Pesan Rahbar

Imam Bukhari dan Perawi Pencaci-Maki Sahabat Nabi saw.!!

Written By Unknown on Friday, 24 April 2015 | 05:15:00


Sikap damai lagi mesra terhadap para pembenci dan pencaci maki Imam Ali dan Ahlulbait serta berbanggga dalam mengandalkan riwayat mereka oleh para ulama hadis Sunni juga diperagakan Bukhari –Imam Besar Hadis, bahkan mungkin diangap Imam teragung-. Dalam kitab Shahihnya yang diyakini keshahihan seluruh hadis di dalamnya oleh ulama Sunni sehingga menjadi pandangan resmi mazhab itu, telah mengandalkan kaum Nawâshib yang sangat membenci Imam Ali as. dan juga mencaci maki dan menghina serta melaknati beliau as. sebagai sumber kepercayaan agamanya. Ia banyak meriwayatkan dari kaum Nawâshib.

Ibnu Hajar dalam Mukaddimah Fathu al Bâri (kitab syarah terbesar atas Shahih Bukhari) menyebutkan daftar nama para perawi hadis yang diandalkan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya yang dicacat para ulama. Di antara mereka adalah para perawi yang dicacat karena alasan kenashibian/kebencian kepada Ali dan Ahlulbait.

Di bawah ini –demi menyingkat waktu pembaca- langsung saja saya sebutkan nama-nama mereka beriktu keterangan singkatnya:
  • Tsaur ibn Yazîd ibn Ziyâd al Kilâ’I al Himshi asy Syâmi (w.153 H)
Imam Bukhari telah mengandalkannya dalam menyumbangkan lima riwayat dalam berbagai bab, di antaranya pada bab: al Buyû’ (jual beli), al Jihâd dan Kitab al Ath’imah (makanan), bab Mâa Yuqâlu Idzâ Faragha Min Tha’âmihi (apa yang diucapkan jika selesai makan)[1]. Imam Bukhari menyebutkan jalur darinya demikian: Telah menyampaikan hadis kepada kami Ishaq ibn Yazîd ad Dimasyqi, ia berkata, telah menyampaikan hadis kepada kami Yahya ibn Hamzah, ia berkata telah menyampaikan hadis kepadaku Tsaur ibn Yazîd dari Khalid ibn Ma’dân ….


Tsuar Di Mata Ulama hadis Sunni
Yahya ibn Ma’in berkata, “Aku tidak menyaksikan seorang pun yang meragukan bahwa ia adalah seorang panganut faham Qadariyah. [2]
Ahmad ibn Hanbal berkata, “Tsaur berfaham Qadariyah. Dan adalah penduduk kota Himsh mengusirnya dari kota mereka. [3]
Ibnu Hajar berkata, “Ia datang ke kota madinah maka Malik melaraang orang-orang untuk duduk bersamanya. Ia dituduh berfaham nushb (membenci Imam Ali dan Ahlulbait as.).”
Yahya ibn main berkata, “Ia (Tsaur) sering duduk-duduk bersama kaum yang mencaci maki Ali. Akan tetapi ia sendiri tidak mencaci makinya.” [4]

Ibnu Jakfari berkata:
Pembelaan Yahya ibn Ma’in terhadap Tsuar di atas tidak benar sebab terbukti bahwa Tsaur tidak hanya gemar dan menikmati duduk bersama kaum yang menjadikan caci maki Imam Ali as. sebagai tema dan obyek pembicaraan… akan tetapi ia juga sangat ganas dalam kebenciannya terhadap Imam Ali as.; sahabat termulia dan khalifah keempat di kalangan Ahlusunuhhah, menantu Nabi saw.

Al Ka’bi melaporkan dalam kitab Qabûl al Khbâr bahwa Tsaur setiap kali menyebut Imam Ali as. selalu berkata, “Aku tidak suka orang yang membunuh kakekku. [5] Dan kakeknya terbunuh dalam peperangan Shiffîn di pihak Mu’awiyah yang disabdakan Nabi saw. (sesuai riwayat Imam Bukhari) sebagai pemimpin kelompok penganjur ke neraka jahannam.!!

Dan pembelaan seperti itu biasa dilakukan terhadap para perawi pujaan mereka…. Karenanya tidak mengherankan jika Anda juga menemukan pujian dan penghargaan atasnya oleh sebagian ulama dan tokoh sentral Sunni, seperti Yahya al Qaththân, yang memujinya dengan: “Aku tidak pernah menyaksikan seorang penduduk kota Syâm yang lebih kokoh riwayatnya darinya.” Atau pembelaan Ibnu Hajar dengan kata-katanya, “Para ulama bersepakat akan ketepatan riwayatnya.”

Anda berhak bertanya akan keseriusan para ulama Sunni dalam menyikapi para pembenci dan pencaci maki sahabat, yang dalam rancangan konsep mereka siapa pun yang membenci dan apalagi juga dilengkapi dengan mencaci-maki sahabat Nabi saw. mereka kecam sebagai zindiq, fasik, pembohong yang tidak halal didengar hadisnya!! Lalu bagaimana dengan perawi yang membenci dan mencai-maki Imam Ali as.? Apakah mereka akan berkonsekuen dalam mengetrapkannya? Atau mereka akan melakukan praktik “Tebang Pilih”! Jika seoraang perawi mencaci maki Mu’awiyah, ‘Amr ibn al ‘Âsh, Abu Hurairah, Utsman ibn ‘Affân, Umar ibn al Khathtab, atau Abu Bakar misalnya, hukuman itu ditegakkan! Jika yang dicaci dan dibenci saudara Rasulullah saw. dan menantu tercintanya; Ali ibn Abi Thalib as. maka seakan tidak terjadi apa-apa! Seakan yang sedang dicaci-maki hanya seorang Muslim biasa atau bisa jadi lebih rendah dari itu…. Pujian dan sanjungan tetap dilayangkan… kepercayaan terhadapnya tetap terpelihara… keimanannya tetap utuh… bahkan jangan-jangan bertambah karena mendapat pahala besar di sisi Allah kerenanya, sebab semua itu dilakukan di bawah bendera ijtihad dan keteguhan dalam berpegang dengan as Sunnah!!

Mengapa kegarangan sikap dan ketegasan vonis itu hanyaa mereka tampakkan dan jatuhkan ketika yang dicaci-maki dan dibenci adalah sahabat selain Imam Ali as., betapapun ia seorang fasik berdasarkan nash Al Qur’an, seperti al Walîd ibn ‘Uqbah! Sementara jika Ali as. atau sahabat dekatnya seperti Ammar ibn Yasir, Salman al Farisi, Abu Darr ra. dkk. yang dicaci-maki dan dibenci serta dilecehkan semua seakan tuli dan bisu….

Inilah yang menjadikan pera peneliti menaruh kecurigaan akan ketulusan, kejujuran dan keseriusan para ulama Sunni dalam membela Ali dan keluarga; Ahlulbait Nabi yang suci dan disucikan Allah.
  • Ishâq ibn Suwaid ibn Hubairah at Tamîmi (w.131H)
Imam Bukhari telah mengandalkannya dalam menyumbangkan hadis dalam Kitab ash Shaum (puasa) digandeng dengan riwayat Khâlid al Hadzdzâ’.
Dalam Hadyu as Sâri-nya, Ibnu Hajar menegaskan bahwa “Yahya ibn Ma’in, an Nasa’i dan al Ijli mentsiqahkannya, dan ia mengecam Ali ibn Abi Thalib.”[6]

Ibnu Hajar juga berkata dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb, “Abu al ‘Arab ash Shaqali berkata dalam kitab adh Dhu’afâ’nya, ‘Ia sangat mengecam/membenci Ali. Ia berkata, ‘Aku tidak suka Ali. Ia tidak banyak hadisnya.’ Dan kemudian ia berkomentar, ‘Siapa yang tidak mencintai sahabat maka ia bukan seorang yang tsiqah/jujur terpercaya dan tidak ada kehormatan baginya.’” [7]

Ibnu Jakfari berkata:
Semoga Allah merahmati ash Shaqali dan membalasnya dengan kebaikan atas ketulusannya dalam membela kesucian Imam Ali as.
Akan tetapi yang disayangkan lagi mengherankan adalah sikap sebagian ulama hadis Sunni yang masih sudi mempercayai perawi fasiq dan munafik sepertinya sebagai sumber agama?!

Tidakkah kebenciannya terhadap Imam Ali as. yang mana kecintaan dan kebencian kepadanya telah dijadikan barometer keimanan dan kemunafikan! Lalu mengapakah Imam Bukhari dan ahli hadis lainnya seperti Muslim, an Nasa’i dan Abu Daud mempercayainya sebagai penyambung lidah suci Rasulullah?
Mengapakah Imam Bukhari mempercayainya dan menjadikannya hujjah yang menyambungkan dirinya dengan Allah, sementara ia tidak sudi meriwayatkan dari putra teladan Ahlulbait; Imam Ja’far ash Shadiq as. dan meragukannya?
Adilkan sikap mereka itu?

Mereka Bangkit Geram Jika Selain Ali as. Yang Dikecam!
Benar seudaraku –semoga Allah merahmati Anda- bahwa jika yang dikecam itu selain Imam Ali ibn Abi Thalib as. maka mereka tidak akan ragu-ragu untuk spontan menjatuhkan vonis garang atas pelakunya… Perhatikan caci-maki dan luapan kemarahan adz Dzahabi atas al Hafidz Ibnu Khirâsy –kendati tadinya ia mensifatinya dengan beragam pujian akademik seperti al Hâfidz/sangat hafidz yang dalam lagi luas pengetahuannya. Lalu setelanya ia menuduhnya sebagai penganut faham Syi’ah dan membuat-buat riwayat tentang kejelakekan Abu Bakar dan Umar… setelah itu semua ia mengalamatkan kecamanannya atas Ibnu Khirâsy dengan kata-kata, “Engkau adalah seorang Zindiq, penentang kebenaran/al Haq. Semoga Allah tidak pernah meridhaimu. Ibnu Khirâsy mati menuju selain raahmat Allah tahun 283 H.” [8]

Demikian pula dengan Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb ketika menyebut biografi Janâb al Asadi, ia menyebutkan bahwa  ad Dûri menukil Yahya ibn Ma’in berkata tentangnya, “Ia (Janâb) adalah seorang yang jelek. Ia mencaci Utsman…

Ahmad ibn Hanbal berkata, “Ia adalah seorang yang jelek pendapatnya.
Ibnu Hibbân berkata, “Tidak halal meriwayatkan hadis darinya.”
Ad Dâruquthni berkata, “Ia adalah seorang yang jelek, berfaham Syi’ah yang kental. Ia mencaci-maki Utsman.”
Al Hakim berkata, “Yahya dan Abdurrahman meninggalkan meriwayatkan hadis darinya, dan keduanya telah berbuat baik, sebab ia mencaci-maki Utsman. Dan barang siapa mencaci seorang sahabat maka ia pantas untuk tidak diambil riwayatnya.

Lebih dari itu, ada sebuah kenyataan yang lebih menyakitkan hati para pecinta Ahlulbait Nabi as… di mana mereka bermesraan dengan para pembenci Imam Ali as. dan mereka yang mencaci-makinya serta melaknatinya… Namun terhadap seorang parawi yang sekedar bersikap kurang menghormat kepada seorang ulama kebanggaan mereka –bukan seorang sahabat besar!- hanya seorang ulama! Mereka segera beramai-ramai mengecamnya! Bahkan melaknatinya!

Banyak contoh kasus dalam hal ini, akan tetapi saya hanya akan menyebutkan sekelumit saja.
Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb ketika menyebut biografi Husain al Karâbisi, ia berkata, “Berkata al Khathib, ‘Hadisnya jarang sekali, sebab Ahmad ketika berbicara tentang masalah Lafadz (ucapan/bacaan) Al Qur’an (apakah ia qadim atau makhluq), al Karâbisi menyalahkan Ahmad, maka para ulama menjauhi dari mengambil riwayat darinya. Dan ketika sampai kepada Yahya ibn Ma’in berita bahwa ia berbicara menyalahkan Ahmad, ia melaknatinya. Dan ia berkata, ‘Alangkah laiknya ia untuk dicambuk.’”

Sementara itu mereka juga mengatakan bahwa keyakinan Husain al al Karâbisi dalam masalah ini adalah bahwa bacaan kita terhadap ayat-ayat Al Qur’an adalah hâdits/bukan Qadîm. Keyakinan itu sama persis dengan yang diyakini oleh banyak tokoh ulama hadis Sunni, seperti Imam Bukhari, Hârits al Muhâsibi, Muhammad ibn Nashr al Marwazi dll.
Subhanallah. Imam Ali dikecam, mereka terdiam! Sementara Ahmad ibn Hanbal disalahkan mereka bangkit melaknati yang menyalahkannya!!

Contoh kedua adalah pembelaan ulama Sunni terhadap Ibnu Mubârak. Ibnu Hajar dalam Tahdzîb at Tahdzîb berkata ketika menyebut biografi Ibnu Mubârak, “Aswad ibn Salim berkata, “Jika engkau melihat seorang menceloteh Ibnu Mubârak maka curigai kemurnian Islamya!.”
Membongkar contoh-contoh kasus dalam masalah ini akan menjadi panjang pembicaraan kita… Maka kami cukupkan sampai di sini.


Referensi:
[1] Shahih Bukari,7/106.
[2] Mîzân al I’tidâl,1/374, biografi no.1406. Pernyataan Yahya di ataas juga disebutkan oleh Ibnu ‘Asâkir dalam Târîkh Damasqusnya,11/183/1058.
[3] Ibid.
[4] Hadyu as Sâri (Muqaddimah Fathu al Bâri),2/148. cet. Maktabah al Kulliyât al Azhâriyah-Kairo.
[5] Qabûl al Khbâr,2/158, Thabaqât; Ibnu Sa’ad,7/467.
[6] Hadyu as Sâri,2/143.
[7] Baca juga Hadyu as Sâri,2/143
[8] Baca Biografi al Hafidz Ibnu Khirâsy dalam kitab Tadzkiratul Huffâdz; adz Dzahabi.

Seperti Anda telah saksikan data-data dua perawi munafik yang membenci Imam Ali as. namun demikian keduanya tetap menjadi tempat kepercayaan Bukhari dalam meriwayatkan hadis-hadis Nabi Muhammad saw…. Kini pembaca kami ajak mengenali perawi kebanggaan Bukhari lainnya, yang tidak kalah munafiknya di banding dengan dua parawi sebelumnya. Di adalah:

Harîz ibn Utsman al Himshi (w. 163 H)
Perawi yang sangat membenaci Imam Ali as. lainnya yang diandalkan dan dibanggakan Bukhari serta ia percaya sebagai penyambung lidah suci Rasulullah saw. adalah Harîz ibn Utsman al Himshi. Seorang gembong kaum munafikin yang sangat membenci Imam Ali as. Bukhrai meriwayatkan hadis pada bab al Manâqib dari Harîz ibn Utsman melalui jalur sebagai berikut:
1) Dari Ali ibn Ayyâsy, dan
2) Dari ‘Ishâm ibn Khâlid yang meriwayatkan dari Abdullah ibn Busr dan Abdul Wâhid ibn Abdullah an Nashri.


Harîz ibn Utsman al Himshi Adalah Seorang Gembong Nawâshib!
Kenashibian Harîz tidak samar bagi semua pengkaji yang akrab dengan kajian sejarah para perawi hadis. Ia sangat membenci Imam Ali as. dan tak henti-hentinya melaknati beliau as. di berbagai kesempatan, khususnya dalam wirid harian seusai shalat!! Tidak cukup itu, ia juga tidak segan-segan memalsu hadis yang menyelek-jelekkan Imam Ali as.

Data-data di bawah ini cukup sebagai bukti:

Harîz ibn Utsman al Himshi Adalah Seorang Pelaknat Imam Ali as.!
Ditanyakan kepada Yahya ibn Shaleh, “Mengapa Anda tidak menulis hadis dari Harîz? Ia menjawab, ‘Bagaimana aku sudi menulis hadis dari seorang yang selama tujuh tahun aku salat bersamanya, ia tidak keluar dari masjid sebelum melaknat Ali tujuh puluh kali.’“[1]

Ibnu Hibban juga melaporkan, “Ia selalu melaknat Ali ibn Abi Thalib ra. tujuh puluh kali di pagi hari dan tujuh puluh kali di sore hari”. Ketika ia ditegur, ia mengatakan, “Dialah yang memenggal kepala-kepala leluhurku.”[2]

Harîz ibn Utsman al Himshi Adalah Seorang Pemalsu Hadis!
Dan tentang keberaniannya memalsu hadis, ikuti laporan Ismail ibn Iyasy berikut ini, ia berkata, “Aku mendengar Harîz ibn Utsman berkata, ’Hadis yang banyak diriwayatkan orang dari Nabi bahwasannya beliau bersabda kepada Ali, “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa”, itu benar tetapi pendengarnya salah dengar. Aku bertanya, “Lalu  redaksi yang benar bagaimana? Ia berkata, “Engkau di sisiku seperti kedudukan Qarun di sisi Musa”. Aku bertanya lagi, “Dari siapa kamu meriwayatkannya?” ia berkata, “Aku mendengar Walîd ibn Abd. Malik mengatakannya dari atas mimbar”.[3]

Ibnu Hajar berkata, “Al Azdi dalam kitab adh Dhu’afâ’ melaporkan bahwa “Harîz ibn Utsman meriwayatkan bahwa ketika Nabi saw. hendak menaiki baghelnya[4] datanglah Ali lalu  melepaskan pelananya agar beliau jatuh.” Setelahnya al Azdi berkomentar, “Seorang yang seperti ini keadaannya tidak pantas diambil riwayatnya.” Akan tetapi Ibnu Hajar –seperti kebiasaannya- berusaha membela Harîz –si pemalsu hadis itu dengan mengatakan, “Mungkin Harîz mendengar kisah itu dari al Walîd.”[5]

Al Jauhari juga melaporkan kepada kita dengan sanadnya bersambung kepada Mahfûdz, Ia berkata, “Aku bertanya kepada Yahya ibn Shaleh Al Wahadhi, ‘Kamu telah meriwayatkan dari para guru sekelas Harîz, lalu  mengapakah kamu tidak meriwayatkan  dari Harîz?’ Ia berkata, ‘Aku pernah datang kepadanya lalu ia menyajikan buku catatannya, lalu  aku temukan di dalamnya, Si fulan telah menyampaikan hadis kepadaku dari fulan… bahwa Nabi saw. menjelang wafat beliau berwasiat agar tangan Ali ibn Abi Thalib di potong.”. Maka aku kembalikan buku itu dan aku tidak menghalalkan diriku meriwayatkan darinya!!.[6]

Hadis palsu riwayat Harîz inilah yang disinggung dalam laporan Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzîb at Tahdzîb, kendati ia tidak membongkarnya karena dianggap tidak layak disebutkan. Ibnu Adi berkata, “Yahya ibn Shaleh al Wahhâdhi berkata, ‘Harîz ibn Utsman mendektekan kepadaku dari Abdurrahman ibn Maisarah dari Nabi saw. sebuah hadis yang menjek-jelekan Ali ib Abi Thalib yang tidak layak disebutkan. Sebuah hadis yang sangat munkar, tiada meriwayatkan semisalnya melainkan orang yanmg tidak bertaqwa kepada Allah. Al Wahhadhi, “Maka ketika ia menyampaikan hadis itu kepadaku, aku tinggalkan dia.”[7]
 
Ibnu Jakfari berkata:
Jika demikian keadaan dan kebusukan jiwa Harîz ibn Utsman … dan jika demikian kualitas kejujurannya… dan jiika para gembong kaum munafikin seperti al Walîd sebagai masyâikh kebanggaan Harîz yang juga dibangggakan Adu Daud dkk. maka apa yang dapaat dikatakan kepada para ulaama itu, khusunya Bukhari yang dengan bangga meriwayatkan dan menghiasi kitab tershahihnya setelah al Qur’an al Karîm dengan riwayatnya? Masihkan kita meragukan bahwa dunia hadis Sunni sedang menghadapi masalah besar dengan mengandalkan kaum munafikin sebagai sumber kepercayaaan dalam agama?!

Dan denga demikian pula apa nilai ucapan dan pembelaan Ibnu Hajar terhadap kaum Nawâshib ketika ia mengatakan, “Dan yang terbanyak dari mereka (para perawi) yang disifati dengan kenashibian -kebencian kepada Imam Ali dan Ahlulbait as.- dikenal akan kejujuran tutur katanya dan konsisten berpagang teguh dengan aagama. Berbeda dengan mereka yang disifati dengan kerafidhian, rata-rata mereka itu adalah pembohong yang tidak berhati-hati dalam menyampaikan berita… “[8] Tidakkah keberanian Harîz daalam memalsu hadis atas nama Nabi mulia saw. sudah cukup sebagai bukti ketidak benaran pernyataan mumbang Ibnu Hajar di atas?! Dimanakah kejujuran yang ia banggakan dari kaum Nawâshib itu? Di manakah keteguhan keregamaan mereka yang ia banggakan? Apakah melazimkan melaknat Ali as. setiap selesai shalat yang ia jadikan dzikir harian itu yang dimaksud dengan keteguhan dalam beragama?

Ulama Hadis Ahlusunnah Membela Dan Mentsiqahkan Harîz ibn Utsman al Himshi!
Semua itu tidak rahasia lagi… Akan tetapi yang benar-benar mengeharkan adalah ternyata tidak sedikit tokoh-tokoh besar hadis Ahlusunnah menegaskan ketsiqahannya. Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan, “Ia tsiqah, Ia tsiqah, ia tsiqah!”[9]

Di sini, seperti Anda saksikan, Imam Ahmad (seorang tokoh terkemuka empat Mazhab Sunni) tidak cukup sekali dalam mengapresiasi kejujuran dan keadilan Harîz. Ia mengulanginya tiga kali. Menyematkan gelar tsiqah kepaada seorang perawi adalah puncak pengandalan. Dan lebih dari kata tsiqah, apabila kata itu diulang dua apalai tiga kali.

Itu artinya Harîz benar-benar menempati tempat istimewa dalam jiwa Imam besar Ahhlusunnah. Selain Ahmad, Yahya ibn Ma’in dan para imam hadis Sunni juga mentsiqahkannya. Demikian ditegaskan Ibnu Hajar dalam Hadyu as Sâri-nya.

Abu Hatim menegaskan bahwa tidak ditemukan di kota Syam seorang parawi yang lebih kokoh darinya.
Ibnu Adi berkata, ‘Ia tergolong parawi kota Syam yang tsiqat/jujur terpercaya.”
Ahmad ibn Abi Yahya menukil Imam Ahmad sebagai mengakatan, “Ia (Harîz) seorang yang shahih hadisnya, hanya saja ia mencaci maki Ali.”

Al Ijli berkata, “Ia (Harîz) seorang penduduk kota Syam yang tsiqah. Dan ia mencerca dan mencaci maki Ali. Ia menghafal hadisnya.”
Dalam kesempatan lain ia berkata, “Ia kokoh riwayatnya dan ia sangat membenci Ali.”
Ibnu Ammâr berkata, “Para ulama menuduhnya mencaci maki Ali, namun mereka tetap saja meriwayatkan hadis darinya, berhujjah dengannya dan tidak membuangnya.”

Tidak cukup itu, para ulama Ahlusunnah mentsiqahkan seluruh guru/masyâikh Harîz. Al âjuri meriwayatkan Abu Daud berkata, “Masyâikh Harîz seluruhnya adalah orang-orang jujur terpercaya/tsiqât.”
Duhaim berkata menyebutkan Harîz, “Ia seorang dari kota Himsh , bagus sanadnya, dan shahih hadisnya.” Dalam kesempatan lain ia berkata, “Harîz adalah tsiqah.”
Dan masih banyak komentar lain sengaja saya tinggalkan….



Seorang Dajjal Kini Berubah Menjadi Dikultus!
Seperti telah diketahui bersama bahwa para ulama Ahlusunnah begitu keras sikap mereka terhadap siapa saja yang berani menyebtuh garis merah kehormatan sahabat Nabi saw. … Mereka mengeluarkan “surat keputusan bersama/SKB” yang menvonis dajjal, zindiq dan kafir bagi siapapun yang berani mencaci para sahabat (dan perlu Anda ketahui bahwa dengan sekedar menyebut kesalahan dan/atau penyimpangan mereka saja –tanpa disertai cacian- sudah dianggap mencaci maki sahabat).

Fatwa Sadis Abu Zur’ah!
Abu Zur’ah –seorang tokoh terkemuka Ahlusunnah, guru agung Imam Muslim- telah mengeluarkan fatwa sadis namun saying tidak serius dalamm menjalankannya!. Ia barkata, “Jika engkau menyaksikan seorang mencela-cela seorang dari sahabat Rasulullah saw. maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang zindîq.”[10]
 
Akan si dajjâl yang zindiq itu segera akan berubah menjadi seorang parawi tersanjung apabila ia mengalamatkan laknatannya (bukan lagi sekedar kritikan atau cacian semata) kepada manusia pertama yang memeluk Islam, sahabat paling berjasa dalam Islam dan pribadi agung yang paling dicintai Nabi saw…. semuanya akan berubah statusnya jika yang dicaci maki dan yang dilaknati itu adalah Imam Ali as.! Si dajjal kini pasti berubah menjadi manusia suci! Si Zindiq segera berubah menjadi “Pembela dan Pendekar Sunnah”!

Apa yang kami katakana buikan sekedar teori belaka, tetapi data-data yang ada sepenuhnya mendukung kebenaran dan kevalidannya.

Coba Anda perhatikan data di bawah ini- tapi tolong Anda rahasiakan dokumen ini demi menjaga kemantapan keberagamaan kaum awam terhadap mazhab mereka dan agar keimanan mereka kedapa kesucian para ulama tidak guncang!! Dan kami masih memiliki segudang datav rahasia lainnya, nantikan!!

Ketika para ulama Ahlusunnah, di antaranya al Khathîb al Baghdâdi, ketika menyebutkan biografi Talîd ibn Sulaimân al Muhâribi al Kûfi (w.190 H), di antaranya menyebutkan pernyataan bersejarah Yahya ibn Ma’în yang kemudian dijadikan pedoman seakan ia wahyu segar yang baru dibawa turun malaikat Jibril as. dari langit ke tujuh. Yahya berkata, “Talîd adalah seorang kadzdzâb/pembohong kelas kakap, ia mencaci maki Utsman. Dan setiap yang mencaci Utsman atau Thalhah atau seorang dari sahabat Rasulullah saw. maka ia adalah Dajjâl, tidak layak ditulis hadisnya. Atasnya laknat Allah, laknat para malaikat dan laknat seluruh manusia!.[11]

Ibnu Jakfari Berkata:
Tidaklah salah jika ada yang bertanya kepada Tuan Ibnu Ma’in, mengapakah Anda tidak tergugah bangkit marah “demi membela agama” ketika Imam Ali as. dilaknati oleh seorang perawi? Justeru Anda menyumbangkan kata-kata pujian sebagai bentuk kepercayaan dan penghargaan!
Apakah Imam Ali as. halal untuk dilaknati dan dicaci maki?

Dan benar-benar membuat tidak habis-habis keterheran-heranan kita adalah mereka mentsiqahkan sementara pada waktu yang sama mereka yang mengatakan bahwa harîz sangat membenci Imam Ali as. dan tak henti-hentinya maknati beliau as.! Sungguh membingungkan! Andai ketika mentsiqahkan kaum Nawâshib/para pembenci Imam Ali dan keluarga suci Nabi saw., seperti Harîz para ulama Sunni itu merahasiakan keterangan tentang kebencian dan pelaknatan mereka (Nawâshib) itu! Tapi yang mengehankan dan mungkin juga menyakitkan sebagian kaum Mukminin adalah mereka sengaja menyebutkan kedengkian si perawi tertentu kepada Imam Ali as., tetapi mereka tetap dengan sengaja mentsiqahkannya! Mungkin itu sebagai sikap pamer sikap ideologis yang mereka tampilkan! Allah A’lam.

Kesucian Mu’awiyah Garis Merah Di Mata Ulama Ahlusunnah!
Lebih dari itu, meyakini kesucian Mu’awiyah dari segala bentuk dosa dan penyimpangan adalah sebuah kewajiban agama yang mana akan menjadi gugur keimanan atau paling tidak keadilan seorang jika ia meragukannya atau mencacinya!

Perhatikan sekalim lagi apa yang diabadikan para ulama Sunni dalam laporan mereka seperti di bawah ini:
Imam Ahmad ibn Hanbal menggugurkan keadilan Ubaidullah ibn Musa al Absi hanya karena ia mendengarnya menyebut-nyebut kejelakan Mu’awiyah ibn Abu Sufyân. Tidak cukup itu, ia (Ahmad) memaksa Yahya ibn Ma’in agar menggugurkan keadilannya dan menghentikan meriwayatkan hadis darinya. Ahmad mengutus seorang utusan khusus untuk menemui Yahya dan menyampaikan pesannya:

أخوك أبو عبد الله أحمد بن حنبل يقرأ عليك السلام ويقول لك: هو ذا تكثر الحديث عن عبيد الله وأنا وأنت سمعناه يتناول معاوية بن أبي سفيان وقد تركت الحديث عنه.

“Saudaramu Ahmad ibn Hanbal menyampaikan salam atasmu dan berkata, ‘Inilah dia kamu berbanyak-banyak meriwayatkan hadis dari Ubaidullah, sedangkan aku dan kamu mendengarnya menyebut-nyebut kejelekan Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Kini aku sedah meningggalkan meriwayatkan hadis darinya.’”[12]

Ibnu Jakfari:
Subhanallah, menyebut-nyebut kejelekan Mu’awiyah menggugurkan keadilan seorang perawi, sementara seorang perawi yang siang malam melaknati Imam Imam Ali as. digelarinya dengan Tsiqah! Tsiqah! Tsiqah! (3X)! mengapa? Apakah Mu’awiyah maksum, sehingga ia tidak mungkin berbiah kejahatan, dosa dan kesalahan?

Tidakkah perintah melakinati Imam Ali as. di dalam setiap kesempatan kegamaan atau kenegaraan oleh Mu’awiyah itu bukan sebuah kejahatan dan kemunafikan yang haram untuk dibongkar dan disebut-sebut?
Bukankah pembantaian yang dilakukan Mu’awiyah terhadap para sahabat Nabi saw. dan parav pecinta dan pengikut setia Imam Ali as. seperti Hujr ibn Adi dkk. bukan sebuah kejahatan? Tidakkah ketetapan Allah SWT atas yang membunuh seorang Mukmin itu neraka jahannam?!

Bukankah Nabi saw. –seperti diriwayatkan Bukhari sendiri- bersabda bahwa Mu’awiyah dan kelompoknya adalah du’âtun ilan nâr/pengtanjur kea pi neraka?! Lalu mengapakan menyebut-nyebut kejelekan panagnjur kea pi neraka dihukimi gugur keadilannya? Sementara melaknati Imam Ali as. mendapat “ajungan jempol”?!

Semoga nukilan atas nama Imam Ahmad itu hanya sebuah kepalsuan belaka yang dibuat-buat oleh kaum Nawâshib yang mebawa-bawa nama besar Imam Ahmad untuk melegalkan kesesatan mereka!


Referensi:
[1] Tahdzîb al Tahdzîb,2/209 ketika membicarakan biodata Harîz, Tarikh Damaskus,12/349.
[2] Al MajRûhuun,1/268.
[3]Tahdzîb al Tahdzîb,2/209 ketika membicarakan biodata Harîz, Tahdzîb al Kamâl,5/577, Tarikh Baghdad.8,268 dan Tarikh Damaskus,12/349.
[4] Baghel adalah peranakan antara kuda dan keledai.
[5] Tahdzîb al Tahdzîb,2/207.
[6] Syarh Nahj al Balâghah; Ibnu Abi Al Hadid al Mu’tazili,4/70.
[7] Tahdzîb at Tahdzîb,2/207.
[8] Ibid.8/410.
[9] Tahdzîb al Kamâl,5/175.
[10] Ash Shawâiq al Muhriqah;Ibnu Hajar al Haitami, Penutup:211.
[11] Târikh Baghdâd,7/145, biografi no.3582.
[12]Ibid. 14/427.


Gembong munafik lain yang dibanggakan riwayatnya oleh Bukhari dan para ulama hadis Sunni lainnya adalah‘Imrân ibn Haththân.

4) Imrân ibn Haththân -Gembong Kaum Khawârij-.
‘Imrân ibn Haththân. Nama lengkapnya adalah ‘Imrân ibn Haththân ibn Dhabyân al Bashri (w.84H). karenanya sebagian ulama Sunni, seperti Ibnu Hajar harus membelanya dengan segala cara dan dengan segala resiko yang mungkin menimpa dunia hadis Sunni, walaupun dengan menjungkir balikkan norma-norma keagamaan dan menelantarkan kaidah-kaidah yang mereka bvangun sendiri!

Apapun yang akan terjadi dan seburuk apapun resiko yang akan terjadi ‘Imrân tetap harus dibela. Seribu satu uzur akan dicarikan…. Sebab Bukhari –imam besar Ahli Hadis- telah meriwayatkan hadis darinya dan mengandalkan pengambiilan ajaran agama darinya!!

Bukhari telah meriwayat hadis dari ‘Imrân ibn Haththân dalam bab tentang mengenakan pakaian sutra dengan sanad  Muhammad ibn Basysyâr….. dari Yahya ibn Abi Katsîr dari‘Imrân ibn Haththân, ia berkata, ‘Aisyah ditanya tentang sutra…. “[1] sementara para ulama menegaskan bahwa ia tidak pernah mendengar barang satu hadis pun dari A’isyah!

Al ‘Uqaili berkata, “‘Imrân ibn Haththân hadisnya tidak terdukung oleh perawi jujur lainnya. Ia meyakini pandangan kaum Khawârij. Ia menyampaikan hadis dari A’isyah sementara tidak terbukti ia pernah mendengar hadis darinya.” Demikian juga, Ibnu Abdil Barr memastikan bahwa ‘Imrân ibn Haththân tidak pernah mendengar hadis dari ‘Aisyah.[2]

Siapa Sejatinya ‘Imrân ibn Haththân Ini?
Tidak diragukan lagi, semua tau bahwa ‘Imrân ibn Haththân adalah gembong sekte sesat Khawârij dari kelompok al Qa’diyah. Lebih dari itu ia adalah seorang penganjur kepada aliran sesatnya. Dialah yang menggubah bait-bait syair memuji dan meratapi si pembunuh Imam Ali ibn Abi Thalib as. di antaranya adalah bait di bawah ini:


يا ضربة من تقي ما أراد بها * إلا ليبلغ من ذي العرش رضوان
إني لأذكره حينا فأحسبه * أوفى البرية عند الله ميزانا

“Duhai pukulan dari seorang yang bertaqwa yang tidak ia lakukan ** melainkan agar mencapai keridhaan Allah pemilik Arsy
Setiap kali aku mengingatnya aku yakin bahwa ** ia adalah orang yang paling berat timbangan kebajikannya di sisi Allah.


Ibnu Jakfari berkata: Tidak diragukan lagi bahwa bait-bait syair itu sangat menyakitkan hati Rasulullah saw. dan hati Ali ibn Abi Thalib as. lebih dari pukulan Abdurrahman ibn Muljam  (pembunuh Ali as.) itu sendiri! Bagaimana tidak?
Dan termasuk kurang hormat kepada Nabi dan Ali apabila kita menyebut-nyebut nama-nama musuh Ahlulbait as. seperti Ibnu Muljam, Imrân ibn Haththân, Umar ibn Sa’ad, Ziyâd, Mu’awiyah tanpa dibarengi dengan kutukan dan laknatan.

Pembelaan Ulama Hadis Sunni Terhadap ‘Imrân ibn Haththân
Semua bukti kemunafikan ‘Imrân ibn Haththân telah diketahui ulama hadis Sunni, namun demikian mereka tetap berusah dengan sekuat tenaga membela dan mencarikan uzur untuknya. Dan sikap ulama Sunni yang membanggakan kejujuran tutur katanya dan mengandalkannya dalam urusan agama itu yang kami sayangkan! Imam Bukhari telah mempercayainya dalam meriwayatkan hadis dalam kitab Shahihnya! Demikia juga dengan Abu Daud dan an Nasa’i.

Al Ijli mentsiqahkannya. Untuk lebih lengkapnya saya akan terjemahkan keterangan dan pembelaan Ibnu Hajar terhadap ‘Imrân ibn Haththân dalam mukaddimah Fathu al Bârinya.

Ibnu Hajar berkata, “(Kh –Bukhari-, D –Abu Daud-, S –An Nasa’i-)‘Imrân ibn Haththân as Sudûsi, seorang penyair kondang. Ia berfaham Khawâirij. Abu Abbas al Mubarrad berkata, ‘‘Imrân ibn Haththân adalaah gembong/pinpinan, penyair dan khathib/juru dakwah sekte al Qa’diyah.’ Al Qa’diyah adalah kelompok sempalan dari sekte Khawârij yang berpandangan tidak perlu memberontak atas penguasa akan tetapi mereka hanya merangsang untuk memberontak. Imrân adalah juru dakwah/penganjur kepada mazhabnya. Dialah yang meratapi Abdurraman ibn Muljam; pembunuh Ali –Alaihi as Salâm/semoga salam Allah atasnya-[3] dengan bait-bait syairnya yang terkenal.

Al Ijli mentsiqahkannya.
Qatadah berkata, ‘Ia (‘Imrân) tidak tertuduh kejujurannya dalam hadis.’
Abu Daud berkata, ‘Tiada di antara penyandang kesesatan yang lebih jujur/shahih hadisnya dari kaum Khawârij.’ Kemudian ia menyebutkan ‘Imrân dan beberapa orang Khawârij lainnya.
Ya’qub ibn Syaibah berkata, ‘Ia sezaman dengan beberapa orang sahabat Nabi. Dan ia di akhir urusannya berfaham Khawârij.’
‘Uqaili berkata, ‘Ia menyampaikan hadis dari A’isyah sementara tidak terbukti ia pernah mendengar hadis darinya.’
Aku (Ibnu Hajar) berkata: “Bukhari hanya meriwayatkan satu hadis darinya dari jalur Yahya ibn Abi Katsir darinya… hadis ini diriwayatkan Bukhari dalam mutâba’ah. Di sisi Bukhari, hadis ini punya jalur-jalur lain dari riwayat Umar dan lainnya….

Aku melihat sebagian imam (ulama besar) mengklaim bahwa Bukhari meriwayatkan hadis darinya itu sebelum Imrâm berfamah Khawârij. Dan uzur itu tidak kuat sebab Yahta ibn Abu Katsir itu meriwayatkan hadis darinya di kota Yamâmah di saat Imrân melarikian diri dari kejaran Hajjâj yang mencarinya untuk membunuhnya karena keyakinannya… kisah lengkapnya dapat And abaca dalam kitab al Kâmil karya al Mudarrad dan juga dalaam kitab-kitab lainnya. Abu Bakaar al Mûshili menceritakan bahwa Imrân telah insaf/meninggalkan famah Khawarij di akhir usianya. Jika ini benar maka iaa adaalaah uzur yang bagus.”[4]

Ibnu Jakfari berkata: Kisah kembalinya Imrân dari faham Khawârij adalah sesuatu yang tidak berdasar
Adapun pembelaan Ibnu Hajar terhadap Bukhari bahwa ia meriwayatkan hadis itu dari ‘Imrân hanya dalam mutâba’ah yaitu hadis yang diriwayatkan sekedar untuk menjadi pendukung untuk menguatkan hadis dari jalur lain adalah pembelaan yang mengada-ngada!! Sebab apa perlunya mendukung sebuah hadis dengan membawakan hadis dari riwayat ‘anjing nereka’ seperti ‘Imrân?

Adu Daud Membongkar Rahasia Ulama Hadis Sunni!
Dan dengan memerhatikan pernyataan sumbang Adu Daud din atas: Tiada di antara penyandang kesesatan yang lebih jujur/shahih hadisnya dari kaum Khawârij, Anda berhak curiga bahwa tenyata sepertinya tidak hanya Imrâm ibn Haththân saja yang mereka banggakan dan percayai sebagai penyambung lidah suci nabi Muhammad!! Akan ntetapi seluruh kaum Khawârij adalah kelompok andalan dalam menyampaikan hadis Nabi saw. karena mereka adalah kelompok paling jujur dalam bertutur kata dan meriwayatklan hadis Nabi saw.!
Sungguh luar biasa “kehati-hatian” ulama hadis itu sehingga mereka bangga meriwayatkan hadis dari anjing-anjing neraka![5]

Jika seorang gembong Khawârij yang sesat yang menyesatkan seperti Imrân diyakini kejujurannya, maka sepertinya kita perlu mendefenisikan ulang kata jujur dan kejujuran! Jika ada yang membanggakan membangun agamanya dari riwayat-riwayat kaum munafikin maka apa yang bisa dibayangkan tentang kualitas bangunan agama itu?
Inikah yang dibanggakan sebagian pihak bahwa dunia hadis Sunni telah rapi dan selektif?
Mengapakah Bukhari -imam teragung mereka- dan juga yang lainnya membanggakan riwayat-riwayat seorang Imrân –si gembong kaum munafikin-?

Kenyataan Pahit Nasib Pasar Hadis Sunni!
Ada sebuah kenyataan yang sangat menyedihkan yang dialami oleh dunia hadis Sunni yaitu bahwa pasar hadis Sunni telah dibanjir oleh hadis-hadis dari riwayat kaum sesat daan penyandang hawa nafsu alias kaum ahli bid’ah!

Kendati –dalam teori mereka bersilang pendapat, apakah dibenarkan mengambil riwayat dari kaum pembid’ah (maksudnya selain anggota Ahlusunnah sendiri), ada yang membolehkan asal si pembid;ah itu bukan penganjur kepada ksesataan bid’ah mazhabnya. Namun demikina dalam praktiknya mereka telah benar-benar tenggelam dalam kubangan riwayat kaum pembid’ah bahkan dengan riwayat-riwayat para penganjur kepadaa kesesatan bid’ah mazhabnya! “imrân ibn Haththân adalaah satu dari ratusan nama ahli bid’ah yang hadis riwayatnya telah membanjiri ‘Pasar Hadis Sunni’!

Menyaksikan kenyataan ini apa kira-kira yang tersisa dari keseriusan kata-kata Imam Nawawi dalam mukaddimah syarah Shahih Muslim yang mengatakan bahwa prakti para Salaf dan Khalaf telah tetap bahwa mereka hanya mau menerima riwayat, mendengar memperdengarkan dan berhujjah dengan hadis-hadis riwayat kaum pembid’ah yang bukan penganjur/du’ât? Sementara kitab-kitab dan jalur-jalur periwayatan para imam Ahlusunnah dipenuhi dengan nama-nama gembong panganjur kepada kesesatan bid’ah mazhabnya?

Dan menyaksikan kenyataan seperti itu Anda berhak ragu akan kemurnian materi mazhab mereka yang ditegakkan di attas hadis-hadis kaum pembid’ah yang tidak sedikit dari mereka disampin kesesatan bid’ah mereka juga dikenal sebagai pembohong dan pemalsu hadis.

Dan jika mereka (ulama hadis Sunni) telah mengimani bahwa kaum Khawârij adalah orang-orang yang jujur dalam tutur katanya sementara mereka itu adalah kaum munafik… kama salahkah jika ada yang menyimpulkan bahwa sebagian dari meteri ajaran Sunni itu adalah produk kaum Khawarij… Terlepas dari benar atau palsunya kesimpulan Adu Daud bahwa kaum Khawârij adalah kelompok yang paling jujr… terlepas dari itu, sebenarnya aapa yang di katakana adalah membongkar sebuah kenyataan bahwa sebenarnya para ulama Sunni sangat mengandalkan hadis-hadis riwayat kaum Khawârij… Adapun tentang apresiasi Adu Daud terhadap kejujuran mereka jelas-jelas sebuah kepalsuan sebab danyataannya adalah sebaliknya… kaum Khawârij adalah kaum yang paling benari memalsu hadis demi mendukung kesesatan mazhabnya… Dan analis kejiwaaan pun pasti mendukung kesimpulan ini! Sebab siapapun yang membangun akidah/mazhabnya di atas kerapuhan hujjah ia pasti akan sangat membutuhkan kepada hujjah/nash keagamaan yang dapat mendukung mazhabnya. Dan tidak ada peluang yang terbuka lebar bagi para pemalsu yang sedang kelabakan mencari pembelaan untuk mazhabnya melebihi peluang pemalsuan hadis atas nama Nabi saw…. dan kita senua yakin bahwa mazhab Khawârij dengan bergabai penyimpangan ajarannya sangat lemah dan karenanya ia sangat membutuhkan kepada hadis… karena tidak banyak (kalau kita mengatakan tidak ada) hadis Nabi saw. yang mendukungnya maka jalan satu-satunya adalah memalsu hadis atas nama Nabi saw.!

Ibnu Hajar membongkar sebuah dokumen penting pengakuan seuorang berfaham Khawârij yang telah taubat (yang sepertinya diusahakan oleh sebagian pihak untuk dirahasiaakan) bahwa “Kaum Khawarij jika menyukai sesuatu pendapat ia buatkan hadis yang mendukungnya.” Baca keterangan Ibnu Hajar tentangnya dalam Tahdzîb at Tahdzîb ketika ia menyebutkan biogafi Qadhi Abdullah ibn ‘Uqbah al Mishri yang dikenal dengan nama Ibnu Luhai’ah.


Referensi:
[1] Shahih Bukhari, Kitab al Libâs, hadis dengan nomer.5387.
[2]
[3] Sebagian pembenci Syi’ah Ahlulbait as. –yang selalu bekerja siang malam untuk memecah belah kesatuan kaum muslimin dan menghasut agar tejadi permusuhan antara Syi’ah dan Ahlusunnah selalu bergegas menjulurkan lidah beracunnya menuduh siapapun yang mengucapkan ‘Alaihi as Salâm/semoga salam Allah atasnya’ setelah menyebut nama Imam Ali sebagai Syi’ah!! Jadi apakah sekarang mereka akan mengarahkan panah pecarun mereka ke jantung Ibnu Hajar dan menuduhnya sebagai Syi’ah kerena beliau menyebutkannya?!
[4] Hadyu as Sâri; Muqaddimah Fahil Bâri,2/186-187.
[5] Dalam banyak hadis yang dishahihkan ulama Sunni sendiri diriwayatkan bahwa Nabi saw. menyebut kaum Khawarij sebagai Kilâb Ahli an Nâr/ anijng penghuni neraka!
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: