Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Syaikh Thusi. Show all posts
Showing posts with label Syaikh Thusi. Show all posts

GHADIR KHUM, FAKTA SEJARAH YANG BERUSAHA DITUTUPI oleh intervensi penguasa !

Ghadir Khum: Sejarah Yang Mustahil Untuk Diingkari


ESTAFET KEPEMIMPINAN UMMAT DI GHADIR KHUM, SUATU FAKTA SEJARAH YANG BERUSAHA DITUTUPI

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim (penentu keputusan) terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.“ (Q.S 4 :65 ).
 “Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang dilarangnya pada kalian maka tinggalkan.” (Al-Hasyr: 7).

Dari sudut pandang syiah, hadist-hadist seputar peristiwa Ghadir Khum yang menceritakan tentang mandat Rasululah pada Ali untuk melanjutkan kepemimpinan ummat adalah sangat mutawatir, Sebut saja Syekh Saduq , Syekh Thusi, dan para muhadist Syiah lainnya meriwayatkan peristiwa tersebut dari berbagai rantai periwayatan yang hingga mencapai ratusan hadist ,bahkan ribuan kesaksian yang saling menguatkan satu sama lain. Berbeda dengan saudara-saudara di kalangan ahusunnah, hadist-hadist seputar peristiwa ini cenderung seperti ditutup tutupi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa intervensi penguasa pada saat perkembangan mazhab tersebut sangat kentara. Kita semua sama-sama tahu, bahwa para ulama-ulama dikalangan ahlusunnah yang konsisten dan tidak sefaham dengan penguasa banyak yang ditangkap, disiksa, bahkan dieksekusi para penguasa, sebut saja Imam Hanafi, Imam Syafii, Ibnu hazm, dan banyak nama lainnya yang barangkali perlu tulisan tersendiri untuk membahasnya.
  Dalam membahas peristiwa Ghadir Khum ini, kami akan berusaha mengemukakan hadist-hadist dari kalangan saudara kami ahlussunnah, karena sebagaimana yang saya alami dulu saat masih menjadi pengikut ahlussunnah, hadist-hadist syiah tidak berarti apa-apa bagi saya saat itu. Sama seperti bila kita berhujjah dengan kaum agama lain misalnya, mana mau mereka menerima hujjah kecuali dari kitab mereka sendiri. Banyak pula diantara mereka yang walaupun telah dipaparkan dengan berbagai argumentasi tak terbantahkan darikitab mereka sendiri yang masih keras kepala, menutup hatinya rapat-rapat dari kebenaran, mudah-mudahan para pembaca disini tidak termasuk yang demikian, insya Allah Amin.

Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Alqur`an At Tawbah: 32 dan Saff: 8, mereka mengadakan dusta terhadap Allaah, mereka berkata bahwa Allaah tidak menurunkan perkara apapun tentang keberlanjutan kepemimpinan Ilahi,
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhada Allah padahal dia diajak kepada Islam? Dan Allaah tidak memberi petunjuk kepada orang – orang yang zalim.”.

”Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahayaNya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (Q.S As-Saff: 7-8).

Walaupun ada upaya-upaya sistematis dari para penguasa pada masa lalu untuk menutup-nutupi fakta penting sejarah ini, berbagai hadist seputar peristiwa tersebut, dan puluhan hadist lainnya yang saling menguatkan satu sama lainnya dan berbagai riwayat yang “tanpa sengaja” membenarkan peristiwa tersbut bertebaran disana-sini, berikut kami akan paparkan hadist-hadist tersebut :

Dari Zaid bin Arqam, ia berkata ‘” Rasululah saw telah berpidato di suatu tempat bernam,a Ghadir Khum, di bawah beberapa batang pohn. Beliau berkata,” Wahai manusia , hampir tiba saatnya aku akan dipanggil kembai. Dan aku pasti akan memenuhi panggilan tersebut dan aku akan dimintai pertanggung jawaban. Dan kamupun akan dimintai pertanggungjawaban maka apa yang akan kamu katakan ?
Mereka menjawab,” Kami bersaksi bahwa engkau menyampaikannya, telah berjuang serta memimpin kami setulus-tulusnya. Semoga Allah memberi balasan yang sebaik-baiknya.”.
Lalu rasul melanjutkan,”
Bukankah kalian bersaksi tentang La Ilaaha ilallah Muhammadurasuulullah, dan bahwa surga haqq, kebangkitan itu haqq, dan bahwa hari qiyamat itu benar, tiada keraguan tentangnya dan bahwa Alah akan membangkitkan kembali semua yang ada di liang kubr? “
jawab mereka,” Ya Alah saksikanlah.”.
Selanjutnya rasul melanjutkan,” wahai manusia, sungguh Allah adalah maulaku, dan aku adalah maula seluruh kaum muslimin, dan aku lebih berhak menjadi wali mereka lebih dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka dia ini ( beliau menunjuk Ali) adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.
Kemudian beliau melanjutkan lagi,
”Wahai manusia, bahwa aku akan mendahului kalian, dan kelak kalian akan menghadap aku di telaga Haudh. Haudh lebih luas daripada Bushra ke Shan`a, disana tersedia gelas-gelas perak sebanyak bintang dilangit dan aku saat itu akan bertanya pada kalian tentang Tsaqolain ( dua pusaka) bagaimana kalian memperlakukannya sepeninggalanku. Atsaqol yang teragung adalah Kitabullah, ujung yang satunya di “tangan” Allah, yang satu lagi di tangan kalian maka berpeganglah erat padanya, niscaya kalian tidak akan sesat, tidak berubah arah. Yang kedua adalah itrahku (keturunanku) ahul baitku, sebab Allah Meliputi dan Mengetahui telah memberitahukan bahwa keduanya tidak akan putus sampai menemui aku di Haudh.” ( HR Thabrani, Ibnu Jarir, Al Hakim, Tirmidzi dari Zaid bin Arqom).

Tentang hadist tersebut, bahkan Ibnu Hajar yang sangat membenci Syiah dalam halaman 25 Kitab Sawa`iqnya mengutip hadist tersebut dari Thabrani dan membenarkan hadist tersebut tanpa keraguan.
Selanjutnya al Hakim dalam Mustadraknya bab Manaqib Ali meriwayatkan hadist serupa Dari Zaid bin Arqam, dari dua saluran yang disahihkan sesuai dengan yang disyarat kan Bukhari dan Muslim, juga diriwayatkan pula oleh adz Dzahabi dalam kitabnya at Talkhis , seraya mengakui kesahihannya;
Zaid bin Arqam berkata ‘” Ketika rasulullah pulang dari Haji Wada` dan teah sampai suatu tempat bernama Ghadir Khum, beliau memerintahkan beberapa pengikut untuk memasang kemah, di bawah beberapa batang pohon. Beliau berkata,” Seakan akan aku dipanggil Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan tersebut. Dan aku amanatkan pada kalian Ats Tsaqolain ( dua pusaka) yang teragung adalah Kitabullah , yang kedua adalah itrahku (keturunanku) ahlul baitku , sebab Allah Meliputi dan Mengetahui telah memberitahukan bahwa keduanya tidak akan berpisah sampai menemui aku di Haudh.”.
Lalu beliau memegang tangan Ali sambil berkata ,”Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka dia ini ( beliau menunjuk Ali) adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.

Dan diriwayatkan pula peristiwa tersebut oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid IV meriwayatkan hadist serupa melalui Zaid bin Arqam, katanya ‘”

Kami berhenti di suatu lembah bernama Ghadir Khum, beliau memerintahkan untuk mendirikan shalat, lalu beliau sholat pada waktu hari sudah siang terik, Beliau berpidato dihadapan kami, sehelai kain kain direntangkan di atas sebatang pohon untuk melindungi tubuh beliau dari sengatan matahari, Lalu beliau berkata,” wahai manusia, apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah maula seluruh kaum muslimin,dan aku lebih berhak menjadi wali mereka lebih dari diri mereka sendiri.” Yang hadir menjawab,” benar ya rasulullah.”.
Beliau melanjutkan ,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.

Selanjutnya An Nasa`i meriwayatkan pula Dari Zaid bin Arqam, katanya ‘” Ketika rasulullah pulang dari Haji Wada` dan berhenti di Ghadir Khum, beliau memerintahkan beberapa pengikut untuk memasang kemah. Beliau berkata,” Seakan akan aku dipanggil Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan tersebut. Dan aku amanatkan pada kalian Ats Tsaqolain ( dua pusaka) yang salah satunya lebih besar dari yang lain, Kitabullah , dan itrahku ahlul baitku , keduanya tidak akan putus sampai menemui aku di Haudh.”.
Lalu beliau melanjutkan,” ,” Sesungguhnya aku adalah maula seluruh kaum mu`min, lalu Rasul mengangkat tangan Ali sambil berkata,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”

Hadist tersbut juga diriwayatkan juga oleh Muslim pada sahihnya dalam bab keutamaan Ali dari beberapa saluran dari Zaid bin Arqam, tapi hadist tersebut dipotong ringkas, begitulah yang biasa mereka lakukan.

Dari al Barra` bin Azzib melalui dua saluran, ia berkata ‘” Kami bersama-sama Rasulullah berhenti di Ghadir Khum, maka diserukanlah untuk mendirikan shalat, lalu dibersihkanlah tempat bagi rasul dibawah dua batang pohon, lalu beliau sholat Dzuhur, setelah itu Beliau mengangkat tangan Ali sambil berkata,” wahai manusia, apakah aku lebih berhak menjadi wali orang-orang mu`min lebih dari diri mereka sendiri.”
Mereka menjawab ,”benar ya rasululah.”
Sambil mengangkat tangan Ali rasul berkata,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” Setelah itu Umar bin Khattab datang menemui Al dan berkata,” Alangkah bahagianya anda wahai Ali binAbi Thalib, kini engkau menjadi maula seluruh mu`min dan mu`minah ( Musnad Ahmad , jilid IV halaman 281 ).

“Dan berjihadlah kamu di jalan Allaah dengan jihad yang sebenar-benarnya Dia telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allaah) telah menamakan kamu orang – orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksnakanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan berpegang teguhlah kepada Allaah. Dialah Maula kalian (Huwa Maula kum); Dia sebaik – baik maula dan sebaik – baik penolong.” (Q.S Al-Hajj[22]: 78).

Dan telah diriwayatan oleh anNasa`i dari Aisyah binti Sa`ad, katanya ,” Kudengar ayahku berkata : “ Aku mendengar Rasulullah ketika berada di Juhfah berkata setelah memuji Allah,” ,” wahai manusia, aku adalah wali kalian ?.” Mereka menjawab ,” benar ya rasululah.” Lalu beliau mengangkat lengan Ali seraya berkata,” Inilah waliku yang akan melunasi hutangku, bertindak atas namaku dan aku bersama siapa yang memperwalikannya dan aku musuhi siapa yang memusuhinya.” ( Al Khashaishul Alawiyah bab keddudukan Ali halaman 4 dan halaman 25).

Dari Sa`ad ,” ‘” Kami bersama-sama Rasulullah di Ghadir Khum, beliau berhenti sambil menunggu kedatangan rombongan rombongan yang dibelakangnya, dan memerintahkan agar orang-orang yang telah mendahuluinya agar kembali dan berkumpul semuanya,Setelah semuanya bergabung Beliau berkata,” wahai manusia, siapakan waliMu ” Mereka menjawab ,” Allah dan RasulNya.” Sambil mengangkat tangan Ali dan menyuruh Ali berdiri rasul berkata,”Barangsiapa yang menjadikan Allah dan RasulNya sebagai walinya, maka Ali adalah walinya juga. Ya Allah cintailah siapa yang berwilayah padanya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” ( Al Khashaishul Alawiyah bab kedudukan Ali halaman 25 ).

Bukti-bukti lain dari berbagai riwayat ahlusunnah yang menunjukan bahwa peristiwa Ghadir Khum benar-benar ada:
Seperti telah saya katakan sebelumnya bahwa dalam kitab-kitab hadist syiah, hadist-hadist tentang peristiwa ini banyak berserakan dari berbagai jalur rantai periwayat. Tetapi dalam ahlusunnah, hadis-hadist seputar peristiwa ghadir khum memang tidak sebanyak dalam riwayat Syiah.

Para penulis hadist sunni seperti berusaha menyembunyikan dan menutupnya rapat-rapat, berbeda dengan hadist “berpegang pada Kitabullah dan Sunah nabi”, walaupun tidak mencapai derajat mutawatitr bahkan tidak terdapat dalam Bukhari Muslim yang sering mereka anggap sebagai kitab hadist paling sahih, pegangan kedua setelah Kitabullah, mereka para ulama ahlusunnah menyebarluaskan hadis yang kurang kuat tersebut, tetapi untuk hadis ghadir khum, mereka seperti menutup, menyembunyikan, dan menjauhkannya bagi ummat sebagai sebuah cerita masa lalu yang tidak begitu penting.

Tetapi, kekuatan apa pun yang berusaha menyembunyikan kebenaran, dan serapi apa pun, cahaya kebenaran tetap tidak dapat dipadamkan. Seperti upaya menghapus kabar-kabar nubuwwah tentang kenabian Muhammad dari kitab-kitab agama-agama samawi didunia, toh akhirnya terkuak juga bahwa nubuwah yang berisi informasi tersebut masih tersimpan rapi dalam kitab mereka walau dalam bentuk metafora sekalipun.

Walaupun hadist-hadist seputar suksesi penting tersebut terkesan disembunyikan, berbagai kesaksian-kesaksian atau pembenaran-pembenaran lainnya tentang peristiwa tersebut bertebaran pula dalam berbagai kitab hadist Ahlussunnah, sebagai bangunan argumentasi yang kokoh, berbagai fakta satu sama lain saling menguatkan, ibarat sebuah bangunan yang kokoh tak bergeming.

Saking banyaknya rantai periwayatan yang menguatkan peristiwa tersebut, Ustadz Hasan salah seorang mantan pengikut Wahabi bahkan menyatakan beberapa saat ketika dahulu sebelum tasyayunya,” Hadist tentang doa iftitah saja yang berbunyi ” Allahumma ba’id baini wa baina khotoya…., atau hadist doa attahiyat yang berbunyi,” attahiyatu mubarokatu” dst….saja, periwayatnya tidak sebanyak ini, tapi disahihkan bahkan diamalkan oleh kaum Wahabi yang terkenal sangat berhati-hati terhadap hadist, apalagi hadist ghadir khum yang lebih dari sekedar mutawatir, dari kitab yang saya punya saja ada riwayat dan kesaksian-kesaksian para sahabat sebanyak 34 pahlawan badar yang menyaksikan peristiwa tersebut, sementara yang menyaksikan Nabi membaca doa iftitah atau membaca attahiyat sebagaimana tadi saya sebutkan saja tidak lebih dari dua orang. Jadi, mengapa kita meninggalkan dan tidak mengamalkan wasiat Nabi tersebut?”

Ghadir Khum dan Asbabunnuzul
alWahidi dalam kitabnya Ababun nuzul ketika menafsirkan surat alMaidah ayat 67 yang berbunyi : “Hai Rasul sampaikanlah apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, jika kamu tidak kerjakan yang demikian berarti kamu tidak menyampaikan seluruh apa yang diamanahkanNya padamu.
Allah memeliharamu dari gangguan manusia, sesungguhnya Allah tidak memberikan hidayah pada orang-rang yang ingkar ,”mengutip perkataan Abu Sa`id al Khudr yang berkata,”Ayat ini turun pada hari Ghadir Khum, berkenaan dengan pidato nabi tentang Ali bin Abi thalib. Ats Tsa`labi meriwayatkan pula melalui dua sanad dalam alKabirnya berkenaan dengan turunnya ayat tersebut dan diriwayatkan pula oleh al hamwini asSyafii dalam alFaraid dengan mengambi beberapa sanad dari Abu Hurairah secara marfu`, dikutip pula oleh al Hafidz Abu Nu`aim dalam kitab Nuzulul Qur`annya melalui dua sanad yaitu dari Abu rafi`dan yang keduanya dari al-A`masy dari `Atiyyah (secara marfu`).

Abu Ishaq Ats Tsa`labi meriwayatkan pula dalam alKabirnya berkenaan dengan penafsiran surat alma`arij : 1-2 yang berbunyi,” Seseorang telah meminta kedatangan adzab yang menimpa orang kafir, dan tidak seorangpun dapat menolaknya.”.

Dengan melalui dua sanad yang mu`tabar bahwa : rasulullah telah mengumpulkan banyak orang pada peristiwa Ghadir Khumm saat rasul mengangkat tangan Ali dan berkata,”Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .”.maka tersiarlah berita itu hingga didengar Harist bin nu`man al Fihri. ia segera mendatangi Rasul sambil mengendarai ontanya.
Setiba di hadapan beliau, ia segera turun dari onta dan bertanya,” Ya Muhammad, engkau telah menyuruh kami bersaksi Tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa engkau adalah rasulallah dan kami menerimanya. Dan engkau perintahkan kami untuk shalat 5 kali sehari dan kami menjalankannya, engkau perintahkan kami zakat, kami tunaikannya, dan engkau suruh kami berhaji dan kami menerimanya.
Namun anda belum puas dengan semua itu sehingga anda akan lengan sepupu anda (Ali) sambil berkata,”Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .”.
Apakah ini dari anda pribadi atau dari Allah.jawab rasul,” Demi Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia ini adalah ketentuan Allah `Aza wa Jalla, Mendengar itu, pergilah al Harist pergi menuju ontanya sambil berkata dengan sinis ,” Ya Rabb, jika apa yang dikatakan Muhammad memang benar, maka turunkanlah hujan batu dari langit, atau datangkanlah pada kami azab yang pedih.”
Berkata perawi, “Maka Allah melemparinya dengan batu yang menembus tubuhnya hingga jatuh terkapar dan mati sebelu mencapai ontanya.” .

Hadist serupa juga diriwayatkan oleh tokoh-tokh ahlusunnah lanya seperti Allamah Syablanji dalam Nurul Abshar pada bab Riwayat Hidup Ali, juga ditulis oleh al-halabi dalam sirahnya halaman 214 jilid III.


Munasyadah al Rahbah 35 H
Al rahbah artinya beranda, yaitu suatu tempat dimana pada saat Ali naik menjadi khalifah setelah Usman terbunuh, beliau menyelesaikan berbagai permasalahan Umat di beranda masjid kota Kuffah 25 tahun setelah peristiwa Ghadir Khum , tepatnya pada tahun 35 H setelah kaum muslimin mengalami berbagai peristiwa yang memakan korban para saksi ghadir khum antara lain peperangan-peperangan yang banyak memakan korban terutama di pada masa kekuasaan Abu Bakar, serta wabah kolera yang memakan banyak jiwa kaum muslimin termasuk para sahabat yang ikut menyaksikan peristiwa ghadir khum, Amirul Mu`minin Ali bin Abi thalib yang baru dibai`at sebagai khalifah mengumpulkan orang banyak dihalaman masjid sambil berpidato ,” Aku mengajak demi Allah pada tiap orang diantara kalian yang telah mendengar apa yang diucapkan rasulullah di ghadir Khum agar berdiri memberikan kesaksian dari apa yang telah didengarnya.Dan hendaklah jangan kalian berdiri kecuali mereka yang benar-benar telah melihat peristiwa itu dengan kedua matanya dan mendengar apa yang Rasul katakan saat itu dengan kedua telinganya !’ maka berdirilah 30 orang dikalangan sahabat, duabelas diantaranya adalah pejuang Badar. Dan mereka semuanya memberikan kesaksian bahwa Rasul telah mengangkat lengan Ali dan bersabda ,” apakah aku lebih berhak menjadi wali orang-orang mu`min lebih dari diri mereka sendiri.” Mereka menjawab ,” benar ya rasululah.” Beliau berkata lagi ,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” ( Musnad Ahmad , jilid I halaman 119, dirawikan dari Abdurahman bin Abi Laila ).

Masih dalam musnad Ahmad diriwayatkan dari berbagai jalur periwayatan lain di akhir halaman 119 juga disebutkan pula oleh Ibnu Qutaibah ad daruni dalam kitabnya Ma`arif di akhir halaman 94 menurut riwayat Abdurahman bin Abi laila dan beberapa jalur lain , bahwa ketika itu Ali berkata kepada Anas “ mengapa engkau tidak berdiri bersama sahabat lainnya dan memberikan kesaksian seperti apa yang anda dengar ketika itu ? “ Anas menjawab “ Usiaku telah lanjut dan aku telah lupa.” Ali berkata,” Baiklah, jika apa yang kau ucapkan itu bohong, semoga Allah menimpakan penyakit belang atas tubuhmu sehingga tidak tertutup sorbanmu.”Dan tidak lama kemudian dia dirimpa penyakit belang hingga meliputi seluruh mukanya.” Aku terkutuk oleh doa hamba Allah yang saleh.” Katanya kemudian. peristiwa ini diriwayatkan pula oleh Zaid bin Arqam bisa dirujuk dalam berbagai kitab sunni antara lain al Haitsami dalam majmaul Zawaaid, almaghazili dalam alManaqib , Thabrani dalam alKabir, atTabari dalam Zakhair al Uqba, al Hafisz Muhammad bin Abdullah dalam alFawaaid,dll.

Kisah senada juga diriwayatkan oleh Abu Thufail Amir bin Watsilah sebagaimana direkam oleh Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya , an Nasai dalam Khasais, Abu dawud dalam, al Ashimi dalam Zainal fata, Al Kunji dalam kifayah, at tabari dalam Riyad an Nadhirah, Ibnu katsir dalam bidayah, Ibu Atsir dalam Usud al Ghabah, dll.

Disamping itu Ibnu katsir dalam tarikhnya meriwatkan kejadian serupa dari Ahmad bin hambal:
 Ali mengingatkan Thalhah pada perang Jamal
Saat berkecamuknya perang Jamal, terekam oleh kitab-kitab hadist dan sejarah dialog yang terjadi antara mereka berdua, saat itu diceritakan bahwa,
Ali berkata pada Thalhah,”Aku bermunasyadah atas nama Allah, tidakkah engkau pernah mendengar bahwa nabi pernah berkata, ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali) dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.” Jawab Thalhah,” ya, aku pernah mendengarnya” Lalu Ali bertanya,” kalau begitu, mengapa engkau memerangiku?” Thalhah menjawab,” aku lupa.”.

Al hakim meriwayatkan dalam Mustadraknya , juga diriwayatkan Mas’udi dalam Muruj al Zahab, Khatib al Khawarizmi dalam al manaqib, Ibnul jauzy dalam tadzkirah, Ibnu hajar dalam al tahzib, al Haitsami dalam majmaul Zawaid, jalaluddin Suyuthi dalam jami al Jawami, dll.

Pernyataan-pernyataan lain yang menguatkan
Juga disebutkan dalam Musnad Ahmad ( juz V halaman 419) dari Riyah bin harist melalui dua saluran hadist, katanya ,” sekelompok orang mendatangi Ali seraya mengucapkan ,” Assalaamu`alaika ya Amiru mu`minin,” Ali bertanya,” siapa kalian?’ “ kami adalah pengikut tuan.” Jawab mereka.
Lalu Ali bertanya,” bagaimana kalian menganggap aku sebagai Wali kalian , sedang kalian adalah orang-orang Arab.” Jawab mereka,” kami telah mendengar rasul bersabda pada peristiwa Ghadir Khum ,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .” berkata Riyah ( perawi hadist ini) : ketika mereka pergi, aku ikut bersama mereka dan menanyakan tentang orang-orang ini, siapakah mereka, dan aku mendapat jawaban bahwa mereka adalah sekelompok kaum Anshar, diantaranya ada Abu Ayyub al anshari.”

Munasyadah Pada Masa Usman bin Affan
Sebagaimana diriwayatkan alHimwaini dalam Faraidu Simthoin, Sulaim bin Qois alHilali menyaksikan bahwa saat itu pada masa Usman bin Affan berkuasa berkumpul di masjid Nabawi lebih dari 200 sahabat termasuk diantaranya Miqdad, Saad Bin Abi Waqass, Ibnu umar, Thalhah, Zubair, dan lain-lain, mereka membicarakan keutamaan kaumnya, saat itu Ali berkata panjang lebar yang diantaranya adalah pernyataan-pernyataan Nabi tentang keutamaan Ali dan ahlulbait Nabi termasuk diantaranya yang nabi ucapkan di Ghadir Khum.

Peristiwa syura 23 H
Jauh sebelum itu, pada peristiwa syura, Ali melakukan dialog pada para peserta syura, disana Ali mengambil kesaksian-kesaksian, salah satunya adalah sebagaimana diceritakan Abi At Tufail Amr bin watsilah sebagaimana tercatat dalam Khashaisul Alawiyah (AnNasa`i) menceritakan bahwa Ali berkata pada mereka,” Apakah diantara kalian ada yang seperti diriku dimana Rasul berkata padanya,”Barangsiapa yang mengakui aku adalah pemimpinnya maka ketahuilah bahwa Ali adalah pemimpinnya, Ya Allah befihaklah pada orang-orang yang memihaknya, belalah orang-orang yang mengikuti wilayah (kepemimpinannya) , dan musuhilah orang-orang yang menentang kepemimpinannya.”.

Hujjah Keluarga nabi tentang al Ghadir
Al muqiri asSyafii dalam Asnal al Matalib meriwayatkan debat antara Fatimah dengan para sahabat Nabi, dari percakapan yang cukup panjang terungkap pula pernyataan fatimah ,”Apakah kalian lupa perkataan rasulullah pada hari al Ghadir ,” ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”.

Al Hafidz Abul Hassan bin Uqdah meriwayatkan bahwa pada saat Imam Hassan menandatangani kesepakatan dengan Muawiyah, Imam berkata,”Bukankah ummat ini mendengar perkataan nabinya saat memegang tangan Ali di Ghadir Khum sambil berkata ,” ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.” Dan Nabi memerintahkan agar yang hadir menyampaikannya pada yang tidak hadir.”.

Sulaim bin Qais pun meriwayatkan bahwa duatahun setelah kematian Muawiyah, Imam Husein berpidato dihadapan 700 orang jemaah haji di mina yang termasuk diantaranya adalah para sahabat, tabiin, Bani hasyim dan para pengikut setia al Husein,” Aku bermunasyadah pada Allah, bukankah kalian tahu bahwa Nabi di ghadir Khum berkata sambil mengangkat tangan Ali ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya, dan hendaklah yang mendengar hal ini menyebarluaskan kabar ini pada yang belum mendengarnya,” semua yang berkumpul memberikan kesaksian.

Begitulah sekelumitnya pencarian ku tentang kebenaran peristiwa ghadir khum tersebut, saat saya masih mempelajarinya, sekelompok teman yang terpengaruh faham wahabi datang dan mengatakan bahwa peristiwa tersebut tidak detail disebutkan dalam bukhari-muslim, lalu saya katakan kepada mereka,” bukankah hadist “Kitabullah wa sunnatun nabi” pun tidak kutemukan dalam bukhari muslim. Dan kalau hadist yang sebegini banyak jalur periwayatannya saja kita tolak, kenapa kita melakukan shalat, padahal hadist-hadist tentang tata cara shalat saja tidak sebanyak ini jalur periwayatannya.”.

Masih banyak lagi berbagai riwayat lain yang begitu melimpah bukti-bukti yang menguatkan kebenaran peristiwa tersebut, Bahkan jauh-jauh hari sebelum peristiwa penting tersebut terjadi, nabi selalu mengulang-ulang pesan penting tentang kewilayahan Ali, dan pentingnya berpegang pada Aststaqolain (dua pusaka) Kitabullah, dan ahlul bait Nabi , dalam berbagai kesempatan , pernyataan-pernyataan nabi tersebut terdapat di berbagai kitab hadist sunni.

Di akhir tulisan ini,saya akan tutup dengan kisah seorang perempuan pemberani bernama Darumiyah, saat ditanya oleh Muawiyah tentang alasan mengapa Darumiyah begitu mencintai Ali, Darumiyah memberikan serangkaian argument yang salah satunya adalah,”Aku berwilayah pada Ali karena rasulullah telah mengangkatnya sebagai pemimpin ummat sepeninggalan beliau , bahkan bukankah peristiwa itu terjadi dihadapan batang hidungmu wahai Muawiyah.” ( Zamakhsyari dalam rabiul abrar)

Komentar:
Mengapa Allah tidak boleh menunjuk langsung pemimpin Ummat melalui lisan nabi, sehingga tidak ada perpecahan seperti yang terjadi saat ini, ummat terpecah ke dalam kelompok-kelompok yang masing-masing mengklaim punya Pemimpin sendiri-sendiri.Apakah Allah membiarkan ummat ini bingung memilih siapa pemimpinnya, padahal bukankah kepemimpinan adalah hal yang sangat fundamental, tanpa pemimpin ummat akan terpecah, kebenaran akan menjadi bias-bias yang semakin membuat ummat kebingungan.

Kepemimpinan yang dipilih secara musyawarah pada akhirnya selalu membuat perpecahan, ketidak puasan, sebagaimana yang kita lihat sekarang, lalu apakah Nabi wafat tanpa menunjuk khalifah setelahnya sehingga ummat kebingungan dan berpecah-pecah.

Padahal, bukankan tiap-tiap ummat akan dipanggil kelak bersama pemimpin-pemimpin (Imam – Imam) mereka ?

Allah Swt berfirman: “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu), berarti kamu tidak menyampaikan risalah/agama-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah: 67).

Peristiwa pengangkatan Imam Ali sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Islam pasca Nabi saw, terjadi di tempat yang bernama Ghadir Khum, yang terletak di kawasan antara Mekkah dan Madinah di dekat Juhfah, sekitar 200 km dari Mekkah.

Peristiwa besar yang menggemparkan sejarah ini,
terjadi pada bulan terakhir tahun ke-10 Hijriah, setelah Rasul saw menjalankan Haji Perpisahan/Terakhir (Hajjatul Wada’). Semua sahabat sadar bahwa sebentar lagi wahyu akan terputus dari mereka. Ini adalah saat-saat terakhir kebersamaan mereka dengan Nabi Besar Muhammad saw.

Dalam sebagian riwayat, Haji Perpisahan/Terakhir tersebut juga disebut dengan hajjatul ikmal wa itmam (haji lengkap dan sempurna), karena setelah ayat ke-67 dari surah al Maidah tersebut diamalkan oleh Rasul saw dimana beliau secara resmi mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib tinggi-tinggi sehingga terlihat bagian dalam lengan beliau dan bersabda:
“Man kuntu maula fa hadza ‘aliyyun maula” (Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka ia pun harus menjadikan Ali sebagai pemimpinnya),
maka turunlah ayat berikut sebagai happy ending dakwah beliau:
“Pada hari Ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah: 3).

Sebelum Rasulullah saw mengangkat Ali sebagai penggantinya, beliau menyampaikan pidato panjang di Ghadir Khum, dimana di antaranya beliau menjelaskan posisi dirinya dan ahlul baitnya, khususnya Imam Ali. Dan di akhir orasinya, Nabi saw mendoakan Ali secara khusus:

“Jadikanlah kebenaran selalu berada bersama Ali.”

Ini adalah kalimat terbaik, terindah dan memiliki makna paling dalam yang diucapkan Nabi di saat itu. Rasul saw menjadikan Ali sebagai mizan (timbangan) kebenaran. Dengan kata lain, untuk mengetahui sesuatu itu benar maka ia harus kita ukur dengan Ali, bukan sebaliknya. Yakni salah besar kalau kita mengukur Ali dengan kebenaran. Sebab Ali adalah manifestasi sempurna kebenaran itu sendiri. Kalau kita mengukur Ali dengan kebenaran maka ini namanya “jeruk makan jeruk”. Sabda agung Nabi saw tersebut yang ditujukan kepada Imam Ali tak ubahnya sabda beliau yang dialamatkan kepada putri semata wayangnya, Fatimah az Zahra: “
“Ridha Allah terletak pada keridhaan Fatimah dan murka-Nya pun terletak pada kemurkaan Fatimah.”

Sebagaimana Ali, Fatimah yang notabene istri tercinta Ali adalah tolak ukur kebenaran. Sesuatu menjadi benar ketika Fatimah meridhainya, dan sesuatu menjadi batil ketika Fatimah memurkainya. Siapapun yang membuat marah Fatimah maka sejatinya ia sedang membuat marah Allah, dan siapapun yang membuat Fatimah tertawa maka ia sedang membahagiakan Allah.

Peristiwa Ghadir dengan pelbagai redaksi dan kisahnya mungkin dapat dilupakan, namun ia tak dapat diingkari begitu saja seperti apa yang dilakukan oleh Fakrur Razi, penulis tafsir Mafatihul Ghaib. Mungkin Fakrur Razi puyeng bila menerima konsekuensi logis dari kejadian Khadir Khum, sehingga karena itu beliau dengan enteng menganggap peristiwa itu tidak pernah ada dalam lembaran sejarah.

Sementara itu, Ahmad bin Hanbal bukan hanya tidak menolak peristiwa tersebut, bahkan beliau berpendapat bahwa Nabi saw menyampaikan hadis, “Man kuntu maula….” sebanyak 4 kali. Nabi saw juga memerintahkan supaya mereka yang hadir dan menjadi saksi sejarah di Khadir Khum menyampaikan pesan penting beliau itu kepada mereka yang tidak hadir.

Allah Swt berfirman :
“Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan agama-Nya.”

Berkenaan dengan ayat di atas, di sini ada pertanyaan kritis dan penting: Kira-kira hal apa yang belum secara resmi disampaikan Nabi saw, sehingga beliau diancam oleh Allah Swt bila tidak menyampaikannya maka seluruh jerih payah dakwah beliau selama 23 tahun akan menjadi sia-sia?! Bukankah perintah shalat, zakat, puasa, haji, jihad dll sudah dengan gamblang dijelaskan oleh Baginda Rasul saw?.

Bukankah menurut jumhur ahli tafsir bahwa surah al Maidah adalah termasuk surah yang terakhir turun kepada Nabi saw?, Sehingga ketetapan/hukum apa yang masih perlu disampaikan oleh Rasul saw di Haji Perpisahan tersebut? Ketetapan apa gerangan yang bila Nabi saw mengamalkannya agama menjadi lengkap dan sempurna? Tidak lain adalah ketetapan seputar pemimpin dan imam umat sepeninggal beliau yang menjaga agama dari penyimpangan dan kekaburan pemahaman.

Bukti Kebenaran Peristiwa Ghadir Khum dan Hadis Man Kuntu Maula
Allamah Amini dalam kitab monumentalnya Al Ghadir, menyebutkan seluruh perawi hadis Man Kuntu Maula yang diucapkan Nabi saw di Ghadir Khum, tidak kurang dari 110 sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, di antaranya Thalhah, Zubair, Abu Bakar dll.
Dan 84 perawi hadis tersebut dari generasi kedua, yakni tabiin. Bahkan peristiwa Ghadir Khum dan hal-hal yang terkait dengannya, diabadikan dalam 360 kitab Ahlus Sunah. Jadi, status hadis Man Kuntu Maula bukan hanya mutawatir (diriwayatkan oleh banyak perawi dan tak ada keraguan perihal kesahihannya), tetapi fauqa mutawatir (di atas mutawatir).

Polemik Seputar Makna Man Kuntu Maula
Seperti yang kami tegaskan, bahwa Peristiwa Ghadir Khum tidak dapat dihapus dari kening sejarah, dan pengingkaran terhadap hal tersebut berangkat dari fanatisme mazhab yang sempit atau kebodohan yang akut.
Maka perdebatan berkaitan dengan Ghadir Khum bukan berkisar pada benar tidaknya Nabi saw mengangkat tangan Imam Ali tinggi-tinggi dan membacakan hadis: Man Kuntu Maula, namun perselisihan pendapat hanya mengacu pada makna dan pemahaman dari hadis tersebut. Syiah punya makna dan pemahaman tersendiri terhadap hadis tersohor tersebut, sedangkan Ahlu Sunah juga memiliki persepsi dan pemahaman tersendiri.

Beberapa Indikasi Yang Menunjukkan bahwa Maula berarti Pemimpin
Indikasi Pertama: Nabi saw menyampaikan hadis Man Kuntu Maula di hadapan ribuan sahabat, tua-muda, laki-perempuan di musim panas yang menyengat, dan di gurun pasir yang tandus selepas manasik haji, dan memerintahkan mereka yang meninggalkan kafilah untuk kembali bergabung bersama beliau, dan mereka yang tertinggal di belakang, untuk segera mempercepat langkahnya untuk menyusul beliau hanya untuk mengatakan bahwa:
“siapa yang menjadikan beliau sebagai sahabatnya maka dia pun harus menjadikan Ali sebagai sahabatnya”

atau

“siapa yang menjadikan beliau sebagai kekasihnya maka ia pun harus menjadikan Ali sebagai kekasihnya”?!
Bukankah mereka sudah tahu bahwa Ali adalah ahlul bait Rasul saw yang harus dicintai dan disayangi? Lalu mengapa Rasul saw perlu bersusah payah mengumpulkan mereka hanya untuk menyampaikan masalah ini menjelang akhir kehidupan beliau?!

Indikasi Kedua: Ayat al yauma akmaltu (al maidah 3) turun berkaitan dengan peristiwa Ghadir Khum, lalu apakah agama menjadi sempurna dengan Rasul saw menjadikan Ali sebagai sahabat dan penolongnya?

Indikasi Ketiga: Turunnya ayat Iblagh (al Maidah 67). Apakah Nabi saw diancam oleh Allah Swt bila tidak mengatakan kepada umat bahwa mereka harus menjadikan Ali sebagai sahabat dan mencintainya maka agama tidak sempurna dan dakwah beliau sia-sia?

Indikasi Keempat: Khalifah Abu Bakar dan Umar, juga sahabat Usman, Thalhah dan Zubair dengan tanpa sungkan-sungkan mengucapkan selamat (tabrik) kepada Imam Ali atas terpilihnya ia sebagai pemimpin umat Islam pasca Nabi saw. Ucapan selamat dikatakan kepada seseorang bila seseorang mendapatkan maqam yang tinggi, bukan karena ia dikenal sebagai sahabat yang harus dicintai. (Perihal ucapan selamat sahabat-sahabat senior terhadap Imam Ali atas kedudukannya sebagai pemimpin umat pasca Nabi saw, dapat Anda temukan dalam tafsir at Tsa`labi berkaitan dengan ayat al Maidah 67, dimana Tsa`labi tegas-tegas menyatakan bahwa ayat tersebut terkait dengan Peristiwa Ghadir Khum. kita juga bisa lihat dalam Musnad Ibn Hanbal 6, hal. 401, al Bidayah wa an Nihayah juz 5 hal. 209).

Indikasi Kelima: Hasan bin Tsabit adalah penyair pertama Ghadir. Setelah Nabi saw menyampaikan hadis Man Kuntu Maula, ia memimta izin kepada Nabi saw untuk membacakan syair terkait peristiwa besar tersebut. Dalam salah satu baitnya, disebutkan: “Qum ya `alyyun fa innani radhitu min ba`di imaman wa hadiya” (bangkitlah wahai Ali, aku meridhai engkau sebagai imam dan pemberi petunjuk sesudahku). Maka sahabat Hasan bin Tsabit sebagai seorang yang hidup di zaman Nabi saw dan dekat dengan masa turunnya wahyu lebih mengetahui sastra Arab ketimbang mereka yang mengartikan kata “maula” dengan sahabat/penolong atau budak yang dibebaskan dll.



Salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam pada masa sebelum wafat Rasulullah SAAW adalah peristiwa Ghadir Khum. Peristiwa Ghadir Khum termasuk riwayat mutawatir.[1] Dalam hadits Ghadir Khum, setelah haji wada (haji terakhir), Rasulullah menghentikan perjalanan para sahabatnya yang sudah hampir pulang ke rumahnya masing-masing di suatu tempat yang bernama Khum (antara Makah dan Madinah).

Sebelumnya, dalam perjalanan dari Makah ke Madinah, Jibril turun dan mangatakan ”Hai Rasul, sampaikanlah!”.  Rasulullah tidak langsung menyampaikan, melainkan mencari situasi dan waktu yang tepat untuk menyampaikan perintah Allah tersebut. Tidak lama kemudian Jibril turun kembali dan mengatakan,”Hai Rasul, sampaikanlah!” dan Rasulullah tetap belum menyampaikannya. Kemudian Jibril turun untuk ketiga kalinya dengan membawa ayat sebagai berikut :

Al Maaidah (QS5:67);

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Wahai Rasul, sampaikanlah (balligh) apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak engkau lakukan maka engkau tidak menjalankan risalah-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir “

Apabila kita perhatikan bahasa Arab ayat di atas, Allah menggunakan kata balligh (sampaikan!), yang menunjukkan perintah Allah yang sifatnya memaksa. Apabila kita perhatikan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an sebanyak 30 juz, kita tidak akan menemukan perintah Allah lain yang sifatnya memaksa Rasulullah sebagaimana yang terdapat di dalam ayat ini. Hal ini tentunya menunjukkan betapa pentingnya perintah “penyampaian” dalam ayat tersebut. Oleh karena itu ayat ini juga disebut ayat tabligh.
Pentingnya hal yang perlu disampaikan tersebut juga tergambarkan pada bagian akhir ayat, di mana terdapat ancaman Allah jika Rasul tidak mengerjakan perintah tersebut. Dalam ancaman tersebut seolah-olah perjuangan Nabi selama 23 tahun tidak ada artinya, atau sia sia, jika tidak menyampaikan suatu “hal”. Penundaan penyampaian yang dilakukan oleh Rasulullah tentulah didasari oleh adanya kekhawatiran dalam pikiran Rasulullah mengenai kemampuan ummatnya untuk menerima dan menjalankan perintah yang disampaikannya. Oleh karenanya Rasulullah mencari strategi bagaimana agar tidak ada alasan bagi ummat untuk menolak. Ayat di atas juga menyebutkan bahwa Allah, selain memberikan perintah kepada Rasulullah untuk menyampaikan suatu “hal” tersebut, juga memberikan jaminan berupa penjagaan kepada Rasulullah atas gangguan manusia.[2]

Dengan demikian, terdapat 3 hal penting pada ayat ini, yaitu:
  1. Nabi diperintahkan untuk menyampaikan sesuatu hal yang penting
  2. Allah menjaga Rasulullah dari gangguan manusia
  3. Dampak dari orang-orang yang tidak menerima apa yang disampaikan oleh Rasulullah
Lalu bagaimanakan isi tafsir atas ayat tabligh di atas? Sebagaimana perbedaan penafsiran yang sering kali terjadi, sebagian kecil tafsir menyebutkan bahwa ayat tabligh tersebut turun di Madinah, yaitu ketika Rasulullah diperintahkan untuk menyampaikan ajaran Islam kepada orang-orang Yahudi. Apabila kita kritisi tafsir tersebut, perlu kita ingat bahwa Rasulullah semenjak hijrah dari kota Mekkah, telah tinggal selama 10 tahun di kota Madinah. Selama Rasulullah berada di Madinah tersebut, bukankah sudah ada orang orang Yahudi? Lalu kenapa baru sekarang Allah memerintahkan Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada mereka? Kenapa pada saat-saat terakhir sebelum Rasullah meninggal, barulah Allah mengancam Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada Yahudi? Berdasarkan logika dan pemahaman kita tentang sejarah Islam, tentulah kita dapat menilai bahwa tafsir ini tidak tepat dan sama sekali tidak berdasar.

Kembali kepada peristiwa Ghadir Khum. Setelah Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk berhenti, kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menumpuk batu hingga menjadi sebuah mimbar. Kemudian Rasulullah naik ke atas mimbar tersebut dan memberikan ceramah kepada 120 ribu sahabat. Jumlah pendengar yang sangat banyak inilah yang menyebabkan riwayat ini bukan hanya shoheh, tetapi mutawatir. Dalam ceramahnya Rasulullah dengan sangat terperinci menjelaskan kepemimpinan setelah beliau. Beliau mengatakan “Man kuntu maula fa Aliyyun maula (Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya setelah aku).”.

Mengenai perkataan Rasulullah tersebut, ada kelompok yang mengatakan bahwa yang dikatakan Rasulullah adalah “Siapa yang menjadikan aku sebagai kekasihnya maka menjadikan Ali sebagai kekasihnya.” Bila kita kritisi pendapat tersebut, tentulah kita akan menganggap bahwa adalah suatu kesia-siaan bahwa Rasulullah mengumpulkan 120 ribu sahabatnya hanya untuk mengatakan “cintailah Ali”.  Kata “Maula” sendiri bukanlah berarti kekasih, melainkan “pemimpin”. Selain itu, dalam penyampaiannya, Rasulullah bukan hanya mengangkat tangan Imam Ali, tetapi juga memindahkan sorbannya ke kepala Ali. Hal ini didasari pada kedudukan Sorban sebagai lambang kepemimpinan, sehingga ummat yang bisu dan tuli, yang tidak dapat mendengar ceramah Rasulullah, dapat memahami maksud yang ingin disampaikan Rasulullah dengan isyarat tersebut. [3]

Riwayat sebagaimana di atas dapat ditemukan dalam kitab-kitab berikut ini:
  1. Tafsir Al Manar dari Muhammad Rasyid Ridho Juz 6 hal 343.
Kitab ini menyebutkan bahwa ayat tabligh (Al Maaidah :67) adalah ayat dimana Allah menegur keras kekasih-Nya, Rasulullah, untuk menyampaikan tentang wilayah Amirul Mu’minin.
  1. Kitab Kanzul Ummal Al Allamah Al Hindi Jilid 5 hal 114.
Menyebutkan hal yang sama dengan tafsir Al Manar:
  1. Fushulul Muhimmah karya Ibnu Sobbar hal 42.
Menyebutkan hal yang sama dengan tafsir Al Manar:
  1. Asbabun Nuzul karya Al Wahidi hal 104.
Menyebutkan hal yang sama dengan tafsir Al Manar, dengan tambahan bahwa setelah ayat ini turun Umar bin Kathab datang kepada Ali bin Abi Thalib dan mengucapkan,”Selamat, selamat wahai putra Abu Thalib. Hari ini engkau menjadi pemimpin kami semua.”
  1. Yanabiul Mawaddah karya Ibrahim Al Qundusi Al Hanafi.
  2. Tafsir Al Kabir karya Fakhrurrozi Jilid 6 Hal 53.
  3. Mustadrak Shahihain Juz 3 Hal 330.
  4. Syawahidu Tanzil karya Al Hashakani  Jilid 1 hal 192.
  5. Faraidus shimtain Jilid 1 hal 63.
  6. Ibnu Katsir.
  7. Al Milal wal Nihar karya Syakhrestani hal 141.
Dalam kitab ini diceritakan ketika Rasul SAAW hendak meninggal dunia, Rasulullah memerintahkan pasukan Usamah bin Zaid untuk memerangi suatu kaum. Abu Bakar, Umar dan Usman diperintahkan menjadi prajurit dibawah komando Usamah. Apa tujuan Rasul SAAW melibatkan mereka (mengingat usia mereka tidak muda lagi)? Hal ini didasari kesadaran Rasulullah bahwa dirinya hendak meninggal dunia dan agar keberadaan ketiga orang tersebut akan mengganggu kelancaran peralihan kekhalifahan. Rasulullah kemudian juga meberikan ancaman, ”La’natullah orang yang keluar dari tentara Usamah.” Berangkatlah pasukan Usamah. Ketika dalam perjalanan, sampailah kabar bahwa Rasulullah meninggal dunia, dan Abu Bakar, Umar dan Usman keluar dari pasukan.
  1. Tafsir Durul Mantsur karya Imam Suyuthi Jilid 3 hal 117.
Menjelaskan ayat tabligh turun di Ghadir Khum:
  1. Kitab Farhul Khadir karya Syaukhani Jilid 2 hal 88.
Berdasarkan riwayat Ghadir Khum, telah jelas bagi kita bahwa hal penting yang diperintahkan Allah untuk disampaikan oleh Rasulullah adalah mengenai wilayah (kepemimpinan) Imam Ali bin Abi Thalib. Apabila kita kembali kepada Al Qur’an, hal ini dijelaskan dalam surat Al Maaidah (5) : 55 sebagai berikut:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

“Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, yaitu orang-orang yang mendirikan salat dan membayar zakat dalam keadaan rukuk (rakiun) ”

Apabila kita baca terjemahan Al Qur’an dari Departemen Agama, kata “Raki’un” dalam ayat di atas diartikan sebagai “tunduk” padahal makna raki’un adalah ruku’. Untuk lebih jelasnya, coba kita lihat QS At Taubah (9): 112 sebagai berikut:

التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Mereka itu adalah orang orang yang bertobat, yang bribadat, yang memuji Allah, yangyang berpuasa, yang ruku’ (rakiun), yang sujud, yang menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu”

Dapat kita lihat bahwa dalam ayat ini, kata “rakiun” diartikan sebagai ruku’. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam ayat berikut ini:

QS Ali Imran (3):43:

 يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Hai Maryam, patuhlah engkau pada Tuhanmu, sujud dan rukulah bersama orang-orang yang ruku’ (raaki’iin)“

Kata “rakiun” dalam ayat ini juga diterjemahkan sebagai ruku’. Dengan demikian patut kita pertanyakan mengapa dalam QS Al Maaidah (5):55 kata rakiun diartikan sebagai tunduk?
Kembali ke QS Al Maaidah (5):55, ayat tersebut diawali dengan kata “Innama”. Apabila kita menemukan kata “Innama” dalam Al Qur’an, hal ini menunjukkan kalimatul hasyr (pembatas). Jadi dapat disimpulkan tidak ada pemimpin lain selain yang disebutkan daam ayat tersebut. Dengan demikian, pemimpin (bagi umat Islam) adalah Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman. Orang-orang beriman manakah yang dimaksud di sini? Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat ini turun untuk Imam Ali bin Abi Thalib.

Riwayat menyebutkan ketika beliau sedang sholat di dalam mesjid, seorang pengemis datang dan meminta uang kepada sahabat-sahabat Nabi. Sahabat tidak ada yang membawa uang, kemudian Rasul berkata,”Masuklah kamu dan mintalah kepada orang yang sedang sholat.” Imam Ali yang saat itu sedang dalam keadaan ruku’, memberikan sedekah melalui isyarat dengan mengulurkan cincin di jarinya. Jelas bahwa Ini adalah perintah dari Rasulullah SAAW yang memiliki makna besar sehingga terekam dalam Al Qur’an. Lalu bagaimana dengan kata “orang-orang” yang beriman, yang berarti jamak dalam ayat ini? Patut kita diketahui dalam Al Qur’an tidak berarti kalimat berbentuk jamak itu dinisbatkan kepada orang yang banyak. Bisa jadi kalimat jamak dinisbatkan ke satu orang. Contohnya dalam ayat QS Ali Imran (3):61 (Ayat Mubahalah) berikut ini:

 فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ

“Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), “Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita bermubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”

Kata “Nisaa ana” dalam ayat di atas mempunyai arti “wanita-wanita kami” yang berarti banyak, tetapi hanya dinisbatkan kepada satu orang yaitu Sayyidah Zahra a.s.

Contoh lainnya sebagaimana terdapat dalam QS An Nahl (16):120 sebagai berikut:

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sungguh, Ibrahim adalah ummat (ummatan) yang patuh kepada Allah lagi lurus dan dia bukanlah termasuk golongan orang yang musyrik”

Meninjau ayat di atas, ada berapa orangkah Ibrahim? Hanya satu. Akan tetapi Allah menyebutkan “Ummatan”. Ummatan adalah kata jamak tetapi dinisbatkan hanya kepada Nabi Ibrahim.

Selanjutnya, QS Al Maaidah (5):55 menyebutkan bahwa seseorang, ketika menjadikan Allah pemimpinnya, Rasul pemimpinnya, orang yang beriman tadi pemimpinnya maka masuk ke dalam golongan hizbollah (pengikut Allah). Jadi syarat untuk masuk sebagai pengikut Allah adalah menjadikan Allah, Rasul dan orang yang beriman tadi sebagai pemimpinnya (berwilayah kepada Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman). Yang tidak menjadikan Allah, Rasul dan orang beriman sebagai pemimpinnya dalam satu kesatuan adalah lawan dari pengikut Allah atau pengikut syaitan.

Berdasarkan pembahasan di atas jelaslah bahwa perintah yang harus disampaikan dalam ayat tabligh adalah wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Isi dari QS Al Maaidah (5):55 menjelaskan bahwa wajib bagi ummat Islam untuk taat mutlak kepada wilayah tersebut. Hal ini juga dijelaskan dalam ayat QS An Nisa (4):59 sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah, Rasul dan ulim amri. Jika kamu berselisih dalam suatu urusan kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari kemudian. Itulah yang lebih baik dan lebih bagus kesudahannya”

Ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang beriman (secara umum) diperintahkan untuk mentaati Allah, Rasul dan ulil amri. Apabila kalian (orang-orang beriman) berselisih mengenai siapa ulil amri tersebut, Allah mengatakan kembalikan lagi kepada Allah dan Rasul yang akan menjelaskan. Kalau memang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir maka harus taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri. Hal ini sesuai dengan hadits yang terdapat dalam shahih Muslim yang mengatakan siapa yang mati tidak mengenal imam pada zamannya maka mati jahiliyah.

Rasulullah, ketika ditanya siapakah ulil amri, menjawab,”Mereka adalah imam imam dari ahlul baytku.” Hal ini tercantum dalam kitab:
  1. Yanabiul Mawaddah
  2. Faraidus Shimtain
  3. Syawahidu Tanzil.
Setelah ditetapkannya wilayah melalui nas dan keterangan dari Rasulullah SAAW, apabila ummat sudah menerima ini semua maka sempurnalah Islam sebagai agama mereka.

QS Al Maaidah (5):3:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.”

Apabila kita lihat kata-kata yang terdapat di dalam ayat di atas, dapat kita lihat bahwa istilah yang digunakan adalah:
Akmaltu = kusempurnakan
Atmamtu = kusempurnakan
Kafaitu = aku cukupkan
Dari ayat di atas jelaslah bahwa masih ada yang disempurnakan oleh Allah SWT, yang artinya ada satu masalah yang belum sempurna untuk disampaikan selama ini. Begitu masalah tersebut disampaikan barulah di akhir ayat disebutkan bahwa Allah meridhai agama Islam tersebut. Jadi kita harus mengikuti nikmat yang disempurnakan tadi, bila tidak, tentunya tidak akan mencapai Islam yang di-ridhai Allah SWT.

Dalam kitab Bidayah wal Nihayah Juz 5 hal 464 karya Ibnu Katsir.
Dari Abu Hurairah berkata,”Siapa yang puasa pada hari 18 Dzulhijjah ditulis baginya sebagaimana puasa 60 bulan. Dan pada hari Ghadir Khum, pada hari itu Nabi mengambil tangannya Ali. Nabi berkata,”Bukankah aku pemimpinnya orang orang beriman.” “Ya Rasulullah”, jawab mereka. Rasulullah berkata,”Siapa yang menjadikan aku maula, maka Ali adalah maulanya.” Berkatalah Umar bin Khattab, ”Selamat, selamat wahai putra Abu Thalib. Hari ini engkau adalah pemimpin aku, dan pemimpin setiap muslim.” Ketika itu juga Allah menurunkan ayat QS Al Maaidah (5):3.

Setelah sahabat semua membaiat Rasul, satu orang bernama Harris bin Nu’man tidak mau membaiat. Dia datang ke Rasulullah dan bertanya,”Apakah perintah ini dari Allah atau karangan engkau sendiri Ya Rasulullah.” Rasulullah berkata,”Demi Allah, ini adalah perintah dari Allah.” “Kalau begitu turunkan azab dari Allah kalau benar dari Allah.”, kata Harris. QS Al Maarij (70):1 – 2:

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ لِلْكَافِرِينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ

“Seseorang bertanya tentang azab yang cepat terjadi. Bagi orang orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya.”

Telah meminta seseorang siksa yang cepat, Allah menjadikan orang itu kafir, kisah ini tercantum dalam kitab:
  1. Faraidus ShiMtain Jilid 1 hal 82.
  2. Tafsir Qurtubi Juz 9 hal 216.
  3. Kitab Fushulul Muhimmah hal 42.
  4. Faidhul Ghadir juz 6 hal 268 karya Manawi.
  5. Kitab Nur Abshor hal 87 karya Sarblanji.
meriwayatkan cerita tentang Harris bin Nu’man. Ketika ayat ini turun, batu dari langit turun dan tembus kepalanya.

Sebagai penutup pembahasan ini, perhatikan ayat QS Az Zukhruf (43):45 berikut ini:

وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِنْ دُونِ الرَّحْمَٰنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ

“Dan tanyakanlah (Muhammad) kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum engkau. Apakah Kami menentukan tuhan-tuhan selain (Allah) Yang Maha Pengasih untuk disembah?”

Ayat di atas menyebutkan bahwa terdapat pertemuan antara Rasulullah dengan Rasul-rasul Allah lainnya, yaitu pada saat Isra Mi’raj. Ayat di atas menyebutkan bahwa Allah memerintahkan Rasulullah untuk bertanya kepada para Rasul tersebut. Apakah yang diperintahkan Allah untuk ditanyakan tersebut?

Di dalam kitab:
Faraidush Shimtain Juz 1 hal 81 karya Juwaini
Tarikh Damsikh Jus 42 hal 241 karya Ibnu Ashakir asy Syafii
Syawahidu Tanzil juz 2 hal 157 karya Al Hashakani al Hanafi
Diriwayatkan Rasulullah bersabda,”Datang kepadaku malaikat dan berkata,”Tanyakanlah siapa yang telah kami utus dari Rasul-rasul sebelum kamu, untuk apa mereka itu diutus.” “ Menjawab para Rasul, ”Kami membawa wilayah engkau dan wilayah Ali bin Abi Thalib.””


Rujukan:
[1] Jika ditinjau dari sisi riwayat, tingkatan hadis itu ada shoheh, hasan, dhaif, dsb. Tapi ada hadis yang tingkatannya diatas shoheh, yaitu mutawatir. Jika yang meriwatkan diatas 3 itu disebut hadis shoheh, tapi jika yang meriwayatkan lebih dari 7 maka disebut mutawatir. Kedudukan hadis mutawatir hampir sama dengan Qur’an.
[2] Ayat ini juga menepis pendapat yang menyatakan Rasulullah meninggal karena diracun
[3] Subhanallah tempat Ghadir Khum itu masih ada sampai sekarang, dan dari tempat Rasulullah berdiri suara yang berbicara  di sana akan terdengar sampai 5km. Itulah bagaimana 120rb sahabat bisa mendengar kata-kata Rasul.

Siapakah Tsauban itu? Apakah Ahlulbait memiliki pandangan dan riwayat-riwayat mengenainya?


Siapakah dan bagaimana karakteristik Tsauban? Apakah Ahlulbaitas memiliki pandangan dan riwayat-riwayat mengenainya? Apa yang dimaksud oleh Maula dalam kalimat "Tsauban Maula Rasulullah?"

Jawaban Global:
Tsauban yang dikenal sebagai Maula Rasulullah adalah salah satu dari budak atau belian yang dibebaskan oleh Rasulullah. Setelah bebas, ia menjadi sahabat Rasul dan Ahlulbait As. Terdapat riwayat dalam sebagian kitab-kitab hadis yang menjelaskan tentang kecintaan mendalam lelaki ini terhadap Rasulullah Saw dan keluarganya.

Jawaban Detil:
Tsauban adalah nama dari beberapa sahabat Rasulullah Saw, akan tetapi nama Tsauban dengan sebutan Maula Rasulullah[1] hanya dikatakan pada satu orang.[2]

Dengan demikian, Tsauban adalah salah satu dari sahabat Rasulullah, dengan sedikit informasi yang ada mengenainya, setidaknya bisa diketahui tentang kecintaannya yang mendalam kepada Rasulullah Saw dan keluarganya.

Dalam Rijâl Syaikh Thûsi dikatakan bahwa Tsauban yang mempunyai kuniyah (julukan) Abu Abdillah adalah salah satu sahabat Rasulullah saw.[3] Dan menurut nukilan Asqalani dalam al-Ishâbah, Tsauban adalah di antara sahabat terkenal Rasulullah Saw yang pada awalnya, dibeli oleh kemudian dibebaskan oleh Rasulullah saw. Namun setelah dibebaskan, ia sendiri memilih untuk berkhidmat kepada Rasulullah saw hingga akhir kehidupan beliau.[4]

Meski dalam literatur-literatur riwayat Syiah yang terkenal seperti kitab-kitab Arba'ah (Kutub al-Arba'ah), tidak ada satupun riwayat yang menukilkanya, akan tetapi dalam literatur-literatur lain telah dinukilkan sejumlah hadis-hadis riwayat mengenainya.

Di antara riwayat-riwayat yang ada yang bercerita dan menggambarkan tentang kecintaannya kepada Rasulullah Saw dan Ahli Baitnya adalah riwayat mengenai Rasulullah Saw yang menanyakan kecintaan Tsauban kepadanya dan kepada Ahli Bait As, dimana Tsauban menjawab, "Demi Allah, jika tubuhku terpotong-potong dengan pedang atau tergunting-gunting, atau terbakar di dalam api .... bagiku lebih mudah daripada memiliki ketakikhlasan terkecil dalam kalbuku terhadap Anda, Ahlulbait dan para sahabat."[5]

Thabarsi dalam Majma' al-Bayan setelah menyebutkan ayat, "Dan barang siapa yang menaati Allah dan rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddîqîn, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."[6] mengatakan, "Disebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Tsauban, pelayan Rasulullah Saw, karena suatu hari ia mendatangi Rasulullah dalam keadaan khawatir dan sakit, Rasulullah bertanya kepadanya tentang apa yang telah terjadi. Tsauban menjawab, "Wahai Rasulullah! Saya tidak sedang sakit, akan tetapi tengah berpikir bahwa kelak di hari kiamat, saya tidak akan melihat Anda lagi saat saya memasuki neraka, dan jika saya masuk ke surga, sayapun tidak akan bisa hadir di hadapan Anda karena kedudukan dan derajat lebih rendah yang saya miliki dari yang Anda miliki, sesungguhnya masalah inilah yang telah membuat saya bersedih." Saat inilah kemudian ayat ini diturunkan, dan Rasulullah Saw bersabda kepadanya, "Demi Allah! Keimanan seorang Muslim tidak akan menjadi sempurna sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya, ayahnya, ibunya, istrinya, anaknya dan dari seluruh manusia lainnya."[7]

Dengan demikian, dengan memperhatikan persoalan yang telah dijelaskan, Tsauban dapat dianggap sebagai salah satu dari pecinta Rasulullah dan keluarga sucinya.

Akan tetapi dari konteks yang ada, makna kata maula yang terdapat untuk Tsauban (Tsauban Maula Rasulullah) dapat bermakna "Orang yang telah dibebaskan oleh Rasulullah" atau bermakna abdi atau budak Rasulullah, akan tetapi dengan memperhatikan bahwa Tsauban dari awal telah dibebaskan oleh Rasulullah, maka makna pertama lebih sesuai baginya.

Terakhir, kami ingatkan bahwa mengenai Tsauban tidak terdapat banyak riwayat dalam literatur Syiah, oleh karena itu tidak bisa ditemukan satupun pandangan dari Ahlulbait mengenai riwayatnya.

Referensi:
[1]. Kata "wilâyah" dan "maulâ" berasal dari akar kata wali, dan para ahli linguistik menyebutkan bermacam makna untuk kata ini, seperti, malik atau pemilik, abdi atau budak, mu'thiq (pembebas), mu'thaq (yang telah terbebas), shâhib (pemilik), qarîb (seperti anak lelaki paman), jâr (tetangga), hâlif (seperjanjian), ibnu (putra), paman dari pihak ayah, rabb (tuan pemelihara), nâshir (penolong), mun'im (yang diberikan karunia), nâzil (yang turun), syarîk (mitra), ibnu al-ukht (anak lelaki dari saudara perempuan), muhibb (pecinta), tabi', shahr (menantu lelaki), aula bitasharruf (seseorang yang dari satu aspek lebih layak untuk memanfaatkan sesuatu dari orang lain), diadaptasi dari indeks "Makna Wilayah", Pertanyaan 153 (Site: 1156).
[2]. Ibnu Hajar Asqalani, al-Ishâbah, jil. 1, hal. 528, Darulkutub al-Alamiyah, Beirut, 1415 HQ.
[3]. Muhammad bin Hasan Thusi, Rijâl Thûsi, hal. 31, Intisyarat-e Haidariyah, Najaf, 1381 HQ.
[4]. Ibnu Hajar Asqalani, al-Ishâbah, jil. 1, hal. 528.
[5]. Tafsir Imam Hasan Askari As, hal. 370, Madrasah Imam Mahdi Ajf, Qom, 1409 H; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 27, hal. 100, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1403 H.
[6]. (Qs. Al-Nisa [4]: 69).
[7]. Fadhl bin Hasan Thabarsi, Majma' al-Bayân, jil. 3, hal. 110, Intisyarat-e Nashir Khusru, Teheran, 1372 S.

Apa saja tingkatan yakin dan apa tolak ukurnya bagi seorang manusia

 

Mengenai hakekat yakin ? dan tingkatan nya dan bagaimana seseorang di nyatakan memiliki keyakinan

Jawaban Global:
Yakin dalam Logika dan Filsafat memiliki dua istilah: yang pertama, yakin dalam istilah umumnya yang berarti "tahu secara pasti" dan yang lain memiliki arti yang lebih khusus, yakni: "pengetahuan pasti yang sesuai dengan kenyataan" atau "pengetahuan yang pasti terhadap sesuatu dan yakin bahwa segala yang bertentangan dengan pengetahuannya adalah tidak benar." Yakin dengan artian khusus ini memiliki dua kriteria, yang mana segala pengetahuan yang memiliki dua kriteria tersebut dapat disebut "yakin". Kedua kriteria itu adalah: yakin terhadap suatu yang diketahui dan yakin bahwa yang bertengan dengan keyakinan itu adalah salah. Adapun yakin menurut para ahli Irfan, memiliki tiga tingkatan: ‘Ilm al-Yaqin, ‘Ain al-Yaqin dan Haqq al-Yaqin.

Jawaban Detil:
Yaqin dalam bahasa berarti tidak memiliki keraguan dalam suatu perkara dan terjadinya perkara tersebut secara nyata.[1]

Dalam Logika dan Filsafat, yakin memiliki dua istilah: yang pertama, yakin dengan artian umum, yakni yakin (tidak ragu) akan sesuatu, dan yang kedua yakin dengan makna khusus: "pengetahuan pasti yang sesuai dengan kenyataan"[2] atau "pengetahuan akan sesuatu dengan yakin dan yakin bahwa yang bertentangan dengan pengetahuan itu adalah salah"[3] Di hadapan yakin dengan artian umum itu, ada sangkaan di atas 50% dan di bawah 50% serta keraguan, yang mana semua itu ada kemungkinan salahnya.[4] Dalam sangkaan di atas 50% kemungkinan salah sedikit, dan sangkaan di bawah 50% sebaliknya, banyak kemungkinan salahnya, sedangkan dalam keraguan kemungkinan benar dan salah adalah 50-50. Yakin dengan artian khusus memiliki dua kriteria yang mana setiap ilmu yang memiliki dua kriteria itu bisa dikatakan dengan "yakin". Dua kriteria itu adalah: yang pertama yakin dengan sesuatu yang diketahui itu, dan yang kedua adalah yakin bahwa segala yang bertentangan dengan keyakinan tersebut adalah salah. Jadi, yakin dengan artian khusus tersusun dari dua pengetahuan: pengetahuan terhadap sesuatu dan pengetahuan akan kebenaran pengetahuan itu (atau salahnya segala yang bertentangan dengan pengetahuan itu).

Cara untuk mendapatkan yakin seperti itu dalam Logika adalah menggunakan Burhan (demonstrasi dan argumen). Burhan adalah Qiyas (silogisme) yang premis-permisnya adalah proposisi-proposisi yang meyakinkan (yaqini), atau istilahnya Yaqiniyat. Yaqiniyat adalah dalil dan pengetahuan-pengetahuan yang selain hal itu meyakinkan, tidak ada juga kemungkinan salahnya sedikitpun. Mereka adalah: Awwâliyât, Musyahadât, Mujarrabat, Mutawatirât, Hadsiyât dan Fitriyât.[5]

Karena itu, yaqiniyat dalam istilah ilmu Logika dan Filsafat memiliki bagian-bagian dan tingkatan yang tidak sama. Karena Badihiyât Awwâli bagi ahli Logika memiliki tingkatan yakin (meyakinkan) yang tertinggi; karena ilmu Logika adalah ilmu cara berfikir dengan benar, maka ilmu tersebut berusaha untuk mengkategorikan dalil-dalil sedemikian rupa sehingga manusia dengan merujuk padanya bisa mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang benar dan meyakinkan. Karena Yaqiniyât Nazhari kembalinya adalah kepada awwâliyât dan semua awwâliyât bisa dikata kembalinya kepada "berkumpulnya dua hal yang bertentangan" (ijtimâ' al-naqidhain), maka para ahli Logika meletakkannya di tingkatan paling atas.

Adapun berdasarkan menurut pendapat para ahli Irfan tentang yakin,[6] yakin memiliki tiga tingkatan, yang mana yakin tingkat terendah tidak mempunyai kriteria-kriteria yakin tingkat yang paling tinggi. Tiga tingkatan tersebut adalah ‘Ilm al-Yaqin, ‘Ain al-Yaqin dan Haqq al-Yaqin.

Untuk menjelaskan tiga tingkatan yakin ini perlu dijelaskan bahwa: Terkadang seorang manusia menyaksikan tanda-tanda atau indikasi-indikasi tertentu atau dengan menggunakan argumentasi ia menemukan suatu hakikat yang tetap; terkadang selain hanya menggunakan argumentasi, ia juga mendapatkan hakikat itu dengan ruh dan jiwanya; dan kadang tak hanya begitu saja, ia merasa fana dan menyatu dengan hakikat tersebut. Misalnya, tentang wujud Tuhan Swt, manusia awal mulanya membuktikan keberadaan Tuhan dengan argumentasi dan pemikirannya, lalu menyaksikan tanda-tanda kebesaran-Nya, yang mana dalam tahap ini dikatakan ia telah mendapatkan ‘Ilm al-Yaqin. Lalu dalam tahapan kedua, dengan pensucian jiwa ia dapat menggapai hakikat wujud-Nya dengan batin dan jiwanya. Ia bisa menyaksikan Tuhan dengan mata batinnya. Dalam tahap ini disebut ‘Ain al-Yaqin. Kemudian di tahapan yang paling tertinggi, ia mencapai hakikat Tuhannya dengan seluruh wujudnya, yang istilahnya ia telah fana dan menyatu dengan wujud Tuhan. Di tingkatan inilah ia mencapai Haqq al-Yaqin.

Dalam teks-teks agama kita sering disinggung hal tersebut. Misalnya dalam berdoa kita berkata: "Ya Tuhan, cahayai lahirku dengan taat-Mu, batinku dengan kecintaan-Mu, hatiku dengan ma'rifat-Mu, ruhku dengan penyaksian terhadap-Mu dan seluruh wujudku dengan bersatu dengan-Mu."[7] Kalimat pertama mengisyarahkan amal ibadah dan menjalankan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah serta menjauhi perbuatan-perbuatan yang dilarang-Nya, yang istilahnya adalah Tajliyah; kalimat kedua mengisyarahkan tingkatan awal dalam suluk; kalimat ketiga mengisyarahkan ‘Ilm al-Yaqin; kalimat keempat mengisyarahkan ‘Ainul Yaqin dan kalimat terakhir mengisyarahkan Haqq al-Yaqin, yakni fana secara total dalam wujud-Nya yang Maha Tinggi.[8]

Perlu diketahui pula bahwa setiap dari tiga tingkatan tersebut juga memiliki tingkatan-tingkatan tersendiri di dalamnya[9] yang mana di berbagai tingkatan yang berbeda-beda itulah para nabi dan wali-wali Allah melakukan sair wa suluk, yang dengan demikian setiap satu dari mereka memiliki tingkatan dan derajat yang berbeda dengan yang lainnya. Mengenai hal ini disebutkan dalam riwayat:
Imam Ali As berkata: "Yakin memiliki empat cabang: memandang dengan jeli dan cerdik, mencapai hikmah dan kebijakan, mengambil pelajaran dari masa yang telah lalu dan memanfaatkan cara-cara orang yang telah mendahului. Orang yang melihat dengan jeli bakal mencapai hikmah dan kebijaksanaan, lalu dapat mengambil pelajaran dari masa lalu, kemudian menjalankan tradisi umat sebelumnya dan jika demikian ia bagai hidup dengan mereka."[10]

Imam Shadiq As berkata: "Yakin dapat mengantar manusia ke tempat yang sangat tinggi dan menakjubkan. Saat berbicara tentang kriteria-kriteria Nabi Isa As, khususnya tentang kemampuannya berjalan di atas air, Rasulullah Saw berkata: ‘Seandainya keyakinannya lebih dari itu, dia juga bisa berjalan di atas udara.' Dengan perkataannya itu, Rasulullah Saw memahamkan kepada kita bahwa para nabi memiliki tingkatan-tingkatan keistimewaan yang berbeda sesuai dengan keyakinan (yaqin) yang mereka punya, bukan dikarenakan hal lainnya."[11]

Pada suatu hari Rasulullah saw bertemu dengan Haritsah bin Malik bin Nu'man Anshari dan berkata kepadanya: "Bagaimana keadaanmu?" Ia berkata: "Wahai Rasulullah, aku adalah mu'min hakiki yang telah mencapai tingkat yaqin." Rasulullah Saw bertanya: "Segala sesuatu ada hakikatnya. Apa hakikat perkataanmu?" Ia menjawab: "Wahai Rasulullah, aku telah kehilangan selera terhadap dunia. Aku bangun di malam hari untuk ibadah dan aku kehausan di siang hari karena berpuasa. Seakan-akan aku melihat lebarnya ‘Arsy Ilahi, seakan aku menyaksikan hisab, seakan aku melihat penduduk surga yang saling bertemu di antara taman-tamannya, seakan aku melihat penduduk neraka tersiksa di dalamnya." Rasulullah Saw bersabda: "Haritsah adalah hamba yang telah Allah Swt terangi hatinya." Lalu beliau berkata kepada Haritsah: "Engkau telah mendapatkan bashirah (suatu keistimewaan dalam pemahaman)" maka tetaplah dalam keadaan itu." Lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah Saw, doakan untukku agar aku bisa syahid di bawah benderamu." Beliau menjawab: "Ya Allah, karuniakan ia kesyahidan." Tak lama kemudian Rasulullah mengirimkan pasukan untuk berperang dan Haritsah ada di antara pasukan-pasukan itu lalu ia mati setelah membunuh beberapa musuh Allah dalam peperangan."[12]

Tanda orang yang yakinnya kuat adalah ia tidak lagi mempedulikan selain kekuasaan Allah dan kekuatan-Nya, teguh dalam menjalankan perintah-perintah-Nya dan setia menjadi hambanya baik secara dhahir maupun batin. Ada dan tidak ada, sedikit atau banyak, pujian atau celaan, penghormatan atau penghinaan, semuanya adalah sama baginya. Namun orang yang yakinnya lemah, selalu berusaha mencari solusi dari makhluk-makhluk Allah (tanpa mengingat pencipta-Nya). Dalam dunia selalu mempedulikan komentar dan perkataan orang lain tanpa melihat apa hakikat sejati dari hidup ini. Selalu berusaha keras mengumpulkan harta duniawi dan menjaganya meski dengan lidahnya berkata bahwa tiada yang memberi rizki selain Allah, dan hamba-hamba-Nya mendapatkan rizki sesuai pengaturan-Nya serta usaha dan jerih payah hamba tidak mempengaruhi banyak dan sedikitnya rizki; namun secara praktek ia tidak meyakininya. Allah swt berfirman: "Mereka menyatakan apa yang tidak mereka yakini dengan hati. Sedangkan Allah maha tahu apa yang ada di dalam hati."[13]

Dalam sebuah riwayat ditanyakan kepada Imam Shadiq As tentang iman dan Islam. Beliau menjawab dengan menukil perkataan Imam Baqir As: "Sesungguhnya agama adalah Islam dan iman satu tingkat lebih tinggi darinya, ketakwaan setingkat lebih tinggi dari iman, yaqin juga setingkat lebih tinggi dari taqwa. Tidak ada yang lebih sedikit dari yaqin yang dibagikan kepada manusia."[14]

Adapun tolak ukur menentukan yakin (dalam pengertian irfani dan riwayat) dapat dikatakan bahwa setiap tingkatan yakin memiliki kriteria dan tanda-tandanya tersendiri. Beberaba tanda yakin seperti tidak peduli dengan kesenangan-kesenangan dunia, tidak terikat dengan harta benda, perhatian dengan alam akherat, berada dalam tingkat tawakal dan pasrah kepada Allah Swt, menyerahkan segala perkara kepada-Nya dan lain sebagainya.

Referensi:
[1]. Farahidi, Khalil bin Ahmad, Kitâb Al-‘Ain, Riset dan edit oleh Makhzumi, Mahdi, Samara'i, Ibrahim, jil. 5, hal. 220, Intesyarat Hijrat, Qum, Cetakan Kedua, 1410 H.
[2]. Silahkan lihat, Muhaqqiq, Mahdi, Toshihiko Izutsu, Manthiq wa Mabâhitsh Alfâz (kumpulan artikel dan makalah), hal. 313, Intesyarat Danesygah Teheran, 1370 S.; Shaliba, Jamil, Shanei Dare Bidi, Manucehr, Farhangg Falsafi, hal. 682, Intisyarat Hikmat, Teheran, Cetakan Pertama, 1366 S.
[3]. Thusi, Khajah Nashiruddin, Ta'dil al-Mi'yâr fi Naqd Tanzil al-Afkâr, hal. 226, Intisyarat Danesygah Teheran, Cetakan Pertama, 1358 S.
[4]. Thabathabai, Sayid Muhammad Husain, Burhân, hal. 11, Moasasah Bustan Kitab, Qum, Cetakan Kedua, 1387 S.
[5]. Silahkan lihat Ta'rif Maqbulât dar Ilm Mantiq, Pertanyaan 26405.
[6]. Pengetahuan ada dua macam: Yang pertama, ilmu yang dengan sendirinya merupakan tujuan dan maksud, yang mana itu adalah cahaya yang muncul di dalam hati; sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat: "Ilmu bukanlah apa yang didapat dari banyak belajar, namun ilmu adalah cahaya yang diletakkan Allah Swt di hati siapapun yang Ia kehendaki." (dinisbatkan kepada Imam Shadiq As, Mishbah Al-Syari'ah, hal. 16, Al-A'lami, Beirut, cetakan pertama, 1400 H.) Berkat ilmu inilah hal-hal ghaib dapat disaksikan oleh sang arif. Ilmu ini adalah ilmu yang paling mulia dan tujuan utama.
Yang kedua, ilmu yang tujuan dari mengetahuinya adalah amal atau mengamalkan sesuai dengan pengetahuan tersebut. Yakni ilmu dan pengetahuan tentang apa saja yang dapat mendekatkan diri seorang hamba kepada Tuhannya dan yang dapat menjauhkannya dari-Nya. Yang jelas ilmu ini masih ada kaitannya dengan ilmu pertama. Ilmu yang pertama disebut dengan ilmu batin dan ilmu hakikat, sedangkan yang kedua disebut dengan ilmu dhohir dan ilmu syari'at. Ketika keduanya disatukan, disebut dengan Hikmat (hikmah). Namun tak ada satupun ilmu yang hakiki kecuali ia telah mencapai derajat yakin. (Naraqi, Mulla Ahmad, Khazâin, hal. 484, Nasyr Kongre Buzurghdasyt Muhaqiqan Naraqi, Cetakan Pertama, Qum, 1380 S)
[7]. Syaikh Baha'i, Muhammad bin Husain, Busthami, Ali bin Thaifur, Minhaj Al-Najah fi Tarjumah Mafatih Al-Falah, mukadimah 2, hal. 49, Hikmat, Tehran, cetakan keenam, 1384 H.S.
[8]. Silahkan rujuk: Hasan Zade Amuli, Hasan, Nushush Al-Hikam bar Fushush Al-Hikam, hal. 158, Entesharat e Raja', Tehran, cetakan kedua, 1375 H.S.
[9]. Karena kesempurnaan itu tidak terbatas dan jumlah manzilah (tingkatan) kesempurnaan pun pasti bermacam-macam. Jadi di setiap tingkatan yakin pasti ada kriteria tersendiri yang di tingkatan lainnya tak dapat ditemukan.
[10]. Tsaqafi, Ibrahim bin Muhammad, Al-Gharât (Al-Istinfar wa Al-Gharaat), Riset dan edit oleh Husaini, Abduzzahra, jil. 1, hal. 84, Darul Kitab Al-Islami, Qum, Cetakan Pertama, 1410 H.
[11]. Mishbah Al-Syari'ah, hal. 177.
[12]. Kulaini, Muhammad bin Ya'qub, al-Kâfi, jil. 3, hal. 138-139, Dar Al-Hadith, Qom, Cetakan Pertama, 1429 H.
[13]. Mishbâh Al-Syari'ah, hal. 177-178.
[14]. Al-Kâfi, jil. 3, hal. 134-135.

Mengapa heran melihat Syiah sujud di atas tanah Karbala?


Gugatan lain yang muncul sekitar masalah sujud para penganut mazhab Syiah adalah kenapa orang-orang Syi’ah Imamiyah memilih tanah Karbala dari sekian tanah yang ada di muka bumi dan mereka mengutamakan sujud di atas tanah itu daripada yang lain, kenapa mereka membawa belahan tanah itu ke masjid-masjid, ke rumah, dan ketika dalam perjalanan?

Sudah barang tentu tempat sujud harus suci, dan berhubung tidak mungkin dipastikan bahwa seseorang dalam kondisi apa pun dapat sujud di atas bumi (tanah, batu atau semacamnya) yang suci, maka sebagaimana yang telah dilakukan oleh salah satu tokoh tabi’in bemama Masruq bin Ajda’, dia baisa membawa sepotong tanah suci ke mana dia pergi, sehingga dengan demikian dia senantiasa dapat bersujud di atas tanah yang suci. Hal itu sama dengan orang musafir yang membawa tanah agar kapan saja dia harus bertayamum niscaya dia dapat melakukannya dengan tanah tersebut.

Adapun kenapa tanah Karbala yang dipilih oleh orang syi’ah di antara sekian tanah yang ada, jawabnya adalah ketika seorang pelaku shalat meletakkan dahi di atas tanah suci Karbala niscaya dia mengingat pula pengorbanan luar biasa pahlawan sejarah dari keluarga suci Rasulullah Saw bernama Imam Husain as, dimana beliau telah mengorbankan nyawa, harta dan anak-anaknya demi kemuliaan Islam seraya tidak sudi berada di bawah kezaliman dan mengajarkan kemerdekaan serta kecemburuan Islami yang sesungguhnya kepada seluruh umat manusia.

Perlu digarisbawahi bahwa sujud seseorang di atas tanah Karbala Imam Husain as bukan saja ticlak bertentangan dengan jalur tauhid, bahkan hal itu akan menambah keikhlasan kepada sujudnya dan mempersiapkan dia untuk pengorbanan di jalan agama Islam, dimana shalat aclalah satu satu bagian yang tak terpisahkan darinya.

Seorang tabi’in bemama Ali bin Abdillah bin Abbas menul­iskan surat kepada Razin, ‘Kirimkanlah sepotong batu dari batu-batuan Gunung Marwah, sehingga aku bisa bersujud di atasnya.’[1]

Permintaan itu dilatarbelakangi oleh kenyataan Gunung Marwah sebagai saksi pengorbanan dari seorang perempuan mukmin dalam rangka menyediakan air, dia berlari-lari kecil di antara dua gunung Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali dan menanggung berbagai kesulitan di jalan Allah Swt.

Syaikh Thusi meriwayatkan sebuah hadis dari Muawiyah bin Ammar bahwa Imam Ja’far Shadiq as mempunyai kantong berwama kuning dari jenis kain Diba, beliau menyimpan tanah Imam Husain as di dalam kantong itu, dan ketika shalat beliau menaburkan tanah itu di atas sajadah serta sujud di atasnya.[2]

Orang yang menyebut sujud di atas tanah Karbala sebagai sebuah penyembahan aclalah orang yang tidak bisa memilah antara ‘yang sujud untuknya’ dari ‘yang sujud di atasnya’, dalam kondisi apa pun sujud hanyalah untuk Allah Swt dan Dia-lah ‘Yang sujud untuk-Nya’, adapun sesuatu yang menjadi tempat dahi bersujud adalah ‘yang sujud di atasnya'; baik itu berupa tanah atau karpet, tanah Karbala atau tanah Madinah dan batu Gunung Marwah.

Referensi:
[1] Azraqi, Akhbore Makkeh, jld. 3, hal. 151.
[2] Hur Amili, Wasa’il Al-Syi’ah,jld. 3, hal. 608, bab ke-16 dari bab-bab tentang apa yang sah untuk sujud di atasnya.

Terkait Berita: