangan ke Yaman dilancarkan di saat Sanaa adalah sebuah negara independen dan krisis saat ini di negara ini juga krisis internal.
Butir ketujuh piagam PBB menyebutkan, “Ketentuan yang tertuang di piagam ini tidak mengijinkan PBB untuk melakukan intervensi di urusan yang pada dasarnya termasuk kompetensi internal sebuah negara...” Berdasarkan butir piagam PBB ini, prinsip utama adalah dilarang melakukan intervensi di urusan internal negara lain dan wajib menghormati kedaulatan bangsa lain. Meski demikian dalam beberapa tahun terakhir akibat transformasi hukum internasional, sejumlah prinsip piagam PBB mengalami revisi dan penyesuaian. Di antaranya adalah prinsip penghormatan kedaulatan serta pelarangan intervensi di urusan internal negara lain.
Kedua prinsip penting yang mendapat penekanan dari piagam PBB mengalami penyesuaian dengan memperhatikan sisi moral terhadap kedaulatan dan perilisan resolusi “tanggung jawab untuk memberi dukungan”. Meski demikian, sekali pun dua prinsip penting piagam PBB ini mengalami penyesuaian dan direvisi, namun tetap saja agresi Arab Saudi ke Yaman tidak dapat dibenarkan. Prinsip tanggung jawab untuk melindungi warga sebuah negara dapat dilaksanakan ketika pemerintah negara tersebut melakukan tiga kejahatan terhadap warganya yang ditetap oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Ketiga kejahatan tersebut adalah kejahatan anti perdamaian, kejahatan anti kemanusiaan dan kejahatan perang.
Sementara di Yaman, Abd Rabbu Mansur Hadi, presiden sementara dan Khalid Bahah, perdana menteri interim telah mengundurkan diri dari jabatannya dan legalitas mereka telah dicabut. Hasilnya adalah Ansarullah mengambil alih tanggung jawab untuk menerapkan keamanan. Ansarullah bukan saja tidak melakukan kejahatan yang telah ditetapkan oleh ICC, bahkan kelompok rakyat ini pun menghindari kekerasan, bahkan terhadap kubu yang anti dengan mereka.
Kejahatan rezim Al Saud terhadap bangsa Yaman tak ubahnya seperti kejahatan rezim Zionis Israel terhadap bangsa tertindas Palestina di Jalur Gaza. Rahbar dalam statemennya pada 9 April terkait masalah ini mengatakan, “Apa yang dilakukan pemerintah Arab Saudi saat ini di Yaman, sama seperti yang dilakukan rezim Zionis di Jalur Gaza. Langkah ini memiliki dua dimensi, pertama kejahatan, genosida, dapat dituntut di lembaga internasional, mereka membantai anak-anak, menghancurkan rumah warga, menghancurkan infrastruktur dan kekayaan nasional di sebuah negara...”
Rezim Zionis di perang Gaza telah melakukan beragam kejahatan seperti membunuh anak-anak, perempuan dan warga sipil, merusak infrastruktur sosial, memaksa warga mengungsi, menghancurkan pusat-pusat medis dan sekolah. Dan kini Al Saud menerapkan kejahatan ini di Yaman. Jumlah korban tewas di Yaman mencapai 900 orang dan mereka yang terluka dilaporkan mencapai lebih dari 1700 orang. Lebih dari sepertiga korban tewas akibat agresi Arab Saudi ke Yaman adalah warga sipil dan sedikitnya 80 anak-anak menjadi bagian dari korban tewas.
Berdasarkan data yang dirilis PBB, selama dua pekan pertama peran, lebih dari 100 ribu warga Yaman mengungsi. Organisasi bantuan Oxfam menyebutkan, lebih dari 10 juta rakyat Yaman tidak memiliki makanan yang cukup dan lebih dari 13 juta tidak memiliki akses minuman bersih. Lembaga bantuan anak-anak PBB (UNICEF) menyatakan gizi buruk telah menjadi ancaman serius bagi kehidupan lebih dari satu juta anak Yaman. Ribuan anak Yaman tidak mendapat pelayanan kesehatan dan pendidikan. Sementara jumlah mereka yang terlukan terlalu banyak. Menurut juru bicara Komite Palang Merah Internasional Marie Claire Feghali, rumah sakit penuh sesak dan tidak mampu lagi menampung serta mengobati mayoritas korban terluka.
Di sisi lain, pengiriman bantuan kemanusiaan ke Yaman sangat sulit dilakukan. Di antara 37 bangunan di Sanaa, al Dali dan Aden yang rusak tercatat lima rumah sakit dan sebuah gedung sekolah. Ini merupakan bukti nyata kejahatan anti kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan anti perdamaian serta bukti nyata dari kejahatan genosida yang dilakukan militer rezim Al Saud di Yaman.
Pertanyaan yang muncul terkait agresi Arab Saudi ke Yaman adalah Apakah Al Saud mampu meraih kemenangan dari perang yang mereka kobarkan? Rahbar terkait masalah ini mengatakan, “...Al Saud dalam masalah ini akan mengalami kerugian dan tidak akan pernah meraih kemenangan. Alasannya sangat jelas, bahwa kemampuan militer rezim Zionis beberapa kali lipat dari kemampuan militer Arab Saudi. Rezim Zionis dengan kemampuan militer besarnya berhadapan dengan sebuah daerah kecil, yakni Jalur Gaza. Di sini, Al Saud menghadapi sebuah negara, sebuah negara dengan populasi puluhan juta dan sangat luas wilayahnya. Mereka ini pasti mengalami kekalahan.”
Realitanya adalah Arab Saudi tidak memiliki fasilitas militer seperti Israel. Bahkan tidak juga memiliki pengalaman militer seperti yang dimiliki Israel. Militer Arab Saudi adalah militer yang telah lelah dan minim pengalaman tempur. Adapun rezim Zionis dengan segala fasilitas militer yang dimilikinya juga tak mampu meraih kemenangan melawan warga Gaza yang hanya berjumlah kurang dari dua juta. Sementara Yaman memiliki populasi lebih dari 25 juta dan mayoritas dari mereka mengutuk agresi brutal Arab Saudi dan menyatakan kesiapannya untuk menghadapi serangan Riyadh. Di sisi lain, sekitar 75 juta senjata berada di tangan warga Yaman dan berbagai suku Yaman juga menyatakan akan berperang bersama Ansarullah melawan Arab Saudi dan al-Qaeda.
Adapun rezim Al Saud ternyata gagal menggalang koalisi anti Yaman. Pemerintah dan parlemen Pakistan menolak mengiringi Arab Saudi di perang Yaman. Sementara Mesir meski menyatakan ikut dalam perang ini, namun pemerintah Kairo tengah dilanda krisis ekonomi yang parah dan tidak mungkin mengijinkan militernya untuk serius berpartisipasi dalam perang tersebut. Dengan demikian jumlah kubu oposisi dan anti Abdul Fattah el-Sisi di dalam negeri pun akan semakin membengkak.
Negara-negara lain yang tergabung dalam koalisi Arab Saudi tengah mengalami beragam kendala serius seperti kendala ekonomi, krisis legalitas dan tidak memiliki militer yang handal. Beragam kendala ini menyebabkan negara-negara tersebut tidak mungkin dapat serius dalam membarengi operasi militer Arab Saudi terhadap Yaman. Abdullah bin Abdulaziz, raja Arab Saudi terdahulu meninggal pada Januari 2014 dan Salman bin Abdulaziz terpilih menjadi penggantinya. Langkah pertama yang ditempuh Raja Salman setelah menjabat adalah menyingkirkan orang-orang yang dekat dengan raja yang telah mangkat serta mengangkat orang-orang baru. Meski mereka ini tidak memiliki pengalaman dan terhitung masih muda, namun ditempatkan di pos-pos vital.
Isu penting lain yang disampaikan Rahbar di statemennya terkait kejahatan Al Saud terhadap Yaman berkaitan dengan tidak adanya pengalaman yang dimiliki sejumlah petinggi Arab Saudi yang menempati posisi penting pasca kematian Raja Abdullah. Terkait hal ini Rahbar menyatakan, sejumlah pemuda yang tidak berpengalaman diserahi jabatan penting di Arab Saudi. Mereka ini lebih mengedepankan sisi primitif dan kebuasannya ketimbang sisi ketenangan. Hal ini akan sangat merugikan mereka.”
Pangeran Mohammad bin Salman, menteri pertahanan Arab Saudi yang baru termasuk sosok yang tidak memiliki pengalaman dan terhitung muda. Ia menempati posisi vital ini disebabkan ia anak raja dan ia pun dilantik langsung oleh sang ayah. Mohammad bin Salman yang menjadi komandan koalisi 10 negara agresor ke Yaman berusia 30 tahun. Minimnya pengalaman dan usianya yang masih muda menyebabkan dirinya dilanda mimpi-mimpi dan kebanggaan semu, congkak, pengambilan keputusan yang salah dan memakan biaya tinggi di bidang masalah strategis termasuk keputusan keliru menyerang Yaman. Hal ini sesuai dengan pengakuan para pejabat Arab Saudi sendiri.
Amerika Serikat termasuk pendukung utama agresi Arab Saudi ke Yaman. Deputi menteri luar negeri Amerika Serikat yang melawat Riyadh pada 7 April lalu menyatakan, AS akan mempercepat penyerahan senjata kepada Arab Saudi untuk memerangi milisi al-Houthi di Yaman. Antony Blinken menambahkan, Amerika Serikat juga akan meningkatkan pertukaran data intelijen dengan Departemen Pertahanan Arab Saudi dan membentuk pusat koordinasi dengan komando operasi Riyadh dalam menyerang Yaman.
AS sendiri menarik pasukan khususnya dari Yaman hanya beberapa hari sebelum agresi Riyadh ke negara ini. Hal ini dengan sendirinya membuktikan bahwa serangan Arab Saudi ke Yaman dilancarkan dengan sepengetahuan dan dukungan Amerika Serikat. Adel al-Jubeir, duta besar Arab Saudi di Washington pasca agresi negaranya ke Yaman mengatakan, AS mengetahui proses pengambilan keputusan dalam masalah ini. Oleh karena itu, Rahbar dengan mengkritik strategi pemerintah AS menyebutkan bahwa Amerika juga membela dan mendukung serangan ini. Sifat Amerika adalah di setiap isu senantiasa membela pihak yang zalim tanpa mengindahkan pihak yang terzalimi.
Salah satu isu penting di krisis Yaman yang dilontarkan oleh para pengobar perang adalah Republik Islam Iran melakukan intervensi di urusan internal Sanaa. Rahbar di arahannya yang disampaikan 9 April lalu mengingatkan bahwa musuh telah mengobarkan propaganda bahwa Iran mencampuri urusan internal Yaman. Bahwa kita di sini duduk dan mengucapkan satu dua patah kata dinilai sebagai intervensi, namun jet-jet tempur yang membombardir Yaman dan membuat negara ini tidak aman, tidak disebut sebagai intervensi?
Klaim intervensi Iran di urusan internal sejumlah negara Arab juga menjadi klaim usang yang senantiasa dilontarkan oleh negara Arab khususnya Arab Saudi. Namun demikian mereka tidak pernah mampu memberi bukti atas klaimnya tersebut. Klaim ini pun pernah dilontarkan di krisis Bahrain, namun Sharif Bisuni yang ditunjuk oleh Emir Bahrain untuk memimpin komisi penyidik dengan transparan menyatakan bahwa tidak ada dokumen yang menunjukkan intervensi Iran di urusan internal Bahrain.
(IRIB-Indonesia/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email