Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Ummu Kalthum/Kultsum. Show all posts
Showing posts with label Ummu Kalthum/Kultsum. Show all posts

POSISI DAN PERAN IMAMAH; Studi historikal kesinambungan Imamah dalam percakapan Imam Husein as dan Imam Sajjad as


Imamah dan kepemimpinan merupakan prinsip dan pondasi penting agama Islam. Kedua masalah ini, di samping prinsip-prinsip lainnya, mewujudkan eksistensi Islam. Keuniversalan agama Islam membuatnya tidak bergantung pada lainnya. Kedua prinsip ini sebagai penjaga hukum, undang-undang dan nilai-nilai ilahi. Bahkan lebih dari itu, begitu pentingnya prinsip ini juga sebagai penjamin keberlangsungan hasil dari prinsip-prinsip yang lain. Keberadaan dan peran dari prinsip Imamah menjamin tauhid, keadilan ilahi, kenabian dan hari akhir menjadi lebih realistis; mulai dari sisi teoritis hingga praktis. Manusia dengan mudah dapat merasakan itu dan memanfaatkannya. 

Dalam sistem politik Islam, prinsip Imamah dan kepemimpinan keberadaan dan perannya tidak diragukan lagi. Prinsip Imamah dan kepemimpinan adalah langkah awal untuk mendirikan sebuah pemerintahan Islam yang pada gilirannya menyiapkan kondisi dan fasilitas demi terlaksananya undang-undang politik, sosial, ekonomi, militer, moral, pendidikan, hukum dan peradilan di tengah-tengah masyarakat berdasarkan Islam.

Kewajiban, peran dan dampak penting dari prinsip Imamah dan kepemimpin dalam ajaran Islam menjadi tanggung jawab seorang Imam dan pemimpin.
(1) Pada saat yang bersamaan, setiap orang diwajibkan untuk mengetahui Imam di zamannya.
(2) Ketaatan terhadap seorang Imam identik dengan ketaatan terhadap Allah Swt.
(3) Dan para Imam menjadi saksi atas perbuatan manusia.(4)

Dalam peristiwa Asyura, terjadi pertemuan dan bincang-bincang antara Imam Husein as dengan Imam Sajjad as. Sebuah percakapan bersejarah. Pembicaraan itu bila diteliti menunjukkan posisi dan pentingnya Imamah dan kepemimpinan.

Imam Sajjad as dalam peristiwa Asyura menderita sakit. Penderitaan yang membuatnya tidak dapat ikut serta dalam peperangan itu. Sakit membuatnya tidak dapat berjihad di samping ayahnya. Ketidakmampuannya untuk ikut dalam membela kebenaran yang diusung oleh Imam Husein as membuatnya sangat bersedih.

Pada detik-detik terakhir peristiwa Asyura, Imam Husein as untuk terakhir kalinya menyambangi anaknya, Imam Sajjad as. Pertemuan untuk terakhir kalinya. Ketika Imam Husein as mendekat anaknya, ia ditanya, "Ayah! Hari ini apa yang engkau lakukan dengan orang-orang Munafik?"

Imam Husein as menjawab, "Wahai anakku! Setan telah mengalahkan mereka. Setan berhasil menyingkirkan keinginan mengingat Allah dari hati mereka. Perang akhirnya merupakan pilihan yang tidak dapat dielakkan. Mereka bak orang kehausan sampai berhasil melihat bumi menyerap semua darah kami."

Imam Sajjad kembali bertanya, "Pamanku Abbas di mana?"

Imam Husein as menjawab, "Wahai anakku! Pamanmu dibunuh. Jasadnya berada dekat sungai Furat. Tangannya terpotong."

Mendengar penjelasan ayahnya, Imam Sajjad menangis tersedu-sedu. Ia kemudian bertanya, "Bagaimana kabar Ali, saudaraku dan rombongan yang lain?"

Imam Husein as menjawab, "Anakku! Ketahuilah bahwa di perkemahan kita tidak ada lagi orang yang tersisa, selain kita berdua. Semua orang yang engkau Tanya telah tewas berkalang tanah."

Kembali Imam Sajjad as menangis tersedu-sedu. Ia kemudian memohon kepada Zainab, bibinya agar mengambilkan tongkat dan pedangnya.

Imam Husein as ganti bertanya, "Apa yang ingin engkau lakukan dengan tongkat dan pedang?"

Imam Sajjad as menjawab, "Dengan tongkat aku dapat menyanggah tubuhku. Dan dengan pedang aku akan membela keturunan Nabi Saw.

Imam Husein as memanggil Ummu Kultsum dan berkata, "Jaga dia! Tidak boleh terjadi bumi kosong dari Alu Muhammad (keluarga Muhammad)."(5)

Sekejap, Imam Husein as dapat merasakan mengapa anaknya mengucapkan hal itu. Ucapan dan sikap yang lahir dari rasa tanggung jawab yang tinggi, sekalipun dalam kondisi sakit dan lemah. Sebuah keputusan yang lahir dari semangat melawan musuh. Namun, Imam Husein as melarang anaknya untuk ikut berperang. Argumentasinya adalah Imam Sajjad as harus tetap hidup. Ia harus hidup untuk masa yang akan datang. Masa yang menuntut tanggung jawab yang besar dari prinsip Imamah dan kepemimpinan. Imam Sajjad as harus tetap hidup agar prinsip ini tetap langgeng, tidak terputus. Kematian Imam Sajjad as berarti terputusnya prinsip Imamah dan sama dengan kosongnya bumi dari seorang Imam dan pemimpin.

Tiba saatnya Imam Husein as harus mengucapkan salam perpisahan kepada anaknya.

Pertama, beliau menasihati keluarganya bahwa setelah ia terbunuh, mereka semua bakal ditawan. Kedua, beliau membeberkan rencana dan tugas yang harus diemban oleh mereka. Dan yang bertanggung jawab penuh dalam tugas ini adalah imam Sajjad as. Mereka harus menyampaikan dan menyingkap semua keteraniayaan Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya.

Nasihat Imam Husein as kepada anaknya:

"Kapan saja anggota keluarga berteriak akibat beratnya cobaan, maka engkau yang harus mendiamkan mereka!

Kapan saja mereka merasa ketakutan, maka engkau yang bertugas menenangkan mereka!

Pikiran mereka yang bercabang harus engkau satukan dengan ucapan yang dapat menenangkan!

Ini harus engkau lakukan karena orang yang menjadi tempat pengaduan mereka telah tiada selain engkau. Biarkan mereka dengan keadannya sehingga dapat merasakan kehadiranmu dan engkau dapat merasakan penderitaan mereka. Lakukan ini agar mereka menangisimu dan engkau menangisi mereka."

Setelah itu, Imam Husein as memegang dan mengangkat tangan Imam Sajjad as. Dengan nada tinggi beliau berkata kepada anak-anak dan wanita Ahlul Bait:

"Dengarkan ucapanku! 

Ketahuilah! Ini adalah anakku dan khalifahku untuk kalian. Ia adalah Imam yang wajib untuk ditaati."(6)

Percakapan antara Imam Husein as dengan Imam Sajjad as dan keluarganya pada detik-detik terakhir peristiwa Asyura sangat jelas dan kuat menekankan posisi, peran dan nilai "Imamah dan kepemimpinan". Pentingnya masalah ini dengan memperkenalkan Imam dan pemimpin setelahnya. Imam dan pemimpin bagi khilafah, wilayah dan pemerintahan atas masyarakat dan negara Islam.

Prinsip Imamah dan kepemimpinan hadir di tengah-tengah peristiwa Karbala. Hadir dan dapat dirasakan dalam semua tahapan-tahapan kejadian Karbala. Imamah dan kepemimpin mengawasi jalannya peristiwa bersejarah ini agar sahabat-sahabatnya tidak keluar dari garis itu. Dan yang terpenting pada detik-detik terakhir Asyura prinsip Imamah dan kepemimpinan ditetapkan, bahkan suksesi berjalan sempurna. Imamah dan kepemimpinan tidak berhenti, namun hadir dalam bentangan sejarah pada semua generasi dan di setiap zaman.

*) Artikel ini dimuat di harian Jomhouri Eslami, no 7979, tahun ke 28.

Catatan:
1. Ghurar al-Hikam, jilid 2, hal 29.
2. Farhang Sukhanan Emam Hossein as, penerbit Masyhur, hal 92.
3.Ghurar al-Hikam, jilid 2, hal 208.
4. Ibid, hal 206.
5. Farhang Sukhanan Emam Hossein as, hal 539-540.
6. Ibid. Hal 541-542.

Pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar bin Khattab, Benarkah? Ternyata Adalah Dusta Wahabi.

Berikut dedengkot wahabi dari website http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/09/pernikahan-umar-bin-al-khaththaab.html menyatakan:
_________________________________

Pernikahan ‘Umar bin Al-Khaththaab dengan Ummu Kultsum binti ‘Aliy – Dalil Bolehnya Wanita Mukmin Menikah dengan Laki-Laki Kafir ?



Mengenai pernikahan ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu dengan Ummu Kultsum rahimahallaah, ada beberapa sumber/keterangan yang menyebutkannya.
Sumber Ahlus-Sunnah :
Beberapa hadits dengan sanad shahih, diantaranya adalah :
Pertama :
حدثنا عبدان: أخبرنا عبد الله: أخبرنا يونس، عن ابن شهاب: قال ثعلبة بن أبي مالك: إن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قسم مروطا بين نساء من نساء المدينة، فبقي مرط جيد، فقال له بعض من عنده: يا أمير المؤمنين، أعط هذا ابنة رسول الله صلى الله عليه وسلم التي عندك، يريدون أم كلثوم بنت علي، فقال عمر: أم سليط أحق. وأم سليط من نساء الأنصار، ممن بايع رسول الله صلى الله عليه وسلم. قال عمر: فإنها كانت تزفر لنا القرب يوم أحد.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdaan : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah : Telah mengkhabarkan kepada kami Yunus, dari Ibnu Syihaab : Telah berkata Tsa’labah bin Abi Maalik : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu pernah membagi beberapa pakaian kepada beberapa wanita Madinah. Dan ada satu pakaian yang bagus tersisa. Berkata sebagian orang yang bersama beliau : “Wahai Amiirul-Mukminiin, berikanlah pakaian ini kepada putri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi istrimu – yang dimaksudkan adalah Ummu Kultsum binti ‘Ali”. ‘Umar berkata : Ummu Saliith lebih berhak, dan ia adalah seorang wanita Anshaar yang berbaiat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. ‘Umar menambahkan : “Dia telah membawakankan geriba (kantong air) kepada kami sewaktu perang Uhud” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 2881].
Riwayat ini shahih tanpa ada keraguan sedikitpun,[1] walau sebagian kalangan Syi’ah membuat-buat dalih untuk menolak riwayat ini.[2]
Kedua :
أخبرنا أبو عبد الله محمد بن يعقوب وأبو يحيى أحمد بن محمد السمرقندي قالا ثنا محمد بن نصر الإمام ثنا يحيى بن يحيى أنبأ عبد العزيز بن محمد عن جعفر بن محمد عن أبيه أن أم كلثوم بنت علي رضى الله تعالى عنهما توفيت هي وابنها زيد بن عمر بن الخطاب في يوم فلم يدر أيهما مات قبل.....
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ya’quub dan Abu Yahyaa Ahmad bin Muhammad As-Samarqandiy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Nashr Al-Imaam : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya : Telah memberitakan ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad bin Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya : “Bahwasannya Ummu Kultsum binti ’Aliy radliyallaahu ta’ala ‘anhuma wafat pada hari yang sama dengan anaknya yang bernama Zaid bin ‘Umar bin Al-Khaththaab. Tidak diketahui siapa di antara keduanya yang lebih dahulu wafat…” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 4/345-346, dan ia berkata : “Sanad hadits ini adalah shahih”. Disepakati oleh Adz-Dzahabiy. Dishahihkan pula oleh Al-Albaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 6/154].
Secara jelas disebutkan dalam hadits bahwa Zaid bin ‘Umar bin Al-Khaththaab adalah anak dari Ummu Kultsum binti ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum.[3]
Ketiga :
أخبرنا أبو سعد الماليني أنبأ أبو أحمد بن عدي الحافظ ثنا محمد بن داود بن دينار ثنا قتيبة بن سعيد ثنا عبد الله بن زيد بن أسلم مولى عمر بن الخطاب عن أبيه زيد بن أسلم عن أبيه أن عمر بن الخطاب رضى الله تعالى عنه أصدق أم كلثوم بنت علي رضى الله تعالى عنه أربعين ألف درهم
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sa’d Al-Maaliniy : Telah memberitakan kepada kami Abu Ahmad bin ‘Adiy Al-Haafidh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Dawud bin Diinaar : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Zaid bin Aslam Maula ‘Umar bin Al-Khaththaab, dari ayahnya (yaitu) Zaid bin Aslaam, dari ayahnya : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ta’ala ‘anhu telah memberikan mahar kepada Ummu Kultsum binti ‘Aliy radliyallaahu ta’ala ‘anhu sebesar 40.000 dirham” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 7/233].
Keempat :
أخبرنا محمد بن رافع قال أنبأنا عبد الرزاق قال أنبأنا بن جريج قال سمعت نافعا يزعم : أن بن عمر صلى على تسع جنائز جميعا فجعل الرجال يلون الإمام والنساء يلين القبلة فصفهن صفا واحدا ووضعت جنازة أم كلثوم بنت علي امرأة عمر بن الخطاب وبن لها يقال له زيد وضعا جميعا والإمام يومئذ سعيد بن العاص وفي الناس بن عمر وأبو هريرة وأبو سعيد وأبو قتادة فوضع الغلام مما يلي الإمام فقال رجل فأنكرت ذلك فنظرت إلى بن عباس وأبي هريرة وأبي سعيد وأبي قتادة فقلت ما هذا قالوا هي السنة
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Raafi’, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami ‘Abdurrazzaq, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata : Aku mendengar Naafi’ berkata : “Bahwasannya Ibnu ‘Umar menyalatkan sembilan jenazah secara bersamaan. Jenazah laki-laki ditempatkan di dekat imam dan jenazah wanita ditempatkan di dekat arah kiblat. Masing-masing diletakkan dalam satu barisan, dimana jenazah Ummu Kultsum binti ‘Aliy – istri ‘Umar bin Al-Khaththaab – dan anaknya yang bernama Zaid, diletakkan sekaligus. Imam shalat pada waktu itu adalah Sa’iid bin Al-‘Aash. Dan di antara jama’ah tersebut terdapat Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Abu Sa’iid, dan Abu Qatadah. Lalu jenazah seorang anak laki-laki diletakkan di dekat imam. Ada seseorang yang berkata : Maka aku hal itu dan aku melihat ke arah Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’iid, dan Abu Qatadah, seraya kukatakan : ‘Mengapa demikian ?’. Mereka menjawab : ‘Yang demikian adalah sunnah” [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy no. 1978. Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaq 3/465/6337, Ibnul-Jaaruud dalam Al-Muntaqaa no. 267-268, Ad-Daruquthniy no. 194, dan Al-Baihaqiy 4/33 – dengan sanad shahih].
Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata saat menyebutkan anak-anak perempuan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu :
وأما ((أم كلثوم الكبرى)) وهي بنت فاطمة؛ فكانت عند : عمر ابن الخطاب. وولدت له أولادًا قد ذكرناهم. فلما قُتل ((عمر)) تزوّجها ((عون بن جعفر ابن أبي طالب)) فماتت عنده.
“Adapun Ummu Kultsuum Al-Kubraa, ia adalah anak dari Faathimah, istri dari ‘Umar bin Al-Khaththaab. Ia melahirkan beberapa orang anak yang telah kami sebutkan sebelumnya. Ketika ‘Umar dibunuh (wafat), maka ia dinikahi oleh ‘Aun bin Ja’far bin Abi Thaalib, dan kemudian meninggal di sisinya” [Al-Ma’aarif, hal. 211; Daarul-Ma’aarif, Cet. 2].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وقال بن وهبٍ عن عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن أبيه عن جده: تزوج عمر أم كلثوم على مهر أربعين ألفاً وقال الزبير: ولدت لعمر ابنيه: زيداً ورقية وماتت أم كلثوم وولدها في يوم واحد …
“Telah berkata Ibnu Wahb, dari ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya : ‘Umar menikahi Ummu Kultsum dengan mahar sebesar 40.000 (dirham). Telah berkata Az-Zubair : Melahirkan dua orang anak dari ‘Umar, yaitu Zaid dan Ruqayyah. Ummu Kultsum wafat bersama anaknya (Zaid) pada hari yang sama….” [Al-Ishaabah, 8/275 no. 1473; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut].
Selain sumber referensi dari Ahlus-Sunnah, beberapa sumber referensi mu’tamad kaum Syi’ah pun menyebutkan fakta ini, diantaranya :
Sumber Syi’ah :
Beberapa hadits/riwayat yang sampai kepada imam Syi’ah dengan sanad shahih, diantaranya :
Pertama :
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن هشام بن سالم، وحماد، عن زرارة، عن أبي عبد الله (عليه السلام) في تزويج أم كلثوم فقال: إن ذلك فرج غصبناه.
‘Ali bin Ibraahiim, dari ayahnya, dari Ibnu Abi ‘Umair, dari Hisyaam bin Saalim, dari Hammaad, dari Zuraarah, dari Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam) saat berkomentar tentang pernikahan Ummu Kultsuum (dengan ‘Umar) : “Sesungguhnya itu adalah ‘kemaluan’[4] yang dirampas dari kami” [Diriwayatkan oleh Al-Kulainiy dalam Furuu’ Al-Kaafiy 5/347; Daarul-Adlwaa’, Beirut].
Riwayat-riwayat yang berasal dari ‘Ali bin Ibraahiim ini dinilai shahih oleh Al-Khomainiy dalam Al-Hukumatul-Islamiyyah hal. 133.
‘Ali bin Ibraahiim ini dinilai : tsiqatun fil-hadiits, dlaabith, mu’tamad, shahiihul-madzhab. [Jami’ur-Ruwaat, 1/545].
‘Ali bin Ibraahim meriwayatkan hadits dari ayahnya yang bernama Ibraahim bin Haasyim Al-Qummiy, seorang yang dianggap tsiqah dalam periwayatan [lihat Jami’ur-Ruwaat 1/38 dan Mu’jamuts-Tsiqaat hal. 5].
Ibnu Abi ‘Umair, ia bernama Muhammad bin Abi ‘Umair; seseorang yang menduduki tingkat tertinggi dalam periwayatan kaum Syi’ah. Abu Ja’fat Ath-Thuusiy berkata tentang dirinya : “Ia adalah manusia yang paling tsiqah (autsaqun-naas)”. Dan yang lebih penting lagi, ia termasuk golongan Ashhaabul-Ijma’. Maksudnya, apabila ada seorang perawi yang termasuk dalam golongan ini, maka rantai periwayatannya sampai kepada imam adalah shahih [lihat perincian masalah ini dalam kitab Miqbasul-Hidayah fii ‘Ilmid-Diraayah oleh Al-Mamaqani, 2/171-208].
Kesimpulan : Riwayat di atas adalah shahih menurut standar penilaian periwayatan kaum Syi’ah.
Mirip riwayat di atas, website Syiah (Al-Shia.com) juga membawakan riwayat dalam Al-Kaafiy sebagai berikut :
أم كلثوم هذه هى بنت أمير المؤمنين عليه السلام قد خطبها اليه عمر في زمن خلافته فرده أولا فقال عمر ما قال وفعل مافعل
“Ummu Kultsum yang merupakan anak perempuan Amiirul-Mukminiin ‘alaihis-salaam; dimana ‘Umar pernah melamarnya kepada ‘Ali di jaman kekhalifahannya (‘Umar). Pada awalnya ‘Ali menolaknya, namun kemudian ‘Umar mengatakan apa ia katakan dan melakukan apa yang ia lakukan (yaitu menikahi Ummu Kultsum)”.[5]
Kedua :
حميد بن زياد، عن ابن سماعة، عن محمد بن زياد، عن عبد الله بن سنان، عن معاوية ابن عمار، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: سألته عن المرأة المتوفى عنها زوجها أتعتد في بيتها أو حيث شاءت؟ قال: بل حيث شاءت، إن عليا عليه السلام لما توفي عمر أتى أم كلثوم فانطلق بها إلى بيته
Humaid bin Ziyaad, dari Ibnu Samaa’ah, dari Muhammad bin Ziyaad, dari ‘Abdullah bin Sinaan, dari Mu’awiyyah bin ‘Ammaar, dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam. Ia (Mu’awiyyah) berkata : “Aku bertanya kepada beliau (Abu ‘Abdillah) mengenai wanita yang suaminya meninggal; apakah ia harus ber-‘iddah di rumahnya atau di tempat lain sesuai dengan keinginannya ?. Maka beliau (Abu ‘Abdillah) menjawab : Ia boleh ber-‘iddah di tempat sesuai dengan keinginannya. Sesungguhnya ‘Aliy ‘alaihis-salaam ketika ‘Umar wafat, ia mendatangi Ummu Kultsum, lalu membawanya ke rumahnya” [Diriwayatkan oleh Al-Kulainiy dalam Furuu’ Al-Kaafiy, 6/117; Daarul-Adlwaa’, Beirut].
Humaid bin Ziyaad adalah seorang : ‘aalim jaliil al-qadr, luas ilmunya, banyak mempunyai tulisan, lagi tsiqah [Jami’ur-Ruwaat, 1/284].
Ibnu Samaa’ah, ia bernama Al-Hasan bin Muhammad bin Samaa’ah; salah seorang fuqahaa Syi’ah yang terkemuka. Ia digambarkan sebagai seorang yang banyak mempunyai hadits, faqih, lagi tsiqah [Jami’ur-Ruwaat, 1/225].
Muhammad bin Ziyaad, yang lengkapnya bernama Muhammad bin Al-Hasan bin Ziyaad Al-‘Attar. Seorang yang tsiqah [lihat Jami’ur-Ruwaat, 2/91].
‘Abdullah bin Sinaan, seorang imam Syi’ah yang terkenal di Kufah. Seorang yang tsiqah tanpa ada cela padanya [Jami’ur-Ruwaat, 1/487].
Mu’awiyyah bin ‘Ammaar, seorang yang sangat terkenal dan memimpin periwayatan hadits Syi’ah dari Ja’far Ash-Shaadiq di Kuffah. Seorang yang juga dinilai tsiqah [Jami’ur-Ruwaat, 2/239].
Kesimpulan : Riwayat di atas shahih menurut standar penilaian periwayatan kaum Syi’ah.
Ketiga :
محمد بن يحيى، وغيره، عن أحمد بن محمد بن عيسى، عن الحسين بن سعيد، عن النضر بن سويد، عن هشام بن سالم، عن سليمان بن خالد قال: سألت أبا عبد الله عليه السلام عن امرأة توفى زوجها أين تعتد، في بيت زوجها تعتد أو حيث شاءت؟ قال: بلى حيث شاءت، ثم قال: إن عليا عليه السلام لما مات عمر أتى ام كلثوم فأخذ بيدها فانطلق بها إلى بيته
Muhammad bin Yahya dan yang lainnya, dari Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa, dari Al-Husain bin Sa’iid, dari An-Nadlr bin Suwaid, dari Hisyaam bin Saalim, dari Sulaiman bin Khaalid, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam mengenai wanita yang suaminya meninggal; dimanakah ia harus ber-‘iddah ? di rumah suaminya atau di tempat lain sesuai dengan keinginannya ?. Maka beliau (Abu ‘Abdillah) menjawab : Ia boleh ber-‘iddah di tempat sesuai dengan keinginannya. Sesungguhnya ‘Aliy ‘alaihis-salaam ketika ‘Umar wafat, ia mendatangi Ummu Kultsum, lalu memegang tangannya dan membawanya ke rumahnya” [Diriwayatkan oleh Al-Kulainiy dalam Furuu’ Al-Kaafiy, 6/117; Daarul-Adlwaa’, Beirut].
Muhammad bin Yahya Al-‘Attar Al-Qummiy seorang ulama terkenal di jamannya, tsiqah, dan banyak mempunyai hadits [lihat dalam Jami’ur-Ruwaat, 2/213].
Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa Al-Qummiy, seorang ulama, fuqahaa, dan pemimpin kota Qumm [lihat Jami’ur-Ruwaat, 1/69]. Abu Ja’far Ath-Thusi dan Al-Hilliy menyebutnya sebagai seorang yang tsiqah [Ar-Rijaal hal. 366 dan Al-Khulaashah hal. 13].
Al-Husain bin Sa’iid dideskripsikan sebagai : seorang terkemuka lagi agung dan tsiqah [lihat Jami’ur-Ruwaat, 1/241].
An-Nadlr bin Suwaid adalah seorang Kufiy tsiqah dan shahiihul-hadiits [Jami’ur-Ruwaat, 2/292].
Hisyaam bin Saliim adalah seorang yang dinilai sangat tsiqah (tsiqatun tsiqah) [lihat Jami’ur-Ruwaat, 2/315].
Sulaiman bin Khaalid juga dinilai tsiqah [lihat Jami’ur-Ruwaat, 1/378].
Riwayat ini telah dishahihkan oleh Al-Majlisiy dalam Mir’aartul-‘Uquul fii Syarh Akhbaari aalir-Rasuul (5/199).[6] Bahkan Al-Majlisiy dalam kitabnya tersebut memberikan bantahan secara khusus kepada Al-Mufiid yang menolak riwayat pernikahan Ummu Kultsum dengan ‘Umar bin Al-Khaththaab dalam kitab Bihaarul-Anwaar.[7]
Zainuddin Al-‘Aamiliy yang bergelar Asy-Syahiidust-Tsaaniy berkata :
وزوج النبي ابنته عثمان، وزوج ابنته زينب بأبي العاص بن الربيع، وليسا من بني هاشم، وكذلك زوّج علي ابنته أم كلثوم من عمر، وتزوج عبد الله بن عمرو بن عثمان فاطمة بنت الحسين، وتزوج مصعب بن الزبير أختها سكينة، وكلهم من غير بني هاشم
“Nabi telah menikahkan putrinya dengan ‘Utsmaan, menikahkan putrinya Zainab dengan Abul-‘Aash bin Ar-Rabii’ – padahal keduanya (‘Utsman dan Abul-‘Aash) bukan berasal dari Bani Haasyim. Begitu pula ‘Aliy telah menikahkan putrinya Ummu Kultsum dengan ‘Umar. Begitu ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Utsmaan menikahi Faathimah binti Al-Husain; dan Mush’ab bin Az-Zubair telah menikahi saudara perempuan Faathimah yang bernama Sakiinah. Semuanya bukan berasal dari Bani Haasyim” [Masaalikul-Afhaam Syarh Syaraai’il-Islaam, Baab Lawaahiqil-‘Aqd, juz 1].
Ahli Tarikh Syi’ah yang bernama Ahmad bin Abi Ya’quub juga menyebutkan kisah pelamaran ‘Umar bin Al-Khaththaab terhadap Ummu Kultsum pada ‘Ali bin Abi Thaalib [lihat Taariikh Al-Ya’qqubiy, 2/149-150].
Pernah diajukan pertanyaan kepada ulama kontemporer Syi’ah, Al-Khuu’iy :
السؤال : هل صحيح أن الخليفة الثاني قد تزوج من بنت الامام علي عليه السلام ؟
الجواب : هكذا ورد في التاريخ والروايات .
Soal : “Apakah benar/shahih bahwa khalifah kedua (‘Umar bin Al-Khaththaab) telah menikahi putrid Al-Imam ‘Aliy ‘alaihis-salaam (yaitu Ummu Kultsum) ?”.
Jawab : “Begitulah yang terdapat dalam taariikh dan riwayat-riwayat”.[8]
Dengan memperhatikan bukti dan fakta yang lebih terang daripada sinar matahari di siang hari sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak ada keraguan lagi bahwa Ummu Kultsum binti ‘Aliy memang telah diperistri oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu dengan sepengetahuan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhuma.[9]
Permasalahan
Allah ta’ala berfirman :
وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
”Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman” [QS. Al-Baqarah : 221].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka” [QS. Al-Mumtahanah : 10].
Dua ayat di atas adalah nash yang sangat tegas mengenai keharaman pernikahan antara seorang wanita mukmin dengan laki-laki kafir, baik ia dari kalangan Ahli Kitab atau musyrikin secara umum. Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini.
Bersamaan dengan itu, sebagaimana telah disebutkan, dalil shahih dan fakta sejarah telah menunjukkan ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu menikahkan putri kandungnyanya yang bernama Ummu Kultsuum dengan ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu. Padahal, sudah ma’ruf doktrin kekafiran ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu dalam theology Syi’ah. Bahkan beliau dijuluki salah satu berhala Quraisy – bersama Abu Bakr Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhumawal-‘iyadzubillah !![10] Tidak ada seorang pun dari Syi’ah Raafidlah yang menyelisihi hal ini.
Pertanyaan menggelitik yang mungkin timbul adalah : “Apakah mungkin ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu sebagai pribadi ma’shum – yang terbebas dari dosa besar dan kecil[11] – melakukan kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan menikahkan anak perempuannya kepada seorang ‘kafir’ ?”.
Atau,…. malah hal itu beliau lakukannya karena beliau tidak meyakini kekafiran ‘Umar bin Al-Khathhaab radliyallaahu ‘anhu sebagaimana diyakini oleh orang Syi’ah Raafidlah ?
Nampaknya kemungkinan terakhir inilah yang paling mungkin untuk pribadi beliau. Tidak pernah terlintas dibenak Ahlus-Sunnah untuk meyakini ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu telah melakukan kemaksiatan yang nyata kepada Allah ta’ala, walau ia ‘dipaksa’ oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu.[12] Ahlus-Sunnah juga tidak beranggapan bahwa ‘Ali radliyallaahu ‘anhu menikahkan anaknya hanya karena takut atas gertakan atau kedudukan ‘Umar sebagai ‘amir. ‘Ali adalah sosok pemberani, penakluk benteng Khaibar, yang tidak pernah takut kepada siapapun, termasuk ‘Umar bin Al-Khaththab. Tidak pula dengan alasan taqiyyah. Darah dan jiwa siap beliau korbankan untuk membela al-haq. Lagi pula, pribadi Ummu Kultsum binti ‘Aliy yang suci tentu tidak akan sudi menyerahkan dirinya kepada ‘Umar jika memang ia benar-benar kafir.
Keadaan sebenarnya adalah ‘Umar memang tidak pernah menjadi kafir sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. ‘Umar radliyallaahu ‘anhu menikahi Ummu Kultsum rahimahallaah didasarkan atas kecintaannya pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata kepada ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhuma mengenai alasan mengapa ia ingin menikahi Ummu Kultsum :
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كل سبب ونسب منقطع يوم القيامة إلا سببي ونسبي فأحببت أن يكون لي من رسول الله صلى الله عليه وسلم سبب ونسب
“Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Setiap sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat, kecuali sebabku dan nasabku’. Oleh karena itu, aku ingin mempunyai sebab dan nasab dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 2036].
Ia pun diterima sebagai keluarga oleh ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhuma atas dasar Islam dan iman, serta kecintaan. ‘Ali bin Abi Thaalib pernah berkata perihal pujian dan kecintaannya kepada ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :
لله بلاء عمر، فقد أخمد الفتنة وأقام السنة، ذهب نقي الثوب، قليل العيب، أصاب خيرها وسبق شرها، أدى إلى الله طاعته.
”Allah telah memberikan cobaan kepada ’Umar. Sungguh ia telah memadamkan fitnah dan menegakkan sunnah. Ia pelihara kesucian dirinya dan sedikit aibnya. Ia telah mendapatkan kebaikan dari dirinya dan mengalahkan kejelekan (hawa nafsu)-nya. Ia telah tunaikan ketaatan kepada Allah” [Nahjul-Balaaghah, 2/222].
إنك إن تسر إلى هذا العدو بنفسك فتلقهم بشخصك فتنكب، لا تكن للمسلمين كانفة دون أقضى بلادهم، وليس بعدك مرجع يرجعون إليه، فابعث إليهم رجلاً مجرّباً واحفز معه أهل البلاء والنصيحة، فإن أظهره الله فذاك ما تحب، وإن تكن الأخرى كنت ردءاً للناس ومثابة للمسلمين.
“Sesungguhnya jika engkau berangkat menghadapi musuh ke medan perang lalu engkau terluka, umat Islam tidak lagi mempunyai benteng untuk melindungi negeri mereka. Mereka juga tidak punya tempat kembali jika ada permasalahan yang menimpa mereka. Maka, utuslah seorang laki-laki yang berpengalaman dan kirimkan bersamanya pasukan yang tahan uji dan ahli strategi. Apabila Allah memberikan kemenangan, maka itulah yang engkau harapkan. Namun jik sebaliknya, maka engkau tetap bisa menjadi pelindung bagi manusia dan tempat bertanya bagi kaum muslimin” [idem, 2/28].
Terakhir, mari kita dengarkan sendiri apa perkataan Ummu Kultsum kepada ‘Umar dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum saat mereka syahid :
عن الأصبغ الحنظلي، قال : قالت أم كلثوم ابنة علي : ما لي ولصلاة الغداة ؟ قتل زوجي أمير المؤمنين صلاة الغداة، وقتل أبي صلاة الغداة.
Dari Al-Ashbagh Al-Handhaliy, ia berkata : Telah berkata Ummu Kultsum putri ‘Aliy : “Ada apa denganku dan dengan shalat Shubuh ? Suamiku Amiirul-Mukminiin (yaitu ‘Umar bin Al-Khaththaab) dibunuh pada waktu shalat Shubuh. Begitu juga ayahku yang dibunuh pada waktu shalat Shubuh” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taarikh 42/555].
Jika ia (Ummu Kultsum) merasa dipaksa untuk menikah dengan seorang kafir, tentu ia tidak akan berkata seperti di atas tentang diri ‘Umar. Bahkan sudah menjadi kewajiban baginnya untuk bersyukur karena terbebas dari belenggu kediktatoran ‘Umar. Namun kenyatan yang ada tidak seperti itu……
Mereka, ahlul-bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu adalah satu keluarga dan saling mencintai. Sangat jauh berbeda dengan keadaan para pecinta palsu Ahlul-Bait dari kalangan Syi’ah Raafidlah.
Allaahul-Musta’aan……
[Abu Al-Jauzaa’, 24 Ramadlan 1430 H, Perumahan Ciomas Permai, Ciapus, Ciomas, Bogor - 16610].


[1] Namun ada sekelompok Syi’ah yang menebar kerancuan kepada kaum muslimin dengan mengatakan riwayat tersebut tidak shahih, karena Tsa’labah bin Abi Maalik radliyallaahu ‘anhu seorang yang tidak diketahui identitasnya. Namanya tidak tercantum dalam Miizaanul-I’tidaal karangan Adz-Dzahabiy yang memuat biografi semua perawi hadits. Begitulah kata mereka.
Kita jawab :
Syubhat mereka sangat lemah, selemah sarang laba-laba. Nama Ts’labah bin Abi Maalik dapat dengan mudah ditemukan di beberapa referensi berikut :
a) Ath-Thabaqaat Al-Kubraa oleh Muhammad bin Sa’d (w. 230 H).
b) Ma’rifatuts-Tsiqaat oleh Abul-Hasan Al-‘Ijilliy (w. 261 H).
c) At-Taariikh Al-Kabiir oleh Al-Bukhariy (w. 256 H).
d) Al-Jarh wat-Ta’diil oleh Ibnu Abi Haatim (w. 327 H).
e) Ats-Tsiqaat oleh Ibnu Hibbaan (w. 354 H).
f) At-Ta’diil wat-Tajriih liman Kharaja ‘anhu-Bukhariy fil-Jamii’ish-Shahiih oleh Abul-Waliid Al-Baajiy (w. 474 H).
g) Dan lain-lain.
Sebagai contoh, Al-Bukhari rahimahullah berkata mengenai diri Tsa’labah bin Abi Maalik radliyallaahu ‘anhu :
ثعلبة بن أبي مالك القرظي المديني كان كبيرا امام بني قريظة سمع عمر وحارثة بن النعمان وعن ابن عمر سمع منه ابن الهاد والزهري وابنه مالك
“Tsa’labah bin Abi Maalik Al-Quradhiy Al-Madiiniy, seorang yang besar/agung, imam dari kalangan Bani Quraidhah. Ia mendengar riwayat dari ‘Umar (bin Al-Khaththaab), Haaritsah bin An-Nu’maan, dan Ibnu ‘Umar. Orang yang mendengar riwayat darinya adalah Ibnul-Haad, Az-Zuhriy, dan anaknya, Maalik” [At-Taariikh Al-Kabiir oleh Al-Bukhariy, 2/174; Al-Maktabah Al-Islamiyyah, Diyarbakir, Turki].
Abul-Waliid Al-Baajiy rahimahullah berkata :
ثعلبة بن أبي مالك أبو يحيى القرظي المديني إمام مسجد بني قريظة أخرج البخاري في الجهاد وغير موضع عن الزهري عنه عن عمر بن الخطاب وقيس بن سعد قال الكلاباذي له رؤية من النبي صلى الله عليه وسلم
“Tsa’labah bin Abi Maalik, Abu Yahya Al-Quradhiy Al-Madiiniy; imam masjid Bani Quraidhah. Al-Bukhari membawakan riwayatnya dalam Kitaabul-Jihaad dan yang lainnya, dari Az-Zuhriy, darinya, dari ‘Umar bin Al-Khaththaab dan Qais bin Sa’d. Al-Kalaabaadziy berkata : “Ia pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [At-Ta’diil wat-Tajriih liman Kharaja ‘anhu-Bukhariy fil-Jamii’ish-Shahiih oleh Abul-Waliid Al-Baajiy, 1/447 no. 184, tahqiq : Ahmad Al-Bazzaar].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
ثعلبة" بن أبي مالك القرظي حليف الأنصار أبو مالك ويقال أبو يحيى له رؤية.......روى عن النبي صلى الله عليه وسلم وعن عمر وعثمان وجابر وحارثة بن النعمان وجماعة وعنه أبناه أبو مالك ومنظور والزهري والمسور بن رفاعة ومحمد بن عقبة بن أبي مالك القرظي وصفوان بن سليم وغيرهم. قلت: قال البخاري كان كبيرا أمام بني قريظة على دين اليهودية فتزوج امرأة من بني قريظة فنسب إليهم وهو من كندة وكان ثعلبة يؤم بني قريظة غلاما وكان قليل الحديث وقال أبو حاتم في المراسيل هو من التابعين وقال العجلي تابعي ثقة وذكره ابن حبان في الثقات.
“Tsa’labah bin Abi Maalik Al-Quradhiy, sekutu Anshaar. Abu Maalik, dikatakan juga : Abu Yahyaa. Ia pernah melihat (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). ….. Ia meriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar, ‘Utsmaan, Jaabir, Haaritsah bin An-Nu’maan, dan sekelompok lainnya. Meriwayatkan darinya : Kedua anaknya yang bernama Abu Maalik dan Mandhuur, Az-Zuhriy, Miswar bin Rifaa’ah, Muhammad bin ‘Uqbah bin Abi Maalik Al-Quradhiy, Shafwaan bin Sulaim, dan yang lainnya. Aku berkata : Telah berkata Al-Bukhari : Ia seorang yang besar/agung, imam Bani Quraidhah dalam agama Yahudi. Ia menikahi seorang wanita Bani Quraidhah, dan kemudian ia dinisbahkan kepada mereka (Bani Quraidhah). Ia sendiri berasal dari suku Kindah. Tsa’labah mengimami Bani Quraidhah saat ia masih muda, dan ia mempunyai sedikit hadits. Abu Haatim berkata dalam Al-Maraasil : Ia termasuk tabi’iin. Al-‘Ijilliy berkata : Tabi’iy tsiqah. Ibnu Hibaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat” [Tahdziibut-Tahdziib oleh Ibnu Hajar, 2/25 no. 39; Mathba’ah Daairatil-Ma’aarif An-Nidhaamiyyah, India].
Tidak dicantumkannya seorang perawi oleh Adz-Dzahabiy dalam kitab Al-Miizaan bukanlah standar bahwa perawi tersebut tidak ada atau majhul. Kitab Al-Miizaan bukan satu-satunya sumber yang memuat seluruh biografi perawi hadits. Betapa banyak biografi seorang perawi yang tidak ada dalam kitab Al-Miizaan namun ada dalam kitab rijaal yang lain. Adz-Dzahabiy sendiri menuliskan keterangan tentang Tsa’labah bin Abi Maalik dalam kitabnya yang lain berjudul Al-Kaasyif :
ثعلبة بن أبي مالك القرظي له رؤية وسمع عمر وعنه ابناه منظور وأبو مالك والزهري
“Tsa’labah bin Abi Maalik Al-Quradhiy. Ia pernah melihat (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) dan mendengar riwayat dari ‘Umar. Dua orang anaknya yang bernama Mandhuur dan Abu Maalik, serta Az-Zuhriy telah meriwayatkan darinya” [Al-Kaasyif fii Ma’rifati Man Lahu Riwayah minal-Kutubis-Sittah oleh Adz-Dzahabiy, 1/284 no. 711, ta’liq : Muhammad ‘Awwaamah, takhriij : Ahmad Al-Khathiib; Daarul-Qiblah, Jeddah].
Bahkan, beberapa ulama Syi’ah pun menyebutkan tentang Tsa’labah ini. Saya sebutkan salah satu diantaranya adalah As-Sayyid Mushthafa At-Tafrisyiy. Ia berkata :
ثعلبة بن أبي مليك القرظي من أصحاب الرسول صلى الله عليه وآله
“Tsa’labah bin Abi Maliik Al-Quradhiy, termasuk salah seorang shahabat Rasul shallallaahu ‘alaihi wa aalihi” [Naqdur-Rijaal oleh As-Sayyid Mushthafa At-Tifrisyiy, 1/317; Muassasah Aalil-Bait, Qumm, Iran].
[2] Tidak cukup dengan syubhaat di atas, kaum Syi’ah Raafidlah juga menebarkan syubhat lain dengan mengatakan bahwa kata : binti ‘Aliy (بنت علي) dalam hadits tersebut tidak ada dalam teks manuskrip. Kata tersebut merupakan tambahan (yang tidak ada dalam versi aslinya).
Maksud mereka dengan perkataan tersebut adalah kalimat :
أعط هذا ابنة رسول الله صلى الله عليه وسلم التي عندك، يريدون أم كلثوم بنت علي
“Berikanlah pakaian ini kepada putri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi istrimu – yang dimaksudkan adalah Ummu Kultsum binti ‘Ali”.
Kita jawab :
Ini adalah satu kedustaan yang sangat nyata. Semua cetakan kitab Shahih Al-Bukhariy memuat hadits dengan lafadh sebagaimana telah disebutkan. Cetakan-cetakan tersebut telah di-tahqiq sesuai dengan manuskrip yang ada. Salah satu contoh versi manuskrip Shahih Al-Bukhari adalah sebagai berikut :


Ini adalah manuskrip kitab Shahih Al-Bukhariy oleh Dliyaa’ud-Diin Al-Maqdisiy rahimahullah yang tersimpan dalam perpustakan Al-Azhar (301201).
[3] Beberapa referensi Syi’ah juga memuat riwayat yang senada. Ath-Thuusiy meriwayatkan dari Ja’far, dari ayahnya Al-Baaqir, bahwasannya ia berkata :
ماتت أم كلثوم بنت علي وابنها زيد بن عمر بن الخطاب في ساعة واحدة لا يدرى أيهما هلك قبل , فلم يورث أحدهما من الآخر وصلى عليهما جميعا .
“Ummu Kultsuum binti ‘Aliy dan anaknya (yang bernama) Zaid bin ‘Umar bin Al-Khaththaab wafat pada waktu yang bersamaan. Tidak diketahui siapa di antara keduanya yang lebih dahulu wafat. Tidak mewarisi antara satu dengan yang lain – semoga shalawat tercurahkan kepada mereka berdua” [lihat Tahdziibul-Ahkaam, 9/262].
[4] Kalimat ini sangat kasar dalam bahasa ‘Arab.
[9] Beberapa alasan penolakan kaum Syi’ah ini seringkali terkesan lucu dan dipaksakan. Di antara dalih mereka yang lain bahwa Ummu Kultsum yang menjadi istri ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu adalah Ummu Kultsum binti Abu Bakr Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhu yang dipelihara oleh ‘Ali, setelah ibunya – yang bernama Asmaa’ binti Umais diperistri olehnya. Tentu saja kita tolak pernyataan ini, sebab sangat jelas – baik dalam riwayat shahih Ahlus-Sunnah dan Syi’ah – disebutkan : Ummu Kultsum binti ‘Ali bin Abi Thaalib. Bukan Ummu Kultsum binti Abu Bakr Ash-Shiddiq radliyallaahu ‘anhum.
Mereka juga menyebutkan dalih bahwa dalam sumber referensi Sunni dikatakan ketika Ummu Kultsum binti ‘Aliy menikah dengan ‘Umar bin Al-Khaththab tahun 17 Hijriyyah, waktu itu ia berusia 4 atau 5 tahun, sehingga ia (Ummu Kultsum) lahir pada tahun 12 atau 13 Hijriyyah. Padahal Faathimah Az-Zahraa’ – ibunya – meninggal pada tahun 11 Hijriyyah. Jika demikian, apakah mungkin Ummu Kultsum yang dinikahi ‘Umar itu adalah anaknya Faathimah, padahal ia lahir setahun atau dua tahun setelah wafatnya ? Mereka menyandarkannya pada kitab Taariikh Khamiis (2/267). Ini adalah satu trik yang sering mereka lontarkan untuk talbis kaum muslimin yang tidak punya akes kepada kitab. Padahal dalam kitab tersebut justru jelas disebutkan bahwa yang dilahirkan pada tahun 13 H adalah Ummu Kultsum binti Abu Bakr. Bukan Ummu Kultsum binti ‘Aliy bin Abi Thaalib !! Adapun Ummu Kultsum binti ‘Aliy, ia dlahirkan pada tahun 6 H, sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabiy rahimahullah :
أم كلثوم بنت علي بن أبي طالب بن عبد المطلب بن هاشم الهاشمية شقيقة الحسن والحسين ، ولدت في حدود سنة ست من الهجرة ، ورأت النبي صلى الله عليه وسلم ولم ترو عنه شيئا …
“Ummu Kultsuum binti ‘Aliy bin Abi Thaalib bin ‘Abdil-Muthallib bin Haasyim Al-Haasyimiyyah, saudara perempuan Al-Hasan dan Al-Husain. Lahir pada penghujung tahun 6 Hijriyyah. Pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak meriwayatkan satu pun hadits dari beliau….” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 3/500 no. 114; Muassasah Ar-Risaalah, Beirut].
Dan akhirnya, yang paling lucu di antara dalih mereka untuk menolak pernikahan ‘Umar bin Al-Khaththaab dengan Ummu Kultsum binti ‘Aliy – sebagaimana disebutkan oleh al-‘Allamah Muhibbuddin Al-Khathib – bahwa wanita yang diserahkan kepada ‘Umar oleh ‘Ali dan keluarganya adalah wanit lain yang dirubah wajahnya menyerupai Ummu Kultsum !! [lihat Al-Khuthuuthul-‘Aridlah oleh Muhibbuddin Al-Khathiib – edisi terjemahan : Mungkinkah Syi’ah & Ahlus-Sunnah Bersatu ?, hal. 42-43; Pustaka Muslim].
[10] Dan inilah sebagian isi dari doa laknat kepada dua berhala Quraisy yang sering didendangkan oleh orang-orang Syi’ah :
اللهم صل على محمد، وآل محمد، اللهم العن صنمي قريش، وجبتيهما، وطاغوتيهما، وإفكيهما، وابنتيهما، اللذين خالفا أمرك، وأنكروا وحيك، وجحدوا إنعامك، وعصيا رسولك، وقلبا دينك، وحرّفا كتابك.....
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Ya Allah, laknat bagi dua berhala Quraisy, Jibt dan Thaghut, kawan-kawan, serta putra-putri mereka berdua. Mereka berdua telah membangkang perintah-Mu, mengingkari wahyu-Mu, menolak kenikmatan-Mu, mendurhakai Rasul-Mu, menjungkir-balikkan agama-Mu, merubah kitab-Mu…..dst.”.
[11] Sebagaimana keyakinan Syi’ah terhadap imam-imam mereka.
[12] Kalaupun kita terima alasan bahwa ‘Ali secara terpaksa menyerahkan anaknya kepada ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma.______________________________

Jawaban Syiah:
Tanya: Bukankah Ummu Kultsum, putri Ali bin Abi Thalib, dinikahkan dengan Umar bin Khattab? Bukankah hal itu menunjukkan keserasian hubungan mereka?

Jawab: Pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar bin Khattab adalah masalah yang masih kontroversial dalam sejarah kita. Penggalan dari peristiwa tersebut dalam sejarah ditukil secara berbeda-beda versi dan terkadang saling bertentangan pula. Oleh karena itu, untuk menetapkan sesuatu kita tidak bisa bersandar pada -hal-hal yang masih kontroversi dan tidak jelas seperti ini. Coba lihat versi-versi riwayat yang ada tentang pernikahan tersebut sebagaimana yang disebutkan di bawah ini:

1. Ali bin Abi Thalib menikahkan putrinya dengan Umar bin Khattab.
2. Pernikahan itu berlangsung dengan perantara Abbas paman Ali bin Abi Thalib.
3. Pernikahan itu berlangsung atas dasar ancaman.
4. Pernikahan akhirnya berhasil dan Umar memiliki seorang anak bernama Zaid.
5. Khalifah terbunuh sebelum perayaan pernikahan.
6. Zaid pun juga mempunyai seorang anak.
7. Ia terbunuh dan tidak memiliki warisan.
8. Ia dan ibunya terbunuh pada satu hari yang sama.
9. Ibunya masih hidup setelah kematiannya.
10. Maharnya empat puluh ribu Dirham.
11. Maharnya empat ribu Dirham.
12. Maharnya lima ratus Dirham.

Perbedaan versi riwayat sedemikian rupa membuat orang yang mendengarnya ragu akan benar atau tidaknya berlangsungnya pernikahan tersebut.[1]

Anggap saja memang pernikahan itu telah berlangsung, namun, kita tidak bisa menyebutnya sebagai pernikahan yang dilaksanakan secara wajar-wajar saja, yakni dengan kerelaan kedua belah pihak keluarga. Karena:
1. Tidak ada yang bisa mengingkari bahwa pada saat itu hubungan keluarga Rasulullah Saw dan Khalifah sedang renggang sekali disebabkan oleh peristiwa penyerangan rumah putri Rasulullah Saw dan penghinaan terhadapnya. Banyak sekali bukti-bukti yang menjadi saksi terjadinya peristiwa menyakitkan itu.[2]
2. Umar adalah orang yang kasar dan keras, ketika khalifah pertama memilihnya sebagai khalifah, sekelompok sahabat ribut karena masalah itu dan berkata: “Engkau telah memilih orang yang keras dan kasar untuk menjadi penguasa kami!”
3. Thabari menulis: “Khalifah, mulanya melamar putri Abu Bakar yang bernama Ummu Kultsum, namun karena Umar adalah orang yang keras wataknya dan kasar perilakunya, putrinya menolak untuk dinikahi.”[3]

Oleh karena itu, kita tidak bisa menjadikan pernikahan tersebut sebagai bukti baiknya hubungan.
Jika kita setuju bahwa pernikahan merupakan bukti baiknya hubungan, berarti Rasulullah Saw memiliki hubungan yang baik dan sepemikiran dengan Abu Sufyan, karena beliau telah menikahi putrinya, Ummu Habibah? Padahal Abu Sufyan adalah orang yang telah menyalakan api perang-perang berdarah melawan Islam seperti perang Uhud dan Ahzab.

Begitu pula apakah berarti sepemikiran dan berhubungan baik dengan Huyaiy bin Akhtab karena beliau telah menikahi anaknya yang bernama Shafiyah?
Ulama Syiah telah membahas lebih jauh dan melontarkan kritikan-kritikannya terhadap peristiwa ini dalam buku-bukunya.


[1] Perbedaan versi riwayat yang seringkali bertentangan itu dijelaskan dalam Adz Dzari’ah Ath Thahirah, karya Abi Bashar Daulabi (224-310 H.) hlm. 157.
[2] Peristiwa penyerangan dan penghinaan terhadap rumah wahyu serta putri Rasulullah Saw (Fatimah Az Zahra) tercantum dalam buku-buku terpercaya Ahlu Sunah, misalnya Al-Musnaf, jld. 8, hlm. 490, nomor 4549, milik Abi Syaibah, guru Bukhari yang wafat pada tahun 235 H.; Ansab Al-Asyraf, milik Baladzari, jld. 1, hlm. 586, cetakan Darul Ma’arif, Kairo; Al-Imamah wa As Siyasah, Ibnu Qutaibah (213-276 H.), jld. 1, hlm. 13012, cetakan Maktabah Tijari Kubra, Mesir; Tarikh Thabari, Thabari (224-310 H.), jld. 2, hlm. 443; Istii’aab, Ibnu Abdul Badr (368-463 H.), jld. 3, hlm. 972; dan masih banyak lagi.
[3] Tarikh Thabari, jld. 5, hlm. 58.

Oleh Muhammad Thabari, dalam bukunya yang berjudul “Jawaban Pemuda Syiah atas Pertanyaan-Pertanyaan Wahabi”.

Mengapa tidak dijelaskan tentang peri kehidupan Ummu Kultsum, putri Imam Ali As? Apakah benar bahwa beliau menikah dengan Umar bin Khatab? Dan apakah dari pernikahan tersebut membuahkan anak?
 
Pertanyaan:
Mengapa tidak satu pun sumber sejarah yang menjelaskan tentang peri kehidupan dan juga kematian Ummu Kultsum, putri Imam Ali As? Apakah benar bahwa Ummu Kultsum menikah dengan Umar bin Khatab? Pada tahun ke berapa hijriah terjadi pernikahan ini? Mengapa sampai terjadi pernikahan, sedangkan sesuai dengan keyakinan kita, Umar adalah penyebab syahidnya Sayidah Fatimah al-Zahra As. Saya berharap Anda bisa menjawab keraguan ini dengan baik.
 
Jawaban Global:
Dalam berbagai kitab-kitab referensi, (judul-judulnya ada dalam jawaban detil) terdapat pembahasan tentang peri kehidupan dan kematian Ummu Kultsum, putri Imam Ali As.

Dalam riwayat Syiah dan Sunni disebutkan ihwal pernikahan Khalifah Kedua dengan Ummu Kultsum, putri Baginda Ali As. Namun riwayat-riwayat yang menukil tentang pernikahan ini tidak sejenis dan masing-masing terdapat perbedaan antara satu dengan yang lain. Apa yang bersifat common dan umum di antara riwayat-riwayat ini antara Syiah dan Sunni adalah bahwa Khalifah Kedua menyampaikan pinangan kepada Ummu Kultsum hanya saja Imam Ali As menolak pinangan tersebut. Kemudian Umar bin Khatab, dengan ancaman-ancaman yang dilontarkan secara berulang-ulang, tetap mendesakkan keinginannya. Atas desakan Umar itu, Imam Ali As, sembari tetap menolak lamaran tersebut, menyerahkan urusan pernikahan Ummu Kultsum kepada pamannya, Abbas bin Abi Thalib. Akad nikah pun berlangsung dengan ijin paman beliau. Sebagian riwayat menandaskan poin ini bahwa Umar meninggal dunia sebelum melewati malam pertama. Setelah itu, Imam Ali As memboyong putrinya Ummu Kultsum kembali ke rumahnya.[i]


[i]. Diadaptasi dari Pertanyaan No. 446 (Site 476).
 
Jawaban Detil:
Pertanyaan Anda terdiri dari dua bagian:
1.   1. Mengapa tidak ditulis peri kehidupan dan kematian Ummu Kultsum dalam kitab-kitab sejarah, padahal ia adalah menyandang predikat sebagai putri Imam Ali As dan Sayidah Fatimah Az Zahra?
2.   2. Apakah benar bahwa beliau telah menikah dengan Khalifah Kedua? Apabila pernikahan berlangsung, tahun keberapa hijriah pernikahan tersebut terjadi?

Sehubungan dengan pertanyaan pertama Anda harus dikatakan bahwa:
Tentang peri kehidupan dan kematian Ummu Kultsum, putri Imam Ali As telah dibahas dalam literatur-literatur sejarah yang sebagiannya akan kami beberkan di sini: Akhbar al-Thiwâl (Dainawari), al-Isti’âb (Ibnu ‘Abdu al-Bar), Usd al-Ghabah (Ibnu Atsir), al-Ishâbah (Ibnu Hajar), al-A’lâm (Zarkali), al-Imâmah wa al-Siyâsah (Ibnu Quatibah Dinawari), Ansâb al-Asyrâf (Baladzuri), al-Bidayah wa al-Nihayah (Ibnu Katsir), al-Bada wa al-Tarikh (Muthahar bin Thahir Muqadasi), Tarikh Ibn Khaldun, Tarikh al-Islam (Dzahabi), Tarikh Thabari (Thabari), Tarikh Barguzideh (Mustaufi Qazwini), Sirat Rasulullah (Abruquh), Thabaqât al-Kubrâ (Katib Waqidi), al-Kamil (Ibnu Katsir), Muruj al-Dzihab (Mas’udi), Maqatil al-Thâlibin (Abu al-Farj Isfahani), Farzand Âli Abi Thalib (Jawad Fadhil) dan lain sebagainya.

Adapun jawaban kami atas pertanyaan kedua Anda adalah:
Dalam riwayat Syiah dan Sunni disebutkan ihwal pernikahan Khalifah Kedua dengan Ummu Kultsum, putri Baginda Ali As. Namun riwayat-riwayat yang menukil tentang pernikahan ini tidak sejenis dan masing-masing terdapat perbedaan antara satu dengan yang lain. Riwayat-riwayat tersebut itu telah dikaji dan ditelusuri baik dari sisi isinya maupun sisi sanadnya. Kesimpulan yang dapat diambil dari riwayat-riwayat tersebut adalah titik persamaan bahwa bahwa Khalifah Kedua, Umar bin Khatab menyampaikan pinangan atas Ummu Kultsum[1] kepada Imam Ali As dan melontarkan ancaman kepada Imam Ali As[2] (sekiranya Imam Ali As menolak pinangan tersebut)…Namun Imam Ali As mengemukakan alasannya dan (tetap) menolak lamaran tersebut.[3]

Umar kembali mengancam Imam Ali As dan berulang kali mencoba meminang Ummu Kultsum.[4]
Pada akhirnya Imam Ali As menyerahkan keputusan tentang pernikahan Ummu Kultsum kepada pamannya, Abbas bin Abdul Mutthalib. Dengan ijin Abbas, berlangsunglah akad nikah antara Umar bin Khatab dan Ummu Kultsum. Setelah itu Ummu Kultsum diboyong ke rumah Umar bin Khatab. Namun setelah kematian Umar bin Khatab, Imam Ali As membawa Ummu Kultsum kembali ke rumahnya.[5]

Demikianlah masalah yang mengemuka pada riwayat-riwayat Syiah dan Sunni. Tidak ada dalil muktabar dan standar yang kita miliki terkait apakah Umar dan Ummu Kultsum melalui malam pertama mereka atau tidak, atau juga apakah dari pernikahan tersebut membuahkan keturunan atau tidak. Namun berdasarkan riwayat-riwayat yang ada, ulama Syiah dan Sunni mengambil kesimpulan dan melontarkan ragam pendapat. Misalnya, Nubakhti, yang merupakan ulama pendahulu Syiah pada zaman ghaibah sughra, berkata, ”Ummu Kultsum masih kecil ketika menikah dengan Umar dan Umar meninggal dunina (terbunuh) sebelum ia mencapai usia baligh.”[6]

Demikian juga Zurqani Maliki, yang merupakan salah seorang ulama Sunni (wafat 1122 H) berkata, “Ummu Kultsum adalah istri Umar bin Khatab dan sebelum ia mencapai usia baligh, Umar meninggal dunia.”[7] [IQuest]


[1]. Tahdzib al-Tahdzib, jil. 1, hal. 44.
[2] . Thabaqât Ibn Sa’âd, Jil. 3, hal. 259.
[3] . Al-Kâfi, Jil. 5, hal. 246.
[4] . Ibid.
[5]. Ibid, jil.  42, hal. 115.
[6] . Bihâr al-Anwâr, jil. 42, Hal. 91.
[7] . Syarh Mawâhib al-Laduniyah, jil. 7, Hal. 9

_______________________________

Umar bin khattab tidak menikah dengan Ummu kultsum binti Ali as !! Disamping fitnahan atas imam Ali As yang menurut ‘sejarah miring’ bahwa beliau –difitnah- menikahi putri Abu jahal. Demi mendukung hujjah mereka tuk menyelamatkan nama baik dua syaikh saat terkena pasal ketidak ridhoan Az Zahra As

Debat Sunni-Syi’ah Pada Hari Raya Ghadir Khum
===========================

Debat Sunni-Syi’ah Pada Hari Raya Ghadir Khum

Sekitar tahun 2007 yang lalu saya diundang teman saya, Abdullah Siradj, laki-laki keturunan Pakistan, sebagai pembicara dalam acara pernikahan adik sepupunya. Kebetulan acaranya tanggal 11 Dzul Hijjah, tahun 1427 Hijriah. Setelah sampai di tempat acara, ternyata acara itu dihadiri oleh beberapa ulama setempat, di antaranya Rois Syuriyah PCNU Kencong, KH. Khoiruz Zad Maddah, al-Marhum KH. Abdusshomad Djalil, KH. Rusydi dan lain-lain.

Setelah semua undangan berkumpul, acara pun segera dimulai. Acara itu dipimpin oleh Ustadz yang berinisial FK sebagai pembawa acara, yang juga keturunan Pakistan dan masih kerabat mempelai. Ternyata FK tersebut mengikuti aliran Syi’ah, alumni salah satu pesantren penyebar Syiah di Bangil Pasuruan. Terbukti sejak dari awal mukaddimahnya, ia menggunakan sholawat yang populer di kalangan Syi’ah. Dan setelah itu, ia menyebut-nyebut keutamaan hari raya Ghadir Khum, satu-satunya hari Raya bid’ah sayyi’ah yang dimiliki aliran Syi’ah.

Akhirnya, mendengar penjelasan FK (Syiah) yang menyinggung-nyinggung ajaran Syiah yang dipromosikannya, KH. Khoiruz Zad, berbisik ke telinga saya, “Sepertinya laki-laki ini berpaham Syi’ah.” Kata beliau.

Setelah sampai pada bagian saya sebagai pembicara dalam acara tersebut. Akhirnya saya banyak berbicara tentang hubungan pernikahan para sahabat dengan Ahlul Bayt (keluarga) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan kebetulan sepupu teman saya yang menikah itu bernama Nafisah. Akhirnya saya menyampaikan cerita dalam ceramah saya, berangkat dari nama Nafisah. Seorang perempuan yang sangat berjasa dalam terjadinya tiga pernikahan paling ideal dalam sejarah awal Islam. Sebagaimana dimaklumi, dalam sejarah disebutkan bahwa ketika Khadijah, saudagar kaya dan bangsawan terhormat di kota Mekkah, mempunyai keinginan agar dinikahi oleh Muhammad, pemuda paling jujur dan tampan, keturunan bangsawan Quraisy dari Bani Hasyim di kota Mekkah, Khadijah meminta tolong kepada Nafisah agar menyampaikan keinginan itu. Akhirnya melalui perantara Nafisah inilah, Khadijah dapat menikah dengan lelaki pujaannya, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dari pernikahan ideal inilah, Khadijah memiliki beberapa putra dan putri. Antara lain Sayyidatina Ruqayyah dan Sayyidatina Ummu Kultsum yang kelak menjadi istri Sayyidina ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhum. Juga Sayyidah Fathimah al-Zahra’ radhiyallahu ‘anha yang kemudian menjadi istri Sayyidina ‘Ali karramallahu wajhah.

Kemudian saya membicarakan pernikahan Sayyidah Fathimah dengan Sayyidina Ali dengan agak detil, sehingga pernikahan beliau bisa dikatakan sebagai pernikahan ideal kedua dalam Islam. Dari pernikahan ideal antara Sayyidah Fathimah dan Sayyidina Ali ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikaruniai beberapa cucu, yaitu Hasan, Husain, Zainab dan Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anhum.

Pada kemudian hari Sayyidah Ummu Kultsum ini menikah dengan Sayyidina ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Pernikahan Sayyidah Ummu Kultsum dengan Sayyidina ‘Umar ini dapat dikatakan sebagai pernikahan ideal ketiga dalam Islam. Saya menjelaskannya dalam ceramah saya agak panjang lebar.
Sesudah ceramah saya selesai, ternyata FK agak gerogi dalam bicaranya. Mukanya agak pucat, mendengar ceramah saya yang mengisahkan hubungan kekeluargaam Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman yang dibenci oleh Syi’ah dengan Ahlul Bayt Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Setelah acara walimah itu selesai, dan para undangan pulang satu demi satu, akhirnya FK mendatangi saya. Pada waktu itu saya masih ditemani oleh KH. Khoiruz Zad, KH. Abdusshomad Djalil dan beberapa kiai lain yang belum pulang. Singkat cerita, terjadilah dialog sebagai berikut:
SYIAH (FK): “Ustadz, saya merasa janggal dengan kisah Anda tentang pernikahan Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab dengan Sayyidah Ummu Kultsum.”
SUNNI (Saya): “Apa yang membuat Anda merasa janggal dengan kisah itu?”
SYIAH:  ”Jangan-jangan riwayat tentang pernikahan Umar dengan Ummu Kultsum itu riwayat yang lemah dan bahkan riwayat yang palsu.”
SUNNI: “Siapa yang mengatakan riwayat tersebut lemah atau palsu? Bukankah riwayat pernikahan Ummu Kultsum dan Umar itu mutawatir. Hampir semua kitab-kitab sejarah, baik yang beraliran Sunni maupun yang beraliran Syi’i seperti al-Mas’udi dalam Muruj al-Dzahab dan bahkan al-Kulaini dalam al-Kafi menyebutkan riwayat pernikahan mereka? Bahkan dalam catatan sejarah, pernikahan mereka membuahkan anak yaitu Zaid bin Umar. Semua sejarawan mengatakan bahwa ibu Zaid adalah Ummu Kultsum putri Ali dan Fathimah.”
SYIAH:  ”Tetapi secara rasional, apa mungkin Umar itu menikah dengan Ummu Kultsum?”
SUNNI: “Maksudnya bagaimana?”
SYIAH: “Berapa sih usia Ummu Kultsum pada waktu itu sehingga layak menjadi istri Umar? Bukankah Umar itu sudah sangat sepuh? Orang menikah itu kan harus melihat usia.”
SUNNI: “Dari segi usia tidak ada masalah dan sangat memungkinkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Aisyah ketika Aisyah berusia tujuh tahun dan berkumpul dalam rumah tangga sesudah Aisyah berusia sembilan tahun. Bukankah begitu dalam sejarah?

Kalau kita kalkulasi, Abu Bakar menjadi Khalifah selama dua tahun setengah. Sedangkan Sayyidah Fathimah wafat enam bulan sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah Abu Bakar wafat, beliau diganti oleh Sayyidina Umar. Dengan demikian, ketika Umar menjadi khalifah, usia Ummu Kultsum setidaknya dua tahun. Ini kalau kita perkirakan Ummu Kultsum itu lahir menjelang wafatnya Sayyidah Fathimah. Padahal dalam catatan sejarah, Ummu Kultsum lahir ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. Dan Sayyidina Umar itu lama sekali menjadi khalifah. Bisa jadi Umar menikahi Ummu Kultsum pada pertengahan atau akhir masa pemerintahannya.”

Akhirnya FK (SYIAH) berkata, dan perkataannya keliru, sehingga menjadi senjata yang makan tuan. Dia bilang begini: “Ya memang betul, Umar itu menjadi khalifah lama sekali, selama dua puluh dua tahun.” Demikian kata FK yang sangat keliru. Padahal Umar itu menjadi Khalifah selama sepuluh tahun.

Mendengar pernyataan FK yang sangat keliru, akhirnya saya berkata kepada dia, “Oh, kalau Umar itu menjadi Khalifah selama 22 tahun, berarti sangat rasional sekali, Ummu Kultsum menikah dengan Umar. Seandainya Umar menikahinya di pertengahan pemerintahannya, diperkirakan Ummu Kultsum berusia 13 tahun. Apalagi kalau Umar menikahinya pada akhir masa-masa pemerintahannya, berarti usia Ummu Kultsum sekitar 22 tahun.” Akhirnya, dengan pernyataan saya, FK tidak bisa menjawab, sebagai akibat pembicaraannya sendiri yang keliru.

Sebulan kemudian FK datang ke rumah saya dan berdebat tentang ayat tathhir. Insya Allah akan kami posting juga. Wallahu a’lam.

Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
=======================================

Pernikahan Umar dengan putri Ali as ?


Tanya: Bukankah Ummu Kultsum, putri Ali bin Abi Thalib, dinikahkan dengan Umar bin Khattab? Bukankah hal itu menunjukkan keserasian hubungan mereka?

Jawab:
Pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar bin Khattab adalah masalah yang masih kontroversial dalam sejarah kita. Penggalan dari peristiwa tersebut dalam sejarah ditukil secara berbeda-beda versi dan terkadang saling bertentangan pula. Oleh karena itu, untuk menetapkan sesuatu kita tidak bisa bersandar pada -hal-hal yang masih kontroversi dan tidak jelas seperti ini. Coba lihat versi-versi riwayat yang ada tentang pernikahan tersebut sebagaimana yang disebutkan di bawah ini:
1. Ali bin Abi Thalib menikahkan putrinya dengan Umar bin Khattab.
2. Pernikahan itu berlangsung dengan perantara Abbas paman Ali bin Abi Thalib.
3. Pernikahan itu berlangsung atas dasar ancaman.
4. Pernikahan akhirnya berhasil dan Umar memiliki seorang anak bernama Zaid.
5. Khalifah terbunuh sebelum perayaan pernikahan.
6. Zaid pun juga mempunyai seorang anak.
7. Ia terbunuh dan tidak memiliki warisan.
8. Ia dan ibunya terbunuh pada satu hari yang sama.
9. Ibunya masih hidup setelah kematiannya.
10. Maharnya empat puluh ribu Dirham.
11. Maharnya empat ribu Dirham.
12. Maharnya lima ratus Dirham.

Perbedaan versi riwayat sedemikian rupa membuat orang yang mendengarnya ragu akan benar atau tidaknya berlangsungnya pernikahan tersebut.[1]

Anggap saja memang pernikahan itu telah berlangsung, namun, kita tidak bisa menyebutnya sebagai pernikahan yang dilaksanakan secara wajar-wajar saja, yakni dengan kerelaan kedua belah pihak keluarga. Karena:
1. Tidak ada yang bisa mengingkari bahwa pada saat itu hubungan keluarga Rasulullah Saw dan Khalifah sedang renggang sekali disebabkan oleh peristiwa penyerangan rumah putri Rasulullah Saw dan penghinaan terhadapnya. Banyak sekali bukti-bukti yang menjadi saksi terjadinya peristiwa menyakitkan itu.[2]
2. Umar adalah orang yang kasar dan keras, ketika khalifah pertama memilihnya sebagai khalifah, sekelompok sahabat ribut karena masalah itu dan berkata: “Engkau telah memilih orang yang keras dan kasar untuk menjadi penguasa kami!”
3. Thabari menulis: “Khalifah, mulanya melamar putri Abu Bakar yang bernama Ummu Kultsum, namun karena Umar adalah orang yang keras wataknya dan kasar perilakunya, putrinya menolak untuk dinikahi.”[3]

Oleh karena itu, kita tidak bisa menjadikan pernikahan tersebut sebagai bukti baiknya hubungan.
Jika kita setuju bahwa pernikahan merupakan bukti baiknya hubungan, berarti Rasulullah Saw memiliki hubungan yang baik dan sepemikiran dengan Abu Sufyan, karena beliau telah menikahi putrinya, Ummu Habibah? Padahal Abu Sufyan adalah orang yang telah menyalakan api perang-perang berdarah melawan Islam seperti perang Uhud dan Ahzab.

Begitu pula apakah berarti sepemikiran dan berhubungan baik dengan Huyaiy bin Akhtab karena beliau telah menikahi anaknya yang bernama Shafiyah?

Ulama Syiah telah membahas lebih jauh dan melontarkan kritikan-kritikannya terhadap peristiwa ini dalam buku-bukunya.

[1] Perbedaan versi riwayat yang seringkali bertentangan itu dijelaskan dalam Adz Dzari’ah Ath Thahirah, karya Abi Bashar Daulabi (224-310 H.) hlm. 157.
[2] Peristiwa penyerangan dan penghinaan terhadap rumah wahyu serta putri Rasulullah Saw (Fatimah Az Zahra) tercantum dalam buku-buku terpercaya Ahlu Sunah, misalnya Al-Musnaf, jld. 8, hlm. 490, nomor 4549, milik Abi Syaibah, guru Bukhari yang wafat pada tahun 235 H.; Ansab Al-Asyraf, milik Baladzari, jld. 1, hlm. 586, cetakan Darul Ma’arif, Kairo; Al-Imamah wa As Siyasah, Ibnu Qutaibah (213-276 H.), jld. 1, hlm. 13012, cetakan Maktabah Tijari Kubra, Mesir;Tarikh Thabari, Thabari (224-310 H.), jld. 2, hlm. 443; Istii’aab, Ibnu Abdul Badr (368-463 H.), jld. 3, hlm. 972; dan masih banyak lagi.
[3] Tarikh Thabari, jld. 5, hlm. 58.


Tanya: Kebanyakan pembesar dari kalangan sahabat telah mengikat hubungan kekeluargaan dengan Ahlul Bait Nabi; hubungan itu serasi dan Ahlul Bait pun mencintai mereka. Bukankah demikian?

Jawab:
semua orang tidak punya hak untuk berijtihad di hadapan firman Tuhan yang jelas.
“Apakah Aisyah pergi ke luar rumah untuk berperang melawan Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal tidak menentang nash ?”

Kami perlu menjelaskan dua hal penting di sini:
Pertama: penanya berfikiran bahwa hubungan kekerabatan antar kabilah merupakan tanda keharmonisan dan keserasian mereka. Karena para sahabat menikah dengan anggota keluarga dari Ahlul Bait, maka hubungan mereka serasi. Sebagaimana yang dikenal dahulu kala bahwa adanya pernikahan antar kabilah menunjukkan keserasian hubungan antara mereka.

Padahal ikhtilaf dan perselisihan antara Ahlul Bait dan sahabat-sahabat Nabi bukanlah perselisihan yang bersifat kekabilahan, namun ikhtilaf akidah dan sikap; yang mana tidak dapat diselesaikan dengan jalinan hubungan pernikahan beberapa orang dari anak cucu mereka.

Dengan penjelasan lain, jika seandainya ikhtilaf dan perselisihan antara keluarga Nabi dengan kelompok lain merupakan ikhtilaf politik, ekonomi, atau semisalnya , kita dapat menanggapi adanya pernikahan antar kedua belah pihak sebagai tanda membaiknya hubungan mereka.

Titik ikhtilaf mereka ada bertumpu pada permasalahan yang sangat prinsip dan mendasar, yaitu kekhilafahan dan kepemimpinan umat Islam sepeninggal Nabi. Permasalahan ini tidak akan dapat diselesaikan hanya dengan adanya pernikahan antar keluarga; hingga saat ini pun masih belum tuntas terselesaikan. Jadi, pernikahan Hasan atau Husain putra Ali bin Abi Thalib dengan wanita dari keluarga khulafa tidak akan pernah menjadi indikasi adanya kedekatan pemikiran antara mereka.

Di Iraq, banyak sekali terjadi pernikahan antara keluarga Suni dengan Syiah. Namun itu bukan berarti kedua belah pihak keluarga saling menerima akidah satu sama lain.
Khalifah ketiga memiliki seorang istri beragama Kristen; ia bernama Na’ilah. Apakah hal itu menjadi bukti bahwa Utsman bin Affan adalah orang Kristen dan berpemikiran sama?[1]

Kedua: bukankah Allah Swt telah berfirman bahwa tidak ada seorang pun yang menanggung dosa orang lain?[2] Jika seseorang merupakan pendosa besar, anak cucunya tidak akan menanggung dosanya. Jika kakek-nenek seseorang telah menzalimi keluarga Nabi, dosa itu tidak akan dipikul oleh cucunya. Karena setiap orang menanggung dosa dan kebajikan masing-masing.

Lebih dari itu, dalam jawaban pertanyaan ketiga kita telah jelaskan bahwa keputusan-keputusan sedemikian rupa diambil oleh para Imam Syiah demi kemaslahatan yang telah mereka pertimbangkan. Mereka tidak ingin pengikutnya terus tertekan keadaan dan penderitaan. Namun sikap itu tidak menjadi dalil adanya persamaan pemikiaran antara mereka dengan para khulafa.

Sebagian orang dengan tanpa lelah berusaha terus menerus merendahkan posisi dan kemuliaan Ahlulbayt dan Kesucian keluarga rasul Saww.

Bahkan sebagian lainnya tanpa ragu menjadi penerus kesalahan sejarah dengan bangga dan busung dada.
Disamping fitnahan atas imam Ali As yang menurut ‘sejarah miring’ bahwa beliau –difitnah- menikahi putri Abu jahal. Demi mendukung hujjah mereka tuk menyelamatkan nama baik dua syaikh saat terkena pasal ketidak ridhaan Az Zahro As.

Ar Rasul Saww : “Keridaan Fatimah adalah keridhaan ALLAH, kemurkaan Fatimah adalah kemurkaan ALLAH”

[1] Al-Bidayah wa Al-Nihayah, jld. 7, hlm. 153.
[2] An Najm:38.


Satu point yang akan dibahas kali ini adalah kesalahan fundamental berkali kali dari sejarah yang beredar di umum hasil ‘karya besar’ ulama Ummayah demi membuat bangga leluhur Ummayah yang mati di badar adalah :

TUDUHAN BAHWA PUTRI SUCI IMAM ALI AS, UMMU KULTHUM AS MENIKAH DENGAN UMAR BIN KHOTTOB.

Kitab sejarah Abul fida volume 1 halaman 171 dan Al Faruq Shibli Numani Vol II halaman 593 sama sama meredaksikan :
“Pernikahan Umar dengan ummu kulthum berlangsung pada tahun 17 hijriyah saat ummu kulthum berusia 5 atau 4 tahun. Dengan dasar ini diyakini bahwa tahun kelahiran ummu kulthum adalah 12 atau 13 hijriyah.”

Sesungguhnya dalam riwayat yang dibawakan kedua sejarahwan diatas terdapat beberapa kejanggalan bila mengacu pada riwayat yang di redaksikan Bukhari :
“Sayyidah Fatimah As meninggal 6 bulan setelah wafatnya rasulullah Saww dan beliau As meninggal pada tahun yang sama dengan tahun meninggal Rasulillah Saww yaitu 11 hijriyah, sementara ummu kulthum putri imam Ali as lahir pada tahun 9 hijriyah.”

Analisa 1 :
Dengan dasar ini adalah tidak mungkin ia adalah ummu kulthum yang sama.
Sejarahwan sunni mencantumkan kelahiran ummu kulthum yang menikah dengan umar tahun 12 atau 13 hijriyah.
Sementara bukhari mencantumkan tahun kelahiran putri Imam Ali As tahun 9 hijriyah.
Tidak akan pernah mungkin pribadi yang belum lahir menikah dengan Pria Dewasa.

Paparan :
Kesucian Ahlulbayt terus terjaga dengan pernikahan wanita wanita mereka dengan sesama bany hasyim
Umar bin khottob mempunyai 7 orang istri, yang pertama bernama zainab saudari dari uthman bin mazun
Istri yang kedua bernama qariba putri dari Ibn Umait al makzami dan saudara dari Ummul mukminin ummu salamah ra. Qariba bercerai dari umar pada tahun 6 sebelum masehi setelah perjanjian hudabiyah.
Istri ketiga bernama malaika anak dari jarul al khuzai yang juga dipanggil Ummu kulthum, karena ia menolak islam maka malaika (ummu kulthum binta jarul) ini pun di ceraikan pada tahun yang sama (tahun 6 sebelum masehi).

Istri yang ke empat bernama jamila anak dari Asim bin Thabit. Nama asli jamila adalah Asya yang kemudian oleh Rasul Saww diganti rasul Saww menjadi jamila saat ia di dalam ISLAM.
Istrinya yang lain adalah ummu hakim anak dari Al harith bin hisyam al makhzumi dan lainnya adalah Fukhia yamania dan Atika putrid dari zaid bin Amr bin nafil
[Al Faruq - Volume II by Shibli Numani English Translation].

Analisa 2 :
Redaksi dalam kitab al faruq diatas mencantumkan nama ummu kulthum/malaika binta jarul yang juga merupakan istrinya yang ketiga namun telah diceraikan sesaat setelah perjanjian hudabiyah
Lalu siapa yang di nikahi umar kemudian yang juga di sebut ummu kulthum…?

Untuk ini kita akan tengok sebuah sejarah yang juga diawali dari Hadith Suci Al Musthofa Saww bahwa “Abu bakar dipersaudarakan dengan Umar dan Imam Ali As dipersaudarakan Dunia wal akhirat dengan Rasulillah Saww”.

Abu bakar mempunyai beberapa Putri selain ummul mukminin Aisyah. Perincian nama namanya bisa di jumpai pada Tarikh Tabari vol 3 hal 50, Tarikh kamil vol 3 hal 121, al isaba ibn hajar al asqalani vol 3 hal 27, dinulikkan bahwa Abu bakar mempunyai seorang putri bernama Ummu kulthum
Abu bakar meninggal pada tahun 13 hijriyah, dan usia pernikahan ummu kulthum binta abu bakar saat menikah adalah 4 tahun (17 h).

Aisyah adalah putri tertua Abu bakar, dengan meninggalnya Abu bakar, umar memberikan ummu kulthum kepada Aisyah sebagai penanggung jawabnya, seperti di redaksikan Tarikh khamis vol 3 hal 267, Tarikh kamil vol 3 hal 21 dan Al istab ibn bdul barr vol 2 hal 795.

Kesimpulan:
Dengan demikian diperoleh kesimpulan bahwa umar bin khottob menikahi Ummu kulthum binta Abi Bakar melalui Aisyah dan bukan Ummu kulthum binta Ali as.
Pernikahan Umar dengan ummu kulthum binta Abu bakar terjadi pada tahun 17 Hijriyah.
Sesuai dengan Kitab sejarah Abul fida volume 1 halaman 171 dan Al Faruq Shibli Numani Vol II halaman 593 sama sama meredaksikan :
“Pernikahan Umar dengan ummu kulthum berlangsung pada tahun 17 hijriyah saat ummu kulthum berusia 5 atau 4 tahun. Dengan dasar ini diyakini bahwa tahun kelahiran ummu kulthum adalah 12 atau 13 hijriyah.”.

Tambahan :
Dalam thabari vol 12 hal 15, Tarikh Khamis vol II hal 318 dan Al Istiab Ibn Abdu; Barr Vol 2 hal 795 diredaksikan :
“Ummu kulthum yang di nikahi Umar bin khattab meninggal sebelum tahun 50 hijriyah, hasan bin Ali As, Abdullah bin Umar dan Sa’ad bin Abi Waqash diminta umar tuk menyolatinya. Sejarah mencatat bahwa ummu kulthum binta Ali As ikut dalam rombongan karbala dan menjadi saksi pembantaian Putra Suci As Syahidu Syabab As pada tahun 61 hijriyah. Dan juga sejarah mencatat bahwa setelah peristiwa duka tersebut Ummu kulthum binta Ali As menikah dengan Abdullah bin Jafar At thayyar.”.

Catatan kecil :
Hubungan Umar dengan ahlulbayt tidak lah mulus dengan diketahuinya penyerangan Rumah Ahlulbayt dan pendobrakan pintu rumah Imam Ali As sehingga menyebabkan keguguran janin Al Muhsin As. Serta Persaksian Sayyidah Fatimah As yang diredaksikan Muslim bahwa Beliau As tidak meridhoi keduanya akibat perbuatan zalim mereka kepada Ahlu Kisa As.

Kalian kum Salafi telah menginjak kehormatan-kehormatan Ilahi dengan cara mendidik teroris-teroris. Kalian tidak menghormati darah orang tua atau anak kecil, tidak menghormati harta benda kaum Muslimin dan wanita-wanita mereka. Menurut kalian semua umat Islam selain pengikut Muhammad bin ‘Abdul Wahab adalah musyrik dan murtad yang harus kalian tumpahkan darahnya dan rampas hartanya serta menawan wanita-wanitanya. Apakah anda yang seperti ini dengan nyaman membandingkan diri dengan Syiah?

Terkait Berita: