Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Karbala. Show all posts
Showing posts with label Karbala. Show all posts

Tujuan Imam Mahdi Terwujud Melalui Karbala


Simetri dan keselarasan antara Imam Mahdi as dan Imam Husain as menjadi tema utama yang dikupas oleh Hujjatul Islam Mujtaba Kalbasi manajer Pusat Kajian Mahdiisme kemarin dalam program televisi yang berjudul “Qarar-e Jom’eh”.
“Terdapat simetri historis antara 27 Rajab hari bi’tsah Rasulullah saw, 3 Sya’ban hari kelahiran Imam Husain as, dan 15 Sya’ban hari kelahiran Imam Mahdi,” ujar Kalbasi.

Dalam sabda Rasulullah saw, lanjut Kalbasi, Imam Mahdi dan Imam Husain adalah imam umat manusia. Rasulullah pernah menekankan bahwa Hasan dan Husain adalah imam, baik mereka berdiri atau duduk. Berkenaan dengan Imam Mahdi, beliau juga pernah bersabda bahwa ia termasuk anak cucu beliau dan imam terakhir.

Dari sisi nama, terdapat simetri yang indah antara Imam Mahdi dan Rasulullah sendiri. Nama mereka adalah Muhammad. Lanjut Kalbasi menekankan.

Kalbasi melanjutkan, tujuan utama gerakan dan kebangkitan Imam Husain as adalah memperbaiki umat manusia. Dalam sebuah hadis, beliau pernah menekankan tidak bangkit untuk kesombongan dan mencari kekuasaan. Beliau hanya ingin untuk memperbaiki umat kakek beliau. Kebangkitan Imam Mahdi as juga demikian. Beliau bangkit untuk memperbaiki kondisi politik, sosial, dan lain sebagainya.

Salah satu contoh gamblang dari tujuan tersebut, ujar Kalbasi, adalah memusnahkan para penguasa lalim. Dalam sebuah ucapan, Imam Husain pernah menekankan, “Apakah kalian tidak menyaksikan kebenaran sudah tidak diamalkan lagi dan orang-orang bejat memegang tampuk kekuasaa?” Dalam doa Nudbah kita membaca, Imam Mahdi adalah simpanan Ilahi untuk mematahkan tulang punggung orang-orang yang zalim.

(Shabestan)

POSISI DAN PERAN IMAMAH; Studi historikal kesinambungan Imamah dalam percakapan Imam Husein as dan Imam Sajjad as


Imamah dan kepemimpinan merupakan prinsip dan pondasi penting agama Islam. Kedua masalah ini, di samping prinsip-prinsip lainnya, mewujudkan eksistensi Islam. Keuniversalan agama Islam membuatnya tidak bergantung pada lainnya. Kedua prinsip ini sebagai penjaga hukum, undang-undang dan nilai-nilai ilahi. Bahkan lebih dari itu, begitu pentingnya prinsip ini juga sebagai penjamin keberlangsungan hasil dari prinsip-prinsip yang lain. Keberadaan dan peran dari prinsip Imamah menjamin tauhid, keadilan ilahi, kenabian dan hari akhir menjadi lebih realistis; mulai dari sisi teoritis hingga praktis. Manusia dengan mudah dapat merasakan itu dan memanfaatkannya. 

Dalam sistem politik Islam, prinsip Imamah dan kepemimpinan keberadaan dan perannya tidak diragukan lagi. Prinsip Imamah dan kepemimpinan adalah langkah awal untuk mendirikan sebuah pemerintahan Islam yang pada gilirannya menyiapkan kondisi dan fasilitas demi terlaksananya undang-undang politik, sosial, ekonomi, militer, moral, pendidikan, hukum dan peradilan di tengah-tengah masyarakat berdasarkan Islam.

Kewajiban, peran dan dampak penting dari prinsip Imamah dan kepemimpin dalam ajaran Islam menjadi tanggung jawab seorang Imam dan pemimpin.
(1) Pada saat yang bersamaan, setiap orang diwajibkan untuk mengetahui Imam di zamannya.
(2) Ketaatan terhadap seorang Imam identik dengan ketaatan terhadap Allah Swt.
(3) Dan para Imam menjadi saksi atas perbuatan manusia.(4)

Dalam peristiwa Asyura, terjadi pertemuan dan bincang-bincang antara Imam Husein as dengan Imam Sajjad as. Sebuah percakapan bersejarah. Pembicaraan itu bila diteliti menunjukkan posisi dan pentingnya Imamah dan kepemimpinan.

Imam Sajjad as dalam peristiwa Asyura menderita sakit. Penderitaan yang membuatnya tidak dapat ikut serta dalam peperangan itu. Sakit membuatnya tidak dapat berjihad di samping ayahnya. Ketidakmampuannya untuk ikut dalam membela kebenaran yang diusung oleh Imam Husein as membuatnya sangat bersedih.

Pada detik-detik terakhir peristiwa Asyura, Imam Husein as untuk terakhir kalinya menyambangi anaknya, Imam Sajjad as. Pertemuan untuk terakhir kalinya. Ketika Imam Husein as mendekat anaknya, ia ditanya, "Ayah! Hari ini apa yang engkau lakukan dengan orang-orang Munafik?"

Imam Husein as menjawab, "Wahai anakku! Setan telah mengalahkan mereka. Setan berhasil menyingkirkan keinginan mengingat Allah dari hati mereka. Perang akhirnya merupakan pilihan yang tidak dapat dielakkan. Mereka bak orang kehausan sampai berhasil melihat bumi menyerap semua darah kami."

Imam Sajjad kembali bertanya, "Pamanku Abbas di mana?"

Imam Husein as menjawab, "Wahai anakku! Pamanmu dibunuh. Jasadnya berada dekat sungai Furat. Tangannya terpotong."

Mendengar penjelasan ayahnya, Imam Sajjad menangis tersedu-sedu. Ia kemudian bertanya, "Bagaimana kabar Ali, saudaraku dan rombongan yang lain?"

Imam Husein as menjawab, "Anakku! Ketahuilah bahwa di perkemahan kita tidak ada lagi orang yang tersisa, selain kita berdua. Semua orang yang engkau Tanya telah tewas berkalang tanah."

Kembali Imam Sajjad as menangis tersedu-sedu. Ia kemudian memohon kepada Zainab, bibinya agar mengambilkan tongkat dan pedangnya.

Imam Husein as ganti bertanya, "Apa yang ingin engkau lakukan dengan tongkat dan pedang?"

Imam Sajjad as menjawab, "Dengan tongkat aku dapat menyanggah tubuhku. Dan dengan pedang aku akan membela keturunan Nabi Saw.

Imam Husein as memanggil Ummu Kultsum dan berkata, "Jaga dia! Tidak boleh terjadi bumi kosong dari Alu Muhammad (keluarga Muhammad)."(5)

Sekejap, Imam Husein as dapat merasakan mengapa anaknya mengucapkan hal itu. Ucapan dan sikap yang lahir dari rasa tanggung jawab yang tinggi, sekalipun dalam kondisi sakit dan lemah. Sebuah keputusan yang lahir dari semangat melawan musuh. Namun, Imam Husein as melarang anaknya untuk ikut berperang. Argumentasinya adalah Imam Sajjad as harus tetap hidup. Ia harus hidup untuk masa yang akan datang. Masa yang menuntut tanggung jawab yang besar dari prinsip Imamah dan kepemimpinan. Imam Sajjad as harus tetap hidup agar prinsip ini tetap langgeng, tidak terputus. Kematian Imam Sajjad as berarti terputusnya prinsip Imamah dan sama dengan kosongnya bumi dari seorang Imam dan pemimpin.

Tiba saatnya Imam Husein as harus mengucapkan salam perpisahan kepada anaknya.

Pertama, beliau menasihati keluarganya bahwa setelah ia terbunuh, mereka semua bakal ditawan. Kedua, beliau membeberkan rencana dan tugas yang harus diemban oleh mereka. Dan yang bertanggung jawab penuh dalam tugas ini adalah imam Sajjad as. Mereka harus menyampaikan dan menyingkap semua keteraniayaan Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya.

Nasihat Imam Husein as kepada anaknya:

"Kapan saja anggota keluarga berteriak akibat beratnya cobaan, maka engkau yang harus mendiamkan mereka!

Kapan saja mereka merasa ketakutan, maka engkau yang bertugas menenangkan mereka!

Pikiran mereka yang bercabang harus engkau satukan dengan ucapan yang dapat menenangkan!

Ini harus engkau lakukan karena orang yang menjadi tempat pengaduan mereka telah tiada selain engkau. Biarkan mereka dengan keadannya sehingga dapat merasakan kehadiranmu dan engkau dapat merasakan penderitaan mereka. Lakukan ini agar mereka menangisimu dan engkau menangisi mereka."

Setelah itu, Imam Husein as memegang dan mengangkat tangan Imam Sajjad as. Dengan nada tinggi beliau berkata kepada anak-anak dan wanita Ahlul Bait:

"Dengarkan ucapanku! 

Ketahuilah! Ini adalah anakku dan khalifahku untuk kalian. Ia adalah Imam yang wajib untuk ditaati."(6)

Percakapan antara Imam Husein as dengan Imam Sajjad as dan keluarganya pada detik-detik terakhir peristiwa Asyura sangat jelas dan kuat menekankan posisi, peran dan nilai "Imamah dan kepemimpinan". Pentingnya masalah ini dengan memperkenalkan Imam dan pemimpin setelahnya. Imam dan pemimpin bagi khilafah, wilayah dan pemerintahan atas masyarakat dan negara Islam.

Prinsip Imamah dan kepemimpinan hadir di tengah-tengah peristiwa Karbala. Hadir dan dapat dirasakan dalam semua tahapan-tahapan kejadian Karbala. Imamah dan kepemimpin mengawasi jalannya peristiwa bersejarah ini agar sahabat-sahabatnya tidak keluar dari garis itu. Dan yang terpenting pada detik-detik terakhir Asyura prinsip Imamah dan kepemimpinan ditetapkan, bahkan suksesi berjalan sempurna. Imamah dan kepemimpinan tidak berhenti, namun hadir dalam bentangan sejarah pada semua generasi dan di setiap zaman.

*) Artikel ini dimuat di harian Jomhouri Eslami, no 7979, tahun ke 28.

Catatan:
1. Ghurar al-Hikam, jilid 2, hal 29.
2. Farhang Sukhanan Emam Hossein as, penerbit Masyhur, hal 92.
3.Ghurar al-Hikam, jilid 2, hal 208.
4. Ibid, hal 206.
5. Farhang Sukhanan Emam Hossein as, hal 539-540.
6. Ibid. Hal 541-542.

Abu Fadhl Abbas


Oleh: Shaleh Al-Jufri

Imam al Hussein (as) berkata memandang jasad adiknya :
“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, adikku.
Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna.”
Aku akan membawakan satu girbah air untuk anak-anak itu
…..Salam alayka Ya Abdasshaalih..

 
Dalam riwayat disebutkan bahwa Abu Fadhl Abbas as adalah pria yang berperawakan tinggi, tegap,dan kekar. Dadanya bidang dan wajahnya putih berseri. Sedemikian elok dan rupawannya Fisik Abbas Ayah Abu Fadhl Abbas adalah Ali bin Abi Thalib as. Ibunya adalah Fatimah AlKilabi, wanita yang lebih dikenal dengan sebutan Ummul Banin. Isterinya adalah Lababah binti Ubaidillah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Lababah mempunyai empat orang putera bernama Ubaidillah, Fadhl, Hasan, dan Qasim, serta seorang puteri.


Abu Fadhl Abbas gugur diKarbala saat masih berusia 34 tahun, adik imam Husain as dari lain ibu ini tenar dengan julukan “Purnama Bani Hasyim” (Qamar bani Hasyim).   Dalam sejarah Abbas juga dikenal sebagai pemegang panji Karbala. Keberanian, kehebatan, dan kekuatannya saat itu tak tertandingi oleh siapapun. Sebagai manusia yang tumbuh besar di tengah binaan keluarga suci dan mulia, dia memiliki keteguhan dan kesetiaan yang luar biasa kepada kepemimpinan dalam untaian figur-figur utama Ahlul Bait as.

Perjuangan di Karbala telah menyematkan namanya dalam sejarah keislaman dan Ahlul Bait Rasul sebagai salah satu pahlawanyang sangat legendaris.   Tentang ini Imam Ali Zainal Abidin Assajjad as berkata, “Sesungguhnya di sisi Allah Abbas memiliki kedudukan (sedemikian tinggi) sehingga seluruh para syuhada cemburu menyaksikannya pada harikiamat.”   Imam Assajad as dalam doanya untuk Abbas as juga berucap, “Ya Allah, rahmatilah pamanku, Abbas.Sesungguhnya dia telah mengorbankan jiwanya untuk saudaranya.”

Sang Purnama Bani Hasyim adalah pria dewasa yang perasaannya dikenal sangat peka. Perasaannya sangat tersayat menakala dia mendengar ratapan kehausan dan tumpahnya darah para pahlawan Karbala. Saat itulah dia semakin merasakan tidak ada gunanya hidup bila tidak dia gunakan untukberjihad membela junjungan dan pemimpinnya, Imam Husain as. Namun, selama terjadi peperanganyang menggugurkan satu persatu dari sahabat dan kerabatnya, yang bisa dia nantikan hanyalah menantiinstruksi Sang Imam.

Dan saat dia mendapat instruksi itu, banyak diantara pasukan musuh yang harusbergelimpangan ditangannya untuk kemudian dia kirim ke neraka jahannam dengan harapan dapatmembalas kebejatan para musuh itu dengan sekuat tenaga.

Dalam penantian instruksi dari saudara sekaligus pemimpinnya itu, kata-kata yang dia ucapkan kepada beliau adalah:   “Kakakku, sudahkah engkau mengizinkan aku?” Pernyataan Sang Purnama ini membuat Sang Imam luluh sehingga menangis tersedu dan berkata: “Adikku, engkau adalah pengibar panjiku dan lambang pasukanku.”   Beliau juga mengatakan: “Engkaulah pemegang panjiku, namun cobalah engkau carikan seteguk air untuk anak-anak itu.”

Hazrat Abbas as lantas mendatangi kelompok Bani Umayyah dan mencoba menasihati mereka kendati Abbas tahu bahwa itu tidak akan mereka dengar. Setelah terbukti nasihat itu sia-sia, dia kembali menghadap Imam Husain as dan mendengar jerit tangis anak-anak kecil yang kehausan memintadibawakan air. Hati Abbas merintih. Sambil menatap langit, bibirnya berucap:   “Tuhanku, Junjunganku, aku berharap dapat memenuhi janjiku, aku akan membawakan satu girbah airuntuk anak-anak itu.”   Abbas kemudian meraih tombak dan memacu kudanya sambil membawa girbah (kantung air dari kulit) menuju sungai Elfrat yang seluruh tepi dijaga oleh sekitar empat ribu pasukan musuh. Begitu Abbas tiba di dekat sungai itu, pasukan musuh itu segera mengepungnya sambil memasang anak panah kebusurnya ke arah adik Imam Husain as tersebut.   Pemandangan seperti itu tak membuatnya gentar.

Begitu beberapa anak panah melesat, Abbas segera berkelit dan bergerak tangkas menyerang musuh.Sekali terjang, pedang Abbas berhasil membabat nyawa sejumlah pasukan. Kemanapun kuda Abbas bergerak, gerombalan musuh bubar dan porak poranda. Akibatnya, penjagaan sungai EFrat yang berlapis-lapis akhirnya jebol diterjang  Abbas.   Sambil menahan letih dan rasa haus yang mencekiknya, Abbas turun ke sungai dengan kudanya. Mula mula dia berusaha cepat-cepat mengisi girbahnya dengan air. Setelah itu dia meraih air dengan telapak tangannya untuk diminumnya. Namun, belum sempat air itu menyentuh bibirnya, Abbas teringatkepada Imam Husain as dan kerabatnya yang sedang kehausan menantikan kedatangannya. Air ditelapak tangannya langsung dia tumpahkan lagi sambil berucap:   “Demi Allah aku tidak akan meneguk air sementara junjunganku Husain sedang kehausan.”

Hazrat Abbas as kemudian berusaha kembali dengan menempuh jalur lain melalui tanah yang ditumbuhi pohon-pohon kurma agar air yang dibawanya tiba dengan selamat ke tangan Imam. Namun,perjalanan Abbas tetap dihadang musuh. Dia tidak diperkenankan membawa air itu kepada Ahlul Nabi tersebut. Kali ini pasukan Umar bin Sa’ad semakin garang. Abbas dikepung lagi. Pasukan yangmenghadang di depannya adalah pasukan pemanah yang sudah siap melepaskan sekian banyak anakpanah untuk mencabik-cabik tubuhnya. Namun, sebelum menjadi sarang benda-benda tajam beracunitu, dengan tangkasnya pedang Abbas menyambar musuh ada di depannya. Sejurus kemudiankep ungan musuh kembali porak-poranda diobrak-abrik Abbas.

Menyaksikan kehebatan Abbas yang tidak bisa dipatahkan dengan berhadapan langsung itu, beberapapasukan penunggang kuda ahli diperintahkan untuk bekerjasama menghabisi Abbas dengan caramenyelinap dan bersembunyi di balik pepohonan kurma. Saat Abbas lewat, dua pasukan musuh bernama Zaid bin Warqa dan Hakim bin Tufail yang juga bersembunyi di balik pohon segera munculsambil menghantamkan pedangnya ke tangan Abbas.   Tanpa ampun lagi, tangan kanan Abbas putus dan terpisah dari tubuhnya. Tangan kirinya segera menyambar girbah air dan pedangnya. Dengan satutangan dan sisa-sisa tenaga itu, Abbas masih bisa membalas beberapa orang pasukan hingga tewas.

Saat itu dia sempat berucap,   “Demi Allah, walaupun tangan kananku telah kalian potong aku tetap akan membela agamaku, membela Imam yang jujur, penuh keyakinan, dan cucu Nabi yang suci dan terpercaya.”   Hazrat Abbas as tetap berusaha bertahan dan menyerang walaupun badannya sudah lemah akibat pendarahan. Dalam kondisi yang nyaris tak berdaya itu, seseorang bernama Nufail Arzaq tiba-tiba muncul bak siluman dari balik pohon sambil mengayunkan pedangnya ke arah bahu Abbas. Abbas taksempat menghindar lagi.   Satu-satunya tangan yang diharapkan dapat membawakan air untuk anakketurunan Rasul yang sedang kehausan itu akhirnya putus.   Dalam keadaan tanpa tangan, adik Imam Husain ini mencoba meraihnya kantung air dengan menggigitnya.

Tapi kebrutalan hati musuh takkunjung reda. Kantung itu dipanah sehingga air yang diharapkan itu tumpah. Air itu pun mengucurhabis seiring dengan habisnya harapan Abbas. Aksi pembantaian ini berlanjut dengan tembusnya satulagi anak panah ke dada Abbas. Tak cukup dengan itu, Hakim bin Tufail datang lagi menghantamkan batangan besi ke ubun-ubun Abbas. Abbas pun terjungkal dari atas kuda sambil mengerang kesakitan dan berteriak :   “Hai kakakku, temuilah aku!”   Dengan sengalan nafas yang masih tersisa Abbas as berucap lagi untuk Imam Husain as:   “Salam atasmu dariku, wahai Abu Abdillah.”

Suara dan ratapan Abbas ini secara ajaib terdengar oleh Imam Husain as sehingga beliaupun beranjak ke arahnya sambil berteriak-teriak: “Dimanakah kamu?” Imam Husain as tiba-tiba dikejutkan oleh kuda Abu Fadhl Abbas yang diberi nama Dzul Janah itu. Secara ajaib kuda itu dapat berucap berucap: “Hai junjunganku, adakah engkau tidak melihat ke tanah?”   Imam lantas melihat ke tanah dan tampaklah di depan mata beliau dua pasang tangan tergeletak di atastanah. Tangan yang dikenalnya segera diraih dan dipeluknya. Tak jauh dari situ pula, Imam melihat tubuh adiknya yang tinggi besar itu tergeletak dalam keadaan penuh luka bersimbah darah. Imam pun tak kuasa menahan duka.

Beliau menangis tersedu dan meratap hingga mengiris hati seluruh hambasejati Allah di langit dan bumi.   “Kini tulang punggungku sudah patah, daya upayaku sudah menyurut, dan musuhku pun semakin mencaci maki diriku.”   Ratap putera Fatimah itu sambil memeluk Abbas, adiknya dari lain ibu. Ditengah isak tangisnya, Imam juga berucap kepada Abbas:   “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, adikku. Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna.”   Jasad Abbas yang tak bertangan itu ternyata masih bernyawa. Mulutnya bergetar dan kemudian bersuara lirih,   “Kakakku, tolong jangan engkau bawa aku ke tenda sana. Sebab, selain aku telah gagal memenuhi janjiku untuk membawakan air kepada anak-anak kecil itu, aku adalah pemegang panji sayap tengah. Jika orang-orang di perkemahan sana tahu aku telah terbunuh, maka ketabahan mereka akan menipis.”

Imam Husain as kembali mendekap erat-erat kepada adiknya yang bersimbah darah itu. Air mata Abbas yang mengalir beliau usap.”Mengapa engkau menangis?” Tanya Imam.   Al Abbas menjawab lirih :   “Wahai kakakku, wahai pelipur mataku. Bagaimana aku tidak akan menangis saat aku melihatmumengangkat kepalaku dari tanah dan merebahkanku dalam pangkuanmu, sementara tak lama lagi tidak akan ada seorangpun yang akan meraih dan mendekap kepalamu, tidak ada seorangpun yang akanmembersihkan debu-debu dan tanah di wajahmu.”

Kata-kata Abbas ini semakin meluluhkan hati Imam Husain as sehingga beliau semakin terbawa derai sak dan tangis haru sambil bersimpuh di sisi adiknya tanpa mempedulikan sengat terik mentari yangmembakar. Dengan hati yang pilu Sang Imam mengucapkan salam perpisahan kepada tulang punggungpasukannya yang sudah tak berdaya itu lalu beranjak pergi dengan langkah kaki yang berat. Abbas pun gugur tergeletak bermandi darah, debu, dan air mata di bawah guyuran cahaya panas mentari sahara.

Ziarah Kubur: Bukan hanya tidak bidah, bahkan sunah


Kenapa orang-orang Syi’ah hobi ziarah ke kuburan orang-­orang suci, apakah itu sunnah?

Ziarah ke pemakaman manusia suci, bahkan ke kuburan umum di setiap kota dan desa, mempunyai macam-macam dampak yang positif dan membangun. Antara Iain:
Ziarah kubur, yang mencerminkan ketidakberdayaan manusia dan kesirnaan kuasa serta fasilitas materialnya, sangat berpengaruh positif bagi kehidupan manusia. Kala menyaksikan pemandangan yang menyesakkan hati ini, setiap orang yang waspada akan merasakan betapa dunia ini cepat berlalu dan sama sekali tidak tetap, karena itu dia segera memikirkan jalan keluar hidupnya dan mencoba untuk mengetahui lebih detil tujuan dari penciptaan alam semesta ini, sehingga dengan cara ini dia berusaha menyelematkan diri dari gelombang kelalaian dan keangkuhan seraya berupaya meraih kebahagiaan akhirat yang kekal.

Dalam hal ini, Rasulullah Saw telah mengingatkan kita semua dengan sabdanya, ‘Pergilah berziarah kubur, karena itu akan mengingatkanmu kepada alam akhirat.’[1] Di kesempatan lain beliau bersabda, ‘Pergilah berziarah kubur, karena di sana terdapat pelajaran untukmu.’[2]

Dampak-dampak positif yang tersebut di atas masih berkaitan dengan kuburan orang biasa, adapun mengenai kuburan orang suci seperi korban perang di jalan Allah Swt maka dampak positifnya jauh lebih besar dari itu. Ziarah ke makam para pejuang yang telah mengorbankan jiwa mereka demi membela kemuliaan bangsa dan cita-cita besar kemanusian Ilahi sungguh lebih mulia daripada ziarah ke makam orang biasa.

Selain berpengaruh dari sisi kejiwaan dan pendidikan, ziarah ke makam syuhada’ di jalan yang benar adalah satu bentuk perjanjian dengan mereka. Seorang peziarah, dengan kehadira nnya di sisi makam syuhada’, menyatakan kesetiaannya di jalan mereka dan berjanji akan senantiasa membela cita-cita suci mereka.
Untuk lebih jelasnya, kami akan membawakan sebuah contoh nyata:
Peziarah Baitullah mengusap Hajar Aswad sebelum bertawaf, dengan meletakkan tangan di atas batu itu dia menyatakan baiatnya kepada Nabi Ibrahim as bahwa dirinya akan tetap teguh di jalan Tauhid dan berusaha untuk menyebarkannya. Karena dia tidak dapat menemui pahlawan tauhid itu secara langsung, maka dia meletakkan tangan di atas peninggalannya dan melakukan baiat kepadanya.

Dalam hadis disebutkan bahwa ketika seorang peziarah Baitullah mengusap Hajar Aswad, hendaknya dia mengucapkan, ‘Aku tunaikan amanat yang ada padaku, dan aku perbarui baiatku agar engkau memberi kesaksian atas itu.’[3]

Ziarah makam syuhada Perang Badar, Uhud, Karbala dan lain sebagainya juga mencerminkan hal yang sama. Dengan hadir di sisi kuburan mereka dan mengucapkan salam kepada arwah suci mereka, para peziarah berjanji akan meneruskan jalan yang telah mereka tempuh. Dengan kata lain, ziarah makam syuhada adalah satu bentuk penghormatan terhadap mereka, dan mengingat bahwa syuhada mengorbankan nyawa demi cita-cita dan nilai-nilai tertentu maka siapa pun yang menghormati mereka pada hakikatnya juga menghormati cita-cita suci mereka dan memandang dirinya sebagai penerus jalan mereka.

Ziarah Kubur Nabi Muhammad Saw
Ziarah ke makam Rasulullah Saw atau pengganti suci beliau juga selain berarti penghargaan dan terimakasih atas pengorbanan mereka dalam memberi hidayah kepada umat manusia, adalah satu bentuk baiat atau perjanjian dengan mereka. Imam Ali bin Musa Ridho as di salah satu sabdanya mengenai ziarah kubur manusia suci as berkata, ‘Setiap imam punya perjanjian yang harus ditepati oleh para pecinta dan Syi’ahnya, dan ziarah kubur imam adalah bagian dari penunaian janji itu.’[4]

Dengan demikian, seorang peziarah ketika berkunjung ke kuburan Nabi Muhammad Saw atau imam-imam suci as pada hakikatnya dia sedang berjanji kepada mereka bahwa dalam hidupnya tidak akan menempuh jalan selain jalan yang telah mereka tunjukkan.

Secara bahasa tindakan, peziarah kubur Nabi Muhammad Saw ingin mengatakan bahwa, ‘Wahai Rasulullah! Bila sahabat Muhajirin dan Ansar berbaiat kepadamu di Hudaibiyah untuk membela risalahmu,[5] bila sahabat wanita mukmin Mekah berbaiat kepadamu untuk menghindari kesyirikan dan dosa,[6] dan bila orang-orang mukmin yang berbuat dosa diperintahkan untuk datang ke sisimu dan memohon doa kepadamu agar mendapat ampunan Allah Swt,[7] maka dengan hadir di sisi kuburanmu dan menyentuh tanah makammu, wahai Rasul yang mulia dan pemberi syafaat umatnya! Aku juga berbaiat kepadamu untuk membela norma-normamu dan menjauhi kesyirikan serta dosa yang lain, karena itu pula aku mohon doa kepadamu agar mendapat ampunan Ilahi.’

Mengingat bahwa seluruh mazhab Islam meyakini kesunnahan hukum ziarah kubur, maka di sini kami tidak menukil hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah ini. Bahkan Nabi Muhammad Saw sendiri terkadang pergi ke Pemakaman Baqi’ dan setiap kali sampai ke sana beliau berkata kepada ahli kubur, ‘Salam untuk kalian wahai penghuni rumah orang-orang yang beriman. Esok, Allah Swt pasti memberikan apa yang telah Dia janjikan kepada kalian. Kalian sekarang sedang berada di antara kematian dan kebangkitan, dan kita juga pasti bergabung dengan kalian. Ya Allah! Ampunilah penghuni kuburan Baqi’ yang mulia.’[8]

Referensi:
[1] Sunan Ibnu Majah, jld. 1, hal. 500, hadis no. 1569.
[2] Kanz Al-‘Ummal, jld. 1, hal. 647, hadis no. 42558.
[3] Wasa’il Al-Syi’ah, jld. 1, hal. 400, bab 12 dari bab-bab tawaf, hadis no. 1.
[4] Ibid., hal. 346, bab 44 dari bab-bab ziarah, hadis no. 2.
[5] Lihat: QS. Al-Fath [48] : 18.
[6] Lihat: QS. AJ-Mumtahanah [60] : 12.
[7] Lihat: QS. Al-Nisa’ [4] : 64.
[8] Shohih Muslim, jld. 3, hal. 63, kitab jenazah.

Mengapa heran melihat Syiah sujud di atas tanah Karbala?


Gugatan lain yang muncul sekitar masalah sujud para penganut mazhab Syiah adalah kenapa orang-orang Syi’ah Imamiyah memilih tanah Karbala dari sekian tanah yang ada di muka bumi dan mereka mengutamakan sujud di atas tanah itu daripada yang lain, kenapa mereka membawa belahan tanah itu ke masjid-masjid, ke rumah, dan ketika dalam perjalanan?

Sudah barang tentu tempat sujud harus suci, dan berhubung tidak mungkin dipastikan bahwa seseorang dalam kondisi apa pun dapat sujud di atas bumi (tanah, batu atau semacamnya) yang suci, maka sebagaimana yang telah dilakukan oleh salah satu tokoh tabi’in bemama Masruq bin Ajda’, dia baisa membawa sepotong tanah suci ke mana dia pergi, sehingga dengan demikian dia senantiasa dapat bersujud di atas tanah yang suci. Hal itu sama dengan orang musafir yang membawa tanah agar kapan saja dia harus bertayamum niscaya dia dapat melakukannya dengan tanah tersebut.

Adapun kenapa tanah Karbala yang dipilih oleh orang syi’ah di antara sekian tanah yang ada, jawabnya adalah ketika seorang pelaku shalat meletakkan dahi di atas tanah suci Karbala niscaya dia mengingat pula pengorbanan luar biasa pahlawan sejarah dari keluarga suci Rasulullah Saw bernama Imam Husain as, dimana beliau telah mengorbankan nyawa, harta dan anak-anaknya demi kemuliaan Islam seraya tidak sudi berada di bawah kezaliman dan mengajarkan kemerdekaan serta kecemburuan Islami yang sesungguhnya kepada seluruh umat manusia.

Perlu digarisbawahi bahwa sujud seseorang di atas tanah Karbala Imam Husain as bukan saja ticlak bertentangan dengan jalur tauhid, bahkan hal itu akan menambah keikhlasan kepada sujudnya dan mempersiapkan dia untuk pengorbanan di jalan agama Islam, dimana shalat aclalah satu satu bagian yang tak terpisahkan darinya.

Seorang tabi’in bemama Ali bin Abdillah bin Abbas menul­iskan surat kepada Razin, ‘Kirimkanlah sepotong batu dari batu-batuan Gunung Marwah, sehingga aku bisa bersujud di atasnya.’[1]

Permintaan itu dilatarbelakangi oleh kenyataan Gunung Marwah sebagai saksi pengorbanan dari seorang perempuan mukmin dalam rangka menyediakan air, dia berlari-lari kecil di antara dua gunung Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali dan menanggung berbagai kesulitan di jalan Allah Swt.

Syaikh Thusi meriwayatkan sebuah hadis dari Muawiyah bin Ammar bahwa Imam Ja’far Shadiq as mempunyai kantong berwama kuning dari jenis kain Diba, beliau menyimpan tanah Imam Husain as di dalam kantong itu, dan ketika shalat beliau menaburkan tanah itu di atas sajadah serta sujud di atasnya.[2]

Orang yang menyebut sujud di atas tanah Karbala sebagai sebuah penyembahan aclalah orang yang tidak bisa memilah antara ‘yang sujud untuknya’ dari ‘yang sujud di atasnya’, dalam kondisi apa pun sujud hanyalah untuk Allah Swt dan Dia-lah ‘Yang sujud untuk-Nya’, adapun sesuatu yang menjadi tempat dahi bersujud adalah ‘yang sujud di atasnya'; baik itu berupa tanah atau karpet, tanah Karbala atau tanah Madinah dan batu Gunung Marwah.

Referensi:
[1] Azraqi, Akhbore Makkeh, jld. 3, hal. 151.
[2] Hur Amili, Wasa’il Al-Syi’ah,jld. 3, hal. 608, bab ke-16 dari bab-bab tentang apa yang sah untuk sujud di atasnya.

Makna Asyura bagi Ahlusunnah dan Syi’ah


Teks: Dr. KH. Said Aqil Siradj
Kita semua telah mengetahui bahwa cucu Rasulullah Saw dari Sayyidah Fathimah az-Zahra yaitu Al Hasan dan Al Husain, keduanya akan menjadi pemimpin pemuda surga, dua orang pemuda yang sudah dipastikan masuk surga. Hendaknya umat Islam mencontoh dan mengambil teladan dari kedua tokoh tersebut, dari kedua pemimpin kita semua. Baik dilihat dari nash Al Quran dan Al Hadits maupun dilihat dari sejarah, kita seharusnya menghayati apa arti Asyura, apa arti peristiwa Karbala ini sebagai mas’alatil Islam wal muslimin, sebagai tragedi yang menimpa umat Islam dan ajaran Islam itu sendiri.
 Walaupun ada beberapa pihak yang tidak senang dengan adanya acara ini, itu karena mereka melihatnya dengan sepotong-sepotong, hanya melihat dari aspek politik saja. Tetapi bagi kita yang masih memiliki hati nurani yang ikhlas dan iman yang cukup ideal, kita mencintai hari ini, acara ini, bukan karena kepentingan, politik, target, atau apapun yang bersifat duniawi, tapi kita betul-betul melihat peristiwa Karbala sebagai peristiwa adzim, salah satu peristiwa agama. Sama seperti peristiwa lahirnya Nabi Muhammad, Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Yaumil Arafah, demikian pula peristiwa Karbala merupakan peristiwa agama.

Syekh Abdul Qadir Jailani, dalam kitabnya yang berjudul Al Ghunyah, mengatakan bahwa Asyura itu termasuk ‘Asyirul Karomah (hari berkeramat yang ke-10). Peristiwa Asyura disejajarkan dengan peristiwa Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Maulidil Rasul, Isra dan Mi’raj, Yaumil Arafah, Lailatul ‘Idain (Idul Fitri dan Idul Adha), dan termasuk yang ke-10 adalah hari yang penuh keramat, penuh kemuliaan bagi umat Islam, yaitu hari Karbala. Artinya, memperingati peristiwa Karbala bukan milik kelompok tertentu, dalam hal ini Syiah, tetapi milik kita semua sebagai umat Islam, terlebih lagi milik NU. NU seharusnya berada di depan, menjadi pelopor dalam memperingati acara ini. Syiah merupakan kelompok minoritas di negeri ini, sedangkan NU adalah kelompok terbesar, jadi seharusnya merasa memiliki hari ini.

Kita seharusnya berkewajiban dan merasa terpanggil untuk menghidupkan acara Madrasatil Karbala, karena merupakan peristiwa besar dalam agama Islam. Cucu Rasulullah Saw, yang ketika masih kecil selalu digendong dan diciumi oleh beliau, bersama seluruh rombongannya, keluarganya, putra-putranya, laki-laki dan perempuan, semuanya dibantai dan disembelih, dibunuh dengan sangat sadis di padang Karbala. Yang selamat hanya dua orang, yaitu Sayyidah Zainab dan Imam Ali Zainal Abidin. Itupun karena Imam Ali Zainal Abidin sedang sakit dan ditunggui oleh Sayyidah Zainab, sehingga mereka tidak keluar dari kemah. Seandainya beliau tidak sakit dan keluar dari kemah, tentulah Ahlul Bait sudah habis.

Ini adalah suatu kekejaman yang luar biasa, suatu peristiwa besar yang luar biasa, tidak kalah dengan peristiwa agama Islam yang lain. Hendaknya kita sebagai masyarakat Nahdatul Ulama, sebagai pengikut Ahlusunnah, yang arti sebenarnya adalah yang selalu berjalan di atas garis Rasulullah, peduli dengan hari yang sangat memilukan ini. Kita tidak perlu melihat dengan kaca mata politik, karena dalam politik selalu ada dampak kepentingan yang nantinya akan menimbulkan fanatisme kelompok, kemudian timbul fitnah, dan seterusnya.

Marilah kita berkumpul dalam Madrasatil Karbala ini dengan tulus ikhlas, menghidupkan hari pengorbanan yang besar dari cucu Rasulullah Saw. Tanpa ada pengorbanan, agama apapun, perjuangan apapun, idealisme apapun, tidak akan terwujud. Pengorbanan itu baik dalam bentuk jiwa, tenaga, maupun harta. Islam dibesarkan oleh Allah melalui wasilah, perantara, darah-darah syuhada yang dikorbankan dengan sangat murah, antara lain dalam perang Badar, Uhud, dan peperangan lain. Dan juga yang sangat mengejutkan adalah darah Imam Husain yang dibantai di padang Karbala. Hal ini harus menjadi catatan sejarah yang betul-betul masuk dalam keimanan kita.

Oleh karena itu, di Timur Tengah, seperti di Mesir yang mayoritasnya Ahlusunnah, apalagi di Iran dan Irak, sudah menjadi budaya untuk memperingati hari ini secara besar-besaran. Pengorbanan yang telah dicontohkan oleh Imam Husain, hendaknya menjadi contoh bagi kita semua.

Agama Islam sebenarnya merupakan amanat yang digantungkan pada leher kita semua. Apabila kita tidak merasa demikian, maka kita tidak akan terpanggil, tidak akan peduli, tidak akan semangat, tidak akan mempunyai motivasi dalam perjuangan agama. Tentunya bukan berarti kita harus berperang, tetapi kita dalam memperjuangkan kebenaran pasti ada tantangan. Jika ada tantangan pasti ada upaya, perjuangan, rasa lelah, prinsip yang kuat, dan sikap yang tegar dalam menghadapinya. Tanpa itu semua, jangan harap Islam bisa diperhitungkan. Yang ada hanyalah Islam turunan, Islam KTP, Islam yang terbawa oleh lingkungannya.
Hal ini berarti, bahwa setiap umat Islam harus mempunyai visi ingin mengubah atau ingin melakukan sesuatu yang bisa mengubah keadaan yang tidak baik atau tidak benar. Setiap kali kita melihat kejelekan atau kerusakan, kerusakan masyarakat atau kerusakan sosial, kita harus terpanggil ingin mengubah hal itu menjadi baik. Sudah tentu tidak harus dengan kasar atau kekerasan, tapi kita mempunyai tujuan ingin mengubah keadaan yang buruk ini.

Jika masyarakat sudah rusak, terjadi bentrok antar masyarakat, antar kelompok, apalagi sesama umat Islam, pejabat melakukan KKN, para kyai bertengkar, kaum mudanya terbawa arus entah kemana, kemungkaran merajalela, kebohongan dan fitnah mudah sekali timbul sesama Islam, maka kita harus mempunyai niat untuk mengubahnya. Hal seperti ini jangan sampai berlanjut dan harus kita ubah. Caranya jangan dengan kekerasan, tapi harus dengan ketegasan. Itulah salah satu pelajaran yang diambil dari peristiwa Karbala.
Imam Husain meninggalkan Madinah dan Mekah pada musin haji yang ramai dengan orang yang melaksanakan ibadah haji. Betapapun pentingnya ibadah haji, tetapi jika hanya dipandang sebagai rutinitas, sebagai hal yang biasa, maka tidak ada artinya, tidak akan mengubah sesuatu. Seseorang, asal memiliki uang, tiap tahun dapat melaksanakan ibadah haji. Akan tetapi, adakah perubahan bagi diriya, bagi lingkungannya, dan bagi masyarakatnya? Tidak ada sama sekali!

Sedangkan Imam Husain meninggalkan umat Islam yang akan berhaji, dan berangkat menuju Irak. Yang terlihat seolah-olah beliau meninggalkan kegiatan ibadah haji, salah satu rukun Islam, bersama seluruh keluarga dan pengikutnya Tetapi, bagi orang yang mengerti, tujuannya adalah ingin mengubah, ingin melakukan perubahan, jika perlu dengan berkorban, dan ternyata beliau betul-betul berkorban. Inilah orang yang betul-betul memiliki spiritual quotient (kecerdasan spiritual).

Jika hanya IQ (intelegent quation) saja yang dipedulikan, maka akibatnya seperti yang sering terjadi di Jakarta, orang-orangnya ber-IQ tinggi, tetapi juga pandai korupsi. Sedangkan di desa, orang-orangnya tidak pandai, IQ-nya rendah, tapi akhlaknya lebih baik. Jika IQ-nya tinggi, cerdas, tapi moralnya bejat, maka yang tejadi adalah kerusakan seperti situasi saat ini. Yang bisa mengubah keadaan ini adalah orang yang memiliki SQ (spiritual quotient) atau dzaka’irruh, dengan menggunakan salah satu sel yang ada dalam saraf yang disebut God’s Spot (titik Tuhan), atau istilah agamanya bil khusyu’ wal khudu’ wa tadhorru’. Bagaimana kita mengupayakan titik Tuhan kita agar selalu “on”, selalu aktif, menyala, dan mempunyai daya kekuatan yang tajam, sehingga kita mampu mengubah keadaan ini. Hal ini dicontohkan oleh Imam Husain ra, yang ingin mengubah keadaan yang sudah sangat parah dan tidak bisa ditolerir, walaupun beliau harus meninggalkan acara seremonial besar yaitu ibadah haji.

Perubahan yang dicita-citakan oleh Al Husain, bukan hanya perubahan politik (siyasah), tetapi yang paling penting dan mendasar adalah inovasi atau meningkatkan kualitas iman dan akhlaqul karimah. Bukan hanya ingin menjatuhkan Yazid, kemudian beliau menjadi khalifah, tetapi cita-cita yang beliau inginkan adalah bagaimana umat Islam betul-betul menjalankan sunnah Rasul Saw. Jika kita ingin menganggap diri kita Ahlusunnah wal jamaah, maka masing-masing diri kita harus mempunyai visi demikian.

Oleh karena itu, yang perlu kita tekankan dalam Madrasatil Karbala ini adalah, aktivitas budaya, gerakan moral dan akhlak, gerakan tsaqafah tarbawiyyah, meningkatkan pendidikan, wacana, dan intelektualitas kita. Selain itu juga gerakan moral, spiritual, rohani, dan menunjukkan bahwa kita adalah kelompok yang memiliki akhlaqul karimah, yang kepribadiannya tegar dan imannya besar, tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh keadaan sekarang ini. Itulah yang kita harapkan dari Madrasatil Karbala ini, dan sama sekali tidak mempunyai target politik, atau acara-acara yang berbau politik.

Mari kita tunjukkan kepada umat Islam yang lain, yang masih belum paham, apalagi yang masih su’udzon kepada kita. Kita tunjukkan bahwa kita benar-benar murni dan ikhlas, tidak memiliki target, bukan gerakan politik, tapi kita ingin membangun kepribadian muslim sunni yang betul-betul sunnaturrasul wa min haajihi. Itulah yang kita harapkan.

Dari aspek budaya, sebenarnya pesantren NU adalah orang-orang yang paling mencintai Ahlul Bait, bahkan boleh dibilang “sudah menjadi Ahlul Bait”, hanya secara ilmiah kita tidak mengetahuinya. Akan tetapi, tanpa terasa, kita para santri sudah menjadi Ahlul Bait. Para sufi, para tarekat tasawuf, semuanya sudah menjadi Ahlul Bait. Hal itu dilihat dari bacaan tawasul yang setiap hari dibacakan dalam Al Fatihah, ila hadrati Nabi Muhammad. Setelah itu barulah para guru sufi, yang silsilah tasawufnya apa saja, kecuali Naqsyabandiyah, pasti melalui Sayyid Tho’ifah, Al Imam Abul Qasim Muhammad al- Junaidi al-Baghdadi yang wafat tahun 297 H. Imam Junaidi ini murid dari Sirri Assaqathi murid dari Ma’ruf Al Qarhi yang wafat tahun 200 H, yang masuk Islam di tangan imam ke delapan Ahlul Bait, Imam Ali al-Ridha bin Imam Musa al-Kadzim bin Imam Ja’far ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husain bin Imam Ali bin Abi Thalib.

Pertama kali laqab sufi diberikan kepada Jabir bin Hayyan al-Azdi yang lahir tahun 100 H dan wafat tahun 160 H. Beliau adalah murid Imam Ja’far as-Shadiq. Setiap akan mengadakan eksperiman, Jabir bin Hayyan yang ahli kimia dan metematika (beliau pencetus ilmu aljabar), pasti melakukan shalat malam terlebih dahulu, kemudian pagi harinya isti’dzan (permisi) dahulu kepada Imam Ja’far as-Shadiq. Jadi, hubungan antara tasawuf dan Ahlul Bait kental sekali.

Belum lagi puji-pujian yang dibaca orang-orang NU jika terjadi wabah seperti cacar atau penyakit menular lain, mereka pasti bertawasul dengan ahli kisa. Sejarah ahli kisa ini yaitu ketika Rasulullah mengadakan mubahalah (saling melaknat dan yang salah akan binasa). Nabi menggelar sorbannya, dan di dalamnya berkumpul lima orang yaitu Rasulullah, Sayyidina Ali, Sayyidah Fathimah, Al Hasan dan Al Husain. Kaum Nasrani ternyata tidak berani melakukan mubahalah, seperti terdapat dalam Al Quran surat Ali Imran. Kelima ahli kisa ini, menurut para kyai, bisa menolak tho’un yaitu menolak penyakit yang merajalela.

Bunyinya : li khamsatun utfi biha …

Jika kita sudah biasa bertawasul seperti itu, mana mungkin tidak mengenal Ahlul Bait, maupun peristiwa Karbala. Itulah kelemahan kita, para Nahdiyin. Lain halnya dengan pengikut ormas lain yang tidak pernah melakukan hal itu, wajar saja jika tidak mengenal mereka. Jika sejak kecil tidak mengenal pesantren, tidak mengenal wirid, dzikir, maulid diba’, dan barzanji, bisa dimaklumi. Sedangkan kita yang sudah biasa melakukan hal itu, tidak pantas jika tidak mengenal Ahlul Bait.

Salah satu tradisi yang sering kita lakukan adalah membaca diba’ barzanji dalam acara tasyakuran (selamatan), atau kegiatan lain yang bernafaskan Islam. Barzanji merupakan karangan Abu Ja’far al Barzanji dari Turki, yang mengirimkannya kepada raja Islam di Aceh, dan ditukar dengan sebuah kapal bermuatan cengkeh. Di dalam maulid barzanji tersebut terdapat kalimat yang menyebutkan bahwa Ahlul Bait adalah amanul ardhi, yang memelihara dan menciptakan stabilitas di muka bumi (yang dalam bahasa Jawa disebut Paku Buwono, Hamengku Buwono, Mangku Bumi, atau Paku Alam), yang selalu kita baca dan kita muliakan, serta kita cari barakah dan syafaatnya. Kita harus benar-benar peduli dan bertanggung jawab atas perjuangan Ahlul Bait, jika kita benar-benar mencintai Rasulullah Saw. Bacaannya sudah kita baca, tinggal penghayatan, aplikasi, dan implementasinya belum mampu kita realisasikan.

Bagi NU, tidak ada masalah dengan Madrasatil Karbala, justru sangat senang dan menghormati, serta mendukung minimal dengan kata-kata. Acara ini sangat bagus dan mulia, dan merupakan langkah pertama untuk membangkitkan kembali semangat Islam yang sangat esensial, bukan hanya semangat Islam yang dilakukan dengan kekerasan, tapi tujuan kita lebih dari itu, lebih bernilai dan mulia. Kita ingin mencontoh dan mengambil hikmah, bahkan mengikuti, apa yang telah dilakukan oleh Sayyidina Husain bin Ali.

Kesimpulan dari apa yang telah saya sampaikan adalah,
pertama, bahwa Madrasatil Karbala merupakan simbol perjuangan dan pengorbanan Ahlul Bait. Mari kita menjadikannya sebagai hari yang mulia, seperi yang dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani, ‘Asyirul Karamah (hari berkeramat yang ke-10), sejajar dengan hari-hari mulia lainnya. Kegiatan ini hendaknya kita lanjutkan, karena langkah ini sangat baik sekali.

Kedua, hendaknya pertemuan kita dalam Madrasatil Karbala ini menghasilkan upaya yang sinergi, perjuangan yang menyatu, menjadi sentra persatuan bagi semua pihak. Apapun latar belakangnya, dari pesantren, sekolah, pegawai, mandor, dan lain-lain, semuanya hendaknya hadir dalam Madrasatil Karbala, tidak hanya kelompok elit atau kelompok orang yang sudah bisa membaca Al Quran saja, tetapi menyeluruh bagi semua lapisan masyarakat.

Itulah salah satu perjuangan para aulia’ terutama Ahlul Bait, sehingga mencapai keberhasilan. Sebagaimana para Wali Songo, mereka termasuk keturunan Ahlul Bait. Kunci-kunci perjuangan Islam di pulau Jawa ada di tangan mereka, dengan pendekatan budaya dan tangan terbuka, dengan pendekatan moral, bukan pendekatan politik.
Kerajaaan Majapahit yang awalnya dipertahankan oleh masyarakat Jawa akhirnya mereka tinggalkan. Sewaktu Majapahit diserang oleh orang Islam, mereka bertahan, sehingga menyebabkan gugurnya lima orang kyai di pintu gerbang Majapahit (Syekh Abdul Qadir Assini, Syekh Ibrahim as-Samarkandi, Syekh Jumadil Qubra, Syekh Utsman al-Hamadani, Syekh Marzuki). Mereka ingin menyerang Majapahit dengan kekerasan, tetapi gagal karena rakyat mempertahankan Majapahit yang merupakan simbol kebesaran Jawa. Tetapi, dengan pendekatan Ahlul Bait, dengan cara tsaqafah, pendidikan, moral, pergaulan yang baik, akhlaqul karimah, bahkan melalui seni, akhirnya lama-kelamaan tanpa paksaan masyarakat Majapahit berbondong-bondong masuk Islam.
 Sampai-sampai orang Jawa sendiri mengakui, “suro diro joyoningrat lebur diningpangastuti”, keningratan orang Jawa hancur lebur oleh kebersihannya orang santri. “Sirno ilang kertaning bumi”, kebesaran Jawa hilang ditelan bumi. Kerajaan Majapahit, imperium yang sangat besar bahkan sampai ke Kolombo dan Philipina Selatan, kini tidak ada lagi, hanya sedikit sekali peninggalannya Seluruh Jawa akhirnya masuk Islam. Sehingga Sunan Ampel mengizinkan muridnya yaitu Raden Fatah mendirikan kerajaan Islam yang pertama di Demak. Itulah hasil perjuangan dengan pendekatan moral, akhlak, dan pendidikan, yang dilakukan oleh Ahlul Bait, dalam hal ini Wali Songo.
Coba bandingkan dengan kerajaan Islam di Spanyol yang berkuasa selama 800 tahun dan sudah melahirkan ulama-ulama besar seperti Ibnu Malik seorang pengarang Alfiyah, Ibnu Arabi seorang sufi besar, Syathibi ahli qiraat, Ibnu Hazm, Ibnu Zaidun seorang sastrawan, dan lain-lain. Kerajaan ini hilang dan tidak ada bekasnya sama sekali, bahkan masjid yang terbesar, Cordoba, sudah kembali menjadi gereja. Makam khalifah dan istrinya sudah digali dan tulang-tulangnya dibakar oleh pasukan Isabela.
Padahal kerajaan itu dahulu begitu besar dan kuat, melahirkan suatu peradaban yang besar, bahkan menjadi pintu gerbang ke Eropa, dan banyak kata-kata Arab yang masuk ke Eropa melalui Spanyol. Mengapa demikian? Setelah dianalisa dan direnungkan, selama 800 tahun pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, tidak pernah ada raja yang menghormati Ahlul Bait.
Sebaliknya, di Indonesia, meskipun belum melahirkan ulama-ulama besar seperti di Spanyol, tetapi Islamnya masih bertahan. Inilah bi barakati Ahlul Bait, karena umat Islam di Indonesia masih menghormati Ahlul Bait. Tentu ini hanyalah tinjauan spiritual. Analisa yang dilakukan bukan analisa rasional, tetapi analisa metafisis. Islam saat ini sudah semakin mantap dan menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Kita ketahui bahwa Dinasti Bani Umayyah yang sudah begitu banyak merekayasa sejarah hanya berkuasa selama 70 tahun, berakhir tahun 112 H dan diganti dengan dinasti Bani Abbasiyah. Dalam masalah seperti ini, orang-orang yang rasional terkadang tidak percaya bahwa ada barakah, ada faktor x yang bersifat metafisis dan supranatural, yang tidak bisa dilihat dengan mata kasat. Hal itu tidak bisa dilihat dengan bashar tapi harus dengan bashirah, tidak bisa dipikirkan tapi harus ditafakuri, tidak bisa dengan akal tapi dengan ta’aqqul, tidak bisa dengan mantiq tapi dengan dzauq, tidak bisa dengan logika tapi dengan intuisi. Kita harus memahami itu semua.
Mudah-mudahan, dengan berkumpulnya kita di tempat ini dengan niat yang tulus ikhlas, bukan karena kepentingan apapun, kita semua mendapatkan barakah dan syafaat dari Ahlul Bait. (*)

Hitam Tak Hanya Duka


Perjalanan gaun hitam melewati batas waktu dan kelas. 
OLEH: MIRA RENATA/KONTRIBUTOR

HITAM dan dukacita sejak lampau tak terpisahkan. Kebiasaan berbusana hitam dalam perkabungan, menurut Françoise Piponnier dan Perrine Mane dalam Dress in the Middle Ages, berawal dari Spanyol pada abad pertengahan yang kemudian ditiru oleh para bangsawan Prancis dan Inggris. Salah seorang di antaranya Phillip the Good (Duke of Burgundy) yang bersikeras mengenakan hitam sejak terbunuhnya sang ayah, John the Fearless, pada 1419 hingga akhir masa pemerintahannya pada 1467. Tak hanya itu, kereta kuda, rombongan pengawal, dan kediamannya juga berornamen hitam.

Eropa pada abad pertengahan memiliki peraturan tata-cara anggota masyarakat bertingkahlaku sesuai hierarki (dikenal sebagai sumptuary laws). Menurut peraturan, pemakaian busana berkabung hitam terbatas hanya untuk kaum ningrat. Para janda bangsawan wajib mengenakan gaun, penutup kepala, dan kerudung hitam ketika muncul di tempat-tempat umum. Ratu Prancis Catherine de Medici, dalam salah satu lukisan potret setelah suaminya, Raja Henry II,  meninggal pada 1559, dilukis dalam gaun berkabung hitam dengan bordir bulu putih di lengan, lengkap dengan perhiasan dan tudung kepala hitam bermahkota. Kebiasaan mengenakan busana serupa konon berlangsung hingga ketiga putranya melanjutkan tahta kerajaan.

Eksklusivitas busana berkabung hitam oleh kelas ningrat mencair seiring kemunculan kelompok pedagang kaya Eropa akibat perkembangan industri dan perdagangan pada abad ke-17 dan 18. Sebagai sebuah kelas baru yang berpengaruh, para pedagang dan keluarga berupaya keras mengukuhkan identitas mereka. Gaya berbusana meniru para bangsawan, termasuk dalam perkabungan, menjadi salah satu tolok ukur mereka.
Hitam tak selalu terkait kematian. Berbagai tradisi budaya mengartikan hitam secara berbeda. Michel Pastoureau dalam Black: the History of a Color menulis bahwa bangsa Mesir kuno memandang hitam sebagai warna kesuburan, serupa lumpur Sungai Nil.

Hitam juga memiliki konotasi kesucian spiritual. Dalam Seeing through Clothes, Anne Holander menyebutkan tiga ordo Katolik yang mengenakan hitam: baik hitam keseluruhan seperti Ordo Benedictines (abad ke-1) maupun kombinasi hitam-putih Ordo Augustinian (abad ke-13) dan Dominican (abad ke-15). Ketika Oliver Cromwell, seorang Kristen puritan, memerintah Inggris pada 1653-1658, dia melarang warganya hidup bersenang-senang, termasuk berpakaian warna-warni. Warga perempuan diharuskan memakai gaun hitam  panjang yang menutup leher hingga mata kaki, dengan celemek putih dan penutup kepala putih.

Interpretasi hitam sebagai mode busana dimulai sejak abad pertengahan. “Citarasa Spanyol, dengan akar gaya Burgundi, menyebarkan pengaruhnya ke Eropa, serta diikuti oleh Belanda yang mengadaptasi Spanyol; keduanya sangat terbuka akan keindahan suram warna hitam; walau mereka masih terpaku dengan hitam diselingi sedikit putih di bagian leher,” tulis Holander.  

Hitam sebagai mode busana, khususnya perempuan, kian berkembang pada abad ke-19Beberapa edisi La Belle Assemble, sebuah majalah perempuan terbitan Inggris dengan sirkulasi ke wilayah Eropa dan Amerika, memuat popularitas hitam dalam gaun, ikat pinggang, dan topi perempuan. “Gaun-gaun yang digemari terbuat dari beludru hitam yang dipotong pendek, mengembang dengan lipitan brokat hitam. Lipitan brokat ini juga dijahit di ujung hem…, dipadukan dengan lapisan gaun satin putih dikenakan di bawah bahan beludru…” demikian sepenggal deskripsi artikel berjudul “Costume of Paris” dalam majalah tersebut edisi Februari 1823. 

Namun gaun malam hitam cukup berisiko, terutama di mata sekelompok masyarakat Barat abad ke-19 yang konservatif. Karena dianggap kurang sopan, perempuan bergaun malam hitam mendapat “sanksi” dari lingkaran sosialnya. “Kasihan Ellen,” ujar Nyonya Archer singkat; kemudian dengan penuh simpatik menambahkan: “Kita harus selalu mengingat lingkungan eksentrik Medora Manson yang membesarkannya. Apa yang dapat kita harapkan dari seorang perempuan yang diizinkan mengenakan gaun satin hitam dalam perayaan menyambut masa dewasanya?” Itulah sekilas sindiran halus mengenai gaun hitam dan kepantasan sikap seorang perempuan oleh kelas atas New York pada akhir abad ke-19 dalam novel Edith Wharton, The Age of Innocence.

“Skandal” gaun malam hitam bagi perempuan juga terjadi pada 1884 lewat lukisan Portrait of Madame X oleh pelukis John Singer Sargent. Subjek lukisan adalah Madame Pierre Gautreau. Terpukau oleh kecantikannya, Sargent membujuk lewat berbagai cara agar sang bangsawan bersedia dilukis. Di versi awal lukisan, Madame Gautreau mengenakan gaun malam hitam berpotongan leher bentuk hati, dengan salah satu tali gaun terjatuh di pundaknya.

Ketika lukisan tersebut dipamerkan di Salon, Paris, masyarakat luas termasuk sanak-keluarga Gautreau bereaksi keras terhadap pose dan gaun Madame Gautreau yang dianggap sugestif.  Untuk mengurangi efek kemarahan publik, Sargent memperbaiki lukisan tali gaun menjadi pas di pundak.

Gaun hitam mengalami redefinisi pada awal abad ke-20 seiring perubahan peran sosial perempuan di Barat. Tahun 1920 khususnya menjadi tonggak pergerakan kaum perempuan di Amerika dengan pengakuan hak istri sebagai pemilik properti serta hak perempuan berpartisipasi dalam pemilihan umum. Era baru ini diiringi peningkatan daya beli dan konsumerisme massa, yang mendorong industri busana siap pakai.

Ketika perancang Coco Chanel mendesain gaun hitam, dia menerjemahkan semangat era tersebut. Di tangannya, gaun hitam menjadi busana siang dan malam yang memudahkan perempuan beraktivitas. Ilustrasi gaun hitam selutut berlengan panjang Chanel terbit di majalah Vogue Amerika edisi 1 Oktober 1926. Vogue memuji kesederhanaan sekaligus potensi pasar rancangan Chanel, yang disejajarkan dengan mobil Ford. “Busana ‘Ford’ Chanel, seluruh dunia akan memakainya, adalah model 817 dari bahan crepe de chine hitam…”

Pamor gaun hitam Chanel yang kemudian dikenal luas sebagai “little black dress” memuncak pada 1961. Artis Audrey Hepburn mengenakan gaun hitam rancangan Hubert de Givenchy dalam film Breakfast at Tiffany’s. Keanggunan Hepburn dalam balutan little black dress seketika menjadi panutan mode busana dan terus berdampak hingga kini. Gaun hitam, dalam berbagai model dan bahan, kini menjadi pilihan banyak perempuan dalam menghadiri acara formal maupun sosial. Saking populer, Oxford Dictionary of English memasukkan little black dress sebagai kata baru dalam edisi ketiga pada Agustus 2010.

Gaun hitam hingga little black dress yang massal telah mendobrak dominasi mode berbusana. Georg Simmel, sosiolog dan filsuf Jerman, dalam esai‘The Philosophy of Fashion’ mengatakan, “mode selalu berdasarkan kelas… kelas atas membedakan mode mereka dengan kelas lebih rendah, dan mereka akan segera meninggalkannya sesaat setelah kelas di bawahnya mencoba mengikuti.” Namun Simmel juga meyakini keberadaan sebuah keindahan yang klasik, yang menurutnya “bersifat kolektif dan tidak menimbulkan banyak perubahan.”

Little black dress adalah salah satu bukti keindahan klasik sepotong gaun melintasi batas kelas dan waktu.

Kejadian-kejadian Aneh Pasca Terbunuhnya Al-Husein(Cucu Nabi saw) as di Medan Karbala’


*Ketika Al-Husain as. terbunuh, di sudut-sudut langit terlihat warna warna kemerahan. Warna merah itu menandakan bahwa langit tengah menangis. Sewaktu pasukan musuh membagi-bagikan sejenis tumbuhan berwarna kuning milik Al-Husain as., tumbuhan itu berubah menjadi abu. Dan sewaktu mereka menyembelih seekor unta yang dirampas dari kamp Al-Husain as., mereka menemukan sejenis kayu di dagingnya.
Hal ini disebutkan di buku-buku berikut ini:
Maqtalu Al-Husain 2 hal. 90, Tarikhu Al-Islam 2 hal. 348, Siyaru A’lami Al-Nubala’ 3 hal. 311, Tafsir Ibnu Katsir 9 hal. 162, Tahdzibu Al-Tahdzib 2 hal. 353, Tarikhu Dimasyq 4 hal. 339, Al-Mahasinu wa Al-Masaw.i hal. 62, Tarikhu Al-Khulafa’ hal. 80 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 467-469

*Kepala suci Al-Husain as. yang berada di ujung tombak berbicara dengan membawakan ayat-ayat suci Al-Quran dan lainnya.

hal ini disebutkan di Miftahu Al-Naja fi Manaqibi Aali Al-’Abahal. 145, Al-Khashaishu Al-Kubra 2 hal. 127, Al-Kawakibu Al-Durruiyyah hal. 57, Is’afu Al-Raghibin hal. 218, Nuuru Al-Abshar hal. 125, dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 452-453.

*Pada hari Al-Husain as. terbunuh, langit meneteskan hujan darah sehingga semua orang pada keesokan harinya mendapati apa yang mereka miliki telah dipenuhi oleh darah. Darah itu membekas pada baju-baju mereka beberapa waktu lamanya, hingga akhirnya terkoyak-koyak. Warna merah darah terlihat di langit pada hari itu. Peristiwa tersebut hanya pernah terjadi saat itu saja.

hal ini disebutkan di buku-buku berikut ini:
Maqtalu Al-Husain 2 hal. 89, Dzakhairu Al-’Uqba hal. 144, 145 dan 150, Tarikhu Dimasyq -seperti yang disebutkan di muntakhab (ringkasan)nya- 4 hal. 339, Al-Shawaiqu Al-Muhriqah hal. 116 dan 192, Al-Khashaishu Al-Kubra hal. 126, Wasilatu Al-Maal hal. 197, Yanabi’u Al-Mawaddah hal. 320 dan 356, Nuuru Al-Abshar hal. 123, Al-Ithaf bi Hubbi Al-Asyraf hal. 12, Tarikhu Al-Islam 2 hal 349, Tadzkiratu Al-Khawash hal. 284, Nadzmu Durari Al-Simthain hal. 220 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 458-462.

*Ketika kepala Al-Husain as. dibawa ke istana Ubaidillah bin Ziyad, orang ramai melihat dinding-dinding mengalirkan darah segar.
Hal ini disebutkan di kitab-kitab berikut:
Dzakahiru Al-’Uqbahal. 144, Tarikhu Dimasyq seperti yang disebutkan dalam muntakhab-nya 4 hal. 339, Al-Shawaiqu Al-Muhriqah hal. 192, Wasilatu Al-Maal hal. 197, Yanabi’u Al-Mawaddah hal. 322, dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 463.

*Di dinding sebuah gereja tertulis:

“Apakah umat yang membantai Al-Husain

Mengharapkan syafaat kakeknya di hari kiamat.”

Ketika pendeta yang berada di sana ditanya tentang tulisan tersebut dan siapakah yang menulisnya, ia menjawab, “Bait syiar ini telah tertulis di sini sejak lima ratus tahun sebelum nabi kalian diutus.”

hal ini di tulis di kitab2 ahlu sunnah berikut ini :
Tarikhu Al-Islam wa Al-Rijalhal. 386, Al-Akhbaru Al-Thiwal hal. 109, Hayatu Al-Hayawan 1 hal. 60, Nuuru Al-Abshar hal. 122, Kifayatu Al-Thalib hal. 290 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 567-568.

*Seorang penduduk Najran saat menggali tanah menemukan sebuah kepingan emas yang bertuliskan:

“Apakah umat yang telah membantai Al-Husain

Mengharapkan syafaat kakeknya di hari kiamat”

hal ini disebutkan di kitab Miftahu Al-Najahal. 135, Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 566.

*Sebuah tembok merekah lalu muncullah sebuah telapak tangan yang bertuliskan:

“Apakah umat yang telah membantai Al-Husain

Mengharapkan syafaat kakeknya di hari kiamat.”

hal ini disebutkan di kitab-kitab Tarikhu Al-Khamis 2 hal. 299 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 567.

*Sesaat setelah Al-Husain as. terbunuh, warna langit menghitam pekat sekali. Lalu bintang-bintang bermunculan di siang hari, sampai-sampai bintang kembar terlihat di waktu sore. Segumpal tanah berwarna merah jatuh dari atas. Langit terlihat berwarna merah bagai darah selama tujuh hari tujuh malam.

hal ini di sebutkan di kitab Tarikhu Dimasyq 4 hal. 339 dan Al-Shawaiqu Al-Muhriqah hal. 116.

Syi’ah Di fatwa sesat oleh Produk Sejarah... Sejarah Khilafah Sunni tak lepas dari cerita kelam dan kejam ..!!

Sejarah Khilafah Sunni tak lepas dari cerita kelam dan kejam ..!!

Islam Sunni Sebagai Bagian dari Produk Sejarah dan Sasaran Penelitian.
Ada ungkapan Ulama Klasik bahwa Islam itu cocok untuk segala tempat dan zaman (Al-Islâmu shâlihun li kulli makân wa zamân).. Ternyata Syi’ah yang dulu dituduh sesat, kini berbalik banyak orang mengesahkan nya !

keterpautan antara bahasa, pemikiran dan sejarah, sekaligus dalam hubungannya dengan nilai-nilai etis yang hendak diraih, maka akan dimungkinkan pengembangan pemikiran Islam.
hubungan antara pemikiran (keislaman), budaya dan sejarah, yang melatarbelakanginya (sejarah penetapan hukum-hukum agama, sejarah terbentuknya pranata sosial  Islam, bahkan sejarah sosial-politik dan perkembangan kontemporer pemikiran Islam dan sebagainya). Pemikiran tidak terlepas dari historisitasnya.


Perlu ditegaskan, ternyata ada bagian dari islam Sunni yang merupakan produk sejarah, teologi Sunni adalah bagian dari wajah islam produk sejarah. Konsep Khulafa al-Rasyidin adalah produk sejarah, karena istilah ini muncul belakangan. Sejumlah  bangunan islam klasik , tengah dan modern YANG  MENUDUH  SYIAH  SESAT  adalah produk sejarah.

Andaikata khalifah Al-Mansur tidak meminta Imam Malik menulis Al-Mawatta’, kitab hadis semacam ini mungkin tidak ada, karena itu al-muwatta, sebagai kumpulan hadist juga merupakan produk sejarah.

Jadi ada faktor kekuasaan yang melingkupi  perjalanan aliran Sunni.


Kita mengetahui dalam sejarah adanya upaya untuk pemalsuan hadis. Imam Bukhari, Imam Muslim atau Imam Malik mengumpulkan dan melakukan mencatat hadis dengan upaya hati-hati. Imam Muslim, dalam pengantarnya mengatakan bahwa tadinya hadis yang dikumpulkan ada 300.000 (tiga ratus ribu) buah, tetapi setelah selesai menjadi 6.000 buah hadis.

Pertanyaannya, dari mana Hadis sebanyak itu dan sudah meresap kemana saja sisanya itu, sehingga tinggal 6.000 ?
Ketika Raja Dinasti  Abbasiyah berkuasa yaitu Al Ma’mun (198 – 218 H / 813 – 833 M)lalu Al Mu’tashim (218 – 228 H / 833 – 842 M) lalu Al Watsiq ( 228 – 233 H / 842 – 847 M) paham kerajaan Abbasiyah adalah Mu’tazilah ! Terjadilah  pertarungan antara Mu’tazilah  melawan  Ahlulhadis :
Tatkala Raja al-Mutawakil (847-864 M) berkuasa, ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibn Hanbal. Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu’tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni.

Sunni mulai merumuskan ajaran-ajarannya. Salah seorang tokohnya, Syafi’i menyusun ‘Ushul al-Fiqh. Dalam bidang Hadis muncul tokoh Bukhari dan Muslim. Dalam bidang Tafsir, muncul al-Tabbari. Pada masa inilah kaum Sunni menegaskan sikapnya terhadap posisi terhadap 4 khalifah dengan mengatakan bahwa yang terbaik setelah Nabi adalah Abu Bakar, Umar, Uthman dan ‘Ali untuk memperoleh pengakuan dari penguasa, pemikiran politik  ulama Sunni menekankan pada ketaatan absolut terhadap khalifah yang sedang berkuasa, mereka  berhasil mempengaruhi Khalifah Al Mutawakil (847-861 M), sekaligus merubah haluan aliran resmi pemerintahan menjadi sunni.

Ini menjadi contoh betapa label selamat dan sesat dengan mudah dialihkan, tergantung ‘selera’ rezim yang berkuasa. Apa yang dikenal dengan ‘tragedi mihnah’ ini menjadi contoh tak terbantahkan bahwa antara keselamatan dan kesesatan yang semata dipagari dengan apa yang disebut kekuasaan. Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja) selama ini difahami sebagai sebagai suatu sekte keagamaan terbesar dalam Islam…Pada masa Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Wasiq, kelompok yang dianggap sesat adalah ahlul hadis dengan ikon intelektualnya Ahmad ibn Hanbal. Sebaliknya pada masa Al Mutawakkil, kelompok yang dianggap sesat adalah ahlu ar-ra’yi atau lebih populer disebut mu’tazilah.

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila’nati Allah dan dila’nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela’nati” (Al-Baqarah: 159)
Menurut kita As-Sirah Nabawiyyah, Syilbi bag I hal.13-17 dikabarkan bahwa:
Zuhri Sejarahwan pertama yang menulis sejarah Islam pada masa pemerintahan Bani Umayah yakni Raja Abdul Malik 65 H..Zuhri adalah bekas budak Zubair yang sangat dekat dengan keluarga bangsawan Abdul Malik.

Zuhri ditugaskan dengan biaya Abdul Malik untuk menyusun Sejarah Islam dan menyusun Hadis  hadis  seluruh sejarah Kitab kitab suni ditulis setelahnya oleh orang  orang  yang berpengaruh dalam karya ini…
Dan Bukhari  banyak  hadis dalam shahihnya berasal dari hasi kumpulan Zuhri..Jadi tidak heran hadis hadis   sekarang ini banyak REKAYASA.. Cerita seperti cerita Bukhari, bahwa Nabi Musa MENAMPAR Malikul Maut sampai matanya pecah kemudian mengadu pada Allah.


Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.


Bagaimana “rekaman” sejarah soal ini? Ini daftar tahun berkuasanya khilafah yang sempat saya catat:
1. Ummayyah (661-750)
2. Abbasiyah (750-1258)
3. Umayyah II (780-1031)
4. Buyids (945-1055)
5. Fatimiyah (909-1171)
6. Saljuk (1055-1194)
7. Ayyubid (1169-1260)
8. Mamluks (1250-1517)
9. Ottoman (1280-1922)
10. Safavid (1501-1722)
11. Mughal (1526-1857)


Pendekatan Sejarah dalam Kajian Islam.
Salah satu sudut pandang yang dapat dikembangkankan bagi pengkajian Islam itu adalah pendekatan sejarah.Berdasarkan sudut pandang tersebut, Islam dapat dipahami dalam berbagai dimensinya.Betapa banyak persoalan umat Islam hingga dalam perkembangannya sekarang, bisa dipelajari dengan berkaca kepada peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga segala kearifan masa lalu itu memungkinkan untuk dijadikan alternatif rujukan di dalam menjawab persoalan-persoalan masa kini. Di sinilah arti pentingnya sejarah bagi umat Islam pada khususnya, apakah sejarah sebagai pengetahuan ataukah ia dijadikan pendekatan didalam mempelajari agama.


Ketika Bani Abbasiyah merebut khilafah, darah tertumpah di mana-mana. Ini “rekaman”. kejadiannya: Pasukan tentara Bani Abbas menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani Umayyah, dan mereka “memainkan” pedangnya di kalangan penduduk, sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang. Masjid Jami’ milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu’awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya.

Mereka juga membunuh setiap anak dari kalangan Bani Umayyah, kemudian menghamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang sebagiannya masih menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil makan. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing.
Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.

Kemudian timbul pemberontakan di kota Musil melawan as-Saffah yang segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan memadamkannya. Yahya kemudian mengumumkan di kalangan rakyat: “Barangsiapa memasuki masjid Jami’, maka ia dijamin keamanannya.” .
Beribu-ribu orang secara berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan pengawal-pengawalnya menutup pintu-pintu Masjid dan menghabisi nyawa orang-orang yang berlindung mencari keselamatan itu. Sebanyak sebelas ribu orang meninggal pada peristiwa itu. Dan di malam harinya, Yahya mendengar tangis dan ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh di hari itu, lalu ia pun memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak, sehingga selama tiga hari di kota Musil digenangi oleh darah-darah penduduknya dan berlangsunglah selama itu penangkapan dan penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas kasihan terhadap anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau melalaikan seorang wanita.

Seorang ahli fiqh terkenal di Khurasn bernama Ibrahim bin Maimum percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji “akan menegakkan hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah”. Atas dasar itu ia menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka, dan selama pemberontakan itu berlangsung, ia adalah tangan kanan Abu Muslim al-Khurasani. Namun ketika ia, setelah berhasilnya gerakan kaum Abbasiyin itu, menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-hukum Allah dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, segera ia dihukum mati oleh Abu Muslim.

Cerita di atas bukan karangan orientalis tapi bisa dibaca di Ibn Atsir, jilid 4, h. 333-340, al-Bidayah, jilid 10, h. 345; Ibn Khaldun, jilid 3, h. 132-133; al-Bidayah, jilid 10, h. 68; al-Thabari, jilid 6, h. 107-109. Buku-buku ini yang menjadi rujukan Abul A’la al-Maududi ketika menceritakan ulang kisah di atas dalam al-Khilafah wa al-Mulk.


Semua aspek kehidupan tidak lepas dari faktor sejarah, sejarah merupakan bukti yang nyata untuk melangkah lebih maju, karena dengan sejarah, manusia bisa belajar kesalahan-kesalahan yang telah lalu dan mengetahui data-data yang bisa di pertanggung jawabkan. Dalam metologi islam, diperlukan sejarah untuk mengetahui kebenaran yang valid yang tidak dicampuri oleh orang-orang terdahulu, untuk itu sangatlah urgan dalam penelitian sejarah.

Sementara itu, agama atau keagamaan sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui berbagai sudut pandang.Islam khususnya, sebagai agama yang telah berkembang selama empatbelas abad lebih menyimpan banyak banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.


Sayyidina Al Husain ibn ‘Ali RA. adalah cucu sang Nabi yang amat dikasihi. Abu Hurairah meriwayatkan: “Aku pernah melihat Rasulullah saw. sedang menggendong Husain, seraya berkata, ‘Ya Allah, sungguh aku mencintainya, maka cintailah dia.’.
Ya’lâ bin Murrah meriwayatkan: “Kami pergi bersama Rasulullah untuk menghadiri undangan makan. Di suatu gang, kami melihat Husain sedang bermain-main. Ia mendekatinya seraya membentangkan kedua tangannya. Husain berlari kesana kemari hingga membuatnya tertawa, sampainya berhasil menangkapnya. Kemudian Rasulullah meletakkan satu tangannya di bawah dagu Husain dan tangan yang lain di atas kepalanya. Rasulullah mencium-ciumnya. Ia bersabda, ‘Husain dariku dan aku darinya. Allah mencintai orang yang mencintai Husain. Husain adalah salah satu cucuku.”.
Yazîd bin Abi Ziyâd meriwayatkan: “Rasulullah saw. keluar dari rumah ‘Aisyah dan melewati rumah Fathimah. Ketika itu Rasulullah saw. mendengar tangisan Husain. Rasulullah merasa gusar. Lalu berkata kepada Fathimah, ‘Tidakkah kau tahu bahwa tangisannya itu menyayat hatiku?”


Rasulullah mencintai al-Husain, sang cucu yang penuh kelembutan, meskipun fajar ‘Asyura di tahun 61 H menjadi akhir dari perjalanan hidup al-Husain, terbantai oleh penguasa-penguasa zhalim yang juga mengaku umat sang nabi.
Peristiwa Karbala adalah tragedi kemanusiaan yang menyayat hati siapa pun yang masih memiliki hati, bukan milik segelintir orang apalagi kelompok-kelompok tertentu. Karbala adalah medan syahid ahlu baitil musthofa.
Sayyidina Al-Husain adalah keturunan langsung sang nabi, putra dari Khalifah ke-4 Amirul Mu’minin Ali ibn Abi Thalib. Beliau tidak segera menerima paksaan untuk membai’at Yazid ibn Mu’awiyah; sang raja baru pada era Dinasti Umayyah.
Sayyidina Al-Husein memegang amanat agung, tapi kelembutannya tak membuatnya gila kekuasaan. Hari ini tanggal 9 Muharram beliau sudah berada di Karbala menerima pengkhianatan dalam sejarah Islam. Dan esok, tanggal 10 Muharram, padang Karbala menjadi saksi kesyahidan sang imam yang dibunuh oleh pasukan yang dipimpin Ubaidillah bin Ziyad atas perintah Yazid ibn Mu’awiyah.
Karbala banjir darah. Kekasih sang Nabi dari darah dagingnya sendiri berkalang tanah, kepalanya disembelih dan dicucuk di atas tombak, al-Husain berpulang bersama tiga putranya dan puluhan sahabat.
Ahlussunnah belakangan berhadapan dengan Syi’ah.. Label Aswaja kini  menjadi identitas yang diperebutkan (contested identity).. Buku yang ditulis Muhammad At-Tijani As-Samawi, doktor filsafat Universitas Sorbone, yang berjudul Asy-Syi’ah Hum Ahlu as-Sunnah [1993] menjadi contoh dari perebutan ini. Buku itu hendak menegaskan bahwa Syi’ah adalah Ahlussunnah, bahkan dinilai lebih Ahlussunnah ketimbang kelompok yang selama ini mendakwa dirinya Ahlussunnah
.
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku telah meninggalkan buat kalian dua hal yang berharga; Kitab Allah dan Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dan keduanya juga tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga Kautsar kelak di Hari Kiamat.” (H.R. Sahih Muslim : jilid 7, hal 122. Sunan Ad-Darimi, jilid 2, hal 432. Musnad Ahad, jilid 3, hal 14, 17, 26 dan jilid 4, hal 371 serta jilid 5, hal 182 dan 189. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hal 109, 147 dan 533.

Rute Imam Husain dari Mekah ke Karbala


Setelah meninggalkan Mekah, ada 14 tempat yang disebutkan dalam sejarah dimana Imam Husain pernah tinggal atau bertemu orang atau memberikan khutbah.
1. Saffah: Disini Imam bertemu dengan Farazzdaq, seorang penyair yang ditanyai oleh Imam tentang keadaan di Kufah. Dia berkata, ”Hati orang Kufah bersamamu tapi pedang mereka terhunus melawanmu.” Imam menjawab, ”Allah telah menakdirkan. Aku serahkan nasibku kepadaNya yang telah memberikan alasan yang benar (untuk pergi-penerj.)”.

2. Dhat-el-Irq: Disini sepupu Imam, Abdullah bin Jafar membawa dua anak lelakinya Auwn dan Muhammad kepada ibunya Sayidah Zainab untuk membantu Imam. Dia membujuk Imam untuk kembali ke Madinah tetapi Imam menjawab, ”Nasibku di tangan Allah.”.

3. Batn-er-Rumma: Imam mengirim surat ke Kufah dengan Qais bin Mashir, bertemu Abdullah bin Mutee yang datang dari Irak. Ketika mendengar tujuan Imam, dia mencoba untuk menghentikannya. Dia berkata bahwa orang Kufah tidak beriman dan tidak dapat dipercaya. Tapi Imam meneruskan perjalanannya.

4. Zurud: Imam bertemu Zuhair Ibnu Qain. Zuhair bukan termasuk pengikut Ahlulbait. Tapi ketika Imam memberitahukan tujuan perjalanannya Zuhair memberikan harta-bendanya kepada istrinya, menyuruhnya pulang dan berniat untuk menjadi syuhada bersama Imam.

5. Zabala: Imam mengetahui dari dua orang suku badui yang datang dari Kufah tentang kematian Muslim. Imam berkata, ”Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Indallah nahtasib anfusana.” (Kita berasal dari Allah dan kembali kepadaNya yang menjadi tujuan pengorbanan kita). Orang dari suku Asadi mencoba membujuk Imam, tapi dia bergeming. Disini Imam memberitahukan sahabatnya tentang kematian Muslim dan Hani dan bahwa orang Kufah tidak siap memberikan bantuan. Imam berkata,”Siapa yang ingin pergi, silahkan.” Kumpulan orang dari berbagai suku yang telah ikut dalam perjalanan dengan harapan mendapatkan pampasan perang menyadari harapan hampanya dan berpencar pulang. Hanya 50 orang yang tetap tinggal.

6. Batn-e-Aqiq: Imam bertemu seorang dari suku Akrama yang memberitahukan bahwa Kufah bukan lagi kota yang bersahabat dan telah dikepung tentara Yazid. Tidak ada orang yang dapat masuk dan keluar dari kota. Tapi Imam tetap berjalan terus.

7. Sorat: Imam bermalam disini dan pagi harinya memerintahkan sahabatnya untuk membawa air sebanyak mungkin.

8. Sharaf: Ketika Imam melewati tempat ini. Seorang sahabatnya meneriakkan bahwa dia telah melihat kedatangan sepasukan tentara. Imam meminta untuk cari tempat perlindungan, terutama disebuah gunung di belakang mereka. Seorang pengantar embawa mereka ke gunung terdekat.

9. Zuhasm: Disinilah Imam bertemu dengan pasukan Hurr yang terdiri dari 1000 orang. Mereka kehausan lalu Imam memerintahkan untuk memberikan air kepada mereka. Imam sendiri menolong beberapa tentara yang kehausaan untuk minum. Bahkan binatangpun diberi minum. Sholat Zuhur yang dipimpin Imam dan semua mengikutinya termasuk tentara Hurr. Disini Imam memberitahukan Hurr tentang surat-surat yang diterima dari Kufah. Dia berkata,”Wahai orang Kufah, engkau mengirim delegasimu dan menfirim surat memberitahukan bahwa engkau tidak punya pemimpin dan mengajakku datang kepadamu dan memimpinmu di jalan Allah. Kau menulis bahwa kami Ahlulbait lebih pantas untuk mengendalikan urusanmu daripada mereka yang meng-klaim tapi tidak berhak dan bertindak zalim dan batil. Tapi jika kamu mengubah putusanmu, mengabaikan hak kami dan melupakan janjimu. Aku akan kembali. Tapi dia dilarang kembali oleh pasukan Hur dan diarahkan untuk mengitari Kufah.

10. Baiza: Imam mencapai Baiza keesokan harinya dan memberikan khutbahnya yang terkenal. ”Wahai orang-orang, Nabi telah berkata bahwa jika seseorang menjumpai pemimpin yang tiran, menyeleweng dari jalan Allah dan Nabi dan menindas orang, tetapi tidak melakukan apa-apa lewat perkataan atau tindakan untuk merubahnya, maka keadilan Allah yang akan menghukumnya. Tidakkah kau melihat bagaimana rendahnya keadaanmu... Tidakkah kau perhatikan bahwa kebenaran tidak diikuti dan kebatilan (telah dilakukan-penerj) tanpa batas. Bagiku, aku mencari kematian sebagai jalan mencapai syuhada dan hidup diantara kesesatan tidaklah berarti apa-apa kecuali kesedihan dan penderitaan.

11. Uzaibul Hajanat: Disini Imam berpisah dengan pasukan Hurr dan bertemu Trimmah bin Adi. Setelah mengetahui Kufah telah menelantarkan utusannya, menjadi jelas baginya bahwa dia tidak punya harapan untuk mendapat bantuan atau bahkan kelangsungan hidup di Kufah. Walaupun begitu, dia menolak perlindungan, jika tidak pasti berguna. Trimmah menawarkan bantuan pasukan 20.000 orang terlatih dari sukunya untuk mengiringinya ke Kufah atau berlindung di pegunungan. Imam menjawab ke Ibnu Adi,”Allah memberkahimu dan orang-orangmu. Aku tidak bisa menarik kata-kataku. Semua telah ditakdirkan.” Dari jawaban ini adalah jelas bahwa dia mengerti penuh dengan situasi yang dihadapi dan bahwa dia telah memiliki strategi dan rencana di benaknya untuk mengadakan revolusi untuk membangkitkan kesadaran muslimin. Dia tidak mencoba memobilisasi pasukan militer dimana bisa dengan mudah dilakukannya di Hijaz ataupun dia tidak memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan kekuatan fisik yang ada.

12. Qasr-e-Bani Makatil: Disini terbukti bahwa Kufah bukanlah tujuannya. Karena Hurr tidak ingin meninggalkannya, dia mengitari Kufah dan mengambil rute baru. Dalam istirahatnya di siang hari, dia mengucap ”Inna Lillah” Anaknya yang berumur 18 tahun Ali Akbar mendekatinya dan bertanya. Imam menjawab bahwa dalam tidurnya dia mendengar seseorang berkata bahwa orang-orang ini akan menemui kematiannya. Ali Akbar bertanya, ”Bukankah kita di jalan yang benar.” Kematian tidak berarti baginya. Kematian dalam bentuk ini berarti kemenangan dalam kesyahidan.

13. Nainawa: Di tempat ini seorang utusan Ibnu Ziyad membawa pesan untuk tidak meninggalkan Imam. Kafilah melewati Ghaziriya menuju tempat yang disebut Karbala. Imam menanyakan tentang tempat ini. Seseorang memberitahu Karbala. Imam berkata, betul, inilah tempat Kerbin-wa-bala (tempat penderitaan dan penyiksaan). Mari kita berhenti disni karena kita telah tiba di tujuan. Ini adalah tempat kesyahidan. Inilah Karbala.

14. Karbala: Berdasarkan perintah Imam, tenda-tenda didirikan dekat dengan sungai yang menjadi cabang dari sungai Eufrat yang jaraknya beberapa mil. Hari ini bertanggal 2 Muharam tahun 61 Hijriah (3 Oktober 680 AD).

Peta menunjukkan rute yang diambil Imam Husain (as) ketika meninggalkan Mekah dengan tujuan Irak. Hari itu bertanggal 8 Zulhijah tahun 60 Hijriah (10 September 680 AD). Bersamanya ada 50 orang termasuk wanita dan laki-laki dari keluarganya dan sahabatnya. Pamannya Ibnu Abbas dan saudaranya Muhammad bin Hanafiyah tidak ikut bersamanya. Mereka memberikan kata perpisahan dan mencoba memperingatkan bahaya yang dihadapi Imam. Muhammad bin Hanafiyah memberitahukan bahwa orang Mekah dan para jamaah haji bertanya-tanya kenapa dia pergi satu hari sebelum hari raya Haji. Imam meninggalkan surat kepada saudaranya menerangkan maksudnya dengan jelas. Surat itu berkata:
”Aku tidak keluar untuk memprovokasi atau ingin menindas. Aku ingin membawa umat kembali ke jalan Amr bil Maruf wa Nahi Anil Munkar. Aku ingin mengajak mereka ke jalan dari kakekku dan ayahku Ali bin Abi Thalib.”

Peran Imam Husain Melestarikan Ajaran Islam


Siapapun yang mempelajari kehidupan Imam Husain bin Ali (as) akan menyadari bahwa perannya dalam Islam dimulai dari awal. Pada masa mudanya, dia berpartisipasi aktif dalam gerakan kebangkitan Islam. Perannya menonjol selama kepemimpinan ayahnya, Amirul Mukminin Imam Ali (as) dan berjuang berdampingan bersama Imam Hasan (as).

Dalam kesyahidannya, peran Imam Husain (as) memasuki fasa baru berkaitan dengan kompleksnya permasalahan diantara umat Islam, karena peran semua Imam Ahlul Bait (as) disesuaikan dengan kondisi perkembangan sosial, ideologi dan politik pada jamannya.

Sungguh, Imam Husain (as) menghadapi plot Bani Umayah yang menyimpang di tengah umat Islam dan juga kondisi sulit yang dijalani umat Islam. Dia (as) hidup dibagian paling berbahaya setelah perjanjian antara Muawiyah dan Imam Hasan (as). Berikut ini adalah tujuan-tujuan dari rencana busuk Muawiyah:

1. Menyebarkan teror dan memusnahkan seluruh kekuatan oposisi, terutama pengikut Imam Ali (as). Mereka diburu dan ditindas dengan berbagai cara dan teror digunakan untuk membungkam mereka.
Dengan kata-kata yang singkat dan jelas Imam Muhammad al-Baqir (as) menggambarkan tragedi berdarah ini. Dia berkata:
”Pengikut kita dibunuh di setiap kota. Tangan dan kaki mereka dipotong hanya karena kecurigaan kecil. Siapapun yang menunjukkan cinta (dukungan) kepada kita atau punya hubungan dengan kita akan ditawan atau disita harta-bendanya atau dirusak rumahnya. Frekwensi penindasan meningkat dan semakin kejam sampai puncaknya saat Ubaidullah bin Ziyad membunuh Imam Husain (as)”

Ibnu Athir, ahli sejarah, mencatat kejadian berdarah yang terjadi selama masa Muawiyah. Dia berkata: ”Setelah Ziyad mengangkat Sumrah, sementara waktu, sebagai gubernur Basrah, Sumrah membunuh banyak orang. Ibnu Sirrin berkata: ’Selama ketidakhadiran Ziyad, Sumrah membunuh delapan ribu orang.’ ’Apakah kau tidak khawatir telah membunuh orang yang tidak bersalah?’, Ziyad bertanya kepada Sumrah. ’Walaupun membunuh yang jumlah orangnya dua kali lipat saya tidak akan pernah merasa khawatir.’, jawab Sumrah.

Sawari Adwi berkata:”Sumrah telah membunuh, dalam satu hari, empatpuluh tujuh sahabatku. Semua adalah penghapal Quran.”

2. Menyebar uang untuk membeli kesetiaan orang-orang untuk merusak karakter Islami mereka dan membantu penyelewengan Muawiyah untuk memenuhi tujuan sesatnya. Dua tipe orang yang jadi sasaran :

A. Sejumlah pengkhotbah dan ahli hadis yang berperan untuk membantu Muawiyah. Mereka membuat hadis dan mengaku datang dari Rasulullah (saww) dalam rangka mendiskreditkan Imam Ali (as) dan keluarganya.
B. Pimpinan masyarakat yang punya kemungkinan untuk melawan dinasti Muawiyah.

Ini adalah bentuk kebijakan Muawiyah dan pemimpin dinasti Bani Umayah yang lain.

Perang kelaparan. Ini merupakan senjata yang dipergunakan Bani Umayah. Umat Islam merasa terhina dan tidak mampu mengganti pimpinannya. Perintah Muawiyah, yang dicatat sejarah, yang dikirim ke gubernurnya, menyatakan: ”Periksa setiap orang yang mencintai (mendukung) Ali dan keluarganya, dan jika terbukti, namanya harus dihapus dari daftar masyarakat yang menerima bayaran dan jatah makanan.”

Struktur ekonomi masyarakat selama periode tersebut tercatat oleh ahli sejarah. Mereka menulis tentang distribusi ekonomi yang timpang. Beberapa individu memiliki kekayaan besar. Segelintir orang memanfaatkan pengaruh Bani Umayah, dari bagian luar kekuasaan khalifah selama tahun-tahun terakhir kekuasaan khalifah yang benar, dengan menumpuk kekayaan. Sebagai contoh:
”Amru bin As gubernur Mesir dibawah Muawiyah, meninggalkan kekayaan sebanyak 325.000 dinar emas, 1000 dirham perak, kebun yang bernilai 2000.000 dinar di Mesir dan tanah milik di Mesir yang nilainya sebasar 10.000 dinar emas.”

4. Merusak ikatan persatuan umat Islam dengan mengangkat isu nasionalisme, kesukuan dan kedaerahan diantara kelompok-kelompok dan melestarikan sektarianisme antara muslim Arab dan non-Arab.

5. Pembunuhan Imam Hasan bin Ali (as), yang dianggap sebagai simbol Islam yang sebenarnya.

6. Mengangkat Yazid, seorang korup yang gemar mabuk dan berjudi, sebagai pimpinan baru menggantikan Muawiyah.

Mandat yang diberikan Yazid adalah untuk memimpin umat Islam, merencanakan dan melaksanakan program masa depan dan melaksanakan ajaran Islam. Pada kenyataannya menjadi perusak ajaran Islam.
Yazid, sebagaimana disaksikan oleh sejarah, pikiran, perbuatan dan perasaannya dipenuhi penyelewengan. Adalah mengherankan bahwa sejarah kita dipenuhi cerita-cerita tentang penyelewengan sehari-hari Yazid yang dilakukan di depan mata mayoritas umat Islam di Suriah. Dia menenggelamkan diri dalam kemaksiatan, hiburan sia-sia, bermabuk-mabukan, main perempuan dan bernyanyi. Dia begitu ceroboh dan bermoral rendah sehingga memakaikan perhiasan emas kepada anjing-anjingnya.

Ahli sejarah, Baladuri menyatakan:
”Yazid memiliki seekor monyet bernama Abi Qais... yang selalu dibawanya bersama rekan-rekannya ke tempat minum anggur. Dia menaruh bantal untuk tempat duduk monyetnya yang mana tindakan ini menjijikkan. Dia akan membawanya di atas seekor keledai betina liar yang telah jinak, dengan pelana kerajaan. Abi Qais ikut dalam kompetisi adu cepat dengan kuda pada hari-hari tertentu.”

Ahli sejarah yang lain, Ibnu Athir, berkata:
”Diriwayatkan bahwa Yazid terkenal dengan permainan alat musik bersenar, minum anggur, bernyanyi, berburu, dan berkumpul bersama anak-muda, penyanyi wanita dan anjing-anjing peliharaan. Dia suka menonton adu domba, beruang dan monyet. Tiada hari tanpa mabuk. Dia juga suka mengikat monyet di atas kuda dengan pelana dan berkeliling dengannya dan memakaikan topi emas dan semacamnya kepada monyetnya, dan juga anak-anak muda yang mengikutinya. Ketika seekor monyet mati, dia menunjukkan kedukaannya. Dikisahkan bahwa alasan kematiannya adalah karena seekor monyet muda menggigitnya.”

Jika seorang khalifah berkelakuan seperti ini, bagaimana dengan yang lainnya. Seorang ahli sejarah, Mas’udi, tentang ini menceritakan: ”Gubernurnya Yazid dan orang-orang pemerintahannya terpengaruh oleh tindakan korup Yazid. Selama pemerintahannya, hiburan nyanyian menyebar ke seluruh Madinah. Alat-alat musik dipergunakan. Orang-orang mulai minum anggur di depan umum.”

Sejak Muawiyah memutuskan mengangkat anaknya, Yazid sebagai khalifah umat Islam menggantikannya dimana ini bertentangan dengan ajaran Islam, keputusan ini membuat resah masyarakat, terutama tokoh tokoh yang dikenal masyarakat Islam. Sejarah Islam berada di persimpangan jalan. Di depan mereka ada dua pilihan:
Menolak dengan keras pola hidup yang ditawarkan, apapun resikonya, atau
Menerima kenyataan hidup dengan artian melepas ajaran-ajaran Islam, sumber kemuliannya dan simbol kehormatannya diantara bangsa-bangsa .

Perlawanan: Kenapa?

Jika kita mempelajari kehidupan Imam Husain dan peristiwa-peristiwa yang disaksikannya, dan lingkungan sekitarnya, kita akan dengan mudah mendapatkan bahwa dia tidak punya peluang sedikitpun untuk bisa mengatasi penindasan Bani Umayah.

Walaupun dia yakin akan terbunuh, dia tetap memulai perlawanannya dan bertahan sampai akhir yang tragis, yang tak dapat dihindari.

Kenapa dia bertahan ? Atau malah, kenapa dia melakukan perlawanan ?

Tanpa revolusi Imam Husain, jalan hidup Bani Umayah dengan semua penyelewengan, penindasan dan korupsi, akan menjadi lambang Islam di benak semua orang sampai saat ini.

Imam Husain, anak kedua Imam Ali (as), dan cucu nabi suci Muhammad (saww), adalah halaman jernih buku Islam, dan penerjemahan yang jelas dari tujuan dan konsep Islam. Ini yang menyababkan dia jadi orang pertama menanggapi panggilan keimanan di masa dia hidup. Untuk menghormati komitmennya kepada Syariah, dia tidak punya pilihan lain daripada perlawanan. Tanpa itu tidak akan ada reformasi perbaikan kehidupan. Surat resminya yang pertama dari perlawanannya menunjukkan kenyataan ini:
”Dan aku tidak mengangkat senjata demi kesenangan belaka atau bertindak berlebihan dengan apa yang aku miliki. Aku tidak melakukan kejahatan ataupun penindasan. Tetapi aku bersedia bertempur untuk satu alasan yaitu memperjuangkan perbaikan umat kakekku, Nabi Allah (saww). Aku ingin menyerukan kebaikan dan melarang kejahatan dan mengarahkan urusan masyarakat seperti yang telah dilakukan kakekku dan ayahku Ali bin Abi Thalib (as).”

Ini adalah dasar justifikasi yang memberikan Imam Husain (as) dan pengikutnya alasan untuk memulai perlawanan. Sebuah perlawanan yang masih menggema di benak orang saat ini. Itu adalah sebuah revolusi yang melestarikan Islam dan menginspirasi pelaku revolusi sepanjang masa, untuk mempertahankan Islam dan bertempur dengan penuh semangat kepahlawanan dalam perang jihad suci melawan penindasan yang tidak adil.

Angin Perlawanan.

Tak lama setelah kematian Muawiyah, anaknya, Yazid, mengambil alih. Dia memerintahkan gubernur-gubernurnya untuk membaiat rakyatnya mendukung kepemimpinannya. Dia terutama menaruh perhatian kepada Imam Husain (as), karena keyakinan Bani Umayah bahwa dia adalah kekuatan perlawanan yang tak tergoyahkan diantara pihak oposisi. Pihak oposisi, minus Imam Husain, dengan gampang ditundukkan. Dengan cepat dia menulis surat kepada gubernurnya di Madinah, Walid bin Utba untuk membaiat rakyatnya, khususnya Imam Husain (as). Sungguh, Imam Husain menjelaskan penolakannya untuk membaiat Yazid. Dia berkata kepada gubernur Madinah, Walid bin Utba: ”Yazid adalah seorang yang korup, yang suka menenggak anggur, membunuh jiwa yang dilarang oleh Allah dan menunjukkan kemaksiatannya di depan umum. Seorang laki-laki sepertiku tidak akan membaiat orang seperti Yazid.”

Dalam jawabannya, Imam Husain menjelaskan kualifikasi pemimpin yang harus dibaiat, dalam suratnya kepada penduduk Kufah:” Demi hidupku, apakah fungsi seorang Imam kecuali yang berhakim kepada Kitabullah; seorang yang menegakkan keadilan, seorang yang memegang agama kebenaran, dan seorang yang mendedikasikan hidupnya kepada Allah.”

Itulah titik awal perlawanannya terjadap penyelewengan dan penindasan. Imam Husain (as) memutuskan untuk mengambil tanggungjawab perlawanan terhadap penindas, karena dia merupakan Imam yang sah dan benar dengan keimanan.

Dia pergi ke makam Rasulullah (saww), kakeknya dan berdoa disampingnya. Lalu dia mengangkat tangannya dan berdoa:
”Ya Allah! Ini adalah makam RasulMu Muhammad (saww) dan aku adalah anak dari anak perempuannya. Engkau tahu apa yang sedang kuhadapi. Ya Allah! Aku mencintai kebaikan dan membenci kejahatan. Aku memohon kepadaMu, wahai Tuhan yang Maha Mulia, dan meminta demi kuburan ini dan isinya, untuk menentukan jalan hidupku aku dengan apapun yang Kau dan nabiMu ridhai.”

Imam Husain cepat-cepat mengumpulkan anggota keluarganya dan sahabatnya yang setia. Dia memberitahukan keputusannya untuk pindah ke Mekah, rumah Allah. Orang yang tidak setuju dengannya semakin banyak. Mereka memintanya untuk menyerah. Mereka tidak berdaya dan khawatir akan dibunuh.

Imam Husain juga mempertimbangkan untuk mundur.

Rombongan kafilah Imam Husain (as) berjalan menuju Mekah. Nama Allah terucap dibibirnya, dan hatinya penuh dengan cinta kepada Allah. Ketika memasuki Mekah, dia menyitir kata-kata berikut: ”Dan ketika dia memalingkan wajahnya kearah Madain, dia berkata: Mungkin Tuhan akan memberi petunjuk ke jalan yang benar.”

Dia berdiam di rumah Abbas bin Abdul Muthalib. Kelompok besar orang-orang beriman berkumpul untuk menerima kedatangannya. Berita tentang kepergian Imam dari Madinah dan penolakannya membaiat Yazid telah menyebar. Lalu, berbagai delegasi dan surat dukungan kepadanya mulai berdatangan dari berbagai pelosok. Sebagai jawaban, dia (as) mulai mengirim buku-buku dan surat-surat yang berisi panggilan untuk revolusi dan menurunkan Yazid dari kekuasaan, yang mendapatkan dukungan lewat paksaan, teror, penyuapan dan penipuan. Usaha ini membuahkan hasil dengan bangkitnya semangat revolusi di Irak. Imam Husain (as) memantau reaksi dari umat Islam terhadap Yazid yang menduduki posisi khalifah. Kufah, ibukota Irak, sedang menyaksikan gerakan revolusi dan goncangan politik yang besar. Setelah lama dalam kondidi teror dan penindasan kekuatan oposisi melihat kesempatan emas untuk melepaskan diri dari kekuasaan tirani. Mereka mengadakan pertemuan-pertemuan darurat membahas naiknya ketegangan di Kufah dan tanggungjawab mereka menghadapi perubahan pemerintahan, setelah Yazid bin Muawiyah mengambil-alih urusan umat Islam.

Setelah mencapai kesepakatan, tokoh-tokoh Kufah menulis surat yang menyatakan penolakan mereka terhadap kekuasaan Bani Umayah dan dukungan terhadap Imam Husain (as). Surat-surat berdatangan di Kufah membawa pesan kepada orang Kufah untuk bergabung kepada Imam Husain (as), menjadikannya khalifah dan pemimpin umat Islam. Gelombang dukungan kepada Imam Husain (as) begitu besar sehingga banyak suku-suku menyiapkan tentara yang jumlahnya mencapai 100.000 pasukan. Imam Husain mengirim surat-surat khusus kepada rakyat disana dan terutama kepada pimpinan-pimpinan masyarakat.

Kufah menerima kedatangan Muslim bin Aqil dengan penuh kesetiaan dan tanggungjawab. Baiat diberikan kepada Imam Husain. Muslim, sampai titik ini, yakin kecenderungan sedang mengarah kepada Ahlul Bait (as) dan pesan Allah Taala. Apa yang sedang terjadi bukanlah hal yang biasa dan tidak bisa diabaikan. Ini adalah tujuan yang benar, bisa dicapai dan telah menyebar luas. Mereka harus bertindak cepat memanfaatkan situasi sebelum sesuatu terjadi dan merusak kesempatan yang ada. Muslim (ra) kemudian untuk memberitahu Imam Husain (as) tentang kecenderungan yang nyata. Dalam suratnya dia mengundang Imam untuk datang ke Kufah. Dia menulis:
”Sudah menjadi kepastian bahwa orang yang dikirim kafilah di gurun untuk melihat kondisi di depannya tidak akan berdusta kepada orang yang mengirimnya. Semua orang di Kufah bersama engkau. Delapan-belas ribu orang dari mereka telah memberi baiat kepadaku. Cepat-cepatlah datang kepada kami setelah membaca suratku ini. Salam dan berkah Allah selalu bersamamu.”

Sementara itu, Imam Husain (as) mempertimbangkan untuk menghubungi tokoh-tokoh Basrah dan membahas keputusannya untuk melawan penyimpangan dan ketidakadilan. Dia mengirim surat kepada mereka. Yazid bin Mas’ud mengirim surat yang menyatakan kesetiaan orang-orang dari suku Tamim dan Bani Sad kepada Ahlul Bait (as). Sangat disayangkan dan menyedihkan bahwa suratnya terlambat tiba. Lalu, pasukan Nashali tiba terlambat. Mereka terkejut dengan berita kesyahidan Imam Husain. Telah hilang kesempatannya untuk membantu cucu nabi Muhammad (saww).

Berbaliknya orang-orang Kufah.
Awalnya, orang-orang Bani Umayah menjadi panik ketika melihat kesuksesan orang-orang beriman dan wakilnya, Imam Husain bin Ali (as). Pimpinan tertinggi Bani Umayah membuat pertemuan-pertemuan yang membahas langkah mereka berikutnya. Mereka memutuskan untuk memberikan Yazid kabar terakhir dan situasi nyata di kota Mekah. Mereka menulis surat kepada kepalanya di Suriah memberitahukan perkembangan terakhir di Kufah.

Yazid terkejut dengan berita tersebut. Penasihat khususnya menyarankan untuk mengangkat Ubaidullah bin Ziyad sebagai gubernur Kufah. Ibnu Ziyad adalah seorang pembunuh, kekosongan jiwanya dari rasa kemanusiaan dan kegelaman hatinya kepada keluarga Rasulullah (saww) menjadikannya calon yang tepat. Ibnu Ziyad menerima surat pengangkatan Yazid sebagai gubernur baru di Kufah. Dia mengangkat saudaranya menggantikannya di Basrah, dan secepatnya pergi ke Kufah dengan membawa 500 divisi pasukan dari tentara Bani Umayah.
Beberapa pimpinan di Basrah ikut menemaninya, mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang-orang Kufah.

D Kufah, Ibnu Ziyad mengumpulkan orang-orang dan memberikan mereka arahan. Dia berjanji kepada mereka yang mendukung Bani Umayah akan mendapatkan hadiah yang menggiurkan. Dia mengancam lawan Bani Umayah dengan hukuman berat, misalnya kematian. Dibawah ancaman, dia memerintahkan para kepala suku untuk menyerahkan daftar orang-orang yang melanggar aturan Bani Umayah. Jika tidak, mereka sendiri akan dibantai di depan pintu rumah-rumah mereka.

Kemudian, atmosfir kegelapan merebak di seantero kota. Pertunjukan kekuasaan dari Bani Umayah, yang diwakili oleh Yazid, terjadi.Pimpinan kaum Syiah dan pendukung gerakan Islam yang diwakili Imam Husain terkurung.

Ketakutan mengibaskan sayapnya dan keputus-asaan memenuhi hati orang-orang. Peristiwa-peristiwa keji membuat suku-suku melindungi pimpinannya melawan Bani Umayah dengan berbagai bentuk. Ibu-ibu mengunci anak-anaknya karena khawatir akan membantu Muslim bin Aqil. Mereka yang mengejar kekayaan dengan cepat datang ke istana gubernur, bergembira dengan uang yang melimpah yang ditaburkan. Secara praktis, masyarakat Kufah menjadi kacau-balau. Pendukung-pendukung panggilan Islam, yang masih bebas, melakukan kontak secara rahasia dengan Muslim. Dia yang memerintahkan hal itu, dibawah tekanan yang baru timbul.

Mata-mata Bani Umayah dengan cepat menyebar teror ke seantero kota dan Ibnu Ziyad memakai segala cara penipuan untuk keluar dari krisis. Dia menebar gosip-gosip, lewat mata-matanya dan pengikutnya, bahwa pasukan besar Bani Umayah sedang menuju Kufah. Gosip menyebar dengan cepat. Gosip merebak dan teror berkuasa. Para wanita menghalangi anak-anaknya bergabung dengan Muslim, dan mereka yang sudah, dipaksa mundur. Para ayah menahan anak-anaknya dan saudara-saudara lelakinya mengambil bagian dalam aksi militer.

Situasi terus memburuk. Banyak orang meninggalkan pasukan Muslim, dan kepanikan terjadi. Pemaksaan dan penghalangan kepada perlawanan sukses dilakukan. Muslim, pada kenyataannya, tinggal hanya dengan sedikit pendukung setia yang melakukan pertempuran-pertempuran jalanan melawan Bani Umayah. Mereka membuat basis pertahanan di daerah lingkungan Kinda. Muslim bertempur dengan lemah dan kurang semangat.

Setelah semua terbunuh atau yang lain menelantarkannya, Muslim bertempur melawan tentara Bani Umayah sendirian. Akhirnya dia terpojok dan ditawarkan perlindungan. Ketika dibawa menghadap Ibnu Ziyad dia menolak menghormati perjanjian perlindungan dan memerintahkan Muslim untuk dieksekusi. Setelah memberikan wasiat terakhirnya, Muslim dibawa ke atas istana dan dilempar ke bawah. Kemudian dia dipenggal. Kepalanya, bersama kepala Hani dikirim ke Yazid di Suriah.

Lalu, dua pilar tokoh pergerakan Islam di Kufah dibantai. Pergerakan Muslim dan Hani, dua dari pahlawan padang pertempuran di Irak. Kufah dipermalukan dengan kekalahannya dan teror meluas. Tirani menguasai kehidupan rakyat.

Jalan ke Irak

Bani Umayah khawatir dengan berita kesuksesan Imam Husain di Mekah. Dia memenangkan hampir seluruh kota. Didasari rasa takut akan penyebaran kekuatan oposisi, Yazid mengirim tentara dari Suriah. Dia mengangkat Umar bin Said sebagai panglimanya.

Imam Husain (as) menerima kabar bahwa tentara Bani Umayah sedang menuju Mekah. Mengetahui tidak adanya penghormatan dari Bani Umayah kepada Rumah Suci Allah, dia memutuskan untuk meninggalkan kota. Tidaklah mungkin baginya untuk membiarkan kesucian kota dikotori karena dirinya. Dengan sadar, dia mengetahui nasib yang tak terelakkan di Irak. Dia menyatakannya dalam khotbahnya yang disampaikan di Mekah sebelum pergi. Dia berkata:
”Segala puji bagi Allah. Apa yang Allah kehendaki akan terjadi. Tidak ada kekuatan kecuali dari Allah. Salawat Allah kepada rasul-Nya. Kematian telah ditentukan pada setiap orang, sebagaimana kalung yang melingkar pada leher seorang anak perempuan. Bagaimana besarnya keinginanku untuk melihat penerusku. Sekuat keinginan Yakub (as)
untuk melihat anaknya Yusuf (as). Adalah lebih baik bagiku menemui kematian. Sebagaimana aku melihat anggota tubuhku dirobek-robek oleh serigala gurun, diantara Nawawis dan Karbala. Mereka akan memenuhi perut kosong dan kelaparan mereka. Tidak ada pelarian dari hari yang telah ditentukan Pena Ilahi.”

Pada hari kedelapan bulan Zulhijah (hari para jemaah haji melakukan ritual haji), di tahun 60 Hijriah, kafilah Imam Husain berangkat.

Sepanjang jalan ke Irak dia bertanya kepada musafir yang ditemuinya tentang keadaan Irak terakhir. Jawaban yang didapat hanya: ”Orang disana bersama Bani Umayah, tapi hati mereka bersamanya (Imam Husain) !”
Dia telah pasti bahwa keimanan akan lestari setelah kematiannya dan tidak ada yang mempertahankan keimanan kecuali dia. Karena hal inilah dia berjalan terus untuk mencapai kemenangan bersejarah yang nyata. Hanya dengan menumpahkan darahnya dan mengorbankan jiwanya dan orang yang bersamanya dari keturunan Rasulullah, Islam akan lestari.

Di Karbala

Hari itu hari Kamis, hari kedua Muharam tahun 61 Hijriah. Imam Husain, sahabat dan keluarganya berhenti dan berkemah di gurun Karbala untuk menjadi simbol kebebasan manusia dan slogan revolusi yang abadi sepanjang masa dan generasi selanjutnya.

Di pihak lain, tentara Bani Umayah, yang diwakili Ubaidullah bin Ziyad di Kufah, mulai mengumpulkan pasukan dan memobilisasinya ke Karbala. Ibnu Ziyad mengangkat Umar bin Sad sebagai panglima baru tentara tersebut. Umar menyerah kepada keinginan Ubaidullah ketika diancam kedudukan atas kekuasaannya di Ray. Umar berjuang dengan dua pertanyaan: Penyerahan diri kepada kehidupan dunia atau menolak keinginan duniawi dan menghindari pertempuran dengan Imam Husain. Akhirnya pertanyaan pertama yang menang dan dia memutuskan untuk mengambil peranan dalam pertempuran melawannya (Imam Husain).

Dia menunjukan perjuangannya dengan dua baris kalimat:
”Bisakah aku menolak jabatan gubernur di Ray, dimana itu merupakan ketakutanku, atau haruskan aku menerima tuduhan pembunuhan atas Husain? Haruskan aku membunuhnya, ketika aku berakhir dalam api, tanpa hijab, ketika jabatan gubernur di Ray akan menyejukkan mataku.”
Umar tidak lain adalah model dari orang-orang yang memerangi Imam Husain (as), dan mempunyai niat busuk dan tujuan keji.

Lalu dia memutuskan untuk menjalankan tugasnya dan bergerak menuju Nainawa (Karbala) memimpin pasukan dengan 4000 jumlah tentara. Saat kedatangannya, Umar bin Sad mengurung perkemahan Husain. Imam Husain (as) mulai bernegoisasi dengannya, melakukan berbagai pertemuan. Hasilnya, dia menulis kepada Ubaidullah bin Ziyad menyarankannya untuk melepaskan kurungannya terhadap perkemahan Husain, dan membiarkannya kembali ke arah tempat dia datang, lalu, menghindari pertumpahan darah yang akan terjadi. Ubaidullah menerima suratnya. Bahkan awalnya dia menghargai usulannya dan menginginkan untuk langsung menjalankannya. Tapi kemudian, Shimr bin Dil-Jawshan, seorang musuh berdarah dari Ahlul Bait (as), memperingatkan akan konsekwensinya. Ubaidullah menerima saran Shimr dan memberikan suran ancaman untuk dikirimkan kepada Umar bin Sad. Sebagian isi surat:
”Jadi, lihatlah jika Husain dan pengikutnya tunduk pada kekuasaanku dan menyerah, kirim mereka padaku dalam keadaan selamat. Jika mereka menolak, lalu serang dan perangi mereka dan hukum mereka, karena mereka pantas mendapatkannya. Jika Husain terbunuh, biarkan kuda menginjak-injak mayatnya, di bagian depan dan belakang.”

Lalu, logika Ibnu Ziyad memaksanya untuk menumpahkan darah dan memotong-motong mayat para syuhada seperti yang dilakukan nenek moyangnya kaum Quraisy pada jaman jahiliyah, yang memotong-motong mayat Hamzah, paman Nabi, pada masa sebelumnya. Tidak ada pilihan lain selain perang. Husain (as) biar bagaimanapun tidak akan menyerah kepada Ibnu Ziyad:
”Seorang sepertiku tidak akan pernah membaiat Yazid.”
Dia meneruskan: ”Aku tidak menginginkan kematianku kecuali dalam keadaan syahid, karena hidup dalam ketidakadilan tidak dapat kujalani.”

Dia (as) menyitir kata-kata Rasulullah (saww), yang disampaikannya kepada tentara Bani Umayah beberapa hari sebelumnya. Dia memberitahukan mereka:
”Wahai orang-orang, Rasulullah telah berkata: ’Siapa yang menyaksikan pemimpin tidak adil yang melanggar larangan Allah yang Maha Besar, memperlakukan pelayannya dengan penuh dosa dan keji dan telah melihat semua kejahatan ini tapi tidak melawan dengan perkataan maupun perbuatan, Allah akan menghukumnya.”

Imam Husain (as) melihat bahwa dia tidak bisa bernegoisasi dengan kelompok orang lemah semangat yang mendedikasikan dirinya untuk mendapatkan harta sitaan dan kekayaan. Dia meminta saudaranya, Abbas, sekali lagi untuk berbicara dengan tentara dan meminta penundaan satu malam. Umar bin Sad dan perwiranya setuju dengan penangguhan ini. Keesokannya, sejarah membuka halaman baru dalam kehidupan Islam. Laki-laki akan saling bertempur dalam pertempuran agung di Karbala.

Malam Asyura.

Bukanlah karena strategi militer Husain meminta penangguhan. Jalan kedepan terlihat jelas di benaknya, tapi Husain meminta penangguhan untuk melakukan ibadah malam itu. Dia menginginkan pada malam terakhir untuk bisa berbicara dengan keluarga dan sahabatnya, orang-orang yang dicintainya. Dia tahu apa yang akan terjadi. Lalu dia meminta saudaranya Abbas, kedua kalinya menghadap Ibnu Sad:
”Kembali ke mereka. Jika kamu bisa menangguhkan sampai pagi dan membujuk mereka untuk menjauhi kita selama malam hari, mungkin kita bisa beribadah kepada Tuhan selama malam hari, untuk berdoa dengan intim kepadaNya, membaca ayat-ayatNya, memohon dengan berpanjang-panjang dan meminta ampunanNya.”
Gelap datang. Keluarga Nabi (saww) dan pendukungnya tidak memejamkan mata. Beberapa dari mereka beribadah, memohon kemurahan Allah dan membaca Quran. Beberapa yang lainnya menyiapkan wasiat dan kata terakhir kepada keluarganya. Suara-suara dengungan seperti lebah. Mereka menyiapkan diri mereka untuk bertemu Tuhan mereka. Pedang dan tombak dipersiapkan. Malam itu mereka menjadi tamu tanah Karbala. Sejarah menanti peristiwa yang akan terjadi keesokan paginya. Pedang dan tombak menjadi pena yang menuliskan bagian teragung dari drama yang ditulis manusia.

Selama malam itu, Husain (as) mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya dan orang-orang yang dicintainya. Dia mengunjungi Al-Sajjad, Sukaina, Layla, Rabab dan Al-Baqir-Al-Saghir (as) kemenakannya. Dia membuat wasiat terakhir, sebagaimana dia memutuskan untuk menyirami kebun Islam dengan darahnya sendiri.

Hari Asyura.
Imam Husain (as) bersama dengan sahabatnya yang soleh, melewati malam sebelum hari kesepuluh Muharah dengan ibadah, berdoa dan bersiap untuk keesokan harinya. Malam berakhir. Terasa seperti sejarah yang panjang telah lewat. Hari kesepuluh Muharam, hari berdarah, jihad dan syuhada, hari keputusan perang, telah lahir.

Umar bin Sad mengatur barisan tempurnya, dan memobilisasi tentaranya untuk memerangi anggota kelima dari keluarga suci Nabi Muhammad, yang cintanya kepada umat dinyatakan Allah lewat kalimat-kalimat jelas di dalam Quran.

Imam Husain keluar dari kemahnya bersiap penuh menghadapi musuh. Perang tak terelakkan. Jadi, dia mulai memperkuat perkemahannya dimana wanita dan anak-anak menanti kejadian berikutnya.Dia memerintahkan untuk menggali lobang di belakang perkemahan. Ini untuk menghindari serangan dari belakang. Dia membuat api di lobang tersebut. Dengan amannya daerah belakang, pertempuran akan terjadi hanya di daerah depan.

Sekali lagi, Imam Husain (as) memberikan khotbah. Dia mengingatkan orang-orang Kufah kepada surat-suratnya dan utusannya, dan janji setia mereka tapi tidak membawa hasil. Dia menghadapi telinga-telinga yang tuli.

Dia menaiki kudanya, dan melarikan kudanya ke depan musuh yang berbahaya, dengan tangannya memegang Quran. Dia membukanya, mengangkat di atas tangannya dan berkata:
”Wahai orang-orang ! Mari kita berpegang pada Kitabullah dan Sunnah kakekku, Rasulullah (saww) untuk memutuskan urusan diantara kita.”
Tidak ada yang terpengaruh dengan kata-kata Imam Husain (as).
Malahan, Umar bin Sad memerintahkan pasukannya untuk maju dan memulai pertempuran. Dia sendiri, melepaskan anakpanahnya kearah perkemahan Imam Husain sambil berteriak:
”Semua menyaksikan bahwa aku orang pertama yang menyerang.”
Imam Husain menatap tanpa goyah dan penuh tekad menghadapi pasukan besar yang penuh perlengkapan. Seperti sedang menaiki bukit, penuh kepastian dan tak tergoyahkan, Imam Husain tak menunjukan sedikitpun kegentaran. Tidak pernah terpikir untuk mempertimbangkan kembali keputusannya. Tidak ada yang dituju kecuali Allah. Dia mengangkat tangannya berdoa:
”Ya Allah ! Hanya Engkau yang kupercayai didalam kesedihan. Engkau adalah harapanku ditengah kekejaman. Engkau tempat berlindung dari semua peristiwa yang kualami. Berapa banyak kesedihan yang melemahkan semangat, meninggalkan aku sendiri untuk menghadapinya, dengan kawan-kawan yang menelantarkanku, dan musuh yang bergembira atasnya. Aku mempersembahkan kepadaMu dan mengeluhkannya kepadaMu, karena keinginanku kepadaMu, hanya Engkau. Engkau membebaskan aku dan menghapuskan daripadanya. Engkau adalah yang Maha Penyayang diantara yang penyayang, pemilik semua kebaikan dan Tujuan Utama dari semua keinginan.”

Itu adalah merupakan gambaran dari malapetaka dan tragedi yang mengorbankan keturunan kenabian dan pemimpin umat Islam, cucu dari Rasulullah (saww) yang mulia, Husain bin Ali bin Abu Thalib.

Orng-orang saling bertempur, mulanya pertempuran satu lawan satu, kemudian pertempuran penuh. Adalah alami kekuatan tentara Yazid bin Muawiyah bisa membantai kelompok kecil pejuang yang jumlahnya tidak lebih dari 72 orang.

Keseluruhan tragedi Ahlul Bait (as) dan penderitaan hebat mereka di tangan musuh mereka ditunjukkan dengan sangat jelas dalam perang Karbala.

Perang terus berlanjut di Karbala. Penumpahan darah mulia terus mengalir, berjalan menuju keabadian. Sahabat-sahabat Imam Husain (as) roboh ke tanah, satu demi satu. Para pahlawan yang hebat dari keluarga Aqil dan dari keluarga Ali bin Abu Thalib (as) sekarang menjadi mayat-mayat dengan kepala terpotong, berserakan di dataran perang seperti bintang-bintang di langit musim gugur, atau seperti bunga lotus di atas permukaan kolam.

Sekarang serangan lebih intensif. Mereka hampir terkurung oleh tentara Bani Umayah. Beberapa tentara pergi ke perkemahan mencari barang berharga. Ibnu Sad memerintahkan: ”Bakar semua kemah.” Anak-anak menangis dan wanita juga bersedih, saat melihat tenda-tenda terbakar. Imam Husain (as) berdiri diantara mereka, bergabung dengan mereka tapi tersentuh dengan tangisan anak-anak dan ratapan para wanita. Dia mencari bantuan. Dia berteriak:
”Apakan ada yang mau melindungi wanita dari keluarga Rasulullah ? Apakah ada orang yang bertauhid yang takut kepada Allah dan menolong kami ? Adakah pendukung yang mencari balasan dari Allah dan membantu kami ?

Tidak ada jawaban kecuali ratapan wanita dan tangisan anak-anak. Imam Husain (as) tidak punya pilihan lain kecuali memerangi musuh. Hatinya dipenuhi kasih-sayang kebapakan dan kekhawatiran kepada keluarganya, kesucian, kesucian para Penolong (kaum Ansar) dan anak yatim dari para syuhada.

Dengan kepastian bahwa dia (as) tidak akan kembali selamat dari medan pertempuran, dia pergi mengunjungi tenda saudara perempuannya Zainab, memintanya untuk membawa anak bayinya untuk mencium bibirnya dan melihatnya untuk saat terakhir.
Imam Husain (as) mengulangi kalimat berikut:
”Ya Allah ! Aku mengeluh kepadamu tentang apa yang telah dilakukan kepada anak laki-laki dari anak perempuan Nabi”.

Dia (as) melihat sekeliling dan menyadari bahwa tidak ada yang membantunya. Sahabatnya telah berserakan menjadi mayat disekitarnya, mereka telah memenuhi tugasnya menegakkan kalimat. Imam Husain sendirian. Dia membawa pedang Rasulullah di tangannya dan semangat dari Ali (as) di kedalaman hatinya. Di lidahnya terdapat kata-kata penuh kesalehan. Ini adalah harinya yang dijanjikan Rasulullah (saww) dan tempat yang diberitahukan yang menjadi kediaman terakhirnya. Dia menantang musuhnya bertempur satu lawan satu. Satu demi satu mereka datang dan dikirim ke dunia lain.

Imam Husain (as) masih khawatir dengan perkemahannya, yang terus terbakar. Saat pasukan Ibnu Sad memotong jalannya ke perkemahan, dia menantang pasukan Bani Umayah: ”Aku bertempur melawanmu. Wanita tidak terlibat. Aku akan melindungi wanita keluargaku dari kejahatanmu selama aku masih hidup.”

Telinga dan hati mereka yang keji adalah mereka yang tuli dari perkataan anak laki-laki dari anak perempuan Rasulullah, Shimr bin Dil Jawshan dengan sepuluh orangnya maju kearah perkemahan keluarga Imam Husain (as), dan dia berteriak kepada mereka:
”Celaka kau. Jika kamu tidak punya keimanan dan tidak takut akan hari kiamat, berbuatlah sekehendakmu (di dunia), dan menjauhlah dari kemuliaan, dan dari milikku dan keluargaku dari tiranimu dan kebodohanmu.”

Serangan berlanjut dengan kejam, ketika Imam Husain (as) berdebat dengan mereka, sampai sebuah anak panah diarahkan ke Imam Husain (as) dan menancap di tenggorokannya. Tombak dan pedang memakan tubuhnya. Dia menjadi lemah karena darah yang melimpah keluar ketika tubuhnya menjadi metafor dari sebuah buku, yang mana setiap tancapan pedang dan panah menuliskan baris-baris agung dari kisah kepahlawanan.

Ada enampuluh-tujuh luka yang dengan diam-diam menuturkan kisah perjuangan dan jihad dan abadi menyuratkan bab-bab tragis dari penindasan dan ketidakadilan.

Musuh masih belum puas. Shimr mendekati Imam Husain (as) membawa pedangnya dan menebasnya beberapa kali, kemudian dia memenggal kepalanya. Dia membawa kepala itu dengan penuh kebanggaan untuk dipersembahkan kepada Ibnu Ziyad untuk mendapatkan hadiah.

Kepala yang tidak pernah berkata ”Ya” kepada penindas, yang selalu mengulangi:
”Demi Allah ! Tidak akan pernah memberikan tanganku kepadamu seperti orang terhina, ataupu tidak akan pernah melarikan diri seperti budak.”

Ibnu Sad memerintahkan penunggang kuda untuk menginjak-injakkan kaki kuda mereka diatas mayat suci Imam Husain (as). Kepala Imam Husain (as), bersama kepala sahabatnya yang lain (bahkan kepala bayi Ali Ashgar) diberikan kepada kriminal-kriminal, sebagai hadiah, dan membawanya kepada gubernur Bani Umayah di Kufah.

Selama tiga hari, mayat mayat suci dari syuhada dibiarkan terbaring di gurun Karbala sebelum orang-orang suku Bani Asad, yang tinggal didekat medan perang tersebut menguburkannya. Para kriminal, masih belum puas dengan semua ini, menawan dan membawa wanita dan anak-anak, termasuk anak Imam Husain (as) yang sedang sakit, Imam Zainal Abidin dari Kufah ke Suriah. Dibagian depan dari rombongan prosesi kesedihan ini, kepala-kepala Imam Husain dan pengikutnya.

Terkait Berita: