Hak wanita dalam Islam adalah salah satu tema yang memperoleh perhatian
serius dalam agama langit ini. Memperhatikan perkembangan yang terjadi
di beberapa dasawarsa ini, peran wanita, bukan hanya dalam keluarga,
tetapi di seluruh dimensi kehidupan sosial sudah lebih kental
dibandingkan dengan tahun-tahun lalu. Untuk itu, para mufasir dan ahli
agama berusaha mengupas hak-hak wanita dari segala segi dan dimensi.
Ayatullah Musawi Bojnurdi adalah salah seorang ulama yang telah
meluangkan waktu untuk menelaah hak-hak wanita dalam Islam.
Berikut wawancara Ayatullah Musawi Bojnurdi dengan Tabnak tentang masalah ini:
Tabnak: Kami sangat berterima kasih atas waktu yang telah Anda sediakan
untuk kami. Salah satu hal yang perlu kita kupas pada kesempatan ini
adalah apakah Islam telah memberikan izin kepada suami untuk memukul
istrinya?
Musawi: Islam jelas tidak memberikan izin seperti ini. Islam malah
melarang mengumpat, mencela, dan menghina, apalagi memukul tubuh istri.
Islam menghormati setiap insan dalam menjalin hubungan dengan sesama.
Apalagi hubungan suami istri yang merupakan pondasi sebuah kehidupan
bersama dan memang harus dilandasi dengan rasa kasih sayang dan cinta
kasih.
Dalam sebuah ayat al-Quran, kita membaca “Dan salah satu tanda-tanda-Nya
adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari diri kalian
sendiri supaya merasa tenteram terhadapnya, dan Dia menjadikan kecintaan
dan rahmat di antara kalian.”
Untuk itu, wanita adalah sebuah kesempurnaan wujud bagi pria, dan pria
juga adalah sebuah kesempurnaan wujud bagi wanita. Rahmat adalah sebuah
peringkat yang lebih tinggi dari kecintaan. Allah menciptakan dua hal
ini: kecintaan dan rahmat, supaya manusia bisa membentuk sebuah rumah
tangga yang sehat dan harmonis. Dalam sebuah keluarga harmonis, jelas
pria tidak boleh memukul istrinya.
Tabnak: Lalu, apakah arti ayat “maka pukullah mereka” yang biasanya dijadikan sandaran oleh sebagian orang?
Musawi: Ayat tersebut berunyi, “Wanita-wanita yang kalian khawatirkah
membangkang, maka nasihatilah mereka, berpisahlah dari mereka di
ranjang, dan pukullah mereka.” Pertama, ayat berhubungan dengan kondisi
yang pembangkangan wanita sudah terbukti. Dalam kondisi seperti,
al-Quran menegaskan, pertama, kita harus menasihati mereka, karena
manusia adalah sebuah maujud yang logis. Jika kita ingin memahamkan
sesuatu kepada orang yang logis, maka kita harus masuk melalui jalur
nasihat, logika, dan akal. Kita harus menggunakan senjata yang kita
miliki sendiri. Senjata manusia adalah pikiran, akal, dan logika.
Ayat juga menegaskan, pertama kita harus menasihati wanita. Kita harus berdialog dan kita lihat apa masalahnya.
Jika cara ini tidak berfungsi, maka berpisahlah dengan mereka di ranjang.
Biasanya, dengan dialog dan berdiskusi, masalah bisa diselesaikan.
Dharb dalam terminologi Islam berarti takzir dan pemberian adab. Dalam
Islam tidak ada yang namanya pemukulan. Dharb apabila diperlukan berarti
takzir. Dan dalam hadis disebutkan, takzir berada di tangan seorang
hakim. Hakimlah yang harus menentukan takzir.
Dharb kadang-kadang juga berarti teguran secara tulisan dan kadang kala
juga berarti tebusan finansial. Kita harus melihat wanita itu bisa
ditakzir dan beradab dengan cara apa. Hakim harus melihat dengan cara
apakah seseorang bisa beradab, maka ia harus melakukan itu.
Menurut pandangan saya, ketika cara-cara tersebut tidak berfungsi, maka
seorang suami harus pergi ke lembaga pengadilan yang memang sudah
disediakan untuk menangani masalah ini. Sebagai contoh, ia mengadukan
masalah ke pengadilan rumah tangga. Ketika itu, pengadilan akan
menangani masalah, dan kadang-kadang pengadilan akan menentukan supaya
wanita yang membangkang itu tidak berhak memperoleh nafkah. Bukannya
langsung mengambil cemeti dan memukuli tubuh wanita tersebut.
Tabnak: Betul. Lalu, satu masalah lagi yang mungkin sering didengungkan adalah poligami. Apakah Anda bisa menerima masalah ini?
Musawi: Tema pligami ini memerlukan pembahasan yang panjang. Pondasi
utama masalah ini adalah ayat yang menegaskan, “Jika kalian takut tidak
bisa berbuat adil tentang anak-anak yatim, maka nikahilah dari wanita
yang kalian sukai dua orang, tiga orang, dan empat orang. Jika kalian
takut tidak bisa berbuat adil, maka cukuplah satu orang saja atau sahaya
yang kalian miliki.”
Ayat berkenaan dengan orang yang takut tidak bisa berbuat adil berkenaan
dengan harta anak-anak yatim, maka kita bisa mengambil dua, tiga, atau
empat orang wanita. Tetapi ayat tidak menjelaskan apakah anak-anak yatim
itu sendiri ataukah ibu mereka yang bisa kita ambil. Pada kelanjutan
ayat ditegaskan, jika kita tidak bisa berbuat adil, maka kita bisa
mengambil lebih dari satu orang. Jika kita telah mengambil wanita
pertama, maka akad dengan wanita kedua adalah batil.
Dari sini dapat dipahami dua poinpenting:
Pertama, poligami hanya diperuntukkan bagi mereka yang mengurusi
anak-anak yatim dan tidak bisa digeneralisasikan kepada selain mereka.
Kedua, berkenaan dengan harta. Pada masa itu, harta disimpan dalam
bentuk benda seperti gandum, beras, dan benda-benda serupa. Harta-harta
ini sangat mungkin bisa bercampur baur menjadi satu. Tetapi, di masa
sekarang ini, hal ini sudah jarang terjadi. Kita bisa membuka sebuah
nomor rekening dan kita mentransfer seluruh uang mereka ke nomor
rekening ini. Jadi sudah tidak ada kekhawatiran harta anak-anak yatim
itu bercampur baur menjadi satu. Untuk itu, sekalipun kita mengurusi
harta anak-anak yatim, dengan kondisi seperti sekarang ini, kita tidak
bisa menikah lebih dari satu wanita.
Inilah yang bisa saya pahami dari ayat tersebut. Untuk itu, masalah
poligami ini masih perlu ditelaah ulang kembali. Saya berharap hauzah
ilmiah bisa menjembatani pusat-pusat riset guna lebih menuntaskan
masalah ini.
Tabnak: Sebagian orang yang ingin melakukan poligami beralasan bisa bertindak adil.
Musawi: Masalah yang ditekankan ayat bukanlah masalah bertindak adil.
Lebih dari itu. Ayat menyatakan, apabila kalian takut tidak bertindak
adil. Takut saja. Sungguh sangat sulit. Bagaimana mungkin kita bertindak
adil antara istri umur 50 tahun dan istri yang masih berumur 20 tahun?
Sungguh sangat sulit. Saya tidak bilang mustahil. Tetapi sangat sulit.
Untuk itu, poligami ini dalam Islam diletakkan dengan syarat-syarat
tertentu yang sangat ketat sehingga sangat jarang bisa terjadi.
Source: Shabestan