Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Ramadhan. Show all posts
Showing posts with label Ramadhan. Show all posts

HAL-HAL MENGENAI PUASA

PUASA KEWAJIBAN DAN KEABSAHAN PUASA
SOAL 695:
Seorang anak perempuan telah mencapai usia taklif, namun tidak dapat melakukan puasa karena konstruksi tubuh-nya lemah. Setelah bulan Ramadhan berlalu, dia tidak mampu mengqadha'-nya sampai tiba Ramadhan berikutnya. Apa hukumnya?
JAWAB:
Ketidakmampuan melakukan puasa dan qadha' puasa hanya karena lemah dan tidak mampu tidak menggugurkan kewajiban mengqadha'. Ia wajib mengqadha' puasa-puasa yang tidak dilakukannya pada bulan Ramadhan.

SOAL 696:
Apa hukum anak-anak putri yang telah baru mencapai usia balig namun sulit berpuasa sampai batas tertentu? Apakah usia baligh gadis 9 tahun?
JAWAB:
Usia baligh syar'i anak perempuan, menurut pendapat yang masyhur, ialah berakhirnya usia 9 tahun qamariah. Ia pada saat itu wajib berpuasa dan tidak boleh meninggalkannya hanya karena alasan-alasan tertentu. Namun, jika puasa di siang hari membahayakannya atau menimbulkan kesulitan tertentu, maka diperbolehkan ifthar (tidak berpuasa) saat itu.

SOAL 697:
Saya tidak tahu secara persis kapan saya mencapai usia taklif. Karena itulah, saya mohon Anda menerangkan seberapa banyak saya wajib mengqadha' shalat dan puasa? Apakah saya wajib membayar kaffarah ataukah saya cukup mengqadha'nya saja, karena saya tidak tahu?
JAWAB:
Anda hanya wajib meng-qadha' yang Anda yakini telah Anda tinggalkan sejak pasti menginjak usia taklif. Berkenaan dengan puasa, apabila Anda meninggalkan puasa (ifthar) dengan sengaja setelah pasti mencapai usia baligh, maka disamping meng-qadha' Anda juga wajib membayar kaffarah.

SOAL 698:
Jika seorang anak perempuan berusia 9 tahun yang wajib berpuasa, membatalkannya karena merasa berat, apakah ia wajib meng-qadha'nya ataukah tidak?
JAWAB:
Ia wajib mengqadha' puasa Ramadhan yang dibatalkannya.

SOAL 699:
Jika seseorang tidak berpuasa karena ia memperkirakan lebih dari 50% dan karena alasan halangan yang kuat bahwa ia tidak wajib berpuasa. Namun, setelah itu terbukti bahwa ia wajib berpuasa, apakah hukumnya berkenaan dengan qadha' dan kaffarah?
JAWAB:
Jika ia tidak berpuasa (ifthar) Ramadhan hanya atas dasar perkiraan, bahwa ia tidak wajib berpuasa, maka -dalam kasus ini- ia wajib meng-qadha' puasa dan juga dikenakan kewajiban kaffarah. Namun bila ia melakukan ifthar karena khawatir puasa akan membahayakan berdasarkan pertimbangan rasional (pertimbangan setiap yang berakal sehat), maka ia hanya wajib meng-qadha' dan tidak dikenakan kewajiban membayar kaffarah.

SOAL 700:
Ada seorang yang sedang melaksanakan wajib militer, dikarenakan perjalanan dan berada di daerah tugas, tidak dapat melakukan puasa Ramadhan tahun lalu. Memasuki Ramadhan pada tahun ini, ia masih berada di daerah tersebut, dan mungkin tidak dapat melakukan puasa Ramadhan tahun ini. Jika ia hendak meng-qadha' puasa dua kali Ramadhan tersebut setelah selesai wajib militer, apakah wajib membayar kaffarah ataukah tidak?
JAWAB:
Orang yang kehilangan waktu puasa pada bulan Ramadhan karena alasan perjalanan dan dan alasan tersebut berlangsung hingga Ramadhan berikutnya hanya wajib mengqadha' dan tidak wajib membayar denda (fidyah).

SOAL 701:
Jika seseorang yang berpuasa mengalami janâbah namun tidak sadar sebelum tiba waktu adzan dhuhur, lalu mandi secara irtimasi, apakah batal puasanya? Jika menyadarinya setelah usai mandi, apakah wajib mengqadha'nya?
JAWAB:
Jika melakukan mandi irtimasi karena lupa dan lalai bahwa ia sedang berpuasa, maka mandi wajib dan puasanya sah serta tidak wajib mengqadha'.

SOAL 702:
Jika seseorang bermaksud untuk sampai ke tempat tinggalnya sebelum tergelincirnya matahari (zawal), dan di tengah jalan mengalami peristiwa yang menghalanginya sampai ke tempat tinggalnya pada waktu yang telah ditentukan, apakah puasanya bermasalah ? Apakah ia wajib membayar kaffarah ataukah ia hanya wajib mengqadha' puasa pada hari itu saja?
JAWAB:
Puasanya dalam perjalanan tidak sah. Ia wajib mengqadha' puasa hari itu dan tidak wajib membayar kaffarah.

SOAL 703:
Pramugara atau awak pesawat ketika pesawatnya berada di ketinggian yang tinggi sekali dan menuju suatu negara yang jauh dalam jangka waktu dua setengah jam atau tiga jam, memerlukan air minum setiap 20 menit agar dapat menjaga keseimbangan tubuhnya. Apakah ia wajib membayar kaffarah disamping qadha’ puasa Ramadhan?
JAWAB:
Jika berpuasa membahayakan dirinya, maka ia boleh membatalkan (ifthar) puasanya dengan minum air dan ia wajib meng-qadha’ puasanya tanpa kaffarah.

SOAL 704:
Apakah batal puasa seorang perempuan yang mengalami haidh (datang bulan) dua jam atau kurang sebelum waktu maghrib?
JAWAB:
Puasanya batal.

SOAL 705:
Apa hukum puasa orang yang menyelam di dalam air dengan pakaian khusus sehingga tubuhnya tidak terkena air?
JAWAB:
Jika pakaiannya menempel pada kepalanya maka puasanya bermasalah (mahallu isykâl). Ia wajib, berdasarkan ahwath, mengqadha'nya.

SOAL 706:
Apakah boleh melakukan perjalanan dengan sengaja pada bulan Ramadhan agar dapat ifthar dan meloloskan diri dari beban puasa?
JAWAB:
Boleh. Jika seseorang bepergian demi menghindari puasa sekalipun maka wajib membatalkannya (ifthar).

SOAL 707:
Ada seseorang yang mempunyai tanggungan puasa wajib. Ia bertekad akan memenuhinya dengan puasa. Hanya saja ada sesuatu yang menghalanginya, seperti bila ia telah bersiap untuk bepergian setelah matahari terbit dan kembali setelah dhuhur, dan tidak memakan (atau meminum) sesuatau apapun yang membatalkan puasa. Namun waktu untuk niat berpuasa wajib telah lewat, padahal pada hari itu disunnahkan berpuasa. Apakah sah berniat puasa mustahab ataukah tidak?
JAWAB:
Jika tanggungannya berupa qadha' puasa Ramadhan, maka tidak sah berniat puasa mustahab (sunnah), meskipun setelah waktu niat puasa wajib telah berlalu.

SOAL 708:
Saya adalah pecandu rokok. Pada bulan suci Ramadhan setiap kali berusaha untuk tidak menjadi orang yang berwatak keras, saya tidak berdaya. Hal inilah yang membuat keluarga saya sangat terganggu. Saya juga menderita karena kondisi emosional ini. Apakah tugas saya?
JAWAB:
Anda wajib melakukan puasa bulan Ramadhan dan Anda tidak boleh merokok ketika berpuasa. Tidak boleh memperlakukan orang lain dengan kasar (keras) tanpa alasan dan meninggalkan rokok tidak ada hubungannya dengan amarah.
WANITA HAMIL DAN YANG SEDANG MENYUSUI
SOAL 709:
Ada seoarang wanita hamil yang tidak tahu bahwa berpuasa akan membahayakan kandungannya atau tidak. Apakah ia wajib berpuasa?
JAWAB:
Jika ia khawatir puasanya akan membahayakan janinnya, dan kekhawatirannya masuk akal (diterima oleh orang-orang yang berakal sehat), maka ia wajib ifthar. Jika tidak maka ia wajib berpuasa.

SOAL 705:
Seorang wanita menyusui anak bayinya padahal ia sedang hamil dan melakukan puasa Ramadhan. Ketika melahirkan, bayinya meninggal. Jika sebelumnya ia telah memperkirakan bahwa puasanya akan menimbulkan bahaya, namun ia tetap berpuasa, maka:
Pertama, apakah puasanya sah ataukah tidak?
Kedua, apakah ia menanggung denda (diyah) atauakah tidak?
Ketiga, jika tidak menduga akan berbahaya, namun setelah itu terjadi, apa hukumnya?
JAWAB:
Jika ia berpuasa padahal ia khawatir akan berbahaya bagi janinnya, berdasarkan alasan yang diterima oleh orang-orang yang berakal sehat, atau setelah itu terbukti bahwa puasanya membahayakan keadaan janinnya, maka puasanya tidaklah sah, dan ia wajib melakukan qadha’. Untuk menetapkan denda (diyah) karena kematian janin yang dikandung perlu bukti bahwa kematiannya tersebut adalah akibat puasa (ibu) nya.

SOAL 706:
Setelah hamil, saya dikaruniai Allah dengan seorang putra, Ia minum ASI. Bulan suci Ramadhan akan segera tiba. Kini saya dapat berpuasa, namun dengan berpuasa ASI akan mengering, karena fisik saya yang lemah, sedangkan, ia selalu minta minum ASI setiap 10 menit. Apa yang harus saya lakukan?
JAWAB:
Jika berpuasa menyebabkan kekurangan atau kekeringan ASI sehingga dikhawatirkan akan membahayakan anak Anda, maka Anda boleh ifthar (tidak berpuasa) namun Anda wajib membayar fidyah setiap hari dengan satu mud makanan untuk orang fakir, dan melakukan qadha’ puasa setelah itu.
SAKIT DAN LARANGAN DOKTER
SOAL 707:
Sebagian dokter yang tidak agamis melarang pasien berpuasa dengan alasan berbahaya. Apakah pendapat para dokter itu cukup menjadi dasar dan alasan (hujjah) ataukah tidak?
JAWAB:
Jika dokter itu tidak bisa dipercaya, dan ucapannya tidak meyakinkan dan tidak menyebabkan kekhawatiran akan bahaya, maka ucapannya tersebut diabaikan.

SOAL 708:
Ibu saya sakit sejak sekitar 13 tahun. Karena itulah ia tidak dapat berpuasa. Saya tahu secara persis bahwa ia tidak dapat melaksanakan kewajiban ini karena ia perlu mengkonsumsi obat. Kami mohon bimbingan Anda untuk kami, apakah ia wajib mengqadha' (puasanya)?
JAWAB:
Jika ia tidak dapat berpuasa karena sakit, maka ia tidak diwajibkan mengqadha'nya.

SOAL 709:
Saya belum pernah berpuasa sejak memasuki usia baligh hingga usia 12 tahun karena kelemahan fisik. Apa tugas saya sekarang?
JAWAB:
Anda wajib meng-qadha’ puasa Ramadhan yang telah anda tinggalkan sejak memasuki usia taklif (baligh). Bila anda tidak berpuasa dengan sengaja dan atas dasar kehendak sendiri, tanpa didasari alasan syar'i, maka selain wajib melakukan qadha', wajib (juga) membayar kaffarah.

SOAL 710:
Dokter mata telah melarang saya melakukan puasa. Ia mengatakan kepada saya: "Bagaimanapun, anda tidak boleh puasa akibat sakit mata." Karena merasa tidak senang, saya mulai puasa. Namun, saat berpuasa saya menghadapi sejumlah problema sehingga kadang kala dalam sehari saya tidak merasa terganggu sampai tiba waktu maghrib. Kadang kala saya merasa terganggu pada waktu ashar. Karena bingung dan bimbang antara tidak berpuasa dan menanggung sakit, saya melanjutkan puasa sampai saat matahari terbenam (Maghrib). Pertanyaan saya ialah apakah pada dasarnya saya wajib berpuasa? Dalam hari-hari yang saya jalani dengan puasa padahal saya tidak tahu apakah saya dapat melanjutkan puasa hingga saat terbenamnya matahari atau tidak. Apakah saya tetap berpuasa? Dan bagaimana saya harus berniat?
JAWAB:
Jika keterangan dokter yang taat beragama dan dapat dipercaya membuat anda mantap bahwa puasa membahayakan Anda, atau Anda merasa khawatir mata anda terganggu oleh puasa, maka tidak wajib, bahkan tidak diperbolehkan berpuasa dan tidak sah berniat puasa. Namun jika jika Anda tidak khawatir akan bahaya, maka tidak ada larangan berpuasa. Tetapi, keabsahan puasa Anda tergantung pada kenyataan bahwa puasa benar-benar tidak membahayakan.

SOAL 711:
Saya menggunakan kacamata medis karena mata saya sangat lemah. Ketika berkonsultasi kepada dokter, saya diberi tahu bahwa jika tidak berusaha menguatkannya, maka mata saya akan makin melemah. Karenanya, jika saya tidak bisa berpuasa bulan Ramadhan, apa hukumnya?
JAWAB:
Jika puasa membahayakan mata anda, maka anda tidak wajib berpuasa, bahkan anda wajib ifthar (tidak berpuasa). Jika penyakit anda berlanjut hingga Ramadhan berikutnya, maka anda wajib membayar denda (fidyah) setiap hari sebesar satu mud makanan kepada orang fakir.

SOAL 712:
Ibu saya menderita sakit keras. Ayah saya juga mengalami lemah tubuh. Keduanya berpuasa. Kadang kala dapat dipastikan bahwa puasa akan membuat penyakit mereka kian parah. Hingga sekarang saya tidak dapat meyakinkan keduanya agar tidak berpuasa, paling tidak, ketika sakit mereka parah. Kami mohon bimbingan Anda berkenaan hukum puasanya?
JAWAB:
Tolok ukur dalam menentukan bahwa berpuasa menimbulkan rasa sakit (penyakit) atau memperparah, atau dalam menentukan ketidak mampuan berpuasa adalah identifikasi pelaku puasa sendiri. Namun, jika diketahui bahwa berpuasa membahayakan dan tetap berpuasa, maka haram hukumnya berpuasa.

SOAL 713:
Tahun lalu saya menjalani operasi ginjal oleh seorang dokter spesialis yang melarang saya berpuasa seumur hidup. Saya kini tidak menghadapi kesulitan apapun, bahkan saya makan dan minum secara normal, dan tidak merasa ada satupun masalah kesehatan yang menimpa saya. Apa taklif saya?
JAWAB:
Jika Anda sendiri tidak khawatir puasa akan membahayakan Anda, dan Anda tidak mempunyai alasan syar'i untuk hal itu (tidak berpuasa), maka Anda wajib berpuasa bulan Ramadhan.

SOAL 714:
Jika seorang dokter melarang seseorang berpuasa, apakah ia wajib mengikuti perkataannya, padahal sebagian dokter tidak mengetahui masalah-masalah syari’ah?
JAWAB:
Jika mukallaf yakin dari keterangan dokter bahwa puasa akan membahayakannya, atau dikarenakan informasi dari dokter atau alasan logis (diterima oleh orang-orang yang berakal sehat) lainnya, ia khawatir bahwa puasa akan membahayakan, maka tidak diwajibkan berpuasa.

SOAL 715:
Dalam ginjal saya terkumpul banyak batu. Cara satu-satunya untuk mencegah pengerasan batu dalam ginjal adalah dengan mengkonsumsi cairan secara bersinambungan. Karena para dokter yakin bahwa saya tidak diperbolehkan berpuasa, apa tugas dan kewajiban saya berkenaan dengan puasa bulan suci Ramadhan?
JAWAB:
Jika pencegahan penyakit ginjal mengharuskan konsumsi air atau benda-benda cair lainnya di siang hari juga, maka anda tidak diwajibkan berpuasa.

SOAL 716:
Karena orang-orang yang menderita penyakit diabetes terpaksa menggunakan insulin sekali atau dua kali sehari melalui suntikan jarum yang waktunya tidak berselisih dengan waktu makan rutin mereka, karena akan menekan peningkatan kadar gula dalam darah, yang pada gilirannya akan menimbulkan kondisi pingsan dan ketegangan. Kadang kala para dokter memberi nasihat agar makan 4 (empat) kali sehari. Kami mohon Anda berkenan menerangkan pendapat Anda berkenaan dengan puasa orang-orang semacam ini?
JAWAB:
Jika berhenti makan dan minum sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari membahayakan mereka, maka mereka tidak diwajibkan puasa, bahkan dilarang.
HAL-HAL YANG HARUS DIHINDARI OLEH ORANG YANG BERPUASA
SOAL 717:
Pada bulan Ramadhan disebabkan gangguan setan, saya berniat untuk membatalkan puasa saya, namun sebelum melakukan sesuatu yang membatalkan puasa, saya mengurungkan niat tersebut. Apa hukum puasa saya? Dan jika hal itu terjadi pada selain puasa bulan Ramadhan apa hukumnya?
JAWAB:
Pada puasa bulan Ramadhan jika seseorang niat (dengan bulat) untuk memutuskan puasanya, dengan kata lain tidak akan meneruskan puasanya, maka puasanya batal dan tidak ada faedah baginya mengurungkan niat tersebut, artinya kembali niat untuk meneruskan puasanya. Beda halnya jika seseorang dalam keadaan ragu apakah akan membatalkan puasanya atau tidak, atau telah bulat untuk melakukan hal yang membatalkan puasa, namun dia belum melakukannya, maka dalam dua keadaan terakhir ini, keabsahan kelanjutan puasanya bermasalah, maka berdasarkan ihtiyâth ia wajib meneruskan puasanya, kemudian meng-qadha’nya lagi.
Semua puasa wajib yang ditentukan (waktunya) seperti nadzar yang telah ditentukan waktunya memiliki hukum yang sama seperti di atas.

SOAL 718:
Apakah darah yang keluar dari mulut seorang pelaku puasa membatalkan puasanya?
JAWAB:
Puasanya tidak batal. Namun ia wajib berusaha agar darahnya tidak sampai masuk ke tenggorokan.

SOAL 719:
Kami mohon penjelasan pendapat Anda tentang penggunaan rokok oleh pelaku puasa (sha’im) pada bulan suci Ramadhan, apakah membatalkan puasanya?
JAWAB:
Berdasarkan ihtiyâth wajib, hendaknya seorang yang berpuasa meninggalkan segala jenis rokok dan bahan penenang yang dihirup hidung atau diletakkan di bawah lidah.

SOAL 720:
Apakah ‘nas’ yang terbuat dari tembakau dan lainnya yang diletakkan di bawah lidah selama beberapa menit kemudian dikeluarkan dari mulut membatalkan puasa?
JAWAB:
Jika ia menelan ludah yang bercampur dengan ‘nas’, maka batallah puasanya.

SOAL 721:
Ada sebuah obat untuk orang-orang yang menderita sesak nafas berat, yaitu berupa spray yang ketika ditekan akan menyemprotkan percikan yang mengandung bubuk gas ke paru-paru pasien melalui mulutnya. Hal ini dapat meredakan pasien. Kadang kala pasien terpaksa menggunakannya beberapa kali dalam satu hari. Apakah boleh berpuasa sambil menjalani penyembuhan medis demikian, sebab tanpa obat ini, ia tidak dapat berpuasa atau sangat menyulitkannya.
JAWAB:
Jika benda yang masuk ke dalam paru-paru melalui mulut itu adalah udara semata, maka hal itu tidak mengganggu (keabsahan) puasa. Namun, jika udara yang ditekan itu bersamaan dengan obat, meski hanya berupa debu atau bubuk, dan masuk ke dalam tenggorokan, maka hal itu menyebabkan keabsahan puasa bermasalah dan wajib dihindari. Jika ia tidak dapat berpuasa tanpa obat ini, kecuali dengan kesulitan dan beban, maka ia boleh menggunakan alat penyembuhan tersebut.

SOAL 722:
Pertanyaan saya berkenaan dengan puasa. Sering kali air ludah saya bercampur dengan darah yang mengalir dari gusi. Kadang kala saya tidak tahu apakah air ludah yang masuk ke dalam perut saya bercampur dengan darah ataukah tidak? Kami mohon petunjuk Anda agar saya terbebas dari kesulitan ini.
JAWAB:
Darah gusi jika lebur dalam air ludah dihukumi sebagai suatu yang suci, dan boleh ditelan. Jika ragu apakah air ludah tersebut bercampur dengan darah atau tidak, maka boleh menelannya, dan tidak menggangu keabsahan puasa.

SOAL 723:
Suatu hari di bulan Ramadhan saya berpuasa tanpa membersihkan gigi dengan sikat gigi. Tentu saya tidak menelan sisa makanan dalam mulut saya, namun terlanjur masuk ke dalam perut saya. Apakah saya wajib mengqadha’ puasa hari itu?
JAWAB:
Jika anda tidak tahu ada sisa-sisa makanan di gigi anda, atau jika anda tidak tahu bahwa itu akan turun (masuk) ke dalam perut dan masuknya ke dalam perut tanpa sadar dan tanpa sengaja, maka puasa anda tetap sah.

SOAL 724:
Ada seorang pelaku puasa yang gusinya mengeluarkan darah yang banyak. Apakah puasanya batal? Apakah ia boleh menuangkan air ke atas kepala dengan bejana ?
JAWAB:
Puasanya tidak batal dengan mengeluarkan darah dari gusi apabila tidak ditelannya. Puasanya juga tidak terganggu (keabsahannya) dengan menuangkan air ke atas kepalanya dari bejana dan sebagainya.

SOAL 725:
Ada obat-obat khusus untuk mengobati penyakit kewanitaan yang dimasukkan ke dalam kelamin. Apakah itu membatalkan puasa?
JAWAB:
Penggunaan obat-obat tersebut tidak mengganggu (keabsahan) puasa.

SOAL 726:
Kami mohon keterangan pendapat Anda berkenaan dengan penyuntikan yang dilakukan oleh dokter gigi dan lainnya terhadap para pelaku puasa di bulan Ramadhan?
JAWAB:
Tidak ada masalah (la isykâl ) menggunakan suntik jarum yang berisi obat atau penghilang rasa sakit untuk para pelaku puasa, kecuali yang berfungsi sebagai pengganti makanan, maka berdasarkan ahwath, wajib dihindari.

SOAL 727:
Apakah saya boleh menelan pil untuk mengatasi tekanan darah saat berpuasa ?
JAWAB:
Jika mengkonsumsi pil tersebut pada bulan Ramadhan merupakan keharusan demi penyembuhan tekanan darah, maka hal itu tidak dilarang. Namun, dengan menelannya, puasa Anda batal.

SOAL 728:
Jika saya dan sebagian orang beranggapan bahwa pemakaian pil untuk penyembuhan tidak sama dengan (bukanlah) makan dan minum, apakah saya boleh melakukannya dan tidak membatalkan puasa saya?
JAWAB:
Bila dilakukan dengan menelan, maka membatalkan puasa.

SOAL 729:
Jika pada bulan Ramadhan seorang suami berhubungan badan dengan istrinya dan si istrinya pun mmelakukannya dengan kerelaannya. Apa hukumnya?
JAWAB:
Terhadap Anda berdua berlaku hukum ifthar (membatalkan puasa) dengan sengaja. Anda berdua selain wajib mengqadha' wajib juga membayar kaffarah.

SOAL 730:
Jika seorang lelaki mencumbu dengan isterinya pada siang hari bulan Ramadhan apakah hal itu merusak puasanya?
JAWAB:
Jika hal itu tidak menyebabkan ejakulasi (keluarnya mani), maka tidaklah merusak puasanya. Jika iya, maka ia tidak boleh melakukannya, dan puasanya batal.
SENGAJA TETAP DALAM KEADAAN JUNUB
SOAL 731:
Jika seseorang tetap dalam keadaan janâbah, karena sejumlah kesulitan, hingga adzan Subuh, apakah ia boleh berpuasa pada hari berikutnya?
JAWAB:
Tidak ada larangan berpuasa di selain puasa bulan Ramadhan dan qadha puasa Ramadhan. Adapun dalam puasa Ramadhan, apabila ia berhalangan untuk mandi, maka ia wajib bertayammum, jika ia tidak bertayammum juga, maka puasanya tidaklah sah.

SOAL 732:
Jika seseorang berpuasa selama beberapa hari dalam keadaan junub dan tidak tahu bahwa kesucian dari janâbah merupakan syarat puasa, apakah ia wajib membayar kaffarah sebagai ganti dari beberapa hari puasa yang telah dilakukannya dalam keadaan junub ataukah cukup mengqadha’nya saja?
JAWAB:
Pada kasus yang ditanyakan qadha' puasa sudah cukup baginya.

SOAL 733:
Apakah seorang yang sedang junub boleh mandi setelah terbit matahari lalu berpuasa dengan niat qadha’ atau puasa istihbab (sunnah)?
JAWAB:
Jika ia tetap dalam keadaan janâbah dengan sengaja hingga saat terbit fajar, maka tidaklah sah berpuasa Ramadhan atau berpuasa qadha’. Adapun selain keduanya, maka, berdasarkan al-aqwa, ia sah melakukannya, terutama puasa mandub (sunnah).

SOAL 734:
Seorang menjadi tamu pada bulan Ramadhan, dan menginap di rumah. Di tengah malam ia mengalami mimpi basah (ihtilâm). Karena ia tamu dan tidak memiliki pakaian lain maka ia berniat melakukan perjalanan hari esoknya untuk menghindari puasa. Pagi hari setelah subuh, ia berangkat melakukan perjalanan tanpa melakukan sesuatu yang membatalkan puasa (makan dan minum). Yang kami tanyakan, apakah rencana orang ini untuk melakukan perjalanan dapat menggugurkan kewajiban membayar kaffarah ataukah tidak?
JAWAB:
Niat melakukan perjalanan pada malam hari, begitu juga melakukan perjalanan pada siang hari tidaklah cukup untuk menggugurkan kewajiban membayar kaffarah, jika ia berpagi hari dalam keadaan janâbah dan –sementara ia menyadari hal itu- tidak bergegas mandi atau bertayammum sebelum fajar terbit (Subuh).

SOAL 735:
Apakah orang yang tidak menemukan air atau tidak dapat mandi janâbah karena kendala-kendala lain, kecuali waktu yang sangat mendesak atau sempit, boleh pada malam-malam bulan Ramadhan melakukan sesuatu yang menyebabkan janâbah?
JAWAB:
Jika ia wajib bertayammum dan mempunyai waktu yang memadai untuk bertayammum setelah membuat dirinya junub, maka ia boleh melakukannya.

SOAL 736:
Seseorang terjaga dari tidur sebelum adzan subuh di bulan Ramadhan, dan tidak sadar bahwa ia mengalami mimpi basah (ihtilâm) lalu melanjutkan tidur. Saat adzan fajar berkumandang ia bangun lalu menyadari hal tersebut dan yakin bahwa ia mengalaminya sebelum adzan fajar. Apa hukumnya?
JAWAB:
Jika sebelum adzan fajar ia belum sadar bahwa dirinya mengalami ihtilâm, maka sahlah puasanya.

SOAL 737:
Seorang mukallaf terjaga dari tidurnya sebelum adzan subuh pada hari bulan Ramadhan dan mendapatkan dirinya mengalami ihtilâm, kemudian ia tidur lagi hingga setelah matahari terbit, tanpa melakukan shalat subuh. Ia menunda mandi sampai adzan dhuhur dan mandi setelah adzan Dhuhur diikumandangkan lalu melakukan shalat dhuhur dan ashar. Apa hukum puasanya?
JAWAB:
Pada kasus yang ditanyakan ia waib meng-qadha' puasanya, dan berdasarkan ihtiyâth ia dianjurkan untuk membayar kaffarah juga.

SOAL 734:
Jika seorang mukallaf pada malam bulan Ramadhan sebelum adzan Subuh ragu apakah ia telah mengalami ihtilâm ataukah tidak, namun ia mengabaikannya dan melanjutkan tidurnya. Ia bangun dari tidurnya setelah adzan dan baru sadar sepenuhnya bahwa dirinya telah mengalami ihtilâm sebelum adzan fajar (subuh), apakah hukum puasanya?
JAWAB:
Jika saat pertama kali terjaga dari tidur ia tidak menyaksikan bekas ihtilâm, melainkan hanya menduga-duga semata, dan tidak terbukti, lalu tidur lagi hingga setelah adzan subuh, maka sahlah puasanya, meskipun setelah itu terbukti bahwa itilam-nya telah terjadi sebelum adzan Subuh.

SOAL 735:
Jika seseorang mandi di bulan Ramadhan dengan air yang najis, lalu ingat setelah seminggu bahwa air yag dipakainya untuk mandi itu najis, apakah hukum puasa dan shalatnya selama (seminggu) itu?
JAWAB:
Shalatnya batal dan wajib di-qadha’, namun puasanya dihukumi sah.

SOAL 736:
Ada seseorang yang menderita penyakit "beser" sementara yang berlangsung satu jam atau lebih setiap kali usai buang air kecil. Apa hukum puasa orang tersebut bila mengalami janâbah pada malam-malam tertentu. Kadang kala ia terjaga dari tidur satu jam sebelum adzan Subuh lalu menduga-duga bahwa ia mengeluarkan mani bersama dengan menetesnya air seni? Apa tugasnya agar ia dapat memasuki waktu dalam keadaan suci?
JAWAB:
Jika ia mandi untuk bersuci dari janâbah atau bertayammum sebagai ganti darinya sebelum adzan subuh, maka sahlah puasanya, meskipun setelah itu ia mengeluarkan mani tanpa dikehendaki.

SOAL 737:
Jika seseorang tidur setelah adzan fajar atau sebelumnya, kemudian mengalami ihtilâm dalam tidur lalu terjaga setelah adzan, berapa jangka waktu yang diberikan untuk mandi?
JAWAB:
Dalam kasus yang anda tanyakan, janâbah tidak mempengaruhi keabsahan puasa pada hari itu. Namun, wajib mandi untuk shalat dan ia boleh menundanya sampai saat shalat.

SOAL 738:
Jika seseorang lupa mandi janâbah untuk melakukan puasa bulan Ramadhan atau puasa lainnya, lalu ingat di pertengehan siang, apa hukumnya?
JAWAB:
Berkenaan dengan puasa Ramadhan, jika seseorang lupa mandi janâbah pada malam hari sebelum fajar lalu berada pada pagi hari (subuh) dalam keadaan junub, maka batallah puasanya. Berdasarkan ahwath, hukum tersebut juga berlaku dalam puasa qadha’ Ramadhan. Adapun puasa-puasa lainnya, maka hal itu tidak membatalkan puasa.
MASTURBASI (ISTMINA') SAAT BERPUASA DAN LAINNYA
SOAL 739:
Apa hukum orang yang membatalkan puasanya di bulan Ramadhan dengan berhubungan badan yang haram atau onani atau makan dan minum yang haram?
JAWAB:
Pada kasus yang ditanyakan harus berpuasa selama 60 hari atau memberi makan 60 orang miskin, dan berdasarkan ihtiyâth mustahab hendaknya kedua-duanya dilakukan.

SOAL 740:
Jika mukallaf tahu bahwa masturbasi membatalkan puasa, dan ia memang melakukannya secara sengaja, apakah wajib baginya kaffarah ganda?
JAWAB:
Jika ia melakukan masturbasi secara sengaja dan mani pun keluar darinya, maka wajib membayar kaffarah ganda (kaffratul jam’) baginya tidak wajib, namun berdasarkan ihtiyâth mustahab hendaknya ia melakukannya.

SOAL 741:
Pada bulan Ramadhan saya mengeluarkan mani bukan akibat dari masturbasi melainkan akibat ketegangan saat melakukan percakapan telpon dengan seorang perempuan yang bukan muhrim. Percakapan tersebut dilakukan bukan untuk tujuan mencari kenikmatan. Kami mohon Anda sudi menjawab, apakah puasa saya batal ataukah tidak. Jika batal, apakah saya wajib membayar kaffarah ataukah tidak?
JAWAB:
Jika sebelumnya Anda biasanya tidak mengeluarkan mani akibat percakapan dengan seorang wanita, dan percakapan tersebut tidak dengan tujuan bersenang-senang dan tidak mengarah kepada dosa (raibah), meski demikian mani keluar tanpa kehendak, maka peristiwa seperti itu tidak menyebabkan puasa anda batal. Anda tidak perlu melakukan sesuatu apapun.

SOAL 742:
Ada seorang yang selama beberapa tahun melakukan kebiasaan rahasia pada bulan puasa dan lainnya. Apa hukum shalat dan puasanya?
JAWAB:
Masturbasi mutlak diharamkan. Jika perbuatan tersebut menyebabkan keluarnya mani, maka hal itu menyebabkan janâbah. Jika ia melakukan perbuatan tersebut saat sedang berpuasa, maka ia dihukumi sebagai orang yang membatalkan (ifthar) puasa dengan sesuatu yang haram. Jika ia shalat atau puasa dalam keadaan junub tanpa mandi atau tayammum, maka shalat dan puasanya batal dan wajib meng-qadha'nya.

SOAL 743:
Apakah seorang suami boleh beronani dengan tangan isterinya?
JAWAB:
Pekerjaan tersebut tidaklah termasuk masturbasi yang diharamkan.

SOAL 744:
Apakah seorang yang bujang boleh melakukan masturbasi atas permintaan dokter untuk menganalisis spermanya, dan hanya dengan cara masturbasi itulah hal itu dapat dilakukan?
JAWAB:
Tidak apa-apa, apabila penyembuhan hanya bisa dilakukan dengan cara begitu.

SOAL 745:
Sebagian pusat kesehatan menyuruh pasien lelaki melakukan masturbasi guna menjalani pemeriksaan medis terhadap spermanya apakah dapat melahirkan ataukah tidak. Apakah ia boleh melakukannya?
JAWAB:
Secara syar'i tidak diperbolehkan melakukan masturbasi, meskipun untuk mengetahui dirinya bisa melahirkan ataukah tidak, kecuali jika pemeriksaan untuk mengetahui penyakit yang menyebabkan kemandulan pasangan suami isteri hanya bisa dilakukan dengan cara tersebut.

SOAL 746:
Apakah boleh menghayal demi membangkitkan syahwat birahi jika dilakukan pada kondisi berikut:
1. Menghayal istri sendiri?
2. Menghayal perempuan lain?
JAWAB:
Pada kondisi pertama jika tidak menimbulkan yang haram seperti mengeluarkan mani, maka tidak apa-apa. Dan untuk kondisi ke dua berdasarkan ihtiyâth wajib ditinggalkan.

SOAL 747:
Seseorang berpuasa bulan Ramadhan pada permulaan usia balig-nya. Ia melakukan masturbasi dan mengalami janâbah saat berpuasa. Ia terus berpuasa selama beberapa hari dalam keadaan junub karena tidak tahu bahwa puasa wajib dilakukan dalam keadaan suci dari janâbah. Apakah qadha’ puasa hari-hari itu sudah mencukupi ataukah ia dikenai hukum kewajiban lain?
JAWAB:
Dalam kasus yang ditanyakan, ia wajib mengqadha' puasa dan membayar kaffarah.

SOAL 748:
Seseorang pada bulan Ramadhan melihat pemandangan yang membangkitkan syahwat lalu mengalami janâbah. Apakah puasanya batal?
JAWAB:
Jika ia memandangnya dengan tujuan mengeluarkan mani, atau mengetahui bahwa jika memandangnya niscaya ia akan mengalami janâbah, atau biasanya mengalami janâbah setiap kali memandangnya, lalu melakukannya dengan sengaja dan menyebabkan ia junub, maka ia dihukumi sebagai orang yang secara sengaja menjunubkan diri.

SOAL 749:
Apa hukum seorang yang berpuasa jika dalam sehari melakukan sesuatu yang membatalkan puasanya lebih dari sekali?
JAWAB:
Dia hanya wajib membayar kaffarah sekali saja, kecuali jika yang ia lakukan berkali-kali itu hubungan badan atau onani, maka hendaknya ia melakukan kaffarah sebanyak yang ia lakukan.
AKIBAT-AKIBAT HUKUM IFTHAR (MENGHENTIKAN PUASA)
SOAL 750:
Apakah boleh mengikuti Ahlussunnah berkenaan dengan waktu ifthar (buka puasa) dalam pertemuan-pertemuan umum, forum-forum resmi dan lainnya? Dan apa yang wajib dilakukan oleh mukallaf jika ia menganggap hal itu bukan sebagai taqiyyah, dan tidak ada alasan syar'i untuk menerapkannya?
JAWAB:
Mukallaf tidak diperbolehkan mengikuti yang lain tanpa memastikan masuknya waktu berkenaan dengan waktu buka puasa (ifthar), dan jika termasuk pada kondisi taqiyyah maka dia diperbolehkan berbuka, namun dia wajib meng-qadha nya. Sebagaimana tidak boleh atas kehendak sendiri berbuka puasa, kecuali setelah memastikan tibanya waktu malam dan berakhirnya siang dengan menyaksikan sendiri atau berdasarkan bukti syar'i (hujjah syar'iah).

SOAL 751:
Jika saya sedang berpuasa, lalu dipaksa oleh ibu agar makan dan minum, apakah hal itu membatalkan puasa?
JAWAB:
Makan dan minum membatalkan puasa, meski karena ajakan atau desakan orang lain.

SOAL 752:
Jika suatu benda dimasukkan secara paksa ke dalam mulut seorang yang sedang berpuasa, atau kepalanya dibenamkan ke dalam air, apakah membatalkan puasa? Dan jika dipaksa membatalkan puasa, seperti jika diancam dengan kerugian pada harta atau jiwa apabila tidak makan.Lalu ia makan untuk menghindari bahaya itu. Apakah puasanya tetap sah ataukah tidak?
JAWAB:
Jika suatu benda dimasukkan ke dalam tenggorokannya secara paksa atau kepalanya kebenamkan secara paksa ke dalam air, puasanya tidaklah batal. Namun, jika ia memakan sendiri benda yang membatalkan puasa atas dasar paksaan orang lain, maka batallah puasanya.

SOAL 753:
Pelaku puasa tidak mengetahui bahwa tidak boleh berbuka (ifthar) sebelum tergelincirnya matahari (zawal) apabila belum menacapai batas tarakhkhus. Lalu ia melakukan ifthar sebelum batas tarakkhush dengan anggapan sebagai musafir. Apa hukum puasanya? Dan apakah ia wajib meng-qadha'nya ataukah ia dikenai hukum lain?
JAWAB:
Perbuatannya tersebut dihukumi seperti ifthar (membatalkan puasa) dengan sengaja.

SOAL 754:
Ketika terkena influensa dahak mengumpul dalam mulut. Alih-alih mengeluarkan, saya malah menelannya. Apakah puasa saya sah ataukah tidak? Saya telah melewati beberapa hari dalam bulan Ramadhan di rumah salah seorang kerabat. Karena terserang flu, di samping karena malu, saya terpaksa bertayamum dengan tanah sebagai ganti mandi wajib, dan baru mandi saat mendekati waktu dhuhur. Perbuatan ini telah saya lakukan berulangkali selama beberapa hari. Apakah puasa saya di hari-hari itu sah ataukah tidak? Dan jika tidak sah, apakah saya wajib membayar kaffarah ataukah tidak?
JAWAB:
Anda tidak dikenai hukum apa-apa karena saat berpuasa menelan dahak dan ingus. Meski demikian, berdasarkan ahwath, Anda wajib mengqadha' puasa apabila menelan dahak yang sudah berada di ruang mulut. Berkenaan dengan tindakan meninggalkan mandi janâbah sebelum Subuh hari puasa, dan melakukan tayammum sebagai gantinya, apabila hal itu dikarenakan alasan syar'i atau tayammum dilakukan di akhir waktu dan ketika waktu sudah sempit, maka puasa anda sah. Jika tidak, maka batallah puasa anda selama beberapa hari itu.

SOAL 755:
Saya bekerja di tambang besi. Karakteristik pakerjaan saya mengharuskan saya masuk ke dalam tambang dan bekerja di situ setiap hari. Ketika menggunakan peralatan maka debu akan masuk ke mulut saya. Hal ini terjadi pada bulan-bulan lain sepanjang tahun. Apa tugas saya dalam kondisi begitu sahkah puasa saya ataukah tidak?
JAWAB:
Menelan debu saat sedang berpuasa membatalkan puasa. Karena itulah, wajib menghindarinya. Namun puasa anda tidak batal apabila debu itu hanya masuk ke dalam mulut dan hidung, sementara anda tidak menelannya.
KAFFARAH PUASA DAN UKURANNYA
SOAL 756:
Apakah cukup memberi orang fakir uang seharga satu mud makanan sehingga ia membeli sendiri makanan untuk dirinya?
JAWAB:
Jika ia yakin bahwa orang fakir itu, mewakili pembayar kaffarah, akan membeli makanan dengan uang tersebut, lalu mengambil makanan tersebut sebagai kaffarah, maka tidak dilarang (diperbolehkan).

SOAL 757:
Jika seseorang menjadi wakil untuk memberi makanan sejumlah orang miskin, apakah ia boleh mengambil ongkos kerja dan memasak dari harta kaffarah yang telah diberikan?
JAWAB:
Boleh baginya menuntut ongkos kerja dan memasak, namun ia tidak boleh menghitungnya sebagai bagian dari kaffarah, atau mengambil sebagian dari kaffarah.

SOAL 758:
Ada seorang wanita yang tidak dapat berpuasa karena hamil atau mendekati saat melahirkan. Ia sadar akan kewajiban meng-qadha’ puasa setelah bersalin dan sebelum tiba bulan Ramadhan mendatang. Jika ia tidak berpuasa, dengan sengaja atau tidak dan menundanya beberapa tahun, apakah ia wajib membayar kaffarah untuk tahun itu saja, ataukah ia wajib membayar kaffarah untuk setiap tahun selama ia belum berpuasa? Mohon juga Anda terangkan perbedaan kondisi "sengaja" dan " tidak sengaja".
JAWAB:
Ia wajib membayar fidyah (denda) menunda qadha’ puasa satu kali, meskipun sampai beberapa tahun, yaitu satu mud makanan untuk setiap harinya. Fidyah ini diberlakukan apabila penundaan qadha' hingga Ramadhan berikutnya dilakukan karena mengabaikan dan tanpa alasan syar'i. Menunda qadha' puasa karena alasan syar'i, yang menghalangi keabsahan puasa tidak menyebabkan fidyah.

SOAL 759:
Ada seorang wanita yang berhalangan puasa akibat sakit, dan tidak dapat meng-qadha'nya hingga bulan Ramadhan tahun berikutnya. Apakah ia sendiri wajib membayar kaffarah ataukah suaminya?
JAWAB:
Dalam kasus yang ditanyakan, ia sendiri wajib membayar fidyah untuk setiap hari dengan satu mud makanan, bukan menjadi tanggungan suaminya.

SOAL 760:
Ada seorang yang menanggung kewajiban puasa selama sepuluh hari. Pada tanggal 20 Sya’ban ia mulai puasa. Dalam kasus demikian, apakah boleh membatalkan puasa dengan sengaja sebelum tergelincirnya matahari (zawal) atau setelahnya? Jika ia melakukan ifthar, berapa ukuran kaffarahnya, baik sebelum zawal atau sesudahnya?
JAWAB:
Dalam kasus yang ditanyakan, ia tidak boleh membatalkan (ifthar) puasa dengan sengaja. Jika ia melakukan ifthar dengan sengaja sebelum zawal, maka ia tidak wajib membayar kaffarah. Jika melakukan ifthar sesudah zawal, maka ia dikenakan kaffarah, yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin dan jika tidak mampu, maka wajib berpuasa selama tiga hari.

SOAL 761:
Ada seorang wanita yang hamil dua kali dalam dua tahun berturut-turut, karena itulah ia tidak bisa puasa dalam dua tahun. Namun, sekarang ia mampu melakukannya. Apa hukum atas dia? Apakah dia wajib membayar kaffaratul jam’ (kaffarah ganda), ataukah ia hanya wajib meng-qadha'nya saja? Dan apa hukum menunda puasa?
JAWAB:
Jika ia tidak melakukan puasa Ramadhan karena alasan syar'i, maka ia wajib meng-qadha’nya saja. Jika alasannya melakukan ifthar adalah kekhawatiran terhadap keselamatan kandungan atau bayinya, maka ia wajib meng-qadha’ puasa dan membayar fidyah untuk setiap hari sebesar satu mud makanan. Jika menunda qadha' setelah bulan Ramadhan hingga Ramadhan tahun berikutnya tanpa alasan syar'i, maka ia dikenakan kewajiban membayar fidyah juga dengan cara memberikan satu mud makanan kepada orang fakir untuk setiap hari.

SOAL 762:
Apakah dalam kaffarah (berupa) puasa, qadha’ dan kaffarah wajib dilakukan secara berurutan ataukah tidak?
JAWAB:
Tidak wajib.
QADHA' PUASA
SOAL 763:
Saya menanggung beban kewajiban puasa 18 hari karena melakukan perjalanan untuk tugas keagamaan. Apa tugas saya ? Dan apakah saya wajib meng-qadha’nya?
JAWAB:
Anda wajib meng-qadha' puasa yang telah Anda lewatkan dalam bulan Ramadhan karena perjalanan.

SOAL 764:
Jika seseorang disewa untuk meng-qadha’ puasa bulan Ramadhan lalu membatalkannya setelah zawal (Dhuhur), apakah ia wajib membayar kaffarah ataukah tidak?
JAWAB:
Tidak wajib membayar kaffarah.

SOAL 765:
Orang-orang yang melakukan perjalanan pada bulan Ramadhan demi melaksanakan tugas keagamaan dan karenanya, tidak dapat berpuasa. Apabila mereka kini ingin berpuasa (mengqadha'nya), setelah menundanya beberapa tahun, apakah wajib membayar kaffarah?
JAWAB:
Jika penundaan qadha' puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya karena alasan yang menghalangi untuk berpuasa berlanjut, maka mereka cukup meng-qadha' puasa-puasa yang telah mereka lewatkan, dan tidak diwajibkan membayar fidyah satu mud makanan untuk setiap hari, meskipun berdasarkan ihthiyath dianjurkan melakukan kedua-duanya (meng-qadha' dan membayar fidyah). Namun, apabila penundaan tersebut dilakukan karena mengabaikan dan tanpa alasan syar'i, maka mereka wajib meng-qadha’nya dan membayar fidyah.

SOAL 766:
Ada seseorang yang tidak shalat dan tidak puasa selama sekitar sepuluh tahun karena kebodohan, lalu ia bertobat dan kembali kepada Allah. Kini ia telah bertekad untuk mengganti kewajiban-kewajiban yang telah ditinggalkannya, namun tidak mampu mengganti semua puasa yang telah ia lewatkan, dan tidak punya harta untuk membayar kaffarah. Apakah ia cukup beristighfar (memohon ampun) saja ataukah tidak?
JAWAB:
Dalam kondisi apapun, kewajiban meng-qadha' puasa yang telah dilewatkannya tidak akan pernah gugur. Namun, jika tidak mampu membayar kaffarah, yaitu tidak dapat melakukan puasa dua bulan dan tidak mampu memberikan makanan kepada enam puluh orang miskin, maka ia wajib bersedekah kepada orang-orang fakir sesuai kadar kemampuannya, dan berdasarkan ihtiyâth dia hendaknya juga membaca istighfar. Namun jika ia tidak memiliki apa-apa untuk ia sedekahkan, maka ia cukup membaca istighfar (memohon ampunan dari Tuhan) dengan lidah dan hatinya.

SOAL 767:
Jika seseorang tidak mengetahui kewajiban meng-qadha' puasa sebelum tiba bulan Ramadhan berikutnya, dan tidak melakukan qadha’ karenanya, apakah hukumnya?
JAWAB:
Fidyah karena menunda qadha' hingga bulan Ramadhan berikutnya tidak gugur karena ketidaktahuan akan wajibnya hal itu.

SOAL 768:
Ada seseorang yang tidak berpuasa selama 120 hari. Apa yang harus dilakukannya? Apakah ia (wajib) berpuasa 60 hari untuk setiap harinya ataukah tidak? Dan apakah ia wajib membayar kaffarah?
JAWAB:
Ia wajib meng-qadha' puasa bulan Ramadhan yang telah ia tinggalkan. Jika ia telah meninggalkan puasa dengan sengaja dan tanpa alasan syar'i, maka ia wajib meng-qadha’ dan membayar kaffarah untuk setiap hari puasa yang telah ditinggalkannya, yaitu berupa puasa enam puluh (60) hari atau memberikan makanan kepada 60 orang miskin, atau memberikan 60 mud untuk 60 orang miskin yang dibagi secara merata.

SOAL 769:
Saya telah berpuasa selama kira-kira satu (1) bulan, dengan niat apabila saya mempunyai tanggungan kewajiban puasa, maka itulah qadha'nya, dan jika tidak, maka itu merupakan puasa untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah (qurbah) secara umum. Apakah puasa selama 1 bulan tersebut dapat dianggap sebagai bagian dari puasa qadha' yang berkaitan dengan tanggungan saya ataukah tidak?
JAWAB:
Jika Anda berpuasa dengan niat melakukan sesuatu yang diperintahkan kepada Anda sekarang berupa puasa qadha' atau puasa sunnah, dan (ternyata) Anda mempunyai tanggungan kewajiban qadha', maka itu dianggap sebagai puasa qadha'.

SOAL 770:
Seseorang yang tidak tahu jumlah hari qadha’ puasa yang menjadi tanggungannya dan jika ia memang memiliki tanggungan puasa qadha' namun melakukan puasa mustahab, karena merasa tidak mempunyai tanggungan kewajiban qadha'. Apakah puasanya dapat dianggap sebagai puasa qadha'?
JAWAB:
Puasa yang ia lakukan dengan niat puasa sunnah tidak dianggap sebagai puasa qadha’ yang menjadi tanggungannya.

SOAL 771:
Apa pendapat Anda tentang seseorang yang membatalkan puasa (ifthar) dengan sengaja karena lapar, haus, dan karena bodoh tentang hukum masalah ini? Apakah ia hanya wajib meng-qadha' saja, ataukah ia juga wajib membayar kaffarah?
JAWAB:
Jika orang yang tidak tahu hukum tersebut tidak tergolong dalam kategori jahil muqashshir, maka ia diwajibkan meng-qadha' puasa tersebut, namun tidak wajib membayar kaffarah.

SOAL 772:
Jika seseorang tidak mampu berpuasa pada masa permulaan usia baligh karena lemah dan tidak kuat, apakah ia wajib meng-qadha' dan membayar kaffarah juga?
JAWAB:
Jika berpuasa tidak menyulitkan dirinya, namun dengan sengaja membatalkan puasa (ifthar), maka ia wajib mengqadha' dan membayar kaffarah. Dan jika dia takut dengan brpuasa dia akan sakit, maka dia hanya wajib mengqadho' saja.

SOAL 773:
Apa yang wajib dilakukan oleh seseorang yang tidak tahu berapa jumlah hari dimana ia tidak melakukan puasa, dan tidak tahu berapa jumlah shalat yang telah ditinggalkannya? Dan apa hukum orang yang tidak tahu apakah ia tidak berpuasa dengan sengaja atau karena halangan syar'i?
JAWAB:
Ia boleh mencukupkan pada jumlah shalat dan puasa yang diyakininya telah terlewatkan. Jika ragu apakah ia melakukan ifthar dengan sengaja atau tidak, maka ia tidak wajib membayar kaffarah.

SOAL 774:
Pada suatu hari dalam bulan Ramadhan seseorang tidak dapat melanjutkan puasanya hingga saat matahari terbenam (ghurub) karena tidak bangun dari tidur untuk makan sahur, dan karena pada siang hari itu ia mengalami suatu peristiwa.Apakah ia dikenai kewajiban membayar satu kaffarah saja, ataukah ia wajib membayar kaffarah ganda (kaffaratul jam’)?
JAWAB:
Apabila ia melanjutkan puasa sehingga, akibat dari lapar, dahaga dan lain-lainnya, mengalami kesulitan, maka ia menghentikan puasa (ifthar), maka ia wajib meng-qadha' saja, dan tidak wajib membayar kaffarah.

SOAL 775:
Saya ragu apakah saya telah meng-qadha' puasa yang menjadi tanggungan saya ataukah tidak? Apa tugas saya.
JAWAB:
Jika anda yakin sebelumnya, bahwa Anda memiliki tanggungan puasa qadha’, maka Anda wajib memperoleh keyakinan bahwa Anda telah menunaikannya.

SOAL 776:
Seseorang yang tidak puasa pada saat baligh, secara umum ia hanya puasa sebanyak 11 (sebelas) hari dalam bulan Ramdhan, melakukan ifthar satu hari saat Dhuhur, dan 18 hari berikutnya ia tidak berpuasa dan tidak tahu akan kewajiban membayar kaffarah. Apa hukumnya?
JAWAB:
Jika ia melakukan ifthar pada puasa bulan Ramadhan dengan sengaja dan atas kehendak sendiri, maka ia wajib melakukan qadha' puasa dan juga membayar kaffarah tanpa dibedakan apakah saat ber-ifthar ia tahu atau tidak tahu tentang kewajiban membayar kaffarah.

SOAL 777:
Seorang pasien diberitahu oleh seorang dokter, bahwa puasa dapat membahayakannya, dan karena itulah, ia tidak berpuasa. Setelah beberapa tahun ia baru mengetahui bahwa berpuasa tidak berbahaya terhadap dirinya, dan bahwa dokter tersebut telah melakukan kekeliruan. Apakah ia wajib meng-qadha' puasanya dan membayar kaffarah.
JAWAB:
Jika ia khawatir akan terjadinya bahaya sebagai akibat dari keterangan seorang dokter yang mumpuni dan jujur, atau khawatir karena pertimbangan rasional (diterima oleh setiap orang yang berakal sehat) lain, maka ia wajib meng-qadha’nya saja.
LAIN-LAIN
SOAL 778:
Jika seorang wanita mengalami haidh saat berpuasa nadzar mua’yyan (nadzar yang telah ditentukan waktunya), apa hukumnya?
JAWAB:
Puasanya batal bila mengalami haid. Ia wajib mengqadha’nya setelah suci.

SOAL 779:
Seseorang yang tinggal di pelabuhan "dayyar" berpuasa sejak hari pertama bulan Ramadhan hingga hari ke 27 (duapuluh tujuh). Pada hari ke28, ia bepergian ke Dubai, dan sampai di sana pada hari ke 29, dan penduduknya pada hari itu telah berhari raya. Kini ia telah kembali ke tempat tinggalnya. Apakah ia wajib meng-qadha' satu hari puasa yang ditinggalkannya? Apabila ia meng-qadha' satu hari puasa, maka jumlah hari Ramadhan menjadi 28 hari baginya. Bila ingin meng-qadha’ dua hari, ia pada hari ke 29 sedang berada di tempat orang-orang yang telah mengumumkan hari raya. Apa hukumnya?
JAWAB:
Jika pengumuman hari raya pada hari ke 29 di tempat tersebut berdasarkan cara yang benar dan syar'i, maka ia tidak wajib meng-qadha' hari itu, Namun, itu berarti, ia ketinggalan satu puasa pada hari pertama bulan Ramadhan. Karenanya, ia wajib mengqadha' puasa yang diyakini telah ditinggalkannya.

SOAL 780:
Jika seorang pelaku puasa berbuka puasa saat matahari terbenam di sebuah negara, lalu melakukan perjalanan ke negara lain yang saat itu matahari belum terbenam di sana, apa hukum puasanya di hari itu? Apakah ia boleh melakukan suatu yang mufthir (yang membatalkan puasa) sebelum matahari terbenam?
JAWAB:
Puasanya sah, dan ia boleh makan, minum dan lain-lain di negara itu sebelum matahari terbenam setelah sebelumnya ia ifthar saat matahari terbenam di negara sendiri.

SOAL 781:
Seorang syahid telah berwasiat kepada salah seorang sahabatnya agar mengqadha’ sejumlah puasanya demi ihthiyath (ke-hati-hatian dan berjaga-jaga jika memang punya tanggungan puasa qadha’). Ahli waris syahid ini bukanlah orang-orang yang peduli terhadap masalah-masalah semacam ini, dan tidak memungkin memberi tahu kepada mereka. Sedangkan sahabatnya tersebut merasa kesulitan untuk melakukan puasa tersebut. Apakah ada penyelesaian lain?
JAWAB:
Jika ia berwasiat kepada shabatnya agar ia sendiri yang berpuasa, maka berarti ahli waris si syahid tidak memiliki taklif (beban) berkenaan masalah ini. Jika orang yang mendapatkan wasiat untuk berpuasa mewakili sang syahid merasa kesulitan, maka taklif atas dirinya juga gugur.

SOAL 782:
Saya seorang peragu, dengan kata yang lebih tepat, terlalu was-was, berkenaan dengan masalah keagamaan, terutama masalah-masalah hukum fiqih (furu’ud-din). Antara lain dalam bulan Ramadhan lalu saya ragu-ragu apakah ada debu tebal yang masuk ke dalam mulut dan saya telah menelannya ataukah tidak, atau meragukan apakah air yang saya masukkan ke dalam mulut sudah saya keluarkan kembali ataukah tidak?
JAWAB:
Dalam kasus yang ditanyakan, puasa Anda dihukumi sah. Keraguan-keraguan seperti itu tidak layak diperhatikan.

SOAL 783:
Apakah Anda berpandangan bahwa hadis mulia Ahlu Kisa’ yang diriwayatkan dari Sayyidah az-Zahra’ (As) sebagai hadis yang mu’tabar (diakui kebenarannya) sehingga boleh menisbatkannya kepada beliau saat sedang berpuasa?
JAWAB:
Jika penisbatannya dengan cara periwayatan dan kutipan dari kitab-kitab yang menyebutkannya, maka diperbolehkan.

SOAL 784:
Kami dengar dari sebagian ulama dan lainnya bahwa jika seseorang yang sedang berpuasa sunnah diundang untuk makan, maka ia boleh memenuhi undangan tersebut dan memakan makanan yang disediakan, namun puasanya tidak batal dan pahalanya tetap ia dapatkan. Kami mohon pendapat Anda tentang hal ini?
JAWAB:
Memenuhi undangan orang mukmin untuk ifthar (menghentikan) puasa mustahab (sunnah) merupakan perbuatan yang diutamakan secara syar'i. Menyantap jamuan makan dari undangan saudara mukmin meskipun membatalkan puasanya, namun ia tetap memperoleh pahala dan ganjarannya.

SOAL 785:
Doa-doa khusus bulan Ramadhan yang diriwayatkan berdasarkan urutan hari, doa hari ke 1, hari ke 2 dan seterusnya hingga hari terakhir. Apa hukum membacanya apabila masih meragukan keshahihannya?
JAWAB:
Bagaimanapun juga, tidak ada masalah (la isykâl) membacanya apabila didasari dengan niat wurud dan mathlubiyah (pengharapan bahwa doa-doa tersebut memang berasal dari maksum dan benar-benar dianjurkan membacanya).

SOAL 786:
Jika seseorang ingin berpuasa, namun tidak bangun malam untuk makan sahur. Karena itulah ia tidak dapat melakukan puasa besoknya. Apakah dosa meninggalkan puasanya ditanggung dirinya sendiri ataukah orang yang tidak membangunkannya? Dan jika ia tetap berpuasa tanpa lebih dulu makan sahur, apakah puasanya sah?
JAWAB:
Orang-orang lain tidak menanggung beban apapun. Berpuasa tanpa didahului makan sahur sah.

SOAL 787:
Apa hukum puasa hari ke 3 dalam hari-hari i’tikaf (berdiam diri) di al-Masjid al-Haram?
JAWAB:
Jika ia seorang musafir dan berniat untuk menetap di Mekkah sepuluh (10) hari atau telah bernadzar untuk berpuasa dalam perjalanan, maka setelah berpuasa dua (2) hari, ia wajib menyempurnakan i’tikaf (berdiam diri) dengan puasa hari ketiga (3). Namun, bila ia tidak berniat untuk menetap 10 hari dan tidak bernazar puasa dalam perjalanan, maka puasanya dalam perjalanan tidaklah sah. Bila puasanya tidak sah, maka i’tikafnya juga tidak sah.
RU'YATUL-HILAL (MELIHAT BULAN)
SOAL 788:
Sebagaimana Anda telah ketahui, keadaan bulan (hilal) pada akhir atau awal bulan berada adalah satu dari tiga (3) kondisi berikut:
1. Bulan terbenam sebelum matahari terbenam.
2. Bulan terbenam bersamaan dengan terbenamnya matahari.
3. Bulan terbenam setelah matahari terbenam.
Kami mohon penjelasan berbagai masalah berikut:
Pertama: Manakah dari tiga kondisi yang tersebut di atas dianggap sebagai awal bulan dari aspek fiqih ?
Kedua: Jika kita beranggapan bahwa ketiga kondisi di atas dapat dihitung di titik terjauh dunia melalui program penghitungan elktronik yang seksama, apakah boleh menggunakan perhitungan perhitungan tersebut untuk menentukan awal bulan jauh sebelumnya, ataukah harus berdasarkan ru’yah (penglihatan) dengan mata?
JAWAB:
Dari ketiga kondisi yang disebutkan di atas melihat bulan (ru’ya al-hilal) untuk menetapkan masuknya bulan Qamariah semenjak malam setelah melihat bulan telah mencukupi.

SOAL 789:
Jika hilal bulan Syawal belum disaksikan di sebuah kota, namun televisi dan radio mengumumkan masuknya bulan tersebut, apakah hal itu cukup ataukah wajib menyelidikinya?
JAWAB:
Jika hal itu menimbulkan kemantapan akan munculnya hilal (bulan sabit), atau bahwa hal itu telah ditetapkan oleh Wali faqih, maka hal itu cukup dan tidak perlu menyelidikinya.

SOAL 790:
Jika berhalangan untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan hari raya karena hilal awal bulan tidak dapat terlihat, akibat awan atau sebab-sebab lain, sedangkan jumlah hari bulan Sya’ban atau Ramadhan belum genap 30 hari, apakah kami yang berada di Jepang boleh menggunakan ufuk Iran atau bersandarkan pada kalender? Dan apa hukumnya?
JAWAB:
Jika awal bulan tidak terbukti dengan cara melihat hilâl, meski di ufuk kota-kota tetangga yang terletak di bawah satu ufuk, atau melalui kesaksian dua orang adil, atau melalui keputusan hakim, maka wajib ber-ihtiyâth (berhati-hati) untuk memastikan awal bulan. Terlihatnya bulan sabit di Iran yang terletak di sebelah barat Jepang tidak berlaku bagi orang yang tinggal di Jepang?

SOAL 791:
Apakah kesatuan ufuk merupakan syarat dalam ru’yatul-hilal ataukah tidak?
JAWAB:
Iya. Kesatuan ufuk merupakan syarat.

SOAL 792:
Apakah yang dimasuk dengan kesatuan ufuk?
JAWAB:
Maksudnya adalah dari sisi kemungkinan ru’yah atau tiadanya kemungkinan ru’yah hilal adalah satu.

SOAL 793:
Jika terjadi perselisihan pendapat antara para ulama di satu negara tentang muncul atau tidaknya hilal (bulan sabit), sementara keadilan mereka telah terbukti bagi mukallaf dan ia meyakini kejelian masing-masing dari mereka, apakah yang wajib dilakukan oleh mukallaf?
JAWAB:
Jika perbedaan antara dua bayyinah (bukti syar'i) berkisar antara penetapan dan penolakan, seperti bila salah satu pihak mengklaim tentang munculnya hilal, sedangkan pihak lain menafikannya, maka berarti itu merupakan kasus "perbenturan antara dua bayyinah". Mukallaf, dalam kondisi demikian, wajib menyingkirkan keduanya dan mengambil ketentuan dasar (al-ashl) perihal taklif. Namun, bila perbedaan di antara mereka berkisar antara munculnya hilal dan tidak tahu akan munculnya hilal, seperti bila sebagian mengklaim telah melihat (ru’yah) hilal, sedangkan sebagian lain mengatakan bahwa hilal tidak terlihat oleh mereka, maka pendapat kelompok yang mengaku telah melihat jika terdiri atas dua orang yang adil merupakan hujjah syar'iah (dasar syar'i) bagi mukallaf, dan ia wajib mengikutinya. Demikian pula jika hakim syar'i menetapkan munculnya hilal, maka ketetapannya merupakan hujjah syariyah bagi seluruh mukallaf dan wajib diikuti.

SOAL 794:
Jika seseorang telah melihat hilal, dan tahu bahwa hakim di kotanya tidak dapat melakukannya karena suatu sebab atau lainnya, apakah ia berkewajiban untuk memberitahu hakim tersebut tentang ru’yah hilal-nya ataukah tidak?
JAWAB:
Ia tidak wajib memberitahukan kepadanya, kecuali jika tidak memeberitahukannya akan menimbulkan dampak-dampak buruk (mafsadah).

SOAL 795:
Sebagimana telah Anda ketahui bahwa sebagian besar fuqaha’ yang mulia dalam risâlah ‘amaliyah (buku fatwa) mereka telah membatasi lima (5) cara untuk menetapkan munculnya hilal awal bulan Syawal, tidak termasuk jika hilal terbukti telah muncul bagi hakim syar'i. Jika memang demikian, bagaimana kebanyakan kaum mukminin melakukan ifthar (berhenti puasa) hanya ketika hilal terbukti telah muncul bagi para marja’ yang agung? Dan apa taklif seseorang yang tidak mantap terhadap cara ini?
JAWAB:
Kemunculan hilal bagi seorang hakim tidak cukup untuk diikuti oleh orang lain apabila ia tidak memutuskannya, kecuali jika karena hal itu ia (selain hakim) meyakini kemunculan hilal.

SOAL 796:
Jika wali amr muslimin menetapkan bahwa besok adalah hari raya, dan radio dan televisi menyiarkan bahwa bulan hilal telah terlihat di kota ini dan itu, apakah hari raya berlaku atas seluruh penjuru negeri ataukah ia hanya berlaku di kota-kota tersebut atau yang sama dalam ufuk dengannya.
JAWAB:
Jika ketetapan hakim tersebut meliputi semua penjuru negara, maka ketetapannya diakui secara syar'i (mu’tabar) bagi seluruh kota di dalam negeri.

SOAL 797:
Apakah ukuran kecil dan lembutnya hilal dan ciri-ciri khas hilal malam pertama yang terdapat padanya dapat dianggap sebagai bukti bahwa malam sebelumnya bukanlah awal bulan, Namun itu adalah malam ke 30 dari bulan lalu? Dan jika hari raya terbukti telah tiba menurut seseorang, kemudian ia yakin dengan cara ini bahwa kemarin (hari yang lalu) bukanlah hari raya, apakah ia wajib mengqadha’ Puasa hari ke 30 Ramadhan?
JAWAB:
Kecil dan rendahnya hilal atau besar dan tingginya, atau lebarnya atau lemah cahayanya dengan sendirinya bukanlah hujjah (dasar) syar'i bahwa hilal itu terkait dengan malam pertama atau malam kedua. Tapi, bila dengan itu semua, seorang mukallaf mendapatkan keyakinan tentang sesuatu, maka ia wajib bertindak sesuai dengan keyakinannya dalam masalah ini.

SOAL 798:
Apakah boleh menjadikan malam bulan purnama, yaitu malam ke 14, sebagai bukti untuk menghitung hari yang menjadi awal bulan, sehingga dengan itu, dapat diungkap tentang hari keraguan (yaumusy-syak) bahwa itu adalah hari ke 30 Ramadhan, misalnya, agar orang yang tidak puasa pada hari itu dapat mengetahui kewajiban meng-qadha' puasa hari ke 30 Ramadhan, dan orang yang berpuasa pada hari itu karena menganggap masih dalam bulan Ramadhan, bisa melepaskan diri dari tanggungan (bari’ dzimmah).
JAWAB:
Hal itu bukanlah hujjah syar'iah (bukti syar'i) atas sesuatu apapun yang telah disebutkan. Namun, jika hal itu memberikan keyakinan kepada mukallaf, maka ia wajib bertindak sesuai dengan pengetahuannya.

SOAL 799:
Apakah mencari-tahu tentang kemunculan hilal (istihlal) pada setiap awal bulan merupakan wajib kifa’iy ataukah ihtiyâth wajib?
JAWAB:
Istihlal sendiri bukanlah kewajiban syar'i.

SOAL 800:
Bagaimana cara menetapkan awal bulan suci Ramadhan dan malam lebaran? Bolehkan menetapkannya berdasarkan kalender?
JAWAB:
Hilal dapat ditetapkan dengan penglihatan (ru’yah) seorang mukallaf, atau kesaksian dua orang yang adil, atau ketenaran yang menimbulkan keyakinan, atau berlalunya 30 hari, atau ketetapan hakim.

SOAL 801:
Jika diperbolehkan mengikuti pengumuman sebuah negara tentang ru’yatul-hilal dan hal itu menjadi patokan ilmiah bagi kemunculan hilal di negara-negara lain, apakah pemerintah negara tersebut disyaratkan berupa pemerintahan Islam ataukah boleh mengikuti pengumuman pemerintahan zalim dan korup?
JAWAB:
Tolok ukur dalam hal itu ialah keyakinan akan ru’yah di daerah tersebut.

SOAL 802:
Kami mengharap YM menerangkan hukum i'tikaf baik di mesjid jami' atau lainnya, selain di empat masjid (Masjid Nabawi, Masjid al-Haram, Kufah dan Bashrah) !.
JAWAB:
Di mesjid jami' sah melakukan i'tikaf, dan di selain mesjid jami' tidak bermasalah jika dengan niat raja'an (mengharap pahala) Adapun definisi mesjid jami' sudah dijelaskan dalam bab shalat.

Qadha Puasa Ramadhan




Masalah 428: Beberapa orang berikut ini tidak wajib mengqadha puasa yang pernah mereka tinggalkan:

a.Anak kecil untuk puasa yang telah ia tinggalkan ketika masih kecil.
b.Orang gila untuk puasa yang telah ia tinggalkan pada saat gila.
c.Orang pingsan untuk puasa yang telah ia tinggalkan pada saat pingsan.
d.Orang kafir asli untuk puasa yang telah ia tinggalkan pada saat kekafiran.

Selain keempat orang di atas wajib mengqadha puasa yang pernah mereka tinggalkan.

Masalah 429: Berdasarkan ihtiyâth wajib, kita tidak boleh menunda qadha puasa Ramadhan hingga bulan Ramadhan tahun berikut tiba. Jika kita telah terlanjur menundanya (hingga bulan Ramadhan tahun berikut tiba), maka setelah itu kita bisa mengqadhanya kapan saja.

Dalam mengqadha puasa Ramadhan, kita tidak wajib mengqadhanya secara berurutan. Kecuali apabila kita memiliki qadha puasa untuk dua bulan Ramadhan dan hingga bulan Ramadhan tahun berikut tidak cukup waktu untuk mengqadha kedunya. Dalam kondisi ini, berdasarkan ihtiyâth wajib, kita harus mengqadha puasa Ramadhan untuk tahun yang terakhir.[1]

Masalah 430: Jika kita tidak berpuasa seluruh atau sebagian bulan Ramadhan lantaran sebuah uzur dan uzur ini berlanjut hingga bulan Ramadhan tahun berikut tiba, terdapat dua kemungkinan dalam hal ini:

1. Jika uzur yang kita miliki itu adalah penyakit yang berlanjut hingga bulan Ramadhan tahun berikut, maka qadha puasa gugur dari pundak kita dan sebagai gantinya kita harus membayar kafarah sebesar 1 mud (kg) untuk setiap harinya. Mengqadha puasa dalam kondisi ini tidak mencukupi kafarah.

2. Jika uzur yang kita miliki adalah selain penyakit, seperti pepergian dan lain-lain, maka menurut pendapat yang lebih kuat kita hanya wajib mengqadha puasa saja. Begitu juga halnya apabila sebab kita tidak berpuasa adalah penyakit dan faktor kita menunda qadha puasa adalah uzur lain atau sebaliknya. Akan tetapi, ihtiyâth dengan mengumpulkan antara mengqadha puasa dan membayar 1 mud, khususnya bila uzur lain itu adalah pepergian, jangan kita tinggalkan.

Masalah 431: Jika kita tidak berpuasa bulan Ramadhan dengan sengaja atau lantaran sebuah uzur, tetapi uzur ini tidak berlanjut hingga bulan Ramadhan tahun berikut dan kita juga tidak memiliki uzur lain setelah uzur itu, lalu kita meremehkan qadha puasa hingga bulan Ramadhan tahun berikut tiba, maka kita harus membayar kafarah sebesar 1 mud untuk setiap harinya dan juga mengqadha puasa. Jika kita sengaja membatalkan puasa, maka kita wajib membayar dua kafarah.

Masalah 432: Kita boleh memberikan kafarah penundaan qadha puasa selama beberapa hari untuk satu bulan Ramadhan atau lebih kepada satu orang fakir.

Masalah 433: Jika kita sedang berpuasa untuk qadha puasa Ramadhan, maka kita masih boleh membatalkannya sebelum matahari tergelincir, selama waktu qadha belum sempit. Adapun setelah matahari tergelincir, kita haram membatalkannya. Bahkan, kita juga wajib membayar kafarah bila membatalkannya setelah matahari tergelincir.

Kafarah dalam hal ini adalah memberi makan 10 orang miskin dan untuk setiap orang miskin 1 mud. Jika tidak mungkin, maka kita harus berpuasa selama 3 hari.

Setelah membatalkan puasa itu, kita tidak wajib menghindarkan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa.

Masalah 434: Puasa adalah seperti salat; yaitu, wali seorang mayit wajib mengqadha puasa yang pernah mayit[2] tinggalkan selama hidup, sekalipun—berdasarkan ihtiyâth[3] yang tidak layak kita tinggalkan—puasa yang ia tinggalkan itu lantaran menentang perintah Allah, meskipun ketidakwajiban mengqadha puasa ini adalah pendapat yang tidak jauh dari kebenaran (ghairu ba‘îd).


Catatan Kaki:
[1] Syaikh Behjat: Dalam asumsi ini, kita wajib medahulukan qadha puasa tahun yang terakhir atas qadha puasa Ramadhan yang lain.
[2] Imam Khamenei: Ayah dan juga ibu.
[3] Sayyid Khu’i: Ahwath berdasarkan ihtiyâth.

Menyambut Ramadhan dengan Ziarah Kubur

Sama halnya dengan masyarakat muslim di Indonesia, masyarakat Iranpun kental dengan tradisi ziarah kubur sehari sebelum memasuki Ramadhan. Kalau dinegeri kita, yang menjadi tempat ziarah adalah makam sanak saudara yang lebih dulu meninggal dunia. Di Iran sedikit berbeda, para peziarah berdatangan ke makam-makam orang-orang yang mereka agungkan, yakni makam keluarga Nabi, para ulama dan taman makam pahlawan mereka.

Menyambut Ramadhan dengan Ziarah Kubur.
Tradisi menyambut Ramadhan dengan berziarah kubur, telah menjadi tradisi tahunan masyarakat muslim diberbagai belahan dunia. Tidak terkecuali masyarakat muslim Indonesia, tiga atau dua hari sebelum bulan Sya'ban berakhir, masyarakat muslim berjubelan di tempat pemakaman diberbagai kota di negeri ini. Bahkan terkadang ramainya melebihi suasana berziarah kubur di hari lebaran. Sebenarnya tidak ditemukan riwayat satupun dari Nabi saww yang mengkhususkan untuk berziarah kubur sebelum memasuki Ramadhan. Mengenai ziarah kubur. Rasulullah saww lebih memilih menganjurkannya secara umum dan terbuka dan tidak menetapkan batasan tertentu. Beliau saww bersabda, "Sesungguhnya aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, maka (sekarang) ziarahilah kuburan." (HR. Muslim). Diantara hikmahnya kata Rasul, "Sebab ziarah kubur itu akan mengingatkan pada hari akhirat dan menambah kebaikan pada diri kalian." (HR. Ahmad).

Karena tidak ada ketentuan khusus dari Nabi saww, maka berziarah kubur bisa dilakukan kapan saja. Setiap muslim bisa membuat agenda tersendiri, apakah menetapkan baginya ziarah kubur setiap hari Senin dan Kamis perpekan, setiap hari Jum'at, sebulan sekali, atau hanya pada hari-hari tertentu, termasuk mentradisikan untuk berziarah kubur sebelum memasuki Ramadhan atau bahkan tidak membuat agenda khusus, kapan merasa perlu saja. Hanya saja, karena tidak adanya petunjuk khusus dari Nabi saww mengenai waktu-waktu tertentu untuk berziarah, maka kita tidak boleh memberi penetapan bahwa misalnya ziarah pada hari Kamis lebih afdhal dibanding pada hari lain, ataupun menganggap telah berdosa mereka yang lalai dari ziarah kubur sebelum memasuki Ramadhan. Nabi saww lebih memilih fleksibel dalam anjurannya kepada kaum muslimin untuk menziarahi kuburan, karena ziarah kubur dapat memberikan manfaat positif yang tidak sedikit terhadap pertumbuhan dan kesehatan jiwa, menambah keimanan, memberi berbagai pelajaran hidup dan menanamkan sifat kesederhanaan, zuhud dan dapat mengikis rasa tamak dan loba terhadap dunia. Kita bisa melakukannya kapan saja, setiap kita merasa palung hati kita ditimbuni gumpalan noda dendam dan dosa, berziarahlah. Setiap palung hati kita terkuburi oleh konstruksi bangunan berpikir metropolis, maka berziarah kuburlah, kata Nabi, "Itu akan mengingatkanmu pada akhirat."

Adanya tradisi ziarah kubur menjelang Ramadhan, bisa jadi terbentuk dari anjuran Nabi saww sendiri. Beliau saww menganjurkan kepada setiap muslim untuk memasuki Ramadhan dengan jiwa yang bersih, terlepas dari kebencian dan permusuhan apapun terhadap sesama muslim, saling mendo'akan, saling memaafkan, saling mengunjungi dan menyambung silaturahmi. Kematian seseorang, tidak serta merta memutuskannya dengan kehidupan di dunia ini, sehingga dengan meninggalnya seseorang telah berarti tamatlah riwayatnya dan tidak ada lagi sangkut pautnya dengan apapun yang masih berada di dunia ini. Dengan mereka yang lebih dahulu meninggal dunia pun, kita tetap wajib untuk tetap saling menyambung silaturahmi. Allah SWT berfirman, "...dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk." (Qs. Ar-Ra'd: 21).

Para mufassir mengatakan, yang dimaksud oleh Allah SWT menghubungkan apa-apa yang telah Allah perintahkan supaya dihubungkan adalah, silaturahmi dan persaudaraan. Dalam kitab Zadul Ma'ad, Ibnu Qayyim al Jautziyah menuliskan, Rasulullah saww senantiasa menziarahi kubur para sahabatnya, mendo'akan mereka dan memintakan rahmat dan pengampunan bagi mereka. Bahkan Rasulullah saww mengajarkan setiap berziarah, kita mengucapkan salam kepada ahli kubur, "Assalamu ‘alaa ahliddiyaari minal mu'minina wal muslimina, antum lana farathun wa nahnu insya Allahu bikum laahiquuna, Salam sejahtera atas (kalian wahai) para penghuni tempat-tempat ini, baik kaum mukmin maupun muslim, kalian telah mendahului kami dan atas kehendak Allah kami pun akan menyusul kalian." Dari sini bisa dikatakan, kita diperintahkan oleh syariat ini untuk tetap menyambungkan silaturahmi hatta kepada saudara-saudara kita yang lebih dahulu meninggal dunia. Perintah Nabi, untuk mengucapkan salam kepada mereka setiap berziarah, meniscayakan salam-salam kita mereka dengar bahkan membalasnya. Adalah kesia-siaan, jika Nabi memerintahkan kita mengucapkan salam dengan mukhatib (pendengar/teman bicara) para ahli kubur, namun mereka tidak diberikan kemampuan oleh Allah SWT untuk mendengar dan menjawab salam-salam kita.

Adanya diantara saudara kita yang menghukumi ziarah kubur menjelang Ramadhan yang selama ini ditradisikan oleh mayoritas kaum muslimin di Indonesia sebagai praktik bid'ah dan tidak ada landasan dalilnya dalam Al-Qur'an dan Sunnah, maka kita katakan, ziarah kubur adalah diantara sunnah Rasul yang hukumnya sunnah sebagaimana dalil yang telah dituliskan di atas, dan Rasulullah saww fleksibel dalam hal penetapan waktu berziarah, sebagaimana halnya shalat-shalat yang hukumnya sunnah yang tidak ada penentuan dari Nabi saww mengenai batasan jumlah raka'atnya, maka kita boleh melakukan berapa raka'at yang kita mampu. Seperti shalat malam misalnya, kita bisa menetapkan bagi diri kita sendiri, melakukan dua raka'at setiap malam, delapan raka'at atau bahkan menetapkan diri sendiri melakukannya hanya sekali dalam sebulan, sebab paling minimal adalah melakukannya sekali dalam seumur hidup. Kecuali jika ada hadist dari Nabi yang memberikan batasan dan menentukan waktu-waktu yang makruh bahkan haram untuk berziarah kubur.

Sama halnya dengan masyarakat muslim di Indonesia, masyarakat Iranpun kental dengan tradisi ziarah kubur sehari sebelum memasuki Ramadhan. Kalau dinegeri kita, yang menjadi tempat ziarah adalah makam sanak saudara yang lebih dulu meninggal dunia. Di Iran sedikit berbeda, para peziarah berdatangan ke makam-makam orang-orang yang mereka agungkan, yakni makam keluarga Nabi, para ulama dan taman makam pahlawan mereka. Masyarakat Iran yang mayoritas Syiah memang dikenal sangat mengagungkan makam para imam dan ulama-ulama mereka. Makam-makam mereka dibangun dengan hiasan yang indah dan megah, dibangun dengan cita rasa estetika yang tinggi, penuh dengan ornamen-ornamen dengan warna-warna yang menyejukkan mata. Bagi mereka Nabi dan para wali adalah tanda teragung dan terbesar dari agama Allah SWT. Maka pengagungan yang harus dipersembahkan terhadap mereka adalah pengagungan dan penghormatan yang paling utama. Merekalah yang telah menyampaikan agama Allah kepada umat manusia. Menjaga baik-baik makam-makam, peninggalan-peninggalan para nabi dan ulama agar tidak hilang musnah adalah penghormatan dan pengagungan sebaik-baiknya terhadap mereka. Menurut mereka, dengan terpeliharanya makam para shalihin, maka ajaran merekapun akan selalu terkenang dalam hati dan tentu saja akan malu jika mengagungkan makam para shalihin namun mengabaikan ajaran mereka.

Wallahu 'alam Bishshawwab

Oleh: Ismail Amin

Terkait Berita: