Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Imam Husain As. Show all posts
Showing posts with label Imam Husain As. Show all posts

Terrorist ISIS yang menghina photo Imam Husein s.a. sudah mampus ke Neraka Jahanam



Satan Wahhabis ISIS terrorist pembenci Rasulullah Muhammad saww dan Ahlulbait keturunan Rasulullah saww juga pembenci para Moslem Shia.
Wahhabis Sufyani terrorist ISIS yang menghina photo Imam Husein s.a. sudah mampus ke Neraka Jahanam menemui Yazid bin Muawiyah l.a.

Sumber:  https://www.facebook.com/fatimah.anaxbaex/posts/874528129285315

Tujuan Imam Mahdi Terwujud Melalui Karbala


Simetri dan keselarasan antara Imam Mahdi as dan Imam Husain as menjadi tema utama yang dikupas oleh Hujjatul Islam Mujtaba Kalbasi manajer Pusat Kajian Mahdiisme kemarin dalam program televisi yang berjudul “Qarar-e Jom’eh”.
“Terdapat simetri historis antara 27 Rajab hari bi’tsah Rasulullah saw, 3 Sya’ban hari kelahiran Imam Husain as, dan 15 Sya’ban hari kelahiran Imam Mahdi,” ujar Kalbasi.

Dalam sabda Rasulullah saw, lanjut Kalbasi, Imam Mahdi dan Imam Husain adalah imam umat manusia. Rasulullah pernah menekankan bahwa Hasan dan Husain adalah imam, baik mereka berdiri atau duduk. Berkenaan dengan Imam Mahdi, beliau juga pernah bersabda bahwa ia termasuk anak cucu beliau dan imam terakhir.

Dari sisi nama, terdapat simetri yang indah antara Imam Mahdi dan Rasulullah sendiri. Nama mereka adalah Muhammad. Lanjut Kalbasi menekankan.

Kalbasi melanjutkan, tujuan utama gerakan dan kebangkitan Imam Husain as adalah memperbaiki umat manusia. Dalam sebuah hadis, beliau pernah menekankan tidak bangkit untuk kesombongan dan mencari kekuasaan. Beliau hanya ingin untuk memperbaiki umat kakek beliau. Kebangkitan Imam Mahdi as juga demikian. Beliau bangkit untuk memperbaiki kondisi politik, sosial, dan lain sebagainya.

Salah satu contoh gamblang dari tujuan tersebut, ujar Kalbasi, adalah memusnahkan para penguasa lalim. Dalam sebuah ucapan, Imam Husain pernah menekankan, “Apakah kalian tidak menyaksikan kebenaran sudah tidak diamalkan lagi dan orang-orang bejat memegang tampuk kekuasaa?” Dalam doa Nudbah kita membaca, Imam Mahdi adalah simpanan Ilahi untuk mematahkan tulang punggung orang-orang yang zalim.

(Shabestan)

Semilir Angin Sejuk Sya’ban, Pendahuluan Memasuki Bulan Ramadhan


Semilir angin sejuk Sya’ban telah berhembus, dan ini merupakan bulan akhir untuk langkah persiapan spriritual dalam memasuki bulan suci Ramadhan.
Kantor Shabestan di Shauma’ahsara melaporkan, Semilir angin Sya’ban telah mendayu dan memberikan semangat untuk lebih menikmati hangatnya bulan suci Ramadhan. Sya’ban adalah bulan terakhir yang mengantarkan langkah untuk memasuki bulan perjamuan besar, bulan suci Ramadhan.

Bulan kelahiran empat bintang nabawi, Imam Husain As, Abu Fadhl Abbas,Imam Sajjad, dan Imam Mahdi As.

Bulan Sya’ban adalah bulan yang sangat mulia, bulan yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw, dimana beliau bersabda, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan umatku. Di tempat lain beliau bersabda, Allah akan mengampuni  mereka yang memasuki bulanku dengan menegakkan kebenaran.

Bulan Sya’ban merupakan salah satu bulan yang penuh fadhilah dan keutamaan, bulan doa dan munajat kepada-Nya. Bulan pembersihan diri untuk mempersiapkan langkah memasuki bulan terindah. Banyak terdapat amalan dan doa di bulan ini, dimana terbaiknya adalah istighfar. Barang siapa beristighfar sebanyak 70 kali setiap hari di bulan ini, seakan ia beristighfar sebanyak 70 ribu kali di bulan-bulan lain.

Bulan Sya’ban, Kesempatan untuk Sucikan Ruh dan Jiwa dari Dosa dan Lalai

Hujjatul Islam Ismail Shadiqi, Imam Jamaah di Shumi’ahsara dalam perbincangannya dengan Shabestan mengatakan, bulan Sya’ban merupakan mukadimah untuk memasuki bulan suci Ramadhan dan hamba-hamba Allah harus bisa memanfaatkan bulan ini dengan sebaik-baiknya supaya memiliki persiapan yang sempurna untuk memasuki Ramadhan.

Ia menambahkan, tiga bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan merupakan bulan-bulan penghambaan, dan hamba Mukmin harus bisa memperoleh manfaat dari bulan-bulan ini untuk bertaqarrub kepada Allah.

Sembari menyinggung bahwa berpuasa satu hari di bulan ini sama dengan beribadah selama 70 tahun, mengatakan, para Syiah harus memanfaatkan setiap saat dari bulan ini dan memperbanyak doa untuk kemunculan Imam Mahdi As.

(Shabestan)

Apakah Istri Nabi Diharamkan Menerima Sedekah? Anomali Bantahan Nashibi


Metode beragama yang ditempuh Mazhab Ahlusunnah Wal Jama’ah (sunni) adalah “Metode Kaca Mata Kuda”. Ngotot menyatakan sesuatu sebagai kebenaran/hujjah dengan cara menyembunyikan begitu banyak hadits atau atsar lain yang justru berpotensi besar sebagai kebenaran karena bertentangan dengan klaim mereka.

Apakah Istri Nabi Diharamkan Menerima Sedekah? Anomali Bantahan Nashibi
Seperti biasa nashibi yang ingkar sunnah itu kembali membuat bantahan terhadap tulisan kami dan seperti biasanya bantahan itu “tidak bernilai” bagi orang yang mau sedikit saja menggunakan akalnya. Nashibi ini memang layak untuk dikatakan ajaib aneh tapi nyata, ia membantah suatu tulisan dengan dalil padahal dalil yang ia gunakan sebenarnya menjadi bantahan bagi dirinya. Fenomena ini hanya terjadi pada orang yang lemah akalnya atau orang berakal yang dikuasai oleh kebencian sehingga akalnya tertutup dengan nafsu membantah.

Tulisan ini kami buat bukan untuk dirinya karena ia jelas bukan tipe orang yang menginginkan kebenaran tetapi tipe orang yang hanya dipengaruhi kebencian terhadap syiah rafidhah. Jadi harap maklum kalau dalam pikiran nashibi itu setiap orang yang bertentangan dengannya harus dikatakan syiah rafidhah. Tulisan ini kami tujukan untuk para pembaca yang berniat mencari kebenaran.

Pada tulisan sebelumnya kami membawakan hadis Zaid bin Arqam dimana Zaid mengeluarkan istri Nabi dari ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Anehnya nashibi ngeyel itu membantah dengan membawakan riwayat Muslim yang malah menguatkan hujjah kami [komentar nashibi itu adalah yang kami blockquote]
Riwayat Zaid bin Arqam dalam riwayat Muslim adalah sebagai berikut :
وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ
Lalu Husain bertanya kepada Zaid ”Hai Zaid siapa gerangan Ahlul Bait itu? Tidakkah istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait? Jawabnya “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah sepeninggal beliau”, Husain bertanya “Siapa mereka?”.Jawab Zaid ”Mereka adalah Keluarga Ali, Keluarga Aqil, Keluarga Ja’far dan Keluarga Ibnu Abbas”. Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah (zakat)?” tanya Husain; “Ya”, jawabnya. (Shahih Muslim juz II hal 279 bab Fadhail Ali)
Dalam hadits Muslim di atas, Zaid mengatakan bahwa istri-istri Nabi termasuk dalam ahlul bait yang dimaksud berbeda dengan riwayat Mushanaf Ibnu Abi Syaibah.
Lucu sekali bukan, apa ada dalam tulisan kami sebelumnya kami menyatakan bahwa istri Nabi bukan ahlul bait?. Orang yang mampu memahami dengan baik pasti akan mengerti bahwa maksud perkataan Zaid bin Arqam adalah istri Nabi memang ahlul bait tetapi mereka bukan ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Riwayat Muslim tersebut tidaklah berbeda dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah apalagi Muslim juga membawakan riwayat Zaid bin Arqam dimana Hushain dan Yazid bertanya:

فقلنا من أهل بيته ؟ نساؤه ؟ قال لا وايم الله إن المرأة تكون مع الرجل العصر من الدهر ثم يطلقها فترجع إلى أبيها وقومها أهل بيته أصله وعصبته الذين حرموا الصدقة بعده

Kami bertanya “siapakah ahlul baitnya?” apakah istri istrinya?. Zaid menjawab “tidak, demi Allah seorang istri bisa saja ia terus bersama suaminya kemudian bisa juga ditalaknya hingga akhirnya ia kembali kepada ayahnya dan kaumnya. Yang dimaksud Ahlul baitnya adalah keturunan dan keluarga Beliau yang diharamkan menerima sedekah sepeninggalnya [Shahih Muslim 4/1873 no 2408].

Jadi justru riwayat Zaid bin Arqam dalam Shahih Muslim menguatkan apa yang kami tuliskan yaitu istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah. Yah melihat cara nashibi itu berhujjah membuat kami merasa kasihan. Semoga Allah SWT menyembuhkan penyakit di dalam hati mereka.

Nashibi itu juga berkata jika memang perkataan Zaid seperti itu maka itu adalah pendapatnya sendiri yang bisa benar dan bisa pula keliru. Kalau begitu hal yang sama pula bisa dikatakan untuk riwayat Aisyah yang sering dijadikan hujjah oleh nashibi. Jika memang riwayat Aisyah shahih [nyatanya tidak] maka itupun adalah pendapatnya sendiri yang bisa benar dan bisa pula keliru.

Kemudian nashibi itu membahas riwayat Barirah dengan cara yang menyedihkan. Ia mengatakan kesimpulan kami mentah dan ia membuat bantahan ngawur berikut
Orang syi’ah ini ternyata begitu mudah menarik kesimpulan yang masih mentah, berdasarkan hadits yang dia kutip, maula yang yang diharamkan menerima sedekah sebenarnya adalah khusus maula Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, karena mereka seperti keluarga beliau sendiri, Maimun dan Mihran adalah Maula Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam maka mereka pun haram menerima sedekah, sedangkan maula selain dari Maula Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam (termasuk Maula Aisyah) tidak terkena hukum ini.
Kami yakin nashibi itu sudah membaca tulisan kami sebelumnya dan ternyata ia masih mengeluarkan ucapan di atas. Hal ini membuktikan kalau nashibi itu memang orang yang ingkar sunnah. Wahai nashibi, kami hanya mengulang apa yang jelas jelas dinyatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Beliau bersabda

انا أهل بيت نهينا عن الصدقة وان موالينا من أنفسنا ولا نأكل الصدقة

Kami ahlul bait dilarang bagi kami menerima sedekah dan maula kami adalah bagian dari kami dan tidak boleh menerima sedekah.

Masa’ sih ada orang yang masih salah memahami hadis di atas. Lafaz yang dimaksud adalah “kami ahlul bait” kemudian dilanjutkan dengan lafaz “maula kami adalah bagian dari kami”. Maka siapapun yang punya sedikit akal pikiran pasti mampu memahami bahwa “maula kami” yang dimaksud disitu adalah “maula ahlul bait”. Apa ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami ahlul bait dilarang menerima sedekah” itu maksudnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja dan tidak untuk ahlul baitnya?. Aduhai kami kehilangan kata-kata menghadapi hujjah nashibi yang menyedihkan.

Hadis ini menjadi hujjah bahwa ahlul bait yang dimaksudkan dalam lafaz “kami ahlul bait diharamkan menerima sedekah” adalah ahlul bait yang maula mereka diharamkan menerima sedekah. Termasuk di dalamnya adalah Bani Hasyim yaitu keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga Aqil dan keluarga Abbas. Sedangkan istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak termasuk karena maula mereka dibolehkan menerima sedekah padahal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyatakan“maula suatu kaum adalah bagian dari kaum tersebut” dan “maula ahlul bait diharamkan menerima sedekah”. Jadi jika suatu kaum diharamkan menerima sedekah maka maula kaum tersebut juga diharamkan menerima sedekah. Jika istri Nabi sebagai ahlul bait diharamkan menerima sedekah maka maula mereka pun akan diharamkan menerima sedekah. Itulah yang nampak dari hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut.
Bagaimana mungkin maula (hamba sahaya yang dimerdekakan) beliau, diharamkan menerima sedekah yang merupakan salah satu kekhususan beliau, sedangkan Aisyah sebagai istri/ahlul bait beliau di dunia dan di akhirat tidak diharamkan menerima sedekah? Suatu logika yang sangat anomaly
Ketika ada tempatnya harus memakai logika maka nashibi ini menunjukkan seolah ia tidak punya logika atau menampilkan logika yang menyedihkan dan ketika pada tempat yang seharusnya tidak menggunakan logika, ia malah sok berhujjah dengan logika [walaupun logikanya masih ngawur juga]. Perkara siapa yang diharamkan menerima sedekah itu adalah nash dari Allah SWT dan Rasul-Nya bukan perkara logika. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri yang menyatakan bahwa maula ahlul bait juga diharamkan menerima sedekah. Dan sampai saat ini kami belum menemukan dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa istri Nabi diharamkan menerima sedekah.

Selanjutnya ia membawakan riwayat Barirah memberikan makanan yang disedekahkan padanya kepada Aisyah. Dengan berbagai riwayat ini ia ingin menunjukkan bahwa Aisyah [radiallahu ‘anha] itu termasuk diharamkan menerima sedekah. Silakan para pembaca perhatikan pembahasan kami dan pakailah logika yang benar untuk melihat betapa buruknya cara nashibi itu berhujjah

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ فِي بَرِيرَةَ ثَلَاثُ سُنَنٍ عَتَقَتْ فَخُيِّرَتْ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ وَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبُرْمَةٌ عَلَى النَّارِ فَقُرِّبَ إِلَيْهِ خُبْزٌ وَأُدْمٌ مِنْ أُدْمِ الْبَيْتِ فَقَالَ أَلَمْ أَرَ الْبُرْمَةَ فَقِيلَ لَحْمٌ تُصُدِّقَ بِهِ عَلَى بَرِيرَةَ وَأَنْتَ لَا تَأْكُلُ الصَّدَقَةَ قَالَ هُوَ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf yang berkata telah mengabarkan kepada kami Malik dari Rabi’ah bin ‘Abdurrahman dari Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radiallahu ‘anha yang berkata pada Barirah terdapat tiga pelajaran. Ia dimerdekakan kemudian diberikan pilihan. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “sesungguhnya wala’ itu adalah bagi mereka yang memerdekakan. Kemudian suatu ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk sedangkan periuk berada di atas api, Beliau lalu diberikan roti dan makanan yang biasa ada di rumah. Beliau berkata “bukankah tadi aku melihat periuk?”. Dikatakan kepada Beliau [oleh Aisyah] “periuk itu berisi daging yang disedekahkan kepada Barirah sedangkan anda tidak makan sedekah”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “baginya adalah sedekah sedangkan bagi kita adalah hadiah” [Shahih Bukhari 7/9 no 5097].

Barirah menghadiahkan daging itu kepada Aisyah [radiallahu ‘anha]. Kemudian Aisyah radiallahu ‘anha menerima daging pemberian Barirah itu dan memasaknya. Aisyah [radiallahu ‘anha] itu awalnya beranggapan daging itu masih sedekah sehingga tidak boleh disajikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hal ini nampak dalam lafaz  “anda tidak makan sedekah”. Dari lafaz itu juga diketahui bahwa menurut Aisyah, dirinya tidak diharamkan menerima sedekah. Kalau memang dirinya termasuk diharamkan menerima sedekah maka ia akan berkata “kita tidak makan sedekah” bukannya “anda tidak makan sedekah”.
Kalau memang Aisyah sebelumnya beranggapan daging pemberian Barirah itu adalah sedekah maka mengapa ia menerima bahkan memasaknya?. Apa daging sedekah itu mau ia sajikan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]?. Jelas tidak. Seandainya Aisyah merasa dirinya termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah maka ia pasti tidak akan menerima daging pemberian Barirah apalagi memasaknya. Mengapa? Karena ahlul bait diharamkan menerima sedekah.

Nashibi itu beranggapan Aisyah [radiallahu ‘anha] tahu bahwa dirinya ahlul bait diharamkan menerima sedekah tetapi tetap menerima sedekah yang ia diharamkan atasnya bahkan memasaknya. Bukankah ini suatu celaan yang nyata kepada Aisyah [radiallahu ‘anha]. Hal ini membuktikan kalau anggapan nashibi itu keliru. Aisyah merasa dirinya tidak diharamkan menerima sedekah maka tidak ada masalah baginya menerima pemberian Barirah [yang ia anggap sedekah]. Ia memasaknya untuk dirinya tetapi ia tidak menyajikan daging itu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena ia mengetahui bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah.

Pernyataan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] “baginya sedekah dan bagi kita hadiah” tidak menunjukkan bahwa Aisyah diharamkan menerima sedekah tetapi menunjukkan bahwa status makanan tersebut berubah. Ketika disedekahkan kepada Barirah maka daging itu adalah sedekah dan ketika Barirah menghadiahkan kepada Aisyah maka daging tersebut menjadi hadiah bukan lagi sedekah. Jadi daging tersebut ketika telah diberikan Barirah dan diterima Aisyah maka itu menjadi hadiah bagi Aisyah sehingga tidak masalah untuk diberikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Riwayat lain yang menunjukkan Aisyah dan juga istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang lain adalah termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah sebagai berikut :
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ بَعَثَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مِنْ الصَّدَقَةِ فَبَعَثْتُ إِلَى عَائِشَةَ مِنْهَا بِشَيْءٍ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى عَائِشَةَ قَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ قَالَتْ لَا إِلَّا أَنَّ نُسَيْبَةَ بَعَثَتْ إِلَيْنَا مِنْ الشَّاةِ الَّتِي بَعَثْتُمْ بِهَا إِلَيْهَا قَالَ إِنَّهَا قَدْ بَلَغَتْ مَحِلَّهَا
Muslim, 13.165/1789. Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim dari Khalid dari Hafshah dari Ummu ‘Athiyyah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengirimkan seekor kambing dari hasil sedekah kepadaku, lalu aku mengirim sebahagian darinya kepada ‘Aisyah. Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke rumah ‘Aisyah, beliau bertanya: Apakah kalian mempunyai sesuatu untuk dimakan? ‘Aisyah menjawab, Tidak ada, kecuali sedikit daging kambing yang telah engkau kirimkan kepadanya (Ummu ‘Athiyyah). Beliau berkata: Ia telah menjadi halal untuk dimakan.
Nashibi itu membawakan riwayat di atas sebagai bukti bahwa istri adalah ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Lagi lagi hadis ini adalah hujjah bagi kami bukan hujjah bagi dirinya. Dengan lucunya ia berkata:
Jawaban Aisyah dalam riwayat di atas ketika ditanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam apakah Aisyah mempunyai makanan menunjukkan bahwa Aisyah pada awalnya menganggap daging kiriman dari Ummu Athiyah tidak boleh dimakan sehingga beliau mengatakan “tidak ada”, tetapi kemudian Nabi membolehkannya karena itu bukan lagi barang sedekah.
Ummu Athiyah mendapatkan sedekah kemudian sebagiannya diberikan kepada Aisyah. Jika memang Aisyah pada awalnya menganggap daging itu sedekah sehingga tidak boleh dimakan. Maka mengapa ia menerima daging tersebut untuk dijadikan makanan. Aisyah menerima daging yang ia anggap sedekah karena ia tidak diharamkan menerima sedekah. Sikap Aisyah ini sangat berbeda dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah yang dikutip nashibi, ketika Khalid mengirimkan sapi sedekah kepada Aisyah, ia menolaknya dan berkata “kami keluarga Muhammad diharamkan menerima sedekah”.

Mengapa Aisyah tidak mengatakan hal yang sama kepada Ummu Athiyah bukankah Aisyah beranggapan daging tersebut adalah sedekah. Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bertanya kepada Aisyah “apakah ada makanan?” Aisyah menjawab“tidak ada”. Mengapa ia menjawab “tidak ada” padahal ada makanan yang ia terima dari Ummu Athiyah karena ia tahu bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan memakan sedekah dan ia beranggapan daging tersebut adalah sedekah. Baru setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyampaikan “sedekah itu telah sampai pada tempatnya” yaitu pada Ummu Athiyah maka pemberian Ummu Athiyah kepada Aisyah bukan lagi sedekah melainkan hadiah.

حدثنا أحمد بن زهير التستري ثنا عبيد الله بن سعد ثنا عمي ثنا أبي عن صالح بن كيسان عن ابن شهاب أن عبيد بن السباق أخبره أن جويرية بنت الحارث زوج النبي صلى الله عليه و سلم أخبرته أن مولاتها تصدق عليها بلحم فصنعته فلما رجع رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : هل عند كم من عشاء ؟ قلت : يا رسول الله قد تصد ق على فلانة بعضو من لحم وقد صنعته فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : قربوه فقد بلغت محلها فأكل منها

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Zuhair Al Tusturiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Sa’d yang berkata telah menceritakan kepada kami pamanku yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku dari Shalih bin Kiisaan dari Ibnu Syihaab bahwa Ubaid bin As Sabbaaq mengabarkan kepadanya bahwa Juwairiyah binti Al Haarits istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengabarkan kepadanya bahwa maulanya mendapatkan sedekah berupa daging maka ia memasak daging tersebut. Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang, Beliau berkata “apakah disisimu ada sesuatu [makanan]?”. Ia menjawab“wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sungguh telah disedekahkan kepada fulanah sebagian daging maka aku telah memasaknya”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “bawalah kemari sungguh sedekah itu telah sampai pada tempatnya” maka Beliau memakannya [Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 24/64 no 169].

Riwayat ini sanadnya shahih. Ahmad bin Zuhair adalah Ahmad bin Yahya bin Zuhair Al Tustury seorang Imam hujjah muhaddis alim hafizh [As Siyar Adz Dzahabiy 14/362 no 213]. Ubaidillah bin Sa’d bin Ibrahim adalah perawi Bukhari seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/632]. Pamannya adalah Yaq’ub bin Ibrahim bin Sa’d adalah perawi Bukhari Muslim yang tsiqat dan memiliki keutamaan [At Taqrib 2/337]. Ayahnya adalah Ibrahim bin Sa’d bin Ibrahim Az Zuhriy adalah perawi Bukhari Muslim yang tsiqat dan hujjah [At Taqrib 1/56]. Shalih bin Kiisaan adalah perawi Bukhari dan Muslim yang tsiqat tsabit faqih [At Taqrib 1/431]. Az Zuhriy adalah perawi Bukhari dan Muslim yang faqih hafizh disepakati kemuliaannya, pemimpin thabaqat keempat [At Taqrib 2/133]. Ubaid bin As Sabbaaq adalah perawi Bukhari dan Muslim yang tsiqat [At Taqrib 1/644].

Sisi pendalilannya adalah daging itu disedekahkan kepada maula Juawiriyah kemudian maula Juwairiyah memberikannya kepada Juwairiyah. Juwairiyah sebagai istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menerima dan memasak daging tersebut. Awalnya ia beranggapan daging tersebut masih berstatus daging sedekah sehingga ia tidak mau menyajikan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Disini terdapat hujjah bahwa Juwairiyah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun menurutnya daging itu adalah sedekah ia tetap menerimanya dan memasaknya. Untuk siapa ia memasaknya?. Jelas bukan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan memakan sedekah maka tidak lain ia memasaknya untuk dirinya sendiri. Kesimpulannya istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah.

Riwayat Barirah maula Aisyah yang mendapat sedekah dan riwayat maula Juwairiyah mendapatkan sedekah adalah dalil bahwa istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah yaitu dilihat dari dua sisi
  • Pertama, berdasarkan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwaahlul bait dan maula ahlul bait diharamkan menerima sedekah maka hal ini menunjukkan kalau istri Nabi tidak termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah karena maula mereka dibolehkan menerima sedekah
  • Kedua, dalam riwayat tersebut Aisyah dan Juwairiyah menerima daging yang anggapan mereka pada awalnya adalah sedekah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sebagai istri Nabi memang dibolehkan menerima sedekah tetapi tidak boleh menyajikannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Begitu pula riwayat Ummu Athiyah dan Nusaibah yang memberikan sedekah yang mereka terima kepada istri Nabi. Istri Nabi Aisyah awalnya mengira itu sedekah tetapi ia tetap menerimanya hanya saja ketika Nabi bertanya adakah makanan, ia menjawab tidak ada kecuali makanan dari sedekah tersebut. Ia menjawab “tidak ada” karena Nabi tidak boleh memakan sedekah. Tetapi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjelaskan kalau itu bukan lagi sedekah karena sedekah itu telah sampai pada tempatnya. Seandainya istri Nabi diharamkan menerima sedekah maka Aisyah pasti akan langsung menolak pemberian daging dari Ummu Athiyah yang ia anggap dari sedekah bukannya menerima dan memasaknya.

Apakah Istri Nabi [Shallallahu ‘alaihi wasallam] Diharamkan Menerima Sedekah?
Tidak diragukan bahwa Ahlul Bait diharamkan menerima sedekah sebagaimana dijelaskan dalam hadis hadis shahih. Perselisihan timbul ketika ditanyakan apakah istri Nabi termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah?. Tulisan ini mencoba untuk memberikan dalil-dalil atau hujjah bahwa istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah. Mereka adalah ahlul bait tetapi tidak diharamkan menerima sedekah sedangkan ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah adalah mereka ahlul bait yang memiliki ikatan nasab dengan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Ada yang berhujjah dengan riwayat perkataan Aisyah radiallahu ‘anha dimana Beliau pernah menolak sedekah dan menyatakan itu tidak halal bagi keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Berikut riwayatnya

حدثنا وكيع عن محمد بن شريك عن ابن أبي مليكة أن خالد بن سعيد بعث إلى عائشة ببقرة من الصدقة فردتها وقالت إنا آل محمد صلى الله عليه وسلم لا تحل لنا الصدقة

Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Muhammad bin Syariik dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Khalid bin Sa’id diutus kepada Aisyah untuk memberikan sapi dari sedekah kepada Aisyah tetapi ia menolaknya seraya berkata “sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidak dihalalkan bagi kami menerima sedekah” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 3/214 no 10802].

Riwayat ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat seolah tampak shahih tetapi jika diteliti dengan baik riwayat ini mengandung illat [cacat] yaitu inqitha’ [terputus sanadnya]. Riwayat diatas sanadnya berhenti pada Ibnu Abi Mulaikah dan ia meriwayatkan kisah dimana Khalid bin Sa’id memberikan sedekah kepada Aisyah radiallahu ‘anha.

Khalid bin Sa’id yang dimaksud adalah Khalid bin Sa’id bin ‘Ash salah seorang sahabat Nabi. Khalid bin Sa’id bin ‘Ash wafat atau syahid pada perang Ajnadain pada tahun 13 H [Al Ishabah Ibnu Hajar 2/238 no 2169]. Jadi peristiwa Khalid bin Sa’id mengirimkan sapi sedekah kepada Aisyah dan Aisyah menolaknya seraya berkata kepada Khalid bahwa keluarga Muhammad tidak dihalalkan menerima sedekah terjadi sebelum tahun 13 H.

Adz Dzahabiy dalam As Siyar ketika menyebutkan biografi Ibnu Abi Mulaikah menyatakan bahwa ia lahir pada masa khalifah Ali atau sebelumnya. Disebutkan Al Bukhari bahwa ia wafat tahun 117 H dan Adz Dzahabi menyatakan bahwa umurnya lebih kurang delapan puluh tahun [As Siyar Adz Dzahabiy 5/89-90 no 30]. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Abi Mulaikah belum lahir saat peristiwa Khalid bin Sa’id datang kepada Aisyah. Jadi riwayat tersebut inqitha’ [sanadnya terputus] sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

حدثنا ابن فضيل عن أبي حيان عن يزيد بن حيان قال انطلقت أنا وحصين بن عقبة إلى زيد بن أرقم فقال له يزيد وحصين من أهل بيته أليس نساؤه من أهل بيته قال لا ولكن أهل بيته من حرم الصدقة عليه فقال له حصين ومن هم قال هم آل عباس وآل علي وآل جعفر وآل عقيل فقال له حصين على هؤلاء تحرم الصدقة قال نعم

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudhail dari Abi Hayyaan dari Yazid bin Hayyaan yang berkata aku dan Hushain bin ‘Uqbah datang kepada Zaid bin Arqam maka Yazid dan Hushain berkata kepadanya “siapakah ahlul baitnya [Rasulullah]?Bukankah istri istrinya termasuk ahlul baitnya?”. Zaid berkata “tidak, ahlul baitnya adalah orang yang diharamkan sedekah atas mereka”. Hushain berkata kepadanya “siapakah mereka?”. Zaid berkata “mereka adalah keluarga ‘Abbas keluarga Ali, keluarga Ja’far dan keluarga Aqil”. Hushain berkata kepadanya “mereka semua diharamkan sedekah”. Zaid berkata “benar” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 3/214 10806].

Riwayat Zaid bin Arqam ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dan bersambung hingga Zaid bin Arqam, para perawinya adalah perawi tsiqat.
  • Muhammad bin Fudhail bin Ghazwaan adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/125]. Adz Dzahabiy menyatakan tsiqat [Al Kasyf no 5115]
  • Abu Hayyaan adalah Yahya bin Sa’id bin Hayyaan adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat ahli ibadah” [At Taqrib 2/303] dan Adz Dzahabiy berkata “Imam tsabit” [Al Kasyf no 6173]
  • Yazid bin Hayyaan At Tamimiy termasuk perawi Muslim yang tsiqat. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 2/323]. Adz Dzahabiy berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 6294]
Riwayat Zaid menyatakan dengan jelas bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukan termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah.

Terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak termasuk yang diharamkan menerima sedekah

عن بن أبى رافع عن أبيه ان النبي صلى الله عليه و سلم بعث رجلا من بني مخزوم على الصدقة فقال الا تصحبني تصيب قال قلت حتى أذكر ذلك لرسول الله صلى الله عليه و سلم فذكرت ذلك فقال أنا آل محمد لا تحل لنا الصدقة وان مولى القوم من أنفسهم

Dari Ibnu Abi Rafi’ dari ayahnya bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus seorang laki-laki dari bani Makhzum untuk mengambil sedekah. Maka ia berkata “temanilah aku dan engkau akan mendapat bagian”. Aku berkata “tunggu sampai aku menanyakan hal itu kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” dan aku menanyakannya maka Beliau berkata “kami keluarga Muhammad tidak dihalalkan bagi kami sedekah dan mawla suatu kaum termasuk kaum itu sendiri [Musnad Ahmad 6/390 no 27226 Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari Muslim”].

Kemudian diriwayatkan pula dari Ummu Kultsum binti Ali bahwa mawla Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang bernama Maimun atau Mihran mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah bersabda

فقال له يا ميمون أو يا مهران انا أهل بيت نهينا عن الصدقة وان موالينا من أنفسنا ولا نأكل الصدقة

Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata kepadanya “wahai Maimun atau wahai Mihraan kami ahlul bait dilarang bagi kami menerima sedekah dan mawla kami termasuk bagian dari kami dan tidak boleh memakan sedekah” [Musnad Ahmad 4/34 no 16446 Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya hasan”].

Dari kedua hadis ini disimpulkan bahwa mawla Ahlul Bait juga diharamkan menerima sedekah. Maka jika istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah maka mawla merekapun seharusnya diharamkan menerima sedekah. Faktanya tidak begitu, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membolehkan Barirah maula Aisyah radiallahu ‘anha untuk menerima sedekah

عن قتادة سمع أنس بن مالك قال أهدت بريرة إلى النبي صلى الله عليه و سلم لحما تصدق به عليها فقال هو لها صدقة ولنا هدية

Dari Qatadah yang mendengar Anas bin Malik berkata Barirah mengahadiahkan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] daging yang disedekahkan kepadanya maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “untuknya ini adalah sedekah dan bagi kami ini adalah hadiah” [Shahih Muslim 2/756 no 1074].

Sisi pendalilannya adalah disebutkan dalam dua hadis sebelumnya bahwa keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah termasuk juga maula ahlul bait atau maula keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Barirah maula Aisyah radiallahu ‘anha dibolehkan menerima sedekah maka hal itu menunjukkan bahwa Aisyah radiallahu ‘anha tidak termasuk dalam ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah.

Apakah Istri Nabi Diharamkan Menerima sedekah? : Anomali Bantahan Nashibi [2]
Yah beginilah jadinya diskusi dengan makhluk yang akalnya tertutup, sedikitpun ia tidak bisa mengambil pelajaran tetapi malah nafsu membantah. Seolah olah dengan membuat bantahan ia dapat menunjukkan kebenaran hujjahnya padahal malah justru lebih menguatkan kelemahan akalnya. Langsung saja [bantahannya adalah tulisan yang kami blockquote].

Riwayat Zaid bin Arqam
Sebagaimana sudah dijelaskan di artikel sebelumnya, jika perkataan Zaid tersebut difahami sebagaimana pemahaman si rafidhi nashibi tersebut, maka di atas adalah pendapat pribadi Zaid, bisa benar dan bisa juga tidak. Tentunya Aisyah yang lebih kuat dalam hal ini, karena dia sebagai istri Nabi yang menjadi obyek pembahasan saat ini.
Kami ajarkan caranya berhujjah wahai nashibi. Antara perkataan Zaid bin Arqam dan Aisyah manakah yang shahih?. Jawabannya perkataan Zaid bin Arqam. Kami setuju pendapat Zaid bisa benar bisa salah tetapi itu namanya menyebarkan syubhat bukan berhujjah. Kalau memang salah silakan tunjukkan dalil yang menunjukkan kesalahannya. Kalau tidak ada dalil shahihnya maka perkataan Zaid bin Arqam itu benar apalagi telah dikuatkan oleh dalil yang telah kami sebutkan.
Bagi kami dalam memahami riwayat Zaid di atas berbeda dengan si rafidhi nashibi tersebut, yang dimaksud Zaid dengan mengatakan : “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah sepeninggal beliau” adalah Istilah Ahlul Bait secara lebih luas di mana melingkupi keluarga Ali, Aqil, Ja’far dan Ibnu Abbas dan termasuk juga istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam itu sendiri.
Alangkah anehnya nashibi ini, yang dipermasalahkan disini bukan istilah Ahlul Bait tetapi pernyataan Zaid dimana ia membagi ahlul bait sebagai ada yang diharamkan sedekah atasnya dan ada yang tidak. Kami mengakui kalau Zaid menyatakan istri Nabi sebagai ahlul bait tetapi dalam pandangan Zaid, istri Nabi adalah Ahlul Bait yang tidak diharamkan sedekah atasnya sedangkan ahlul bait yang diharamkan sedekah atasnya adalah keluarga Ali, keluarga Ja’far, Keluarga Aqil dan Keluarga Abbas, semuanya dari bani hasyim.
Karena Zaid memahami apa yang ditanyakan oleh Hushain adalah makna ahlul bait secara khusus sesuai bahasa yaitu penghuni rumah Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam,
Ini cuma ucapan basa basi dan seperti biasa lahir dari orang yang kebanyakan ngeyel. Berhujjah itu tunduk pada hadis yang dijadikan hujjah bukannya hadis diturutkan dengan hawa nafsu. Hushain justru paham bahwa ahlul bait itu bermakna luas dan ia ingin tahu siapa ahlul bait yang dibicarakan Zaid. Lafaz “bukankah istri Nabi termasuk ahlul baitnya” adalah lafaz yang diucapkan oleh orang yang paham bahwa ahlul bait itu bermakna luas. Hushain ingin tahu siapa saja ahlul bait yang dibicarakan Zaid dan apakah istri Nabi termasuk di dalamnya. Jadi dari lafaz hadisnya jelas bertentangan dengan klaim basa basi nashibi yang ingkar sunnah itu
dan jelas penghuni rumah beliau adalah istri-istri beliau itulah yang dimaksud oleh Hushain, tetapi ahlul bait dalam pengertian tersebut bukan yang dimaksud oleh Zaid, yang dimaksud Zaid dalam riwayat di atas adalah ahlul bait dalam pengertian secara lebih luas yaitu mereka yang diharamkan menerima shadaqah. Sampai di sini kalau si rafidhi nashibi ini tidak memahami juga, kita hanya bisa bilang kebangetan nih orang…
Menjawab komentar basa basi bin ngeyel tidak bisa dengan basa basi juga. Mengapa? Karena yang namanya basa basi tidak akan ada habisnya. Apapun hujjah dan dalil yang anda bawakan, nashibi yang suka basa basi ini akan selalu bisa melontarkan jawaban ngeyel. Ia memang tidak sedang berhujjah dengan hadis tetapi berhujjah dengan ngeyelisme yang jadi penyakitnya. Sebaik baik jawaban adalah lafaz perkataan Zaid bin Arqam dalam hadisnya

قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ

Jika diterjemahkan artinya adalah Zaid berkata “istri istri Nabi adalah ahlul baitnya akan tetapi ahlul baitnya adalah yang diharamkan menerima sedekah setelahnya”.

Mengapa diantara frase “istri istri Nabi adalah ahlul baitnya” dan frase “ahlul baitnya adalah yang diharamkan menerima sedekah” terdapat kata “walakin” yang artinya “akan tetapi”. Jawabannya karena ahlul bait yang sedang dibicarakan Zaid bukanlah istri istri Nabi. Zaid ingin mengatakan kepada Hushain bahwa istri Nabi memang termasuk ahlul bait tetapi ahlul bait yang ia maksudkan dalam pembicaraannya adalah orang yang diharamkan menerima sedekah. Nah ini menunjukkan dalam pandangan Zaid, istri Nabi bukan ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Dalam riwayat lain yang juga shahih, ucapan Zaid adalah berikut

قال لا ولكن أهل بيته من حرم الصدقة عليه

Zaid berkata “tidak akan tetapi ahlul baitnya adalah yang diharamkan menerima sedekah atasnya”.

Nah maksud perkataan Zaid “tidak” disini adalah istri Nabi bukan ahlul bait yang ia maksudkan akan tetapi yang ia maksudkan adalah ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah atasnya. Jawaban Zaid jelas menunjukkan bahwa istri Nabi bukan termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Sekedar info saja penjelasan kami ini sama halnya dengan apa yang dijelaskan oleh An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim ketika menjelaskan  hadis ini. Justru nashibi itu yang tidak mengerti bahasa arab dan berkeras dengan kengeyelannya. Alangkah kasihannya orang itu.
Sedangkan riwayat Muslim no. 2408, kami mengira kekeliruan pada hafalan si perawi walaupun sanad hadits tersebut shahih, karena jelas bertentangan dengan riwayat Zaid di atas.
Silakan lihat wahai pembaca yang terhormat, jika hadis tersebut tidak sesuai dengan hawa nafsunya ia akan gampang melemahkannya. Di lain waktu ia akan membangga banggakan kitab hadis shahih Bukhari dan Muslim serta melecehkan kitab yang asing ditelinganya. Kedua lafaz tersebut shahih bahkan lafaz riwayat Muslim ini telah dikuatkan oleh lafaz riwayat Ibnu Abi Syaibah. Dinilai dari kuatnya, lafaz ini jelas lebih kuat sanadnya dibanding lafaz riwayat Muslim sebelumnya.
Jawaban Zaid bin Arqam ada dua versi riwayat dan keduanya shahih  tidak bertentangan sedangkan ucapan nashibi bahwa salah satu versi lemah karena hafalan perawinya adalah ucapan dusta yang tidak ada dasarnya. Kami telah buktikan shahihnya riwayat Ibnu Abi Syaibah ditambah lagi juga dikuatkan oleh riwayat Muslim yang kami kutip. Ucapan basa basi tidak ada gunanya wahai nashibi
Pertanyaan saya sekali lagi, apakah yang dimaksud keluarga Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas itu tidak termasuk istri-istri mereka jika istri-istri mereka bukan dari kalangan Bani Hasyim?
Tentu saja yang dimaksud diharamkan sedekah itu adalah bani Hasyim. Jadi keluarga Ali, Ja’far, Aqil dan Abbas yang dimaksud adalah bani hasyim. Kalau memang ada istri mereka bukan dari kalangan bani hasyim maka kami belum menemukan dalil bahwa istrinya diharamkan menerima sedekah. Silakan wahai nashibi kalau anda menemukan dalil bahwa istri mereka bukan dari bani hasyim juga dilarang menerima sedekah. Maka bagaimana pula status dengan anak dari istri tersebut juga orang tuanya dan kerabatnya yang bukan bani hasyim?. Apakah diharamkan menerima sedekah juga?. Sudah kami katakan sebelumnya perkara siapa yang diharamkan menerima sedekah bukan perkara yang bisa dipikirkan dengan logika. Dasar nashibi, sok berlogika seolah mereka punya saja
.
.
Riwayat Mawla Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Rasulullah bersabda dalam riwayat di atas terhadap mawla beliau sendiri, dan beliau adalah juga ahlul bait bahkan beliau adalah sayyidul bait, maka yang dipahami di sini adalah mawla (budak yang dibebaskan) beliau adalah juga mawla ahlul bait beliau, karena beliau adalah sayyidul bait, tetapi  sebaliknya, mawla (budak yang dibebaskan) anggota ahlul bait beliau tidak dikategorikan mawla beliau yang diharamkan sedekah. Sampai di sini kalau si rafidhi nashibi ini tidak juga memahami, maka kami hanya mengelus dada dan merasa kasihan kepadanya.
Wahai nashibi berhentilah dari ucapan dusta. Sikap anda hanya menunjukkan kalau anda semakin ingkar terhadap sunnah. Siapapun yang bisa sedikit bahasa arab akan paham maksud ucapan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut bahwa maula ahlul bait atau maula keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan atas mereka sedekah. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri yang menyatakan demikian.

انا أهل بيت نهينا عن الصدقة وان موالينا من أنفسنا ولا نأكل الصدقة

Kami ahlul bait dilarang bagi kami menerima sedekah dan maula kami adalah bagian dari kami dan tidak boleh menerima sedekah

أنا آل محمد لا تحل لنا الصدقة وان مولى القوم من أنفسهم

Kami keluarga Muhammad tidak halal bagi kami menerima sedekah dan maula suatu kaum termasuk kedalam kaum tersebut.

Lafaz “kami ahlul bait” serupa dengan lafaz “kami keluarga Muhammad” yaitu diharamkan menerima sedekah. Dan lafaz “maula kami adalah bagian dari kami” sama halnya dengan lafaz “maula suatu kaum bagian dari kaum tersebut”. Jadi siapakah maula yang diharamkan menerima sedekah?. Apakah khusus maula Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja?. Jelas tidak, orang yang menyatakan demikian berarti ia sudah mendustakan hadis yang begitu jelasnya dan terang benderang. Maula yang dimaksud disitu adalah maula ahlul bait atau maula keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] termasuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Apakah lafaz “kaum” yang dimaksud itu hanya merujuk pada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja?. Cuma orang yang lemah akalnya yang bilang begitu. Dan jika orang tersebut sok merasa kasihan atas orang lain maka keadaannya jauh lebih menyedihkan.

Dan yah kalau nashibi itu bisa membaca [itu pun kalau bisa] sebagian ulama menyatakan bahwa maula bani hasyim diharamkan menerima sedekah. Apa dalilnya? Yaitu hadis yang telah kami kutip. Jadi sangat berbeda dengan ucapan dusta nashibi tersebut.
Jadi hadits di atas tidak bisa dijadikan sebagai hujjah bahwa istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tidak diharamkan menerima sedekah, sampai detik ini kami tidak melihat ada suatu hadits yang tegas mengatakan hal tersebut, jadi pendalilan si rafidhi nashibi ini sangat lemah.
Jangan sok bicara hadis tegas. Sejelas apapun dalilnya akan anda pelintar pelintir sesuka hati. Ini sudah bukan masalah dalil tetapi sudah masalah nafsu anda saja yang maunya terus membantah walaupun dengan cara memalukan. Kami sarankan silakan anda belajar bahasa arab sedikit agar anda paham hadis yang kami kutip. Malas sekali menghadapi orang yang bisanya hanya kopipaste hadis dari lidwa.
Sekali lagi si rafidhi nashibi ini tidak bisa menjawab, bagaimana mungkin maula (hamba sahaya yang dimerdekakan) beliau, diharamkan menerima sedekah yang merupakan salah satu kekhususan beliau, sedangkan Aisyah sebagai istri/ahlul bait beliau di dunia dan di akhirat tidak diharamkan menerima sedekah? Suatu logika yang sangat anomaly dan lemah. Ini bukan perkara bahwa ini adalah ketentuan Nabi atau apa, tetapi pendalilan si rafidhi nashibi ini yang keliru, pepesan kosong seperti biasa.
Lha kalau memang pakai logika, ya silakan pakai maka bagaimana dengan sahabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang katanya sahabat di dunia dan akhirat seperti Abu Bakar dan Umar. Apakah masuk di logika anda kalau mereka juga diharamkan menerima sedekah?. Dan mereka tidak hanya sahabat tetapi juga mertua Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Andalah yang pakai logika dalam masalah ini maka itu adalah masalah bagi anda sendiri. Sedangkan kami berhujjah dengan dalil shahih bukan logika ngawur. So mengapa kami harus menjawab pertanyaan ngawur anda.
Mungkin hatinya yang buta dipenuhi rasa hasud terhadap istri Nabi sehingga dia tidak melihat hadits-hadits shahih mengenai hal ini, dasar Nashibi!
Silakan tunjukkan dalil jelas dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa istri Nabi diharamkan menerima sedekah?. Jangan cuma klaim tanpa bukti. Jika memang sedemikian masyhurnya bahwa istri Nabi diharamkan menerima sedekah maka mengapa sahabat Zaid bin Arqam radiallahu ‘anhu tidak mengetahuinya.
.
.
Riwayat Aisyah “Kisah Barirah”
Si Rafidhi Nashibi ini apakah lupa bahwa Barirah adalah mawla Aisyah dan sering membantu Aisyah, setelah dimerdekakan, Barirah diberi pilihan untuk tetap bersama suaminya atau berpisah dan dia memilih berpisah dengan suaminya dan ikut bersama Aisyah, apakah periuk di atas api bisa disimpulkan bahwa yang memasak adalah Aisyah?
Lho kalau begitu siapa yang memasaknya?. Sangat jelas dari hadis Shahih Bukhari tersebut bahwa ketika Beliau masuk ke rumah Aisyah, periuk itu sedang di atas api. Artinya “daging itu sedang dimasak”. Siapa yang memasaknya? Barirah? Mana buktinya, itu namanya berandai andai. Hadisnya tidak menyebutkan demikian. Bahkan dari hadis Shahih Bukhari tersebut jelas Barirah tidak berada disana karena Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “baginya sedekah” kalau memang ketika itu Barirah ada disana maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan berkata “bagimu adalah sedekah”.
Dan apakah kemudian disimpulkan bahwa Aisyah akan memakannya?. Beliau lalu diberikan roti dan makanan yang biasa ada di rumah, artinya daging tersebut tidak biasa di rumah Aisyah dan itu adalah milik Barirah. Jadi tidak ada penunjukkan dalam hadits di atas bahwa Aisyah tidak diharamkan menerima sedekah.
Wahai nashibi pakai logikanya, jangan sok berkata logika ternyata cuma komentar ngawur. Daging tersebut memang tidak biasa di rumah Aisyah karena itu berasal dari pemberian Barirah yang mendapat sedekah. Apa memangnya Barirah itu setiap hari mendapat sedekah dan setiap hari pula ia memberikan sedekah yang ia terima kepada Aisyah?. Perkataan nashibi “itu adalah milik Barirah” adalah perkataan dusta.

Mengapa? Karena sangat jelas bahwa itu adalah milik Aisyah setelah Barirah memberikan padanya. Bagaimana mungkin Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memakan makanan milik Barirah tanpa meminta izin dulu dari Barirah. Barirah memberikan daging kepada Aisyah dan Aisyah yang memasaknya, ini sangat jelas karena Barirah tidak ada disana dan daging itu masih dimasak ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk.
Si rafidhi nashibi ini mempermasalahkan mengapa Aisyah berkata “Anda tidak makan sedekah” kok tidak mengatakan “kita tidak makan sedekah” kita bisa dengan mudah menjawab pertanyaan konyolnya itu dengan bertanya konyol ke dia mengapa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mengatakan “baginya adalah sedekah sedangkan bagi kita adalah hadiah” kok tidak mengatakan“bagi kalian adalah sedekah sedangkan bagiku adalah hadiah”
Nah komentar ini menunjukkan kalau nashibi itu tidak mengerti pembahasan kami sebelumnya. Jawabannya sudah kami tulis di pembahasan sebelumnya. Lafaz “bagi kita hadiah” menunjukkan bahwa
  • Daging itu adalah hadiah bagi Aisyah.
  • Daging itu adalah hadiah bagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Bukankah Barirah memberikan daging itu kepada Aisyah maka daging itu adalah hadiah bagi Aisyah. Yang mendapat sedekah adalah Barirah sedangkan Aisyah mendapat hadiah dari Barirah makanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengatakan “bagi kalian adalah sedekah”. Aisyah radiallahu ‘anha awalnya beranggapan daging itu masih berstatus sedekah setelah Barirah memberikannya tetapi kenapa ia tidak menolaknya. Mengapa daging itu harus berada di rumahnya jika ia beranggapan dirinya dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah?. Seperti yang kami katakan jika Aisyah merasa dirinya diharamkan menerima sedekah maka ia tidak akan menerimanya tetapi menolak pemberian Barirah.
Satu hal lagi, bahwa Barirah menghadiahkan daging tersebut sebenarnya bukan hanya untuk Aisyah tetapi juga untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, sebagaimana riwayat berikut
Aneh itu pun juga sudah kami nyatakan sebelumnya. Apa yang anda inginkan dengan fakta itu?. Wahai nashibi andalah yang tidak mengerti maksud lafaz “bagi kita hadiah” menunjukkan bahwa hukum makanan itu berubah. Makanan yang disedekahkan kepada seseorang telah menjadi milik orang tersebut. Jika orang tersebut memberikannya kepada orang lain maka status makanan itu bukan lagi sedekah melainkan hadiah. Dengan lafaz “bagi kita hadiah” menunjukkan bahwa makanan itu hadiah bagi Aisyah dan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Apa ada dalam lafaz ini menunjukkan bahwa Aisyah diharamkan menerima sedekah?. Apakah jika Aisyah dibolehkan menerima sedekah maka setiap hadiah yang diberikan kepadanya harus dianggap sedekah?. Apakah jika Aisyah dibolehkan menerima sedekah maka ia tidak bisa menerima hadiah?.

Aisyah sendiri yang menunjukkan bahwa dirinya bisa menerima sedekah dan hadiah karena awalnya ia beranggapan daging Barirah adalah sedekah, ia terima dan ia masak. Kemudian setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjelaskan bahwa daging sedekah jika sudah diberikan oleh orang yang menerima sedekah statusnya adalah hadiah maka Aisyah baru paham kalau yang ia terima adalah hadiah dan tidak mengapa disajikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Maka jelas kalimat “kita” pada hadits-hadits tersebut adalah untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Lha iya, kapan pula kami membantah soal itu?. Nashibi ini memang sulit memahami hujjah orang lain. Jelas hadiah itu diperuntukkan bagi Aisyah dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka lafaznya adalah “bagi kita adalah hadiah” tetapi yang tidak boleh menerima sedekah itu hanya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedangkan Aisyah [radiallahu ‘anha] boleh menerima sedekah.
Perkataan tersebut jelas menunjukkan bahwa bagi Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan Aisyah daging itu adalah Hadiah, artinya bukan sedekah dan artinya pula bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan Aisyah tidak menerima sedekah tetapi hanya menerima Hadiah alias mereka diharamkan menerima sedekah. hal yang mudah dipahami tetapi bagi orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit menjadi sulit dan berbelit-belit.
Sekarang kami tanya wahai nashibi, kapan Aisyah menyadari bahwa daging tersebut hadiah? itu setelah Rasululullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakannya. Kapan ia menerima daging tersebut, meletakkan di rumahnya bahkan dimasak di rumahnya? Itu sebelum Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan kepadanya bahwa itu hadiah. Anehnya bagian mana dari lafaz “bagi kita hadiah” yang menunjukkan bahwa Aisyah diharamkan menerima sedekah. Jangan mengkhayal wahai nashibi. Kalau memang Aisyah beranggapan dari awal bahwa yang ia terima adalah hadiah maka mengapa ia tidak mau menyajikannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan mengapa ia berkata “anda tidak makan sedekah”. Jelas Aisyah awalnya beranggapan yang ia terima adalah sedekah baru setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjelaskan maka ia paham bahwa apa yang ia anggap sedekah sebenarnya adalah hadiah.

Ada analogi sederhana, misalnya anda dan istri anda tinggal satu rumah. Anda diwasiatkan oleh ayah anda tidak boleh menerima sedekah orang lain tetapi boleh menerima hadiah. Istri anda tidak ada masalah [ia tidak punya ayah yang aneh]. Suatu ketika saya memberikan daging yang disedekahkan kepada saya pada istri anda. Istri anda menerimanya tahu kalau anda tidak boleh menerima sedekah tetapi istri anda menyukai daging tersebut jadi ia menyimpannya untuk dirinya sendiri. Ketika anda datang, anda melihat ada daging yang dimasak tetapi tidak disajikan kepada anda. Anda bertanya soal daging itu, istri anda menjelaskan bahwa saya menerima sedekah kemudian memberikannya maka istri anda tidak menyajikan karena anda dilarang makan sedekah. Tiba tiba saya menelepon saya katakan bahwa daging itu adalah hadiah. Maka anda berkata “bawakan daging itu, itu adalah hadiah bagi kita”. Nah apakah adanya lafaz “hadiah bagi kita” menunjukkan bahwa anda dan istri anda dilarang memakan sedekah. Jelas tidak ada indikasinya, andalah yang dilarang oleh ayah anda yang aneh sedangkan istri anda tidak. Tetapi lafaz yang anda gunakan tetap “bagi kita adalah hadiah”  karena saya memang memberikan untuk anda dan istri anda
Nashibi itu berhujjah dengan hadis berikut yang mengandung lafaz “bagi kalian hadiah”. Kami tidak membahasnya sebelumnya karena itu sudah tercakup dalam pembahasan hadis Shahih Bukhari yang kami kutip. Ini lafaznya:

كَانَ النَّاسُ يَتَصَدَّقُونَ عَلَيْهَا وَتُهْدِي لَنَا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هُوَ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ وَلَكُمْ هَدِيَّةٌ فَكُلُوهُ

Orang orang bersedekah kepadanya kemudian ia memberikan kepada kami maka aku menyebutkan hal itu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan berkata “baginya adalah sedekah dan bagi kalian adalah hadiah, makanlah”.

Kami tanya pada anda wahai nashibi? Mana lafaz yang menyatakan bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah. Lafaz “bagi kalian hadiah” seperti yang kami jelaskan adalah penunjukkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa siapapun yang menerima pemberian Barirah itu maka ia telah menerima hadiah dari Barirah. Pernyataan Aisyah radiallahu ‘anha “memberikan kepada kami” menunjukkan bahwa bukan cuma Aisyah [radiallahu ‘anha] yang diberikan oleh Barirah tetapi juga sahabat lain. Nah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “bagi kalian adalah hadiah”. Siapa kalian disini? Ya siapapun yang menerima pemberian Barirah termasuk Aisyah radiallahu ‘anha.

Mungkin yang menjadi hujjah nashibi adalah lafaz “makanlah”. Menurut nashibi seolah olah dengan lafaz itu Aisyah merasa haram untuk memakannya sebelumnya dan setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan itu hadiah dan berkata “makanlah” itu menjadi halal baginya. Tentu saja hujjah ini tertolak, karena dari awal seperti yang kami tunjukkan dalam hadis Bukhari dalam kisah yang sama Aisyah telah menerima sedekah tersebut, memasaknya tetapi tidak menyajikan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena ia tahu bahwa Beliau tidak makan sedekah.

Lafaz “anda tidak makan sedekah” justru mengandung hujjah bahwa Aisyah tidak termasuk diharamkan menerima sedekah. Bukankah Aisyah telah mengetahui hadis bahwa keluarga Muhammad diharamkan menerima sedekah, nah jika ia telah tahu dan merasa dirinya termasuk diharamkan menerima sedekah maka ia akan menolak setiap pemberian yang ia anggap sedekah bukannya menerima pemberian tersebut. Begitu pula jika ia tahu bahwa keluarga Muhammad haram menerima sedekah maka lafaz yang akan ia ucapkan adalah “kita tidak makan sedekah” bukannya “anda tidak makan sedekah” karena daging itu memang dihadiahkan Barirah kepada Aisyah dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Perhatikan hadis berikut

حَدَّثَنَا أبو يُوسُف ، حَدَّثَنَا مكي بن إبراهيم قال بهز ذكره عن أبيه عَن جَدِّهِ قَال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أتى بطعام سأل عنه أهدية أم صدقة ؟ فإن قالوا هدية بسط يده ، وإن قالوا صدقة قال لأصحابه : كلوا

Telah menceritakan kepada kami Abu Yusuf yang berkata telah menceritakan kepada kami Makkiy bin Ibrahim yang berkata Bahz menyebutkannya dari ayahnya dari kakeknya yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] jika datang makanan, ia akan bertanya tentangnya apakah itu hadiah atau sedekah?. Jika mereka berkata “hadiah” beliau mengambilnya dan jika mereka berkata “sedekah” maka beliau berkata kepada sahabatnya “makanlah” [Ma’rifat Wal Tarikh Al Fasawiy 1/305 dengan sanad shahih].

Silakan perhatikan lafaz perkataan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada sahabatnya “makanlah” yang Beliau ucapkan ketika dikatakan kalau makanan itu sedekah. Apakah dari lafaz tersebut bisa ditarik kesimpulan jika makanan itu hadiah [bukan sedekah] maka sahabat Nabi diharamkan untuk memakannya. Baik itu sedekah atau hadiah, para sahabat dihalalkan memakannya. Nah begitu pula dengan lafaz “makanlah” yang diucapkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Aisyah setelah Beliau menyatakan daging itu adalah hadiah bagi Aisyah. Apakah jika daging itu sedekah maka Aisyah diharamkan memakannya?. Tidak, baik sedekah atau hadiah Aisyah dihalalkan memakannya. Jadi maaf saja wahai nashibi tidak ada dalam hadis yang anda jadikan hujjah, lafaz yang menunjukkan Aisyah diharamkan menerima sedekah.

Sekedar tambahan bagi para pembaca bahwa Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim berkenaan hadis Barirah ini memahami hadis tersebut sama seperti yang kami pahami. Beliau berkata dalam penjelasannya terhadap hadis Barirah:

أن الصدقة لا تحرم على قريش غير بني هاشم وبني المطلب لأن عائشة قرشية وقبلت ذلك اللحم من بريرة على أن له حكم الصدقة وأنها حلال لها دون النبي صلى الله عليه وسلم ولم ينكر عليها النبي صلى الله عليه وسلم هذا الاعتقاد

Bahwa sedekah tidak diharamkan bagi kaum Quraisy kecuali bani Hasyim dan bani ‘Abdul Muthalib, Aisyah wanita quraisy dan ia menerima daging itu dari Barirah maka disini terdapat hukum bahwa sedekah halal baginya tetapi tidak bagi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengingkari keyakinan Aisyah tersebut [Syarh Shahih Muslim An Nawawi 5/274].
Dengan jelas sekali dalam riwayat di atas ketika beliau diberi daging sedekah oleh Barirah, Aisyah tidak langsung memakan-nya tetapi melaporkan-nya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam dan beliau bersabda dengan teramat jelas : Untuk Barirah hal itu adalah sedekah, sedangkan bagi kalian adalah hadiah. Karena itu, makanlah.
Nashibi ini memaksakan asumsinya sendiri dalam memahami hadis. Satu hal yang perlu diingat, hadis Barirah itu tidak hanya seperti yang dijadikan hujjah oleh nashibi tersebut [yang sebenarnya adalah bentuk ringkasan dari kisah yang lebih panjang]. Kisahnya telah kami sebutkan dalam riwayat Shahih Bukhari yang kami kutip bahwa Aisyah telah menerima daging pemberian Barirah dan memasak daging tersebut. Jadi Aisyah telah menerima pemberian daging dari Barirah yang ia anggap sedekah. Inilah letak hujjah bahwa Aisyah tidak merasa dirinya diharamkan menerima sedekah.

Satu-satunya sikap yang benar jika Aisyah merasa dirinya diharamkan menerima sedekah adalah ia akan menolak pemberian Barirah dan berkata “kami keluarga Muhammad tidak dihalalkan bagi kami menerima sedekah”. Coba pikir baik baik wahai pembaca jika anda merasa anda diharamkan menerima sesuatu maka apakah anda menerimanya?. Jika anda diberikan daging babi oleh tetangga anda, apa anda akan menerimanya padahal anda tahu bahwa itu haram untuk dimakan?. Seorang muslim awam saja tahu bahwa sikap yang benar adalah menolak pemberian tersebut bukannya menerimanya apalagi seorang istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Ini analogi yang pas untuk menunjukkan bahwa lafaz tersebut tidak bermakna pengharaman. Misalnya nih nashibi itu punya seorang istri. Istrinya mendapat daging dari tetangganya yang miskin. Tetangganya itu mendapatkannya dari sedekah orang lain. Maka istrinya memberitahukan hal tersebut kepada nashibi itu. Nah nashibi itu berkata “itu adalah sedekah untuknya sedangkan untukmu adalah hadiah, makanlah”. Apa dari lafaz itu bermakna kalau istrinya diharamkan memakan sedekah?. Tentu saja walaupun tidak dikatakan “makanlah” istrinya tetap akan makan daging tersebut. Apa karena nashibi itu berkata “makanlah” menunjukkan bahwa istrinya sebelumnya merasa daging itu haram untuknya?. Kalau memang merasa daging itu haram ya dari awal seharusnya istrinya menolak saja pemberian tetangganya.

Riwayat Ummu Athiyah
Riwayat di atas diriwayatkan oleh Ummu Athiyah, artinya saat Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda kepada Aisyah dalam hadits di atas, Ummu Athiyah hadir di situ sehingga dia bisa meriwayatkannya. Artinya juga bahwa Aisyah baru saja menerima pemberian daging tersebut dari Ummu Athiyah dan belum memutuskan apa-apa, tak lama kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam datang sementara Ummu Athiyah masih ada di situ.
Ini ucapan orang yang berandai andai. Apa buktinya Ummu Athiyah ada disitu?. Ummu Athiyah tidak hadir disitu dan walaupun ia tidak hadir tidak ada alasan untuk menolak riwayatnya. Apa karena ia tidak hadir disitu maka ia tidak bisa meriwayatkannya. Tidak setiap peristiwa yang diriwayatkan oleh sahabat ia saksikan langsung. Dari lafaz hadisnya tidak ada satupun keterangan kalau Ummu Athiyah berada disana bahkan dalam lafaz hadis tersebut terdapat isyarat bahwa ia tidak ada disana. Perhatikan saja lafaz:

أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ بَعَثَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مِنْ الصَّدَقَةِ

Ummu Athiyah berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengirimkan kepadaku kambing dari hasil sedekah.

Apa bedanya memberikan dengan mengirimkan?. Jika anda mengirimkan sesuatu apa anda akan membawanya langsung kepada orang tersebut. Apakah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] akan memberikan kepada setiap orang yang menerima sedekah dengan membawanya satu persatu. Lafaz “mengirimkan” cukup menunjukkan bahwa sedekah tersebut diantarkan kepada orang yang akan menerimanya tidak mesti langsung oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dalam hadis Ummu Athiyah yang lain yaitu Shahih Bukhari malah diucapkan dengan lafaz:

فَأَرْسَلَتْ إِلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا مِنْهَا

Lafaz ini menunjukkan bahwa Ummu Athiyah mengantarkan sebagian dari sedekah itu kepada Aisyah melalui perantara orang lain dan itulah yang dimaksud mengirimkannya. Jadi komentar basa basi nashibi itu sungguh tidak bernilai.

Sekedar info bagi para pembaca, apa yang kami pahami dari hadis Ummu Athiyah ini sebenarnya juga dikutip Ibnu Hajar ketika ia menjelaskan hadis Ummu Athiyah dalam Fath Al Bari Syarh Shahih Bukhari

وفيه إشارة إلى أن أزواج النبي صلى الله عليه وسلم لا تحرم عليهن الصدقة كما حرمت عليه ، لأن عائشة قبلت هدية بريرة وأم عطية مع علمها بأنها كانت صدقة عليهما

Dan didalamnya terdapat isyarat bahwa Istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak diharamkan bagi mereka menerima sedekah sebagaimana diharamkan atasnya [Rasulullah], Aisyah menerima hadiah Barirah dan Ummu Athiyah dan saat itu ia mengetahui bahwa itu adalah sedekah untuk mereka berdua [Fath Al Bari Syarh Shahih Bukhari 8/61].

Nashibi yang ingkar sunnah itu kemudian berhujjah dengan hadis Nabi tidak mewariskan [kami pribadi telah menunjukkan bahwa hadis ini keliru dan Sayyidah Fathimah telah menolaknya] . Nashibi itu berkata

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَرَدْنَ أَنْ يَبْعَثْنَ عُثْمَانَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ يَسْأَلْنَهُ مِيرَاثَهُنَّ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ نُورَثُ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ»

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah radliallahu ‘anha, bahwasanya isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam berpulang keharibaan Ilahi, mereka ingin mengutus Utsman untuk menemui Abu Bakar meminta warisan mereka, maka Aisyah mengatakan: Bukankah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Kami tidak mewarisi, Apa-apa yang kami tinggalkan adalah sedekah?” (Shahih Bukhari, no: 6730)
Dan ternyata istri-istri Nabi sepeninggal beliau tidak boleh mengambil peninggalan Nabi yang berupa sedekah tersebut, artinya apa? Sedekah diharamkan diterima oleh istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam. Nah kurang jelas apa lagi…
Hujjah nashibi yang ini lucu sekali, caranya berhujjah menunjukkan bahwa ia tidak memahami hadis yang ia jadikan hujjah. Ia tidak meneliti kesuluruhan lafaz hadis-hadis tentang masalah ini. Pembahasan hadis ini adalah masalah lain yang ada tulisannya tersendiri. Tetapi kebetulan karena nashibi ini berhujjah dengan hadis tersebut maka silakan ia membaca hadis berikut dari Abu Bakar

فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ فِي هَذَا الْمَالِ وَاللَّهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي

Abu Bakar berkata aku mendengar Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan “aku tidak mewariskan, apa yang aku tinggalkan adalah sedekah, sesungguhnya keluarga Muhammad makan dari harta ini, demi Allah kerabat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] lebih aku cintai untuk menjalin hubungannya dibanding kerabatku [Shahih Bukhari 5/90 no 4035].

Nah berdasarkan hadis tersebut maka keluarga Muhammad dapat makan dari harta peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang menjadi sedekah. Menurut Abu Bakar keluarga Muhammad tidak dapat mewarisinya tetapi dapat makan dari harta tersebut. Nah loooo...
Dan apakah nashibi itu tidak memperhatikan bahwa istri istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak sedang meminta sedekah tetapi meminta warisan. Lihat saja hadinya yang berbunyi:

أَرَدْنَ أَنْ يَبْعَثْنَ عُثْمَانَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ يَسْأَلْنَهُ مِيرَاثَهُنَّ

Mereka mengutus Utsman kepada Abu Bakar untuk meminta warisan mereka.

Istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak sedang meminta sedekah, mereka meminta warisan. Jadi apanya yang maksud nashibi itu jelas. Nashibi itu sepertinya tidak bisa membedakan antara warisan dan sedekah. Dan btw wahai nashibi, istri Nabi itu termasuk keluarga Muhammad yang boleh makan dari harta tersebut tidak?. Selamat bersakit hati.

Riwayat Juwairiyah
Kemudian si Rafidhi Nashibi tersebut mencoba mengkais-kais riwayat-riwayat yang sekiranya bisa menguatkan argumentasi dia seperti berikut ini, tetapi sayang, riwayat ini sama sekali tidak menguatkan hujjahnya.
Ooh kita lihat saja, silakan para pembaca lihat siapa yang sebenarnya berpegang pada sunnah dan siapa yang sebenarnya ingkar kepada sunnah
Justru dalam riwayat di atas Juwairiyah terlihat telah mengetahui hukumnya bahwa sedekah buat maula-nya jika diberikan kepadanya boleh diterima dan diberikan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam sebagai hadiah buat mereka. Hal ini tampak ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bertanya tentang makanan, Juwairiyah langsung menawarkan-nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tanpa bertanya lagi apakah itu boleh atau tidak, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam membenarkan dan menegaskan bahwa sedekah itu telah sampai pada tempatnya.
Wah wah kami sampai tertawa membaca komentar ini. Tidak ada dalam lafaz riwayat Thabrani yang menunjukkan bahwa Juwairiyah menawarkan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Inilah lafaz jawaban Juwairiyah dalam riwayat Thabraniy

 يا رسول الله قد تصد ق على فلانة بعضو من لحم وقد صنعته

wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sungguh telah disedekahkan kepada fulanah sebagian daging dan aku telah memasaknya.

Dengan lafaz ini Juwairiyah ingin mengatakan bahwa makanan yang ada padanya adalah hasil sedekah dan ia tahu bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak makan sedekah. Lafaz ini mengisyaratkan Juwairiyah tidak mau menyajikan kepada Nabi makanya Nabi menjawab “bawalah kemari sungguh sedekah itu telah sampai pada tempatnya”. Jawaban ini diucapkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] untuk mengoreksi anggapan Juwairiyah karena Juwairiyah beranggapan status makanan tersebut masih sedekah.
Kesalahan fatal nashibi itu adalah ia tidak mengumpulkan semua riwayat kisah Juawiriyah tersebut. Peristiwa Juwairiyah ini sama halnya dengan peristiwa Aisyah [radiallahu ‘anha]. Kami mengutip riwayat Thabraniy karena lafaznya lebih kuat sebagai hujjah yaitu Juwairiyah memasak makanan tersebut, nah hadis tersebut ternyata diriwayatkan juga dalam Shahih Muslim yaitu sebagai berikut

أن عبيد بن السباق قال إن جويرية زوج النبي صلى الله عليه و سلم أخبرته أن رسول الله صلى الله عليه و سلم دخل عليها فقال هل من طعام ؟ قالت لا والله يا رسول الله ما عندنا طعام إلا عظم من شاة أعطيته مولاتي من الصدقة فقال قريبة فقد بلغت محلها

Bahwa Ubaid bin As Sabbaaq berkata bahwa Juwairiyah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk menemuinya dan berkata “apakah ada makanan?”. Ia berkata “tidak ada, demi Allah wahai Rasulullah, tidak ada disisi kami makanan kecuali kambing yang disedekahkan kepada maulaku. Beliau berkata “bawalah kemari, sedekah itu telah sampai pada tempatnya [Shahih Muslim 2/756 no 1073].

Riwayat ini sama saja dengan riwayat Thabraniy dan kisah yang diceritakan pun sama. Jadi Juwairiyah menerima pemberian maulanya yang ia anggap sedekah dan ia tidak mau menyajikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena Nabi diharamkan sedekah atasnya. Nah mengapa Juawiriyah memasaknya? Ya untuk dirinya tentu.
Si rafidhi nashibi ini sok tau kalau Juwairiyah memasak makanan tersebut bukan untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, darimana si rafidhi nashibi ini bisa tau? Dari wangsit?  Bukankah istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mengetahui saat giliran Nabi mendatangi  mereka?.
Ho ho jelas dalam hadisnya Juwairiyah berkata “tidak ada” ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menanyakan soal makanan. Nah itu berarti Juwairiyah memasaknya bukan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi untuk dirinya sendiri. Alangkah malunya nashibi ini dan jika ia tidak tahu malu maka hal itu malah lebih memalukan lagi. Saran kami, belajarlah dulu sebelum membantah, teliti baik baik hadisnya biar anda tidak malu berkomentar sembarangan apalagi dengan gaya angkuh begitu.

Kesimpulan:
  1. Istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak diharamkan sedekah atas mereka karena maula mereka dibolehkan menerima sedekah padahal maula keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak dibolehkan menerima sedekah. Maka keluarga Nabi yang diharmkan sedekah atas mereka bukanlah istri istri Nabi.
  2. Istri Nabi juga menerima pemberian orang lain yang mereka anggap sedekah dan mereka tidak memberikannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hal ini menjadi bukti bahwa Nabi diharamkan menerima sedekah tetapi istrinya tidak.

Dua Puluh Pesan Jihad Ayatullah Sistani


Pertempuran militer dan rakyat Iraq melawan kelompok teroris ISIL semakin sengit. Untuk tetap memelihara etika jihad yang dianjurkan oleh Islam, Ayatullah Sistani menurunkan 20 pesan jihad untuk para pejuang ini.
Berikut ini 20 pesan jihad yang telah dikeluarkan oleh Ayatullah Sistani tersebut:

1. Sebagaimana Allah mengajak seluruh muslimin untuk berjihad dan lebih mengutamakan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang tinggal di rumah, Dia juga menentukan etika dan batasan-batasan jihad yang telah ditetapkan sesuai hikmah dan fitrah. Anda semua harus mengenal dan memperhatikan etika ini. Barang siapa mengindahkan etika ini, maka ia layak memperoleh anugerah dan berkah Ilahi. Tetapi, barang siapa tidak memperhatikannya, maka pahalanya pasti berkurang dan ia tidak akan sampai pada cita-citanya.

2. Jihad memiliki etika umum yang harus diperhatikan sekalipun kita sedang memerangi kaum nonmuslim. Rasulullah saw selalu mengingatkan etika umum ini kepada para sahabat sebelum mereka berangkat ke medan perang. Dalam sebuah hadis Imam Shadiq as berkata, “Ketika Rasulullah ingin mengirimkan masyarakat untuk sebuah perang, beliau memanggil dan mendudukkan mereka di hadapan beliau sembari bersabda, ‘Berangkatlah dengan nama Allah, di jalan Allah, dan atas dasar agama utusan Allah. Janganlah kalian berlebih-lebihan, janganlah memotong-motong anggota tubuh orang-orang yang telah terbunuh, janganlah kalian menggunakan tipu muslihat, janganlah kalian membunuh orang-orang tua, anak-anak, dan kaum wanita, dan janganlah memotong pohon apapun kecuali apabila kalian terpaksa.’”

3. Lebih dari itu, memerangi muslimin yang memberontak juga memiliki etika. Etika ini telah sampai ke tangan kita dari Imam Ali as. Beliau juga senantiasa memperhatikan etika dan memerintahkan seluruh sahabat untuk memperhatikannya. Seluruh umat Islam juga sepakat atas etika ini dan menjadi hujjah antara mereka dan Allah. Anda semua juga harus mengamalkan etika dan sirah Imam Ali ini.
Dalam sebuah hadis, Imam Ali as pernah menekankan hadis Tsaqalain, Ghadir Khum, dan lain-lain seraya berkata, “Pandanglah Ahlul Bait nabi kalian dan berkomitmenlah terhadap keistimewaan mereka. Mereka tidak akan pernah menyelewengkan kalian dari jalan hidayah dan juga tidak akan menjerumuskan kalian ke jurang kesesatan. Untuk itu, jika mereka bergerak, maka kalian juga bergeraklah. Jika mereka berhenti, maka kalian juga harus berhenti. Janganlah kalian mendahului mereka dan juga jangan pula ketinggalan dari mereka, karena kalian pasti akan celaka.”

4. Dalam membunuh setiap manusia, perhatikanlah Allah. Dengan ini, kalian tidak akan rela membunuh orang yang tidak diperbolehkan oleh-Nya untuk dibunuh. Salah satu dosa besar adalah membunuh orang yang tak berdosa, dan salah satu kebaikan terbesar adalah memelihara jiwa manusia. Allah juga telah menekankan hal ini dalam al-Quran.

Ketahuilah, membunuh manusia tak bersalah mengakibatkan efek yang sangat berbahaya dalam kehidupan dunia dan akhirat. Imam Ali as menulis untuk Malik Asytar, “Berhati-hatilah dan jangan sampai kamu menumpahkan darah melalui jalan yang tidak dihalalkan. Tidak ada perbuatan yang memiliki siksa yang pedih dan pengaruh yang buruk seperti tindakan ini. Tindakan ini dapat memutuskan nikmat dan mempercepat ajal. Hanya Allahlah yang akan menghukumi tentang penumpahan darah ini pada hari kiamat kelak. Untuk itu, janganlah kamu gunakan kekuasaanmu ini untuk menumpahkan darah orang, karena tindakan ini akan memperlemah pemerintahanmu, dan bahkan memusnahkannya. Kamu tidak akan memiliki uzur atas pembunuhan sengaja ini di sisi Allah dan di hadapanku, karena hukumannya adalah kisas.”
Untuk itu, jika Anda semua menghadapi sebuah masalah yang samar atau Anda memberikan kemungkinan peluru akan menimpa orang-orang tak berdosa, maka berhati-hatilah dalam hal ini.

5. Ingatlah Allah dan jangan melakukan hal-hal yang diharamkan, terutama berkenaan dengan orang-orang lanjut usia, anak-anak, dan kaum wanita. Seandainya mereka berasal dari kerabat musuh, kehormatan mereka harus tetap dipelihara. Hal ini berbeda dengan harta benda musuh yang memang harus dikuasai.
Dalam sirah Amirul Muminin Ali as kita saksikan, sekalipun sebagian sahabat terutama kelompok Khawarij untuk menjarah rumah, kaum wanita, dan keluarga musuh, beliau enggan melakukan hal itu. Beliau berkata, “Kaum pria memerangi kita dan kita juga telah berperang. Kita tidak bisa melanggar kaum wanita dan anak-anak, karena mereka adalah muslim. Tetapi, peralatan dan harta benda yang telah mereka gunakan untuk memerangi kalian adalah hak milik laskar dan untuk kalian. Tetapi harta yang ada di rumah mereka adalah hak warisan keluarga mereka dan kalian tidak memiliki hak sedikit pun terhadap harta ini.”

6. Berhati-hatilah dan janganlah kalian menghina agama yang diyakini masyarakat dengan tujuan untuk menghalalkan kehormatan, sebagaimana hal ini pernah dilakukan oleh Khawarij di permulaan sejarah Islam. Para pengikut mereka juga melakukan hal yang sama pada masa kita sekarang ini. Mereka melakukan kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukan Khawarij dengan bersandarkan pada sebagai teks-teks agama.
Ketahuilah, barang siapa mengucapkan dua kalimat syahadat, maka ia adalah muslim. Darah dan hartanya harus dihormati, sekalipun ia sesat dan pencipta bid’ah. Hal ini karena setiap bid’ah tidak menyebabkan seseorang menjadi kafir. Bisa jadi seorang muslim yang telah melakukan kerusakan (fasad) lebih pantas untuk dibunuh.
Allah swt berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kalian berperang di jalan Allah, maka bertabayyunlah. Janganlah kalian katakan kepada orang yang menyatakan Islam kepada kalian bahwa ia bukan orang yang beriman hanya demi menginginkan harta benda dunia.”
Dalam sebuah hadis dari Imam Shadiq as ditegaskan bahwa Imam Ali as tidak pernah menyebut musuh beliau dengan nama musyrik dan munafik. Beliau malah menyebut mereka sebagai saudara-saudara kita yang telah memberontak.

7. Janganlah kalian melanggar warga nonmuslim yang berteduh di bawah payung Islam. Barang siapa melanggar mereka, maka ia adalah pengkhianat, dan khianat adalah termasuk tindakan yang paling buruk dalam ketentuan, fitrah, dan agama Allah.
Allah pernah berfirman, “Janganlah merasa enggan untuk berbuat kebajikan dan bertindak adil kepada mereka yang tidak memerangi kalian dan juga tidak mengusir kalian dari tanah air kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertindak adil.”

8. Takutlah kepada Allah tentang harta benda masyarakat. Harta seorang muslim tidak halal untuk seorang muslim yang lain kecuali apabila ia rela. Barang siapa merampas harta seorang muslim, maka seakan-akan ia menggenggam kobaran api.
Dalam sebuah Rasulullah saw pernah bersabda, “Barang siapa mencuri harta seorang muslim, maka Allah memalingkan waha darinya, memurkainya, dan tidak mencatat kebaikannya sebelum ia bertobat dan mengembalikan harta itu kepada pemiliknya.”

9. Takutlah kepada Allah dan jangan melakukan hal-hal yang diharamkan dengan tangan dan lidah Anda. Janganlah menghukum seseorang lantaran dosa orang lain. Allah berfirman, “Sebuah jiwa tidak akan menanggung dosa jiwa yang lain.” Janganlah Anda menangkap seseorang dengan landasan yang meragukan dan prasangka, kecuali Anda yakin. Keyakinan mendorong Anda bertindak hati-hati dan keraguan dan prasangka akan mendorong Anda melanggar orang lain. Kebencian Anda kepada musuh jangan sampai mendorong Anda untuk melakukan hal-hal yang haram. Allah berfirman, “Janganlah cercaan kaum itu mendorong kalian untuk tidak berbuat adil. Berbuatlah adil, karena hal ini lebih dekat kepada ketakwaan.”

10. Janganlah Anda melarang sebuah kaum untuk menerima hak-hak mereka selama mereka tidak memerangi Anda, sekalipun mereka membenci kalian. Dalam sirah Imam Ali as disebutkan, beliau memperlakukan para penentang beliau sebagaimana seluruh muslimin yang lain. Tentu selama mereka tidak memerangi beliau. Beliau juga tidak pernah memulai perang melawan mereka.

11. Ketahuilah, mayoritas musuh Anda di medan perang ini hanya tertipu oleh syubhat. Untuk itu, janganlah kalian bertindak sedemikian rupa sehingga syubhat ini menguat di benak masyarakat dan akhirnya mereka bergabung dengan musuh. Tetapi, bertindaklah baik dan adil serta penuh nasihat dan menghindari kelaliman sehingga syubhat itu tidak berpengaruh. Barang siapa berhasil menghilangkan sebuah syubhat dari benak seseorang, maka ia telah menghidupkannya, dan barang siapa menyisipkan syubhat dalam benak seseorang, maka ia telah membunuhnya.

12. Janganlah seseorang dari kalangan Anda berpikiran bahwa kezaliman memiliki pengaruh yang tidak dimiliki oleh keadilan. Gaya berpikir semacam ini terjadi lantaran kelalaian terhadap akibat menengah dan jauh sesuatu dan juga keteledoran atas sejarah umat terdahulu.
Dalam fenomena-fenomena sejarah modern, banyak hal yang bisa kita jadikan pelajaran. Sebagian penguasa menggunakan kezaliman untuk memperkuat kekuasan mereka. Hal ini terus berlanjut hingga Allah membinasakan kekuasaan mereka dari jalan yang tidak pernah mereka bayangkan.

13. Jika kesabaran, tindakan tidak tergesa-gesa, menyempurnakan hujjah, dan mengindahkan norma-norma insani bisa mendatangkan sedikit kerugian bagi kita, tentu hal ini tetap memiliki berkah dan akibat yang lebih baik. Kita banyak melihat contoh untuk masalah ini dalam sirah para manusia suci. Mereka tidak pernah memasuki arena perang untuk melawan muslimin sebelum lawan mereka memulai perang. Pada peristiwa Perang Jamal, setelah laskar Imam Ali as keluar, penyeru beliau menegaskan, “Tak seorang pun berhak memulai perang sehingga saya memerintahkan.”
Imam Husain as pada hari Asyura juga berbuat demikian.

14. Hadapilah masyarakat dengan penuh kebijakan dan dukunglah mereka sehingga mereka mendukung dan menolong Anda. Belalah orang-orang lemah sekuat tenaga Anda, karena mereka adalah saudara-saudara Anda, dan berbuatlah lemah lembut terhadap mereka. Ketahuilah bahwa Anda berada di haribaan Allah dan Dia mencatat seluruh tindakan Anda dan mengetahui niat Anda.

15. Janganlah lupakan salat wajib. Seorang muslim di hadapan perhitungan Allah tidak memiliki amal paling baik daripada salat. Salat juga memiliki etika yang harus diperhatikan di haribaan Allah.

Salat adalah tiang agama dan barometer terkabulnya amal. Allah telah meringankan kewajiban ini dalam kondisi sulit dan perang. Jika seseorang sibuk dengan perang dalam seluruh waktu salat, maka ia bisa mencukupkan diri dengan satu takbir sekalipun ia tidak menghadap ke Kiblat.
Lebih dari itu, Allah juga memerintahkan supaya muslimin menjaga jiwa dan senjata mereka. Untuk itu, janganlah mereka mengerjakan salat secara bersamaan, tetapi kerjakanlah salat secara bergantian.

16. Ingatlah selalu kepada Allah dan bacalah al-Quran. Ingatlah selalu masa ketika Anda akan kembali kepada Allah. Imam Amirul Mukminin as selalu bertindak demikian. Di malam Perang Shiffin, beliau mengerjakan salat di antara dua barisan padahal anak-anak panah melesat dari segala arah, dan beliau tidak menggubrisnya.

17. Kami memohon kepada Allah supaya tindakan Anda terhadap orang pada masa perang dan damai seperti tindakan Rasulullah dan Ahlul Bait as dan kalian menjadi hiasan dan nilai bagi Islam. Agama ini telah dibangun berlandaskan pada cahaya fitrah dan kesaksian akal dan etika. Cukuplah bagi kita keutamaan bahwa nabi kita telah mengibarkan panji rasionalitas dan etika. Dalam dakwah, beliau mengajak seluruh masyarakat untuk merenungkan hidup dan mengambil pelajaran dari kondisi dunia.

18. Hindarilah ketergesaan dalam merenungkan sehingga Anda tidak celaka, karena musuh ingin menyeret Anda ke tempat yang mereka inginkan tanpa Anda berpikir dan merenung.

19. Masyarakat yang dijadikan oleh musuh sebagai perisai hendaklah mengenal nilai pengorbanan para pejuang dan jangan sampai tertipu oleh muslihat yang digelontorkan tentang para pejuang ini. Allah tidak menetapkan sebuah hak untuk seseorang atas orang lain kecuali Dia juga telah menetapkan hak yang setimpal untuknya.
Ketahuilah bahwa tak seorang pun seperti saudara kalian menghendaki kebaikan Anda. Tentu dengan syarat kalian harus murni dan ikhlas. Jika diperlukan, maafkanlah kesalahan sesama kalian. Orang yang menyangka bahwa seorang asing lebih memikirkan nasib keluarga dan negaranya, pasti ia telah keliru. Barang siapa yang ingin mencoba sebuah pengalaman yang telah pernah dicoba sebelum ini pasti akan menyesal. Saling memaafkan akan mendatangkan pahala yang sangat besar.

20. Semua kalangan dan lapisan masyarakat harus menyingkirkan setiap bentuk fanatisme yang tak berarti dan lebih mengindahkan etika yang baik. Allah menciptakan aneka ragam kaum dan bangsa supaya mereka saling mengenal dan tukar menukar pengalaman serta saling tolong menolong. Coba Anda renungkan berapa banyak harta dan tenaga di masa lalu yang telah digunakan hanya untuk memukul sesama kita, padahal seluruh harta dan tenaga ini semestinya harus dimanfaatkan untuk kemajuan seluruh muslimin. Untuk itu, berhati-hatilah menghadapi fitnah yang tidak hanya menghantui orang-orang yang lalim. Padamkanlah api fitnah ini dan berpegangteguhlah kepada tali Allah.

Siapakah ibu Imam Sajjad ( Imam Ali Zainal Abidin As)?

 

Tanya: Apakah Shahrbanu putri Yazdgerd ketiga adalah ibu Imam Sajad as.? Apakah ia juga hadir dalam peristiwa Karbala? Apa benar Imam Husain as. meminta Shahrbanu untuk pergi ke Persia guna menyelamatkan diri dan makamnya kini berada di kota Tehran?

Jawab: Akhir-akhir ini memang banyak tulisan yang menukil cerita-cerita yang dikira benar. Misalnya disebutkan bahwa dalam beberapa buku sejarah tercatat bahwa di hari Asyura, Imam Husain as. memerintahkan Shahrbanu untuk pergi menuju negeri Persia. Lalu dengan menunggangi kuda beliau, Shaharbanu berangkat dan dengan izin Tuhan tak lama kemudian ia sampai di perbukitan Rey. Ia dimakamkan di sana di dekat makam Sayid Abdul Adzim Hasani.[1]

Disebutkan pula bahwa telah masyhur di kalangan masyarakat akan adanya suatu kain seperti penutup wajah di atas bukit itu. Dan yang menakjubkan, tidak ada satupun lelaki yang bisa mendekatinya. Seorang perempuan yang sedang mengandung bayi laki-laki pun juga tidak bisa mendekat.[2]

Juga masyhur di kalangan banyak orang bahwa ketika Shaharbanu sedang mendekati Rey, ia meminta pertolongan kepada Allah dengan menyebut kata Huw (yang artinya adalah Allah—pent.). Akan tetapi, ia salah bicara, ia tidak mengatakan Huw akan tetapi mengatakan Kuh (bahasa Parsi yang artinya adalah “gunung”—pent.) Akhirnya tiba-tiba ia ditelan gunung dan terkubur dalam perutnya.[3]

Mungkin sebagian orang menyadari dengan pasti bahwa pada peristiwa Asyura ibu Imam Sajjad as. tidak hadir waktu itu. Mungkin juga tidak perlu ada penjelasan panjang lebar bagi mereka tentang tidak hadirnya istri Imam Husain as. di hari Asyura. Akan tetapi di kalangan orang-orang awam terdapat banyak kekeliruan mengenai masalah ini; oleh karenanya kita akan membahasnya di sini.

Untuk membahas permasalahan ini, kita akan memberikan sedikit penjelasan sebelumnya memasukinya.

Ibu Imam Sajjad as.

Dengan merujuk sumber-sumber sejarah baik milik Syiah maupun Ahlu Sunnah, kita dapat memahami bahwa salah satu masalah yang mana ulama Syiah banyak berbeda pendapat tentangnya, adalah masalah siapa nama ibu Imam Sajjad as. Para ulama dengan merujuk pada sumber-sumber kepercayaan mereka menyebutkan berbagai nama yang kurang lebih sampai empat belas atau enam belas nama. Nama-nama tersebut adalah:
  1. Shahrbanu.
  2. Shahrbanuwiyah.
  3. Shaahzanan.
  4. Jahanshah.
  5. Sahzanan.
  6. Shahrnaz.
  7. Jahanbanuwiyeh.
  8. Khaulah.
  9. Barrah.
  10. Salafah.
  11. Ghazalah.
  12. Salamah.
  13. Harar.
  14. Maryam.
  15. Fathimah.
  16. Shahrban.
Dalam sumber-sumber sejarah Sunni ibu Imam Sajjad as. lebih dikenal dengan sebutan Salafah, Salamah, dan Ghazalah.[4] Tetapi di kalangan kaum Syiah, terutama yang disebut dalam kitab-kitab riwayat terkemuka, ibu Imam Sajjad as. lebih dikenal dengan sebutan Shahrbanu. Berdasarkan yang ditulis oleh sebagian peneliti,[5] untuk pertama kalinya nama ini disebut dalam kitab Habairud Darajat karya Muhammad bin Hasan Shafar Qumi (290 H.)[6] Lalu setelah itu, perawi terkenal Al Kulaini menuliskan riwayat tersebut dalam kitabnya Al Kafi.[7] Adapun sumber-sumber yang lain, jika mereka tidak menukil dari kedua kitab di atas, mungkin mereka menukil riwayat-riwayat yang dhaif (lemah) dan tanpa sanad yang baik.[8]

Dalam riwayat itu disebutkan:
“Ketika putri Yazdgerd dibawa ke hadapan Umar, para wanita perawan Madinah berdatangan untuk melihatnya. Ketika ia memasuki masjid, tempat itu diterangi dengan cahayanya. Umar menatapnya lalu perempuan itu menutupi wajahnya dan mengatakan beberapa patah kata dengan bahasa Parsi, “Oh, betapa kelam hari-hari Hormuz.” Tiba-tiba Umar berkata, “Perempuan ini mencaciku!” Imam Ali as. berkata kepadanya, “Tidak. Biarkan ia memilih salah seorang muslim di antara kita dan hitunglah saham ghanimah (harta rampasan perang)-nya.” Umar melakukan apa yang beliau minta. Tak lama kemudian perempuan itu meletakkan tangannya di atas kepala Imam Husain as. Imam Ali as. bertanya kepada perempuan tersebut, “Siapa namamu?” Ia menjawab, “Jahanshah.” Imam Ali as. kemudian berkata, “Namamu adalah Shahrbanuwiyah.”

Kemudian beliau berkata kepada Imam Husain as., “Akan lahir seorang manusia yang terbaik di antara semua penghuni bumi dari perempuan ini untukmu. Ia akan dikenal dengan sebutan Ibnul Khiyaratain, yakni anak dari dua darah terbaik pilihan Tuhan, yang pertama dari Bani Hasyim dan yang kedua dari Persia.”[9]
Riwayat ini perlu dibahas baik sanad maupun teks nya. Dari sisi sanad, riwayat ini diriwayatkan oeleh beberapa orang seperti Ibrahim bin Ishaq Ahmar[10] dan Amr bin Syimr yang mana mereka pernah disebut sebagai orang yang berlebihan dalam mencintai Ahlul Bait (Ghuluw) dan tidak pernah dipercaya oleh ahli Rijal (ilmu yang membahas kriteria-kriteria dan dapat dipercaya atau tidaknya seorang perawi hadis—pent.) kalangan Syiah.[11]

Adapun di sisi teks riwayatnya, kita dapat menemukan beberapa titik lemah di bawah ini:
  1. Ditawannya putri Yazdgerd diragukan kebenarannya dalam sejarah.
  2. Ditawannya perempuan tersebut dan dinikahkannya ia dengan Imam Husain as. di zaman Umar tidak masuk akal.
  3. Selain riwayat yang satu ini, tidak ada satupun riwayat yang lain yang menyebutkan bahwa Imam Sajjad as. memiliki julukan Ibnul Khiyaratain.
Bukankah ini hanya upaya orang-orang Iran saja yang ingin membanggakan dirinya karena dengan pengakuan itu maka artinya darah dinasti Sasanid telah bercapur dengan darah suci Ahlul Bait dalam tubuh Imam Sajjad as.?

Banyaknya pembahasan-pembahasan yang mengkritik riwayat yang seperti ini membuat kita benar-benar enggan menerima bahwa cerita tersebut nyata. Ini tak lain adalah cerita buatan para pencipta hadis-hadis palsu. Lebih baik kita tidak menyebut ibu Imam Sajjad as. dengan nama Shahrbanu.

Mengenai nasab ibu Imam Sajjad as. terdapat banyak perbedaan yang kita temukan dalam sumber-sumber sejarah. Sebagian sejarawan, seperti Ya’qubi (281 H.),[12] Muhammad bin Hasan Qumi (290 H.),[13] Kulaini (329 H.),[14] Muhammad bin Hasan Shafar Qumi (290 H.),[15] Syaikh Shaduq (381 H.)[16] dan Syaikh Mufid (413 H.)[17] menyebutkan bahwa ia memang putri Yazdgerd. Akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai siapa namanya.

Kepercayaan akan berakhirnya nasab ibu Imam Sajjad as. pada Yazdgerd telah mengakar di pikiran orang-orang awam saat ini sehingga tidak menyisakan tempat sedikitpun bagi berdirinya pendapat yang lain mengenai nasabnya.[18]

Selain pendapat di atas, dalam sumber-sumber sejarah baik terdahulu maupun yang baru-baru ini disebutkan bahwa ia berasal dari Sistan; ada yang menyebutkan Sind, Kabul, dan lain sebagainya. Kebanyakan sumber-sumber kita tidak menyebutkan di mana tempat ditawannya perempuan ini. Mereka hanya menyebutkan bahwa ia adalah Umul Walad, yakni seorang budak perempuan yang memiliki seorang anak.[19] Sebagian menyebut nama-nama pembesar Persia seperti Subhan, Sinjan, Nushjan atau Syirviye sebagai nama ayahnya.[20]

Dalam membahas nasabnya, bahkan kita tidak perlu memberikan penilaian apapun terhadap sanad riwayat-riwayat tersebut. Karena dengan jelas kita melihat tidak ada satupun sanad riwayat yang kuat. Bahkan kitab sejarah seperti Tarikh Thabari tidak menyebutkan referensi ketika masalah ini dibahas.

Maka kita hanya akan membahas teks riwayat ini saja. Kandungan teks riwayat ini memiliki beberapa kelemahan seperti:
  1. Salah satu kritik yang bisa kita utarakan untuk riwayat ini adalah berbeda-bedanya nama yang disebutkan untuk perempuan itu. Ada yang menyebut Harar, Shahrbanu, Salakhah dan Ghazalah. Hal ini mengindikasikan adanya usaha sebagian orang yang ingin membanggakan ke-Persia-annya dengan cara menghubung-hubungkan orang-orang Persia dengan para Imam lalu menganggap darah kerajaan Persia telah mengalir di darah para Imam Ahlul Bait as dengan pernikahan Imam Husain as. dan Shahrbanu.
  2. Kita dapat mengkritik riwayat-riwayat ini dengan melihat berbeda-bedanya waktu penawanan yang disebutkan. Karena sebagian riwayat menyebutkan bahwa penawanan tersebut adalah di masa kekhalifahan Umar dan ada yang menyebut di masa kekhalifahan Utsman. Sebagian yang lain seperti Syaikh Mufid menyebutkan bahwa kejadian tersebut adalah di masa kekhalifahan Imam Ali as.[21]
  3. Pada dasarnya kitab-kitab seperti Tarikh Thabari dan Al Kamil karya Ibnu Katsir ketika menyebutkan peperangan-peperangan Muslimin dengan orang-orang Persia hanya menceritakan kaburnya Yazdgerd ke berbagai kota Persia dan sama sekali tidak menyinggung ditawannya putrid Yazdgerd; padahal jika kejadian itu memang nyata, masalah tersebut lebih penting dari masalah-masalah lainnya. Titik ini menguatkan pandangan kita akan palsunya riwayat-riwayat tersebut.
  4. Sebagian penulis seperti Mas’udi, ketika menceritakan tentang anak-anak Yazdgerd ketiga ia menyebut nama-nama seperti Adrak, Shahin dan Mardavand, yang sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan nama-nama yang telah disebutkan untuk ibu Imam Sajjad as. Bahkan dalam tulisan-tulisannya sama sekali tidak disinggung mengenai ditawannya putrid Yazdgerd.[22]
  5. Sumber sejarah terpenting mengenai ibu Imam Sajjad as. adalah surat-surat khalifah Manshur kepada Muhammad bin Abdullah yang dikenal dengan Nafsuz Zakiyah. Nafsuz Zakiyah adalah seorang pemimpin pergerakan kebangkitan para Alawi Madinah di zaman kekhalifahan Manshur. Dalam salah satu surat Manshur, ia menentang Muhammad yang membanggakan nasabnya dengan menulis, “Setelah Rasulullah saw. tidak ada seorang yang lebih mulia nasabnya selain Ali bin Husain as. meskipun ia adalah anak Ummu Walad (budak wanita yang memiliki anak).”[23] Tidak ada yang menentang perkataan Manshur baik Muhammad sendiri atau selainnya. Jika seandainya ibu Imam Sajjad as. adalah anak Shahrbanu putri raja Persia, maka mereka pasti menentang dan berkata, “Tidak, Ali bin Husain as. adalah putra seorang putri raja Persia!”
Dengan demikian, kita sampai pada satu kesimpulan bahwa anggapan tentang Shahrbanu seorang putri raja Persia adalah ibu Imam Sajjad as. sama sekali tidak benar dan pasti riwayat yang menceritakan hal itu adalah riwayat buatan. Riwayat tersebut jelas bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang menyatakan bahwa ia adalah seorang budak perempuan. Para perawi sebelum akhir abad ketiga selalu meriwayatkan seperti demikian, yakni ia adalah budak perempuan dari Sind atau Kabul.[24]

Ibu Imam Sajjad as. tidak hadir di hari Asyura

Di sini kami musti menjelaskan bahwa hampir semua riwayat-riwayat kita menyatakan bahwa ibu Imam Sajjad as. meninggal dunia begitu ia melahirkan anaknya.[25]
Juga disebutkan pula bahwa salah satu budak perempuan Imam Ali as. diperintahkan untuk membesarkannya. Kebanyakan orang mengira perempuan tersebut adalah ibunya. Tak lama kemudian setelah ia dinikahkan dengan seorang lelaki, mereka baru mengerti bahwa ia bukanlah ibunya.[26]
Dengan demikian, jelas sekali bahwa ibu beliau tidak hadir dalam peristiwa Asyura.

Yang dikenal sebagai Makam Shaharbanu

Dengan penjelasan yang telah lalu dengan sendirinya pembahasan kita menjadi jelas. Dan juga berdasarkan penelitian berbagai peneliti sesungguhnya makam yang dikenal dengan Makam Shaharbanu di timur perbukitan Rey tidak ada kaitannya dengan ibu Imam Sajjad as. Bangunan terkenal di tempat itu adalah sebuah bangunan yang telah dibangun beberapa abad setelah masa hayat Imam Sajjad as. Terbukti dari penelitian yang telah dilakukan bahwa bangunan tersebut dibangun pada tahun 888 H. pada zaman pemerintahan Shafaiwiyah dan pernah direnovasi di zaman pemerintahan Qajariyah.[27]

Syaikh Shaduq yang kita kenal sebagai seorang alim asli Rey tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang bangunan itu padahal ia bertahun-tahun lamanya tinggal di kampung halamannya. Ini juga meyakinkan kita bahwa bangunan tersebut belum ada pada abad keempat hijriyah.

Penulis-penulis ternama yang lain juga tidak pernah menyinggungya. Mereka hanya berbicara tentang Abdul Adzim Hasani yang dimakamkan disitu dan juga tokoh-tokoh besar yang lain.

Kemungkinan besar keberadaan Makam Shahrbanu disebabkan adanya seorang perempuan bertakwa yang pernah dimakamkan di bukit itu dan namanya adalah Shahrbanu. Lalu lambat laun kebanyakan masyarakat yang meyakini bahwa ibu Imam Sajjad as. adalah Shahrbanu mengira makam tersebut adalah makam Shahrbanu ibu sang Imam. Atau mungkin ada unsur kesengajaan yang membuat masyarakat meyakini makam tersebut adalah makam ibu Imam Sajjad as.[28]


Referensi:
[1] Mula Agha Darbandi, Iksirul Ibadat fi Asraris Syahadat, jilid 3, halaman 110.
[2] Ibid.
[3] Syahidi, Sayid Ja’far, Zendegani Ali ebn Husain.
[4] Eftekharzade, Mahmudreza, Syoubiye e nasionalisme Iran, halaman 305 yang menukil nama-nama di atas dari kitab Ansabul Asyraf milik Baladzari, Thabaqat milik Ibnu Sa’ad, Al Ma’arif milik Ibnu Qutaibah Dinawari, dan Al Kamil.
[5] Shahidi, Zendegani e Ali bin Al Husain, halaman 12.
[6] Biharul Anwar, jilid 46, halaman 9, hadis 20.
[7] Ushul Kafi, jilid 2, halaman 369.
[8] Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sejarah hidup Shahrbanu, silahkan merujuk: Syoubiye e nasionalism e Iran, halaman 289-337.
[9] Dengan menggunakan terjemahan Sayid Jawad Mustafawi, Ushul Kafi, jilid 2, halaman 369.
[10] Ayatullah Khui, Mojam Rijalul Hadis, jilid 1, halaman 202 dan jilid 13, halaman 106.
[11] Ibid.
[12] Tarikh Ya’qubi, jilid 2, halaman 303.
[13] Tarikh e Qom, halaman 195.
[14] Ushul Kafi, jilid 2, halaman 369.
[15] Biharul Anwar, jilid 46, halaman 9.
[16] Uyunu Akhbarir Ridha, jilid 2, halaman 128.
[17] Al Irsyad, halaman 492.
[18] Zendeganie Ali bin Al Husain, halaman 12.
[19] Syuubiye, halaman 305.
[20] Haula Sayidah Shahrbanu, halaman 28.
[21] Syu’ubiye, halaman 324.
[22] Ibid.
[23] Al Kamil fi At Tarikh, jilid 2, halaman 570.
[24] Haula Sayidah Shahrbanu, halaman 28.
[25] Uyunu Akhbarir Ridha, jilid 2, halaman 128
[26] Biharul Anwar, jilid 26, halaman 8.
[27] Syuubiyah, halaman 326.
[28] Untuk memahami lebih dalam akan tidak mungkinnya Makam Sharbanu di Rey adalah makam ibu Imam Sajjad as., silahkan merujuk Bastan (karya Karimiyan) dan Daneshname e Iran va Islam, seputar Shahrbanu.

Terkait Berita: