Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Puasa. Show all posts
Showing posts with label Puasa. Show all posts

Puasa-Khusus Mengingatkan Kita sebagai Penerus dan Wakil Tuhan


Puasa dalam perspektif Irfan memiliki lingkaran yang lebih luas yang di samping terkait dengan badan juga mencakup jiwa dan pesuluk harus menjauhi apa-apa yang dilarang untuk didengar, dibicarakan, dan diperbuat.
 
Hujjatul Islam Bahram Delir, Ketua Bidang Irfan Lembaga Penelitian Budaya dan Pemikiran Islam, dalam wawancara dengan Shabestan yang di samping menegaskan tentang puasa-khusus, mengatakan bahwa puasa memiliki definisi fikih yakni menahan dari makan, minum, dan hal-hal lain dari azan subuh hingga azan magrib. Pada hakikatnya, ‘menahan’ ini terkait dengan badan jasmani.
Ia melanjutkan, “Sementara puasa dalam pandangan Irfan memiliki domain yang sangat luas yang di samping berhubungan dengan badan juga meliputi jiwa. Pesuluk harus meninggalkan apa-apa yang dilarang untuk didengar, dikatakan, dan dilakukan, namun hal ini tidak bermakna bahwa bohong, ghibah, dan ucapan yang tidak layak menurut fikih adalah bisa dikerjakan ketika berpuasa. Memang hal-hal tersebut tidak membatalkan puasa, tetapi hal ini sangat berbeda jika dipandang dari sudut puasa jiwa dan batin.”
Tentang puasa-khusus atau puasa batin para arif, ia mengungkapkan, “Menahan ini bagi pesuluk tidak hanya dalam bulan Ramadan ini, melainkan penahanan ini secara perlahan-lahan dan bertahap akan berlaku pada bulan-bulan yang lain dan apa-apa yang berkaitan dengan pemikiran, hati, tafakkur, dan… akan menjadi focus perhatian. Di dalam puasa-khusus arif ini, puasa mencakup jasmani dan ruhani, mungkin saja puasa jasmaninya hanya di dalam bulan Ramadan saja, namun puasa ruhaninya terus berjalan sepanjang tahun.”
Untuk menjalani puasa-khusus ini terdapat dua jalan, ia mengatakan, “Jalan ini adalah jalan teoritis dan praktis. Irfan praktis mendukung Irfan teoritis dan ketika salik mencapai suatu pengetahuan bahwa doa dan kesalahan baginya seperti meminum racun maka mustahil ia melakukannya, karena itu ia tidak akan mendengar apa yang terlarang untuk didengar dan tidak melangkahkan kakinya di jalan yang terlarang, begitu pula tidak akan berpikir tentang apa-apa yang dilarang untuk dipikirkan. Semua ini adalah sifat-sifat yang mengakar bagi sang salik.”
“Jika Irfan teoritis tidak tercapai maka mustahil Irfan praktis bisa berjalan. Di jalan ini seribu tingkatanyang harus dilalui secara bertahap sedemikian sehingga mengakar di hati, jiwa, dan pikiran sang pesuluk. Dan jika Rasulullah saw berkata kepada seorang yang sedang berpuasa dalam kondisi mengghibah saudara seimannya bahwa engkau tidak berpuasa dan sedang memakan potongan-potongan daging mayat, maka itu adalah bentuk batin dari perbuatannya.”
“Begitu banyak persoalan lahiriah yang karena kita tidak mengetahui batinnya maka kita tidak berusaha untuk melaksanakan dan menghindarinya. Tidak seorang pun yang berakal akan rela memakan daging mayat, dalam kondisi demikian, apakah dia berani mengghibah atau berbohong yang merupakan kunci dari segala keburukan. Apakah orang yang berakal sehat akan mencari keburukan, bagaimana dengan para pesuluk?” tegasnya.
“Para pesuluk senantiasa berupaya melakukan apa-apa yang dicintai dan diridhai oleh kekasihnya (Tuhan) dan meninggalkan apa-apa yang tidak disenangi-Nya,” tandasnya.

(Shabestan/ABNS)

China Larang Pejabat dan PNS di Xinjiang Jalankan Ibadah Puasa


Pemerintah China dikabarkan memaksa para pegawai negeri dan pejabat di provinsi Xinjiang untuk berjanji tak akan menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang akan dimulai pada Kamis (18/6/2015).
 
Xinjiang, adalah wilayah China yang sebagian besar penduduknya adalah etnis Uighur yang beragama Islam. Sejak beberapa kelompok garis keras melakukan gangguan keamanan, pemerintah China mengendalikan wilayah itu dengan keras.

Sama dengan kondisi tahun lalu, situs pemerintah Xinjiang memuat pemberitahuan yang meminta para pejabat, PNS hingga para pelajar dan guru yang beragama Islam tidak menjalankan ibadah puasa.

Di beberapa bagian Xinjiang, Beijing bahkan meminta pejabat setempat memberikan jaminan baik secara lisan maupun tertulis bahwa mereka tidak akan menjalankan ibadah puasa dan menghadiri aktivitas keagamaan.

Keputusan pemerintah China untuk melarang warga Xinjiang berpuasa karena menganggap bulan Ramadhan bisa digunakan sebagai sarana melakukan provoksi untuk memicu lebih banyak perlawanan di provinsi tersebut.

"Pemerintah China memperbanyak jenis larangan dan memperketat pengawasan ketika Ramadhan akan tiba. Agama yang dipeluk warga Uighur telah dipolitisasi dan meningkatkan pengawasan justru bisa mempertajam perlawanan," kata Dilxat Raxit, juru bicara Kongres Uighur Sedunia (WUC), organisasi etnis Uighur di pengasingan.

Pada Desember tahun lalu, pemerintah China sudah menimbulkan keresahan warga Xinjiang setelah melarang kaum perempuan Muslim mengenakan burka. Di China terdapat sekitar 20 juta umat Muslim, 8 juta di antaranya adalah warga Uighur yang berbahasa Turki di provinsi Xinjiang. [tribunnews]

Tradisi Berbuka Puasa di India


Tradisi unik di Bulan Ramadan tidak hanya ada di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. India pun memilikinya. Negara tersebut memiliki tradisi berbuka puasa yang terbilang cukup unik.
 
Dikutip dari Skyscanner, umumnya masyarakat India berbuka puasa di masjid atau surau kecil. Untuk membangun kekeluargaan, berbuka puasa dilaksanakan di depan masjid dan bisa dinikmati oleh masyarakat umum.

Sementara, hidangan lezat yang disajikan merupakan hidangan yang diberikan oleh para donatur yang mereka bawa dari rumah. Menariknya, penjualan bihun selama Bulan Ramadan mengalami peningkatan.

Sebab, bihun merupakan menu yang kerap disuguhkan saat berbuka puasa bersama dengan buah-buahan manis.

Namun, masing-masing wilayah di India memiliki santapan yang berbeda untuk berbuka puasa. Di India Selatan, seperti di Tamil Nadu dan Kerala, kerap menikmati nombu kanji.

Nombu kanji merupakan bubur nasi yang dimasak bersama daging sapi atau domba dilengkapi dengan kacang hijau, bawang bombai dan rempah-rempah (kunyit, kayu manis, jintan, dan cengkih).

Umumnya, makanan ini disajikan bersama bonda, bajji dan vada (aneka gorengan khas India).

Sementara itu, haleem menjadi makanan yang kerap disantap di perbatasan India Utara dan India Selatan, Hyderabadi. Meski ini termasuk hidangan Arab, namun setelah dimodifikasi dengan aneka macam rempah khas India, makanan ini menjadi hyderabadi haleem.

Hyderabadi merupakan bubur yang terbuat dari gandum, daging sapi atau kambing, bawang bombai, garam masala, ketumbar, dan ghee. Kabarnya, makanan ini sangat spesial dan menjadi sajian yang cukup sering dikirim kepada umat muslim India yang berada di luar negeri.

Di sepanjang jalan menjelang buka puasa, aneka gorengan kerap dijajakan di India bagian utara. Gorengan seperti samosa dan pakoris merupakan yang paling favorit.

[Sumber: Sindo News]

Melihat Keseharian Muslim di China Selama Ramadan


Otoritas Islam China telah menetapkan awal Ramadan 1436 H pada hari Kamis 18 Juni 2015, dan akhir Ramadan 1436 H, atau Hari Raya Idul Fitri pada Jumat 17 Juli 2015. Oleh karena itu, seluruh Muslim di China akan memulai ibadah puasa pada hari ini.
 
Berdasarkan jadwal imsakiyah dari Masjid Agung Niujie, Kota Beijing, yang diterima Antara menyebutkan, waktu subuh untuk hari ini adalah pukul 03.09, dan maghrib pukul 19.45 waktu setempat.

Waktu Salat Subuh dan berbuka puasa untuk setiap kota di China, berbeda satu hingga satu setengah jam dari Kota Beijing. Selama Ramadan, sekira 50 juta Muslim di China akan berpuasa, Salat Tarawih, dan melakukan tadarus di sejumlah masjid.

Muslim Indonesia yang berada di China, biasanya melakukan Salat Tarawih di masjid atau di rumah masing-masing. Khusus di Kota Beijing, sebagian dari mereka melakukan buka puasa bersama di Kedutaan Besar RI (KBRI), kemudian dilanjutkan dengan Salat Tarawih berjamaah.

Islam mulai masuk ke Negeri Tirai Bambu itu pada akhir masa Dinasti Sui atau menjelang berdirinya Dinasti Tang (Abad ke 7), yang dibawa oleh saudagar Arab Saudi yang datang melalui Bandar Kanton (Guang Dong), dan Bandar Quanzhou.

Bahkan hingga kini, masih ada warga keturunan Arab yang tinggal di Kota Quanzhou, dan banyak juga makam para ulama Islam Tionghoa keturunan Arab di kota itu.

[Sumber: Okezone.com]

Bagaimana Hukum Puasa Para Musafir?


Bagaimana hukum salat dan puasa bagi para dosen dan mahasiswa yang jika berniat untuk tinggal lebih dari 10 hari di tempat belajar dan mengajar?
 
Pertanyaan-pertanyaan yang paling banyak diajukan oleh masyarakat kepada Pusat Nasional Solusi Keagamaan adalah sebagai berikut:

Para dosen dan mahasiswa jika mereka berniat untuk tinggal lebih dari 10 hari di tempat studi dan mengajar, bagaimana hukum salat dan puasa mereka?

Jawaban: semua Marja mengatakan:

Untuk orang-orang seperti ini, salatnya harus dikerjakan secara sempurna (tidak di-qashar) dan juga wajib berpuasa.

Dan orang-orang yang sesuai dengan pandangan Marja’ taklidnya digolongkan sebagai orang yang sangat banyak bepergian dan safar, maka tempat studi dan mengajarnya dikategorikan sebagai tempat tinggalnya (watan), dengan demikian mereka harus mengerjakan salatnya secara sempurna (tidak dipendekkan atau di-qashar-kan) dan berpuasa dengan tanpa berniat tinggal sepuluh hari. (Taudhihul Masail Maraji’, jilid 1, Masalah1292).

(Shabestan)

Warga Muslim China Dilarang Berpuasa


Para petinggi China melarang anggota partai Islam, para pegawai pemerintah, siswa, dan guru di sebagian kawasan Xinjiang berpuasa di bulan Ramadhan ini.
 
Pelarang berpuasa ini bukan untuk pertama kali diterapkan di kawasan Xinjiang. Keputusan seperti ini biasa diambil pemerintah China ketika menjelang Ramadhan tiba.

“Pemerintah China sedang menambah volume pembatasan di bulan Ramadhan ini. Ritual agama masyarakat Uyghur sedang menghadapi banyak pembatasan. Kontrol yang berlebihan ini mungkin akan menyebabkan perlawanan rakyat akan mencapai klimaks,” begitu diungkapkan oleh Dilxat Raxit Jubir kelompok minoritas Uyghur dalam pengasingan.

Menurut Raxit, keputusan para petinggi China untuk melarang para pegawai pemerintah berpuasa merupakan sebuah usaha untuk mengontrol agama Islam.

Situs informasi resmi Pemerintah China dalam rilis terakhir mengabarkan, lantaran keputusan tersebut, restoran-restoran halal China lebih terdorong untuk buka di siang hari bulan Ramadhan. Restoran-restoran yang buka di bulan Ramadhan ini tidak akan dipersulit di masa mendatang.

Pemerintah China mengklaim, undang-undang untuk daerah Xinjiang yang berpenduduk muslim ini diberlakukan dalam rangka kampanye untuk melawan radikalisme agama. Tentu maksud mereka dari “radikalisme agama” ini adalah Muslimin China.

Partai Komunis China sudah banyak melakukan usaha untuk melemahkan Islam dan memberangus warga muslim Uyghur yang mayoritas mereka berdomisili di Xinjiang.

Dari sejak tahun lalu, para petinggi China memberikan hadiah uang tunai kepada warga China yang siap memata-matai tetangga muslim mereka. Menentang hijab dan jenggot termasuk keputusan lain China dalam melawan warga muslim.

(Shabestan)

Peringatan Allah dalam Al-Quran: Mengharamkan yang Dihalalkan Allah


Allah Swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu haramkan apa saja yang baik dan telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. al-Maidah: 87)

Termasuk peringatan Allah yang termaktub dalam al-Quran kepada orang-orang mukmin adalah meninggalkan dunia secara mutlak dan menilai haram nikmat-nikmat Allah yang suci dan halal. Dalam ayat 78 surat al-Maidah, peringatan ini disampaikan secara transparan. Sementara dalam Asbab Nuzul ayat ini disebutkan bahwa ada sejumlah sahabat Nabi Muhammad Saw yang duduk bersama beliau dalam sebuah pertemuan. Ketika Nabi Saw sampai pada penjelasan tentang kiamat, mereka begitu terpengaruh dan sadar, sehingga ada yang memutuskan untuk berpuasa setiap hari. Di malam hari mereka tidak tidur dan menggantinya dengan ibadah. Mereka tidak lagi ingin mendekati istrinya dan tidak makan daging.

Mereka berhasil mengamalkan perilaku ini untuk beberapa waktu, hingga berita ini sampai ke Nabi Saw. Ketika beliau mendengar kabar ini, dengan segera para sahabatnya dikumpulkan dan menyampaikan ketidaksukaannya akan perilaku yang seperti ini. Nabi Saw berkata, "Jiwa kalian memiliki hak. Berpuasalah, tapi pada saat yang sama kalian juga harus berbuka. Sisihkan waktu di malam hari untuk istirahat dan tidur. Karena saya juga melakukan hal yang demikian. Saya juga makan daging dan mendekati istriku. Barangsiapa yang berpaling dari cara hidup yang aku lakukan, berarti itu bukan ajaranku. Mengapa ada sebagian masyarakat mengharamkan wanita, makanan, bau wangi, tidur dan kelezatan dunia? Saya tidak pernah mengeluarkan perintah seperti itu. Saya tidak ingin kalian hidup seperti para rahib dan pendeta yang meninggalkan dunia lalu hidup di sudut gereja dan tempat ibadah serta menghancurkan dirinya. Tidak makan daging dan meninggalkan istri tidak termasuk dari ajaranku. Kehidupan rahib dan pendeta di luar dari ajaran Islam. Rekreasi umatku adalah berpuasa dan hidup menyendiri mereka adalah jihad. Beribadahlah kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya. Lakukan perintah Allah untuk melakukan umrah atau haji, menunaikan shalat dan mengeluarkan zakat. Berpuasa di bulan Ramadhan dan tegar di jalan Allah, sehingga Allah Swt menjagamu di jalan kebenaran. Orang-orang terdahulu binasa akibat menyulitkan diri sendiri. Mereka melakukan hal-hal yang menyulitkan diri dan Allah akhirnya menyulitkan mereka. Kini apa yang tertinggal dari mereka dapat disaksikan di tempat-tempat ibadahnya." Setelah itu ayat ini diturunkan kepada beliau Saw.[1]

Dengan demikian, sikap ekstrim sebagian sahabat dalam meninggalkan dunia telah membuat ayat ini diturunkan dan memperingatkan umat Islam untuk tidak mengharamkan nikmat-nikmat Allah yang suci dan halal. Perlu dicamkan bahwa ayat ini ditujukan kepada mereka yang ekstrim, tapi berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari, selama tidak membahayakan badan, maka bukan saj tidak hara, tapi metode paling tepat untuk mensucikan diri.

Sumber: Hoshdar-ha va Tahzir-haye Qorani, Hamid Reza Habibollahi, 1387 Hs, Markaz-e Pajuhesh-haye Seda va Sima.

Konsekwensi membatalkan puasa


SOAL 795:
Apakah boleh mengikuti Ahlussunnah berkenaan dengan waktu ifthar (buka puasa) dalam pertemuan-pertemuan umum, forum-forum resmi dan lainnya? Dan apa yang wajib dilakukan oleh mukallaf jika ia menganggap hal itu bukan sebagai taqiyyah, dan tidak ada alasan syar’iy untuk menerapkannya?

JAWAB:
Mukallaf tidak diperbolehkan mengikuti yang lain tanpa memastikan masuknya waktu berkenaan dengan waktu buka puasa (ifthar), dan jika termasuk pada kondisi taqiyyah maka dia diperbolehkan berbuka, namun dia wajib mengqadhonya. Sebagaimana tidak boleh atas kehendak sendiri berbuka puasa, kecuali setelah memastikan tibanya waktu malam dan berakhirnya siang dengan menyaksikan sendiri atau berdasarkan bukti syar’iy (hujjah syar’iyah).

SOAL 796:
Jika saya sedang berpuasa, lalu dipaksa oleh ibu agar makan dan minum, apakah hal itu membatalkan puasa?

JAWAB:
Makan dan minum membatalkan puasa, meski karena ajakan atau desakan orang lain.

SOAL 797:
Jika suatu benda dimasukkan secara paksa ke dalam mulut seorang yang sedang berpuasa, atau kepalanya dibenamkan ke dalam air, apakah membatalkan puasa? Dan jika dipaksa membatalkan puasa, seperti jika diancam dengan kerugian pada harta atau jiwa apabila tidak makan.Lalu ia makan untuk menghindari bahaya itu. Apakah puasanya tetap sah ataukah tidak?

JAWAB:
Jika suatu benda dimasukkan  ke dalam tenggorokannya secara paksa atau kepalanya kebenamkan secara paksa ke dalam air, puasanya tidaklah batal. Namun, jika ia memakan sendiri benda yang membatalkan puasa atas dasar paksaan orang lain, maka batallah puasanya.

SOAL 798:
Pelaku puasa tidak mengetahui bahwa tidak boleh berbuka (ifthar) sebelum tergelincirnya matahari (zawal) apabila belum menacapai batas tarakhkhus. Lalu ia melakukan ifthar sebelum batas tarakkhush dengan anggapan sebagai musafir. Apa hukum puasanya? Dan apakah ia wajib mengqadha’nya ataukah ia dikenai hukum lain?

JAWAB:
Perbuatannya tersebut dihukumi seperti ifthar (membatalkan puasa) dengan sengaja.

SOAL 799:
Ketika terkena influensa dahak mengumpul dalam mulut. Alih-alih mengeluarkan, saya malah menelannya. Apakah puasa saya sah ataukah tidak? Saya telah melewati beberapa hari dalam bulan Ramadhan di rumah salah seorang kerabat. Karena terserang flu, di samping karena malu, saya terpaksa bertayamum dengan tanah sebagai ganti mandi wajib, dan baru mandi saat mendekati waktu dhuhur. Perbuatan ini telah saya lakukan berulangkali selama beberapa hari. Apakah puasa saya di hari-hari itu sah ataukah tidak? Dan jika tidak sah, apakah saya wajib membayar kaffarah ataukah tidak?

JAWAB:
Anda tidak dikenai hukum apa-apa karena saat berpuasa menelan dahak dan ingus. Meski demikian, berdasarkan ahwath, Anda wajib mengqadha’ puasa apabila menelan dahak yang sudah berada di ruang mulut. Berkenaan dengan tindakan meninggalkan mandi janabah sebelum subuh hari puasa, dan melakukan tayammum sebagai gantinya, apabila hal itu dikarenakan alasan syar’iy atau tayammum dilakukan di akhir waktu dan ketika  waktu sudah sempit, maka puasa anda sah. Jika tidak, maka batallah puasa anda selama beberapa hari itu.

SOAL 800:
Saya bekerja di tambang besi. Karakteristik pakerjaan saya mengharuskan saya masuk ke dalam tambang dan bekerja di situ setiap hari. Ketika menggunakan peralatan maka debu akan masuk ke mulut saya. Hal ini terjadi pada bulan-bulan lain sepanjang tahun. Apa tugas saya dalam kondisi begitu sahkah puasa saya ataukah tidak?

JAWAB:
Menelan debu saat sedang berpuasa membatalkan puasa.  Karena itulah, wajib menghindarinya. Namun puasa anda tidak batal apabila debu itu hanya masuk ke dalam mulut dan hidung, sementara anda tidak menelannya.

Kisah Puasa 3 Hari Ahlul Bait


Allah berfirman: Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Mereka hanya berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dan tidak pula (ucapan) terima kasih darimu. Sesungguhnya kami takut kepada Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan” Maka (karena keyakinan dan amal itu) Allah memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.” (Surah Al-Insan ayat 8-11).

Suatu hari Imam Hasan dan Imam Husain sakit. Keduanya merupakan bunga hati Rasulullah saw. Ketika Nabi mendengar kabar sakitnya mereka, beliau bersama sebagian sahabat menjenguknya dan mengisyaratkan kepada Ali dengan berkata: “Wahai Abul Hasan, seandainya engkau bernadzar kepada Allah untuk kesembuhan mereka, semoga Allah memberikan kesembuhan pada mereka.”.
Kemudian Imam Ali, Sayyidah Fathimah dan budak perempuannya, Fiddah, bernadzar puasa selama 3 hari untuk kesembuhan Imam Hasan dan Imam Husain as. Tatkala Imam Hasan dan Imam Husain as sembuh, mereka ingin menunaikan nadzarnya berpuasa selama 3 hari, akan tetapi tidak ada makanan untuk buka puasa. Imam Ali meminjam 9 kilogram gandum dari seorang Yahudi bernama Syam’un. Kemudian Sayyidah Fathimah membuat 5 potong roti dari gandum itu sesuai dengan jumlah mereka. Saat tiba waktu berbuka puasa, makanan diletakkan di hadapan mereka. Ketka hendak menyantapnya, tiba-tiba seorang peminta-minta mengetuk pintu rumah dan berkata: “Assalamu ‘alaikum wahai Ahlulbait Nabi, aku seorang Muslim yang miskin, berilah aku makanan. Semoga Allah memberi kalian hidangan surga!”
Ketika mendengarnya, mereka mengumpulkan roti tersebut dan memberikannya kepada orang itu. Mereka melewati malam tanpa merasakan makanan apapun kecuali air.

Esok harinya mereka kembali berpuasa, dan mereka menyiapkan beberapa roti untuk berbuka puasa. Ketika tiba waktu buka puasa, hidangan diletakkannya di hadapan mereka. Tapi sebelum mereka menyantap makanan itu, seseorang mengetuk pintu rumah dan berkata: “Aku anak yatim Muslim.” Dan dia berkata seperti orang peminta pertama. Mereka pun mengumpulkan makanan dan memberikan kepadanya. Mereka akhirnya melewati malam kedua ini seperti malam pertama tanpa merasakan makanan apapun.

Pada hari ketiga disaat buka puasa tiba dan hendak menyantap hidangan, yaitu makanan yang masih tersisa dari simpanan mereka, pintu rumah diketuk dan peminta kali ini adalah seorang tawanan. Dia meminta diberi makanan yang ada pada mereka. Kemudian mereka melakukan apa yang dilakukan pada hari-hari sebelumnya dan memberikan roti kepadanya. Mereka kembali tidur malam dalam keadaan perut yang lapar.
Pada pagi harinya Imam Ali as memegang Hasan dan Husain menghadap Rasulullah saw. Ketika Rasulullah saw melihat mereka dalam keadaan gemetar seperti anak ayam yang kelaparan di depannya, Rasulullah berkata: “Melihat kalian membuatku bersedih!”

Rasulullah bersama mereka pergi dan berangkat untuk menemui putrinya, Sayyidah Fathimah as. Rasulullah menemukan putrinya dalam keadaan salat di mihrabnya. Punggung Sayyidah Fathimah as telah menyatu dengan perutnya dikarenakan beratnya rasa lapar hingga membuat matanya tenggelam (cekung). Nabi pun bersedih karenanya. Pada saat itu Jibril turun kepada Nabi dan berkata: “Terimalah wahai Rasulullah, Allah memberimu kabar gembira tentang Ahlulbaitmu.” Kemudian Jibril membacakan ayat mulia: Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Mereka hanya berkata),“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dan tidak pula (ucapan) terima kasih darimu.”

Kemudian Rasulullah mengabarkan berita gembira kepada Ahlulbaitnya tentang turunnya ayat dan penghormatan Allah kepada mereka dengan kedudukan dan kemuliaan ini.

HAL-HAL MENGENAI PUASA

PUASA KEWAJIBAN DAN KEABSAHAN PUASA
SOAL 695:
Seorang anak perempuan telah mencapai usia taklif, namun tidak dapat melakukan puasa karena konstruksi tubuh-nya lemah. Setelah bulan Ramadhan berlalu, dia tidak mampu mengqadha'-nya sampai tiba Ramadhan berikutnya. Apa hukumnya?
JAWAB:
Ketidakmampuan melakukan puasa dan qadha' puasa hanya karena lemah dan tidak mampu tidak menggugurkan kewajiban mengqadha'. Ia wajib mengqadha' puasa-puasa yang tidak dilakukannya pada bulan Ramadhan.

SOAL 696:
Apa hukum anak-anak putri yang telah baru mencapai usia balig namun sulit berpuasa sampai batas tertentu? Apakah usia baligh gadis 9 tahun?
JAWAB:
Usia baligh syar'i anak perempuan, menurut pendapat yang masyhur, ialah berakhirnya usia 9 tahun qamariah. Ia pada saat itu wajib berpuasa dan tidak boleh meninggalkannya hanya karena alasan-alasan tertentu. Namun, jika puasa di siang hari membahayakannya atau menimbulkan kesulitan tertentu, maka diperbolehkan ifthar (tidak berpuasa) saat itu.

SOAL 697:
Saya tidak tahu secara persis kapan saya mencapai usia taklif. Karena itulah, saya mohon Anda menerangkan seberapa banyak saya wajib mengqadha' shalat dan puasa? Apakah saya wajib membayar kaffarah ataukah saya cukup mengqadha'nya saja, karena saya tidak tahu?
JAWAB:
Anda hanya wajib meng-qadha' yang Anda yakini telah Anda tinggalkan sejak pasti menginjak usia taklif. Berkenaan dengan puasa, apabila Anda meninggalkan puasa (ifthar) dengan sengaja setelah pasti mencapai usia baligh, maka disamping meng-qadha' Anda juga wajib membayar kaffarah.

SOAL 698:
Jika seorang anak perempuan berusia 9 tahun yang wajib berpuasa, membatalkannya karena merasa berat, apakah ia wajib meng-qadha'nya ataukah tidak?
JAWAB:
Ia wajib mengqadha' puasa Ramadhan yang dibatalkannya.

SOAL 699:
Jika seseorang tidak berpuasa karena ia memperkirakan lebih dari 50% dan karena alasan halangan yang kuat bahwa ia tidak wajib berpuasa. Namun, setelah itu terbukti bahwa ia wajib berpuasa, apakah hukumnya berkenaan dengan qadha' dan kaffarah?
JAWAB:
Jika ia tidak berpuasa (ifthar) Ramadhan hanya atas dasar perkiraan, bahwa ia tidak wajib berpuasa, maka -dalam kasus ini- ia wajib meng-qadha' puasa dan juga dikenakan kewajiban kaffarah. Namun bila ia melakukan ifthar karena khawatir puasa akan membahayakan berdasarkan pertimbangan rasional (pertimbangan setiap yang berakal sehat), maka ia hanya wajib meng-qadha' dan tidak dikenakan kewajiban membayar kaffarah.

SOAL 700:
Ada seorang yang sedang melaksanakan wajib militer, dikarenakan perjalanan dan berada di daerah tugas, tidak dapat melakukan puasa Ramadhan tahun lalu. Memasuki Ramadhan pada tahun ini, ia masih berada di daerah tersebut, dan mungkin tidak dapat melakukan puasa Ramadhan tahun ini. Jika ia hendak meng-qadha' puasa dua kali Ramadhan tersebut setelah selesai wajib militer, apakah wajib membayar kaffarah ataukah tidak?
JAWAB:
Orang yang kehilangan waktu puasa pada bulan Ramadhan karena alasan perjalanan dan dan alasan tersebut berlangsung hingga Ramadhan berikutnya hanya wajib mengqadha' dan tidak wajib membayar denda (fidyah).

SOAL 701:
Jika seseorang yang berpuasa mengalami janâbah namun tidak sadar sebelum tiba waktu adzan dhuhur, lalu mandi secara irtimasi, apakah batal puasanya? Jika menyadarinya setelah usai mandi, apakah wajib mengqadha'nya?
JAWAB:
Jika melakukan mandi irtimasi karena lupa dan lalai bahwa ia sedang berpuasa, maka mandi wajib dan puasanya sah serta tidak wajib mengqadha'.

SOAL 702:
Jika seseorang bermaksud untuk sampai ke tempat tinggalnya sebelum tergelincirnya matahari (zawal), dan di tengah jalan mengalami peristiwa yang menghalanginya sampai ke tempat tinggalnya pada waktu yang telah ditentukan, apakah puasanya bermasalah ? Apakah ia wajib membayar kaffarah ataukah ia hanya wajib mengqadha' puasa pada hari itu saja?
JAWAB:
Puasanya dalam perjalanan tidak sah. Ia wajib mengqadha' puasa hari itu dan tidak wajib membayar kaffarah.

SOAL 703:
Pramugara atau awak pesawat ketika pesawatnya berada di ketinggian yang tinggi sekali dan menuju suatu negara yang jauh dalam jangka waktu dua setengah jam atau tiga jam, memerlukan air minum setiap 20 menit agar dapat menjaga keseimbangan tubuhnya. Apakah ia wajib membayar kaffarah disamping qadha’ puasa Ramadhan?
JAWAB:
Jika berpuasa membahayakan dirinya, maka ia boleh membatalkan (ifthar) puasanya dengan minum air dan ia wajib meng-qadha’ puasanya tanpa kaffarah.

SOAL 704:
Apakah batal puasa seorang perempuan yang mengalami haidh (datang bulan) dua jam atau kurang sebelum waktu maghrib?
JAWAB:
Puasanya batal.

SOAL 705:
Apa hukum puasa orang yang menyelam di dalam air dengan pakaian khusus sehingga tubuhnya tidak terkena air?
JAWAB:
Jika pakaiannya menempel pada kepalanya maka puasanya bermasalah (mahallu isykâl). Ia wajib, berdasarkan ahwath, mengqadha'nya.

SOAL 706:
Apakah boleh melakukan perjalanan dengan sengaja pada bulan Ramadhan agar dapat ifthar dan meloloskan diri dari beban puasa?
JAWAB:
Boleh. Jika seseorang bepergian demi menghindari puasa sekalipun maka wajib membatalkannya (ifthar).

SOAL 707:
Ada seseorang yang mempunyai tanggungan puasa wajib. Ia bertekad akan memenuhinya dengan puasa. Hanya saja ada sesuatu yang menghalanginya, seperti bila ia telah bersiap untuk bepergian setelah matahari terbit dan kembali setelah dhuhur, dan tidak memakan (atau meminum) sesuatau apapun yang membatalkan puasa. Namun waktu untuk niat berpuasa wajib telah lewat, padahal pada hari itu disunnahkan berpuasa. Apakah sah berniat puasa mustahab ataukah tidak?
JAWAB:
Jika tanggungannya berupa qadha' puasa Ramadhan, maka tidak sah berniat puasa mustahab (sunnah), meskipun setelah waktu niat puasa wajib telah berlalu.

SOAL 708:
Saya adalah pecandu rokok. Pada bulan suci Ramadhan setiap kali berusaha untuk tidak menjadi orang yang berwatak keras, saya tidak berdaya. Hal inilah yang membuat keluarga saya sangat terganggu. Saya juga menderita karena kondisi emosional ini. Apakah tugas saya?
JAWAB:
Anda wajib melakukan puasa bulan Ramadhan dan Anda tidak boleh merokok ketika berpuasa. Tidak boleh memperlakukan orang lain dengan kasar (keras) tanpa alasan dan meninggalkan rokok tidak ada hubungannya dengan amarah.
WANITA HAMIL DAN YANG SEDANG MENYUSUI
SOAL 709:
Ada seoarang wanita hamil yang tidak tahu bahwa berpuasa akan membahayakan kandungannya atau tidak. Apakah ia wajib berpuasa?
JAWAB:
Jika ia khawatir puasanya akan membahayakan janinnya, dan kekhawatirannya masuk akal (diterima oleh orang-orang yang berakal sehat), maka ia wajib ifthar. Jika tidak maka ia wajib berpuasa.

SOAL 705:
Seorang wanita menyusui anak bayinya padahal ia sedang hamil dan melakukan puasa Ramadhan. Ketika melahirkan, bayinya meninggal. Jika sebelumnya ia telah memperkirakan bahwa puasanya akan menimbulkan bahaya, namun ia tetap berpuasa, maka:
Pertama, apakah puasanya sah ataukah tidak?
Kedua, apakah ia menanggung denda (diyah) atauakah tidak?
Ketiga, jika tidak menduga akan berbahaya, namun setelah itu terjadi, apa hukumnya?
JAWAB:
Jika ia berpuasa padahal ia khawatir akan berbahaya bagi janinnya, berdasarkan alasan yang diterima oleh orang-orang yang berakal sehat, atau setelah itu terbukti bahwa puasanya membahayakan keadaan janinnya, maka puasanya tidaklah sah, dan ia wajib melakukan qadha’. Untuk menetapkan denda (diyah) karena kematian janin yang dikandung perlu bukti bahwa kematiannya tersebut adalah akibat puasa (ibu) nya.

SOAL 706:
Setelah hamil, saya dikaruniai Allah dengan seorang putra, Ia minum ASI. Bulan suci Ramadhan akan segera tiba. Kini saya dapat berpuasa, namun dengan berpuasa ASI akan mengering, karena fisik saya yang lemah, sedangkan, ia selalu minta minum ASI setiap 10 menit. Apa yang harus saya lakukan?
JAWAB:
Jika berpuasa menyebabkan kekurangan atau kekeringan ASI sehingga dikhawatirkan akan membahayakan anak Anda, maka Anda boleh ifthar (tidak berpuasa) namun Anda wajib membayar fidyah setiap hari dengan satu mud makanan untuk orang fakir, dan melakukan qadha’ puasa setelah itu.
SAKIT DAN LARANGAN DOKTER
SOAL 707:
Sebagian dokter yang tidak agamis melarang pasien berpuasa dengan alasan berbahaya. Apakah pendapat para dokter itu cukup menjadi dasar dan alasan (hujjah) ataukah tidak?
JAWAB:
Jika dokter itu tidak bisa dipercaya, dan ucapannya tidak meyakinkan dan tidak menyebabkan kekhawatiran akan bahaya, maka ucapannya tersebut diabaikan.

SOAL 708:
Ibu saya sakit sejak sekitar 13 tahun. Karena itulah ia tidak dapat berpuasa. Saya tahu secara persis bahwa ia tidak dapat melaksanakan kewajiban ini karena ia perlu mengkonsumsi obat. Kami mohon bimbingan Anda untuk kami, apakah ia wajib mengqadha' (puasanya)?
JAWAB:
Jika ia tidak dapat berpuasa karena sakit, maka ia tidak diwajibkan mengqadha'nya.

SOAL 709:
Saya belum pernah berpuasa sejak memasuki usia baligh hingga usia 12 tahun karena kelemahan fisik. Apa tugas saya sekarang?
JAWAB:
Anda wajib meng-qadha’ puasa Ramadhan yang telah anda tinggalkan sejak memasuki usia taklif (baligh). Bila anda tidak berpuasa dengan sengaja dan atas dasar kehendak sendiri, tanpa didasari alasan syar'i, maka selain wajib melakukan qadha', wajib (juga) membayar kaffarah.

SOAL 710:
Dokter mata telah melarang saya melakukan puasa. Ia mengatakan kepada saya: "Bagaimanapun, anda tidak boleh puasa akibat sakit mata." Karena merasa tidak senang, saya mulai puasa. Namun, saat berpuasa saya menghadapi sejumlah problema sehingga kadang kala dalam sehari saya tidak merasa terganggu sampai tiba waktu maghrib. Kadang kala saya merasa terganggu pada waktu ashar. Karena bingung dan bimbang antara tidak berpuasa dan menanggung sakit, saya melanjutkan puasa sampai saat matahari terbenam (Maghrib). Pertanyaan saya ialah apakah pada dasarnya saya wajib berpuasa? Dalam hari-hari yang saya jalani dengan puasa padahal saya tidak tahu apakah saya dapat melanjutkan puasa hingga saat terbenamnya matahari atau tidak. Apakah saya tetap berpuasa? Dan bagaimana saya harus berniat?
JAWAB:
Jika keterangan dokter yang taat beragama dan dapat dipercaya membuat anda mantap bahwa puasa membahayakan Anda, atau Anda merasa khawatir mata anda terganggu oleh puasa, maka tidak wajib, bahkan tidak diperbolehkan berpuasa dan tidak sah berniat puasa. Namun jika jika Anda tidak khawatir akan bahaya, maka tidak ada larangan berpuasa. Tetapi, keabsahan puasa Anda tergantung pada kenyataan bahwa puasa benar-benar tidak membahayakan.

SOAL 711:
Saya menggunakan kacamata medis karena mata saya sangat lemah. Ketika berkonsultasi kepada dokter, saya diberi tahu bahwa jika tidak berusaha menguatkannya, maka mata saya akan makin melemah. Karenanya, jika saya tidak bisa berpuasa bulan Ramadhan, apa hukumnya?
JAWAB:
Jika puasa membahayakan mata anda, maka anda tidak wajib berpuasa, bahkan anda wajib ifthar (tidak berpuasa). Jika penyakit anda berlanjut hingga Ramadhan berikutnya, maka anda wajib membayar denda (fidyah) setiap hari sebesar satu mud makanan kepada orang fakir.

SOAL 712:
Ibu saya menderita sakit keras. Ayah saya juga mengalami lemah tubuh. Keduanya berpuasa. Kadang kala dapat dipastikan bahwa puasa akan membuat penyakit mereka kian parah. Hingga sekarang saya tidak dapat meyakinkan keduanya agar tidak berpuasa, paling tidak, ketika sakit mereka parah. Kami mohon bimbingan Anda berkenaan hukum puasanya?
JAWAB:
Tolok ukur dalam menentukan bahwa berpuasa menimbulkan rasa sakit (penyakit) atau memperparah, atau dalam menentukan ketidak mampuan berpuasa adalah identifikasi pelaku puasa sendiri. Namun, jika diketahui bahwa berpuasa membahayakan dan tetap berpuasa, maka haram hukumnya berpuasa.

SOAL 713:
Tahun lalu saya menjalani operasi ginjal oleh seorang dokter spesialis yang melarang saya berpuasa seumur hidup. Saya kini tidak menghadapi kesulitan apapun, bahkan saya makan dan minum secara normal, dan tidak merasa ada satupun masalah kesehatan yang menimpa saya. Apa taklif saya?
JAWAB:
Jika Anda sendiri tidak khawatir puasa akan membahayakan Anda, dan Anda tidak mempunyai alasan syar'i untuk hal itu (tidak berpuasa), maka Anda wajib berpuasa bulan Ramadhan.

SOAL 714:
Jika seorang dokter melarang seseorang berpuasa, apakah ia wajib mengikuti perkataannya, padahal sebagian dokter tidak mengetahui masalah-masalah syari’ah?
JAWAB:
Jika mukallaf yakin dari keterangan dokter bahwa puasa akan membahayakannya, atau dikarenakan informasi dari dokter atau alasan logis (diterima oleh orang-orang yang berakal sehat) lainnya, ia khawatir bahwa puasa akan membahayakan, maka tidak diwajibkan berpuasa.

SOAL 715:
Dalam ginjal saya terkumpul banyak batu. Cara satu-satunya untuk mencegah pengerasan batu dalam ginjal adalah dengan mengkonsumsi cairan secara bersinambungan. Karena para dokter yakin bahwa saya tidak diperbolehkan berpuasa, apa tugas dan kewajiban saya berkenaan dengan puasa bulan suci Ramadhan?
JAWAB:
Jika pencegahan penyakit ginjal mengharuskan konsumsi air atau benda-benda cair lainnya di siang hari juga, maka anda tidak diwajibkan berpuasa.

SOAL 716:
Karena orang-orang yang menderita penyakit diabetes terpaksa menggunakan insulin sekali atau dua kali sehari melalui suntikan jarum yang waktunya tidak berselisih dengan waktu makan rutin mereka, karena akan menekan peningkatan kadar gula dalam darah, yang pada gilirannya akan menimbulkan kondisi pingsan dan ketegangan. Kadang kala para dokter memberi nasihat agar makan 4 (empat) kali sehari. Kami mohon Anda berkenan menerangkan pendapat Anda berkenaan dengan puasa orang-orang semacam ini?
JAWAB:
Jika berhenti makan dan minum sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari membahayakan mereka, maka mereka tidak diwajibkan puasa, bahkan dilarang.
HAL-HAL YANG HARUS DIHINDARI OLEH ORANG YANG BERPUASA
SOAL 717:
Pada bulan Ramadhan disebabkan gangguan setan, saya berniat untuk membatalkan puasa saya, namun sebelum melakukan sesuatu yang membatalkan puasa, saya mengurungkan niat tersebut. Apa hukum puasa saya? Dan jika hal itu terjadi pada selain puasa bulan Ramadhan apa hukumnya?
JAWAB:
Pada puasa bulan Ramadhan jika seseorang niat (dengan bulat) untuk memutuskan puasanya, dengan kata lain tidak akan meneruskan puasanya, maka puasanya batal dan tidak ada faedah baginya mengurungkan niat tersebut, artinya kembali niat untuk meneruskan puasanya. Beda halnya jika seseorang dalam keadaan ragu apakah akan membatalkan puasanya atau tidak, atau telah bulat untuk melakukan hal yang membatalkan puasa, namun dia belum melakukannya, maka dalam dua keadaan terakhir ini, keabsahan kelanjutan puasanya bermasalah, maka berdasarkan ihtiyâth ia wajib meneruskan puasanya, kemudian meng-qadha’nya lagi.
Semua puasa wajib yang ditentukan (waktunya) seperti nadzar yang telah ditentukan waktunya memiliki hukum yang sama seperti di atas.

SOAL 718:
Apakah darah yang keluar dari mulut seorang pelaku puasa membatalkan puasanya?
JAWAB:
Puasanya tidak batal. Namun ia wajib berusaha agar darahnya tidak sampai masuk ke tenggorokan.

SOAL 719:
Kami mohon penjelasan pendapat Anda tentang penggunaan rokok oleh pelaku puasa (sha’im) pada bulan suci Ramadhan, apakah membatalkan puasanya?
JAWAB:
Berdasarkan ihtiyâth wajib, hendaknya seorang yang berpuasa meninggalkan segala jenis rokok dan bahan penenang yang dihirup hidung atau diletakkan di bawah lidah.

SOAL 720:
Apakah ‘nas’ yang terbuat dari tembakau dan lainnya yang diletakkan di bawah lidah selama beberapa menit kemudian dikeluarkan dari mulut membatalkan puasa?
JAWAB:
Jika ia menelan ludah yang bercampur dengan ‘nas’, maka batallah puasanya.

SOAL 721:
Ada sebuah obat untuk orang-orang yang menderita sesak nafas berat, yaitu berupa spray yang ketika ditekan akan menyemprotkan percikan yang mengandung bubuk gas ke paru-paru pasien melalui mulutnya. Hal ini dapat meredakan pasien. Kadang kala pasien terpaksa menggunakannya beberapa kali dalam satu hari. Apakah boleh berpuasa sambil menjalani penyembuhan medis demikian, sebab tanpa obat ini, ia tidak dapat berpuasa atau sangat menyulitkannya.
JAWAB:
Jika benda yang masuk ke dalam paru-paru melalui mulut itu adalah udara semata, maka hal itu tidak mengganggu (keabsahan) puasa. Namun, jika udara yang ditekan itu bersamaan dengan obat, meski hanya berupa debu atau bubuk, dan masuk ke dalam tenggorokan, maka hal itu menyebabkan keabsahan puasa bermasalah dan wajib dihindari. Jika ia tidak dapat berpuasa tanpa obat ini, kecuali dengan kesulitan dan beban, maka ia boleh menggunakan alat penyembuhan tersebut.

SOAL 722:
Pertanyaan saya berkenaan dengan puasa. Sering kali air ludah saya bercampur dengan darah yang mengalir dari gusi. Kadang kala saya tidak tahu apakah air ludah yang masuk ke dalam perut saya bercampur dengan darah ataukah tidak? Kami mohon petunjuk Anda agar saya terbebas dari kesulitan ini.
JAWAB:
Darah gusi jika lebur dalam air ludah dihukumi sebagai suatu yang suci, dan boleh ditelan. Jika ragu apakah air ludah tersebut bercampur dengan darah atau tidak, maka boleh menelannya, dan tidak menggangu keabsahan puasa.

SOAL 723:
Suatu hari di bulan Ramadhan saya berpuasa tanpa membersihkan gigi dengan sikat gigi. Tentu saya tidak menelan sisa makanan dalam mulut saya, namun terlanjur masuk ke dalam perut saya. Apakah saya wajib mengqadha’ puasa hari itu?
JAWAB:
Jika anda tidak tahu ada sisa-sisa makanan di gigi anda, atau jika anda tidak tahu bahwa itu akan turun (masuk) ke dalam perut dan masuknya ke dalam perut tanpa sadar dan tanpa sengaja, maka puasa anda tetap sah.

SOAL 724:
Ada seorang pelaku puasa yang gusinya mengeluarkan darah yang banyak. Apakah puasanya batal? Apakah ia boleh menuangkan air ke atas kepala dengan bejana ?
JAWAB:
Puasanya tidak batal dengan mengeluarkan darah dari gusi apabila tidak ditelannya. Puasanya juga tidak terganggu (keabsahannya) dengan menuangkan air ke atas kepalanya dari bejana dan sebagainya.

SOAL 725:
Ada obat-obat khusus untuk mengobati penyakit kewanitaan yang dimasukkan ke dalam kelamin. Apakah itu membatalkan puasa?
JAWAB:
Penggunaan obat-obat tersebut tidak mengganggu (keabsahan) puasa.

SOAL 726:
Kami mohon keterangan pendapat Anda berkenaan dengan penyuntikan yang dilakukan oleh dokter gigi dan lainnya terhadap para pelaku puasa di bulan Ramadhan?
JAWAB:
Tidak ada masalah (la isykâl ) menggunakan suntik jarum yang berisi obat atau penghilang rasa sakit untuk para pelaku puasa, kecuali yang berfungsi sebagai pengganti makanan, maka berdasarkan ahwath, wajib dihindari.

SOAL 727:
Apakah saya boleh menelan pil untuk mengatasi tekanan darah saat berpuasa ?
JAWAB:
Jika mengkonsumsi pil tersebut pada bulan Ramadhan merupakan keharusan demi penyembuhan tekanan darah, maka hal itu tidak dilarang. Namun, dengan menelannya, puasa Anda batal.

SOAL 728:
Jika saya dan sebagian orang beranggapan bahwa pemakaian pil untuk penyembuhan tidak sama dengan (bukanlah) makan dan minum, apakah saya boleh melakukannya dan tidak membatalkan puasa saya?
JAWAB:
Bila dilakukan dengan menelan, maka membatalkan puasa.

SOAL 729:
Jika pada bulan Ramadhan seorang suami berhubungan badan dengan istrinya dan si istrinya pun mmelakukannya dengan kerelaannya. Apa hukumnya?
JAWAB:
Terhadap Anda berdua berlaku hukum ifthar (membatalkan puasa) dengan sengaja. Anda berdua selain wajib mengqadha' wajib juga membayar kaffarah.

SOAL 730:
Jika seorang lelaki mencumbu dengan isterinya pada siang hari bulan Ramadhan apakah hal itu merusak puasanya?
JAWAB:
Jika hal itu tidak menyebabkan ejakulasi (keluarnya mani), maka tidaklah merusak puasanya. Jika iya, maka ia tidak boleh melakukannya, dan puasanya batal.
SENGAJA TETAP DALAM KEADAAN JUNUB
SOAL 731:
Jika seseorang tetap dalam keadaan janâbah, karena sejumlah kesulitan, hingga adzan Subuh, apakah ia boleh berpuasa pada hari berikutnya?
JAWAB:
Tidak ada larangan berpuasa di selain puasa bulan Ramadhan dan qadha puasa Ramadhan. Adapun dalam puasa Ramadhan, apabila ia berhalangan untuk mandi, maka ia wajib bertayammum, jika ia tidak bertayammum juga, maka puasanya tidaklah sah.

SOAL 732:
Jika seseorang berpuasa selama beberapa hari dalam keadaan junub dan tidak tahu bahwa kesucian dari janâbah merupakan syarat puasa, apakah ia wajib membayar kaffarah sebagai ganti dari beberapa hari puasa yang telah dilakukannya dalam keadaan junub ataukah cukup mengqadha’nya saja?
JAWAB:
Pada kasus yang ditanyakan qadha' puasa sudah cukup baginya.

SOAL 733:
Apakah seorang yang sedang junub boleh mandi setelah terbit matahari lalu berpuasa dengan niat qadha’ atau puasa istihbab (sunnah)?
JAWAB:
Jika ia tetap dalam keadaan janâbah dengan sengaja hingga saat terbit fajar, maka tidaklah sah berpuasa Ramadhan atau berpuasa qadha’. Adapun selain keduanya, maka, berdasarkan al-aqwa, ia sah melakukannya, terutama puasa mandub (sunnah).

SOAL 734:
Seorang menjadi tamu pada bulan Ramadhan, dan menginap di rumah. Di tengah malam ia mengalami mimpi basah (ihtilâm). Karena ia tamu dan tidak memiliki pakaian lain maka ia berniat melakukan perjalanan hari esoknya untuk menghindari puasa. Pagi hari setelah subuh, ia berangkat melakukan perjalanan tanpa melakukan sesuatu yang membatalkan puasa (makan dan minum). Yang kami tanyakan, apakah rencana orang ini untuk melakukan perjalanan dapat menggugurkan kewajiban membayar kaffarah ataukah tidak?
JAWAB:
Niat melakukan perjalanan pada malam hari, begitu juga melakukan perjalanan pada siang hari tidaklah cukup untuk menggugurkan kewajiban membayar kaffarah, jika ia berpagi hari dalam keadaan janâbah dan –sementara ia menyadari hal itu- tidak bergegas mandi atau bertayammum sebelum fajar terbit (Subuh).

SOAL 735:
Apakah orang yang tidak menemukan air atau tidak dapat mandi janâbah karena kendala-kendala lain, kecuali waktu yang sangat mendesak atau sempit, boleh pada malam-malam bulan Ramadhan melakukan sesuatu yang menyebabkan janâbah?
JAWAB:
Jika ia wajib bertayammum dan mempunyai waktu yang memadai untuk bertayammum setelah membuat dirinya junub, maka ia boleh melakukannya.

SOAL 736:
Seseorang terjaga dari tidur sebelum adzan subuh di bulan Ramadhan, dan tidak sadar bahwa ia mengalami mimpi basah (ihtilâm) lalu melanjutkan tidur. Saat adzan fajar berkumandang ia bangun lalu menyadari hal tersebut dan yakin bahwa ia mengalaminya sebelum adzan fajar. Apa hukumnya?
JAWAB:
Jika sebelum adzan fajar ia belum sadar bahwa dirinya mengalami ihtilâm, maka sahlah puasanya.

SOAL 737:
Seorang mukallaf terjaga dari tidurnya sebelum adzan subuh pada hari bulan Ramadhan dan mendapatkan dirinya mengalami ihtilâm, kemudian ia tidur lagi hingga setelah matahari terbit, tanpa melakukan shalat subuh. Ia menunda mandi sampai adzan dhuhur dan mandi setelah adzan Dhuhur diikumandangkan lalu melakukan shalat dhuhur dan ashar. Apa hukum puasanya?
JAWAB:
Pada kasus yang ditanyakan ia waib meng-qadha' puasanya, dan berdasarkan ihtiyâth ia dianjurkan untuk membayar kaffarah juga.

SOAL 734:
Jika seorang mukallaf pada malam bulan Ramadhan sebelum adzan Subuh ragu apakah ia telah mengalami ihtilâm ataukah tidak, namun ia mengabaikannya dan melanjutkan tidurnya. Ia bangun dari tidurnya setelah adzan dan baru sadar sepenuhnya bahwa dirinya telah mengalami ihtilâm sebelum adzan fajar (subuh), apakah hukum puasanya?
JAWAB:
Jika saat pertama kali terjaga dari tidur ia tidak menyaksikan bekas ihtilâm, melainkan hanya menduga-duga semata, dan tidak terbukti, lalu tidur lagi hingga setelah adzan subuh, maka sahlah puasanya, meskipun setelah itu terbukti bahwa itilam-nya telah terjadi sebelum adzan Subuh.

SOAL 735:
Jika seseorang mandi di bulan Ramadhan dengan air yang najis, lalu ingat setelah seminggu bahwa air yag dipakainya untuk mandi itu najis, apakah hukum puasa dan shalatnya selama (seminggu) itu?
JAWAB:
Shalatnya batal dan wajib di-qadha’, namun puasanya dihukumi sah.

SOAL 736:
Ada seseorang yang menderita penyakit "beser" sementara yang berlangsung satu jam atau lebih setiap kali usai buang air kecil. Apa hukum puasa orang tersebut bila mengalami janâbah pada malam-malam tertentu. Kadang kala ia terjaga dari tidur satu jam sebelum adzan Subuh lalu menduga-duga bahwa ia mengeluarkan mani bersama dengan menetesnya air seni? Apa tugasnya agar ia dapat memasuki waktu dalam keadaan suci?
JAWAB:
Jika ia mandi untuk bersuci dari janâbah atau bertayammum sebagai ganti darinya sebelum adzan subuh, maka sahlah puasanya, meskipun setelah itu ia mengeluarkan mani tanpa dikehendaki.

SOAL 737:
Jika seseorang tidur setelah adzan fajar atau sebelumnya, kemudian mengalami ihtilâm dalam tidur lalu terjaga setelah adzan, berapa jangka waktu yang diberikan untuk mandi?
JAWAB:
Dalam kasus yang anda tanyakan, janâbah tidak mempengaruhi keabsahan puasa pada hari itu. Namun, wajib mandi untuk shalat dan ia boleh menundanya sampai saat shalat.

SOAL 738:
Jika seseorang lupa mandi janâbah untuk melakukan puasa bulan Ramadhan atau puasa lainnya, lalu ingat di pertengehan siang, apa hukumnya?
JAWAB:
Berkenaan dengan puasa Ramadhan, jika seseorang lupa mandi janâbah pada malam hari sebelum fajar lalu berada pada pagi hari (subuh) dalam keadaan junub, maka batallah puasanya. Berdasarkan ahwath, hukum tersebut juga berlaku dalam puasa qadha’ Ramadhan. Adapun puasa-puasa lainnya, maka hal itu tidak membatalkan puasa.
MASTURBASI (ISTMINA') SAAT BERPUASA DAN LAINNYA
SOAL 739:
Apa hukum orang yang membatalkan puasanya di bulan Ramadhan dengan berhubungan badan yang haram atau onani atau makan dan minum yang haram?
JAWAB:
Pada kasus yang ditanyakan harus berpuasa selama 60 hari atau memberi makan 60 orang miskin, dan berdasarkan ihtiyâth mustahab hendaknya kedua-duanya dilakukan.

SOAL 740:
Jika mukallaf tahu bahwa masturbasi membatalkan puasa, dan ia memang melakukannya secara sengaja, apakah wajib baginya kaffarah ganda?
JAWAB:
Jika ia melakukan masturbasi secara sengaja dan mani pun keluar darinya, maka wajib membayar kaffarah ganda (kaffratul jam’) baginya tidak wajib, namun berdasarkan ihtiyâth mustahab hendaknya ia melakukannya.

SOAL 741:
Pada bulan Ramadhan saya mengeluarkan mani bukan akibat dari masturbasi melainkan akibat ketegangan saat melakukan percakapan telpon dengan seorang perempuan yang bukan muhrim. Percakapan tersebut dilakukan bukan untuk tujuan mencari kenikmatan. Kami mohon Anda sudi menjawab, apakah puasa saya batal ataukah tidak. Jika batal, apakah saya wajib membayar kaffarah ataukah tidak?
JAWAB:
Jika sebelumnya Anda biasanya tidak mengeluarkan mani akibat percakapan dengan seorang wanita, dan percakapan tersebut tidak dengan tujuan bersenang-senang dan tidak mengarah kepada dosa (raibah), meski demikian mani keluar tanpa kehendak, maka peristiwa seperti itu tidak menyebabkan puasa anda batal. Anda tidak perlu melakukan sesuatu apapun.

SOAL 742:
Ada seorang yang selama beberapa tahun melakukan kebiasaan rahasia pada bulan puasa dan lainnya. Apa hukum shalat dan puasanya?
JAWAB:
Masturbasi mutlak diharamkan. Jika perbuatan tersebut menyebabkan keluarnya mani, maka hal itu menyebabkan janâbah. Jika ia melakukan perbuatan tersebut saat sedang berpuasa, maka ia dihukumi sebagai orang yang membatalkan (ifthar) puasa dengan sesuatu yang haram. Jika ia shalat atau puasa dalam keadaan junub tanpa mandi atau tayammum, maka shalat dan puasanya batal dan wajib meng-qadha'nya.

SOAL 743:
Apakah seorang suami boleh beronani dengan tangan isterinya?
JAWAB:
Pekerjaan tersebut tidaklah termasuk masturbasi yang diharamkan.

SOAL 744:
Apakah seorang yang bujang boleh melakukan masturbasi atas permintaan dokter untuk menganalisis spermanya, dan hanya dengan cara masturbasi itulah hal itu dapat dilakukan?
JAWAB:
Tidak apa-apa, apabila penyembuhan hanya bisa dilakukan dengan cara begitu.

SOAL 745:
Sebagian pusat kesehatan menyuruh pasien lelaki melakukan masturbasi guna menjalani pemeriksaan medis terhadap spermanya apakah dapat melahirkan ataukah tidak. Apakah ia boleh melakukannya?
JAWAB:
Secara syar'i tidak diperbolehkan melakukan masturbasi, meskipun untuk mengetahui dirinya bisa melahirkan ataukah tidak, kecuali jika pemeriksaan untuk mengetahui penyakit yang menyebabkan kemandulan pasangan suami isteri hanya bisa dilakukan dengan cara tersebut.

SOAL 746:
Apakah boleh menghayal demi membangkitkan syahwat birahi jika dilakukan pada kondisi berikut:
1. Menghayal istri sendiri?
2. Menghayal perempuan lain?
JAWAB:
Pada kondisi pertama jika tidak menimbulkan yang haram seperti mengeluarkan mani, maka tidak apa-apa. Dan untuk kondisi ke dua berdasarkan ihtiyâth wajib ditinggalkan.

SOAL 747:
Seseorang berpuasa bulan Ramadhan pada permulaan usia balig-nya. Ia melakukan masturbasi dan mengalami janâbah saat berpuasa. Ia terus berpuasa selama beberapa hari dalam keadaan junub karena tidak tahu bahwa puasa wajib dilakukan dalam keadaan suci dari janâbah. Apakah qadha’ puasa hari-hari itu sudah mencukupi ataukah ia dikenai hukum kewajiban lain?
JAWAB:
Dalam kasus yang ditanyakan, ia wajib mengqadha' puasa dan membayar kaffarah.

SOAL 748:
Seseorang pada bulan Ramadhan melihat pemandangan yang membangkitkan syahwat lalu mengalami janâbah. Apakah puasanya batal?
JAWAB:
Jika ia memandangnya dengan tujuan mengeluarkan mani, atau mengetahui bahwa jika memandangnya niscaya ia akan mengalami janâbah, atau biasanya mengalami janâbah setiap kali memandangnya, lalu melakukannya dengan sengaja dan menyebabkan ia junub, maka ia dihukumi sebagai orang yang secara sengaja menjunubkan diri.

SOAL 749:
Apa hukum seorang yang berpuasa jika dalam sehari melakukan sesuatu yang membatalkan puasanya lebih dari sekali?
JAWAB:
Dia hanya wajib membayar kaffarah sekali saja, kecuali jika yang ia lakukan berkali-kali itu hubungan badan atau onani, maka hendaknya ia melakukan kaffarah sebanyak yang ia lakukan.
AKIBAT-AKIBAT HUKUM IFTHAR (MENGHENTIKAN PUASA)
SOAL 750:
Apakah boleh mengikuti Ahlussunnah berkenaan dengan waktu ifthar (buka puasa) dalam pertemuan-pertemuan umum, forum-forum resmi dan lainnya? Dan apa yang wajib dilakukan oleh mukallaf jika ia menganggap hal itu bukan sebagai taqiyyah, dan tidak ada alasan syar'i untuk menerapkannya?
JAWAB:
Mukallaf tidak diperbolehkan mengikuti yang lain tanpa memastikan masuknya waktu berkenaan dengan waktu buka puasa (ifthar), dan jika termasuk pada kondisi taqiyyah maka dia diperbolehkan berbuka, namun dia wajib meng-qadha nya. Sebagaimana tidak boleh atas kehendak sendiri berbuka puasa, kecuali setelah memastikan tibanya waktu malam dan berakhirnya siang dengan menyaksikan sendiri atau berdasarkan bukti syar'i (hujjah syar'iah).

SOAL 751:
Jika saya sedang berpuasa, lalu dipaksa oleh ibu agar makan dan minum, apakah hal itu membatalkan puasa?
JAWAB:
Makan dan minum membatalkan puasa, meski karena ajakan atau desakan orang lain.

SOAL 752:
Jika suatu benda dimasukkan secara paksa ke dalam mulut seorang yang sedang berpuasa, atau kepalanya dibenamkan ke dalam air, apakah membatalkan puasa? Dan jika dipaksa membatalkan puasa, seperti jika diancam dengan kerugian pada harta atau jiwa apabila tidak makan.Lalu ia makan untuk menghindari bahaya itu. Apakah puasanya tetap sah ataukah tidak?
JAWAB:
Jika suatu benda dimasukkan ke dalam tenggorokannya secara paksa atau kepalanya kebenamkan secara paksa ke dalam air, puasanya tidaklah batal. Namun, jika ia memakan sendiri benda yang membatalkan puasa atas dasar paksaan orang lain, maka batallah puasanya.

SOAL 753:
Pelaku puasa tidak mengetahui bahwa tidak boleh berbuka (ifthar) sebelum tergelincirnya matahari (zawal) apabila belum menacapai batas tarakhkhus. Lalu ia melakukan ifthar sebelum batas tarakkhush dengan anggapan sebagai musafir. Apa hukum puasanya? Dan apakah ia wajib meng-qadha'nya ataukah ia dikenai hukum lain?
JAWAB:
Perbuatannya tersebut dihukumi seperti ifthar (membatalkan puasa) dengan sengaja.

SOAL 754:
Ketika terkena influensa dahak mengumpul dalam mulut. Alih-alih mengeluarkan, saya malah menelannya. Apakah puasa saya sah ataukah tidak? Saya telah melewati beberapa hari dalam bulan Ramadhan di rumah salah seorang kerabat. Karena terserang flu, di samping karena malu, saya terpaksa bertayamum dengan tanah sebagai ganti mandi wajib, dan baru mandi saat mendekati waktu dhuhur. Perbuatan ini telah saya lakukan berulangkali selama beberapa hari. Apakah puasa saya di hari-hari itu sah ataukah tidak? Dan jika tidak sah, apakah saya wajib membayar kaffarah ataukah tidak?
JAWAB:
Anda tidak dikenai hukum apa-apa karena saat berpuasa menelan dahak dan ingus. Meski demikian, berdasarkan ahwath, Anda wajib mengqadha' puasa apabila menelan dahak yang sudah berada di ruang mulut. Berkenaan dengan tindakan meninggalkan mandi janâbah sebelum Subuh hari puasa, dan melakukan tayammum sebagai gantinya, apabila hal itu dikarenakan alasan syar'i atau tayammum dilakukan di akhir waktu dan ketika waktu sudah sempit, maka puasa anda sah. Jika tidak, maka batallah puasa anda selama beberapa hari itu.

SOAL 755:
Saya bekerja di tambang besi. Karakteristik pakerjaan saya mengharuskan saya masuk ke dalam tambang dan bekerja di situ setiap hari. Ketika menggunakan peralatan maka debu akan masuk ke mulut saya. Hal ini terjadi pada bulan-bulan lain sepanjang tahun. Apa tugas saya dalam kondisi begitu sahkah puasa saya ataukah tidak?
JAWAB:
Menelan debu saat sedang berpuasa membatalkan puasa. Karena itulah, wajib menghindarinya. Namun puasa anda tidak batal apabila debu itu hanya masuk ke dalam mulut dan hidung, sementara anda tidak menelannya.
KAFFARAH PUASA DAN UKURANNYA
SOAL 756:
Apakah cukup memberi orang fakir uang seharga satu mud makanan sehingga ia membeli sendiri makanan untuk dirinya?
JAWAB:
Jika ia yakin bahwa orang fakir itu, mewakili pembayar kaffarah, akan membeli makanan dengan uang tersebut, lalu mengambil makanan tersebut sebagai kaffarah, maka tidak dilarang (diperbolehkan).

SOAL 757:
Jika seseorang menjadi wakil untuk memberi makanan sejumlah orang miskin, apakah ia boleh mengambil ongkos kerja dan memasak dari harta kaffarah yang telah diberikan?
JAWAB:
Boleh baginya menuntut ongkos kerja dan memasak, namun ia tidak boleh menghitungnya sebagai bagian dari kaffarah, atau mengambil sebagian dari kaffarah.

SOAL 758:
Ada seorang wanita yang tidak dapat berpuasa karena hamil atau mendekati saat melahirkan. Ia sadar akan kewajiban meng-qadha’ puasa setelah bersalin dan sebelum tiba bulan Ramadhan mendatang. Jika ia tidak berpuasa, dengan sengaja atau tidak dan menundanya beberapa tahun, apakah ia wajib membayar kaffarah untuk tahun itu saja, ataukah ia wajib membayar kaffarah untuk setiap tahun selama ia belum berpuasa? Mohon juga Anda terangkan perbedaan kondisi "sengaja" dan " tidak sengaja".
JAWAB:
Ia wajib membayar fidyah (denda) menunda qadha’ puasa satu kali, meskipun sampai beberapa tahun, yaitu satu mud makanan untuk setiap harinya. Fidyah ini diberlakukan apabila penundaan qadha' hingga Ramadhan berikutnya dilakukan karena mengabaikan dan tanpa alasan syar'i. Menunda qadha' puasa karena alasan syar'i, yang menghalangi keabsahan puasa tidak menyebabkan fidyah.

SOAL 759:
Ada seorang wanita yang berhalangan puasa akibat sakit, dan tidak dapat meng-qadha'nya hingga bulan Ramadhan tahun berikutnya. Apakah ia sendiri wajib membayar kaffarah ataukah suaminya?
JAWAB:
Dalam kasus yang ditanyakan, ia sendiri wajib membayar fidyah untuk setiap hari dengan satu mud makanan, bukan menjadi tanggungan suaminya.

SOAL 760:
Ada seorang yang menanggung kewajiban puasa selama sepuluh hari. Pada tanggal 20 Sya’ban ia mulai puasa. Dalam kasus demikian, apakah boleh membatalkan puasa dengan sengaja sebelum tergelincirnya matahari (zawal) atau setelahnya? Jika ia melakukan ifthar, berapa ukuran kaffarahnya, baik sebelum zawal atau sesudahnya?
JAWAB:
Dalam kasus yang ditanyakan, ia tidak boleh membatalkan (ifthar) puasa dengan sengaja. Jika ia melakukan ifthar dengan sengaja sebelum zawal, maka ia tidak wajib membayar kaffarah. Jika melakukan ifthar sesudah zawal, maka ia dikenakan kaffarah, yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin dan jika tidak mampu, maka wajib berpuasa selama tiga hari.

SOAL 761:
Ada seorang wanita yang hamil dua kali dalam dua tahun berturut-turut, karena itulah ia tidak bisa puasa dalam dua tahun. Namun, sekarang ia mampu melakukannya. Apa hukum atas dia? Apakah dia wajib membayar kaffaratul jam’ (kaffarah ganda), ataukah ia hanya wajib meng-qadha'nya saja? Dan apa hukum menunda puasa?
JAWAB:
Jika ia tidak melakukan puasa Ramadhan karena alasan syar'i, maka ia wajib meng-qadha’nya saja. Jika alasannya melakukan ifthar adalah kekhawatiran terhadap keselamatan kandungan atau bayinya, maka ia wajib meng-qadha’ puasa dan membayar fidyah untuk setiap hari sebesar satu mud makanan. Jika menunda qadha' setelah bulan Ramadhan hingga Ramadhan tahun berikutnya tanpa alasan syar'i, maka ia dikenakan kewajiban membayar fidyah juga dengan cara memberikan satu mud makanan kepada orang fakir untuk setiap hari.

SOAL 762:
Apakah dalam kaffarah (berupa) puasa, qadha’ dan kaffarah wajib dilakukan secara berurutan ataukah tidak?
JAWAB:
Tidak wajib.
QADHA' PUASA
SOAL 763:
Saya menanggung beban kewajiban puasa 18 hari karena melakukan perjalanan untuk tugas keagamaan. Apa tugas saya ? Dan apakah saya wajib meng-qadha’nya?
JAWAB:
Anda wajib meng-qadha' puasa yang telah Anda lewatkan dalam bulan Ramadhan karena perjalanan.

SOAL 764:
Jika seseorang disewa untuk meng-qadha’ puasa bulan Ramadhan lalu membatalkannya setelah zawal (Dhuhur), apakah ia wajib membayar kaffarah ataukah tidak?
JAWAB:
Tidak wajib membayar kaffarah.

SOAL 765:
Orang-orang yang melakukan perjalanan pada bulan Ramadhan demi melaksanakan tugas keagamaan dan karenanya, tidak dapat berpuasa. Apabila mereka kini ingin berpuasa (mengqadha'nya), setelah menundanya beberapa tahun, apakah wajib membayar kaffarah?
JAWAB:
Jika penundaan qadha' puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya karena alasan yang menghalangi untuk berpuasa berlanjut, maka mereka cukup meng-qadha' puasa-puasa yang telah mereka lewatkan, dan tidak diwajibkan membayar fidyah satu mud makanan untuk setiap hari, meskipun berdasarkan ihthiyath dianjurkan melakukan kedua-duanya (meng-qadha' dan membayar fidyah). Namun, apabila penundaan tersebut dilakukan karena mengabaikan dan tanpa alasan syar'i, maka mereka wajib meng-qadha’nya dan membayar fidyah.

SOAL 766:
Ada seseorang yang tidak shalat dan tidak puasa selama sekitar sepuluh tahun karena kebodohan, lalu ia bertobat dan kembali kepada Allah. Kini ia telah bertekad untuk mengganti kewajiban-kewajiban yang telah ditinggalkannya, namun tidak mampu mengganti semua puasa yang telah ia lewatkan, dan tidak punya harta untuk membayar kaffarah. Apakah ia cukup beristighfar (memohon ampun) saja ataukah tidak?
JAWAB:
Dalam kondisi apapun, kewajiban meng-qadha' puasa yang telah dilewatkannya tidak akan pernah gugur. Namun, jika tidak mampu membayar kaffarah, yaitu tidak dapat melakukan puasa dua bulan dan tidak mampu memberikan makanan kepada enam puluh orang miskin, maka ia wajib bersedekah kepada orang-orang fakir sesuai kadar kemampuannya, dan berdasarkan ihtiyâth dia hendaknya juga membaca istighfar. Namun jika ia tidak memiliki apa-apa untuk ia sedekahkan, maka ia cukup membaca istighfar (memohon ampunan dari Tuhan) dengan lidah dan hatinya.

SOAL 767:
Jika seseorang tidak mengetahui kewajiban meng-qadha' puasa sebelum tiba bulan Ramadhan berikutnya, dan tidak melakukan qadha’ karenanya, apakah hukumnya?
JAWAB:
Fidyah karena menunda qadha' hingga bulan Ramadhan berikutnya tidak gugur karena ketidaktahuan akan wajibnya hal itu.

SOAL 768:
Ada seseorang yang tidak berpuasa selama 120 hari. Apa yang harus dilakukannya? Apakah ia (wajib) berpuasa 60 hari untuk setiap harinya ataukah tidak? Dan apakah ia wajib membayar kaffarah?
JAWAB:
Ia wajib meng-qadha' puasa bulan Ramadhan yang telah ia tinggalkan. Jika ia telah meninggalkan puasa dengan sengaja dan tanpa alasan syar'i, maka ia wajib meng-qadha’ dan membayar kaffarah untuk setiap hari puasa yang telah ditinggalkannya, yaitu berupa puasa enam puluh (60) hari atau memberikan makanan kepada 60 orang miskin, atau memberikan 60 mud untuk 60 orang miskin yang dibagi secara merata.

SOAL 769:
Saya telah berpuasa selama kira-kira satu (1) bulan, dengan niat apabila saya mempunyai tanggungan kewajiban puasa, maka itulah qadha'nya, dan jika tidak, maka itu merupakan puasa untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah (qurbah) secara umum. Apakah puasa selama 1 bulan tersebut dapat dianggap sebagai bagian dari puasa qadha' yang berkaitan dengan tanggungan saya ataukah tidak?
JAWAB:
Jika Anda berpuasa dengan niat melakukan sesuatu yang diperintahkan kepada Anda sekarang berupa puasa qadha' atau puasa sunnah, dan (ternyata) Anda mempunyai tanggungan kewajiban qadha', maka itu dianggap sebagai puasa qadha'.

SOAL 770:
Seseorang yang tidak tahu jumlah hari qadha’ puasa yang menjadi tanggungannya dan jika ia memang memiliki tanggungan puasa qadha' namun melakukan puasa mustahab, karena merasa tidak mempunyai tanggungan kewajiban qadha'. Apakah puasanya dapat dianggap sebagai puasa qadha'?
JAWAB:
Puasa yang ia lakukan dengan niat puasa sunnah tidak dianggap sebagai puasa qadha’ yang menjadi tanggungannya.

SOAL 771:
Apa pendapat Anda tentang seseorang yang membatalkan puasa (ifthar) dengan sengaja karena lapar, haus, dan karena bodoh tentang hukum masalah ini? Apakah ia hanya wajib meng-qadha' saja, ataukah ia juga wajib membayar kaffarah?
JAWAB:
Jika orang yang tidak tahu hukum tersebut tidak tergolong dalam kategori jahil muqashshir, maka ia diwajibkan meng-qadha' puasa tersebut, namun tidak wajib membayar kaffarah.

SOAL 772:
Jika seseorang tidak mampu berpuasa pada masa permulaan usia baligh karena lemah dan tidak kuat, apakah ia wajib meng-qadha' dan membayar kaffarah juga?
JAWAB:
Jika berpuasa tidak menyulitkan dirinya, namun dengan sengaja membatalkan puasa (ifthar), maka ia wajib mengqadha' dan membayar kaffarah. Dan jika dia takut dengan brpuasa dia akan sakit, maka dia hanya wajib mengqadho' saja.

SOAL 773:
Apa yang wajib dilakukan oleh seseorang yang tidak tahu berapa jumlah hari dimana ia tidak melakukan puasa, dan tidak tahu berapa jumlah shalat yang telah ditinggalkannya? Dan apa hukum orang yang tidak tahu apakah ia tidak berpuasa dengan sengaja atau karena halangan syar'i?
JAWAB:
Ia boleh mencukupkan pada jumlah shalat dan puasa yang diyakininya telah terlewatkan. Jika ragu apakah ia melakukan ifthar dengan sengaja atau tidak, maka ia tidak wajib membayar kaffarah.

SOAL 774:
Pada suatu hari dalam bulan Ramadhan seseorang tidak dapat melanjutkan puasanya hingga saat matahari terbenam (ghurub) karena tidak bangun dari tidur untuk makan sahur, dan karena pada siang hari itu ia mengalami suatu peristiwa.Apakah ia dikenai kewajiban membayar satu kaffarah saja, ataukah ia wajib membayar kaffarah ganda (kaffaratul jam’)?
JAWAB:
Apabila ia melanjutkan puasa sehingga, akibat dari lapar, dahaga dan lain-lainnya, mengalami kesulitan, maka ia menghentikan puasa (ifthar), maka ia wajib meng-qadha' saja, dan tidak wajib membayar kaffarah.

SOAL 775:
Saya ragu apakah saya telah meng-qadha' puasa yang menjadi tanggungan saya ataukah tidak? Apa tugas saya.
JAWAB:
Jika anda yakin sebelumnya, bahwa Anda memiliki tanggungan puasa qadha’, maka Anda wajib memperoleh keyakinan bahwa Anda telah menunaikannya.

SOAL 776:
Seseorang yang tidak puasa pada saat baligh, secara umum ia hanya puasa sebanyak 11 (sebelas) hari dalam bulan Ramdhan, melakukan ifthar satu hari saat Dhuhur, dan 18 hari berikutnya ia tidak berpuasa dan tidak tahu akan kewajiban membayar kaffarah. Apa hukumnya?
JAWAB:
Jika ia melakukan ifthar pada puasa bulan Ramadhan dengan sengaja dan atas kehendak sendiri, maka ia wajib melakukan qadha' puasa dan juga membayar kaffarah tanpa dibedakan apakah saat ber-ifthar ia tahu atau tidak tahu tentang kewajiban membayar kaffarah.

SOAL 777:
Seorang pasien diberitahu oleh seorang dokter, bahwa puasa dapat membahayakannya, dan karena itulah, ia tidak berpuasa. Setelah beberapa tahun ia baru mengetahui bahwa berpuasa tidak berbahaya terhadap dirinya, dan bahwa dokter tersebut telah melakukan kekeliruan. Apakah ia wajib meng-qadha' puasanya dan membayar kaffarah.
JAWAB:
Jika ia khawatir akan terjadinya bahaya sebagai akibat dari keterangan seorang dokter yang mumpuni dan jujur, atau khawatir karena pertimbangan rasional (diterima oleh setiap orang yang berakal sehat) lain, maka ia wajib meng-qadha’nya saja.
LAIN-LAIN
SOAL 778:
Jika seorang wanita mengalami haidh saat berpuasa nadzar mua’yyan (nadzar yang telah ditentukan waktunya), apa hukumnya?
JAWAB:
Puasanya batal bila mengalami haid. Ia wajib mengqadha’nya setelah suci.

SOAL 779:
Seseorang yang tinggal di pelabuhan "dayyar" berpuasa sejak hari pertama bulan Ramadhan hingga hari ke 27 (duapuluh tujuh). Pada hari ke28, ia bepergian ke Dubai, dan sampai di sana pada hari ke 29, dan penduduknya pada hari itu telah berhari raya. Kini ia telah kembali ke tempat tinggalnya. Apakah ia wajib meng-qadha' satu hari puasa yang ditinggalkannya? Apabila ia meng-qadha' satu hari puasa, maka jumlah hari Ramadhan menjadi 28 hari baginya. Bila ingin meng-qadha’ dua hari, ia pada hari ke 29 sedang berada di tempat orang-orang yang telah mengumumkan hari raya. Apa hukumnya?
JAWAB:
Jika pengumuman hari raya pada hari ke 29 di tempat tersebut berdasarkan cara yang benar dan syar'i, maka ia tidak wajib meng-qadha' hari itu, Namun, itu berarti, ia ketinggalan satu puasa pada hari pertama bulan Ramadhan. Karenanya, ia wajib mengqadha' puasa yang diyakini telah ditinggalkannya.

SOAL 780:
Jika seorang pelaku puasa berbuka puasa saat matahari terbenam di sebuah negara, lalu melakukan perjalanan ke negara lain yang saat itu matahari belum terbenam di sana, apa hukum puasanya di hari itu? Apakah ia boleh melakukan suatu yang mufthir (yang membatalkan puasa) sebelum matahari terbenam?
JAWAB:
Puasanya sah, dan ia boleh makan, minum dan lain-lain di negara itu sebelum matahari terbenam setelah sebelumnya ia ifthar saat matahari terbenam di negara sendiri.

SOAL 781:
Seorang syahid telah berwasiat kepada salah seorang sahabatnya agar mengqadha’ sejumlah puasanya demi ihthiyath (ke-hati-hatian dan berjaga-jaga jika memang punya tanggungan puasa qadha’). Ahli waris syahid ini bukanlah orang-orang yang peduli terhadap masalah-masalah semacam ini, dan tidak memungkin memberi tahu kepada mereka. Sedangkan sahabatnya tersebut merasa kesulitan untuk melakukan puasa tersebut. Apakah ada penyelesaian lain?
JAWAB:
Jika ia berwasiat kepada shabatnya agar ia sendiri yang berpuasa, maka berarti ahli waris si syahid tidak memiliki taklif (beban) berkenaan masalah ini. Jika orang yang mendapatkan wasiat untuk berpuasa mewakili sang syahid merasa kesulitan, maka taklif atas dirinya juga gugur.

SOAL 782:
Saya seorang peragu, dengan kata yang lebih tepat, terlalu was-was, berkenaan dengan masalah keagamaan, terutama masalah-masalah hukum fiqih (furu’ud-din). Antara lain dalam bulan Ramadhan lalu saya ragu-ragu apakah ada debu tebal yang masuk ke dalam mulut dan saya telah menelannya ataukah tidak, atau meragukan apakah air yang saya masukkan ke dalam mulut sudah saya keluarkan kembali ataukah tidak?
JAWAB:
Dalam kasus yang ditanyakan, puasa Anda dihukumi sah. Keraguan-keraguan seperti itu tidak layak diperhatikan.

SOAL 783:
Apakah Anda berpandangan bahwa hadis mulia Ahlu Kisa’ yang diriwayatkan dari Sayyidah az-Zahra’ (As) sebagai hadis yang mu’tabar (diakui kebenarannya) sehingga boleh menisbatkannya kepada beliau saat sedang berpuasa?
JAWAB:
Jika penisbatannya dengan cara periwayatan dan kutipan dari kitab-kitab yang menyebutkannya, maka diperbolehkan.

SOAL 784:
Kami dengar dari sebagian ulama dan lainnya bahwa jika seseorang yang sedang berpuasa sunnah diundang untuk makan, maka ia boleh memenuhi undangan tersebut dan memakan makanan yang disediakan, namun puasanya tidak batal dan pahalanya tetap ia dapatkan. Kami mohon pendapat Anda tentang hal ini?
JAWAB:
Memenuhi undangan orang mukmin untuk ifthar (menghentikan) puasa mustahab (sunnah) merupakan perbuatan yang diutamakan secara syar'i. Menyantap jamuan makan dari undangan saudara mukmin meskipun membatalkan puasanya, namun ia tetap memperoleh pahala dan ganjarannya.

SOAL 785:
Doa-doa khusus bulan Ramadhan yang diriwayatkan berdasarkan urutan hari, doa hari ke 1, hari ke 2 dan seterusnya hingga hari terakhir. Apa hukum membacanya apabila masih meragukan keshahihannya?
JAWAB:
Bagaimanapun juga, tidak ada masalah (la isykâl) membacanya apabila didasari dengan niat wurud dan mathlubiyah (pengharapan bahwa doa-doa tersebut memang berasal dari maksum dan benar-benar dianjurkan membacanya).

SOAL 786:
Jika seseorang ingin berpuasa, namun tidak bangun malam untuk makan sahur. Karena itulah ia tidak dapat melakukan puasa besoknya. Apakah dosa meninggalkan puasanya ditanggung dirinya sendiri ataukah orang yang tidak membangunkannya? Dan jika ia tetap berpuasa tanpa lebih dulu makan sahur, apakah puasanya sah?
JAWAB:
Orang-orang lain tidak menanggung beban apapun. Berpuasa tanpa didahului makan sahur sah.

SOAL 787:
Apa hukum puasa hari ke 3 dalam hari-hari i’tikaf (berdiam diri) di al-Masjid al-Haram?
JAWAB:
Jika ia seorang musafir dan berniat untuk menetap di Mekkah sepuluh (10) hari atau telah bernadzar untuk berpuasa dalam perjalanan, maka setelah berpuasa dua (2) hari, ia wajib menyempurnakan i’tikaf (berdiam diri) dengan puasa hari ketiga (3). Namun, bila ia tidak berniat untuk menetap 10 hari dan tidak bernazar puasa dalam perjalanan, maka puasanya dalam perjalanan tidaklah sah. Bila puasanya tidak sah, maka i’tikafnya juga tidak sah.
RU'YATUL-HILAL (MELIHAT BULAN)
SOAL 788:
Sebagaimana Anda telah ketahui, keadaan bulan (hilal) pada akhir atau awal bulan berada adalah satu dari tiga (3) kondisi berikut:
1. Bulan terbenam sebelum matahari terbenam.
2. Bulan terbenam bersamaan dengan terbenamnya matahari.
3. Bulan terbenam setelah matahari terbenam.
Kami mohon penjelasan berbagai masalah berikut:
Pertama: Manakah dari tiga kondisi yang tersebut di atas dianggap sebagai awal bulan dari aspek fiqih ?
Kedua: Jika kita beranggapan bahwa ketiga kondisi di atas dapat dihitung di titik terjauh dunia melalui program penghitungan elktronik yang seksama, apakah boleh menggunakan perhitungan perhitungan tersebut untuk menentukan awal bulan jauh sebelumnya, ataukah harus berdasarkan ru’yah (penglihatan) dengan mata?
JAWAB:
Dari ketiga kondisi yang disebutkan di atas melihat bulan (ru’ya al-hilal) untuk menetapkan masuknya bulan Qamariah semenjak malam setelah melihat bulan telah mencukupi.

SOAL 789:
Jika hilal bulan Syawal belum disaksikan di sebuah kota, namun televisi dan radio mengumumkan masuknya bulan tersebut, apakah hal itu cukup ataukah wajib menyelidikinya?
JAWAB:
Jika hal itu menimbulkan kemantapan akan munculnya hilal (bulan sabit), atau bahwa hal itu telah ditetapkan oleh Wali faqih, maka hal itu cukup dan tidak perlu menyelidikinya.

SOAL 790:
Jika berhalangan untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan hari raya karena hilal awal bulan tidak dapat terlihat, akibat awan atau sebab-sebab lain, sedangkan jumlah hari bulan Sya’ban atau Ramadhan belum genap 30 hari, apakah kami yang berada di Jepang boleh menggunakan ufuk Iran atau bersandarkan pada kalender? Dan apa hukumnya?
JAWAB:
Jika awal bulan tidak terbukti dengan cara melihat hilâl, meski di ufuk kota-kota tetangga yang terletak di bawah satu ufuk, atau melalui kesaksian dua orang adil, atau melalui keputusan hakim, maka wajib ber-ihtiyâth (berhati-hati) untuk memastikan awal bulan. Terlihatnya bulan sabit di Iran yang terletak di sebelah barat Jepang tidak berlaku bagi orang yang tinggal di Jepang?

SOAL 791:
Apakah kesatuan ufuk merupakan syarat dalam ru’yatul-hilal ataukah tidak?
JAWAB:
Iya. Kesatuan ufuk merupakan syarat.

SOAL 792:
Apakah yang dimasuk dengan kesatuan ufuk?
JAWAB:
Maksudnya adalah dari sisi kemungkinan ru’yah atau tiadanya kemungkinan ru’yah hilal adalah satu.

SOAL 793:
Jika terjadi perselisihan pendapat antara para ulama di satu negara tentang muncul atau tidaknya hilal (bulan sabit), sementara keadilan mereka telah terbukti bagi mukallaf dan ia meyakini kejelian masing-masing dari mereka, apakah yang wajib dilakukan oleh mukallaf?
JAWAB:
Jika perbedaan antara dua bayyinah (bukti syar'i) berkisar antara penetapan dan penolakan, seperti bila salah satu pihak mengklaim tentang munculnya hilal, sedangkan pihak lain menafikannya, maka berarti itu merupakan kasus "perbenturan antara dua bayyinah". Mukallaf, dalam kondisi demikian, wajib menyingkirkan keduanya dan mengambil ketentuan dasar (al-ashl) perihal taklif. Namun, bila perbedaan di antara mereka berkisar antara munculnya hilal dan tidak tahu akan munculnya hilal, seperti bila sebagian mengklaim telah melihat (ru’yah) hilal, sedangkan sebagian lain mengatakan bahwa hilal tidak terlihat oleh mereka, maka pendapat kelompok yang mengaku telah melihat jika terdiri atas dua orang yang adil merupakan hujjah syar'iah (dasar syar'i) bagi mukallaf, dan ia wajib mengikutinya. Demikian pula jika hakim syar'i menetapkan munculnya hilal, maka ketetapannya merupakan hujjah syariyah bagi seluruh mukallaf dan wajib diikuti.

SOAL 794:
Jika seseorang telah melihat hilal, dan tahu bahwa hakim di kotanya tidak dapat melakukannya karena suatu sebab atau lainnya, apakah ia berkewajiban untuk memberitahu hakim tersebut tentang ru’yah hilal-nya ataukah tidak?
JAWAB:
Ia tidak wajib memberitahukan kepadanya, kecuali jika tidak memeberitahukannya akan menimbulkan dampak-dampak buruk (mafsadah).

SOAL 795:
Sebagimana telah Anda ketahui bahwa sebagian besar fuqaha’ yang mulia dalam risâlah ‘amaliyah (buku fatwa) mereka telah membatasi lima (5) cara untuk menetapkan munculnya hilal awal bulan Syawal, tidak termasuk jika hilal terbukti telah muncul bagi hakim syar'i. Jika memang demikian, bagaimana kebanyakan kaum mukminin melakukan ifthar (berhenti puasa) hanya ketika hilal terbukti telah muncul bagi para marja’ yang agung? Dan apa taklif seseorang yang tidak mantap terhadap cara ini?
JAWAB:
Kemunculan hilal bagi seorang hakim tidak cukup untuk diikuti oleh orang lain apabila ia tidak memutuskannya, kecuali jika karena hal itu ia (selain hakim) meyakini kemunculan hilal.

SOAL 796:
Jika wali amr muslimin menetapkan bahwa besok adalah hari raya, dan radio dan televisi menyiarkan bahwa bulan hilal telah terlihat di kota ini dan itu, apakah hari raya berlaku atas seluruh penjuru negeri ataukah ia hanya berlaku di kota-kota tersebut atau yang sama dalam ufuk dengannya.
JAWAB:
Jika ketetapan hakim tersebut meliputi semua penjuru negara, maka ketetapannya diakui secara syar'i (mu’tabar) bagi seluruh kota di dalam negeri.

SOAL 797:
Apakah ukuran kecil dan lembutnya hilal dan ciri-ciri khas hilal malam pertama yang terdapat padanya dapat dianggap sebagai bukti bahwa malam sebelumnya bukanlah awal bulan, Namun itu adalah malam ke 30 dari bulan lalu? Dan jika hari raya terbukti telah tiba menurut seseorang, kemudian ia yakin dengan cara ini bahwa kemarin (hari yang lalu) bukanlah hari raya, apakah ia wajib mengqadha’ Puasa hari ke 30 Ramadhan?
JAWAB:
Kecil dan rendahnya hilal atau besar dan tingginya, atau lebarnya atau lemah cahayanya dengan sendirinya bukanlah hujjah (dasar) syar'i bahwa hilal itu terkait dengan malam pertama atau malam kedua. Tapi, bila dengan itu semua, seorang mukallaf mendapatkan keyakinan tentang sesuatu, maka ia wajib bertindak sesuai dengan keyakinannya dalam masalah ini.

SOAL 798:
Apakah boleh menjadikan malam bulan purnama, yaitu malam ke 14, sebagai bukti untuk menghitung hari yang menjadi awal bulan, sehingga dengan itu, dapat diungkap tentang hari keraguan (yaumusy-syak) bahwa itu adalah hari ke 30 Ramadhan, misalnya, agar orang yang tidak puasa pada hari itu dapat mengetahui kewajiban meng-qadha' puasa hari ke 30 Ramadhan, dan orang yang berpuasa pada hari itu karena menganggap masih dalam bulan Ramadhan, bisa melepaskan diri dari tanggungan (bari’ dzimmah).
JAWAB:
Hal itu bukanlah hujjah syar'iah (bukti syar'i) atas sesuatu apapun yang telah disebutkan. Namun, jika hal itu memberikan keyakinan kepada mukallaf, maka ia wajib bertindak sesuai dengan pengetahuannya.

SOAL 799:
Apakah mencari-tahu tentang kemunculan hilal (istihlal) pada setiap awal bulan merupakan wajib kifa’iy ataukah ihtiyâth wajib?
JAWAB:
Istihlal sendiri bukanlah kewajiban syar'i.

SOAL 800:
Bagaimana cara menetapkan awal bulan suci Ramadhan dan malam lebaran? Bolehkan menetapkannya berdasarkan kalender?
JAWAB:
Hilal dapat ditetapkan dengan penglihatan (ru’yah) seorang mukallaf, atau kesaksian dua orang yang adil, atau ketenaran yang menimbulkan keyakinan, atau berlalunya 30 hari, atau ketetapan hakim.

SOAL 801:
Jika diperbolehkan mengikuti pengumuman sebuah negara tentang ru’yatul-hilal dan hal itu menjadi patokan ilmiah bagi kemunculan hilal di negara-negara lain, apakah pemerintah negara tersebut disyaratkan berupa pemerintahan Islam ataukah boleh mengikuti pengumuman pemerintahan zalim dan korup?
JAWAB:
Tolok ukur dalam hal itu ialah keyakinan akan ru’yah di daerah tersebut.

SOAL 802:
Kami mengharap YM menerangkan hukum i'tikaf baik di mesjid jami' atau lainnya, selain di empat masjid (Masjid Nabawi, Masjid al-Haram, Kufah dan Bashrah) !.
JAWAB:
Di mesjid jami' sah melakukan i'tikaf, dan di selain mesjid jami' tidak bermasalah jika dengan niat raja'an (mengharap pahala) Adapun definisi mesjid jami' sudah dijelaskan dalam bab shalat.

ANTARA HISAB DAN RUKYAT


Oleh : Syaikh Muhammad Jawad Mughniyah
Jika kita gabungkan hadits, “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat hilal”, yang muttafaq alaih di kalangan kaum Muslim; dan juga jika kita gabung kesepakatan mereka bahwa yang wajib itu adalah puasa ramadhan di mana jumlah harinya berbeda dengan dua bulan yang mengapitnya, yaitu syakban dan syawal antara 29 dan 30 hari; jika kita gabung kedua dasar ini dengan ikhtilaf kaum Muslim dan perbedaan mereka di dalam meyakini ucapan (atau kejujuran) orang yang mengaku telah melihat hilal, maka sebagian meyakini kesaksiannya itu dan sebagian lain tidak; jika kita gabungkan semua itu maka akan muncullah kesimpulan yang pasti dan tidak bisa tidak, bahwa akan terjadi sekelompok orang berpuasa sementara sekelopok lain tidak. 

Bisa jadi orang yang berpuasa itu dari satu golongan (mazhab) dan yang tidak berpuasa dari golongan (mazhab) lain. Akan tetapi bisa juga terjadi bahwa keduanya dari satu golongan (satu mazhab), sesuai dengan adanya kepercayaan atau tidak. Yang demikian ini sebagaimana terjadi pada tahun 1964, di mana seorang marja’ di Najaf dengan para pengikutnya berhari raya pada hari Jum’at, sedangkan marja’ lain yang juga di Najaf dengan para pengikutnya pula berhari raya pada hari sabtu—(Pada tahun ini 2013 M/ 1434 H juga terjadi perbedaan para marja’ tentang waktu idul fitri. Sebagian marja’, seperti Sayid al-Haidari menyatakan jatuh pada hari kamis, 8 Agustus 2013; dan sebagian lainnya, seperti Sayid Sistani dan Sayid Khamenei menyebutkan Jum’at, 9 Agustus 2013. Di Indonesia sendiri terdapat juga sebagian yang berlebaran di hari kamis dan sebagian lagi di hari jum’at–peny)

Demikian pula pernah terjadi pada tahun 1939 di mana Idul Adha di Mesir jatuh pada hari senin; di Saudi Arabia hari selasa; dan di Bombai hari rabu. Padahal mereka semua bermazhab ahlussunnah. Dengan demikian masalahnya bukan masalah ikhtilaf antara golongan dan mazhab, tetapi masalahnya adalah adanya kepercayaan atau tidak pada orang yang mengaku melihat hilal.
        
Kelalaian akan hakikat ini telah meluas dan seringkali orang bertanya-tanya: Mengapa kaum Muslimin tidak berusaha menghapus kekacauan dan ikhtilaf ini dengan merujuk ke ilmu pengetahuan dan ucapan ahli perbintangan yang dapat menghitung kapan munculnya hilal. Dan yang dipahami oleh orang dari kata-kata ru’yah (melihat), khususnya pada masa risalah, ialah melihat dengan mata, bukan melihat dengan ilmu. Akibatnya, kita pun tidak pernah memperhatikan selain ru’yah dengan mata ini, apa pun yang telah dan akan terjadi.
      
Sedangkan menurutku ialah bahwa pertanyaan tersebut tidak terarah sejak dari awalnya. Demikian pula jawaban yang dibangun di atasnya. Karena sesuatu yang dibangun di atas sesuatu yang tidak benar tentu juga tidak benar. Keterangannya adalah sebagai berikut :
    
Seluruh kaum Muslimin sepakat bahwa hukum-hukum Allah swt harus dilaksanakan dan ditaati berdasarkan ilmu. Seseorang tidak boleh bersandar pada zhan (dugaan) selama masih ada jalan kea rah ilmu (keyakinan). Sebab, zhan tidak mendatangkan kebenaran sama sekali. Memang benar bahwa kita boleh berpegang pada zhan yang demikian ini jika tidak ada jalan kea rah ilmu sama sekali. Jika kita boleh bersandar kepada bayyinah yang mendatangkan zhan, maka lebih utama jika kita beramal dengan keyakinan, bahkan demikian itulah seharusnya jika memungkinkan.
       
Dengan demikian, jika ucapan para ahli perbintangan bisa mendatangkan ilmu (pengetahuan yang meyakinkan) maka wajib atas mereka yang mengetahui kebenaran pada hal tersebut untuk beramal sesuai dengan ucapan mereka; dan tidak boleh sama sekali bagi mereka berpegang pada kesaksian para saksi, atau keputusan seorang hakim atau apa pun juga yang bertentangan dengan pengetahuannya itu.
         
Mungkin Anda akan berkata, “Ucapan Rasul saw, ‘berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya’, menunjukkan bahwa ilmu yang harus diikuti dalam masalah kepastian hilal ini adalah khusus ilmu yang muncul dari penglihatan mata, bukan sembarang ilmu.”
         
Kami menjawab, bahwa ilmu adalah hujjah, dari jalan mana pun datangnya. Sedangkan pembawa syariat tidak membeda-bedakan jalan-jalan datangnya ilmu itu. Sebab hujjiyah (sifat sebagai hujjah) ilmu itu adalah zatiyah, bukan didapat dengan suatu cara tertentu; dan tak seorangpun yang berhak mengurangi atau memalingkan (kandungan)nya. Memang, pembawa syariat boleh menganggap ilmu itu sebagai bagian objek hukum-hukumnya, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul fikih. Akan tetapi, yang sedang kita bicarakan di sini adalah di luar masalah tersebut. Sebab pembawa syariat menganggap bahwa ru’yah hanyalah sebagai perantara untuk mengetahui hilal, bukan tujuan itu sendiri; sebagaimana halnya pada setiap jalan untuk mengetahui hukum-hukum yang belum diketahui. Dengan kata lain ialah bahwa nama jalan akan menunjukkan kepadanya.
     
Tinggal satu hal lagi, yaitu : “Dapatkah ucapan para ahli perbintangan itu menghasilkan pengetahuan yang pasti sehingga dapat menyingkirkan segala syubhah (ketidakjelasan), sama seperti ru’yah dengan mata, ataukah tidak?
        
Sesungguhnya jawaban untuk pertanyaan di atas sudah dapat diketahui dari apa yang telah kami sebutkan di muka, bahwa dalam masalah ini bias terjadi perbedaan sesuai dengan perbedaan manusianya, sama seperti masalah kepercayaan kepada orang yang mengaku melihat hilal (ada yang percaya dan ada yang tidak percaya), juga kepada ucapan dokter jika dia mengatakan adanya penyakit (bias dipercaya dan bisa juga tidak). Maka barangsiapa memperoleh pengetahuan (keyakinan) dari ucapan para ahli falak, maka dia harus mengikuti mereka dan tidak boleh berpegang pada bayyinah atau keputusan hakim dan sebagainya jika bertentangan dengan pengetahuan dan keyakinannya. Jika tidak, maka tidak ada jalan lain kecuali jalan-jalan syariat lain yang telah disebutkan, seperti bayyinah dan lain-lain.

Bagaimanapun, kami dan selain kami boleh mengatakan bahwa ucapan para ahli falak, sampai sekarang masih berdasarkan pada perkiraan yang mendekati kebenaran, bukan seratus persen benar. Buktinya ialah adanya ikhtilaf di kalangan mereka adanya kesimpangsiuran hasil perhitungan mereka di dalam menentukan malam munculnya hilal, dan saat munculnya itu, serta seberapa lama hilal itu terlihat…

Apabila datang suatu saat di mana ilmu pengetahuan (khususnya tentang falak) telah menghasilkan tingkat pengetahuan yang tepat dan memadai sehingga setiap kali sepakat dalam menentukan saat hilal, dan telah berulang-ulang ketepatan perhitungan mereka, sehingga ucapan mereka telah mencapai derajat kepastian, seperti perhitungan mereka tentang hari-hari dalam seminggu, maka bias jadi dengan demikian, kita akan berpegang dan merujuk mereka dalam perkara hilal dan ketentuannya. Dengan demikian, maka setiap orang akan mengetahui dengan yakin dari ucapan mereka, bukan beberapa orang saja atau beberapa golongan saja.

(Sumber: Kitab Fiqh Imam Ja’far Shadiq juz 1 karya Syaikh Muhammad Jawad Mughniyah hal. 393-396)

Terkait Berita: