Apakah langkah itu semata ingin menunjukkan kepentingan dan
keberpihakan kepada Arab Saudi selaku agresor? Ataukah karena hal itu
justru dianggap bagian dari tugas keulamaan mereka?
Untuk mengetahui seperti apa seharusnya kalangan ulama menyikapi
kondisi politik di negara lain khususnya terkait sikap mendukung atau
menolak, baik perang maupun perdamaian, berikut ini petikan wawancara
tim
ABI Press dengan cendekiawan muslim Dr. Muhsin Labib.
Apa sebenarnya ulama itu?
Ulama itu dalam bahasa arab kata jamak dari
‘alim. Secara
kebahasaan artinya adalah orang yang berpengetahuan. Orang yang
mengetahui itu disebut alim, siapa saja yang mengetahui sesuatu dia
disebut alim. Tapi sebagai sebuah predikat permanen secara terminologis,
ulama itu artinya adalah sekumpulan orang atau beberapa orang yang
mengetahui bidang agama.
Kemudian di Indonesia kata ulama itu memiliki makna singular atau
plural, satu orang disebut dengan ulama atau alim mestinya. Secara
terminologis artinya agamawan, orang-orang yang mengurusi bidang agama
atau ahli dalam bidang agama. Tapi kalau kita melihat arti ulama secara
keagamaan, substansi ulama adalah seperti yang disebutkan dalam kitab
suci al-Quran yaitu siapa yang paling takut kepada Allah, yang takut
kepada Allah adalah orang-orang yang berpengetahuan, adalah orang-orang
yang mengetahui kedudukan Allah. Nah, itulah yang disebut dengan ulama.
Jadi ulama secara substansial adalah orang yang takut kepada Allah,
sebab pengetahuannya tentang Allah dan kebesaran Allah, pengetahuannya
tentang agama dan semuanya, maka dia takut kepada Allah. Itu secara
substansial. Tapi secara fenomenologis atau secara kenyataannya ulama
adalah sebuah atribut yang dilekatkan pada orang-orang tertentu atau
diklaim oleh orang-orang tertentu yang disebut ulama.
Di Indonesia secara khusus, memang tidak ada kriteria baku, tidak juga
ada proses seleksi yang ketat, sehingga siapa saja bisa dengan mudah
disebut ulama, siapa saja bisa menyebut dirinya ulama, siapa saja bisa
membuat lembaga yang mengatasnamakan ulama, membawa nama ulama, dan lain
sebagainya.
Dalam kenyataannya, di sini ada lembaga yang secara umum populer itu
dianggap sebagai merepresentasikan ulama, padahal tidak harus berada di
situ dan tidak juga mereka yang ada di situ juga bisa dianggap mewakili
ulama dalam pengertian umum, mewakili pandangan agama semua umat Islam
yang ada di Indonesia. Tapi masyarakat awam menganggapnya lembaga itu
secara resmi merupakan representasi dari umat Islam, sebagai tempat
pemuka-pemuka Islam di Indonesia. Jadi memang longgar, siapa saja bisa
jadi ulama, makanya ada sebutan derivat dari ulama yaitu, kyai, ustaz,
mubalig dan lain sebagainnya. Berbeda dengan di negara lain seperti di
Iran dan Mesir, ada kriteria khusus bagi seseorang untuk disebut ulama.
Kalau di sini kan siapa saja bisa disebut ulama sehingga yang
bener-bener ulama dengan yang mirip ulama atau ulama gadungan tidak bisa
dibedakan. Sebab masyarakat mengukurnya dari situ.
Yang lebih memprihatinkan lagi karena sudah disebut ulama, semua urusan
agama itu seakan-akan sudah diserahkan kepadanya, sehingga posisi yang
lain itu betul-betul tidak berhak ikut menentukan mana yang benar, mana
yang salah. Semuanya sudah diserahkan dan ditentukan ulama. Nah, di sini
cenderung terjadi manipulasi, pemanfaatan. Kadang tujuannya untuk
bisnis, untuk kepentingan-kepentingan tertentu, digunakanlah nama ulama,
agama dan lain sebagainnya. Ini yang memprihatinkan.
Karena itu masyarakat harus pandai-pandai memperhatikan mana yang
bener-bener ulama dan mana yang tidak. Disebutkan dalam sebuah syair
oleh seorang penyair Iran terkenal bernama Sa’di, “Betapa sulitnya
menjadi manusia, betapa mudahnya menjadi ulama.” Artinya, di sini ingin
menunjukkan bahwa manusia itu substansi sedangkan ulama itu predikat,
atribut yang bisa disandangkan. Tapi manusia yang menjunjung tinggi
etika dan logika, barulah disebut ulama.
Tapi dalam kenyataannya, orang-orang yang menyandang predikat ulama
atau orang-orang yang mengklaim dirinya ulama ini malah seringkali tidak
berpikir logis dan tidak bertindak etis. Karena begitu mudahnya orang
mengaku ulama, maka kita harus hati-hati tentang itu.
Tugas-tugas ulama itu apa saja? Apakah juga bertugas memberikan dukungan kepada negara tertentu yang sedang berkonflik?
Kalau di al-Quran disebutkan memang diharuskan bagi sekelompok orang
untuk mengutus beberapa orang untuk mendalami agama sehingga setelah
mempelajari kembali ke masyarakatnya menjadi orang-orang yang selalu
memberikan peringatan-peringatan tentang ajaran agama, dosa-dosa dan
lain sebagainnya. Itu yang ada dalam al-Quran dan banyak sekali
ayat-ayat al-Quran yang memang mengutamakan ilmu.
Ulama itu artinya berilmu, ulama itu bukan tampilan. Kalau tidak
berilmu ya tidak bisa disebut ulama. Ulama itu ya mestinya karena alim.
Ulama, ilmu, ‘alim. Itu kan sudah sambungannya, itu satu rangkaian. Nah,
artinya dia harus benar-benar memiliki kapabilitas selain alim. Itu
yang lebih penting. Seandainya dia pandai pun, seandainya dia berilmu
pun, itu tidak cukup.
Tapi harus juga berperilaku sesuai dengan ilmunya. Nah, sementara di
sini orang yang disebut alim itu hanya yang ngomong, yang kerjanya
nyuruh orang. Lha kalau cuma nyuruh itu, ya buat apa? Orang alim yang
sebenarnya dalah yang amil, dia tidak menyuruh sesuatu kecuali dia
melakukannya. Dia tidak melarang sesuatu yang buruk kecuali dia sendiri
tidak melakukannnya.
Tapi kenyataannya kan tidak. Dia hanya seperti mesin, hanya ngomong.
Setelah itu, apakah yang disampaikan mencerminkan perilaku? Apakah dia
mencerminkan perilaku itu? Ternyata tidak mesti juga. Nah, ulama itu
tugas utamanya adalah menjelaskan agama, mengayomi masyarakat, menjadi
perekat. Bukan malah membingungkan, bukan malah berpihak, bukan malah
menjadi pemicu keributan, konflik, dan lain sebagainya.
Yang Anda tanyakan tadi bagaimana sih kok ulama itu tiba-tiba
memberikan dukungan? Soal ini saya mempunyai beberapa catatan, beberapa
poin yang perlu diperhatikan. Pertama, konflik satu negara dengan negara
lain itu sendiri adalah salah bila kita mencampurinya. Artinya, ketika
ada sebuah negara mencampuri urusan negara lain, itu sendiri adalah
sebuah tindakan salah. Memberikan dukungan lebih salah lagi. Dalam kasus
Saudi dan Yaman, saudi mencampuri negara lain. Di mana saja, mau Saudi
mau negara manapun, itu tindakan yang tidak bisa dibenarkan, dengan
alasan apapun!
Walaupun alasannya itu adalah menolong negara tetangga?
Walaupun alasannya adalah menolong negara tetangga. Karena yang berhak menentukan negara itu sendiri adalah rakyatnya.
Kalau alasannya adalah al-Quran yang menyebutkan, “jika salah satu pihak menolak kesepakatan damai, maka perangilah”?
Nah, mereka yang menentukan siapa yang menjadi juru damai, ini yang
bermasalah. Kalau ayatnya iya, tapi kemudian mengklaim dirinya sebagai
juru damai? Kenapa tidak menyelesaikan Palestina yang lebih dulu? Saya
kira tidak ada model begitu. Ketika orang ingin menjadi juru damai, ya
harus diterima oleh kedua belah pihak. Kalau dia sudah berpihak kepada
salah satu pihak, maka tidak bisa lagi menjadi juru damai. Apalagi
fakta-fakta sudah menunjukkan, tidak ada ceritanya orang ingin
mendamaikan dengan cara malah menghancurkan.
Karena berdasarkan pada ayat tersebut, ketika didamaikan tidak bisa…?
Faham, saya katakan ayat itu soal siapa yang ingin mendamaikan? Ini kan
berposisi, lho Anda ini siapa? Yang mendamaikan itu harusnya pihak yang
diterima oleh kedua belah pihak, aklamasi masyarakatnya menerima itu.
Ketika masyarakatnya menolak, berarti Anda tidak bisa memaksakan diri
mengaku sebagai juru damai. Itu bukan juru damai, tapi punya kepentingan
untuk menetapkan satu pihak tertentu menang atas pihak lain. Jadi, mau
Saudi, atau negara manapun, saya tidak bicara Saudi secara khusus, tapi
negara manapun, mencampuri urusan orang lain itu tidak boleh. Mencampuri
urusan negara lain, mencampuri rumah tangga orang lain, mencampuri
dalam hal apapun, dia tidak punya hak melakukan itu.
Kalau negara tetangga tersebut meminta bantuan pertolongan dari negara terdekat?
Nah, minta tolong itu kan harus mewakili siapa yang minta tolong, dia
kan harus merepresentasikan masyarakat. Ini tidak ada buktinya, apalagi
satu orang yang lari malah minta tolong. Dia yang lari itu mestinya
ditangkap, karena dia meninggalkan rakyatnya. Dengan dia lari itu
berarti dia tidak merepresentasikan masyarakatnya, jelaslah.
Saya lari dari rumah karena diusir oleh yang punya rumah, lalu saya
mengatasnamakan yang punya rumah itu. Ndak ada logika yang bisa
menerima, itu logika yang paling sederhana, idiot saja tidak bisa
membenarkan itu. Kemudian kalau tujuannya mendamaikan itu, bukan
kemudian dia mengirimkan tentaranya, jet-jetnya untuk ngebom. Sekarang
sudah hampir lebih dari 500 anak dan perempuan meninggal, karena
keinginan Saudi untuk menjadi juru damai ini. Jadi jelas tidak ada yang
bisa membenarkan itu.
Alasan lainnya adalah untuk mengamankan kota suci Mekah dan
Madinah agar pelaksanaan ibadah haji tidak terganggu, sebab jika konflik
di Yaman menyebar ke Saudi maka dikhawatirkan prosesi haji akan
terganggu. Bagaimana pandangan Anda?
Lebih lucu lagi itu. Bayangkan, Saudi negara yang aman, tenteram, kuat,
dilindungi oleh Amerika, dilindungi oleh siapapun. Terlalu naif
menganggap bahwa Saudi itu akan diganggu oleh sekelompok orang yang
katanya pemberontak, yang katanya kecil, yang sarungan, yang ndak punya
senjata itu. Makin jauh itu. Itu pun kalau mereka bisa masuk ke Saudi,
tapi ini buktinya malah Saudi yang masuk wilayah Yaman.
Asumsi itu terlalu naïf. Jadi tidak ada yang bisa membenarkan alasan
itu, kenapa? Sebab Israel lebih memungkinkan (masuk ke Saudi). Atau
jangan-jangan ternyata yang berbahaya bagi Saudi itu bukan Israel, tapi
Hautsi yang lebih berbahaya? Sama Israel lalu bagaimana? Oh, berarti
Isarel itu tidak ada kemungkinan menguasai Saudi? Memangnya Israel bukan
musuh?
Jadi dalilnya ini malah menunjukkan bahwa Saudi itu tidak terganggu
oleh Israel yang kemungkinan akan menguasai Mekkah atau Madinah atau
menghancurkannya. Ternyata Saudi lebih takut kepada Yaman yang lemah,
yang miskin, yang tidak punya senjata, tidak punya pesawat tempur, tidak
punya apa-apa ini.
Lalu kenapa dengan cara membombardir? Mestinya Saudi tidak memancing
musuh untuk masuk ke wilayahnya. Dengan agresi begini berarti kan mereka
sudah tahu bakal terjadi pertempuran. Kalau keadaan berbalik, musuh
makin masuk ke Saudi, berarti yang menginginkan penghancuran Saudi dan
Mekah serta Madinah adalah Saudi sendiri.
Itu pertama, jadi mencampuri urusan negara lain itu tidak ada yang
benar, mau alasan agama, mau alasan etika, logika, tidak ada yang bisa
membenarkan. Kedua, kita sebagai warganegara Indonesia, seandainya kita
pejabat pun, tetap tidak punya hak untuk mencampuri urusan negara lain.
Apalagi kita bukan sebagai apa-apa, bukan sebagai pejabat negara, hanya
seorang ulama. Coba tanya orang-orang yang mendatangi kedubes Saudi itu,
ulama darimana dan dimana kamu? Kamu keluar dari teritori Indonesia,
bukan lagi ulama. Karena kamu sebagai ulama bagi orang-orang yang
mempercayaimu, itupun tidak merepresentasi semua umat Islam di
Indonesia, tidak semua orang perrcaya pada keulamaan kamu. Karena itu,
tadi pertama saya tekankan, jangan mencampuri urusan negara lain, pun
kalau ingin menyikapi dalam tata hubungan internasional itu mestinya ya
Kementerian Luar Negeri. Jika tidak, bila ada warganegara mencampuri
urusan negara lain, ini yang disebut dengan indikasi adanya ideologi
transnasional.
Bagaimana bila alasan mereka adalah karena anggapan bahwa apa yang terjadi di Yaman akan diekspor ke Indonesia?
Kekhawatiran? PKI juga ekspor, semuanya ekspor. Islam juga ekspor,
kalau bukan ekspor masa dari Saudi bisa masuk ke sini? Tidak ada yang
perlu dikhawatirkan. Tapi mencampuri urusan negara lain dengan alasan
Anda sebagai warga negara Indonesia, apa hak Anda?
Jelaslah ini ada upaya untuk menjustifikasinya menjadi sebuah masalah
agama, sehingga apa? Sehingga bisa dibenarkan aksi pengeboman itu. Anda
mendukung tindakan yang mengakibatkan satu nyawa melayang saja berarti
ikut melakukan, apalagi memberikan dukungan dengan mendatanginya dengan
alasan-alasan yang tidak masuk akal. Media itu juga perlu memperhatikan
saat membuat judul berita “Ulama Indonesia Mendukung Agresi dan Invasi
Saudi ke Yaman.” Kenapa menyebut ulama Indonesia? Padahal faktanya hanya
beberapa orang, kemudian dikatakan ulama Indonesia, seolah mewakili
semuanya? Ini jelas-jelas manipulasi.
Tapi di antara mereka (yang mendatangi Kedubes Saudi) juga kan ada yang memiliki posisi di Ormas Islam?
Apapun namanya, tidak bisa Anda mengatakan, hanya karena satu orang,
dua orang, tiga orang, lalu menamakannya seolah mewakili semua orang.
Kenapa tidak sekalian menyebutnya “Umat Islam Indonesia” saja kalau
begitu. Anda katakan beberapa ulama, beberapa orang yang diakui sebagai
ulama, memberikan dukungan. Itu masih bisa diterima oleh sebagian orang.
Tapi kalau ulama Indonesia mendukung, lha Indonesia ini kan besar,
hanya beberapa gelintir orang ya ndak cukup merepresentasi, apalagi bila
tidak semua orang menganggap mereka sebagai ulama.
Jadi jangan katakan “Ulama Indonesia Mendukung Saudi.” Jelas-jelas itu
pembodohan. Tapi kalau “Beberapa Ulama Datang ke Kedutaan Saudi
Memberikan Dukungan,” nah, itu boleh lah.
Walaupun dengan semua alasan yang telah saya sebutkan tadi?
Lho iya, suruh saja bawa semua alasannya itu, bakal ditolak oleh
masyarakat. Saya sebagai orang Indonesia mengurusi konflik di negara
lain? Orang akan bertanya, lha kamu ini siapa? Merepresentasikan negara
juga tidak! Bahkan ternyata negara yang selama ini, awalnya menyatakan
mendukung Saudi, sekarang menarik diri. Ini tandanya kita punya masalah
sendiri. Negara kita ini punya banyak masalah, tidak sampai perlu
ngurusin negara lain, di sini banyak korupsi, banyak penyimpangan,
narkoba, segala macam. Mau ngurusin negara lain yang jaraknya ribuan
kilo dari kita, memangnya kurang kerjaan? Jangan-jangan ada sesuatu?
Maka itu kemungkinannya hanya dua, naif atau tendensius.
Apakah yang mereka lakukan itu bukan merupakan tugas dari ulama?
Tugas ulama ngurusi atau intervensi urusan negara lain itu tidak ada.
Kenapa tidak kasus-kasus sebelumnya juga disikapi? Sekalian saja semua
konflik-konflik internasional ditanggapi! Tidak ada! Jadi jelaslah kalau
mau menjadi ulama yang baik malah semestinya memberikan dorongan kepada
Saudi untuk kembali ke meja perundingan dan itu kalau berkepentingan
untuk mendamaikan, tempuhlah jalan damai. Mau damai tapi yang ditempuh
bukan jalan damai, ini kan paradoks! Dan tidak perlu diskusi masalah
ini, ibaratnya sudah selesai lah kitabnya. Artinya, tidak ada orang
waras bakal mendukung tindakan kekerasan.
Kalau justfikasinya membawa ayat untuk menunjukkan bahwa apa
yang dilakukan Saudi itu adalah benar dan Saudi juga mengatakan ini
adalah permintaan pemerintah Yaman yang sah?
Sekarang yang melakukan perlawanan adalah tentara Yaman. Apakah satu
orang dapat mewakili? Untuk membombardir semua rakyat Yaman? Sudah lah,
alasan itu jangan dibawa-bawa lagi. Tidak ada orang membawa itu,
pengamat juga tidak ada yang menggunakan argumen-argumen itu.
Meski argumen dari al-Quran?
Iya! Tidak ada! Al-Quran digunakan untuk membunuh orang? Saya bisa
menyatakan Anda untuk dibunuh dengan ayat, apa semudah itu? Khawarij
melakukan itu, Ali bin Abi Thalib dibunuh karena mereka menggunakan
ayat. Jadi ini malah mencerminkan ideologi transnasional. Dulu kita
bicara tentang ideologi transnasional kelompok-kelompok teroris, lho
ternyata cara pandang ini juga mencerminkan ideologi transnasional.
Anda warganegara Indonesia bukan warganegara Saudi, Anda tidak tahu
persoalan Yaman, tidak mengikuti kronologi sejarah konflik-konfliknya,
tiba-tiba Anda memberikan dukungan. Oh, berarti Anda merasa punya bagian
dari ini. Lihat tulisannya Said Agil Siradj di Kompas yang cukup
menohok mengingatkan kita, “jangan mencampuri yang bukan urusan Anda.
kembali ke negara Anda, bangsa Anda, rakyat kita perlu untuk dibenahi.”
Nah, begitu seharusnya.
Lha ini yang mereka lakukan, semakin menegaskan mereka sudah kehilangan legitimasinya sebagai ulama.
Walaupun alasannya seperti yang telah saya utarakan tadi, seperti lebih pada ketakutan ideologi Hautsi ditransfer ke Indonesia?
Emangnya Hautsi itu siapa!? Siapa Hautsi itu!? Hautsi itu melakukan
apa!? Mana bukti-buktiya Hautsi melakukan sesuatu!? Ada buktinya? Hautsi
itu merepresentasikan masyarakat Yaman, Hautsi bukan satu kelompok.
Yaman Utara itu semuanya Hautsi, dipikir Hautsi itu satu kelompok kecil
begitu!? Hautsi itu seperti NU di Indonesia.
Nah ulama-ulama ini perlu baca, perlu wawasan. Siapa Hautsi itu?
Bagaimana perkembangannya? Bagaimana Yaman itu? Hautsi kok ditulis dan
disebut pemberontak! Lha kalau pemberontak itu merepresentasikan
rakyatnya, apa masih mau tetep dicap pemberontak? Lha kita ini juga
dulunya pemberontak terhadap penjajah Belanda. Pemberontak, tapi
pemberontak yang merepresentasikan keinginan masyarakat. Jadi, apa
pemberontak itu? Kalau mengusir koruptor, rezim boneka, ya bagus itu!
Saat Reformasi, kita dulu juga memberontak terhadap Soeharto.
Terus disebut apa ketika sejumlah orang yang mengaku ulama
mengunjungi salah satu kedubes negara yang berkonflik dan menyatakan
dukungannya?
Ya, itu memalukan rakyat Indonesia. Mereka itu melakukan tindakan
dengan mengatasnamakan rakyat Indonesia, mengatasnamakan umat Islam
Indonesia. Sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Seharusnya mereka berposisi dimana?
Ya namanya ulama mestinya mengayomi, memberikan masukan-masukan untuk
damai. Klarifikasi, banyak yang bisa dilakukan, kok malah mendukung
salah satu pihak untuk melakukan bombardir. Sedangkan yang paling
representatif di Indonesia itu ya NU dan Muhammadiyah. Sedangkan mereka
ini mewakili siapa?
Di antara mereka ada orang NU dan Muhammadiyah juga kan?
Person, tapi bukan lembaga yang melalui Muktamar dan merepresentasikan
masyarakat NU. Kalau cuma satu orang, masa bisa disebut mewakili. Mereka
ini person-person, tidak punya gaung, tidak punya pengaruh apapun,
artinya tidak bisa mengatasnamakan NU atau Muhammadiyah. Saudi juga
jangan terlalu bangga dengan dukungan ini, ndak ada apa-apanya bagi
rakyat Indonesia.
Mau lihat rakyat Indonesia? Lihat sosial media, lihat masyarakat
kumpul, bagaimana sih sikap mereka terhadap Saudi, mereka punya masalah
dengan rezim Saudi. Suruh selesaikan masalah kezaliman terhadap para TKI
asal Indonesia itu, jadi jangan terlalu gembira. Indonesia dengan
kesadaran tentang Islam citarasa Indonesia, sudah tidak lagi gampang
silau dengan baju-baju gamis dan longdress-longdress.
Lalu bagimana umat Islam seharusnya memandang ulama yang keluar dari jalur tugas mereka?
Ditinggal, tidak ada pengaruhnya apa-apa. Mereka itu separuhnya
dibesarkan oleh media-media tertentu, tetapi tidak di hati masyarakat.
Masyarakat ini cerdas, saya ini bergaul, saya tahu, rakyat ini cerdas,
lebih cerdas dari mereka. Lho iya! Orang lebih suka mendengarkan
motivator daripada ulama atau ustaz, buktinya Mario Teguh lebih populer.
Karena itu harus cepat-cepat evaluasi, jangan terus-terusan ikut
terlibat dalam konflik, jangan menjadi bagian dari konflik-konflik,
jangan ikut mengatakan ini sah ndak sah, siapa kamu? Kamu pemegang KTP
Yaman!? Pemegang KTP Saudi!? Tahu deritanya orang-orang Yaman?
Jika tidak tau apa-apa, cara yang paling baik itu kalau ndak
mendamaikan ya diam. Berdoa, tunjukkan perilaku yang mengayomi.
Sebenarnya siapa yang mau mendengarkan mereka di sana? Tidak Yaman!
Tidak juga Saudi! Jadi lebih baik hemat sikap, hemat ngomong, fokus pada
prioritas. Lha mereka ini gagal paham prioritas, tidak tahu mana
prioritas, mana yang perlu diperhatikan, ngomong ke sana kemari
seenaknya. Kasihan.
Kalau terhadap umat Islam dan masyarakat Indonesia, apa
pesan-pesan Anda agar dapat memandang ulama yang di Indonesia dapat
dengan mudah disandang oleh siapa saja, tanpa ada komvensi atau ujian
khusus?
Rakyat Indonesia, umat Islam Indonesia harus memperhatikan substansi,
jangan silau dengan tampilan, jangan silau dengan busana, jangan silau
dengan retorika. Perhatikan saja substansi keulamaan dan perilaku
mereka, dari pernyataannya, dari sikapnya. Bahkan menurut saya, yang
perlu memperbaiki sikap itu adalah ulamanya bukan masyarakatnya.
Ulama yang berperilaku baik akan diterima oleh masyarakat. Sudah
waktunya jangan ngomong saja, tunjukkan dalam bentuk perilaku, dalam
bentuk sikap. Itu lebih memberikan pengajaran kepada banyak orang. Orang
lebih mengikuti perilaku dan sikap daripada omongan.
Tapi pada zaman dulu masyarakat Indonesia kan lebih
mendengarkan ulama daripada yang lain, apakah ini berarti telah terjadi
pergeseran perlakuan kepada para ulama?
Karena pada masa itu posisi ulama benar-benar dijaga. Orang yang
menjadi ulama benar-benar ulama yang hidup bersama masyarakat, tahu
deritanya, menjadi pengayom, perekat, bukan menjadi pemecah belah. Lihat
saja Sunan-Sunan itu, itu kan perilakunya ulama. Lihat kyai-kyai besar
sebelumnya, itu sudah cukup kalo tidak harus sampai ke Sunan-Sunan,
kyai-kyai tertentu itu sudah bisa memainkan perannya. Tapi ketika mereka
masuk dalam politik, ikut dukung sana, dukung sini, maka hilanglah
wibawanya. Mereka kehilangan kehormatannya, kehilangan pesonanya dan
tidak ada tempat lagi di hati rakyat.
Apa penyebab pergeseran yang terjadi pada ulama hingga seperti saat ini?
Ketidaksiapan untuk menjadi ulama. Karena untuk menjadi ulama itu harus
punya kesiapan-kesiapan. Saya dulu pernah belajar dalam ilmu akhlak,
nasihatnya adalah “kalau Anda sekiranya tidak cukup kuat untuk menjadi
ulama, menanggung beban ini, sebaiknya menjadi orang biasa saja.” Karena
bebannya berat, kalau berbuat baik akan mendapatkan pahala berganda
karena orang akan mengikutinya, karena perilakunya. Tapi kalau berbuat
dosa, dosanya juga berganda, karena akan dianggap oleh orang-orang,
bahwa itu adalah kebenaran.
Orang akan mengatakan ”dia saja yang ulama, yang mengerti agama begitu,
ya bagaimana saya.” Maka itu disebutkan dalam al-Quran kepada
istri-istri Nabi juga ada, “wahai istri-istri nabi, kamu tidak seperti
wanita-wanita lain.” Posisi kamu lebih terhormat. Artinya apa? Kalau
kamu berbuat baik, pasti kamu akan mendapatkan pahala berganda karena
orang mengikuti kamu. Tapi kalau kamu berbuat buruk, ya kamu nanti akan
juga dinilai karena keburukanmu berdampak pada masyarakat.
Nah, kalau ada orang berani menyatakan diri sebagai ulama, berarti dia
harus rela untuk dinilai, untuk diawasi, untuk diperhatikan, untuk
dikritisi, itu risikonya. Jangan cuma enaknya mau jadi ulama dengan
semua penghormatannya tapi tidak mau dikritisi, kecuali Nabi yang memang
sudah pasti benar. Lha kalau mereka, kan manusia biasa. Jadi jangan
tersingung kalau perilakunya dinilai tidak mencerminkan ulama.
Masyarakat saat ini cerdas, sehingga tidak semudah itu Anda menjadi
ulama, kemudian orang lain hanya akan langsung mendengar omongan Anda.
Tapi masyarakat akan menimbang dulu, logis atau tidak, masuk akal atau
tidak, bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan atau tidak,
apa-apa yang Anda omongkan.
Jelas-jelas mendukung agresi terhadap satu bangsa, itu bertentangan
dengan Hak Asasi Manusia, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar yang
menolak penjajahan. Mau pakai dalil agama, mau pakai penafsiran ayat?
Tidak akan pernah bisa ayat itu diputar-putar, tidak bisa! Bahwa Anda
menafsirkannya sesuai dengan pandangan Anda, sesuai dengan
kontrak-kontrak hubungan perjanjian bisnis dan sebagainya, itu bisa!
Tapi ayat itu sendiri, ia akan berada dalam kesuciannya. Tidak akan bisa
orang mengotak-atik ayat, tapi hanya bisa menafsirkannya.
Di satu sisi sebenarnya mereka menolak atas terbunuhnya warga
sipil yang ada di Yaman, mereka juga menginginkan yang disebut
pemberontak itu bisa ditumpas karena kekhawatiran ideologi mereka akan
diekspor ke Indonesia. Jadi?
Yang perlu diperhatikan, yang perlu dikhawatirkan itu adalah ideologi
ISIS. Kenapa sih kok muter-muter kesana kemari? Ini cara-cara untuk
memanipulasi, untuk mengalihkan dari ancaman ISIS yang menggorok umat
Islam, mau Syiah atau Sunni. Sementara Hautsi, tidak punya cita-cita
membangun khilafah, tidak punya keinginan untuk pindah ke tempat-tempat
lain. Kelompok ini urusannya ya urusan negaranya sendiri. Ini gerakan
nasionalis murni, ndak ada hubungannya dengan khilafah, tidak ingin
membangun pemerintahan internasional, tidak pernah memperagakan aksi
menggorok kepala orang atau membunuh orang atau menghancurkan masjid,
tidak menghancurkan makam. Tidak ada itu!
Jadi jelas-jelas ini tendensius, jelas-jelas manipulatif, alhamdulillah banyak orang cerdas. Saya sendiri optimis.
Kekhawatiran lain adalah jika Hautsi itu masuk ke Saudi dan
mereka ini digambarkan sebagai teroris maka akan masuk ke Mekkah dan
Madinah?
Tidak! Pemberontak itu bukan teroris, pemberontak itu adalah terhadap
rezim yang berkuasa. Hautsi kok disebut teroris? Hautsi itu pemimpin
ormas resmi terbesar di Yaman, bernama Ansharallah. Ormas ini resmi,
tidak menutup identitas, visinya religius nasionalis, tidak memimpikan
khilafah, tidak juga meneriakkan negara monolitik berdasarkan satu
sekte, tidak menghancurkan makam-makam, dan situs-situs sejarah.
Singkatnya, inilah gerkan reformasi, yang diinginkan rakyat.
Hautsi ini punya partai, punya perwakilan, punya juru bicara. Terbesar
di Yaman. Bukan yang pakai tutup-tutup kepala, orang-orangnya bisa
ditemui dan hadir dalam pemakaman Raja Abdullah. Pidatonya
terang-terangan, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi.
Makanya perlu disadari bahwa Anda diperhatikan oleh banyak orang dan
yang lebih pinter dari Anda banyak, yang bisa baca kitab seperti Anda
banyak, yang tahu nahwu-sharaf banyak, yang doktor juga banyak. Jadi
please santai saja, jangan kemaruk pada atribut-atribut ulama.
Jangan-jangan mereka ini adalah kelompok-kelompok yang mendukung ekstremisme.
Atau apakah ini adalah tandingan dari demo oleh Aliansi Anti Perang yang mengecam agresi Saudi beberapa hari lalu?
Boleh jadi! Dengan itu mungkin mereka ingin berusaha mempengaruhi opini
umat Islam di Indonesia. Dulu, mungkin bisa! Dulu, sebelum orang itu
jengah terhadap ISIS dan ekstremisme. Sekarang masyarakat sudah mau
muntah terhadap semua jenis ektremisme, maka tidak akan berhasil, sadari
itu! Saudi sedang berada dalam blunder, cari dukungan sana-sini! Lho
katanya lawannya cuma pemberontak miskin pakai sarung, Saudi kan punya
senjata-senjata tempur, mengapa kok sampai perlu dukungan sana-sini?
Coba kalau mencari dukungan untuk melawan Israel, itu masih lumayan. Ini
kan jelas-jelas ada yang tidak beres!
Israel…! Israel…! Pak Saudi! Pak ulama-ulama! Pak kyai-kyai, jangan lupakan Israel…!
Rupanya mereka sudah lupa jalan ke Palestina karena sudah terlalu lama dibiarkan.
Pada kenyataannya, sejumlah media menyebutkan Israel kan bergabung dengan koalisi, menurut Anda?
Kalau begitu ya sudah jelas. Berarti mereka ini mendukung negara yang didukung oleh Israel, makin jelas itu!
Sikap masyarakat saat ini terombang-ambing dalam pusaran
pemberitaan dan keputusan sebagian orang yang mengaku ulama. Apa yang
seharusnya masyarakat lakukan?
Intinya jangan campuri urusan negara lain, minimal kalau ndak mau menolak, ya jangan mendukung!
Cara ini lebih baik, kalau mau lebih berhati-hati diam, pasif nunggu
proses berikutnya. PBB, Dewan Keamanan, punya mekanisme untuk mengatasi
itu. Anda yang cuma dari pojok-pojok kota ini mau datang memberi
dukungan, tidak ada pengaruhnya apa-apa itu!
Itu cuma getar-getar kecil ndak ada pengaruhnya. Jadi kalau kita tidak
tahu, takut salah menyikapi, jangan ceroboh, diam saja! Yang penting
tetap saja gaungkan pesan perdamaian. Itulah cara terbaik memberikan
masukan kepada siapapun yang berkonflik, mau ke kelompok yang dianggap
pemberontak maupun ke Saudi yang konon merasa ingin menegakkan
demokrasi. Meski terus terang saja agak terdengar lucu bila Saudi ingin
menegakkan demokrasi.
Masyarakat, kalau mau, mending minimal diam saja lah. Tetaplah
mendukung penyelesaian politik, bagaimana semua pihak bisa ikut
berunding, begitu semestinya. Bukan malah ikut dukung-mendukung, salah
itu!
[ABI Press/Shabestan]