Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Imam Ali Zainal Abidin As. Show all posts
Showing posts with label Imam Ali Zainal Abidin As. Show all posts

Mengapa Rasulullah Pewaris Para Nabi?


Ruang dan waktu tertentu memiliki keutamaan khusus yang tidak dimiliki oleh ruang dan waktu yang lain. Salah satu waktu yang memiliki keutamaan istimewa adalah bulan Sya’ban.
Untuk menggapai keutamaan yang dimiliki oleh bulan Sya’ban, kita harus melakukan amalan dan menempatkan diri di jalur anugerah Ilahi berdatangan. Salah satu amalan yang sangat utama di bulan Sya’ban adalah salawat Sya’baniah.

Salawat Sya’baniah adalah sebuah teks salawat yang selalu dibaca oleh Imam Zainal Abidin ketika waktu azan tiba. Salawat ini bisa dikelompokkan dalam dua bagian besar: pertama tentang pengenalan imam dan kedua permohonan kepada Allah supaya kita bisa memanfaatkan keistimewaan bulan Sya’ban.

Salah satu frasa salawat Sya’baniah adalah mawdhi’ir risālah; tempat menerima risalah.

Terdapat perbedaan antara posisi kenabian dan kerasulan. Kerasulan lebih tinggi daripada kenabian. Setiap rasul pastilah seorang nabi. Tetapi tidak harus seorang nabi pasti menjadi seorang rasul. Seorang nabi bertugas menunjukkan jalan kehidupan dunia dan akhirat kepada masyarakat. Tetapi, seorang rasul, di samping memiliki tugas seorang nabi, juga memiliki tugas-tugas lain sebagai hujjah Ilahi untuk seluruh umat manusia.

Frasa tersebut di atas menegaskan bahwa seluruh tugas yang pernah dimiliki oleh para nabi terdahulu terkumpul menjadi satu dalam diri Nabi Muhammad saw. Untuk itu, sudah layak beliau disebut pewaris para nabi.

(Shabestan)

Semilir Angin Sejuk Sya’ban, Pendahuluan Memasuki Bulan Ramadhan


Semilir angin sejuk Sya’ban telah berhembus, dan ini merupakan bulan akhir untuk langkah persiapan spriritual dalam memasuki bulan suci Ramadhan.
Kantor Shabestan di Shauma’ahsara melaporkan, Semilir angin Sya’ban telah mendayu dan memberikan semangat untuk lebih menikmati hangatnya bulan suci Ramadhan. Sya’ban adalah bulan terakhir yang mengantarkan langkah untuk memasuki bulan perjamuan besar, bulan suci Ramadhan.

Bulan kelahiran empat bintang nabawi, Imam Husain As, Abu Fadhl Abbas,Imam Sajjad, dan Imam Mahdi As.

Bulan Sya’ban adalah bulan yang sangat mulia, bulan yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw, dimana beliau bersabda, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan umatku. Di tempat lain beliau bersabda, Allah akan mengampuni  mereka yang memasuki bulanku dengan menegakkan kebenaran.

Bulan Sya’ban merupakan salah satu bulan yang penuh fadhilah dan keutamaan, bulan doa dan munajat kepada-Nya. Bulan pembersihan diri untuk mempersiapkan langkah memasuki bulan terindah. Banyak terdapat amalan dan doa di bulan ini, dimana terbaiknya adalah istighfar. Barang siapa beristighfar sebanyak 70 kali setiap hari di bulan ini, seakan ia beristighfar sebanyak 70 ribu kali di bulan-bulan lain.

Bulan Sya’ban, Kesempatan untuk Sucikan Ruh dan Jiwa dari Dosa dan Lalai

Hujjatul Islam Ismail Shadiqi, Imam Jamaah di Shumi’ahsara dalam perbincangannya dengan Shabestan mengatakan, bulan Sya’ban merupakan mukadimah untuk memasuki bulan suci Ramadhan dan hamba-hamba Allah harus bisa memanfaatkan bulan ini dengan sebaik-baiknya supaya memiliki persiapan yang sempurna untuk memasuki Ramadhan.

Ia menambahkan, tiga bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan merupakan bulan-bulan penghambaan, dan hamba Mukmin harus bisa memperoleh manfaat dari bulan-bulan ini untuk bertaqarrub kepada Allah.

Sembari menyinggung bahwa berpuasa satu hari di bulan ini sama dengan beribadah selama 70 tahun, mengatakan, para Syiah harus memanfaatkan setiap saat dari bulan ini dan memperbanyak doa untuk kemunculan Imam Mahdi As.

(Shabestan)

Siapakah ibu Imam Sajjad ( Imam Ali Zainal Abidin As)?

 

Tanya: Apakah Shahrbanu putri Yazdgerd ketiga adalah ibu Imam Sajad as.? Apakah ia juga hadir dalam peristiwa Karbala? Apa benar Imam Husain as. meminta Shahrbanu untuk pergi ke Persia guna menyelamatkan diri dan makamnya kini berada di kota Tehran?

Jawab: Akhir-akhir ini memang banyak tulisan yang menukil cerita-cerita yang dikira benar. Misalnya disebutkan bahwa dalam beberapa buku sejarah tercatat bahwa di hari Asyura, Imam Husain as. memerintahkan Shahrbanu untuk pergi menuju negeri Persia. Lalu dengan menunggangi kuda beliau, Shaharbanu berangkat dan dengan izin Tuhan tak lama kemudian ia sampai di perbukitan Rey. Ia dimakamkan di sana di dekat makam Sayid Abdul Adzim Hasani.[1]

Disebutkan pula bahwa telah masyhur di kalangan masyarakat akan adanya suatu kain seperti penutup wajah di atas bukit itu. Dan yang menakjubkan, tidak ada satupun lelaki yang bisa mendekatinya. Seorang perempuan yang sedang mengandung bayi laki-laki pun juga tidak bisa mendekat.[2]

Juga masyhur di kalangan banyak orang bahwa ketika Shaharbanu sedang mendekati Rey, ia meminta pertolongan kepada Allah dengan menyebut kata Huw (yang artinya adalah Allah—pent.). Akan tetapi, ia salah bicara, ia tidak mengatakan Huw akan tetapi mengatakan Kuh (bahasa Parsi yang artinya adalah “gunung”—pent.) Akhirnya tiba-tiba ia ditelan gunung dan terkubur dalam perutnya.[3]

Mungkin sebagian orang menyadari dengan pasti bahwa pada peristiwa Asyura ibu Imam Sajjad as. tidak hadir waktu itu. Mungkin juga tidak perlu ada penjelasan panjang lebar bagi mereka tentang tidak hadirnya istri Imam Husain as. di hari Asyura. Akan tetapi di kalangan orang-orang awam terdapat banyak kekeliruan mengenai masalah ini; oleh karenanya kita akan membahasnya di sini.

Untuk membahas permasalahan ini, kita akan memberikan sedikit penjelasan sebelumnya memasukinya.

Ibu Imam Sajjad as.

Dengan merujuk sumber-sumber sejarah baik milik Syiah maupun Ahlu Sunnah, kita dapat memahami bahwa salah satu masalah yang mana ulama Syiah banyak berbeda pendapat tentangnya, adalah masalah siapa nama ibu Imam Sajjad as. Para ulama dengan merujuk pada sumber-sumber kepercayaan mereka menyebutkan berbagai nama yang kurang lebih sampai empat belas atau enam belas nama. Nama-nama tersebut adalah:
  1. Shahrbanu.
  2. Shahrbanuwiyah.
  3. Shaahzanan.
  4. Jahanshah.
  5. Sahzanan.
  6. Shahrnaz.
  7. Jahanbanuwiyeh.
  8. Khaulah.
  9. Barrah.
  10. Salafah.
  11. Ghazalah.
  12. Salamah.
  13. Harar.
  14. Maryam.
  15. Fathimah.
  16. Shahrban.
Dalam sumber-sumber sejarah Sunni ibu Imam Sajjad as. lebih dikenal dengan sebutan Salafah, Salamah, dan Ghazalah.[4] Tetapi di kalangan kaum Syiah, terutama yang disebut dalam kitab-kitab riwayat terkemuka, ibu Imam Sajjad as. lebih dikenal dengan sebutan Shahrbanu. Berdasarkan yang ditulis oleh sebagian peneliti,[5] untuk pertama kalinya nama ini disebut dalam kitab Habairud Darajat karya Muhammad bin Hasan Shafar Qumi (290 H.)[6] Lalu setelah itu, perawi terkenal Al Kulaini menuliskan riwayat tersebut dalam kitabnya Al Kafi.[7] Adapun sumber-sumber yang lain, jika mereka tidak menukil dari kedua kitab di atas, mungkin mereka menukil riwayat-riwayat yang dhaif (lemah) dan tanpa sanad yang baik.[8]

Dalam riwayat itu disebutkan:
“Ketika putri Yazdgerd dibawa ke hadapan Umar, para wanita perawan Madinah berdatangan untuk melihatnya. Ketika ia memasuki masjid, tempat itu diterangi dengan cahayanya. Umar menatapnya lalu perempuan itu menutupi wajahnya dan mengatakan beberapa patah kata dengan bahasa Parsi, “Oh, betapa kelam hari-hari Hormuz.” Tiba-tiba Umar berkata, “Perempuan ini mencaciku!” Imam Ali as. berkata kepadanya, “Tidak. Biarkan ia memilih salah seorang muslim di antara kita dan hitunglah saham ghanimah (harta rampasan perang)-nya.” Umar melakukan apa yang beliau minta. Tak lama kemudian perempuan itu meletakkan tangannya di atas kepala Imam Husain as. Imam Ali as. bertanya kepada perempuan tersebut, “Siapa namamu?” Ia menjawab, “Jahanshah.” Imam Ali as. kemudian berkata, “Namamu adalah Shahrbanuwiyah.”

Kemudian beliau berkata kepada Imam Husain as., “Akan lahir seorang manusia yang terbaik di antara semua penghuni bumi dari perempuan ini untukmu. Ia akan dikenal dengan sebutan Ibnul Khiyaratain, yakni anak dari dua darah terbaik pilihan Tuhan, yang pertama dari Bani Hasyim dan yang kedua dari Persia.”[9]
Riwayat ini perlu dibahas baik sanad maupun teks nya. Dari sisi sanad, riwayat ini diriwayatkan oeleh beberapa orang seperti Ibrahim bin Ishaq Ahmar[10] dan Amr bin Syimr yang mana mereka pernah disebut sebagai orang yang berlebihan dalam mencintai Ahlul Bait (Ghuluw) dan tidak pernah dipercaya oleh ahli Rijal (ilmu yang membahas kriteria-kriteria dan dapat dipercaya atau tidaknya seorang perawi hadis—pent.) kalangan Syiah.[11]

Adapun di sisi teks riwayatnya, kita dapat menemukan beberapa titik lemah di bawah ini:
  1. Ditawannya putri Yazdgerd diragukan kebenarannya dalam sejarah.
  2. Ditawannya perempuan tersebut dan dinikahkannya ia dengan Imam Husain as. di zaman Umar tidak masuk akal.
  3. Selain riwayat yang satu ini, tidak ada satupun riwayat yang lain yang menyebutkan bahwa Imam Sajjad as. memiliki julukan Ibnul Khiyaratain.
Bukankah ini hanya upaya orang-orang Iran saja yang ingin membanggakan dirinya karena dengan pengakuan itu maka artinya darah dinasti Sasanid telah bercapur dengan darah suci Ahlul Bait dalam tubuh Imam Sajjad as.?

Banyaknya pembahasan-pembahasan yang mengkritik riwayat yang seperti ini membuat kita benar-benar enggan menerima bahwa cerita tersebut nyata. Ini tak lain adalah cerita buatan para pencipta hadis-hadis palsu. Lebih baik kita tidak menyebut ibu Imam Sajjad as. dengan nama Shahrbanu.

Mengenai nasab ibu Imam Sajjad as. terdapat banyak perbedaan yang kita temukan dalam sumber-sumber sejarah. Sebagian sejarawan, seperti Ya’qubi (281 H.),[12] Muhammad bin Hasan Qumi (290 H.),[13] Kulaini (329 H.),[14] Muhammad bin Hasan Shafar Qumi (290 H.),[15] Syaikh Shaduq (381 H.)[16] dan Syaikh Mufid (413 H.)[17] menyebutkan bahwa ia memang putri Yazdgerd. Akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai siapa namanya.

Kepercayaan akan berakhirnya nasab ibu Imam Sajjad as. pada Yazdgerd telah mengakar di pikiran orang-orang awam saat ini sehingga tidak menyisakan tempat sedikitpun bagi berdirinya pendapat yang lain mengenai nasabnya.[18]

Selain pendapat di atas, dalam sumber-sumber sejarah baik terdahulu maupun yang baru-baru ini disebutkan bahwa ia berasal dari Sistan; ada yang menyebutkan Sind, Kabul, dan lain sebagainya. Kebanyakan sumber-sumber kita tidak menyebutkan di mana tempat ditawannya perempuan ini. Mereka hanya menyebutkan bahwa ia adalah Umul Walad, yakni seorang budak perempuan yang memiliki seorang anak.[19] Sebagian menyebut nama-nama pembesar Persia seperti Subhan, Sinjan, Nushjan atau Syirviye sebagai nama ayahnya.[20]

Dalam membahas nasabnya, bahkan kita tidak perlu memberikan penilaian apapun terhadap sanad riwayat-riwayat tersebut. Karena dengan jelas kita melihat tidak ada satupun sanad riwayat yang kuat. Bahkan kitab sejarah seperti Tarikh Thabari tidak menyebutkan referensi ketika masalah ini dibahas.

Maka kita hanya akan membahas teks riwayat ini saja. Kandungan teks riwayat ini memiliki beberapa kelemahan seperti:
  1. Salah satu kritik yang bisa kita utarakan untuk riwayat ini adalah berbeda-bedanya nama yang disebutkan untuk perempuan itu. Ada yang menyebut Harar, Shahrbanu, Salakhah dan Ghazalah. Hal ini mengindikasikan adanya usaha sebagian orang yang ingin membanggakan ke-Persia-annya dengan cara menghubung-hubungkan orang-orang Persia dengan para Imam lalu menganggap darah kerajaan Persia telah mengalir di darah para Imam Ahlul Bait as dengan pernikahan Imam Husain as. dan Shahrbanu.
  2. Kita dapat mengkritik riwayat-riwayat ini dengan melihat berbeda-bedanya waktu penawanan yang disebutkan. Karena sebagian riwayat menyebutkan bahwa penawanan tersebut adalah di masa kekhalifahan Umar dan ada yang menyebut di masa kekhalifahan Utsman. Sebagian yang lain seperti Syaikh Mufid menyebutkan bahwa kejadian tersebut adalah di masa kekhalifahan Imam Ali as.[21]
  3. Pada dasarnya kitab-kitab seperti Tarikh Thabari dan Al Kamil karya Ibnu Katsir ketika menyebutkan peperangan-peperangan Muslimin dengan orang-orang Persia hanya menceritakan kaburnya Yazdgerd ke berbagai kota Persia dan sama sekali tidak menyinggung ditawannya putrid Yazdgerd; padahal jika kejadian itu memang nyata, masalah tersebut lebih penting dari masalah-masalah lainnya. Titik ini menguatkan pandangan kita akan palsunya riwayat-riwayat tersebut.
  4. Sebagian penulis seperti Mas’udi, ketika menceritakan tentang anak-anak Yazdgerd ketiga ia menyebut nama-nama seperti Adrak, Shahin dan Mardavand, yang sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan nama-nama yang telah disebutkan untuk ibu Imam Sajjad as. Bahkan dalam tulisan-tulisannya sama sekali tidak disinggung mengenai ditawannya putrid Yazdgerd.[22]
  5. Sumber sejarah terpenting mengenai ibu Imam Sajjad as. adalah surat-surat khalifah Manshur kepada Muhammad bin Abdullah yang dikenal dengan Nafsuz Zakiyah. Nafsuz Zakiyah adalah seorang pemimpin pergerakan kebangkitan para Alawi Madinah di zaman kekhalifahan Manshur. Dalam salah satu surat Manshur, ia menentang Muhammad yang membanggakan nasabnya dengan menulis, “Setelah Rasulullah saw. tidak ada seorang yang lebih mulia nasabnya selain Ali bin Husain as. meskipun ia adalah anak Ummu Walad (budak wanita yang memiliki anak).”[23] Tidak ada yang menentang perkataan Manshur baik Muhammad sendiri atau selainnya. Jika seandainya ibu Imam Sajjad as. adalah anak Shahrbanu putri raja Persia, maka mereka pasti menentang dan berkata, “Tidak, Ali bin Husain as. adalah putra seorang putri raja Persia!”
Dengan demikian, kita sampai pada satu kesimpulan bahwa anggapan tentang Shahrbanu seorang putri raja Persia adalah ibu Imam Sajjad as. sama sekali tidak benar dan pasti riwayat yang menceritakan hal itu adalah riwayat buatan. Riwayat tersebut jelas bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang menyatakan bahwa ia adalah seorang budak perempuan. Para perawi sebelum akhir abad ketiga selalu meriwayatkan seperti demikian, yakni ia adalah budak perempuan dari Sind atau Kabul.[24]

Ibu Imam Sajjad as. tidak hadir di hari Asyura

Di sini kami musti menjelaskan bahwa hampir semua riwayat-riwayat kita menyatakan bahwa ibu Imam Sajjad as. meninggal dunia begitu ia melahirkan anaknya.[25]
Juga disebutkan pula bahwa salah satu budak perempuan Imam Ali as. diperintahkan untuk membesarkannya. Kebanyakan orang mengira perempuan tersebut adalah ibunya. Tak lama kemudian setelah ia dinikahkan dengan seorang lelaki, mereka baru mengerti bahwa ia bukanlah ibunya.[26]
Dengan demikian, jelas sekali bahwa ibu beliau tidak hadir dalam peristiwa Asyura.

Yang dikenal sebagai Makam Shaharbanu

Dengan penjelasan yang telah lalu dengan sendirinya pembahasan kita menjadi jelas. Dan juga berdasarkan penelitian berbagai peneliti sesungguhnya makam yang dikenal dengan Makam Shaharbanu di timur perbukitan Rey tidak ada kaitannya dengan ibu Imam Sajjad as. Bangunan terkenal di tempat itu adalah sebuah bangunan yang telah dibangun beberapa abad setelah masa hayat Imam Sajjad as. Terbukti dari penelitian yang telah dilakukan bahwa bangunan tersebut dibangun pada tahun 888 H. pada zaman pemerintahan Shafaiwiyah dan pernah direnovasi di zaman pemerintahan Qajariyah.[27]

Syaikh Shaduq yang kita kenal sebagai seorang alim asli Rey tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang bangunan itu padahal ia bertahun-tahun lamanya tinggal di kampung halamannya. Ini juga meyakinkan kita bahwa bangunan tersebut belum ada pada abad keempat hijriyah.

Penulis-penulis ternama yang lain juga tidak pernah menyinggungya. Mereka hanya berbicara tentang Abdul Adzim Hasani yang dimakamkan disitu dan juga tokoh-tokoh besar yang lain.

Kemungkinan besar keberadaan Makam Shahrbanu disebabkan adanya seorang perempuan bertakwa yang pernah dimakamkan di bukit itu dan namanya adalah Shahrbanu. Lalu lambat laun kebanyakan masyarakat yang meyakini bahwa ibu Imam Sajjad as. adalah Shahrbanu mengira makam tersebut adalah makam Shahrbanu ibu sang Imam. Atau mungkin ada unsur kesengajaan yang membuat masyarakat meyakini makam tersebut adalah makam ibu Imam Sajjad as.[28]


Referensi:
[1] Mula Agha Darbandi, Iksirul Ibadat fi Asraris Syahadat, jilid 3, halaman 110.
[2] Ibid.
[3] Syahidi, Sayid Ja’far, Zendegani Ali ebn Husain.
[4] Eftekharzade, Mahmudreza, Syoubiye e nasionalisme Iran, halaman 305 yang menukil nama-nama di atas dari kitab Ansabul Asyraf milik Baladzari, Thabaqat milik Ibnu Sa’ad, Al Ma’arif milik Ibnu Qutaibah Dinawari, dan Al Kamil.
[5] Shahidi, Zendegani e Ali bin Al Husain, halaman 12.
[6] Biharul Anwar, jilid 46, halaman 9, hadis 20.
[7] Ushul Kafi, jilid 2, halaman 369.
[8] Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sejarah hidup Shahrbanu, silahkan merujuk: Syoubiye e nasionalism e Iran, halaman 289-337.
[9] Dengan menggunakan terjemahan Sayid Jawad Mustafawi, Ushul Kafi, jilid 2, halaman 369.
[10] Ayatullah Khui, Mojam Rijalul Hadis, jilid 1, halaman 202 dan jilid 13, halaman 106.
[11] Ibid.
[12] Tarikh Ya’qubi, jilid 2, halaman 303.
[13] Tarikh e Qom, halaman 195.
[14] Ushul Kafi, jilid 2, halaman 369.
[15] Biharul Anwar, jilid 46, halaman 9.
[16] Uyunu Akhbarir Ridha, jilid 2, halaman 128.
[17] Al Irsyad, halaman 492.
[18] Zendeganie Ali bin Al Husain, halaman 12.
[19] Syuubiye, halaman 305.
[20] Haula Sayidah Shahrbanu, halaman 28.
[21] Syu’ubiye, halaman 324.
[22] Ibid.
[23] Al Kamil fi At Tarikh, jilid 2, halaman 570.
[24] Haula Sayidah Shahrbanu, halaman 28.
[25] Uyunu Akhbarir Ridha, jilid 2, halaman 128
[26] Biharul Anwar, jilid 26, halaman 8.
[27] Syuubiyah, halaman 326.
[28] Untuk memahami lebih dalam akan tidak mungkinnya Makam Sharbanu di Rey adalah makam ibu Imam Sajjad as., silahkan merujuk Bastan (karya Karimiyan) dan Daneshname e Iran va Islam, seputar Shahrbanu.

POSISI DAN PERAN IMAMAH; Studi historikal kesinambungan Imamah dalam percakapan Imam Husein as dan Imam Sajjad as


Imamah dan kepemimpinan merupakan prinsip dan pondasi penting agama Islam. Kedua masalah ini, di samping prinsip-prinsip lainnya, mewujudkan eksistensi Islam. Keuniversalan agama Islam membuatnya tidak bergantung pada lainnya. Kedua prinsip ini sebagai penjaga hukum, undang-undang dan nilai-nilai ilahi. Bahkan lebih dari itu, begitu pentingnya prinsip ini juga sebagai penjamin keberlangsungan hasil dari prinsip-prinsip yang lain. Keberadaan dan peran dari prinsip Imamah menjamin tauhid, keadilan ilahi, kenabian dan hari akhir menjadi lebih realistis; mulai dari sisi teoritis hingga praktis. Manusia dengan mudah dapat merasakan itu dan memanfaatkannya. 

Dalam sistem politik Islam, prinsip Imamah dan kepemimpinan keberadaan dan perannya tidak diragukan lagi. Prinsip Imamah dan kepemimpinan adalah langkah awal untuk mendirikan sebuah pemerintahan Islam yang pada gilirannya menyiapkan kondisi dan fasilitas demi terlaksananya undang-undang politik, sosial, ekonomi, militer, moral, pendidikan, hukum dan peradilan di tengah-tengah masyarakat berdasarkan Islam.

Kewajiban, peran dan dampak penting dari prinsip Imamah dan kepemimpin dalam ajaran Islam menjadi tanggung jawab seorang Imam dan pemimpin.
(1) Pada saat yang bersamaan, setiap orang diwajibkan untuk mengetahui Imam di zamannya.
(2) Ketaatan terhadap seorang Imam identik dengan ketaatan terhadap Allah Swt.
(3) Dan para Imam menjadi saksi atas perbuatan manusia.(4)

Dalam peristiwa Asyura, terjadi pertemuan dan bincang-bincang antara Imam Husein as dengan Imam Sajjad as. Sebuah percakapan bersejarah. Pembicaraan itu bila diteliti menunjukkan posisi dan pentingnya Imamah dan kepemimpinan.

Imam Sajjad as dalam peristiwa Asyura menderita sakit. Penderitaan yang membuatnya tidak dapat ikut serta dalam peperangan itu. Sakit membuatnya tidak dapat berjihad di samping ayahnya. Ketidakmampuannya untuk ikut dalam membela kebenaran yang diusung oleh Imam Husein as membuatnya sangat bersedih.

Pada detik-detik terakhir peristiwa Asyura, Imam Husein as untuk terakhir kalinya menyambangi anaknya, Imam Sajjad as. Pertemuan untuk terakhir kalinya. Ketika Imam Husein as mendekat anaknya, ia ditanya, "Ayah! Hari ini apa yang engkau lakukan dengan orang-orang Munafik?"

Imam Husein as menjawab, "Wahai anakku! Setan telah mengalahkan mereka. Setan berhasil menyingkirkan keinginan mengingat Allah dari hati mereka. Perang akhirnya merupakan pilihan yang tidak dapat dielakkan. Mereka bak orang kehausan sampai berhasil melihat bumi menyerap semua darah kami."

Imam Sajjad kembali bertanya, "Pamanku Abbas di mana?"

Imam Husein as menjawab, "Wahai anakku! Pamanmu dibunuh. Jasadnya berada dekat sungai Furat. Tangannya terpotong."

Mendengar penjelasan ayahnya, Imam Sajjad menangis tersedu-sedu. Ia kemudian bertanya, "Bagaimana kabar Ali, saudaraku dan rombongan yang lain?"

Imam Husein as menjawab, "Anakku! Ketahuilah bahwa di perkemahan kita tidak ada lagi orang yang tersisa, selain kita berdua. Semua orang yang engkau Tanya telah tewas berkalang tanah."

Kembali Imam Sajjad as menangis tersedu-sedu. Ia kemudian memohon kepada Zainab, bibinya agar mengambilkan tongkat dan pedangnya.

Imam Husein as ganti bertanya, "Apa yang ingin engkau lakukan dengan tongkat dan pedang?"

Imam Sajjad as menjawab, "Dengan tongkat aku dapat menyanggah tubuhku. Dan dengan pedang aku akan membela keturunan Nabi Saw.

Imam Husein as memanggil Ummu Kultsum dan berkata, "Jaga dia! Tidak boleh terjadi bumi kosong dari Alu Muhammad (keluarga Muhammad)."(5)

Sekejap, Imam Husein as dapat merasakan mengapa anaknya mengucapkan hal itu. Ucapan dan sikap yang lahir dari rasa tanggung jawab yang tinggi, sekalipun dalam kondisi sakit dan lemah. Sebuah keputusan yang lahir dari semangat melawan musuh. Namun, Imam Husein as melarang anaknya untuk ikut berperang. Argumentasinya adalah Imam Sajjad as harus tetap hidup. Ia harus hidup untuk masa yang akan datang. Masa yang menuntut tanggung jawab yang besar dari prinsip Imamah dan kepemimpinan. Imam Sajjad as harus tetap hidup agar prinsip ini tetap langgeng, tidak terputus. Kematian Imam Sajjad as berarti terputusnya prinsip Imamah dan sama dengan kosongnya bumi dari seorang Imam dan pemimpin.

Tiba saatnya Imam Husein as harus mengucapkan salam perpisahan kepada anaknya.

Pertama, beliau menasihati keluarganya bahwa setelah ia terbunuh, mereka semua bakal ditawan. Kedua, beliau membeberkan rencana dan tugas yang harus diemban oleh mereka. Dan yang bertanggung jawab penuh dalam tugas ini adalah imam Sajjad as. Mereka harus menyampaikan dan menyingkap semua keteraniayaan Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya.

Nasihat Imam Husein as kepada anaknya:

"Kapan saja anggota keluarga berteriak akibat beratnya cobaan, maka engkau yang harus mendiamkan mereka!

Kapan saja mereka merasa ketakutan, maka engkau yang bertugas menenangkan mereka!

Pikiran mereka yang bercabang harus engkau satukan dengan ucapan yang dapat menenangkan!

Ini harus engkau lakukan karena orang yang menjadi tempat pengaduan mereka telah tiada selain engkau. Biarkan mereka dengan keadannya sehingga dapat merasakan kehadiranmu dan engkau dapat merasakan penderitaan mereka. Lakukan ini agar mereka menangisimu dan engkau menangisi mereka."

Setelah itu, Imam Husein as memegang dan mengangkat tangan Imam Sajjad as. Dengan nada tinggi beliau berkata kepada anak-anak dan wanita Ahlul Bait:

"Dengarkan ucapanku! 

Ketahuilah! Ini adalah anakku dan khalifahku untuk kalian. Ia adalah Imam yang wajib untuk ditaati."(6)

Percakapan antara Imam Husein as dengan Imam Sajjad as dan keluarganya pada detik-detik terakhir peristiwa Asyura sangat jelas dan kuat menekankan posisi, peran dan nilai "Imamah dan kepemimpinan". Pentingnya masalah ini dengan memperkenalkan Imam dan pemimpin setelahnya. Imam dan pemimpin bagi khilafah, wilayah dan pemerintahan atas masyarakat dan negara Islam.

Prinsip Imamah dan kepemimpinan hadir di tengah-tengah peristiwa Karbala. Hadir dan dapat dirasakan dalam semua tahapan-tahapan kejadian Karbala. Imamah dan kepemimpin mengawasi jalannya peristiwa bersejarah ini agar sahabat-sahabatnya tidak keluar dari garis itu. Dan yang terpenting pada detik-detik terakhir Asyura prinsip Imamah dan kepemimpinan ditetapkan, bahkan suksesi berjalan sempurna. Imamah dan kepemimpinan tidak berhenti, namun hadir dalam bentangan sejarah pada semua generasi dan di setiap zaman.

*) Artikel ini dimuat di harian Jomhouri Eslami, no 7979, tahun ke 28.

Catatan:
1. Ghurar al-Hikam, jilid 2, hal 29.
2. Farhang Sukhanan Emam Hossein as, penerbit Masyhur, hal 92.
3.Ghurar al-Hikam, jilid 2, hal 208.
4. Ibid, hal 206.
5. Farhang Sukhanan Emam Hossein as, hal 539-540.
6. Ibid. Hal 541-542.

Imam Sajjad, Teladan Pengabdian


Tanggal lima Sya'ban tahun 38 H seorang manusia mulia lahir ke dunia. Beliau adalah Imam Ali bin Husein yang dikenal dengan panggilan Imam Ali Zainal Abidin. Beliau juga dijuluki dengan sebutan Imam Sajjad, karena tekun beribadah dan bersujud kepada Allah Swt. Selain dekat dengan Tuhan, Imam Sajjad juga dikenal sebagai orang yang sangat dermawan, penyantun terutama kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang tertindas.

Manusia mulia ini juga dikenal dengan doa-doanya yang memiliki ketinggian bahasa dan kedalaman maknanya yang menjulang. Beliau menjalani malam dengan doa dan ibadah kepada sang maha Pencipta. Tentang ini, Imam Baqir as, putra Imam Sajjad berkata, "Ketika semua orang di rumah tertidur di awal malam, ayahku, Imam Sajjad bangun mengambil wudhu dan shalat dua rakaat. Kemudian beliau mengambil bahan makanan dalam karung dan memanggulnya sendirian menuju daerah orang-orang miskin dan membagikan makanan kepada mereka. Tidak ada seorangpun yang mengenalnya. Setiap malam orang-orang miskin menunggu beliau di depan rumah mereka untuk menerima jatah makanannya. Tapak hitam dipunggung ayahku merupakan bukti bahwa beliau memanggul sendiri makanan yang dibagikan kepada orang miskin."

Salah satu karakteristik manusia sejak dulu hingga kini adalah hidup bermasyarakat. Dalam interaksi sosial, potensi setiap orang akan muncul untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing sekaligus orang lain. Demikian juga dengan kita sebagai anggota masyarakat. Kita tidak bisa hidup seorang diri tanpa orang lain. Menurut Imam Sajjad, hanya Allah yang tidak membutuhkan yang lain, kita sebagai makhluk saling membutuhkan. Untuk itu, ketika seseorang berkata, "Tuhanku, jadikan aku orang yang tidak membutuhkan orang lain," beliau berkata. Jangan begitu, setiap orang membutuhkan orang lain. Seharusnya beginilah doamu, "Tuhanku! Jadikan aku orang yang tidak membutuhkan orang-orang yang buruk."

Sejatinya, persahabatan dan pengabdian terhadap sesama merupakan salah satu sifat terpuji manusia. Setiap anggota masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjalani kehidupan ini. Imam Zainal Abidin dalam Risalah Huquq menyinggung hak antarsesama manusia. Dengan cemerlang, Imam Sajjad menjelaskan bagaimana hak pemimpin terhadap bawahannya dan sebaliknya. Tidak hanya itu, Imam Sajjad juga menjelaskan bagaimana hubungan keluarga menyangkut hak orang tua terhadap anaknya dan sebaliknya, hak bertetangga, berteman dan hak terhadap harta.

Menurut Imam Sajjad, manusia adalah pelayan bagi yang lain, sehingga di masyarakat tumbuh budaya gotong-royong dan saling membantu. Di bagian lain Imam Sajjad mengungkapkan perkataan tentang saudara. Beliau berkata, "Saudara yang buruk adalah orang yang memperhatikanmu ketika keadaan lapang, namun menjauhi ketika sulit." Untuk itu seorang mukmin berkewajiban untuk berbuat baik kepada orang lain.

Dalam pandangan Imam Sajjad, melayani orang lain memiliki berbagai dampak yang sangat besar baik di dunia maupun di akhirat. Salah satunya yang paling natural adalah membantu orang yang terkena musibah dan membutuhkan pertolongan. Imam Sajjad berkata, "Di dunia ini tidak ada yang lebih mulia dari berbuat baik kepada saudara."

Imam Sajjad dalam berbagai riwayat lain menjelaskan bahwa orang yang membantu orang lain akan mendapat ganjaran pahala akhirat, ampunan dosa, kedudukan yang tinggi di surga serta pahala lainnya. Beliau berkata, "Tuhanku, semoga shalawat tercurah atas Muhammad dan keluarganya.., anugerahilah tanganku ini agar bisa berbuat baik kepada orang lain, dan jangan rusakkan kebaikan itu dengan riya dalam diriku."

Imam Sajjad bahkan dalam doanyapun memberikan contoh bagaimana mengabdi dan melayani kebutuhan orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Imam Zainal Abidin kepada putranya berkata, "Barang siapa yang meminta tolong padamu untuk melakukan suatu pekerjaan baik, maka lakukanlah. Jika kamu ahlinya maka lakukan dengan sebaik-baiknya, Jika bukan engkau telah berbuat baik."

Pengabdian adalah tindakan yang dilakukan untuk memenuhi hak orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini meliputi hubungan antar sesama manusia, hubungan dengan Tuhan, dan alam semesta.

Pengabdian terhadap masyarakat akan memiliki kedudukan tinggi bukan diukur dari seberapa besar pekerjaan itu. Tapi, kualitas layanan dan ketulusan niatlah yang menjadi ukuran dari bernilai atau tidaknya pekerjaan itu. Dengan demikian akan menciptakan sebuah ketenangan spiritual bagi seseorang yang bisa berbuat kebaikan bagi orang lain. Terkait hal ini Imam Sajjad berkata, "Sikap bersahabat dan bersaudara seorang mukmin kepada saudara mukmin lainnya adalah ibadah."

Di bagian lain, Imam Sajjad mengingatkan nilai spiritual berbuat baik kepada orang lain dengan mengatakan, " Allah akan menggembirakan orang yang telah menggembirakan saudaramu."

Imam Sajjad dengan tanpa pamrih dan hanya mengharap keridhaan Allah berbuat baik terhadap orang lain. Ketika bersama rombongan bergerak menuju Mekah untuk menjalankan ibadah haji, beliau meminta supaya pengurus rombongan tidak memperkenalkan jati dirinya kepada yang lain. Dengan cara ini rombongan lain tidak mengenalinya, dan beliau bisa leluasa melayani keperluan mereka yang hendak berangkat untuk menunaikan ibadah haji.

Dalam sebuah perjalanan seseorang mengenalinya dan berkata, "Apakah kalian tahu siapa pemuda ini " Ia tidak lain adalah Ali bin Hussein. Rombongan itu berlari mendekati Imam Sajjad dan memberi hormat serta memohon maaf karena tidak mengenalinya. Imam berkata, "Suatu hari saya berangkat bersama rombongan haji dan anggota rombongan mengenalnya dan menghormatiku, sebagaimana mereka menghormati Rasulullah. Akhirnya merekalah yang melayani keperluanku bukan sebaliknya. Padahal saya ingin melayani keperluan mereka. Inilah alasan saya tidak ingin dikenali oleh mereka."

Abu Fadhl Abbas


Oleh: Shaleh Al-Jufri

Imam al Hussein (as) berkata memandang jasad adiknya :
“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, adikku.
Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna.”
Aku akan membawakan satu girbah air untuk anak-anak itu
…..Salam alayka Ya Abdasshaalih..

 
Dalam riwayat disebutkan bahwa Abu Fadhl Abbas as adalah pria yang berperawakan tinggi, tegap,dan kekar. Dadanya bidang dan wajahnya putih berseri. Sedemikian elok dan rupawannya Fisik Abbas Ayah Abu Fadhl Abbas adalah Ali bin Abi Thalib as. Ibunya adalah Fatimah AlKilabi, wanita yang lebih dikenal dengan sebutan Ummul Banin. Isterinya adalah Lababah binti Ubaidillah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Lababah mempunyai empat orang putera bernama Ubaidillah, Fadhl, Hasan, dan Qasim, serta seorang puteri.


Abu Fadhl Abbas gugur diKarbala saat masih berusia 34 tahun, adik imam Husain as dari lain ibu ini tenar dengan julukan “Purnama Bani Hasyim” (Qamar bani Hasyim).   Dalam sejarah Abbas juga dikenal sebagai pemegang panji Karbala. Keberanian, kehebatan, dan kekuatannya saat itu tak tertandingi oleh siapapun. Sebagai manusia yang tumbuh besar di tengah binaan keluarga suci dan mulia, dia memiliki keteguhan dan kesetiaan yang luar biasa kepada kepemimpinan dalam untaian figur-figur utama Ahlul Bait as.

Perjuangan di Karbala telah menyematkan namanya dalam sejarah keislaman dan Ahlul Bait Rasul sebagai salah satu pahlawanyang sangat legendaris.   Tentang ini Imam Ali Zainal Abidin Assajjad as berkata, “Sesungguhnya di sisi Allah Abbas memiliki kedudukan (sedemikian tinggi) sehingga seluruh para syuhada cemburu menyaksikannya pada harikiamat.”   Imam Assajad as dalam doanya untuk Abbas as juga berucap, “Ya Allah, rahmatilah pamanku, Abbas.Sesungguhnya dia telah mengorbankan jiwanya untuk saudaranya.”

Sang Purnama Bani Hasyim adalah pria dewasa yang perasaannya dikenal sangat peka. Perasaannya sangat tersayat menakala dia mendengar ratapan kehausan dan tumpahnya darah para pahlawan Karbala. Saat itulah dia semakin merasakan tidak ada gunanya hidup bila tidak dia gunakan untukberjihad membela junjungan dan pemimpinnya, Imam Husain as. Namun, selama terjadi peperanganyang menggugurkan satu persatu dari sahabat dan kerabatnya, yang bisa dia nantikan hanyalah menantiinstruksi Sang Imam.

Dan saat dia mendapat instruksi itu, banyak diantara pasukan musuh yang harusbergelimpangan ditangannya untuk kemudian dia kirim ke neraka jahannam dengan harapan dapatmembalas kebejatan para musuh itu dengan sekuat tenaga.

Dalam penantian instruksi dari saudara sekaligus pemimpinnya itu, kata-kata yang dia ucapkan kepada beliau adalah:   “Kakakku, sudahkah engkau mengizinkan aku?” Pernyataan Sang Purnama ini membuat Sang Imam luluh sehingga menangis tersedu dan berkata: “Adikku, engkau adalah pengibar panjiku dan lambang pasukanku.”   Beliau juga mengatakan: “Engkaulah pemegang panjiku, namun cobalah engkau carikan seteguk air untuk anak-anak itu.”

Hazrat Abbas as lantas mendatangi kelompok Bani Umayyah dan mencoba menasihati mereka kendati Abbas tahu bahwa itu tidak akan mereka dengar. Setelah terbukti nasihat itu sia-sia, dia kembali menghadap Imam Husain as dan mendengar jerit tangis anak-anak kecil yang kehausan memintadibawakan air. Hati Abbas merintih. Sambil menatap langit, bibirnya berucap:   “Tuhanku, Junjunganku, aku berharap dapat memenuhi janjiku, aku akan membawakan satu girbah airuntuk anak-anak itu.”   Abbas kemudian meraih tombak dan memacu kudanya sambil membawa girbah (kantung air dari kulit) menuju sungai Elfrat yang seluruh tepi dijaga oleh sekitar empat ribu pasukan musuh. Begitu Abbas tiba di dekat sungai itu, pasukan musuh itu segera mengepungnya sambil memasang anak panah kebusurnya ke arah adik Imam Husain as tersebut.   Pemandangan seperti itu tak membuatnya gentar.

Begitu beberapa anak panah melesat, Abbas segera berkelit dan bergerak tangkas menyerang musuh.Sekali terjang, pedang Abbas berhasil membabat nyawa sejumlah pasukan. Kemanapun kuda Abbas bergerak, gerombalan musuh bubar dan porak poranda. Akibatnya, penjagaan sungai EFrat yang berlapis-lapis akhirnya jebol diterjang  Abbas.   Sambil menahan letih dan rasa haus yang mencekiknya, Abbas turun ke sungai dengan kudanya. Mula mula dia berusaha cepat-cepat mengisi girbahnya dengan air. Setelah itu dia meraih air dengan telapak tangannya untuk diminumnya. Namun, belum sempat air itu menyentuh bibirnya, Abbas teringatkepada Imam Husain as dan kerabatnya yang sedang kehausan menantikan kedatangannya. Air ditelapak tangannya langsung dia tumpahkan lagi sambil berucap:   “Demi Allah aku tidak akan meneguk air sementara junjunganku Husain sedang kehausan.”

Hazrat Abbas as kemudian berusaha kembali dengan menempuh jalur lain melalui tanah yang ditumbuhi pohon-pohon kurma agar air yang dibawanya tiba dengan selamat ke tangan Imam. Namun,perjalanan Abbas tetap dihadang musuh. Dia tidak diperkenankan membawa air itu kepada Ahlul Nabi tersebut. Kali ini pasukan Umar bin Sa’ad semakin garang. Abbas dikepung lagi. Pasukan yangmenghadang di depannya adalah pasukan pemanah yang sudah siap melepaskan sekian banyak anakpanah untuk mencabik-cabik tubuhnya. Namun, sebelum menjadi sarang benda-benda tajam beracunitu, dengan tangkasnya pedang Abbas menyambar musuh ada di depannya. Sejurus kemudiankep ungan musuh kembali porak-poranda diobrak-abrik Abbas.

Menyaksikan kehebatan Abbas yang tidak bisa dipatahkan dengan berhadapan langsung itu, beberapapasukan penunggang kuda ahli diperintahkan untuk bekerjasama menghabisi Abbas dengan caramenyelinap dan bersembunyi di balik pepohonan kurma. Saat Abbas lewat, dua pasukan musuh bernama Zaid bin Warqa dan Hakim bin Tufail yang juga bersembunyi di balik pohon segera munculsambil menghantamkan pedangnya ke tangan Abbas.   Tanpa ampun lagi, tangan kanan Abbas putus dan terpisah dari tubuhnya. Tangan kirinya segera menyambar girbah air dan pedangnya. Dengan satutangan dan sisa-sisa tenaga itu, Abbas masih bisa membalas beberapa orang pasukan hingga tewas.

Saat itu dia sempat berucap,   “Demi Allah, walaupun tangan kananku telah kalian potong aku tetap akan membela agamaku, membela Imam yang jujur, penuh keyakinan, dan cucu Nabi yang suci dan terpercaya.”   Hazrat Abbas as tetap berusaha bertahan dan menyerang walaupun badannya sudah lemah akibat pendarahan. Dalam kondisi yang nyaris tak berdaya itu, seseorang bernama Nufail Arzaq tiba-tiba muncul bak siluman dari balik pohon sambil mengayunkan pedangnya ke arah bahu Abbas. Abbas taksempat menghindar lagi.   Satu-satunya tangan yang diharapkan dapat membawakan air untuk anakketurunan Rasul yang sedang kehausan itu akhirnya putus.   Dalam keadaan tanpa tangan, adik Imam Husain ini mencoba meraihnya kantung air dengan menggigitnya.

Tapi kebrutalan hati musuh takkunjung reda. Kantung itu dipanah sehingga air yang diharapkan itu tumpah. Air itu pun mengucurhabis seiring dengan habisnya harapan Abbas. Aksi pembantaian ini berlanjut dengan tembusnya satulagi anak panah ke dada Abbas. Tak cukup dengan itu, Hakim bin Tufail datang lagi menghantamkan batangan besi ke ubun-ubun Abbas. Abbas pun terjungkal dari atas kuda sambil mengerang kesakitan dan berteriak :   “Hai kakakku, temuilah aku!”   Dengan sengalan nafas yang masih tersisa Abbas as berucap lagi untuk Imam Husain as:   “Salam atasmu dariku, wahai Abu Abdillah.”

Suara dan ratapan Abbas ini secara ajaib terdengar oleh Imam Husain as sehingga beliaupun beranjak ke arahnya sambil berteriak-teriak: “Dimanakah kamu?” Imam Husain as tiba-tiba dikejutkan oleh kuda Abu Fadhl Abbas yang diberi nama Dzul Janah itu. Secara ajaib kuda itu dapat berucap berucap: “Hai junjunganku, adakah engkau tidak melihat ke tanah?”   Imam lantas melihat ke tanah dan tampaklah di depan mata beliau dua pasang tangan tergeletak di atastanah. Tangan yang dikenalnya segera diraih dan dipeluknya. Tak jauh dari situ pula, Imam melihat tubuh adiknya yang tinggi besar itu tergeletak dalam keadaan penuh luka bersimbah darah. Imam pun tak kuasa menahan duka.

Beliau menangis tersedu dan meratap hingga mengiris hati seluruh hambasejati Allah di langit dan bumi.   “Kini tulang punggungku sudah patah, daya upayaku sudah menyurut, dan musuhku pun semakin mencaci maki diriku.”   Ratap putera Fatimah itu sambil memeluk Abbas, adiknya dari lain ibu. Ditengah isak tangisnya, Imam juga berucap kepada Abbas:   “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, adikku. Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna.”   Jasad Abbas yang tak bertangan itu ternyata masih bernyawa. Mulutnya bergetar dan kemudian bersuara lirih,   “Kakakku, tolong jangan engkau bawa aku ke tenda sana. Sebab, selain aku telah gagal memenuhi janjiku untuk membawakan air kepada anak-anak kecil itu, aku adalah pemegang panji sayap tengah. Jika orang-orang di perkemahan sana tahu aku telah terbunuh, maka ketabahan mereka akan menipis.”

Imam Husain as kembali mendekap erat-erat kepada adiknya yang bersimbah darah itu. Air mata Abbas yang mengalir beliau usap.”Mengapa engkau menangis?” Tanya Imam.   Al Abbas menjawab lirih :   “Wahai kakakku, wahai pelipur mataku. Bagaimana aku tidak akan menangis saat aku melihatmumengangkat kepalaku dari tanah dan merebahkanku dalam pangkuanmu, sementara tak lama lagi tidak akan ada seorangpun yang akan meraih dan mendekap kepalamu, tidak ada seorangpun yang akanmembersihkan debu-debu dan tanah di wajahmu.”

Kata-kata Abbas ini semakin meluluhkan hati Imam Husain as sehingga beliau semakin terbawa derai sak dan tangis haru sambil bersimpuh di sisi adiknya tanpa mempedulikan sengat terik mentari yangmembakar. Dengan hati yang pilu Sang Imam mengucapkan salam perpisahan kepada tulang punggungpasukannya yang sudah tak berdaya itu lalu beranjak pergi dengan langkah kaki yang berat. Abbas pun gugur tergeletak bermandi darah, debu, dan air mata di bawah guyuran cahaya panas mentari sahara.

Kemuliaan Akhlak Imam Sajad As

 

Imam Keempat adalah seorang manusia sempurna dan terpilih. Beliau adalah seseorang yang telah mencapai puncak kesempurnaan dari segala dimensi moral, ritual, keilmuan. Imam Sajjad As merupakan jelmaan al-Qur’an dan Rasulullah Saw. Pada masa kelam pemerintahan Bani Umayyah nilai-nilai kemanusiaan dan keutamaan dilupakan. Alih-alih masyarakat menyaksikan kehidupan zuhud, hidup sederhana, rendah-hati (tawadhu), cinta sesama, bersikap lembut, dan mematuhi pemimpin mereka sebagai khalifah Rasulullah Saw, mereka justru menjadi saksi atas cinta dunia, aristokrasi, hidup bermegah-megahan, individualisme, takabbur. Imam Sajjad laksana surya terang bersinar dan keberadaannya menjelma sebagai penghimpun seluruh keutamaan dan nilai-nilai yang telah dilupakan itu; sedemikian sehingga kawan dan lawan menyampaikan pujian terhadap perilakunya.[1]

Muhammad bin Thalha Syafi’i menulis, “Ia adalah keindahan para abid, imam orang-orang zuhud, pemimpin orang-orang bertakwa dan imam orang-orang beriman. Sirahnya menjadi saksi bahwa ia adalah putra saleh Rasulullah Saw dan raut wajahnya melukiskan kedudukannya di sisi Allah Swt..”[2]

Pada kesempatan ini, kami akan ilustrasikan pelbagai manifestasi dan contoh keutamaan, sirah dan kemuliaan akhlak Imam Sajjad yang menjelma menjadi teladan tiada tara, tanpa tanding dan paling sempurna bagi umat manusia sebagaimana berikut:

1. Ibadah dan munajat Imam Sajjad di hadapan Allah Swt sedemikian banyak sehingga beliau mendapat julukan dan gelar sebagai keindahan para abid (sayid al-‘Âbidin, zain al-‘Âbidin) dan orang yang sangat banyak melakukan sujud (sajjâd). Imam Ali bin Husain As sedemikian meletakkan keningnya di atas tanah sehingga anggota-anggota sujud ayahku memiliki bekas-bekas yang sangat menonjol. Ia selalu memotongnya sebanyak dua kali dalam setahun. Pada setiap kalinya, ia memotong sebanyak lima potong. Oleh karena itu, ia diberi julukan Dzuts Tsafanât (Orang yang memiliki kantung-kantung).[3] Imam Sajjad As tatkala berwudhu raut wajahnya berubah menjadi pucat. Beliau ditanya mengapa demikian? Beliau menjawab, “Apakah engkau tahu di hadapan siapa gerangan aku berdiri?”[4]

Sekaitan dengan mengapa ayahnya Ali Zainul Abidin digelari al-Sajjad (Orang Yang Banyak Bersujud), Imam Baqir As berkata, “Ali bin Husain tidak mengingat sebuah nikmat Allah „Azza Wajalla kecuali ia melakukan sujud. Ia tidak membaca ayat kitab Allah „Azza Wajalla yang mengandung ayat sajdah kecuali ia melakukan sujud. Allah tidak menyelamatkannya dari kejelekan yang dikhawatirkannya kecuali ia melakukan sujud. Ketika usai mengerjakan salat wajib, ia melakukan sujud. Bekas-bekas sujud terdapat pada seluruh anggota sujudnya. Oleh karena itu, ia diberi gelar al-Sajjâd.[5]

2. Gemar memaafkan. Membalas perlakuan buruk dengan kebaikan adalah salah satu karakter utama Imam Sajjad As. Imam Ali bin Husain Zain al-Abidin menyebutkan kebaikan sifat utama ini, “Aku tidak mereguk air lebih menyegarkan daripada memendam amarah kepada orang lain.” “Memendam amarah merupakan air yang paling menyegarkan bagiku.”[6]

Suatu hari, seorang dari keturunan Bani Hasyim berlaku kurang ajar kepada Imam Sajjad As. Imam Sajjad As tidak berkata sepatah kata pun. Setelah orang itu pulang, Imam Sajjad As berkata kepada orang-orang yang hadir di tempat itu, “Apakah kalian mendengar apa yang disampaikan orang itu? Saya ingin kalian pergi bersamaku ke orang itu dan mendengarkan jawabanku.”

Imam Sajjad As melangkah menuju tempat orang ini dan membaca ayat ini, “(yaitu) orang-orang yang menginfakkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”[7]

Imam Sajjad As tiba di rumah orang itu. Orang itu menyangka bahwa beliau datang untuk menuntut balas atas ucapan yang ia sampaikan karena itu ia keluar rumah untuk mendengarkan jawaban dan berkonfrontasi dengannya. Imam Sajjad As bersabda kepadanya, “Wahai saudaraku! Beberapa menit yang lalu engkau datang kepadaku dan menyampaikan perkataaan (yang tidak benar); Semoga Allah Swt mengampuni sekiranya apa yang engkau sampaikan itu terdapat pada diriku. Dan memohon ampunan bagimu sekiranya apa yang engkau sampaikan itu tidak terdapat pada diriku.”

Mendapatkan reaksi Imam Sajjad As seperti ini, orang itu merasa malu kepadanya dan mengecup keningnya lalu berkata, “Apa yang aku katakan tidak terdapat pada diri Anda dan ketahuilah aku sebenarnya yang lebih tepat atas perkataan itu.”[8]

3. Menderma kepada orang-orang yang membutuhkan dan mengurus masalah-masalah mereka merupakan karakter utama seluruh Imam Maksum As. Teramat banyak contoh dari karakter utama ini pada kehidupan masing-masing setiap Imam Maksum As.

Imam Sajjad As banyak menyantuni keluarga-keluarga miskin.[9] Setiap malam, tanpa dikenali, beliau pergi ke rumah-rumah mereka dengan sekantung karung yang berisikan roti, korma dan lain sebagainya. Selama masa hidupnya tiada seorang pun yang mengetahui bahwa siapa gerangan orang yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Setelah kesyahidan (syahâdah) Imam Sajjad As mereka memahami bahwa orang yang tidak dikenali itu adalah Ali bin Husain As (Imam Sajjad As).[10]

Imam Keempat As tidak memakan makanan kecuali ia mendermakan semisal dengannya. Beliau bersabda, “Kamu sekali-kali tidak akan menggapai kebaikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu infakkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui.” (Qs. Ali Imran [3]:92)[11]

Metode Imam Zain al-Abidin dalam memberikan infak dan sedekah adalah sebelum menyerahkan sedekah tersebut kepada orang-orang membutuhkan beliau mencium sedekahan tersebut. Tatkala beliau ditanya alasanyna, Imam Sajjad As bersabda, “Aku tidak mencium tangan peminta-minta namun aku mencium tangan Tuhanku. Sedekah sampai ke tangan Tuhan sebelum ia sampai ke tangan orang yang membutuhkan.”[12]

Cara lainnya Imam Sajjad dalam bersedekah adalah beliau menyerahkanyna secara diam-diam. Imam Sajjad As bersabda, “Sedekah secara diam-diam akan memadamkan murka Tuhan.”[13]

4. Imam Keempat sebagaimana para Imam Maksum lainnya adalah pemberani, prawira dan anti kezaliman. Sikapnya yang keras dan tuturannya yang pedas di hadapan para penguasa zalim seperti Ubaidillah, Yazid dan Abdul Malik merupakan sebaik-baik bukti kekuatan mental dan keprawiraan Imam Sajjad pada peristiwa pasca tragedi Karbala dan pada masa imamah beliau. Di hadapan Ubaidillah yang mengancam membunuhnya, Imam Sajjad As bersabda, “Apakah engkau mengancam untuk membunuhku?” Tidakkah engkau tahu bahwa terbunuh (di jalan Allah) adalah kebiasaan kami dan kesyahidan adalah kemuliaan kami.”[14]

Imam Sajjad As berkata di hadapan Yazid, “Wahai Putra Muawiyah, Hind dan Sakhr! Engkau tahu bahwa datukku Ali bin Abi Thalib As adalah pemegang panji Islam pada hari Badar, Uhud dan Ahzab; namun ayah dan datukmu adalah pemegang panji orang-orang kafir.”[15]

Di hadapan Abdul Malik yang meminta Imam Sajjad As menghadap dan berkata, “Aku bukanlah pembunuh ayahmu. Lantas mengapa engkau tidak datang kepada kami?” Imam Sajjad berkata, “Meski pembunuh ayahku telah mati namun ia telah merusak akhiratnya dengan kejahatan ini; silahkan apabila engkau juga suka seperti dia!”[16]

Bersikap tegas dan berkata-kata pedas seperti ini di hadapan para penguasa zalim dan jahat seperti ini di istana dan wilayah kekuasaan mereka memerlukan keberanian ekstra.

Di samping khutbah membakar Imam Sajjad As di istana Yazid yang mengungkap pelbagai kejahatan, kezaliman dan kerusakan Dinasti Bani Umayyah dan khususnya Yazid juga menunjukkan puncak keberanian mental dan keprawiraan Imam Sajjad As.

Kesimpulan sirah akhlak, keutamaan dan kemuliaah Ahlulbait As adalah sirah dan keutamaan paling sempurna dan keutamaan akhlak dan tidak terbatas pada satu masa atau tingkatan kehidupan beliau. Keutamaan dan kesempurnaan ini senantiasa mengalir pada detik detik kehidupan beliau. Hanya saja mental dan kesempurnaan ini bergantung pada situasi dan kondisi ruang dan waktu dan berbeda-beda di hadapan setiap orang dan setiap peristiwa.

Terkadang di hadapan orang-orang lemah, susah dan miskin masyarakat beliau bersikap “walkazhimina al-ghaizh wa al-‘afina ‘an al-nas” (orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang) dan berderma, mencintai dan memaafkan memenuhi seluruh kehidupannya, dan terkadang di hadapan orang-orang zalim dan penguasa jahat Imam Sajjad adalah orang yang paling berani, prawira dan paling tegas dalam rangka menyuarakan hak orang-orang yang dianiaya dari para penganiaya.

Referensi:
[1]. Ali Rafi’i, Târikh Islâm dar Ashr-e Imâmat Imâm Sajjâd As wa Imâm Bâqir As, hal-hal 17-21. Markaz-e Tahqiqat-e Islami, 76.
[2]. Muhammad bin Thalha Syafi’I, Mathâlib al-Su’ûl, hal. 77. Diadaptasi dari Ali Rafi’i, Târikh Islâm dar Ashr-e Imâmat Imâm Sajjâd As wa Imâm Bâqir As.
[3]. Syaikh Shaduq, ‘Ilal al-Syarâ’i, jil. 1, hal. 233, Software Jâmi’ al-Ahâdits.
[4]. Ibid, hal. 232, Software Jâmi’ al-Ahâdits.
[5]. Ibid, hal. 233, Software Jami’ al-Ahadits.
[6]. Ushûl al-Kâfi, jil. 2, hal. 109. Software Jami’ al-Ahadits.

ما تَجَرَّعْتُ جُرْعَةً اَحَبَّ اِلَىَّ مِنْ جُرْعَةِ غَیْظٍ لا اُکافى بِها صاحِبَها.

[7]. (Qs. Ali Imran [3]:134)

الَّذینَ یُنْفِقُونَ فِی السَّرَّاءِ وَ الضَّرَّاءِ وَ الْکاظِمینَ الْغَیْظَ وَ الْعافینَ عَنِ النَّاسِ وَ اللهُ یُحِبُّ الْمُحْسِنینَ

[8]. Syaikh Mufid, al-Irsyâd, jil. 2, hal. 146.
[9]. Dalam sebuah riwayat yang dinukil dari Imam Baqir As disebutkan bahwa terdapat sejumlah besar keluarga yang ditanggung biaya hidupnya oleh Imam Sajjad As. Silahkan lihat, Manâqib Ibnu Syahr Asyub, jil. 4, hal. 154. Software Jâmi’ al-Ahâdits.
[10]. Syaikh Mufid, al-Irsyad, jil. 2, hal. 146. Diadaptasi dari Ali Rafi’i, Târikh Islâm dar Ashr-e Imâmat Imâm Sajjâd As wa Imâm Bâqir As.
[11]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 46, hal. 89. Software Jâmi’ al-Ahâdits.   (Qs. Ali Imran [3]:92)

لَنْ تَنالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَ ما تُنْفِقُوا مِنْ شَیْ‏ءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلیمٌ

[12]. Ibid, hal. 74. Software Jâmi’ al-Ahâdits.
[13]. Ibid, hal. 88. Software Jâmi’ al-Ahâdits.
[14]. A’yân al-Syiah, jil. 1, hal. 633.

اءبـِالْقـَتْلِ تُهَدِّدُنى؟ اَما عَلِمْتَ اَنَّ الْقَتْلَ لَنا عادَةٌ وَ کَرامَتُنا الشَّهادَةُ

[15]. Ibid.
[16]. Bihar al-Anwar, jil. 46, hal. 121. Software Jâmi’ al-Ahâdits.

Istiqamah Menurut Ahlus Sunnah Dan Syiah Dalam Islam


Apa yang dimaksud dengan istiqamah, tetap dan berterusan dalam mengerjakan ibadah?
Pertanyaan:
Assalamualaikum ya akhi. saya mau bertanya,yang dimaksud dengan amalan tetap itu seperti apa.?, yang di riwaratkan oleh Aisyah Ra yang berbunyi. Diriwayatkan dari Aisyah Ra : seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw, “apakah amal (ibadah) yang paling dicintai Allah?” Nabi Muhammad Saw bersabda,” amal (ibadah) yang dilakukan secara tetap meskipun sedikit”.
Jawaban Global:
Dalam literatur Ahlusunnah, berdasarkan riwayat dari Aisyah, disebutkan, “Rasulullah Saw ditanya tentang amalan apakah yang paling dicintai di sisi Allah Swt?”  Nabi Muhammad Saw menjawab, “Amal (ibadah) yang dilakukan secara tetap meskipun sedikit.”[1]

Terdapat riwayat lainnya dengan kandungan yang sama dari Aisyah dari Rasulullah Swa, “Sebaik-baik amalan adalah amalan yang dilakukan secara berterusan.”[2]

Kandungan riwayat ini juga dikutip dengan ragam judul dalam riwayat-riwayat Syiah. Riwayat-riwayat tersebut diterima yang akan kami sebutkan beberapa contoh di antaranya sebagai berikut:
  1. Imam Sajjad As bersabda: “Saya suka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dan dalam menjalankan amalan-amalan secara istiqamah dan berterusan.”[3]
  2. Imam Baqir As bersabda, “Amalan yang paling dicintai di sisi Allah Swt adalah amalan yang saya lakukan berkelanjutan meski sedikit.”[4]
  3. Imam Shadiq As bersabda, “Ujilah Syiah kami dengan tiga hal; mengerjakan salat pada waktunya dan bagaimana mereka berterusan mengerjakan (salat di awal waktu), menjaga rahasia-rahasia kami dan bagaimana mereka menyembunyikanya dari musuh-musuh kami, menyalurkan bantuan harta kepada para saudaranya dan bagaimana mereka melaksanakannya.”[5]
Adapun yang dimaksud dengan tetap dan berterusan dalam amalan adalah bahwa apabila seseorang mengerjakan sebuah amal kebaikan seperti memulai salat awal waktu, kemudian ia berusaha secara perlahan dan berterusan menunaikan salat di awal waktu sehingga terbiasa dan lama kelamaan disebabkan oleh karena pengulangan dan latihan terus menerus maka ia akan beralih dari kondisi terbiasa menjadi tabiatnya secara inheren (malakah) dan menjadi karakter yang mendasar pada dirinya. Dan sebagai hasilnya ia tidak pernah merasa lelah melakukan hal ini, bahkan ia akan membiasakan dirinya seperti ini hingga akhir hayatnya.
Pekerjaan kecil dan berterusan keuntungannya lebih banyak ketimbang manusia mengerjakan banyak pekerjaan seperti salat awal waktu, tidak tidur di antara dua waktu terbitnya matahari (baina al-thulu’ain), salat malam, mengerjakan puasa sunnah dan seterusnya, semuanya dikerjakan pada satu waktu, namun amalan ini tidak berterusan dan berkelanjutan bahkan menjadi sebab ia jemu dan bosan bahkan terkadang menyebabkan ia putus asa dan meninggalkan amalan tersebut selamanya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ali As dalam sabdanya, “Sedikit yang langgeng lebih baik daripada banyak yang membawa kesedihan.”[6]

Ketentuan Waktu Berterusan atas Amal Kebaikan
Nah, di sini mengemuka sebuah pertanyaan sebuah amal kebaikan sampai kapan harus dikerjakan sehingga disebut sebagai amalan tetap dan berterusan?
Jawabannya adalah bahwa batas maksimal amalan disebut berterusan adalah keberlanjutan amalan tersebut hingga akhir hayat, namun secara lebih terbatas, minimal terdapat dua definisi terkait dengan berterusan pada riwayat sebagai berikut:
  1. Amalan yang telah diputuskan untuk dikerjakan minimal harus berlanjut hingga satu tahun lamanya. Imam Shadiq  As dalam hal ini bersabda, “Bilamana seseorang mengerjakan satu amalan maka ia harus melanjutkannya hingga satu tahun kemudian apabila ia ingin ia dapat berpindah kepada amalan lainnya; karena terdapat malam Qadar yang di dalamnya segala ketentuan dan kehendak Ilahi akan terrealisir yang berlangsung sekali setahun.”[7]
  2. Kemudian setelah memutuskan untuk berterusan atas sebuah amalan, jangan sampai setahun berlalu dan sekali waktu tidak dikerjakan. Dengan kata lain, di antara dua amalan jaraknya menjadi lebih dari satu tahun. Sebuah riwayat dari Imam Keenam As menyoroti masalah ini, “Jangan sampai kalian mewajibkan atas diri kalian sebuah amalan kemudian kalian tidak mengerjakannya satu tahun.”[8]

Hasil dan Kegunaan Berterusan atas Amal Kebaikan
Imam Ali As bersabda: Hasil dari berterusan dan istiqamah atas perbuatan baik bagi manusia berakal adalah:
  1. Meninggalkan pekerjaan-pekerjaan buruk
  2. Jauh dari perbuatan bodoh
  3. Terhindar dari perbuatan dosa
  4. Menghasilkan yakin
  5. Cinta keselamatan
  6. Taat kepada Allah Swt
  7. Tunduk pada dalil dan argumen
  8. Jauh dari setan
  9. Menerima keadilan
  10. Suka berkata yang benar.[9]

Hasilnya ibadah tidak boleh dari sisi kuantitas dan kualitas sedemikian bertindak ekstrem sehingga menimbulkan kejemuan dan ditinggalkan secara keseluruhan. Sebaliknya alangkah lebih baik ibadah dikerjakan secara proporsional dan berterusan meski secara kuantitatif lebih sedikit.

Mengutip Sa’di dalam bahasa puitis nan indah:
Orang yang berhasil melakukan perjalanan bukanlah sekali kencang dan sekali lelah
Orang yang berhasil adalah yang pelan dan berkelanjutan.

Referensi:
[1]. Muhammad Izzat Daruzah, al-Tafsir al-Hadits, jil. 2, hal. 400-401, Kairo, Dar Ihyat al-Kitab al-‘Arabiyah, 1383 H.
«حدیث رواه الشیخان و الترمذی عن عائشة قالت: «إن رسول اللّه ص سئل أیّ العمل أحبّ إلى اللّه؟ قال: أدومه و إن قلّ»
[2]. Ismail bin Amru, Ibnu Katsir Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim (Ibnu Katsir), Riset oleh Muhammad Husain Syamsuddin, jil. 8, hal. 265, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Mansyurat Muhammad Ali Baidhawi, Cetakan Pertama, 1419 H; Muhammad bin Ahmad Qurthubi, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, jil. 20, hal. 36-37, Tehran, Intisyarat Nashir Khusruw, Cetakan Pertama, 1364 S.  
[3]. Muhammad Yakub Kulaini, Kâfi, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari dn Muhammad Akhundi, jil. 2, hal. 82, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Keempat, 1407 H.  
[4]. Ibid, jil. 2, hal. 82.  
[5]. Syaikh Shaduq, al-Khishâl, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari, jil 1, hal. 103, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Pertama, 1362 S.  
[6]. Muhammad bin Husain, Syarif al-Radhi, Nahj al-Balâghah, Riset dan edit oleh Subhi Shaleh, hal. 525, Cetakan Pertama, Hijrat, Qum, 1414 H.  
[7]. Kâfi, jil. 2, hal. 82.
[8]. Kâfi, jil. 2, hal. 83.  
[9]. Hasan bin Ali, Ibnu Sya’bah Harrani, Tuhaf al-‘Uqul, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari, al-Nash, hal. 17-18, Jamiah Mudarrisin, Cetakan Kedua, Qum, 1404 H.  

Tangis Pecah Di Nisan Nabi


Hari itu, saat kalender hijriah menunjukkan Safar 61 Hijriah. Cucu-cucu Nabi yang tersisa telah sampai di mulut Damaskus–digiring bak binatang-binatang ternak. Di kejauhan sana, pucuk-pucuk menara Istana Yazid lamat-lamat terlihat. Seperti di kota-kota sebelumnya, gemerincing rebana kembali terdengar menaik saat mereka menjejak pintu kota. Aroma khamar menyeruap. Bendera-bendera dinasti Bani Umayyah berkibar di setiap sudut kota.
Kali ini “Khalifah” Yazid bin Muawiyah sendiri yang memandu pesta penyambutan besar-besaran. Dia meminta rakyatnya melihat langsung penyambutan tawanan keluarga Nabi di halaman istana.


Di depan sana, tepat di tengah halaman istana, telah bergerombol tahanan keluarga Nabi. Tangan dan kaki mereka masih terikat rantai. Khalayak terus menonton. Tak ada yang memalingkan mata meski mereka melihat jilbab hitam yang melekat di tubuh putri-putri Nabi telah sobek di banyak bagian. Mereka juga melihat seorang di antara tahanan itu, seorang peremuan yang perawakannya paling besar dan gurat-gurat kecantikan masih terbaca jelas di wajahnya, menjadi tempat bersandar seluruh tahanan lainnya. Ali Zainal Abidin yang masih sakit ikut bersandar ke bahu perempuan itu.
Itulah Zainab, adik perempuan Husein cucu Nabi.
“Selamat datang, pasukan pemberaniku.” Yazid, kini dalam busana kemewahannya, resmi menyambut kedatangan rombongan durjana pasukan Ibn Ziyad. Kepala Husein dan seluruh kepala syahid keluarga Nabi telah dilepas dari ujung-ujung tombak dan ditempatkan di belasan nampan.
Pesta penyambutan itu berakhir ketika malam bertengger di ufuk. Zainab dan adik-adiknya dikurung di sebuah ruang bawah tanah di pojok istana. Yazid sendiri tenggelam dalam mabuk. Tak seorang pun berani mendekat. Dia terus memukul-mukulkan tongkatnya ke kepala Husein hingga fajar terbit.
Masih pagi buta, Yazid memanggil seluruh warga Damaskus ke balairung utama kerajaan. Dia ingin mempertontonkan kembali satu per satu keluarga Nabi dan seluruh kepala syahid di Padang Karbala.
“Bagaimana kau melihat perlakuan Allah atas saudaramu?” Yazid mulai berbicara, mencoba menohok ulu hati Zainab dan keponakannya, Ali Zainal Abidin. Dia ingin membenarkan semua tindakannya di hadapan rakyat.
“Bukankah,” katanya memancing emosi, “ini bukti Tuhan telah memenangkanku dan menghinakan kalian dalam kekalahan? Bukankah ini berarti Tuhan telah berkehendak mendudukkanku di singgasana dan menelantarkan kalian di padang tandus tanpa bala bantuan?”
Ummu Kaltsum bicara pertama. “Hai putra keturunan manusia yang telah diusir kakekku, Rasulullah! Lihatlah selir-selirmu duduk terhormat di balik tirai, sedangkan putri-putri Rasul kau biarkan menjadi tontonan orang-orang bejat. Mereka bagai gelandangan dilempari korma dan keping-keping uang oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi!”
Mata Yazid menyorot penuh kebencian mendengar jawaban Ummu Kaltsum. Dia tersinggung ketika Sukainah menimpali bahwa perlawanan ayahnya, Husein, bukan karena kekuasaan tapi karena “memenuhi panggilan kebenaran dan keadilan”.
“Tutup mulutmu!” Yazid memotong dengan nada tinggi. “Ayahmu lah yang telah memaksaku melakukan pembantaian ini! Dia melawanku dan menolak untuk mengakuiku sebagai pemimpin yang sah.”
Yazid mengalihkan perhatian. Dia meminta Zainab angkat suara. Rupanya Yazid lupa bahwa Zainab adalah wanita yang seluruh hidupnya, tiap-tiap rincian perbuatan, sikap dan pikirannya, lahir dari ketakwaan yang tinggi. Dia tak pernah melihat kejadian, sekeji apapun di dunia ini, tanpa kacamata ketakwaan.
“Segala puji bagi Allah. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada kakekku, Muhammad Rasulullah, dan segenap keluarganya yang suci. Maha Benar Allah yang berfirman, ‘kemudian akibat orang-orang yang melakukan kejahatan adalah (siksa) yan lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah, dan mereka mengolok-oloknya.’”
“Apakah kau menduga, Hai Yazid, saat kau memburu kami di muka bumi dan menggiring kami laksana segerombolan domba dan budak, bahwa yang demikian itu karena kami hina sedangkan kau mulia di hadapan Allah? Apakah kau menduga bahwa tahtamu ini memiliki kemuliaan di sisi-Nya sehingga batang hidungmu memekar, dan kau memandang kami dengan memicingkan sebelah matamu yang nyalang, dan kau bersuka cita karena melihat kekayaan dunia yang terkumpul di sekitarmu dan segala urusan tampak sederhana di depanmu? Celaka, sungguh celakalah kau! Kau telah melupakan firman Allah: ‘Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir mengira bahwa penangguhan kami adalah baik bagi mereka. Kami beri tangguh mereka tak lain supaya dosa mereka bertambah dan bagi mereka siksa yang menyedihkan.’”
“Apakah adil, hai anak orang yang masuk Islam karena terpaksa, caramu menakut-nakuti orang-orang yang memberi kebebasan dan kau giring putri-putri Rasulullah bagaikan tawanan dan gelandangan? 
Kau telah mengoyak pakaian mereka lalu mempertontonkan wajah mereka yang kusut akibat duka yang panjang, kau pertunjukkan ke hadapan musuh-musuh mereka dari dusun ke dusun berikutnya, dari kota ke kota lainnya, kau seret mereka di tengah kaum lelaki dan para pejalan kaki, sehingga mereka menjadi tontotan percuma semua orang, tanpa seorang pun pelindung. Lalu kebaikan apa yang dapat diharapkan dan dinanti dari keturunan orang yang mulutnya mengunyah-ngunyah hati dan jantung orang-orang yang suci, dan daging badannya tumbuh sehat dari darah para syuhada yang dihisapnya?”
“Hai Yazid!” Zainab kembali memecah keheningan. “Aku tidak melihat dari semua kejadian ini kecuali keindahan.”
“Gunakanlah segala tipu dayamu, berusahalah sekuat tenagamu, dan jangan sedikit pun berpendek tangan dalam upayamu. Ketahuilah bahwa kau tidak akan mematikan nama kami atau mengubur wahyu yang turun pada kakek kami Muhammad Rasulullah.”
“Kau mengira bahwa kakakku, al-Husein, telah mati. Tapi, yang sebenarnya mati adalah kau dan semua perangkat kekuasaanmu, karena semua itu adalah bagian dari dunia ini. Sedangkan kehidupan kakakku takkan pernah berakhir.”
“Nama dan ruhnya akan selalu hidup dalam jiwa orang beriman. Kenangan tentangnya bakal senantiasa mengobarkan semangat juang para pencari kebenaran dan penegak keadilan. Kakakku akan menjadi ilham bagi orang-orang yang bertakwa.”
Damaskus gempar setelahnya, terlebih setelah Ali Zainal Abidin maju ke mimbar dan mendiamkan Yazid dengan kedalaman pengetahuannya.
“Hai lelaki yang tidak memahami Al-Qur’an!” kata Zainal Abidin setelah Yazid yang menyebut kematian Husein “telah ditentukan Al-Qur’an” dan “Allah lah yang membunuhnya”. “Jangan memutarbalikkan kenyataan dan jangan pula menjadikan Tuhan sebagai kedok… Yang ditentukan oleh Allah adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi atas kehendak manusia dan sebab-musabab yang dipersiapkannya sendiri!”
“Hai manusia! Sesiapa yang telah mengenalku, maka dia telah mengenalku, dan sesiapa yang tidak mengenalku, maka kini saatnya aku memperkenalkan diri. Akulah putra manusia yang
Yazid segera memotong pidato Ali Zainal Abidin itu. Dia mencium gelagat keresahan di kalangan penduduknya. Banyak yang mulai menundukkan kepala, menyadari bahwa mereka telah jadi korban rekayasa. Banyak yang beringsut setelah mengetahui bahwa kepala di ujung tombak itu adalah kepala Husein, cucu tercinta Nabi, dan tawanan perempuan itu adalah darah daging az-Zahra, putri semata wayang Nabi.
Yazid segera meminta seseorang mengumandangkan azan. Saat muazin menyebut ‘Allah Maha Besar’, Zainal Abidin menyahut: “Kau membesarkan Maha Besar yang tak terjangkau kebesaran-Nya.” Saat muazin menyebut ‘Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah’, Zainal Abidin menyahut: “Sungguh hatiku, tubuhku, tulang-belulangku, kulitku, bulu-buluku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah.” Lalu, saat muazin menyebut ‘Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah’, Zainal Abidin menoleh ke arah Yazid lalu berteriak keras: “Hai Yazid, Muhammad yang disebut-sebut itu kakekku atau kakekmu?! Kalau kau bilang dia kakekku, mengapa kau perlakukan kami begini dan kau bantai anak cucunya?! Kalau kau bilang dia kakekmu, maka jelas semua orang tahu kau berdusta!”
Yazid pucat seperti baru tersambar halilintar. Melihat keadaan yang mulai berbalik itu, dia segera menjauhkan sumber keresahan. Di hadapan penduduk Damaskus, dia segera membebaskan kesembilan keluarga Nabi itu. Dia mengirim satu pasukan besar untuk mengawal Zainab dan adik-adiknya kembali ke Karbala, untuk mengubur jasad Husein dan seluruh syahid lainnya, sebelum akhirnya berputar arah ke Madinah.
Di Madinah, Jumat, 20 Safar tahun 61 Hijriah. Ummu Kaltsum setengah berlari ke kubur Rasulullah, kakeknya. Dia roboh begitu sampai. “Salam sejahtera padamu, kakekku,” katanya dengan air mata berlinang. “Oh, betapa kami tersiksa oleh rindu padamu. Kini aku sendiri, tanpa pelindung. Bawalah aku bersamamu.”
Sukainah menyusul. Dia hanya bisa merangkak. Tangannya berusaha memeluk pusara Nabi. Dia mengadukan keadaannya. “Salam sejahtera atasmu, Rasulullah,” katanya. “Kami sungguh kesepian dan sengsara! Umatmu telah membunuh putramu dan menganiaya putri-putrimu!”
Zainab sampai terakhir. Ali Zainal Abidin memapahnya. Dia ambruk di makam kakeknya, tangisnya panjang. Pekikannya pilu. Dia mengadukan kemalangan buah hati Nabi: “Salam rindu padamu! Inilah wanita-wanita keluargamu! Kami datang mengadukan derita. Al-Husein, cahaya hati dan matamu, telah diinjak-injak ratusan kaki kuda di Karbala. Al-Husein telah dipenggal. Sorbannya telah dikoyak-koyak, dan baju pakaiannya telah dilucuti oleh orang-orang yang mengaku sebagai umatmu. Kami datang untuk menyampaikan bela sungkawa kepadamu, kepada Az-Zahra, kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.”
Madinah berkabung hari itu, hingga 15 hari setelahnya. Tangis pecah di setiap sudut kota.

Habib Muhammad bin Husein al-Aydrus: Pewaris Rahasia Imam Ali Zainal Abidin


Al-Habib Muhammad bin Husein al-Aydrus lahir di kota Tarim Hadramaut. Kewalian dan sir beliau tidak begitu tampak di kalangan orang awam. Namun di kalangan kaum ‘arifin billah derajat dan karomah beliau sudah bukan hal yang asing lagi, karena memang beliau sendiri lebih sering bermuamalah dan berinteraksi dengan mereka.

Sejak kecil habib Muhammad dididik dan diasuh secara langsung oleh ayah beliau sendiri al-’Arifbillah Habib Husein bin Zainal Abidin al-Aydrus. Setelah usianya dianggap cukup matang oleh ayahnya, beliau al-Habib Muhammad dengan keyakinan yang kuat kepada Allah SWT merantau ke Singapura.

أَََلَمْ َتكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فتَََهَاجَرُوْا فِيْهَا

Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? (Q.S an-Nisa’:97).

Setelah merantau ke Singapura, beliau pindah ke Palembang, Sumatera Selatan. Di kota ini beliau menikah dan dikaruniai seorang putri. Dari Palembang, beliau melanjutkan perantauannya ke Pekalongan, Jawa Tengah, sebuah kota yang menjadi saksi bisu pertemuan beliau untuk pertama kalinya dengan al-Imam Quthb al-Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Seggaf, Gresik. Di Pekalongan jugalah beliau seringkali mendampingi Habib Ahmad bin Tholib al-Atthos.

Dari Pekalongan beliau pidah ke Surabaya tempat Habib Musthafa al-Aydrus yang tidak lain adalah pamannya tinggal. Seorang penyair, al-Hariri pernah mengatakan:

وَحُبِّ البِلَادَ فَأَيُّهَا أَرْضَاكَ فَاخْتَرْهُ وَطَنْ

Cintailah negeri-negeri mana saja yang menyenangkan bagimu dan jadikanlah (negeri itu) tempat tinggalmu

Akhirnya beliau memutuskan untuk tinggal bersama pamannya di Surabaya, yang waktu itu terkenal di kalangan masyarakat Hadramaut sebagai tempat berkumpulnya para auliaillah. Di antaranya adalah Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdor, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya dan masih banyak lagi para habaib yang mengharumkan nama kota Surabaya waktu itu. Selama menetap di Surabaya pun Habib Muhammad al-Aydrus masih suka berziarah, terutama ke kota Tuban dan Kudus selama 1-2 bulan.

Dikatakan bahwa para sayyid dari keluarga Zainal Abidin (keluarga ayah Habib Muhammad) adalah para sayyid dari Bani ‘Alawy yang terpilih dan terbaik karena mereka mewarisi asrar (rahasia-rahasia). Mulai dari ayah, kakek sampai kakek-kakek buyut beliau tampak jelas bahwa mereka mempunyai maqam di sisi Allah SWT. Mereka adalah pakar-pakar ilmu tashawuf dan adab yang telah menyelami ilmu ma’rifatullah, sehingga patut bagi kita untuk menjadikan beliau-beliau sebagai figur teladan.

Diriwayatkan dari sebuah kitab manaqib keluarga al-Habib Zainal Abidin mempunyai beberapa karangan yang kandungan isinya mampu memenuhi 10 gudang kitab-kitab ilmu ma’qul/manqul sekaligus ilmu-ilmu furu’ (cabang) maupun ushul (inti) yang ditulis berdasarkan dalil-dalil jelas yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh para pakar dan ahli (para ashlafuna ash-sholihin).

Habib Muhammad al-Aydrus adalah tipe orang yang pendiam, sedikit makan dan tidur. Setiap orang yang berziarah kepada beliau pasti merasa nyaman dan senang karena memandang wajah beliau yang ceria dengan pancaran nur (cahaya). Setiap waktu beliau gunakan untuk selalu berdzikir dan bersholawat kepada datuk beliau Rasulullah SAW. Beliau juga gemar memenuhi undangan kaum fakir miskin. Setiap pembicaraan yang keluar dari mulut beliau selalu bernilai kebenaran-kebenaran sekalipun pahit akibatnya. Tak seorangpun dari kaum muslimin yang beliau khianati, apalagi dianiaya.

Setiap hari jam 10 pagi hingga dzuhur beliau selalu menyempatkan untuk openhouse menjamu para tamu yang datang dari segala penjuru kota, bahkan ada sebagian dari mancanegara. Sedangkan waktu antara maghrib sampai isya’ beliau pergunakan untuk menelaah kitab-kitab yang menceritakan perjalanan kaum salaf. Setiap malam Jum’at beliau mengadakan pembacaan Burdah bersama para jamaahnya.

Beliau al-Habib Muhammad al-Aydrus adalah pewaris karateristik Imam Ali Zainal Abidin yang haliyah-nya agung dan sangat mulia. Beliau juga memiliki maqam tinggi yang jarang diwariskan kepada generasi-generasi penerusnya. Dalam hal ini al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad telah menyifati mereka dalam untaian syairnya:


ثبتوا على قـدم النبى والصحب # والتـابعين لهم فسل وتتبع
ومضو على قصد السبيل الى العلى# قدما على قدم بجد أوزع

_Mereka tetap dalam jejak Nabi dan sahabat-sahabatnya
Juga para tabi’in. Maka tanyakan kepadanya dan ikutilah jejaknya_

_Mereka menelusuri jalan menuju kemulyaan dan ketinggian
Setapak demi setapak (mereka telusuri) dengan kegigihan dan kesungguhan_

Diantara mujahadah beliau r.a, selama 7 tahun berpuasa dan tidak berbuka kecuali hanya dengan 7 butir kurma. Pernah juga beliau selama 1 tahun tidak makan kecuali 5 mud saja. Beliau pernah berkata, “Di masa permulaan aku gemar menelaah kitab-kitab tasawuf. Aku juga senantiasa menguji nafsuku ini dengan meniru perjuangan mereka (kaum salaf) yang tersurat dalam kitab-kitab itu”.

(Diadaptasi dari naskah karangan Habib Syekh Musawa Surabaya)
Sumber http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/dalwa.bangil/
cgi-bin/dalwa.cgi/al_bashiroh/profil/02-jun06.single

MENGENANG HARI WAFAT SAYIDAH ZAINAB BINTI ALI


Sayidah Zainab adalah seorang perempuan mulia. Seorang perempuan yang ketika gelombang musibah besar menimpanya, dia tetap tidak melupakan Tuhan dan sama sekali tidak beranjak dari keyakinannya. Tidak sedetik pun dia ragu dalam mengemban tugas penyampaian risalah Ilahi. Perempuan mulia itu adalah Sayyidah Zainab s.a. Dialah yang menyampaikan pesan kebangkitan Imam Husein kepada dunia dan hari ini umat Islam merasa bangga untuk meneladaninya. 

Ketika manusia menggunakan usianya untuk menegakkan kebenaran dan nilai-nilai ilahiah, ia akan menjadi abadi dalam sejarah. Jalan dan cara yang ditempuhnya akan menjadi ilham buat generasi berikutnya. Oleh karena itulah, kita menyaksikan hari ini nama Zainab dan kehidupannya amat meninggalkan pengaruh dalam kehidupan manusia.

Karin, seorang perempuan Jerman telah memilih nama Zainab setelah dia memeluk agama Islam. Ketika ditanya mengenai motifnya dalam memilih nama tersebut, ia berkata, "Kisah kehidupan Rasulullah SAWW dan Ahlul Bait senantiasa menarik perhatian saya. Khususnya, dalam riwayat kebangkitan Imam Husein a.s., ketokohan Zainab benar-benar memiliki keistimewaan khusus. Pengorbanan perempuan suci ini dalam menanggung duka kesedihan akibat kematian saudaranya dan juga orang-orang yang disayanginya sangatlah layak dipuji dan diteladani. Meskipun menderita duka lara yang amat dalam, beliau tetap teguh menyampaikan risalah kebangkitan Imam Husein a.s. Kehidupan Zainab memberikan pelajaran dan keteladanan untuk saya. Setiap kali saya berhadapan dengan masalah, saya segera teringat kepadanya. Nama Zainab memberi ketenangan yang khusus bagi saya ketika saya berada di puncak kesulitan. Itulah sebabnya saya memilih nama Zainab untuk diri saya."

Zainab dibesarkan oleh ayahnya yang pemberani Imam Ali a.s. dan ibunya yang suci, Fatimah Az-Zahra. Para sejarawan mengatakan Zainab mewarisi keberanian, kepahlawanan, dan kefasihan dalam berbicara dari ayahnya Imam Ali a.s. serta kebaikan, kelembutan, dan pengorbanan dari ibunya Fatimah Az-Zahra. Zainab sejak kecil senang belajar dan menuntut ilmu pengetahuan. Kecintaannya kepada ilmu inilah yang menyebabkan dia mempunyai pandangan yang mendalam dalam ilmu dan makrifat Islam. Perempuan agung ini juga aktif dalam mendidik agama kaum muslimah di zamannya. Banyak kaum muslimah pada era itu yang berhasil mencapai tahap tinggi spiritual setelah belajar dari Sayyidah Zainab. Kehidupan Zainab dibaktikannya untuk menyebarkan ajaran dan makrifat tauhid dan untuk melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Dengan keikutsertaannya dalam kisah kepahlawanan terbesar dalam sejarah umat manusia, yakni kebangkitan Imam Husein a.s. di Padang Karbala, Sayyidah Zainab telah memainkan sebuah peran yang abadi.

Siapapun yang pernah mendengar peristiwa tragedi Karbala dan mendengar nama Zainab, akan menyimpulkan bahwa dalam tragedi ini, beliau adalah seorang guru yang sabar serta seorang jururawat yang penuh perhatian. Dia juga turut memperkokoh jiwa lasykar Imam Husein, merawat yang luka mereka, dan memberi obat penawar kepada hati yang terluka. Dalam kondisi yang sedemikian tegang dan penuh kesengsaraan di tengah Padang Karbala, ia tetap tekun berdoa dan bermunajat kepada Tuhan di tengah malam. Imam Sajjad a.s. pernah berkata, "Aku melihat bibiku melakukan sholat dalam keadaan duduk karena tengah menanggung kelaparan yang amat sangat."

Periode penyampaian risalah yang amat berat yang diemban oleh Zainab bermula ketika tragedi di Karbala terjadi. Tragedi ini secara lahiriah berakhir dengan kesyahidan Imam Husein a.s. Namun, Sayyidah Zainab tidak membiarkan kesyahidan Imam Husain lenyap dan dilupakan begitu saja oleh umat manusia. Beliau menjalankan peran sebagai penyampai risalah perjuangan Imam kepada umat manusia. Sayyidah Zainab secara berani mempertahankan hak-hak Ahlul Bait Rasulullah dan sama sekali tidak membiarkan musuh menggunakan tragedi Karbala bagi keuntungan politik mereka.

Dalam peristiwa Karbala, Yazid dan pendukungnya menyangka bahwa mereka telah sukses dalam mengalahkan Ahlul Bait. Tetapi ketika para tawanan Ahlul Bait tiba di Kufah dari Karbala, lewat khutbah terkenalnya, Sayyidah Zainab menyingkap identitas Yazid sehingga menguncang rakyat Kufah dan Syam. Mereka yang selama ini tidak mengenal hakikat Ahlul Bait merasa menyesal dan mengalirkan air mata .

Zainab senantiasa mengingatkan manusia kepada tanggung jawab mereka terhadap agama yang telah dibawa oleh Rasulullah dan juga keharusan mereka untuk menjadi penganut agama yang suci dan ikhlas.
Meskipun Zainab tidak menjalani kehidupan yang lama setelah tragedi Karbala, tetapi dalam masa singkat itu dia sempat menyemai benih-benih kesadaran dan kemuliaan Islam ke seluruh dunia. Srikandi ini meninggalkan dunia yang fana ini pada tahun 62 Hijriah.

Berikut ini adalah petikan pidato bersejarahnya di hadapan Yazid yang memperlihatkan kefasihan dan keberanian beliau. "Aku bersumpah dengan nama Allah, bahwa aku tidak takut kepada siapapun kecuali Allah dan hanya kepada Allahlah tempat aku mengadu. Wahai Yazid, engkau bisa melakukan segala tipu daya, tetapi ketahuilah engkau tidak akan mampu untuk menghapuskan kenangan atas kami dan jalan kami."

Terkait Berita: