Oleh: Ustadz Abu Hilya
Perkara Perbuatan (amaliah) yang tidak dilakukan (tidak dicontohkan) oleh Nabi Muhammad Saw, itu tidak otomatis perbuatan (amaliah) tersebut menjadi haram untuk dilakukan oleh Umat Islam. Sebagai contoh, kita berdakwah via website / blog di dunia internet, dakwah semacam ini tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad.
Apakah berdakwah via website / blog itu haram?
Sudah pasti anda semua akan menjawab: “Tidak haram”.
Kalau begitu betapa dholimnya ada sebagian
Umat Islam yang jahil-jahil itu
membuat hujjah bahwa : Apa-apa yang tidak dicontohkan / tidak dikerjakan oleh Nabi Muhammad adalah Bid’ah sesat (haram).
Nah.., bagi anda yang ingin menambah ilmu tentang masalah ini, berikut kami sampaikan hal-hal yang berkaitan dengan
apa-apa perbuatan / amaliah yang tidak dilakukan / tidak dicontohkan oleh nabi Muhammad saw ditinjau dari berbagai sudut pandang ilmu ulama. Selamat menyimak semoga bermanfaat untuk kesmbuhan penyakit hobbi mengharamkan amaliah kaum muslimin.
Penjelasan Tentang At-Tark (Perkara yang tidak dikerjakan oleh Nabi Muhammadsaw)
- Pendahuluan
Penjelasan masalah
At Tark berikut, kami sarikan dari kitab “
Husnut Tafahhumi Wad Darki Li Mas-alatit Tarki “ karya
al Hafizh Abdullah bin as Shiddiq Al Ghimmari al Husaini (w. 1413 H/1993 M).
Adalah hal yang ma’lum, bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah mungkin melakukan semua perkara yang mubah,
mengingat begitu banyaknya perkara mubah hingga sangat sulit untuk
menghitung apalagi melakukan kesemuanya. Dan
Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah
orang yang paling zuhud dan meninggalkan perkara yang lebih. Maka
barang siapa menyangka haram-nya sesuatu dengan argument
Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallamtidak pernah melakukannya, maka argumentnya tertolak.
Adapun terhadap perkara-perkara Mandzubah, Nabi Muhammad tidak melakukannya karena beberapa alasan, diantaranya :
- Adanya perkara lain yang lebih urgent (penting), seperti menyampaikan dakwahnya, membantah argument-argument kaum musyrik jahiliyah, berperang, mendirikan masjid, mengadakan perundingan-perundingan damai dll, yang kesemuanya banyak menghabiskan waktu beliau.
- Adanya nash-nash umum yang menanungi kebajikan-kebajikan dan ibadah yang tak terikat.
- Pengertian At Tark
الترك / At Tark menurut bahasa adalah :
Meninggalkan.
الترك / At Tark dalam bahasan kali ini adalah :
أَنْ يَتْرُكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا
لَمْ يَفْعَلْهُ أَوْ يَتْرُكَهُ السَّلَفُ الصَّالِحُ مِنْ غَيْرِأَنْ يَأْتِيَ حَدِيْثٌ أَوْ أَثَرٌ بِالنَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ الْمَتْرُوْكِ يَقْتَضِي تَحْرِيْمَهُ أَوْ كَرَاهَتَهُ.
Perkara yang ditinggalkan tidak dikerjakan oleh Nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam maupun para salaf as sholih tanpa adanya hadits atau atsar yang mencegah / melarang baik yang berindikasi haram atau makruh atas perkara yang ditinggal tersebut.
- Sebab-sebab Rosululloh shallallahu alaihi wasallam meninggalkan atau tidak mengerjakan suatu perkara.
Perkara perbuatan (amalaiah) yang ditinggalkan oleh nabi Muhammad shollallohu alaihi wasallam tidak otomatis berindikasi perkara tersebut terlarang/tercegah baik makruh maupun haram.
Adapun di antara sebab-sebab Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam
mening-galkan atau tidak mengerjakan sesuatu adalah :
Ø Rosululloh shallallahu alaihi wasallam meninggalkannya karena tidak sesuai dengan kebiasaan atau adat beliau.
