Kenapa orang-orang syi’ah melakukan lima shalat wajib harian dalam tiga waktu?
Jamak antara dua shalat merupakan masalah fikih yang penting dan
sensitif sekali, dimana belakangan ini para peneliti dari kalangan ulama
Syi’ah sering mengulasnya, karena sebagian orang beranggapan bahwa
jamak antara dua shalat sama dengan shalat di luar waktu yang telah
ditentukan oleh syariat Islam. Untuk lebih jelasnya, kami akan
menerangkan masalah ini dengan poin-poin berikut:
[1]
- Semua mazhab Islam sepakat bahwa di Arafah, boleh hukumnya seseorang
menunaikan shalat dzuhur dan ashar secara langsung pada waktu dzuhur,
sehingga tidak ada selang waktu di antara keduanya. Di Muzdalifah pun
dia boleh menunaikan shalat maghrib dan isya’ secara langsung pada waktu
isya’.
- Ulama Mazhab Hanafi mengatakan, ‘Jamak antara shalat dzuhur dan
ashar dalam satu waktu, begitu pula jamak antara shalat maghrib dan
isya’ dalam satu waktu, hanya diperbolehkan di dua tempat; di Arafah dan
Muzdalifah. Adapun di selain dua tempat itu tidak diperbolehkan.’
- Ulama Mazhab Hanbali, Maliki dan Syafi’i mengatakan, ‘Jamak antara
shalat dzuhur dan ashar atau antara shalat maghrib dan isya’ dalam satu
waktu, selain boleh dilakukan di dua tempat tersebut (Arafah dan
Muzdalifah) boleh juga dilakukan pada waktu bepergian. Sebagian dari
mereka berpendapat bahwa hal itu juga boleh dilakukan dalam keadaan
terpaksa, seperti ketika hujan lebat atau ketika pelaku shalat dalam
keadaan sakit atau takut dari musuh.[2]
- Adapun menurut Syi’ah, masing-masing dari shalat dzuhur dan ashar,
begitu pula shalat maghrib dan isya’ mempunyai waktu khusus dan waktu
bersama:
- Waktu khusus untuk shalat dzuhur adalah dari sejak dzuhur syar’i;
yakni zawal atau bergesernya matahari dari lengah langit, sampai batas
waktu yang bisa digunakan untuk shalat empat rakaat. Di dalam waktu yang
terbatas ini, hanya shalat dzuhur yang boleh dilakukan oleh seseorang.
- Waktu khusus shalat ashar adalah dari ashar sampai tcrbenamnya
matahari sekiranya waktu itu hanya cukup untuk digunakan shalat empat
rakaat. Di dalam waktu yang terbatas ini, hanya shalat ashar yang boleh
dilakukan oleh seseorang.
- Waktu bersama untuk shalat dzuhur dan ashar adalah dari sejak
berakhirnya waktu khusus shalat dzuhur sampai awal bermulanya waktu
khusus shalat ashar.
Menurut Syi’ah, di dalam waktu bersama untuk shalat dzuhur dan ashar
seseorang boleh melakukan kedua shalat itu sekaligus tanpa jarak waktu
di antara keduanya.
Sedangkan Ahli Sunnah, karena pandangan khusus mereka mengenai
pembagian waktu dari zawal (bergesemya matarhari dari tengah langit)
sampai ghurub (terbenamnya matahari), maka mereka tidak meyakini waktu
bersama, baik antara shalat dzuhur dan ashar maupun antara maghrib dan
isya’. Menurut mereka, mulai zawal sampai tanda jam matahari menunjukkan
bayangan seukurannya maka itu merupakan waktu khusus untuk shalat
dzuhur, dan tidak boleh seseorang untuk melakukan shalat ashar pada
waktu itu. Sedari itu waktu shalat ashar mulai sampai ghurub, dan itu
merupakan waktu khusus untuk shalat ashar. Berdasarkan pandangan ini,
jamak antara shalat dzuhur dan ashar tidaklah memungkinkan, karena
konsekuensinya adalah melakukan salah satu dari shalat itu di luar waktu
yang telah ditentukan.
Menurut Syi’ah, waktu yang diterangkan oleh Ahli Sunnah ini merupakan
waktu keutamaan shalat dzuhur dan ashar, bukan waktu yang hanya
diperbolehkan untuk shalat dzuhur dan ashar kala itu. Artinya, menurut
Syi’ah yang utama adalah menunaikan shalat ashar ketika bayangan tanda
jam matahari telah mencapai ukuran yang sama dengan tanda matahari itu
sendiri, tapi kalau pun seseorang melakukan shalat ashar sebelum itu
tetap dihukumi sah dan tidak perlu untuk mengulanginya.
Di samping itu, banyak sekali hadis yang menmtjukkan bahwa di dalam
perjalanan, bahkan terkadang di tempat kediaman dan tanpa uzur sekecil
apa pun Rasulullah Saw menjamak antara dua shalat. Maka demi
mempertahankan pendapat mereka tentang pembagian waktu tersebut, ulama
Ahli Sunnah terpaksa menakwilkan hadis-hadis itu dari maknanya yang
literal menjadi makna yang jauh sekali dari aslinya. Mari kita
perhatikan bersama pandangan Syi’ah dan Ahli Sunnah mengenai hadis-hadis
ini:
- Menurut Syi’ah, berdasarkan hadis-hadis ini boleh seseorang
melakukan shalat ashar langsung setelah melakukan shalat dzuhur, begitu
pula dia boleh melakukan shalat isya’ langsung setelah melakukan shalat
maghrib. Dan hukum ini berlaku bukan untuk waktu, tempat, atau kondisi
tertentu, melainkan seseorang bisa melakukannya kapan saja (di hari
jum’at atau yang lain) dan di mana saja (Arafah, Muzdalifah atau
selainnya) serta dalam kondisi apa saja (sakit atau pun sehat).
- Ulama di luar mazhab Syi’ah, karena menolak waktu bersama shalat dan
membatasinya hanya dalam waktu yang sah untuk shalat, maka mereka
menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadis-hadis ini adalah boleh
menunaikan shalat dzuhur di akhir waktunya dan shalat ashar di awal
waktunya, sehingga dengan demikian terkesan telah terjadi jamak antara
dua shalat.
Bila ditinjau dari sisi filosofi jamak antara dua shalat, terang saja
penakwilan seperti itu tidak beralasan, karena hikmah pembolehan jamak
antara dua shalat adalah memberi kemudahan kepada umat Islam untuk dapat
melakukan dua shalat dzuhur dan ashar atau maghrib dan isya’ dalam satu
waktu (tanpa pemisah antara keduanya) dan dalam keadaan apa pun (sehat
atau sakit, di tempat tinggal atau perjalanan dsb.). Tentu saja hal ini
tidak akan tercapai kecuali dengan menerima waktu bersama bagi shalat
dzuhur dan ashar serta waktu bersama bagi shalat maghrib dan isya’.
Dari tinjauan yang sama, apabila kita ingin menafsirkan jamak antara
dua shalat sesuai dengan pandangan Ahli Sunnah, bahwa Rasulullah Saw
menunaikan shalat dzuhur di akhir waktu dzuhur kemudian langsung shalat
ashar di awal waktu ashar, maka bukan kemudahan yang diberikan oleh
Islam dalam hal ini, melainkan kesulitan yang lebih rumit. Hal itu
karena kapan pun tidak mudah bagi seseorang untuk mengetahui akhir dan
awal waktu shalat, lebih lagi jika orang tersebut berada di daerah yang
tidak mempunyai fasilitas peralatan yang teliti.
Referensi:
[1]
Ada karya-karya berharga yang membahas tentang jamak antara dua shalat,
seperti Rosd’il Fiqhiyah karya Allamah Syarafudin Amili, Al-Jam’u baina
Al-Sholtitain karya Najmudin Askari, dan Al-Insh6f ft Masti’ila Ddma
fiha Al-Khiltifkarya penulis. Apa yang Anda baca di atas adalah
ringkasan dari hasil penelitian para ulama terdahulu yang dituliskan
oleh Sayid Ridha Husaini Nasab di dalam kitab Syi’eh Posukh Mi-dahad.
[2]
Disadur dari kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzdhib Al-Arba’ah, kitab Shalat,
bab Jama’ antara dua shalat; baik secara didahulukan atau diakhirkan
(Jamak Takdim atau Jamak Ta’khir).