Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Imam Bukhari. Show all posts
Showing posts with label Imam Bukhari. Show all posts

Imam Bukhari dan Perawi Pencaci-Maki Sahabat Nabi saw.!!


Sikap damai lagi mesra terhadap para pembenci dan pencaci maki Imam Ali dan Ahlulbait serta berbanggga dalam mengandalkan riwayat mereka oleh para ulama hadis Sunni juga diperagakan Bukhari –Imam Besar Hadis, bahkan mungkin diangap Imam teragung-. Dalam kitab Shahihnya yang diyakini keshahihan seluruh hadis di dalamnya oleh ulama Sunni sehingga menjadi pandangan resmi mazhab itu, telah mengandalkan kaum Nawâshib yang sangat membenci Imam Ali as. dan juga mencaci maki dan menghina serta melaknati beliau as. sebagai sumber kepercayaan agamanya. Ia banyak meriwayatkan dari kaum Nawâshib.

Ibnu Hajar dalam Mukaddimah Fathu al Bâri (kitab syarah terbesar atas Shahih Bukhari) menyebutkan daftar nama para perawi hadis yang diandalkan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya yang dicacat para ulama. Di antara mereka adalah para perawi yang dicacat karena alasan kenashibian/kebencian kepada Ali dan Ahlulbait.

Di bawah ini –demi menyingkat waktu pembaca- langsung saja saya sebutkan nama-nama mereka beriktu keterangan singkatnya:
  • Tsaur ibn Yazîd ibn Ziyâd al Kilâ’I al Himshi asy Syâmi (w.153 H)
Imam Bukhari telah mengandalkannya dalam menyumbangkan lima riwayat dalam berbagai bab, di antaranya pada bab: al Buyû’ (jual beli), al Jihâd dan Kitab al Ath’imah (makanan), bab Mâa Yuqâlu Idzâ Faragha Min Tha’âmihi (apa yang diucapkan jika selesai makan)[1]. Imam Bukhari menyebutkan jalur darinya demikian: Telah menyampaikan hadis kepada kami Ishaq ibn Yazîd ad Dimasyqi, ia berkata, telah menyampaikan hadis kepada kami Yahya ibn Hamzah, ia berkata telah menyampaikan hadis kepadaku Tsaur ibn Yazîd dari Khalid ibn Ma’dân ….


Tsuar Di Mata Ulama hadis Sunni
Yahya ibn Ma’in berkata, “Aku tidak menyaksikan seorang pun yang meragukan bahwa ia adalah seorang panganut faham Qadariyah. [2]
Ahmad ibn Hanbal berkata, “Tsaur berfaham Qadariyah. Dan adalah penduduk kota Himsh mengusirnya dari kota mereka. [3]
Ibnu Hajar berkata, “Ia datang ke kota madinah maka Malik melaraang orang-orang untuk duduk bersamanya. Ia dituduh berfaham nushb (membenci Imam Ali dan Ahlulbait as.).”
Yahya ibn main berkata, “Ia (Tsaur) sering duduk-duduk bersama kaum yang mencaci maki Ali. Akan tetapi ia sendiri tidak mencaci makinya.” [4]

Ibnu Jakfari berkata:
Pembelaan Yahya ibn Ma’in terhadap Tsuar di atas tidak benar sebab terbukti bahwa Tsaur tidak hanya gemar dan menikmati duduk bersama kaum yang menjadikan caci maki Imam Ali as. sebagai tema dan obyek pembicaraan… akan tetapi ia juga sangat ganas dalam kebenciannya terhadap Imam Ali as.; sahabat termulia dan khalifah keempat di kalangan Ahlusunuhhah, menantu Nabi saw.

Al Ka’bi melaporkan dalam kitab Qabûl al Khbâr bahwa Tsaur setiap kali menyebut Imam Ali as. selalu berkata, “Aku tidak suka orang yang membunuh kakekku. [5] Dan kakeknya terbunuh dalam peperangan Shiffîn di pihak Mu’awiyah yang disabdakan Nabi saw. (sesuai riwayat Imam Bukhari) sebagai pemimpin kelompok penganjur ke neraka jahannam.!!

Dan pembelaan seperti itu biasa dilakukan terhadap para perawi pujaan mereka…. Karenanya tidak mengherankan jika Anda juga menemukan pujian dan penghargaan atasnya oleh sebagian ulama dan tokoh sentral Sunni, seperti Yahya al Qaththân, yang memujinya dengan: “Aku tidak pernah menyaksikan seorang penduduk kota Syâm yang lebih kokoh riwayatnya darinya.” Atau pembelaan Ibnu Hajar dengan kata-katanya, “Para ulama bersepakat akan ketepatan riwayatnya.”

Anda berhak bertanya akan keseriusan para ulama Sunni dalam menyikapi para pembenci dan pencaci maki sahabat, yang dalam rancangan konsep mereka siapa pun yang membenci dan apalagi juga dilengkapi dengan mencaci-maki sahabat Nabi saw. mereka kecam sebagai zindiq, fasik, pembohong yang tidak halal didengar hadisnya!! Lalu bagaimana dengan perawi yang membenci dan mencai-maki Imam Ali as.? Apakah mereka akan berkonsekuen dalam mengetrapkannya? Atau mereka akan melakukan praktik “Tebang Pilih”! Jika seoraang perawi mencaci maki Mu’awiyah, ‘Amr ibn al ‘Âsh, Abu Hurairah, Utsman ibn ‘Affân, Umar ibn al Khathtab, atau Abu Bakar misalnya, hukuman itu ditegakkan! Jika yang dicaci dan dibenci saudara Rasulullah saw. dan menantu tercintanya; Ali ibn Abi Thalib as. maka seakan tidak terjadi apa-apa! Seakan yang sedang dicaci-maki hanya seorang Muslim biasa atau bisa jadi lebih rendah dari itu…. Pujian dan sanjungan tetap dilayangkan… kepercayaan terhadapnya tetap terpelihara… keimanannya tetap utuh… bahkan jangan-jangan bertambah karena mendapat pahala besar di sisi Allah kerenanya, sebab semua itu dilakukan di bawah bendera ijtihad dan keteguhan dalam berpegang dengan as Sunnah!!

Mengapa kegarangan sikap dan ketegasan vonis itu hanyaa mereka tampakkan dan jatuhkan ketika yang dicaci-maki dan dibenci adalah sahabat selain Imam Ali as., betapapun ia seorang fasik berdasarkan nash Al Qur’an, seperti al Walîd ibn ‘Uqbah! Sementara jika Ali as. atau sahabat dekatnya seperti Ammar ibn Yasir, Salman al Farisi, Abu Darr ra. dkk. yang dicaci-maki dan dibenci serta dilecehkan semua seakan tuli dan bisu….

Inilah yang menjadikan pera peneliti menaruh kecurigaan akan ketulusan, kejujuran dan keseriusan para ulama Sunni dalam membela Ali dan keluarga; Ahlulbait Nabi yang suci dan disucikan Allah.
  • Ishâq ibn Suwaid ibn Hubairah at Tamîmi (w.131H)
Imam Bukhari telah mengandalkannya dalam menyumbangkan hadis dalam Kitab ash Shaum (puasa) digandeng dengan riwayat Khâlid al Hadzdzâ’.
Dalam Hadyu as Sâri-nya, Ibnu Hajar menegaskan bahwa “Yahya ibn Ma’in, an Nasa’i dan al Ijli mentsiqahkannya, dan ia mengecam Ali ibn Abi Thalib.”[6]

Ibnu Hajar juga berkata dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb, “Abu al ‘Arab ash Shaqali berkata dalam kitab adh Dhu’afâ’nya, ‘Ia sangat mengecam/membenci Ali. Ia berkata, ‘Aku tidak suka Ali. Ia tidak banyak hadisnya.’ Dan kemudian ia berkomentar, ‘Siapa yang tidak mencintai sahabat maka ia bukan seorang yang tsiqah/jujur terpercaya dan tidak ada kehormatan baginya.’” [7]

Ibnu Jakfari berkata:
Semoga Allah merahmati ash Shaqali dan membalasnya dengan kebaikan atas ketulusannya dalam membela kesucian Imam Ali as.
Akan tetapi yang disayangkan lagi mengherankan adalah sikap sebagian ulama hadis Sunni yang masih sudi mempercayai perawi fasiq dan munafik sepertinya sebagai sumber agama?!

Tidakkah kebenciannya terhadap Imam Ali as. yang mana kecintaan dan kebencian kepadanya telah dijadikan barometer keimanan dan kemunafikan! Lalu mengapakah Imam Bukhari dan ahli hadis lainnya seperti Muslim, an Nasa’i dan Abu Daud mempercayainya sebagai penyambung lidah suci Rasulullah?
Mengapakah Imam Bukhari mempercayainya dan menjadikannya hujjah yang menyambungkan dirinya dengan Allah, sementara ia tidak sudi meriwayatkan dari putra teladan Ahlulbait; Imam Ja’far ash Shadiq as. dan meragukannya?
Adilkan sikap mereka itu?

Mereka Bangkit Geram Jika Selain Ali as. Yang Dikecam!
Benar seudaraku –semoga Allah merahmati Anda- bahwa jika yang dikecam itu selain Imam Ali ibn Abi Thalib as. maka mereka tidak akan ragu-ragu untuk spontan menjatuhkan vonis garang atas pelakunya… Perhatikan caci-maki dan luapan kemarahan adz Dzahabi atas al Hafidz Ibnu Khirâsy –kendati tadinya ia mensifatinya dengan beragam pujian akademik seperti al Hâfidz/sangat hafidz yang dalam lagi luas pengetahuannya. Lalu setelanya ia menuduhnya sebagai penganut faham Syi’ah dan membuat-buat riwayat tentang kejelakekan Abu Bakar dan Umar… setelah itu semua ia mengalamatkan kecamanannya atas Ibnu Khirâsy dengan kata-kata, “Engkau adalah seorang Zindiq, penentang kebenaran/al Haq. Semoga Allah tidak pernah meridhaimu. Ibnu Khirâsy mati menuju selain raahmat Allah tahun 283 H.” [8]

Demikian pula dengan Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb ketika menyebut biografi Janâb al Asadi, ia menyebutkan bahwa  ad Dûri menukil Yahya ibn Ma’in berkata tentangnya, “Ia (Janâb) adalah seorang yang jelek. Ia mencaci Utsman…

Ahmad ibn Hanbal berkata, “Ia adalah seorang yang jelek pendapatnya.
Ibnu Hibbân berkata, “Tidak halal meriwayatkan hadis darinya.”
Ad Dâruquthni berkata, “Ia adalah seorang yang jelek, berfaham Syi’ah yang kental. Ia mencaci-maki Utsman.”
Al Hakim berkata, “Yahya dan Abdurrahman meninggalkan meriwayatkan hadis darinya, dan keduanya telah berbuat baik, sebab ia mencaci-maki Utsman. Dan barang siapa mencaci seorang sahabat maka ia pantas untuk tidak diambil riwayatnya.

Lebih dari itu, ada sebuah kenyataan yang lebih menyakitkan hati para pecinta Ahlulbait Nabi as… di mana mereka bermesraan dengan para pembenci Imam Ali as. dan mereka yang mencaci-makinya serta melaknatinya… Namun terhadap seorang parawi yang sekedar bersikap kurang menghormat kepada seorang ulama kebanggaan mereka –bukan seorang sahabat besar!- hanya seorang ulama! Mereka segera beramai-ramai mengecamnya! Bahkan melaknatinya!

Banyak contoh kasus dalam hal ini, akan tetapi saya hanya akan menyebutkan sekelumit saja.
Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb ketika menyebut biografi Husain al Karâbisi, ia berkata, “Berkata al Khathib, ‘Hadisnya jarang sekali, sebab Ahmad ketika berbicara tentang masalah Lafadz (ucapan/bacaan) Al Qur’an (apakah ia qadim atau makhluq), al Karâbisi menyalahkan Ahmad, maka para ulama menjauhi dari mengambil riwayat darinya. Dan ketika sampai kepada Yahya ibn Ma’in berita bahwa ia berbicara menyalahkan Ahmad, ia melaknatinya. Dan ia berkata, ‘Alangkah laiknya ia untuk dicambuk.’”

Sementara itu mereka juga mengatakan bahwa keyakinan Husain al al Karâbisi dalam masalah ini adalah bahwa bacaan kita terhadap ayat-ayat Al Qur’an adalah hâdits/bukan Qadîm. Keyakinan itu sama persis dengan yang diyakini oleh banyak tokoh ulama hadis Sunni, seperti Imam Bukhari, Hârits al Muhâsibi, Muhammad ibn Nashr al Marwazi dll.
Subhanallah. Imam Ali dikecam, mereka terdiam! Sementara Ahmad ibn Hanbal disalahkan mereka bangkit melaknati yang menyalahkannya!!

Contoh kedua adalah pembelaan ulama Sunni terhadap Ibnu Mubârak. Ibnu Hajar dalam Tahdzîb at Tahdzîb berkata ketika menyebut biografi Ibnu Mubârak, “Aswad ibn Salim berkata, “Jika engkau melihat seorang menceloteh Ibnu Mubârak maka curigai kemurnian Islamya!.”
Membongkar contoh-contoh kasus dalam masalah ini akan menjadi panjang pembicaraan kita… Maka kami cukupkan sampai di sini.


Referensi:
[1] Shahih Bukari,7/106.
[2] Mîzân al I’tidâl,1/374, biografi no.1406. Pernyataan Yahya di ataas juga disebutkan oleh Ibnu ‘Asâkir dalam Târîkh Damasqusnya,11/183/1058.
[3] Ibid.
[4] Hadyu as Sâri (Muqaddimah Fathu al Bâri),2/148. cet. Maktabah al Kulliyât al Azhâriyah-Kairo.
[5] Qabûl al Khbâr,2/158, Thabaqât; Ibnu Sa’ad,7/467.
[6] Hadyu as Sâri,2/143.
[7] Baca juga Hadyu as Sâri,2/143
[8] Baca Biografi al Hafidz Ibnu Khirâsy dalam kitab Tadzkiratul Huffâdz; adz Dzahabi.

Seperti Anda telah saksikan data-data dua perawi munafik yang membenci Imam Ali as. namun demikian keduanya tetap menjadi tempat kepercayaan Bukhari dalam meriwayatkan hadis-hadis Nabi Muhammad saw…. Kini pembaca kami ajak mengenali perawi kebanggaan Bukhari lainnya, yang tidak kalah munafiknya di banding dengan dua parawi sebelumnya. Di adalah:

Harîz ibn Utsman al Himshi (w. 163 H)
Perawi yang sangat membenaci Imam Ali as. lainnya yang diandalkan dan dibanggakan Bukhari serta ia percaya sebagai penyambung lidah suci Rasulullah saw. adalah Harîz ibn Utsman al Himshi. Seorang gembong kaum munafikin yang sangat membenci Imam Ali as. Bukhrai meriwayatkan hadis pada bab al Manâqib dari Harîz ibn Utsman melalui jalur sebagai berikut:
1) Dari Ali ibn Ayyâsy, dan
2) Dari ‘Ishâm ibn Khâlid yang meriwayatkan dari Abdullah ibn Busr dan Abdul Wâhid ibn Abdullah an Nashri.


Harîz ibn Utsman al Himshi Adalah Seorang Gembong Nawâshib!
Kenashibian Harîz tidak samar bagi semua pengkaji yang akrab dengan kajian sejarah para perawi hadis. Ia sangat membenci Imam Ali as. dan tak henti-hentinya melaknati beliau as. di berbagai kesempatan, khususnya dalam wirid harian seusai shalat!! Tidak cukup itu, ia juga tidak segan-segan memalsu hadis yang menyelek-jelekkan Imam Ali as.

Data-data di bawah ini cukup sebagai bukti:

Harîz ibn Utsman al Himshi Adalah Seorang Pelaknat Imam Ali as.!
Ditanyakan kepada Yahya ibn Shaleh, “Mengapa Anda tidak menulis hadis dari Harîz? Ia menjawab, ‘Bagaimana aku sudi menulis hadis dari seorang yang selama tujuh tahun aku salat bersamanya, ia tidak keluar dari masjid sebelum melaknat Ali tujuh puluh kali.’“[1]

Ibnu Hibban juga melaporkan, “Ia selalu melaknat Ali ibn Abi Thalib ra. tujuh puluh kali di pagi hari dan tujuh puluh kali di sore hari”. Ketika ia ditegur, ia mengatakan, “Dialah yang memenggal kepala-kepala leluhurku.”[2]

Harîz ibn Utsman al Himshi Adalah Seorang Pemalsu Hadis!
Dan tentang keberaniannya memalsu hadis, ikuti laporan Ismail ibn Iyasy berikut ini, ia berkata, “Aku mendengar Harîz ibn Utsman berkata, ’Hadis yang banyak diriwayatkan orang dari Nabi bahwasannya beliau bersabda kepada Ali, “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa”, itu benar tetapi pendengarnya salah dengar. Aku bertanya, “Lalu  redaksi yang benar bagaimana? Ia berkata, “Engkau di sisiku seperti kedudukan Qarun di sisi Musa”. Aku bertanya lagi, “Dari siapa kamu meriwayatkannya?” ia berkata, “Aku mendengar Walîd ibn Abd. Malik mengatakannya dari atas mimbar”.[3]

Ibnu Hajar berkata, “Al Azdi dalam kitab adh Dhu’afâ’ melaporkan bahwa “Harîz ibn Utsman meriwayatkan bahwa ketika Nabi saw. hendak menaiki baghelnya[4] datanglah Ali lalu  melepaskan pelananya agar beliau jatuh.” Setelahnya al Azdi berkomentar, “Seorang yang seperti ini keadaannya tidak pantas diambil riwayatnya.” Akan tetapi Ibnu Hajar –seperti kebiasaannya- berusaha membela Harîz –si pemalsu hadis itu dengan mengatakan, “Mungkin Harîz mendengar kisah itu dari al Walîd.”[5]

Al Jauhari juga melaporkan kepada kita dengan sanadnya bersambung kepada Mahfûdz, Ia berkata, “Aku bertanya kepada Yahya ibn Shaleh Al Wahadhi, ‘Kamu telah meriwayatkan dari para guru sekelas Harîz, lalu  mengapakah kamu tidak meriwayatkan  dari Harîz?’ Ia berkata, ‘Aku pernah datang kepadanya lalu ia menyajikan buku catatannya, lalu  aku temukan di dalamnya, Si fulan telah menyampaikan hadis kepadaku dari fulan… bahwa Nabi saw. menjelang wafat beliau berwasiat agar tangan Ali ibn Abi Thalib di potong.”. Maka aku kembalikan buku itu dan aku tidak menghalalkan diriku meriwayatkan darinya!!.[6]

Hadis palsu riwayat Harîz inilah yang disinggung dalam laporan Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb, kendati ia tidak membongkarnya karena dianggap tidak layak disebutkan. Ibnu Adi berkata, “Yahya ibn Shaleh al Wahhâdhi berkata, ‘Harîz ibn Utsman mendektekan kepadaku dari Abdurrahman ibn Maisarah dari Nabi saw. sebuah hadis yang menjek-jelekan Ali ib Abi Thalib yang tidak layak disebutkan. Sebuah hadis yang sangat munkar, tiada meriwayatkan semisalnya melainkan orang yanmg tidak bertaqwa kepada Allah. Al Wahhadhi, “Maka ketika ia menyampaikan hadis itu kepadaku, aku tinggalkan dia.”[7]
 
Ibnu Jakfari berkata:
Jika demikian keadaan dan kebusukan jiwa Harîz ibn Utsman … dan jika demikian kualitas kejujurannya… dan jiika para gembong kaum munafikin seperti al Walîd sebagai masyâikh kebanggaan Harîz yang juga dibangggakan Adu Daud dkk. maka apa yang dapaat dikatakan kepada para ulaama itu, khusunya Bukhari yang dengan bangga meriwayatkan dan menghiasi kitab tershahihnya setelah al Qur’an al Karîm dengan riwayatnya? Masihkan kita meragukan bahwa dunia hadis Sunni sedang menghadapi masalah besar dengan mengandalkan kaum munafikin sebagai sumber kepercayaaan dalam agama?!

Dan denga demikian pula apa nilai ucapan dan pembelaan Ibnu Hajar terhadap kaum Nawâshib ketika ia mengatakan, “Dan yang terbanyak dari mereka (para perawi) yang disifati dengan kenashibian -kebencian kepada Imam Ali dan Ahlulbait as.- dikenal akan kejujuran tutur katanya dan konsisten berpagang teguh dengan aagama. Berbeda dengan mereka yang disifati dengan kerafidhian, rata-rata mereka itu adalah pembohong yang tidak berhati-hati dalam menyampaikan berita… “[8] Tidakkah keberanian Harîz daalam memalsu hadis atas nama Nabi mulia saw. sudah cukup sebagai bukti ketidak benaran pernyataan mumbang Ibnu Hajar di atas?! Dimanakah kejujuran yang ia banggakan dari kaum Nawâshib itu? Di manakah keteguhan keregamaan mereka yang ia banggakan? Apakah melazimkan melaknat Ali as. setiap selesai shalat yang ia jadikan dzikir harian itu yang dimaksud dengan keteguhan dalam beragama?

Ulama Hadis Ahlusunnah Membela Dan Mentsiqahkan Harîz ibn Utsman al Himshi!
Semua itu tidak rahasia lagi… Akan tetapi yang benar-benar mengeharkan adalah ternyata tidak sedikit tokoh-tokoh besar hadis Ahlusunnah menegaskan ketsiqahannya. Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan, “Ia tsiqah, Ia tsiqah, ia tsiqah!”[9]

Di sini, seperti Anda saksikan, Imam Ahmad (seorang tokoh terkemuka empat Mazhab Sunni) tidak cukup sekali dalam mengapresiasi kejujuran dan keadilan Harîz. Ia mengulanginya tiga kali. Menyematkan gelar tsiqah kepaada seorang perawi adalah puncak pengandalan. Dan lebih dari kata tsiqah, apabila kata itu diulang dua apalai tiga kali.

Itu artinya Harîz benar-benar menempati tempat istimewa dalam jiwa Imam besar Ahhlusunnah. Selain Ahmad, Yahya ibn Ma’in dan para imam hadis Sunni juga mentsiqahkannya. Demikian ditegaskan Ibnu Hajar dalam Hadyu as Sâri-nya.

Abu Hatim menegaskan bahwa tidak ditemukan di kota Syam seorang parawi yang lebih kokoh darinya.
Ibnu Adi berkata, ‘Ia tergolong parawi kota Syam yang tsiqat/jujur terpercaya.”
Ahmad ibn Abi Yahya menukil Imam Ahmad sebagai mengakatan, “Ia (Harîz) seorang yang shahih hadisnya, hanya saja ia mencaci maki Ali.”

Al Ijli berkata, “Ia (Harîz) seorang penduduk kota Syam yang tsiqah. Dan ia mencerca dan mencaci maki Ali. Ia menghafal hadisnya.”
Dalam kesempatan lain ia berkata, “Ia kokoh riwayatnya dan ia sangat membenci Ali.”
Ibnu Ammâr berkata, “Para ulama menuduhnya mencaci maki Ali, namun mereka tetap saja meriwayatkan hadis darinya, berhujjah dengannya dan tidak membuangnya.”

Tidak cukup itu, para ulama Ahlusunnah mentsiqahkan seluruh guru/masyâikh Harîz. Al âjuri meriwayatkan Abu Daud berkata, “Masyâikh Harîz seluruhnya adalah orang-orang jujur terpercaya/tsiqât.”
Duhaim berkata menyebutkan Harîz, “Ia seorang dari kota Himsh , bagus sanadnya, dan shahih hadisnya.” Dalam kesempatan lain ia berkata, “Harîz adalah tsiqah.”
Dan masih banyak komentar lain sengaja saya tinggalkan….



Seorang Dajjal Kini Berubah Menjadi Dikultus!
Seperti telah diketahui bersama bahwa para ulama Ahlusunnah begitu keras sikap mereka terhadap siapa saja yang berani menyebtuh garis merah kehormatan sahabat Nabi saw. … Mereka mengeluarkan “surat keputusan bersama/SKB” yang menvonis dajjal, zindiq dan kafir bagi siapapun yang berani mencaci para sahabat (dan perlu Anda ketahui bahwa dengan sekedar menyebut kesalahan dan/atau penyimpangan mereka saja –tanpa disertai cacian- sudah dianggap mencaci maki sahabat).

Fatwa Sadis Abu Zur’ah!
Abu Zur’ah –seorang tokoh terkemuka Ahlusunnah, guru agung Imam Muslim- telah mengeluarkan fatwa sadis namun saying tidak serius dalamm menjalankannya!. Ia barkata, “Jika engkau menyaksikan seorang mencela-cela seorang dari sahabat Rasulullah saw. maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang zindîq.”[10]
 
Akan si dajjâl yang zindiq itu segera akan berubah menjadi seorang parawi tersanjung apabila ia mengalamatkan laknatannya (bukan lagi sekedar kritikan atau cacian semata) kepada manusia pertama yang memeluk Islam, sahabat paling berjasa dalam Islam dan pribadi agung yang paling dicintai Nabi saw…. semuanya akan berubah statusnya jika yang dicaci maki dan yang dilaknati itu adalah Imam Ali as.! Si dajjal kini pasti berubah menjadi manusia suci! Si Zindiq segera berubah menjadi “Pembela dan Pendekar Sunnah”!

Apa yang kami katakana buikan sekedar teori belaka, tetapi data-data yang ada sepenuhnya mendukung kebenaran dan kevalidannya.

Coba Anda perhatikan data di bawah ini- tapi tolong Anda rahasiakan dokumen ini demi menjaga kemantapan keberagamaan kaum awam terhadap mazhab mereka dan agar keimanan mereka kedapa kesucian para ulama tidak guncang!! Dan kami masih memiliki segudang datav rahasia lainnya, nantikan!!

Ketika para ulama Ahlusunnah, di antaranya al Khathîb al Baghdâdi, ketika menyebutkan biografi Talîd ibn Sulaimân al Muhâribi al Kûfi (w.190 H), di antaranya menyebutkan pernyataan bersejarah Yahya ibn Ma’în yang kemudian dijadikan pedoman seakan ia wahyu segar yang baru dibawa turun malaikat Jibril as. dari langit ke tujuh. Yahya berkata, “Talîd adalah seorang kadzdzâb/pembohong kelas kakap, ia mencaci maki Utsman. Dan setiap yang mencaci Utsman atau Thalhah atau seorang dari sahabat Rasulullah saw. maka ia adalah Dajjâl, tidak layak ditulis hadisnya. Atasnya laknat Allah, laknat para malaikat dan laknat seluruh manusia!.[11]

Ibnu Jakfari Berkata:
Tidaklah salah jika ada yang bertanya kepada Tuan Ibnu Ma’in, mengapakah Anda tidak tergugah bangkit marah “demi membela agama” ketika Imam Ali as. dilaknati oleh seorang perawi? Justeru Anda menyumbangkan kata-kata pujian sebagai bentuk kepercayaan dan penghargaan!
Apakah Imam Ali as. halal untuk dilaknati dan dicaci maki?

Dan benar-benar membuat tidak habis-habis keterheran-heranan kita adalah mereka mentsiqahkan sementara pada waktu yang sama mereka yang mengatakan bahwa harîz sangat membenci Imam Ali as. dan tak henti-hentinya maknati beliau as.! Sungguh membingungkan! Andai ketika mentsiqahkan kaum Nawâshib/para pembenci Imam Ali dan keluarga suci Nabi saw., seperti Harîz para ulama Sunni itu merahasiakan keterangan tentang kebencian dan pelaknatan mereka (Nawâshib) itu! Tapi yang mengehankan dan mungkin juga menyakitkan sebagian kaum Mukminin adalah mereka sengaja menyebutkan kedengkian si perawi tertentu kepada Imam Ali as., tetapi mereka tetap dengan sengaja mentsiqahkannya! Mungkin itu sebagai sikap pamer sikap ideologis yang mereka tampilkan! Allah A’lam.

Kesucian Mu’awiyah Garis Merah Di Mata Ulama Ahlusunnah!
Lebih dari itu, meyakini kesucian Mu’awiyah dari segala bentuk dosa dan penyimpangan adalah sebuah kewajiban agama yang mana akan menjadi gugur keimanan atau paling tidak keadilan seorang jika ia meragukannya atau mencacinya!

Perhatikan sekalim lagi apa yang diabadikan para ulama Sunni dalam laporan mereka seperti di bawah ini:
Imam Ahmad ibn Hanbal menggugurkan keadilan Ubaidullah ibn Musa al Absi hanya karena ia mendengarnya menyebut-nyebut kejelakan Mu’awiyah ibn Abu Sufyân. Tidak cukup itu, ia (Ahmad) memaksa Yahya ibn Ma’in agar menggugurkan keadilannya dan menghentikan meriwayatkan hadis darinya. Ahmad mengutus seorang utusan khusus untuk menemui Yahya dan menyampaikan pesannya:

أخوك أبو عبد الله أحمد بن حنبل يقرأ عليك السلام ويقول لك: هو ذا تكثر الحديث عن عبيد الله وأنا وأنت سمعناه يتناول معاوية بن أبي سفيان وقد تركت الحديث عنه.

“Saudaramu Ahmad ibn Hanbal menyampaikan salam atasmu dan berkata, ‘Inilah dia kamu berbanyak-banyak meriwayatkan hadis dari Ubaidullah, sedangkan aku dan kamu mendengarnya menyebut-nyebut kejelekan Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Kini aku sedah meningggalkan meriwayatkan hadis darinya.’”[12]

Ibnu Jakfari:
Subhanallah, menyebut-nyebut kejelekan Mu’awiyah menggugurkan keadilan seorang perawi, sementara seorang perawi yang siang malam melaknati Imam Imam Ali as. digelarinya dengan Tsiqah! Tsiqah! Tsiqah! (3X)! mengapa? Apakah Mu’awiyah maksum, sehingga ia tidak mungkin berbiah kejahatan, dosa dan kesalahan?

Tidakkah perintah melakinati Imam Ali as. di dalam setiap kesempatan kegamaan atau kenegaraan oleh Mu’awiyah itu bukan sebuah kejahatan dan kemunafikan yang haram untuk dibongkar dan disebut-sebut?
Bukankah pembantaian yang dilakukan Mu’awiyah terhadap para sahabat Nabi saw. dan parav pecinta dan pengikut setia Imam Ali as. seperti Hujr ibn Adi dkk. bukan sebuah kejahatan? Tidakkah ketetapan Allah SWT atas yang membunuh seorang Mukmin itu neraka jahannam?!

Bukankah Nabi saw. –seperti diriwayatkan Bukhari sendiri- bersabda bahwa Mu’awiyah dan kelompoknya adalah du’âtun ilan nâr/pengtanjur kea pi neraka?! Lalu mengapakan menyebut-nyebut kejelekan panagnjur kea pi neraka dihukimi gugur keadilannya? Sementara melaknati Imam Ali as. mendapat “ajungan jempol”?!

Semoga nukilan atas nama Imam Ahmad itu hanya sebuah kepalsuan belaka yang dibuat-buat oleh kaum Nawâshib yang mebawa-bawa nama besar Imam Ahmad untuk melegalkan kesesatan mereka!


Referensi:
[1] Tahdzîb al Tahdzîb,2/209 ketika membicarakan biodata Harîz, Tarikh Damaskus,12/349.
[2] Al MajRûhuun,1/268.
[3]Tahdzîb al Tahdzîb,2/209 ketika membicarakan biodata Harîz, Tahdzîb al Kamâl,5/577, Tarikh Baghdad.8,268 dan Tarikh Damaskus,12/349.
[4] Baghel adalah peranakan antara kuda dan keledai.
[5] Tahdzîb al Tahdzîb,2/207.
[6] Syarh Nahj al Balâghah; Ibnu Abi Al Hadid al Mu’tazili,4/70.
[7] Tahdzîb at Tahdzîb,2/207.
[8] Ibid.8/410.
[9] Tahdzîb al Kamâl,5/175.
[10] Ash Shawâiq al Muhriqah;Ibnu Hajar al Haitami, Penutup:211.
[11] Târikh Baghdâd,7/145, biografi no.3582.
[12]Ibid. 14/427.


Gembong munafik lain yang dibanggakan riwayatnya oleh Bukhari dan para ulama hadis Sunni lainnya adalah‘Imrân ibn Haththân.

4) Imrân ibn Haththân -Gembong Kaum Khawârij-.
‘Imrân ibn Haththân. Nama lengkapnya adalah ‘Imrân ibn Haththân ibn Dhabyân al Bashri (w.84H). karenanya sebagian ulama Sunni, seperti Ibnu Hajar harus membelanya dengan segala cara dan dengan segala resiko yang mungkin menimpa dunia hadis Sunni, walaupun dengan menjungkir balikkan norma-norma keagamaan dan menelantarkan kaidah-kaidah yang mereka bvangun sendiri!

Apapun yang akan terjadi dan seburuk apapun resiko yang akan terjadi ‘Imrân tetap harus dibela. Seribu satu uzur akan dicarikan…. Sebab Bukhari –imam besar Ahli Hadis- telah meriwayatkan hadis darinya dan mengandalkan pengambiilan ajaran agama darinya!!

Bukhari telah meriwayat hadis dari ‘Imrân ibn Haththân dalam bab tentang mengenakan pakaian sutra dengan sanad  Muhammad ibn Basysyâr….. dari Yahya ibn Abi Katsîr dari‘Imrân ibn Haththân, ia berkata, ‘Aisyah ditanya tentang sutra…. “[1] sementara para ulama menegaskan bahwa ia tidak pernah mendengar barang satu hadis pun dari A’isyah!

Al ‘Uqaili berkata, “‘Imrân ibn Haththân hadisnya tidak terdukung oleh perawi jujur lainnya. Ia meyakini pandangan kaum Khawârij. Ia menyampaikan hadis dari A’isyah sementara tidak terbukti ia pernah mendengar hadis darinya.” Demikian juga, Ibnu Abdil Barr memastikan bahwa ‘Imrân ibn Haththân tidak pernah mendengar hadis dari ‘Aisyah.[2]

Siapa Sejatinya ‘Imrân ibn Haththân Ini?
Tidak diragukan lagi, semua tau bahwa ‘Imrân ibn Haththân adalah gembong sekte sesat Khawârij dari kelompok al Qa’diyah. Lebih dari itu ia adalah seorang penganjur kepada aliran sesatnya. Dialah yang menggubah bait-bait syair memuji dan meratapi si pembunuh Imam Ali ibn Abi Thalib as. di antaranya adalah bait di bawah ini:


يا ضربة من تقي ما أراد بها * إلا ليبلغ من ذي العرش رضوان
إني لأذكره حينا فأحسبه * أوفى البرية عند الله ميزانا

“Duhai pukulan dari seorang yang bertaqwa yang tidak ia lakukan ** melainkan agar mencapai keridhaan Allah pemilik Arsy
Setiap kali aku mengingatnya aku yakin bahwa ** ia adalah orang yang paling berat timbangan kebajikannya di sisi Allah.


Ibnu Jakfari berkata: Tidak diragukan lagi bahwa bait-bait syair itu sangat menyakitkan hati Rasulullah saw. dan hati Ali ibn Abi Thalib as. lebih dari pukulan Abdurrahman ibn Muljam  (pembunuh Ali as.) itu sendiri! Bagaimana tidak?
Dan termasuk kurang hormat kepada Nabi dan Ali apabila kita menyebut-nyebut nama-nama musuh Ahlulbait as. seperti Ibnu Muljam, Imrân ibn Haththân, Umar ibn Sa’ad, Ziyâd, Mu’awiyah tanpa dibarengi dengan kutukan dan laknatan.

Pembelaan Ulama Hadis Sunni Terhadap ‘Imrân ibn Haththân
Semua bukti kemunafikan ‘Imrân ibn Haththân telah diketahui ulama hadis Sunni, namun demikian mereka tetap berusah dengan sekuat tenaga membela dan mencarikan uzur untuknya. Dan sikap ulama Sunni yang membanggakan kejujuran tutur katanya dan mengandalkannya dalam urusan agama itu yang kami sayangkan! Imam Bukhari telah mempercayainya dalam meriwayatkan hadis dalam kitab Shahihnya! Demikia juga dengan Abu Daud dan an Nasa’i.

Al Ijli mentsiqahkannya. Untuk lebih lengkapnya saya akan terjemahkan keterangan dan pembelaan Ibnu Hajar terhadap ‘Imrân ibn Haththân dalam mukaddimah Fathu al Bârinya.

Ibnu Hajar berkata, “(Kh –Bukhari-, D –Abu Daud-, S –An Nasa’i-)‘Imrân ibn Haththân as Sudûsi, seorang penyair kondang. Ia berfaham Khawâirij. Abu Abbas al Mubarrad berkata, ‘‘Imrân ibn Haththân adalaah gembong/pinpinan, penyair dan khathib/juru dakwah sekte al Qa’diyah.’ Al Qa’diyah adalah kelompok sempalan dari sekte Khawârij yang berpandangan tidak perlu memberontak atas penguasa akan tetapi mereka hanya merangsang untuk memberontak. Imrân adalah juru dakwah/penganjur kepada mazhabnya. Dialah yang meratapi Abdurraman ibn Muljam; pembunuh Ali –Alaihi as Salâm/semoga salam Allah atasnya-[3] dengan bait-bait syairnya yang terkenal.

Al Ijli mentsiqahkannya.
Qatadah berkata, ‘Ia (‘Imrân) tidak tertuduh kejujurannya dalam hadis.’
Abu Daud berkata, ‘Tiada di antara penyandang kesesatan yang lebih jujur/shahih hadisnya dari kaum Khawârij.’ Kemudian ia menyebutkan ‘Imrân dan beberapa orang Khawârij lainnya.
Ya’qub ibn Syaibah berkata, ‘Ia sezaman dengan beberapa orang sahabat Nabi. Dan ia di akhir urusannya berfaham Khawârij.’
‘Uqaili berkata, ‘Ia menyampaikan hadis dari A’isyah sementara tidak terbukti ia pernah mendengar hadis darinya.’
Aku (Ibnu Hajar) berkata: “Bukhari hanya meriwayatkan satu hadis darinya dari jalur Yahya ibn Abi Katsir darinya… hadis ini diriwayatkan Bukhari dalam mutâba’ah. Di sisi Bukhari, hadis ini punya jalur-jalur lain dari riwayat Umar dan lainnya….

Aku melihat sebagian imam (ulama besar) mengklaim bahwa Bukhari meriwayatkan hadis darinya itu sebelum Imrâm berfamah Khawârij. Dan uzur itu tidak kuat sebab Yahta ibn Abu Katsir itu meriwayatkan hadis darinya di kota Yamâmah di saat Imrân melarikian diri dari kejaran Hajjâj yang mencarinya untuk membunuhnya karena keyakinannya… kisah lengkapnya dapat And abaca dalam kitab al Kâmil karya al Mudarrad dan juga dalaam kitab-kitab lainnya. Abu Bakaar al Mûshili menceritakan bahwa Imrân telah insaf/meninggalkan famah Khawarij di akhir usianya. Jika ini benar maka iaa adaalaah uzur yang bagus.”[4]

Ibnu Jakfari berkata: Kisah kembalinya Imrân dari faham Khawârij adalah sesuatu yang tidak berdasar
Adapun pembelaan Ibnu Hajar terhadap Bukhari bahwa ia meriwayatkan hadis itu dari ‘Imrân hanya dalam mutâba’ah yaitu hadis yang diriwayatkan sekedar untuk menjadi pendukung untuk menguatkan hadis dari jalur lain adalah pembelaan yang mengada-ngada!! Sebab apa perlunya mendukung sebuah hadis dengan membawakan hadis dari riwayat ‘anjing nereka’ seperti ‘Imrân?

Adu Daud Membongkar Rahasia Ulama Hadis Sunni!
Dan dengan memerhatikan pernyataan sumbang Adu Daud din atas: Tiada di antara penyandang kesesatan yang lebih jujur/shahih hadisnya dari kaum Khawârij, Anda berhak curiga bahwa tenyata sepertinya tidak hanya Imrâm ibn Haththân saja yang mereka banggakan dan percayai sebagai penyambung lidah suci nabi Muhammad!! Akan ntetapi seluruh kaum Khawârij adalah kelompok andalan dalam menyampaikan hadis Nabi saw. karena mereka adalah kelompok paling jujur dalam bertutur kata dan meriwayatklan hadis Nabi saw.!
Sungguh luar biasa “kehati-hatian” ulama hadis itu sehingga mereka bangga meriwayatkan hadis dari anjing-anjing neraka![5]

Jika seorang gembong Khawârij yang sesat yang menyesatkan seperti Imrân diyakini kejujurannya, maka sepertinya kita perlu mendefenisikan ulang kata jujur dan kejujuran! Jika ada yang membanggakan membangun agamanya dari riwayat-riwayat kaum munafikin maka apa yang bisa dibayangkan tentang kualitas bangunan agama itu?
Inikah yang dibanggakan sebagian pihak bahwa dunia hadis Sunni telah rapi dan selektif?
Mengapakah Bukhari -imam teragung mereka- dan juga yang lainnya membanggakan riwayat-riwayat seorang Imrân –si gembong kaum munafikin-?

Kenyataan Pahit Nasib Pasar Hadis Sunni!
Ada sebuah kenyataan yang sangat menyedihkan yang dialami oleh dunia hadis Sunni yaitu bahwa pasar hadis Sunni telah dibanjir oleh hadis-hadis dari riwayat kaum sesat daan penyandang hawa nafsu alias kaum ahli bid’ah!

Kendati –dalam teori mereka bersilang pendapat, apakah dibenarkan mengambil riwayat dari kaum pembid’ah (maksudnya selain anggota Ahlusunnah sendiri), ada yang membolehkan asal si pembid;ah itu bukan penganjur kepada ksesataan bid’ah mazhabnya. Namun demikina dalam praktiknya mereka telah benar-benar tenggelam dalam kubangan riwayat kaum pembid’ah bahkan dengan riwayat-riwayat para penganjur kepadaa kesesatan bid’ah mazhabnya! “imrân ibn Haththân adalaah satu dari ratusan nama ahli bid’ah yang hadis riwayatnya telah membanjiri ‘Pasar Hadis Sunni’!

Menyaksikan kenyataan ini apa kira-kira yang tersisa dari keseriusan kata-kata Imam Nawawi dalam mukaddimah syarah Shahih Muslim yang mengatakan bahwa prakti para Salaf dan Khalaf telah tetap bahwa mereka hanya mau menerima riwayat, mendengar memperdengarkan dan berhujjah dengan hadis-hadis riwayat kaum pembid’ah yang bukan penganjur/du’ât? Sementara kitab-kitab dan jalur-jalur periwayatan para imam Ahlusunnah dipenuhi dengan nama-nama gembong panganjur kepada kesesatan bid’ah mazhabnya?

Dan menyaksikan kenyataan seperti itu Anda berhak ragu akan kemurnian materi mazhab mereka yang ditegakkan di attas hadis-hadis kaum pembid’ah yang tidak sedikit dari mereka disampin kesesatan bid’ah mereka juga dikenal sebagai pembohong dan pemalsu hadis.

Dan jika mereka (ulama hadis Sunni) telah mengimani bahwa kaum Khawârij adalah orang-orang yang jujur dalam tutur katanya sementara mereka itu adalah kaum munafik… kama salahkah jika ada yang menyimpulkan bahwa sebagian dari meteri ajaran Sunni itu adalah produk kaum Khawarij… Terlepas dari benar atau palsunya kesimpulan Adu Daud bahwa kaum Khawârij adalah kelompok yang paling jujr… terlepas dari itu, sebenarnya aapa yang di katakana adalah membongkar sebuah kenyataan bahwa sebenarnya para ulama Sunni sangat mengandalkan hadis-hadis riwayat kaum Khawârij… Adapun tentang apresiasi Adu Daud terhadap kejujuran mereka jelas-jelas sebuah kepalsuan sebab danyataannya adalah sebaliknya… kaum Khawârij adalah kaum yang paling benari memalsu hadis demi mendukung kesesatan mazhabnya… Dan analis kejiwaaan pun pasti mendukung kesimpulan ini! Sebab siapapun yang membangun akidah/mazhabnya di atas kerapuhan hujjah ia pasti akan sangat membutuhkan kepada hujjah/nash keagamaan yang dapat mendukung mazhabnya. Dan tidak ada peluang yang terbuka lebar bagi para pemalsu yang sedang kelabakan mencari pembelaan untuk mazhabnya melebihi peluang pemalsuan hadis atas nama Nabi saw…. dan kita senua yakin bahwa mazhab Khawârij dengan bergabai penyimpangan ajarannya sangat lemah dan karenanya ia sangat membutuhkan kepada hadis… karena tidak banyak (kalau kita mengatakan tidak ada) hadis Nabi saw. yang mendukungnya maka jalan satu-satunya adalah memalsu hadis atas nama Nabi saw.!

Ibnu Hajar membongkar sebuah dokumen penting pengakuan seuorang berfaham Khawârij yang telah taubat (yang sepertinya diusahakan oleh sebagian pihak untuk dirahasiaakan) bahwa “Kaum Khawarij jika menyukai sesuatu pendapat ia buatkan hadis yang mendukungnya.” Baca keterangan Ibnu Hajar tentangnya dalam Tahdzîb at Tahdzîb ketika ia menyebutkan biogafi Qadhi Abdullah ibn ‘Uqbah al Mishri yang dikenal dengan nama Ibnu Luhai’ah.


Referensi:
[1] Shahih Bukhari, Kitab al Libâs, hadis dengan nomer.5387.
[2]
[3] Sebagian pembenci Syi’ah Ahlulbait as. –yang selalu bekerja siang malam untuk memecah belah kesatuan kaum muslimin dan menghasut agar tejadi permusuhan antara Syi’ah dan Ahlusunnah selalu bergegas menjulurkan lidah beracunnya menuduh siapapun yang mengucapkan ‘Alaihi as Salâm/semoga salam Allah atasnya’ setelah menyebut nama Imam Ali sebagai Syi’ah!! Jadi apakah sekarang mereka akan mengarahkan panah pecarun mereka ke jantung Ibnu Hajar dan menuduhnya sebagai Syi’ah kerena beliau menyebutkannya?!
[4] Hadyu as Sâri; Muqaddimah Fahil Bâri,2/186-187.
[5] Dalam banyak hadis yang dishahihkan ulama Sunni sendiri diriwayatkan bahwa Nabi saw. menyebut kaum Khawarij sebagai Kilâb Ahli an Nâr/ anijng penghuni neraka!

Tokoh-tokoh Besar Ulama Salaf Memfatwakan Mendatangi Istri dari Dubur, Halal!!

Dalam kitabnya, “al Ushul allati Bana Alaiha al Ghulatu Madzhabahum“ -(Dasar-dasar yang kaum Ghulat membangun mazhab mereka di atasnya)-, Amr Abdul Mu’im Salim mengatakan:
Perhatikan Scan (dan terjemahan) dari kitab tersebut dibawah ini:



Seperti sebagian Salaf dari kalangan Tabi’in dan selainnya yang menghalalkan mendatangi istri-istri dari lubang dubur, dan ini adalah mazhab (Imam) Malik  -semoga rahmat Allah atasnya- (sepeti) yang diriwayatkan darinya dengan sanad-sanad yang shahihah!
Ini bisa jadi dikarenakan dalil pengharaman belum sampai kepada mereka. atau dalil-dalil yang datang tentangnya lemah dalam pandangan mereka seperti yang ditegaskan oleh banyak ahli ilmu (ulama), di antaranya Bukhari, an-Nasa’i dan al-Bazzar.

Ibnu Jakfari Berkata:
Kami tidak akan berkomentar apa-apa. Semuanya terserah Anda para pembaca !

 (Source)

Apakah Istri Nabi Diharamkan Menerima Sedekah? Anomali Bantahan Nashibi


Metode beragama yang ditempuh Mazhab Ahlusunnah Wal Jama’ah (sunni) adalah “Metode Kaca Mata Kuda”. Ngotot menyatakan sesuatu sebagai kebenaran/hujjah dengan cara menyembunyikan begitu banyak hadits atau atsar lain yang justru berpotensi besar sebagai kebenaran karena bertentangan dengan klaim mereka.

Apakah Istri Nabi Diharamkan Menerima Sedekah? Anomali Bantahan Nashibi
Seperti biasa nashibi yang ingkar sunnah itu kembali membuat bantahan terhadap tulisan kami dan seperti biasanya bantahan itu “tidak bernilai” bagi orang yang mau sedikit saja menggunakan akalnya. Nashibi ini memang layak untuk dikatakan ajaib aneh tapi nyata, ia membantah suatu tulisan dengan dalil padahal dalil yang ia gunakan sebenarnya menjadi bantahan bagi dirinya. Fenomena ini hanya terjadi pada orang yang lemah akalnya atau orang berakal yang dikuasai oleh kebencian sehingga akalnya tertutup dengan nafsu membantah.

Tulisan ini kami buat bukan untuk dirinya karena ia jelas bukan tipe orang yang menginginkan kebenaran tetapi tipe orang yang hanya dipengaruhi kebencian terhadap syiah rafidhah. Jadi harap maklum kalau dalam pikiran nashibi itu setiap orang yang bertentangan dengannya harus dikatakan syiah rafidhah. Tulisan ini kami tujukan untuk para pembaca yang berniat mencari kebenaran.

Pada tulisan sebelumnya kami membawakan hadis Zaid bin Arqam dimana Zaid mengeluarkan istri Nabi dari ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Anehnya nashibi ngeyel itu membantah dengan membawakan riwayat Muslim yang malah menguatkan hujjah kami [komentar nashibi itu adalah yang kami blockquote]
Riwayat Zaid bin Arqam dalam riwayat Muslim adalah sebagai berikut :
وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ
Lalu Husain bertanya kepada Zaid ”Hai Zaid siapa gerangan Ahlul Bait itu? Tidakkah istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait? Jawabnya “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah sepeninggal beliau”, Husain bertanya “Siapa mereka?”.Jawab Zaid ”Mereka adalah Keluarga Ali, Keluarga Aqil, Keluarga Ja’far dan Keluarga Ibnu Abbas”. Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah (zakat)?” tanya Husain; “Ya”, jawabnya. (Shahih Muslim juz II hal 279 bab Fadhail Ali)
Dalam hadits Muslim di atas, Zaid mengatakan bahwa istri-istri Nabi termasuk dalam ahlul bait yang dimaksud berbeda dengan riwayat Mushanaf Ibnu Abi Syaibah.
Lucu sekali bukan, apa ada dalam tulisan kami sebelumnya kami menyatakan bahwa istri Nabi bukan ahlul bait?. Orang yang mampu memahami dengan baik pasti akan mengerti bahwa maksud perkataan Zaid bin Arqam adalah istri Nabi memang ahlul bait tetapi mereka bukan ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Riwayat Muslim tersebut tidaklah berbeda dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah apalagi Muslim juga membawakan riwayat Zaid bin Arqam dimana Hushain dan Yazid bertanya:

فقلنا من أهل بيته ؟ نساؤه ؟ قال لا وايم الله إن المرأة تكون مع الرجل العصر من الدهر ثم يطلقها فترجع إلى أبيها وقومها أهل بيته أصله وعصبته الذين حرموا الصدقة بعده

Kami bertanya “siapakah ahlul baitnya?” apakah istri istrinya?. Zaid menjawab “tidak, demi Allah seorang istri bisa saja ia terus bersama suaminya kemudian bisa juga ditalaknya hingga akhirnya ia kembali kepada ayahnya dan kaumnya. Yang dimaksud Ahlul baitnya adalah keturunan dan keluarga Beliau yang diharamkan menerima sedekah sepeninggalnya [Shahih Muslim 4/1873 no 2408].

Jadi justru riwayat Zaid bin Arqam dalam Shahih Muslim menguatkan apa yang kami tuliskan yaitu istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah. Yah melihat cara nashibi itu berhujjah membuat kami merasa kasihan. Semoga Allah SWT menyembuhkan penyakit di dalam hati mereka.

Nashibi itu juga berkata jika memang perkataan Zaid seperti itu maka itu adalah pendapatnya sendiri yang bisa benar dan bisa pula keliru. Kalau begitu hal yang sama pula bisa dikatakan untuk riwayat Aisyah yang sering dijadikan hujjah oleh nashibi. Jika memang riwayat Aisyah shahih [nyatanya tidak] maka itupun adalah pendapatnya sendiri yang bisa benar dan bisa pula keliru.

Kemudian nashibi itu membahas riwayat Barirah dengan cara yang menyedihkan. Ia mengatakan kesimpulan kami mentah dan ia membuat bantahan ngawur berikut
Orang syi’ah ini ternyata begitu mudah menarik kesimpulan yang masih mentah, berdasarkan hadits yang dia kutip, maula yang yang diharamkan menerima sedekah sebenarnya adalah khusus maula Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, karena mereka seperti keluarga beliau sendiri, Maimun dan Mihran adalah Maula Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam maka mereka pun haram menerima sedekah, sedangkan maula selain dari Maula Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam (termasuk Maula Aisyah) tidak terkena hukum ini.
Kami yakin nashibi itu sudah membaca tulisan kami sebelumnya dan ternyata ia masih mengeluarkan ucapan di atas. Hal ini membuktikan kalau nashibi itu memang orang yang ingkar sunnah. Wahai nashibi, kami hanya mengulang apa yang jelas jelas dinyatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Beliau bersabda

انا أهل بيت نهينا عن الصدقة وان موالينا من أنفسنا ولا نأكل الصدقة

Kami ahlul bait dilarang bagi kami menerima sedekah dan maula kami adalah bagian dari kami dan tidak boleh menerima sedekah.

Masa’ sih ada orang yang masih salah memahami hadis di atas. Lafaz yang dimaksud adalah “kami ahlul bait” kemudian dilanjutkan dengan lafaz “maula kami adalah bagian dari kami”. Maka siapapun yang punya sedikit akal pikiran pasti mampu memahami bahwa “maula kami” yang dimaksud disitu adalah “maula ahlul bait”. Apa ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami ahlul bait dilarang menerima sedekah” itu maksudnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja dan tidak untuk ahlul baitnya?. Aduhai kami kehilangan kata-kata menghadapi hujjah nashibi yang menyedihkan.

Hadis ini menjadi hujjah bahwa ahlul bait yang dimaksudkan dalam lafaz “kami ahlul bait diharamkan menerima sedekah” adalah ahlul bait yang maula mereka diharamkan menerima sedekah. Termasuk di dalamnya adalah Bani Hasyim yaitu keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga Aqil dan keluarga Abbas. Sedangkan istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak termasuk karena maula mereka dibolehkan menerima sedekah padahal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyatakan“maula suatu kaum adalah bagian dari kaum tersebut” dan “maula ahlul bait diharamkan menerima sedekah”. Jadi jika suatu kaum diharamkan menerima sedekah maka maula kaum tersebut juga diharamkan menerima sedekah. Jika istri Nabi sebagai ahlul bait diharamkan menerima sedekah maka maula mereka pun akan diharamkan menerima sedekah. Itulah yang nampak dari hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut.
Bagaimana mungkin maula (hamba sahaya yang dimerdekakan) beliau, diharamkan menerima sedekah yang merupakan salah satu kekhususan beliau, sedangkan Aisyah sebagai istri/ahlul bait beliau di dunia dan di akhirat tidak diharamkan menerima sedekah? Suatu logika yang sangat anomaly
Ketika ada tempatnya harus memakai logika maka nashibi ini menunjukkan seolah ia tidak punya logika atau menampilkan logika yang menyedihkan dan ketika pada tempat yang seharusnya tidak menggunakan logika, ia malah sok berhujjah dengan logika [walaupun logikanya masih ngawur juga]. Perkara siapa yang diharamkan menerima sedekah itu adalah nash dari Allah SWT dan Rasul-Nya bukan perkara logika. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri yang menyatakan bahwa maula ahlul bait juga diharamkan menerima sedekah. Dan sampai saat ini kami belum menemukan dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa istri Nabi diharamkan menerima sedekah.

Selanjutnya ia membawakan riwayat Barirah memberikan makanan yang disedekahkan padanya kepada Aisyah. Dengan berbagai riwayat ini ia ingin menunjukkan bahwa Aisyah [radiallahu ‘anha] itu termasuk diharamkan menerima sedekah. Silakan para pembaca perhatikan pembahasan kami dan pakailah logika yang benar untuk melihat betapa buruknya cara nashibi itu berhujjah

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ فِي بَرِيرَةَ ثَلَاثُ سُنَنٍ عَتَقَتْ فَخُيِّرَتْ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ وَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبُرْمَةٌ عَلَى النَّارِ فَقُرِّبَ إِلَيْهِ خُبْزٌ وَأُدْمٌ مِنْ أُدْمِ الْبَيْتِ فَقَالَ أَلَمْ أَرَ الْبُرْمَةَ فَقِيلَ لَحْمٌ تُصُدِّقَ بِهِ عَلَى بَرِيرَةَ وَأَنْتَ لَا تَأْكُلُ الصَّدَقَةَ قَالَ هُوَ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf yang berkata telah mengabarkan kepada kami Malik dari Rabi’ah bin ‘Abdurrahman dari Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radiallahu ‘anha yang berkata pada Barirah terdapat tiga pelajaran. Ia dimerdekakan kemudian diberikan pilihan. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “sesungguhnya wala’ itu adalah bagi mereka yang memerdekakan. Kemudian suatu ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk sedangkan periuk berada di atas api, Beliau lalu diberikan roti dan makanan yang biasa ada di rumah. Beliau berkata “bukankah tadi aku melihat periuk?”. Dikatakan kepada Beliau [oleh Aisyah] “periuk itu berisi daging yang disedekahkan kepada Barirah sedangkan anda tidak makan sedekah”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “baginya adalah sedekah sedangkan bagi kita adalah hadiah” [Shahih Bukhari 7/9 no 5097].

Barirah menghadiahkan daging itu kepada Aisyah [radiallahu ‘anha]. Kemudian Aisyah radiallahu ‘anha menerima daging pemberian Barirah itu dan memasaknya. Aisyah [radiallahu ‘anha] itu awalnya beranggapan daging itu masih sedekah sehingga tidak boleh disajikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hal ini nampak dalam lafaz  “anda tidak makan sedekah”. Dari lafaz itu juga diketahui bahwa menurut Aisyah, dirinya tidak diharamkan menerima sedekah. Kalau memang dirinya termasuk diharamkan menerima sedekah maka ia akan berkata “kita tidak makan sedekah” bukannya “anda tidak makan sedekah”.
Kalau memang Aisyah sebelumnya beranggapan daging pemberian Barirah itu adalah sedekah maka mengapa ia menerima bahkan memasaknya?. Apa daging sedekah itu mau ia sajikan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]?. Jelas tidak. Seandainya Aisyah merasa dirinya termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah maka ia pasti tidak akan menerima daging pemberian Barirah apalagi memasaknya. Mengapa? Karena ahlul bait diharamkan menerima sedekah.

Nashibi itu beranggapan Aisyah [radiallahu ‘anha] tahu bahwa dirinya ahlul bait diharamkan menerima sedekah tetapi tetap menerima sedekah yang ia diharamkan atasnya bahkan memasaknya. Bukankah ini suatu celaan yang nyata kepada Aisyah [radiallahu ‘anha]. Hal ini membuktikan kalau anggapan nashibi itu keliru. Aisyah merasa dirinya tidak diharamkan menerima sedekah maka tidak ada masalah baginya menerima pemberian Barirah [yang ia anggap sedekah]. Ia memasaknya untuk dirinya tetapi ia tidak menyajikan daging itu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena ia mengetahui bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah.

Pernyataan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] “baginya sedekah dan bagi kita hadiah” tidak menunjukkan bahwa Aisyah diharamkan menerima sedekah tetapi menunjukkan bahwa status makanan tersebut berubah. Ketika disedekahkan kepada Barirah maka daging itu adalah sedekah dan ketika Barirah menghadiahkan kepada Aisyah maka daging tersebut menjadi hadiah bukan lagi sedekah. Jadi daging tersebut ketika telah diberikan Barirah dan diterima Aisyah maka itu menjadi hadiah bagi Aisyah sehingga tidak masalah untuk diberikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Riwayat lain yang menunjukkan Aisyah dan juga istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang lain adalah termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah sebagai berikut :
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ بَعَثَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مِنْ الصَّدَقَةِ فَبَعَثْتُ إِلَى عَائِشَةَ مِنْهَا بِشَيْءٍ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى عَائِشَةَ قَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ قَالَتْ لَا إِلَّا أَنَّ نُسَيْبَةَ بَعَثَتْ إِلَيْنَا مِنْ الشَّاةِ الَّتِي بَعَثْتُمْ بِهَا إِلَيْهَا قَالَ إِنَّهَا قَدْ بَلَغَتْ مَحِلَّهَا
Muslim, 13.165/1789. Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim dari Khalid dari Hafshah dari Ummu ‘Athiyyah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengirimkan seekor kambing dari hasil sedekah kepadaku, lalu aku mengirim sebahagian darinya kepada ‘Aisyah. Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke rumah ‘Aisyah, beliau bertanya: Apakah kalian mempunyai sesuatu untuk dimakan? ‘Aisyah menjawab, Tidak ada, kecuali sedikit daging kambing yang telah engkau kirimkan kepadanya (Ummu ‘Athiyyah). Beliau berkata: Ia telah menjadi halal untuk dimakan.
Nashibi itu membawakan riwayat di atas sebagai bukti bahwa istri adalah ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Lagi lagi hadis ini adalah hujjah bagi kami bukan hujjah bagi dirinya. Dengan lucunya ia berkata:
Jawaban Aisyah dalam riwayat di atas ketika ditanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam apakah Aisyah mempunyai makanan menunjukkan bahwa Aisyah pada awalnya menganggap daging kiriman dari Ummu Athiyah tidak boleh dimakan sehingga beliau mengatakan “tidak ada”, tetapi kemudian Nabi membolehkannya karena itu bukan lagi barang sedekah.
Ummu Athiyah mendapatkan sedekah kemudian sebagiannya diberikan kepada Aisyah. Jika memang Aisyah pada awalnya menganggap daging itu sedekah sehingga tidak boleh dimakan. Maka mengapa ia menerima daging tersebut untuk dijadikan makanan. Aisyah menerima daging yang ia anggap sedekah karena ia tidak diharamkan menerima sedekah. Sikap Aisyah ini sangat berbeda dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah yang dikutip nashibi, ketika Khalid mengirimkan sapi sedekah kepada Aisyah, ia menolaknya dan berkata “kami keluarga Muhammad diharamkan menerima sedekah”.

Mengapa Aisyah tidak mengatakan hal yang sama kepada Ummu Athiyah bukankah Aisyah beranggapan daging tersebut adalah sedekah. Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bertanya kepada Aisyah “apakah ada makanan?” Aisyah menjawab“tidak ada”. Mengapa ia menjawab “tidak ada” padahal ada makanan yang ia terima dari Ummu Athiyah karena ia tahu bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan memakan sedekah dan ia beranggapan daging tersebut adalah sedekah. Baru setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyampaikan “sedekah itu telah sampai pada tempatnya” yaitu pada Ummu Athiyah maka pemberian Ummu Athiyah kepada Aisyah bukan lagi sedekah melainkan hadiah.

حدثنا أحمد بن زهير التستري ثنا عبيد الله بن سعد ثنا عمي ثنا أبي عن صالح بن كيسان عن ابن شهاب أن عبيد بن السباق أخبره أن جويرية بنت الحارث زوج النبي صلى الله عليه و سلم أخبرته أن مولاتها تصدق عليها بلحم فصنعته فلما رجع رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : هل عند كم من عشاء ؟ قلت : يا رسول الله قد تصد ق على فلانة بعضو من لحم وقد صنعته فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : قربوه فقد بلغت محلها فأكل منها

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Zuhair Al Tusturiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Sa’d yang berkata telah menceritakan kepada kami pamanku yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku dari Shalih bin Kiisaan dari Ibnu Syihaab bahwa Ubaid bin As Sabbaaq mengabarkan kepadanya bahwa Juwairiyah binti Al Haarits istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengabarkan kepadanya bahwa maulanya mendapatkan sedekah berupa daging maka ia memasak daging tersebut. Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang, Beliau berkata “apakah disisimu ada sesuatu [makanan]?”. Ia menjawab“wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sungguh telah disedekahkan kepada fulanah sebagian daging maka aku telah memasaknya”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “bawalah kemari sungguh sedekah itu telah sampai pada tempatnya” maka Beliau memakannya [Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 24/64 no 169].

Riwayat ini sanadnya shahih. Ahmad bin Zuhair adalah Ahmad bin Yahya bin Zuhair Al Tustury seorang Imam hujjah muhaddis alim hafizh [As Siyar Adz Dzahabiy 14/362 no 213]. Ubaidillah bin Sa’d bin Ibrahim adalah perawi Bukhari seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/632]. Pamannya adalah Yaq’ub bin Ibrahim bin Sa’d adalah perawi Bukhari Muslim yang tsiqat dan memiliki keutamaan [At Taqrib 2/337]. Ayahnya adalah Ibrahim bin Sa’d bin Ibrahim Az Zuhriy adalah perawi Bukhari Muslim yang tsiqat dan hujjah [At Taqrib 1/56]. Shalih bin Kiisaan adalah perawi Bukhari dan Muslim yang tsiqat tsabit faqih [At Taqrib 1/431]. Az Zuhriy adalah perawi Bukhari dan Muslim yang faqih hafizh disepakati kemuliaannya, pemimpin thabaqat keempat [At Taqrib 2/133]. Ubaid bin As Sabbaaq adalah perawi Bukhari dan Muslim yang tsiqat [At Taqrib 1/644].

Sisi pendalilannya adalah daging itu disedekahkan kepada maula Juawiriyah kemudian maula Juwairiyah memberikannya kepada Juwairiyah. Juwairiyah sebagai istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menerima dan memasak daging tersebut. Awalnya ia beranggapan daging tersebut masih berstatus daging sedekah sehingga ia tidak mau menyajikan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Disini terdapat hujjah bahwa Juwairiyah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun menurutnya daging itu adalah sedekah ia tetap menerimanya dan memasaknya. Untuk siapa ia memasaknya?. Jelas bukan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan memakan sedekah maka tidak lain ia memasaknya untuk dirinya sendiri. Kesimpulannya istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah.

Riwayat Barirah maula Aisyah yang mendapat sedekah dan riwayat maula Juwairiyah mendapatkan sedekah adalah dalil bahwa istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah yaitu dilihat dari dua sisi
  • Pertama, berdasarkan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwaahlul bait dan maula ahlul bait diharamkan menerima sedekah maka hal ini menunjukkan kalau istri Nabi tidak termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah karena maula mereka dibolehkan menerima sedekah
  • Kedua, dalam riwayat tersebut Aisyah dan Juwairiyah menerima daging yang anggapan mereka pada awalnya adalah sedekah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sebagai istri Nabi memang dibolehkan menerima sedekah tetapi tidak boleh menyajikannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Begitu pula riwayat Ummu Athiyah dan Nusaibah yang memberikan sedekah yang mereka terima kepada istri Nabi. Istri Nabi Aisyah awalnya mengira itu sedekah tetapi ia tetap menerimanya hanya saja ketika Nabi bertanya adakah makanan, ia menjawab tidak ada kecuali makanan dari sedekah tersebut. Ia menjawab “tidak ada” karena Nabi tidak boleh memakan sedekah. Tetapi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjelaskan kalau itu bukan lagi sedekah karena sedekah itu telah sampai pada tempatnya. Seandainya istri Nabi diharamkan menerima sedekah maka Aisyah pasti akan langsung menolak pemberian daging dari Ummu Athiyah yang ia anggap dari sedekah bukannya menerima dan memasaknya.

Apakah Istri Nabi [Shallallahu ‘alaihi wasallam] Diharamkan Menerima Sedekah?
Tidak diragukan bahwa Ahlul Bait diharamkan menerima sedekah sebagaimana dijelaskan dalam hadis hadis shahih. Perselisihan timbul ketika ditanyakan apakah istri Nabi termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah?. Tulisan ini mencoba untuk memberikan dalil-dalil atau hujjah bahwa istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah. Mereka adalah ahlul bait tetapi tidak diharamkan menerima sedekah sedangkan ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah adalah mereka ahlul bait yang memiliki ikatan nasab dengan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Ada yang berhujjah dengan riwayat perkataan Aisyah radiallahu ‘anha dimana Beliau pernah menolak sedekah dan menyatakan itu tidak halal bagi keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Berikut riwayatnya

حدثنا وكيع عن محمد بن شريك عن ابن أبي مليكة أن خالد بن سعيد بعث إلى عائشة ببقرة من الصدقة فردتها وقالت إنا آل محمد صلى الله عليه وسلم لا تحل لنا الصدقة

Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Muhammad bin Syariik dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Khalid bin Sa’id diutus kepada Aisyah untuk memberikan sapi dari sedekah kepada Aisyah tetapi ia menolaknya seraya berkata “sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidak dihalalkan bagi kami menerima sedekah” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 3/214 no 10802].

Riwayat ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat seolah tampak shahih tetapi jika diteliti dengan baik riwayat ini mengandung illat [cacat] yaitu inqitha’ [terputus sanadnya]. Riwayat diatas sanadnya berhenti pada Ibnu Abi Mulaikah dan ia meriwayatkan kisah dimana Khalid bin Sa’id memberikan sedekah kepada Aisyah radiallahu ‘anha.

Khalid bin Sa’id yang dimaksud adalah Khalid bin Sa’id bin ‘Ash salah seorang sahabat Nabi. Khalid bin Sa’id bin ‘Ash wafat atau syahid pada perang Ajnadain pada tahun 13 H [Al Ishabah Ibnu Hajar 2/238 no 2169]. Jadi peristiwa Khalid bin Sa’id mengirimkan sapi sedekah kepada Aisyah dan Aisyah menolaknya seraya berkata kepada Khalid bahwa keluarga Muhammad tidak dihalalkan menerima sedekah terjadi sebelum tahun 13 H.

Adz Dzahabiy dalam As Siyar ketika menyebutkan biografi Ibnu Abi Mulaikah menyatakan bahwa ia lahir pada masa khalifah Ali atau sebelumnya. Disebutkan Al Bukhari bahwa ia wafat tahun 117 H dan Adz Dzahabi menyatakan bahwa umurnya lebih kurang delapan puluh tahun [As Siyar Adz Dzahabiy 5/89-90 no 30]. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Abi Mulaikah belum lahir saat peristiwa Khalid bin Sa’id datang kepada Aisyah. Jadi riwayat tersebut inqitha’ [sanadnya terputus] sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

حدثنا ابن فضيل عن أبي حيان عن يزيد بن حيان قال انطلقت أنا وحصين بن عقبة إلى زيد بن أرقم فقال له يزيد وحصين من أهل بيته أليس نساؤه من أهل بيته قال لا ولكن أهل بيته من حرم الصدقة عليه فقال له حصين ومن هم قال هم آل عباس وآل علي وآل جعفر وآل عقيل فقال له حصين على هؤلاء تحرم الصدقة قال نعم

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudhail dari Abi Hayyaan dari Yazid bin Hayyaan yang berkata aku dan Hushain bin ‘Uqbah datang kepada Zaid bin Arqam maka Yazid dan Hushain berkata kepadanya “siapakah ahlul baitnya [Rasulullah]?Bukankah istri istrinya termasuk ahlul baitnya?”. Zaid berkata “tidak, ahlul baitnya adalah orang yang diharamkan sedekah atas mereka”. Hushain berkata kepadanya “siapakah mereka?”. Zaid berkata “mereka adalah keluarga ‘Abbas keluarga Ali, keluarga Ja’far dan keluarga Aqil”. Hushain berkata kepadanya “mereka semua diharamkan sedekah”. Zaid berkata “benar” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 3/214 10806].

Riwayat Zaid bin Arqam ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dan bersambung hingga Zaid bin Arqam, para perawinya adalah perawi tsiqat.
  • Muhammad bin Fudhail bin Ghazwaan adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/125]. Adz Dzahabiy menyatakan tsiqat [Al Kasyf no 5115]
  • Abu Hayyaan adalah Yahya bin Sa’id bin Hayyaan adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat ahli ibadah” [At Taqrib 2/303] dan Adz Dzahabiy berkata “Imam tsabit” [Al Kasyf no 6173]
  • Yazid bin Hayyaan At Tamimiy termasuk perawi Muslim yang tsiqat. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 2/323]. Adz Dzahabiy berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 6294]
Riwayat Zaid menyatakan dengan jelas bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukan termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah.

Terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak termasuk yang diharamkan menerima sedekah

عن بن أبى رافع عن أبيه ان النبي صلى الله عليه و سلم بعث رجلا من بني مخزوم على الصدقة فقال الا تصحبني تصيب قال قلت حتى أذكر ذلك لرسول الله صلى الله عليه و سلم فذكرت ذلك فقال أنا آل محمد لا تحل لنا الصدقة وان مولى القوم من أنفسهم

Dari Ibnu Abi Rafi’ dari ayahnya bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus seorang laki-laki dari bani Makhzum untuk mengambil sedekah. Maka ia berkata “temanilah aku dan engkau akan mendapat bagian”. Aku berkata “tunggu sampai aku menanyakan hal itu kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” dan aku menanyakannya maka Beliau berkata “kami keluarga Muhammad tidak dihalalkan bagi kami sedekah dan mawla suatu kaum termasuk kaum itu sendiri [Musnad Ahmad 6/390 no 27226 Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari Muslim”].

Kemudian diriwayatkan pula dari Ummu Kultsum binti Ali bahwa mawla Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang bernama Maimun atau Mihran mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah bersabda

فقال له يا ميمون أو يا مهران انا أهل بيت نهينا عن الصدقة وان موالينا من أنفسنا ولا نأكل الصدقة

Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata kepadanya “wahai Maimun atau wahai Mihraan kami ahlul bait dilarang bagi kami menerima sedekah dan mawla kami termasuk bagian dari kami dan tidak boleh memakan sedekah” [Musnad Ahmad 4/34 no 16446 Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya hasan”].

Dari kedua hadis ini disimpulkan bahwa mawla Ahlul Bait juga diharamkan menerima sedekah. Maka jika istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah maka mawla merekapun seharusnya diharamkan menerima sedekah. Faktanya tidak begitu, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membolehkan Barirah maula Aisyah radiallahu ‘anha untuk menerima sedekah

عن قتادة سمع أنس بن مالك قال أهدت بريرة إلى النبي صلى الله عليه و سلم لحما تصدق به عليها فقال هو لها صدقة ولنا هدية

Dari Qatadah yang mendengar Anas bin Malik berkata Barirah mengahadiahkan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] daging yang disedekahkan kepadanya maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “untuknya ini adalah sedekah dan bagi kami ini adalah hadiah” [Shahih Muslim 2/756 no 1074].

Sisi pendalilannya adalah disebutkan dalam dua hadis sebelumnya bahwa keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah termasuk juga maula ahlul bait atau maula keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Barirah maula Aisyah radiallahu ‘anha dibolehkan menerima sedekah maka hal itu menunjukkan bahwa Aisyah radiallahu ‘anha tidak termasuk dalam ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah.

Apakah Istri Nabi Diharamkan Menerima sedekah? : Anomali Bantahan Nashibi [2]
Yah beginilah jadinya diskusi dengan makhluk yang akalnya tertutup, sedikitpun ia tidak bisa mengambil pelajaran tetapi malah nafsu membantah. Seolah olah dengan membuat bantahan ia dapat menunjukkan kebenaran hujjahnya padahal malah justru lebih menguatkan kelemahan akalnya. Langsung saja [bantahannya adalah tulisan yang kami blockquote].

Riwayat Zaid bin Arqam
Sebagaimana sudah dijelaskan di artikel sebelumnya, jika perkataan Zaid tersebut difahami sebagaimana pemahaman si rafidhi nashibi tersebut, maka di atas adalah pendapat pribadi Zaid, bisa benar dan bisa juga tidak. Tentunya Aisyah yang lebih kuat dalam hal ini, karena dia sebagai istri Nabi yang menjadi obyek pembahasan saat ini.
Kami ajarkan caranya berhujjah wahai nashibi. Antara perkataan Zaid bin Arqam dan Aisyah manakah yang shahih?. Jawabannya perkataan Zaid bin Arqam. Kami setuju pendapat Zaid bisa benar bisa salah tetapi itu namanya menyebarkan syubhat bukan berhujjah. Kalau memang salah silakan tunjukkan dalil yang menunjukkan kesalahannya. Kalau tidak ada dalil shahihnya maka perkataan Zaid bin Arqam itu benar apalagi telah dikuatkan oleh dalil yang telah kami sebutkan.
Bagi kami dalam memahami riwayat Zaid di atas berbeda dengan si rafidhi nashibi tersebut, yang dimaksud Zaid dengan mengatakan : “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah sepeninggal beliau” adalah Istilah Ahlul Bait secara lebih luas di mana melingkupi keluarga Ali, Aqil, Ja’far dan Ibnu Abbas dan termasuk juga istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam itu sendiri.
Alangkah anehnya nashibi ini, yang dipermasalahkan disini bukan istilah Ahlul Bait tetapi pernyataan Zaid dimana ia membagi ahlul bait sebagai ada yang diharamkan sedekah atasnya dan ada yang tidak. Kami mengakui kalau Zaid menyatakan istri Nabi sebagai ahlul bait tetapi dalam pandangan Zaid, istri Nabi adalah Ahlul Bait yang tidak diharamkan sedekah atasnya sedangkan ahlul bait yang diharamkan sedekah atasnya adalah keluarga Ali, keluarga Ja’far, Keluarga Aqil dan Keluarga Abbas, semuanya dari bani hasyim.
Karena Zaid memahami apa yang ditanyakan oleh Hushain adalah makna ahlul bait secara khusus sesuai bahasa yaitu penghuni rumah Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam,
Ini cuma ucapan basa basi dan seperti biasa lahir dari orang yang kebanyakan ngeyel. Berhujjah itu tunduk pada hadis yang dijadikan hujjah bukannya hadis diturutkan dengan hawa nafsu. Hushain justru paham bahwa ahlul bait itu bermakna luas dan ia ingin tahu siapa ahlul bait yang dibicarakan Zaid. Lafaz “bukankah istri Nabi termasuk ahlul baitnya” adalah lafaz yang diucapkan oleh orang yang paham bahwa ahlul bait itu bermakna luas. Hushain ingin tahu siapa saja ahlul bait yang dibicarakan Zaid dan apakah istri Nabi termasuk di dalamnya. Jadi dari lafaz hadisnya jelas bertentangan dengan klaim basa basi nashibi yang ingkar sunnah itu
dan jelas penghuni rumah beliau adalah istri-istri beliau itulah yang dimaksud oleh Hushain, tetapi ahlul bait dalam pengertian tersebut bukan yang dimaksud oleh Zaid, yang dimaksud Zaid dalam riwayat di atas adalah ahlul bait dalam pengertian secara lebih luas yaitu mereka yang diharamkan menerima shadaqah. Sampai di sini kalau si rafidhi nashibi ini tidak memahami juga, kita hanya bisa bilang kebangetan nih orang…
Menjawab komentar basa basi bin ngeyel tidak bisa dengan basa basi juga. Mengapa? Karena yang namanya basa basi tidak akan ada habisnya. Apapun hujjah dan dalil yang anda bawakan, nashibi yang suka basa basi ini akan selalu bisa melontarkan jawaban ngeyel. Ia memang tidak sedang berhujjah dengan hadis tetapi berhujjah dengan ngeyelisme yang jadi penyakitnya. Sebaik baik jawaban adalah lafaz perkataan Zaid bin Arqam dalam hadisnya

قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ

Jika diterjemahkan artinya adalah Zaid berkata “istri istri Nabi adalah ahlul baitnya akan tetapi ahlul baitnya adalah yang diharamkan menerima sedekah setelahnya”.

Mengapa diantara frase “istri istri Nabi adalah ahlul baitnya” dan frase “ahlul baitnya adalah yang diharamkan menerima sedekah” terdapat kata “walakin” yang artinya “akan tetapi”. Jawabannya karena ahlul bait yang sedang dibicarakan Zaid bukanlah istri istri Nabi. Zaid ingin mengatakan kepada Hushain bahwa istri Nabi memang termasuk ahlul bait tetapi ahlul bait yang ia maksudkan dalam pembicaraannya adalah orang yang diharamkan menerima sedekah. Nah ini menunjukkan dalam pandangan Zaid, istri Nabi bukan ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Dalam riwayat lain yang juga shahih, ucapan Zaid adalah berikut

قال لا ولكن أهل بيته من حرم الصدقة عليه

Zaid berkata “tidak akan tetapi ahlul baitnya adalah yang diharamkan menerima sedekah atasnya”.

Nah maksud perkataan Zaid “tidak” disini adalah istri Nabi bukan ahlul bait yang ia maksudkan akan tetapi yang ia maksudkan adalah ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah atasnya. Jawaban Zaid jelas menunjukkan bahwa istri Nabi bukan termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Sekedar info saja penjelasan kami ini sama halnya dengan apa yang dijelaskan oleh An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim ketika menjelaskan  hadis ini. Justru nashibi itu yang tidak mengerti bahasa arab dan berkeras dengan kengeyelannya. Alangkah kasihannya orang itu.
Sedangkan riwayat Muslim no. 2408, kami mengira kekeliruan pada hafalan si perawi walaupun sanad hadits tersebut shahih, karena jelas bertentangan dengan riwayat Zaid di atas.
Silakan lihat wahai pembaca yang terhormat, jika hadis tersebut tidak sesuai dengan hawa nafsunya ia akan gampang melemahkannya. Di lain waktu ia akan membangga banggakan kitab hadis shahih Bukhari dan Muslim serta melecehkan kitab yang asing ditelinganya. Kedua lafaz tersebut shahih bahkan lafaz riwayat Muslim ini telah dikuatkan oleh lafaz riwayat Ibnu Abi Syaibah. Dinilai dari kuatnya, lafaz ini jelas lebih kuat sanadnya dibanding lafaz riwayat Muslim sebelumnya.
Jawaban Zaid bin Arqam ada dua versi riwayat dan keduanya shahih  tidak bertentangan sedangkan ucapan nashibi bahwa salah satu versi lemah karena hafalan perawinya adalah ucapan dusta yang tidak ada dasarnya. Kami telah buktikan shahihnya riwayat Ibnu Abi Syaibah ditambah lagi juga dikuatkan oleh riwayat Muslim yang kami kutip. Ucapan basa basi tidak ada gunanya wahai nashibi
Pertanyaan saya sekali lagi, apakah yang dimaksud keluarga Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas itu tidak termasuk istri-istri mereka jika istri-istri mereka bukan dari kalangan Bani Hasyim?
Tentu saja yang dimaksud diharamkan sedekah itu adalah bani Hasyim. Jadi keluarga Ali, Ja’far, Aqil dan Abbas yang dimaksud adalah bani hasyim. Kalau memang ada istri mereka bukan dari kalangan bani hasyim maka kami belum menemukan dalil bahwa istrinya diharamkan menerima sedekah. Silakan wahai nashibi kalau anda menemukan dalil bahwa istri mereka bukan dari bani hasyim juga dilarang menerima sedekah. Maka bagaimana pula status dengan anak dari istri tersebut juga orang tuanya dan kerabatnya yang bukan bani hasyim?. Apakah diharamkan menerima sedekah juga?. Sudah kami katakan sebelumnya perkara siapa yang diharamkan menerima sedekah bukan perkara yang bisa dipikirkan dengan logika. Dasar nashibi, sok berlogika seolah mereka punya saja
.
.
Riwayat Mawla Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Rasulullah bersabda dalam riwayat di atas terhadap mawla beliau sendiri, dan beliau adalah juga ahlul bait bahkan beliau adalah sayyidul bait, maka yang dipahami di sini adalah mawla (budak yang dibebaskan) beliau adalah juga mawla ahlul bait beliau, karena beliau adalah sayyidul bait, tetapi  sebaliknya, mawla (budak yang dibebaskan) anggota ahlul bait beliau tidak dikategorikan mawla beliau yang diharamkan sedekah. Sampai di sini kalau si rafidhi nashibi ini tidak juga memahami, maka kami hanya mengelus dada dan merasa kasihan kepadanya.
Wahai nashibi berhentilah dari ucapan dusta. Sikap anda hanya menunjukkan kalau anda semakin ingkar terhadap sunnah. Siapapun yang bisa sedikit bahasa arab akan paham maksud ucapan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut bahwa maula ahlul bait atau maula keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan atas mereka sedekah. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri yang menyatakan demikian.

انا أهل بيت نهينا عن الصدقة وان موالينا من أنفسنا ولا نأكل الصدقة

Kami ahlul bait dilarang bagi kami menerima sedekah dan maula kami adalah bagian dari kami dan tidak boleh menerima sedekah

أنا آل محمد لا تحل لنا الصدقة وان مولى القوم من أنفسهم

Kami keluarga Muhammad tidak halal bagi kami menerima sedekah dan maula suatu kaum termasuk kedalam kaum tersebut.

Lafaz “kami ahlul bait” serupa dengan lafaz “kami keluarga Muhammad” yaitu diharamkan menerima sedekah. Dan lafaz “maula kami adalah bagian dari kami” sama halnya dengan lafaz “maula suatu kaum bagian dari kaum tersebut”. Jadi siapakah maula yang diharamkan menerima sedekah?. Apakah khusus maula Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja?. Jelas tidak, orang yang menyatakan demikian berarti ia sudah mendustakan hadis yang begitu jelasnya dan terang benderang. Maula yang dimaksud disitu adalah maula ahlul bait atau maula keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] termasuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Apakah lafaz “kaum” yang dimaksud itu hanya merujuk pada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja?. Cuma orang yang lemah akalnya yang bilang begitu. Dan jika orang tersebut sok merasa kasihan atas orang lain maka keadaannya jauh lebih menyedihkan.

Dan yah kalau nashibi itu bisa membaca [itu pun kalau bisa] sebagian ulama menyatakan bahwa maula bani hasyim diharamkan menerima sedekah. Apa dalilnya? Yaitu hadis yang telah kami kutip. Jadi sangat berbeda dengan ucapan dusta nashibi tersebut.
Jadi hadits di atas tidak bisa dijadikan sebagai hujjah bahwa istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tidak diharamkan menerima sedekah, sampai detik ini kami tidak melihat ada suatu hadits yang tegas mengatakan hal tersebut, jadi pendalilan si rafidhi nashibi ini sangat lemah.
Jangan sok bicara hadis tegas. Sejelas apapun dalilnya akan anda pelintar pelintir sesuka hati. Ini sudah bukan masalah dalil tetapi sudah masalah nafsu anda saja yang maunya terus membantah walaupun dengan cara memalukan. Kami sarankan silakan anda belajar bahasa arab sedikit agar anda paham hadis yang kami kutip. Malas sekali menghadapi orang yang bisanya hanya kopipaste hadis dari lidwa.
Sekali lagi si rafidhi nashibi ini tidak bisa menjawab, bagaimana mungkin maula (hamba sahaya yang dimerdekakan) beliau, diharamkan menerima sedekah yang merupakan salah satu kekhususan beliau, sedangkan Aisyah sebagai istri/ahlul bait beliau di dunia dan di akhirat tidak diharamkan menerima sedekah? Suatu logika yang sangat anomaly dan lemah. Ini bukan perkara bahwa ini adalah ketentuan Nabi atau apa, tetapi pendalilan si rafidhi nashibi ini yang keliru, pepesan kosong seperti biasa.
Lha kalau memang pakai logika, ya silakan pakai maka bagaimana dengan sahabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang katanya sahabat di dunia dan akhirat seperti Abu Bakar dan Umar. Apakah masuk di logika anda kalau mereka juga diharamkan menerima sedekah?. Dan mereka tidak hanya sahabat tetapi juga mertua Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Andalah yang pakai logika dalam masalah ini maka itu adalah masalah bagi anda sendiri. Sedangkan kami berhujjah dengan dalil shahih bukan logika ngawur. So mengapa kami harus menjawab pertanyaan ngawur anda.
Mungkin hatinya yang buta dipenuhi rasa hasud terhadap istri Nabi sehingga dia tidak melihat hadits-hadits shahih mengenai hal ini, dasar Nashibi!
Silakan tunjukkan dalil jelas dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa istri Nabi diharamkan menerima sedekah?. Jangan cuma klaim tanpa bukti. Jika memang sedemikian masyhurnya bahwa istri Nabi diharamkan menerima sedekah maka mengapa sahabat Zaid bin Arqam radiallahu ‘anhu tidak mengetahuinya.
.
.
Riwayat Aisyah “Kisah Barirah”
Si Rafidhi Nashibi ini apakah lupa bahwa Barirah adalah mawla Aisyah dan sering membantu Aisyah, setelah dimerdekakan, Barirah diberi pilihan untuk tetap bersama suaminya atau berpisah dan dia memilih berpisah dengan suaminya dan ikut bersama Aisyah, apakah periuk di atas api bisa disimpulkan bahwa yang memasak adalah Aisyah?
Lho kalau begitu siapa yang memasaknya?. Sangat jelas dari hadis Shahih Bukhari tersebut bahwa ketika Beliau masuk ke rumah Aisyah, periuk itu sedang di atas api. Artinya “daging itu sedang dimasak”. Siapa yang memasaknya? Barirah? Mana buktinya, itu namanya berandai andai. Hadisnya tidak menyebutkan demikian. Bahkan dari hadis Shahih Bukhari tersebut jelas Barirah tidak berada disana karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “baginya sedekah” kalau memang ketika itu Barirah ada disana maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan berkata “bagimu adalah sedekah”.
Dan apakah kemudian disimpulkan bahwa Aisyah akan memakannya?. Beliau lalu diberikan roti dan makanan yang biasa ada di rumah, artinya daging tersebut tidak biasa di rumah Aisyah dan itu adalah milik Barirah. Jadi tidak ada penunjukkan dalam hadits di atas bahwa Aisyah tidak diharamkan menerima sedekah.
Wahai nashibi pakai logikanya, jangan sok berkata logika ternyata cuma komentar ngawur. Daging tersebut memang tidak biasa di rumah Aisyah karena itu berasal dari pemberian Barirah yang mendapat sedekah. Apa memangnya Barirah itu setiap hari mendapat sedekah dan setiap hari pula ia memberikan sedekah yang ia terima kepada Aisyah?. Perkataan nashibi “itu adalah milik Barirah” adalah perkataan dusta.

Mengapa? Karena sangat jelas bahwa itu adalah milik Aisyah setelah Barirah memberikan padanya. Bagaimana mungkin Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memakan makanan milik Barirah tanpa meminta izin dulu dari Barirah. Barirah memberikan daging kepada Aisyah dan Aisyah yang memasaknya, ini sangat jelas karena Barirah tidak ada disana dan daging itu masih dimasak ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk.
Si rafidhi nashibi ini mempermasalahkan mengapa Aisyah berkata “Anda tidak makan sedekah” kok tidak mengatakan “kita tidak makan sedekah” kita bisa dengan mudah menjawab pertanyaan konyolnya itu dengan bertanya konyol ke dia mengapa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mengatakan “baginya adalah sedekah sedangkan bagi kita adalah hadiah” kok tidak mengatakan“bagi kalian adalah sedekah sedangkan bagiku adalah hadiah”
Nah komentar ini menunjukkan kalau nashibi itu tidak mengerti pembahasan kami sebelumnya. Jawabannya sudah kami tulis di pembahasan sebelumnya. Lafaz “bagi kita hadiah” menunjukkan bahwa
  • Daging itu adalah hadiah bagi Aisyah.
  • Daging itu adalah hadiah bagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Bukankah Barirah memberikan daging itu kepada Aisyah maka daging itu adalah hadiah bagi Aisyah. Yang mendapat sedekah adalah Barirah sedangkan Aisyah mendapat hadiah dari Barirah makanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengatakan “bagi kalian adalah sedekah”. Aisyah radiallahu ‘anha awalnya beranggapan daging itu masih berstatus sedekah setelah Barirah memberikannya tetapi kenapa ia tidak menolaknya. Mengapa daging itu harus berada di rumahnya jika ia beranggapan dirinya dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah?. Seperti yang kami katakan jika Aisyah merasa dirinya diharamkan menerima sedekah maka ia tidak akan menerimanya tetapi menolak pemberian Barirah.
Satu hal lagi, bahwa Barirah menghadiahkan daging tersebut sebenarnya bukan hanya untuk Aisyah tetapi juga untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, sebagaimana riwayat berikut
Aneh itu pun juga sudah kami nyatakan sebelumnya. Apa yang anda inginkan dengan fakta itu?. Wahai nashibi andalah yang tidak mengerti maksud lafaz “bagi kita hadiah” menunjukkan bahwa hukum makanan itu berubah. Makanan yang disedekahkan kepada seseorang telah menjadi milik orang tersebut. Jika orang tersebut memberikannya kepada orang lain maka status makanan itu bukan lagi sedekah melainkan hadiah. Dengan lafaz “bagi kita hadiah” menunjukkan bahwa makanan itu hadiah bagi Aisyah dan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Apa ada dalam lafaz ini menunjukkan bahwa Aisyah diharamkan menerima sedekah?. Apakah jika Aisyah dibolehkan menerima sedekah maka setiap hadiah yang diberikan kepadanya harus dianggap sedekah?. Apakah jika Aisyah dibolehkan menerima sedekah maka ia tidak bisa menerima hadiah?.

Aisyah sendiri yang menunjukkan bahwa dirinya bisa menerima sedekah dan hadiah karena awalnya ia beranggapan daging Barirah adalah sedekah, ia terima dan ia masak. Kemudian setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjelaskan bahwa daging sedekah jika sudah diberikan oleh orang yang menerima sedekah statusnya adalah hadiah maka Aisyah baru paham kalau yang ia terima adalah hadiah dan tidak mengapa disajikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Maka jelas kalimat “kita” pada hadits-hadits tersebut adalah untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Lha iya, kapan pula kami membantah soal itu?. Nashibi ini memang sulit memahami hujjah orang lain. Jelas hadiah itu diperuntukkan bagi Aisyah dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka lafaznya adalah “bagi kita adalah hadiah” tetapi yang tidak boleh menerima sedekah itu hanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedangkan Aisyah [radiallahu ‘anha] boleh menerima sedekah.
Perkataan tersebut jelas menunjukkan bahwa bagi Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan Aisyah daging itu adalah Hadiah, artinya bukan sedekah dan artinya pula bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan Aisyah tidak menerima sedekah tetapi hanya menerima Hadiah alias mereka diharamkan menerima sedekah. hal yang mudah dipahami tetapi bagi orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit menjadi sulit dan berbelit-belit.
Sekarang kami tanya wahai nashibi, kapan Aisyah menyadari bahwa daging tersebut hadiah? itu setelah Rasululullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakannya. Kapan ia menerima daging tersebut, meletakkan di rumahnya bahkan dimasak di rumahnya? Itu sebelum Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan kepadanya bahwa itu hadiah. Anehnya bagian mana dari lafaz “bagi kita hadiah” yang menunjukkan bahwa Aisyah diharamkan menerima sedekah. Jangan mengkhayal wahai nashibi. Kalau memang Aisyah beranggapan dari awal bahwa yang ia terima adalah hadiah maka mengapa ia tidak mau menyajikannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan mengapa ia berkata “anda tidak makan sedekah”. Jelas Aisyah awalnya beranggapan yang ia terima adalah sedekah baru setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjelaskan maka ia paham bahwa apa yang ia anggap sedekah sebenarnya adalah hadiah.

Ada analogi sederhana, misalnya anda dan istri anda tinggal satu rumah. Anda diwasiatkan oleh ayah anda tidak boleh menerima sedekah orang lain tetapi boleh menerima hadiah. Istri anda tidak ada masalah [ia tidak punya ayah yang aneh]. Suatu ketika saya memberikan daging yang disedekahkan kepada saya pada istri anda. Istri anda menerimanya tahu kalau anda tidak boleh menerima sedekah tetapi istri anda menyukai daging tersebut jadi ia menyimpannya untuk dirinya sendiri. Ketika anda datang, anda melihat ada daging yang dimasak tetapi tidak disajikan kepada anda. Anda bertanya soal daging itu, istri anda menjelaskan bahwa saya menerima sedekah kemudian memberikannya maka istri anda tidak menyajikan karena anda dilarang makan sedekah. Tiba tiba saya menelepon saya katakan bahwa daging itu adalah hadiah. Maka anda berkata “bawakan daging itu, itu adalah hadiah bagi kita”. Nah apakah adanya lafaz “hadiah bagi kita” menunjukkan bahwa anda dan istri anda dilarang memakan sedekah. Jelas tidak ada indikasinya, andalah yang dilarang oleh ayah anda yang aneh sedangkan istri anda tidak. Tetapi lafaz yang anda gunakan tetap “bagi kita adalah hadiah”  karena saya memang memberikan untuk anda dan istri anda
Nashibi itu berhujjah dengan hadis berikut yang mengandung lafaz “bagi kalian hadiah”. Kami tidak membahasnya sebelumnya karena itu sudah tercakup dalam pembahasan hadis Shahih Bukhari yang kami kutip. Ini lafaznya:

كَانَ النَّاسُ يَتَصَدَّقُونَ عَلَيْهَا وَتُهْدِي لَنَا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هُوَ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ وَلَكُمْ هَدِيَّةٌ فَكُلُوهُ

Orang orang bersedekah kepadanya kemudian ia memberikan kepada kami maka aku menyebutkan hal itu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan berkata “baginya adalah sedekah dan bagi kalian adalah hadiah, makanlah”.

Kami tanya pada anda wahai nashibi? Mana lafaz yang menyatakan bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah. Lafaz “bagi kalian hadiah” seperti yang kami jelaskan adalah penunjukkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa siapapun yang menerima pemberian Barirah itu maka ia telah menerima hadiah dari Barirah. Pernyataan Aisyah radiallahu ‘anha “memberikan kepada kami” menunjukkan bahwa bukan cuma Aisyah [radiallahu ‘anha] yang diberikan oleh Barirah tetapi juga sahabat lain. Nah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “bagi kalian adalah hadiah”. Siapa kalian disini? Ya siapapun yang menerima pemberian Barirah termasuk Aisyah radiallahu ‘anha.

Mungkin yang menjadi hujjah nashibi adalah lafaz “makanlah”. Menurut nashibi seolah olah dengan lafaz itu Aisyah merasa haram untuk memakannya sebelumnya dan setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan itu hadiah dan berkata “makanlah” itu menjadi halal baginya. Tentu saja hujjah ini tertolak, karena dari awal seperti yang kami tunjukkan dalam hadis Bukhari dalam kisah yang sama Aisyah telah menerima sedekah tersebut, memasaknya tetapi tidak menyajikan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena ia tahu bahwa Beliau tidak makan sedekah.

Lafaz “anda tidak makan sedekah” justru mengandung hujjah bahwa Aisyah tidak termasuk diharamkan menerima sedekah. Bukankah Aisyah telah mengetahui hadis bahwa keluarga Muhammad diharamkan menerima sedekah, nah jika ia telah tahu dan merasa dirinya termasuk diharamkan menerima sedekah maka ia akan menolak setiap pemberian yang ia anggap sedekah bukannya menerima pemberian tersebut. Begitu pula jika ia tahu bahwa keluarga Muhammad haram menerima sedekah maka lafaz yang akan ia ucapkan adalah “kita tidak makan sedekah” bukannya “anda tidak makan sedekah” karena daging itu memang dihadiahkan Barirah kepada Aisyah dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Perhatikan hadis berikut

حَدَّثَنَا أبو يُوسُف ، حَدَّثَنَا مكي بن إبراهيم قال بهز ذكره عن أبيه عَن جَدِّهِ قَال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أتى بطعام سأل عنه أهدية أم صدقة ؟ فإن قالوا هدية بسط يده ، وإن قالوا صدقة قال لأصحابه : كلوا

Telah menceritakan kepada kami Abu Yusuf yang berkata telah menceritakan kepada kami Makkiy bin Ibrahim yang berkata Bahz menyebutkannya dari ayahnya dari kakeknya yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] jika datang makanan, ia akan bertanya tentangnya apakah itu hadiah atau sedekah?. Jika mereka berkata “hadiah” beliau mengambilnya dan jika mereka berkata “sedekah” maka beliau berkata kepada sahabatnya “makanlah” [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawiy 1/305 dengan sanad shahih].

Silakan perhatikan lafaz perkataan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada sahabatnya “makanlah” yang Beliau ucapkan ketika dikatakan kalau makanan itu sedekah. Apakah dari lafaz tersebut bisa ditarik kesimpulan jika makanan itu hadiah [bukan sedekah] maka sahabat Nabi diharamkan untuk memakannya. Baik itu sedekah atau hadiah, para sahabat dihalalkan memakannya. Nah begitu pula dengan lafaz “makanlah” yang diucapkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Aisyah setelah Beliau menyatakan daging itu adalah hadiah bagi Aisyah. Apakah jika daging itu sedekah maka Aisyah diharamkan memakannya?. Tidak, baik sedekah atau hadiah Aisyah dihalalkan memakannya. Jadi maaf saja wahai nashibi tidak ada dalam hadis yang anda jadikan hujjah, lafaz yang menunjukkan Aisyah diharamkan menerima sedekah.

Sekedar tambahan bagi para pembaca bahwa Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim berkenaan hadis Barirah ini memahami hadis tersebut sama seperti yang kami pahami. Beliau berkata dalam penjelasannya terhadap hadis Barirah:

أن الصدقة لا تحرم على قريش غير بني هاشم وبني المطلب لأن عائشة قرشية وقبلت ذلك اللحم من بريرة على أن له حكم الصدقة وأنها حلال لها دون النبي صلى الله عليه وسلم ولم ينكر عليها النبي صلى الله عليه وسلم هذا الاعتقاد

Bahwa sedekah tidak diharamkan bagi kaum Quraisy kecuali bani Hasyim dan bani ‘Abdul Muthalib, Aisyah wanita quraisy dan ia menerima daging itu dari Barirah maka disini terdapat hukum bahwa sedekah halal baginya tetapi tidak bagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengingkari keyakinan Aisyah tersebut [Syarh Shahih Muslim An Nawawi 5/274].
Dengan jelas sekali dalam riwayat di atas ketika beliau diberi daging sedekah oleh Barirah, Aisyah tidak langsung memakan-nya tetapi melaporkan-nya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam dan beliau bersabda dengan teramat jelas : Untuk Barirah hal itu adalah sedekah, sedangkan bagi kalian adalah hadiah. Karena itu, makanlah.
Nashibi ini memaksakan asumsinya sendiri dalam memahami hadis. Satu hal yang perlu diingat, hadis Barirah itu tidak hanya seperti yang dijadikan hujjah oleh nashibi tersebut [yang sebenarnya adalah bentuk ringkasan dari kisah yang lebih panjang]. Kisahnya telah kami sebutkan dalam riwayat Shahih Bukhari yang kami kutip bahwa Aisyah telah menerima daging pemberian Barirah dan memasak daging tersebut. Jadi Aisyah telah menerima pemberian daging dari Barirah yang ia anggap sedekah. Inilah letak hujjah bahwa Aisyah tidak merasa dirinya diharamkan menerima sedekah.

Satu-satunya sikap yang benar jika Aisyah merasa dirinya diharamkan menerima sedekah adalah ia akan menolak pemberian Barirah dan berkata “kami keluarga Muhammad tidak dihalalkan bagi kami menerima sedekah”. Coba pikir baik baik wahai pembaca jika anda merasa anda diharamkan menerima sesuatu maka apakah anda menerimanya?. Jika anda diberikan daging babi oleh tetangga anda, apa anda akan menerimanya padahal anda tahu bahwa itu haram untuk dimakan?. Seorang muslim awam saja tahu bahwa sikap yang benar adalah menolak pemberian tersebut bukannya menerimanya apalagi seorang istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Ini analogi yang pas untuk menunjukkan bahwa lafaz tersebut tidak bermakna pengharaman. Misalnya nih nashibi itu punya seorang istri. Istrinya mendapat daging dari tetangganya yang miskin. Tetangganya itu mendapatkannya dari sedekah orang lain. Maka istrinya memberitahukan hal tersebut kepada nashibi itu. Nah nashibi itu berkata “itu adalah sedekah untuknya sedangkan untukmu adalah hadiah, makanlah”. Apa dari lafaz itu bermakna kalau istrinya diharamkan memakan sedekah?. Tentu saja walaupun tidak dikatakan “makanlah” istrinya tetap akan makan daging tersebut. Apa karena nashibi itu berkata “makanlah” menunjukkan bahwa istrinya sebelumnya merasa daging itu haram untuknya?. Kalau memang merasa daging itu haram ya dari awal seharusnya istrinya menolak saja pemberian tetangganya.

Riwayat Ummu Athiyah
Riwayat di atas diriwayatkan oleh Ummu Athiyah, artinya saat Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda kepada Aisyah dalam hadits di atas, Ummu Athiyah hadir di situ sehingga dia bisa meriwayatkannya. Artinya juga bahwa Aisyah baru saja menerima pemberian daging tersebut dari Ummu Athiyah dan belum memutuskan apa-apa, tak lama kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam datang sementara Ummu Athiyah masih ada di situ.
Ini ucapan orang yang berandai andai. Apa buktinya Ummu Athiyah ada disitu?. Ummu Athiyah tidak hadir disitu dan walaupun ia tidak hadir tidak ada alasan untuk menolak riwayatnya. Apa karena ia tidak hadir disitu maka ia tidak bisa meriwayatkannya. Tidak setiap peristiwa yang diriwayatkan oleh sahabat ia saksikan langsung. Dari lafaz hadisnya tidak ada satupun keterangan kalau Ummu Athiyah berada disana bahkan dalam lafaz hadis tersebut terdapat isyarat bahwa ia tidak ada disana. Perhatikan saja lafaz:

أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ بَعَثَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مِنْ الصَّدَقَةِ

Ummu Athiyah berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengirimkan kepadaku kambing dari hasil sedekah.

Apa bedanya memberikan dengan mengirimkan?. Jika anda mengirimkan sesuatu apa anda akan membawanya langsung kepada orang tersebut. Apakah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan memberikan kepada setiap orang yang menerima sedekah dengan membawanya satu persatu. Lafaz “mengirimkan” cukup menunjukkan bahwa sedekah tersebut diantarkan kepada orang yang akan menerimanya tidak mesti langsung oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dalam hadis Ummu Athiyah yang lain yaitu Shahih Bukhari malah diucapkan dengan lafaz:

فَأَرْسَلَتْ إِلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا مِنْهَا

Lafaz ini menunjukkan bahwa Ummu Athiyah mengantarkan sebagian dari sedekah itu kepada Aisyah melalui perantara orang lain dan itulah yang dimaksud mengirimkannya. Jadi komentar basa basi nashibi itu sungguh tidak bernilai.

Sekedar info bagi para pembaca, apa yang kami pahami dari hadis Ummu Athiyah ini sebenarnya juga dikutip Ibnu Hajar ketika ia menjelaskan hadis Ummu Athiyah dalam Fath Al Bari Syarh Shahih Bukhari

وفيه إشارة إلى أن أزواج النبي صلى الله عليه وسلم لا تحرم عليهن الصدقة كما حرمت عليه ، لأن عائشة قبلت هدية بريرة وأم عطية مع علمها بأنها كانت صدقة عليهما

Dan didalamnya terdapat isyarat bahwa Istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak diharamkan bagi mereka menerima sedekah sebagaimana diharamkan atasnya [Rasulullah], Aisyah menerima hadiah Barirah dan Ummu Athiyah dan saat itu ia mengetahui bahwa itu adalah sedekah untuk mereka berdua [Fath Al Bari Syarh Shahih Bukhari 8/61].

Nashibi yang ingkar sunnah itu kemudian berhujjah dengan hadis Nabi tidak mewariskan [kami pribadi telah menunjukkan bahwa hadis ini keliru dan Sayyidah Fathimah telah menolaknya] . Nashibi itu berkata

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَرَدْنَ أَنْ يَبْعَثْنَ عُثْمَانَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ يَسْأَلْنَهُ مِيرَاثَهُنَّ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ»

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah radliallahu ‘anha, bahwasanya isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berpulang keharibaan Ilahi, mereka ingin mengutus Utsman untuk menemui Abu Bakar meminta warisan mereka, maka Aisyah mengatakan: Bukankah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Kami tidak mewarisi, Apa-apa yang kami tinggalkan adalah sedekah?” (Shahih Bukhari, no: 6730)
Dan ternyata istri-istri Nabi sepeninggal beliau tidak boleh mengambil peninggalan Nabi yang berupa sedekah tersebut, artinya apa? Sedekah diharamkan diterima oleh istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam. Nah kurang jelas apa lagi…
Hujjah nashibi yang ini lucu sekali, caranya berhujjah menunjukkan bahwa ia tidak memahami hadis yang ia jadikan hujjah. Ia tidak meneliti kesuluruhan lafaz hadis-hadis tentang masalah ini. Pembahasan hadis ini adalah masalah lain yang ada tulisannya tersendiri. Tetapi kebetulan karena nashibi ini berhujjah dengan hadis tersebut maka silakan ia membaca hadis berikut dari Abu Bakar

فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ فِي هَذَا الْمَالِ وَاللَّهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي

Abu Bakar berkata aku mendengar Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “aku tidak mewariskan, apa yang aku tinggalkan adalah sedekah, sesungguhnya keluarga Muhammad makan dari harta ini, demi Allah kerabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] lebih aku cintai untuk menjalin hubungannya dibanding kerabatku [Shahih Bukhari 5/90 no 4035].

Nah berdasarkan hadis tersebut maka keluarga Muhammad dapat makan dari harta peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang menjadi sedekah. Menurut Abu Bakar keluarga Muhammad tidak dapat mewarisinya tetapi dapat makan dari harta tersebut. Nah loooo...
Dan apakah nashibi itu tidak memperhatikan bahwa istri istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak sedang meminta sedekah tetapi meminta warisan. Lihat saja hadinya yang berbunyi:

أَرَدْنَ أَنْ يَبْعَثْنَ عُثْمَانَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ يَسْأَلْنَهُ مِيرَاثَهُنَّ

Mereka mengutus Utsman kepada Abu Bakar untuk meminta warisan mereka.

Istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak sedang meminta sedekah, mereka meminta warisan. Jadi apanya yang maksud nashibi itu jelas. Nashibi itu sepertinya tidak bisa membedakan antara warisan dan sedekah. Dan btw wahai nashibi, istri Nabi itu termasuk keluarga Muhammad yang boleh makan dari harta tersebut tidak?. Selamat bersakit hati.

Riwayat Juwairiyah
Kemudian si Rafidhi Nashibi tersebut mencoba mengkais-kais riwayat-riwayat yang sekiranya bisa menguatkan argumentasi dia seperti berikut ini, tetapi sayang, riwayat ini sama sekali tidak menguatkan hujjahnya.
Ooh kita lihat saja, silakan para pembaca lihat siapa yang sebenarnya berpegang pada sunnah dan siapa yang sebenarnya ingkar kepada sunnah
Justru dalam riwayat di atas Juwairiyah terlihat telah mengetahui hukumnya bahwa sedekah buat maula-nya jika diberikan kepadanya boleh diterima dan diberikan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam sebagai hadiah buat mereka. Hal ini tampak ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bertanya tentang makanan, Juwairiyah langsung menawarkan-nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tanpa bertanya lagi apakah itu boleh atau tidak, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam membenarkan dan menegaskan bahwa sedekah itu telah sampai pada tempatnya.
Wah wah kami sampai tertawa membaca komentar ini. Tidak ada dalam lafaz riwayat Thabrani yang menunjukkan bahwa Juwairiyah menawarkan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Inilah lafaz jawaban Juwairiyah dalam riwayat Thabraniy

 يا رسول الله قد تصد ق على فلانة بعضو من لحم وقد صنعته

wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sungguh telah disedekahkan kepada fulanah sebagian daging dan aku telah memasaknya.

Dengan lafaz ini Juwairiyah ingin mengatakan bahwa makanan yang ada padanya adalah hasil sedekah dan ia tahu bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak makan sedekah. Lafaz ini mengisyaratkan Juwairiyah tidak mau menyajikan kepada Nabi makanya Nabi menjawab “bawalah kemari sungguh sedekah itu telah sampai pada tempatnya”. Jawaban ini diucapkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] untuk mengoreksi anggapan Juwairiyah karena Juwairiyah beranggapan status makanan tersebut masih sedekah.
Kesalahan fatal nashibi itu adalah ia tidak mengumpulkan semua riwayat kisah Juawiriyah tersebut. Peristiwa Juwairiyah ini sama halnya dengan peristiwa Aisyah [radiallahu ‘anha]. Kami mengutip riwayat Thabraniy karena lafaznya lebih kuat sebagai hujjah yaitu Juwairiyah memasak makanan tersebut, nah hadis tersebut ternyata diriwayatkan juga dalam Shahih Muslim yaitu sebagai berikut

أن عبيد بن السباق قال إن جويرية زوج النبي صلى الله عليه و سلم أخبرته أن رسول الله صلى الله عليه و سلم دخل عليها فقال هل من طعام ؟ قالت لا والله يا رسول الله ما عندنا طعام إلا عظم من شاة أعطيته مولاتي من الصدقة فقال قريبة فقد بلغت محلها

Bahwa Ubaid bin As Sabbaaq berkata bahwa Juwairiyah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk menemuinya dan berkata “apakah ada makanan?”. Ia berkata “tidak ada, demi Allah wahai Rasulullah, tidak ada disisi kami makanan kecuali kambing yang disedekahkan kepada maulaku. Beliau berkata “bawalah kemari, sedekah itu telah sampai pada tempatnya [Shahih Muslim 2/756 no 1073].

Riwayat ini sama saja dengan riwayat Thabraniy dan kisah yang diceritakan pun sama. Jadi Juwairiyah menerima pemberian maulanya yang ia anggap sedekah dan ia tidak mau menyajikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena Nabi diharamkan sedekah atasnya. Nah mengapa Juawiriyah memasaknya? Ya untuk dirinya tentu.
Si rafidhi nashibi ini sok tau kalau Juwairiyah memasak makanan tersebut bukan untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, darimana si rafidhi nashibi ini bisa tau? Dari wangsit?  Bukankah istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mengetahui saat giliran Nabi mendatangi  mereka?.
Ho ho jelas dalam hadisnya Juwairiyah berkata “tidak ada” ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menanyakan soal makanan. Nah itu berarti Juwairiyah memasaknya bukan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi untuk dirinya sendiri. Alangkah malunya nashibi ini dan jika ia tidak tahu malu maka hal itu malah lebih memalukan lagi. Saran kami, belajarlah dulu sebelum membantah, teliti baik baik hadisnya biar anda tidak malu berkomentar sembarangan apalagi dengan gaya angkuh begitu.

Kesimpulan:
  1. Istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak diharamkan sedekah atas mereka karena maula mereka dibolehkan menerima sedekah padahal maula keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak dibolehkan menerima sedekah. Maka keluarga Nabi yang diharmkan sedekah atas mereka bukanlah istri istri Nabi.
  2. Istri Nabi juga menerima pemberian orang lain yang mereka anggap sedekah dan mereka tidak memberikannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hal ini menjadi bukti bahwa Nabi diharamkan menerima sedekah tetapi istrinya tidak.

Terkait Berita: