Persiapan Muawiyah .
Pemindahan ibukota pemerintahan Islam oleh Ali bin Abi Thalib ke
Kufah sangat menggusarkan Muawiyah bin Abu Sufyan, sebab dia melihat
bahwa pemindahan itu dengan maksud menyatukan negara Islam dan membangun
kekuatan Islam berdasarkan Al-Quran dan Sunah Nabi saw. Reaksi pertama
yang dilakukannya ialah meminta bantuan Amr bin Ash sebagai
konsultannya, karena Amr terkenal dengan tipu muslihatnya, terutama
adanya kesamaan dalam membenci Islam dan Ali bin Abi Thalib.
Setelah menerima
surat Muawiyah, Amr bin Ash tidak membuang-buang waktu. Selama ini yang
menjadi keinginan Amr adalah ketamakannya kepada dunia. Ia tidak
menganggap penting agama, sekalipun dapat menjaminnya masuk surga.
Sesaat ketika tiba
di Syam, Amr bin Ash langsung melakukan siasat awalnya, yaitu
membohongi masyarakat dengan menangis tersedu-sedu seperti seorang
wanita menangisi keluarga terdekatnya yang meninggal. Setelah menyusun
rencana tipu muslihat, Muawiyah dan Amr tawar menawar harga yang harus
diterima. Amr memberikan syarat; bila rencananya berhasil dalam
menghadapi Ali bin Abi Thalib, ia menjadi gubernur di Mesir. Muawiyah
menerima syarat tersebut dan membuat surat perjanjian.
Dari kesepakatan
itu mereka menyiapkan rencana dan taktik menghadapi dan menjatuhkan Ali
bin Abi Thalib a.s. Seperti biasa, rencana dan taktik yang akan diambil
tidak jauh dari tipu muslihat. Tanpa tipu muslihat, mereka tidak akan
mencapai tujuannya dan gagal menghadapi Ali selaku pewaris sejati
kekhalifahan dan pembawa bendera kebenaran dan keadilan.
Mereka sepakat
untuk memanfaatkan baju Utsman bin Affan; orang yang sebelumnya sengaja
ditinggalkannya sampai terbunuh. Baju Utsman ini dipakai untuk mengecoh
emosi dan akal masyarakat yang tidak sadar. Mereka berdua mengangkat
baju Utsman bin Affan di atas mimbar-mimbar setelah dibawa ke Syam oleh
Nu’man bin Basyir. Ketika orang-orang melihat baju Utsman yang
dikenakannya ketika ia dibunuh, serentak mereka menangis tersedu-sedu.
Tanpa disadari, rasa kebencian menguat dan membara di dada mereka.
Mereka menjadi seoleh-oleh buta akan petunjuk dan kebenaran.
Muawiyah
membutuhkan dukungan yang lebih kuat dari masyarakat. Untuk itu, Amr bin
Ash menggunakan rencana lain lagi. Dia memanfaatkan Syarahbil bin Samth
Al-Kindi sebagai provokator awal. Syarahbil dikenal sebagai orang yang
banyak ibadah dan ditokohkan oleh kabilah-kabilah Syam. Syarahbil
membenci Jarir selaku utusan Ali bin Abi Thalib yang datang ke Syam
menemui Muawiyah. Sifat yang membuat Syarahbil mudah dimanfaatkan oleh
Amr ialah karena ia tidak mendapatkan informasi dari sumber-sumber
langsung. Hasutan ini berlangsung sempurna karena Syarahbil ternyata
menuntut Muawiyah untuk membalas dendam atas darah Utsman bin Affan.
Tanpa sadar ia telah menjadi alat cuma-cuma di tangan Muawiyah untuk
mempengaruhi masyarakat dalam rangka memerangi Ali bin Abi Thalib.
Menguasai Sungai Furat.
Setelah mobilisasi warga Syam untuk berperang, Muawiyah meminta
baiat dari mereka dan menulis surat kepada Ali bin Abi Thalib a.s. untuk
menantangnya berperang yang dibawa oleh Jarir; seorang yang taat kepada
Ali. Kemudian Muawiyah membawa pasukannya dengan cepat bergerak ke
dataran yang lebih tinggi dari sungai Furat; di lembah yang bernama
Shiffin. Ia sengaja menduduki tempat itu untuk menahan Ali bin Abi
Thalib dan pasukannya dari air sungai Furat.
Dalam strategi
perang Muawiyah, menguasai daerah sungai Furat adalah kemenangan
pertama. Dan benar demikian; keterlambatan Ali bin Abi Thalib sampai di
daerah itu memaksanya meminta kepada Muawiyah untuk membiarkan
pasukannya meminum air sungai Furat. Permintaan Ali itu ditolak
mentah-mentah olehnya.
Rasa haus mencekik
pasukan Ali yang sebagian besar mereka terdiri dari orang Irak. Keadaan
ini semakin mempersulit dirinya, karena mereka menuntut untuk tidak
perlu lagi mengambil posisi bertahan di hadapan pasukan Muawiyah.
Akhirnya, Ali bin Abi Thalib memberi izin kepada pasukannya untuk
menyerang pasukan Muawiyah yang berada di pinggiran sungai. Serangan itu
berhasil mengusir kekuatan Muawiyah dari daerah itu.
Kini, pasukan Ali
bin Abi Thalib a.s. menguasai sungai Furat. Ternyata, ia tidak melakukan
pembalasan dengan melakukan cara yang telah digunakan oleh Muawiyah.
Ali a.s. memperkenankan pasukan Muawiyah untuk mengambil air dari sungai
Furat.
Usaha Perdamaian
Ali bin Abi Thalib
telah berusaha untuk terus melayangkan surat dalam rangka melakukan
rekonsiliasi guna mencari jalan keluar dari konfrontasi militer, bahkan
ia telah membuka beberapa kanal yang dapat menampung maksud Muawiyah
agar tetap setia pada baiatnya. Namun demikian, Muawiyah bersikeras
untuk memeranginya. Ia mantap dengan niatnya untuk menghancurkan Ali dan
pasukannya dengan segala cara.
Melihat itu, Ali
bin Abi Thalib belum putus asa untuk tercapainya perdamaian kedua
pasukan. Setelah menguasai sungai Furat, ia mengusulkan agar dilakukan
gencatan senjata sementara. Dan ia memanfaatkan kondisi ini dengan
mengirim beberapa utusan kepada Muawiyah. Para utusan itu adalah Basyir
bin Muhsin Al-Anshari, Said bin Qais Al-Hamadani dan Syibts bin Rub’i
At-Tamimi. Ali bin Abi Thalib berpesan kepada mereka: “Temui lelaki itu
(Muawiyah) dan ajaklah ia kepada Allah, ketaatan dan jama’ah
(persatuan)!”.
Namun, jawaban
Muawiyah lagi-lagi pedang dan perang. Kepada para utusan Ia mengatakan:
“Enyahlah kalian dari sisiku. Antara kita tidak ada lagi yang tersisa
selain pedang”.
Perang Pasca Gencatan Senjata.
Telah terjadi kontak senjata sporadis antara kedua pasukan sebelum
menjadi peperangan besar. Segera setelah itu kedua pasukan berbaris
dengan kekuatan penuh, saling berhadapan. Perang pun pecah dan terhenti
ketika memasuki bulan Muharam tahun 37 H. Segera gencatan senjata
disepakati untuk kedua kalinya.
Selama gencatan
ini, Ali bin Abi Thalib berusaha untuk mencapai perdamaian dengan
Muawiyah. Strateginya adalah mengajak untuk duduk berdamai, menyatukan
kalimat dan tidak menumpahkan darah muslimin. Sementara itu, Muawiyah
mengajak pasukan Ali untuk mencampakkan baiat mereka kepadanya sekaligus
menuntut darah Utsman bin Affan.
Gencatan senjata
berlangsung selama satu bulan penuh. Perang kecil-kecilan yang terjadi
cukup lama mengakibatkan kedua belah pasukan mengalami kelelahan.
Kemudian Ali bin Abi Thalib a.s. menyiapkan pasukannya untuk peperangan
besar, hal yang sama juga dilakukan oleh Muawiyah. Kembali kedua pasukan
saling berhadapan dan siap memulai peperangan yang sangat hebat dan
mencekam.
Kepada pasukan, Ali
senantiasa berpesan: “Jangan kalian membunuh musuh sebelum mereka
melakukannya terlebih dahulu. Alhamdulillah kalian berada di atas
kebenaran”. Ia melanjutkan: “Bila mereka memerangi kalian, pasti kalian
dapat mengalahkan mereka. Jangan membunuh panglima, orang yang terluka!
Jangan pula membuka aurat dan berpura-pura mati!”.
Peperangan terus
berlanjut. Ada yang melarikan diri dari medan pertempuran, ada pula yang
masih banyak tinggal dan bertempur. Jumlah yang mati dan terluka dari
kedua belah pihak sangat banyak; mencapai angka puluhan ribu.
Kematian Ammar bin Yasir
Diriwayatkan bahwa
Ammar bin Yasir keluar dari barisan pasukan dan berkata: “Sesungguhnya
aku melihat wajah-wajah yang senantiasa saling membunuh sehingga para
penumpas kebatilan mulai ragu. Demi Allah! Seandainya kami berhasil
mengalahkan musuh, mereka bagaikan orang-orang yang berpenyakit kurap
yang ditelantarkan. Kami melakukan perang atas dasar kebenaran,
sementara mereka ata dasar kebatilan”. Setelah itu, Ammar maju ke depan
dan menyerang pasukan Muawiyah sambil melantunkan syair:
Sebelumnya kami perangi mereka karena tanzil (dzahir wahyu)
Kini kami perangi mereka karena takwil (batin wahyu)
Perang yang melenyapkan angan-angan dari orangnya
Yang membinasakan kecintaan dari sang pecinta
Atau kebenaran kembali di atas jalannya
Ammar
bin Yasir yang terkenal dengan kebenaran, ketulusan dan keberanian
terus maju dan menerobos pertahanan musuh. Anak-anak panah telah
menghunjam di tubuhnya, sampai akhirnya Abu Adiyah dan Ibnu Jun
As-Siksiki menikamnya sehingga menemui ajal. Ketika berada di atas
kepala Ammar, dua orang ini berselisih tentang siapa yang akan memenggal
dan mengirimkannya kepada Muawiyah, sementara Abdullah bin Amr bin Ash
sedang duduk di tempat kejadian. Ia menukas: “Berusahalah kalian berdua
menunjukkan budi pekerti yang baik kepada tuannya. Aku pernah mendengar
Rasulullah saw. berkata kepada Ammar bin Yasir: ‘Wahai Ammar! Sekelompok
orang yang zalim akan membunuhmu”.
Adapun Ali bin Abi
Thalib a.s. sangat resah ketika Ammar bin Yasir muncul ke medan perang.
Ia tak henti-hentinya menanyakan keadaan Ammar, sampai akhirnya
orang-orang memberitakan kesahidannya. Mendengar itu, Ali a.s. segera
menuju tempat terbunuhnya Ammar. Ia tampak begitu sedih dan menitikkan
air matanya. Telah berpisah darinya seorang penolong setia, pemberi
nasihat dan saudara yang tepercaya. Kemudian ia menyalati dan
mengebumikannya.
Berita kematian
Ammar bin Yasir menyebar ke dua belah pihak. Menghadapi berita itu,
pasukan Muawiyah mulai gentar dan ragu, karena mereka tahu ihwal Ammar
dan hadis Rasulullah saw. tentang kematiannya. Namun, krisis itu tidak
berlangsung lama karena lagi-lagi tipu muslihat Muawiyah mampu
meredamnya. Itu dipermudah dengan keluguan bala tentaranya. Muawiyah
meyakinkan mereka bahwasanya yang membunuh Ammar adalah mereka yang
membawanya ke medan perang. Ironisnya, orang-orang Syam yang lugu itu
malah mempercayainya.
Diriwayatkan bahwa
kabar tipu muslihat yang diberitakan oleh Muawiyah akhirnya sampai ke
telinga Ali bin Abi Thalib dan akhirnya beliau berkata, ‘Kami juga yang
membunuh Hamzah karena mengajaknya ikut perang di Uhud?
Muslihat di Balik Angkat Mushaf.
Peperangan berlanjut berhari-hari. Tampak pasukan Ali bin Abi Thalib
a.s. masih menyimpan ketabahan dan ketegaran, karena tujuan mereka
adalah memperjuangkan kebenaran. Lalu Ali a.s. berpidato dan memberi
semangat kepada pasukannya untuk terus berjihad di jalan Allah. Ia
mengatakan: “Wahai para sahabatku! Kalian telah sampai pada tujuan
kalian, dan itulah musuh seperti yang kalian lihat. Yang tersisa dari
mereka adalah nafas terakhir. Jika situasi perang ini berbalik, maka
yang akhir akan berubah menjadi awal. Mereka telah bersabar melakukan
peperangan melawan kita, walaupun tidak di jalan agama. Sementara jihad
yang kita lakukan telah melibas mereka. Dan besok, dini pagi, aku akan
menghakimi mereka atas dasar hukum Allah.”
Kabar pidato Ali
bin Abi Thalib itu terdengar oleh Muawiyah. Ia melihat kekalahan sudah
di depan mata pasukannya. Segera ia memanggil Amr bin Ash sebagai
konsultannya agar mencarikan rencana peperangan esok hari. Ia berkata
kepada Amr: “Sekarang ini malam, bila besok pagi kita belum punya
rencana, Ali akan mengalahkan kita. Apa pendapatmu?”
Amr bin Ash
berkata: “Menurutku, pasukanmu sudah tidak seperti bala tentara Ali, dan
kau juga bukan dia. Ali akan memerangimu karena kebenaran, sedangkan
kau memeranginya karena perkara lain. Kau berperang untuk tetap hidup,
tetapi dia berperang agar cepat mati. Orang-orang Irak takut kepadamu
bila kau memenangkan peperangan ini. Sementara penduduk Syam tidak takut
bila Ali yang memenangkan peperangan ini. Sekarang, lemparkan sebuah
isu yang bila diterima oleh pasukan Ali sekaligus membuat mereka
berselisih satu dengan lainnya, dan bila mereka menolaknya, tetap saja
dampaknya sama; mereka akan berselisih. Ajak mereka untuk meletakkan
Al-Quran sebagai pemutus dan hakim antara engkau dan mereka”.
Muawiyah segera
memerintahkan pasukannya untuk mengangkat mushaf (kitab) Al-Quran ke
atas dengan cara menancapkannya di ujung tombak. Orang-orang Syam
kemudian berteriak memanggil seterunya dari Irak: “Wahai orang-orang
Irak! Ini adalah Kitab Allah di antara kami dan kalian, lengkap dari
awal hingga akhir ayat. Siapakah di belakang Al-Quran yang berada di
dalam lobang orang-orang Syam, dan siapa pula di belakangnya yang berada
di lobang orang-orang Irak?”
Seruan yang penuh
dengan tipu muslihat ini bagaikan petir yang menyambar kepala pasukan
Ali bin Abi Thalib a.s. Keadaan mulai tidak tenang, timbul bisik-bisik
di sana sini. Akhirnya, mereka pun terpengaruh dengan seruan tersebut
dan mengatakan: “Kami akan menyambut seruan itu dan mengikutinya. Kami
akan kembali kepada Al-Quran”. Dari pasukan Ali yang paling getol
mengampanyekan seruan tersebut ialah seorang komandan yang bernama
Al-Asy’ats bin Qais.
Menyaksikan keadaan
yang semakin kacau dan tak terkendali, Ali bin Abi Thalib a.s. berkata
kepada mereka: “Wahai hamba-hamba Allah! Lanjutkan rencana kalian
sebagai hak kalian yang berada di atas kebenaran, dan perangi
musuh-musuh kalian. Muawiyah, Amr bin Ash, Ibnu Abi Mu’ith, Habib bin
Abi Maslamah dan Ibnu Abi Sarh serta Ad-Dhahhak bukanlah orang yang
teguh pada agama dan Al-Quran. Aku lebih mengenal mereka daripada
kalian. Aku telah mengenal mereka sejak masih kecil sampai besar dan
tua. Sejak masa kanak-kanak, mereka adalah orang-orang yang tidak baik.
Aku ingin mengingatkan kalian, demi Allah, bahwa tujuan mereka
mengangkat Al-Quran hanyalah untuk menipu dan melemahkan kalian. Kalimat
yang mereka ucapkan memang benar, namun maksud ucapan mereka adalah
kebatilan”.
Mayoritas orang
Irak itu berkata kepada Ali bin Abi Thalib dengan memanggil namanya:
“Wahai Ali! Kabulkan keinginan mereka sesuai dengan Kitab Allah bila
engkau diajak untuk berpegang padanya. Seandainya kau menolak seruan
tersebut, kami akan meninggalkanmu seorang diri dan berperanglah dengan
mereka, atau kami akan melakukan sebagaimana yang telah dilakukan
terhadap Utsman bin Affan!”
Ali bin Abi Thalib
a.s. tidak dapat berbuat apa-apa di depan pasukannya yang telah termakan
tipu muslihat musuh. Akhirnya ia berkata: “Bila kalian masih menaati
aku, mari kita bergerak dan berperang. Namun bila kalian ingin
membangkang dari perintahku, lakukanlah sesuka kalian”.
Di medan
pertempuran, Malik Al-Asytar maju dengan gagah berani dan penuh
keyakinan. Ia berhasil merangsek ke depan dan memukul mundur barisan
musuh sampai mendekati posisi Muawiyah. Sebagian pasukan Ali bin Abi
Thalib yang melihat Malik demikian berkata kepada Ali: “Perintahkan bala
tentara untuk menemui Malik agar kembali!” Akan tetapi, Malik Al-Asytar
tidak menggubris dan mendesak maju. Ia tahu bahwa pengangkatan mushaf
Al-Quran hanyalah tipu daya Muawiyah.
Namun, mereka tidak
diam dan mengancamnya akan membunuh Ali bin Abi Thalib. Melihat
kenyataan itu, Malik Al-Asytar kembali dan langsung menuding mereka
sambil mengatakan: “Demi Allah! Kalian telah termakan tipu muslihat
musuh. Kalian diminta untuk menghentikan peperangan lalu kalian
menerimanya. Wahai orang-orang yang berdahi hitam! Bukankah kita percaya
shalat kalian sebagai tameng dari godaan dunia dan menambah kerinduan
berjumpa dengan Allah? Apa yang aku lihat hanyalah pelarian kalian dari
kematian menuju dunia”.
Mereka maju ke
depan dan menjawab bahwa Ali bin Abi Thalib setuju dengan seruan
Muawiyah. Padahal, Ali hanya terdiam, tidak berkata satu patah kata pun
sambil mengelus kepala dengan sedih. Pasukannya benar-benar telah
termakan oleh tipu daya dan perang urat syaraf yang dilancarkan oleh
musuh, sampai akhirnya mereka menjadi pembangkang. Ali tidak lagi
sanggup berbuat apa-apa. Ia mengungkapkan apa yang mengganjal di
hatinya: “Bila kemarin aku adalah pemimpin kalian, kini aku menjadi
rakyat yang dipimpin. Dan bila kemarin aku melarang kalian untuk berbuat
sesuatu, kini aku yang dilarang oleh kalian”.
Tahkim (Penghakiman) dan Rekonsiliasi.
Ternyata, ujian yang menimpa Ali bin Abi Thalib tidak hanya datang
dari pasukannya yang telah teperdaya. Karena, mungkin sekali setelah itu
pasukan musuh akan mendapatkan kepentingan politis lewat perundingan
yang akan diadakan sebagai konsekuensi menerima seruan sebelumnya.
Peluang tersebut akan semakin terbuka bila para pembangkang perintah Ali
a.s. mau mengikuti permainan yang sedang dijalankan musuh; dengan
memilih seorang juru runding dalam proses rekonsiliasi tersebut. Bila
itu sampai terjadi, Ali sudah mempersiapkan orang untuk berunding dengan
pihak Muawiyah. Orang itu adalah Abdullah bin Abbas atau Malik
Al-Asytar, sebab ia percaya pada keikhlasan dan kewaspadaan dua sahabat
ini.
Namun pada saat
yang sama, orang-orang yang telah teperdaya oleh provokasi Muawiyah
bersikeras agar Abu Musa Al-Asy’ari dijadikan sebagai juru runding
mereka. Ali bin Abi Thalib segera berbicara tegas: “Sebelum ini, kalian
telah membangkang perintahku, maka sekarang jangan kalian membangkang
lagi. Aku tidak mengutus Abu Musa karena dia tidak bisa dipercaya. Dia
telah memisahkan dirinya dariku dan menjauhkan orang-orang dariku;
ketika hendak berperang dengan pasukan Aisyah di Kufah, kemudian ia lari
dariku lalu aku memberi jaminan keamanan kepadanya beberapa bulan
setelah kejadian itu”.
Muawiyah dan Amr
bin Ash mampu memorak-porandakan kubu Ali bin Abi Thalib karena dibantu
dari dalam oleh Al-Asy’ats bin Qais yang memainkan peran musuh dalam
selimut. Secara aklamatif, Amr bin Ash terpilih menjadi juru runding
kubu Muawiyah untuk merumuskan poin-poin kesepakatan bersama Abu Musa
Al-Asy’ari. Amr tidak menyetujui penyantuman kata ‘Amir Mukminin’ di
akte perjanjian. Ali a.s. langsung teringat dan berkata: “Inilah hari
yang sama pada perjanjian damai Hudaibiyah, ketika Suhail bin Umar
berkata kepada Nabi: ‘Engkau bukan rasul Allah’. Lalu Nabi berkata
kepadaku: “Apa yang terjadi padaku kelak akan menimpamu. Engkau terpaksa
menerimanya karena kondisimu waktu itu tertekan”.
Poin penting dalam
perjanjian itu adalah gencatan senjata dan pembubaran perang, dan kedua
pihak harus kembali kepada Kitab Allah dan Sunah Nabi dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Pelaksanaan kesepakatan
yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak ditunda hingga bulan
Ramadhan tahun 37 H. Perjanjian itu sendiri ditulis pada bulan Safar di
tahun yang sama.
Yang aneh adalah
masalah penuntutan balas atas pembunuhan Utsman bin Affan. Masalah ini
sama sekali tidak dicantumkan, walaupun hanya sekedar sinyalemen saja.
Padahal sebelumnya, penuntutan balas ini telah dijadikan alasan
peperangan oleh orang-orang seperti Muawiyah dan kroni-kroninya; mereka
yang diberi amnesti pasca pembebasan kota Mekkah.
Dan telah disepakati bahwa tempat perundingan dua juru itu untuk prose tahkim akan diadakan di Daumatul Jandal.
Langkah Cerdas Malik Al-Asytar.
Diriwayatkan bahwa Malik Al-Asytar diminta untuk menjadi saksi
tahkim dan perjanjian rekonsiliasi tersebut dan hendaknya membubuhkan
tanda tangan di dalamnya. Malik Al-Asytar berkata: “Tangan kanan dan
kiriku tidak dapat membantuku untuk menuliskan nama di atas akte
perjanjian ini. Bukankah ini akan menjadi bukti di hadapan Tuhanku atas
kebenaran sikapku dalam menghadapi musuh? Dan bukankah kalian telah
melihat kemenangan di hadapan mata?!”
Mereka mencoba
mengadukan sikap Malik itu kepada Ali bin Abi Thalib a.s., bahwa ia
tetap menolak apa yang telah disepakati dalam perjanjian, dan bahwa ia
menginginkan agar terus berperang dan mengalahkan musuh.
Ali bin Abi Thalib
a.s. menjawab: “Demi Allah! Aku sendiri tidak rela dan belum memberikan
jawaban atas apa yang telah kalian lakukan”. Lalu ia menambahkan: “Aku
sangat berharap bila saja aku memiliki dua orang seperti Malik Al-Asytar
di antara kalian. Andai ada seorang saja dari kalian yang sepertinya;
dalam memandang musuh sebagaimana aku memandang, tentu ia akan
meringankan bebanku dari kalian. Aku sangat berharap ada sebagian yang
tetap bertahan untuk melanjutkan peperangan, dan ini akan membuatku rela
pada kalian. Aku telah melarang, namun kalian tetap saja membangkang
laranganku. Demi Allah! Kalian telah melakukan perbuatan yang
menghancurkan kekuatan kita, meruntuhkan kenikmatan serta meninggalkan
kelemahan dan kehinaan”.
Ali Kembali dan Khawarij Menyempal.
Ali bin Abi Thalib a.s. kembali ke Kufah dengan berat hati, perasan
yang berkecamuk dan dengan kesedihan yang dalam. Ia melihat kebatilan
yang diusung oleh Muawiyah mulai menguat dan hampir sempurna. sementara
dari sisi lain, ia melihat pasukannya yang telah menjadi pembangkang
yang tidak lagi taat pada perintahnya.
Ali bin Abi Thalib
a.s. memasuki kota Kufah dan melihat penduduk kota sedih meratapi mereka
yang terbunuh di medan perang. Pada saat yang sama, ada sekelompok
orang dari pasukannya yang berjumlah dua belas ribu memisahkan diri dari
induk pasukan. Mereka tidak ikut dengan pasukan Ali memasuki kota
Kufah, namun melintasi daerah Bahrwara’.
Kelompok ini
kemudian mengangkat panglima perang dari mereka sendiri. Dia bernama
Syabts bin Rub’i. Sementara sebagai imam shalat, mereka mengangkat
Abdullah bin Kawai Al-Yasykari. Setelah itu, mereka bersama-sama
mencampakkan baiat mereka kepada Ali bin Abi Thalib lalu menyerahkannya
ke proses pemilihan kaum muslimin sendiri. Sikap mereka ini muncul
setelah penulisan perjanjian damai antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan
pasukan Muawiyah. Ini sungguh aneh, karena dengan begitu berarti mereka
tidak setuju dengan semboyan “Tidak ada hukum selain hukum Allah”,
padahal merekalah yang mendesak Ali bin Abi Thalib untuk menerima tahkim
(penghakiman) atas dasar Kitab Allah.
Ali bin Abi Thalib
berusaha meluruskan cara pandang mereka melalui nasihat. Untuk itu, ia
mengirim Abdullah bin Abbas sebagai utusannya dan mewanti-wantinya agar
tidak terburu-buru terlibat dalam perdebatan dengan mereka, karena itu
bisa membangkitkan kebencian dan emosi permusuhan mereka. Kemudian ia
menyusul Abdullah bin Abbas. Di sana ia berbicara, berargumentasi dan
meruntuhkan klaim mereka. Kelompok sempalan ini kemudian menerima apa
yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib dan ikut bersama-sama memasuki
kota Kufah.
Pertemuan Dua Utusan.
Tibalah saatnya pertemuan kedua juru runding dari Ali bin Abi Thalib
dan Muawiyah. Ali mengutus empat ratus orang yang dipimpin oleh Syuraih
bin Hani. Ia juga memerintahkan Abdullah bin Abbas untuk menyertai
mereka, menjadi imam shalat jama’ah dan mengatur urusan mereka. Abu Musa
Al-Asy’ari juga berada dalam rombongan. Sedangkan Muawiyah mengutus
empat ratus orang yang dikepalai oleh Amr bin Ash. Kedua kelompok ini
kemudian bertemu di Daumatul Jandal.
Sebelum segala
sesuatu, beberapa orang dari sahabat tepercaya Ali bin Abi Thalib a.s.
segera memberikan pengarahan kepada Abu Musa Al-Asy’ari. Mereka berusaha
sekuat tenaga mengarahkannya agar memahami secara baik bagaimana
mengambil keputusan. Mereka sangat kuatir akan tipu muslihat Amr bin
Ash.
Keputusan Tahkim (penghakiman).
Bertemulah dua juru runding dari kedua belah pihak; Abu Musa
Al-Asy’ari dan Amr bin Ash. Abu Musa adalah seorang yang buta politik,
lemah akidah dan kurang percaya pada Ali bin Abi Thalib a.s. Sementara
Amr bin Ash terkenal sebagai ahli diplomasi, cerdik, ahli muslihat dan
senang melihat Ahlul Bait a.s. enyah dari medan politik. Selain itu,
ketamakannya akan kekuasaan yang didukung oleh mitra politiknya;
Muawiyah bin Abu Sufyan.
Tidak berapa lama
pertemuan itu berlangsung, Amr bin Ash sudah dapat mengetahui
titik-titik lemah Abu Musa Al-Asy’ari dan bagaimana cara menguasainya
sehingga dia dapat melakukan keinginannya. Mereka berdua sepakat untuk
bertemu di ruang tertutup untuk menggugurkan kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib dan Muawiyah. Kemudian, kedua-duanya memilih Abdullah bin Umar
bin Khatthab sebagai khalifah kaum muslimin.
Ketika itu, Ibnu
Abbas memperingatkan Abu Musa Al-Asy’ari agar berhati-hati dan tidak
tidak terjebak ke dalam kelicikan Amr bin Ash. Kepadanya Ibnu Abbas
berkata: “Waspadalah! Demi Allah, aku punya firasat bahwa Amr bin Ash
telah menipumu, dan kalian berdua telah bersepakat atas satu perkara
yang tidak engkau kehendaki. Ingat! Aku mengusulkan kepadamu agar
memberikan kesempatan lebih dahulu kepada Amr bin Ash untuk berbicara,
setelah itu giliranmu untuk berbicara. Amr bin Ash adalah seorang yang
cerdik dan licik. Aku tidak percaya bahwa dia akan memberikan engkau
kesempatan yang membuatmu dan dia rela dan sepakat. Bila engkau berdiri
di hadapan manusia, ia akan membelakangimu dan tidak akan menyetujui
keputusanmu”.
Namun, Abu Musa
Al-Asy’ari berdiri dan berbicara di hadapan khalayak. Kemudian dia
menurunkan Ali bin Abi Thalib a.s. dari kekhilafahan. Setelah itu,
giliran Amr bin Ash berdiri dan berpidato lalu menegaskan kembali
penurunan Ali yang dilakukan Abu Musa itu. kemudian, dia menetapkan
Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah.
Dengan tipu
muslihat itulah Muawiyah memenangkan pertarungannya dengan Ali bin Abi
Thalib a.s. Orang-orang Syam kemudian mengucapkan selamat kepadanya
sebagai pemimpin kaum muslimin. Sementara di sisi lain, orang-orang Irak
tenggelam dalam fitnah dan mulai percaya akan kesalahan apa yang telah
mereka lakukan selama ini. Setelah peristiwa itu, Abu Musa Al-Asy’ari
segera melarikan diri ke kota Mekkah. Sedangkan Ibnu Abbas dan Syuraih
kembali ke Kufah menemui Ali bin Abi Thalib a.s.
Ali bin Abi Thalib dan Mariqin (Khawarij).
Dapat dikatakan bahwa, secara alami, munculnya Khawarij karena
peperangan yang terjadi di Jamal dan Shiffin. Sebagaimana tidak dapat di
pisahkan penyimpangan yang terjadi pada mereka dalam masalah
kekhalifahan dikarenakan penyimpangan mereka dari garis Ahlul Bait a.s.
Salah satu sifat penting orang-orang Khawarij adalah kebekuan,
kejumudan, kontekstual dalam memahami agama,, fanatisme, kekerasan dan
ketidakmampuan membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Mereka sangat
cepat dipengaruhi oleh isu dan dengan sedikit keraguan mereka akan
kembali kepada sikap awalnya.
Nabi sendiri
sebelumnya telah menjelaskan sifat-sifat mereka. Diriwayatkan dari Nabi
saw.: “Akan keluar dari umat ini—tanpa menyebutkan nama—sebuah kelompok
yang meremehkan shalat kalian dibandingkan dengan shalat mereka. Mereka
membaca Al-Quran, tapi tidak lebih dari pelasnya suara dari tenggorokan.
Mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya”.
Ali bin Abi Thalib
tidak mampu mengobati penyakit dan penyimpangan orang-orang Khawarij.
Pemberontakan dan peperangan di perang Jamal dan Shiffin dalam waktu
singkat lebih dahulu dari usaha yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib. Barangkali dapat dianalisis kemunculan golongan Khawarij ini pada beberapa poin:
Frustrasi dan lemah
dalam mewujudkan kemenangan, khususnya peperangan Ali bin Abi Thalib
a.s. melawan pembangkangan orang-orang yang mengaku muslim secara
lahiriah. Golongan Khawarij gagal memahami upaya Ali a.s. untuk
menyelesaikan masalah dengan para pembangkang. Mereka tidak kuasa
menerima hasil tahkim. Pada waktu yang sama, mereka sendiri yang memaksa
Ali bin Abi Thalib a.s. untuk menerima proses tahkim. Mereka tidak
berani menghadapi diri sendiri setelah menemukan penyimpangan yang
dilakukan. Akhirnya mereka berusaha untuk membiarkan dan melemparkan
kesalahan-kesalahan kepada orang lain yang tidak lain Ali bin Abi Thalib
a.s.
kejumudan mereka
terhadap kebebasan berpikir yang telah dibuka lebar-lebar oleh Ali bin
Abi Thalib a.s. agar umat dapat berusaha dan memahami risalah Islam.
Diriwayatkan bahwa golongan Khawarij bahkan mengkritik Ali a.s. di
tengah-tengah pidatonya dengan klaim, La hukma illa lillah; tidak ada
hukum kecuali hukum Allah. Jawaban Ali kepada mereka tidak lain adalah,
“Ungkapan benar dengan maksud buruk”. Ali a.s menambahkan: “Kalian
memiliki tiga kekhususan di sisi kami; Kami tidak melarang kalian untuk
melakukan salat di masjid-masjid kami, Kami tidak mencegah kalian untuk
mendapatkan ganimah selama kalian ikut berperang dengan kami, dan kami
tidak akan memerangi kalian sampai kalian yang mendahului”. Dari sini,
pergerakan orang-orang Khawarij yang pada mulanya bersifat individual
menjadi terorganisir dalam sebuah golongan.
Ali dan Keputusan Tahkim.
Begitu mendengar hasil perundingan Abu Musa Al-Asy’ari dan Amr bin
‘Ash, Ali bin Abi Thalib sangat terpukul dan tersiksa. Kemudian ia
berpidato di hadapan khalayak umat, mendorong mereka dan menunjukkan
bagaimana cara memperbaiki kesalahan fatal yang telah mereka lakukan. Ia
mengatakan: “Sesungguhnya mencoba berpaling dari nasihat orang yang
berpengalaman dan amat prihatin terhadap masalah hanya akan menghasilkan
penyesalan di kemudian hari. Pelaku pemimpin, aku telah memerintahkan
kalian untuk tetap berperang. Aku telah memilih untuk kalian dari
khazanah pandanganku; yang bila ditaati akan mencapai tujuan lebih
cepat. Namun, kalian enggan mengikutinya, bahkan berpaling bak oposan
yang bermaksiat sehingga penasihat pun menjadi ragu dengan nasihatnya,
dan tangan yang kikir pun ragu dengan keburukannya. Aku telah
memperingatkan kalian senada kalimat saudara Hawazin:
“Sungguh aku tlah perintahkan kalian dengan menurunkan bendera Kalian tak dapat kejelasan dari nasihat kecuali di pagi esok
“Ketahuilah kedua
orang ini! Abu Musa Al-Asy’ari dan Amr bin Ash yang kalian pilih sebagai
utusan kalian telah mencampakkan hukum Al-Quran ke belakang. Mereka
menghidupkan apa yang telah dihancurkan oleh Al-Quran. Mereka hanya
mengikuti hawa nafsu tanpa tuntutan dari Allah swt. Hukum dan keputusan
yang diambil oleh keduanya tidak dapat diterima, karena bukan
argumentasi yang jelas dan sunah yang tegas. Keduanya berselisih dalam
hukum dan keputusan, sementara mereka tidak mendapat hidayah. Allah
berlepas tangan dari keduanya, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang
mukmin yang saleh. Persiapkan diri kalian untuk bergerak menuju Syam.
Berkumpullah kalian dalam pasukan kalian, Insya Allah!”.
Ali bin Abi Thalib
kemudian menulis surat kepada Abdullah bin Abbas agar mempersiapkan
orang-orang Basrah untuk bergabung dengan pasukannya dan memerangi
Muawiyah. Abdullah bin Abbas segera mengumpulkan orang-orang Basrah dan
bergabung di kota Kufah dengan pasukan Ali. Akan tetapi, kelompok
Khawarij malah melakukan tindakan-tindakan provokatif; di mana pada
awalnya mereka berkumpul di Basrah dan Kufah malah bergerak menuju
Nahrawan. Penyempalan kelompok Khawarij secara diam-diam ini sangat
menggusarkan Ali bin Abi Thalib a.s., karena ada kemungkinan mereka
melakukan pembelotan; yakni berangkat ke Syam lalu bergabung dengan
Muawiyah. Oleh karena itu, pasukan meminta Ali agar lebih dahulu
menghabisi Khawarij.
Provokasi lain yang
dilakukan oleh golongan Khawarij ialah menangkap Abdullah bin Khabbab
dan istrinya lalu membunuhnya. Mereka membelah perut istrinya kemudian
memasukkan barang saja yang bisa dimasukkan. Demikian juga mereka
membunuh Al-Harits bin Murrah Al-Abdi; utusan Ali bin Abi Thalib a.s.
Perang dengan Khawarij.
Golongan Khawarij berkumpul di dekat Nahrawan sebagai basis
kekuatan. Ali bin Abi Thalib berkali-kali berusaha meyakinkan mereka
agar meninggalkan sikap, pemikiran, pembangkangan dan usaha mereka untuk
tetap berperang. Yang menguasai mereka hanyalah kebodohan, kesesatan
dan aksi pemaksaan dan kekerasan.
Kemudian Ali bin
Abi Thalib menyiapkan pasukannya dan memberikan arahan akhlak Islam
tentang cara bersikap dengan golongan Khawarij, terutama dalam kondisi
seperti ini. Hal yang sama pernah dilakukannya pada peperangan
sebelumnya. Ketika sampai di tempat mereka, Ali mengutus seseorang untuk
menuntut pembunuh Abdullah bin Khabbab, istrinya dan utusan sebelumnya;
Al-Harits bin Murrah. Mereka menjawab sepakat: “Kami semua yang
membunuhnya, maka kami semua juga yang harus kalian qisas”.
Ali bin Abi Thalib
mengutus Qais bin Saad dan Abu Ayub Al-Anshari kepada kelompok Khawarij
untuk menasihati mereka. Ali bin Abi Thalib masih berusaha agar mereka
masih dapat memahami kejadian apa sebenarnya yang terjadi serta berusaha
agar tidak lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih antara sesama
muslim. Setelah itu Ali bin Abi Thalib sendiri yang menemui mereka dan
berkata:
‘Wahai kelompok
yang muncul dikarenakan permusuhan yang pada akhirnya tidak mau lagi
melihat kenyataan dan kebenaran. Kelompok yang mengikuti ketamakan yang
pada akhirnya akan menemui hasil yang tidak diinginkan. Aku adalah
seorang pemberi peringatan kepada kalian. Jangan berbuat sesuatu yang
kelak umat akan melaknat kalian dan terpelanting di dalam lembah ini,
menuai bau busuk tanpa alasan dan argumentasi yang jelas dari Tuhan
kalian’. Ali bin Abi Thalib kemudian menjelaskan kepada mereka kalau ia
sejak awal tidak suka dengan proses penghakiman (tahkim). Ali bin Abi
Thalib juga tidak lupa menerangkan sebab-sebab ketidaksetujuannya dengan
jelas bahkan beliau menyalahkan mereka yang telah memaksanya untuk
menerima penghakiman. Ali bin Abi Thalib juga menambahkan bahwa kedua
orang yang menjadi wakil dari kedua belah pihak tidak bersandarkan
Al-Quran dan Sunah Nabi. Saat ini Ali bin Abi Thalib ingin menghadapi
Muawiyah bin Abu Sufyan untuk yang kedua kalinya. Oleh karenanya, beliau
menyayangkan mengapa mereka harus keluar dari barisannya. Semua yang
diucapkan tidak didengar oleh kelompok Khawarij bahkan menuntutnya agar
segera bertaubat dengan cara mengkafirkan dirinya sendiri kemudian
mengumumkan taubatnya. Mendengar itu Ali bin Abi Thalib lantas menjawab:
‘Kalian telah
diterpa angin yang disertai debu, tidak ada seorang pun dari kalian yang
keimanannya dapat melebihiku terhadap Rasulullah saw. Aku melakukan
hijrah bersamanya dan bagaimana aku berjihad di jalan Allah. Dengan
semua ini aku harus mengatakan kekafiranku? Bila memang demikian berarti
kalian telah betul-betul sesat sedangkan aku adalah orang yang termasuk
dari orang-orang yang mendapat hidayah. Ali kemudian meninggalkan
mereka. Kelompok Khawarij maju ke depan dan memilih untuk berperang. Ali
tidak punya pilihan lain. Ia kemudian menyiapkan pasukannya untuk
menghadapi kelompok Khawarij. Pada saat-saat terakhir Ali masih sempat
mengirim Abu Ayub Al-Anshari untuk mengangkat bendera pengamanan kepada
kelompok Khawarij sambil berteriak lantang, ‘Barang siapa yang kemudian
menuju bendera ini maka ia akan aman. Barang siapa yang kemudian tidak
ingin melanjutkan peperangan dan kembali ke Kufah dan daerah Madain maka
ia aman. Kami tidak akan menyulitkan orang-orang seperti yang telah
kami sebutkan. Kami hanya berurusan dengan orang-orang yang telah
membunuh saudara-saudara kami’.
Sejumlah besar
orang-orang dari kelompok Khawarij yang kemudian meninggalkan induk
pasukannya. Ali bin Abi Thalib kemudian berkata kepada sahabatnya,
‘Biarkan dan jangan berperang sampai mereka yang mendahului!
Kelompok Khawarij
kemudian mulai menyerang dengan meneriakkan ‘tidak ada hukum kecuali
Allah. Mari dengan tenang kita menuju surga. Peperangan terjadi. Tidak
lebih dari satu jam peperangan terjadi, banyak dari kelompok Khawarij
yang terbunuh. Yang selamat dari mereka tidak lebih dari sepuluh orang.
Sementara dari pihak Ali bin Abi Thalib yang terbunuh tidak lebih dari
sepuluh orang.
Ketika medan perang
menjadi tenang dan perang telah berakhir, Ali bin Abi Thalib
memerintahkan untuk dihadapkan seseorang yang bernama Dzu As-Tsudyah,
salah satu komandan pasukan kelompok Khawarij. Ali bin Abi Thalib
bersikeras agar orang tersebut didatangkan karena Rasulullah saw pernah
berkata kepadanya bahwa dalam peperangan dengan kelompok Khawarij ada
salah satu komandannya yang bernama Dzu As-Tsudyah. Ketika mereka
mencari dan menemukan orang yang bernama Dzu As-Tsudyah segera mereka
menghadapkannya ke depan Ali bin Abi Thalib. Ali kemudian berkata,
‘Allahu Akbar! Engkau tidak berbohong dan engkau, Rasulullah saw, tidak
pernah membohongi siapa pun. Seandainya aku tidak khawatir kalian akan
melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengundang fitnah niscaya aku
ceritakan kepada kalian tentang apa yang diceritakan Allah lewat lisan
Nabi-Nya siapa saja yang akan membunuh kalian. Rasulullah saw tahu
dengan pasti apa yang sedang kita lakukan sekarang’. Setelah itu beliau
kemudian melakukan sujud syukur kepada Allah swt.
Pendudukan Mesir.
Setelah terjadi pembunuhan Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib
mengangkat Qais bin Saad bin Ubadah Al-Anshari sebagai gubernur Mesir.
Setelah itu beliau melihat bahwa Muhammad bin Abu Bakar lebih tepat
menduduki jabatan itu dan kemudian menggantikan Qais bin Saad dengan
Muhammad bin Abu Bakar. Muawiyah bin Abu Sufyan masih merasa gelisah
karena Mesir belum dikuasainya. Dan itu setelah kekacauan yang terjadi
dalam masyarakat Islam setelah perang. Untuk itu, Muawiyah bin Abu
Sufyan dan Amr bin Ash bergerak menuju Mesir untuk mendudukinya
sekaligus sebagai upah dari jerih payah Amr bin Ash yang dengan ide dan
tipu muslihat berhasil merusak pemerintahan Ali bin Abi Thalib dan
menghancurkan agama. Ali bin Abi Thalib berusaha mensuplai Muhammad bin
Abu Bakar dengan pasukan dan bahan-bahan lain yang dibutuhkan setelah
mendengar Muawiyah bin Abu Sufyan ingin menguasai Mesir. Namun tidak
lama ketika terdengar kabar bahwa Mesir telah dikuasai oleh Muawiyah bin
Abu Sufyan dan pasukannya sementara Muhammad bin Abu Bakar mati dibunuh
oleh mereka. Mendengar kematian Muhammad bin Abu Bakar, Ali bin Abi
Thalib sangat bersedih. Setelah itu, Ali kemudian menetapkan Malik
Al-Asytar sebagai wali kota Mesir akan tetapi Muawiyah yang melakukan
apa saja dengan menghalalkan segala cara berhasil membunuh Malik
Al-Asytar dengan racun.
Kehancuran dan Perpecahan Umat Islam.
Penyimpangan
yang terjadi sejak peristiwa Saqifah dan tampak secara jelas di
masa-masa akhir kepemimpinan Ali bin Abi Thalib a.s. Muawiyah dan
orang-orang sejenisnya mulai melakukan rongrongan terhadap Islam dari
dalam dengan memecah belah ikatan yang masih tersisa dalam masyarakat
muslim sebelum merusaknya. Setelah aksi perusakan itu, mereka kemudian
membangun sebuah masyarakat yang sesuai dengan maksud dan kepentingan
mereka.
Dengan
memperhatikan secara seksama keadaan umat setelah tiga pertempuran yang
dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib a.s., terdapat beberapa poin penting
yang bisa diuraikan:
Ali bin Abi Thalib
dan umat Islam menanggung musibah dengan ketiadaan para sahabat yang
sadar dan berpengaruh dalam masyarakat dan pergerakan risalah Islam.
Keberadaan mereka dapat memudahkan pembangunan umat yang saleh yang
sesuai dengan metode Al-Quran dan Sunah dengan dipimpin oleh Ali a.s..
Kini, ketiadaan mereka membuatnya sangat bersedih. Hal itu dapat dilihat
dari caranya memperkenalkan budi dan kebaikan mereka: “Sahabat-sahabat
kita yang telah mengucurkan darahnya di perang Shiffin tidak lagi
merasakan kesulitan bila mereka hidup saat ini, tetntu mereka akan
menjalani kesedihan dan kepahitan. Demi Allah! Sungguh mereka telah
menemui Allah dan Dia telah memberikan pahala mereka dan menempatkan
mereka di tempat yang damai setelah masa ketakutan. Sekarang, mana
sahabat-sahabatku yang menempuh jalan ini memperjuangkan kebenaran? Mana
Ammar? Mana Abu At-Tihan? Mana Dzu Syahadatain? Mana orang-orang yang
telah sepakat untuk melakukan kejahatan?”
Kemudian, Ali bin
Abi Thalib meletakkan tangannya di atas anak perempuannya dan
melanjutkan tangisannya. Setelah itu, beliau berkata keluh: “Aaah,
terasa berat bagiku akan sahabat-sahabatku yang membaca Al-Quran lalu
menguatkan kesadaran mereka akan kewajiban memahami dan melaksanakannya.
Mereka menghidupkan Sunah Nabi dan melenyapkan bid’ah. Ketika diajak
untuk melakukan jihad, mereka menyambutnya. Mereka percaya pada pemimpin
dan menaatinya”.
Pembangkangan
pasukan, perpecahan dan munculnya kelemahan lantaran keletihan dalam
berperang dan saking banyaknya orang Irak yang menjadi korban. Sementara
warga Irak adalah tulang punggung pasukan Ali bin Abi Thalib. Semua ini
membuat Khalifah muslimin ini tidak mampu, meski dengan segenap
kekuatan retorika yang luar biasa, mendorong mereka untuk bertahan dan
menjadi basis untuk melanjutkan peperangan. Dari sisi lain, untuk
mengacaukan pasukan Ali, Muawiyah senantiasa membujuk para tokoh kabilah
dan orang-orang yang tampaknya menantikan keuntungan duniawi. Ia selalu
mengiming-imingi mereka dengan harta dan posisi bila mereka mau bekerja
sama untuk melemahkan kekuatan Ali dan pasukannya. Usaha ini berhasil
sehingga Ali bin Abi Thalib gagal menyiapkan pasukan An-Nakhilah (nama
tempat berbasisnya pasukan Ali untuk memerangi Muawiyah pada kali
terakhir) untuk menyerang pasukan Muawiyah setelah perang Nahrawan.
Kegagalan ini terjadi lantaran mayoritas pasukan itu kembali ke kota
Kufah secara diam-diam, sehingga Ali a.s. membubarkan pasukan yang telah
disiapkan untuk menyerang Muawiyah, dan rencana perang pun ditunda
sampai ada kesiapan.
Kondisi yang ada
sat itu lebih memihak kubu Muawiyah ketimbang ke Ali bin Abi Thalib dan
umat Islam, seperti banyaknya aksi perampokan dan penyiksaan, belum lagi
tingginya tinggi pembunuhan dan teror di dalam negara Islam. Kondisi
ini dimulai dengan kerusuhan di sekitar Irak. Muawiyah mengutus Nu’man
bin Basyir Al-Anshari untuk melakukan perampokan di daerah Ain At-Tamr.
Sufyan bin Auf diperintahkan untuk melakukan perampokan dan pembunuhan
di daerah Hit kemudian menyebar ke Al-Anbar wa Al-Madain sampai ke
daerah Waqishah. Di samping itu, Muawiyah juga mengutus orang-orang
seperti Dhahhak bin Qais Al-Fihri ke daerah-daerah lain. Setiap kali
terjadi aksi kerusuhan, Ali bin Abi Thalib senantiasa menyeru masyarakat
untuk mempertahankan diri dalam menghadapi aksi kejahatan yang
terorganisir di bawah perintah Muawiyah. Namun, masyarakat tidak tanggap
mendengarkan seruannya. Di sini, kekuatan Ali a.s. semakin melemah;
kebalikan dari kekuatan Muawiyah yang semakin bertambah.
Belum puas
melakukan kerusuhan di sekitar Irak, Muawiyah juga mengutus Basar bin
Urthah untuk melanjutkan tindak kriminalnya di daerah Jijaz dan Yaman.
Pada masa-masa itu, pelanggaran hukum dan kerusuhan menjadi pemandangan
yang biasa yang acapkali diakhiri dengan teror terhadap orang-orang
baik. Melihat kondisi yang semakin buruk, Ali bin Abi Thalib a.s. sangat
sedih dan tertekan dengan aksi para perusuh yang menghina dan
merendahkan manusia. Ia mengungkapkan perasaannya: “Ya Allah! Aku sudah
berusaha menasihati, mengingatkan dan mengubah mereka sampai aku
benar-benar merasa jemu, sementara perilaku mereka membuatku putus
harapan. Gantikan mereka dengan orang-orang yang lebih baik, atau
gantikan aku dengan pemimpin buruk untuk mereka!”.
Pada dasarnya, Ali
bin Abi Thalib a.s. telah memperingatkan umat Islam akan gelapnya masa
depan yang akan mereka jalani sebagai akibat dari keengganan membela
kebenaran. Bahkan sebaliknya, mereka berusaha menghinakan kebenaran. Ali
a.s. berkata: “Ketahuilah! Sepeninggalku nanti kalian akan mengalami
kehinaan di bawah pedang tajam yang menguasai kalian. Kalian akan
dizalimi dan kezaliman ini akan menjadi kebijakan dan teladan bagi
penguasa yang datang setelahnya. Kesatuan umat kalian akan
dicabik-cabik. Air mata kalian akan mengucur dan meratapi nasib kalian
sementara kalian hidup dalam kesengsaraan. Sebagian kecil saja dari
kalian yang peduli pada kondisiku dan mau membelaku. Kelak kalian akan
melihat nanti bahwa apa yang kukatakan inikepada kalian adalah
kenyataan”.
Usaha Terakhir Ali bin Abi Thalib.
Melihat kondisi yang semakin sulit lantaran aksi-aksi kerusuhan di
berbagai tempat dan keberhasilan Muawiyah dalam menebarkan kekacauan dan
ketakutan di negeri-negeri Islam, Ali bin Abi Thalib a.s. bersiap-siap
untuk melakukan penyerangan besar-besaran. Untuk itu, ia berusaha
membangkitkan kembali umat Islam. Ia berpidato dan memperingatkan
mereka:
“Ketahuilah! Aku
telah letih menasihati dan berbicara kepada kalian. Sekarang, katakan
kepadaku apa yang telah kalian lakukan? Bila kalian siap menyertaiku
memerangi musuh, tentu ini yang aku inginkan. Bila kalian tidak ingin
melakukan apa-apa, biarkan aku yang menujukkan dan memutuskan apa yang
harus kalian lakukan. Demi Allah! Bila kalian semua tidak keluar
bersamaku untuk memerangi musuh kalian lalu Allah menurunkan hukum-Nya
kepada kita dan mereka—Sungguh Allah sebaik-baik yang menghakimi—niscaya
aku akan berdoa kepada Allah agar kalian celaka lalu ditawan oleh musuh
kalian. Aku akan tetap keluar menyerang musuh, walaupun dengan sepuluh
orang”.
Melalui peringatan
ini, Ali bin Abi Thalib berharap dapat menggugah jiwa masyarakat dan
agar mereka yakin bahwa Ali akan keluar sendiri dengan keluarga dan
beberapa sahabat khususnya melawan Muawiyah, sekalipun tidak ada yang
membelanya. Keyakinan mereka begitu kuat sehingga bila tidak mengikuti
Ali bin Abi Thalib, niscaya akan celaka di Hari Akhirat. Oleh karena
itu, para tokoh masyarakat menyambut seruan Ali untuk memerangi Muawiyah
dan menghancurkan para perusuh. Orang-orang pun keluar dan berkumpul
dengan segala perlengkapan militernya di daerah An-Nakhilah di luar kota
Kufah. Sebagian komandan dari induk pasukan bergerak lebih dahulu dari
yang lain bersama Ali. Namun demikian, mereka tetap menunggu hingga
akhir bulan Ramadhan untuk memulai penyerangan.
Sang Syahid Mihrab
Kejahatan telah
menguasai dunia Islam. Kebenaran tidak lagi dapat mengibarkan
benderanya, tidak ada tangan yang diulurkan untuk melakukan perbaikan,
tidak ada suara yang dapat diteriakkan guna menyingkap kejahatan
orang-orang zalim. Kemarin, Abu Sufyan melakukan muslihat untuk membunuh
Nabi Muhammad saw. agar risalah ilahiah terkubur untuk selama-lamanya.
Namun semua usaha itu tidak dikehendaki oleh Allah swt. Kehendak Allah
hanyalah menyempurnakan cahaya-Nya.
Sekarang, dengan
memanfaatkan penyimpangan yang berlangsung sejak peristiwa Saqifah,
Muawiyah berusaha menyempurnakan apa yang telah dimulai oleh ayahnya
dalam rangka menghancurkan Islam. Di bantu oleh potensi kebodohan dan
kesesatannya, dia menyiapkan rencana untuk membunuh jantung umat Islam,
penyambung lisan kebenaran, pembawa panji Islam dan penghidup syariat.
Kesesatan yang
telah lama menuntun kaki mereka sekali lagi menyeret mereka untuk
mematikan cahaya hidayah dan melanggengkan kegelapan demi menyiapkan
penyelewengan dan kejahatan. Kemudian, tangan-tangan setan itu
berjabatan tangan dengan Ibnu Muljam di kegelapan malan. Pedang itu
menebas kepala seorang yang telah lama membelakangi dunia dan menghadap
rumah Allah dalam keadaan sujud. Ia pun dibiarkan begitu saja.
Sekelompok
orang-orang sesat telah berkumpul untuk membunuh Ali bin Abi Thalib a.s.
Tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa aktor intelektualnya adalah
Muawiyah bin Abu Sufyan. Kesepakatan mereka adalah membunuh Ali a.s.
ketika ia melaksanakan shalat subuh. Karena, tidak satu pun dari mereka
yang berani berhadap-hadapan langsung dengan singa Allah.
Pada waktu itu,
tepat malam kesembilan belas dari bulan Ramadhan. Ali bin Abi Thalib
a.s. banyak melakukan perenungan dengan melihat-lihat angkasa. Ia
senantiasa mengulang-ulang kalimat ini: “Engkau tidak berbohong dan
tidak pernah membohongi orang lain. Malam ini adalah waktu yang engkau
janjikan”.
Ali bin Abi Thalib
menghabiskan malamnya dengan berdoa dan bermunajat kepada Allah swt.
Setelah itu, beliau keluar dari rumah menuju masjid untuk menunaikan
shalat subuh. Sesampainya di masjid, ia membangunkan orang-orang yang
terbiasa beribadah di sana lalu terbawa tidur. Beliau membisikkan:
“Shalat... shalat...!”
Setelah itu, Ali
bin Abi Thalib a.s. menunaikan shalatnya. Ketika beliau tengah asyik
bermunajat kepada Allah, tiba-tiba seorang durjana celaka bernama
Abdurrahman bin Muljam mengucapkan semboyan kelompok Khawarij dengan
suara lantang: La hukma illa lillah; Tiada hukum kecuali milik Allah.
Secepat kilat dia mengayunkan pedangnya dan menghujam tepat di kepala
Ali. Kepala Ali merengkah akibat tebasan tersebut. Seketika itu pula Ali
bin Abi Thalib mengucapkan kalimat: Fuztu wa Rabbul Ka’bah; Sungguh aku
menang, demi Tuhan pemilik Ka’bah!”.
Terdengarlah suara
riuh di dalam masjid. Orang-orang cepat berlarian mendekati Ali bin Abi
Thalib a.s.. Mereka mendapatkannya tergeletak di mihrabnya lalu
membawanya pulang ke rumahnya dalam kedaaan kepala diikat balut,
sementara masyarakat dari belakang mengikuti sambil menangis.
Orang-orang
berhasil menangkap Ibnu Muljam. Ali bin Abi Thalib a.s. berwasiat kepada
anak tertuanya, Imam Hasan a.s., juga kepada anak-anaknya yang lain
serta keluarganya; agar berlaku baik dengan tahanan. Ia berkata: “Nyawa
dibalas dengan nyawa. Maka, bila aku mati, kalian harus mengqisasnya.
Dan bila aku hidup, aku akan mengambil keputusan sesuai dengan
pertimbanganku”.
Wasiat Ali.
Ali bin Abi Thalib a.s. menasihati kedua putranya; Hasan dan Husein,
dan seluruh keluarganya dengan wasiat umum. Ia berkata: “Aku berwasiat
kepada kalian berdua. Bertakwalah kepada Allah, jangan mengikuti dunia
sekalipun ia menginginkan kalian! Jangan bersedih terhadap sesuatu yang
hilang dari tangan kalian! Berkatalah tentang kebenaran dan beramal
untuk mendapat balasan dari Allah! Jadilah pembela orang mazlum dan
bersikap keras terhadap orang zalim! Berbuatlah sesuai dengan perintah
dalam Al-Quran! Dan jangan kuatir akan cemooh orang selama di jalan
Allah”.
Lukanya yang parah
tidak memberikan kesempatan lagi untuknya. Ali bin Abi Thalib telah
mendekati ajalnya. Kalimat terakhir yang keluar dari bibirnya sebelum
ajal menjemput ialah firman Allah swt.: “Demikianlah seyogyanya
orang-orang yang beramal baik mesti berbuat’. Kemudian, ruh yang suci
itu naik menemui surga yang dijanjikan.
Pemakaman dan Pidato Pujian atas Ali
Imam Hasan dan Imam
Husein a.s. melakukan segala keperluan pemakaman ayahanda tercinta
mereka; Ali bin Abi Thalib a.s. Mereka berdua memandikan dan
mengkafani. Setelah itu, Imam Hasan a.s. melakukan shalat mayat untuk
sang ayah diikuti oleh sejumlah keluarga dan sahabat-sahabat. Kemudian
mereka membawanya ke tempat peristirahannya yang terakhir. Ali bin Abi
Thalib dimakamkan di kota Najaf, dekat kota Kufah. Pemakaman selesai
pada malam hari.
Baru saja pemakaman
itu tuntas, Sha’sha’ah bin Shuhan berdiri lalu berpidato dan mengenang
Ali bin Abi Thalib a.s. dengan puji syukur. Ia berkata:
‘Wahai Abu Al-Hasan
(panggilan Ali bin Abi Thalib)! Kini engkau dalam keadaan lebih baik.
Engkau lahir dengan baik, kesabaranmu kuat, jihad dan perjuanganmu
sungguh agung. Engkau berhasil dengan pendirianmu, engkau untung dalam
perniagaanmu. Engkau menemui penciptamu dan Dia menerimamu dengan janji
mulia-Nya, sementara engkau diiringi para malaikat. Kini, engkau berada
di samping Al-Musthafa saw. Semoga Allah memuliakanmu berada di samping
Muhammad saw. Engkau telah bergabung sama dengan derajat saudaramu,
Muhammad saw. Engkau minum dari gelasnya. Kini, engkau memohon kepada
Allah agar memberikan kepada kami taufik mengikuti jejakmu, berbuat
sesuai dengan perilakumu, mengikuti orang yang engkau ikuti, memusuhi
orang yang memusuhimu. Semoga Allah mengumpulkan kami dalam golongan
orang-orang yang mencintaimu. Engkau telah meraih sesuatu yang belum
pernah diraih oleh seorang pun. Engkau telah merasakan sesuatu yang
belum pernah dirasakan oleh seorang pun. Engkau telah berjuang dengan
sungguh-sungguh di samping saudaramu, Muhammad saw. Engkau telah
menegakkan agama Allah dengan sunguh-sungguh. Engkau telah menegakkan
Sunah Nabi dan memerangi fitnah dengan keras, sehingga Islam dan iman
tetap tegak. Kuucapkan salawat dan salam yang paling utama dan terbaik
kepadamu!”.
Sha’sha’ah
melanjutkan: “Sesungguhnya Allah telah memuliakan derajatmu. Engkau
adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. dari sisi
keturunan dan yang paling awal memeluk agama Islam. Engkau adalah orang
yang paling teguh keyakinan dan yang iman hatinya paling kuat. Engkaulah
orang yang paling keras berjuang demi agama Islam. Engkaulah orang yang
paling besar baktinya dalam kebaikan. Maka, jangan ditahan pahalanya
untuk mengalir kepada kami, dan kami tidak akan hina sepeninggalmu. Demi
Allah! Kehidupanmu adalah kunci pintu-pintu kebaikan dan penutup
keburukan dan kejahatan. Hari ini adalah terbukanya pintu keburukan dan
tertutupnya pintu-pintu kebaikan. Andai sebelum ini manusia menerima
arahanmu, mereka akan cukup dia atas segala-galanya. Sayang, mereka
lebih memilih cinta dunia daripada akhirat”.
Bab Kelima
WARISAN ALIB BIN ABI THALIB A.S.
Berdasarkan wasiat
Nabi saw., pertama yang dilakukan Ali bin Abi Thalib a.s. sepeninggalnya
adalah mengumpulkan Al-Quran. Usaha pengumpulan ini memiliki beberapa
keunggulan di atas pengumpulan yang juga kemudian dilakukan oleh
orang-orang seperti Utsman bin Affan. Kelebihan itu lebih dikarenakan
penertibannya sesuai dengan waktu turunnya dan disertai dengan
sebab-sebab turunnya ayat, tafsir dan ta’wil yang dibutuhkan oleh umat
Muhammad saw. Ali bin Abi Thalib pernah mengajukannya kepada khalifah
pertama Abu Bakar Siddiq namun jawaban yang diterima demikian, ‘Kami
tidak membutuhkan ini’. Ali kemudian memberikan isyarat bahwa setelah
ini mereka tidak akan mendapatkannya lagi. Dan memang demikian. Al-Quran
yang dikumpulkan oleh Ali kemudian diwariskan kepada imam setelahnya
dari anak-anaknya.
Disebutkan juga
bahwa Ali bin Abi Thalib a.s. memiliki karya lain yang disebut dengan
Shahifah yang memuat hukum-hukum tentang diyat (tata denda). Bukhari,
Muslim dan Ibnu Hanbal meriwayatkan keberadaan Shahifah ini. Ada juga
sebuah kitab yang dinisbatkan kepadanya Ali bin Abi Thalib, bernama
Al-Jamiah. Kitab ini memuat semua hal yang dibutuhkan oleh manusia
seputar halal dan haram. Imam Ash-Shadiq a.s. menyebutkan keberadaan
buku ini dan menjelaskan ukuran panjangnya yang mencapai tujuh puluh
jengkal. Ia juga menerangkan bahwa semua masalah tercatat di dalam kitab
itu, bahkan perkara-perkara yang remeh.
Kitab Al-Jifr yang
juga disebut-sebut milik Ali bin Abi Thalib memuat hal-hal yang
berkaitan dengan kejadian masa depan dan lembaran-lembaran para Nabi
sebelumnya. Kitab ini hampir sama dengan mushaf Fathimah Az-Zahra a.s.
yang ditulis oleh Ali bin Abi Thalib dari pendiktean Fathimah a.s.
sendiri. Setelah kematian sang ayah, Nabi Muhammad saw., mereka berdua
menghimpun hikmah-hikmah yang terilhamkan kepada mereka. Kitab-kitab
tersebut di atas merupakan pusaka Imamah yang berpindah tangan dari satu
imam ke imam yang lain.
Para ulama telah
berusaha keras untuk menghimpun warisan intelektual Ali bin Abi Thalib
a.s., mulai dari khotbah-khotbahnya, surat-surat hingga kalimat-kalimat
hikmahnya, lalu dikumpulkan dalam sebuah buku yang diberi nama sesuai
dengan tujuan para penghimpun. Buku pertama dan paling terkenal yang
menghimpun semua itu adalah Nahjul Balaghah yang dikumpulkan oleh Syarif
Ar-Radhi yang wafat pada tahun 404 H.
Syarif Ar-Radhi
berhasil mengumpulkan pikiran-pikiran cemerlang dari Ali bin Abi Thalib
a.s. mengenai berbagai macam masalah, dimulai dari akidah, akhlak,
sistem pemerintahan dan manajemen, sejarah, sosial, psikologi, doa,
ibadah dan berbagai macam ilmu alam. Karena tidak semua pikiran-pikiran
Ali terkumpulkan oleh Syarif Radhi dalam Nahjul Balaghah, sebagian
ulama mengumpulkan sisa-sisa pikiran Ali yang kemudian dikenal dengan
nama Mustadrakat Nahjul Balaghah.
Imam An-Nasa’i yang
wafat pada tahun 303 H meriwayatkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh
Ali bin Abi Thalib a.s. dari Rasulullah saw. Lalu dicatatnya dalam
sebuiah kitab dengan nama Musnad Imam Ali a.s.
Al-Amadi, wafat
pada tahun antara 520 dan 550 H, mengumpulkan kalimat-kalimat pendek Ali
bin Abi Thalib a.s. yang berisikan mutiara-mutiara yang dikenal dengan
nama Ghurar Al-Hikam wa Durar Al-Kalim.
Abu Ishaq
Al-Witwath yang meninggal antara tahun 553 dan 583 H mengumpulkan
ucapan-ucapan Ali a.s. dalam bukunya yang disebut Matlub Kulli Thalib
min Kalam Ali bin Abi Thalib. Al-Jahizh, meninggal tahun 255 H, sendiri
mempunyai buku khusus memuat ucapan-ucapan Ali. Nama bukunya adalah Miah
Kalimah. Sementara At-Thabarsi, penulis tafsir terkenal Majma’
Al-Bayan, mengumpulkan ucapan-ucapan Ali a.s. dalam bukunya Natsr
Al-La’ali. Nashr bin Muzahim memiliki buku bernama Shiffin yang berisi
kumpulan dari khotbah dan surat-surat Ali. Dan sebuah buku yang bernama
As-Shahifah Al-Alawiyah memuat kumpulan doa-doa yang dinisbatkan kepada
Ali bin Abi Thalib.
Mengenal Nahjul Balaghah
Kalau Al-Quran
disebut sebagai mukjizat kenabian, maka Nahjul Balaghah sebagai mukjizat
imamah. Rasionalitas yang tampak dalam metode penyampaian yang
transenden dan jelas dalam setiap kalimat Nahjul Balaghah telah ditanam
dan dipupuk oleh Nabi Muhammad saw. yang mendapat tuntunan langsung dari
wahyu Allah swt. Dalam setiap tema yang disampaikan dapat ditemukan
cahaya Allah memancar dari depan dan hidayah Nabi menerangi jalan di
depannya.
Syarif Ar-Radhi,
sang penyusun Nahjul Balaghah, mengatakan: “Ali bin Abi Thalib adalah
orang yang mengangkat kefasihan sampai di puncaknya. Dari lisannyalah
rahasia-rahasia dan rumus-rumus seni kefasihan dalam tata bahasa Arab
itu diletakkan. Setiap orator besar akan mencuplik perumpamaan yang
digubah olehnya. Setiap penceramah selalu terbantu oleh tutur katanya.
Meski demikian, kefasihan Ali bin Abi Thalib tetap sebagai yang
terdepan, dan setiap keunggulan yang hendak diupayakan masih belum
sanggup melampaui kefasihannya, bahkan senantiasa terbelakang, sebab
ucapan Ali menyimpan sentuhan ilmu ilahi, di dalamnya tercium sabda
Nabi”.
Mengenal Akal dan Pengetahuan
Tidak ada kekayaan
seperti ilmu, dan kemiskinan seperti kebodohan. Akal adalah sumber
kebaikan dan potensi paling mulia yang dapat memilih dan memilah. Akal
adalah hiasan yang paling indah.
Akal adalah utusan
kebenaran. Akal adalah basis terkuat. Manusia dikenal dengan akalnya.
Dengan akal segala sesuatu dapat diperbaiki.
Ilmu adalah penutup
sementara akal bak pedang tajam yang dapat membelah. Sembunyikan
kelabilan akhlakmu dalam kesabaran. Bunuh hawa nafsumu dengan akalmu.
Berpikir adalah cermin yang bersih.
Akal adalah pemilik
tentara Tuhan, dan hawa nafsu adalah pemimpin tentara setan. Jiwa
senantiasa ditarik oleh keduanya. Pihak yang berhasil menguasai, jiwa
berada di bawah pengawasannya.
Keutamaan yang
harus dimiliki oleh seseorang adalah akal. Bila ia rendah akan menjadi
mulia, bila terjatuh akan ditinggikan, bila tersesat akan ditunjuki, dan
bila berbicara akan dituntun ke jalan yang lurus.
Sesungguhnya yang
paling mulia di sisi Allah adalah orang yang menghidupkan akalnya,
menguasai hawa nafsunya dan berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki
akhiratnya.
Agama diukur sesuai
dengan kemampuan akal. Seorang mukmin tidak akan beriman sampai ia
berakal. Nilai setiap orang diukur dengan akalnya.
Ketahuilah (nilai) akal dari beberapa hal:
a. Akal menjauhkan diri dari perbuatan dosa, melihat akibat perbuatan, dan membuat orang waspada.
b. Akal adalah prinsip ilmu dan mengajak manusia untuk memahami sesuatu.
c. Akal adalah potensi yang semakin bertambah dengan ilmu dan pengalaman.
d. Hati terkadang memiliki siratan-siratan buruk, dan akal menahan dan melindunginya.
e. Akal yang sehat menolak penghinaan terhadap akal itu sendiri.
f. Orang yang disebut berakal adalah orang yang mampu memilah kebaikan dari dua keburukan.
Mengenal Al-Quran dan Sunah
Ali bin Abi Thalib
a.s. berkata: ‘Al-Quran diturunkan kepada kalian sebagai penjelas segala
sesuatu. Allah memanjangkan umur Nabi dan berada di tengah kalian
sehingga Allah menyempurnakan buatnya dan buat kalian –terkait dengan
ajaran yang diturunkan lewat Al-Quran- agama-Nya yang diridai-Nya”.
Masih tentang
Al-Quran, Ali menuturkan: “Demikianlah Al-Quran. Ia tidak dapat
berbicara. Oleh karenanya ajak berdialog Al-Quran. Akan tetapi aku akan
mengabarkan kepada kalian tentang Al-Quran. Ketahuilah, di dalamnya ada
ilmu tentang yang akan datang sebagaimana ada cerita tentang masa lalu.
Al-Quran adalah obat penyakit kalian dan memperbaiki hubungan di antara
kalian. Sebagian ayat Al-Quran berdialog dan berbicara dengan sebagian
yang lain. Sebagian ayat Al-Quran menjadi saksi buat ayat yang lain.
Al-Quran tidak berselisih tentang Allah dan tidak juga pembawa Al-Quran,
Muhammad, menyimpang dari Allah. Al-Quran tidak bengkok sehingga perlu
diluruskan, tidak menyimpang sehingga perlu ditegur dan dinasihati. Ia
tidak diciptakan karena banyaknya penolakan dan seringnya sampai ke
pendengaran. Keajaibannya tidak akan pernah sirna sebagaimana
keanehan-keanehannya tidak bakal lenyap. Kegelapan tidak akan lenyap
tanpa Al-Quran. Al-Quran bak musim semi yang menyegarkan hati. Al-Quran
adalah sumber ilmu. Tidak akan ditemukan sesuatu yang lebih jelas dan
menjadi buat hati selain Al-Quran. Ia merupakan tambang iman dan
fondasinya, sumber ilmu dan lautannya, taman keadilan dan bagian
darinya, dasar Islam dan bangunannya, sungai-sungai bak tempat aliran
kebenaran dan ladangnya, lautan yang tidak akan pernah habis dikuras,
mata air yang mengalir yang tidak akan habis ditadah. Allah menjadikan
Al-Quran sebagai pelepas dahaga ulama, penyemai hati para fakih, sebagai
pelita jalan orang-orang tulus, petunjuk orang yang sadar, kata mutiara
para perawi, penuntas pencari keadilan, penyembuh penyakit yang tak
berefek, dan obat penuntas segala penyakit. Hendaklah sembuhkan
penyakit-penyakit diri kalian dengan Al-Quran, mintailah bantuannya atas
masalah-masalah yang kalian hadapi. Dalam Al-Quran, terdapat obat untuk
penyakit paling sulit, yaitu kekafiran, kemunafikan, kezaliman dan
kesesatan.
Berkenaan dengan
Sunah Rasulullah saw., Ali bin Abi Thalib telah mengajak kaum muslimin
untuk mengamalkannya. Beliau juga senantiasa menerangkan posisi para
imam dalam menyampaikan Sunah yang benar kepada umat Islam serta
menghidupkan ajaran-ajaran Nabi yang berusaha untuk dihilangkan oleh
para penyeleweng dan mereka yang ingin menonaktifkan Sunah Rasulullah
saw.
Ali bin Abi Thalib
berkata, ‘Ikutilah tuntunan Nabi kalian Muhammad saw karena tuntunannya
adalah hidayah yang paling utama. Amalkanlah Sunah Nabi karena Sunahnya
adalah yang paling menuntun manusia’.
Ali bin Abi Thalib
berkata, ‘Hamba yang paling dicintai di sisi Allah adalah orang yang
mengikuti dan mengamalkan sesuai dengan perilaku dan jejak-jejak Nabi
Muhammad saw’. Beliau melanjutkan, ‘Relakanlah Muhammad saw sebagai
pemandu kalian dan jadikan ia sebagai pemimpin menuju keselamatan’.
Ali bin Abi Thalib
berkata, ‘Pada tangan manusia ada kebenaran dan kebatilan, kejujuran dan
kebohongan, nasikh (yang menghapus) dan mansukh (yang terhapus), umum
dan khusus, muhkam (yang pasti) dan mutasyabih (yang samar) dan
dihafalkan dan dikhayalkan. Telah terjadi ada orang yang berdusta atas
nama Rasulullah saw ketika Nabi masih hidup sehingga membuat beliau
harus bersiri berpidato, ‘Barang siapa yang berbohong dengan
mengatasnamakan namaku secara sengaja niscaya ia telah menyiapkan
tempatnya di neraka’.
Ali bin Abi Thalib
berkata, ‘Keluarga Muhammad saw tidak dapat dibandingkan dengan siapa
pun dari umat ini. Kehidupan mereka adalah personifikasi ilmu sementara
kematian bagi mereka sama artinya dengan kebodohan. Mereka tidak pernah
menentang kebenaran dan tidak pernah berselisih tentangnya. Mereka
adalah tiang-tiang penguat agama dan sahabat karib yang menjaga. Dengan
keberadaan mereka niscaya kebenaran kembali pada takarannya dan
kebatilan akan sirna dan lenyap dari tempatnya serta lidahnya akan
terpotong dari pangkalnya. Mereka mengikat agama dengan akal yang sadar
dan terlindung tidak dengan akal yang hanya mendengar dan kemudian
meriwayatkan. Mereka adalah tempat rahasia-rahasia Rasulullah saw dan
pengayom urusannya, pelapis dan pelindung ilmunya dan penakwil
hikmah-hikmahnya, gua tempat buku-bukunya dan gunung yang melindungi
agamanya. Mereka adalah lentera di kegelapan dan sumber kebijakan,
tambang ilmu dan tempatnya kesabaran’.
Ali bin Abi Thalib
berkata, ‘Sesungguhnya aku berada di atas kebenaran yang jelas dari
Tuhanku dan sesuai dengan cara Nabiku. Sesungguhnya aku berada di atas
jalan yang jelas ketika aku berucap’.
Mengenal Tauhid, Keadilan dan Hari Akhir.
Ali bin Abi Thalib
ketika menetapkan dan membuktikan keberadaan Allah swt berkata, ‘Segala
puji syukur hanyalah milik Allah yang menunjukkan keberadaannya dengan
ciptaan-Nya, penciptaan makhluk menunjukkan keazalian-Nya dan kesalahan
yang makhluk-Nya perbuat menunjukkan bahwa tidak ada yang
menyerupai-Nya. Ia berkata, ‘Aku heran kepada orang yang ragu dengan
Allah sementara ia melihat ciptaan-Nya bahkan bagi akal ditampakkan
kepada kita tanda-tanda pengaturan yang rapi dan kepastian yang tidak
berubah.
Ketika Ali bin Abi
Thalib ditanya, ‘Apakah engkau melihat Tuhanmu? Ali menjawab, ‘Bagaimana
mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak kulihat? Kemudian beliau
melanjutkan, ‘Allah tidak dapat dilihat dengan mata panca indera akan
tetapi hati yang melihatnya dengan hakikat iman. Allah lebih agung dari
penetapan pengaturannya dengan hati.
Dalam doanya yang
terkenal dengan nama doa Shabah beliau berkata, ‘Wahai Zat yang
menunjukkan diri-Nya dengan Zat-Nya. Zat yang suci dari penyerupaan
dengan makhluk-Nya. Zat yang lebih mulia dari kesamaan dengan makhluknya
dalam kualitas. Wahai Zat yang lebih dekat dari persangkaan yang
terbetik dalam benak seseorang dan lebih jauh dari sekelebatan pandangan
dan mengetahui sesuatu yang belum terjadi.
Ali bin Abi Thalib
memuat khotbah-khotbahnya dengan pengertian-pengertian yang tinggi yang
diambil dari ayat-ayat Al-Quran yang menunjukkan kekuatan ilahiah;
langit dan bumi. Beliau menjelaskan dengan panjang lebar bagaikan
ilmuwan yang tahu betul apa yang diucapkannya. Ia menjelaskan dengan
detil ayat-ayat kekuasaan Allah yang membuat siapa yang mendengarnya
akan bertambah keimanan, kekhusyukan dan ketundukkannya kepada Allah
swt. Karena begitu mendengar ucapan Ali seseorang dapat merasakan
langsung apa yang dibicarakannya. Sebagaimana Ali berkata, ‘Demi Allah!
Seandainya disingkap segala penutup dari diriku aku tidak akan bertambah
yakin’.
Ali bin Abi Thalib
memberikan penggambaran yang detil tentang sifat-sifat Allah yang
membuat para filsuf menjadikan ucapan-ucapannya sebagai bahan kajian
yang dapat membuka pembahasan lebih luas. Tanpa ucapan-ucapan Ali
pembahasan sifat ilahi para pembahas dapat tersesat karena ucapan beliau
bersumber dari hidayah rabbani.
Beliau berkata,
‘Kesempurnaan tauhid dan pengesaan Allah adalah ikhlas kepada-Nya.
Kesempurnaan keikhlasan kepada Allah swt adalah menafikan sifat
dari-Nya. Hal itu dikarenakan setiap sifat pasti bukan zat yang disifati
dan setiap zat yang disifati pasti bukan sifat. Oleh karenanya, barang
siapa yang menyifati Allah swt berarti ia telah menjadikan teman
bagi-Nya. Dan barang siapa yang berpikir bahwa Allah memiliki teman itu
berarti ia telah menduakan-Nya. Barang siapa yang menduakan-Nya berarti
ia telah membagi-Nya. Dan barang siapa yang membagi-Nya berarti ia tidak
mengerti tentang-Nya. Dan barang siapa yang tidak mengetahui-Nya
berarti ia telah menunjukkan-Nya. Barang siapa yang menunjuki-Nya
berarti ia telah membatasi-Nya. Dan barang siapa yang membatasi-Nya
berarti telah menganggap-Nya berbilang. Allah ada tanpa diciptakan,
wujud-Nya tidak diperoleh setelah sebelumnya tidak ada. Allah senantiasa
bersama dengan segala sesuatu tapi tidak menemani mereka dan tidak
bersama segala sesuatu tapi tidak sirna.
Ali bin Abi Thalib
berargumentasi tentang keesaan Allah dengan ucapannya, ‘Ketahuilah wahai
anakku, Seandainya Allah memiliki sekutu niscaya utusannya telah
mendatangimu dan engkau akan melihat bekas-bekas kerajaan dan
kekuasannya. Ketahuilah wahai anakku, tidak ada seseorang pun yang
memberikan kabar berita tentang Allah swt sebagaimana kabar berita yang
dibawakan oleh Rasulullah saw maka relakanlah ia menjadi penuntunmu’.
Ali bin Abi Thalib
memerikan keadilan Allah swt dengan ucapannya, ‘Keadilan membuat Allah
tidak berbuat kezaliman kepada hamba-Nya dan berbuat keadilan terhadap
semua makhluk-Nya. Allah berbuat keadilan kepada semua makhluk-Nya dalam
hukum dan menghukumi segala sesuatunya dengan keadilan. Ali kebudian
berkata, ‘Sesungguhnya Allah tidak memerintahkanmu kecuali ada kebaikan
dibaliknya dan tidak akan melarangmu kecuali ada kejelekan dibalik
larangannya. Hukum-Nya satu tidak pilih kasih baik untuk penghuni langit
atau bumi. Allah tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga karena
perbuatan yang membuatnya seharusnya berada di neraka’.
Mengenal Kepemimpinan Ilahi (Kenabian dan Imamah)
Hidayah ilahi yang
disebut dengan kepemimpinan orang-orang yang diberi hidayah. Orang-orang
yang dipilih oleh Allah untuk memberi petunjuk kepada hamba-hamba Allah
adalah sunnatullah yang senantiasa ada bagi makhluk-Nya. Allah
membekali mereka dengan akal, ilmu dan mempersenjatai mereka dengan
iradah dan kehendak.
Sunnatullah yang
berlaku kepada manusia ini dimulai dengan pemilihan Adam AS. sebagai
sebaik-baik makhluk-Nya. Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Allah swt kemudian
menurunkan Adam ke bumi setelah ia bertaubat agar ia memakmurkan dunia
dengan anak keturunannya sekaligus menegakkan bukti Allah kepada
hamba-Nya. Allah tidak akan membiarkan mereka dalam kekosongan setelah
memilih mereka dan menegaskan kepada makhluk-Nya akan bukti rububiah-Nya
yang menjadi perantara antara makhluk-Nya dan pengetahuannya. Bahkan
Allah swt telah mengadakan perjanjian dengan mereka lewat lisan
manusia-manusia pilihan-Nya dari para Nabi dan mereka yang bertanggung
jawab membawa amanat risalah-Nya dari abad ke abad. Allah meletakkan
amanat tersebut kepada sebaik-baik orang yang mampu menjaga amanat-Nya.
Keturunan-keturunan mulia inilah yang memegang amanat tersebut yang
berpindah dari rahim yang suci ke rahim suci lainnya. Semua ini bak
rantai yang tak berputus hingga sampai pada keturunan terakhir mereka
Muhammad saw. Keturunan termulia dari tambang ilmu dan keutamaan.
Keturunan yang lahir dari pohon di mana para Nabi Allah berasal dari
sana begitu juga mereka para pembawa amanat ilahi’.
Ali bin Abi Thalib
menyifati kezuhudan para Nabi, keberanian, kerendahan hati dan bagaimana
Allah melindungi dan mendidik mereka sekaligus menguji dan memberi
cobaan kepada mereka dalam perjuangan di jalan Allah. Ali juga
menjelaskan kewajiban-kewajiban para Nabi yang dapat dilihat dalam
masalah tablig dan dakwah kepada Allah swt, memberi kabar gembira dan
ancaman, menegakkan hukum Allah di bumi, memberi petunjuk manusia dengan
mengeluarkan mereka dari kebodohan dan kesesatan dan berjuang
menghadapi musuh-musuh Allah.
Jalan yang telah
dipersiapkan Allah untuk memberikan petunjuk manusia akan berlangsung
secara berkesinambungan hingga hari kiamat. Oleh karenanya, bumi tidak
akan pernah kosong dari bukti Allah; baik itu tampak dan diketahui
banyak orang atau tersembunyi. Karena yang terpenting adalah bagaimana
bukti Allah tetap ada di muka bumi dan tidak lenyap. Ketika kenabian
telah berakhir dengan Nabi Muhammad saw, maka perintah pemberian
petunjuk berpindah kepada keluarganya yang dikenal sebagai keluarga
terbaik. Orang-orang yang bilsa berbicara pasti dilakukan dengan
kejujuran dan bila berdiam diri tidak didahului. Mereka berasal dari
pohon kenabian, dilingkupi oleh risalah kenabian, tempat lalu lalang
para malaikat, tambang ilmu pengetahuan dan sumber kebijakan. Mereka
orang-orang yang memiliki posisi yang mulia di sisi Allah. Dengan
keberadaan mereka Allah swt menjaga bukti-bukti dan hujjah-Nya. Al-Quran
dapat diketahui karena mereka dan dengan Al-Quran mereka dapat
dikenal, pada mereka kemuliaan Al-Quran tersimpan dan khazanah kasih
sayang Allah dan mereka orang-orang yang disebut dalam Al-Quran
Ar-Rasikhun bil ‘Ilm (orang-orang yang menyatu dengan ilmu tentang
Al-Quran). Kesabaran mereka akan menjelaskan seberapa luas ilmu yang
dimiliki, bentuk dan perilaku lahiriah mereka akan menunjukkan batin
mereka dan diamnya mereka menandakan kebijakan berpikir dan bertutur.
Mereka tidak pernah menentang kebenaran dan tidak pernah berselisih
dalam hal kebenaran. Mereka adalah tiang-tiang penguat agama dan bak
sahabat karib yang menjaga agama. Dengan keberadaan mereka niscaya
kebenaran kembali pada takarannya dan kebatilan akan sirna dan lenyap
dari tempatnya. Mereka adalah asas agama dan pokok keyakinan. Orang yang
telah melampaui batas akan menyesuaikan dirinya dengan menjadikan
mereka sebagai tolok ukur dan orang yang tertinggal dapat menyesuaikan
diri dengan menjadikan mereka sebagai patokan. Mereka memiliki
kekhususan-kekhususan tertentu seperti hak memiliki wilayah
(kepemimpinan) dan wasiat serta warisan Nabi tentang kepemimpinan
adalah untuk mereka.
Ali bin Abi Thalib
menegaskan kedudukan dan posisi Ahli Bayt AS. selaku pemimpin baik dalam
bidang pemikiran maupun dalam bidang politik. Ali berusaha mendekatkan
kepemimpinan yang terlanjur dijauhkan dari pemiliknya yang semestinya
setelah ditentukan oleh Nabi Muhammad saw. Beliau mengkritik cara
pandang dan kebijakan para khalifah sebelum dirinya baik secara global
maupun detil. Sekalipun dengan kritik itu beliau telah merelakan, secara
terpaksa, haknya sebagai khalifah dan berusaha mengajukan ide-ide murni
yang bersumber dari Nabi tentang kepemimpinan setelah Rasulullah saw.
Ali tetap berjuang untuk merealisasikan kebenaran dengan cara dan metode
yang bijak dan sesuai dengan kondisi kritis yang sedang dialami negara
dan umat Islam pada waktu itu. Beliau mampu mengajukan teori dan sistem
yang sempurna dan menyiapkan sejumlah kader untuk menerapkannya ketika
kondisi memungkinkan untuk itu.
Mengenal Imam Mahdi a.f.
Kajian tentang masalah Imam Mahdi afs. terpengaruh perhatian yang
diberikan kepada Al-Quran dan Nabi Muhammad saw. Ali bin Abi Thalib AS.
sekalipun dalam kondisi yang sulit di mana masyarakat Islam yang baru
dan belum stabil masih tetap memberikan perhatian yang cukup tentang
masalah Imam Mahdi AF. Beliau berkata, ‘Ketahuilah bahwa pada suatu hari
–dan hari itu akan datang sekalipun kalian tidak mengetahuinya kapan-
di mana seorang pemimpin akan muncul dan bukan dari keluarga pemimpin
yang ada sekarang. Ia akan menghukumi para pejabat pemerintahan sesuai
dengan perbuatan buruk mereka. Bumi akan mengeluarkan barang tambangnya
demi sang pemimpin. Ia akan menunjukkan bagaimana cara menjalankan roda
pemerintahan dengan adil kepada kalian. Al-Quran dan Sunah Nabi yang
sampai sebelum munculnya dipinggirkan dan tidak dipergunakan sebagaimana
mestinya akan dihidupkan kembali olehnya’.
Ucapan Ali bin Abi
Thalib tentang Imam Mahdi AF. Adalah cara pandang yang detil dan pasti
serta memberikan penerangan yang jelas mengenai tanda-tanda
kemunculannya. Kemunculannya akan terlihat pada revolusi global yang
kemudian memberikan kesempatan kembali kepada Islam memainkan peranannya
di dunia Islam dan bahkan untuk manusia dan kemanusiaan. Ali tentang
pemimpin revolusi global ini berkata, ‘Oleh Imam Mahdi AF. segala
keinginan yang ada akan diikutkan sesuai dengan petunjuk wahyu setelah
sebelumnya masyarakat menjadikan hidayah dan petunjuk senantiasa
mengikuti hawa nafsunya. Masyarakat dengan segala macam teori yang ada
dipaksakan kepada Al-Quran dan Al-Quran hanya dipakai sebagai bahan
justifikasi pendapat mereka sementara Imam Mahdi AF. berusaha agar semua
teori dan pandangan yang ada malah mengikuti Al-Quran dan bukan
sebaliknya’.
Sebuah yayasan yang
bernama Muassasah Nahjul Balaghah telah berhasil mengumpulkan
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib tentang Imam Mahdi
afs. Hadis-hadis tersebut telah terkumpul dalam satu volume dan hadis
yang terkumpul sebanyak 291 hadis. Empat belas hadis berbicara tentang
nama, sifat-sifat dan nama panggilan dari Imam Mahdi. Tujuh puluh tujuh
hadis menjelaskan tentang keturunan Imam Mahdi AF. bahwa ia berasal dari
keturunan Quraisy, Bani Hasyim, Ahli Bayt dan dari keturunan Ali bin
Abi Thalib sendiri. Ia adalah keturunan dari Fathimah Az-Zahra a.s. juga
keturunan dari Imam Husein a.s. dan salah satu imam kedua belas. Empat
puluh lima hadis berhubungan dengan Imam Mahdi afs. dalam Al-Quran,
Nahjul Balaghah dan syair yang diucapkan oleh Ali bin Abi Thalib. Dua
puluh tiga hadis berbicara tentang para penolong Imam Mahdi afs. dan
riwayat-riwayat yang menyinggung tentang pemimpin. Dua belas hadis
bercerita tentang masalah keluarga Sufyan dan Dajjal. Dua puluh enam
hadis menjelaskan tentang kegaiban Imam Mahdi afs. dan ujian serta
cobaan orang-orang Syi’ah semasa kegaiban Imam Mahdi dan keutamaan
melakukan penantian kemunculan Imam Mahdi afs. Tujuh puluh lima hadis
menceritakan tentang fitnah sebelum kemunculan Imam Mahdi afs.
tanda-tanda kemunculannya, apa yang akan diperbuat dan akan terjadi
setelah kemunculan Imam Mahdi afs. masalah hewan-hewan berkaki empat di
bumi serta Ya’juj dan Ma’juj. Sembilan belas hadis berkaitan dengan
keutamaan masjid Kufah dan akan keluarnya seorang dari Ahli Bayt dengan
orang-orang dari timur yang membawa pedang di pundaknya selama delapan
bulan sehingga orang-orang berkata, ‘Demi Allah! Orang ini dari
keturunan Fathimah. Kemudian ia menjelaskan pemerintahan di muka bumi
dengan munculnya Imam Mahdi afs. bagaimana ia memerintah dan terakhir
bagaimana agama ditutup dengannya.
Ali bin Abi Thalib
berkata, ‘Wahai Kumail! Ilmu yang ada ini akulah pembukanya sementara
rahasia yang ada diakhiri oleh Al-Mahdi afs. Wahai Kumail! Kalian perlu
memperhatikan masa lalu kalian dan kami yang akan menang dibanding
kalian’.
Agama dibuka dan
ditutup dengan kami. Karena kami orang-orang selamat dari kesesatan yang
ditimbulkan oleh fitnah sebagaimana mereka telah diselamatkan dari
kesesatan syirik. Allah swt mendekatkan hati kaum muslimin berkat kami
setelah permusuhan yang ditimbulkan oleh fitnah sebagaimana hati dan
agama mereka telah didekatkan setelah permusuhan yang berlandaskan
kesyirikan’. Seandainya pemimpin kami, Al-Mahdi, telah muncul niscaya
langit akan mengucurkan hujan dan bumi akan menumbuhkan tanaman.
Permusuhan akan hilang dari hati manusia. Binatang-binatang liar akan
menjadi jinak sehingga seorang wanita berjalan dari Irak hingga ke Syam
dengan aman. Ia hanya meletakkan kakinya di atas tumbuh-tumbuhan dan
perhiasan yang berada di atas kepalanya tetap karena binatang-binaang
buas tidak mengganggu dan tidak menakuti-nakutinya’.
Mengenal Pemerintahan Islam: Filsafat dan Prinsip
Ali telah
mengajukan bentuk praktis dalam pemerintahan Islam sepeninggal
Rasulullah saw. Bentuk praktis ini digandengkan dengan teori paripurna
yang sesuai dengan berbagai dimensi kehidupan yang ditunjukkan dengan
surat dan perjanjiannya yang terkenal kepada Malik Al-Asytar ketika
diangkat menjadi gubernur Mesir. Para sosiolog begitu menaruh perhatian
terhadap surat ini dan memberikan komentar, penjelasan dan
membandingkannya dengan sistem sosial pemerintahan lain. Teks ini
termasuk salah satu dalil bagi keindahannya dan dengan ini mazhab Ahlul
Bait berbeda dengan semua aliran yang ada yang membawa nama Islam dan
kekhalifahan Islam. Sebagai tambahan dari teks yang luar biasa ini dapat
ditemukan di Nahjul Balaghah dan buku-buku lainnya yang sampai kepada
para ulama, teks ini juga dapat membantu untuk memahami dan menyingkap
ide dan pemikiran Ali bin Abi Thalib dan pandangan Islam tentang
filsafat pemerintahan dan sistemnya baik prinsip maupun cabang
masalahnya. Untuk itu ada baiknya untuk melihat secara ringkas pandangan
tersebut.
Ali bin Abi Thalib
telah menegaskan bahwa pemerintahan adalah merupakan keharusan sosial
manusia dengan ucapannya, ‘Masyarakat, apapun itu, membutuhkan pemimpin;
baik atau buruk. Sementara Imamah adalah sistem umat’. Beliau juga
kemudian menjelaskan bahwa pemerintahan adalah pengenalan terhadap
kehidupan itu sendiri, ‘Kekuasaan menampakkan kekhususan yang baik
sebagaimana terkadang memunculkan keburukan’.
Beliau menjelaskan
bahwa pemerintahan dan kekuasaan adalah sesuatu yang bakal lenyap. Oleh
karenanya, jangan sampai tertipu olehnya. Beliau berkata, ‘Negara,
sebagaimana dia diterima juga ditolak’. Kemudian beliau memberikan
pandangan pemerintahan yang baik dan memberikan manfaat bahwa
pemerintahan yang patut dicontoh adalah yang memiliki nilai dan layak
untuk dipersiapkan dan dibuat rencana masa depannya.
Garis-garis besar sistem pemerintahan Islam dan fungsi negara percontohan Islam sebagai berikut:
Membudayakan dan mendidik umat.
Menegakkan keadilan.
Mengayomi agama.
Menegakkan supremasi hukum.
Mendidik masyarakat.
Bersungguh-sungguh dalam memperbaiki (nasihat) dan penyampaiannya.
Menyiapkan dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat.
Melindungi dan membela kemerdekaan dan kemuliaan umat.
Mengamankan stabilitas dalam negeri.
Menolong kaum lemah.
Membantu orang tertindas.
Perhatian lebih pada pembangunan.
Sementara
syarat-syarat penguasa yang patut dicontoh hendaknya ia memiliki
sifat-sifat yang dipandang penting dalam menguatkan dan menstabilkan
negara. Secara ringkas syarat-syarat pemimpin sebagai berikut:
Menolong dan membantu kebenaran.
Memahami permasalahan yang dihadapi.
Pengetahuan yang luas.
Keberanian dalam menegakkan kebenaran.
Memiliki niat yang baik.
Berbuat baik kepada rakyat.
Memiliki rasa harga diri yang tinggi.
Berbuat adil tanpa pandang bulu.
Kemampuan manajemen dan ekonomi.
Kejujuran.
Kelemahlembutan.
Sabar.
Melindungi dan membela agama.
Warak.
Dipercaya dan bertanggung jawab.
Sadar.
Mengeluarkan undang-undang yang mampu dilakukan oleh masyarakat.
Tidak membohongi masyarakat dengan alasan kekuasaan.
Pembagian kerja yang benar dan penunjukan tanggung jawab sesuai dengan kemampuannya.
Usaha keras dan kedermawanan namun tidak menghambur-hamburkan kekayaan negara secara royal.
Ungkapan Ali bin
Abi Thalib penuh dengan sebab-sebab yang dapat meruntuhkan sebuah negara
sekaligus juga mewanti-wanti para penguasa, pejabat dan para wali kota
untuk berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalamnya. Secara ringkas
beberapa sebab yang dapat meruntuhkan sebuah negara:
Kebodohan
Pemaksaan pendapat dan enggan bermusyawarah.
Mengikuti hawa nafsu.
Berjumlahnya pusat kekuatan.
Percaya pada kebatilan dan memandang remeh agama.
Bertindak sewenang-wenang.
Sombong dan bangga atas dirinya.
Tidak berbuat baik.
Menyia-nyiakan potensi dan kekayaan negara.
Lupa diri.
Balas dendam.
Manajemen yang korup.
Jarang belajar dari pengalaman.
Sering berbuat kesalahan.
Menghancurkan pilar-pilar pemerintah.
Menempatkan
orang-orang yang tidak kompeten pada jabatan tertentu. Ali bin Abi
Thalib berkata: “Mendudukkan orang-orang tidak kompeten pada
jabatan-jabatan pemerintahan akan membuat negara tidak dipercaya, bahkan
runtuh”.
Pengkhianatan. Ali
bin Abi Thalib berkata: “Bila terjadi pengkhianatan, berkah dalam
kehidupan akan sirna. Barang siapa yang menterinya melakukan
pengkhianatan, manajemen pemerintahannya akan korup”.
Kelemahan dalam
politik. Ali bin Abi Thalib berkata: “Bahaya yang senantiasa mengintai
para pemimpin adalah kelemahan dalam berpolitik. Bahaya orang yang kuat
adalah kelemahan dalam menahan marah. Barang siapa yang terlambat
mengatur sesuatu, sungguh ia sedang mendahulukan kehancurannya”.
Perilaku buruk. Ali bin Abi Thalib berkata: “Bahaya yang senantiasa mengintai para penguasa adalah perilaku buruk”.
Lemahnya para pejabat dan wali kota.
Lemahnya dukungan
masyarakat pada penguasa. Ali bin Abi Thalib berkata: “Ancaman bagi
suatu pemerintahan adalah lemahnya dukungan”.
Prasangka buruk terhadap orang yang menasihati merupakan tanda kehancuran sebuah pemerintahan.
Ketamakan pemimpin
akan kelezatan dunia. Ali bin Abi Thalib berkata: “Seorang pemimpin
adalah orang yang tidak mencari muka, tidak menipu dan tidak ditipu oleh
ketamakan”. Ia menambahkan: “Ketamakan merendahkan seorang pemimpin”.
Instabilitas sosial-politik.
Mengenal Ibadah dan Tanggung Jawab Ali.
Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Sesungguhnya Allah swt mewajibkan
kepada kalian sejumlah kewajiban maka jangan kalian sia-siakan itu.
Allah telah memberikan batasan-batasan kepada kalian maka jangan kalian
langgar itu. Allah telah melarang kalian dari beberapa perkara maka
jangan kalian terjang larangan itu. Allah tidak memberikan perintah
kepada kalian tentang banyak hal dan itu bukan karena lupa, maka jangan
kalian memaksakan diri. Allah tidak pernah memerintahkan kalian akan
satu perkara melainkan atas dasar kebaikan yang dikandungnya dan tidak
melarang kalian akan satu perkara melainkan atas dasar kejelekan dan
keburukan yang dikandungnya’.
Ali bin Abi Thalib
berkata, ‘Seyogianya engkau menjaga segala sesuatu yang bila engkau
menyia-siakannya engkau tidak bakal diampuni’. Ali bin Abi Thalib
berkata, ‘Hal pertama yang diwajibkan oleh Allah kepada kalian adalah
menyukuri nikmat-Nya dan mencari keridaan-Nya. Sangat beruntung orang
yang senantiasa menjaga ketaatannya kepada Tuhannya. Orang-orang yang
bercepat-cepat melakukan ketaatan dan mendahului orang lain melakukan
perbuatan baik. Bila kalian tidak melakukannya maka itu berarti kalian
tidak melakukan perintah-perintah dan kewajiban-kewajiban Allah swt.
Tidak diperkenankan seorang mendekati Allah dengan ibadah-ibadah sunah
sementara ia masih disibukkan dengan ibadah-ibadah wajib. Tidak ada
ibadah yang nilainya menyamai pelaksanaan kewajiban’. Ali bin Abi Thalib
juga sangat memperhatikan penjelasan tentang filsafat sejumlah dari
syariat dan hukum Islam. Beliau berkata, ‘Allah swt mewajibkan iman
untuk menyucikan manusia dari syirik. Salat untuk menyucikan manusia
dari kesombongan, zakat untuk menambah rezeki, puasa untuk menguji
keikhlasan seorang hamba, haji untuk menguatkan agama, jihad untuk
kemuliaan Islam, amar makruf untuk kebaikan dan kemaslahatan masyarakat
awam, nahi mungkar untuk mencegah orang-orang bodoh berlaku tanpa
petunjuk, silaturahmi memanjangkan umur, qisas untuk mencegah
pertumpahan darah tanpa sebab, menegakkan hukum pidana untuk memuliakan
hukum (hal-hal yang haram), meninggalkan minuman keras dan memabukkan
untuk menjaga akal, menjauhi perbuatan mencuri untuk menambah kemuliaan,
meninggalkan zina untuk menjaga keturunan, meninggalkan liwat (perilaku
seks sesama jenis) untuk memperbanyak keturunan, syahadah (martir)
untuk menunjukkan kepada para pengingkar, meninggalkan dusta untuk
memuliakan kejujuran, Islam memberikan keamanan kepada seseorang dari
ketakutan, imamah sebagai sebuah sistem pemerintahan untuk umat dan
ketaatan untuk menghormati imamah’.
Ali bin Abi Thalib
berkata, ‘Zakatnya badan adalah jihad dan puasa dan orang yang melakukan
ziarah kepada Ka’bah akan aman dari azab Allah swt’.
Dan Ali bin Abi
Thalib berkata, ‘Laksanakan amar makruf engkau akan menjadi orang yang
berbuat baik, jauhi dan larang perbuatan mungkar dan jelek dengan tangan
dan lidah. Pisahkan perilaku keduanya dengan usaha yang yang
sungguh-sungguh dari mu. Tujuan agama adalah amar makruf dan nahi
mungkar serta menegakkan supremasi hukum. Jihad adalah tiang agama dan
cara untuk selamat. Barang siapa yang melakukan jihad dengan menegakkan
kebenaran akan berhasil. Mereka yang berjihad akan terbuka untuk mereka
pintu-pintu langit. Balasan dan pahala orang berjihad adalah yang paling
agung dan mulia’.
Mengenal Akhlak dan Pendidikan Ali
Ali bin Abi Thalib
sangat mementingkan pendidikan masyarakat dan berusaha untuk mengobati
penyimpangan akhlak yang terjadi dalam diri manusia yang berakar yang
sangat dalam. Ia menyebutkan obat paling penting dan asasi demikian:
“Ketahuilah, sesungguhnya cinta dunia adalah pokok segala kesalahan”.
Ali a.s. menjelaskan sebab utama dari cinta dunia ketika menerangkan
sebab-sebab persekongkolan untuk membuangkan prinsip-prinsip Nabi saw.
oleh para khalifah. Rahasia saat mereka merampok kepemimpinan darinya
padahal mereka tahu benar akan banyaknya teks-teks hadis Nabi saw. yang
menyebutkan bahwa kepemimpinan setelah beliau berada di tangan Ali bin
Abi Thalib. Ali berkata, ‘Tidak, mereka telah mendengar hadis-hadis
tentang kepemimpinanku dan sadar akan keberadaannya, akan tetapi
keindahan dunia telah menghiasi mata mereka.
Akibat dari
kecintaan yang sangat adalah manusia akan mempergunakan segala macam
cara untuk mencapai tujuannya. Kecintaan terhadap sesuatu sering membuat
sang pencinta menjadi buta dan tuli. Oleh karenanya, para khalifah
mencari-cari alasan dengan segala macam cara sebagai pembenaran
kelayakan mereka sebagai khalifah. Alasan-alasan inilah yang dibantah
dengan sangat kuat dan indah oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi mereka
tetap bersikeras untuk tetap melakukan apa yang sudah mereka rencanakan
sebelumnya berhadapan dengan sikap Ali. Dan bila ditanyakan kepada Ali
tentang obat paling manjur untuk mengobat penyakit yang telah menghunjam
dalam peyimpangannya, beliau pasti akan berkata bahwa obatnya adalah
sebagaimana yang disebutkannya secara detil tentang orang yang bertakwa
(muttakin) dalam salah satu khotbahnya yang terkenal dengan sebutan
khotbah Hammam (nama salah seorang sahabatnya yang bertanya tentang
sifat mukmin). Ali menjelaskan rahasia bagaimana orang-orang muttakin
bisa sampai kepada derajat kesempurnaan yang demikian karena ketakwaan.
Beliau berkata, ‘Allah swt sebagai pencipta agung di mata dan jiwa
mereka sementara mereka memandang selain-Nya adalah kecil’. Demikianlah
sebuah makrifat hakiki tentang Allah yang menjadi sebab bagaimana dunia
bisa rendah dan kecil di mata orang-orang muttakin. Bila dunia telah
kecil dan rendah di mata mereka maka dunia tidak bisa menjadi tujuan dan
tidak akan dikejar secara sungguh-sungguh untuk dapat memilikinya.
Bahkan yang terjadi adalah mereka tidak rakus untuk memiliki dunia
sebagaimana Ali bin Abi Thalib tidak tamak akan dunia. Beliau menerima
untuk tidak menjadi khalifah ketika Quraisy memaksanya untuk
meninggalkan dan berlepas tangan dari kekhalifahan dengan ucapanya,
‘Kekhalifahan telah membuat orang-orang menjadi egois dan jiwa menjadi
kikir sementara untuk sebagian orang lain jiwa mereka menjadi celaka.
Hakim adalah Allah swt dan janji yang disampaikan akan ditemui di hari
kiamat’.
Dari sini dalam
masyarakat Islam ada dua kelompok akhlak dan moral yang berbeda bahkan
saling bertentangan; moral yang dipraktekkan oleh Ali bin Abi Thalib
menjauhkan politik machiaveli dan moral yang lain dipraktekkan oleh para
khalifah yang meyakini pembenaran capaian tujuan dengan segala macam
cara. Tampak bagaimana dalam asalah kekhalifahan Ali lebih memilih zuhd
dan meninggalkannya sementara selainnya begitu rakus dan tamak meraih
dan merebutnya dari tangan orang yang berhak.
Mengenal Doa dan Munajat Ali.
Sebagaimana para imam yang lain, Ali bin Abi Thalib juga
memberikan perhatian yang besar tentang doa dan munajat. Tentunya,
setelah Al-Quran membuka masalah ini dengan berbicara kepada Rasulullah
saw. Allah swt. Berfirman: “Katakanlah, Tuhanku tidak akan mengindahkan
kalian bila tidak karena doa yang kalian panjatkan”.
Ali bin Abi Thalib
menjelaskan arti-penting doa lewat teks-teks yang diriwayatkan darinya,
di samping perilaku beliau sendiri. Ali bin Abi Thalib berkata: “Doa
adalah senjata para wali Allah”.
Nahjul Balaghah
sendiri memuat doa-doa yang bernilai tinggi di berbagai bidang. Doa-doa
Ali a.s. dikumpulkan dalam sebuah kitab yang dikenal dengan nama
Shahifah Alawiyah. Di antara doa-doa pilihan adalah doa Kumail, doa
Shabah dan munajat Sya’baniyah. Berikut ini beberapa penggalan dari
munajat puitis yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib:
Segala puji atas-Mu, wahai pemilik derma, kebesaran dan keluhuran
Berkah-Mu sampai kepada siapa yang diinginkan atau tidak
Tuhanku, penciptaku, pelindungku dan harapan perlindunganku
Aku akan memohon kepada-Mu meski aku sulit atau senang
Tuhan!
Bila dosa-dosaku besar dan banyak
Ampunan-Mu lebih besar dan luas
Tuhan!
Andai kuikuti semua keinginanku
Kini aku di taman penyesalan mengapa kulakukan semua itu?
Tuhan!
Engkau melihat keadaanku, kefakiranku dan kebingunganku
Engkau mendengar munajatku sekalipun kupelankan suaraku
Tuhan!
Jangan Engkau putuskan harapan yang kutambatkan pada-Mu
Jangan biarkan putus asaku karena harapanku hanyalah Engkau
Tuhan!
Bbila Engkau putuskan harapanku dan mengusirku dari-Mu
Kepada siapa kuberharap dan kepada siapa kupinta syafaat
Tuhan!
Bebaskan aku dari azab-Mu karena sesungguhnya
Aku terpenjara dan rendah
Aku tunduk dan takut kepada-Mu
Tuhan!
Bila Engkau menyiksaku selama ribuan tahun
Aku tahu bahwa benang harapan dari-Mu tak akan terputus
Tuhanku!
Bila Engkau hanya mengampuni orang-orang baik
Siapa yang akan memaafkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya?
Tuhan!
Orang yang merindukan-Mu
Melewatkan malam-malamnya tanpa tidur
Memohon dan bermunajat hingga pagi lupa melaksanakan salat subuh
Mengenal Sastra Ali
Nahjul Balaghah dan
kitab-kitab lainnya yang ditulis untuk melestarikan khazanah
intelektual Ali bin Abi Thalib dapat dijumpai secara mudah. Bahkan
khazanah ini dikemas dalam bentuk sedemikian puitis tanpa merusak
kaidah-kaidah syair Arab. Keindahan dan keunggulan ini membuat orang
sadar akan nilai dan pribadi Ali bin Abi Thalib, dalam pidato, surat,
kata-kata mutiaranya, dan dalam puisi dan sastra Arab. Tidak berlebihan
bila dikatakan, sebagaimana penilaian para ahli sastra, bahwa sastra Ali
bin Abi Thalib a.s adalah sastra terbaik yang pernah dikenal oleh
sejarah dari sisi kaidah, kedalaman dan pesan-pesan yang dikandungnya.
Berikut ini adalah
beberapa contoh dari syair Ali bin Abi Thalib dalam beberapa tema,
tentunya setelah dapat dipastikan bahwa syair-syiar ini tercatat dalam
diwan (koleksium syair) yang dinisbatkan kepadanya. Ini diperkuat oleh
sebagian ahli sejarah yang memberikan kesaksian dan mengutip bait-bait
syairnya.
Ali bin Abi Thalib a.s. mengucapkan melantunkan syiar untuk mengenang kematian sang ayah tercinta:
Abu Thalib pelindung para penuntut lindungan
Bak hujan curah, bak cahaya di kegelapan
Kepergianmu tlah merusak rantai pelindung
Dari Allah Pemberi nikmat salawat atasmu
Tuhanmu restui perbuatanmu
Paman terbaik bagi Musthafa
Al-Jahizh
Al-Baladzari menuturkan: “Ali bin Abi Thalib adalah sahabat Nabi yang
paling pandai dan fasih merangkai syair, orator yang tak tertandingi,
dan terutama dalam seni tulis. Pada hari Ghadir Khum, Ali pernah
melantunkan syair demikian:
Rasul menolong kami kala mereka berselisih dan bermusuhan
Kaum muslimin yang sadar kembali padanya
Kami arahkan mereka yang sesat demi hormai Rasul
Kala mereka belum melihat jalan dan petunjuk yang benar
Kala Rasul membawa hidayah, kami semua
Senantiasa menaati Allah, kebenaran dan takwa
Dalam Tadzkirah Al-Khawash, Sibth bin Al-Jauzi meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib a.s. bersyair:
Tamak akan dunia memaksa orang untuk mengaturnya
Bagimu kejernihan dunia telah dikeruhkan
Mereka tak temukan rezeki dunia dengan akal
Mereka temukan rezeki dengan takaran
Bahkan dengan kekuatan atau perang
Bak burung pemburu temukan rezeki burung gereja
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib a.s.:
Penyakitmu ada pada dirimu sendiri, sayang tak sadar
Obatnya pun dari dirimu sendiri, sayang tak tak peduli
Akankah kau anggap dirimu sebongkah kecil
Kala rahasia alam besar dalam dirimu
Salawat dan salam atasmu, wahai ayah Hasan dan Husein!
Wahai penghulu sastrawan!
Salam atasmu pada hari kelahiran, hari keimanan, hari perjuangan, hari
kesabaran, hari ketika engkau menempatkan hukum di atas segala-galanya,
hari ketika engkau syahid dengan penuh kesabaran, dan hari ketika engkau
dibangkitkan kembali, hari di mana engkau menuntun para pecintamu
menuju telaga kautsar sampai surga na’im!