Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Kematian. Show all posts
Showing posts with label Kematian. Show all posts

Malaikat Maut Akan Mengambil Nyawa Setiap Makhluk Hidup


Apakah malaikat maut akan mengambil nyawa setiap makhluk hidup?
 
Jawaban Global:
Dari bentuk mutlak riwayat dapat disimpulkan bahwa malaikat maut (Izrail) adalah media Allah Swt dalam mencabut jiwa dan mengambil nyawa seluruh makhluk hidup.
Namun yang penting kita ketahui adalah bahwa sejatinya yang mengambil jiwa seluruh makhluk hidup adalah Allah Swt. Sunnatullah yang mengharuskan perbuatan mencabut nyawa harus didelegasikan melalui media, entai media itu adalah malaikat maut atau dengan perantara media lainnya.
 
Jawaban Detil:
Dalam al-Quran disebutkan bahwa Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu ia tidur.” (Qs. Al-Zumar [39]:42).

Allah Swt dalam ayat ini, pencabutan nyawa diperkenalkan sebagai perbuatan-Nya dan apabila musnad ilaihi (yang disandarkan kepadanya) Allah lebih dahulu disebutkan atas musnad yatawaffa (pada ayat di atas) maka hal itu dimaksudkan sebagai hashr (pembatasan), artinya pencabutan ruh itu hanya merupakan perbuatan Tuhan bukan yang lain.[1]

Bagaimanapun terdapat ayat lain yang dapat disimpulkan bahwa Allah Swt mengatur alam semesta ini dengan perantara sekelompok malaikat sebagiamana pada ayat 5 surah Naziat, Allah Swt menyatakan, “Dan demi para malaikat yang mengatur urusan (dunia).”

Sunnah Ilahi mengharuskan urusan-urusan dan perbuatan-perbuatan di alam semesta ini dilakukan melalui kanal sebab-sebab. Karena itu, sekelompok malaikat yang bertugas untuk  mencabut nyawa dan yang paling top[2] di antara mereka adalah malaikat maut.[3]

Al-Quran dalam hal ini berkata, “Katakanlah, Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan dikembalikan.’” (Qs. Al-Sajdah [32]:11) dan “Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, malaikat-malaikat Kami mewafatkannya, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. (Qs. Al-An’am [6]:61).

Apabila dua ayat ini kita letakkan di samping ayat pertama maka dapat disimpulkan bahwa pengambilan nyawa pada prinsipnya dilakukan oleh Allah Swt bukan selain-Nya. Dengan izin Allah, malaikat maut dapat menunaikan tugasnya dan dengan perantara malaikat maut, pekerjaan pembantu malaikat maut yang merupakan para malaikat Tuhan dapat menjalankan tugas membantu malaikat maut dalam mencabut nyawa.[4] Pada prinsipnya, seluruh pekerjaan di alam semesta berada di tangan Tuhan dan para malaikat adalah para pelaksana pekerjaan ini.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Seseorang bertanya kepada Imam Shadiq tentang ayat ini dimana Allah Swt berfirman,  
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya.” (Qs. Al-Zumar [39]:42).
 
Dan di tempat lain berfirman,   
“Katakanlah, ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan dikembalikan.” (Qs. Al-Sajdah [32]:11).
 
 demikian juga pada ayat lainnya,
 “(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat.” (Qs. Al-Nahl [16]:32).
 
mengingat bahwa dalam satu jam di dunia ini terdapat ribuan orang yang meninggal yang jumlah persisnya hanya Allah yang tahu, lalu bagaimana hal ini dapat dilakukan para malaikat atau malaikat maut pada saat yang bersamaan mencabut ruh semua orang yang meninggal itu?

Imam As dalam menjawab pertanyaan ini berkata, “Allah Swt menempatkan para pembantu dan malaikat untuk malaikat maut yang berposisi sebagai komando untuk mereka dan mengirim mereka utuk menunaikan tugas-tugasnya  masing-masing. Karena itu, para malaikat (pembantu) yang mencabut ruh dan juga malaikat maut lalu Allah Swt mengambil ruh-ruh itu dari malaikat maut.”[5]

Seorang ateis datang kepada Amirul Mukminin Ali As. Katanya, “Dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang bertentangan satu sama lain. Karena pada satu tempat disebutkan “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya.”.
Namun pada ayat lain disebutkan malaikat maut yang melakukan hal ini. Dan ditempat lainnya disandarkan pada sebagian malaikat?” Dalam menjawab pertanyaan ini Amirul Mukminin As berkata, “Malaikat maut memiliki pembantu dari kalangan malaikat rahmat dan azab yang perkerjaannya sama dengan pekerjaan malaikat maut (mencabut ruh) dan apa pun yang mereka lakukan maka perbuatan itu disandarkan kepada malaikat maut dan perbuatan malaikat maut itu adalah perbuatan Allah karena Allah yang mengambil jiwa setiap orang yang dikehendakinya, dan perbuatan-perbuatan lainnya seperti memberikan atau menahan, memberikan ganjaran atau azab, diserahkan kepada siapa pun yang dikehendaki dan sesungguhnya pekerjaan para petugas-Nya adalah perbuatan Allah Swt sendiri sebagaimana dalam al-Quran menyatakan, “Dan kamu tidak dapat berhendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” dan Al-Takwir [81]:20).

Dengan kata lain, tatkala malaikat maut tidak secara langsung mengambil jiwa juga dapat disandarkan pada malaikat maut dan kepada Tuhan karena seluruh sebab, kekuatan, dan kodratnya bersumber dari Allah Swt dan berada di bawah pengurusan Ilahi. Demikian juga perantara-perantara lain selain malaikat maut yang tergolong sebagai bala tentara malaikat maut dan sebagiamana pekerjaan ini dapat disandarkan secara langsung, juga dapat disandarkan dengan perantara medium dan perantara puncak sebagiamana penaklukan dan kemenangan pada perang yang sejatinya yang secara hakiki disandarkan pada prajurit, rakyat, panglima dan panglima besar.

Dengan pendahuluan ini kami akan menjawab pertanyaan Anda siapakah yang melakukan pencabutan nyawa makhluk-makhluk hidup selain manusia? Amirul Mukminin As dalam sebuah riwayat, “...Cukup bagimu engkau tahu Allah yang menghidupkan dan mematikan. Dia mencabut nyawa siapa saja yang dikehendaki, dengan perantara malaikat atau tanpa perantara malaikat.”[6]

Karena itu penting untuk kita ketahui bahwa Allah Swt yang melakukan perbuatan ini dan Dia juga melakukannya dengan perantara, entah perbuatan mencabut nyawa ini dengan perantara malaikat maut atau tanpa malaikat maut.

Benar dalam riwayat lain disebutkan, “Sewaktu mikraj, Nabi Saw bertanya kepada malaikat maut, “Apakah jiwa orang-orang yang mati dan akan mati engkau yang mengambilnya?” Dia berkata, “Benar... seluruh dunia dan apa yang ditundukkan Tuhan bagiku di sisiku laksana sebuah koin di tangan seseorang yang dapat dipermainkan dan aku mendatangi seluruh rumah di dunia lima kali sehari (untuk melihat apakah ia mengerjakan salatnya tepat waktu atau tidak?)”[7]

Dari kemutlakan riwayat ini kemungkinan ini dapat dikuatkan bahwa malaikat maut yang mengambil jiwa seluruh makhluk hidup.  
 
Indeks Terkait:
  1. Pertanyaan 96, Indeks: Tidur dan Kematian Jiwa Manusia
  2. Pertanyaan 849, Setan dan Kematian
 

Referensi:
[1]. Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizân (Terjemahan Persia), jil. 17, hal. 407.
[2]. Karena tingkatan eksistensial para malaikat berbeda satu sama lain. Dalam hal ini, tingkatan eksistensial Izrail (malaikat maut) lebih tinggi dari para malaikat yang membantu untuk mencabut nyawa.
[3]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemenuh, jil. 17, hal. 140.
[4]. Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizān (Terjemahan Persia), jil. 17, hal. 407.
[5]. Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, jil 1, hal. 136.
[6]. Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 6, hadis 6, hal. 143.
[7]. Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 2, hadis 2, hal. 141.

Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi

Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi

Bab ini membahas Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi. Jika dalam menggunakan dalil umum, kaum Salafi & Wahabi terlihat jelas keteledorannya, maka lebih-lebih lagi ketika menggunakan dalil khusus, baik dari hadits-hadits Rasulullah Saw, ucapan para shahabat beliau, atau ucapan para ulama salaf. Umumnya, semua dalil-dalil itu mereka pahami secara harfiyah, sehingga mereka tidak peduli bahwa para ulama sudah membahasnya secara gamblang dan bahkan menyimpulkan hukum darinya.

Contohnya, hadits-hadits Rasulullah Saw yang menyebutkan larangan mendirikan bangunan di atas kuburan, larangan menyanjung Rasulullah Saw seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam, larangan memuliakan Rasulullah Saw dengan sebutan Sayyidina, larangan beristighatsah dengan Rasulullah Saw, larangan dan menjadikan kuburan sebagai masjid.

Semua permasalahan tersebut sudah dibahas oleh para ulama dan sudah disimpulkan batasan-batasan hukum yang menyebabkan boleh dan tidaknya perkara-perkara tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada. Bagi kaum Salafi & Wahabi, semuanya langsung dianggap haram semata-mata melihat dari bentuk larangan yang ada di dalam hadits, dan ini adalah kekeliruan, karena tidak setiap larangan mengandung indikasi haram, kadang makruh, atau bahkan mubah bila ternyata ada dalil yang membatalkannya.

Syaikh Ali Jum’ah (Mufti Mesir) adalah salah satu dari sekian banyak ulama yang telah memaparkan begitu gamblang permasalahan dalil-dalil khusus pada perkara-perkara tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas, lihatlah karya Syaikh Ali Jum’ah yang berjudul ‘al-Bayan al-Qawim li Tashhih Ba’dhi al-Mafahim‘, atau dalam edisi terjemah berjudul ‘Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan!‘, diterbitkan oleh Duha Khazanah Cikarang.


Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, marilah kita lihat beberapa contoh dalil khusus yang digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk memvonis bid’ah atau sesat suatu amalan umat Islam dengan serampangan, semata-mata karena mereka melihat bentuk larangannya secara harfiyah yang langsung diindikasikan pada makna hukum haram. Berikut ada 4 pembahasan, yaitu:



Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi.


Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi

Bab ini membahas Pentingnya Mengenal Dalil-dalil Khusus Kaum Salafi & Wahabi. Jika dalam menggunakan dalil umum, kaum Salafi & Wahabi terlihat jelas keteledorannya, maka lebih-lebih lagi ketika menggunakan dalil khusus, baik dari hadits-hadits Rasulullah Saw, ucapan para shahabat beliau, atau ucapan para ulama salaf. Umumnya, semua dalil-dalil itu mereka pahami secara harfiyah, sehingga mereka tidak peduli bahwa para ulama sudah membahasnya secara gamblang dan bahkan menyimpulkan hukum darinya.

Contohnya, hadits-hadits Rasulullah Saw yang menyebutkan larangan mendirikan bangunan di atas kuburan, larangan menyanjung Rasulullah Saw seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam, larangan memuliakan Rasulullah Saw dengan sebutan Sayyidina, larangan beristighatsah dengan Rasulullah Saw, larangan dan menjadikan kuburan sebagai masjid.

Semua permasalahan tersebut sudah dibahas oleh para ulama dan sudah disimpulkan batasan-batasan hukum yang menyebabkan boleh dan tidaknya perkara-perkara tersebut berdasarkan dalil-dalil yang ada. Bagi kaum Salafi & Wahabi, semuanya langsung dianggap haram semata-mata melihat dari bentuk larangan yang ada di dalam hadits, dan ini adalah kekeliruan, karena tidak setiap larangan mengandung indikasi haram, kadang makruh, atau bahkan mubah bila ternyata ada dalil yang membatalkannya.

Syaikh Ali Jum’ah (Mufti Mesir) adalah salah satu dari sekian banyak ulama yang telah memaparkan begitu gamblang permasalahan dalil-dalil khusus pada perkara-perkara tersebut. Untuk mengetahui lebih jelas, lihatlah karya Syaikh Ali Jum’ah yang berjudul ‘al-Bayan al-Qawim li Tashhih Ba’dhi al-Mafahim‘, atau dalam edisi terjemah berjudul ‘Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan!‘, diterbitkan oleh Duha Khazanah Cikarang.



Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, marilah kita lihat beberapa contoh dalil khusus yang digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk memvonis bid’ah atau sesat suatu amalan umat Islam dengan serampangan, semata-mata karena mereka melihat bentuk larangannya secara harfiyah yang langsung diindikasikan pada makna hukum haram. Berikut ada 4 pembahasan, yaitu:

1. DALIL LARANGAN BERZIKIR BERJAMA’AH

Salafi Wahabi dan Dalil Larangan Zikir Berjama’ah.

Kaum Salafi & Wahabi dalam Memahami Dalil LARANGAN ZIKIR BERJAMA’AH

Salah satu dalil khusus yang paling jelas menyebutkan larangan zikir berjama’ah atau menghitung bacaan zikir dengan batu atau biji tasbih, adalah perkataan Abdullah bin Mas’ud Ra. yang diriwayatkan oleh ad-Darimi. Dalil ini tampaknya sering digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk mengharamkan kegiatan acara tahlilan dan zikir berjama’ah serta melabelkan padanya tuduhan hukum bid’ah (padahal bid’ah itu bukan hukum).


Mari kita lihat riwayat tersebut, sebagaimana tercantum di dalam buku Ensiklopedia Bid’ah halaman 86, lengkapnya sebagai berikut:
Dari ‘Amr bin Yahya, dia berkata, “Aku mendengar ayahku menceritakan dari bapaknya, dia berkata, ‘Kami pernah duduk-duduk di pintu (rumah) Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat shubuh -(biasanya bila dia keluar dari rumahnya) kami pun peri bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang Abu Musa al-Asy’ari Ra. Dan berkata, ‘Adakah Abu Abdurrahman (Abdullah bin Mas’ud) telah keluar pada kalian?’ Kami menjawab, ‘Belum.’ Lalu dia pun duduk bersama kami sampai akhirnya Abdullah bin Mas’ud keluar.

Setelah dia keluar, kami berdiri menemuinya dan Abu Musa al-Asy’ari berkata, ‘Wahai Abu Abdurrahman, tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku mengingkarinya, dan alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan. Dia bertanya, ‘Apa itu?’ Abu Musa menjawab, ‘ Bila kau masih hidup niscaya kau akan melihatnya sendiri.’ Abu Musa lalu berkata, ‘Aku melihat di masjid beberapa kelompok orang yang duduk membentuk lingkaran (halaqah) sambil menunggu (waktu) shalat. Dalam setiap lingkaran itu ada seseorang yang memimpin dan di tangan mereka ada batu-batu kecil, laki-laki itu berkata, ‘Bacalah takbir 100 kali,’ mereka pun bertakbir 100 kali, kemudian ia berkata lagi, ‘Bacalah tahlil 100 kali‘, mereka pun bertahlil 100 kali, kemudian ia berkata lagi, ‘Bacalah tasbih 100 kali‘, mereka pun bertasbih 100 kali.

Abdullah bin Mas’ud bertanya, ‘Apa yang kamu katakan pada mereka?’ Abu Musa menjawab, ‘Aku tidak akan mengatakan apa pun pada mereka, karena aku menunggu pendapatmu atau menunggu perintahmu!’ Abdullah bin Mas’ud menjawab, ‘Tidakkah kamu katakan pada mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka, dan kau beri jaminan bagi mereka bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan mereka yang akan hilang begitu saja?’ Kemudian dia pergi dan kami pun ikut bersamanya, hingga tiba di salah satu kelompok dari kelompok-kelompok (yang ada di masjid) dan berdiri di hadapan mereka, lalu berkata, ‘Apa yang kalian sedang kerjakan?’ Mereka menjawab, ‘Wahai Abu Abdurrahman, (ini adalah) batu-batu kecil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, tasbih, dan tahmid.’ Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian. Aku akan menjamin bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan-kebaikan kalian yang akan hilang begitu saja. Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian. Lihat sahabat-sahabat Nabi Saw, masih banyak baju-baju mereka yang belum rusak dan bejana-bejana mereka belum pecah. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh (apakah) kalian ini ada pada ajaran yang lebih baik dari ajaran Muhammad ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan.’

Mereka menjawab, ‘Demi Allah wahai Abu Abdurrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.’ Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak dapat meraihnya, sesungguhnya Rasulullah Saw Bersabda kepada kami bahwa ada sekelompok orang yang membaca al-Qur’an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja. Demi Allah, aku tidak tahu, barangkali sebagian besar mereka itu dari kalian-kalian ini.’ Kemudian dia pergi. Amr bin Salamah berkata, ‘Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij.” (Hadis ini diriwayatkan oleh ad-Darimi).

Riwayat tersebut sepertinya oleh kaum Salafi & Wahabi dianggap mewakili dalil khusus yang jelas-jelas melarang zikir berjama’ah, atau melarang menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih. Akan tetapi, memanfaatkan riwayat ini untuk menetapkan pelarangan tersebut atau untuk memvonis bid’ah amalan zikir berjama’ah atau menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih, tidak dapat dibenarkan, dengan alasan:
1. Bertentangan dengan hadis Rasulullah Saw, “Tidaklah suatu kaum duduk di suatu majlis, berzikir kepada Allah di tempat itu, melainkan malaikat telah menaungi mereka, rahmat meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah menyebut mereka pada kelompok makhluk yang ada di sisi-Nya (yaitu para malaikat dan para nabi-red).”

(Hadis Shahih di atas adalah riwayat Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah, dan lain-lain). Abdullah bin Mas’ud Ra tidak mungkin tak mengetahui hadis seperti ini, dan banyak lagi hadis-hadis lain yang senada dengan ini.

2. Tentang menghitung jumlah zikir, Rasulullah Saw juga banyak menyebut dalam hadis-hadis beliau, seperti: Bacaan subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, yang masing-masing dibaca 33 kali, atau tentang keutamaan bacaan subhanallah wabihamdihi sebanyak 100 kali dalam satu hari, atau tentang bacaan laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu lahul-mulku walahul-hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa ‘ala kulli syai’in Qadiir sebanyak 100 kali, atau tentang permohonan ampun beliau dalam sehari 100 kali, dan lain sebagainya. Hadis-hadis tersebut menunjukkan dengan jelas legalitas menghitung jumlah bacaan zikir.

3. Rasulullah Saw tidak pernah melarang shahabat untuk menghitung zikir dengan batu atau yang lainnya, bahkan diriwayatkan beberapa shahabat seperti Abu Darda’ Ra dan Abu Hurairah Ra memiliki sekantung batu kerikil atau biji kurma yang biasa digunakan untuk berzikir (lihat az-Zuhd, Abu ‘Ashim, juz 1 hal. 141, Musnad Ahmad, juz 2 hal. 540, Sunan Abu Dawud, juz 2 hal. 253, Hilyatul Awliya’, juz 1 hal. 383, dan lain-lain).

4. Riwayat tentang Abdullah bin Mas’ud Ra di atas memiliki kelemahan pada sanad (jalur periwayat)nya, di mana terdapat ‘Amr bin Yahya bin ‘Amr bin Salamah yang dianggap lemah periwayatannya oleh Yahya bin Ma’in dan Ibnu ‘Adi.

5. Riwayat tersebut tidak menunjukkan perkataan / sabda Rasulullah Saw, melainkan perkataan pribadi Abdullah bin Mas’ud Ra (atsar shahabat), dengan kata lain merupakan qaul shahabi (perkataan shahabat) atau madzhab shahabi (pendapat shahabat). Jumhur (mayoritas) ulama ushul menganggap bahwa qaul shahabi atau madzhab shahabi tidak termasuk hujjah (argumen yang diakui) dalam menetapkan hukum kecuali bila sejalan dengan hadis Rasulullah Saw, karena para shahabat juga biasa berbeda pendapat satu sama lain (lihat Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, juz 2, hal. 150-156), lihatlah pendapat Abu Musa al-Asy’ari pertama kali pada riwayat di atas saat ia berkata, “alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan“.

Bagaimana mungkin Abdullah bin Mas’ud tidak dapat melihat kebaikan yang dikatakan oleh Abu Musa al-Asy’ari tentang halaqah zikir di masjid itu, sementara pada riwayat lain Abdullah bin Mas’ud pernah berkata: “… apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim, maka dia adalah baik menurut Allah” (Riwayat Ahmad). Sungguh ini merupakan kejanggalan, apalagi, ternyata riwayat di atas banyak bertentangan dengan hadis-hadis Rasulullah Saw, maka amat sangat tidak sah untuk dijadikan dalil melarang zikir berjama’ah atau menghitung jumlah zikir, atau bahkan dijadikan dalil untuk melarang kegiatan tahlilan.

6. Seandainya pun riwayat tersebut dianggap benar, maka sesungguhnya Abdullah bin Mas’ud Ra sepertinya bukan semata-mata ingin mempermasalahkan zikir berjamaah-nya atau menghitung zikirnya, tetapi sepertinya ia tahu betul siapa orang-orang yang berzikir itu, seolah ada isyarat yang ia ketahui jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang yang akan menimbulkan masalah di kubu umat Islam. Buktinya, Abdullah bin Mas’ud Ra. langsung mengarahkan tudingan kepada mereka dengan peringatan Rasulullah Saw tentang akan munculnya “sekelompok orang yang membaca al Qur’an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja”, yang disinyalir oleh para ulama sebagai kelompok khawarij. Dan hal itu dibenarkan dengan pernyataan si periwayat yang bernama ‘Amr bin Salamah, ‘Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij.”.

2. DALIL LARANGAN BERZIARAH KE KUBUR RASULULLAH SAW

Salafi Wahabi & Dalil Larangan Ziarah Kubur Rasulullah Saw

Kaum Salafi & Wahabi dalam Memahami DALIL LARANGAN ZIARAH KUBUR RASULULLAH SAW

Ada satu lagi dalil khusus dari ulama salaf yang juga sering digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi, yaitu perkataan Imam Malik bin Anas (perintis Mazhab Maliki) tentang ziarah ke kuburan Rasulullah Saw. Bahkan Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 sangat mengandalkan ungkapan Imam Malik ini. Ibnu Taimiyah berkata:

بل قد كره مالك وغيره أن يقال: زرت قبر النبي صلى الله عليه وسلم، ومالك أعلم الناس بهذا الباب، فإن أهل المدينة أعلم أهل الأمصار بذلك، ومالك إمام أهل المدينة. فلو كان في هذا سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: فيها لفظ «زيارة قبره» لم يخف ذلك على علماء أهل مدينته وجيران قبره ـ بأبي هو وأمي.

“… bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci kata-kata, ‘Aku menziarahi kubur Nabi Saw.’ sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya penduduk Madinah. Seandainya terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah Saw yang di dalamnya terdapat lafaz ‘menziarahi kubur-nya’, niscaya tidak akan tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para ulama ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau – demi bapak dan ibuku .”

Kaum Salafi & Wahabi, bahkan imam mereka yaitu Ibnu Taimiyah tampaknya salah paham terhadap ungkapan Imam Malik tersebut. Imam Malik adalah orang yang sangat memuliakan Rasulullah Saw., sampai-sampai ia enggan naik kendaraan di kota Madinah karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah Saw dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan, “Aku malu kepada Allah ta’ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah Saw. dengan kaki hewan (kendaraan-red)” (lihat Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi, wafat 681 H, Darul Fikr, Beirut, juz 3, hal. 180).

Bagaimana mungkin sikap yang sungguh luar biasa itu dalam memuliakan jasad Rasulullah Saw seperti menganggap seolah beliau masih hidup, membuatnya benci kepada orang yang ingin menziarahi makam Rasulullah Saw? Sungguh ini adalah sebuah pemahaman yang keliru.

Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, di dalam kitab Fathul-Bari juz 3 hal. 66, menjelaskan, bahwa Imam Malik membenci ucapan “aku menziarahi kubur Nabi saw.” adalah karena semata-mata dari sisi adab, bukan karena membenci amalan ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan oleh para muhaqqiq (ulama khusus) mazhabnya. Dan ziarah kubur Rasulullah Saw. adalah termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari’atannya jelas, dan hal itu merupkan ijma’ para ulama.


Artinya, kita bisa berkesimpulan, setelah mengetahui betapa Imam Malik memperlakukan jasad Rasulullah Saw. yang dikubur di Madinah itu dengan akhlak yang luar biasa, seolah seperti menganggap beliau masih hidup, maka ia pun lebih suka ungkapan “aku menziarahi Rasulullah Saw.” dari pada ungkapan “aku menziarahi kubur Rasulullah Saw.” berhubung banyak hadis mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw di dalam kuburnya dapat mengetahui, melihat, dan mendengar siapa saja yang menziarahinya dan mengucapkan salam dan shalawat kepadanya. Sepertinya Imam Malik tidak suka Rasulullah Saw yang telah wafat itu diperlakukan seperti orang mati pada umumnya, dan asumsi ini dibenarkan oleh dalil-dalil yang sah.

Bila alasan pelarangan ziarah kubur Rasulullah Saw. itu kemudian dikaitkan dengan larangan mengupayakan perjalanan (syaddur-rihal) kecuali kepada tiga masjid (Masjidil-Haram, Masjid Nabawi, & Masjidil-Aqsha) yang terdapat di dalam hadis Rasulullah Saw., maka makin terlihatlah kejanggalannya. Karena dengan begitu, segala bentuk perjalanan (termasuk silaturrahmi kepada orang tua atau famili, menuntut ilmu, menunaikan tugas atau pekerjaan, berdagang, dan lain-lain) otomatis termasuk ke dalam perkara yang dilarang, kecuali perjalanan hanya kepada ke tiga masjid tersebut.

Di sinilah para ulama meluruskan pengertiannya, bahwa pada hadis tersebut terdapat ‘illat (benang merah) yang membuatnya tidak mencakup keseluruhan bentuk perjalanan, yaitu adanya kata “masjid“. Sehingga dengan begitu, yang dilarang adalah mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk melakukakan perjalanan kepada suatu masjid selain dari tiga masjid yang utama tersebut, karena nilai ibadah di selain tiga masjid itu sama saja atau tidak ada keistimewaannya.

3. DALIL LARANGAN MENYANJUNG RASULULLAH SAW

Salafi Wahabi dan Dalil Larangan Menyanjung Rasulullah Saw

PENJELASAN DALIL LARANGAN MENYANJUNG RASULULLAH SAW

Satu lagi contoh dalil khusus yang sering dibawakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah dalil yang secara harfiyah dipahami sebagai larangan menyanjung Rasulullah Saw, dan ini dijadikan dasar untuk menganggap bid’ah atau sesat sya’ir-sya’ir qashidah yang sering dibaca umat Islam di seluruh dunia dalam rangka memuji Rasulullah Saw. Hadis Rasulullah Saw tentang hal itu bunyinya begini:

لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ (رواه البخاري)

“Janganlah kalian memuji/menyanjung aku secara berlebihan, sebagaimana kaum Nasrani menyanjung Isa bin Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah ‘hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari).

Kaum Salafi & Wahabi secara mentah-mentah dan secara mutlak memahami hadis ini sebagai larangan menyanjung Rasulullah Saw secara berlebihan, lebih dari sekedar mengakuinya sebatas hamba Allah yang diutus sebagai Rasul dan diberikan wahyu. Memuji beliau lebih dari itu dianggap sebagai upaya “pengkultusan” yang dapat dikategorikan sebagai syirik – musyrik. Padahal, memuji atau menyanjung itu sangat jauh berbeda dengan “mengkultuskan”.

Habib Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki, di dalam kitab beliau, Qul Hadzihii Sabiilii, menjelaskan bahwa pada hadis tersebut ada pesan yang jelas antara larangan memuji atau menyanjung berlebihan dengan perlakuan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam As. Artinya, seandainya yang dilarang secara mutlak adalah semata-mata perbuatan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. dalam bentuk apapun seperti yang dipahami kaum Salafi & Wahabi, maka beliau tidak perlu menghubungkannya dengan perbuatan kaum Nasrani yang jelas-jelas menganggap Nabi Isa As. sebagai tuhan. Itulah kenapa Rasulullah Saw. kemudian menyuruh umatnya untuk selalu “menyadari” bahwa beliau hanyalah seorang hamba Allah dan Rasul-Nya. Dan orang Islam paling bodoh pun tahu batasan ini.

Jadi, yang dilarang di dalam hadis tersebut adalah “mengkultuskan” Rasulullah Saw dalam arti mengangkat beliau sebagai tuhan atau melekatkan sifat ketuhanan kepada beliau. Sementara menyanjung atau memuji beliau, menurut Habib Muhammad al-Maliki, adalah perkara wajib, mengingat banyak ayat-ayat al Quran yang menyebut bahwa keingkaran umat-umat terdahulu terhadap nabi-nabi mereka adalah karena menganggap nabi-nabi itu sebatas manusia biasa seperti diri mereka yang tidak pantas dilebihkan kedudukannya sehingga patut diikuti.

Di lain sisi, terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak benar-benar melarang shahabat beliau untuk memuji atau menyanjung beliau, melainkan semata-mata karena sifat tawadhu’ (rendah hati) pada diri beliau, dan karena kekuatiran terhadap kebiasaan pengkultusan jahiliyah yang baru saja ditinggalkan para shahabat beliau karena baru masuk Islam. Walhasil, para ulama telah menjelaskan bahwa memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. itu dilakukan dalam rangka untuk memuliakan beliau, dan memuliakan beliau adalah amal shaleh yang mendapatkan pahala. Sikap “memuliakan” itu sangat berbeda dari sikap “mengkultuskan”, dan dalam rangka memuliakan Rasulullah Saw. maka tidak ada batas tertentu yang dianggap cukup untuk mencapai hakikat kemuliaan beliau. Batasannya hanyalah tidak mengangkat beliau sebagai tuhan atau tidak melekatkan sifat ketuhanan pada diri beliau.

Lagipula, Allah Swt. telah jelas-jelas mencontohkan sikap pemuliaan itu dengan memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. di dalam al Quran, sebagaimana tersebut di dalam surat al-Qalam: 4 :
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar di atas budi pekerti yang agung.”
Bahkan, bukan sekedar mencontohkan, Allah Swt. malah juga menganggap sikap memuliakan Rasulullah Saw itu sebagai ciri orang yang beriman kepadanya yang akan mendapatkan keberuntungan, sebagaimana firman-Nya:
“… Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya ( Al Quran ), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raaf: 157).

Jadi, ketika kaum Salafi & Wahabi menganggap sya’ir-sya’ir pujian kepada Rasulullah Saw. yang ditulis oleh para ulama yang shaleh sebagai bid’ah sesat, atau bahkan dianggap sebagai amalan syirik, karena dianggap “berlebihan” dalam memuji, maka hendaknya mereka menjelaskan “batasan Pas’nya” dan “batasan lebihnya” dengan dalil yang jelas, sambil bertanya, “kalau bukan kita (umat Islam) yang memuliakan Rasulullah Saw., maka siapakah yang lebih pantas melakukannya, Yahudi kah atau Nasrani kah?”

Bila Rasulullah Saw sudah dianggap tidak lebih dari manusia biasa yang diutus sebagai Rasul dan mendapat wahyu, berarti di sana ada pengingkaran terhadap sosok pribadi beliau yang agung sebagai seseorang bernama “Muhammad” yang terkenal kemuliaan dan kejujurannya, yang bukan saja ditakdirkan tetapi bahkan dipersiapkan oleh Allah jauh-jauh masa sebelum alam semesta diciptakan. Beliau bahkan sudah menjadi manusia mulia dan terpuji yang diistimewakan oleh Allah sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul.

Bagaimana mungkin kita mengingkari awan yang menaungi beliau saat berjalan; atau melimpahnya keberkahan ternak dan susu Halimatus-Sa’diyah saat mengambil beliau sebagai anak susunya; atau kejujuran dan kehalusan budi pekerti beliau yang diakui orang di seantero Mekkah; atau padamnya api abadi sesembahan kaum majusi Persia di saat kelahiran beliau; atau betapa proporsionalnya bentuk wajah dan tubuh beliau; dan lain sebagainya. Sungguh semua itu diberikan oleh Allah sebagai suatu keistimewaan yang layak disebut sebagai kemuliaan dan keagungan pribadi beliau, terlepas dari status beliau sebagai seorang Rasul semata. Belum lagi keistimewaan-keistimewaan yang Allah berikan kepada beliau sejak diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sungguh tidak terukur kadarnya. Syirik kah orang yang menyebut-nyebut keistimewaan beliau itu dalam sya’ir-sya’ir pujian?

Lihatlah betapa para shahabat Rasulullah Saw seperti kehabisan kata dan tak mampu menemukan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan hakikat pribadi beliau. Kekaguman mereka pada diri beliau terungkap seperti berikut ini:
Al-Bara’ bin ‘Azib Ra. berkata, “Aku tidak pernah melihat ada seseorang berbalut pakaian merah yang lebih bagus dari beliau” (HR. Bukhari).
Ali bin Abi Thalib Ra. berkata, “… Aku belum pernah melihat sebelum dan sesudahnya orang yang seperti beliau” (HR. Tirmidzi).
Anas bin Malik Ra. berkata, “Aku tidak pernah menyentuh kain sutra yang lebih halus dari telapak tangan Rasulullah Saw., dan aku tidak pernah mencium wangi yang lebih harum dari wanginya Rasulullah Saw.” (HR. Ahmad).
‘Aisyah Ra. ummul-Mu’miniin berkata, “Adalah akhlak beliau itu al Quran” (HR. Ahmad).

Delegasi Bani ‘Amir berkata kepada Rasulullah Saw, “Engkau adalah tuan kami.” Rasulullah Saw menjawab, “Tuan itu adalah Allah tabaraka wata’ala.” Delegasi itu malah terus berkata lagi, “Dan engkau adalah orang paling utama dan paling besar kemampuan di antara kami.” Rasulullah Saw berkata, “Katakanlah dengan perkataan kalian atau sebagian perkataan kalian, dan jangan sampai syeitan menjadikan kalian sebagai wakilnya (untuk menyesatkan dengan kata-kata)” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak melarang orang yang menyanjung beliau, tetapi di sisi lain beliau juga memberi peringatan agar waspada dari penyusupan syeitan dalam hal tersebut yang pada akhirnya dapat mengarahkan orang untuk mengkultuskan beliau seperti Tuhan, mengingat mereka baru masuk Islam dan baru saja meninggalkan penyembahan berhala. Artinya, selama pujian atau sanjungan itu tidak melampaui batas tersebut, beliau masih mentolerirnya. Beliau memang tidak senang dipuji atau disanjung karena sifat tawadhu’ (rendah hati), bukan karena haram melakukannya.

Cover Buku Salafi Wahabi Melarang Menyanjung Rasulullah Saw. Di atas adalah Judul Cover buku terbitan kaum salafi dan Wahabi.

Masih banyak lagi ungkapan pujian dan sanjungan para shahabat terhadap beliau, sebagai wujud kebanggaan, kecintaan, dan kekaguman yang mendalam terhadap diri beliau. Dan ungkapan-ungkapan apapun dalam memuji atau menyanjung Rasulullah Saw. hakikatnya adalah pembenaran dan penetapan keyakinan di dalam hati tentang ketinggian derajat dan keutamaan yang Allah berikan kepada beliau, dan ini adalah bagian dari keimanan kepada kenabian dan kerasulan beliau.

Bila yang dipermasalahkan adalah kalimat-kalimat sya’ir yang secara harfiyah memposisikan Rasulullah Saw sebagai: Pemberi petunjuk ke jalan yang lurus (al-haadii ilaa sharath mustaqiim), pembuka yang tertutup (al-faatih limaa ughliqa), penutup yang terdahulu, tuan (sayyid/maula), cahaya yang berada di atas cahaya (nuur fawqa nuur), penghapus kesesatan, pemberi pertolongan, dan lain sebagainya, yang sering dituduh sebagai sikap “menuhankan” (mengkultuskan) beliau atau menganggap beliau memiliki kemampuan seperti Allah, maka sungguh tuduhan itu sangat keliru. Sebab para ulama yang menyusun atau mengarang kalimat-kalimat tersebut tidak pernah menganggapnya demikian, mereka hanya memaksudkan makna majaz (kiasan) di mana hakikatnya sudah menjadi hal lumrah bagi orang-orang yang bertauhid dan beraqidah, bahwa yang sesungguhnya memberi petunjuk, pertolongan, keberkahan, cahaya, dan lain sebagainya adalah Allah Swt, sedang Rasulullah Saw. hanya merupakan “sebab” tercapainya hal-hal tersebut melalui dakwah, teladan, syafa’at, dan do’a-do’a beliau.

Para ulama yang menulis sya’ir-sya’ir pujian itu pasti sangat mengerti batasan tentang “porsi” Khaliq (Allah yang Maha Pencipta) dan “porsi” makhluq (hamba ciptaan Allah) dalam hal kemampuan atau perbuatan, dan tidak mungkin itu diabaikan. Setinggi apapun ungkapan pujian atau sanjungan itu kepada Rasulullah Saw. sesungguhnya maksudnya adalah masih dalam tataran status beliau sebagai makhluk. Bahkan seandainya dikatakan Rasulullah Saw. adalah sempurna, maka maksudnya adalah Rasulullah Saw. makhluk yang sempurna, yang tentunya disempurnakan oleh Allah Swt.

Al-Habib Muhammad al-Maliki menjelaskan, bahwa menisbatkan suatu perbuatan atau kemampuan kepada yang bukan ahlinya adalah sah menurut al Quran dan Sunnah, dan inilah yang disebut majaz ‘aqli (kiasan logis). Sebagai contoh, Allah Swt. mencontohkan:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, maka (ayat-ayat itu) menambahkan iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (QS. Al-Anfaal: 2).
“Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir dari hari yang menjadikan anak-anak beruban” (QS. Al-Muzzammil: 17).

Pada ayat pertama di atas, Allah menyebutkan seolah “ayat-ayatNya” dapat melakukan atau memberkan tambahan keimanan, dan pada ayat kedua, Allah menyebutkan seolah “hari” lah yang merubah keadaan anak-anak menjadi beruban (tua). Tentu hal itu dengan mudah dapat dipahami sebagai kiasan, karena siapapun tahu bahwa pada hakikatnya yang menambah keimanan dan merubah keadaan anak-anak menjadi beruban adalah Allah. Demikian pulalah jika suatu kemampuan atau perbuatan yang hakekatnya cuma milik Allah ketika dinisbatkan kepada Rasulullah Saw., maka maksudnya adalah majaz aqli (kiasan logis) dengan makna bahwa beliau hanyalah “sebab” tercapainya perbuatan itu, sedang pelaku sesungguhnya adalah Allah. Lihatlah bagaimana Allah sendiri menyebutkan:
“… dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. Asy-Syuuraa: 52).

Adapun memuliakan Rasulullah Saw. dengan sebutan sayyid (tuan/penghulu/pemimpin), maka hal itu telah dibahas hukum kebolehannya dengan panjang lebar oleh para ulama, di antaranya adalah Imam Nawawi di dalam kitab al-Adzkaar. Ringkasnya, menyebut Rasulullah Saw. dengan Sayyidinaa Muhammad (tuan/penghulu/pemimpin kami Muhammad) hanyalah melaksanakan apa yang beliau nyatakan sendiri di dalam sabdanya:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ (رواه مسلم)

“Aku adalah penghulu/pemimpin anak Adam pada hari kiamat, dan orang pertama terbelah (terbuka) kuburnya, orang pertama yang memberi syafa’at, serta orang pertama yang diberi syafa’at” (HR. Muslim)
Sikap kaum Salafi & Wahabi yang di satu sisi terkesan seperti sangat antusias dalam mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. tetapi di sisi lain sangat “menghindarkan diri” dari memuliakan dan menyanjung pribadi beliau karena paranoid terhadap pengkultusan yang tidak jelas batasannya, adalah dua sisi yang boleh dikatakan bertolak belakang. Mengapa? Karena semangat atau antusiasme mengikuti seseorang biasanya muncul dari kekaguman, dan kekaguman itu berawal dari mengenal keistimewaan dan kemuliaan orang tersebut yang dapat diekspresikan dan disosialisasikan melalui sanjungan, pujian, atau pemuliaan dari orang yang mengenalnya.

Tanpa kekaguman itu mustahil rasanya seseorang tergerak untuk mengikuti atau bahkan untuk sekedar mempercayai. Bukankah banyak riwayat hadis menyebutkan para Shahabat yang mendapat hidayah dan memilih beriman serta mengikuti Rasulullah Saw. karena kekaguman mereka terhadap beliau dalam hal: Kejujurannya, akhlak dan budi pekertinya, kelembutan tutur katanya, kebijaksanaannya, dan kedahsyatan mukjizatnya? Bila semata-mata karena beliau diangkat menjadi seorang Nabi dan Rasul, tanpa tanda-tanda khusus atau keistimewaan yang mengagumkan pada diri pribadi beliau, besar kemungkinan bahkan para rahib (seperti Waraqah bin Naufal atau Buhaira) yang mengetahui berita kedatangan Nabi akhir zaman dari kitab-kitab mereka sekalipun, sulit untuk mempercayai beliau, apatah lagi mengikuti ajarannya.

Pertanyaannya, kenapa kaum Salafi & Wahabi ini bisa bersemangat dan sangat antusias untuk mengikuti sunnah Rasulullah Saw. padahal “bekal” kekaguman mereka terhadap beliau tidak lebih dari pengakuan bahwa beliau adalah manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat menjadi Nabi dan Rasul?
Bukankah kekaguman sebatas itu mestinya tidak menghasilkan efek yang lebih hebat dalam mengikuti sunnah Rasulullah Saw. daripada kekaguman yang diwarnai dengan pujian dan sanjungan terhadap kemuliaan dan keistimewaan pribadi beliau? Bagaimana mungkin orang-orang yang mengaku mencintai dan mengagumi Rasulullah Saw. dan rajin memuji atau menyanjung pribadi beliau terkesan kalah semangat dari kaum Salafi & Wahabi ini dalam membicarakan dan menjalani sunnah beliau? Anda ingin tahu jawabannya?

Jawabnya, bahwa para ulama melihat jelas adanya celah rahmat Allah yang ada pada sikap memuliakan pribadi Rasulullah Saw. selain dari kekaguman yang dapat memompa semangat mengikuti sunnah beliau. Sehingga diharapkan, meskipun jika ada umat Islam yang membaca syair pujian dan sanjungan terhadap beliau lalu belum muncul semangatnya untuk mengikuti sunnah beliau, diharapkan mereka mendapat rahmat dengan cara itu. Dengan rahmat itulah kemudian mereka akan dipermudah oleh Allah untuk mencapai kecintaan kepada Rasulullah Saw, lalu kekaguman terhadap beliau, lalu peneladanan terhadap sunnahnya. Berarti, setidaknya masih ada kebaikan yang dihasilkan dari sekedar memuji dan menyanjung Rasulullah Saw, bahkan dengan hanya menyebut nama beliau saja, seseorang bisa mendapatkan rahmat. Bagaimana tidak, sedangkan Sufyan bin ‘Uyainah berkata:

عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْـزِلُ الرَّحْمَةُ (حلية الأولياء ج. 7 ص. 285)

“Saat menyebut orang-orang shaleh, akan turun rahmat” (Lihat Hilyatul-Awliya’, al-Ashbahani, juz 7 hal. 285).

وَعَنْ أَبِيْ عُثْمَانَ أَنَّهُ قَالَ ِلأَبِيْ جَعْفَرِ بْنِ حَمْدَانَ أَلَسْتُمْ تَرْوُوْنَ أَنَّ عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ قَالَ بَلَى قَالَ فَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيِّدُ الصَّالِحِيْنَ (، سير أعلام النبلاء ج. 14 ص. 64)

Dan dari Abi Utsman bahwasanya ia berkata kepada Abu Ja’far bin Hamdan, “Bukankah kalian meriwayatkan bahwa ketika disebut orang-orang shaleh akan turun rahmat?” Abu Ja’far menjawab, “Benar”. Abu Utsman berkata, “Maka Rasulullah Saw. adalah pemimpin orang-orang shaleh” (Siyar A’laam an-Nubala’, adz-Dzahabi, juz 14, hal. 64)

Sedangkan mengenai kaum Salafi & Wahabi yang terkesan sangat antusias dan bersemangat mengikuti sunnah Rasulullah Saw, maka sebenarnya hal itu juga dilatar belakangi oleh kekaguman yang sangat besar. Tetapi kekaguman yang sangat besar itu bukanlah terhadap diri pribadi Rasulullah Saw, karena mereka menganggap beliau hanya sebatas manusia biasa yang diberi wahyu dan diangkat menjadi Nabi & Rasul. Semangat dan antusiasme itu lahir karena mereka sangat kagum kepada dua hal, yaitu:

1. Sangat kagum kepada para ulama Salafi & Wahabi yang berhasil meyakinkan dirinya bahwa merekalah yang paling murni mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau. Penampilan mereka yang hafal al Quran dan hadis sehingga terkesan selalu berbicara dengan dalil, menjadi poin penting dalam memunculkan kekaguman ini.

2. Sangat kagum kepada diri sendiri karena merasa beragama dan beribadah selalu berdasarkan sunnah Rasulullah dan sunnah para shahabat beliau. Akibatnya mereka sangat optimis bahwa ibadah yang mereka lakukan itu sangat berarti dan berharga nilainya.

Benarkah begitu? Mana buktinya? Buktinya, mereka selalu berbicara tentang ibadah yang harus dijalankan sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw, sehingga apa yang mereka anggap berbeda dari yang disebutkan sunnah tersebut dianggap sia-sia dan tidak mendapat pahala. Sedangkan para ulama pelaku Maulid seringkali berbicara tentang rahmat Allah yang hakikatnya lebih berharga dari pahala ibadah; mengarahkan umat untuk kagum kepada “rahmat bagi sekalian alam” ( yaitu Rasulullah Saw ) melalui syair-syair sanjungan dan pujian kepada beliau; serta perlahan-lahan mengarahkan mereka untuk mengikuti sunnahnya agar semakin besar harapan mereka untuk mendapatkan rahmat Allah.

Apa artinya amal ibadah seseorang di hari akhirat bila ia tidak diberi rahmat oleh Allah, sedangkan Allah memberi rahmat-Nya kepada siapa saja yang Ia kehendaki, apalagi kepada orang yang berharap rahmat kepada-Nya. Pantaskah mendapat rahmat suatu ibadah yang di dalamnya terselip kesombongan dan kebanggaan karena menganggapnya lebih utama dari ibadah orang lain? Manakah yang lebih utama, mengharap pahala atau rahmat? Rasulullah Saw telah bersabda:

لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيْرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ (روا مسلم)

“Tidaklah amal seseorang memasukkannya ke dalam surga, dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka, dan aku pun demikian, melainkan dengan sebab rahmat dari Allah” (HR. Muslim).

Jika telah nyata bahwa rahmat Allah lebih berharga dari pahala atau amal ibadah, maka membuka peluang besar bagi umat untuk mendapat rahmat Allah melalui puji-pujian dan sanjungan kepada Rasulullah Saw., atau melalui acara peringatan Maulid, tahlilan, dan lain sebagainya adalah amalan yang jelas lebih pantas dianggap kebaikan ketimbang memutus harapan mereka dari rahmat Allah dengan melarang atau menuding amalan tersebut sebagai kesia-siaan, bid’ah, dan kesesatan. Perhatikanlah riwayat dari Zaid bin Aslam Ra. berikut ini:

أن رجلا كان في الأمم الماضية يجتهد في العبادة ويشدد على نفسه ويقنط الناس من رحمة الله ثم مات فقال أي رب مالي عندك قال النار قال يا رب فأين عبادتي واجتهادي فقيل له كنت تقنط الناس من رحمتي في الدنيا وأنا أقنطك اليوم من رحمتي (أخرجه معمر بن راشد الأزدي في الجامع ج. 11 ص. 288 والبيهقي في شعب الإيمان ج. 2، ص. 21)

Sesungguhnya ada seorang lelaki pada masa umat-umat terdahulu yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Ia berkeras diri melakukannya, dan (di sisi lain) ia membuat orang lain berputus asa dari rahmat Allah ta’ala. Kemudian Ia meninggal dunia. Maka ia berkata (saat hari kiamat), “Ya Tuhanku, apa yang aku dapat (dari Engkau)?” Allah menjawab, “Neraka!” Orang itupun berkata, “Mana (pahala) ibadahku dan kesungguhanku?” Allah menjawab, “Sesungguhnya kamu dahulu di dunia telah membuat orang berputus asa dari rahmat-Ku, maka hari ini Aku buat kamu berputus asa dari mendapat rahmat-Ku!” (lihat al-Jami’, Ma’mar bin Rasyid al-Azdi w. 151, juz 11, hal. 288. Syu’abul-Iman, al-Bayhaqi w. 458 H.,juz 2, hal. 21).

Mungkin kaum Salafi & Wahabi tidak menyadari, entah ke arah mana maunya keyakinan yang mereka pegang itu. Bila kaum Yahudi & Nasrani memiliki alasan jelas dalam hal tidak menyukai keutamaan diri Rasulullah Saw sehingga mereka selalu berupaya menghina dan merendahkan martabat beliau, lalu mengapakah kaum Salafi & Wahabi jadi seperti “ikut-ikutan” dalam hal itu sehingga tega melarang umat Islam untuk mencintai, memuji, menyanjung, dan membanggakan Nabinya sendiri? Apakah mereka tidak menyadari bahwa fatwa mereka dalam hal ini seperti mendukung misi kaum Yahudi yang selalu berusaha “membunuh karakter” Rasulullah Saw dari hati para pengikutnya??!

4. DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN

Salafi Wahabi dan Dalil Larangan Acara Kematian Acara Tahlilan.

PENJELASAN DALIL LARANGAN ACARA KEMATIAN ACARA TAHLILAN

Di antara dalil khusus dari kaum Salafi & Wahabi yang paling sering dikemukakan adalah tentang larangan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan sebagaimana masih banyak diamalkan di masyarakat dalam bentuk acara peringatan kematian pada hari ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 14, 40, 100, setahun (Haul), dan seterusnya.

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه ابن ماجه)

Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) memandang berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan termasuk daripada meratap” (HR. Ibnu Majah).

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد)

Dari Jarir bin Abdullah al-Bajali Ra. ia berkata: ”Kami (para shahabat) menganggap berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan setelah penguburannya termasuk daripada meratap” (HR. Ahmad).

Meratap atau yang dalam bahasa arab disebut “niyahah” adalah perbuatan yang dilarang di dalam agama. Meskipun begitu, bukan berarti keluarga mayit sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat anggota keluarga mereka meninggal dunia, sedangkan Rasulullah Saw. saja bersedih dan menangis mengeluarkan air mata saat cucu beliau wafat seraya berkata, “Ini (kesedihan ini-red) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, dan Allah hanyalah merahmati hamba-hambanya yang mengasihani (ruhama’/punya sifat rahmat)” (HR. Bukhari). Rasulullah Saw juga menangis saat menjelang wafatnya putra beliau yang bernama Ibrahim, bahkan beliau juga menangis di makam salah seorang putri beliau dan di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih (lihat Mughni al-Muhtaaj, Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).

Maka meratap yang diharamkan dan disebut niyahah adalah menangisi mayit dengan suara keras, meraung, atau menggerung, apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti merobek kantong baju, memukul-mukul atau menampar pipi, menarik-narik rambut, atau menaburi kepala dengan tanah, dan lain sebagainya.

Riwayat atsar shahabat di atas menyebutkan dengan jelas bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit setelah penguburan di mana kemudian tuan rumah membuatkan makanan untuk para tamunya tersebut, pada masa shahabat Rasulullah Saw. dianggap sebagai pekerjaan meratap (niyahah). Kaum Salafi & Wahabi memahami persamaan ini juga sebagai persamaan hukum haramnya, sehingga dalih apapun tidak bisa dipertimbangkan sebagai faktor yang mungkin mengindikasikan hukumnya yang berbeda. Biasa, lagi-lagi akibat pemahaman harfiyah (tekstual) terhadap dalil tanpa kompromi, padahal pada riwayat itu Shahabat tidak menyebutkan hukum haramnya.

Dalam rangka mengharamkannya, terutama kaum Salafi & Wahabi Indonesia, juga memuat fatwa-fatwa para ulama belakangan (mutaakhir) yang mewakili empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali) yang terkesan semuanya sama sekali tidak mentorir kegiatan tersebut. Padahal sesungguhnya para ulama yang mereka kutip fatwa-fatwanya itu hanya meletakkan hukum makruh (dibenci/ tidak berdosa bila dikerjakan, berpahala bila ditinggalkan), itupun karena fokus pada ‘illat (benang merah/titik tekan) yang berhubungan dengan keadaan keluarga mayit. Sedangkan bila mereka mengharamkannya, tentu tidak semata-mata didasarkan pada persamaannya dengan meratap (niyahah) seperti disebut dalam riwayat di atas karena memang riwayat tersebut tidak menyebutkan hukum haram, kecuali bila didasarkan pada faktor-faktor khusus yang membuatnya menjadi terlarang sama sekali.

Mengapa demikian? Karena memang perbuatan meratap (niyahah) sama sekali berbeda bentuknya dari perbuatan berkumpul di rumah keluarga mayit lalu dihidangkan makanan. Benang merah yang ada pada dua hal tersebutlah yang kemudian dikaji lebih jauh oleh para ulama sehingga status hukum dapat ditetapkan. Bagaimana mungkin kita menyamakan hukum makan “oncom” sama dengan hukum makan bangkai hanya karena ada orang yang berkata, bahwa dikampungnya ampas makanan seperti oncom itu dianggap seperti bangkai? Tentu tidak mungkin mengharamkan oncom kalau bukan karena oncom tersebut entah mengandung racun, entah hasil curian, atau entah mengandung najis.

Tentang fatwa-fatwa ulama fiqih seperti yang tersebut di dalam kitab I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145-146, kaum Salafi & Wahabi Indonesia salah paham ketika melihat ungkapan Imam Syafi’I atau ulama lain saat mengatakan “akrahu” (saya membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci), “bid’ah munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah yang tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah” (bid’ah yang dianggap jelek), sepertinya semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum haram secara mutlak. Padahal di kitab tersebut berkali-kali dinyatakan hukum “makruh” untuk kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan, terlepas dari hukum-hukum perkara lain seperti hukum ta’ziyah sampai hari ketiga setelah kematian dan hukum mendo’akan atau bersedekah untuk mayit yang kesemuanya dinyatakan sebagai sunnah.

Bila ungkapan para Mufti empat mazhab (sebagaimana terdapat di dalam I’aanatugh-Thalibiin) yang dinukil oleh kaum Salafi & Wahabi Indonesia terkesan begitu membenci acara kematian seperti tahlilan, di mana berkumpul banyak orang di rumah keluarga mayit untuk berdo’a lalu dihidangkan makanan, bahkan terkesan mengharamkan, maka sesungguhnya bukan karena para Mufti itu benar-benar berpendapat demikian. Di sinilah terlihat ada tahrif (distorsi/penyelewengan) terhadap fatwa-fatwa para Mufti tersebut. Anda akan melihat bentuk penyelewengan tersebut ketika anda membandingkan antara penukilan mereka dengan pembahasan aslinya secara tuntas di dalam kitab I’anatuth-Thalibiin.


Contohnya seperti yang dimuat di dalam buku “Membongkar Kesesatan Tahlilan” (karya Basyaruddin bin Nurdin Shalih Syuhaimin, Mujtahid Press, Bandung, 2008) atau di dalam buku “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan, dan Ziarah Para Wali” (karya H. Mahrus Ali, Laa Tasyuk! Press, Surabaya, 2007) seperti berikut ini:
“Dan di antara bid’ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya” (lihat buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).
“Di antara bid’ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram” (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).

Lihatlah dua susunan terjemahan yang berbeda seperti di atas, padahal kalimat asli yang diterjemahkannya adalah satu, yaitu:

ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور أو من ميت عليه دين أو يترتب عليه ضرر أو نحو ذلك (إعانة الطالبين ج: 2 ص: 146)

Jika diterjemahkan, maka bunyinya:
“Dan di antara bid’ah munkarah dan makruh mengerjakannya adalah apa yang dilakukan orang daripada duka cita, kumpulan, dan 40 (harian), bahkan setiap hal itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang/haram, atau dari (harta) mayit yang punya hutang, atau (dari harta) yang dapat mengakibatkan bahaya atasnya, atau lain sebagainya.” (I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 146).

Lihatlah penyelewengan itu dengan jelas pada kalimat yang digaris bawahi, sangat nyata bahwa mereka menyembunyikan maksud asli dari ungkapan ulama yang terdapat di dalam kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat seenaknya demi tercapai tujuan ‘pengharaman’ agar terkesan bahwa pendapat atau vonis mereka didukung oleh para ulama. Itu belum seberapa, jika anda mau melihat kenekatan H. Mahrus Ali di dalam buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hal. 68-69, anda akan temukan vonis pribadi ditambahkan di dalam terjemah dalil yang tidak pernah ada di dalam kalimat aslinya, seperti berikut ini:
“… dan di dalam hal ini Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis yang shahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: ‘Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk menjamu para hadirin, adalah sama hukumnya seperti niyahah (meratapi mayat) yaitu haram.”

Subhaanallah! Kenekatan macam apa ini, berani menipu umat dengan memalsukan terjemah dalil (riwayat aslinya anda dapat lihat pada permulaan poin pembahasan ini). Belum lagi vonis-vonis “bodoh”, “kufur”, dan “syirik” yang menghiasi tuduhan-tuduhan H. Mahrus Ali dan orang-orang Salafi & Wahabi sejenisnya di dalam buku-buku tulisan mereka. Sungguh klaim kebenaran dan pengikutan sunnah Rasulullah Saw. yang mereka gembar-gemborkan sangat bertolak belakang dengan perilaku penipuan seperti ini.

Segala bentuk ungkapan kebencian para Mufti mazhab fiqih dan anjuran mereka untuk melakukan pemberantasan terhadap amalan berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan (meski sebenarnya mereka hanya menghukumi “makruh”) sebagaimana termaktub di dalam kitab I’aanatuth-Thalibiin juz 2 hal. 145-146, sebenarnya berangkat dari sumber masalah atau kasus yang ditanyakan kepada mereka saat itu, di mana kegiatan tersebut pada saat itu terkesan sangat tidak wajar dan memberatkan keluarga mayit yang sedang kedukaan. Anda akan mengerti kenapa fatwa mereka jadi demikian setelah melihat kasus yang ditanyakan seperti berikut ini:

وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام وجواب منهم لذلك وصورتهما ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للأنام مدى الأيام في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الأشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء وحضر معارفه وجيرانه العزاء جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام ويهيئون لهم أطعمة عديدة ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة فهل لو أراد رئيس الحكام بما له من الرفق بالرعية والشفقة على الأهالي بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما حيث قال اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور (إعانة الطالبين، ج. 2، ص. 145)

(Sayid Bakri Syatha’ ad-Dimyathi, penulis I’aanatuth-Thalibiin) berkata:
Dan aku telah memperhatikan pertanyaan yang diangkat kepada para mufti Makkah al-Musyarrafah tentang apa yang dilakukan oleh keluarga mayit daripada (membuat/menghidangkan) makanan dan jawaban mereka untuk itu. Gambaran keduanya (pertanyaan & jawaban), adalah “apa pendapat para mufti yang mulia di negeri Haram, semoga Allah mengabadikan manfaat mereka untuk manusia sepanjang hari-hari, tentang kebiasaan yang khusus bagi beberapa orang di suatu negeri, bahwa jika ada seseorang meninggal dunia, lalu hadir para penta’ziyah dari kenalan dan tetangganya, telah berlaku kebiasaan bahwa mereka (para penta’ziyah itu) menunggu makanan, dan karena dominasi rasa malu pada diri keluarga mayit, mereka membebani diri dengan pembebanan yang sempurna, mereka menyediakan untuk para penta’ziyah itu makanan yang banyak, dan menghadirkannya kepada mereka dengan penuh kasihan. Maka apakah jika pemimpin penegak hukum, karena kelembutannya kepada rakyat dan rasa kasihannya kepada para keluarga mayit dengan melarang problema ini secara keseluruhan agar rakyat kembali berpegang kepada Sunnah yang lurus yang bersumber dari manusia terbaik dan (kembali) kepada jalan beliau semoga shalawat dan salam atasnya saat ia berkata: ‘Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far’, apakah (pemimpin) itu diberi pahala atas pelarangan tersebut?” (lihat I’aanatuth-Thalibiin, juz 2, hal. 145).

Jika melihat kasus yang digarisbawahi seperti ungkapan di atas, maka siapapun orangnya, jika melihat kebiasaan para penta’ziyah itu dalam hal mana “mereka menunggu makanan” di rumah orang yang sedang mendapat musibah kematian, akal sehatnya pasti akan menganggap kebiasaan itu sebagai perkara yang sangat tidak wajar dan sangat pantas untuk diberantas. Terlebih lagi pendapat para Mufti sekelas Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan dan yang lainnya. Wajar saja bila para Mufti tersebut menyatakan bahwa perkara tersebut termasuk bid’ah munkarah dan penguasa yang memberantas kebiasaan itu mendapat pahala. Namun begitu, dengan keluasan ilmunya, mereka tidak berani menetapkan hukum “haram” kecuali bila ada dalil atau sebab-sebab yang jelas mengharamkannya.

Mungkin, para Mufti itu akan berkata lain jika membahasnya dari sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan di atas), di mana orang-orang datang berta’ziyah kepada keluarga mayit, bukan hanya menghibur atau menyabarkan mereka, tetapi juga memberi bantuan materil berupa uang atau sekedar makanan dan minuman untuk biaya pengurusan jenazah dan untuk menghormati para penta’ziyah yang datang.

Pada acara tahlilan kematian setelah penguburan si mayit, orang-orang tidak datang ke rumah keluarga mayit dengan kehendaknya sendiri, melainkan mereka diundang oleh tuan rumah yang otomatis jika keluarga mayit itu merasa berat, mereka tidak akan merasa perlu mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang pada acara tersebut. Siapakah yang semestinya lebih tahu tentang “keberatan” dan “beban” keluarga mayit sehingga menjadi alasan untuk meninggalkan atau melarang kegiatan tersebut, apakah para hadirin yang diundang ataukah keluarga mayit itu sendiri? Tentunya tidak ada yang lebih tahu kecuali keluarga si mayit itu sendiri. Tekad keluarga mayit mengadakan acara tahlilan dan mengundang orang untuk datang ke rumahnya adalah pertanda bahwa ia sama sekali menginginkannya dan tidak keberatan, sementara para hadirin yang diundang tidak ada sedikit pun hak untuk memaksa mereka melakukannya atau bahkan untuk sekedar tahu apakah mereka benar-benar terpaksa dan keberatan. Keluarga mayit hanya tahu bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudara mereka yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka diundang dan mereka mencoba memenuhi undangan itu.
Akan sangat menyakitkan hati keluarga si mayit, bila undangannya tidak dipenuhi, atau bila makanan yang ia hidangkan tidak dimakan bahkan tidak disentuh. Manakah yang lebih utama dalam hal ini, melakukan amalan yang dianggap “makruh” dengan menghibur dan membuat hati keluarga mayit senang, atau menghindari yang “makruh” tersebut dengan menyakiti perasaan keluarga mayit? Tentu, menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.

Di satu sisi, keluarga mayit melakukan amal shaleh dengan cara mengajak orang banyak untuk mendo’akan si mayit, bersedekah atas nama si mayit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman kepada mereka. Di sisi lain, para tamu yang hadir juga melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo’akan si mayit, berzikir bersama, dan menemani (menghibur) keluarga duka agar jangan merasa sibuk sendiri memikirkan si mayit atau merasa kehilangan karena kepergiannya. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan di dalam agama??!

Jika alasan “berkumpulnya orang akan menambah kesedihan” membuat acara itu menjadi terlarang, maka apakah orang yang sedang bersedih hati rela mengundang orang banyak untuk menambah kesedihannya? Bagaimana pula jika ternyata ada banyak keluarga di zaman ini yang justeru menganggap bahwa meninggalnya anggota keluarga mereka adalah sebuah “kebaikan” bagi mereka, karena penyakit parahnya yang menahun selama ini sudah begitu merepotkan mengurusnya, apalagi ditambah biaya pengobatannya yang sangat banyak?

Sungguh, hukum “makruh” yang diletakkan para ulama untuk adat atau kebiasaan tahlilan kematian itu sudah sangat bijaksana karena melihat adanya potensi “menambah kesedihan atau beban kerepotan” meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada. Namun begitu, bukan berarti melakukannya sama sekali sia-sia dan tidak berpahala, karena terbukti banyak hal-hal yang dilakukan di dalam acara tersebut yang ternyata jelas-jelas diperintahkan di dalam agama, seperti: Mendo’akan mayit, bersedekah (pahalanya) untuk mayit, menghormati tamu, memenuhi undangan, berzikir, dan menghibur keluarga mayit. Dan para ulama tidak pernah menganggap itu semua sia-sia atau tidak mendapat pahala.

Adanya kasus-kasus acara kematian yang sangat membebani dan menyusahkan seperti di kampung-kampung atau pelosok, yang dilakukan oleh orang-orang awam yang tidak mengerti tentang agama dalam hal tersebut, tidak bisa dijadikan patokan secara umum untuk menetapkan hukum haram atau terlarang. Sebab, mereka yang tidak tahu lebih pantas diajarkan atau diberitahu daripada dihukumi.

********

Dari uraian di atas, nyatalah bahwa kaum Salafi & Wahabi memang memiliki dalil-dalil khusus untuk memvonis bid’ah meskipun sangat sedikit jumlahnya, tetapi tidak dapat dianggap sah karena ternyata dalil-dalil tersebut entah memiliki kelemahan, entah disalahpahami, maupun dipahami secara harfiyah saja tanpa mengkonfirmasikan dengan dalil-dalil lain yang berlawanan.

Akibatnya, “larangan” yang ada pada dalil-dalil tersebut langsung saja diindikasikan maknanya dengan hukum haram atau terlarang. Padahal para ulama sudah membahas bahwa “larangan” tidak selalu berarti haram, kadang juga bisa makruh, bahkan kadang mubah karena kemutlakan larangannya dibatalkan oleh dalil lain. Contohnya, hadis Rasulullah Saw tentang larangan keras minum sambil berdiri, dibatalkan hukum larangan itu oleh perbuatan Rasulullah Saw sendiri saat beliau minum sambil berdiri.


Semoga bermanfaat dan berkah, amin …

Detik-detik Kematian Ali bin Abi Thalib


Ali bin Abi Thalib. Cukuplah kalau disebutkan bahwa dia adalah sepupu Nabi Suci Muhammad saw. Sejak kelahirannya di Ka’bah, dia dibesarkan dan dididik langsung oleh Nabi Suci. Ali adalah  lelaki pertama yang memeluk Islam. Ali adalah kembang, kebanggaan dan perisai Islam hingga akhir hayatnya.

Berikut adalah maqtam, narasi detik-detik kematian Ali yang cemerlang, yang kerap dibacakan di majelis menyambut malam ganjil Laylatul Qadar – 19 dan 21 Ramadhan:
Malam 19 Ramadhan

Narator:   BICARA TENTANG manusia, orang sudah seharusnya bicara tentang apa yang terjadi di akhir perjalanan manusia. Yaitu kematian. Dan soal kematian, fragmen Kesyahidan Amiril mu’minin Imam Ali merupakan  manifestasi keimanan, kecintaan, akhlak yang agung, kemuliaan, kerinduan membara pada Sang Khalik.

Kalangan sejarawan Islam mengatakan bahwa fragmen Kesyahidan Imam Ali menjadi indah dalam sejarah kemanusian karena dia telah mengetahui detail ceritanya dari jauh hari. Rasul sendiri yang mengabarkan bahwa Imam Ali bakal syahid karena sebuah pukulan pedang beracun di bulan Ramadhan. Tapi Imam Ali tak pernah sedikitpun menunjukkan tanda meminta penangguhan atau menunjukkan gelagat enggan menerima suratan tragis itu. Padahal, sekiranya mau, dia bisa mengubah cerita akhir hidupnya.

Toh orang tahu Ali pernah menahan terbenamnya matahari dengan sebaris doa. Orang pun tahu kalau Rasul Suci akan mengorbankan apa saja, termasuk nyawanya, sekiranya Imam Ali yang meminta. Antara Rasul dan Ali ada ikatan kuat yang tak terpisahkan, bahkan oleh kematian. Ali pernah berkata:

Imam Ali  “Nabi membesarkan aku dengan suapannya sendiri. Aku pun selalu menyertai beliau kemanapun beliau pergi, seperti anak unta yang mengikuti induknya. Tiap hari aku dapatkan suatu hal baru dari akhlak beliau yag mulia, aku menerimanya serta langsung mengikutinya sebagai kewajiban yang diperintahkan.”

Narator:   Rasul sendiri pernah bersabda: “Ali tak pernah ragu dalam melaksanakan perintahku dan  selalu menantiku dalam segala sesuatu.”

Kata Rasul lagi: “Jika kalian ingin melihat keluasan ilmu Adam, kesalehan Nuh, kesetiaan Ibrahim, keterpesonaan Musa (saat menyaksikan Allah), pelayanan dan wara’ Isa, maka lihatlah pada wajah Ali.”
Ya, Ali yang disayang Rasul itu berhadapan dengan bayang-bayang kematian saat usianya masuk 63 tahun. Tapi Ali bukan sembarang lelaki. Dia menyambut kematiannya seperti pengantin yang menanti hari pernikahan. Inilah kisah kerinduan, kesyahduan, penantian kekasih demi menjumpai Sang Tambatan Hati, Allah swt.

PADA bulan Ramadhan tahun 40 Hijriah itu, setiap hari Imam Ali mendatangi anaknya untuk berbuka dan sahur bersama. Terkadang beliau mampir di rumah Imam Hasan, kemudian besoknya mendatangi Imam Husein, di hari ketiga mendatangi putrinya Zainab, dan di hari keempat berbuka dan bersahur di rumah putrinya Ummu Kalsum.

Hari itu adalah Jumat yang cerah, tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H. Di rumah Ummu Kaltsum di Kufah, di wilayah yang sekarang disebut sebagai Irak, Ali seperti merangkum sejarah dan perjuangan pahit getir para Nabi sejak Adam hingga Ibrahim di tanah Babilonia.

Pada malam 19 itu, Ummu Kalsum mendapat giliran berbuka bersama ayah tercintanya. Dia menyuguhkan menu berbuka dalam dua nampan, satu berisi roti kering dan lainnya berisi susu masam. Imam Ali menegurnya: “Bukankah kau sudah tahu bahwa aku selalu mengikuti putra pamanku Rasulullah yang tidak pernah makan sajian dalam dua nampan sepanjang hidupnya? Maka mohon angkatlah salah satunya. Barangsiapa yang makan dan minumnya enak di dunia ini maka perhitungannya akan lama kelak di hadapan Allah… .”

Ummu Kulsum menuturkan bahwa malam itu Imam Ali makan sangat sedikit dari roti kering yang kusuguhkan dan memperbanyak ucapan hamdalah dalam tiap suapnya. Selesai makan sedikit, Imam segera bangkit untuk melaksanakan shalat yang lama. Imam terus dalam keadaan rukuk, sujud, bermunajat, berdoa yang khusyu, dan sering-sering keluar rumah untuk melihat langit. Sekali di antaranya dia berujar: “Ya, ya…inilah malam yang dijanjikan kekasihku Rasulullah.”

Di malam itu, Ali sempat tertidur sejenak dan terbangun cepat.
Ummu Kaltsum, putri bungsu Fathimah Azzahra ‘alayhas-salam itu, lantas menuturkan apa yang terjadi di detik-detik yg paling mempesona dari kehidupan ksatria langit, kekasih Allah dan Rasulullah ini sebagai berikut:

Ummu Kaltsum “Aku melihat ayahku shalat hingga tengah malam. Di serangkaian shalatnya, beliau sebentar-sebentar keluar rumah, menengok sejenak ke langit dan kembali lagi untuk shalat. Tangisannya lebih panjang dari biasanya. Rukuknya lebih lama, sujudnya lebih lama. Lantunan munajatnya pun lebih syahdu dari hari-hari biasanya.”

Narator : Imam Ali tenggelam dalam ibadah hingga menjelang subuh. Di sela-selanya, dia beberapa kali seperti berbicara pada dirinya sendiri:
“Sepertinya inilah malam yang dijanjikan kekasihku, Rasulullah.”
“Ya Allah, Engkau tak pernah berbohong dan aku pun tidak akan mengkhianati-Mu. Inilah malam kematian yang Kau janjikan padaku.”
“Lailaha Illallah. Hukum sebab akibat senantiasa terjadi. Sebentar lagi ketetapan Allah akan diputuskan.”

Narator: Ummu Kaltsum hanya bisa berurai air mata. Kakeknya Rasulullah saw. Pernah mengatakan bahwa Ali akan Syahid dibunuh “saudara pembunuh onta suci Nabi Shaleh” pada Jumat terakhir bulan Ramadhan. Imam Ali dan semua keluarga dekat Nabi tahu persis siapa orangnya: Abdurrahman Ibnu Muljam.
Nama Ibnu Muljam sebenarnya sudah lama dikenal oleh keluarga Nabi.
Suatu kali Kumayl bin Ziyad, sahabat dekat dan penyimpan rahasia Imam Ali, pernah menemani beliau menelusuri lorong-lorong Kufah di malam hari. Di tengah2 perjalanan, terdengar suara ayat Alquran dari masjid.

Kumayl berkata, “Ya Amirul Mu’minin, alangkah merdunya suara itu.”
Imam Ali menimpali, “Ya Kumayl, itulah suara orang (Abdurrahman bin Muljam) yang akan menebas pedangnya ke kepalaku di saat aku sedang shalat subuh.”.

Narator: Ali sadar tak ada hukum yang bisa dilakukan untuk kejahatan yang belum dikerjakan. Dia juga tahu kematian adalah sesuatu yang menyeramkan tapi perhatian pada Tuhan akan melenyapkan semua ketakutan apapun di alam ini.

Malam itu, dalam perjalanan menuju Masjid Kufah, Imam Ali beberapa kali menengok ke langit.
Di mesjid Kufah, dia mendapati Ibnu Muljam tidur telungkup. Dia pun menasehatinya: “Innas sholata tanha ‘anil fahsyai wal munkar. Sesungguhnya shalat mencegah perbuatan fasik dan munkar.
Yang disapa dan dinasehati membantu, tak kunjung beranjak.

Lalu Imam Ali berkata lirih: “Kau sepertinya bertekad mengerjakan sesuatu yg sangat berbahaya, sangat mengerikan. Kalau aku mau, akan kuceritakan padamu apa yang ada di balik bajumu itu.”

Narator : Imam Ali tahu di balik baju Ibnu Muljam, semoga Allah swt mengutuknya, tersimpan pedang beracun. Tapi dia tak mempedulikannya untuk sebuah alasan yang belum pernah didengar dunia.
Setelah azan subuh tanggal 19 Ramadhan berkumandang, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kembali keluar masjid, dan menengok ke fajar yang menyingsing. Kemudian dengan suara parau, beliau mengucapkan selamat berpisah kepada fajar:

Imam Ali ”Wahai Fajar.. sepanjang Hayat Ali.. Pernahkah engkau muncul dan mendapatkannya tertidur ??

Narator : Di mihrab, Ali memulai shalatnya seorang diri. Dia seperti sengaja memperpanjang rukuk dan sujudnya. Ibnu Muljam, seperti orang-orang di zaman itu, tahu persis betapa Ali tak pernah mempedulikan apapun saat shalat. Dia kemudian datang mendekat. Dan dari depan, dia mulai mengayunkan pukulan ke kepala Ali, tepat saat Ali ingin bangun dari sujud partamanya.
Darah lalu mengucur deras. Dahi Ali koyak. Janggutnya meneteskan darah. Tapi tak ada erangan dari mulut Ali. Justru pujian pada Tuhan.

Imam Ali ;“Bismillah, wa billah wa ‘ala millati Rasulillah…
Dengan suara melengking, Imam Ali kemudian berteriak: “Fuztu wa Rabbil Ka’bah…Demi Tuhan Ka’bah, sungguh aku telah berjaya.”

Seiring dengan suara Imam Ali, seluruh penduduk Kufah mendengar gelegar suara keras Jibril yang mengabarkan berita duka itu, hingga semua warga berhamburan keluar rumah untuk menuju masjid jami Kufah.

Ummu Kalsum yang mendengar suara itu dari rumah sontak menjerit lirih: “Waaah Abataaah, Waaah Aliyaah” (Oooh Ayahku, Ooooh Aliku).
Yang pertama datang menyaksikan Imam Ali bercucuran darah adalah putra sulungnya, Hasan.
Imam Hasan menuturkan bahwa Imam Ali terus berusaha melengkapi rangkaian shalatnya sambil duduk. Badannya menggigil. Setelah salam, dia mengusapkan tanah sujud ke dahinya yang merekah sembari mengucapkan firman Allah dalam surat Thaha ayat 55:

Imam Ali “Dari tanah, kalian Kami ciptakan, dari tanah pula kalian Kami kembalikan dan bangkitkan.”

Narator: Semua kejadian disaksikan oleh seluruh putranya, terutama Hasan yang tak kuasa menahan airmata. Imam Ali meminta Hasan untuk mengimami jamaah shalat. Beliau mengikuti dari belakang dengan gerakan isyarat sambil terus membersihkan cucuran darah dari kening sucinya.
Seusia shalat, Hasan langsung kembali menengok ayahnya, didampingi Husein dan seluruh putra Ali yang lain.

Hasan: Duhai Ayahku, tak kuasa aku melihatmu begini…sungguh ini sangat menghancurkan hatiku. Berat sekali bagiku melihatmu seperti ini.

Imam Ali membuka matanya lalu berkata: Anakku Hasan…jangan bersedih. Sebentar lagi aku tidak akan merasakan kegetiran apapun. Lihatlah itu, Kakekmu Muhammad Al-Musthafa, Nenekmu Khadijah Al-Kubra, Ibumu Fathimah Azzahra, dan para bidadari berjejer-jejer menyambut kedatangan ayahmu. Tegarlah dan riangkan hatimu.

Hasan kemudian meletakkan kepala ayahnya di pangkuannya untuk membersihkan darah yang tak berhenti mengucur. Tak lama berselang, Imam Ali pingsan dalam pelukan Hasan. Jerit tangis membahana ke seluruh arah. Hasan pun langsung menciumi wajah ayahnya demikian pula putra-putra Imam yang lain.
Derasnya airmata Hasan menyadarkan Imam Ali. Imam pun langsung bertanya: “Anakku Hasan, untuk apa tangisan ini? Jangan bersedih atas keadaan ayahmu. Apakah kau bersedih atas keadaanku padahal esok kau akan dibunuh dengan cara diracun dan adikmu Husein akan dibunuh dengan tebasan pedang. Lantas kalian semua akan menyusulku bersama kakek dan ibu kalian.”

Setelah kekacauan terjadi, salah seorang di antara khalayak belakangan masuk membawa Ibnu Muljam. Orang curiga dia lari menjauh dari mesjid dengan pedang berlumur darah sementara seluruh penduduk justru menuju masjid.

Kematian telah mendekati Ali. Rekahan di dahinya begitu dalam. Tapi musibah itu tak merusak karakter keadilan yang larut dalam darah dan dagingnya. Dia melarang orang membalas pada Ibnu Muljam.

Imam Ali “Aku tahu engkau akan membunuhku…Pasti…Tapi sesungguhnya aku masih berharap pada Allah adanya perubahan pada diri dan nasibmu.”

Narator ; Ibnu Muljam tak kuasa mendengar kalimat setinggi itu. Dia menangis.

Ibnu Muljam  “Ya Amirul Mukminin, afa anta tunqidzhu man finnaar (apakah engkau bisa menolong orang yang sudah masuk neraka)?”

Narator:  Ali menjawab dengan memerintahkan anak-anaknya mencari susu. Dia kehausan dan meminta mereka mempersilahkan Ibnu Muljam meminumnya lebih dahulu……………….sedangkan Imam meminum   sisanya………. Inilah minuman susu terakhirnya.

Imam Ali :”Wahai, putra-putra ‘Abdul Muthalib, sesungguhnya aku tidak ingin melihat kalian menumpahkan darah kaum Muslimin sambil berteriak “Amirul Mukmini telah dibunuh!” Ingatlah, jangan membunuh dengan alasan kematianku, kecuali atas pembunuhku. Tunggulah hingga aku mati oleh pukulannya ini. Kemudian pukullah dia dengan satu pukulan dan jangan rusakkan anggota-anggota badannya, karena aku telah mendengar Rasulullah saw berkata, “Jauhkan memotong-motong anggota badan sekalipun terhadap anjing gila.

Narator: Imam Ali lahir di Ka’bah yang suci dan pada bulan yang suci, di mihrab yang suci dan dalam keadaan bersuci pula dia menyambut kematian. Kufah berduka. Rumah-rumah keluarga Nabi gelap selama beberapa malam. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Malam 21
Pada malam 21 itu keluarga Nabi mengenakan busana hitam, karam dalam duka yang mendalam. Para malaikat dan segenap kekasih Allah meleleh dalam pilu yang menyayat. Malam itu begitu panjang dan melelahkan. Waktu seolah membeku dalam kebisuan, menolak untuk menerima takdir perpisahan. Pedang kesesatan dan kebodohan menyempurnakan kegelapan malam itu dengan sebilah kenistaan yang bercampur kebencian.

Sementara di sudut lain dari bumi, gerombolan orang pandir, pengkhianat kemanusiaan, penyulut api neraka yang paling mengerikan, pembenci keluarga Nabi sedang berpesta pora.
Saat racun kian merasuki sekujur tubuh suci Imam Ali, kerinduannya pada Allah dan Rasul kian berkobar-kobar. Dia terlihat begitu pasrah, teduh, berparas pucat pasi, menerima nasib dalam kegairahan yang seutuhnya. Imam Ali menyambut perpisahan dengan dunia dalam rindu bercampur sedih, pilu bercampur riang, perasaan yang mengayun di antara perpisahan yang menyesakkan dan perjumpaan yang melegakan setelah perjalanan berliku yang menahun.

Manusia dan jin, binatang-binatang, burung-brung di angkasa, ikut merasakan kesedihan berpisah dengan Imam Ali yang senantiasa menjadi sumber kasih bagi mereka. Jibril berteriak keras memecah keheningan malam itu: “Ooooh, sungguh salah satu tiang petunjuk Allah telah roboh… satu lagi seorang pemberi peringatan yang suci pergi dari dunia yang fana ini!

Diriwayatkan bahwa suatu kali ketika Rasulullah sedang berbicara tentang bulan Sya’ban yang dilanjutkan dengan penjelasan tentang keunggulan bulan Ramadhan dan ketinggian nilai ibadah di dalamnya, kemudian Imam Ali berdiri di hadapannya dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah amalan paling baik di bulan Ramadhan?” Rasul menjawab, “Wahai Abul Hasan, sebaik-baik amal di bulan ini ialah berpantang dari hal-hal yang diharamkan Allah.”

Tiba-tiba Rasul menangis…
Amirul Mukminin bertanya lagi, “Apakah yang membuatmu menangis, Ya Rasulullah?”
Baginda Nabi menjawab, “Aku menangis karena apa yang akan menimpamu di bulan itu. Sekarang aku seakan-akan menyaksikanmu menunaikan shalat untuk Tuhanmu manakala orang paling sial dari masa lalu dan masa kini, adik dari pembunuh onta Nabi Saleh, memedang dahimu hingga janggutmu memerah berlumuran darah.”
Lalu Amirul Mukminin bertanya, “Ya Rasulullah, apakah saat itu aku dalam keadaan selamat dalam urusan agamaku?”
Rasulullah menjawab, “Tentu saat itu engkau berhasil dalam urusan agamamu.” Lantas Rasulullah melanjutkan, “Hai Ali, barangsiapa yang membunuhmu berarti dia telah membunuhku; dan barangsiapa yang membencimu berarti dia telah membenciku; dan barangsiapa yang mencacimu berarti dia telah mencaciku, karena engkau adalah bagian dari diriku, ruhmu dari ruhku dan tanah penciptaanmu dari tanah penciptaanku … Hai Ali, engkau adalah washiku, ayah dari keturunanku, suami dari putriku dan khalifahku … Demi Dzat yang mengutusku sebagai Nabi dan menjadikanku sebaik-baiknya makhluk, engkau adalah hujjah Allah bagi segenap makhlukNya ….”

Di hari-hari menjelang wafatnya, Imam Ali sering memberi kabar kematiannya kepada khalayak dengan bahasa isyarat yang mudah dimengerti. Dia juga sempat berdoa meminta kepada Allah dengan membuka tudung kepalanya sambil berujar, “Ya Allah, aku telah jenuh dengan mereka dan mereka pun sudah jenuh padaku, aku telah bosan dengan mereka dan merekapun sudah bosan denganku … tidakkah sebaiknya ada perpisahan?

Dikabarkan pula bahwa pada bulan Ramadhan itu, Imam Ali melihat tanda paling jelas dari dekatnya jemputan ajal ketika bermimpi melihat Rasulullah sedang membersihkan tanah dari wajah Imam Ali dan bertutur, “Hai Ali, tiada lagi bebanmu. Kau telah menunaikan semua kewajiban.”.

Muhammad ibn Abu Bakr: Aku menginap di rumah ayahku pada malam 21. Racun telah menjalar sampai ke ujung-ujung kakinya. Wajahnya semakin pucat. Pandangan matanya nyaris tertutup. Kami kemudian membaringkannya di ranjang. Beliau terus mengulang-ulangi wasiat-wasiatnya kepada kami dan bertakziah atas kepergiannya sendiri. Beliau pun terus menerus shalat dalam keadaan duduk.

Tidak lama kemudian Ummu Kulsum dan Zainab datang dalam keadaan menangis. Sambil bercucuran airmata Zainab berujar: “Ayah, duka kami terhadapmu pastilah panjang dan airmata kami tidak bakal berhenti.”.

Mendengar suara Zainab, seluruh keluarga besar Imam Ali menangis. Suara keras ini kemudian membangunkan Imam. Setelah mengedarkan pandangan ke segenap arah, Imam menatap Zainab dan tak kuasa menahan airmata.

Para tabib yang berusaha menyebuhkannya sudah menyerah dan mengusulkan Imam meminum susu sebanyak mungkin. Air susu adalah makanan sekaligus minuman Imam Ali hingga syahadah beliau.
Imam kemudian memanggil Hasan dan Husein, mendekap dan menciumi keduanya cukup lama. Setelah itu Imam Ali kembali pingsan. Hasan membantu Imam Ali meminum susu. Imam hanya minum seteguk saja lalu membisiki Hasan untuk memintanya mengantarkan susu yang sama kepada Ibn Muljam – semoga Allah mengutuknya.

Imam Ali berbisik: Hai anakku Hasan, perlakukan tawananmu dengan sebaik-baiknya, karena kami adalah Ahlul Bait kenabian yang tiada dapat dibandingkan dengan siapa pun dalam kemuliaan dan keutamaan. Siapa saja yang mengenal kami pasti akan merasakan kebaikan, kedermawanan, kesantunan dan kemuliaan kami Ahlul Bait.

Setelah fajar menyingsing, masyarakat berkumpul di depan rumah beliau dan meminta izin untuk menjengkuk. Beliau mempersilahkan mereka masuk.

Imam Ali: “Hai manusia sekalian, tanyalah padaku sebelum kalian kehilangan aku. Namun buatlah pertanyaan kalian sesingkat mungkin. Ingatlah musibah yang menimpa imam kalian.”
Mendengar suara lirih Imam Ali, pecahlah tangisan di tengah masyarakat yang berkunjung. Mereka pun enggan untuk bertanya demi meringankan beban beliau.

Hijr bin Uday Ath-Thai yang hadir di sana pun lantas berdiri dan bersyair: “Duhai sedihnya diriku atas apa yang menimpa Tuan orang-orang yang bertakwa, ayah dari pemimpin-pemimpin suci, Haidar yang suci. Terkutuklah siapa saja yang menentang kalian. Kalian adalah bekalku di hari akhirat kelak. Kalianlah peninggalan Rasul yang mulia.

Selepas mendengar syair Hijr, Imam Ali bertutur, “Bagaimana sekiranya kau diminta melepaskan baiat dariku? Apa yang akan kau katakan?”
Hijr menjawab, “Wallahi Hai Amirul Mukminin, jikalau aku dicincang-cincang dan dibakar di api unggun, aku tidak akan melepaskan baiatku padamu.”
Imam Ali menjawab, “Semoga Allah memberimu taufik, Hai Hijr. Semoga Allah mengganjar kesetiaanmu pada Ahlul Bait.”.

Kemudian Imam Ali meminta susu. Saat diberikan segelas susu padanya, Imam Ali meminum seluruhnya dan tidak menyisakan untuk Ibnu Muljam. Beliau berujar: “Sesungguhnya perintah Allah adalah takdir yang tidak bisa ditolak. Ketahuilah bahwa aku tidak menyisakan susu tadi untuk tawanan kalian karena itulah rizkiku yang terakhir dari dunia ini. Ingatlah, anakku, berilah tawanan itu sebanyak susu yang aku minum tadi.”
Imam Hasan kemudian keluar dari rumah dan mengabarkan keadaan Amirul Mukminin kepada masyarakat yang kian banyak berkumpul di depan rumah.

Ashbagh, pelayan Imam, meminta izin kepada Hasan untuk menjenguk Imam Ali. Setelah masuk dan melihat keadaan Imam, Ashbagh tak kuasa menahan diri dan meledak dalam tangisan.
Ashbagh: “Aku melihat Imam terbaring menggigil di ranjang dengan dahi merekah mengucurkan darah. Beliau melilitkan sorban warna kuning ke atas kepalanya. Aku tak lagi bisa membedakan mana yang lebih kuning, wajahnya atau kain sorbannya. Aku langsung memeluki dan menciuminya selama mungkin. Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukannya.”

Imam Ali berkata: “Jangan menangis, hai Ashbagh. Sungguh demi Allah, surga telah di depan mataku!”
Ashbagh: Aku sadar betul engkau menuju ke surga. Aku menangis karena berpisah denganmu, Hai Amirul Mukminin.

Kemudian Imam Ali memanggil kembali kedua putranya, Hasan dan Husein dan mendekap keduanya. Setelah itu Imam Ali mengedarkan pandangannya ke seluruh putra putrinya yang lemas dan terengah-engah akibat banyak menangis dan bersedih. Butir-butir airmata pun mengaliri jenggotnya bercambur darah.
Imam Ali menengok kepada Hasan dan Husein sembari berkata, “Duhai Hasan, kau akan terbunuh dalam keadaan mazlum dan diracun. Adapun kau, Duhai Husein… kau akan menjadi syahid umat ini. Kau akan disembelih seperti binatang, lalu jasadmu akan diikat dan digeret-geret dengan kuda. Kepalamu akan diusung untuk dibawa ke raja Bani Umayyah. Putri-putri keturunan Rasulullah akan ditawan, digelandang dan dipertontonkan. Sungguh kelak aku akan mengambil sikap khusus terhadp mereka di hari kiamat.
Dahi Imam yang merekah kini telah menampakkan daging putih di bagian otak beliau. Urwah Saluli, tabib yang kala itu masih berusaha memperban, tak kuasa lagi dan menjerit menangis. Dia hanya bisa pasrah dan berpamitan kepada Imam. Dengan senyum Imam mempersilahkannya keluar.

Zainab maju ke depan dengan tubuh lunglai dan bertanya kepada kakaknya, Imam Hasan: “Bagaimana ini, Kak? Apa kata tabib tentang luka ayahanda dan tambatan hatiku??? Aku belum siap ditinggalnya, Kak.”
Hasan berusaha menenangkan Zainab yang sangat peka malam itu dengan memeluknya erat-erat.
Muhammad ibn Abu Bakr Alhanafiyah melanjutkan. Setelah malam mulai gelap, Imam Ali meminta seluruh anak dan kerabat Ahlul Bait untuk berkumpul di sekitarnya. Beliau berkata: “Allah adalah Penjaga kalian setelah kepergianku. Dia adalah Gantungan dan Sandaranku.”

Sekujur tubuh Imam Ali sudah membiru kemerahan. Beliau sudah tidak mau lagi makan dan minum apapun. Bibirnya terus berzikir, bertasbih, bertahmid, bertahlil sebagai tanda bahwa dia masih di bumi.
Imam Ali lalu memanggil putra-putrinya satu per satu dengan nama mereka masing-masing dan berpamitan.
Hasan bertanya kepada Imam: “Apa yang membuat Ayah berbuat seperti ini?”

Imam menjawab: “Putraku, aku telah bermimpi bertemu Rasulullah satu malam sebelum kejadian ini. Aku telah mengeluhkan seluruh derita yang harus kutangguh akibat perilaku umat ini kepadaku. Rasulullah memintaku berdoa, kemudian aku berdoa: Ya Allah, berikan pada mereka sebagai ganti dariku pemimpin yang lebih buruk dan gantikan bagiku umat yang lebih baik dari mereka. Rasulullah menjawab, “Allah telah mengijabah doamu. Allah akan memindahkanmu ke tempat kami setelah tiga malam.” Dan malam ini adalah malam ketiga setelah mimpi tersebut.

Imam melanjutkan: “Aku wasiatkan kepada kalian berdua untuk terus berbuat kebajikan. Kalian adalah dariku dan aku dari kalian.”
Lalu Imam Ali menengok kepada anak-anaknya yang dari ibu selain Sayyidah Fathimah dan berwasiat kepada mereka untuk senantiasa patuh kepada dua putra Fathimah, yakni Hasan dan Husein.
Imam berkata: “AhsanaLLAHU lakumul ‘aza. Aku akan meninggalkan kalian malam ini untuk berjumpa dengan kekasihku, Muhammad saw, sebagaimana yang telah beliau janjikan padaku. Jika aku telah wafat, mandikan, balsemi lalu balutlah aku dengan kain kafan sisa dari Kakek kalian Rasulullah yang dibawa oleh Jibril. Kemudian baringkanlah aku di ranjang dan semayamkanlah aku di dalam kuburan yang telah tergali di samping ranjangku…

Wahai Abu Muhammad, shalatilah aku dan bertakbirlah tujuh kali. Tidak boleh selainku dishalati dengan takbir tujuh kali kecuali seorang pemimpin yang akan muncul di akhir zaman yang bernama Al-Qaim Al-Mahdi dari keturunan adikmu Husein.

Aku wasiatkan kepadamu hai Hasan apa yang Rasulullah perintahkan kepadaku untuk menyerahkan seluruh catatanku dan pedangku kepadamu, kemudian beliau mewasiatkan kau untuk menyerahkannya setelah ajal menjemputmu kepada adikmu Husein. Lalu Imam Ali memandang Husein dan memerintahkannya untuk menyerahkannya kepada putranya, Ali bin Husein. Kemudian Imam Ali memandang Ali bin Husein dan memerintahkannya untuk menyerahkannya kepada anaknya, Muhammad bin Ali dan sampaikan salam Rasulullah dan aku kepadanya.

Kemudian Imam Ali memandang kembali kepada Hasan dan berkata, “Hasan anakku, kaulah ahli warisku dan wali setelahku. Kalau kau mau, kau dapat memaafkan orang yang membunuhku. Kalau tidak, maka pukullah dia sekali saja sebagaimana dia memukulku.”.
Lalu Imam Ali meminta Hasan menuliskan wasiat yang panjang berisi tentang keimanan, ketakwaan dan perilaku yang bajik di jalan Allah.

Stelah itu Imam Ali memanggil Zainab dan berkata: “Hai Zainab, aku mendengar Rasulullah bersabda bahwa seorang Mukmin yang tiba ajalnya akan berkeringat dahinya dengan butir-butir putih yang menyala bagaikan mutiara.”.
Mendengar ucapan itu dan menyaksikan butir-butir mutiara yang bergemerlam di dahi ayahnya, Zainab terdiam tenang dan tidak lagi menangis. Zainab melangkah ke depan dan menjatuhkan tubuhnya ke pelukan ayahnya sembari berkata, “Ayah, Ummu Ayman pernah menceritakan padaku tragedi Karbala. Dan aku ingin mendengarnya langsung darimu.”.

Imam menjawab, “Anakku, ceritanya sebagaimana yang sudah disampaikan oleh Ummu Ayman. Seakan-akan aku bersamamu dan wanita-wanita Ahlul Bait yang menderita kehausan, menjadi tawanan-tawanan yang dipermalukan. Kalian akan merasakan kekhawatiran diperolok-olok oleh masyarakat. Maka bersabarlah, bersabarlah…”

Lalu Imam Ali menatap kedua putranya, Hasan dan Husein dan bertutur: “Seolah2 aku melihat kalian setelah ini akan dikepung dari fitnah yang datang dari sana dan sini. Maka bersabarlah, tabahkanlah diri hingga Allah memutuskan urusan.”

Imam melihat sekelilingnya dan bertutur: Aku kini melihat Kakek kalian Rasulullah bersama Nenek dan Ibu kalian memanggil-manggil dan memintaku bergegas datang kepada mereka.”
Imam kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh Ahlul Bait dan menatap satu persatu dan berkata: “Astaudi’ukumullah jami’an. Aku memohon pamit kepada kalian semua. Semoga Allah menjaga kalian semua.”

Beliau lalu memejamkan matanya perlahan-lahan, memanjangkan kedua tangannya, dan meluruskan kedua kakinya. Dan dengan suara syahdu mengucapkan Asyhaduallah ila illALLAH wahdahu la syarikalah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasuluh.

Demikianlah. Nafasnya terhenti dan ruhnya melesat menembus angkasa menuju tingkat wujud tertinggi, kehadirat Dzat Kudus Ilahi, bersatu dengan Kekasih Mutlak yang Maha Sempurna dalam keadaan syahid, suci, bersih, penuh cahaya.

Innalillahi wa inna ilayhi raji’un… .

Terkait Berita: