Tanya: Apakah Shahrbanu putri Yazdgerd ketiga adalah
ibu Imam Sajad as.? Apakah ia juga hadir dalam peristiwa Karbala? Apa
benar Imam Husain as. meminta Shahrbanu untuk pergi ke Persia guna
menyelamatkan diri dan makamnya kini berada di kota Tehran?
Jawab: Akhir-akhir ini memang banyak tulisan yang
menukil cerita-cerita yang dikira benar. Misalnya disebutkan bahwa dalam
beberapa buku sejarah tercatat bahwa di hari Asyura, Imam Husain as.
memerintahkan Shahrbanu untuk pergi menuju negeri Persia. Lalu dengan
menunggangi kuda beliau, Shaharbanu berangkat dan dengan izin Tuhan tak
lama kemudian ia sampai di perbukitan Rey. Ia dimakamkan di sana di
dekat makam Sayid Abdul Adzim Hasani.[1]
Disebutkan pula bahwa telah masyhur di kalangan masyarakat akan
adanya suatu kain seperti penutup wajah di atas bukit itu. Dan yang
menakjubkan, tidak ada satupun lelaki yang bisa mendekatinya. Seorang
perempuan yang sedang mengandung bayi laki-laki pun juga tidak bisa
mendekat.[2]
Juga masyhur di kalangan banyak orang bahwa ketika Shaharbanu sedang
mendekati Rey, ia meminta pertolongan kepada Allah dengan menyebut kata
Huw (yang artinya adalah Allah—
pent.). Akan tetapi, ia salah bicara, ia tidak mengatakan
Huw akan tetapi mengatakan
Kuh (bahasa Parsi yang artinya adalah “gunung”—
pent.) Akhirnya tiba-tiba ia ditelan gunung dan terkubur dalam perutnya.[3]
Mungkin sebagian orang menyadari dengan pasti bahwa pada peristiwa
Asyura ibu Imam Sajjad as. tidak hadir waktu itu. Mungkin juga tidak
perlu ada penjelasan panjang lebar bagi mereka tentang tidak hadirnya
istri Imam Husain as. di hari Asyura. Akan tetapi di kalangan
orang-orang awam terdapat banyak kekeliruan mengenai masalah ini; oleh
karenanya kita akan membahasnya di sini.
Untuk membahas permasalahan ini, kita akan memberikan sedikit penjelasan sebelumnya memasukinya.
Ibu Imam Sajjad as.
Dengan merujuk sumber-sumber sejarah baik milik Syiah maupun Ahlu
Sunnah, kita dapat memahami bahwa salah satu masalah yang mana ulama
Syiah banyak berbeda pendapat tentangnya, adalah masalah siapa nama ibu
Imam Sajjad as. Para ulama dengan merujuk pada sumber-sumber kepercayaan
mereka menyebutkan berbagai nama yang kurang lebih sampai empat belas
atau enam belas nama. Nama-nama tersebut adalah:
- Shahrbanu.
- Shahrbanuwiyah.
- Shaahzanan.
- Jahanshah.
- Sahzanan.
- Shahrnaz.
- Jahanbanuwiyeh.
- Khaulah.
- Barrah.
- Salafah.
- Ghazalah.
- Salamah.
- Harar.
- Maryam.
- Fathimah.
- Shahrban.
Dalam sumber-sumber sejarah Sunni ibu Imam Sajjad as. lebih dikenal dengan sebutan Salafah, Salamah, dan Ghazalah.[4]
Tetapi di kalangan kaum Syiah, terutama yang disebut dalam kitab-kitab
riwayat terkemuka, ibu Imam Sajjad as. lebih dikenal dengan sebutan
Shahrbanu. Berdasarkan yang ditulis oleh sebagian peneliti,[5] untuk pertama kalinya nama ini disebut dalam kitab
Habairud Darajat karya Muhammad bin Hasan Shafar Qumi (290 H.)[6] Lalu setelah itu, perawi terkenal Al Kulaini menuliskan riwayat tersebut dalam kitabnya
Al Kafi.[7]
Adapun sumber-sumber yang lain, jika mereka tidak menukil dari kedua
kitab di atas, mungkin mereka menukil riwayat-riwayat yang
dhaif (lemah) dan tanpa sanad yang baik.[8]
Dalam riwayat itu disebutkan:
“Ketika putri Yazdgerd dibawa ke hadapan Umar, para wanita perawan
Madinah berdatangan untuk melihatnya. Ketika ia memasuki masjid, tempat
itu diterangi dengan cahayanya. Umar menatapnya lalu perempuan itu
menutupi wajahnya dan mengatakan beberapa patah kata dengan bahasa
Parsi, “Oh, betapa kelam hari-hari Hormuz.” Tiba-tiba Umar berkata,
“Perempuan ini mencaciku!” Imam Ali as. berkata kepadanya, “Tidak.
Biarkan ia memilih salah seorang muslim di antara kita dan hitunglah
saham
ghanimah (harta rampasan perang)-nya.” Umar melakukan apa
yang beliau minta. Tak lama kemudian perempuan itu meletakkan tangannya
di atas kepala Imam Husain as. Imam Ali as. bertanya kepada perempuan
tersebut, “Siapa namamu?” Ia menjawab, “Jahanshah.” Imam Ali as.
kemudian berkata, “Namamu adalah Shahrbanuwiyah.”
Kemudian beliau berkata kepada Imam Husain as., “Akan lahir seorang
manusia yang terbaik di antara semua penghuni bumi dari perempuan ini
untukmu. Ia akan dikenal dengan sebutan Ibnul Khiyaratain, yakni anak
dari dua darah terbaik pilihan Tuhan, yang pertama dari Bani Hasyim dan
yang kedua dari Persia.”[9]
Riwayat ini perlu dibahas baik sanad maupun teks nya. Dari sisi
sanad, riwayat ini diriwayatkan oeleh beberapa orang seperti Ibrahim bin
Ishaq Ahmar[10] dan Amr bin Syimr yang mana mereka pernah disebut sebagai orang yang berlebihan dalam mencintai Ahlul Bait (
Ghuluw) dan tidak pernah dipercaya oleh ahli
Rijal (ilmu yang membahas kriteria-kriteria dan dapat dipercaya atau tidaknya seorang perawi hadis—
pent.) kalangan Syiah.[11]
Adapun di sisi teks riwayatnya, kita dapat menemukan beberapa titik lemah di bawah ini:
- Ditawannya putri Yazdgerd diragukan kebenarannya dalam sejarah.
- Ditawannya perempuan tersebut dan dinikahkannya ia dengan Imam Husain as. di zaman Umar tidak masuk akal.
- Selain riwayat yang satu ini, tidak ada satupun riwayat yang lain
yang menyebutkan bahwa Imam Sajjad as. memiliki julukan Ibnul
Khiyaratain.
Bukankah ini hanya upaya orang-orang Iran saja yang ingin
membanggakan dirinya karena dengan pengakuan itu maka artinya darah
dinasti Sasanid telah bercapur dengan darah suci Ahlul Bait dalam tubuh
Imam Sajjad as.?
Banyaknya pembahasan-pembahasan yang mengkritik riwayat yang seperti
ini membuat kita benar-benar enggan menerima bahwa cerita tersebut
nyata. Ini tak lain adalah cerita buatan para pencipta hadis-hadis
palsu. Lebih baik kita tidak menyebut ibu Imam Sajjad as. dengan nama
Shahrbanu.
Mengenai nasab ibu Imam Sajjad as. terdapat banyak perbedaan yang
kita temukan dalam sumber-sumber sejarah. Sebagian sejarawan, seperti
Ya’qubi (281 H.),[12] Muhammad bin Hasan Qumi (290 H.),[13] Kulaini (329 H.),[14] Muhammad bin Hasan Shafar Qumi (290 H.),[15] Syaikh Shaduq (381 H.)[16] dan Syaikh Mufid (413 H.)[17] menyebutkan bahwa ia memang putri Yazdgerd. Akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai siapa namanya.
Kepercayaan akan berakhirnya nasab ibu Imam Sajjad as. pada Yazdgerd
telah mengakar di pikiran orang-orang awam saat ini sehingga tidak
menyisakan tempat sedikitpun bagi berdirinya pendapat yang lain mengenai
nasabnya.[18]
Selain pendapat di atas, dalam sumber-sumber sejarah baik terdahulu
maupun yang baru-baru ini disebutkan bahwa ia berasal dari Sistan; ada
yang menyebutkan Sind, Kabul, dan lain sebagainya. Kebanyakan
sumber-sumber kita tidak menyebutkan di mana tempat ditawannya perempuan
ini. Mereka hanya menyebutkan bahwa ia adalah Umul Walad, yakni seorang
budak perempuan yang memiliki seorang anak.[19] Sebagian menyebut nama-nama pembesar Persia seperti Subhan, Sinjan, Nushjan atau Syirviye sebagai nama ayahnya.[20]
Dalam membahas nasabnya, bahkan kita tidak perlu memberikan penilaian
apapun terhadap sanad riwayat-riwayat tersebut. Karena dengan jelas
kita melihat tidak ada satupun sanad riwayat yang kuat. Bahkan kitab
sejarah seperti
Tarikh Thabari tidak menyebutkan referensi ketika masalah ini dibahas.
Maka kita hanya akan membahas teks riwayat ini saja. Kandungan teks riwayat ini memiliki beberapa kelemahan seperti:
- Salah satu kritik yang bisa kita utarakan untuk riwayat ini adalah
berbeda-bedanya nama yang disebutkan untuk perempuan itu. Ada yang
menyebut Harar, Shahrbanu, Salakhah dan Ghazalah. Hal ini
mengindikasikan adanya usaha sebagian orang yang ingin membanggakan
ke-Persia-annya dengan cara menghubung-hubungkan orang-orang Persia
dengan para Imam lalu menganggap darah kerajaan Persia telah mengalir di
darah para Imam Ahlul Bait as dengan pernikahan Imam Husain as. dan
Shahrbanu.
- Kita dapat mengkritik riwayat-riwayat ini dengan melihat
berbeda-bedanya waktu penawanan yang disebutkan. Karena sebagian riwayat
menyebutkan bahwa penawanan tersebut adalah di masa kekhalifahan Umar
dan ada yang menyebut di masa kekhalifahan Utsman. Sebagian yang lain
seperti Syaikh Mufid menyebutkan bahwa kejadian tersebut adalah di masa
kekhalifahan Imam Ali as.[21]
- Pada dasarnya kitab-kitab seperti Tarikh Thabari dan Al Kamil karya
Ibnu Katsir ketika menyebutkan peperangan-peperangan Muslimin dengan
orang-orang Persia hanya menceritakan kaburnya Yazdgerd ke berbagai kota
Persia dan sama sekali tidak menyinggung ditawannya putrid Yazdgerd;
padahal jika kejadian itu memang nyata, masalah tersebut lebih penting
dari masalah-masalah lainnya. Titik ini menguatkan pandangan kita akan
palsunya riwayat-riwayat tersebut.
- Sebagian penulis seperti Mas’udi, ketika menceritakan tentang
anak-anak Yazdgerd ketiga ia menyebut nama-nama seperti Adrak, Shahin
dan Mardavand, yang sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan
nama-nama yang telah disebutkan untuk ibu Imam Sajjad as. Bahkan dalam
tulisan-tulisannya sama sekali tidak disinggung mengenai ditawannya
putrid Yazdgerd.[22]
- Sumber sejarah terpenting mengenai ibu Imam Sajjad as. adalah
surat-surat khalifah Manshur kepada Muhammad bin Abdullah yang dikenal
dengan Nafsuz Zakiyah. Nafsuz Zakiyah adalah seorang pemimpin pergerakan
kebangkitan para Alawi Madinah di zaman kekhalifahan Manshur. Dalam
salah satu surat Manshur, ia menentang Muhammad yang membanggakan
nasabnya dengan menulis, “Setelah Rasulullah saw. tidak ada seorang yang
lebih mulia nasabnya selain Ali bin Husain as. meskipun ia adalah anak
Ummu Walad (budak wanita yang memiliki anak).”[23]
Tidak ada yang menentang perkataan Manshur baik Muhammad sendiri atau
selainnya. Jika seandainya ibu Imam Sajjad as. adalah anak Shahrbanu
putri raja Persia, maka mereka pasti menentang dan berkata, “Tidak, Ali
bin Husain as. adalah putra seorang putri raja Persia!”
Dengan demikian, kita sampai pada satu kesimpulan bahwa anggapan
tentang Shahrbanu seorang putri raja Persia adalah ibu Imam Sajjad as.
sama sekali tidak benar dan pasti riwayat yang menceritakan hal itu
adalah riwayat buatan. Riwayat tersebut jelas bertentangan dengan
riwayat-riwayat lain yang menyatakan bahwa ia adalah seorang budak
perempuan. Para perawi sebelum akhir abad ketiga selalu meriwayatkan
seperti demikian, yakni ia adalah budak perempuan dari Sind atau Kabul.[24]
Ibu Imam Sajjad as. tidak hadir di hari Asyura
Di sini kami musti menjelaskan bahwa hampir semua riwayat-riwayat
kita menyatakan bahwa ibu Imam Sajjad as. meninggal dunia begitu ia
melahirkan anaknya.[25]
Juga disebutkan pula bahwa salah satu budak perempuan Imam Ali as.
diperintahkan untuk membesarkannya. Kebanyakan orang mengira perempuan
tersebut adalah ibunya. Tak lama kemudian setelah ia dinikahkan dengan
seorang lelaki, mereka baru mengerti bahwa ia bukanlah ibunya.[26]
Dengan demikian, jelas sekali bahwa ibu beliau tidak hadir dalam peristiwa Asyura.
Yang dikenal sebagai Makam Shaharbanu
Dengan penjelasan yang telah lalu dengan sendirinya pembahasan kita
menjadi jelas. Dan juga berdasarkan penelitian berbagai peneliti
sesungguhnya makam yang dikenal dengan Makam Shaharbanu di timur
perbukitan Rey tidak ada kaitannya dengan ibu Imam Sajjad as. Bangunan
terkenal di tempat itu adalah sebuah bangunan yang telah dibangun
beberapa abad setelah masa hayat Imam Sajjad as. Terbukti dari
penelitian yang telah dilakukan bahwa bangunan tersebut dibangun pada
tahun 888 H. pada zaman pemerintahan Shafaiwiyah dan pernah direnovasi
di zaman pemerintahan Qajariyah.[27]
Syaikh Shaduq yang kita kenal sebagai seorang alim asli Rey tidak
pernah menyinggung sedikitpun tentang bangunan itu padahal ia
bertahun-tahun lamanya tinggal di kampung halamannya. Ini juga
meyakinkan kita bahwa bangunan tersebut belum ada pada abad keempat
hijriyah.
Penulis-penulis ternama yang lain juga tidak pernah menyinggungya.
Mereka hanya berbicara tentang Abdul Adzim Hasani yang dimakamkan disitu
dan juga tokoh-tokoh besar yang lain.
Kemungkinan besar keberadaan Makam Shahrbanu disebabkan adanya
seorang perempuan bertakwa yang pernah dimakamkan di bukit itu dan
namanya adalah Shahrbanu. Lalu lambat laun kebanyakan masyarakat yang
meyakini bahwa ibu Imam Sajjad as. adalah Shahrbanu mengira makam
tersebut adalah makam Shahrbanu ibu sang Imam. Atau mungkin ada unsur
kesengajaan yang membuat masyarakat meyakini makam tersebut adalah makam
ibu Imam Sajjad as.[28]
Referensi:
[1] Mula Agha Darbandi, Iksirul Ibadat fi Asraris Syahadat, jilid 3, halaman 110.
[2] Ibid.
[3] Syahidi, Sayid Ja’far, Zendegani Ali ebn Husain.
[4] Eftekharzade, Mahmudreza, Syoubiye e nasionalisme Iran, halaman 305 yang menukil nama-nama di atas dari kitab Ansabul Asyraf milik Baladzari, Thabaqat milik Ibnu Sa’ad, Al Ma’arif milik Ibnu Qutaibah Dinawari, dan Al Kamil.
[5] Shahidi, Zendegani e Ali bin Al Husain, halaman 12.
[6] Biharul Anwar, jilid 46, halaman 9, hadis 20.
[7] Ushul Kafi, jilid 2, halaman 369.
[8] Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sejarah hidup Shahrbanu, silahkan merujuk: Syoubiye e nasionalism e Iran, halaman 289-337.
[9] Dengan menggunakan terjemahan Sayid Jawad Mustafawi, Ushul Kafi, jilid 2, halaman 369.
[10] Ayatullah Khui, Mojam Rijalul Hadis, jilid 1, halaman 202 dan jilid 13, halaman 106.
[11] Ibid.
[12] Tarikh Ya’qubi, jilid 2, halaman 303.
[13] Tarikh e Qom, halaman 195.
[14] Ushul Kafi, jilid 2, halaman 369.
[15] Biharul Anwar, jilid 46, halaman 9.
[16] Uyunu Akhbarir Ridha, jilid 2, halaman 128.
[17] Al Irsyad, halaman 492.
[18] Zendeganie Ali bin Al Husain, halaman 12.
[19] Syuubiye, halaman 305.
[20] Haula Sayidah Shahrbanu, halaman 28.
[21] Syu’ubiye, halaman 324.
[22] Ibid.
[23] Al Kamil fi At Tarikh, jilid 2, halaman 570.
[24] Haula Sayidah Shahrbanu, halaman 28.
[25] Uyunu Akhbarir Ridha, jilid 2, halaman 128
[26] Biharul Anwar, jilid 26, halaman 8.
[27] Syuubiyah, halaman 326.
[28] Untuk memahami lebih dalam akan tidak mungkinnya Makam Sharbanu di Rey adalah makam ibu Imam Sajjad as., silahkan merujuk
Bastan (karya Karimiyan) dan
Daneshname e Iran va Islam, seputar Shahrbanu.