Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Kubur. Show all posts
Showing posts with label Kubur. Show all posts

Malaikat Maut Akan Mengambil Nyawa Setiap Makhluk Hidup


Apakah malaikat maut akan mengambil nyawa setiap makhluk hidup?
 
Jawaban Global:
Dari bentuk mutlak riwayat dapat disimpulkan bahwa malaikat maut (Izrail) adalah media Allah Swt dalam mencabut jiwa dan mengambil nyawa seluruh makhluk hidup.
Namun yang penting kita ketahui adalah bahwa sejatinya yang mengambil jiwa seluruh makhluk hidup adalah Allah Swt. Sunnatullah yang mengharuskan perbuatan mencabut nyawa harus didelegasikan melalui media, entai media itu adalah malaikat maut atau dengan perantara media lainnya.
 
Jawaban Detil:
Dalam al-Quran disebutkan bahwa Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu ia tidur.” (Qs. Al-Zumar [39]:42).

Allah Swt dalam ayat ini, pencabutan nyawa diperkenalkan sebagai perbuatan-Nya dan apabila musnad ilaihi (yang disandarkan kepadanya) Allah lebih dahulu disebutkan atas musnad yatawaffa (pada ayat di atas) maka hal itu dimaksudkan sebagai hashr (pembatasan), artinya pencabutan ruh itu hanya merupakan perbuatan Tuhan bukan yang lain.[1]

Bagaimanapun terdapat ayat lain yang dapat disimpulkan bahwa Allah Swt mengatur alam semesta ini dengan perantara sekelompok malaikat sebagiamana pada ayat 5 surah Naziat, Allah Swt menyatakan, “Dan demi para malaikat yang mengatur urusan (dunia).”

Sunnah Ilahi mengharuskan urusan-urusan dan perbuatan-perbuatan di alam semesta ini dilakukan melalui kanal sebab-sebab. Karena itu, sekelompok malaikat yang bertugas untuk  mencabut nyawa dan yang paling top[2] di antara mereka adalah malaikat maut.[3]

Al-Quran dalam hal ini berkata, “Katakanlah, Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan dikembalikan.’” (Qs. Al-Sajdah [32]:11) dan “Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, malaikat-malaikat Kami mewafatkannya, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. (Qs. Al-An’am [6]:61).

Apabila dua ayat ini kita letakkan di samping ayat pertama maka dapat disimpulkan bahwa pengambilan nyawa pada prinsipnya dilakukan oleh Allah Swt bukan selain-Nya. Dengan izin Allah, malaikat maut dapat menunaikan tugasnya dan dengan perantara malaikat maut, pekerjaan pembantu malaikat maut yang merupakan para malaikat Tuhan dapat menjalankan tugas membantu malaikat maut dalam mencabut nyawa.[4] Pada prinsipnya, seluruh pekerjaan di alam semesta berada di tangan Tuhan dan para malaikat adalah para pelaksana pekerjaan ini.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Seseorang bertanya kepada Imam Shadiq tentang ayat ini dimana Allah Swt berfirman,  
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya.” (Qs. Al-Zumar [39]:42).
 
Dan di tempat lain berfirman,   
“Katakanlah, ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan dikembalikan.” (Qs. Al-Sajdah [32]:11).
 
 demikian juga pada ayat lainnya,
 “(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat.” (Qs. Al-Nahl [16]:32).
 
mengingat bahwa dalam satu jam di dunia ini terdapat ribuan orang yang meninggal yang jumlah persisnya hanya Allah yang tahu, lalu bagaimana hal ini dapat dilakukan para malaikat atau malaikat maut pada saat yang bersamaan mencabut ruh semua orang yang meninggal itu?

Imam As dalam menjawab pertanyaan ini berkata, “Allah Swt menempatkan para pembantu dan malaikat untuk malaikat maut yang berposisi sebagai komando untuk mereka dan mengirim mereka utuk menunaikan tugas-tugasnya  masing-masing. Karena itu, para malaikat (pembantu) yang mencabut ruh dan juga malaikat maut lalu Allah Swt mengambil ruh-ruh itu dari malaikat maut.”[5]

