Seorang
anak perempuan telah mencapai usia taklif, namun tidak dapat melakukan
puasa karena konstruksi tubuh-nya lemah. Setelah bulan Ramadhan berlalu,
dia tidak mampu mengqadha'-nya sampai tiba Ramadhan berikutnya. Apa
hukumnya?
Ketidakmampuan melakukan puasa dan qadha' puasa
hanya karena lemah dan tidak mampu tidak menggugurkan kewajiban
mengqadha'. Ia wajib mengqadha' puasa-puasa yang tidak dilakukannya pada
bulan Ramadhan.
Apa hukum anak-anak putri yang
telah baru mencapai usia balig namun sulit berpuasa sampai batas
tertentu? Apakah usia baligh gadis 9 tahun?
Usia baligh
syar'i anak perempuan, menurut pendapat yang masyhur, ialah berakhirnya
usia 9 tahun qamariah. Ia pada saat itu wajib berpuasa dan tidak boleh
meninggalkannya hanya karena alasan-alasan tertentu. Namun, jika puasa
di siang hari membahayakannya atau menimbulkan kesulitan tertentu, maka
diperbolehkan ifthar (tidak berpuasa) saat itu.
Saya
tidak tahu secara persis kapan saya mencapai usia taklif. Karena
itulah, saya mohon Anda menerangkan seberapa banyak saya wajib
mengqadha' shalat dan puasa? Apakah saya wajib membayar kaffarah ataukah
saya cukup mengqadha'nya saja, karena saya tidak tahu?
Anda
hanya wajib meng-qadha' yang Anda yakini telah Anda tinggalkan sejak
pasti menginjak usia taklif. Berkenaan dengan puasa, apabila Anda
meninggalkan puasa (ifthar) dengan sengaja setelah pasti mencapai usia
baligh, maka disamping meng-qadha' Anda juga wajib membayar kaffarah.
Jika
seorang anak perempuan berusia 9 tahun yang wajib berpuasa,
membatalkannya karena merasa berat, apakah ia wajib meng-qadha'nya
ataukah tidak?
Ia wajib mengqadha' puasa Ramadhan yang dibatalkannya.
Jika
seseorang tidak berpuasa karena ia memperkirakan lebih dari 50% dan
karena alasan halangan yang kuat bahwa ia tidak wajib berpuasa. Namun,
setelah itu terbukti bahwa ia wajib berpuasa, apakah hukumnya berkenaan
dengan qadha' dan kaffarah?
Jika ia tidak berpuasa
(ifthar) Ramadhan hanya atas dasar perkiraan, bahwa ia tidak wajib
berpuasa, maka -dalam kasus ini- ia wajib meng-qadha' puasa dan juga
dikenakan kewajiban kaffarah. Namun bila ia melakukan ifthar karena
khawatir puasa akan membahayakan berdasarkan pertimbangan rasional
(pertimbangan setiap yang berakal sehat), maka ia hanya wajib
meng-qadha' dan tidak dikenakan kewajiban membayar kaffarah.
Ada
seorang yang sedang melaksanakan wajib militer, dikarenakan perjalanan
dan berada di daerah tugas, tidak dapat melakukan puasa Ramadhan tahun
lalu. Memasuki Ramadhan pada tahun ini, ia masih berada di daerah
tersebut, dan mungkin tidak dapat melakukan puasa Ramadhan tahun ini.
Jika ia hendak meng-qadha' puasa dua kali Ramadhan tersebut setelah
selesai wajib militer, apakah wajib membayar kaffarah ataukah tidak?
Orang
yang kehilangan waktu puasa pada bulan Ramadhan karena alasan
perjalanan dan dan alasan tersebut berlangsung hingga Ramadhan
berikutnya hanya wajib mengqadha' dan tidak wajib membayar denda
(fidyah).
Jika seseorang yang berpuasa mengalami
janâbah namun tidak sadar sebelum tiba waktu adzan dhuhur, lalu mandi
secara irtimasi, apakah batal puasanya? Jika menyadarinya setelah usai
mandi, apakah wajib mengqadha'nya?
Jika melakukan mandi
irtimasi karena lupa dan lalai bahwa ia sedang berpuasa, maka mandi
wajib dan puasanya sah serta tidak wajib mengqadha'.
Jika
seseorang bermaksud untuk sampai ke tempat tinggalnya sebelum
tergelincirnya matahari (zawal), dan di tengah jalan mengalami peristiwa
yang menghalanginya sampai ke tempat tinggalnya pada waktu yang telah
ditentukan, apakah puasanya bermasalah ? Apakah ia wajib membayar
kaffarah ataukah ia hanya wajib mengqadha' puasa pada hari itu saja?
Puasanya dalam perjalanan tidak sah. Ia wajib mengqadha' puasa hari itu dan tidak wajib membayar kaffarah.
Pramugara
atau awak pesawat ketika pesawatnya berada di ketinggian yang tinggi
sekali dan menuju suatu negara yang jauh dalam jangka waktu dua setengah
jam atau tiga jam, memerlukan air minum setiap 20 menit agar dapat
menjaga keseimbangan tubuhnya. Apakah ia wajib membayar kaffarah
disamping qadha’ puasa Ramadhan?
Jika berpuasa
membahayakan dirinya, maka ia boleh membatalkan (ifthar) puasanya dengan
minum air dan ia wajib meng-qadha’ puasanya tanpa kaffarah.
Apakah batal puasa seorang perempuan yang mengalami haidh (datang bulan) dua jam atau kurang sebelum waktu maghrib?
Puasanya batal.
Apa hukum puasa orang yang menyelam di dalam air dengan pakaian khusus sehingga tubuhnya tidak terkena air?
Jika pakaiannya menempel pada kepalanya maka puasanya bermasalah (mahallu isykâl). Ia wajib, berdasarkan ahwath, mengqadha'nya.
Apakah boleh melakukan perjalanan dengan sengaja pada bulan Ramadhan agar dapat ifthar dan meloloskan diri dari beban puasa?
Boleh. Jika seseorang bepergian demi menghindari puasa sekalipun maka wajib membatalkannya (ifthar).
Ada
seseorang yang mempunyai tanggungan puasa wajib. Ia bertekad akan
memenuhinya dengan puasa. Hanya saja ada sesuatu yang menghalanginya,
seperti bila ia telah bersiap untuk bepergian setelah matahari terbit
dan kembali setelah dhuhur, dan tidak memakan (atau meminum) sesuatau
apapun yang membatalkan puasa. Namun waktu untuk niat berpuasa wajib
telah lewat, padahal pada hari itu disunnahkan berpuasa. Apakah sah
berniat puasa mustahab ataukah tidak?
Jika tanggungannya
berupa qadha' puasa Ramadhan, maka tidak sah berniat puasa mustahab
(sunnah), meskipun setelah waktu niat puasa wajib telah berlalu.
Saya
adalah pecandu rokok. Pada bulan suci Ramadhan setiap kali berusaha
untuk tidak menjadi orang yang berwatak keras, saya tidak berdaya. Hal
inilah yang membuat keluarga saya sangat terganggu. Saya juga menderita
karena kondisi emosional ini. Apakah tugas saya?
Anda
wajib melakukan puasa bulan Ramadhan dan Anda tidak boleh merokok ketika
berpuasa. Tidak boleh memperlakukan orang lain dengan kasar (keras)
tanpa alasan dan meninggalkan rokok tidak ada hubungannya dengan amarah.
WANITA HAMIL DAN YANG SEDANG MENYUSUI
SOAL 709:
Ada seoarang wanita hamil yang tidak tahu bahwa berpuasa akan membahayakan kandungannya atau tidak. Apakah ia wajib berpuasa?
JAWAB:
Jika
ia khawatir puasanya akan membahayakan janinnya, dan kekhawatirannya
masuk akal (diterima oleh orang-orang yang berakal sehat), maka ia wajib
ifthar. Jika tidak maka ia wajib berpuasa.
SOAL 705:
Seorang
wanita menyusui anak bayinya padahal ia sedang hamil dan melakukan puasa
Ramadhan. Ketika melahirkan, bayinya meninggal. Jika sebelumnya ia
telah memperkirakan bahwa puasanya akan menimbulkan bahaya, namun ia
tetap berpuasa, maka:
Pertama, apakah puasanya sah ataukah tidak?
Kedua, apakah ia menanggung denda (diyah) atauakah tidak?
Ketiga, jika tidak menduga akan berbahaya, namun setelah itu terjadi, apa hukumnya?
JAWAB:
Jika
ia berpuasa padahal ia khawatir akan berbahaya bagi janinnya,
berdasarkan alasan yang diterima oleh orang-orang yang berakal sehat,
atau setelah itu terbukti bahwa puasanya membahayakan keadaan janinnya,
maka puasanya tidaklah sah, dan ia wajib melakukan qadha’. Untuk
menetapkan denda (diyah) karena kematian janin yang dikandung perlu
bukti bahwa kematiannya tersebut adalah akibat puasa (ibu) nya.
SOAL 706:
Setelah
hamil, saya dikaruniai Allah dengan seorang putra, Ia minum ASI. Bulan
suci Ramadhan akan segera tiba. Kini saya dapat berpuasa, namun dengan
berpuasa ASI akan mengering, karena fisik saya yang lemah, sedangkan, ia
selalu minta minum ASI setiap 10 menit. Apa yang harus saya lakukan?
JAWAB:
Jika
berpuasa menyebabkan kekurangan atau kekeringan ASI sehingga
dikhawatirkan akan membahayakan anak Anda, maka Anda boleh ifthar (tidak
berpuasa) namun Anda wajib membayar fidyah setiap hari dengan satu mud
makanan untuk orang fakir, dan melakukan qadha’ puasa setelah itu.
SAKIT DAN LARANGAN DOKTER
SOAL 707:
Sebagian
dokter yang tidak agamis melarang pasien berpuasa dengan alasan
berbahaya. Apakah pendapat para dokter itu cukup menjadi dasar dan
alasan (hujjah) ataukah tidak?
JAWAB:
Jika dokter itu tidak bisa
dipercaya, dan ucapannya tidak meyakinkan dan tidak menyebabkan
kekhawatiran akan bahaya, maka ucapannya tersebut diabaikan.
SOAL 708:
Ibu
saya sakit sejak sekitar 13 tahun. Karena itulah ia tidak dapat
berpuasa. Saya tahu secara persis bahwa ia tidak dapat melaksanakan
kewajiban ini karena ia perlu mengkonsumsi obat. Kami mohon bimbingan
Anda untuk kami, apakah ia wajib mengqadha' (puasanya)?
JAWAB:
Jika ia tidak dapat berpuasa karena sakit, maka ia tidak diwajibkan mengqadha'nya.
SOAL 709:
Saya belum pernah berpuasa sejak memasuki usia baligh hingga usia 12 tahun karena kelemahan fisik. Apa tugas saya sekarang?
JAWAB:
Anda
wajib meng-qadha’ puasa Ramadhan yang telah anda tinggalkan sejak
memasuki usia taklif (baligh). Bila anda tidak berpuasa dengan sengaja
dan atas dasar kehendak sendiri, tanpa didasari alasan syar'i, maka
selain wajib melakukan qadha', wajib (juga) membayar kaffarah.
SOAL 710:
Dokter
mata telah melarang saya melakukan puasa. Ia mengatakan kepada saya:
"Bagaimanapun, anda tidak boleh puasa akibat sakit mata." Karena merasa
tidak senang, saya mulai puasa. Namun, saat berpuasa saya menghadapi
sejumlah problema sehingga kadang kala dalam sehari saya tidak merasa
terganggu sampai tiba waktu maghrib. Kadang kala saya merasa terganggu
pada waktu ashar. Karena bingung dan bimbang antara tidak berpuasa dan
menanggung sakit, saya melanjutkan puasa sampai saat matahari terbenam
(Maghrib). Pertanyaan saya ialah apakah pada dasarnya saya wajib
berpuasa? Dalam hari-hari yang saya jalani dengan puasa padahal saya
tidak tahu apakah saya dapat melanjutkan puasa hingga saat terbenamnya
matahari atau tidak. Apakah saya tetap berpuasa? Dan bagaimana saya
harus berniat?
JAWAB:
Jika keterangan dokter yang taat beragama
dan dapat dipercaya membuat anda mantap bahwa puasa membahayakan Anda,
atau Anda merasa khawatir mata anda terganggu oleh puasa, maka tidak
wajib, bahkan tidak diperbolehkan berpuasa dan tidak sah berniat puasa.
Namun jika jika Anda tidak khawatir akan bahaya, maka tidak ada larangan
berpuasa. Tetapi, keabsahan puasa Anda tergantung pada kenyataan bahwa
puasa benar-benar tidak membahayakan.
SOAL 711:
Saya
menggunakan kacamata medis karena mata saya sangat lemah. Ketika
berkonsultasi kepada dokter, saya diberi tahu bahwa jika tidak berusaha
menguatkannya, maka mata saya akan makin melemah. Karenanya, jika saya
tidak bisa berpuasa bulan Ramadhan, apa hukumnya?
JAWAB:
Jika
puasa membahayakan mata anda, maka anda tidak wajib berpuasa, bahkan
anda wajib ifthar (tidak berpuasa). Jika penyakit anda berlanjut hingga
Ramadhan berikutnya, maka anda wajib membayar denda (fidyah) setiap hari
sebesar satu mud makanan kepada orang fakir.
SOAL 712:
Ibu
saya menderita sakit keras. Ayah saya juga mengalami lemah tubuh.
Keduanya berpuasa. Kadang kala dapat dipastikan bahwa puasa akan membuat
penyakit mereka kian parah. Hingga sekarang saya tidak dapat meyakinkan
keduanya agar tidak berpuasa, paling tidak, ketika sakit mereka parah.
Kami mohon bimbingan Anda berkenaan hukum puasanya?
JAWAB:
Tolok
ukur dalam menentukan bahwa berpuasa menimbulkan rasa sakit (penyakit)
atau memperparah, atau dalam menentukan ketidak mampuan berpuasa adalah
identifikasi pelaku puasa sendiri. Namun, jika diketahui bahwa berpuasa
membahayakan dan tetap berpuasa, maka haram hukumnya berpuasa.
SOAL 713:
Tahun
lalu saya menjalani operasi ginjal oleh seorang dokter spesialis yang
melarang saya berpuasa seumur hidup. Saya kini tidak menghadapi
kesulitan apapun, bahkan saya makan dan minum secara normal, dan tidak
merasa ada satupun masalah kesehatan yang menimpa saya. Apa taklif saya?
JAWAB:
Jika
Anda sendiri tidak khawatir puasa akan membahayakan Anda, dan Anda
tidak mempunyai alasan syar'i untuk hal itu (tidak berpuasa), maka Anda
wajib berpuasa bulan Ramadhan.
SOAL 714:
Jika seorang dokter
melarang seseorang berpuasa, apakah ia wajib mengikuti perkataannya,
padahal sebagian dokter tidak mengetahui masalah-masalah syari’ah?
JAWAB:
Jika
mukallaf yakin dari keterangan dokter bahwa puasa akan membahayakannya,
atau dikarenakan informasi dari dokter atau alasan logis (diterima oleh
orang-orang yang berakal sehat) lainnya, ia khawatir bahwa puasa akan
membahayakan, maka tidak diwajibkan berpuasa.
SOAL 715:
Dalam
ginjal saya terkumpul banyak batu. Cara satu-satunya untuk mencegah
pengerasan batu dalam ginjal adalah dengan mengkonsumsi cairan secara
bersinambungan. Karena para dokter yakin bahwa saya tidak diperbolehkan
berpuasa, apa tugas dan kewajiban saya berkenaan dengan puasa bulan suci
Ramadhan?
JAWAB:
Jika pencegahan penyakit ginjal mengharuskan
konsumsi air atau benda-benda cair lainnya di siang hari juga, maka anda
tidak diwajibkan berpuasa.
SOAL 716:
Karena orang-orang yang
menderita penyakit diabetes terpaksa menggunakan insulin sekali atau dua
kali sehari melalui suntikan jarum yang waktunya tidak berselisih
dengan waktu makan rutin mereka, karena akan menekan peningkatan kadar
gula dalam darah, yang pada gilirannya akan menimbulkan kondisi pingsan
dan ketegangan. Kadang kala para dokter memberi nasihat agar makan 4
(empat) kali sehari. Kami mohon Anda berkenan menerangkan pendapat Anda
berkenaan dengan puasa orang-orang semacam ini?
JAWAB:
Jika
berhenti makan dan minum sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari
membahayakan mereka, maka mereka tidak diwajibkan puasa, bahkan
dilarang.
HAL-HAL YANG HARUS DIHINDARI OLEH ORANG YANG BERPUASA
SOAL 717:
Pada
bulan Ramadhan disebabkan gangguan setan, saya berniat untuk
membatalkan puasa saya, namun sebelum melakukan sesuatu yang membatalkan
puasa, saya mengurungkan niat tersebut. Apa hukum puasa saya? Dan jika
hal itu terjadi pada selain puasa bulan Ramadhan apa hukumnya?
JAWAB:
Pada
puasa bulan Ramadhan jika seseorang niat (dengan bulat) untuk
memutuskan puasanya, dengan kata lain tidak akan meneruskan puasanya,
maka puasanya batal dan tidak ada faedah baginya mengurungkan niat
tersebut, artinya kembali niat untuk meneruskan puasanya. Beda halnya
jika seseorang dalam keadaan ragu apakah akan membatalkan puasanya atau
tidak, atau telah bulat untuk melakukan hal yang membatalkan puasa,
namun dia belum melakukannya, maka dalam dua keadaan terakhir ini,
keabsahan kelanjutan puasanya bermasalah, maka berdasarkan ihtiyâth ia
wajib meneruskan puasanya, kemudian meng-qadha’nya lagi.
Semua puasa
wajib yang ditentukan (waktunya) seperti nadzar yang telah ditentukan
waktunya memiliki hukum yang sama seperti di atas.
SOAL 718:
Apakah darah yang keluar dari mulut seorang pelaku puasa membatalkan puasanya?
JAWAB:
Puasanya tidak batal. Namun ia wajib berusaha agar darahnya tidak sampai masuk ke tenggorokan.
SOAL 719:
Kami
mohon penjelasan pendapat Anda tentang penggunaan rokok oleh pelaku
puasa (sha’im) pada bulan suci Ramadhan, apakah membatalkan puasanya?
JAWAB:
Berdasarkan
ihtiyâth wajib, hendaknya seorang yang berpuasa meninggalkan segala
jenis rokok dan bahan penenang yang dihirup hidung atau diletakkan di
bawah lidah.
SOAL 720:
Apakah ‘nas’ yang terbuat dari tembakau
dan lainnya yang diletakkan di bawah lidah selama beberapa menit
kemudian dikeluarkan dari mulut membatalkan puasa?
JAWAB:
Jika ia menelan ludah yang bercampur dengan ‘nas’, maka batallah puasanya.
SOAL 721:
Ada
sebuah obat untuk orang-orang yang menderita sesak nafas berat, yaitu
berupa spray yang ketika ditekan akan menyemprotkan percikan yang
mengandung bubuk gas ke paru-paru pasien melalui mulutnya. Hal ini dapat
meredakan pasien. Kadang kala pasien terpaksa menggunakannya beberapa
kali dalam satu hari. Apakah boleh berpuasa sambil menjalani penyembuhan
medis demikian, sebab tanpa obat ini, ia tidak dapat berpuasa atau
sangat menyulitkannya.
JAWAB:
Jika benda yang masuk ke dalam
paru-paru melalui mulut itu adalah udara semata, maka hal itu tidak
mengganggu (keabsahan) puasa. Namun, jika udara yang ditekan itu
bersamaan dengan obat, meski hanya berupa debu atau bubuk, dan masuk ke
dalam tenggorokan, maka hal itu menyebabkan keabsahan puasa bermasalah
dan wajib dihindari. Jika ia tidak dapat berpuasa tanpa obat ini,
kecuali dengan kesulitan dan beban, maka ia boleh menggunakan alat
penyembuhan tersebut.
SOAL 722:
Pertanyaan saya berkenaan
dengan puasa. Sering kali air ludah saya bercampur dengan darah yang
mengalir dari gusi. Kadang kala saya tidak tahu apakah air ludah yang
masuk ke dalam perut saya bercampur dengan darah ataukah tidak? Kami
mohon petunjuk Anda agar saya terbebas dari kesulitan ini.
JAWAB:
Darah
gusi jika lebur dalam air ludah dihukumi sebagai suatu yang suci, dan
boleh ditelan. Jika ragu apakah air ludah tersebut bercampur dengan
darah atau tidak, maka boleh menelannya, dan tidak menggangu keabsahan
puasa.
SOAL 723:
Suatu hari di bulan Ramadhan saya berpuasa
tanpa membersihkan gigi dengan sikat gigi. Tentu saya tidak menelan sisa
makanan dalam mulut saya, namun terlanjur masuk ke dalam perut saya.
Apakah saya wajib mengqadha’ puasa hari itu?
JAWAB:
Jika anda
tidak tahu ada sisa-sisa makanan di gigi anda, atau jika anda tidak tahu
bahwa itu akan turun (masuk) ke dalam perut dan masuknya ke dalam perut
tanpa sadar dan tanpa sengaja, maka puasa anda tetap sah.
SOAL 724:
Ada
seorang pelaku puasa yang gusinya mengeluarkan darah yang banyak.
Apakah puasanya batal? Apakah ia boleh menuangkan air ke atas kepala
dengan bejana ?
JAWAB:
Puasanya tidak batal dengan mengeluarkan
darah dari gusi apabila tidak ditelannya. Puasanya juga tidak terganggu
(keabsahannya) dengan menuangkan air ke atas kepalanya dari bejana dan
sebagainya.
SOAL 725:
Ada obat-obat khusus untuk mengobati penyakit kewanitaan yang dimasukkan ke dalam kelamin. Apakah itu membatalkan puasa?
JAWAB:
Penggunaan obat-obat tersebut tidak mengganggu (keabsahan) puasa.
SOAL 726:
Kami
mohon keterangan pendapat Anda berkenaan dengan penyuntikan yang
dilakukan oleh dokter gigi dan lainnya terhadap para pelaku puasa di
bulan Ramadhan?
JAWAB:
Tidak ada masalah (la isykâl ) menggunakan
suntik jarum yang berisi obat atau penghilang rasa sakit untuk para
pelaku puasa, kecuali yang berfungsi sebagai pengganti makanan, maka
berdasarkan ahwath, wajib dihindari.
SOAL 727:
Apakah saya boleh menelan pil untuk mengatasi tekanan darah saat berpuasa ?
JAWAB:
Jika
mengkonsumsi pil tersebut pada bulan Ramadhan merupakan keharusan demi
penyembuhan tekanan darah, maka hal itu tidak dilarang. Namun, dengan
menelannya, puasa Anda batal.
SOAL 728:
Jika saya dan sebagian
orang beranggapan bahwa pemakaian pil untuk penyembuhan tidak sama
dengan (bukanlah) makan dan minum, apakah saya boleh melakukannya dan
tidak membatalkan puasa saya?
JAWAB:
Bila dilakukan dengan menelan, maka membatalkan puasa.
SOAL 729:
Jika
pada bulan Ramadhan seorang suami berhubungan badan dengan istrinya dan
si istrinya pun mmelakukannya dengan kerelaannya. Apa hukumnya?
JAWAB:
Terhadap
Anda berdua berlaku hukum ifthar (membatalkan puasa) dengan sengaja.
Anda berdua selain wajib mengqadha' wajib juga membayar kaffarah.
SOAL 730:
Jika seorang lelaki mencumbu dengan isterinya pada siang hari bulan Ramadhan apakah hal itu merusak puasanya?
JAWAB:
Jika
hal itu tidak menyebabkan ejakulasi (keluarnya mani), maka tidaklah
merusak puasanya. Jika iya, maka ia tidak boleh melakukannya, dan
puasanya batal.
SENGAJA TETAP DALAM KEADAAN JUNUB
SOAL 731:
Jika
seseorang tetap dalam keadaan janâbah, karena sejumlah kesulitan, hingga
adzan Subuh, apakah ia boleh berpuasa pada hari berikutnya?
JAWAB:
Tidak
ada larangan berpuasa di selain puasa bulan Ramadhan dan qadha puasa
Ramadhan. Adapun dalam puasa Ramadhan, apabila ia berhalangan untuk
mandi, maka ia wajib bertayammum, jika ia tidak bertayammum juga, maka
puasanya tidaklah sah.
SOAL 732:
Jika seseorang berpuasa
selama beberapa hari dalam keadaan junub dan tidak tahu bahwa kesucian
dari janâbah merupakan syarat puasa, apakah ia wajib membayar kaffarah
sebagai ganti dari beberapa hari puasa yang telah dilakukannya dalam
keadaan junub ataukah cukup mengqadha’nya saja?
JAWAB:
Pada kasus yang ditanyakan qadha' puasa sudah cukup baginya.
SOAL 733:
Apakah
seorang yang sedang junub boleh mandi setelah terbit matahari lalu
berpuasa dengan niat qadha’ atau puasa istihbab (sunnah)?
JAWAB:
Jika
ia tetap dalam keadaan janâbah dengan sengaja hingga saat terbit fajar,
maka tidaklah sah berpuasa Ramadhan atau berpuasa qadha’. Adapun selain
keduanya, maka, berdasarkan al-aqwa, ia sah melakukannya, terutama
puasa mandub (sunnah).
SOAL 734:
Seorang menjadi tamu pada
bulan Ramadhan, dan menginap di rumah. Di tengah malam ia mengalami
mimpi basah (ihtilâm). Karena ia tamu dan tidak memiliki pakaian lain
maka ia berniat melakukan perjalanan hari esoknya untuk menghindari
puasa. Pagi hari setelah subuh, ia berangkat melakukan perjalanan tanpa
melakukan sesuatu yang membatalkan puasa (makan dan minum). Yang kami
tanyakan, apakah rencana orang ini untuk melakukan perjalanan dapat
menggugurkan kewajiban membayar kaffarah ataukah tidak?
JAWAB:
Niat
melakukan perjalanan pada malam hari, begitu juga melakukan perjalanan
pada siang hari tidaklah cukup untuk menggugurkan kewajiban membayar
kaffarah, jika ia berpagi hari dalam keadaan janâbah dan –sementara ia
menyadari hal itu- tidak bergegas mandi atau bertayammum sebelum fajar
terbit (Subuh).
SOAL 735:
Apakah orang yang tidak menemukan
air atau tidak dapat mandi janâbah karena kendala-kendala lain, kecuali
waktu yang sangat mendesak atau sempit, boleh pada malam-malam bulan
Ramadhan melakukan sesuatu yang menyebabkan janâbah?
JAWAB:
Jika
ia wajib bertayammum dan mempunyai waktu yang memadai untuk bertayammum
setelah membuat dirinya junub, maka ia boleh melakukannya.
SOAL 736:
Seseorang
terjaga dari tidur sebelum adzan subuh di bulan Ramadhan, dan tidak
sadar bahwa ia mengalami mimpi basah (ihtilâm) lalu melanjutkan tidur.
Saat adzan fajar berkumandang ia bangun lalu menyadari hal tersebut dan
yakin bahwa ia mengalaminya sebelum adzan fajar. Apa hukumnya?
JAWAB:
Jika sebelum adzan fajar ia belum sadar bahwa dirinya mengalami ihtilâm, maka sahlah puasanya.
SOAL 737:
Seorang
mukallaf terjaga dari tidurnya sebelum adzan subuh pada hari bulan
Ramadhan dan mendapatkan dirinya mengalami ihtilâm, kemudian ia tidur
lagi hingga setelah matahari terbit, tanpa melakukan shalat subuh. Ia
menunda mandi sampai adzan dhuhur dan mandi setelah adzan Dhuhur
diikumandangkan lalu melakukan shalat dhuhur dan ashar. Apa hukum
puasanya?
JAWAB:
Pada kasus yang ditanyakan ia waib meng-qadha' puasanya, dan berdasarkan ihtiyâth ia dianjurkan untuk membayar kaffarah juga.
SOAL 734:
Jika
seorang mukallaf pada malam bulan Ramadhan sebelum adzan Subuh ragu
apakah ia telah mengalami ihtilâm ataukah tidak, namun ia mengabaikannya
dan melanjutkan tidurnya. Ia bangun dari tidurnya setelah adzan dan
baru sadar sepenuhnya bahwa dirinya telah mengalami ihtilâm sebelum
adzan fajar (subuh), apakah hukum puasanya?
JAWAB:
Jika saat
pertama kali terjaga dari tidur ia tidak menyaksikan bekas ihtilâm,
melainkan hanya menduga-duga semata, dan tidak terbukti, lalu tidur lagi
hingga setelah adzan subuh, maka sahlah puasanya, meskipun setelah itu
terbukti bahwa itilam-nya telah terjadi sebelum adzan Subuh.
SOAL 735:
Jika
seseorang mandi di bulan Ramadhan dengan air yang najis, lalu ingat
setelah seminggu bahwa air yag dipakainya untuk mandi itu najis, apakah
hukum puasa dan shalatnya selama (seminggu) itu?
JAWAB:
Shalatnya batal dan wajib di-qadha’, namun puasanya dihukumi sah.
SOAL 736:
Ada
seseorang yang menderita penyakit "beser" sementara yang berlangsung
satu jam atau lebih setiap kali usai buang air kecil. Apa hukum puasa
orang tersebut bila mengalami janâbah pada malam-malam tertentu. Kadang
kala ia terjaga dari tidur satu jam sebelum adzan Subuh lalu
menduga-duga bahwa ia mengeluarkan mani bersama dengan menetesnya air
seni? Apa tugasnya agar ia dapat memasuki waktu dalam keadaan suci?
JAWAB:
Jika
ia mandi untuk bersuci dari janâbah atau bertayammum sebagai ganti
darinya sebelum adzan subuh, maka sahlah puasanya, meskipun setelah itu
ia mengeluarkan mani tanpa dikehendaki.
SOAL 737:
Jika
seseorang tidur setelah adzan fajar atau sebelumnya, kemudian mengalami
ihtilâm dalam tidur lalu terjaga setelah adzan, berapa jangka waktu yang
diberikan untuk mandi?
JAWAB:
Dalam kasus yang anda tanyakan,
janâbah tidak mempengaruhi keabsahan puasa pada hari itu. Namun, wajib
mandi untuk shalat dan ia boleh menundanya sampai saat shalat.
SOAL 738:
Jika
seseorang lupa mandi janâbah untuk melakukan puasa bulan Ramadhan atau
puasa lainnya, lalu ingat di pertengehan siang, apa hukumnya?
JAWAB:
Berkenaan
dengan puasa Ramadhan, jika seseorang lupa mandi janâbah pada malam
hari sebelum fajar lalu berada pada pagi hari (subuh) dalam keadaan
junub, maka batallah puasanya. Berdasarkan ahwath, hukum tersebut juga
berlaku dalam puasa qadha’ Ramadhan. Adapun puasa-puasa lainnya, maka
hal itu tidak membatalkan puasa.
MASTURBASI (ISTMINA') SAAT BERPUASA DAN LAINNYA
SOAL 739:
Apa
hukum orang yang membatalkan puasanya di bulan Ramadhan dengan
berhubungan badan yang haram atau onani atau makan dan minum yang haram?
JAWAB:
Pada
kasus yang ditanyakan harus berpuasa selama 60 hari atau memberi makan
60 orang miskin, dan berdasarkan ihtiyâth mustahab hendaknya
kedua-duanya dilakukan.
SOAL 740:
Jika mukallaf tahu bahwa
masturbasi membatalkan puasa, dan ia memang melakukannya secara sengaja,
apakah wajib baginya kaffarah ganda?
JAWAB:
Jika ia melakukan
masturbasi secara sengaja dan mani pun keluar darinya, maka wajib
membayar kaffarah ganda (kaffratul jam’) baginya tidak wajib, namun
berdasarkan ihtiyâth mustahab hendaknya ia melakukannya.
SOAL 741:
Pada
bulan Ramadhan saya mengeluarkan mani bukan akibat dari masturbasi
melainkan akibat ketegangan saat melakukan percakapan telpon dengan
seorang perempuan yang bukan muhrim. Percakapan tersebut dilakukan bukan
untuk tujuan mencari kenikmatan. Kami mohon Anda sudi menjawab, apakah
puasa saya batal ataukah tidak. Jika batal, apakah saya wajib membayar
kaffarah ataukah tidak?
JAWAB:
Jika sebelumnya Anda biasanya
tidak mengeluarkan mani akibat percakapan dengan seorang wanita, dan
percakapan tersebut tidak dengan tujuan bersenang-senang dan tidak
mengarah kepada dosa (raibah), meski demikian mani keluar tanpa
kehendak, maka peristiwa seperti itu tidak menyebabkan puasa anda batal.
Anda tidak perlu melakukan sesuatu apapun.
SOAL 742:
Ada seorang yang selama beberapa tahun melakukan kebiasaan rahasia pada bulan puasa dan lainnya. Apa hukum shalat dan puasanya?
JAWAB:
Masturbasi
mutlak diharamkan. Jika perbuatan tersebut menyebabkan keluarnya mani,
maka hal itu menyebabkan janâbah. Jika ia melakukan perbuatan tersebut
saat sedang berpuasa, maka ia dihukumi sebagai orang yang membatalkan
(ifthar) puasa dengan sesuatu yang haram. Jika ia shalat atau puasa
dalam keadaan junub tanpa mandi atau tayammum, maka shalat dan puasanya
batal dan wajib meng-qadha'nya.
SOAL 743:
Apakah seorang suami boleh beronani dengan tangan isterinya?
JAWAB:
Pekerjaan tersebut tidaklah termasuk masturbasi yang diharamkan.
SOAL 744:
Apakah
seorang yang bujang boleh melakukan masturbasi atas permintaan dokter
untuk menganalisis spermanya, dan hanya dengan cara masturbasi itulah
hal itu dapat dilakukan?
JAWAB:
Tidak apa-apa, apabila penyembuhan hanya bisa dilakukan dengan cara begitu.
SOAL 745:
Sebagian
pusat kesehatan menyuruh pasien lelaki melakukan masturbasi guna
menjalani pemeriksaan medis terhadap spermanya apakah dapat melahirkan
ataukah tidak. Apakah ia boleh melakukannya?
JAWAB:
Secara syar'i
tidak diperbolehkan melakukan masturbasi, meskipun untuk mengetahui
dirinya bisa melahirkan ataukah tidak, kecuali jika pemeriksaan untuk
mengetahui penyakit yang menyebabkan kemandulan pasangan suami isteri
hanya bisa dilakukan dengan cara tersebut.
SOAL 746:
Apakah boleh menghayal demi membangkitkan syahwat birahi jika dilakukan pada kondisi berikut:
1. Menghayal istri sendiri?
2. Menghayal perempuan lain?
JAWAB:
Pada
kondisi pertama jika tidak menimbulkan yang haram seperti mengeluarkan
mani, maka tidak apa-apa. Dan untuk kondisi ke dua berdasarkan ihtiyâth
wajib ditinggalkan.
SOAL 747:
Seseorang berpuasa bulan
Ramadhan pada permulaan usia balig-nya. Ia melakukan masturbasi dan
mengalami janâbah saat berpuasa. Ia terus berpuasa selama beberapa hari
dalam keadaan junub karena tidak tahu bahwa puasa wajib dilakukan dalam
keadaan suci dari janâbah. Apakah qadha’ puasa hari-hari itu sudah
mencukupi ataukah ia dikenai hukum kewajiban lain?
JAWAB:
Dalam kasus yang ditanyakan, ia wajib mengqadha' puasa dan membayar kaffarah.
SOAL 748:
Seseorang pada bulan Ramadhan melihat pemandangan yang membangkitkan syahwat lalu mengalami janâbah. Apakah puasanya batal?
JAWAB:
Jika
ia memandangnya dengan tujuan mengeluarkan mani, atau mengetahui bahwa
jika memandangnya niscaya ia akan mengalami janâbah, atau biasanya
mengalami janâbah setiap kali memandangnya, lalu melakukannya dengan
sengaja dan menyebabkan ia junub, maka ia dihukumi sebagai orang yang
secara sengaja menjunubkan diri.
SOAL 749:
Apa hukum seorang yang berpuasa jika dalam sehari melakukan sesuatu yang membatalkan puasanya lebih dari sekali?
JAWAB:
Dia
hanya wajib membayar kaffarah sekali saja, kecuali jika yang ia lakukan
berkali-kali itu hubungan badan atau onani, maka hendaknya ia melakukan
kaffarah sebanyak yang ia lakukan.
AKIBAT-AKIBAT HUKUM IFTHAR (MENGHENTIKAN PUASA)
SOAL 750:
Apakah
boleh mengikuti Ahlussunnah berkenaan dengan waktu ifthar (buka puasa)
dalam pertemuan-pertemuan umum, forum-forum resmi dan lainnya? Dan apa
yang wajib dilakukan oleh mukallaf jika ia menganggap hal itu bukan
sebagai taqiyyah, dan tidak ada alasan syar'i untuk menerapkannya?
JAWAB:
Mukallaf
tidak diperbolehkan mengikuti yang lain tanpa memastikan masuknya waktu
berkenaan dengan waktu buka puasa (ifthar), dan jika termasuk pada
kondisi taqiyyah maka dia diperbolehkan berbuka, namun dia wajib
meng-qadha nya. Sebagaimana tidak boleh atas kehendak sendiri berbuka
puasa, kecuali setelah memastikan tibanya waktu malam dan berakhirnya
siang dengan menyaksikan sendiri atau berdasarkan bukti syar'i (hujjah
syar'iah).
SOAL 751:
Jika saya sedang berpuasa, lalu dipaksa oleh ibu agar makan dan minum, apakah hal itu membatalkan puasa?
JAWAB:
Makan dan minum membatalkan puasa, meski karena ajakan atau desakan orang lain.
SOAL 752:
Jika
suatu benda dimasukkan secara paksa ke dalam mulut seorang yang sedang
berpuasa, atau kepalanya dibenamkan ke dalam air, apakah membatalkan
puasa? Dan jika dipaksa membatalkan puasa, seperti jika diancam dengan
kerugian pada harta atau jiwa apabila tidak makan.Lalu ia makan untuk
menghindari bahaya itu. Apakah puasanya tetap sah ataukah tidak?
JAWAB:
Jika
suatu benda dimasukkan ke dalam tenggorokannya secara paksa atau
kepalanya kebenamkan secara paksa ke dalam air, puasanya tidaklah batal.
Namun, jika ia memakan sendiri benda yang membatalkan puasa atas dasar
paksaan orang lain, maka batallah puasanya.
SOAL 753:
Pelaku
puasa tidak mengetahui bahwa tidak boleh berbuka (ifthar) sebelum
tergelincirnya matahari (zawal) apabila belum menacapai batas
tarakhkhus. Lalu ia melakukan ifthar sebelum batas tarakkhush dengan
anggapan sebagai musafir. Apa hukum puasanya? Dan apakah ia wajib
meng-qadha'nya ataukah ia dikenai hukum lain?
JAWAB:
Perbuatannya tersebut dihukumi seperti ifthar (membatalkan puasa) dengan sengaja.
SOAL 754:
Ketika
terkena influensa dahak mengumpul dalam mulut. Alih-alih mengeluarkan,
saya malah menelannya. Apakah puasa saya sah ataukah tidak? Saya telah
melewati beberapa hari dalam bulan Ramadhan di rumah salah seorang
kerabat. Karena terserang flu, di samping karena malu, saya terpaksa
bertayamum dengan tanah sebagai ganti mandi wajib, dan baru mandi saat
mendekati waktu dhuhur. Perbuatan ini telah saya lakukan berulangkali
selama beberapa hari. Apakah puasa saya di hari-hari itu sah ataukah
tidak? Dan jika tidak sah, apakah saya wajib membayar kaffarah ataukah
tidak?
JAWAB:
Anda tidak dikenai hukum apa-apa karena saat
berpuasa menelan dahak dan ingus. Meski demikian, berdasarkan ahwath,
Anda wajib mengqadha' puasa apabila menelan dahak yang sudah berada di
ruang mulut. Berkenaan dengan tindakan meninggalkan mandi janâbah
sebelum Subuh hari puasa, dan melakukan tayammum sebagai gantinya,
apabila hal itu dikarenakan alasan syar'i atau tayammum dilakukan di
akhir waktu dan ketika waktu sudah sempit, maka puasa anda sah. Jika
tidak, maka batallah puasa anda selama beberapa hari itu.
SOAL 755:
Saya
bekerja di tambang besi. Karakteristik pakerjaan saya mengharuskan saya
masuk ke dalam tambang dan bekerja di situ setiap hari. Ketika
menggunakan peralatan maka debu akan masuk ke mulut saya. Hal ini
terjadi pada bulan-bulan lain sepanjang tahun. Apa tugas saya dalam
kondisi begitu sahkah puasa saya ataukah tidak?
JAWAB:
Menelan
debu saat sedang berpuasa membatalkan puasa. Karena itulah, wajib
menghindarinya. Namun puasa anda tidak batal apabila debu itu hanya
masuk ke dalam mulut dan hidung, sementara anda tidak menelannya.
KAFFARAH PUASA DAN UKURANNYA
SOAL 756:
Apakah cukup memberi orang fakir uang seharga satu mud makanan sehingga ia membeli sendiri makanan untuk dirinya?
JAWAB:
Jika
ia yakin bahwa orang fakir itu, mewakili pembayar kaffarah, akan
membeli makanan dengan uang tersebut, lalu mengambil makanan tersebut
sebagai kaffarah, maka tidak dilarang (diperbolehkan).
SOAL 757:
Jika
seseorang menjadi wakil untuk memberi makanan sejumlah orang miskin,
apakah ia boleh mengambil ongkos kerja dan memasak dari harta kaffarah
yang telah diberikan?
JAWAB:
Boleh baginya menuntut ongkos kerja
dan memasak, namun ia tidak boleh menghitungnya sebagai bagian dari
kaffarah, atau mengambil sebagian dari kaffarah.
SOAL 758:
Ada
seorang wanita yang tidak dapat berpuasa karena hamil atau mendekati
saat melahirkan. Ia sadar akan kewajiban meng-qadha’ puasa setelah
bersalin dan sebelum tiba bulan Ramadhan mendatang. Jika ia tidak
berpuasa, dengan sengaja atau tidak dan menundanya beberapa tahun,
apakah ia wajib membayar kaffarah untuk tahun itu saja, ataukah ia wajib
membayar kaffarah untuk setiap tahun selama ia belum berpuasa? Mohon
juga Anda terangkan perbedaan kondisi "sengaja" dan " tidak sengaja".
JAWAB:
Ia
wajib membayar fidyah (denda) menunda qadha’ puasa satu kali, meskipun
sampai beberapa tahun, yaitu satu mud makanan untuk setiap harinya.
Fidyah ini diberlakukan apabila penundaan qadha' hingga Ramadhan
berikutnya dilakukan karena mengabaikan dan tanpa alasan syar'i. Menunda
qadha' puasa karena alasan syar'i, yang menghalangi keabsahan puasa
tidak menyebabkan fidyah.
SOAL 759:
Ada seorang wanita yang
berhalangan puasa akibat sakit, dan tidak dapat meng-qadha'nya hingga
bulan Ramadhan tahun berikutnya. Apakah ia sendiri wajib membayar
kaffarah ataukah suaminya?
JAWAB:
Dalam kasus yang ditanyakan, ia
sendiri wajib membayar fidyah untuk setiap hari dengan satu mud
makanan, bukan menjadi tanggungan suaminya.
SOAL 760:
Ada
seorang yang menanggung kewajiban puasa selama sepuluh hari. Pada
tanggal 20 Sya’ban ia mulai puasa. Dalam kasus demikian, apakah boleh
membatalkan puasa dengan sengaja sebelum tergelincirnya matahari (zawal)
atau setelahnya? Jika ia melakukan ifthar, berapa ukuran kaffarahnya,
baik sebelum zawal atau sesudahnya?
JAWAB:
Dalam kasus yang
ditanyakan, ia tidak boleh membatalkan (ifthar) puasa dengan sengaja.
Jika ia melakukan ifthar dengan sengaja sebelum zawal, maka ia tidak
wajib membayar kaffarah. Jika melakukan ifthar sesudah zawal, maka ia
dikenakan kaffarah, yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin dan jika
tidak mampu, maka wajib berpuasa selama tiga hari.
SOAL 761:
Ada
seorang wanita yang hamil dua kali dalam dua tahun berturut-turut,
karena itulah ia tidak bisa puasa dalam dua tahun. Namun, sekarang ia
mampu melakukannya. Apa hukum atas dia? Apakah dia wajib membayar
kaffaratul jam’ (kaffarah ganda), ataukah ia hanya wajib meng-qadha'nya
saja? Dan apa hukum menunda puasa?
JAWAB:
Jika ia tidak melakukan
puasa Ramadhan karena alasan syar'i, maka ia wajib meng-qadha’nya saja.
Jika alasannya melakukan ifthar adalah kekhawatiran terhadap
keselamatan kandungan atau bayinya, maka ia wajib meng-qadha’ puasa dan
membayar fidyah untuk setiap hari sebesar satu mud makanan. Jika menunda
qadha' setelah bulan Ramadhan hingga Ramadhan tahun berikutnya tanpa
alasan syar'i, maka ia dikenakan kewajiban membayar fidyah juga dengan
cara memberikan satu mud makanan kepada orang fakir untuk setiap hari.
SOAL 762:
Apakah dalam kaffarah (berupa) puasa, qadha’ dan kaffarah wajib dilakukan secara berurutan ataukah tidak?
JAWAB:
Tidak wajib.
QADHA' PUASA
SOAL 763:
Saya menanggung beban
kewajiban puasa 18 hari karena melakukan perjalanan untuk tugas
keagamaan. Apa tugas saya ? Dan apakah saya wajib meng-qadha’nya?
JAWAB:
Anda wajib meng-qadha' puasa yang telah Anda lewatkan dalam bulan Ramadhan karena perjalanan.
SOAL 764:
Jika
seseorang disewa untuk meng-qadha’ puasa bulan Ramadhan lalu
membatalkannya setelah zawal (Dhuhur), apakah ia wajib membayar kaffarah
ataukah tidak?
JAWAB:
Tidak wajib membayar kaffarah.
SOAL 765:
Orang-orang
yang melakukan perjalanan pada bulan Ramadhan demi melaksanakan tugas
keagamaan dan karenanya, tidak dapat berpuasa. Apabila mereka kini ingin
berpuasa (mengqadha'nya), setelah menundanya beberapa tahun, apakah
wajib membayar kaffarah?
JAWAB:
Jika penundaan qadha' puasa
Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya karena alasan yang menghalangi untuk
berpuasa berlanjut, maka mereka cukup meng-qadha' puasa-puasa yang
telah mereka lewatkan, dan tidak diwajibkan membayar fidyah satu mud
makanan untuk setiap hari, meskipun berdasarkan ihthiyath dianjurkan
melakukan kedua-duanya (meng-qadha' dan membayar fidyah). Namun, apabila
penundaan tersebut dilakukan karena mengabaikan dan tanpa alasan
syar'i, maka mereka wajib meng-qadha’nya dan membayar fidyah.
SOAL 766:
Ada
seseorang yang tidak shalat dan tidak puasa selama sekitar sepuluh
tahun karena kebodohan, lalu ia bertobat dan kembali kepada Allah. Kini
ia telah bertekad untuk mengganti kewajiban-kewajiban yang telah
ditinggalkannya, namun tidak mampu mengganti semua puasa yang telah ia
lewatkan, dan tidak punya harta untuk membayar kaffarah. Apakah ia cukup
beristighfar (memohon ampun) saja ataukah tidak?
JAWAB:
Dalam
kondisi apapun, kewajiban meng-qadha' puasa yang telah dilewatkannya
tidak akan pernah gugur. Namun, jika tidak mampu membayar kaffarah,
yaitu tidak dapat melakukan puasa dua bulan dan tidak mampu memberikan
makanan kepada enam puluh orang miskin, maka ia wajib bersedekah kepada
orang-orang fakir sesuai kadar kemampuannya, dan berdasarkan ihtiyâth
dia hendaknya juga membaca istighfar. Namun jika ia tidak memiliki
apa-apa untuk ia sedekahkan, maka ia cukup membaca istighfar (memohon
ampunan dari Tuhan) dengan lidah dan hatinya.
SOAL 767:
Jika
seseorang tidak mengetahui kewajiban meng-qadha' puasa sebelum tiba
bulan Ramadhan berikutnya, dan tidak melakukan qadha’ karenanya, apakah
hukumnya?
JAWAB:
Fidyah karena menunda qadha' hingga bulan Ramadhan berikutnya tidak gugur karena ketidaktahuan akan wajibnya hal itu.
SOAL 768:
Ada
seseorang yang tidak berpuasa selama 120 hari. Apa yang harus
dilakukannya? Apakah ia (wajib) berpuasa 60 hari untuk setiap harinya
ataukah tidak? Dan apakah ia wajib membayar kaffarah?
JAWAB:
Ia
wajib meng-qadha' puasa bulan Ramadhan yang telah ia tinggalkan. Jika ia
telah meninggalkan puasa dengan sengaja dan tanpa alasan syar'i, maka
ia wajib meng-qadha’ dan membayar kaffarah untuk setiap hari puasa yang
telah ditinggalkannya, yaitu berupa puasa enam puluh (60) hari atau
memberikan makanan kepada 60 orang miskin, atau memberikan 60 mud untuk
60 orang miskin yang dibagi secara merata.
SOAL 769:
Saya
telah berpuasa selama kira-kira satu (1) bulan, dengan niat apabila saya
mempunyai tanggungan kewajiban puasa, maka itulah qadha'nya, dan jika
tidak, maka itu merupakan puasa untuk tujuan mendekatkan diri kepada
Allah (qurbah) secara umum. Apakah puasa selama 1 bulan tersebut dapat
dianggap sebagai bagian dari puasa qadha' yang berkaitan dengan
tanggungan saya ataukah tidak?
JAWAB:
Jika Anda berpuasa dengan
niat melakukan sesuatu yang diperintahkan kepada Anda sekarang berupa
puasa qadha' atau puasa sunnah, dan (ternyata) Anda mempunyai tanggungan
kewajiban qadha', maka itu dianggap sebagai puasa qadha'.
SOAL 770:
Seseorang
yang tidak tahu jumlah hari qadha’ puasa yang menjadi tanggungannya dan
jika ia memang memiliki tanggungan puasa qadha' namun melakukan puasa
mustahab, karena merasa tidak mempunyai tanggungan kewajiban qadha'.
Apakah puasanya dapat dianggap sebagai puasa qadha'?
JAWAB:
Puasa yang ia lakukan dengan niat puasa sunnah tidak dianggap sebagai puasa qadha’ yang menjadi tanggungannya.
SOAL 771:
Apa
pendapat Anda tentang seseorang yang membatalkan puasa (ifthar) dengan
sengaja karena lapar, haus, dan karena bodoh tentang hukum masalah ini?
Apakah ia hanya wajib meng-qadha' saja, ataukah ia juga wajib membayar
kaffarah?
JAWAB:
Jika orang yang tidak tahu hukum tersebut tidak
tergolong dalam kategori jahil muqashshir, maka ia diwajibkan
meng-qadha' puasa tersebut, namun tidak wajib membayar kaffarah.
SOAL 772:
Jika
seseorang tidak mampu berpuasa pada masa permulaan usia baligh karena
lemah dan tidak kuat, apakah ia wajib meng-qadha' dan membayar kaffarah
juga?
JAWAB:
Jika berpuasa tidak menyulitkan dirinya, namun
dengan sengaja membatalkan puasa (ifthar), maka ia wajib mengqadha' dan
membayar kaffarah. Dan jika dia takut dengan brpuasa dia akan sakit,
maka dia hanya wajib mengqadho' saja.
SOAL 773:
Apa yang
wajib dilakukan oleh seseorang yang tidak tahu berapa jumlah hari dimana
ia tidak melakukan puasa, dan tidak tahu berapa jumlah shalat yang
telah ditinggalkannya? Dan apa hukum orang yang tidak tahu apakah ia
tidak berpuasa dengan sengaja atau karena halangan syar'i?
JAWAB:
Ia
boleh mencukupkan pada jumlah shalat dan puasa yang diyakininya telah
terlewatkan. Jika ragu apakah ia melakukan ifthar dengan sengaja atau
tidak, maka ia tidak wajib membayar kaffarah.
SOAL 774:
Pada
suatu hari dalam bulan Ramadhan seseorang tidak dapat melanjutkan
puasanya hingga saat matahari terbenam (ghurub) karena tidak bangun dari
tidur untuk makan sahur, dan karena pada siang hari itu ia mengalami
suatu peristiwa.Apakah ia dikenai kewajiban membayar satu kaffarah saja,
ataukah ia wajib membayar kaffarah ganda (kaffaratul jam’)?
JAWAB:
Apabila
ia melanjutkan puasa sehingga, akibat dari lapar, dahaga dan
lain-lainnya, mengalami kesulitan, maka ia menghentikan puasa (ifthar),
maka ia wajib meng-qadha' saja, dan tidak wajib membayar kaffarah.
SOAL 775:
Saya ragu apakah saya telah meng-qadha' puasa yang menjadi tanggungan saya ataukah tidak? Apa tugas saya.
JAWAB:
Jika
anda yakin sebelumnya, bahwa Anda memiliki tanggungan puasa qadha’,
maka Anda wajib memperoleh keyakinan bahwa Anda telah menunaikannya.
SOAL 776:
Seseorang
yang tidak puasa pada saat baligh, secara umum ia hanya puasa sebanyak
11 (sebelas) hari dalam bulan Ramdhan, melakukan ifthar satu hari saat
Dhuhur, dan 18 hari berikutnya ia tidak berpuasa dan tidak tahu akan
kewajiban membayar kaffarah. Apa hukumnya?
JAWAB:
Jika ia
melakukan ifthar pada puasa bulan Ramadhan dengan sengaja dan atas
kehendak sendiri, maka ia wajib melakukan qadha' puasa dan juga membayar
kaffarah tanpa dibedakan apakah saat ber-ifthar ia tahu atau tidak tahu
tentang kewajiban membayar kaffarah.
SOAL 777:
Seorang pasien
diberitahu oleh seorang dokter, bahwa puasa dapat membahayakannya, dan
karena itulah, ia tidak berpuasa. Setelah beberapa tahun ia baru
mengetahui bahwa berpuasa tidak berbahaya terhadap dirinya, dan bahwa
dokter tersebut telah melakukan kekeliruan. Apakah ia wajib meng-qadha'
puasanya dan membayar kaffarah.
JAWAB:
Jika ia khawatir akan
terjadinya bahaya sebagai akibat dari keterangan seorang dokter yang
mumpuni dan jujur, atau khawatir karena pertimbangan rasional (diterima
oleh setiap orang yang berakal sehat) lain, maka ia wajib meng-qadha’nya
saja.
LAIN-LAIN
SOAL 778:
Jika seorang wanita mengalami haidh saat berpuasa nadzar mua’yyan (nadzar yang telah ditentukan waktunya), apa hukumnya?
JAWAB:
Puasanya batal bila mengalami haid. Ia wajib mengqadha’nya setelah suci.
SOAL 779:
Seseorang
yang tinggal di pelabuhan "dayyar" berpuasa sejak hari pertama bulan
Ramadhan hingga hari ke 27 (duapuluh tujuh). Pada hari ke28, ia
bepergian ke Dubai, dan sampai di sana pada hari ke 29, dan penduduknya
pada hari itu telah berhari raya. Kini ia telah kembali ke tempat
tinggalnya. Apakah ia wajib meng-qadha' satu hari puasa yang
ditinggalkannya? Apabila ia meng-qadha' satu hari puasa, maka jumlah
hari Ramadhan menjadi 28 hari baginya. Bila ingin meng-qadha’ dua hari,
ia pada hari ke 29 sedang berada di tempat orang-orang yang telah
mengumumkan hari raya. Apa hukumnya?
JAWAB:
Jika pengumuman hari
raya pada hari ke 29 di tempat tersebut berdasarkan cara yang benar dan
syar'i, maka ia tidak wajib meng-qadha' hari itu, Namun, itu berarti, ia
ketinggalan satu puasa pada hari pertama bulan Ramadhan. Karenanya, ia
wajib mengqadha' puasa yang diyakini telah ditinggalkannya.
SOAL 780:
Jika
seorang pelaku puasa berbuka puasa saat matahari terbenam di sebuah
negara, lalu melakukan perjalanan ke negara lain yang saat itu matahari
belum terbenam di sana, apa hukum puasanya di hari itu? Apakah ia boleh
melakukan suatu yang mufthir (yang membatalkan puasa) sebelum matahari
terbenam?
JAWAB:
Puasanya sah, dan ia boleh makan, minum dan
lain-lain di negara itu sebelum matahari terbenam setelah sebelumnya ia
ifthar saat matahari terbenam di negara sendiri.
SOAL 781:
Seorang
syahid telah berwasiat kepada salah seorang sahabatnya agar mengqadha’
sejumlah puasanya demi ihthiyath (ke-hati-hatian dan berjaga-jaga jika
memang punya tanggungan puasa qadha’). Ahli waris syahid ini bukanlah
orang-orang yang peduli terhadap masalah-masalah semacam ini, dan tidak
memungkin memberi tahu kepada mereka. Sedangkan sahabatnya tersebut
merasa kesulitan untuk melakukan puasa tersebut. Apakah ada penyelesaian
lain?
JAWAB:
Jika ia berwasiat kepada shabatnya agar ia sendiri
yang berpuasa, maka berarti ahli waris si syahid tidak memiliki taklif
(beban) berkenaan masalah ini. Jika orang yang mendapatkan wasiat untuk
berpuasa mewakili sang syahid merasa kesulitan, maka taklif atas dirinya
juga gugur.
SOAL 782:
Saya seorang peragu, dengan kata yang
lebih tepat, terlalu was-was, berkenaan dengan masalah keagamaan,
terutama masalah-masalah hukum fiqih (furu’ud-din). Antara lain dalam
bulan Ramadhan lalu saya ragu-ragu apakah ada debu tebal yang masuk ke
dalam mulut dan saya telah menelannya ataukah tidak, atau meragukan
apakah air yang saya masukkan ke dalam mulut sudah saya keluarkan
kembali ataukah tidak?
JAWAB:
Dalam kasus yang ditanyakan, puasa Anda dihukumi sah. Keraguan-keraguan seperti itu tidak layak diperhatikan.
SOAL 783:
Apakah
Anda berpandangan bahwa hadis mulia Ahlu Kisa’ yang diriwayatkan dari
Sayyidah az-Zahra’ (As) sebagai hadis yang mu’tabar (diakui
kebenarannya) sehingga boleh menisbatkannya kepada beliau saat sedang
berpuasa?
JAWAB:
Jika penisbatannya dengan cara periwayatan dan kutipan dari kitab-kitab yang menyebutkannya, maka diperbolehkan.
SOAL 784:
Kami
dengar dari sebagian ulama dan lainnya bahwa jika seseorang yang sedang
berpuasa sunnah diundang untuk makan, maka ia boleh memenuhi undangan
tersebut dan memakan makanan yang disediakan, namun puasanya tidak batal
dan pahalanya tetap ia dapatkan. Kami mohon pendapat Anda tentang hal
ini?
JAWAB:
Memenuhi undangan orang mukmin untuk ifthar
(menghentikan) puasa mustahab (sunnah) merupakan perbuatan yang
diutamakan secara syar'i. Menyantap jamuan makan dari undangan saudara
mukmin meskipun membatalkan puasanya, namun ia tetap memperoleh pahala
dan ganjarannya.
SOAL 785:
Doa-doa khusus bulan Ramadhan yang
diriwayatkan berdasarkan urutan hari, doa hari ke 1, hari ke 2 dan
seterusnya hingga hari terakhir. Apa hukum membacanya apabila masih
meragukan keshahihannya?
JAWAB:
Bagaimanapun juga, tidak ada
masalah (la isykâl) membacanya apabila didasari dengan niat wurud dan
mathlubiyah (pengharapan bahwa doa-doa tersebut memang berasal dari
maksum dan benar-benar dianjurkan membacanya).
SOAL 786:
Jika
seseorang ingin berpuasa, namun tidak bangun malam untuk makan sahur.
Karena itulah ia tidak dapat melakukan puasa besoknya. Apakah dosa
meninggalkan puasanya ditanggung dirinya sendiri ataukah orang yang
tidak membangunkannya? Dan jika ia tetap berpuasa tanpa lebih dulu makan
sahur, apakah puasanya sah?
JAWAB:
Orang-orang lain tidak menanggung beban apapun. Berpuasa tanpa didahului makan sahur sah.
SOAL 787:
Apa hukum puasa hari ke 3 dalam hari-hari i’tikaf (berdiam diri) di al-Masjid al-Haram?
JAWAB:
Jika
ia seorang musafir dan berniat untuk menetap di Mekkah sepuluh (10)
hari atau telah bernadzar untuk berpuasa dalam perjalanan, maka setelah
berpuasa dua (2) hari, ia wajib menyempurnakan i’tikaf (berdiam diri)
dengan puasa hari ketiga (3). Namun, bila ia tidak berniat untuk menetap
10 hari dan tidak bernazar puasa dalam perjalanan, maka puasanya dalam
perjalanan tidaklah sah. Bila puasanya tidak sah, maka i’tikafnya juga
tidak sah.
RU'YATUL-HILAL (MELIHAT BULAN)
SOAL 788:
Sebagaimana
Anda telah ketahui, keadaan bulan (hilal) pada akhir atau awal bulan
berada adalah satu dari tiga (3) kondisi berikut:
1. Bulan terbenam sebelum matahari terbenam.
2. Bulan terbenam bersamaan dengan terbenamnya matahari.
3. Bulan terbenam setelah matahari terbenam.
Kami mohon penjelasan berbagai masalah berikut:
Pertama: Manakah dari tiga kondisi yang tersebut di atas dianggap sebagai awal bulan dari aspek fiqih ?
Kedua:
Jika kita beranggapan bahwa ketiga kondisi di atas dapat dihitung di
titik terjauh dunia melalui program penghitungan elktronik yang seksama,
apakah boleh menggunakan perhitungan perhitungan tersebut untuk
menentukan awal bulan jauh sebelumnya, ataukah harus berdasarkan ru’yah
(penglihatan) dengan mata?
JAWAB:
Dari ketiga kondisi yang
disebutkan di atas melihat bulan (ru’ya al-hilal) untuk menetapkan
masuknya bulan Qamariah semenjak malam setelah melihat bulan telah
mencukupi.
SOAL 789:
Jika hilal bulan Syawal belum disaksikan
di sebuah kota, namun televisi dan radio mengumumkan masuknya bulan
tersebut, apakah hal itu cukup ataukah wajib menyelidikinya?
JAWAB:
Jika
hal itu menimbulkan kemantapan akan munculnya hilal (bulan sabit), atau
bahwa hal itu telah ditetapkan oleh Wali faqih, maka hal itu cukup dan
tidak perlu menyelidikinya.
SOAL 790:
Jika berhalangan untuk
menentukan awal bulan Ramadhan dan hari raya karena hilal awal bulan
tidak dapat terlihat, akibat awan atau sebab-sebab lain, sedangkan
jumlah hari bulan Sya’ban atau Ramadhan belum genap 30 hari, apakah kami
yang berada di Jepang boleh menggunakan ufuk Iran atau bersandarkan
pada kalender? Dan apa hukumnya?
JAWAB:
Jika awal bulan tidak
terbukti dengan cara melihat hilâl, meski di ufuk kota-kota tetangga
yang terletak di bawah satu ufuk, atau melalui kesaksian dua orang adil,
atau melalui keputusan hakim, maka wajib ber-ihtiyâth (berhati-hati)
untuk memastikan awal bulan. Terlihatnya bulan sabit di Iran yang
terletak di sebelah barat Jepang tidak berlaku bagi orang yang tinggal
di Jepang?
SOAL 791:
Apakah kesatuan ufuk merupakan syarat dalam ru’yatul-hilal ataukah tidak?
JAWAB:
Iya. Kesatuan ufuk merupakan syarat.
SOAL 792:
Apakah yang dimasuk dengan kesatuan ufuk?
JAWAB:
Maksudnya adalah dari sisi kemungkinan ru’yah atau tiadanya kemungkinan ru’yah hilal adalah satu.
SOAL 793:
Jika
terjadi perselisihan pendapat antara para ulama di satu negara tentang
muncul atau tidaknya hilal (bulan sabit), sementara keadilan mereka
telah terbukti bagi mukallaf dan ia meyakini kejelian masing-masing dari
mereka, apakah yang wajib dilakukan oleh mukallaf?
JAWAB:
Jika
perbedaan antara dua bayyinah (bukti syar'i) berkisar antara penetapan
dan penolakan, seperti bila salah satu pihak mengklaim tentang munculnya
hilal, sedangkan pihak lain menafikannya, maka berarti itu merupakan
kasus "perbenturan antara dua bayyinah". Mukallaf, dalam kondisi
demikian, wajib menyingkirkan keduanya dan mengambil ketentuan dasar
(al-ashl) perihal taklif. Namun, bila perbedaan di antara mereka
berkisar antara munculnya hilal dan tidak tahu akan munculnya hilal,
seperti bila sebagian mengklaim telah melihat (ru’yah) hilal, sedangkan
sebagian lain mengatakan bahwa hilal tidak terlihat oleh mereka, maka
pendapat kelompok yang mengaku telah melihat jika terdiri atas dua orang
yang adil merupakan hujjah syar'iah (dasar syar'i) bagi mukallaf, dan
ia wajib mengikutinya. Demikian pula jika hakim syar'i menetapkan
munculnya hilal, maka ketetapannya merupakan hujjah syariyah bagi
seluruh mukallaf dan wajib diikuti.
SOAL 794:
Jika seseorang
telah melihat hilal, dan tahu bahwa hakim di kotanya tidak dapat
melakukannya karena suatu sebab atau lainnya, apakah ia berkewajiban
untuk memberitahu hakim tersebut tentang ru’yah hilal-nya ataukah tidak?
JAWAB:
Ia tidak wajib memberitahukan kepadanya, kecuali jika tidak memeberitahukannya akan menimbulkan dampak-dampak buruk (mafsadah).
SOAL 795:
Sebagimana
telah Anda ketahui bahwa sebagian besar fuqaha’ yang mulia dalam
risâlah ‘amaliyah (buku fatwa) mereka telah membatasi lima (5) cara
untuk menetapkan munculnya hilal awal bulan Syawal, tidak termasuk jika
hilal terbukti telah muncul bagi hakim syar'i. Jika memang demikian,
bagaimana kebanyakan kaum mukminin melakukan ifthar (berhenti puasa)
hanya ketika hilal terbukti telah muncul bagi para marja’ yang agung?
Dan apa taklif seseorang yang tidak mantap terhadap cara ini?
JAWAB:
Kemunculan
hilal bagi seorang hakim tidak cukup untuk diikuti oleh orang lain
apabila ia tidak memutuskannya, kecuali jika karena hal itu ia (selain
hakim) meyakini kemunculan hilal.
SOAL 796:
Jika wali amr
muslimin menetapkan bahwa besok adalah hari raya, dan radio dan televisi
menyiarkan bahwa bulan hilal telah terlihat di kota ini dan itu, apakah
hari raya berlaku atas seluruh penjuru negeri ataukah ia hanya berlaku
di kota-kota tersebut atau yang sama dalam ufuk dengannya.
JAWAB:
Jika
ketetapan hakim tersebut meliputi semua penjuru negara, maka
ketetapannya diakui secara syar'i (mu’tabar) bagi seluruh kota di dalam
negeri.
SOAL 797:
Apakah ukuran kecil dan lembutnya hilal dan
ciri-ciri khas hilal malam pertama yang terdapat padanya dapat dianggap
sebagai bukti bahwa malam sebelumnya bukanlah awal bulan, Namun itu
adalah malam ke 30 dari bulan lalu? Dan jika hari raya terbukti telah
tiba menurut seseorang, kemudian ia yakin dengan cara ini bahwa kemarin
(hari yang lalu) bukanlah hari raya, apakah ia wajib mengqadha’ Puasa
hari ke 30 Ramadhan?
JAWAB:
Kecil dan rendahnya hilal atau besar
dan tingginya, atau lebarnya atau lemah cahayanya dengan sendirinya
bukanlah hujjah (dasar) syar'i bahwa hilal itu terkait dengan malam
pertama atau malam kedua. Tapi, bila dengan itu semua, seorang mukallaf
mendapatkan keyakinan tentang sesuatu, maka ia wajib bertindak sesuai
dengan keyakinannya dalam masalah ini.
SOAL 798:
Apakah boleh
menjadikan malam bulan purnama, yaitu malam ke 14, sebagai bukti untuk
menghitung hari yang menjadi awal bulan, sehingga dengan itu, dapat
diungkap tentang hari keraguan (yaumusy-syak) bahwa itu adalah hari ke
30 Ramadhan, misalnya, agar orang yang tidak puasa pada hari itu dapat
mengetahui kewajiban meng-qadha' puasa hari ke 30 Ramadhan, dan orang
yang berpuasa pada hari itu karena menganggap masih dalam bulan
Ramadhan, bisa melepaskan diri dari tanggungan (bari’ dzimmah).
JAWAB:
Hal
itu bukanlah hujjah syar'iah (bukti syar'i) atas sesuatu apapun yang
telah disebutkan. Namun, jika hal itu memberikan keyakinan kepada
mukallaf, maka ia wajib bertindak sesuai dengan pengetahuannya.
SOAL 799:
Apakah mencari-tahu tentang kemunculan hilal (istihlal) pada setiap awal bulan merupakan wajib kifa’iy ataukah ihtiyâth wajib?
JAWAB:
Istihlal sendiri bukanlah kewajiban syar'i.
SOAL 800:
Bagaimana cara menetapkan awal bulan suci Ramadhan dan malam lebaran? Bolehkan menetapkannya berdasarkan kalender?
JAWAB:
Hilal
dapat ditetapkan dengan penglihatan (ru’yah) seorang mukallaf, atau
kesaksian dua orang yang adil, atau ketenaran yang menimbulkan
keyakinan, atau berlalunya 30 hari, atau ketetapan hakim.
SOAL 801:
Jika
diperbolehkan mengikuti pengumuman sebuah negara tentang ru’yatul-hilal
dan hal itu menjadi patokan ilmiah bagi kemunculan hilal di
negara-negara lain, apakah pemerintah negara tersebut disyaratkan berupa
pemerintahan Islam ataukah boleh mengikuti pengumuman pemerintahan
zalim dan korup?
JAWAB:
Tolok ukur dalam hal itu ialah keyakinan akan ru’yah di daerah tersebut.
SOAL 802:
Kami
mengharap YM menerangkan hukum i'tikaf baik di mesjid jami' atau
lainnya, selain di empat masjid (Masjid Nabawi, Masjid al-Haram, Kufah
dan Bashrah) !.
JAWAB:
Di mesjid jami' sah melakukan i'tikaf, dan
di selain mesjid jami' tidak bermasalah jika dengan niat raja'an
(mengharap pahala) Adapun definisi mesjid jami' sudah dijelaskan dalam
bab shalat.