Pada tahun 10 hijriyah, Rasulullah saw pergi haji. Beliau berangkat dari Madinah pada 26 Dzulqa’dah. Sampai di Dzulhulaifah dekat masjid asy-Syajarah, beliau kenakan ihram, kemudian masuk al-Haram (tanah suci) seraya berucap: “Labbaikallâhumma labbaik; labbaika lâ syarîka laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk; lâ syarîka laka labbaik..” Adalah seruan nabi Ibrahim as.
Kalimat talbiyah tersebut berulang-ulang beliau ucapkan saat melihat orang mengendarai tunggangannya. Atau bila langkah beliau naik sebuah tanjakan atau turun ke sebuah lembah, dan berhenti dari talbiyah ketika telah sampai Mekah. Ialah pada hari keempat Dzulhijjah. Lalu beliau langsung menuju Masjidil Haram, dan masuk dari pintu Bani Syaibah seraya hamdalah dan memuji Allah swt serta menyampaikan shalawat atas nabi Ibrahim as.
Nabi saw memulai langkah dari Hajar Aswad, mengusap dan menciumnya. Kemudian melakukan tawaf tujuhkali putaran di sekeliling Ka’bah. Setelah itu melaksanakan shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim (as).
Mereka takkan Melepas Ihram Selama Nabi saw dalam Berihram
Lalu beranjak ke Shafa dan Marwa untuk melakukan sa’i antara keduanya. Lepas itu beliau berpaling kepada jemaah haji dan bersabda:
“Siapa yang tidak membawa hewan kurban hendaklah ia bertahallul dan menjadikan (ibadah)nya sebagai umrah (yakni, hendaklah mencukur rambutnya, dan maka menjadi halal baginya apa yang telah ihram haramkan baginya). Bagi siapa yang membawa hewan kurban, hendaklah menetapi ihramnya.”
Namun, sebagian orang enggan melepas ihramnya selagi Nabi saw dalam keadaan berihram. Sampai beliau menyuruh mereka melakukan apa yang telah beliau katakan, yang maknanya demikian:
“Sekiranya aku mengetahui sebelumnya masa datang dan sikap mereka yang plin-plan serta kontra, tentulah aku tidak akan menyembelih kurban dan akan melakukan apa yang kalian perbuat. Jadi harus bagaimana lagi, aku telah membawa kurban. Tak memungkinkan bagiku melepas ihram sebelum hewan kurban sampai di tempat penyembelihannya. Maka wajiblah bagiku menetapi ihramku. Yakni, aku akan menyembelih kurban di Mina, sebagaimana yang Allah perintahkan. Sedangkan kalian, siapa yang tidak menyembelih kurban haruslah baginya melepas ihramnya dan menjadikan (ibadah)nya sebagai umrah. Kemudian berihram lagi lah (dari awal) untuk ibadah haji..”
Pesan Ukhuwah
Pada hari kedelapan Dzulhijjah, Rasulullah saw berniat ke Arafah melalui jalan Mina untuk wuquf di sana sampai mentari terbit pada sembilan Dzulhijjah. Dengan menaiki ontanya berangkat menuju Arafah, lalu singgah di kemah yang telah disediakan untuknya. Nabi saw di atas ontanya menyampaikan ceramah di hadapan hadirin yang berjumlah mencapai seratus ribu orang. Beliau bersabda:
“Dengarkan dan jaga perkataanku! Bahwa sepertinya aku sesudah tahun ini tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tempat ini untuk selamanya. Hai orang-orang, sesungguhnya darah dan harta bendamu adalah haram bagi kamu (merampas hak milik) sampai diri kamu menemui Tuhanmu kelak, seperti keharaman (kehormatan dan kesucian) bulan ini, seperti keharaman tanah ini dan seperti keharaman hari ini..”
Rasulullah saw di dalam khotbahnya ini menyinggung soal kebiasaan-kebiasaan jahiliyah yang buruk, seperti dendam, khianat, riba dan lainnya, juga berpesan agar berlaku baik terhadap kaum wanita. Beliau juga bersabda: “Telah aku tinggalkan di tengah kalian sesuatu yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat untuk selamanya. Ialah perkara yang terang; Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya.
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Muslimin itu bersaudara. Tiada nabi sesudahku dan tiada umat sesudah kalian. Bukankah segala yang merupakan jahiliyah telah jatuh di bawah kakiku!?”
Setelah matahari terbenam Rasulullah saw berangkat menuju Muzdalifah. Di sana beliau menetap dari fajar sampai mentari terbit. Pada hari kesepuluh beliau bertolak ke Mina dan melaksanakan manasik. Kemudian melangkah menuju Mekah untuk menuntaskan manasik yang tersisa.
Imam Ali ketika itu berada di Yaman. Mengetahui Rasulullah saw pergi ke Mekah, maka ia berangkat (menyusul) bersama pasukannya untuk bergabung di musim haji. Ia membawa beberapa kain dan sutra yang diambil sebagai jizyah dari penduduk Najran. Setelah melaksanakan manasik umrah, ia kembali ke pasukannya sebagaimana yang Rasulullah perintahkan. Saat ia mendapati wakilnya telah membagi kain kepada tiap orang dari mereka, ia ingin menyerahkannya kepada Rasulullah saw, maka ia meminta kepada mereka untuk mengembalikan kain-kain itu.
Referensi:
As-Sirah al-Muhammadiyah/Ayatollah Syaikh Subhani.
(Ikmal-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email