Contoh dalam hal ini adalah Hadits Dhobb yang diriwayatkan Imam Bukhari :
عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِأَنَّهُ دَخَلَ مَعَ
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ مَيْمُونَةَ
فَأُتِيَ بِضَبٍّ مَحْنُوذٍ فَأَهْوَى إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ أَخْبِرُوا
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا يُرِيدُ أَنْ
يَأْكُلَ فَقَالُوا هُوَ ضَبٌّ يَا رَسُولَ اللهِ فَرَفَعَ يَدَهُ فَقُلْتُ
أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُولَ اللهِ فَقَالَ لَا وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ
بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ قَالَ خَالِدٌ فَاجْتَرَرْتُهُ
فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ
“
Dari Kholid bin Walid –rodhiyallohu ‘anhu- ; sesungguhnya Kholid
bersama Rosululloh shollallohu alaihi wasallam masuk ke rumah Maimunah,
kemudian didatangkan (dihidangkan) biawak yang dimasak, maka Rosululloh
shollallohu alaihi wasallam mengulurkan tangan beliau untuk
(mengambil)nya, berkatalah beberapa wanita : “Beritakan kepada Rosululloh shollallohu alaihi wasallam apa yang hendak beliau makan”, para sahabat pun
berkata “ Ya Rosulalloh ini adalah biawak “, maka Rosululloh pun
mengangkat kembali tangan beliau (mengurungkannya), “ adakah ia (biawak)
haram Ya Rosulalloh “ ?tanya Kholid, Rosululloh shollallohu alaihi
wasallam menjawab “ Tidak, akan tetapi tidak ada didaerah kaumku, maka
aku merasa jijik (tdk terbiasa) “. Maka akupun (Kholid) memamah biawak
tersebut dan memakannya, sementara Rosululloh shollallohu alaihi
wasallam memperhatikan. “
(HR. Imam Bukhari).
Ø Rosululloh shollallohu alaihi wasallam meninggalkan sesuatu karena khawatir diwajibkan.Seperti masalah jama’ah sholat tarowih.
Ø Rosululloh shollallohu alaihi wasallam meninggalkannya karena lupa, seperti kisah sujud sahwi dalam sholat.
Ø Rosululloh shollallohu alaihi wasallam meninggalkan sesuatu karena belum terfikir sebelumnya, seperti masalah tempat khotbah yang sebelumnya berupa pelepah korma dan kemudian direnofasi oleh para sahabat dan
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam menyetujuinya karena dipandang
lebih baik dan menjadikan khotbah lebih dapat didengar oleh para
jama’ah.
Ø Kebajikan yang ditinggalkan dan atau tidak dikerjakan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wasallam
berada dalam naungan nash yang bersifat ‘Am (umum) semisal
: “
dan perbuatlah kebajikan supaya mendapat kemenangan “ (QS, Al Hajj : 77) dan juga seperti ayat
: “
Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya” (QS, Al An’am : 160) dan juga ayat dan nash-nash yang lain. Kebaikan yang dimaksud adalah seperti solat
Duha dan yang lainnya.
Ø Rosululloh shollallohu alaihi wasallam meninggalkannya dan atau tidak melaksanakannyakarena mengkhawatirkan keimanan sebagian para sahabat, seperti dalam masalah renofasi ka’bah sebagaimana hadits riwayat
Imam Bukhari :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْقَالَ
لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا حَدَاثَةُ
قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْبَيْتَ ثُمَّ لَبَنَيْتُهُ عَلَى
أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِنَّ قُرَيْشًا اسْتَقْصَرَتْ
بِنَاءَهُ وَجَعَلْتُ لَهُ خَلْفًاقَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ خَلْفًا يَعْنِي بَابًا
Dari Aisyah –rodhiyallohu ‘anha-, ia berkata :
Rosululloh shollallohu alaihi wasallam berkata padaku ; “ Seandainya
tidak karena kembalinya kaummu pada kekufuran niscaya akan aku robohkan
ka’bah dan kemudian aku sungguh aku bangun lagi diatas pondasi
Nabi Ibrohim ‘alaihis salam, Sesungguhnya orang-orang Quraisy telah
mengurangi bangunannya, dan akan aku jadikan untuknya pintu belakang “ (HR.
Imam Bukhari).
Disamping itu masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain (jika ditelusuri dalam sunnah/hadits) yang menjadi sebab
Nabi Muhammad Rosululloh shollallohu alaihi wasallam meninggalkan atau tidak mengerjakan suatu perkara, sehingga perkara yang ditinggalkan dan atau tidak dikerjakan oleh Rosululloh tidak otomatis tercegah baik makruh ataupun haram.
Adapun perkara-perkara yang ditinggalkan dan atau tidak dikerjakan
oleh para sahabat, al Imam al Hafizh Ibnu Hajar al Haitsami menjelaskan
dalam kitabnya
Fathul Mubin Syarah Arba’in an Nawawi sebagai berikut :
وَاَخْرَجَ أَبُو دَاوُوْدَ عَنْ حُذَيْفَةَ : (كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ
تَفْعَلْهَا الصَّحَابَةُ .. فَلَا تَفْعَلُوْهَا) أَيْ : إِلَّا إِنْ
دَلَّ عَلَيْهَا دَلِيْلٌ أَخَرُ,وَإِلَّا..فَكَمْ مِنْ
عِبَادَاتٍ صَحَّتْ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا
وَفِعْلًا وَلَمْ تُنْقَلْ عَنْ اَحَدٍ مِنْهُمْ.
Abu Dawud mriwayatkan dari Hudzaifah
: ( Setiap ibadah yang
tidak dilakukan oleh para sahabat… maka janganlah kalian melakukannya )
maksudnya adalah : kecuali jika ada dalil lain
yang menjelaskannya, karena jika tidak demikian, maka berapa banyak
ibadah yang sohih dari Rosululloh shollallohu alaihi wasallam, baik
ucapan maupun perbuatan yang tidak diriwayatkan (dilakukan) dari
seorangpun dari para sahabat “
(Fathul Mubin Syarah Arba’in, hlm. 229).
- At Tark tidak mengindikasikan keharaman
At Tark / Ditinggalkannya atau tidak dilakukannya sebuah perkara tidak otomatis mengindikasikan ke-
haram-annya, dengan penjelasan sebagai berikut:
- At Tark alias ditinggalkannya suatu perkara jika tidak disertai dalil yang
menunjukkan bahwa perkara yang ditinggal tersebut adalah terlarang,
maka At Tark seperti ini tidak dapat dijadikan Hujjah untuk larangan, cukup
baginya dijadikan hujjah bahwa meninggalkan perkara tersebut adalah
Masyru’ diakui oleh syara’ dan bukan sebuah kesalahan.
- Seperti tentang pendapat yang menolak wiridan atau do’a
setelah sholat dengan alasan hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh
para Salaf as Solih kami berpendapat ; seandainya hal itu benar
(tidak ada dari kalangan slaf as solih yang wiridan atau berdo’a
sesudah solat) kenyataan itu tidak menghasilkan hukum apapun selain
bahwa tidak wiridan atau berdo’a sesudah solat adalah boleh apapun
kondisinya baik repot maupun longgar. Dan tidak akan berindikasi
kemakruhan apalagi keharaman wiridan ba’da solat, terlebih jiga
memperhatikan ke-mujmal-an dalil tentang dzikir dan do’a.
- Didalam kitab Al Mahalli Imam Ibnu Hazm menuturkan hujjah para ulama’ Malikiyyah dan Hanafiyyah yang memakruhkan sholat dua rokaat sebelum maghrib dimana
mereka berhujjah dengan pendapat Ibrohim an Nakho’i yang menyatakan ;
“sesungguhnya Abu Bakar, Umar dan Utsman tidak melakukannya”. Ibnu Hazm
menjawab ; “ seandainya hal itu benar, sungguh tidak ada (bisa dijadikan
hujjah) dalam hal tersebut, karena mereka (para sahabat) tidak melarang
melaksanakan sholat dua rokaat sebelum maghrib “. (Al Mahalli, 2/254
dalam kitab Itqonus Shun’ah).
Lebih jauh dalam Al Mahalli disebutkan :
وَأَمَّا حَدِيْثُ عَلِيّ، فَلَا حُجَّةَ فِيْهِ أَصْلاً، لِأَنَّهُ
لَيْسَ فِيْهِ إِلَّا إِخْبَارُهُ بِمَا عَلِمَ مِنْ أَنَّهُ لَمْ يَرَ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَّهُمَا، وَلَيْسَ فِي
هَذَا نَهْيٌ عَنْهُمَا وَلَا كَرَاهَةٌ لَهُمَا، فَمَا صَامَ عَلَيْهِ
السَّلاَمُ قَطُّ شَهْرًا كَامِلاً غَيْرَ رَمَضَانَ وَلَيْسَ هَذَا
بِمُوْجِبٍ كَرَاهِيَةَ صَوْمِ شَهْرٍ كَامِلٍ تَطَوُّعًا اهـ. فَهَذِهِ
نُصُوْصٌ صَرِيْحَةٌ فِي أَنَّ التَّرْكَ لَا يُفِيْدُ كَرَاهَةً فَضْلاً
عَنِ الْحُرْمَةِ.
Adapun hadits Sayyidina Ali, tidak terdapat hujjah sama sekali di
dalamnya, karena Sayyidina Ali ra hanya menghabarkan bahwa beliau tidak
pernah melihat
Nabi Muhammad Rosululloh shollallohu alaihi wasallam sholat dua rokaat (ba’da ashar. red),
dan didalamnya (perkataan Sayyidina Ali) tidak ada larangan dan
kemakruhan solat dua rokaat ba’da ashar. maka (bukankah) Rosululloh
tidak pernah puasa sebulan penuh kecuali dibulan Romadhon, dan ini tidak menyebabkan makruh-nya puasa sunnah sebulan penuh.
(Al Mahalli, 2/271 dalam kitab Itqonus Shun’ah).
Ini adalah bukti yang jelas bahwa tidak dilakukannya atau ditinggalkan-nya suatu perkara tidaklah otomatis mengindikasikan kemakruhannya, apalagi keharamannya.