Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi
Bab ini membahas
Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi.
Jika dalam menggunakan dalil umum, kaum Salafi & Wahabi terlihat
jelas keteledorannya, maka lebih-lebih lagi ketika menggunakan dalil
khusus, baik dari hadits-hadits
Rasulullah Saw,
ucapan para shahabat beliau, atau ucapan para ulama salaf. Umumnya,
semua dalil-dalil itu mereka pahami secara harfiyah, sehingga mereka
tidak peduli bahwa para ulama sudah membahasnya secara gamblang dan
bahkan menyimpulkan hukum darinya.
Contohnya, hadits-hadits
Rasulullah Saw yang menyebutkan larangan mendirikan bangunan di atas kuburan, larangan menyanjung
Rasulullah Saw seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam, larangan memuliakan
Rasulullah Saw dengan sebutan Sayyidina, larangan beristighatsah dengan
Rasulullah Saw, larangan dan menjadikan kuburan sebagai masjid.
Semua
permasalahan tersebut sudah dibahas oleh para ulama dan sudah
disimpulkan batasan-batasan hukum yang menyebabkan boleh dan tidaknya
perkara-perkara tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada. Bagi kaum
Salafi &
Wahabi,
semuanya langsung dianggap haram semata-mata melihat dari bentuk
larangan yang ada di dalam hadits, dan ini adalah kekeliruan, karena
tidak setiap larangan mengandung indikasi haram, kadang makruh, atau
bahkan mubah bila ternyata ada dalil yang membatalkannya.
Syaikh Ali Jum’ah
(Mufti Mesir) adalah salah satu dari sekian banyak ulama yang telah
memaparkan begitu gamblang permasalahan dalil-dalil khusus pada
perkara-perkara tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas, lihatlah karya
Syaikh Ali Jum’ah yang berjudul ‘
al-Bayan al-Qawim li Tashhih Ba’dhi al-Mafahim‘, atau dalam edisi terjemah berjudul ‘
Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan!‘, diterbitkan oleh Duha Khazanah Cikarang.
Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, marilah kita lihat beberapa contoh
dalil khusus yang digunakan oleh
kaum Salafi &
Wahabi untuk memvonis bid’ah atau sesat suatu amalan umat Islam
dengan serampangan, semata-mata karena mereka melihat bentuk
larangannya secara harfiyah yang langsung diindikasikan pada makna hukum
haram. Berikut ada 4 pembahasan, yaitu:
Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi.
Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi
Bab ini membahas
Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi.
Jika dalam menggunakan dalil umum, kaum Salafi & Wahabi terlihat
jelas keteledorannya, maka lebih-lebih lagi ketika menggunakan dalil
khusus, baik dari hadits-hadits
Rasulullah Saw,
ucapan para shahabat beliau, atau ucapan para ulama salaf. Umumnya,
semua dalil-dalil itu mereka pahami secara harfiyah, sehingga mereka
tidak peduli bahwa para ulama sudah membahasnya secara gamblang dan
bahkan menyimpulkan hukum darinya.
Contohnya, hadits-hadits
Rasulullah Saw yang menyebutkan larangan mendirikan bangunan di atas kuburan, larangan menyanjung
Rasulullah Saw seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam, larangan memuliakan
Rasulullah Saw dengan sebutan Sayyidina, larangan beristighatsah dengan
Rasulullah Saw, larangan dan menjadikan kuburan sebagai masjid.
Semua
permasalahan tersebut sudah dibahas oleh para ulama dan sudah
disimpulkan batasan-batasan hukum yang menyebabkan boleh dan tidaknya
perkara-perkara tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada. Bagi kaum
Salafi &
Wahabi,
semuanya langsung dianggap haram semata-mata melihat dari bentuk
larangan yang ada di dalam hadits, dan ini adalah kekeliruan, karena
tidak setiap larangan mengandung indikasi haram, kadang makruh, atau
bahkan mubah bila ternyata ada dalil yang membatalkannya.
Syaikh Ali Jum’ah
(Mufti Mesir) adalah salah satu dari sekian banyak ulama yang telah
memaparkan begitu gamblang permasalahan dalil-dalil khusus pada
perkara-perkara tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas, lihatlah karya
Syaikh Ali Jum’ah yang berjudul ‘
al-Bayan al-Qawim li Tashhih Ba’dhi al-Mafahim‘, atau dalam edisi terjemah berjudul ‘
Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan!‘, diterbitkan oleh Duha Khazanah Cikarang.
Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, marilah kita lihat beberapa contoh
dalil khusus yang digunakan oleh
kaum Salafi &
Wahabi untuk memvonis bid’ah atau sesat suatu amalan umat Islam
dengan serampangan, semata-mata karena mereka melihat bentuk
larangannya secara harfiyah yang langsung diindikasikan pada makna hukum
haram. Berikut ada 4 pembahasan, yaitu:
1. DALIL LARANGAN BERZIKIR BERJAMA’AH
Salafi Wahabi dan Dalil Larangan Zikir Berjama’ah.
Kaum Salafi & Wahabi dalam Memahami Dalil LARANGAN ZIKIR BERJAMA’AH
Salah satu
dalil khusus yang paling jelas menyebutkan
larangan zikir berjama’ah atau menghitung
bacaan zikir dengan batu atau biji tasbih, adalah perkataan Abdullah bin Mas’ud Ra. yang diriwayatkan oleh ad-Darimi.
Dalil ini tampaknya sering digunakan oleh
kaum Salafi &
Wahabi untuk mengharamkan kegiatan
acara tahlilan dan
zikir berjama’ah serta melabelkan padanya tuduhan
hukum bid’ah (padahal
bid’ah itu bukan hukum).
Mari kita lihat riwayat tersebut, sebagaimana tercantum di dalam buku
Ensiklopedia Bid’ah halaman 86, lengkapnya sebagai berikut:
Dari
‘Amr bin Yahya,
dia berkata, “Aku mendengar ayahku menceritakan dari bapaknya, dia
berkata, ‘Kami pernah duduk-duduk di pintu (rumah) Abdullah bin Mas’ud
sebelum shalat shubuh -(biasanya bila dia keluar dari rumahnya) kami pun
peri bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang
Abu Musa al-Asy’ari Ra. Dan berkata, ‘Adakah
Abu Abdurrahman (
Abdullah bin Mas’ud)
telah keluar pada kalian?’ Kami menjawab, ‘Belum.’ Lalu dia pun duduk
bersama kami sampai akhirnya Abdullah bin Mas’ud keluar.
Setelah dia
keluar, kami berdiri menemuinya dan Abu Musa al-Asy’ari berkata, ‘Wahai
Abu Abdurrahman,
tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku mengingkarinya, dan
alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan. Dia bertanya, ‘Apa
itu?’ Abu Musa menjawab, ‘ Bila kau masih hidup niscaya kau akan
melihatnya sendiri.’ Abu Musa lalu berkata, ‘Aku melihat di masjid
beberapa kelompok orang yang duduk membentuk lingkaran (halaqah) sambil
menunggu (waktu) shalat. Dalam setiap lingkaran itu ada seseorang yang
memimpin dan di tangan mereka ada batu-batu kecil, laki-laki itu
berkata, ‘
Bacalah takbir 100 kali,’ mereka pun
bertakbir 100 kali, kemudian ia berkata lagi, ‘
Bacalah tahlil 100 kali‘, mereka pun
bertahlil 100 kali, kemudian ia berkata lagi, ‘Bacalah
tasbih 100 kali‘, mereka pun
bertasbih 100 kali.
Abdullah bin Mas’ud bertanya, ‘Apa yang kamu katakan pada mereka?’
Abu Musa menjawab, ‘Aku tidak akan mengatakan apa pun pada mereka, karena aku menunggu pendapatmu atau menunggu perintahmu!’
Abdullah bin Mas’ud
menjawab, ‘Tidakkah kamu katakan pada mereka untuk menghitung
kesalahan-kesalahan mereka, dan kau beri jaminan bagi mereka bahwa tidak
ada sedikit pun dari kebaikan mereka yang akan hilang begitu saja?’
Kemudian dia pergi dan kami pun ikut bersamanya, hingga tiba di salah
satu kelompok dari kelompok-kelompok (yang ada di masjid) dan berdiri di
hadapan mereka, lalu berkata, ‘Apa yang kalian sedang kerjakan?’ Mereka
menjawab, ‘Wahai
Abu Abdurrahman, (ini adalah) batu-batu kecil yang kami gunakan untuk menghitung
takbir, tahlil, tasbih, dan tahmid.’
Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian. Aku
akan menjamin bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan-kebaikan kalian
yang akan hilang begitu saja. Celaka kalian wahai umat
Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian. Lihat sahabat-sahabat
Nabi Saw, masih banyak baju-baju mereka yang belum rusak dan bejana-bejana mereka belum pecah. Demi
Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh (apakah) kalian ini ada pada ajaran yang lebih baik dari
ajaran Muhammad ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan.’
Mereka menjawab, ‘Demi Allah wahai
Abu Abdurrahman,
kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.’ Abdullah bin Mas’ud berkata,
‘Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak dapat
meraihnya, sesungguhnya
Rasulullah Saw Bersabda kepada kami bahwa ada sekelompok orang yang
membaca al-Qur’an
tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja. Demi Allah, aku tidak
tahu, barangkali sebagian besar mereka itu dari kalian-kalian ini.’
Kemudian dia pergi. Amr bin Salamah berkata, ‘Kami lihat sebagian besar
mereka memerangi kita pada
perang Nahrawan bersama dengan
kelompok Khawarij.” (
Hadis ini diriwayatkan oleh
ad-Darimi).
Riwayat tersebut sepertinya oleh kaum Salafi & Wahabi dianggap mewakili
dalil khusus yang jelas-jelas melarang
zikir berjama’ah, atau
melarang menghitung zikir dengan batu atau
biji tasbih.
Akan tetapi, memanfaatkan riwayat ini untuk menetapkan pelarangan
tersebut atau untuk memvonis bid’ah amalan zikir berjama’ah atau
menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih, tidak dapat dibenarkan, dengan alasan:
1. Bertentangan dengan hadis
Rasulullah Saw, “Tidaklah suatu kaum duduk di suatu
majlis, berzikir kepada Allah di tempat itu, melainkan malaikat telah menaungi mereka, rahmat meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan
Allah menyebut mereka pada kelompok makhluk yang ada di sisi-Nya (yaitu para malaikat dan para nabi-red).”
(
Hadis Shahih di atas adalah riwayat Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah, dan lain-lain).
Abdullah bin Mas’ud Ra tidak mungkin tak mengetahui
hadis seperti ini, dan banyak lagi hadis-hadis lain yang senada dengan ini.
2. Tentang menghitung jumlah zikir, Rasulullah Saw juga banyak menyebut dalam hadis-hadis beliau, seperti:
Bacaan subhanallah,
alhamdulillah,
Allahu Akbar, yang masing-masing
dibaca 33 kali, atau tentang
keutamaan bacaan subhanallah wabihamdihi sebanyak 100 kali
dalam satu hari, atau tentang bacaan laa ilaha illallaahu wahdahu laa
syariika lahu lahul-mulku walahul-hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa ‘ala
kulli syai’in Qadiir sebanyak
100 kali, atau tentang permohonan ampun beliau dalam sehari
100 kali, dan lain sebagainya. Hadis-hadis tersebut menunjukkan dengan jelas legalitas menghitung jumlah
bacaan zikir.
3. Rasulullah Saw tidak pernah melarang shahabat untuk
menghitung zikir dengan batu atau yang lainnya, bahkan diriwayatkan beberapa shahabat seperti
Abu Darda’ Ra dan
Abu Hurairah Ra memiliki
sekantung batu kerikil atau biji kurma yang biasa digunakan untuk
berzikir
(lihat az-Zuhd, Abu ‘Ashim, juz 1 hal. 141, Musnad Ahmad, juz 2 hal.
540, Sunan Abu Dawud, juz 2 hal. 253, Hilyatul Awliya’, juz 1 hal. 383,
dan lain-lain).
4. Riwayat tentang Abdullah bin Mas’ud Ra di atas memiliki
kelemahan pada sanad (jalur periwayat)nya, di mana terdapat
‘Amr bin Yahya bin ‘Amr bin Salamah yang dianggap lemah periwayatannya oleh
Yahya bin Ma’in dan
Ibnu ‘Adi.
5. Riwayat tersebut tidak menunjukkan perkataan / sabda Rasulullah Saw, melainkan perkataan pribadi
Abdullah bin Mas’ud Ra (atsar shahabat), dengan kata lain merupakan qaul shahabi (perkataan shahabat) atau madzhab shahabi (pendapat shahabat).
Jumhur (mayoritas) ulama ushul menganggap bahwa qaul shahabi atau madzhab shahabi tidak termasuk
hujjah (argumen yang diakui) dalam menetapkan
hukum kecuali bila sejalan dengan hadis
Rasulullah Saw, karena para shahabat juga biasa berbeda pendapat satu sama lain (lihat Ushul al-Fiqh al-Islami,
DR. Wahbah Zuhaili,
juz 2, hal. 150-156), lihatlah pendapat Abu Musa al-Asy’ari pertama
kali pada riwayat di atas saat ia berkata, “alhamdulillah aku tidak
melihatnya kecuali
kebaikan“.
Bagaimana mungkin
Abdullah bin Mas’ud tidak dapat melihat
kebaikan yang dikatakan oleh Abu Musa al-Asy’ari tentang halaqah
zikir di masjid itu, sementara pada
riwayat lain
Abdullah bin Mas’ud
pernah berkata: “… apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim,
maka dia adalah baik menurut Allah” (Riwayat Ahmad). Sungguh ini
merupakan kejanggalan, apalagi, ternyata riwayat di atas banyak
bertentangan dengan hadis-hadis
Rasulullah Saw, maka amat sangat tidak sah untuk dijadikan
dalil melarang
zikir berjama’ah atau menghitung jumlah
zikir, atau bahkan dijadikan dalil untuk melarang kegiatan tahlilan.
6. Seandainya pun riwayat tersebut dianggap benar, maka sesungguhnya Abdullah bin Mas’ud Ra sepertinya bukan semata-mata ingin mempermasalahkan
zikir berjamaah-nya atau menghitung zikirnya, tetapi sepertinya ia tahu betul
siapa orang-orang yang berzikir itu, seolah ada isyarat yang ia ketahui jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang yang akan menimbulkan masalah di kubu
umat Islam. Buktinya,
Abdullah bin Mas’ud Ra. langsung mengarahkan tudingan kepada mereka dengan
peringatan Rasulullah Saw tentang akan munculnya “
sekelompok orang yang membaca al Qur’an tapi hanya
sebatas kerongkongan mereka saja”, yang disinyalir oleh para
ulama sebagai
kelompok khawarij.
Dan hal itu dibenarkan dengan pernyataan si periwayat yang bernama ‘Amr
bin Salamah, ‘Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada
perang Nahrawan bersama dengan
kelompok Khawarij.”
.
2. DALIL LARANGAN BERZIARAH KE KUBUR RASULULLAH SAW
Salafi Wahabi & Dalil Larangan Ziarah Kubur Rasulullah Saw
Kaum Salafi & Wahabi dalam Memahami DALIL LARANGAN ZIARAH KUBUR RASULULLAH SAW
Ada satu lagi
dalil khusus
dari ulama salaf yang juga sering digunakan oleh kaum Salafi &
Wahabi, yaitu perkataan Imam Malik bin Anas (perintis Mazhab Maliki)
tentang
ziarah ke kuburan Rasulullah Saw. Bahkan
Ibnu Taimiyah
di dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 sangat
mengandalkan ungkapan Imam Malik ini. Ibnu Taimiyah berkata:
بل
قد كره مالك وغيره أن يقال: زرت قبر النبي صلى الله عليه وسلم، ومالك أعلم
الناس بهذا الباب، فإن أهل المدينة أعلم أهل الأمصار بذلك، ومالك إمام أهل
المدينة. فلو كان في هذا سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: فيها لفظ
«زيارة قبره» لم يخف ذلك على علماء أهل مدينته وجيران قبره ـ بأبي هو وأمي.
“…
bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci kata-kata, ‘Aku menziarahi
kubur Nabi Saw.’ sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab
ini, dan penduduk Madinah adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini,
dan Imam Malik adalah imamnya penduduk Madinah. Seandainya terdapat
sunnah dalam hal ini dari
Rasulullah Saw yang di
dalamnya terdapat lafaz ‘menziarahi kubur-nya’, niscaya tidak akan
tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para ulama ahli Madinah dan
penduduk sekitar makam beliau – demi bapak dan ibuku .”
Kaum Salafi & Wahabi, bahkan imam mereka yaitu
Ibnu Taimiyah
tampaknya salah paham terhadap ungkapan Imam Malik tersebut. Imam Malik
adalah orang yang sangat memuliakan Rasulullah Saw., sampai-sampai ia
enggan naik kendaraan di kota Madinah karena menyadari bahwa tubuh
Rasulullah Saw dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan, “Aku malu kepada Allah ta’ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah Saw. dengan kaki hewan (kendaraan-red)” (lihat
Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi, wafat 681 H, Darul Fikr, Beirut, juz 3, hal. 180).
Bagaimana mungkin sikap yang sungguh luar biasa itu dalam memuliakan
jasad Rasulullah Saw seperti menganggap seolah beliau masih hidup,
membuatnya benci kepada orang yang ingin menziarahi
makam Rasulullah Saw? Sungguh ini adalah sebuah pemahaman yang keliru.
Imam
Ibnu Hajar al-Asqallani, di dalam kitab Fathul-Bari juz 3 hal. 66,
menjelaskan, bahwa Imam Malik membenci ucapan “aku menziarahi kubur Nabi
saw.” adalah karena semata-mata dari sisi adab, bukan karena membenci
amalan ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan oleh para muhaqqiq
(ulama khusus) mazhabnya. Dan ziarah kubur Rasulullah Saw. adalah
termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari’atannya jelas, dan hal
itu merupkan ijma’ para ulama.
Artinya, kita bisa berkesimpulan, setelah mengetahui betapa Imam
Malik memperlakukan jasad Rasulullah Saw. yang dikubur di Madinah itu
dengan akhlak yang luar biasa, seolah seperti menganggap beliau masih
hidup, maka ia pun lebih suka ungkapan “aku menziarahi Rasulullah Saw.”
dari pada ungkapan “aku menziarahi kubur Rasulullah Saw.” berhubung
banyak hadis mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw di dalam kuburnya dapat
mengetahui, melihat, dan mendengar siapa saja yang menziarahinya dan
mengucapkan salam dan shalawat kepadanya. Sepertinya Imam Malik tidak
suka
Rasulullah Saw yang telah wafat itu diperlakukan seperti orang mati pada umumnya, dan asumsi ini dibenarkan oleh dalil-dalil yang sah.
Bila
alasan pelarangan ziarah kubur Rasulullah Saw. itu kemudian dikaitkan
dengan larangan mengupayakan perjalanan (syaddur-rihal) kecuali kepada
tiga masjid (Masjidil-Haram,
Masjid Nabawi, & Masjidil-Aqsha) yang terdapat di dalam hadis Rasulullah Saw.,
maka makin terlihatlah kejanggalannya. Karena dengan begitu, segala
bentuk perjalanan (termasuk silaturrahmi kepada orang tua atau famili,
menuntut ilmu, menunaikan tugas atau pekerjaan, berdagang, dan
lain-lain) otomatis termasuk ke dalam perkara yang dilarang, kecuali
perjalanan hanya kepada ke
tiga masjid tersebut.
Di
sinilah para ulama meluruskan pengertiannya, bahwa pada hadis tersebut
terdapat ‘illat (benang merah) yang membuatnya tidak mencakup
keseluruhan bentuk perjalanan, yaitu adanya kata “
masjid“.
Sehingga dengan begitu, yang dilarang adalah mengupayakan dengan
sungguh-sungguh untuk melakukakan perjalanan kepada suatu masjid selain
dari
tiga masjid yang utama tersebut, karena nilai ibadah di selain
tiga masjid itu sama saja atau tidak ada keistimewaannya.
3. DALIL LARANGAN MENYANJUNG RASULULLAH SAW
Salafi Wahabi dan Dalil Larangan Menyanjung Rasulullah Saw
PENJELASAN DALIL LARANGAN MENYANJUNG RASULULLAH SAW
Satu lagi contoh dalil khusus yang sering dibawakan oleh
kaum Salafi &
Wahabi
adalah dalil yang secara harfiyah dipahami sebagai larangan menyanjung
Rasulullah Saw, dan ini dijadikan dasar untuk menganggap bid’ah atau
sesat sya’ir-sya’ir qashidah yang sering dibaca umat Islam di seluruh dunia dalam rangka memuji Rasulullah Saw. Hadis Rasulullah Saw tentang hal itu bunyinya begini:
لاَ
تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا
عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ (رواه البخاري)
“Janganlah
kalian memuji/menyanjung aku secara berlebihan, sebagaimana kaum
Nasrani menyanjung Isa bin Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka
katakanlah ‘hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari).
Kaum
Salafi & Wahabi secara mentah-mentah dan secara mutlak memahami
hadis ini sebagai larangan menyanjung Rasulullah Saw secara berlebihan,
lebih dari sekedar mengakuinya sebatas hamba Allah yang diutus sebagai
Rasul dan diberikan wahyu. Memuji beliau lebih dari itu dianggap sebagai
upaya “pengkultusan” yang dapat dikategorikan sebagai syirik – musyrik.
Padahal, memuji atau menyanjung itu sangat jauh berbeda dengan
“mengkultuskan”.
Habib Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki, di dalam
kitab beliau, Qul Hadzihii Sabiilii, menjelaskan bahwa pada hadis
tersebut ada pesan yang jelas antara larangan memuji atau menyanjung
berlebihan dengan perlakuan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam
As. Artinya, seandainya yang dilarang secara mutlak adalah semata-mata
perbuatan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. dalam bentuk apapun
seperti yang dipahami kaum Salafi & Wahabi, maka beliau tidak perlu
menghubungkannya dengan perbuatan kaum Nasrani yang jelas-jelas
menganggap Nabi Isa As. sebagai tuhan. Itulah kenapa Rasulullah Saw.
kemudian menyuruh umatnya untuk selalu “menyadari” bahwa beliau hanyalah
seorang hamba Allah dan Rasul-Nya. Dan orang Islam paling bodoh pun tahu batasan ini.
Jadi,
yang dilarang di dalam hadis tersebut adalah “mengkultuskan” Rasulullah
Saw dalam arti mengangkat beliau sebagai tuhan atau melekatkan sifat
ketuhanan kepada beliau. Sementara menyanjung atau memuji beliau,
menurut Habib Muhammad al-Maliki, adalah perkara wajib, mengingat banyak
ayat-ayat al Quran yang menyebut bahwa keingkaran umat-umat terdahulu
terhadap nabi-nabi mereka adalah karena menganggap nabi-nabi itu sebatas
manusia biasa seperti diri mereka yang tidak pantas dilebihkan
kedudukannya sehingga patut diikuti.
Di lain sisi, terdapat
dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak benar-benar
melarang shahabat beliau untuk memuji atau menyanjung beliau, melainkan
semata-mata karena sifat tawadhu’ (rendah hati) pada diri beliau, dan
karena kekuatiran terhadap kebiasaan pengkultusan jahiliyah yang baru
saja ditinggalkan para shahabat beliau karena baru masuk Islam.
Walhasil, para ulama telah menjelaskan bahwa memuji atau menyanjung
Rasulullah Saw. itu dilakukan dalam rangka untuk memuliakan beliau, dan
memuliakan beliau adalah amal shaleh yang mendapatkan pahala. Sikap
“memuliakan” itu sangat berbeda dari sikap “mengkultuskan”, dan dalam
rangka memuliakan Rasulullah Saw. maka tidak ada batas tertentu yang
dianggap cukup untuk mencapai hakikat kemuliaan beliau. Batasannya
hanyalah tidak mengangkat beliau sebagai tuhan atau tidak melekatkan
sifat ketuhanan pada diri beliau.
Lagipula, Allah Swt. telah
jelas-jelas mencontohkan sikap pemuliaan itu dengan memuji atau
menyanjung Rasulullah Saw. di dalam al Quran, sebagaimana tersebut di
dalam surat al-Qalam: 4 :
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar di atas budi pekerti yang agung.”
Bahkan,
bukan sekedar mencontohkan, Allah Swt. malah juga menganggap sikap
memuliakan Rasulullah Saw itu sebagai ciri orang yang beriman kepadanya
yang akan mendapatkan keberuntungan, sebagaimana firman-Nya:
“…
Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya ( Al Quran ),
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raaf: 157).
Jadi,
ketika kaum Salafi & Wahabi menganggap sya’ir-sya’ir pujian kepada
Rasulullah Saw. yang ditulis oleh para ulama yang shaleh sebagai bid’ah
sesat, atau bahkan dianggap sebagai amalan syirik, karena dianggap
“berlebihan” dalam memuji, maka hendaknya mereka menjelaskan “batasan
Pas’nya” dan “batasan lebihnya” dengan dalil yang jelas, sambil
bertanya, “kalau bukan kita (umat Islam) yang memuliakan Rasulullah
Saw., maka siapakah yang lebih pantas melakukannya, Yahudi kah atau
Nasrani kah?”
Bila Rasulullah Saw sudah dianggap tidak lebih dari
manusia biasa yang diutus sebagai Rasul dan mendapat wahyu, berarti di
sana ada pengingkaran terhadap sosok pribadi beliau yang agung sebagai
seseorang bernama “Muhammad” yang terkenal kemuliaan dan kejujurannya,
yang bukan saja ditakdirkan tetapi bahkan dipersiapkan oleh Allah
jauh-jauh masa sebelum alam semesta diciptakan. Beliau bahkan sudah
menjadi manusia mulia dan terpuji yang diistimewakan oleh Allah sebelum
diangkat menjadi Nabi dan Rasul.
Bagaimana mungkin kita mengingkari awan
yang menaungi beliau saat berjalan; atau melimpahnya keberkahan ternak
dan susu Halimatus-Sa’diyah saat mengambil beliau sebagai anak susunya;
atau kejujuran dan kehalusan budi pekerti beliau yang diakui orang di
seantero Mekkah; atau padamnya api abadi sesembahan kaum majusi Persia
di saat kelahiran beliau; atau betapa proporsionalnya bentuk wajah dan
tubuh beliau; dan lain sebagainya. Sungguh semua itu diberikan oleh
Allah sebagai suatu keistimewaan yang layak disebut sebagai kemuliaan
dan keagungan pribadi beliau, terlepas dari status beliau sebagai
seorang Rasul semata. Belum lagi keistimewaan-keistimewaan yang Allah
berikan kepada beliau sejak diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sungguh
tidak terukur kadarnya. Syirik kah orang yang menyebut-nyebut
keistimewaan beliau itu dalam sya’ir-sya’ir pujian?
Lihatlah
betapa para shahabat Rasulullah Saw seperti kehabisan kata dan tak mampu
menemukan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan hakikat pribadi
beliau. Kekaguman mereka pada diri beliau terungkap seperti berikut ini:
Al-Bara’
bin ‘Azib Ra. berkata, “Aku tidak pernah melihat ada seseorang berbalut
pakaian merah yang lebih bagus dari beliau” (HR. Bukhari).
Ali bin Abi Thalib Ra. berkata, “… Aku belum pernah melihat sebelum dan sesudahnya orang yang seperti beliau” (HR. Tirmidzi).
Anas
bin Malik Ra. berkata, “Aku tidak pernah menyentuh kain sutra yang
lebih halus dari telapak tangan Rasulullah Saw., dan aku tidak pernah
mencium wangi yang lebih harum dari wanginya Rasulullah Saw.” (HR.
Ahmad).
‘Aisyah Ra. ummul-Mu’miniin berkata, “Adalah akhlak beliau itu al Quran” (HR. Ahmad).
Delegasi
Bani ‘Amir berkata kepada Rasulullah Saw, “Engkau adalah tuan kami.”
Rasulullah Saw menjawab, “Tuan itu adalah Allah tabaraka wata’ala.”
Delegasi itu malah terus berkata lagi, “Dan engkau adalah orang paling
utama dan paling besar kemampuan di antara kami.” Rasulullah Saw
berkata, “Katakanlah dengan perkataan kalian atau sebagian perkataan
kalian, dan jangan sampai syeitan menjadikan kalian sebagai wakilnya
(untuk menyesatkan dengan kata-kata)” (HR. Abu Dawud). Hadis ini
menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak melarang orang yang menyanjung
beliau, tetapi di sisi lain beliau juga memberi peringatan agar waspada
dari penyusupan syeitan dalam hal tersebut yang pada akhirnya dapat
mengarahkan orang untuk mengkultuskan beliau seperti Tuhan, mengingat
mereka baru masuk Islam dan baru saja meninggalkan penyembahan berhala.
Artinya, selama pujian atau sanjungan itu tidak melampaui batas
tersebut, beliau masih mentolerirnya. Beliau memang tidak senang dipuji
atau disanjung karena sifat tawadhu’ (rendah hati), bukan karena haram
melakukannya.
Cover Buku Salafi Wahabi Melarang Menyanjung Rasulullah Saw. Di atas adalah Judul Cover buku terbitan kaum salafi dan Wahabi.
Masih
banyak lagi ungkapan pujian dan sanjungan para shahabat terhadap
beliau, sebagai wujud kebanggaan, kecintaan, dan kekaguman yang mendalam
terhadap diri beliau. Dan ungkapan-ungkapan apapun dalam memuji atau
menyanjung Rasulullah Saw. hakikatnya adalah pembenaran dan penetapan
keyakinan di dalam hati tentang ketinggian derajat dan keutamaan yang
Allah berikan kepada beliau, dan ini adalah bagian dari keimanan kepada
kenabian dan kerasulan beliau.
Bila yang dipermasalahkan adalah
kalimat-kalimat sya’ir yang secara harfiyah memposisikan Rasulullah Saw
sebagai: Pemberi petunjuk ke jalan yang lurus (al-haadii ilaa sharath
mustaqiim), pembuka yang tertutup (al-faatih limaa ughliqa), penutup
yang terdahulu, tuan (sayyid/maula), cahaya yang berada di atas cahaya
(nuur fawqa nuur), penghapus kesesatan, pemberi pertolongan, dan lain
sebagainya, yang sering dituduh sebagai sikap “menuhankan”
(mengkultuskan) beliau atau menganggap beliau memiliki kemampuan seperti
Allah, maka sungguh tuduhan itu sangat keliru. Sebab para ulama yang
menyusun atau mengarang kalimat-kalimat tersebut tidak pernah
menganggapnya demikian, mereka hanya memaksudkan makna majaz (kiasan) di
mana hakikatnya sudah menjadi hal lumrah bagi orang-orang yang
bertauhid dan beraqidah, bahwa yang sesungguhnya memberi petunjuk,
pertolongan, keberkahan, cahaya, dan lain sebagainya adalah Allah Swt,
sedang Rasulullah Saw. hanya merupakan “sebab” tercapainya hal-hal
tersebut melalui dakwah, teladan, syafa’at, dan do’a-do’a beliau.
Para
ulama yang menulis sya’ir-sya’ir pujian itu pasti sangat mengerti
batasan tentang “porsi” Khaliq (Allah yang Maha Pencipta) dan “porsi”
makhluq (hamba ciptaan Allah) dalam hal kemampuan atau perbuatan, dan
tidak mungkin itu diabaikan. Setinggi apapun ungkapan pujian atau
sanjungan itu kepada Rasulullah Saw. sesungguhnya maksudnya adalah masih
dalam tataran status beliau sebagai makhluk. Bahkan seandainya
dikatakan Rasulullah Saw. adalah sempurna, maka maksudnya adalah
Rasulullah Saw. makhluk yang sempurna, yang tentunya disempurnakan oleh
Allah Swt.
Al-Habib Muhammad al-Maliki menjelaskan, bahwa
menisbatkan suatu perbuatan atau kemampuan kepada yang bukan ahlinya
adalah sah menurut al Quran dan Sunnah, dan inilah yang disebut majaz
‘aqli (kiasan logis). Sebagai contoh, Allah Swt. mencontohkan:
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama
Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayatNya, maka (ayat-ayat itu) menambahkan iman mereka dan kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal” (QS. Al-Anfaal: 2).
“Maka
bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir
dari hari yang menjadikan anak-anak beruban” (QS. Al-Muzzammil: 17).
Pada
ayat pertama di atas, Allah menyebutkan seolah “ayat-ayatNya” dapat
melakukan atau memberkan tambahan keimanan, dan pada ayat kedua, Allah
menyebutkan seolah “hari” lah yang merubah keadaan anak-anak menjadi
beruban (tua). Tentu hal itu dengan mudah dapat dipahami sebagai kiasan,
karena siapapun tahu bahwa pada hakikatnya yang menambah keimanan dan
merubah keadaan anak-anak menjadi beruban adalah Allah. Demikian pulalah
jika suatu kemampuan atau perbuatan yang hakekatnya cuma milik Allah
ketika dinisbatkan kepada Rasulullah Saw., maka maksudnya adalah majaz
aqli (kiasan logis) dengan makna bahwa beliau hanyalah “sebab”
tercapainya perbuatan itu, sedang pelaku sesungguhnya adalah Allah.
Lihatlah bagaimana Allah sendiri menyebutkan:
“… dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. Asy-Syuuraa: 52).
Adapun
memuliakan Rasulullah Saw. dengan sebutan sayyid
(tuan/penghulu/pemimpin), maka hal itu telah dibahas hukum kebolehannya
dengan panjang lebar oleh para ulama, di antaranya adalah Imam Nawawi di
dalam kitab al-Adzkaar. Ringkasnya, menyebut Rasulullah Saw. dengan
Sayyidinaa Muhammad (tuan/penghulu/pemimpin kami Muhammad) hanyalah
melaksanakan apa yang beliau nyatakan sendiri di dalam sabdanya:
أَنَا
سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ
عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ (رواه مسلم)
“Aku adalah penghulu/pemimpin anak Adam pada hari kiamat,
dan orang pertama terbelah (terbuka) kuburnya, orang pertama yang
memberi syafa’at, serta orang pertama yang diberi syafa’at” (HR. Muslim)
Sikap
kaum Salafi & Wahabi yang di satu sisi terkesan seperti sangat
antusias dalam mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. tetapi di sisi lain
sangat “menghindarkan diri” dari memuliakan dan menyanjung pribadi
beliau karena paranoid terhadap pengkultusan yang tidak jelas
batasannya, adalah dua sisi yang boleh dikatakan bertolak belakang.
Mengapa? Karena semangat atau antusiasme mengikuti seseorang biasanya
muncul dari kekaguman, dan kekaguman itu berawal dari mengenal
keistimewaan dan kemuliaan orang tersebut yang dapat diekspresikan dan
disosialisasikan melalui sanjungan, pujian, atau pemuliaan dari orang
yang mengenalnya.
Tanpa kekaguman itu mustahil rasanya seseorang
tergerak untuk mengikuti atau bahkan untuk sekedar mempercayai. Bukankah
banyak riwayat hadis menyebutkan para Shahabat yang mendapat hidayah
dan memilih beriman serta mengikuti Rasulullah Saw. karena kekaguman
mereka terhadap beliau dalam hal: Kejujurannya, akhlak dan budi
pekertinya, kelembutan tutur katanya, kebijaksanaannya, dan kedahsyatan
mukjizatnya? Bila semata-mata karena beliau diangkat menjadi seorang
Nabi dan Rasul, tanpa tanda-tanda khusus atau keistimewaan yang
mengagumkan pada diri pribadi beliau, besar kemungkinan bahkan para
rahib (seperti Waraqah bin Naufal atau Buhaira) yang mengetahui berita
kedatangan Nabi akhir zaman dari kitab-kitab mereka sekalipun, sulit
untuk mempercayai beliau, apatah lagi mengikuti ajarannya.
Pertanyaannya,
kenapa kaum Salafi & Wahabi ini bisa bersemangat dan sangat
antusias untuk mengikuti sunnah Rasulullah Saw. padahal “bekal”
kekaguman mereka terhadap beliau tidak lebih dari pengakuan bahwa beliau
adalah manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat menjadi Nabi dan
Rasul?
Bukankah kekaguman sebatas itu mestinya tidak menghasilkan efek
yang lebih hebat dalam mengikuti sunnah Rasulullah Saw. daripada
kekaguman yang diwarnai dengan pujian dan sanjungan terhadap kemuliaan
dan keistimewaan pribadi beliau? Bagaimana mungkin orang-orang yang
mengaku mencintai dan mengagumi Rasulullah Saw. dan rajin memuji atau
menyanjung pribadi beliau terkesan kalah semangat dari kaum Salafi &
Wahabi ini dalam membicarakan dan menjalani sunnah beliau? Anda ingin
tahu jawabannya?
Jawabnya, bahwa para ulama melihat jelas adanya
celah rahmat Allah yang ada pada sikap memuliakan pribadi Rasulullah
Saw. selain dari kekaguman yang dapat memompa semangat mengikuti sunnah
beliau. Sehingga diharapkan, meskipun jika ada umat Islam yang membaca
syair pujian dan sanjungan terhadap beliau lalu belum muncul semangatnya
untuk mengikuti sunnah beliau, diharapkan mereka mendapat rahmat dengan
cara itu. Dengan rahmat itulah kemudian mereka akan dipermudah oleh
Allah untuk mencapai kecintaan kepada Rasulullah Saw, lalu kekaguman
terhadap beliau, lalu peneladanan terhadap sunnahnya. Berarti,
setidaknya masih ada kebaikan yang dihasilkan dari sekedar memuji dan
menyanjung Rasulullah Saw, bahkan dengan hanya menyebut nama beliau
saja, seseorang bisa mendapatkan rahmat. Bagaimana tidak, sedangkan
Sufyan bin ‘Uyainah berkata:
عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْـزِلُ الرَّحْمَةُ (حلية الأولياء ج. 7 ص. 285)
“Saat menyebut orang-orang shaleh, akan turun rahmat” (Lihat Hilyatul-Awliya’, al-Ashbahani, juz 7 hal. 285).
وَعَنْ
أَبِيْ عُثْمَانَ أَنَّهُ قَالَ ِلأَبِيْ جَعْفَرِ بْنِ حَمْدَانَ
أَلَسْتُمْ تَرْوُوْنَ أَنَّ عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ
الرَّحْمَةُ قَالَ بَلَى قَالَ فَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سَيِّدُ الصَّالِحِيْنَ (، سير أعلام النبلاء ج. 14 ص. 64)
Dan
dari Abi Utsman bahwasanya ia berkata kepada Abu Ja’far bin Hamdan,
“Bukankah kalian meriwayatkan bahwa ketika disebut orang-orang shaleh
akan turun rahmat?” Abu Ja’far menjawab, “Benar”. Abu Utsman berkata,
“Maka Rasulullah Saw. adalah pemimpin orang-orang shaleh” (Siyar A’laam
an-Nubala’, adz-Dzahabi, juz 14, hal. 64)
Sedangkan mengenai kaum
Salafi & Wahabi yang terkesan sangat antusias dan bersemangat
mengikuti sunnah Rasulullah Saw, maka sebenarnya hal itu juga dilatar
belakangi oleh kekaguman yang sangat besar. Tetapi kekaguman yang sangat
besar itu bukanlah terhadap diri pribadi Rasulullah Saw, karena mereka
menganggap beliau hanya sebatas manusia biasa yang diberi wahyu dan
diangkat menjadi Nabi & Rasul. Semangat dan antusiasme itu lahir
karena mereka sangat kagum kepada dua hal, yaitu:
1. Sangat kagum
kepada para ulama Salafi & Wahabi yang berhasil meyakinkan dirinya
bahwa merekalah yang paling murni mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan
para shahabat beliau. Penampilan mereka yang hafal al Quran dan hadis
sehingga terkesan selalu berbicara dengan dalil, menjadi poin penting
dalam memunculkan kekaguman ini.
2. Sangat kagum kepada diri
sendiri karena merasa beragama dan beribadah selalu berdasarkan sunnah
Rasulullah dan sunnah para shahabat beliau. Akibatnya mereka sangat
optimis bahwa ibadah yang mereka lakukan itu sangat berarti dan berharga
nilainya.
Benarkah begitu? Mana buktinya? Buktinya, mereka selalu
berbicara tentang ibadah yang harus dijalankan sesuai dengan sunnah
Rasulullah Saw, sehingga apa yang mereka anggap berbeda dari yang
disebutkan sunnah tersebut dianggap sia-sia dan tidak mendapat pahala.
Sedangkan para ulama pelaku Maulid seringkali berbicara tentang rahmat
Allah yang hakikatnya lebih berharga dari pahala ibadah; mengarahkan
umat untuk kagum kepada “rahmat bagi sekalian alam” ( yaitu Rasulullah
Saw ) melalui syair-syair sanjungan dan pujian kepada beliau; serta
perlahan-lahan mengarahkan mereka untuk mengikuti sunnahnya agar semakin
besar harapan mereka untuk mendapatkan rahmat Allah.
Apa artinya
amal ibadah seseorang di hari akhirat bila ia tidak diberi rahmat oleh
Allah, sedangkan Allah memberi rahmat-Nya kepada siapa saja yang Ia
kehendaki, apalagi kepada orang yang berharap rahmat kepada-Nya.
Pantaskah mendapat rahmat suatu ibadah yang di dalamnya terselip
kesombongan dan kebanggaan karena menganggapnya lebih utama dari ibadah
orang lain? Manakah yang lebih utama, mengharap pahala atau rahmat?
Rasulullah Saw telah bersabda:
لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا
مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيْرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا
إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ (روا مسلم)
“Tidaklah amal
seseorang memasukkannya ke dalam surga, dan tidak pula menyelamatkannya
dari neraka, dan aku pun demikian, melainkan dengan sebab rahmat dari
Allah” (HR. Muslim).
Jika telah nyata bahwa rahmat Allah lebih
berharga dari pahala atau amal ibadah, maka membuka peluang besar bagi
umat untuk mendapat rahmat Allah melalui puji-pujian dan sanjungan
kepada Rasulullah Saw., atau melalui acara peringatan Maulid, tahlilan,
dan lain sebagainya adalah amalan yang jelas lebih pantas dianggap
kebaikan ketimbang memutus harapan mereka dari rahmat Allah dengan
melarang atau menuding amalan tersebut sebagai kesia-siaan, bid’ah, dan
kesesatan. Perhatikanlah riwayat dari Zaid bin Aslam Ra. berikut ini:
أن
رجلا كان في الأمم الماضية يجتهد في العبادة ويشدد على نفسه ويقنط الناس
من رحمة الله ثم مات فقال أي رب مالي عندك قال النار قال يا رب فأين عبادتي
واجتهادي فقيل له كنت تقنط الناس من رحمتي في الدنيا وأنا أقنطك اليوم من
رحمتي (أخرجه معمر بن راشد الأزدي في الجامع ج. 11 ص. 288 والبيهقي في شعب
الإيمان ج. 2، ص. 21)
Sesungguhnya ada seorang lelaki pada
masa umat-umat terdahulu yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Ia
berkeras diri melakukannya, dan (di sisi lain) ia membuat orang lain
berputus asa dari rahmat Allah ta’ala. Kemudian Ia meninggal dunia. Maka
ia berkata (saat hari kiamat), “Ya Tuhanku, apa yang aku dapat (dari
Engkau)?” Allah menjawab, “Neraka!” Orang itupun berkata, “Mana (pahala)
ibadahku dan kesungguhanku?” Allah menjawab, “Sesungguhnya kamu dahulu
di dunia telah membuat orang berputus asa dari rahmat-Ku, maka hari ini
Aku buat kamu berputus asa dari mendapat rahmat-Ku!” (lihat al-Jami’,
Ma’mar bin Rasyid al-Azdi w. 151, juz 11, hal. 288. Syu’abul-Iman, al-Bayhaqi w. 458 H.,juz 2, hal. 21).
Mungkin
kaum Salafi & Wahabi tidak menyadari, entah ke arah mana maunya
keyakinan yang mereka pegang itu. Bila kaum Yahudi & Nasrani
memiliki alasan jelas dalam hal tidak menyukai keutamaan diri Rasulullah
Saw sehingga mereka selalu berupaya menghina dan merendahkan martabat
beliau, lalu mengapakah kaum Salafi & Wahabi jadi seperti
“ikut-ikutan” dalam hal itu sehingga tega melarang umat Islam untuk
mencintai, memuji, menyanjung, dan membanggakan Nabinya sendiri? Apakah
mereka tidak menyadari bahwa fatwa mereka dalam hal ini seperti
mendukung misi kaum Yahudi yang selalu berusaha “membunuh karakter”
Rasulullah Saw dari hati para pengikutnya??!
4. DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN
Salafi Wahabi dan Dalil Larangan Acara Kematian Acara Tahlilan.
PENJELASAN DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN ACARA TAHLILAN
Di antara
dalil khusus dari kaum
Salafi &
Wahabi
yang paling sering dikemukakan adalah tentang larangan berkumpul di
rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan sebagaimana masih banyak
diamalkan di masyarakat dalam bentuk acara peringatan kematian pada
hari ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 14, 40, 100, setahun (Haul), dan seterusnya.
عَنْ
جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى
اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ
النِّيَاحَةِ (رواه ابن ماجه)
Dari Jarir bin Abdullah
al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) memandang berkumpul di
keluarga mayit dan membuat makanan termasuk daripada meratap” (HR. Ibnu
Majah).
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ
قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ
وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد)
Dari
Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat)
menganggap berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan setelah
penguburannya termasuk daripada meratap” (HR. Ahmad).
Meratap atau
yang dalam bahasa arab disebut “niyahah” adalah perbuatan yang dilarang
di dalam agama. Meskipun begitu, bukan berarti keluarga mayit sama
sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat anggota keluarga mereka
meninggal dunia, sedangkan Rasulullah Saw.
saja bersedih dan menangis mengeluarkan air mata saat cucu beliau wafat
seraya berkata, “Ini (kesedihan ini-red) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, dan Allah hanyalah merahmati hamba-hambanya yang mengasihani (ruhama’/punya sifat rahmat)” (HR. Bukhari). Rasulullah Saw
juga menangis saat menjelang wafatnya putra beliau yang bernama
Ibrahim, bahkan beliau juga menangis di makam salah seorang putri beliau
dan di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut
menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih
(lihat Mughni al-Muhtaaj, Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).
Maka
meratap yang diharamkan dan disebut niyahah adalah menangisi mayit
dengan suara keras, meraung, atau menggerung, apalagi diiringi dengan
ekspresi berlebihan seperti merobek kantong baju, memukul-mukul atau
menampar pipi, menarik-narik rambut, atau menaburi kepala dengan tanah,
dan lain sebagainya.
Riwayat atsar shahabat di atas menyebutkan
dengan jelas bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit setelah penguburan
di mana kemudian tuan rumah membuatkan makanan untuk para tamunya
tersebut, pada masa shahabat Rasulullah Saw. dianggap sebagai pekerjaan
meratap (niyahah). Kaum Salafi & Wahabi memahami persamaan ini juga
sebagai persamaan hukum haramnya, sehingga dalih apapun tidak bisa
dipertimbangkan sebagai faktor yang mungkin mengindikasikan hukumnya
yang berbeda. Biasa, lagi-lagi akibat pemahaman harfiyah (tekstual)
terhadap dalil tanpa kompromi, padahal pada riwayat itu Shahabat tidak
menyebutkan hukum haramnya.
Dalam rangka mengharamkannya, terutama
kaum Salafi & Wahabi Indonesia, juga memuat fatwa-fatwa para ulama
belakangan (mutaakhir) yang mewakili empat mazhab (Hanafi, Maliki,
Syafi’I, dan Hanbali) yang terkesan semuanya sama sekali tidak mentorir
kegiatan tersebut. Padahal sesungguhnya para ulama yang mereka kutip
fatwa-fatwanya itu hanya meletakkan hukum makruh (dibenci/ tidak berdosa
bila dikerjakan, berpahala bila ditinggalkan), itupun karena fokus pada
‘illat (benang merah/titik tekan) yang berhubungan dengan keadaan
keluarga mayit. Sedangkan bila mereka mengharamkannya, tentu tidak
semata-mata didasarkan pada persamaannya dengan meratap (niyahah)
seperti disebut dalam riwayat di atas karena memang riwayat tersebut
tidak menyebutkan hukum haram, kecuali bila didasarkan pada
faktor-faktor khusus yang membuatnya menjadi terlarang sama sekali.
Mengapa
demikian? Karena memang perbuatan meratap (niyahah) sama sekali berbeda
bentuknya dari perbuatan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu
dihidangkan makanan. Benang merah yang ada pada dua hal tersebutlah yang
kemudian dikaji lebih jauh oleh para ulama sehingga status hukum dapat
ditetapkan. Bagaimana mungkin kita menyamakan hukum makan “oncom” sama
dengan hukum makan bangkai hanya karena ada orang yang berkata, bahwa
dikampungnya ampas makanan seperti oncom itu dianggap seperti bangkai?
Tentu tidak mungkin mengharamkan oncom kalau bukan karena oncom tersebut
entah mengandung racun, entah hasil curian, atau entah mengandung
najis.
Tentang fatwa-fatwa ulama fiqih seperti yang tersebut di
dalam kitab I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145-146, kaum Salafi &
Wahabi Indonesia salah paham ketika melihat ungkapan Imam Syafi’I atau
ulama lain saat mengatakan “akrahu” (saya membenci), “makruh” (dibenci),
“yukrahu” (dibenci), “bid’ah munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu
mustahabbah” (bid’ah yang tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah”
(bid’ah yang dianggap jelek), sepertinya semua itu mereka pahami sebagai
larangan yang berindikasi hukum haram secara mutlak. Padahal di kitab
tersebut berkali-kali dinyatakan hukum “makruh” untuk kegiatan berkumpul
di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan, terlepas dari
hukum-hukum perkara lain seperti hukum ta’ziyah sampai hari ketiga
setelah kematian dan hukum mendo’akan atau bersedekah untuk mayit yang
kesemuanya dinyatakan sebagai sunnah.
Bila ungkapan para Mufti
empat mazhab (sebagaimana terdapat di dalam I’aanatugh-Thalibiin) yang
dinukil oleh kaum Salafi & Wahabi Indonesia terkesan begitu membenci
acara kematian seperti tahlilan, di mana berkumpul banyak orang di
rumah keluarga mayit untuk berdo’a lalu dihidangkan makanan, bahkan
terkesan mengharamkan, maka sesungguhnya bukan karena para Mufti itu
benar-benar berpendapat demikian. Di sinilah terlihat ada tahrif
(distorsi/penyelewengan) terhadap fatwa-fatwa para Mufti tersebut. Anda
akan melihat bentuk penyelewengan tersebut ketika anda membandingkan
antara penukilan mereka dengan pembahasan aslinya secara tuntas di dalam
kitab I’anatuth-Thalibiin.
Contohnya seperti yang dimuat di dalam buku “Membongkar Kesesatan
Tahlilan” (karya Basyaruddin bin Nurdin Shalih Syuhaimin, Mujtahid
Press, Bandung, 2008) atau di dalam buku “Mantan Kiai NU Menggugat
Tahlilan, Istighosahan, dan Ziarah Para Wali” (karya
H. Mahrus Ali, Laa Tasyuk! Press, Surabaya, 2007) seperti berikut ini:
“Dan
di antara bid’ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan
orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya”
(lihat
buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).
“Di
antara bid’ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat
biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka
cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majelis untuk
kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram” (lihat
buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).
Lihatlah dua susunan terjemahan yang berbeda seperti di atas, padahal kalimat asli yang diterjemahkannya adalah satu, yaitu:
ومن
البدع المنكرة والمكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين،
بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور أو من ميت عليه دين أو يترتب عليه ضرر
أو نحو ذلك (إعانة الطالبين ج: 2 ص: 146)
Jika diterjemahkan, maka bunyinya:
“Dan
di antara bid’ah munkarah dan makruh mengerjakannya adalah apa yang
dilakukan orang daripada duka cita, kumpulan, dan 40 (harian), bahkan
setiap hal itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang/haram,
atau dari (harta) mayit yang punya hutang, atau (dari harta) yang dapat
mengakibatkan bahaya atasnya, atau lain sebagainya.”
(I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 146).
Lihatlah penyelewengan
itu dengan jelas pada kalimat yang digaris bawahi, sangat nyata bahwa
mereka menyembunyikan maksud asli dari ungkapan ulama yang terdapat di
dalam kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat seenaknya demi tercapai
tujuan ‘pengharaman’ agar terkesan bahwa pendapat atau vonis mereka
didukung oleh para ulama. Itu belum seberapa, jika anda mau melihat
kenekatan
H. Mahrus Ali di dalam buku
Mantan Kiai NU
Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hal. 68-69, anda
akan temukan vonis pribadi ditambahkan di dalam terjemah dalil yang
tidak pernah ada di dalam kalimat aslinya, seperti berikut ini:
“…
dan di dalam hal ini Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis yang shahih
dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: ‘Kami menganggap bahwa berkumpul di
rumah keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan
untuk menjamu para hadirin, adalah sama hukumnya seperti niyahah
(meratapi mayat) yaitu haram.”
Subhaanallah! Kenekatan macam apa
ini, berani menipu umat dengan memalsukan terjemah dalil (riwayat
aslinya anda dapat lihat pada permulaan poin pembahasan ini). Belum lagi
vonis-vonis “bodoh”, “kufur”, dan “syirik” yang menghiasi
tuduhan-tuduhan
H. Mahrus Ali dan orang-orang Salafi
& Wahabi sejenisnya di dalam buku-buku tulisan mereka. Sungguh klaim
kebenaran dan pengikutan sunnah Rasulullah Saw. yang mereka
gembar-gemborkan sangat bertolak belakang dengan perilaku penipuan
seperti ini.
Segala bentuk ungkapan kebencian para Mufti mazhab
fiqih dan anjuran mereka untuk melakukan pemberantasan terhadap amalan
berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan (meski
sebenarnya mereka hanya menghukumi “makruh”) sebagaimana termaktub di
dalam kitab I’aanatuth-Thalibiin juz 2 hal. 145-146, sebenarnya
berangkat dari sumber masalah atau kasus yang ditanyakan kepada mereka
saat itu, di mana kegiatan tersebut pada saat itu terkesan sangat tidak
wajar dan memberatkan keluarga mayit yang sedang kedukaan. Anda akan
mengerti kenapa fatwa mereka jadi demikian setelah melihat kasus yang
ditanyakan seperti berikut ini:
وقد اطلعت على سؤال رفع
لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك
وصورتهما ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للأنام مدى الأيام
في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الأشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار
الجزاء وحضر معارفه وجيرانه العزاء جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام ومن
غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام ويهيئون لهم أطعمة عديدة
ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة فهل لو أراد رئيس الحكام بما له من الرفق
بالرعية والشفقة على الأهالي بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك
بالسنة السنية المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما حيث قال
اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور (إعانة الطالبين، ج. 2،
ص. 145)
(Sayid Bakri Syatha’ ad-Dimyathi, penulis I’aanatuth-Thalibiin) berkata:
Dan
aku telah memperhatikan pertanyaan yang diangkat kepada para mufti
Makkah al-Musyarrafah tentang apa yang dilakukan oleh keluarga mayit
daripada (membuat/menghidangkan) makanan dan jawaban mereka untuk itu.
Gambaran keduanya (pertanyaan & jawaban), adalah “apa pendapat para
mufti yang mulia di negeri Haram, semoga Allah mengabadikan manfaat
mereka untuk manusia sepanjang hari-hari, tentang kebiasaan yang khusus
bagi beberapa orang di suatu negeri, bahwa jika ada seseorang meninggal
dunia, lalu hadir para penta’ziyah dari kenalan dan tetangganya, telah
berlaku kebiasaan bahwa mereka (para penta’ziyah itu) menunggu makanan,
dan karena dominasi rasa malu pada diri keluarga mayit, mereka membebani
diri dengan pembebanan yang sempurna, mereka menyediakan untuk para
penta’ziyah itu makanan yang banyak, dan menghadirkannya kepada mereka
dengan penuh kasihan. Maka apakah jika pemimpin penegak hukum, karena
kelembutannya kepada rakyat dan rasa kasihannya kepada para keluarga
mayit dengan melarang problema ini secara keseluruhan agar rakyat
kembali berpegang kepada Sunnah yang lurus yang bersumber dari manusia
terbaik dan (kembali) kepada jalan beliau semoga shalawat dan salam
atasnya saat ia berkata: ‘Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far’, apakah
(pemimpin) itu diberi pahala atas pelarangan tersebut?”
(lihat I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145).
Jika
melihat kasus yang digarisbawahi seperti ungkapan di atas, maka
siapapun orangnya, jika melihat kebiasaan para penta’ziyah itu dalam hal
mana “mereka menunggu makanan” di rumah orang yang sedang mendapat
musibah kematian, akal sehatnya pasti akan menganggap kebiasaan itu
sebagai perkara yang sangat tidak wajar dan sangat pantas untuk
diberantas. Terlebih lagi pendapat para Mufti sekelas Syaikh Ahmad bin
Zaini Dahlan dan yang lainnya. Wajar saja bila para Mufti tersebut
menyatakan bahwa perkara tersebut termasuk bid’ah munkarah dan penguasa
yang memberantas kebiasaan itu mendapat pahala. Namun begitu, dengan
keluasan ilmunya, mereka tidak berani menetapkan hukum “haram” kecuali
bila ada dalil atau sebab-sebab yang jelas mengharamkannya.
Mungkin,
para Mufti itu akan berkata lain jika membahasnya dari sisi yang lebih
umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan di atas), di mana orang-orang
datang berta’ziyah kepada keluarga mayit, bukan hanya menghibur atau
menyabarkan mereka, tetapi juga memberi bantuan materil berupa uang atau
sekedar makanan dan minuman untuk biaya pengurusan jenazah dan untuk menghormati para penta’ziyah yang datang.
Pada
acara tahlilan kematian setelah penguburan si
mayit,
orang-orang tidak datang ke rumah keluarga mayit dengan kehendaknya
sendiri, melainkan mereka diundang oleh tuan rumah yang otomatis jika
keluarga mayit itu merasa berat, mereka tidak akan merasa perlu
mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang pada acara
tersebut. Siapakah yang semestinya lebih tahu tentang “keberatan” dan
“beban” keluarga mayit sehingga menjadi alasan untuk meninggalkan atau
melarang kegiatan tersebut, apakah para hadirin yang diundang ataukah
keluarga mayit itu sendiri? Tentunya tidak ada yang lebih tahu kecuali
keluarga si mayit itu sendiri. Tekad keluarga mayit mengadakan
acara tahlilan
dan mengundang orang untuk datang ke rumahnya adalah pertanda bahwa ia
sama sekali menginginkannya dan tidak keberatan, sementara para hadirin
yang diundang tidak ada sedikit pun hak untuk memaksa mereka
melakukannya atau bahkan untuk sekedar tahu apakah mereka benar-benar
terpaksa dan keberatan. Keluarga mayit hanya tahu bahwa mereka mampu dan
dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudara mereka yang
meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka diundang dan
mereka mencoba memenuhi undangan itu.
Akan sangat menyakitkan hati keluarga si
mayit,
bila undangannya tidak dipenuhi, atau bila makanan yang ia hidangkan
tidak dimakan bahkan tidak disentuh. Manakah yang lebih utama dalam hal
ini, melakukan amalan yang dianggap “makruh” dengan menghibur dan
membuat hati keluarga
mayit senang, atau menghindari
yang “makruh” tersebut dengan menyakiti perasaan keluarga mayit? Tentu,
menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah
sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah
kejelekan yang dapat berakibat dosa.
Di satu sisi, keluarga mayit
melakukan amal shaleh dengan cara mengajak orang banyak untuk mendo’akan
si mayit, bersedekah atas nama si mayit, dan menghormati tamu dengan
cara memberikan makanan dan minuman kepada mereka. Di sisi lain, para
tamu yang hadir juga melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan,
mendo’akan si mayit, berzikir bersama, dan menemani (menghibur) keluarga
duka agar jangan merasa sibuk sendiri memikirkan si mayit atau merasa
kehilangan karena kepergiannya. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang
diharamkan di dalam agama??!
Jika alasan “berkumpulnya orang akan
menambah kesedihan” membuat acara itu menjadi terlarang, maka apakah
orang yang sedang bersedih hati rela mengundang orang banyak untuk
menambah kesedihannya? Bagaimana pula jika ternyata ada banyak keluarga
di zaman ini yang justeru menganggap bahwa meninggalnya anggota keluarga
mereka adalah sebuah “kebaikan” bagi mereka, karena penyakit parahnya
yang menahun selama ini sudah begitu merepotkan mengurusnya, apalagi
ditambah biaya pengobatannya yang sangat banyak?
Sungguh, hukum
“makruh” yang diletakkan para ulama untuk adat atau kebiasaan tahlilan
kematian itu sudah sangat bijaksana karena melihat adanya potensi
“menambah kesedihan atau beban kerepotan” meskipun jika seandainya hal
itu tidak benar-benar ada. Namun begitu, bukan berarti melakukannya sama
sekali sia-sia dan tidak berpahala, karena terbukti banyak hal-hal yang
dilakukan di dalam acara tersebut yang ternyata jelas-jelas
diperintahkan di dalam agama, seperti: Mendo’akan mayit, bersedekah
(pahalanya) untuk mayit, menghormati tamu, memenuhi undangan, berzikir,
dan menghibur keluarga mayit. Dan para ulama tidak pernah menganggap itu
semua sia-sia atau tidak mendapat pahala.
Adanya kasus-kasus
acara kematian
yang sangat membebani dan menyusahkan seperti di kampung-kampung atau
pelosok, yang dilakukan oleh orang-orang awam yang tidak mengerti
tentang agama dalam hal tersebut, tidak bisa dijadikan patokan secara
umum untuk menetapkan
hukum haram atau terlarang. Sebab, mereka yang tidak tahu lebih pantas diajarkan atau diberitahu daripada dihukumi.
********
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa
kaum Salafi & Wahabi memang memiliki dalil-
dalil khusus untuk memvonis
bid’ah
meskipun sangat sedikit jumlahnya, tetapi tidak dapat dianggap sah
karena ternyata dalil-dalil tersebut entah memiliki kelemahan, entah
disalahpahami, maupun dipahami secara harfiyah saja tanpa
mengkonfirmasikan dengan dalil-dalil lain yang berlawanan.
Akibatnya, “larangan” yang ada pada dalil-dalil tersebut langsung saja diindikasikan maknanya dengan
hukum haram atau terlarang. Padahal para ulama sudah membahas bahwa
“larangan” tidak selalu berarti haram, kadang juga bisa makruh, bahkan kadang mubah karena kemutlakan larangannya dibatalkan oleh dalil lain. Contohnya, hadis
Rasulullah Saw tentang larangan keras
minum sambil berdiri, dibatalkan hukum larangan itu oleh perbuatan
Rasulullah Saw sendiri saat beliau minum sambil berdiri.
Semoga bermanfaat dan berkah, amin …