Seorang ateis datang kepada Amirul Mukminin Ali As. Katanya, “Dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang bertentangan satu sama lain. Karena pada satu tempat disebutkan “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya.”.
Namun pada ayat lain disebutkan malaikat maut yang melakukan hal ini. Dan ditempat lainnya disandarkan pada sebagian malaikat?” Dalam menjawab pertanyaan ini Amirul Mukminin As berkata, “Malaikat maut memiliki pembantu dari kalangan malaikat rahmat dan azab yang perkerjaannya sama dengan pekerjaan malaikat maut (mencabut ruh) dan apa pun yang mereka lakukan maka perbuatan itu disandarkan kepada malaikat maut dan perbuatan malaikat maut itu adalah perbuatan Allah karena Allah yang mengambil jiwa setiap orang yang dikehendakinya, dan perbuatan-perbuatan lainnya seperti memberikan atau menahan, memberikan ganjaran atau azab, diserahkan kepada siapa pun yang dikehendaki dan sesungguhnya pekerjaan para petugas-Nya adalah perbuatan Allah Swt sendiri sebagaimana dalam al-Quran menyatakan, “Dan kamu tidak dapat berhendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” dan Al-Takwir [81]:20).

Dengan kata lain, tatkala malaikat maut tidak secara langsung mengambil jiwa juga dapat disandarkan pada malaikat maut dan kepada Tuhan karena seluruh sebab, kekuatan, dan kodratnya bersumber dari Allah Swt dan berada di bawah pengurusan Ilahi. Demikian juga perantara-perantara lain selain malaikat maut yang tergolong sebagai bala tentara malaikat maut dan sebagiamana pekerjaan ini dapat disandarkan secara langsung, juga dapat disandarkan dengan perantara medium dan perantara puncak sebagiamana penaklukan dan kemenangan pada perang yang sejatinya yang secara hakiki disandarkan pada prajurit, rakyat, panglima dan panglima besar.

Dengan pendahuluan ini kami akan menjawab pertanyaan Anda siapakah yang melakukan pencabutan nyawa makhluk-makhluk hidup selain manusia? Amirul Mukminin As dalam sebuah riwayat, “...Cukup bagimu engkau tahu Allah yang menghidupkan dan mematikan. Dia mencabut nyawa siapa saja yang dikehendaki, dengan perantara malaikat atau tanpa perantara malaikat.”[6]

Karena itu penting untuk kita ketahui bahwa Allah Swt yang melakukan perbuatan ini dan Dia juga melakukannya dengan perantara, entah perbuatan mencabut nyawa ini dengan perantara malaikat maut atau tanpa malaikat maut.

Benar dalam riwayat lain disebutkan, “Sewaktu mikraj, Nabi Saw bertanya kepada malaikat maut, “Apakah jiwa orang-orang yang mati dan akan mati engkau yang mengambilnya?” Dia berkata, “Benar... seluruh dunia dan apa yang ditundukkan Tuhan bagiku di sisiku laksana sebuah koin di tangan seseorang yang dapat dipermainkan dan aku mendatangi seluruh rumah di dunia lima kali sehari (untuk melihat apakah ia mengerjakan salatnya tepat waktu atau tidak?)”[7]

Dari kemutlakan riwayat ini kemungkinan ini dapat dikuatkan bahwa malaikat maut yang mengambil jiwa seluruh makhluk hidup.  
 
Indeks Terkait:
  1. Pertanyaan 96, Indeks: Tidur dan Kematian Jiwa Manusia
  2. Pertanyaan 849, Setan dan Kematian
 

Referensi:
[1]. Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizân (Terjemahan Persia), jil. 17, hal. 407.
[2]. Karena tingkatan eksistensial para malaikat berbeda satu sama lain. Dalam hal ini, tingkatan eksistensial Izrail (malaikat maut) lebih tinggi dari para malaikat yang membantu untuk mencabut nyawa.
[3]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemenuh, jil. 17, hal. 140.
[4]. Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizān (Terjemahan Persia), jil. 17, hal. 407.
[5]. Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, jil 1, hal. 136.
[6]. Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 6, hadis 6, hal. 143.
[7]. Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 2, hadis 2, hal. 141.

Salafi Wahabi & Dalil Larangan Ziarah Kubur Rasulullah Saw

Oleh: Ustadz Ahmad Samanhudi – Ustadz Imam Mustofa Mukhtar

Kaum Salafi & Wahabi dalam Memahami DALIL LARANGAN ZIARAH KUBUR RASULULLAH SAW.

Ada satu lagi dalil khusus dari ulama salaf yang juga sering digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi, yaitu perkataan Imam Malik bin Anas (perintis Mazhab Maliki) tentang ziarah ke kuburan Rasulullah Saw. Bahkan Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah juz 27 hal. 111-112 sangat mengandalkan ungkapan Imam Malik ini. Ibnu Taimiyah berkata:

بل قد كره مالك وغيره أن يقال: زرت قبر النبي صلى الله عليه وسلم، ومالك أعلم الناس بهذا الباب، فإن أهل المدينة أعلم أهل الأمصار بذلك، ومالك إمام أهل المدينة. فلو كان في هذا سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: فيها لفظ «زيارة قبره» لم يخف ذلك على علماء أهل مدينته وجيران قبره ـ بأبي هو وأمي.

“… bahkan Imam Malik dan yang lainnya membenci kata-kata, ‘Aku menziarahi kubur Nabi Saw.’ sedang Imam Malik adalah orang paling alim dalam bab ini, dan penduduk Madinah adalah paling alimnya wilayah dalam bab ini, dan Imam Malik adalah imamnya penduduk Madinah. Seandainya terdapat sunnah dalam hal ini dari Rasulullah Saw yang di dalamnya terdapat lafaz ‘menziarahi kubur-nya’, niscaya tidak akan tersembunyi (tidak diketahui) hal itu oleh para ulama ahli Madinah dan penduduk sekitar makam beliau – demi bapak dan ibuku .”

Kaum Salafi & Wahabi, bahkan imam mereka yaitu Ibnu Taimiyah tampaknya salah paham terhadap ungkapan Imam Malik tersebut. Imam Malik adalah orang yang sangat memuliakan Rasulullah Saw., sampai-sampai ia enggan naik kendaraan di kota Madinah karena menyadari bahwa tubuh Rasulullah Saw dikubur di tanah Madinah, sebagaimana ia nyatakan, “Aku malu kepada Allah ta’ala untuk menginjak tanah yang di dalamnya ada Rasulullah Saw. dengan kaki hewan (kendaraan-red)” (lihat Syarh Fath al-Qadir, Muhammad bin Abdul Wahid As-Saywasi, wafat 681 H, Darul Fikr, Beirut, juz 3, hal. 180).

Bagaimana mungkin sikap yang sungguh luar biasa itu dalam memuliakan jasad Rasulullah Saw seperti menganggap seolah beliau masih hidup, membuatnya benci kepada orang yang ingin menziarahi makam Rasulullah Saw? Sungguh ini adalah sebuah pemahaman yang keliru.

Imam Ibnu Hajar al-Asqallani, di dalam kitab Fathul-Bari juz 3 hal. 66, menjelaskan, bahwa Imam Malik membenci ucapan “aku menziarahi kubur Nabi saw.” adalah karena semata-mata dari sisi adab, bukan karena membenci amalan ziarah kuburnya. Hal tersebut dijelaskan oleh para muhaqqiq (ulama khusus) mazhabnya. Dan ziarah kubur Rasulullah Saw. adalah termasuk amalan yang paling afdhal dan pensyari’atannya jelas, dan hal itu merupkan ijma’ para ulama.


Artinya, kita bisa berkesimpulan, setelah mengetahui betapa Imam Malik memperlakukan jasad Rasulullah Saw. yang dikubur di Madinah itu dengan akhlak yang luar biasa, seolah seperti menganggap beliau masih hidup, maka ia pun lebih suka ungkapan “aku menziarahi Rasulullah Saw.” dari pada ungkapan “aku menziarahi kubur Rasulullah Saw.” berhubung banyak hadis mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw di dalam kuburnya dapat mengetahui, melihat, dan mendengar siapa saja yang menziarahinya dan mengucapkan salam dan shalawat kepadanya. Sepertinya Imam Malik tidak suka Rasulullah Saw yang telah wafat itu diperlakukan seperti orang mati pada umumnya, dan asumsi ini dibenarkan oleh dalil-dalil yang sah.

Bila alasan pelarangan ziarah kubur Rasulullah Saw. itu kemudian dikaitkan dengan larangan mengupayakan perjalanan (syaddur-rihal) kecuali kepada tiga masjid (Masjidil-Haram, Masjid Nabawi, & Masjidil-Aqsha) yang terdapat di dalam hadis Rasulullah Saw., maka makin terlihatlah kejanggalannya. Karena dengan begitu, segala bentuk perjalanan (termasuk silaturrahmi kepada orang tua atau famili, menuntut ilmu, menunaikan tugas atau pekerjaan, berdagang, dan lain-lain) otomatis termasuk ke dalam perkara yang dilarang, kecuali perjalanan hanya kepada ke tiga masjid tersebut.

Di sinilah para ulama meluruskan pengertiannya, bahwa pada hadis tersebut terdapat ‘illat (benang merah) yang membuatnya tidak mencakup keseluruhan bentuk perjalanan, yaitu adanya kata “masjid“. Sehingga dengan begitu, yang dilarang adalah mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk melakukakan perjalanan kepada suatu masjid selain dari tiga masjid yang utama tersebut, karena nilai ibadah di selain tiga masjid itu sama saja atau tidak ada keistimewaannya.

Kematian Mendadak adalah Rahmat Ilahi

Pertanyaan adalah sebuah kunci yang bisa membuka semua pintu hakikat. Semua kemajuan umat manusia adalah salah satu contoh nyata dari kinerja pertanyaan ini. Ayatullah Jawadi Amuli seorang filosof kenamaan Dunia Islam menjawab dua pertanyaan penting tentang kematian dan kehidupan pasca kematian berikut ini:


Pertanyaan: Apakah kematian mendadak tidak bertentangan dengan sifat rahmat dan kasih Allah?

Allah sangat Maha Penyang dan Maha Pengasih. Bahkan Dia adalah paling pengasih di atas sekian para pengasih. Kematian mendadak bagi seorang mukmin adalah sebuah rahmat Ilahi. Mukmin yang telah melaksanakan seluruh hak Ilahi, tidak memiliki utang kepada orang lain, telah menulis surat wasiat, dan telah mempersiapkan program pasca kematian, tentu akan merasa tentram dengan kematian tanpa ia harus menderita penyakit dan terbaring di rumah sakit.

Untuk itu, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa kematian mendadak adalah sebuah rahmat dan berkah bagi seorang mukmin. Dengan kematian ini, ia langsung berpindah ke taman surga. Tentu, mereka yang tidak memiliki kesiapan pasti akan mengalami masalah.

Dalam banyak hadis ditekankan supaya kita senantiasa merenungkan dan memikirkan kematian. Amirul Mukmini Ali as setiap malam setelah mengerjakan salat Isya’ selalu menyeru seluruh masyarakat, “Bersiap-siaplah, semoga Allah merahmati kalian! Kalian telah dipanggil untuk pergi.”

Pertanyaan: Tentu kematian adalah manis bagi seorang mukmin dan ia menyambutnya dengan lapang dada. Tetapi dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa seluruh manusia akan mengalami siksa kubur. Bahkan berkenaan dengan Fatimah binti Asad pun dalam sebuah riwayat disebutkan, Rasulullah saw mengenakan baju beliau kepadanya dan tidur di atas kuburannya supaya tekanan kubur tidak mengganggunya. Bagaimana dengan hal ini?

Tekanan kubur adalah sebuah bentuk siksa. Mukmin yang sejati tidak akan pernah mengalami siksa kubur. Jika seorang mukmin sedikit kotor, maka mungkin saja pada saat menyongsong kematian ia akan sedikit mengalami kesulitan atau menerima sedikit masalah di dalam kubur sehingga ia bersih dengan itu. Sebagian masalah dunia juga kesengsaraan, bukan siksa. Seperti kesengsaraan masa usia tua dan penyakit yang merupakan akibat logis sebuah kehidupan duniawi.

Berkenaan dengan hadis tersebut, tindakan Rasulullah saw itu dapat menjadi perantara supaya Khadijah lebih leluasa di alam kubur. Ia telah tidur tenang di salah satu taman surga. Dengan tindakan Rasulullah saw ini, taman itu pun menjadi semakin indah.

Ya. Rasa kesendirian, keasingan, dan ketakutan menjelang kematian tiba dan memasuki dunia akhirat memang ada. Akan tetapi, dalam banyak hadis disebutkan, ketika seorang mukmin sejati sedang menghadapi sakaratul maut, manusia-manusia suci Ahlul Bait as akan mendatanginya dan dengan melihat mereka ini, ia akan berbahagia. Dengan demikian, ia akan menyambut kematian dengan tangan terbuka.

Kita sebenarnya harus memperhatikan dua poin penting berikut ini:

a. Rasa takut terhadap siksa kubur dapat menyelamatkan manusia.
b. Siksa kubur dan menjelang kematian memang dialami oleh sebagian orang, tidak oleh semua orang.

Menyambut Ramadhan dengan Ziarah Kubur

Sama halnya dengan masyarakat muslim di Indonesia, masyarakat Iranpun kental dengan tradisi ziarah kubur sehari sebelum memasuki Ramadhan. Kalau dinegeri kita, yang menjadi tempat ziarah adalah makam sanak saudara yang lebih dulu meninggal dunia. Di Iran sedikit berbeda, para peziarah berdatangan ke makam-makam orang-orang yang mereka agungkan, yakni makam keluarga Nabi, para ulama dan taman makam pahlawan mereka.

Menyambut Ramadhan dengan Ziarah Kubur.
Tradisi menyambut Ramadhan dengan berziarah kubur, telah menjadi tradisi tahunan masyarakat muslim diberbagai belahan dunia. Tidak terkecuali masyarakat muslim Indonesia, tiga atau dua hari sebelum bulan Sya'ban berakhir, masyarakat muslim berjubelan di tempat pemakaman diberbagai kota di negeri ini. Bahkan terkadang ramainya melebihi suasana berziarah kubur di hari lebaran. Sebenarnya tidak ditemukan riwayat satupun dari Nabi saww yang mengkhususkan untuk berziarah kubur sebelum memasuki Ramadhan. Mengenai ziarah kubur. Rasulullah saww lebih memilih menganjurkannya secara umum dan terbuka dan tidak menetapkan batasan tertentu. Beliau saww bersabda, "Sesungguhnya aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, maka (sekarang) ziarahilah kuburan." (HR. Muslim). Diantara hikmahnya kata Rasul, "Sebab ziarah kubur itu akan mengingatkan pada hari akhirat dan menambah kebaikan pada diri kalian." (HR. Ahmad).

Karena tidak ada ketentuan khusus dari Nabi saww, maka berziarah kubur bisa dilakukan kapan saja. Setiap muslim bisa membuat agenda tersendiri, apakah menetapkan baginya ziarah kubur setiap hari Senin dan Kamis perpekan, setiap hari Jum'at, sebulan sekali, atau hanya pada hari-hari tertentu, termasuk mentradisikan untuk berziarah kubur sebelum memasuki Ramadhan atau bahkan tidak membuat agenda khusus, kapan merasa perlu saja. Hanya saja, karena tidak adanya petunjuk khusus dari Nabi saww mengenai waktu-waktu tertentu untuk berziarah, maka kita tidak boleh memberi penetapan bahwa misalnya ziarah pada hari Kamis lebih afdhal dibanding pada hari lain, ataupun menganggap telah berdosa mereka yang lalai dari ziarah kubur sebelum memasuki Ramadhan. Nabi saww lebih memilih fleksibel dalam anjurannya kepada kaum muslimin untuk menziarahi kuburan, karena ziarah kubur dapat memberikan manfaat positif yang tidak sedikit terhadap pertumbuhan dan kesehatan jiwa, menambah keimanan, memberi berbagai pelajaran hidup dan menanamkan sifat kesederhanaan, zuhud dan dapat mengikis rasa tamak dan loba terhadap dunia. Kita bisa melakukannya kapan saja, setiap kita merasa palung hati kita ditimbuni gumpalan noda dendam dan dosa, berziarahlah. Setiap palung hati kita terkuburi oleh konstruksi bangunan berpikir metropolis, maka berziarah kuburlah, kata Nabi, "Itu akan mengingatkanmu pada akhirat."

Adanya tradisi ziarah kubur menjelang Ramadhan, bisa jadi terbentuk dari anjuran Nabi saww sendiri. Beliau saww menganjurkan kepada setiap muslim untuk memasuki Ramadhan dengan jiwa yang bersih, terlepas dari kebencian dan permusuhan apapun terhadap sesama muslim, saling mendo'akan, saling memaafkan, saling mengunjungi dan menyambung silaturahmi. Kematian seseorang, tidak serta merta memutuskannya dengan kehidupan di dunia ini, sehingga dengan meninggalnya seseorang telah berarti tamatlah riwayatnya dan tidak ada lagi sangkut pautnya dengan apapun yang masih berada di dunia ini. Dengan mereka yang lebih dahulu meninggal dunia pun, kita tetap wajib untuk tetap saling menyambung silaturahmi. Allah SWT berfirman, "...dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk." (Qs. Ar-Ra'd: 21).

Para mufassir mengatakan, yang dimaksud oleh Allah SWT menghubungkan apa-apa yang telah Allah perintahkan supaya dihubungkan adalah, silaturahmi dan persaudaraan. Dalam kitab Zadul Ma'ad, Ibnu Qayyim al Jautziyah menuliskan, Rasulullah saww senantiasa menziarahi kubur para sahabatnya, mendo'akan mereka dan memintakan rahmat dan pengampunan bagi mereka. Bahkan Rasulullah saww mengajarkan setiap berziarah, kita mengucapkan salam kepada ahli kubur, "Assalamu ‘alaa ahliddiyaari minal mu'minina wal muslimina, antum lana farathun wa nahnu insya Allahu bikum laahiquuna, Salam sejahtera atas (kalian wahai) para penghuni tempat-tempat ini, baik kaum mukmin maupun muslim, kalian telah mendahului kami dan atas kehendak Allah kami pun akan menyusul kalian." Dari sini bisa dikatakan, kita diperintahkan oleh syariat ini untuk tetap menyambungkan silaturahmi hatta kepada saudara-saudara kita yang lebih dahulu meninggal dunia. Perintah Nabi, untuk mengucapkan salam kepada mereka setiap berziarah, meniscayakan salam-salam kita mereka dengar bahkan membalasnya. Adalah kesia-siaan, jika Nabi memerintahkan kita mengucapkan salam dengan mukhatib (pendengar/teman bicara) para ahli kubur, namun mereka tidak diberikan kemampuan oleh Allah SWT untuk mendengar dan menjawab salam-salam kita.

Adanya diantara saudara kita yang menghukumi ziarah kubur menjelang Ramadhan yang selama ini ditradisikan oleh mayoritas kaum muslimin di Indonesia sebagai praktik bid'ah dan tidak ada landasan dalilnya dalam Al-Qur'an dan Sunnah, maka kita katakan, ziarah kubur adalah diantara sunnah Rasul yang hukumnya sunnah sebagaimana dalil yang telah dituliskan di atas, dan Rasulullah saww fleksibel dalam hal penetapan waktu berziarah, sebagaimana halnya shalat-shalat yang hukumnya sunnah yang tidak ada penentuan dari Nabi saww mengenai batasan jumlah raka'atnya, maka kita boleh melakukan berapa raka'at yang kita mampu. Seperti shalat malam misalnya, kita bisa menetapkan bagi diri kita sendiri, melakukan dua raka'at setiap malam, delapan raka'at atau bahkan menetapkan diri sendiri melakukannya hanya sekali dalam sebulan, sebab paling minimal adalah melakukannya sekali dalam seumur hidup. Kecuali jika ada hadist dari Nabi yang memberikan batasan dan menentukan waktu-waktu yang makruh bahkan haram untuk berziarah kubur.

Sama halnya dengan masyarakat muslim di Indonesia, masyarakat Iranpun kental dengan tradisi ziarah kubur sehari sebelum memasuki Ramadhan. Kalau dinegeri kita, yang menjadi tempat ziarah adalah makam sanak saudara yang lebih dulu meninggal dunia. Di Iran sedikit berbeda, para peziarah berdatangan ke makam-makam orang-orang yang mereka agungkan, yakni makam keluarga Nabi, para ulama dan taman makam pahlawan mereka. Masyarakat Iran yang mayoritas Syiah memang dikenal sangat mengagungkan makam para imam dan ulama-ulama mereka. Makam-makam mereka dibangun dengan hiasan yang indah dan megah, dibangun dengan cita rasa estetika yang tinggi, penuh dengan ornamen-ornamen dengan warna-warna yang menyejukkan mata. Bagi mereka Nabi dan para wali adalah tanda teragung dan terbesar dari agama Allah SWT. Maka pengagungan yang harus dipersembahkan terhadap mereka adalah pengagungan dan penghormatan yang paling utama. Merekalah yang telah menyampaikan agama Allah kepada umat manusia. Menjaga baik-baik makam-makam, peninggalan-peninggalan para nabi dan ulama agar tidak hilang musnah adalah penghormatan dan pengagungan sebaik-baiknya terhadap mereka. Menurut mereka, dengan terpeliharanya makam para shalihin, maka ajaran merekapun akan selalu terkenang dalam hati dan tentu saja akan malu jika mengagungkan makam para shalihin namun mengabaikan ajaran mereka.

Wallahu 'alam Bishshawwab

Oleh: Ismail Amin

Terkait Berita: