Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Ghadir Kum. Show all posts
Showing posts with label Ghadir Kum. Show all posts

Dua Puluh Pesan Jihad Ayatullah Sistani


Pertempuran militer dan rakyat Iraq melawan kelompok teroris ISIL semakin sengit. Untuk tetap memelihara etika jihad yang dianjurkan oleh Islam, Ayatullah Sistani menurunkan 20 pesan jihad untuk para pejuang ini.
Berikut ini 20 pesan jihad yang telah dikeluarkan oleh Ayatullah Sistani tersebut:

1. Sebagaimana Allah mengajak seluruh muslimin untuk berjihad dan lebih mengutamakan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang tinggal di rumah, Dia juga menentukan etika dan batasan-batasan jihad yang telah ditetapkan sesuai hikmah dan fitrah. Anda semua harus mengenal dan memperhatikan etika ini. Barang siapa mengindahkan etika ini, maka ia layak memperoleh anugerah dan berkah Ilahi. Tetapi, barang siapa tidak memperhatikannya, maka pahalanya pasti berkurang dan ia tidak akan sampai pada cita-citanya.

2. Jihad memiliki etika umum yang harus diperhatikan sekalipun kita sedang memerangi kaum nonmuslim. Rasulullah saw selalu mengingatkan etika umum ini kepada para sahabat sebelum mereka berangkat ke medan perang. Dalam sebuah hadis Imam Shadiq as berkata, “Ketika Rasulullah ingin mengirimkan masyarakat untuk sebuah perang, beliau memanggil dan mendudukkan mereka di hadapan beliau sembari bersabda, ‘Berangkatlah dengan nama Allah, di jalan Allah, dan atas dasar agama utusan Allah. Janganlah kalian berlebih-lebihan, janganlah memotong-motong anggota tubuh orang-orang yang telah terbunuh, janganlah kalian menggunakan tipu muslihat, janganlah kalian membunuh orang-orang tua, anak-anak, dan kaum wanita, dan janganlah memotong pohon apapun kecuali apabila kalian terpaksa.’”

3. Lebih dari itu, memerangi muslimin yang memberontak juga memiliki etika. Etika ini telah sampai ke tangan kita dari Imam Ali as. Beliau juga senantiasa memperhatikan etika dan memerintahkan seluruh sahabat untuk memperhatikannya. Seluruh umat Islam juga sepakat atas etika ini dan menjadi hujjah antara mereka dan Allah. Anda semua juga harus mengamalkan etika dan sirah Imam Ali ini.
Dalam sebuah hadis, Imam Ali as pernah menekankan hadis Tsaqalain, Ghadir Khum, dan lain-lain seraya berkata, “Pandanglah Ahlul Bait nabi kalian dan berkomitmenlah terhadap keistimewaan mereka. Mereka tidak akan pernah menyelewengkan kalian dari jalan hidayah dan juga tidak akan menjerumuskan kalian ke jurang kesesatan. Untuk itu, jika mereka bergerak, maka kalian juga bergeraklah. Jika mereka berhenti, maka kalian juga harus berhenti. Janganlah kalian mendahului mereka dan juga jangan pula ketinggalan dari mereka, karena kalian pasti akan celaka.”

4. Dalam membunuh setiap manusia, perhatikanlah Allah. Dengan ini, kalian tidak akan rela membunuh orang yang tidak diperbolehkan oleh-Nya untuk dibunuh. Salah satu dosa besar adalah membunuh orang yang tak berdosa, dan salah satu kebaikan terbesar adalah memelihara jiwa manusia. Allah juga telah menekankan hal ini dalam al-Quran.

Ketahuilah, membunuh manusia tak bersalah mengakibatkan efek yang sangat berbahaya dalam kehidupan dunia dan akhirat. Imam Ali as menulis untuk Malik Asytar, “Berhati-hatilah dan jangan sampai kamu menumpahkan darah melalui jalan yang tidak dihalalkan. Tidak ada perbuatan yang memiliki siksa yang pedih dan pengaruh yang buruk seperti tindakan ini. Tindakan ini dapat memutuskan nikmat dan mempercepat ajal. Hanya Allahlah yang akan menghukumi tentang penumpahan darah ini pada hari kiamat kelak. Untuk itu, janganlah kamu gunakan kekuasaanmu ini untuk menumpahkan darah orang, karena tindakan ini akan memperlemah pemerintahanmu, dan bahkan memusnahkannya. Kamu tidak akan memiliki uzur atas pembunuhan sengaja ini di sisi Allah dan di hadapanku, karena hukumannya adalah kisas.”
Untuk itu, jika Anda semua menghadapi sebuah masalah yang samar atau Anda memberikan kemungkinan peluru akan menimpa orang-orang tak berdosa, maka berhati-hatilah dalam hal ini.

5. Ingatlah Allah dan jangan melakukan hal-hal yang diharamkan, terutama berkenaan dengan orang-orang lanjut usia, anak-anak, dan kaum wanita. Seandainya mereka berasal dari kerabat musuh, kehormatan mereka harus tetap dipelihara. Hal ini berbeda dengan harta benda musuh yang memang harus dikuasai.
Dalam sirah Amirul Muminin Ali as kita saksikan, sekalipun sebagian sahabat terutama kelompok Khawarij untuk menjarah rumah, kaum wanita, dan keluarga musuh, beliau enggan melakukan hal itu. Beliau berkata, “Kaum pria memerangi kita dan kita juga telah berperang. Kita tidak bisa melanggar kaum wanita dan anak-anak, karena mereka adalah muslim. Tetapi, peralatan dan harta benda yang telah mereka gunakan untuk memerangi kalian adalah hak milik laskar dan untuk kalian. Tetapi harta yang ada di rumah mereka adalah hak warisan keluarga mereka dan kalian tidak memiliki hak sedikit pun terhadap harta ini.”

6. Berhati-hatilah dan janganlah kalian menghina agama yang diyakini masyarakat dengan tujuan untuk menghalalkan kehormatan, sebagaimana hal ini pernah dilakukan oleh Khawarij di permulaan sejarah Islam. Para pengikut mereka juga melakukan hal yang sama pada masa kita sekarang ini. Mereka melakukan kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukan Khawarij dengan bersandarkan pada sebagai teks-teks agama.
Ketahuilah, barang siapa mengucapkan dua kalimat syahadat, maka ia adalah muslim. Darah dan hartanya harus dihormati, sekalipun ia sesat dan pencipta bid’ah. Hal ini karena setiap bid’ah tidak menyebabkan seseorang menjadi kafir. Bisa jadi seorang muslim yang telah melakukan kerusakan (fasad) lebih pantas untuk dibunuh.
Allah swt berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kalian berperang di jalan Allah, maka bertabayyunlah. Janganlah kalian katakan kepada orang yang menyatakan Islam kepada kalian bahwa ia bukan orang yang beriman hanya demi menginginkan harta benda dunia.”
Dalam sebuah hadis dari Imam Shadiq as ditegaskan bahwa Imam Ali as tidak pernah menyebut musuh beliau dengan nama musyrik dan munafik. Beliau malah menyebut mereka sebagai saudara-saudara kita yang telah memberontak.

7. Janganlah kalian melanggar warga nonmuslim yang berteduh di bawah payung Islam. Barang siapa melanggar mereka, maka ia adalah pengkhianat, dan khianat adalah termasuk tindakan yang paling buruk dalam ketentuan, fitrah, dan agama Allah.
Allah pernah berfirman, “Janganlah merasa enggan untuk berbuat kebajikan dan bertindak adil kepada mereka yang tidak memerangi kalian dan juga tidak mengusir kalian dari tanah air kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertindak adil.”

8. Takutlah kepada Allah tentang harta benda masyarakat. Harta seorang muslim tidak halal untuk seorang muslim yang lain kecuali apabila ia rela. Barang siapa merampas harta seorang muslim, maka seakan-akan ia menggenggam kobaran api.
Dalam sebuah Rasulullah saw pernah bersabda, “Barang siapa mencuri harta seorang muslim, maka Allah memalingkan waha darinya, memurkainya, dan tidak mencatat kebaikannya sebelum ia bertobat dan mengembalikan harta itu kepada pemiliknya.”

9. Takutlah kepada Allah dan jangan melakukan hal-hal yang diharamkan dengan tangan dan lidah Anda. Janganlah menghukum seseorang lantaran dosa orang lain. Allah berfirman, “Sebuah jiwa tidak akan menanggung dosa jiwa yang lain.” Janganlah Anda menangkap seseorang dengan landasan yang meragukan dan prasangka, kecuali Anda yakin. Keyakinan mendorong Anda bertindak hati-hati dan keraguan dan prasangka akan mendorong Anda melanggar orang lain. Kebencian Anda kepada musuh jangan sampai mendorong Anda untuk melakukan hal-hal yang haram. Allah berfirman, “Janganlah cercaan kaum itu mendorong kalian untuk tidak berbuat adil. Berbuatlah adil, karena hal ini lebih dekat kepada ketakwaan.”

10. Janganlah Anda melarang sebuah kaum untuk menerima hak-hak mereka selama mereka tidak memerangi Anda, sekalipun mereka membenci kalian. Dalam sirah Imam Ali as disebutkan, beliau memperlakukan para penentang beliau sebagaimana seluruh muslimin yang lain. Tentu selama mereka tidak memerangi beliau. Beliau juga tidak pernah memulai perang melawan mereka.

11. Ketahuilah, mayoritas musuh Anda di medan perang ini hanya tertipu oleh syubhat. Untuk itu, janganlah kalian bertindak sedemikian rupa sehingga syubhat ini menguat di benak masyarakat dan akhirnya mereka bergabung dengan musuh. Tetapi, bertindaklah baik dan adil serta penuh nasihat dan menghindari kelaliman sehingga syubhat itu tidak berpengaruh. Barang siapa berhasil menghilangkan sebuah syubhat dari benak seseorang, maka ia telah menghidupkannya, dan barang siapa menyisipkan syubhat dalam benak seseorang, maka ia telah membunuhnya.

12. Janganlah seseorang dari kalangan Anda berpikiran bahwa kezaliman memiliki pengaruh yang tidak dimiliki oleh keadilan. Gaya berpikir semacam ini terjadi lantaran kelalaian terhadap akibat menengah dan jauh sesuatu dan juga keteledoran atas sejarah umat terdahulu.
Dalam fenomena-fenomena sejarah modern, banyak hal yang bisa kita jadikan pelajaran. Sebagian penguasa menggunakan kezaliman untuk memperkuat kekuasan mereka. Hal ini terus berlanjut hingga Allah membinasakan kekuasaan mereka dari jalan yang tidak pernah mereka bayangkan.

13. Jika kesabaran, tindakan tidak tergesa-gesa, menyempurnakan hujjah, dan mengindahkan norma-norma insani bisa mendatangkan sedikit kerugian bagi kita, tentu hal ini tetap memiliki berkah dan akibat yang lebih baik. Kita banyak melihat contoh untuk masalah ini dalam sirah para manusia suci. Mereka tidak pernah memasuki arena perang untuk melawan muslimin sebelum lawan mereka memulai perang. Pada peristiwa Perang Jamal, setelah laskar Imam Ali as keluar, penyeru beliau menegaskan, “Tak seorang pun berhak memulai perang sehingga saya memerintahkan.”
Imam Husain as pada hari Asyura juga berbuat demikian.

14. Hadapilah masyarakat dengan penuh kebijakan dan dukunglah mereka sehingga mereka mendukung dan menolong Anda. Belalah orang-orang lemah sekuat tenaga Anda, karena mereka adalah saudara-saudara Anda, dan berbuatlah lemah lembut terhadap mereka. Ketahuilah bahwa Anda berada di haribaan Allah dan Dia mencatat seluruh tindakan Anda dan mengetahui niat Anda.

15. Janganlah lupakan salat wajib. Seorang muslim di hadapan perhitungan Allah tidak memiliki amal paling baik daripada salat. Salat juga memiliki etika yang harus diperhatikan di haribaan Allah.

Salat adalah tiang agama dan barometer terkabulnya amal. Allah telah meringankan kewajiban ini dalam kondisi sulit dan perang. Jika seseorang sibuk dengan perang dalam seluruh waktu salat, maka ia bisa mencukupkan diri dengan satu takbir sekalipun ia tidak menghadap ke Kiblat.
Lebih dari itu, Allah juga memerintahkan supaya muslimin menjaga jiwa dan senjata mereka. Untuk itu, janganlah mereka mengerjakan salat secara bersamaan, tetapi kerjakanlah salat secara bergantian.

16. Ingatlah selalu kepada Allah dan bacalah al-Quran. Ingatlah selalu masa ketika Anda akan kembali kepada Allah. Imam Amirul Mukminin as selalu bertindak demikian. Di malam Perang Shiffin, beliau mengerjakan salat di antara dua barisan padahal anak-anak panah melesat dari segala arah, dan beliau tidak menggubrisnya.

17. Kami memohon kepada Allah supaya tindakan Anda terhadap orang pada masa perang dan damai seperti tindakan Rasulullah dan Ahlul Bait as dan kalian menjadi hiasan dan nilai bagi Islam. Agama ini telah dibangun berlandaskan pada cahaya fitrah dan kesaksian akal dan etika. Cukuplah bagi kita keutamaan bahwa nabi kita telah mengibarkan panji rasionalitas dan etika. Dalam dakwah, beliau mengajak seluruh masyarakat untuk merenungkan hidup dan mengambil pelajaran dari kondisi dunia.

18. Hindarilah ketergesaan dalam merenungkan sehingga Anda tidak celaka, karena musuh ingin menyeret Anda ke tempat yang mereka inginkan tanpa Anda berpikir dan merenung.

19. Masyarakat yang dijadikan oleh musuh sebagai perisai hendaklah mengenal nilai pengorbanan para pejuang dan jangan sampai tertipu oleh muslihat yang digelontorkan tentang para pejuang ini. Allah tidak menetapkan sebuah hak untuk seseorang atas orang lain kecuali Dia juga telah menetapkan hak yang setimpal untuknya.
Ketahuilah bahwa tak seorang pun seperti saudara kalian menghendaki kebaikan Anda. Tentu dengan syarat kalian harus murni dan ikhlas. Jika diperlukan, maafkanlah kesalahan sesama kalian. Orang yang menyangka bahwa seorang asing lebih memikirkan nasib keluarga dan negaranya, pasti ia telah keliru. Barang siapa yang ingin mencoba sebuah pengalaman yang telah pernah dicoba sebelum ini pasti akan menyesal. Saling memaafkan akan mendatangkan pahala yang sangat besar.

20. Semua kalangan dan lapisan masyarakat harus menyingkirkan setiap bentuk fanatisme yang tak berarti dan lebih mengindahkan etika yang baik. Allah menciptakan aneka ragam kaum dan bangsa supaya mereka saling mengenal dan tukar menukar pengalaman serta saling tolong menolong. Coba Anda renungkan berapa banyak harta dan tenaga di masa lalu yang telah digunakan hanya untuk memukul sesama kita, padahal seluruh harta dan tenaga ini semestinya harus dimanfaatkan untuk kemajuan seluruh muslimin. Untuk itu, berhati-hatilah menghadapi fitnah yang tidak hanya menghantui orang-orang yang lalim. Padamkanlah api fitnah ini dan berpegangteguhlah kepada tali Allah.

Benarkah Imamah tidak dibahas oleh Al-Qur’an


Kalau saja imamah termasuk pokok agama, lalu kenapa Al-Qur’an tidak membicarakannya?
Bukan hal yang diragukan lagi bahwa kepemimpinan umat sepeninggal Rasulullah Saw membutuhkan sosok yang besar dan mulia, siapa pun orang yang netral dan bijaksana pasti mengakui hal ini, dan ternyata tidak seperti yang dibayangkan oleh si penggugat; kepemimpinan umat atau imamah telah dijelaskan oleh Al-Qur’an secara global.

Ayat-ayat yang menjelaskan imamah atau kepemimpinan umat adalah:

1. Ayat Wilayah
Allah Swt. berfirman:
Hanya sesungguhnya pemimpin kalian adalah Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan membayar zakat dalam keadaan mereka ruku’.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 55).

Banyak sekali mufasir Al-Qur’an dan ahli hadis yang meriwayatkan sya’nun nuzul ayat ini, ‘Suatu ketika, ada pengemis masuk masjid dan minta bantuan, tapi tak seorang pun yang memberinya sesuatu, sampai kemudian Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as yang sedang dalam keadaan ruku’ mengisyaratkan jari-jari bercincinnya ke arah pengemis supaya dia ambil cincinnya untuk memenuhi kebutuhannya, maka si pengemis maju dan melepas cincin beliau lantas pergi.’

Ketika itu Nabi Muhammad Saw mendapat berita akan kejadian tersebut, dan ketika itu pula beliau berdoa kepada Allah Swt, ‘Ya Allah, sebagaimana Engkau telah menentukan menteri untuk Musa dari keluarganya, tentukanlah pula menteri bagiku dari Ahli Baitku (keluargaku).’ Saat itu juga malaikat pembawa wahyu turun dan menyampaikan ayat di atas kepada beliau.’

Selain ulama Syi’ah, setidaknya 66 ahli hadis dan ahli kalam terkemuka dari kalangan Ahli Sunnah juga telah meriwayatkan sya’nun nuzul ini dalam kitab mereka dengan perbedaan yang tidak berarti. Peneliti temama Allamah Amini menyebutkan referensi periwayatan itu di dalam kitab berharganya Al-Ghodir.[1]

Sekarang, mari kita merenungkan bersama bagaimana ayat ini mengungkapkan masalah imamah atau kepemimpinan:
Kata ‘waliy’ dalam ayat ini berarti pemimpin atau orang yang memegang kendali urusan, itulah kenapa bapak dan hakim atau pemerintah juga disebut dengan ‘wali’ : Al-abu waliyu al-thifl; artinya, bapak adalah wali anaknya. Al-hakim waliyu al-qoshir; artinya, hakim atau pemerintah adalah wali orang yang tak mampu. Dan mengingat bahwa pokok pembahasan sekarang adalah ‘wali orang-orang yang beriman’, maka sudah barang tentu yang dimaksud dengan wali adalah imam, pemimpin dan pemerintah. Bahkan, indikasi-indikasi yang meliputi ayat ini, begitu pula sya’nun nuzulnya merupakan bukti nyata bahwa yang dimaksud dengan kata ‘waliy’ di sini adalah pemimpin.

Indikasi itu antara lain:
1. Jika memang yang dimaksud dengan kata ‘waliy’ dalam kalimat (ولیکم الله) bukan kepemimpinan, tapi bermakna seperti ‘pecinta’ atau ‘penolong’, maka tidak ada alasan yang benar untuk membatasi faktanya hanya pada tiga; Allah Swt, Rasulullah Saw, dan orang mukmin yang memberikan zakat atau sedekahnya dalam keadaan ruku’, karena semua orang yang beriman adalah pecinta, teman, penolong, dan pendukung satu sama yang lain, sehingga pembatasannya hanya pada tiga pihak itu sama sekali tidak bisa dibenarkan.
2. Secara literal, ayat ini menunjukkan hanya tiga yang punya hak wilayah atas umat Islam. Dengan demikian, tidak bisa tidak pihak yang berhak wilayah bukanlah pihak yang berada di bawah wilayahnya. Jika ‘waliy’ dalam ayat ini diartikan dengan pemimpin dan wilayah dengan kepemimpinan terhadap urusan umat Islam maka dua pihak itu jelas terpisah satu dari yang lain, tapi jika kata itu diartikan dengan kawan, pecinta, atau penolong maka dua pihak yang tertera dalam ayat ini tidak lebih dari satu dan tak terpisahkan satu dari yang lain, karena semua orang yang beriman adalah kawan, pecinta dan penolong satu sama yang lain.
3. Seandainya yang dimaksud dengan kata ‘waliy’ dalam ayat ini adalah kawan, pecinta atau penolong maka semestinya ayat ini cukup menyebutkan kalimat orang-orang yang Beriman” dan tidak perlu menambahkan kalimat yang mendirikan shalat dan membayar zakat dalam keadaan mereka ruku”, karena di tengah masyarakat yang beriman setiap orang merupakan kawan, pecinta dan penolong satu sama yang lain; baik mereka membayar zakat dalam keadaan ruku’ atau pun tidak.
Berdasarkan keterangan di atas, maksud yang sesungguhnya dari ayat ini adalah apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw, ‘Wahai Ali, setelahku engkau adalah wali (pemimpin) bagi setiap orang yang beriman.’[2]

Kalimat ‘setelahku’ dalam hadis nabawi ini juga membuktikan bahwa yang dimaksud dengan kata ‘wali’ adalah pemimpin dan pemerintah dalam urusan agama serta dunia, bukan pecinta atau penolong; karena, jika yang dimaksud dengan kata ‘wali’ adalah pecinta atau penolong maka itu tidak terbatas pada masa kepergian Rasulullah Saw.

2. Ayat Aulil Amri.
Ayat Wilayah bukan satu-satunya ayat Al-Qur’an yang menerangkan masalah imamah dan wilayah. Contoh lain dari ayat yang menjelaskan masalah ini adalah Ayat Ulil Amri. Allah Swt. berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulil Amri dari kalian.” (QS. Al-Nisa’ [4]: 59).

Ulil Amri berarti para pemimpin, dan di dalam ayat ini menunjukkan makna kepemimpinan sejumlah orang yang ketaatan pada mereka bersandingan dengan ketaatan pada Allah Swt dan Rasul Saw.
Fakhrur Razi di dalam kitab tafsimya punya penjelasan yang menarik sekali. Dia mengatakan, ‘Mengingat bahwa Ulil Amri di sini disandingkan dengan Allah Swt dan Rasul Saw, maka tidak mau tidak orang yang menduduki posisi ini adalah orang yang suci dari dosa dan kesalahan; karena, -selain karena bersandingan dengan dua pihak yang suci dari dosa dan kesalahan (Allah Swt dan Rasul Saw) maka para pemimpin itu juga harus suci dari dosa dan kesalahan- ketaatan yang diwajibkan dalam ayat ini bersifat mutlak dan tanpa syarat, maka para pemimpin yang dimaksud dalam ayat ini juga harus orang yang suci dari dosa dan kesalahan, dan jika tidak demikian maka seharusnya ketaatan itu dibatasi, tapi ternyata Al-Qur’an mewajibkan ketaatan itu tanpa batas dan catatan apa pun.[3]

Sebagaimana yang sudah jelas, dua Ayat Wilayah dan Ayat Ulil Amri menjelaskan masalah imamah atau kepemimpinan secara independen. Pada saat yang sama, ada juga ayat Al-Qur’an yang secara langsung dan terpisah tidak memaparkan masalah imamah, tapi sya’nun nuzulnya membuktikan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan masalah imamah dan kepemimpinan. Seperti Ayat Ikmal.

3. Ayat Ikmal
Allah Swt berfirman:
Pada hari ini orang-orang kafir putus asa dari agama kalian maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku, pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Aku lengkapi nikmat-Ku atas kalian serta telah Aku ridai Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 3).

Para mufasir dan sejumlah ahli hadis menyebutkan bahwa ayat ini turun pada waktu Haji Wada’ Nabi Muhammad Saw, dan tepatnya di Hari Ghadir Khum, yaitu hari ketika Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dilantik sebagai imam sepeninggal beliau.[4]

Berdasarkan tiga ayat di atas, kiranya itu sudah cukup untuk menjawab pertanyaan apakah masalah imamah, wilayah atau kepemimpinan telah dijelaskan dalam Al-Qur’an ataukah tidak. Terang saja Al-Qur’an tidak mungkin mengabaikan masalah yang sangat penting ini.

Referensi:
[1] Al-Ghodir, jld. 3, hal. 156-162.
[2] Mustadrok Al-Hakim, jld. 3, hal. 111; Musnad A[!mad,jld. 4, hal. 437.
[3] Mafatih Al-Ghoib (Tafsir Fakhrur Razi), jld. 10, hal. 144.
[4] Al-Dur Al-Mantsur, jld. 2, hal. 298; Fath Al-Qadir, jld. 2, hal. 57; Yanabi’ Al-Mawaddah, hal. 120; Tafsir Al-Munir, jld. 6, hal. 463; Allamah Amini di dalam kitab Al-Ghodir menyebutkan sedikitnya 16 referensi otentik yang meriwayatkan bahwa ayat ini turun di Hari Ghadir Khum. Lihat: Al-Ghodir, jld. 1, hal. 447-458.
[Ja’far Subhani]

GHADIR KHUM, FAKTA SEJARAH YANG BERUSAHA DITUTUPI oleh intervensi penguasa !

Ghadir Khum: Sejarah Yang Mustahil Untuk Diingkari


ESTAFET KEPEMIMPINAN UMMAT DI GHADIR KHUM, SUATU FAKTA SEJARAH YANG BERUSAHA DITUTUPI

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim (penentu keputusan) terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.“ (Q.S 4 :65 ).
 “Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang dilarangnya pada kalian maka tinggalkan.” (Al-Hasyr: 7).

Dari sudut pandang syiah, hadist-hadist seputar peristiwa Ghadir Khum yang menceritakan tentang mandat Rasululah pada Ali untuk melanjutkan kepemimpinan ummat adalah sangat mutawatir, Sebut saja Syekh Saduq , Syekh Thusi, dan para muhadist Syiah lainnya meriwayatkan peristiwa tersebut dari berbagai rantai periwayatan yang hingga mencapai ratusan hadist ,bahkan ribuan kesaksian yang saling menguatkan satu sama lain. Berbeda dengan saudara-saudara di kalangan ahusunnah, hadist-hadist seputar peristiwa ini cenderung seperti ditutup tutupi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa intervensi penguasa pada saat perkembangan mazhab tersebut sangat kentara. Kita semua sama-sama tahu, bahwa para ulama-ulama dikalangan ahlusunnah yang konsisten dan tidak sefaham dengan penguasa banyak yang ditangkap, disiksa, bahkan dieksekusi para penguasa, sebut saja Imam Hanafi, Imam Syafii, Ibnu hazm, dan banyak nama lainnya yang barangkali perlu tulisan tersendiri untuk membahasnya.
  Dalam membahas peristiwa Ghadir Khum ini, kami akan berusaha mengemukakan hadist-hadist dari kalangan saudara kami ahlussunnah, karena sebagaimana yang saya alami dulu saat masih menjadi pengikut ahlussunnah, hadist-hadist syiah tidak berarti apa-apa bagi saya saat itu. Sama seperti bila kita berhujjah dengan kaum agama lain misalnya, mana mau mereka menerima hujjah kecuali dari kitab mereka sendiri. Banyak pula diantara mereka yang walaupun telah dipaparkan dengan berbagai argumentasi tak terbantahkan darikitab mereka sendiri yang masih keras kepala, menutup hatinya rapat-rapat dari kebenaran, mudah-mudahan para pembaca disini tidak termasuk yang demikian, insya Allah Amin.

Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Alqur`an At Tawbah: 32 dan Saff: 8, mereka mengadakan dusta terhadap Allaah, mereka berkata bahwa Allaah tidak menurunkan perkara apapun tentang keberlanjutan kepemimpinan Ilahi,
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kebohongan terhada Allah padahal dia diajak kepada Islam? Dan Allaah tidak memberi petunjuk kepada orang – orang yang zalim.”.

”Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahayaNya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (Q.S As-Saff: 7-8).

Walaupun ada upaya-upaya sistematis dari para penguasa pada masa lalu untuk menutup-nutupi fakta penting sejarah ini, berbagai hadist seputar peristiwa tersebut, dan puluhan hadist lainnya yang saling menguatkan satu sama lainnya dan berbagai riwayat yang “tanpa sengaja” membenarkan peristiwa tersbut bertebaran disana-sini, berikut kami akan paparkan hadist-hadist tersebut :

Dari Zaid bin Arqam, ia berkata ‘” Rasululah saw telah berpidato di suatu tempat bernam,a Ghadir Khum, di bawah beberapa batang pohn. Beliau berkata,” Wahai manusia , hampir tiba saatnya aku akan dipanggil kembai. Dan aku pasti akan memenuhi panggilan tersebut dan aku akan dimintai pertanggung jawaban. Dan kamupun akan dimintai pertanggungjawaban maka apa yang akan kamu katakan ?
Mereka menjawab,” Kami bersaksi bahwa engkau menyampaikannya, telah berjuang serta memimpin kami setulus-tulusnya. Semoga Allah memberi balasan yang sebaik-baiknya.”.
Lalu rasul melanjutkan,”
Bukankah kalian bersaksi tentang La Ilaaha ilallah Muhammadurasuulullah, dan bahwa surga haqq, kebangkitan itu haqq, dan bahwa hari qiyamat itu benar, tiada keraguan tentangnya dan bahwa Alah akan membangkitkan kembali semua yang ada di liang kubr? “
jawab mereka,” Ya Alah saksikanlah.”.
Selanjutnya rasul melanjutkan,” wahai manusia, sungguh Allah adalah maulaku, dan aku adalah maula seluruh kaum muslimin, dan aku lebih berhak menjadi wali mereka lebih dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka dia ini ( beliau menunjuk Ali) adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.
Kemudian beliau melanjutkan lagi,
”Wahai manusia, bahwa aku akan mendahului kalian, dan kelak kalian akan menghadap aku di telaga Haudh. Haudh lebih luas daripada Bushra ke Shan`a, disana tersedia gelas-gelas perak sebanyak bintang dilangit dan aku saat itu akan bertanya pada kalian tentang Tsaqolain ( dua pusaka) bagaimana kalian memperlakukannya sepeninggalanku. Atsaqol yang teragung adalah Kitabullah, ujung yang satunya di “tangan” Allah, yang satu lagi di tangan kalian maka berpeganglah erat padanya, niscaya kalian tidak akan sesat, tidak berubah arah. Yang kedua adalah itrahku (keturunanku) ahul baitku, sebab Allah Meliputi dan Mengetahui telah memberitahukan bahwa keduanya tidak akan putus sampai menemui aku di Haudh.” ( HR Thabrani, Ibnu Jarir, Al Hakim, Tirmidzi dari Zaid bin Arqom).

Tentang hadist tersebut, bahkan Ibnu Hajar yang sangat membenci Syiah dalam halaman 25 Kitab Sawa`iqnya mengutip hadist tersebut dari Thabrani dan membenarkan hadist tersebut tanpa keraguan.
Selanjutnya al Hakim dalam Mustadraknya bab Manaqib Ali meriwayatkan hadist serupa Dari Zaid bin Arqam, dari dua saluran yang disahihkan sesuai dengan yang disyarat kan Bukhari dan Muslim, juga diriwayatkan pula oleh adz Dzahabi dalam kitabnya at Talkhis , seraya mengakui kesahihannya;
Zaid bin Arqam berkata ‘” Ketika rasulullah pulang dari Haji Wada` dan teah sampai suatu tempat bernama Ghadir Khum, beliau memerintahkan beberapa pengikut untuk memasang kemah, di bawah beberapa batang pohon. Beliau berkata,” Seakan akan aku dipanggil Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan tersebut. Dan aku amanatkan pada kalian Ats Tsaqolain ( dua pusaka) yang teragung adalah Kitabullah , yang kedua adalah itrahku (keturunanku) ahlul baitku , sebab Allah Meliputi dan Mengetahui telah memberitahukan bahwa keduanya tidak akan berpisah sampai menemui aku di Haudh.”.
Lalu beliau memegang tangan Ali sambil berkata ,”Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka dia ini ( beliau menunjuk Ali) adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.

Dan diriwayatkan pula peristiwa tersebut oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad jilid IV meriwayatkan hadist serupa melalui Zaid bin Arqam, katanya ‘”

Kami berhenti di suatu lembah bernama Ghadir Khum, beliau memerintahkan untuk mendirikan shalat, lalu beliau sholat pada waktu hari sudah siang terik, Beliau berpidato dihadapan kami, sehelai kain kain direntangkan di atas sebatang pohon untuk melindungi tubuh beliau dari sengatan matahari, Lalu beliau berkata,” wahai manusia, apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah maula seluruh kaum muslimin,dan aku lebih berhak menjadi wali mereka lebih dari diri mereka sendiri.” Yang hadir menjawab,” benar ya rasulullah.”.
Beliau melanjutkan ,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”.

Selanjutnya An Nasa`i meriwayatkan pula Dari Zaid bin Arqam, katanya ‘” Ketika rasulullah pulang dari Haji Wada` dan berhenti di Ghadir Khum, beliau memerintahkan beberapa pengikut untuk memasang kemah. Beliau berkata,” Seakan akan aku dipanggil Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan tersebut. Dan aku amanatkan pada kalian Ats Tsaqolain ( dua pusaka) yang salah satunya lebih besar dari yang lain, Kitabullah , dan itrahku ahlul baitku , keduanya tidak akan putus sampai menemui aku di Haudh.”.
Lalu beliau melanjutkan,” ,” Sesungguhnya aku adalah maula seluruh kaum mu`min, lalu Rasul mengangkat tangan Ali sambil berkata,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”

Hadist tersbut juga diriwayatkan juga oleh Muslim pada sahihnya dalam bab keutamaan Ali dari beberapa saluran dari Zaid bin Arqam, tapi hadist tersebut dipotong ringkas, begitulah yang biasa mereka lakukan.

Dari al Barra` bin Azzib melalui dua saluran, ia berkata ‘” Kami bersama-sama Rasulullah berhenti di Ghadir Khum, maka diserukanlah untuk mendirikan shalat, lalu dibersihkanlah tempat bagi rasul dibawah dua batang pohon, lalu beliau sholat Dzuhur, setelah itu Beliau mengangkat tangan Ali sambil berkata,” wahai manusia, apakah aku lebih berhak menjadi wali orang-orang mu`min lebih dari diri mereka sendiri.”
Mereka menjawab ,”benar ya rasululah.”
Sambil mengangkat tangan Ali rasul berkata,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” Setelah itu Umar bin Khattab datang menemui Al dan berkata,” Alangkah bahagianya anda wahai Ali binAbi Thalib, kini engkau menjadi maula seluruh mu`min dan mu`minah ( Musnad Ahmad , jilid IV halaman 281 ).

“Dan berjihadlah kamu di jalan Allaah dengan jihad yang sebenar-benarnya Dia telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allaah) telah menamakan kamu orang – orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksnakanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan berpegang teguhlah kepada Allaah. Dialah Maula kalian (Huwa Maula kum); Dia sebaik – baik maula dan sebaik – baik penolong.” (Q.S Al-Hajj[22]: 78).

Dan telah diriwayatan oleh anNasa`i dari Aisyah binti Sa`ad, katanya ,” Kudengar ayahku berkata : “ Aku mendengar Rasulullah ketika berada di Juhfah berkata setelah memuji Allah,” ,” wahai manusia, aku adalah wali kalian ?.” Mereka menjawab ,” benar ya rasululah.” Lalu beliau mengangkat lengan Ali seraya berkata,” Inilah waliku yang akan melunasi hutangku, bertindak atas namaku dan aku bersama siapa yang memperwalikannya dan aku musuhi siapa yang memusuhinya.” ( Al Khashaishul Alawiyah bab keddudukan Ali halaman 4 dan halaman 25).

Dari Sa`ad ,” ‘” Kami bersama-sama Rasulullah di Ghadir Khum, beliau berhenti sambil menunggu kedatangan rombongan rombongan yang dibelakangnya, dan memerintahkan agar orang-orang yang telah mendahuluinya agar kembali dan berkumpul semuanya,Setelah semuanya bergabung Beliau berkata,” wahai manusia, siapakan waliMu ” Mereka menjawab ,” Allah dan RasulNya.” Sambil mengangkat tangan Ali dan menyuruh Ali berdiri rasul berkata,”Barangsiapa yang menjadikan Allah dan RasulNya sebagai walinya, maka Ali adalah walinya juga. Ya Allah cintailah siapa yang berwilayah padanya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” ( Al Khashaishul Alawiyah bab kedudukan Ali halaman 25 ).

Bukti-bukti lain dari berbagai riwayat ahlusunnah yang menunjukan bahwa peristiwa Ghadir Khum benar-benar ada:
Seperti telah saya katakan sebelumnya bahwa dalam kitab-kitab hadist syiah, hadist-hadist tentang peristiwa ini banyak berserakan dari berbagai jalur rantai periwayat. Tetapi dalam ahlusunnah, hadis-hadist seputar peristiwa ghadir khum memang tidak sebanyak dalam riwayat Syiah.

Para penulis hadist sunni seperti berusaha menyembunyikan dan menutupnya rapat-rapat, berbeda dengan hadist “berpegang pada Kitabullah dan Sunah nabi”, walaupun tidak mencapai derajat mutawatitr bahkan tidak terdapat dalam Bukhari Muslim yang sering mereka anggap sebagai kitab hadist paling sahih, pegangan kedua setelah Kitabullah, mereka para ulama ahlusunnah menyebarluaskan hadis yang kurang kuat tersebut, tetapi untuk hadis ghadir khum, mereka seperti menutup, menyembunyikan, dan menjauhkannya bagi ummat sebagai sebuah cerita masa lalu yang tidak begitu penting.

Tetapi, kekuatan apa pun yang berusaha menyembunyikan kebenaran, dan serapi apa pun, cahaya kebenaran tetap tidak dapat dipadamkan. Seperti upaya menghapus kabar-kabar nubuwwah tentang kenabian Muhammad dari kitab-kitab agama-agama samawi didunia, toh akhirnya terkuak juga bahwa nubuwah yang berisi informasi tersebut masih tersimpan rapi dalam kitab mereka walau dalam bentuk metafora sekalipun.

Walaupun hadist-hadist seputar suksesi penting tersebut terkesan disembunyikan, berbagai kesaksian-kesaksian atau pembenaran-pembenaran lainnya tentang peristiwa tersebut bertebaran pula dalam berbagai kitab hadist Ahlussunnah, sebagai bangunan argumentasi yang kokoh, berbagai fakta satu sama lain saling menguatkan, ibarat sebuah bangunan yang kokoh tak bergeming.

Saking banyaknya rantai periwayatan yang menguatkan peristiwa tersebut, Ustadz Hasan salah seorang mantan pengikut Wahabi bahkan menyatakan beberapa saat ketika dahulu sebelum tasyayunya,” Hadist tentang doa iftitah saja yang berbunyi ” Allahumma ba’id baini wa baina khotoya…., atau hadist doa attahiyat yang berbunyi,” attahiyatu mubarokatu” dst….saja, periwayatnya tidak sebanyak ini, tapi disahihkan bahkan diamalkan oleh kaum Wahabi yang terkenal sangat berhati-hati terhadap hadist, apalagi hadist ghadir khum yang lebih dari sekedar mutawatir, dari kitab yang saya punya saja ada riwayat dan kesaksian-kesaksian para sahabat sebanyak 34 pahlawan badar yang menyaksikan peristiwa tersebut, sementara yang menyaksikan Nabi membaca doa iftitah atau membaca attahiyat sebagaimana tadi saya sebutkan saja tidak lebih dari dua orang. Jadi, mengapa kita meninggalkan dan tidak mengamalkan wasiat Nabi tersebut?”

Ghadir Khum dan Asbabunnuzul
alWahidi dalam kitabnya Ababun nuzul ketika menafsirkan surat alMaidah ayat 67 yang berbunyi : “Hai Rasul sampaikanlah apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, jika kamu tidak kerjakan yang demikian berarti kamu tidak menyampaikan seluruh apa yang diamanahkanNya padamu.
Allah memeliharamu dari gangguan manusia, sesungguhnya Allah tidak memberikan hidayah pada orang-rang yang ingkar ,”mengutip perkataan Abu Sa`id al Khudr yang berkata,”Ayat ini turun pada hari Ghadir Khum, berkenaan dengan pidato nabi tentang Ali bin Abi thalib. Ats Tsa`labi meriwayatkan pula melalui dua sanad dalam alKabirnya berkenaan dengan turunnya ayat tersebut dan diriwayatkan pula oleh al hamwini asSyafii dalam alFaraid dengan mengambi beberapa sanad dari Abu Hurairah secara marfu`, dikutip pula oleh al Hafidz Abu Nu`aim dalam kitab Nuzulul Qur`annya melalui dua sanad yaitu dari Abu rafi`dan yang keduanya dari al-A`masy dari `Atiyyah (secara marfu`).

Abu Ishaq Ats Tsa`labi meriwayatkan pula dalam alKabirnya berkenaan dengan penafsiran surat alma`arij : 1-2 yang berbunyi,” Seseorang telah meminta kedatangan adzab yang menimpa orang kafir, dan tidak seorangpun dapat menolaknya.”.

Dengan melalui dua sanad yang mu`tabar bahwa : rasulullah telah mengumpulkan banyak orang pada peristiwa Ghadir Khumm saat rasul mengangkat tangan Ali dan berkata,”Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .”.maka tersiarlah berita itu hingga didengar Harist bin nu`man al Fihri. ia segera mendatangi Rasul sambil mengendarai ontanya.
Setiba di hadapan beliau, ia segera turun dari onta dan bertanya,” Ya Muhammad, engkau telah menyuruh kami bersaksi Tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa engkau adalah rasulallah dan kami menerimanya. Dan engkau perintahkan kami untuk shalat 5 kali sehari dan kami menjalankannya, engkau perintahkan kami zakat, kami tunaikannya, dan engkau suruh kami berhaji dan kami menerimanya.
Namun anda belum puas dengan semua itu sehingga anda akan lengan sepupu anda (Ali) sambil berkata,”Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .”.
Apakah ini dari anda pribadi atau dari Allah.jawab rasul,” Demi Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia ini adalah ketentuan Allah `Aza wa Jalla, Mendengar itu, pergilah al Harist pergi menuju ontanya sambil berkata dengan sinis ,” Ya Rabb, jika apa yang dikatakan Muhammad memang benar, maka turunkanlah hujan batu dari langit, atau datangkanlah pada kami azab yang pedih.”
Berkata perawi, “Maka Allah melemparinya dengan batu yang menembus tubuhnya hingga jatuh terkapar dan mati sebelu mencapai ontanya.” .

Hadist serupa juga diriwayatkan oleh tokoh-tokh ahlusunnah lanya seperti Allamah Syablanji dalam Nurul Abshar pada bab Riwayat Hidup Ali, juga ditulis oleh al-halabi dalam sirahnya halaman 214 jilid III.


Munasyadah al Rahbah 35 H
Al rahbah artinya beranda, yaitu suatu tempat dimana pada saat Ali naik menjadi khalifah setelah Usman terbunuh, beliau menyelesaikan berbagai permasalahan Umat di beranda masjid kota Kuffah 25 tahun setelah peristiwa Ghadir Khum , tepatnya pada tahun 35 H setelah kaum muslimin mengalami berbagai peristiwa yang memakan korban para saksi ghadir khum antara lain peperangan-peperangan yang banyak memakan korban terutama di pada masa kekuasaan Abu Bakar, serta wabah kolera yang memakan banyak jiwa kaum muslimin termasuk para sahabat yang ikut menyaksikan peristiwa ghadir khum, Amirul Mu`minin Ali bin Abi thalib yang baru dibai`at sebagai khalifah mengumpulkan orang banyak dihalaman masjid sambil berpidato ,” Aku mengajak demi Allah pada tiap orang diantara kalian yang telah mendengar apa yang diucapkan rasulullah di ghadir Khum agar berdiri memberikan kesaksian dari apa yang telah didengarnya.Dan hendaklah jangan kalian berdiri kecuali mereka yang benar-benar telah melihat peristiwa itu dengan kedua matanya dan mendengar apa yang Rasul katakan saat itu dengan kedua telinganya !’ maka berdirilah 30 orang dikalangan sahabat, duabelas diantaranya adalah pejuang Badar. Dan mereka semuanya memberikan kesaksian bahwa Rasul telah mengangkat lengan Ali dan bersabda ,” apakah aku lebih berhak menjadi wali orang-orang mu`min lebih dari diri mereka sendiri.” Mereka menjawab ,” benar ya rasululah.” Beliau berkata lagi ,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.” ( Musnad Ahmad , jilid I halaman 119, dirawikan dari Abdurahman bin Abi Laila ).

Masih dalam musnad Ahmad diriwayatkan dari berbagai jalur periwayatan lain di akhir halaman 119 juga disebutkan pula oleh Ibnu Qutaibah ad daruni dalam kitabnya Ma`arif di akhir halaman 94 menurut riwayat Abdurahman bin Abi laila dan beberapa jalur lain , bahwa ketika itu Ali berkata kepada Anas “ mengapa engkau tidak berdiri bersama sahabat lainnya dan memberikan kesaksian seperti apa yang anda dengar ketika itu ? “ Anas menjawab “ Usiaku telah lanjut dan aku telah lupa.” Ali berkata,” Baiklah, jika apa yang kau ucapkan itu bohong, semoga Allah menimpakan penyakit belang atas tubuhmu sehingga tidak tertutup sorbanmu.”Dan tidak lama kemudian dia dirimpa penyakit belang hingga meliputi seluruh mukanya.” Aku terkutuk oleh doa hamba Allah yang saleh.” Katanya kemudian. peristiwa ini diriwayatkan pula oleh Zaid bin Arqam bisa dirujuk dalam berbagai kitab sunni antara lain al Haitsami dalam majmaul Zawaaid, almaghazili dalam alManaqib , Thabrani dalam alKabir, atTabari dalam Zakhair al Uqba, al Hafisz Muhammad bin Abdullah dalam alFawaaid,dll.

Kisah senada juga diriwayatkan oleh Abu Thufail Amir bin Watsilah sebagaimana direkam oleh Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya , an Nasai dalam Khasais, Abu dawud dalam, al Ashimi dalam Zainal fata, Al Kunji dalam kifayah, at tabari dalam Riyad an Nadhirah, Ibnu katsir dalam bidayah, Ibu Atsir dalam Usud al Ghabah, dll.

Disamping itu Ibnu katsir dalam tarikhnya meriwatkan kejadian serupa dari Ahmad bin hambal:
 Ali mengingatkan Thalhah pada perang Jamal
Saat berkecamuknya perang Jamal, terekam oleh kitab-kitab hadist dan sejarah dialog yang terjadi antara mereka berdua, saat itu diceritakan bahwa,
Ali berkata pada Thalhah,”Aku bermunasyadah atas nama Allah, tidakkah engkau pernah mendengar bahwa nabi pernah berkata, ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali) dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.” Jawab Thalhah,” ya, aku pernah mendengarnya” Lalu Ali bertanya,” kalau begitu, mengapa engkau memerangiku?” Thalhah menjawab,” aku lupa.”.

Al hakim meriwayatkan dalam Mustadraknya , juga diriwayatkan Mas’udi dalam Muruj al Zahab, Khatib al Khawarizmi dalam al manaqib, Ibnul jauzy dalam tadzkirah, Ibnu hajar dalam al tahzib, al Haitsami dalam majmaul Zawaid, jalaluddin Suyuthi dalam jami al Jawami, dll.

Pernyataan-pernyataan lain yang menguatkan
Juga disebutkan dalam Musnad Ahmad ( juz V halaman 419) dari Riyah bin harist melalui dua saluran hadist, katanya ,” sekelompok orang mendatangi Ali seraya mengucapkan ,” Assalaamu`alaika ya Amiru mu`minin,” Ali bertanya,” siapa kalian?’ “ kami adalah pengikut tuan.” Jawab mereka.
Lalu Ali bertanya,” bagaimana kalian menganggap aku sebagai Wali kalian , sedang kalian adalah orang-orang Arab.” Jawab mereka,” kami telah mendengar rasul bersabda pada peristiwa Ghadir Khum ,” Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. .” berkata Riyah ( perawi hadist ini) : ketika mereka pergi, aku ikut bersama mereka dan menanyakan tentang orang-orang ini, siapakah mereka, dan aku mendapat jawaban bahwa mereka adalah sekelompok kaum Anshar, diantaranya ada Abu Ayyub al anshari.”

Munasyadah Pada Masa Usman bin Affan
Sebagaimana diriwayatkan alHimwaini dalam Faraidu Simthoin, Sulaim bin Qois alHilali menyaksikan bahwa saat itu pada masa Usman bin Affan berkuasa berkumpul di masjid Nabawi lebih dari 200 sahabat termasuk diantaranya Miqdad, Saad Bin Abi Waqass, Ibnu umar, Thalhah, Zubair, dan lain-lain, mereka membicarakan keutamaan kaumnya, saat itu Ali berkata panjang lebar yang diantaranya adalah pernyataan-pernyataan Nabi tentang keutamaan Ali dan ahlulbait Nabi termasuk diantaranya yang nabi ucapkan di Ghadir Khum.

Peristiwa syura 23 H
Jauh sebelum itu, pada peristiwa syura, Ali melakukan dialog pada para peserta syura, disana Ali mengambil kesaksian-kesaksian, salah satunya adalah sebagaimana diceritakan Abi At Tufail Amr bin watsilah sebagaimana tercatat dalam Khashaisul Alawiyah (AnNasa`i) menceritakan bahwa Ali berkata pada mereka,” Apakah diantara kalian ada yang seperti diriku dimana Rasul berkata padanya,”Barangsiapa yang mengakui aku adalah pemimpinnya maka ketahuilah bahwa Ali adalah pemimpinnya, Ya Allah befihaklah pada orang-orang yang memihaknya, belalah orang-orang yang mengikuti wilayah (kepemimpinannya) , dan musuhilah orang-orang yang menentang kepemimpinannya.”.

Hujjah Keluarga nabi tentang al Ghadir
Al muqiri asSyafii dalam Asnal al Matalib meriwayatkan debat antara Fatimah dengan para sahabat Nabi, dari percakapan yang cukup panjang terungkap pula pernyataan fatimah ,”Apakah kalian lupa perkataan rasulullah pada hari al Ghadir ,” ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”.

Al Hafidz Abul Hassan bin Uqdah meriwayatkan bahwa pada saat Imam Hassan menandatangani kesepakatan dengan Muawiyah, Imam berkata,”Bukankah ummat ini mendengar perkataan nabinya saat memegang tangan Ali di Ghadir Khum sambil berkata ,” ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.” Dan Nabi memerintahkan agar yang hadir menyampaikannya pada yang tidak hadir.”.

Sulaim bin Qais pun meriwayatkan bahwa duatahun setelah kematian Muawiyah, Imam Husein berpidato dihadapan 700 orang jemaah haji di mina yang termasuk diantaranya adalah para sahabat, tabiin, Bani hasyim dan para pengikut setia al Husein,” Aku bermunasyadah pada Allah, bukankah kalian tahu bahwa Nabi di ghadir Khum berkata sambil mengangkat tangan Ali ”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya, dan hendaklah yang mendengar hal ini menyebarluaskan kabar ini pada yang belum mendengarnya,” semua yang berkumpul memberikan kesaksian.

Begitulah sekelumitnya pencarian ku tentang kebenaran peristiwa ghadir khum tersebut, saat saya masih mempelajarinya, sekelompok teman yang terpengaruh faham wahabi datang dan mengatakan bahwa peristiwa tersebut tidak detail disebutkan dalam bukhari-muslim, lalu saya katakan kepada mereka,” bukankah hadist “Kitabullah wa sunnatun nabi” pun tidak kutemukan dalam bukhari muslim. Dan kalau hadist yang sebegini banyak jalur periwayatannya saja kita tolak, kenapa kita melakukan shalat, padahal hadist-hadist tentang tata cara shalat saja tidak sebanyak ini jalur periwayatannya.”.

Masih banyak lagi berbagai riwayat lain yang begitu melimpah bukti-bukti yang menguatkan kebenaran peristiwa tersebut, Bahkan jauh-jauh hari sebelum peristiwa penting tersebut terjadi, nabi selalu mengulang-ulang pesan penting tentang kewilayahan Ali, dan pentingnya berpegang pada Aststaqolain (dua pusaka) Kitabullah, dan ahlul bait Nabi , dalam berbagai kesempatan , pernyataan-pernyataan nabi tersebut terdapat di berbagai kitab hadist sunni.

Di akhir tulisan ini,saya akan tutup dengan kisah seorang perempuan pemberani bernama Darumiyah, saat ditanya oleh Muawiyah tentang alasan mengapa Darumiyah begitu mencintai Ali, Darumiyah memberikan serangkaian argument yang salah satunya adalah,”Aku berwilayah pada Ali karena rasulullah telah mengangkatnya sebagai pemimpin ummat sepeninggalan beliau , bahkan bukankah peristiwa itu terjadi dihadapan batang hidungmu wahai Muawiyah.” ( Zamakhsyari dalam rabiul abrar)

Komentar:
Mengapa Allah tidak boleh menunjuk langsung pemimpin Ummat melalui lisan nabi, sehingga tidak ada perpecahan seperti yang terjadi saat ini, ummat terpecah ke dalam kelompok-kelompok yang masing-masing mengklaim punya Pemimpin sendiri-sendiri.Apakah Allah membiarkan ummat ini bingung memilih siapa pemimpinnya, padahal bukankah kepemimpinan adalah hal yang sangat fundamental, tanpa pemimpin ummat akan terpecah, kebenaran akan menjadi bias-bias yang semakin membuat ummat kebingungan.

Kepemimpinan yang dipilih secara musyawarah pada akhirnya selalu membuat perpecahan, ketidak puasan, sebagaimana yang kita lihat sekarang, lalu apakah Nabi wafat tanpa menunjuk khalifah setelahnya sehingga ummat kebingungan dan berpecah-pecah.

Padahal, bukankan tiap-tiap ummat akan dipanggil kelak bersama pemimpin-pemimpin (Imam – Imam) mereka ?

Allah Swt berfirman: “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu), berarti kamu tidak menyampaikan risalah/agama-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah: 67).

Peristiwa pengangkatan Imam Ali sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Islam pasca Nabi saw, terjadi di tempat yang bernama Ghadir Khum, yang terletak di kawasan antara Mekkah dan Madinah di dekat Juhfah, sekitar 200 km dari Mekkah.

Peristiwa besar yang menggemparkan sejarah ini,
terjadi pada bulan terakhir tahun ke-10 Hijriah, setelah Rasul saw menjalankan Haji Perpisahan/Terakhir (Hajjatul Wada’). Semua sahabat sadar bahwa sebentar lagi wahyu akan terputus dari mereka. Ini adalah saat-saat terakhir kebersamaan mereka dengan Nabi Besar Muhammad saw.

Dalam sebagian riwayat, Haji Perpisahan/Terakhir tersebut juga disebut dengan hajjatul ikmal wa itmam (haji lengkap dan sempurna), karena setelah ayat ke-67 dari surah al Maidah tersebut diamalkan oleh Rasul saw dimana beliau secara resmi mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib tinggi-tinggi sehingga terlihat bagian dalam lengan beliau dan bersabda:
“Man kuntu maula fa hadza ‘aliyyun maula” (Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka ia pun harus menjadikan Ali sebagai pemimpinnya),
maka turunlah ayat berikut sebagai happy ending dakwah beliau:
“Pada hari Ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah: 3).

Sebelum Rasulullah saw mengangkat Ali sebagai penggantinya, beliau menyampaikan pidato panjang di Ghadir Khum, dimana di antaranya beliau menjelaskan posisi dirinya dan ahlul baitnya, khususnya Imam Ali. Dan di akhir orasinya, Nabi saw mendoakan Ali secara khusus:

“Jadikanlah kebenaran selalu berada bersama Ali.”

Ini adalah kalimat terbaik, terindah dan memiliki makna paling dalam yang diucapkan Nabi di saat itu. Rasul saw menjadikan Ali sebagai mizan (timbangan) kebenaran. Dengan kata lain, untuk mengetahui sesuatu itu benar maka ia harus kita ukur dengan Ali, bukan sebaliknya. Yakni salah besar kalau kita mengukur Ali dengan kebenaran. Sebab Ali adalah manifestasi sempurna kebenaran itu sendiri. Kalau kita mengukur Ali dengan kebenaran maka ini namanya “jeruk makan jeruk”. Sabda agung Nabi saw tersebut yang ditujukan kepada Imam Ali tak ubahnya sabda beliau yang dialamatkan kepada putri semata wayangnya, Fatimah az Zahra: “
“Ridha Allah terletak pada keridhaan Fatimah dan murka-Nya pun terletak pada kemurkaan Fatimah.”

Sebagaimana Ali, Fatimah yang notabene istri tercinta Ali adalah tolak ukur kebenaran. Sesuatu menjadi benar ketika Fatimah meridhainya, dan sesuatu menjadi batil ketika Fatimah memurkainya. Siapapun yang membuat marah Fatimah maka sejatinya ia sedang membuat marah Allah, dan siapapun yang membuat Fatimah tertawa maka ia sedang membahagiakan Allah.

Peristiwa Ghadir dengan pelbagai redaksi dan kisahnya mungkin dapat dilupakan, namun ia tak dapat diingkari begitu saja seperti apa yang dilakukan oleh Fakrur Razi, penulis tafsir Mafatihul Ghaib. Mungkin Fakrur Razi puyeng bila menerima konsekuensi logis dari kejadian Khadir Khum, sehingga karena itu beliau dengan enteng menganggap peristiwa itu tidak pernah ada dalam lembaran sejarah.

Sementara itu, Ahmad bin Hanbal bukan hanya tidak menolak peristiwa tersebut, bahkan beliau berpendapat bahwa Nabi saw menyampaikan hadis, “Man kuntu maula….” sebanyak 4 kali. Nabi saw juga memerintahkan supaya mereka yang hadir dan menjadi saksi sejarah di Khadir Khum menyampaikan pesan penting beliau itu kepada mereka yang tidak hadir.

Allah Swt berfirman :
“Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan agama-Nya.”

Berkenaan dengan ayat di atas, di sini ada pertanyaan kritis dan penting: Kira-kira hal apa yang belum secara resmi disampaikan Nabi saw, sehingga beliau diancam oleh Allah Swt bila tidak menyampaikannya maka seluruh jerih payah dakwah beliau selama 23 tahun akan menjadi sia-sia?! Bukankah perintah shalat, zakat, puasa, haji, jihad dll sudah dengan gamblang dijelaskan oleh Baginda Rasul saw?.

Bukankah menurut jumhur ahli tafsir bahwa surah al Maidah adalah termasuk surah yang terakhir turun kepada Nabi saw?, Sehingga ketetapan/hukum apa yang masih perlu disampaikan oleh Rasul saw di Haji Perpisahan tersebut? Ketetapan apa gerangan yang bila Nabi saw mengamalkannya agama menjadi lengkap dan sempurna? Tidak lain adalah ketetapan seputar pemimpin dan imam umat sepeninggal beliau yang menjaga agama dari penyimpangan dan kekaburan pemahaman.

Bukti Kebenaran Peristiwa Ghadir Khum dan Hadis Man Kuntu Maula
Allamah Amini dalam kitab monumentalnya Al Ghadir, menyebutkan seluruh perawi hadis Man Kuntu Maula yang diucapkan Nabi saw di Ghadir Khum, tidak kurang dari 110 sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, di antaranya Thalhah, Zubair, Abu Bakar dll.
Dan 84 perawi hadis tersebut dari generasi kedua, yakni tabiin. Bahkan peristiwa Ghadir Khum dan hal-hal yang terkait dengannya, diabadikan dalam 360 kitab Ahlus Sunah. Jadi, status hadis Man Kuntu Maula bukan hanya mutawatir (diriwayatkan oleh banyak perawi dan tak ada keraguan perihal kesahihannya), tetapi fauqa mutawatir (di atas mutawatir).

Polemik Seputar Makna Man Kuntu Maula
Seperti yang kami tegaskan, bahwa Peristiwa Ghadir Khum tidak dapat dihapus dari kening sejarah, dan pengingkaran terhadap hal tersebut berangkat dari fanatisme mazhab yang sempit atau kebodohan yang akut.
Maka perdebatan berkaitan dengan Ghadir Khum bukan berkisar pada benar tidaknya Nabi saw mengangkat tangan Imam Ali tinggi-tinggi dan membacakan hadis: Man Kuntu Maula, namun perselisihan pendapat hanya mengacu pada makna dan pemahaman dari hadis tersebut. Syiah punya makna dan pemahaman tersendiri terhadap hadis tersohor tersebut, sedangkan Ahlu Sunah juga memiliki persepsi dan pemahaman tersendiri.

Beberapa Indikasi Yang Menunjukkan bahwa Maula berarti Pemimpin
Indikasi Pertama: Nabi saw menyampaikan hadis Man Kuntu Maula di hadapan ribuan sahabat, tua-muda, laki-perempuan di musim panas yang menyengat, dan di gurun pasir yang tandus selepas manasik haji, dan memerintahkan mereka yang meninggalkan kafilah untuk kembali bergabung bersama beliau, dan mereka yang tertinggal di belakang, untuk segera mempercepat langkahnya untuk menyusul beliau hanya untuk mengatakan bahwa:
“siapa yang menjadikan beliau sebagai sahabatnya maka dia pun harus menjadikan Ali sebagai sahabatnya”

atau

“siapa yang menjadikan beliau sebagai kekasihnya maka ia pun harus menjadikan Ali sebagai kekasihnya”?!
Bukankah mereka sudah tahu bahwa Ali adalah ahlul bait Rasul saw yang harus dicintai dan disayangi? Lalu mengapa Rasul saw perlu bersusah payah mengumpulkan mereka hanya untuk menyampaikan masalah ini menjelang akhir kehidupan beliau?!

Indikasi Kedua: Ayat al yauma akmaltu (al maidah 3) turun berkaitan dengan peristiwa Ghadir Khum, lalu apakah agama menjadi sempurna dengan Rasul saw menjadikan Ali sebagai sahabat dan penolongnya?

Indikasi Ketiga: Turunnya ayat Iblagh (al Maidah 67). Apakah Nabi saw diancam oleh Allah Swt bila tidak mengatakan kepada umat bahwa mereka harus menjadikan Ali sebagai sahabat dan mencintainya maka agama tidak sempurna dan dakwah beliau sia-sia?

Indikasi Keempat: Khalifah Abu Bakar dan Umar, juga sahabat Usman, Thalhah dan Zubair dengan tanpa sungkan-sungkan mengucapkan selamat (tabrik) kepada Imam Ali atas terpilihnya ia sebagai pemimpin umat Islam pasca Nabi saw. Ucapan selamat dikatakan kepada seseorang bila seseorang mendapatkan maqam yang tinggi, bukan karena ia dikenal sebagai sahabat yang harus dicintai. (Perihal ucapan selamat sahabat-sahabat senior terhadap Imam Ali atas kedudukannya sebagai pemimpin umat pasca Nabi saw, dapat Anda temukan dalam tafsir at Tsa`labi berkaitan dengan ayat al Maidah 67, dimana Tsa`labi tegas-tegas menyatakan bahwa ayat tersebut terkait dengan Peristiwa Ghadir Khum. kita juga bisa lihat dalam Musnad Ibn Hanbal 6, hal. 401, al Bidayah wa an Nihayah juz 5 hal. 209).

Indikasi Kelima: Hasan bin Tsabit adalah penyair pertama Ghadir. Setelah Nabi saw menyampaikan hadis Man Kuntu Maula, ia memimta izin kepada Nabi saw untuk membacakan syair terkait peristiwa besar tersebut. Dalam salah satu baitnya, disebutkan: “Qum ya `alyyun fa innani radhitu min ba`di imaman wa hadiya” (bangkitlah wahai Ali, aku meridhai engkau sebagai imam dan pemberi petunjuk sesudahku). Maka sahabat Hasan bin Tsabit sebagai seorang yang hidup di zaman Nabi saw dan dekat dengan masa turunnya wahyu lebih mengetahui sastra Arab ketimbang mereka yang mengartikan kata “maula” dengan sahabat/penolong atau budak yang dibebaskan dll.



Salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam pada masa sebelum wafat Rasulullah SAAW adalah peristiwa Ghadir Khum. Peristiwa Ghadir Khum termasuk riwayat mutawatir.[1] Dalam hadits Ghadir Khum, setelah haji wada (haji terakhir), Rasulullah menghentikan perjalanan para sahabatnya yang sudah hampir pulang ke rumahnya masing-masing di suatu tempat yang bernama Khum (antara Makah dan Madinah).

Sebelumnya, dalam perjalanan dari Makah ke Madinah, Jibril turun dan mangatakan ”Hai Rasul, sampaikanlah!”.  Rasulullah tidak langsung menyampaikan, melainkan mencari situasi dan waktu yang tepat untuk menyampaikan perintah Allah tersebut. Tidak lama kemudian Jibril turun kembali dan mengatakan,”Hai Rasul, sampaikanlah!” dan Rasulullah tetap belum menyampaikannya. Kemudian Jibril turun untuk ketiga kalinya dengan membawa ayat sebagai berikut :

Al Maaidah (QS5:67);

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Wahai Rasul, sampaikanlah (balligh) apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak engkau lakukan maka engkau tidak menjalankan risalah-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir “

Apabila kita perhatikan bahasa Arab ayat di atas, Allah menggunakan kata balligh (sampaikan!), yang menunjukkan perintah Allah yang sifatnya memaksa. Apabila kita perhatikan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an sebanyak 30 juz, kita tidak akan menemukan perintah Allah lain yang sifatnya memaksa Rasulullah sebagaimana yang terdapat di dalam ayat ini. Hal ini tentunya menunjukkan betapa pentingnya perintah “penyampaian” dalam ayat tersebut. Oleh karena itu ayat ini juga disebut ayat tabligh.
Pentingnya hal yang perlu disampaikan tersebut juga tergambarkan pada bagian akhir ayat, di mana terdapat ancaman Allah jika Rasul tidak mengerjakan perintah tersebut. Dalam ancaman tersebut seolah-olah perjuangan Nabi selama 23 tahun tidak ada artinya, atau sia sia, jika tidak menyampaikan suatu “hal”. Penundaan penyampaian yang dilakukan oleh Rasulullah tentulah didasari oleh adanya kekhawatiran dalam pikiran Rasulullah mengenai kemampuan ummatnya untuk menerima dan menjalankan perintah yang disampaikannya. Oleh karenanya Rasulullah mencari strategi bagaimana agar tidak ada alasan bagi ummat untuk menolak. Ayat di atas juga menyebutkan bahwa Allah, selain memberikan perintah kepada Rasulullah untuk menyampaikan suatu “hal” tersebut, juga memberikan jaminan berupa penjagaan kepada Rasulullah atas gangguan manusia.[2]

Dengan demikian, terdapat 3 hal penting pada ayat ini, yaitu:
  1. Nabi diperintahkan untuk menyampaikan sesuatu hal yang penting
  2. Allah menjaga Rasulullah dari gangguan manusia
  3. Dampak dari orang-orang yang tidak menerima apa yang disampaikan oleh Rasulullah
Lalu bagaimanakan isi tafsir atas ayat tabligh di atas? Sebagaimana perbedaan penafsiran yang sering kali terjadi, sebagian kecil tafsir menyebutkan bahwa ayat tabligh tersebut turun di Madinah, yaitu ketika Rasulullah diperintahkan untuk menyampaikan ajaran Islam kepada orang-orang Yahudi. Apabila kita kritisi tafsir tersebut, perlu kita ingat bahwa Rasulullah semenjak hijrah dari kota Mekkah, telah tinggal selama 10 tahun di kota Madinah. Selama Rasulullah berada di Madinah tersebut, bukankah sudah ada orang orang Yahudi? Lalu kenapa baru sekarang Allah memerintahkan Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada mereka? Kenapa pada saat-saat terakhir sebelum Rasullah meninggal, barulah Allah mengancam Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada Yahudi? Berdasarkan logika dan pemahaman kita tentang sejarah Islam, tentulah kita dapat menilai bahwa tafsir ini tidak tepat dan sama sekali tidak berdasar.

Kembali kepada peristiwa Ghadir Khum. Setelah Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk berhenti, kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menumpuk batu hingga menjadi sebuah mimbar. Kemudian Rasulullah naik ke atas mimbar tersebut dan memberikan ceramah kepada 120 ribu sahabat. Jumlah pendengar yang sangat banyak inilah yang menyebabkan riwayat ini bukan hanya shoheh, tetapi mutawatir. Dalam ceramahnya Rasulullah dengan sangat terperinci menjelaskan kepemimpinan setelah beliau. Beliau mengatakan “Man kuntu maula fa Aliyyun maula (Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya setelah aku).”.

Mengenai perkataan Rasulullah tersebut, ada kelompok yang mengatakan bahwa yang dikatakan Rasulullah adalah “Siapa yang menjadikan aku sebagai kekasihnya maka menjadikan Ali sebagai kekasihnya.” Bila kita kritisi pendapat tersebut, tentulah kita akan menganggap bahwa adalah suatu kesia-siaan bahwa Rasulullah mengumpulkan 120 ribu sahabatnya hanya untuk mengatakan “cintailah Ali”.  Kata “Maula” sendiri bukanlah berarti kekasih, melainkan “pemimpin”. Selain itu, dalam penyampaiannya, Rasulullah bukan hanya mengangkat tangan Imam Ali, tetapi juga memindahkan sorbannya ke kepala Ali. Hal ini didasari pada kedudukan Sorban sebagai lambang kepemimpinan, sehingga ummat yang bisu dan tuli, yang tidak dapat mendengar ceramah Rasulullah, dapat memahami maksud yang ingin disampaikan Rasulullah dengan isyarat tersebut. [3]

Riwayat sebagaimana di atas dapat ditemukan dalam kitab-kitab berikut ini:
  1. Tafsir Al Manar dari Muhammad Rasyid Ridho Juz 6 hal 343.
Kitab ini menyebutkan bahwa ayat tabligh (Al Maaidah :67) adalah ayat dimana Allah menegur keras kekasih-Nya, Rasulullah, untuk menyampaikan tentang wilayah Amirul Mu’minin.
  1. Kitab Kanzul Ummal Al Allamah Al Hindi Jilid 5 hal 114.
Menyebutkan hal yang sama dengan tafsir Al Manar:
  1. Fushulul Muhimmah karya Ibnu Sobbar hal 42.
Menyebutkan hal yang sama dengan tafsir Al Manar:
  1. Asbabun Nuzul karya Al Wahidi hal 104.
Menyebutkan hal yang sama dengan tafsir Al Manar, dengan tambahan bahwa setelah ayat ini turun Umar bin Kathab datang kepada Ali bin Abi Thalib dan mengucapkan,”Selamat, selamat wahai putra Abu Thalib. Hari ini engkau menjadi pemimpin kami semua.”
  1. Yanabiul Mawaddah karya Ibrahim Al Qundusi Al Hanafi.
  2. Tafsir Al Kabir karya Fakhrurrozi Jilid 6 Hal 53.
  3. Mustadrak Shahihain Juz 3 Hal 330.
  4. Syawahidu Tanzil karya Al Hashakani  Jilid 1 hal 192.
  5. Faraidus shimtain Jilid 1 hal 63.
  6. Ibnu Katsir.
  7. Al Milal wal Nihar karya Syakhrestani hal 141.
Dalam kitab ini diceritakan ketika Rasul SAAW hendak meninggal dunia, Rasulullah memerintahkan pasukan Usamah bin Zaid untuk memerangi suatu kaum. Abu Bakar, Umar dan Usman diperintahkan menjadi prajurit dibawah komando Usamah. Apa tujuan Rasul SAAW melibatkan mereka (mengingat usia mereka tidak muda lagi)? Hal ini didasari kesadaran Rasulullah bahwa dirinya hendak meninggal dunia dan agar keberadaan ketiga orang tersebut akan mengganggu kelancaran peralihan kekhalifahan. Rasulullah kemudian juga meberikan ancaman, ”La’natullah orang yang keluar dari tentara Usamah.” Berangkatlah pasukan Usamah. Ketika dalam perjalanan, sampailah kabar bahwa Rasulullah meninggal dunia, dan Abu Bakar, Umar dan Usman keluar dari pasukan.
  1. Tafsir Durul Mantsur karya Imam Suyuthi Jilid 3 hal 117.
Menjelaskan ayat tabligh turun di Ghadir Khum:
  1. Kitab Farhul Khadir karya Syaukhani Jilid 2 hal 88.
Berdasarkan riwayat Ghadir Khum, telah jelas bagi kita bahwa hal penting yang diperintahkan Allah untuk disampaikan oleh Rasulullah adalah mengenai wilayah (kepemimpinan) Imam Ali bin Abi Thalib. Apabila kita kembali kepada Al Qur’an, hal ini dijelaskan dalam surat Al Maaidah (5) : 55 sebagai berikut:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

“Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, yaitu orang-orang yang mendirikan salat dan membayar zakat dalam keadaan rukuk (rakiun) ”

Apabila kita baca terjemahan Al Qur’an dari Departemen Agama, kata “Raki’un” dalam ayat di atas diartikan sebagai “tunduk” padahal makna raki’un adalah ruku’. Untuk lebih jelasnya, coba kita lihat QS At Taubah (9): 112 sebagai berikut:

التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

“Mereka itu adalah orang orang yang bertobat, yang bribadat, yang memuji Allah, yangyang berpuasa, yang ruku’ (rakiun), yang sujud, yang menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu”

Dapat kita lihat bahwa dalam ayat ini, kata “rakiun” diartikan sebagai ruku’. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam ayat berikut ini:

QS Ali Imran (3):43:

 يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Hai Maryam, patuhlah engkau pada Tuhanmu, sujud dan rukulah bersama orang-orang yang ruku’ (raaki’iin)“

Kata “rakiun” dalam ayat ini juga diterjemahkan sebagai ruku’. Dengan demikian patut kita pertanyakan mengapa dalam QS Al Maaidah (5):55 kata rakiun diartikan sebagai tunduk?
Kembali ke QS Al Maaidah (5):55, ayat tersebut diawali dengan kata “Innama”. Apabila kita menemukan kata “Innama” dalam Al Qur’an, hal ini menunjukkan kalimatul hasyr (pembatas). Jadi dapat disimpulkan tidak ada pemimpin lain selain yang disebutkan daam ayat tersebut. Dengan demikian, pemimpin (bagi umat Islam) adalah Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman. Orang-orang beriman manakah yang dimaksud di sini? Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat ini turun untuk Imam Ali bin Abi Thalib.

Riwayat menyebutkan ketika beliau sedang sholat di dalam mesjid, seorang pengemis datang dan meminta uang kepada sahabat-sahabat Nabi. Sahabat tidak ada yang membawa uang, kemudian Rasul berkata,”Masuklah kamu dan mintalah kepada orang yang sedang sholat.” Imam Ali yang saat itu sedang dalam keadaan ruku’, memberikan sedekah melalui isyarat dengan mengulurkan cincin di jarinya. Jelas bahwa Ini adalah perintah dari Rasulullah SAAW yang memiliki makna besar sehingga terekam dalam Al Qur’an. Lalu bagaimana dengan kata “orang-orang” yang beriman, yang berarti jamak dalam ayat ini? Patut kita diketahui dalam Al Qur’an tidak berarti kalimat berbentuk jamak itu dinisbatkan kepada orang yang banyak. Bisa jadi kalimat jamak dinisbatkan ke satu orang. Contohnya dalam ayat QS Ali Imran (3):61 (Ayat Mubahalah) berikut ini:

 فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ

“Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), “Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kamu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita bermubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”

Kata “Nisaa ana” dalam ayat di atas mempunyai arti “wanita-wanita kami” yang berarti banyak, tetapi hanya dinisbatkan kepada satu orang yaitu Sayyidah Zahra a.s.

Contoh lainnya sebagaimana terdapat dalam QS An Nahl (16):120 sebagai berikut:

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sungguh, Ibrahim adalah ummat (ummatan) yang patuh kepada Allah lagi lurus dan dia bukanlah termasuk golongan orang yang musyrik”

Meninjau ayat di atas, ada berapa orangkah Ibrahim? Hanya satu. Akan tetapi Allah menyebutkan “Ummatan”. Ummatan adalah kata jamak tetapi dinisbatkan hanya kepada Nabi Ibrahim.

Selanjutnya, QS Al Maaidah (5):55 menyebutkan bahwa seseorang, ketika menjadikan Allah pemimpinnya, Rasul pemimpinnya, orang yang beriman tadi pemimpinnya maka masuk ke dalam golongan hizbollah (pengikut Allah). Jadi syarat untuk masuk sebagai pengikut Allah adalah menjadikan Allah, Rasul dan orang yang beriman tadi sebagai pemimpinnya (berwilayah kepada Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman). Yang tidak menjadikan Allah, Rasul dan orang beriman sebagai pemimpinnya dalam satu kesatuan adalah lawan dari pengikut Allah atau pengikut syaitan.

Berdasarkan pembahasan di atas jelaslah bahwa perintah yang harus disampaikan dalam ayat tabligh adalah wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Isi dari QS Al Maaidah (5):55 menjelaskan bahwa wajib bagi ummat Islam untuk taat mutlak kepada wilayah tersebut. Hal ini juga dijelaskan dalam ayat QS An Nisa (4):59 sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah, Rasul dan ulim amri. Jika kamu berselisih dalam suatu urusan kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari kemudian. Itulah yang lebih baik dan lebih bagus kesudahannya”

Ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang beriman (secara umum) diperintahkan untuk mentaati Allah, Rasul dan ulil amri. Apabila kalian (orang-orang beriman) berselisih mengenai siapa ulil amri tersebut, Allah mengatakan kembalikan lagi kepada Allah dan Rasul yang akan menjelaskan. Kalau memang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir maka harus taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri. Hal ini sesuai dengan hadits yang terdapat dalam shahih Muslim yang mengatakan siapa yang mati tidak mengenal imam pada zamannya maka mati jahiliyah.

Rasulullah, ketika ditanya siapakah ulil amri, menjawab,”Mereka adalah imam imam dari ahlul baytku.” Hal ini tercantum dalam kitab:
  1. Yanabiul Mawaddah
  2. Faraidus Shimtain
  3. Syawahidu Tanzil.
Setelah ditetapkannya wilayah melalui nas dan keterangan dari Rasulullah SAAW, apabila ummat sudah menerima ini semua maka sempurnalah Islam sebagai agama mereka.

QS Al Maaidah (5):3:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.”

Apabila kita lihat kata-kata yang terdapat di dalam ayat di atas, dapat kita lihat bahwa istilah yang digunakan adalah:
Akmaltu = kusempurnakan
Atmamtu = kusempurnakan
Kafaitu = aku cukupkan
Dari ayat di atas jelaslah bahwa masih ada yang disempurnakan oleh Allah SWT, yang artinya ada satu masalah yang belum sempurna untuk disampaikan selama ini. Begitu masalah tersebut disampaikan barulah di akhir ayat disebutkan bahwa Allah meridhai agama Islam tersebut. Jadi kita harus mengikuti nikmat yang disempurnakan tadi, bila tidak, tentunya tidak akan mencapai Islam yang di-ridhai Allah SWT.

Dalam kitab Bidayah wal Nihayah Juz 5 hal 464 karya Ibnu Katsir.
Dari Abu Hurairah berkata,”Siapa yang puasa pada hari 18 Dzulhijjah ditulis baginya sebagaimana puasa 60 bulan. Dan pada hari Ghadir Khum, pada hari itu Nabi mengambil tangannya Ali. Nabi berkata,”Bukankah aku pemimpinnya orang orang beriman.” “Ya Rasulullah”, jawab mereka. Rasulullah berkata,”Siapa yang menjadikan aku maula, maka Ali adalah maulanya.” Berkatalah Umar bin Khattab, ”Selamat, selamat wahai putra Abu Thalib. Hari ini engkau adalah pemimpin aku, dan pemimpin setiap muslim.” Ketika itu juga Allah menurunkan ayat QS Al Maaidah (5):3.

Setelah sahabat semua membaiat Rasul, satu orang bernama Harris bin Nu’man tidak mau membaiat. Dia datang ke Rasulullah dan bertanya,”Apakah perintah ini dari Allah atau karangan engkau sendiri Ya Rasulullah.” Rasulullah berkata,”Demi Allah, ini adalah perintah dari Allah.” “Kalau begitu turunkan azab dari Allah kalau benar dari Allah.”, kata Harris. QS Al Maarij (70):1 – 2:

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ لِلْكَافِرِينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ

“Seseorang bertanya tentang azab yang cepat terjadi. Bagi orang orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya.”

Telah meminta seseorang siksa yang cepat, Allah menjadikan orang itu kafir, kisah ini tercantum dalam kitab:
  1. Faraidus ShiMtain Jilid 1 hal 82.
  2. Tafsir Qurtubi Juz 9 hal 216.
  3. Kitab Fushulul Muhimmah hal 42.
  4. Faidhul Ghadir juz 6 hal 268 karya Manawi.
  5. Kitab Nur Abshor hal 87 karya Sarblanji.
meriwayatkan cerita tentang Harris bin Nu’man. Ketika ayat ini turun, batu dari langit turun dan tembus kepalanya.

Sebagai penutup pembahasan ini, perhatikan ayat QS Az Zukhruf (43):45 berikut ini:

وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِنْ دُونِ الرَّحْمَٰنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ

“Dan tanyakanlah (Muhammad) kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum engkau. Apakah Kami menentukan tuhan-tuhan selain (Allah) Yang Maha Pengasih untuk disembah?”

Ayat di atas menyebutkan bahwa terdapat pertemuan antara Rasulullah dengan Rasul-rasul Allah lainnya, yaitu pada saat Isra Mi’raj. Ayat di atas menyebutkan bahwa Allah memerintahkan Rasulullah untuk bertanya kepada para Rasul tersebut. Apakah yang diperintahkan Allah untuk ditanyakan tersebut?

Di dalam kitab:
Faraidush Shimtain Juz 1 hal 81 karya Juwaini
Tarikh Damsikh Jus 42 hal 241 karya Ibnu Ashakir asy Syafii
Syawahidu Tanzil juz 2 hal 157 karya Al Hashakani al Hanafi
Diriwayatkan Rasulullah bersabda,”Datang kepadaku malaikat dan berkata,”Tanyakanlah siapa yang telah kami utus dari Rasul-rasul sebelum kamu, untuk apa mereka itu diutus.” “ Menjawab para Rasul, ”Kami membawa wilayah engkau dan wilayah Ali bin Abi Thalib.””


Rujukan:
[1] Jika ditinjau dari sisi riwayat, tingkatan hadis itu ada shoheh, hasan, dhaif, dsb. Tapi ada hadis yang tingkatannya diatas shoheh, yaitu mutawatir. Jika yang meriwatkan diatas 3 itu disebut hadis shoheh, tapi jika yang meriwayatkan lebih dari 7 maka disebut mutawatir. Kedudukan hadis mutawatir hampir sama dengan Qur’an.
[2] Ayat ini juga menepis pendapat yang menyatakan Rasulullah meninggal karena diracun
[3] Subhanallah tempat Ghadir Khum itu masih ada sampai sekarang, dan dari tempat Rasulullah berdiri suara yang berbicara  di sana akan terdengar sampai 5km. Itulah bagaimana 120rb sahabat bisa mendengar kata-kata Rasul.

Keutamaan Imam Ali as


Cinta Ali

Nabi Muhammad Saw bersabda, "Barangsiapa yang mencintai Ali as, maka di Hari Kiamat wajahnya bercahaya seperti bulan purnama." (Atsar as-Shadiqin, jilid 1, hal 202-225, diringkas dari beberapa riwayat)

Ali dan Baitul Mal

Ketika Imam Ali as membagi Baitul Mal sampai habis, di tempat itu juga beliau berdiri dan melaksanakan shalat dua rakaat lalu berkata, "Bersaksilah di Hari Kiamat bahwa sesungguhnya aku telah membuatmu penuh dan benar-benar telah membuatmu kosong." (Tafsir Nemouneh, jilid 27, hal 226)

Murtadha

Ibnu Abbas mengatakan, "Ali as dalam seluruh pekerjaannya dilakukan dengan niat mencari keridhaan Allah. Itulah mengapa beliau dipanggil "Murtadha". (Sire-ye Alavi, hal 80)

Hari Raya Terbaik

Imam Ali as berkata, "Hari Raya Ghadir Khum lebih utama dari Idul Fitri, Idul Adha, hari Jumat dan hari Arafah. Hari Raya Ghadir Khum memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah Swt." (Asrar Ghadir, hal 209)

Hari Ibadah dan Perbuatan Baik

Imam Shadiq as berkata, "Sudah selayaknya bagi kalian (pecinta Ahli Bait di hari Idul Ghadir) untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan melakukan perbuatan baik, berpuasa, mengerjakan shalat, bersilaturahmi, mengunjungi saudara seagamamu. Sesungguhnya ketika Nabi Muhammad Saw memperkenalkan penggantinya kepada masyarakat, beliau mengerjakan perbuatan-perbuatan baik yang telah disebutkan dan menasihati orang lain agar melakukannya." (Mishbah al-Mutahajjid, hal 736)

Bila Tidak Khawatir

Muwaffaq bin Ahmad Kharazmi meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib as meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw di hari penaklukan Khaibar mengatakan, "Wahai Ali! Bila saya tidak khawatir ada yang mengatakan bahwa ada sekelompok orang dari umatku yang meyakinimu seperti apa yang dilakukan oleh pengikut Kristen terhadap Isa bin Maryam, maka aku akan berbicara tentang seluruh keutamaanmu. Dengan itu, bila engkau melewati sekelompok dari Muslimin, maka pasti mereka akan mengambil berkah dari tanah yang diinjak oleh sepatumu dan meminta air bekas wudhumu untuk meminta kesembuhan.

Bila tidak khawatir melubangi mutiara
Akan kusampaikan semua yang ada di hati

Tapi bagaimana dengan kaum yang buta dan tuli
Yang kumampu hanya mengatakan sifat bulan (al-Fushul al-‘Aliyah, hal 46)

Ali dalam Karya Tulis

Hingga kini hampir 5000 judul buku dan ada sekitar 4956 buku yang secara serius mengulas tentang pribadi dan keutamaan Ali bin Abi Thalib as dalam pelbagai bahasa, khususnya bahasa Arab dan Persia. (Fadhail Imam Ali as, hal 20)

Amirul Mukminin

Nabi Muhammad Saw bersabda, "Setiap ayat dalam al-Quran yang menyebutkan "Ya Ayyuhalladzina Amanu", maka Ali as berada pada puncak orang-orang Mukmin dan pemimpin mereka (Amirul Mukminin) dan sebelum mengarah kepada orang-orang Mukmin, maka ayat itu terlebih dahulu ditujukan kepada Ali as." (Athyab al-Bayan, jilid 2, hal 249)

Merasakan Kesulitan Masyarakat

Imam Ali as berkata, "Apakah aku merasa cukup dengan masyarakat menyebutku Amirul Mukminin dan tidak merasakan kesulitan yang dihadapi mereka? Ataukah aku menjadi teladan bagi mereka dalam kesulitan yang dihadapi mereka dalam kehidupannya? Allah Swt tidak menciptakan aku hanya untuk mencicipi makanan yang enak." (Nahjul Balaghah, surat 45)

Balasan Menulis Buku Al-Ghadir

Anak Allamah Amini mengatakan, "Pada tahun 50-an, mereka ingin mengusir saya dari Irak. Saya kemudian menemui Ayatullah Sayid Muhammat Taqi, cucu Allamah Bahr al-Ulum untuk mengucapkan selamat tinggal. Beliau berkata, "Apa yang membuatmu datang ke sini?"

Saya menjawab, "Saya ingin pergi dari Irak, tapi ketika Anda melihatku, saya melihat air mata Anda menetes!"

Beliau berkata, "Setelah ayahmu wafat, saya senantiasa berpikir bahwa Allamah Amini telah mewakafkan dirinya untuk Imam Ali as. Apa yang akan dilakukan oleh Imam Ali as kepadanya di alam sana?"

Pikiran ini cukup lama menggangguku, sehingga di suatu malam saya tertidur dan bermimpi. Saya melihat seakan-akan kiamat terjadi dan kita berada di padang Mahsyar, gurun pasir yang penuh dengan manusia. Semuanya sedang memperhatikan sebuah bangunan. Waktu itu saya bertanya, "Ada apa di sana?"

Mereka menjawab, "Di sana tempat telaga al-Kautsar."

Saya beranjak ke depan dan melihat sebuah telaga. Angin yang berhembus membuat air kolam beriak. Imam Ali as sedang berdiri di dekat telaga itu dan memenuhi gelas kristal dengan air dan memberikannya kepada orang-orang yang dikenalnya. Pada waktu itu terdengar suara riuh rendah. Saya kemudian bertanya, "Apa yang terjadi?"

Mereka menjawab, "Amini datang!"

Aku berkata dalam hati, "Aku harus tetap berdiri di sini untuk melihat bagaimana Imam Ali as memperlakukan Allamah Amini."

Jarak antara Allamah Amini dengan telaga al-Kautsar tinggal sepuluh atau dua belas langkah lagi. Saya melihat Imam Ali as meletakkan gelas kristalnya dan mengambil air dengan kedua kepalan tangannya. Ketika Allamah Amini sampai di hadapan beliau, Imam Ali as memercikkan air ke arah Allamah dan berkata, "Semoga Allah membuat wajahmu bercahaya, karena telah membuat wajah kami bercahaya."

Setelah itu saya terbangun dan mengeri bahwa Imam Ali as telah memberikan balasan atas penulisan buku al-Ghadir yang dilakukan oleh Allamah Amini. (Qatreh-i az Darya, jilid 1, hal 17-18).

Sumber: Hossein Deilami, Ghadir Khourshide Velayat, 1388, Qom, Moasseseh Entesharat Haram.

Kisah Imam Ali bin Abi Thalib As Dalam Sejarah






Deskripsi Imam Ali bin Abi Thalib As
Posisi Imam Pertama Syiah dan Khalifah Keempat Sunni
Nama Ali
Julukan Abu al-Hasan, Abu al-Sibthian, Abu al-Raihanatain, Abu Thurab, Abu al-Aimmah
Gelar Amirul Mukminin, Yas’ub al-Din, Haidar, Murtadha, Nafs al-Rasul, Akhu al-Rasul, Zauj al-Bathul, Qasim al-Jannah wa al-Nar
Tanggal Lahir 13 Rajab Tahun 30 Tahun Gajah
Tempat Lahir Mekkah, Ka’bah
Tanggal Wafat 21 Ramadhan 40 H
Nama Ayah Abu Thalib
Nama Ibu Fatimah binti Asad
Masa Hidup 63 Tahun
Tempat Dikuburkan Najaf, Irak
Istri-istri Fatimah, Ummul Banin, Laila, Ummu Said, Khulah, Ummu Habib
Anak-anak Hasan, Husain, Zainab, Ummu Kultsum, Muhsin, Muhammad Hanafiyah, Abbas, Umar, Ruqayyah, Ja’far, Abdullah, Usman, Muhammad Asghar, Ubaidillah, Yahya, Ummu al-Hasan, Ramlah, Nafsiyah, Ummu Hani

Ali bin Abi Thalib (Bahasa Arab: علي بن أبي طالب) (lahir pada 23 tahun sebelum Hijriah – tahun 40 H) adalah imam pertama seluruh mazhab Syiah dan khalifah keempat dari empat Khulafa al-Rāsyidin di kalangan Ahlusunnah. Ia adalah salah seorang penulis wahyu yang terkemuka. Sesuai dengan tuturan para sejarawan Syiah dan kebanyakan ulama Ahlusunnah, ia terlahir di dalam Ka’bah. Ia adalah orang yang pertama beriman kepada Rasulullah Saw dan tujuh tahun sebelum satu orang pun dari kalangan umat Rasulullah Saw yang menyembah Tuhan, ia bersama Rasulullah Saw menghabiskan waktunya untuk beribadah dan menyembah Allah Swt. [1]

Dalam pandangan Syiah, ia adalah seorang khalifah segera (belā fashl) Rasulullah Saw berdasarkan firman Allah Swt dan penegasan Rasulullah Saw. [2] Terdapat banyak ayat al-Quran yang berbicara tentang kemaksumannya dan kesuciannya dari segala jenis kekotoran dan kenistaan. [3] Di samping itu, terdapat kurang-lebih 300 ayat yang diturunkan berkenaan dengan keutamaannya. [4] Ia adalah suami Fatimah Sa dan ayah dari sebelas Imam Syiah. Tatkala suku Quraisy hendak membunuh Nabi Saw, ia rela tidur di pembaringan Rasulullah Saw untuk mengelabui pihak musuh sehingga dengan demikian Rasulullah Saw dapat secara diam-diam melakukan hijrah. [5] Rasulullah Saw mengikat tali persaudaraan dengannya. [6] Ia ikut serta pada seluruh perang Nabi Muhammad Saw kecuali perang Tabuk itu pun atas perintah Rasulullah Saw untuk tinggal di Madinah. Oleh itu, Imam Ali As adalah panglima Islam yang paling banyak menggondol keutamaan dan kehormatan.

Berbeda dengan nash Rasulullah Saw paska wafatnya, sekelompok orang di Saqifah membaiat Abu Bakar sebagai khalifah yang membuat Imam Ali As harus berdiam diri selama 25 tahun. Setelah pembunuhan Usman, atas desakan kaum Muslimin, ia mengambil alih tampuk pemerintahan. [7] Ia dalam masa singkat pemerintahannya, menghadapi tiga perang saudara yang berat dan pada akhirnya di mihrab masjid Kufah, selagi ia menunaikan salat, gugur sebagai syahid mihrab di tangan salah seorang Khawarij dan dikuburkan secara diam-diam di Najaf. [8]

Pada masa tiga khilafah pendahulunya, Imam Ali As tidak pernah segan-segan memberikan bimbingan dan musyawarah kepada mereka. Sebagai contoh, ia mengusulkan untuk menjadikan hijrah Rasulullah Saw sebagai tonggak pertama penanggalan sejarah kaum Muslimin. Musuh-musuhnya banyak merekayasa hadis-hadis untuk mencela dan menghabisinya. Pada masa yang cukup panjang pemerintahan Bani Umayah, atas titah Muawiyah, ia dilaknat di atas mimbar-mimbar dan orang-orang yang memujinya tidak hanya diancam untuk dipenjara bahkan dibunuh dan mereka dilarang untuk menamai anak-anaknya dengan nama Ali. [9] Kebanyakan silsilah disiplin ilmu kaum Muslimin di antaranya Sastra Arab, Teologi, Fikih, Tafsir berujung padanya dan beragam firkah menyampaikan mata rantai sanadnya kepada Imam Ali As. Ia memiliki tenaga yang sangat kuat, berani pada saat yang sama sangat sabar, rendah hati, mudah memafkan, berlaku santun dan penuh wibawa. Ia bertindak tegas dalam menghadapi para penjilat dan mengingatkan kepada masyarakat tentanga persamaan hak-hak warga dan pemerintah. [10] Ia sangat getol dan bekerja keras dalam mengimplementasikan keadilan. Kitab Nahj al-Balāghah merupakan kitab yang memuat tulisan-tulisan dan tuturan-tuturannya.

Nasab, Julukan dan Gelar

Gelar-gelar Imam Ali As

Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthhalib bin Hasyim bin Abdumanaf bin Qusai bin Kilab, Hasyimi Qarasyi adalah Imam Pertama seluruh Syiah dan Khalifah Keempat dari para khalifah bagi Ahlusunnah.
Ayah Imam Ali As, Abu Thalib adalah seorang yang sangat dermawan dan menjunjung tinggi keadilan. Ia mendapakan penghormatan dari seluruh suku Arab. Ia adalah paman dan pelindung Rasulullah Saw serta merupakan salah seorang pembesar Quraisy. [11] Setelah puluhan tahun melindungi dan mendukung dakwah Rasulullah Saw Abu Thalib wafat dengan iman pada tahun kesepuluh bi’tsat. [12] Ibunya bernama Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdumanaf. [13] Saudara-saudaranya adalah antara lain, Thalib, Aqil, Ja’far. Saudari-saudarinya di antaranya, Hindun atau Ummu Hani, Jamanah, Ritha atau Ummu Thalib dan Asma. [14]

Julukannya: Abu al-Hasan, Abu al-Husain, Abu al-Sibthain, Abu al-Raihanatain, Abu Turab dan Abu al-Aimmah.
Gelar: Amir al-Mukminin, Ya’sub al-Din wa al-Muslimin, Mubir al-Syirk wa al-Musyrikin, Qatil al-Nakitsin wa al-Qasithin wa al-Mariqin, Maula al-Mu’minin, Syabih Harun, Haidar, Murtadha, Nafs al-Rasul, Akhu al-Rasul, Zauj al-Batul, Saifullah al-Maslul, Amir al-Barārah, Qātil al-Fajārah, Qasim al-Jannah wa al-Nar, Shahib al-Liwā, Sayid al-‘Arab, Kassyāf al-Kurub, al-Shiddiq al-Akbār, Dzu al-Qarnain, Hādi, Fāruq, Dāi’, Syahid, Bāb al-Madinah, Wali, Washi, Qādhi Din Rasulullah, Munjiz Wa’dah, al-Nabā al-‘Azhim, al-Shirat al-Mustaqim, dan al-Anza’ al-Bathin. [15]


Putra Ka'bah, karya Mahmud Farsyiyan

Hari Lahir dan Wafat

Imam Ali As lahir pada hari Jumat 13 Rajab pada tahun 30 tahun Gajah di Mekah di dalam Ka’bah. [16] Riwayat tentang kelahirannya di dalam Ka’bah adalah riwayat yang mutawatir [17] dalam pandangan ulama Syiah seperti Sayid Radhi, Syaikh Mufid, Quthb Rawandi, Ibnu Syahr Asyub dan banyak ulama Sunni semisal Hakim Naisyaburi, Hafiz Ganji Syafi’i, Ibnu Jauzi Hanafi, Ibnu Shabbagh Maliki, Halabi, Mas’udi. Ia terluka akibat tebasan pedang di kepalanya pada subuh hari tanggal 19 Ramadhan tahun 40 Hijriah yang dilakukan oleh salah seorang Khawarij di Masjid Kufah dan pada tanggal 21 Ramadhan gugur sebagai syahid kemudian dikebumikan secara diam-diam. [18]

Masa Kanak-kanak

Ketika Imam Ali As berusia 6 tahun, di Mekah terjadi kekeringan. Abu Thalib, seorang lelaki paruh baya mengalami kesulitan ekonomi ketika harus menafkahi keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang banyak. Oleh itu, Nabi Muhammad Saw, Hamzah dan dan Abbas, kedua paman Nabi Saw memutuskan untuk menolong Abu Thalib dalam menghadapi masalah ini. Karenanya, Abbas membawa Ja’far dan Hamzah membawa Thalib ke rumahnya. Adapun Nabi Muhammad membawa Ali As ke rumahnya. [19] Begini Imam Ali As mengenang masa itu, “Ketika aku masih kecil, (Nabi Muhammad Saw) meletakkanku di sampingnya dan mendekapku ke dadanya dan ia menidurkanku di pembaringannya, menempelkanku ke badannya. Kadang-kadang Nabi Muhammad Saw mengunyah makanan kemudian kunyahan itu diberikan kepadaku. Beliau tidak pernah mendengar bicara dusta dariku dan juga tidak pernah melihat kesalahan pada tingkah lakuku. [20]

Ciri-ciri Fisik

Ali As adalah seorang dengan perawakan sedang, antara pendek dan gemuk. Matanya hitam dan lebar. Pandangan matanya memancarkan kasih sayang yang tiada tara. Alis matanya tebal dan menyatu. Wajahnya tampan dan merupakan pantulan kebaikan terelok dari masyarakat. Aura wajahnya menampakkan keceriaan dan kebahagiaan. Rambutnya tumbuh di pinggir kepalanya. Kepalanya botak. Lehernya memancarkan cahaya berwarna putih bagai sebuah guci perak. Jenggotnya tebal dan di atasnya indah. Bahunya lebar seperti bahu singa yang ganas. Jari-jemarinya ramping, tangannya kokoh. Begitu kokohnya sehingga apabila ia memegang tangan seseorang, ia akan menang dan lawan yang dihadapinya akan kehilangan nafasnya. Perutnya besar dan punggungnya kuat. Dadanya bidang dan berbulu. Tulang-tulang sendinya yang bertautan antara yang satu dengan yang lainnya berukuran besar. Otot-ototnya berliku dan betisnya panjang dan kecil. Otot lengan dan kakinya seimbang dan ketika berjalan agak condong ke depan. [21]

Kekuatan Fisik

Ibnu Qutaibah mencatat, “Ia tidak melawan siapa pun kecuali lawannya akan tersungkur ke bumi.” [22] Ibn al-Hadid berkata, “Kemampuan fisik Imam Ali As telah menjadi perlambang ksatria. Ia-lah yang menaklukkan benteng Khaibar, sementara sekelompok orang lain ingin mengembalikannya (atau mengangkatnya), namun gagal. Ia juga yang menurunkan berhala hubal, berhala yang berukuran raksasa dari atas Ka’bah dan melemparkannya ke bumi. Ia yang memindahkan batu raksasa dari tempat duduknya dengan tangannya pada hari kekhlalifahannya kemudian dari bawah batu itu mengalir air yang mendidih, sementara semua pasukan yang ada tidak mampu untuk melakukan hal itu. [23]

Istri-istri dan Anak-anak

Istri pertama Imam Ali As adalah Sayidah Fatimah Sa binti Muhammad Saw. [24] Sebelum Ali As, sejumlah orang-orang seperti: Abu Bakar, Umar bin Khatab, Abdur Rahman bin Auf telah datang meminang putri Nabi itu. Ketika itu Nabi Muhammad Saw bersabda, “Aku menunggu wahyu Ilahi terkait dengan pernikahan Zahra.” [25] Para sejarawan berbeda pendapat tentang tanggal pernikahan Imam Ali dan Sayidah Fatimah Zahra: Sebagian berpendapat mereka menikah pada awal Dzul Hijjah tahun ke-2 Hijriah,[26] sebagian yang lainnya pada bulan Syawal dan kelompok yang lainnya mengatakan pada 21 Muharam. [27]
Buah pernikahan Imam Ali As dan Sayidah Zahra Sa dikaruniai lima putra yang nama-namanya adalah Hasan, Husain, Muhsin , [28] Zainab Kubra dan Ummu Kultsum Kubra. Setelah wafatnya Sayidah Zahra, Imam Ali menikah dengan Umamah binti Abi Al-Ash bin Rabi’ bin Abdul Azi bin Abd Syams. Ibu Umamah adalah Zainab, putri Nabi Muhammad Saw.

Ummu Banin binti Hizam bin Daram Kalabiyah adalah wanita lain yang dinikahi oleh Imam Ali As. Buah pernikahan ini adalah Hadrat Abbas, Usman, Ja’far dan Abdullah yang semuanya gugur syahid di Karbala. Setelah menikah dengan Ummu Banin, Imam Ali menikah dengan Laila binti Mas’ud bin Khalid Nahsyaliyah Tamimah Darmiyah. Kemudian menikah dengan Asma binti Umais Khat’mi di mana Yahya dan Aun adalah buah pernikahan itu. Salah satu istrinya yang lain adalah Ummu Habib binti Rabi’ah Taghlabiyah yang terkenal dengan Syabhba. Istri Imam Ali As yang lain adalah Haulah binti Ja’far bin Qais bin Maslamah Hanafiyah atau menurut pendapat yang lain Haulah Ayas. Imam Ali As juga menikah dengan Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud Tsaqafi dan juga Muhayyah binti Amri al-Qais bin ‘Adi Kalbi. [29] Secara umum, Syaikh Mufid menyebutkan bahwa putra dan putri Imam Ali As berjumlah 27 orang dan sebagian dari pengikut Syiah, satu orang lagi juga merupakan putra Imam Ali As dan ia adalah Sayid Muhsin, putra Sayidah Zahra Sa di mana Nabi Muhammad memberi namanya dengan Muhsin dan ia meninggal ketika masih berada di dalam kandungan, setelah Nabi Muhammad Saw wafat. Dengan perhitungan ini, maka jumlah putra Imam Ali As adalah 28 orang:
  1. Hasan
  2. Husain
  3. Zainab Kubra
  4. Zainab Sughra yang memiliki kunyah Ummu Kultsum
  5. Muhsin. (Ibu dari lima orang ini adalah Zahra SA)
  6. Muhammad yang memiliki julukan Abul Qasim. Ibunya adalah Haulah binti Ja’far Qais binti Hanafiyah
  7. Umar
  8. Ruqayah (Ibu dua saudara kembar ini Ummu Habib binti Rabi’ah)
  9. Abbas
  10. Ja’far
  11. Usman
  12. Abdullah (Keempat orang ini semuanya syahid di Karbala. Ibu dari empat orang ini adalah Ummu Banin binti Hazm bin Khalid bin Daram)
  13. Muhammad Asghar yang memiliki julukan Abu Bakar
  14. Abdullah (Kedua orang ini syahid di Karbala. Ibu dari dua orang ini adalah Laila binti Mas’ud Darmiyah)
  15. Yahya (Ibunya adalah Asma binti Umais Khutsaimah)
  16. Ummu Hasan
  17. Ramlah (Ibu ke dua orang ini adalah Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud Tsaqafi)
  18. Nafisah
  19. Zainab Sughra
  20. Ruqayah Sughra
  21. Ummu Hani
  22. Ummul Kiram
  23. Jamanah yang mempunyai julukan Ja’far
  24. Amamah
  25. Ummu Salamah
  26. Maimunah
  27. Khadijah
  28. Fatimah (Syaikh Mufid tidak menerangkan nama ibu dari kelima orang ini dan hanya menuliskan bahwa ibu dari kelima orang ini adalah beberapa ibu yang berbeda-beda).[30]

Peperangan Nabi Muhamad Saw

Peranan Imam Ali As dalam beberapa serangan ghazawāt (turun langsung dalam peperangan) dan sariyah (perang yang tidak diikuti oleh nabi Muhammad Saw) pada masa-masa permulaan Islam sangat besar. Imam Ali As turut dalam semua peperangan bersama Rasulullah Saw kecuali dalam perang Tabuk. [31] Ia dinilai sebagai tokoh militer kedua setelah Rasulullah Saw yang sangat berpengaruh.

Perang Badar

Perang Badar adalah perang yang terjadi antara kaum Muslimin dan kaum Kafir pada hari Jumat, 17 Ramadhan 32 H. Perang Badar meletus di samping sungai-sungai Badar. [32]Dalam perang ini, Kaum Muslimin berhasil membunuh 72 orang dari kaum musyrikin di mana sebagian dari mereka adalah pembesar-pembesar kaum kafir seperti Abu Jahal, Utbah, Syaibah dan Umayah. Menurut tradisi yang berlaku di tengah kaum Arab, sebelum dimulai penyerangan secara umum, akan diadu secara duel masing-masing utusan dari dua kekuatan itu. Oleh itu, Utbah bin Rabi’ah, Walid, saudaranya, Syaibah meminta Rasulullah Saw untuk mengirimkan lawan tanding mereka. Nabi Muhammad mengirim Ali As, Hamzah, Ubaidah bin Harits. Ali tidak memberi kesempatan sedikit pun kepada Walid. Hamzah kepada Utbah. Keduanya dijatuhkan. Kemudian Ubaidah juga berhasil membunuh Syaibah. [33] Hanzhalah, Ash bin Sa’id, Thai’imah bin ‘Adi dan kira-kira 20 orang dari kaum musyrikin tewas di tangan Imam Ali As. [34]

Perang Uhud

Sebelumnya pada barisan pasukan Islam pada Perang Uhud terdapat nama-nama seperti Ali As, Hamzah, Abu Dujanah dan beberapa prajurit lain yang berhasil melemahkan barisan musuh. Nabi Muhammad Saw menjadi target serangan pasukan Quraisy dari berbagai penjuru. Setiap pasukan melancarkan serangan kepada Nabi Muhammad Saw. Dari mana saja Rasul diserang, beliau memerintahkan Imam Ali As untuk menyerang mereka. Atas pengabdian yang luar biasa ini, Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad Saw dan berkata, pengabdian ini adalah hal luar biasa yang telah ditunjukkan olehnya. Rasulullah Saw pun membenarkan perkataan Malaikat Jibril dan berkata: Aku berasal dari Ali dan Ali berasal dariku. Kemudian terdengar suara dari langit, “Tidak ada pedang selain Dzulfiqar dan tidak ada pemuda selain Ali.” [35]

Perang Khandaq

Dalam perang Khandaq, setelah Nabi Muhammad Saw mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya, Salman mengusulkan untuk menggali parit disekitar Madinah sehingga akan ada jarak dengan pihak penyerang. [36] Beberapa hari lamanya ke dua pasukan berhadap-hadapan di sekitar parit itu dan kadang-kadang terjadi saling lempar anak panah dan batu di antara kedua kubu. Akhirnya Amru bin Abd Wud, salah seorang tentara kafir dengan beberapa orang dari pasukan musuh dapat melewati parit yang lebih sempit dari tempat yang lain. Ali As meminta ijin dari Nabi Muhammad Saw untuk melawan Amru bin Abdu Wud, Nabi pun menginjinkannya. Setelah terjadi duel sengit antar keduanya pun, Imam Ali As membuat Amr terjungkal ke tanah dan Amr pun tewas. [37] Ketika melihat kepala Amr ada berada di tangan Imam Ali As, Rasulullah Saw bersabda, “Pukulan Ali pada perang Khandaq lebih utama dari pada ibadah seluruh jin dan manusia.” [38]

Perang Khaibar

Perang Khaibar terjadi pada Jumadil Ula tahun 7 H dimana Nabi Muhammad mengeluarkan perintah untuk menyerang benteng pertahanan kaum Yahudi. [39] Setelah Rasulullah Saw mengutus beberapa orang di antaranya: Abu Bakar, Umar dan Usman untuk menaklukkan benteng Khaibar dan orang-orang itu tidak berhasil, beliau bersabda, “Besok aku akan memberikan bendera kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” [40] Keesokan harinya, Nabi memanggil Ali As dan beliau pun memberikan bendera itu kepadanya. Ali memegang pedang Dzulfiqar dan pergi ke medan perang ketika perisainya hilang, ia mengambil salah satu pintu benteng dan menggunakan pintu itu sampai selesai pertempuran sebagai ganti dari perisainya. [41]

Fathu Makah

Pada permulaan bulan Ramadhan tahun ke-8 H dengan maksud untuk menaklukkan Mekah, kaum Muslimin keluar dari kota Madinah. Nabi Muhammad Saw yang pada mulanya menyerahkan bendera kepada Sa’ad bin Ubadah namun karena ia berbicara tentang perang dan balas dendam akhirnya beliau memberikan bendera itu kepada Ali As. [42] Paska Fathu Mekah (Penaklukan Kota Mekah), Nabi Muhammad Saw usai menghancurkan berhala-berhala, memerintahkan Ali As untuk menaiki punggungnya guna menurunkan patung khuza’ah dari atas Ka’bah. [43]

Perang Hunain

Perang Hunain terjadi pada tahun 8 H. Pada perang ini Imam Ali memegang panji Kaum Muhajirin. [44]

Perang Tabuk

Hanya dalam perang Tabuk, Imam Ali As tidak ikut serta berperang bersama Rasulullah Saw. Atas dasar perintah Nabi, ia tinggal di Madinah sehingga dalam ketidakhadiran Nabi Muhammad Saw, ia dapat mengawasi tipu muslihat kaum munafik. Setelah Ali tinggal di Madinah, kaum munafik pun menyebarkan isu dan guna meredamkan fitnah itu, Imam Ali As segera mengangkat senjata dan dengan sigap menemui Nabi Muhammad Saw di luar Madinah untuk memberitahukan hal ini. Pada kesempatan ini Rasulullah Saw membacakan hadis manzilah. Beliau bersabda, “Saudaraku Ali, kembalilah ke Madinah karena Madinah tidak layak dipimpin kecuali oleh Aku dan engkau. Oleh itu, engkau adalah khalifahku dari Ahlulbait, kediaman dan kaumku. Wahai Ali! Apakah engkau tidak rela jika kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku.” [45]

Bukti-bukti Imamah

Ayat-ayat yang berkenaan dengan imamah Imam Ali As setelah Nabi Muhammad Saw sangat banyak. Di sini hanya akan diisyaratkan sebagian darinya:

Ayat Ithā’at

Allah Swt berfirman:
"يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ وَأَطِيعُوا الرَّ‌سُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ‌ مِنكُمْ"
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu.” [46] Menurut kesepakatan ulama Syiah dan Sunni, ayat ini turun dalam kaitannya dengan kedudukan Imam Ali As dan para imam yang lain serta dalil atas ketaatan kepada mereka. [47]

Ayat Wilāyah

Ilustrasi Pewahyuan Ayat Wilayah

Allah Swt berfirman:

"إِنَّما وَلِيُّكُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ الَّذينَ آمَنُوا الَّذينَ يُقيمُونَ الصَّلاةَ وَ يُؤْتُونَ الزَّكاةَ وَ هُمْ راكِعُونَ"

“Sesungguhnya wali dan pemimpin kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam keadaan ruku." [48]

Ayat ini mengukuhkan wilāyah Imam Ali dan para imam As yang lain. Para mufassir berkeyakinan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Imam Ali As dan cincin yang beliau berikan kepada seorang fakir dalam keadaan ruku. [49]

Hadis Manzilah

Rasulullah bersabda kepada Ali, “Kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Hanya saja tidak ada nabi lagi sepeninggalku.” [50]

Hadis Yaum Indzār

Ketika Rasulullah Saw menyampaikan risalahnya kepada kaumnya, hanya Ali As yang menerima ajakan Rasul. Nabi pun bersabda, “Engkau adalah saudaraku, wazirku, washiku dan khalifahku sepeninggalku.” [51]

Peristiwa Al-Ghadir

Ilustrasi Peristiwa Ghadir Khum

Nabi Muhammad Saw pada tahun ke-10 H guna melaksanakan kewajiban dan pengajaran ritual haji pergi ke Mekah. Ritual ini pun akhirnya selesai sementara itu banyak kelompok yang pamitan dari beliau dan bertolak menuju Madinah. Pada tanggal 18 Dzulhijah, ketika rombongan sampai pada suatu daerah bernama Ghadir Khum di dekat Juhfah, turun wahyu kepada Nabi Muhammad Saw untuk menyampaikan kabar kekhilafahan Imam Ali bin Abi Thalib As kepada masyarakat. Oleh itu, Nabi menyuruh supaya semua rombongan yang di depan berhenti sehingga rombongan yang masih di belakang pun sampai. Kemudian Nabi Muhammad Saw menyampaikan perintah Tuhan (ayat tabligh).[52] Allah Swt berfirman:

"يا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ ما أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَ إِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَما بَلَّغْتَ رِسالَتَهُ وَ اللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكافِرينَ"

“Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah menjagamu dari bahaya manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” [53]

Setelah turunnya ayat ini, Nabi Muhammad Saw bersabda kepada orang-orang yang hadir di tempat itu, “Bukankah aku lebih utama atas kalian dari pada kalian sendiri? Masyarakat pun menjawab, ‘iya’ Nabi kembali bersabda, Barang siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah. Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Bantulah mereka yang membantunya dan tinggalkanlah mereka yang meninggalkannya.” [54]

Wafat Nabi Muhammad Saw dan Peristiwa Saqifah

Pada saat-saat akhir kehidupan Nabi Muhammad Saw, Imam Ali As mendekati Rasulullah Saw dan beliau pun membuka rahasia kepadanya. Setelah itu sakit beliau semakin parah dan kepada Ali bersabda, “Letakkan kepalaku pada pangkuanmu karena perintah Tuhan telah tiba. Bilamana ruh terpisah dari badanku, maka tahanlah ia dengan tanganku dan usapkan di mukaku kemudian hadapkan wajahku ke arah kiblat lalu kafani aku, salatlah atasku sebelum semua masyarakat mensalatiku. Jangan berpisah dariku sebelum engkau menguburkan jasadku di liang lahat, dan mohonlah pertolongan dari Allah Swt.” [55] Seteleh meninggalnya Nabi Muhammad, pada saat Ali As dan Bani Hasyim sibuk mengafani dan menguburkan jasad Nabi Muhammad Saw, sebagian dari kaum Muhajirin dan Anshar seperti Abu Bakar, Abu Ubaidah, Abdur Rahman bin Auf, Sa’d bin Ubadah, Tsabit bin Sa’d bin Ubadah, Usman bin Affan berkumpul di suatu tempat bernama Saqifah Bani Sa’idah sehingga akan menjadi jelas urusan kekhlalifahan kaum Muslimin. Setelah persengketaan sengit diantara mereka dan tanpa mengindahkan peristiwa Ghadir Ghum akhirnya terpilih Abu Bakar sebagai khalifah. [56]

Masa Pemerintahan Ketiga Khalifah

Dengan bermulanya kekhalifahan Abu Bakar, terjadi peristiwa yang menyakitkan bagi Ahlulbait seperti penyerangan terhadap rumah Ali As, pemberian baiat kepada Abu Bakar,[57] penggunaan dan pengambilan secara paksa Tanah Fadak [58] dan kesyahidan Sayidah Fatimah Sa. Selama masa pemerintahan tiga khalifah yang berlangsung selama 25 tahun, Imam Ali As berhasil dalam melakukan aktivitas-aktivitas keilmuan dan kemasyarakatan, seperti mengumpulkan Al-Quran, memberikan masukan-masukan kepada para khalifah dalam permasalahan pemerintahan, penaklukan, pengaturan pemerintahan, infak kepada fakir miskin dan anak yatim, membebaskan budak kira-kira sebanyak 1000 budak dengan cara membelinya, pertanian, penanaman pohon, menggali saluran-saluran, membangun masjid, sebuah masjid yang terletak di dekat pusara Hamzah, di Miqat, masjid di Kufah dan masjid di Basrah, mewakafkan tempat-tempat dan kawasan hunian yang mempunyai pendapatan pertahun 40.000 dinar. [59] Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan tentang beberapa permasalahan penting yang terjadi pada masa periode ini.

Baiat yang Dipaksakan
“Anda menarik tangan saya kepada Anda untuk baiat tetapi saya menahannya kembali, dan Anda mengulurkannya tetapi saya menariknya. Kemudian Anda berkerubut pada saya seperti unta-unta haus mengerubuti air pada genangan air ketika mereka dibawa ke sana, sedemikian rupa sehingga sepatu-sepatu robek, sandang bahu jatuh dan orang-orang lemah terpijak-pijak, dan kebahagiaan manusia atas baiat mereka kepada saya begitu nyata sehingga anak-anak merasa riang gembira, yang tua-tua berhuyung-huyung (sampai kepada saya) untuk itu, orang-orang sakit pun menjangkau kepada hal itu dengan kacau balau dan gadis-gadis muda lari tanpa cadar.”
Imam Ali, Nahj al-Balāghah, Khutbah 229
Ketidaksediaan Imam Ali As untuk membaiat kepada Abu Bakar dan langkah-langkah yang ditempuh beberapa sahabat yang menentang kekhalifahan Abu Bakar merupakan ancaman serius bagi Abu Bakar dan Umar. Oleh itu, Abu Bakar dan Umar memutuskan untuk mengakhiri ancaman ini dengan cara memaksa Imam Ali As untuk membaiat kepadanya. [60]
Setelah beberapa kali Abu Bakar mengirim Qunfudz ke rumah Ali As untuk mengambil baiat dari Imam Ali As, namun Imam Ali menolak, Umar berkata kepada Abu Bakar, bangunlah dan pergilah engkau sendiri ke sana. Dengan demikian, Abu Bakar, Umar, Usman, Khalid bin Walid, Mughairah bin Sya’bah, Abu Ubaidah Jarah dan Qunfudz pergi ke rumah Ali As.
Ketika rombongan itu tiba di pintu rumah Ali As, setelah menghina Hadrat Fatimah Sa, mereka mendorong pintu rumahnya padahal Hadrat Fatimah Sa berada diantara pintu dan dinding, mereka juga mencambuknya. [61] Kemudian mereka menyerang Imam Ali As dan melilit pakaiannya di lehernya lalu menyeret Imam Ali As keluar rumah dan membawanya ke Saqifah.
Ketika mereka memaksa supaya Imam Ali memberikan baiatnya kepada Abu Bakar, Imam menjawab, “Aku lebih berhak akan kekhalifahan ini dari pada kalian dan aku tidak akan berbaiat kepadamu. Kamu lebih layak untuk berbaiat kepadaku karena kamu hanya dengan berdalih sebagai keluarga Nabi, telah mengambil khilafah dari kaum Anshar dan sekarang kamu mengambilnya dariku.” [62]

Pengumpulan Al-Quran
Ulama Syiah dan Sunni mengakui bahwa Imam Ali yang memulai menyusun Al-Quran atas wasiat Nabi Muhammad Saw setelah wafatnya beliau. [63] Sebagaimana yang telah dinukilkan dari riwayat, Ali As bersumpah bahwa ia tidak akan mengenakan jubah kecuali jika Al-Quran sudah ada. [64] Dan juga dalam riwayat telah dinukilkan bahwa, “Ali, pasca wafatnya Nabi mengumpulkan al-Quran selama 6 bulan.” [65]

Dalam Perang dengan Roma
Selepas meninggalnya Raululullah Saw dan ketika Abu Bakar memegang tampuk kekuasaan, ia tidak berhasil melaksanakan perintah Nabi Muhammad Saw terkait dengan Roma. Oleh itu ia bermusyawarah dengan beberpa sahabat. Semua sahabat melontarkan pendapatnya masing-masing, namun Abu Bakar tetap tidak yakin akan usulan mereka. Akhirnya ia bermusyawarah dengan Ali As dan Imam Ali AS mendorongnya supaya melakukan perintah Rasulullah Saw. Imam Ali bersabda, Jika engkau memilih pernag, pasti akan menang. Abu Bakar bersuka cita atas usulan yang diberikan oleh Imam Ali dan berkata engkau telah memberi kabar gembira kepadaku lalu Abu Bakar pun memerintahkan masyarakat untuk bersiap-siap menuju Roma. [66]

Sumber (Patokan) Penanggalan Islam
Atas usulan Imam Ali As, Umar menjadikan permulaan hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah sebagai awal penanggalan dan kalender kaum Muslimin. [67]

Masa Pemerintahan

Setelah Usman terbunuh, sejumlah sahabat mendatangi Imam Ali dan berkata, “Kami tidak mengenal orang yang layak untuk menjabat kekhalifahan selain engkau.” Imam Ali bersabda, “Aku lebih baik menjadi wazirmu dari pada amirmu.” Mereka berkata, “Kami tidak menerima kecuali membaiatmu.” Imam berkata bahwa baiat mereka tidak boleh dilakukan secara rahasia dan harus di lakukan Masjid. [68] Semua kaum Anshar kecuali beberapa orang memberikan baiat kepada Ali As. Orang-orang yang menentang diantaranya: Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, Musallamah bin Mukhallad, Muhammad Musallamah dan beberapa orang yang berasal dari Usmaniyah. Penentang yang tidak berasal dari Anshar di antaranya Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit dan Usamah bin Zaid di mana semua orang ini adalah orang-orang yang dekat dengan keluarga Usman. [69] Terkait dengan hal bahwa, mengapa Imam Ali As tidak mau menerima baiat yang diberikan oleh masyarakat harus dikatakan bahwa Imam Ali As menilai keadaan masyarakat yang ada sangat tidak kondusif sehingga tidak mendukung imam untuk memimpin mereka dan program-programnya dapat dijalankan. [70]

Hak dan Kewajiban Rakyat-Penguasa
Menurut Imam Ali hak penguasa atas rakyat dan hak rakyat atas penguasa merupakan hak terbesar yang diberikan oleh Tuhan secara timbal balik. Imam Ali As bersabda, “Sebagaimana seseorang mempunyai hak-hak atas orang lain, maka orang lain pun mempunyai hak atasnya. Satu-satunya sosok yang mempunyai hak atas semua orang dan tidak ada seseorang yang mempunyai hak atasnya adalah Tuhan, bukan salah seorang hamba-hamba-Nya. Menurut Imam Ali As, memelihara hak dan kewajiban antara penguasa dan rakyat akan membawa dampak positif yang banyak. Apabila rakyat melaksanakan hak penguasa, dan penguasa juga menunaikan hak-hak rakyatnya, maka hak di antara mereka akan terjunjung tinggi dan dasar pondasi keagamaan mereka akan kuat, tanda-tanda keadilan akan nampak dan sunah-sunah Nabi akan terlaksana pada jalannya. Kemudian Imam Ali As melanjutkan sabdanya, “Tetapi, apabila rakyat menguasai si penguasa, atau penguasa menindas rakyat, maka perselisihan muncul pada setiap kata, tanda-tanda penindasan muncul, bencana memasuki agama, dan jalan sunah ditinggalkan. Kemudian orang bertindak berdasarkan hawa nafsu, perintah (agama) disingkirkan, penyakit rohani menjadi banyak, dan tak ada ragu-ragu dalam mengabaikan hak-hak besar sekalipun, tidak pula dalam melakukan kesalahan-kesalahan besar. Dalam keadaan semacam itu, orang bajik dihinakan sementara orang jahat dihormati, dan ada azab yang pedih dari Allah Yang Mahasuci kepada manusia.” [71] Imam Ali As sangat menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak masyarakat dan hal itu terekam jelas dalam bagian surat yang dikirimkan bagi penanggung jawab (pejabat) pemerintah. Dalam bagian surat yang diperuntukkan bagi penanggung jawab pengumpul dana, beliau menulis, “Berlakulah secara adil dan berilah hak kepada rakyatmu sebagaimana engkau memberi hak kepadamu, bersemangatlah, bersabarlah dalam menunaikan kebutuhan-kebutuhan rakyat dan berhati-hatilah dalam menggunakan anggaran keuangan karena engkau adalah akuntan rakyat, wakil rakyat dan duta pemerintah.” [72] Juga nasehat beliau kepada pengumpul zakat (amil): “Janganlah bersikap sedemikian sehingga masyarakat tidak menghormatimu. Jangan lebih banyak mengambil harta mereka melebihi hak Tuhan atasnya. Kemudian katakann kepada mereka, ‘Wahai hamba-hamba Tuhan, Aku adalah wali Tuhan yang diutus atas kalian untuk mengambil hak-hak Tuhan yang ada pada harta-harta Anda. Apakah ada hak-hak Tuhan diantara harta-harta Anda sehingga akan Anda bayarkan kepada perwakilan Anda? Apabila seseorang berkata: tidak, maka janganlah kalian mendatanginya lagi. Dan apabila seseorang memberi jawaban iya, maka datanglah kepadanya tanpa menakut-nakutinya dan mengancanya.” [73] Ketika Imam Ali As mengangkat Malik Asytar sebagai gubernur Mesir, pada saat melantiknya Imam bersabda, “Berkasih sayanglah, berperangailah yang baik dan berilah tempat wargamu di hatimu jangan sampai engkau bersikap seperti binatang buas kepada rakyatmu, perhatikan makanan mereka karena mereka terbagi menjadi dua, mereka adalah saudara agamamu atau mereka dalam penciptaan seperti engkau.” [74]

Keadilan
Imam Ali As pada hari-hari pertama pemerintahannya tidak setuju dengan pembagian baitul mal berdasarkan tradisi keliru yang ditempuh oleh para khalifah sebelumnya di mana pembagian baitul mal itu berdasarkan masa lalu seseorang pada permulaan peperangan Islam dan keadaan keimanan mereka pada masa lalu. Imam Ali bersabda, “Lakukan pembagian baitul mal secara rata dan sama, seseorang tidak lebih utama dibanding dengan orang lain. Artinya semenjak awal tidak aku temukan adanya keutaman bagi anak-anak Ismail yaitu kaum Arab Mekah dibanding dengan anak-anak Ishak. [75] Imam Ali As memerintahkan Ammar bin Yasir dan Abul Haitam bin Tihan untuk mengelola baitul mal dan kepada mereka (Ammar bin Yasir dan Abul Haitam bin Tihan) menulis perintah bahwa antara arab dan non Arab (Ajam) dan kepada setiap kaum Muslimin dari setiap suku dan keturunan mempunyai hak yang sama dalam menerima pembagian dari baitul mal. [76] Imam Ali As ketika menjabat khalifah memerintahkan untuk mengambil semua tanah yang diserahkan oleh Usman kepada seseorang tertentu dan mengembalikan kembali tanah itu ke baitul mal. [77]

Sikap Imam Ali As kepada Kawan dan Keluarganya terkait dengan Baitul Mal
Ali As sangat ketat. Ketika salah seorang putrinya meminjam kalung berlian dari juru kunci baitul mal, ketika itu pula Imam Ali melakukan pemeriksaan yang sangat ketat terhadap putrinya dan Ali bin Abi Rafi’. [78] Dalam peristiwa lain yang berkaitan dengan cerita salah seorang penolongnya yang menginginkan bantuan keuangan dari Imam Ali As, beliau bersabda, “Harta ini bukan milikku, dan bukan pula milikmmu namun kekayaan yang diperoleh oleh kaum Muslimin melalui kemenangan dalam peperangan. Jika kamu ikut serta dalam peperangan itu, maka ada bagian untukmu sebagaimana orang lain mendapatkan harta itu, dan apabila tidak, maka tidak sepantasnya sesuatu yang diperoleh mereka diberikan kepada orang lain yang tidak berhak. [79]

Tegas dalam Melaksanakan Ajaran-ajaran Agama dan Hukum
Imam Ali As dalam menegakkan ajaran-ajaran agama tidak mengenal toleransi. Oleh itu, hal ini menyebabkan sebagian kelompok tidak bersabar atasnya. Dua kisah ini menjadi bukti atasnya: Suatu hari Imam Ali As memerintahkan Qanbar untuk mencambuk seseorang. Karena Qanbar terpengaruh oleh emosinya, ia menambahkan 3 kali cambukan. Oleh itu, Imam Ali As memaksa orang itu untuk mencambuk Qanbar sebanyak tiga kali. [80] Salah seorang konglomerat di Basrah, pada suatu malam mengundang Usman bin Hanif (Gubernur Basrah) untuk bertamu dan mengadakan pesta untuknya. Laporan pesta ini sampai ke telinga Imam Ali As. Beliau langsung menulis surat kepada Usman bin Hanif, “Wahai putra Hanif! Aku mendengar Anda diundang oleh seorang konglomerat dari Basrah dan Anda juga menerima undangannya sementara pesta yang diadakan itu penuh dengan bejana-bejana besar yang berisi makanan beraneka ragam yang disajikannya secara terus menerus. Ketahuilah! Setiap pengikut mempunyai pemimpin yang akan mengikutinya dan akan menerima cahaya pengetahuannya. Ketahuilah bahwa pemimpin kalian hanya mengenakan dua pakaian lama dan makanannya hanya mencukupkan dengan dua potong roti.” [81]

Tidak Suka Disanjung
Imam Ali As sangat tidak suka disanjung dan ia melarang kaum Muslimin untuk melakukan hal ini. Kisah berikut ini menggambarkan hal tersebut: Ketika Imam Ali As kembali dari perang Shifin di Kufah terdapat seseorang bernama Harb bin Syar Habil Syayani. Ia dengan berjalan kaki menyertai Imam Ali yang menunggang kuda. Imam Ali As berdiri dihadapan Harb dan berkata, “Kembalilah” Karena Harb menolak kembali, Imam Ali As mengulangi perkataannya itu sebanyak dua kali. Imam Ali As berkata, “Kembalilah karena berjalan bagimu dan naik kuda bagiku akan menimbulkan fitnah bagi penguasa sepertiku dan bagi Mukmin merupakan kehinaan.” [82] Suatu hari salah seorang sahabat Imam Ali As memuji beliau. Imam sangat melarang pekerjaan ini dan bersabda, “….Ketahuilah keadaan yang paling buruk bagi seorang penguasa di hadapan pengikutnya adalah ketika mereka tertipu dan bangga dan mereka seolah-olah telah bekerja dengan cara yang sebaik-baiknya. Aku tersiksa walaupun hanya ada pada pikiran kalian bahwa aku menyukai pujian dan senang mendengar pujian. Jangan berkata-kata kepadaku sebagaimana kalian bekata-kata kepada penguasa yang zalim, jangan gunakan julukan yang penuh dengan retorika kosong. [83] Ketika pasukan Imam Ali As bergerak menuju Syam (Suriah), para petani kota tengah antri di gudang dan ketika Imam Ali As sudah dekat, mereka berlari-lari hendak menyambut Imam Ali As. Dengan riang gembira, mereka hendak menyambut Imam Ali As. Ketika itu, Imam Ali berkata, “Apa yang kalian lakukan?” Mereka menjawab, “Ini adalah kebiasaan kami untuk menyambut dan menghormati seorang tokoh besar”, jawab mereka. Namun dengan nada kecewa Imam Ali AS berkata, “Demi Allah, apa yang kalian lakukan itu tidak akan menguntungkan kalian sedikit pun. Apa yang kalian lakukan itu sia-sia, justru mendatangkan azab akhirat. Betapa ruginya kalian menyibukkan diri sementara kesibukan itu justru mendatangkan azab yang abadi bagi kalian.” [84]

Struktur Militer
Menurut Imam Ali, militer adalah pelindung rakyat yang kuat, kehormatan negara, kekuatan negara dan penjamin keamanan negara di mana keadaannya tergantung kepada keadaan ekonomi negara, pengeluaran, rakyat dan pegawai pemerintah, pengusaha, pemilik industri. Keabadian dan kekuatan militer untuk menjaga negara tergantung kepada struktur global negara. [85] Imam Ali As terkait dengan permasalahan pengangkatan seorang pejabat militer menulis, “Militer harus dipilih dari orang-ornag yang berkepribadian, berasal dari keluarga yang baik-baik dan mempunyai pengalaman kerja, mempunyai hubungan yang erat di antara mereka dan pemimpin masyarakat, dan harus dicukupi kebutuhan hidupnya. [86] Menurut Imam Ali As, masyarakat adalah kekuatan asli dari persediaan pertahanan negara dimana jika tidak ada dukungan mereka maka kekuatan resmi militer boleh jadi berada dalam keadaan peperangan berlarut yang membebani dan akan meruntuhkan negara, sebagaimana sabdanya, “Golongan bangsawan selalu memberi beban berat kepada negara karena pada saat-saat susah, mereka hanya sedikit menolong, tidak terla pada pelaksanaan keadilan dari kalangan masyarakat yang lainnya dan lemah dalam menghadapi suatu permasalahan. Padahal tiang-tiang yang kuat dari agama dan kemasyarakatan kaum Muslimin dan masyarakat Islami adalah masyarakat kebanyakan.” [87]

Para Wali (Gubernur)

Selama masa pemerintahannya, Imam Ali As mengangkat para gubernur di berbagai kota diantaranya Muhammad bin Abi Khudzaifah sebagai gubernur di Mesir, Qais bin Sa’ Ubadah sebagai gubernur di Mesir, Malik Asytar Nakha’i, Abu Ayub Anshari sebagai gubernur di Madinah, Abu Musa Asy’ari sebagai gubernur di Kufah dari sisi Usman sesuai dengan usulan dari Malik Asytar. Imam Ali, mengangkatnya sebagai gubernur untuk beberapa waktu namun akhirnya menonaktifkan kemudian memecatnya setelah berbuat makar. Khurait bin Rasyid sebagai gubernur di Ahwaz, Khudzaifah bin Yaman sebagai gubernur di Madain yang diangkat oleh Usman dan Imam Ali As mencopotnya, Kumail bin Yizad sebagai gubernur di Hait, Makhnaf bin Sulaim sebagai gubernur di Isfahan, Rei dan Hamedan, dan Sulaiman bin Surad sebagai gubernur di Jabbul. Di antara gubernur yang diangkat oleh Imam Ali As yang terbunuh oleh musuh-musuh adalah Malik Asytar, Muhammad bin Abu Bakar, Abdullah bin Jabbar Art, Muhammad Khudzaifah, Abu Hasan bin Hasan Bakri, Khulu bin ‘Auf. Beberapa gubernur meninggal pada zaman pemerintahan Imam Ali As karena sudah memasuki usia yang tua, seperti Sahal bin Hanif, Abu Qatadah dan Khudzaifah bin Yaman. Beberapa gubernur menyelesaikan tugas itu sampai akhir hayat mereka seperti Qais bin Sa’d, Usman bin Hanif, Kumail, Sa’d bin Mas’ud, Sulaiman bin Sharad. Sebagian dari mereka tidak bersungguh-sungguh dalam mengerjakan kewajiban dan tanggung jawab mereka seperti Ubaidillah bin Abbas, Sa’id bin Namran sehingga Imam Ali menegurnya atas perbuatan ini. Imam Ali mencopot jabatan beberapa gubernur karena khianat yang mereka lakukan seperti Mundzir bin Jarud dan Aqabah bin Amru. [88]

Peperangan

Perang Jamal (Nākitsin)
“Mereka (yang memulai perang Jamal) mengguntur seperti awan dan bersinar seperti kilat. Tetapi, walaupun adanya kedua hal ini, mereka menunjukkan sifat pengecut. Sedang kami tidak mengguntur sampai kami menyerbu musuh dan tidak pula kami menunjukkan mengalirnya (kata-kata) sampai kami benar-benar menghujani.”
Imam Ali, Nahj al-Balāghah, Khutbah 9
Perang Jamal adalah perang yang pertama kali terjadi antara Imam Ali As dan nākitsin (nākits bermakna orang-orang yang melanggar janji). Kelompok ini disebut sebagai nākitsin karena Thalhah dan Zubair serta pengikutnya dikarenakan pada mulanya berbaiat kepada Imam Ali As namun pada akhirnya mereka melanggar janji pada perang Jamal. [89]Perang ini terjadi pada bulan Jumadi Tsani tahun ke-36 H. [90] Thalhah dan Zubair yang pada awalnya menginginkan jabatan khalifah [91] dikarenakan gagal memperolehnya dan khalifah jatuh ke tangan Imam Ali As, maka kedua orang ini berharap bahwa mereka juga diberi jabatan dalam kekhalifahan di Basrah dan Kufah. Keduanya ingin pemerintahan di Basrah dan Kufah diberikan kepada mereka, namun Imam Ali As menilai bahwa keduanya tidak mempunyai kelayakan untuk menerima jabatan itu. [92]Oleh itu, walaupun mereka adalah orang yang terlibat dalam pembunuhan terhadap khalifah Usman, mereka menuntut balas atas darah Usman. [93] Demi memuluskan langkahnya, ia masuk ke dalam barisan Aisyah. Padahal Aisyah sendiri ketika Usman terkepung, tidak hanya tidak menolongnya, namun menilai orang-orang yang protes terhadap Umar dinilai sebagai orang-orang yang mencari kebenaran! Namun karena Aisyah mendengar bahwa masyarakat telah membaiat Imam Ali As, ia menggunakan isu pembunuhan tehadap Usman dan demi membalas darah atas pembunuh Usman. [94] Aisyah sangat menaruh benci dan dendam kepada Imam Ali As. Oleh karenanya ia bekerja sama dengan Thalhah dan Zubair. [95]Oleh itu, mereka membentuk pasukan 3000 orang dan bergerak menuju Basrah. [96] Dalam perang ini Aisyah naik unta bernama Askar dan oleh itu, perang ini dibut sebagai perang Jamal (unta). [97] Atas perintah Imam Ali As, Usman bin Hanif (Gubernur Basrah), berkewajiban untuk mengajak para pemberontak ke jalan yang benar dan jika mereka tidak menerima, supaya bertahan, sambil menunggu Imam Ali sampai (di Basrah). [98] Begitu Imam Ali As sampai Basrah, Imam Ali As memberi nasehat kepada para pelanggar janji dan berusaha untuk mencegah terjadinya perang. Namun usaha itu tidak membuahkan hasil dan mereka mengawali perang itu dengan membunuh salah seorang sahabat Imam Ali As. [99] Dalam perang Jamal, Zubair menyingkir dari pasukan itu sebelum perang dimulai karena adanya hadis dimana Imam Ali mengingatkannya akan sabda Nabi Muhammad Saw ketika pada suatu hari kepada Zubair bersabda, “Kamu akan berperang melawan Ali,” dan di luar Basrah ia dibunuh oleh Amru bin Jurmuz. [100] Pemberontak perang Jamal kalah setelah beberapa jam berperang dan setelah pasukannya banyak yang terbunuh. Dalam perang ini Thalhah tewas. [101] Setelah perang selesai, Aisyah dengan penghormatan yang baik kembali ke Madinah. [102]

Perang Shifin (Qāsithin)
Surat Imam Ali kepada Muawiyah
“Apa yang akan Anda lakukan apabila pakaian duniawi di mana Anda terbungkus ini disingkirkan dari Anda? Dunia menarik Anda dengan perhiasannya dan menipu Anda dengan kesenangannya. la memanggil Anda dan Anda menyambutnya. la menumpin Anda dan Anda mengikutinya. la memerintah Anda dan Anda menaatinya. Tak lama lagi pemberitahu akan memberitahukan kepada Anda tentang hal-hal yang terhadapnya tak akan ada perisai (untuk melindungi Anda).”
Imam Ali, Nahj al-Balāghah, Surat 10

Perang Shiffin adalah perang yang terjadi antara Imam Ali As dan Qāsithin (Muawiyah dan pasukannya) [103]pada bulan Shafar tahun 37 H. Perang ini terjadi di Syam, di dekat sungai Furat pada suatu daerah bernama Shifin. Perang ini selesai dengan suatu hikmah yang terjadi pada bulan Ramadhan 38 H. [104] Muawiyah, ketika Usman terkepung, walaupun ia dapat menolongnya, ia tidak melakukan tindakan apa pun dan bahkan ingin membawanya ke Damaskus sehingga di sana ia mengambil alih urusan Usman. Setelah Usman terbunuh, Muawiyah berusaha sedemikian sehingga menurut warga Syam bahwa Alilah yang membunuh Usman. Pada awal kekhlalifahannya, Imam Ali menulis surat agar Muawiyah membaiatnya. Muawiyah beralasan bahwa pembunuh Usman harus dibawa kehadapannya dan diserahkan kepadanya sehingga ia akan mengkisasnya. Agar Imam Ali As melakukan hal ini, ia akan membaiatnya. Imam Ali setelah menulis surat dan mengutus wakilnya untuk menemui Muawiyah, menggerakkan pasukannya menuju Syam karena mengetahui bahwa Muawiyah sudah dalam kondisi siaga untuk berperang. Muawiyah pun menggerakkan pasukannya. Kedua pasukan itu bertemu di daerah Shiffin. Imam Ali As berusaha sekuat tenaga untuk mencegah supaya perang tidak meletus. Oleh itu, Imam Ali As kembali menulis surat namun usaha itu tidak berhasil dan perang pun berkobar pada tahun 36 H. [105] Pada serangan yang terakhir, jika saja perang itu masih berlanjut, pasukan Imam Ali As yang akan menang. Muawiyah dengan berunding dengan Amr bin Ash dan memerintahkan untuk meletakkan beberapa al-Quran yang ada di perkemahan kemudian ditancapkan di ujung tombak dan untuk sementara waktu pasukan Ali As pergi dan mereka diajak untuk melaksanakan hukum dengan al-Quran (Hakamain Quran). Tipu daya ini berhasil dan sekelompok dari pasukan Ali As yang merupakan pembaca (qāri) al-Quran pergi ke hadapan Imam Ali As dan berkata, “Kami tidak sanggup untuk berperang melawan masyarakat dan apa-apa yang mereka katakan harus kita terima!” Walaupun Imam Ali As telah menjelaskan bahwa hal ini adalah sebuah makar yang diinginkan oleh pihak musuh sehingga mereka memenangkan peperangan ini, namun penjelasan Imam Ali tidak digubris. [106] Imam Ali As terpaksa menerima arbitrase al-Quran dan dengan tetap mengingatkan bahwa kami mengetahui jikalau kalian tidak bersama al-Quran. [107] Telah disepakati bahwa salah seorang dari kalangan pasukan Syam dan salah seorang dari pasukan Irak mengadakan perundingan dan memberikan pendapatnya terkait dengan al-Quran. Orang-orang memilih Amr bin Ash. Asy’ats dan Shumari, dua orang yang kemudian merupakan kelompok Khawarij mengusulkan Abu Musa Asy’ari. Namun Imam Ali mengusulkan Ibnu Abbas atau Malik Asytar meskipun tidak disetujui oleh Asy’ats dan pengikutnya dengan alasan Malik Astar lebih memilih perang dan Ibnu Abbas tidak diperbolehkan karena Amr bin Ash berasal dari Mesir oleh itu, pihak yang lain harus berasal dari Yaman. [108] Pada akhirnya, Amr bin Ash menipu Abu Musa Asy’ari dan arbitrase menguntungkan pihak Muawiyah. [109]

Perang Nahrawan
Peristiwa arbitrase pada Perang Shiffin berbuah dengan kritikan dan perlawanan sebagian pengikut Imam Ali As yang menyatakan mengapa Anda turut campur dalam urusan Tuhan. Padahal Imam Ali As semenjak awal sudah menentang hal ini dan mereka sendiri yang menginginkan adanya arbitrase. Pada akhirnya, mereka mengkafirkan dan melaknat Imam Ali As. [110] Kelompok ini yang dikenal dengan Māriqin atau Khawarij akhirnya membunuhi masyarakat. Abdullah bin Khabab yang merupakan ayah dari sahabat Rasulullah Saw terbunuh dan perut istrinya yang tengah hamil pun dirobek. [111]
Dengan demikian, Imam Ali As terpaksa memerangi mereka. Sebelumnya Imam Ali As mengajak Abdullah bin Abbas untuk melakukan pembicaraan dengan mereka namun tidak membuahkan hasil. Akhirnya Imam Ali As menemui mereka dan berdialog dengan mereka. Sangat banyak dari mereka yang menyesal namun banyak juga yang tetap dengan keyakinannya yang keliru itu. Akhirnya perangpun meletus dan dari pihak tersisa 9 orang sedangkan dari pasukan Imam Ali As 7 atau 9 orang terbunuh. [112]


Panorama Haram Imam Ali di Najaf

Syahadah

Setelah meletusnya perang Nahrawan, Imam Ali As berusaha untuk mengkoordinir masyarakat Irak guna berperang kembali dengan tentara Syam. Namun hanya beberapa orang saja yang bersedia menyertainya. Dari sisi lain, Muawiyah dengan mengetahui keadaan yang tengah terjadi di Irak dan kelemahan dan ketidaksemangatan masyarakat Irak, menginvasi daerah kekuasaan Imam Ali As di Jazirah Arab bahkan sampai ke Irak, dan menggembosi kekuatan mereka sehingga terbuka jalan untuk memperluas Irak. [113] Bertepatan dengan ketika Imam Ali As menyiapkan pasukannya untuk perang Shiffin pada subuh 19 Ramadhan 40 H, beliau mengalami luka karena tebasan pedang Abdurrahman Muljam Muradi dan pada 21 Ramadhan sehingga menemui kesyahidannya. Berbagai literatur menyebutkan tentang kerjasama tiga orang Khawarij untuk menghabisi nyawa 3 orang yaitu Imam Ali As, Muawiyah dan Amr bin Ash dan membeberkan tentang peranan seorang perempuan bernama Qatham di mana permasalahan ini lebih berbentuk kisah (fiktif). [114] Putra-putra Imam Ali As: Imam Hasan AS, Imam Husain AS, dan Muhammad bin Hanafiyah dengan disertai oleh Abdullah bin Ja’far menguburkan Imam Ali As pada suatu malam di suatu daerah bernama Gharin (sekarang Najaf) dan menyembunyikan kuburannya. [115] Karena jika Bani Umayah dan Khawarij mengetahui hal itu, mereka akan menggali dan membongkar kuburan itu dan tidak menaruh hormat atasnya. [116]


Wasiat

Terdapat riwayat yang berasal dari Imam Ali As tentang pesan beliau terkait dengan pemandian, pengkafanan, salat jenazah atasnya dan penguburan beliau. [117]Beliau berpesan kepada putranya untuk menyembunyikan kuburannya. [118] Setelah beliau ditebas pedang oleh Ibnu Muljan, beliau berpesan kepada Imam Hasan dan Imam Husain As:
Saya nasihati Anda (berdua) untuk bertakwa kepada Allah dan bahwa Anda tak boleh menghasratkan (kesenangan) dunia (ini), sekalipun mungkin dunia mengejar Anda. Jangan menyesali apa pun dari dunia ini yang telah ditolak dari Anda. Berkatalah benar dan berbuatlah (dalam mengharapkan) pahala. Tetapi jadilah musuh penindas dan penolong yang tertindas.
Saya nasihati Anda dan semua anak saya serta anggota keluarga saya dan setiap orang yang tercapai oleh tulisan saya, untuk bertakwa kepada Allah, untuk mengurus urusan Anda secara tertib, dan untuk menjaga hubungan baik di antara Anda, karena saya telah mendengar kakek Anda (Nabi saw) berkata, "Memperbaiki perselisihan lebih baik dari salatjamak dan puasa."
(Bertakwalah kepada) Allah (dan) ingatlah Allah berkenaan dengan urusan yatim piatu. Jangan biarkan mereka kelaparan, dan mereka tak boleh hancur dalam kehadiran Anda.
(Bertakwalah kepada) Allah berkenaan dengan urusan para tetangga Anda, karena mereka merupakan pokok nasihat Nabi. Beliau terus bernasihat bagi kebaikan mereka sehingga kami berpikir bahwa beliau akan memberikan bagian warisan kepada mereka.
(Bertakwalah kepada) Allah berkenaan dengan urusan Al-Quran. Tak ada orang harus melebihi Anda dalam beramal menurutnya.
(Bertakwalah kepadaj Allah berkenaan dengan urusan salat, karena (salatj itu adalah tiang agama Anda.
(Bertakwalah kepada) Allah berkenaan dengan urusan Rumah Tuhan Anda (Ka'bah). Jangan tinggalkan itu selama Anda hidup, karena apabila (Ka'bah) itu ditinggalkan, Anda tak akan selamat.
(Bertakwalah kepada) Allah berkenaan dengan urusan jihad, dengan pertolongn harta Anda, nyawa Anda dan lidah Anda, di jalan Allah. Anda harus selalu menghormati kekerabatan dan menafkahkan untuk orang lain. Jauhkan (sikap) saling menjauh antara sesama dan pemutusan hubungan. Jangan berhenti menyuruh kepada kebajikan dan menegah kemungkaran agar jangan para pembuat bencana mendapatkan kedudukan atas Anda, dan kemudian apabila Anda hendak berdoa, doa itu tak akan dikabulkan.
Lalu ia berkata: "Wahai, putra-putra 'Abdul Muththalib, sesungguhnya saya tidak ingin melihat Anda teijun dengan kasar ke dalam darah kaum Muslim sambil berteriak-teriak "Amirul Mnkminin telah dibunuh!" Ingatlah, jangan mem-bunuh karena saya, kecuali (atas) pembunuh saya.
Tunggulah hingga saya mati oleh pukulannya (Ibnu Muljam) yang ada. Kemudian pukullah ia dengan satu pukulan dan jangan rusakkan anggota-anggota badannya, karena saya telah mendengar Rasulullah (saw) berkata, "Jauhkan memotong-motong anggota (badan) sekalipun ia anjing gila".[119]

Tersembunyinya Kuburan Imam Ali As

Haram Imam Ali As

Penyebab Imam Ali As berwasiat supaya menyembunyikan pusaranya adalah supaya kaum Khawarij jangan sampai membongkar dan menggali kuburan Imam Ali As kemudian mengeluarkan jenazah beliau lalu menghinakannya. [120] Hanya putra-putra dan sahabat setia Imam Ali As saja yang mengetahui letak pusara Imam Ali As sampai suatu ketika Imam Shadiq As pada zaman khalifah Mansur Abbasi pada tahun 135 H mengungkap letak pusara itu di Najaf. [121]

Fadhilah dan Keutamaan

Ayat Al-Quran Ayat-ayat yang turun berkaitan dengan keutamaan Imam Ali As sangat banyak sedemikian sehingga Ibnu Abbas meriwayatkan sebanyak 300 ayat berkenaan dengan beliau. [122] Pada kesempatan ini kami hanya akan menyebutkan beberapa saja dari ayat-ayat yang dimaksud:
Ayat Mubāhalah
 
“فَمَنْ حَاجَّكَ فيهِ مِنْ بَعْدِ ما جاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعالَوْا نَدْعُ أَبْناءَنا وَ أَبْناءَكُمْ وَ نِساءَنا وَ نِساءَكُمْ وَ أَنْفُسَنا وَ أَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللهِ عَلَى الْكاذِبينَ”

“Katakanlah (kepada mereka):" Marilah kita memanggil anak- anak kami dan anak- anak kamu, istri- istri kami dan istri- istri kamu, diri kami dan diri kamu; ; kemudian marilah kita bermubahalah, kemudian kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang- orang yang dusta.” [123]

Hari Mubāhalah terjadi pada tahun ke 10 H ketika antara kaum Muslimin dan Nasrani Najran saling mengutuk sehingga Allah Swt akan mengazab siapa di antara mereka yang berbohong. Demi maksud ini, Rasulullah Saw membawa Ali As, Fatimah Sa, Hasan As dan Husain As ke padang sahara. Nasrani Najran dengan menyaksikan bahwa Rasulullah Saw hanya membawa orang-orang terdekatnya langsung ketakutan dan menerima untuk membayar jizyah. [124]


Ayat Tathir
 
“إِنَّما يُريدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطَهِّرَكُمْ تَطْهيراً”

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.” [125]

Menurut pendapat ulama Syiah, ayat ini turun di rumah Ummu Salamah, salah seorang istri Nabi Muhammad Saw. Pada saat itu, Ali As, Fatimah Sa, Hasan As dan Husain As juga ada di rumah Ummu Salamah. Setelah turunnya ayat tathir, Rasullullah Saw mengambil kain yang digunakan sebagai alas untuk duduk, untuk kemudian meletakkan kain itu diatas ahli kisa yaitu, Nabi Muhammad Saw sendiri, Ali As, Fatimah Sa, Hasan As dan Husain As. Kemudian Nabi Muhammad Saw mengangkat tangannya ke arah langit dan berdoa, “Ya Allah, 4 orang ini adalah Ahlulbaitku, sucikanlah mereka dari segala dosa dan noda.” [126]

Ayat Mawaddah
 
قُلْ لا أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبى

“Katakanlah (Wahai Rasulullah):"bahwa aku tidak meminta upah apapun dari kalian (atas risalah yang dibawa), kecuali kecintaan terhadap kerabatku.” [127]

Ibnu Abbas berkata, “Ketika ayat ini turun, aku bertanya kepada Rasulullah Saw siapakah yang dimaksud dengan kerabatku?” Rasulullah Saw menjawab, “Ali As, Fatimah. Hasan As dan Husain As. Rasulullah pun mengulang perkataan ini sebanyak tiga kali. [128]

Orang yang Pertama Masuk Islam
Telah masyhur dalam literatur hadis bahkan telah sampai pada derajat mutawatir disebutkan bahwa Ali As adalah orang yang pertama kali masuk Islam. [129] Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Nabi Muhammad Saw, “Orang yang pertama kali akan bertemu denganku di antara kalian di telaga Kautsar adalah Ali.” [130] Nabi Muhammad Saw juga bersabda kepada putrinya, Sayidah Zahra Sa, “Apakah engkau tidak akan menerima seseorang diantara umatku bahwa diantara semua orang yang paling awal memeluk Islam adalah orang yang paling pintar dan paling sabar diantara mereka? [131]

Lailatul al-Mabit
Setelah kaum Quraisy mengganggu dan mengintimidasi kaum Muslimin, Nabi Muhammad Saw memerintahkan kepada pengikutnya untuk berhijrah ke Madinah. Oleh itu pengikut Nabi pun melakukan hijrah ke Madinah dalam beberapa tahapan. [132] Setelah pembesar kaum Quraisy berkumpul dan bersidang untuk bertukar pikiran di Darun Nadwah, mereka mengambil keputusan bahwa setiap kabilah menunjuk satu orang pemuda pemberani dan kuat perkasa untuk membunuh Rasulullah Saw. Jibril pun menyampaikan wahyu dan menjelasaskan kejadian yang tengah berlangsung. Kemudian malaikat Jibril memerintahkan Nabi Muhammad Saw untuk tidak tidur diranjang beliau melainkan untuk pergi hijrah. Nabi Muhammad Saw melibatkan Ali As dalam rencana keji kaum Quraisy ini dan memerintahkan Ali AS untuk tidur di pembaringan Rasulullah Saw. [133]

Pandangan Mufassir tentang Asbab Nuzul Ayat:

“وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِيْ نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللهِ وَ اللهُ رَؤُوْفٌ بِالْعِبَادِ “

“Dan di antara manusia ada orang yang rela menjual (mengorbankan) dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” [134] Mufassir meyakini peristiwa lailatul mabit sebagai ayat yang berkenaan dengan Imam Ali. [135]

Akad Persaudaraan dengan Rasulullah Saw
Nabi Muhammad Saw setelah memasuki kota Madinah, di antara kaum Muhajirin membacakan akad persaudaraan. Kemudian beliau membacakan akad persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Beliau pada dua kesempatan bersabda, “Engkau (Ali) adalah saudaraku di dunia dan di akhirat.” Kemudian Rasulullah Saw membacakan akad persaudaraan antara beliau dan Ali As. [136]

Radd al-Syams
Suatu hari pada tahun 7 H, Nabi Muhammad Saw dan Ali As telah melaksanakan salat Dhuhur. Kemudian beliau mengutus Ali untuk mengerjakan sesuatu padahal waktu itu Ali As belum mengerjakan salat Asar. Ketika Ali As kembali, Nabi meletakkan kepala beliau di pangkuan Ali dan ketiduran hingga matahari pun tenggelam. Ketika Nabi Saw bangun, beliau berdoa, “Tuhan, hamba-Mu Ali, menahan dirinya karena nabinya, maka terbitanlah kembali matahari baginya.” Pada saat itu, matahari pun terbit kembali, kemudian Ali As pun berdiri, berwudhu dan mengerjakan salat Asar. Setelah itu matahari pun kembali tenggelam. [137]

Menyampaikan Surat Barāah
Beberapa ayat pada permulaan surat al-Taubah, turun ketika Nabi Muhammad mengambil keputusan untuk tidak pergi haji. Ayat-ayat itu menjelaskan tentang kaum musyrikin mempunyai kesempatan selama 4 bulan untuk mengikuti ajaran tauhid dan berada pada barisan kaum Muslimin namun jika tetap keras kepala pada keyakinan sebelumnya, maka harus bersiap untuk berperang dan ketahuilah di mana saja mereka tertangkap pasti akan terbunuh. Oleh itu, sesuai dengan perintah Tuhan, “Pesan ini harus Nabi sendiri yang menyampaikan kepada kaum muslimin atau seseorang yang mewakili Nabi dan selain kedua orang ini, tidak ada orang yang layak untuk mengerjakan hal ini.” [138] Nabi Muhammad Saw, menginginkan Ali As dan memerintahkan Imam Ali As untuk pergi ke Mekah dan di Mina pada hari raya Idul Qurban untuk menyampaikan ayat-ayat surat Barā’ah kepada kaum musyrikin. [139]

Hadis al-Hak
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Ali bersama kebenaran (al-hak) dan kebenaran (al-hak) selalu bersama Ali.” [140]


Sadd al-Bāb
Yaitu semua pintu ke arah Masjid Nabi ditutup atas perintah Nabi Saw kecuali pintu rumah Ali As. Ketika ditanyakan kepada Rasul sebab hal ini, beliau menjawab, “Aku bertanggung jawab untuk menutup semua pintu kecuali pintu rumah Ali. Tapi atas peristiwa hal ini, banyak kericuhan terjadi. Sungguh aku tidak menutup satu pintu pun dan tidak membuka pintu itu kecuali hanya menjalankan tugas (dan hanya menaati perintah-Nya).” [141]

Sumber Ilmu Kaum Muslimin

Ibnu Abil Hadid seorang tokoh terkemuka pada abad 7 H, bermazhab Sunni dalam mukaddimah syarah Nahj al-Balāghah menulis, “Apa yang harus kukatakan tentang seorang laki-laki yang musuhnya juga tidak mengenalnya kecuali dengan keutamaannya dan mereka tidak dapat mengingkari dan menyembunyikan kebaikan itu. Semua mengetahui bahwa Bani Umayah menjarah bagian Timur dan Barat negara-negara Islam. Dengan kelicikan dan kekuasaannya berhasil mematikan kebesaran cahaya Islam dan membuat hadis yang banyak untuk menjelekkan Imam Ali As dan melaknatnya di semua mimbar. Muawiyah tidak hanya memenjarakan siapa saja yang memuji bahkan membunuhnya. Ia juga melarang membawakan riwayat yang berisi tentang keutamaan Imam Ali As bahkan melarang penggunaan nama Ali. Namun semua ini tidak membuahkan hasil kecuali justru semakin membawa nama baik bagi Imam Ali As. Ia laksana kesturi semakin ditutupi aromanya semakin semerbak mewangi. [142] Ibnu Abil Hadid dalam lanjutan tulisannya berkata, “Apa yang harus kukatakan tentang seseorang yang merupakan sumber keutamaan dan sumber setiap kistimewaan bagi setiap manusia dan setiap madzab dan kelompok. Semua sumber keutamaan bermuara kepadanya dan ia paling cepat dari semua orang dan terkemuka dari yang lainnya.

Ilmu Kalam
Ibnu Abil Hadid berkata, “Penjelasan tentang ilmu Kalam dan pengenalan sifat-sifat menjulang Allah Swt yang merupakan ilmu yang paling tinggi dijelaskan dengan elegan oleh Imam Ali As. Para ulama dan ahli kalam adalah murid-muridnya. Muktazilah yang berpegang pada keyakinan tauhid dan keadilan adalah murid-murid dan sahabat-sahabatnya. Karena silsilah mereka berujung kepada Washil bin ‘Atha’ dan dia adalah murid Abu Hasyim Abdullah bin Hanafiyah. Abu Hasyim adalah murid ayahnya, dan ayahnya adalah murid Ali As. Asy’ariyah juga berujung kepada Imam Ali As di mana pendiri firqah ini adalah Abul Hasan Ali bin (Ismail bin) Abi Basyir Asy’ari. Oleh itu, pada akhirnya Asya’ariyah berguru sampai kepada Muktazilah dan guru Muktazilah adalah Imam Ali As. Adapun penisbatan ilmu Kalam Imamiyah dan Zaidiyah kepada Ali As merupakan perkara yang sudah terang dan tidak perlu dijelaskan lagi. [143]

Ilmu Fikih
Ibnu Abil Hadid berkata, “Imam Ali As dasar dan asas ilmu fikih dan setiap fakih dalam Islam menggunakan pengajaran darinya sampai pada hal-hal yang detail. Bersandarnya fikih Syiah kepada Imam Ali As sangatlah terang dan tidak perlu dijelaskan. Sahabat Abu Hanifah seperti Abu Yusuf, Muhammad dan sebagian dari mereka mempelajari fikih dari Abu Hanifah. Ahmad bin Hanbal adalah murid Syafi’i. Syafi’i belajar fikih dari Abu Hanifah. Dan Abu Hanifah sendiri belajar fikih dari murid Imam Shadiq As. Kemudian Imam Shadiq As dari ayahnya, Imam Baqir AS dan Imam Baqir As dari ayahnya dan demikian seterusnya sampai berujung kepada Imam Ali As. Malik bin Anas belajar fikih dari Rabi’ah al-Ra’yu dan Rabi’ah adalah murid ‘Ikrimah sedangkan ‘Ikrimah adalah murid Abdullah bin Abas dan Abdullah bin Abbas adalah murid Imam Ali As. Fikih Syafi’i dengan memperhatikan bahwa ia adalah murid Malik, pada akhirnya juga berujung kepada Imam Ali As. Dengan demikian, fuqaha empat mazhab Sunni berujung dan bermuara kepada Imam Ali As. Fukaha yang berasal dari kalangan sahabat, seperti Umar bin Khtab dan Abdullah bin Abbas adalah diantara ahli fikih yang belajar dari Imam Ali As. Bahwa Ibn Abbas adalah murid Imam Ali tiada yang meragukan dan tidak lagi memerlukan saksi. Dalam kaitan dengan Umar, semua mengetahui bahwa dalam menyelesaikan problema dan kesulitan, di banyak kesempatan, ia merujuk kepada Ali. Dalam kaitan ini, Umar berkata, "Seandainya tidak ada Ali, Umar pasti celaka." Ia juga berkata, "Aku tidak akan dapat tenang jika tidak ada Abul Hasan." Ia juga berkata, "Tidak seorang pun memberikan fatwa di masjid sementara Ali berada di situ." Maka, adalah jelas fikih berujung kepada Ali As. Baik kalangan Syiah maupun Sunni menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda, "Aqdhākum Ali” (Orang yang paling pandai mengadili adalah Ali). Dengan memperhatikan bahwa ilmu Peradilan (qadha) termasuk ilmu fikih, oleh itu, Imam Ali As merupakan orang yang paling paham atas fikih di antara sahabat yang lain. [144]
Tafsir
Ibnu Abil Hadi berkata, “Imam Ali pendiri ilmu tafsir. Apabila merujuk kepada kitab-kitab tafsir, akan menjadi jelas bahwa sebagian besar ayat-ayat dinukil secara langsung dari Imam Ali As ataukah dari Ibnu Abbas karena Ibnu Abbas juga mengambil dari Imam Ali As. Ditanyakan kepada Ibnu Abbas bagaimana perbandingan ilmumu dengan anak pamanmu (Imam Ali As)? Ia menjawab, “Perbandingannya bagaikan setetes air hujan di hadapan samudra yang tiada batasnya.”

Ilmu Tarekat
Ibnu Abil Hadid berkata, “Pemilik ilmu tarekat, hakikat dan irfan juga berujung kepada Imam Ali As. Ajaran-ajaran yang sampai sekarang menjadi semboyan kaum sufi menunjukkan akan hal ini.” [145]

Ilmu Nahwu
Ibnu Abil Hadid berkata, “Semua tahu bahwa Imam Ali As dalah penemu dan pembaharu ilmu Nahwu. Beliau mengajarkan kaidah-kaidah umum ilmu ini kepada Abu al-Aswad Duali. Di antaranya beliau mengatakan kepada Abu al-Aswad mengenai mengenai 'kata' terbagi menjadi tiga: ism (nomina), fi'il (verba), dan harf (preposisi) dan beliau juga mengatakan mengenai ism makrifah (definitive) atau nakirah (indefinitif). Selain itu, beliau mengatakan bahwa i'rāb (tanda baca) ada empat jenis: rafa', nashab, jar, dan jazam. [146]

Kefasihan Bicara dan Kepandaian Beretorika
Ibnu Abil Hadid berkata, “Dari sisi kefasihan, ia adalah penghulu orang fasih dan orator yang ulung dan sebagaimana yang telah dikatakannya tentang tuturan-tuturan Imam Ali: Di bawah firman-firman Sang Pencipta dan di atas kata-kata manusia. Bukti yang paling jelas akan hal ini adalah kitab Nahjul Balaghah. Abdul Majid bin Yahya berkata: 70 khutbah dari khutbah-khutbahnya penuh dengan nilai-nilai sastra yang tinggi. Ibn Nabatah berkata khutbah-khutbahnya adalah harta karun dimana setiap kali aku mengambil darinya tidak akan pernah berkurang justru akan bertambah. Aku menghafal 100 bagian dari nasehat dari Ali bin Abi Thalib.” [147]

Tipologi Akhlak

Abul Yatama

Ibnu Abil Hadid berkata, “Ia hidup dalam kemurahan hati yang luar biasa dan keadannya yang sangat sederhana. Ketika ia berpuasa, ia memberikan makanan buka puasanya kepada anak yatim sehingga ayat, “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.”(QS Al-Insan [76]: 8) turun berkenaan dengannya. Mufassir berkata suatu ketika Ali As hanya memiliki 4 dirham lalu beliau menyedekahkan 1 Dirham di malam hari, 1 Dirham yang lain di siang hari, 1 Dirham dengan rahasia, dan 1 Dirham lagi beliau sedekahkan dengan terang-terangan. Oleh itu ayat, “Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. Tiada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al-Baqarah [2]: 274) turun berkenaan dengan peristiwa ini. Mereka berkata: Imam Ali As mengairi kurma orang Yahudi Madinah sedemikian sehingga tangannya keras dan upahnya beliau sedekahkan dan ia sendiri mengganjal perutnya dengan batu. Mereka berkata: “Tidak pernah sekalipun berkata tidak kepada orang yang membutuhkan bantuan.” Pada suatu hari, Mahfan bin Abi Mahfan menghadap Muawiyah. Muawiyah bertanya kepadanya, “Dari mana engkau?” Ia dengan maksud ingin membahagiakan Muawiyah berkata, Aku baru saja datang dari orang yang paling pelit di antara seluruh manusia. Maksudnya adalah Imam Ali. Celakalah engkau! Bagaimana mungkin tentang seseorang yang jika mempunyai gudang emas dan jerami maka akan ia gunakan untuk menolong orang-orang yang miskin!” [148]


"Ali adalah jiwa universal yang telah menggemakan senandung keabadian di cakrawala Jazirah Arab. Namun karena figurnya lebih besar dari masanya, maka masyarakat saat itu tidak tahu siapa dia dan tidak bisa mencerna kata-katanya.... Ali telah meninggalkan dunia, sementara dunia menyaksikan keagungannya."
Khalil Gibran
Mudah Memaafkan dan Bertoleransi
Ibn Abil Hadid berkata: “Imam Ali As mempunyai kesabaran, mudah memaafkan, murah hati dan mengabaikan orang lain yang berbuat tidak baik kepadanya dibandingkan dengan yang lainnya. Sebagaimana yang terjadi pada perang Jamal yang merupakan bukti akan hal ini. Ketika Marwan bin Hakam yang merupakan musuh yang paling nyata tertangkap, Imam membebaskannya dan dari peristiwa ini membawa pengaruh yang luar biasa. Abdullah bin Zubair mengucapkan perkataan keji kepada Imam Ali didepan khalayak ramai dan ketika Abdullah dengan pasukan Aisyah datang ke Basrah membaca khutbah dan Abdullah dalam khutbah itu mengatakan segala sesuatu yang mau ia ucapkan bahkan dengan mengatakan sekarang paling hinanya orang dan paling dina di antara manusia, yaitu Ali As akan datang ke kota Anda. Namun Imam Ali As memaafkannya dan Imam hanya berkata, “Menjauhlah dari sini sehingga aku tidak akan melihatmu!” Imam juga berkata demikian kepada Said bin Ash yang merupakan musuh beliau dan setelah kejadian perang Jamal di Mekah tertangkap namun kepada Amr bin Ash.
Perlakuan Imam Ali As terhadap Aisyah sangat terkenal. Walaupun Imam menjadi pemenang, namun Imam menyampaikan ucapan selamat kepadanya. Imam pun menyuruh 20 wanita dari kabilah Abad Qais yang semuanya mengenakan pakaian laki-laki dengan perlengkapan pedang untuk menyertai Aisyah untuk kembali ke Madinah padahal selama dalam perjalanan Aisyah tidak henti-hentinya mengucapkan perkataan keji kepada Imam Ali As dengan mengatakan bahwa Imam Ali merusak kehormatannya dan ia mengirimkan laki-laki dari sahabatnya untuk menyertai perjalanannya. Setelah rombongan itu sampai Madinah, wanita-wanita itu pun berkata: “Lihatlah kami semua adalah wanita yang telah menyertai Anda!”
Pasca perang selesai, masyarakat Basrah yang berdiri di barisan Aisyah dan sebagian dari pasukannya yang tertawan, semuanya dibebaskan dan Imam berkata kepada pasukannya bahwa jangan sampai ada seorang pun yang melawan keputusan ini. Mereka dinyatakan bebas dengan catatan mereka meletakkan senjatanya. Imam Ali tidak menjadikan mereka sebagai tawanan perang, tidak juga mengambil harta mereka sebagai harta rampasan perang sebagaimana perlakuan Rasulullah Saw memperlakukan masyarakat Mekah dalam peristiwa Fathu Mekah.
Pasukan Muawiyah pada perang Shifin menutup air bagi pasukan Imam Ali As dan pasukannya. Mereka membuat pembatas di sungat Furat. Pemimpin pasukan Muawiyah berkata: “Ali dan pasukannya harus merasakan kehausan yang sangat, sebagaimana ia telah membunuh Usman dalam keadaan haus.” Kemudian kedua pasukan itu berperang dan pasukan Imam Ali As berhasil merebut air itu. Pada kesempatan itu, pasukan Imam Ali juga melarang pasukan Muawiyah untuk meminum air walaupun setetes sehingga semuanya akan mati kehausan, namun Imam Ali berkata, “Tidak, selamanya jangan lakukan hal ini, biarlah mereka menggunakan sebagian air Furat.” [149]

Berperangai Luhur
Ibn Abil Hadid berkata, “Adapun dari sisi kebaikan perangai, Ia telah menjadi pepatah sebagaimana musuh-musuhnya menganggap aib baginya. Sha’sha’ah bin Suhan dan sahabat setia Imam Ali berkata, “Ali As di antara kami seperti salah satu di antara kami, tidak menilai adanya keistimewaan bagi dirinya bahkan tawadhu dan rendah hati sangat takut sehingga kami di hadapannya bagaikan tawanan dengan kaki terbelenggu di bawah seorang laki-laki yang sedang terhunus pedangnya.” [150]

Jihad fi Sabilillah
Ibn Abil Hadid berkata: Kawan dan lawan Imam Ali As menyatakan bahwa ia seorang pemimpin mujahid dan tidak ada seorang pun yang pantas menyandang predikat ini. Semua mengetahui peperangan yang paling seru dan sengit dalam Islam adalah perang Badar dimana sebanyak 70 orang kafir terbunuh. Setengah dari jumlah itu terbunuh di tangan Imam Ali As dan setengahnya lagi tewas di tangan kaum Muslimin atas pertolongan malaikat. Posisi dan peranan Imam Ali As pada pererangan Uhud, Ahzab, Khaibar, Hunain dan peperangan yang lainnnya telah diakui sejarah dan tidak perlu dijelaskan. Imam Ali juga pandai dalam memahami permasalahan-permasalahan penting seperti ilmu Geografi tentang Mekah, Mesir dan lainnnya.

Keberanian
Ibnu Abil Hadid berkata, “Ia adalah seorang satu-satunya jawara yang akan selalu diingat yang menghapus kenangan orang-orang terdahulu dan melenyapkan pada dirinya orang-orang setelahnya.” Keberhasilan Ali As dalam medan pertempuran sangat dikenal dalam sejarah sehingga sampai hari kiamat pun akan selalu menjadi contoh. Ksatria yang tidak pernah lari dari medan peperangan dan tidak takut dengan jumlah musuh yang besar. Ia tidak berperang kecuali membinasakan musuhnya dan ia adalah sosok orang yang pukulannya sedemikian ampuh sehingga tidak pernah berulang pukulannya. Ketika menantang Muawiyah untuk berduel sehingga salah satunya dari keduanya mati, orang-orang pun yakin dan percaya diri. Amr bin Ash kepada Muawiyah berkata: “Ali bukan tandinganmu. Muawiyah berkata kepada Amr bin Ash: Semenjak kau bersamaku, tidak pernah sekalipun kamu berlaku licik kepadaku! Kau menyuruhku untuk melawan seseorang yang tidak akan pernah pernah melepaskan orang lain dari cengkeramannya! Aku sangat yakin bahwa setelahku, kau sangat terpikat dengan pemerintahan Syam. Orang-orang Arab selalu bangga jika pada suatu hari berhadapan dengannya atau kaki tanganku terbunuh oleh Ali As.” Pada suatu hari, Muawiyah tengah tertidur pulas di singgasananya, tiba-tiba matanya terbuka. Ia melihat Abdullah bin Zubair di dekatnya. Ia pun duduk di dekatnya dan dengan bercanda berkata kepada Muawiyah: “Wahai Amirul Mukminin! Jika Anda setuju mari kita beradu gulat.” Muawiyah berkata: “Celakalah engkau Abdullah! Aku lihat kamu berbicara tentang seseorang yang berani dan tangguh! Abdullah berkata: Memangnya engkau mengingkari akan keberanianku? Aku adalah seseorang yang melawan Ali As di medan peperangan.” Muawiyah berkata: ‘Sama sekali tidaklah demikian. Apabila engkau sebentar saja di hadapan Ali berdiri maka engkau dan ayahmu akan terbunuh dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya tetap siap sedia untuk berperang.’” [151]

Ibadah
Ibnu Abil Hadid berkata, “Ali As adalah seorang abid (ahli ibadah) yang paling taat. Puasa dan salatnya paling banyak dari pada yang lainnya. Orang-orang belajar darinya dalam mengerjakan salat malam dan berterusan mengerjakan salat sunnat. Dan bagaimana penilaian Anda terhadap seorang laki-laki yang menjaga salat-salat sunnatnya sedemikian sehingga pada Perang Shiffin pada Lailatul Harir (malam terakhir Perang Shiffin) di antara dua barisan, sajadah di gelar untuknya padahal anak panah melintas di antara kedua belah tangan dan di antara kedua daun telinganya tanpa rasa takut ia tetap sibuk melanjutkan salatnya. Dahinya bagaikan lutut unta karena banyaknya sujud. Setiap kali orang yang mendengarkan doa dan munajatnya akan menyadari bagaimana pengagungannya kepada Allah, kebersahajaannya di hadapan kebesaran-Nya, sujudnya di hadapan Allah serta ketulusan dalam dirinya. Orang-orang akan mengetahui dari mana gerangan datangnya doa-doa ini dan melalui lisan apa ia mengalir. [152]

Zuhud
Ali As adalah pemimpin orang-orang yang zuhud. Siapa yang akan menempuh jalan ini, maka ia harus mengikuti jalan Imam Ali As. Ali As tidak pernah sekalipun mengenyangkan perutnya. Ali As mengkonsumsi makanan dan berpakaian kasar. Abdullah bin Abi Rafi’ berkata, “Aku menemui Imam Ali As pada hari raya raya. Saya melihatnya memiliki kantung yang tersegel. Ketika aku membuka kain penutup itu, aku melihatnya roti kasar yang tidak tersentuh. Beliau tengah makan makanan itu. Aku pun berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Mengapa engkau menyegelnya? Imam Ali berkata, “Saya takut anak-anakku akan mengolesinya dengan mentega atau dengan minyak zaitun.” Pakaian yang ia kenakan kadang-kadang berasal dari kulit binatang dan kadang-kadang berasal dari daun kurma. Alas kakinya terbuat dari pelepah kurma. Dan mengenakan pakaian berbahan sangat kasar. Jika ingin memakan sesuatu selain roti maka makanan pendampingnya adalah cuka dan garam. Dan jika lebih baik dari ini maka sebagian bercampur dengan tumbuh-tumbuhan atau susu unta. Beliau tidak memakan daging kecuali sedikit dan bersabda, “Janganlah perutmu kalian jadikan sebagai gudang hewan.” Namun, beliau adalah orang yang paling kuat dan kelaparan yang ada padanya tidak mengurangi kekuatannya sedikit pun. Ia meninggalkan kehidupan dunia padahal kekayaannya membentang di seluruh dunia Islam kecuali Syam bahkan ia membagi kekayaannya kepada rakyatnya. [153]

Karya-karya

Kitab Nahj al-Balaghah Syarah Ibnu Abil Hadid

Nahj al-Balāghah
Karya monumental yang telah dibukukan dari ucapan dan tulisan-tulisan Imam Ali As adalah Nahj al-Balāghah yang dikumpulkan oleh Sayid Radhi, seorang ulama terkemuka pada abad ke-4 H. Setelah al-Quran, Nahj al-Balāghah adalah teks paling suci bagi penganut Syiah (setelah al-Quran) dan merupakan teks agama paling tinggi nilai sastranya dalam bahasa Arab. Kitab ini terdiri dari tiga bagian utama: Kumpulan khutbah-khutbah, surat-surat dan hikmah-hikmah singkat Imam Ali As dalam berbagai situasi atau yang ditulis oleh Sang Imam untuk ditujukan kepada orang-orang tertentu. Khutbah-khutbah dalam Nahj al-Balāghah terdiri dari 239 khutbah dan dari tinjauan waktu dibagi menjadi tiga: sebelum masa pemerintahan, dalam masa pemerintahan dan pasca pemerintahan.

Surat-surat dalam Nahj al-Balāghah terdiri dari 79 surat dan hampir semuanya ditulis dalam masa pemerintahan beliau. Kalimat-kalimat pendek dalam Nahj al-Balāghah terdiri dari 480 tuturan hikmah. Sebagian syarah-syarah Nahj al-Balāghah adalah Syarh Ibn Maitsam Bahrani, Syarh Ibn Abi al-Hadid Mu’tazili, Syarh Muhammad Abduh, Syarah Muhammad Taqi Ja’fari, Darshāi az Nahj al-Balāghah karya Husainali Muntazheri, Syarah Fakhr al-Razi, Minhaj al Barā’ah karya Qutb al-Din Rawandi, Syarh Nahj al-Balāghah karya Muhammad Baqir Nawab Lahijani. [154]

Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim

Kitab Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim

Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim dikumpulkan oleh Abdul Wahid Muhammad Tamimi Amudi, seorang ulama pada abad ke-5. Dalam kitab Ghurar al-Hikam kira-kira terdapat 10760 perkataan Imam Ali As yang disusun secara berurut berdasarkan alphabet dalam beragam tema: tentang akidah, ibadah, akhlak, politik, ekonomi, dan kemasyarakatan. [155]


Dastur Ma’ālim Hukm wa Ma’tsur Makārim Al-Syiyam

Kitab Dastur Ma’ālim Hukm wa Ma’tsur Makārim Al-Syiyam

Kitab Dastur Ma’ālim Hukm wa Ma’tsur Makārim Al-Syiyam dikumpulkan oleh Qadhi Qadha’i. Ia adalah seorang ulama bermadzab Syafi’i pada abad ke-4 H. Ia adalah orang yang diakui di kalangan ahli hadits. Namun ada kelompok yang berpendapat bahwa Qadhi Qadha’i bermazhab Syiah. [156] Kitab Dastur Ma’ālim Hukm wa Ma’tsur Makārim Al-Syiyam ditulis dalam 9 bab: Tuturan-tuturan hikmah yang diucapkan oleh Imam Ali As, tidak pentingnya dunia dan keengganan Imam Ali atasnya, nasehat-nasehatnya, wasiat-wasiat dan larangannya, jawaban Imam Ali As terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, dalam ilmu kalam, tentang keterasingan beliau, tentang doa-doa dan munajat-munajat Imam Ali As, serta puisi-puisi Imam Ali As. [157]

Sebagian kitab yang memuat perkataan Imam Ali As:
  • Natsr al-Lāli oleh Abu Ali Fadhl bin Hasan Thabarsi.
  • Matlub Kull Thālib min Kalām Amiril Mukminin ‘Ali bin Abi Thālib As, oleh Jahizh, pensyarah Rasyid Watawath.
  • Qalāid al-Hukm wa Farāid al-Kalim yang dikumpulkan oleh Qadhi abu Yusuf Ya’kub bin Sulaiman Asfaraini.
  • Amtsāl Imām ‘Ali bin Abi Thalib, perkataan dan surat-surat Imam Ali As dalam kitab Shifin oleh Nashr bin Muzahim.

Sahabat-sahabat

Salman Farsi adalah salah seorang sahabat yang paling utama Nabi Muhammad Saw dan Imam Ali As.Terdapat banyak hadis dari para Imam Maksum As tentang hal ini. [158] Di antaranya Rasulullah Saw bersabda, “Salman adalah bagian dari kami, Ahlulbait.” [159]
Malik Asytar Nakha’i, Malik bin Harits Abd Yaghuts Nakha’i yang terkenal dengan Malik Asytar lahir di Yaman. Ia adalah orang yang pertama kali berbaiat kepada Imam Ali As. Malik Asytar menjadi komandan perang pada perang Jamal, Shifin dan Nahrawan. [160]
Abu Dzar Ghifari, (Jundab bin Junadah) yang dikenal dengan nama Abu Dzar adalah orang keempat yang beriman kepada Nabi Muhammad Saw. [161]Setelah Nabi Muhammad wafat, ia adalah orang yang termasuk berdiri di barisan Imam Ali dan tidak berbaiat kepada Abu Bakar. [162]
Miqdad bin Amr (Miqdad bin Aswad Kandi) merupakan salah seorang dari tujuh sahabat yang beriman kepada Nabi Muhammad Saw dan memeluk agama Islam. Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, Miqdad adalah salah seorang yang tidak berbaiat kepada Abu Bakar dan ia selalu setia menyertai Imam Ali As ketika beliau menjalani masa diam selama 25 tahun. [163]
Kumail bin Ziyad, Kumail bin Ziyad al-Nakha’i termasuk salah seorang tabiin sahabat Rasulullah Saw dan sahabat setia Imam Ali As dan Imam Hasan As. [164] Ia adalah termasuk salah seorang penganut Syiah yang berbaiat kepada Imam Ali As pada masa-masa awal kekhalifahan Imam Ali As. Ia juga turut berperang dalam peperangan melawan musuh. [165] Ammar Yasir merupakan salah seorang yang pertama kali menyatakan keislamannya kepada Nabi Muhammad Saw dan termasuk salah satu kelompok yang pertama kali dari kaum Muslimin yang berhijrah ke Habasyah. Ia berhijrah ke Habasyah dan setelah Rasulullah Saw berhijrah ke Madinah, ia menggabungkan diri dengan Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw meninggal, ia tetap setia dan komitmen di jalan Ahlulbait dan Imam Ali As. Selama masa pemerintahan Umar bin Khatab untuk beberapa lama ia menjabat sebagai Gubernur di Kufah, namun karena ia adalah seorang yang adil dan hidup sederhana, beberapa orang menyiapkan kelengserannya. Kemudian ia kembali ke Madinah dan berada di samping Imam Ali As lalu mengambil ilmu dari beliau. [166]
Ibnu Abbas (Abdullah bin Abbas) adalah putra paman Nabi Muhammad Saw dan Imam Ali. Ibnu Abbas sangat banyak menukil hadis dari Nabi Muhammad Saw. [167] Ibnu Abbas selama masa pemerintahan para khalifah, berkeyakinan bahwa Imam Ali As mempunyai kelayakan akan kedudukan khilafah itu. Ia selama masa pemerintahan Imam Ali As turut serta dalam peperangan Jamal, Shifin dan Nahrawan dan menjadi gubernur Basrah atas perintah Imam Ali As. [168]
Muhammad bin Abu Bakar (putra Khalifah pertama). Ia lahir pada tahun ke-10 Hijriah. Ia berkeyakinan bahwa para khalifah sebelum Imam Ali As sejatinya telah melanggar hak kekhilafahan Imam Ali dan berkata bahwa tidak ada orang yang layak untuk menempati kedudukan khalifah kecuali Imam Ali As. [169] Ia turut ikut serta dan menolong Imam Ali dalam peperangan yang terjadi pada masa kekhlalifahannya: perang Jamal, perang Shiffin. Pada bulan Ramadhan tahun ke-36 H menjadi Gubernur di Mesir. Dan ia terbunuh ditangan pasukan Muawiyah pada bulan Shafar 38 H. [170]
Maitsam Tammar, Maitsam Tamar Asadi Kufi, merupakan sahabat setia Imam Ali As dan Imam Husain As. Ia termasuk anggota Syurtah al-Khamis (Lasykar Pembela Ali dan Keluarganya). Kelompok ini merupakan golongan yang bersumpah dengan Imam Ali sedemikian sehingga sampai titik akhir penghabisan akan menyertai dan menolong Imam Ali As. [171]
Uwais Qarni, Uwais bin Amir Muradi Qarni yang terkenal sangat zuhud. Ia beriman pada masa Nabi Muhammad Saw. [172] Uwais merupakan sahabat setia Imam Ali As dan berbaiat kepada beliau untuk setia selama hayat dikandung badan. Ia adalah penolong setia dan pembela Imam Ali As yang selalu hadir dalam peperangan yang terjadi. [173]
Zaid bin Shauhan adalah penolong setia Imam Ali yang selalu turut serta dalam peperangan yang terjadi pada masa kekhlaifahan Imam Ali As. Ia gugur syahid dalam perang Jamal oleh pasukan Nakitsin. [174]
Sa’sha’at bin Shauhan Abdi adalah sahabat Imam Ali yang ikut serta dalam peperangan yang terjadi pada masa kekhlaifahan Imam Ali As. [175] Ia termasuk orang-orang yang membaiat Imam Ali As segera setelah Umar meninggal. [176]

Telaah Lebih Jauh

Nahj al Balāgha, Terjemah Sayid Ja’far Syahidi, Teheran, Ilmi wa Farhanggi, 1378
Syahidi, Sayyid Ja’far, Ali az Zabān Ali, atau Zendegāni Amir al Mukminin Ali As, Teheran, Nasyar Farhang Islami, 1379

Catatan Kaki

  1. Jump up Al-Nasai, Al-Sunan al-Kubra, jld. 5, hlm. 107; Ibn Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 15; Muhammad Ibrahim, Tārikh Payāmbar Islām, revisi dan tambahan oleh Abul Qasim Garji, Teheran: Universitas Teheran, 1378, hlm. 65, foot note no. 2
  2. Jump up (QS Al-Maidah [5]: 67)
  3. Jump up (QS Al-Ahzab [33]: 33)
  4. Jump up Ibn Abil Futuh, hlm. 93; Suyuthi, Jalaluddin, Tārikh Khulafā, Lajnah min al-Udaba, Dar al Ta’awun Abbas Ahman al-Baz,Makkah al Mukarramah, hlm. 189.
  5. Jump up Majlisi, jld. 19, hlm. 59.
  6. Jump up Hakim Naisyaburi, jld. 19, hlm. 59.
  7. Jump up Ibn Abil Hadid, jld. 6, hlm. 8.
  8. Jump up Majlisi, jld. 42, hlm.290
  9. Jump up Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 16-17
  10. Jump up Nahj al-Balāgha, Terjemah Sayid Ja’far Syahidi, Khutbah 216, hlm. 248-250
  11. Jump up Ibn Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 1, hlm. 15
  12. Jump up Thusi, Mishbāh al-Mutahajjid, hlm. 812
  13. Jump up Mufid, Irsyād, jld. 1, hlm. 2.
  14. Jump up Majlisi, jld. 19, hlm. 57.
  15. Jump up Ibn Syahr Asyub, jld. 3, hlm. 321-334.
  16. Jump up Al-Mufid, Al-Irsyād, jld. 1, hlm. 5, Software Maktabah Ahlulbait, CD 2. Ungkapan Syaikh Mufid tentang kelahirannya: Lahir di Mekah di Baitul Haram (Ka’bah), Mas’udi (w. 346 H) terkait dengan kelahiran Imam Ali As menulis: Ia lahir di Ka’bah, Mas’udi, Muruj al-Dzahab wa Ma’adin al Juhar, jld. 2, Qum, Mansyurat Dar al Hijrah, 1363/1404/1984, hlm. 349.
  17. Jump up Amini, jld. 6, hlm. 21-23.
  18. Jump up Al-Mufid, Al-Irsyād, jld. 1, hlm. 9, Software Maktabah Ahlulbait CD 2.
  19. Jump up Ibnu Hisyam, jld. 1, hlm. 236, Majlisi, jld. 35, hlm. 118.
  20. Jump up Nahj al-Balāgha, Terjemah Sayid Ja’far Syahidi, Khutbah 192, hlm. 222.
  21. Jump up Amin, jld. 2, hlm. 13.
  22. Jump up Ibn Qutaibah, Al-Ma’ārif, Beirut, Dar al Kitab al ‘Alamiyah, 1507/1978, hlm. 121.
  23. Jump up Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 21.
  24. Jump up Al-Mufid, Al-Irsyād, hlm. 5, Software Maktabah Ahlulbait, CD 2.
  25. Jump up Majlisi, jld. 43, hlm. 125.
  26. Jump up Mufid, Masār al-Syiah, hlm. 17.
  27. Jump up Sayid Ibnu Thawus, hlm. 584.
  28. Jump up Mas’udi, Itsbāt al-Washiyah, hlm. 153.
  29. Jump up Rei Syahri, jld. 1, hlm. 108.
  30. Jump up Al-Mufid, Al-Irsyād, Qum, Sa’id bin Jubair, 1428 H, hlm. 270-271.
  31. Jump up Ibnu Sa’ad, jld. 3, hlm. 24.
  32. Jump up Baladzuri, jld. 1, hlm. 2883.
  33. Jump up Thabari, jld. 2, hlm. 148.
  34. Jump up Ibnu Hisyam, jld. 1, hlm. 708-713.
  35. Jump up Ibnu Atsir, Al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 2, hlm. 107.
  36. Jump up Ibnu Hisyam, jld. 3, hlm. 235.
  37. Jump up Thabari, jld. 2, hlm. 573-574.
  38. Jump up Majlisi, jld. 2, hlm. 216.
  39. Jump up Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 328.
  40. Jump up Muslim, jld. 15, hlm. 178-179.
  41. Jump up Mufid, Irsyād, hlm. 590.
  42. Jump up Ayati, Tārikh Payāmbar Islām, hlm. 459.
  43. Jump up Al-Zamakhsyari, Al-Kasyāf, jld. 3, hlm. 689.
  44. Jump up Ayati, Tārikh Payāmbar Islām, hlm. 481.
  45. Jump up Mufid, Irsyād, jld. 1, hlm. 156, Ibnu Hisyam, jld. 4, hlm. 163.
  46. Jump up (QS Al-Nisa [4]: 59)
  47. Jump up Kulaini, jld. 1, hlm. 189, Shaduq, Al-Hidāyah, hlm 31, Shaduq, Kamāl al-Din, hlm. 24, Hilli, jld. 1, hlm. 453, Majlisi, jld. 23, hlm. 89, Faidh Kasyani, Al-Haq al-Mubin, hlm. 4, Thabarsi, Jawāmi’ al-Jāmi’, jld. 1, hlm. 410, Huwaizi, jld. 2, hlm. 158, Thabathaba’i, jld. 4, hlm. 411.
  48. Jump up (QS.Al- Maidah [5]: 55)
  49. Jump up Qurthubi, jld. 6, hlm. 208, Thabathaba’i, jld. 6, hlm. 25, Fakhr Razi, jld. 12, hlm. 30, Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsur, jld. 3, hlm. 98.
  50. Jump up Qunduzi, hlm. 50.
  51. Jump up Ganji, Syafi’i, hlm. 205.
  52. Jump up Ibnu Maghazali, hlm. 16, Kulaini, jld. 1, hlm. 290, Thabarsi, Ihtijāj, jld. 1, hlm. 73, Ali bin Ibrahim, jld. 1, hlm. 173, Rasyid Ridha, jld. 6, hlm. 464-465.
  53. Jump up (QS Al-Maidah [5]: 67)
  54. Jump up Ibnu Maghazali, hlm. 24.
  55. Jump up Mufid, Irsyād, jld. 6, hlm. 8.
  56. Jump up Ibnu Abil Hadid, jld. 6, hlm. 8.
  57. Jump up Thusi, Talkhis al-Shāfi, Syahrastani, jld. 2, hlm. 95, Ibnu Qutaibah, jld. 2, hlm. 12.
  58. Jump up Halabi, jld. 3, hlm. 400, Ibnu Abil Hadid, jld. 16, hlm. 316.
  59. Jump up Ibnu Syahr Asyhub, jld. 1, hlm. 388.
  60. Jump up Pisywai, jld. 2, hlm. 191.
  61. Jump up Ibnu Qutaibah, jld. 1, hlm. 29-30, Majlisi, jld. 43, hlm. 70, Mir’āt al-Uqul, jld. 5, hlm. 320, Syahristani, jld. 1, hlm. 57.
  62. Jump up Ibnu Qutaibah, jld. 1, hlm. 28.
  63. Jump up Suyuthi, Al-Itqān, jld. 1, hlm. 99, Ibnu Nadim, hlm. 41-42, Sulaiman, hlm. 97, Faidh Kasyani, Tafsir Shāfi, jld. 1, hlm. 24.
  64. Jump up Ibnu Nadim, hlm. 41-42.
  65. Jump up Majlisi, jld. 89, hlm. 52.
  66. Jump up Ya’qubi, jld, 2, hlm. 11.
  67. Jump up Hakim Nisyaburi, Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, jld. 3, hlm. 14.
  68. Jump up Thabari, jld. 4, hlm. 429.
  69. Jump up Thabari, jld. 4, hlm. 427-431.
  70. Jump up Nahj al-Balāgha, Surat 53.
  71. Jump up Nahj al-Balāgha, khutbah 207.
  72. Jump up Nahj al-Balāgha, surat 51.
  73. Jump up Nahj al-Balāgha, surat 25.
  74. Jump up Nahj al-Balāgha, surat 53.
  75. Jump up Mahmudi, jld. 1, hlm. 224, Mufid, Ikhtishāsh. hlm. 151.
  76. Jump up Husaini, Dasyti, Sayid Musthafa, Maārif wa Ma’ārif, jld. 7, Teheran: Muasasah Farhanggi Arāyeh, 1379, hlm 457.
  77. Jump up Mas’udi, Itsbāt al-Wāshiyah, hlm. 185.
  78. Jump up Thabari, jld. 3, bag. 6, hlm. 90.
  79. Jump up Ibrahim bin Muhammad, jld. 2, hlm. 45.
  80. Jump up Qumi, jld. 2, hlm. 167.
  81. Jump up Nahj al-Balāgha, surat 45.
  82. Jump up Nahj al-Balāgha, hikmah 37.
  83. Jump up Ibnu Atsir, Al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 3, hlm. 318.
  84. Jump up Nahj al-Balāgha, hikmah 37.
  85. Jump up Nahj al-Balāgha, surat 53, hlm. 587.
  86. Jump up Nahj al-Balāgha, surat 53, hlm. 575.
  87. Jump up Nahj al-Balāgha, surat 53, hlm. 569.
  88. Jump up Dzakiri, hlm. 67.
  89. Jump up Zubaidi, jld, 3, hlm. 273.
  90. Jump up Thabari, jld. 4, hlm. 543.
  91. Jump up Nahj al-Balāgha, terjemahan Syahidi, hlm. 144-148.
  92. Jump up Thabari, jld. 4, hlm. 453.
  93. Jump up Nahj al-Balāghah , terjemah Sayid Ja’far Syahidi, khutbah 175, hlm. 180.
  94. Jump up Thabari, jld. 4, hlm. 3096, sesuai yang disampaikan oleh Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 84-85.
  95. Jump up Thabari, jld. 4, hlm. 451 dan 544; jld. 5, hlm. 150; Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 82-83 dan 108.
  96. Jump up Thabari, jld. 4, hlm. 454.
  97. Jump up Thabari, jld. 4, hlm. 507.
  98. Jump up Iskafi, jld 1, hlm. 6.
  99. Jump up Thabari, jld. 4, hlm. 511, Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 104.
  100. Jump up Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 104.
  101. Jump up Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 108.
  102. Jump up Ibid.
  103. Jump up Jauhari, jld. 3, hlm. 1152.
  104. Jump up Ya’qubi, jld. 2, hlm. 188, Khalifah, hlm. 191.
  105. Jump up Talkhish dari Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 113-121.
  106. Jump up Al-Mi’yār wa al Mawāzanah, hlm. 162, menukil dari Syahidi, Ali az Zabān Ali, hlm. 122.
  107. Jump up Ibnu Muzahim, hlm. 490.
  108. Jump up Ibnu A’tsam, jld. 3, hlm. 163.
  109. Jump up Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 129.
  110. Jump up Al-Syahristani, Al Milal wa al Nihal, Riset oleh: Muhammad bin Fathullah Badran, Qahirah, Al-Thaba’ah al Tsaniyah, jld. 1, hlm. 106-107.
  111. Jump up Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 132.
  112. Jump up Syahidi, Ali az Zabāne Ali, hlm. 133-134.
  113. Jump up Ja’fariyan, Guzideh Hayāt Siyāsi wa Fikri Imāmān Syi’ah, Qum, Daftar Nasyar Ma’arif. 1391, hlm. 53-54.
  114. Jump up Ja’fariyan, Rasul, Guzideh Hayāt Siyāsi wa Fikri Imāmān Syi’ah, hlm. 55.
  115. Jump up Al-Mufid, Muhammad bin Muhammad Nu’man, Al-Irsyād, Qum, Sa’id bin Jabir, 1428, hlm. 27-28.
  116. Jump up Abdu Karim Ahmad Thawus, Farhah al-Ghura, hlm. 93, Majlisi, Bihār, jld. 42, hlm. 222, dinukil dari Muqadasi, Yadullah, Bāzpazuhi Tārikh Wilādat wa Syahādat Ma’shumān (As), Qum, Pazyuhisygah Ulum Farhang Islami, 1391, hlm. 239-240.
  117. Jump up Majlisi, jld. 36, hlm. 5.
  118. Jump up Majlisi, jld, 42, hlm. 290.
  119. Jump up Majlisi, jld, 42, hlm. 290.
  120. Jump up Majlisi, jld, 42, hlm. 338, Qutb Rawandi, Al Kharāj wa al Kharāih, jld. 1, hlm. 234, Mufid, Irsyād, jld. 1, hlm. 10.
  121. Jump up Mufid, Irsyād, hlm. 13.
  122. Jump up Ganji, Syafi’i, hlm. 231, Haitsami, hlm. 76, Qunduzi, hlm. 126.
  123. Jump up (QS. Ali Imran [3]: 61 )
  124. Jump up Suyuthi, Al-Durr al-Mantsur, pembahasan terkait dengan ayat 61, surat Ali Imran, Zamakhsyari, pembahasan terkait dengan ayat 61 surat Ali Imran, Thabarsi, Majma’ al-Bāyan, pembahasan terkait dengan ayat 61 Ali Imran, Thabathabai, pembahasan terkait dengan ayat 61 surat Ali Imran.
  125. Jump up (QS. Al-Ahzab [33]:33)
  126. Jump up Ibnu Babawaih, jld. 2, hlm. 403, Sayid Qutb, jld. 6m hlm. 586, Thabarsi, Majma al Bāyan, jld. 8, hlm. 559.
  127. Jump up (QS Al-Syura [42]: 23)
  128. Jump up Majlisi, jld. 23, hlm. 233.
  129. Jump up Amini, jld. 3, hlm. 191-213.
  130. Jump up Hakim Naisyaburi, jld. 3, hlm. 136.
  131. Jump up Ahmad Hanbal, jld. 5, hlm. 26.
  132. Jump up Ibnu Hisyam, jld. 1, hlm. 480.
  133. Jump up Ibnu Atsir, Al-Kāmil fi al-Tārikh, jld. 2, hlm. 72, Majlisi, jld, 19, dan 59.
  134. Jump up (QS Al-Baqarah [2]: 207)
  135. Jump up Fakhr al-Razi, jld. 5, hlm. 223, Hakim Huskani, jld. 1, hlm. 96, Ali bin Ibrahim, hlm. 61, Thabathabai, jld. 2, hlm. 150.
  136. Jump up Ibnu Abd Barr, Al-Isti’āb, menukil dari Amin, A’yān al-Syi’ah, Berut, Dar al Ta’arif lil Mathbu’at, 1418/1998, jld. 2, hlm. 27.
  137. Jump up Amini, jld. 3, hlm. 140, Susytari, Ihqāq al-Haq, jld. 5, hlm. 522.
  138. Jump up Ibnu Hisyam, jld. 4, hlm. 545.
  139. Jump up Thabari, jld. 6, bag. 10, Ibnu Hisyam, jld. 4, hlm. 188-190.
  140. Jump up Bahrani, bab 360.
  141. Jump up Muttaqi Hindi, jld. 6, hlm. 155.
  142. Jump up Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj Balāghah, jld. 1, hlm. 16-17, yang dinukil dari terjemah ibarat Ibnu Abil Hadid dari kitab Ma’ārif wa Maārif karya Sayid Musthafa Husaini Dasyti, pada pembahasan tentang Ali bin Abi Thalib.
  143. Jump up Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj Balāghah, jld. 1, hlm. 17.
  144. Jump up Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 18.
  145. Jump up Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 19.
  146. Jump up Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 20.
  147. Jump up Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 24.
  148. Jump up Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 21-22.
  149. Jump up Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 1, hlm. 22-24.
  150. Jump up Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 25.
  151. Jump up Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 20-21.
  152. Jump up Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 27.
  153. Jump up Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāgha, jld. 1, hlm. 26.
  154. Jump up Dhamiri, hlm. 365-367
  155. Jump up Dhamiri, hlm. 375.
  156. Jump up Nuri, jld. 3, hlm 367.
  157. Jump up Qadhi Qadha’i, Mukaddimah Kitab.
  158. Jump up Majlisi, jld. 22, hlm. 343.
  159. Jump up Shaduq, Uyun Akhbār al Ridhā, jld. 1, hlm. 70.
  160. Jump up Nahj al-Balāgha, terjemah Muh, Dasyti, hlm. 565.
  161. Jump up Ibnu Sa’d, jld. 4, hlm. 224.
  162. Jump up Dāirah al-Māarif Tasyayu’, jld. 1, pembahasan tentang Abu Dzar.
  163. Jump up Ya’qubi, jld. 1, hlm. 524.
  164. Jump up Qutbuddin Rawandi, Minhāj al-Barā’ah, jld. 21, hlm. 219, Mufid, Ikhtishāsh, hlm. 6.
  165. Jump up Mufid, Ikhtishāsh,hlm. 108.
  166. Jump up Kumpani, hlm. 108.
  167. Jump up Mufid, Amāli, hlm. 140.
  168. Jump up Mufid, Jamal, hlm. 265, Ibnu Muzahim, hlm. 410, Ibnu Abil Hadid, jld, 2, hlm. 273.
  169. Jump up Susytari, Qāmus Rijāl, jld. 7, hlm. 495 dan jld, 6 hlm 293.
  170. Jump up Ibrahim Muhammad, jld, 1, hlm. 224 dan 285; Zirkili, jld. 6, hlm. 220.
  171. Jump up Barki, hlm.3.
  172. Jump up Ibnu Atsir, Usd al-Ghābah, jld. 1, hlm. 179.
  173. Jump up Ibnu Atsir, Usd al-Ghābah, jld. 1, hlm. 179.
  174. Jump up Mufid, Jamal, hlm. 59.
  175. Jump up Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 1, 289.
  176. Jump up Ya’qubi, jld. 2, hlm. 179.


Daftar Pustaka

  • Al-Quran Karim
  • Nahjul Balāgha, terjemah Sayid Ja’far Syahidi, Ilmi wa Farhanggi, 1378
  • Ayati, Muhammad Ibrahim, Tārikh Payāmbar Islām, Revisi Abul Qasim Karaji, Teheran: Universitas Tehetan, 1378
  • Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Bālagha, Muhammad Abul Fadhil Ibrahim, Dar Ahya al-Kitab al-‘Arabiyah, Qum, Mansyurat Maktabah Ayatullah Uzhma Mar’asyi Najafi, 1404 (yang ada pada software Maktabah Ahlulbait CD 2)
  • Ibnu Abil Futuh Arbeli, Kasyf al-Ghummah, Dar al Adhwa’, Beirut.
  • Ibnu Atsir, Usd al-Ghābah, Riset oleh Muhammad Ibrahim Bina, al-Syu’ab, Kairo.
  • Ibnu Atsir, Al-Kāmil fi al-Tārikh, Dar Shadir, Beirut.
  • Ahman Hanbal Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, Dar Ahya Al-Turats al-Arabi, Beirut
  • Ibnu Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyah, Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Majid, Maktab Muhammad Ali Shahih, Kairo.
  • Ibnu Abd Al-Bar, Al-Isti’āb, Riset oleh Ali Muhammad Bajawi, Beirut
  • Ibnu Babawaihi, Al-Khishāl, Ali Akbar Ghifari, Jami’ Mudarisin, Qum
  • Amin, Sirah Ma’shumān, terjemah Ali Hujati, Intisyarat Syurusy, Kairo
  • Ahmad bin Abdullah Thabari, Dakhāir al-‘Uqba, Makthabah Ilamiyah, Teheran
  • Ibnu Maghazali, Manāqib Ali bin Abi Thālib, Maktabah Islamiyah, Teheran
  • Ibnu Syahr Asyub, Syarh Nahj al-Balāgha, Riset oleh Muhammad ABul Fadzl Ibrahim, Dar Ahya Kitab al-Arabiyah, Kairo.
  • Ibn Faqih Hamedani, Akhbār al-Buldān, Riset oleh Yusuf al-Hadi, Alim al-Kitab, Beirut
  • Ibrahim bin Muhammad Tsaqafi, Alghārāt, Riset oleh Armi.
  • Iskafi, Al-Mi’yār wa al-Mawāzinah fi Fadhāil Amir al-Mukminin ‘Ali bin Abi Thālib, Muhammad Baqir Mahmudi, Beirut.
  • Ibnu A’tsam, Al-Futuh, Dar al Nudwah, Beirut.
  • Ibnu Muzahim, Waq’at Shiffin, Intisyarat Bashirati, Qum.
  • Abi Abu Sa’ad, Wizārah al-Tsaqafah, Suriah, Damaskus.
  • Asy’ari, Maqālāt al-Islāmiyyin, Dar al Nasyr, Beirut.
  • Abul Faraj Isfahani, Maqātil al-Thālibin, Riset oleh Kadhim Mudzafar, Maktabah Haidariyah, Najaf.
  • Ibnu Shabagh Maliki, Al-Fushul al-Muhimmah, Riset oleh Sami al-Ghuraizi, Dar al Hadits, Qum.
  • Ibnu Sa’d, Thabaqāt al-Kubra, Dar Shadir, Beirut.
  • Ibnu Qutaibah Dinwari, al-Imāmah wa-al-Siyāsah, Riset oleh Ali Syiri, Qum. Syarif Radhi, 1413/1371.
  • Al-Amin, Sayid Hasan, A’yān al-Syi’ah, jld. 2,Riset oleh Sayid Hasan Al-Amin, Beirut, Dar al Ta’arif wa al-Mathbu’at, 1418/1998.
  • Al-Nasai, Al-Sunan al-Kubra, jld. 5, Thakik Dr ‘Abdul Ghafar Sulaiman al-Bandari dan Sarid Kusrui Hasan, Beirut, Dar al Kitab al-Ilmiyah, 1411/1991.
  • Bahrani, Ghāyah al-Marām, Riset oleh Sayid Ali ‘Asyur, Muasasah Tarikh al-Arabi Beirut.
  • Burqi, Rijāl Burqi, Riset oleh , Muhadits Urmui, Universitas Teheran, Teheran.
  • Al-Baladzuri, Ahmad bin Yahya bin Jabir, Ansāb al-Asyraf, Riset oleh Muhammad Baqir Mahmudi, Beirut, Muasasah Al A’lami lil Mathbu’at, 1974/1394.
  • Pisywai, Sirah Pisywāyān, Intisyarat Tauhid, Qum.
  • Jauhari, Al-Shihāh, Riset oleh Ahmad ‘Abdul Ghafur, Dar al-Ilmi lil Malamin, Beirut.
  • Ja’fariyan, Tārikh Khulafā, Intisyarat Dalil Ma, Qum.
  • Hakim Naisyaburi, Al-Mustadrak, Riset oleh Yusuf Abdul Rahman Ma’asyli
  • Hakim Huskani, Syawāhid al-Tanzil, Riset oleh Muhammad Baqir Mahmudi, Wezarat Irsyad Islami, Teheran
  • Hilli, Tadzkirah al-Fuqaha, Muasasah Ali al Bait, Qum
  • Khamuni, Juwaini, Farāidh al-Simthain, Riset oleh Muhammad Baqir Mahmudi, Muasasah Mahmudi, Beirut.
  • Halabi, Al-Sirah al-Halabiyah, Dar al-Ma’rifah, Beirut
  • Huwaizi, Tafsir Nur al-Tsaqalain, Riset oleh Rasul Mahalati, Muasasah Isma’iliyan, Qum
  • Khalifah bin Hayath al-‘Ashfari, Tārikh Khalifah bin Hayāth, Riset oleh Sahil Zakar, Dar al-Fikr, Beirut
  • Dzakiri, Simāi Karguzārān Imām Ali As, Intisyarat Daftar Tablighat, Qum
  • Rey Syahri, Mausu’ah al-Imām Ali bin Abi Thalib, Dar al-Hadits, Qum
  • Rasyid Ridha, Tafsir al-Manār, Dar al-Ma’rifah, Beirut
  • Zamakhsyari, Al-Kassyāf ‘an Haqāiq al-Tanzil, Maktabah al-Babi Halabi, Kairo
  • Thabari, Tārikh Thabari, Muasasah A’lami, Beirut
  • Zubaidi, Tāj al-‘Ārus, Riset oleh Ali Syiri, Dar al-Fikri, Beirut
  • Zarkili, Al-I’lām, Dar l ‘Ilm lil Malamin. Beirut
  • Sayid Ibn Thawus, Iqbāl al-A’māl, Riset oleh Jawad Quyumi, Maktab I’lam al-Islami
  • Sayid Qutb, Fi Zhilāl al-Qur’an, Dar al Syuruq, Beirut
  • Suyuthi, Al-Durr al-Mantsur, Dar Ma’rifah, Beirut
  • Suyuthi, Al-Itqān fi 'Ulum al-Qur’ān, Riset oleh Sa’id Mandub, Dar al-Fikr, Beirut
  • Sulaiman bin Abdul Wahab, Fashl al-Khitāb, Nukhbah al-Akhbar, Bombai.
  • Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Riset oleh Muhammad Sayid Kilani, Dar al-Ma’rifah, Beirut.
  • Susytari, Ihqāq al-Haq, Maktabah, Ayatullah Mar’asyi, Qum.
  • Susytari, Majālis al-Mukminin, Kitab Furusyi Islamiyah, Teheran.
  • Syahidi, Sayid Ja’far, Ali az Zabān Ali, atau Zendegi Amirul Mukminin Ali As, Teheran, Nasyar Farhang Islami, 1379.
  • Shaduq, Al-Hidāyah, Al-Hadi, Qum.
  • Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridhā, Intanisyar A’lami, Teheran.
  • Shaduq, Kamāl al-Din, Riset oleh Ali Akbar Ghifari, Jamiah Mudarisin, Qum.
  • Dhamiri, Kitābsyenāsi Tafshili Madzāhib Islami, Muasasah Amuzesy Pazuhesyi Madzahib Islami, Qum.
  • Thabarsi, Ihtijāj, Nasyar Murthadha, Masyhad.
  • Thabarsi, Majma al-Bāyan, Muasasah A’lami, Beirut.
  • Thabarsi, Jawāmi’ al Jāmi’, Riset oleh Muasasah Nasyar Islami, Jamiah Mudarisin, Qum.
  • Thabari, Tārikh Thabari, Muasasah A’lami, Beirut.
  • Thabathabai, Al-Mizān, Jamiah Mudarisin, Qum.
  • Thusi, Mishbāh al-Mutahajjid, Muasasah Fiqh Syi’ah, Beirut.
  • Thusi, Talkhish al-Shāfi, Riset oleh Sayid Husain Bahrul Ulu, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Teheran.
  • Al-Qumi, Ali bin Ibrahim, Tafsir al-Qummi, Riset oleh Sayid Thaib Musawi, Dar al Kitab, Qum.
  • Al-Qumi, Faidz Kasyani, Al-Haq al-Mubin, Riset oleh Sayid Thaib Musawi, Dar al Kitab, Qum.
  • Faidh Kasyani, Tafsir al-Shāfi, Muasasah al-Hadi, Qum.
  • Fahr al-Razi, Tafsir al-Rāzi, Dar Ihya al-Tarats, Beirut.
  • Qadhi Qadha’i, Dastur Ma’ālim al-Hukm, Terjemah Firuz Harichi, Universitas Ulumul Hadist, Qum.
  • Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Riset oleh Ahmad Abdul ‘Alim, Dar Ihya al-Tarats, Beirut.
  • Qunduzi,Yanābi’ al-Mawaddah, Riset oleh Sayid Ali Jamal Asyraf, Dar al-Aswah, Teheran.
  • Qumi, Safinah al-Bihār, Kitabkhaneh Shanai, Teheran.
  • Kulaini, Al-Kāfi, Riset oleh Ali Akbar Ghifari, Dar al-Kutub Islamiyah, Teheran
  • Kumpani, Ali Kist?, Dar al-Kutub Islamiyah, Teheran
  • Ganji Syafi’i, Kifāyah al-Thālib, Dar al-Thalib al-Tarats, Beirut.
  • Muttaqi Hindi, Kanz al-’Ummal, Muasasah al-Risalah, Beirut.
  • Mahmudi, Nahj al-Sa’ādah fi Mustadrak Nahj al-Balāgha, Muasasah A’lami, Beirut.
  • Mas’udi, Itsbāt al Washayah lil Imam Ali bin Abi Thalib, Dar al Adhwa, Beirut.
  • Muslim Naisyaburi, Shahih Muslim, Dar al Fikri, Beirut
  • Mahmudi, Nahj al-Sa’ādah fi Mustadrak Nahj al-Balāgha, Muasasah A’lami, Beirut.
  • Majlisi, Mir'āt al-Uqul, Dar al Kitab Islamiyah, Teheran.
  • Majlisi, Bihār al-Anwār, Muasasah al Wafa, Beirut.
  • Mas’udi, Muruj al-Dzahab wa Ma’ādin al-Jawāhir, Terjemah Abul Qasim Paibandih, Intisyarat Ilmi wa Farhanggi, Teheran.
  • Mufid, Jamal, Terjemah Mahdawi Damghani, Nasyar Nei, Teheran.
  • Mufid, Āmāli, Riset oleh Ali Akbar Ghaffari, Dar al-Mufid, Beirut.
  • Mufid, Ikhtishāsh, Riset oleh Ali Akbar Ghaffari, Dar al-Mufid, Beirut.
  • Mufid, Irsyād, Muasasah Ali al-Bait, Qum.
  • Nuri, Mustadrak al-Wasāil, Muasasah Alu al-Bait, Beirut.
  • Nahj al-Balāgha, Subhi Salehi.
  • Waqidi, Al-Maghāzi, Alim al-Kitab, Beirut.
  • Haitsami, Al-Shawāiq al-Muhriqah, al-Maktab al-‘Ashriyah, Beirut.
  • Ya’qubi (Ibn Wadhih), Ahmad bin Abi Ya’qubi, Tārikh Ya’qubi, Terjemah Muhammad Ibrahim Ayati, Banggah Tarjumeh wa Nasyar Kitab, 1378 S.

Terkait Berita: