Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Ummu Salamah. Show all posts
Showing posts with label Ummu Salamah. Show all posts

Dimanakah sumber-sumber riwayat yang mengabarkan tentang peristiwa-peristiwa dan kezaliman-kezaliman mendatang terhadap Amirul Mukminin As?



Saya telah mencari riwayat-riwayat yang di dalamnya mengatakan bahwa Rasulullah Saw mengabarkan tentang kezaliman-kezaliman yang mendatang akan terjadi pada Amirul Mukminin As. Misalnya saya banyak mendengar bahwa beliau telah memprediksikan tiga perang Ali As atau saat perdamaian Hudaibiyyah beliau bersabda bahwa "suatu hari namamu pasti akan bersih" dan ... Bisakah Anda memberikan sumber-sumber kitab yang di dalamnya mencantumkan berita-berita ini?

Jawaban Global:
Terdapat riwayat-riwayat dalam kitab-kitab riwayat dan sejarah dimana Rasulullah mengabarkan sebagian dari peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang (pada masa Imam Ali As). Di bawah ini, kami akan menyinggung sebagian dari riwayat-riwayat ini:
Prediksi Rasulullah dalam Perdamaian Hudaibiyyah. Setelah terjadi kesepakatan terhadap asli perdamaian, saat Imam Ali As menuliskan teks perjanjian dengan dikte dari Rasulullah, perwakilan Quraish menentang penulisan bismillahirrahmanirrahim di atas surat perjanjian, demikian juga penulisan Rasulullah yang mengakhiri penulisan nama nabi. Negosiasi mengenai masalah ini memakan waktu yang lama. Akhirnya, dikarenakan kebaikan yang terdapat dalam perjanjian ini, Rasulullah Saw pun terpaksa menyepakatinya, kepada Ali As yang keberatan untuk menghapus kata Rasulullah, beliau bersabda, "Keadaan seperti ini juga akan terjadi atasmu dan engkau terpaksa akan menyerah karenanya."[1] Prediksi ini, yaitu penghapusan nama Amirul Mukminin di akhir nama Ali As terjadi dalam peristiwa perang Shiffin, atas desakan Muawiyyah.[2]

Rasulullah Saw dalam sebuah riwayat yang ditujukan kepada Ummu Salamah, istri beliau, menyebutkan nama-nama para penentang dan mereka yang melakukan peperangan dengan Imam Ali As, demikian, "Ya Ummu Salamah! Ini Ali, demi Allah, akan menjadi pembunuh Qashitin, Nakitsin dan Mariqin setelahku."[3]
Pada riwayat lain, Rasulullah Saw menyebutkan lebih jauh nama-nama di atas, dan dalam menjawab pertanyaan Ummu Salamah yang bertanya tentang siapakah ketiga kelompok penentang ini, beliau bersabda, "Nakitsin adalah mereka yang melakukan baiat dengan Ali di Madinah, akan tetapi membatalkannya di Bashrah, Qasithin adalah Muawiyah dan sahabat-sahabatnya di Syam, sedangkan Mariqin adalah kelompok Nahrawan."[4]

Riwayat-riwayat dengan pemahaman yang serupa juga telah disampaikan dari Ammar Yassir dan Abu Ayyub Anshari.[5]

Rasulullah Saw, dengan tegas dan secara khusus memperingatkan tentang pemerintahan Muawiyyah, duduknya lelaki ini di atas mimbar beliau, dan permintaan beliau kepada umat untuk membunuh Muawiyyah jika keadaan ini terjadi.[6]

Saat Rasulullah Saw membagi ghanimah perang, untuk memberikan semangat kepada para musyrik yang baru menjadi Muslim, beliau memberikan saham lebih banyak kepada mereka. Pembagian ini telah dikritik keras oleh Harqush, salah seorang dari peletak Khawarij, dan ia menuduh Rasulullah sebagai tidak memperhatikan masalah keadilan. Dalam menjawab perkataannya ini, Rasulullah bersabda, "Jika keadilan tidak berada dalam diriku, maka akan berada dimanakah ia?." Poin yang penting di sini adalah peringatan dari Rasulullah yang bersabda, "Ia (Harqush) akan mempunyai para pengikut yang memiliki fanatisme bodoh dalam masalah agama. Mereka ini akan keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya"[7], dimana hal ini menyinggung tentang perang Nahrawan (yang diletuskan oleh Khawarij).

Beberapa Literatur untuk Telaah Lebih Jauh:
Majlisi, Muhammad Baqir, Bihâr al-Anwâr, jil. 20;
Abdul Husain Ahmad, Al-Ghadîr, jil. 3;
Syaikh Thusi, Al-Amâli;
Târîkh Ya'qûbi, jil. 2;
Shahîh Bukhâri, jil. 3;
Shahîh Muslim, jil. 2;
Ibnu Atsir, Al-Kâmil fî al-Tarîkh, jil. 3;
Ahmad Miyaniji, Ali, Makâtib al-Rasûl, jil. 1.

Referensi:
[1]. Muhammad Baqir Al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 20, hal 334-350, Muasasah Wafa, Beirut; Ahmadi Miyanji, Ali, Makâtib al-Rasûl, jil. 1, hal 275 dan 287.
[2]. Ibnu Wadhih Ya'qubi, Ahmad bin Abi Ya'qub, Tarîkh Ya'qûbi, jil. 2, hal 179, al-Maktabah al-Haidariyah, Najaf; Ibnu Atsir, Abu al-Hasan Ali bin Abdul Wahid, al-Kamil fî al-Tarîkh, jil. 3, hal 32, Dar Shadr, Beirut.
[3]. Ibnu Asakir, Tarîkh Dimâsyq, jil. 42, hal 470, Beirut; al-Hafizd abi al-Fida Ismail bin Katsir ad-Damsyiqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 7, hal 360, Dar Ahya at-Tirats al-Arabi; Arbili, Ali bin Isa, Kasyf al-Ghummah, jil. 1, hal 126, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran; Allamah Amini, al-Ghadîr, jil. 3, hal 188, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran.
[4]. Syaikh Thusi, Al-Amâli, hal 425 dan 464; Thabarsi, Ahmad bin Ali, Ihtijâj, jil. 1, hal 462, Dar an-Nu'man; Ma'ani al-Akhbâr, hal 204.
[5]. Târikh Dimâsyq, jil. 42, hal 472.
[6]. Ibid., jil. 59, hal 157.
[7]. Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, Shahîh Bukhâri, jil. 3, hal 1321, Dar al-Ma'rifat, Beirut; Al-Qayiri Neisyaburi, Muslim bin Hujaj, Shahîh Muslim, jil. 2, hal 774, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut.

Aisyah memanipulasi data bahwa Rasulullah SAW wafat dipangkuannya

Dalam proses pemakaman Nabi saw yang hampir tidak dihadiri mayoritas sahabatnya, termasuk Abu Bakar dan Umar karena “perebutan” kekuasaan.. Hanya keluarga Rasul, termasuk Ali -yang tidak pernah meninggalkan Nabi saw ketika sakit karena menerima wasiat untuk mengurus jenazahnya- dan sebagian kecil sahabat yang mengebumikan jasad Rasulullah saw.

Mungkin bagi netter yang suka gugling menemukan dua versi sekitar kewafatan Nabi Muhammad saw. Versi pertama yang dianut Sunni dan versi terakhir yaang diyakini Shi’i. Masing-masing mempunyai hadith utama yang sahih yaitu yang berasal dari para Ummu al-Mukminin. Kaum Sunni mendukung riwayat yang dilaporkan oleh Aisyah sedangkan Shi’i berdasarkan dari Ummu Salamah, dan berbagai riwayat dari jalur Ali, Ibn Abbas, Jabir bin Abdullah, bahkan dari Aisyah sendiri (lihat Ibn Asakir dalam tarikhnya J. 3: 15).

Dalam versi Sunni Aisyah disebutkan bahwa Nabi wafat ketika berada di pangkuannya. Sedangkan versi Ummu Salamah menunjukkan bahwa sahabat terakhir yang tinggal bersama Rasulullah saw adalah Ali.

Dalam peristiwa ini tidak mungkin untuk membenarkan semuanya, pasti salah satunya bohong atau dipalsukan. Namun sebagian ulama mengkompromikan kedua hadith tersebut, misalnya di dalam kitab Fathul Bari, Ibn Hajar berkata: Kompromi (antara dua hadits tersebut) dapat dilakukan dengan menerangkan bahwa ‘Ali adalah orang yang terakhir bersama Nabi, dan ia tidak meninggalkan Nabi, sampai Nabi pingsan. Ketika Nabi pingsan, ia mengira beliau telah wafat. Karena itu, ‘Ali dari pihak laki-laki adalah orang terakhir yang menunggui Nabi. Namun kemudian Rasulullah saw sadar kembali ketika ‘A’isyah datang. Lalu ‘A’isyah menyandarkan Nabi di atas dadanya, dan Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits melalui saluran Yazid ibn Babanus: “Pada suatu hari kepala Rasulullah berada di atas pundakku tatkala beliau memiringkan kepalanya ke arah kepalaku. Aku kira beliau memerlukan kepalaku. Lalu terpercik setetes (ludah) dingin dari mulut beliau yang menimpa rongga dadaku. Aku gemetar, kukira beliau pingsan. Maka akupun menutupnya dengan baju”. (Lihat Fathul Bari, jilid 8, hal. 139).

Menurut saya pengkompromian hadith tersebut tidak sepenuhnya benar karena bagaimana bisa Ali salah dalam mengira Nabi saw wafat atau pingsan? karena hampir semua sahabat tatkala menjenguk dan melihat Nabi -yang sudah wafat-, mengetahui bahwa Rasulullah benar-benar wafat. Kecuali Umar (sebagian ulama mengatakan Umar berakting) dengan mengatakan bahwa Nabi tidak wafat tetapi Nabi pergi dan akan kembali seperti Musa meninggalkan kaumnya, yang kemudian percaya bahwa Nabi saw benar-benar wafat tatkala Abu Bakar datang, padahal sebagian sahabat telah menyakinkan akan kewafatan Nabi saw.

Untuk mengetahui riwayat mana yang tertuduh palsu, direkayasa mungkin analisa rawi serta hubungannya dengan pelaku dalam riwayat tersebut. misalnya bagaimana hubungan Aisyah dengan Ummu Salamah, dst. Secara garis besar hubungan antara Nabi saw, Ali, serta para Ummu al-Mukminin, masing-masing tidaklah begitu berseberangan, meski ada sedikit masalah antara Nabi saw dengan kecemburuan Aisyah pada Sayyidah Khadijah. Setidaknya yang patut dicurigai adalah ketidaksukaan Aisyah kepada Ali karena sikap tersebut sudah ada sejak Nabi saw masih hidup. beberapa riwayat menceritakan bagaimana sikap Aisyah terhadap Ali, misalnya:
Imam Ahmad menceritakan yang berasal dari Nu’man bin Basyir, lihat dalam musnad penduduk Kufah: ‘Abu Bakar memohon izin menemui Rasul Allah saw dan ia mendengar suara keras Aisyah yang berkata: ‘Demi Allah, aku telah tahu bahwa engkau lebih mencintai Ali dari ayahku dan diriku!’, dan ia mengulanginya dua atau tiga kali’. kemudian Abu Bakar menasehati putrinya tersebut karena berkata lantang keras melebihi suara Nabi saw.

Tatkala sakit Rasul Allah bertambah berat, beliau dibawa ke masjid, dipapah oleh dua orang, yaitu Fadhl bin Abbas bin ‘Abdul Muththalib, dan seorang lagi. Hadis ini diriwayatkan oleh Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah, dari Aisyah. Ubaidillah kemudian berkata: ‘Apa yang dikatakan oleh Aisyah kepadaku, kusampaikan kepada Abdullah bin Abbas, yang mengembalikan pertanyaan kepadaku: “Tahukah engkau siapa gerangan orang yang tidak disebutkan namanya oleh Aisyah?’ ‘Tidak’, jawabku. Dan kemudian menambahkan: ‘Sungguh, Aisyah tidak pernah merasa senang dengan segala berita baik mengenai Ali’.(Imam Ahmad bin Hanbal, dalam Musnad­nya, jilid VI, hlm. 23 dan 238; Ibnu Sa’d dalam Thabaqat, jilid 2, bab 2, hlm. 29; Thabari, dalam Tarikh­nya, (edisi Leiden) jilid 2, hlm. 1800­1801; Baladzuri, Ansab al­Asyraf, jilid 1, hlm. 544­545; Baihaqi, Sunan, jilid 2. hlm. 396 dll).

Imam Ahmad, dalam Musnad­nya, mengatakan bahwa tatkala orang datang kepada Aisyah dengan mencaci Ali bin Abi Thalib dan ‘Ammar bin Yasir, Aisyah berkata: ‘Aku tidak akan mengatakan apa pun mengenai Ali, sedang mengenai ‘Ammar aku telah mendengar Rasul Allah saw bersabda: ‘Ia tidak akan memilih akan dua urusan kecuali ia akan memilih yang lurus’.

Dengan kebencian seperti itu tidak mustahil Aisyah memanipulasi -atau kemungkinan dijadikan sandaran- riwayat seputar kewafatan Nabi saw dengan dirinya, bukan dengan sahabat terbaik Nabi, Ali bin Abi Thalib. Wa Allah A’lam

Selanjutnya dalam proses pemakaman Nabi saw yang hampir tidak dihadiri mayoritas sahabatnya, termasuk Abu Bakar dan Umar karena “perebutan” kekuasaan. Hanya keluarga Rasul, termasuk Ali -yang tidak pernah meninggalkan Nabi saw ketika sakit karena menerima wasiat untuk mengurus jenazahnya- dan sebagian kecil sahabat yang mengebumikan jasad Rasulullah saw sebagaimana diriwayatkan berikut:
Aisyah berkata: ‘Kami tidak mengetahui penguburan Rasul sampai kami mendengar suara­suara gesekan di tengah malam Rabu’. (Ibnu Hisyam, Sirah, jilid 4, hlm. 344; Thabari, Tarikh, jilid 2, hlm. 452, 455 (terbitan Leiden, jilid 1, hlm. 1833, 1837); Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 5, hlm. 270; Ibnu Atsir, Usdu’l­Ghabah, jilid 1, hlm. 34, dalam membicarakan Ar­Rasul disebut juga riwayat lain, bahwa terdengarnya suara gesekan dan bunyi keriak keriuk adalah pada malam Selasa, seperti dalam Thabaqat Ibnu Sa’d, jilid 2, Bab 2, hlm. 78 dan Tarikh Khamis, jilid 1, hlm. 191; sedang Dzahabi dalam Tarikh­nya, jilid 1, hlm. 327 menguatkan bahwa penguburan dilakukan pada akhir malam Rabu juga Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 62 dan pada hlm. 242 dan 274: “Kami tidak mengetahui di mana ia dikuburkan sampai kami mendengar..”).

Yang melakukan penguburan hanyalah keluarga Rasul, yaitu orang­orang yang memandikannya seperti Abbas, Ali, Fadhl dan Shalih (maula Rasul Allah) tiada orang lain.
‘Dan tiada yang mengurus (penguburan Rasul) kecuali keluarga dekatnya dan Banu Ghanm yang berada di rumah mereka telah mendengar suara keriat­keriut’.

Seorang tua kaum Anshar dari Banu Ghanm berkata: ‘Aku mendengar bunyi sesuatu yang bergesek pada akhir malam’. (Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 2, Bab 2, hlm. 78).

‘Yang masuk ke liang kubur adalah Ali, Fadhl bin Abbas dan Qutsam bin Abbas serta Syuqran, (maula Qutsam). Dan ada yang menyebutkan juga Usamah bin Zaid. Merekalah yang membalikkan jenazah Rasul Allah saw, memandikan dan mengafaninya serta mengurus segala sesuatunya. Abu Bakar dan Umar tidak menghadirinya’. (Alauddin Muttaqi al­Hindi, Kanzu’l­Ummal, jilid 3, hlm. 14).

Siapakah Ahlul Bait Nabi Itu? sudahkah anda mengenalnya ?


MENGENAL AHLUL BAIT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.
Di antara bukti keimanan seseorang muslim adalah mencintai ahlul bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mencintai ahlul bait merupakan pilar kesempurnaan iman seorang muslim. Pernyataan cinta kepada ahlul bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekarang tidak hanya datang dari kalangan ahlulbait / syi’ah semata, akan tetapi juga didengungkan oleh beberapa kelompok Ahlul bid’ah seperti wahabi setan nejed dan yang sealiran dengan mereka, mereka lakukan hal itu dalam rangka mengelabui dan menipu umat Islam sehingga mereka bingung dan tidak mengenal kebejatan dan kebencian mereka terhadap Ahulul bait.

wahabi beranggapan bahwa konflik suni-Syiah disebabkan perebutan tahta ahlulbait. Dia juga mengatakan bahwa ahlulbait (dan keturunan nabi) sudah tidak ada, sehingga sepantasnya tidak perlu ada lagi konflik suni-Syiah.

Dia mungkin mencoba untuk menyederhanakan masalah. Sangat mungkin dia akan kembali lagi ke blog ini dan mengulang hipotesisnya. Saya jadi berpikir, kalau ahlulbait sudah tidak ada, mengapa nabi saw. mewasiatkan umatnya untuk berpegang teguh pada Alquran dan  ahlulbait (HR. Muslim)?
Kalau Alquran suci, bagaimana mungkin dipadankan dengan yang tidak suci? Kalau Alquran kekal dan menjadi petunjuk hingga saat ini, bagaimana pantas dipadankan dengan sesuatu yang sudah tidak ada?

Siapakah Ahlul Bait as yang dimaksud dalam al-Quran Surat al-Ahzab 33.

Ummu Salamah mengakui kalau dirinya sebagai istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukan sebagai ahlul bait yang dimaksud maka kali ini Ummu Salamah mengakui kalau ahlul bait dalam Al Ahzab 33 ditujukan untuk Ahlul Kisa’ yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alihi wasallam], Imam Ali, Sayyidah Fathimah, Imam Hasan dan Imam Husain.

وأنبأنا أبو محمد عبد الله بن صالح البخاري قال حدثنا الحسن بن علي الحلواني قال حدثنا يزيد بن هارون قال حدثنا عبد الملك بن أبي سليمان عن عطاء عن أم سلمة وعن داود بن أبي عوف عن شهر بن حوشب عن أم سلمة وعن أبي ليلى الكندي عن أم سلمة رحمها الله بينما النبي صلى الله عليه وسلم في بيتي على منامة له عليها كساء خيبري إذ جاءته فاطمة رضي الله عنها ببرمة فيها خزيرة فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم ادعي زوجك وابنيك قالت : فدعتهم فاجتمعوا على تلك البرمة يأكلون منها ، فنزلت الآية : إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا فأخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم فضل الكساء فغشاهم مهيمه إياه ، ثم أخرج يده فقال بها نحو السماء ، فقال اللهم هؤلاء أهل بيتي وحامتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت : فأدخلت رأسي في الثوب ، فقلت : رسول الله أنا معكم ؟ قال إنك إلى خير إنك إلى خير قالت : وهم خمسة : رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وعلي ، وفاطمة ، والحسن والحسين رضي الله عنهم

Telah memberitakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdullah bin Shalih Al Bukhari yang berkata telah menceritakan kepada kami Hasan bin ‘Ali Al Hulwaaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Atha’ dari Ummu Salamah dan dari Dawud bin Abi ‘Auf dari Syahr bin Hawsyaab dari Ummu Salamah dan dari Abu Laila Al Kindiy dari Ummu Salamah “sesungguhnya Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berada di rumahku di atas tempat tidur yang beralaskan kain buatan Khaibar. Kemudian datanglah Fathimah dengan membawa bubur, maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “panggillah suamimu dan kedua putramu”.

[Ummu Salamah] berkata “kemudian ia memanggil mereka dan ketika mereka berkumpul makan bubur tersebut turunlah ayat Sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya, maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengambil sisa kain tersebut dan menutupi mereka dengannya, kemudian Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengulurkan tangannya dan berkata sembari menghadap langit “ya Allah mereka adalah ahlul baitku dan kekhususanku maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah sesuci-sucinya.

[Ummu Salamah] berkata “aku memasukkan kepalaku kedalam kain dan berkata “Rasulullah, apakah aku bersama kalian?. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kamu menuju kebaikan kamu menuju kebaikan. [Ummu Salamah] berkata “mereka adalah lima orang yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Ali, Fathimah, Hasan dan Husein raidallahu ‘anhum” [Asy Syari’ah Al Ajjuri 4/383 no 1650].

Hadis ini sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Syahr bin Hausab, ia perawi yang hadisnya hasan dengan penguat dari yang lain. Disini ia telah dikuatkan oleh riwayat Atha’ dari Ummu Salamah dan riwayat Abu Laila Al Kindiy dari Ummu Salamah.

Abu Muhammad ‘Abdullah bin Shalih Al Bukhari adalah ulama Baghdad yang tsiqat. Abu Ali Al Hafizh berkata “tsiqat ma’mun”. Abu Bakar Al Ismailiy berkata “tsiqat tsabit” [Tarikh Baghdad 11/159 no 5064]. Adz Dzahabi berkata “Imam shaduq” [As Siyar 14/243 no 145].

Hasan bin Ali Al Hulwaaniy adalah perawi Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah yang tsiqat. Yaqub bin Syaibah berkata “tsiqat tsabit”. Nasa’i berkata “tsiqat”. Al Khatib berkata “tsiqat hafizh”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 2 no 530]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat hafizh” [At Taqrib 1/207].

Yazid bin Harun bin Waadiy adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Madini berkata “ia termasuk orang yang tsiqat” dan terkadang berkata “aku tidak pernah melihat orang lebih hafizh darinya”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Al Ijli berkata “tsiqat tsabit dalam hadis”. Abu Bakar bin Abi Syaibah berkata “aku belum pernah bertemu orang yang klebih hafizh dan mutqin dari Yazid”. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat imam shaduq. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat banyak meriwayatkan hadis”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Yaqub bin Syaibah menyatakan tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat ma’mun” [At Tahdzib juz 11 no 612].

Abdul Malik bin Abi Sulaiman adalah perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan. Ahmad, Ibnu Ma’in, Ibnu Ammar, Yaqub bin Sufyan, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Tirmidzi menyatakan ia tsiqat. Al Ijli berkata ”tsabit dalam hadis”. Abu Zur’ah berkata ”tidak ada masalah padanya” [At Tahdzib juz 6 no 751]. Ibnu Hajar berkata ”shaduq lahu awham” [At Taqrib 1/616] dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Abdul Malik bin Abi Sulaiman seorang yang tsiqat [Tahrir At Taqrib no 4184].

Atha’ bin Abi Rabah adalah perawi kutubus sittah tabiin yang dikenal tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “dia seorang yang tsiqat faqih alim dan banyak meriwayatkan hadis”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 7 no 385]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat memiliki keutamaan dan banyak melakukan irsal” [At Taqrib 1/674]. Riwayat Atha’ dari Ummu Salamah dikatakan mursal tetapi hal ini tidak memudharatakan hadisnya karena ia dikuatkan oleh riwayat Syahr dan Abu laila Al Kindiy. Selain itu dalam riwayat lain disebutkan kalau Atha’ meriwayatkan hadis kisa’ dari Umar bin Abu Salamah.

Dawud bin Abi ‘Auf adalah perawi Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Sufyan menyatakan ia tsiqat. Ahmad dan Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “shalih al hadits”. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Adiy berkata ia berlebihan dalam tasyayyu’ kebanyakan hadisnya tentang ahlul bait di sisiku ia tidak kuat dan tidak bisa dijadikan hujjah [At Tahdzib juz 3 no 375] Ibnu Hajar berkata “shaduq syiah pernah salah” [At Taqrib 1/281].

Syahr bin Hausab perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim dan Ashabus Sunan. Ia seorang yang diperbincangkan sebagian melemahkannya dan sebagian menguatkannya. Musa bin Harun berkata “dhaif”. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Ahmad berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Yaqub bin Syaibah berkata “tsiqat sebagian mencelanya”. As Saji berkata “dhaif tidak hafizh”.Abu Zur’ah berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Hatim berkata “tidak bisa dijadikan hujjah”. Ibnu Adiy berkata “tidak kuat dalam hadis dan tidak bisa dijadikan hujjah”. Ibnu Hibban berkata “ia sering meriwayatkan dari perawi tsiqat hadis-hadis mu’dhal dan sering meriwayatkan dari perawi tsabit hadis yang terbolak-balik. Al Baihaqi berkata “dhaif” [At Tahdzib juz 4 no 635]. Ibnu Hajar berkata “shaduq banyak melakukan irsal dan wahm” [At Taqrib 1/423]. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 162.

Abu Laila Al Kindiy adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Al Ijli berkata tabiin kufah yang tsiqat [At Tahdzib juz 12 no 995]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 2/460]. Terdapat dua nukilan dari Ibnu Ma’in yaitu riwayat Ahmad bin Sa’d bin Abi Maryam dari Ibnu Ma’in bahwa ia tsiqat dan riwayat dari Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah dari Ibnu Ma’in bahwa ia dhaif, yang rajih adalah riwayat Ibnu Abi Maryam karena ia seorang yang tsiqat sedangkan Ibnu Abi Syaibah diperbincangkan ia telah dilemahkan oleh sebagian ulama.

Hadis di atas dengan jelas menyebutkan bahwa Ahlul Bait yang dimaksudkan dalam Al Ahzab 33 adalah lima orang yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Imam Ali, Sayyidah Fathimah, Imam Hasan dan Imam Husein. Hal ini dikuatkan oleh riwayat Syahr bin Hausab berikut:

أَخْبَرَنَا أَبُو سَعْدٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَفْصٍ الْمَالِينِيُّ ، أَخْبَرَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ رَشِيقٍ بِمِصْرَ ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَعِيدِ بْنِ بَشِيرٍ الرَّازِيُّ ، حَدَّثَنِي أَبُو أُمَيَّةَ عَمْرُو بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الأُمَوِيُّ ، حَدَّثَنَا عَمِّي عُبَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ ، عَنِ الثَّوْرِيِّ ، عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ ، عَنْ زُبَيْدٍ ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، : أَنَّ رسول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” دَعَا عَلِيًّا ، وَفَاطِمَةَ ، وَحَسَنًا ، وَحُسَيْنًا ، فَجَلَّلَهُمْ بِكِسَاءٍ ، ثُمَّ تَلا : إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا قَالَ وَفِيهِمْ أُنْزِلَتْ

Telah mengabarkan kepada kami Abu Sa’d Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Hafsh Al Maaliiniy yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Muhammad Hasan bin Rasyiiq di Mesir yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Sa’id bin Basyiir Ar Raaziy yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Umayyah ‘Amru bin Yahya bin Sa’id Al Umawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami pamanku ‘Ubaid bin Sa’id dari Ats Tsawriy dari ‘Amru bin Qais dari Zubaid dari Syahr bin Hausab dari Ummu Salamah radiallahu ‘anha bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husein kemudian menyelimutinya dengan kain kemudian membaca “Sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya” dan berkata “untuk merekalah turunnya ayat” [Muudhih Awham Jami’ Wal Tafriq Al Khatib Baghdad 2/281].

Riwayat ini sanadnya shahih hingga Syahr bin Hausab. Diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya.
Abu Sa’d Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Hafsh Al Maaliniy adalah seorang yang tsiqat. Al Khatib berkata “tsiqat shaduq mutqin baik dan shalih” [Tarikh Baghdad 6/24 no 2511].
Abu Muhammad Hasan bin Rasyiiq adalah Imam Muhadis shaduq musnad Mesir sebagaimana yang disebutkan oleh Adz Dzahabi [As Siyar 16/280 no 197].
Ali bin Sa’id bin Basyiir Ar Raziiy adalah seorang yang tsiqat pernah melakukan kesalahan dan dibicarakan dalam sirahnya [Irshad Al Qadiy no 679].
‘Amru bin Yahya bin Sa’id Al Umawiy dengan kuniyah Abu Umayah adalah seorang yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/749].
Ubaid bin Sa’id Al Umawiy adalah seorang yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/644]
Sufyan Ats Tsawriy adalah seorang yang disepakati tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat hafizh, faqih, ahli ibadah imam dan hujjah” [At Taqrib 1/371].
‘Amru bin Qais Al Mala’iy seorang yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat mutqin ahli ibadah” [At Taqrib 1/744].
Zubaid bin Harits Al Yaamiy adalah seorang yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit ahli ibadah” [At Taqrib 1/308].

Riwayat Syahr bin Hausab di atas menyebutkan kalau ayat tathiir tersebut memang turun untuk Ahlul Kisa’ yang dipanggil oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hal ini senada dengan riwayat berikut:

أخبرنا أبو القاسم علي بن إبراهيم أنا أبو الحسين محمد بن عبد الرحمن بن أبي نصر أنا يوسف بن القاسم نا علي بن الحسن بن سالم نا أحمد بن يحيى الصوفي نا يوسف بن يعقوب الصفار نا عبيد بن سعيد القرشي عن عمرو بن قيس عن زبيد عن شهر عن أم سلمة عن النبي (صلى الله عليه وسلم) في قول الله عز وجل ” إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا ” قال الحسن والحسين وفاطمة وعلي عليهم السلام فقالت أم سلمة يا رسول الله وأنا قال أنت إلى خير

Telah mengabarkan kepada kami Abu Qasim ‘Ali bin Ibrahim yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Husain Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abi Nashr yang berkata telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Qaasim yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Hasan bin Saalim yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yahya Ash Shufiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Ya’qub Ash Shaffaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaid bin Sa’id Al Qurasiy dari ‘Amru bin Qais dari Zubaid dari Syahr bin Hausab dari Ummu Salamah dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tentang firman Allah ‘azza wa jalla “Sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya” Beliau berkata “Hasan, Husain, Fathimah dan Ali [‘alaihimus salam]”. Ummu Salamah berkata “wahai Rasulullah, dan aku?” Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “engkau menuju kebaikan” [Tarikh Ibnu Asakir 14/139].

Abul Qasim ‘Ali bin Ibrahim adalah Syaikh Al Imam muhaddis yang tsiqat dan terhormat. Ibnu Asakir berkata “tsiqat” [As Siyar 19/359 no 212]. Abu Husain Muhammad bin Abi Nashr An Nursiy adalah Syaikh Al Alim Al Muqri dimana Al Khatib berkata “tsiqat” [As Siyar 18/84 no 37]. Yusuf bin Qasim Al Qadhiy adalah Al Imam Al Hafizh Al Muhaddis, Abdul Aziz bin Ahmad Al Kattaniy menyatakan ia tsiqat [As Siyar 16/361 no 258]. ‘Ali bin Hasan bin Salim disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 3 no 14514]. Ahmad bin Yahya bin Zakaria Al Audiy Ash Shufiy adalah ahli ibadah yang tsiqat [At Taqrib 1/48]. Yusuf bin Ya’qub Ash Shaffar seorang yang tsiqat [At Taqrib 2/348]. Ubaid bin Sa’di dan ‘Amru bin Qais telah disebutkan bahwa mereka tsiqat. Riwayat ini menjadi penguat bagi riwayat sebelumnya dan sangat jelas menyatakan kalau Ahlul Bait yang dimaksud dalam ayat tathiir adalah Imam Ali, Sayyidah Fathimah, Imam Hasan dan Imam Husain.

حدثني إسحاق بن الحسن بن ميمون الحربي ، ثنا أبو غسان ، ثنا فضيل ، عن عطية ، عن أبي سعيد الخدري عن أم سلمة ، قالت : نزلت هذه الآية في بيتي إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قلت : يا رسول الله ألست من أهل البيت ؟ قال : إنك إلى خير ، إنك من أزواج رسول الله قالت : وأهل البيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين عليهم السلام

Telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Hasan bin Maimun Al Harbiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ghasan yang berkata telah menceritakan kepada kami Fudhail dari Athiyah dari Abu Sa’id Al Khudri dari Ummu Salamah yang berkata ayat ini turun di rumahku ““Sesungguhnya Allah SWT berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya”. [Ummu Salamah] berkata “wahai Rasulullah bukankah aku adalah ahlul baitmu?”. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab “kamu menuju kebaikan kamu termasuk istri Rasulullah” [Ummu Salamah] berkata “dan ahlul bait adalah Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain” [Al Ghailaniyat Abu Bakar Asy Syafi’i no 237].

Abu Bakar Asy Syafi’i adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Ibrahim seorang Imam muhaddis mutqin hujjah faqih musnad Irak. Al Khatib berkata “tsiqat tsabit banyak meriwayatkan hadis”. Daruquthni berkata “tsiqat ma’mun” [As Siyar 16/40-42 no 27]. Ishaq bin Hasan bin Maimun Al Harbi seorang yang tsiqat. Ibrahim Al Harbi menyatakan “tsiqat”. Abdullah bin Ahmad berkata “tsiqat”. Daruquthni juga menyatakan tsiqat [Tarikh Baghdad 7/413 no 3369]. Malik bin Ismail Abu Ghassan adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Abu Hatim dan Yaqub bin Syaibah menyatakan ia tsiqat. Ibnu Sa’ad menyatakan ia shaduq.

Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 2]. Fudhail bin Marzuq termasuk perawi Bukhari [dalam Juz Raf’ul Yadain], Muslim dan Ashabus Sunan. Ats Tsawriy menyatakan ia tsiqat. Ibnu Uyainah menyatakan ia tsiqat. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Abu Hatim menyatakan ia shalih shaduq banyak melakukan kesalahan dan tidak bisa dijadikan hujjah. Nasa’i berkata “dhaif”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Tahdzib juz 8 no 546]. Pendapat yang rajih Fudhail seorang yang hadisnya hasan pembicaraan terhadapnya tidak menurunkan derajatnya dari derajat hasan. Ibnu Ady berkata “Fudhail hadisnya hasan kukira tidak ada masalah padanya” [Al Kamil Ibnu Adiy 6/19].

Athiyyah bin Sa’ad bin Junadah Al Aufiy adalah tabiin yang hadisnya hasan. Ibnu Sa’ad berkata ”seorang yang tsiqat, insya Allah memiliki hadis-hadis yang baik dan sebagian orang tidak menjadikannya sebagai hujjah” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/304]. Al Ijli berkata ”tsiqat dan tidak kuat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1255].

Ibnu Syahin memasukkannya sebagai perawi tsiqat dan mengutip Yahya bin Ma’in yang berkata ”tidak ada masalah padanya” [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 1023]. At Tirmidzi telah menghasankan banyak hadis Athiyyah Al Aufiy dalam kitab Sunan-nya. Sebagian ulama mendhaifkannya seperti Sufyan, Ahmad dan Ibnu Hibban serta yang lainnya dengan alasan tadlis syuyukh. Telah kami buktikan kalau tuduhan ini tidaklah tsabit sehingga yang rajih adalah penta’dilan terhadap Athiyyah. Satu-satunya kelemahan pada Athiyah bukan terletak pada ‘adalah-nya tetapi pada dhabit-nya. Abu Zur’ah berkata “layyin”. Abu Hatim berkata “dhaif ditulis hadisnya dan Abu Nadhrah lebih aku sukai daripadanya” [At Tahdzib juz 7 no 414].

حدثنا فهد ثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا حرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن جعفر بن عبد الرحمن البجلي عن حكيم بن سعيد عن أم سلمة قالت نزلت هذه الآية في رسول الله وعلي وفاطمة وحسن وحسين إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا

Telah menceritakan kepada kami Fahd yang berkata telah menceritakan kepada kami Usman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir bin Abdul Hamid dari ’Amasy dari Ja’far bin Abdurrahman Al Bajali dari Hakim bin Saad dari Ummu Salamah yang berkata Ayat ini turun untuk Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain yaitu Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 1/227]
Riwayat Hakim bin Sa’ad ini diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat kecuali Ja’far bin ‘Abdurrahman Al Bajaliy, ia dimasukkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat.

Fahd bin Sulaiman bin Yahya dengan kuniyah Abu Muhammad Al Kufi. Beliau adalah seorang yang tsiqat dan tsabit sebagaimana dinyatakan oleh Adz Dzahabi dan Ibnu Asakir [Tarikh Al Islam 20/416 dan Tarikh Ibnu Asakir 48/459 no 5635].
Usman bin Abi Syaibah adalah perawi Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Main berkata ”ia tsiqat”, Abu Hatim berkata ”ia shaduq” dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 7 no 299].
Jarir bin Abdul Hamid, beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Main, Al Ajli, Imam Nasa’i, Al Khalili dan Abu Ahmad Al Hakim. Ibnu Kharrasy menyatakannya Shaduq dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 2 no 116].
Al ’Amasy adalah Sulaiman bin Mihran Al Kufi. Beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Al Ajli, Ibnu Main, An Nasa’i dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386].

Ja’far bin Abdurrahman disebutkan oleh Ibnu Hajar bahwa Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Ta’jil Al Manfaah 1/ 387]. Imam Bukhari menyebutkan biografinya seraya mengutip Al A’masy yang berkata “telah menceritakan kepada kami Ja’far bin ‘Abdurrahman Abu Abdurrahman Al Anshari Syaikh yang aku temui di Wasith” [Tarikh Al Kabir juz 2 no 2174]. Disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat bahwa ia meriwayatkan hadis dari Hakim bin Saad dan diantara yang meriwayatkan darinya adalah Al ’Amasy. Ibnu Hibban berkata “Syaikh” [Ats Tsiqat juz 6 no 7050]. Lafaz “Syaikh” dalam ilmu hadis adalah salah satu lafaz ta’dil walaupun merupakan lafaz ta’dil yang ringan.

Hakim bin Sa’ad adalah perawi Bukhari dalam Adab Al Mufrad, dan perawi Imam Nasa’i. Ibnu Main dan Abu Hatim berkata bahwa ia tempat kejujuran dan ditulis hadisnya. Dalam kesempatan lain Ibnu Main berkata laisa bihi ba’sun [yang berarti tsiqah]. Al Ajli menyatakan ia tsiqat dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 no 787].

Semua riwayat di atas dengan jelas menyatakan kalau Ummu Salamah mengakui bahwa ayat tathiir al ahzab 33 turun khusus untuk Ahlul Kisa’ atau lima orang yaitu Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam], Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain. Hadis ini juga menunjukkan kalau lafaz “kamu menuju kebaikan” atau lafaz “kamu termasuk istri Rasulullah” adalah lafaz penolakan yang halus dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Ummu Salamah adalah istri Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang menuju kepada kebaikan tetapi bukan Ahlul Bait yang dimaksud dalam Al Ahzab 33 karena mereka adalah lima orang Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan yang diselimuti oleh Beliau : Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain. Hal ini senada dengan lafaz perkataan Rasulullah [shallallahu 'alaihi wasallam] “ya Allah mereka adalah ahlul baitku dan kekhususanku” yang menunjukkan kalau itu adalah keutamaan khusus bagi mereka.

Yang meriwayatkan dari Ummu Salamah adalah Abu Laila Al Kindiy, Syahr bin Hausab, Atha’ bin Abi Rabah, Hakim bin Sa’ad dan riwayat Athiyah dari Abu Sa’id dari Ummu Salamah. Walaupun terdapat kelemahan dalam sebagian riwayat tetapi kedudukan riwayat-riwayat tersebut saling menguatkan sehingga tidak diragukan lagi kalau riwayat Ummu Salamah tersebut shahih.


Berikut ini sekelumit penjelasan tentang kata “ahlulbait” dalam Alquran yang saya kutip dari A Shi’ite Encyclopedia.

Keluarga Ibrahim.

Alquran bersaksi bahwa Sarah, istri nabi Ibrahim a.s., diberkahi oleh para malaikat dan diberi kabar gembira bahwa dia akan melahirkan dua nabi Allah:
Dan istrinya berdiri lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir) Yakub. Istrinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua dan suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.” Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran dengan ketetapan Allah? Rahmat dan keberkahan Allah dicurahkan kepada kalian wahai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (11: 71-73)
Karena keberkahan dan rahmat Allah diberikan kepada keluarga Ibrahim, ayat di atas menjadi alat tendensius bagi beberapa komentator untuk mencari argumen dan memasukkan istri-istri nabi saw. ke dalam istilah ahlulbait. Mereka beranggapan karena Sarah istri nabi Ibrahim termasuk ke dalam istilah ahlulbait dalam ayat di atas, maka seluruh istri nabi saw. juga termasuk ke dalam surah Al-Ahzab ayat 33 yang berkaitan dengan kemurnian dan keutamaan ahlulbait Nabi Muhammad saw.

Namun, sengaja atau tidak, para komentator itu mengabaikan pentingnya ucapan malaikat. Jika Sarah, istri Ibrahim, dimasukkan ke dalam istilah ahlulbait yang digunakan dalam ayat di atas, hal itu bukan karena dia istri Ibrahim, tapi karena dia akan menjadi ibu dari dua nabi (Ishak dan Yakub). Sarah disebut oleh malaikat dalam ayat di atas sebagai anggota ahlulbait, setelah dia menerima anugerah bahwa dia mengandung Nabi Ishak a.s.

Hubungan pernikahan antara pria dan wanita merupakan kondisi sementara dan bisa berhenti kapan saja. Istri tidak bisa menjadi pasangan yang kekal bagi suami dan masuk ke dalam amanat surgawi yang diberkahi dengan keunggulan, kecuali dia membawa putra yang menjadi seorang nabi atau imam. Dengan demikian, jika kita menganggap Sarah sebagai anggota keluarga, hal itu hanya karena dia akan menjadi ibu dari Ishak, bukan istri Ibrahim. Ayat 71-73 yang dikutip di atas menunjukkan bahwa Sarah disapa di antara ahlulbait setelah dia tahu bahwa dia memiliki Ishak a.s.

Keluarga Imran.

Demikian juga, Alquran menyebut ibu nabi Musa di antara ahlulbait Imran. Lagi-lagi, sebagaimana yang bisa kita lihat di ayat berikut, penekanan di sini adalah ibu dari nabi Musa dan bukan istri Imran:
Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui sebelum itu; maka berkatalah saudari Musa: “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlulbait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?” Maka kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (28: 12-13)
Ibu nabi Musa disebut sebagai ahlulbait bukan sebagai istri Imran, tapi karena menjadi ibu dari Musa, karena para istri tunduk terhadap perceraian dan bisa digantikan dengan wanita yang lebih baik (Quran 66: 5) sebagaimana yang dikatakan oleh Zaid bin Arqam. Hal ini diilustrasikan oleh istri nabi Nuh dan Luth; meskipun mereka adalah istri dari hamba-hamba Allah, mereka tidak dianggap  sebagai ahlulbait. Mereka binasa bersama umat tersisa. Zaid bin Arqam berkata: “Ahlulbait nabi adalah garis silsilah dan keturunan (yang berasal dari darah dagingnya) yang diharamkan menerima zakat.”.

Istri Imran berada di garis Musa, sebagaimana istri Ibrahim berada di garis Ishak dan Yakub. Demikian pula, jika Fatimah berada di antara ahlulbait nabi saw., hal ini bukan hanya karena dia putri dari nabi saw., tapi juga ibu dari dua imam.

Keluarga Nuh.

Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.” Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sungguh perbuatannya tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahuinya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (11: 45-46)
Abul Ala Maududi menulis dalam komentarnya terkait ayat di atas:
Jika bagian dari tubuh seseorang membusuk dan ahli bedah memutuskan untuk memotongnya, ia tidak akan mematuhi permintaan pasien yang berkata, “Jangan potong, karena itu bagian dari tubuhku!”. Ahli bedah akan menjawab, “Ia bukan lagi bagian dari tubuhmu karena ia membusuk.” Begitu juga ketika seorang ayah yang baik diberi tahu bahwa putranya berlaku tidak baik, itu berarti untuk mengimplikasikan bahwa usaha yang dilakukan untuk membawa dia sebagai anak yang baik telah sia-sia dan berakhir dengan kegagalan.
Referensi suni:
Komentar Quran oleh Abul Ala Maududi (diterbitkan oleh the Islamic Publications (Pvt) Limited), h. 367, tentang ayat 11:45-46
Nabi Nuh a.s. memohon untuk putranya dan jawabannya adalah putra itu tidak pantas menjadi anaknya. Melalui ayat tersebut, hal ini menjadi jelas bahwa meskipun seseorang berasal dari darah dan daging yang sama, lahir melalui orang tua yang sama, tapi jika ia tidak memiliki kualitas yang baik yang dimiliki orang tuanya maka dia tidak memiliki saham dari orang tuanya (sebagaimana disebut dalam ayat kedua di atas). Nuh memiliki tiga putra, Ham, Sam, dan Yafet yang beriman dan bersama istri mereka memasuki bahtera dan selamat, sedangkan Kan’an adalah putra Nuh dari istri yang berbeda yang tidak beriman dan musnah bersama putranya.

Dapat disimpulkan bahwa jika seseorang tidak memiliki kebaikan iman yang benar pada Allah, meskipun dia putra rasul, dia tidak berada dalam saham orang tua; lahirnya dia yang berasal dari orang tua tertolak, bahkan hak untuk berada di bumi Allah juga ditarik darinya, dan musnahlah dia.

Oleh karena itu, meskipun seseorang itu putra dari nabi Allah, kurangnya kebajikan membuatnya tidak diakui sebagai bagian dari ‘itrah keluarga kerasulan. Karena alasan inilah istilah ahlulbait terbatas pada anggota keluarga nabi yang layak dan tidak meliputi semua orang yang lahir dari darahnya. Ahlulbait hanyalah pribadi-pribadi di antara keturunan nabi yang juga memiliki kedekatan karakter dan pencapaian spiritual sepenuhnya bersama nabi saw.



Siapa Ahlul Bait Itu?

Pembahasan ini termasuk sejelas-jelasnya pembahasan. Karena tidak ada seorang pun yang pura-pura tidak mengenal Ahlul Bait kecuali para penentang yang tidak menemukan jalan keluar dari dalil-dalil yang pasti tentang wajibnya mengikuti mereka, lalu mereka pun berlindung kepada keragu-raguan tentang siapa yang dimaksud dengan Ahlul Bait itu. Inilah yang dapat saya saksikan dari berbagai diskusi yang saya lakukan dengan teman-teman. Ketika salah seorang mereka tidak menemukan jalan untuk menghindar dari keharusan mengikuti Ahlul Bait, dengan serta-merta dia melontarkan berbagai pertanyaan dengan tujuan mewujudkan meragukan,
Siapa Ahlul Bait itu?
Bukankah istri-istri Rasulullah SAWW termasuk Ahlul Baitnya?! Bukankah Rasulullah SAWW telah bersabda, “Salman dari kalangan kami Ahlul Bait”?!
Bahkan, bukankah Abu Jahal juga termasuk keluarga Rasulullah SAWW?!
Tidak ada yang mereka inginkan dari seluruh pertanyaan ini kecuali keinginan untuk mengingkari kenyataan hadis Tsaqalain, yang merupakan salah satu hadis yang mengindikasikan keimamahan Ahlul Bait. Mereka menduga bahwa dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan ini, mereka dapat membungkam akal dan seruan nuraninya. Namun, kenyataan tidak sesuai dengan perkiraan mereka, dan hujjah tetap tegak berdiri meskipun ia mengingkari atau pun tidak mengingkari.
Saya pernah mengatakan kepada sebagian mereka manakala mereka melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, “Kenapa Anda menginginkan segala sesuatunya tersedia dengan tanpa susah-payah?! Sesungguhnya pikiran-pikiran yang sudah dikemas tidak memberikan faedah. Saya mampu memberikan jawaban, namun Anda pun mampu menolak dan mengingkari jawaban saya, karena Anda tidak merasakan pahitnya melakukan pembahasan dan tidak menanggung kesulitan untuk bisa memberikan jawaban. Apakah hanya saya yang diwajibkan untuk menjawab? Apakah Rasulullah SAWW telah memerintahkan kepada saya secara khusus untuk berpegang teguh kepada Ahlul Bait?! Tidak, kita semua diwajibkan untuk menjawab pertanyaan ini. Karena telah tegak hujjah atas kita akan wajibnya mengikuti Ahlul Bait dan mengambil agama dari mereka, sehingga kita wajib mengenal mereka dan untuk kemudian mengikuti mereka.”
Pada kesempatan ini pun saya tidak akan memperluas argumentasi dan dalil, melainkan saya cukup mengemukakan beberapa petunjuk yang jelas, dan bagi siapa yang menginginkan keterangan yang lebih, maka ia sendiri yang harus memperdalamnya.

Ahlul Bait Di Dalam Ayat Tathhîr

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (QS. al-Ahzab: 33)
Sesungguhnya turunnya ayat ini kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain as adalah termasuk perkara yang amat jelas bagi mereka yang mengkaji kitab-kitab hadis dan tafsir. Dalam hal ini, Ibnu Hajar berkata, “Sesungguhnya mayoritas para mufassir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.”[1] Ayat ini, disebabkan penunjukkannya yang jelas terhadap kemaksuman Ahlul Bait, tidak sejalan kecuali dengan mereka. Ini dikarenakan apa yang telah kita jelaskan, yaitu bahwa mereka itu adalah pusaka umat ini dan para pemimpin sepeninggal Rasulullah SAWW. Oleh karena itu, Rasulullah SAWW memerintahkan kita untuk mengikuti mereka. Arti kemaksuman juga dengan jelas dapat disaksikan dari ayat ini, bagi mereka yang mempunyai hati dan mau mendengarkan. Hal itu dikarenakan mustahil tidak terlaksananya maksud jika yang mempunyai maksud itu adalah Allah SWT; dan huruf al-hashr (pembatasan), yaitu kata “innama”, menunjukkan kepada arti ini. Yang menjadi fokus perhatian kita di dalam pembahasan ini ialah membuktikan bahwa ayat ini khusus turun kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.

Hadis Al-Kisa` Menentukan Siapa Yang Dimaksud Dengan Ahlul Bait

Argumentasi terdekat dan terjelas yang berkenaan dengan penafsiran ayat ini ialah sebuah hadis yang dikenal di kalangan para ahli hadis dengan sebutan hadis al-Kisâ`, yang tingkat kesahihan dan kemutawatirannya tidak kalah dari hadis Tsaqalain.
1. Al-Hakim telah meriwayatkan di dalam kitabnya al-Mustadrak ‘alâ
ash-Shahihain fi al-Hadis:
“Dari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib yang berkata, ‘Ketika Rasulullah SAWW memandang ke arah rahmat yang turun, Rasulullah SAWW berkata, ‘Panggilkan untukku, panggilkan untukku.’ Shafiyyah bertanya, ‘Siapa, ya Rasulullah?!’ Rasulullah menjawab, ‘Ahlul Baitku, yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.’ Maka mereka pun dihadirkan ke hadapan Rasulullah, lalu Rasulullah SAWW meletakkan pakaiannya ke atas mereka, kemudian Rasulullah SAWW mengangkat kedua tangannya dan berkata, ‘Ya Allah, mereka inilah keluargaku (maka sampaikanlah salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad).’ Lalu Allah SWT menurunkan ayat ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.’”[2]
Al-Hakim berkata, “Hadis ini sahih sanadnya.”
2.    Al-Hakim meriwayatkan hadis serupa dari Ummu Salamah yang berkata, “Di rumah saya turun ayat yang berbunyi ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya’. Lalu Rasulullah SAWW mengirim Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, dan kemudian berkata, ‘Mereka inilah Ahlul Baitku.’”[3] Kemudian, al-Hakim berkata, “Hadis ini sahih menurut syarat Bukhari.” Di tempat lain al-Hakim juga meriwayatkan hadis ini dari Watsilah, dan kemudian berkata, “Hadis ini sahih menurut syarat mereka berdua.”
3.  Muslim meriwayatkan hadis ini di dalam kitab sahihnya dari Aisyah yang berkata, “Rasulullah SAWW pergi ke luar rumah pagi-pagi sekali dengan mengenakan pakaian (yang tidak dijahit dan) bergambar. Lalu Hasan bin Ali datang, dan Rasulullah SAWW memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu Husain datang, dan Rasulullah SAWW memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu datang Fatimah, dan Rasulullah SAWW pun memasukkannya ke dalam pakaiannya; berikutnya Ali juga datang, dan Rasulullah SAWW memasukkannya ke dalam pakaiannya; kemudian Rasulullah SAWW berkata, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.”[4]
Berita ini dapat ditemukan di dalam banyak riwayat yang terdapat di dalam kitab-kitab sahih, kitab-kitab hadis dan kitab-kitab tafsir.[5]Hadis al-Kisâ` termasuk hadis yang sahih dan mutawatir, yang tidak ada seorang pun yang mendhaifkannya, baik dari kalangan terdahulu maupun kalangan terkemudian. Sungguh akan banyak memakan waktu jika kita menyebutkan seluruh riwayat ini. Saya menghitung ada dua puluh tujuh riwayat yang kesemuanya sahih.
Di antara riwayat yang paling jelas di dalam bab ini —di dalam menentukan siapa Ahlul Bait— ialah riwayat yang dinukil oleh as-Suyuthi di dalam kitab tafsirnya ad-Durr al-Mantsur, yang berasal dari Ibnu Mardawaih, dari Ummu Salamah yang berkata, “Di rumahku turun ayat ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.’ Saat itu di rumahku ada tujuh orang yaitu Jibril, Mikail, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, sementara aku berada di pintu rumah. Kemudian saya berkata, ‘Ya Rasulullah, tidakkah aku termasuk Ahlul Bait?!’ Rasulullah SAWW menjawab, ‘Sesungguhnya engkau berada pada kebajikan, dan sesungguhnya engkau termasuk istri Rasulullah SAWW.’”[6]
Pada riwayat al-Hakim di dalam kitab Mustadraknya disebutkan, Ummu Salamah bertanya, “Ya Rasulullah, saya tidak termasuk Ahlul Bait?” Rasulullah SAWW menjawab, “Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan, mereka itulah Ahlul Baitku. Ya Allah, mereka inilah Ahlul Baitku yang lebih berhak.”[7]
Pada riwayat Ahmad disebutkan, “Saya mengangkat pakaian penutup untuk masuk bersama mereka namun Rasulullah SAWW menarik tangan saya sambil berkata, ‘Sesungguhnya engkau berada dalam kebajikan.’”[8] Ini cukup membuktikan bahwa yang dimaksud Ahlul Bait ialah mereka Ashabul Kisa, sehingga dengan demikian mereka itu adalah padanan al-Qur’an, yang kita telah diperintahkan oleh Rasulullah SAWW — di dalam hadis Tsaqalain — untuk berpegang teguh kepada mereka.
Orang yang mengatakan bahwa ‘Itrah itu artinya keluarga, sehingga mengubah makna, perkataannya itu tidak dapat diterima. Karena tidak ada seorang pun dari para pakar bahasa yang mengatakan demikian. Ibnu Manzhur menukil di dalam kitabnya Lisan al-’Arab, “Sesungguhnya ‘Itrah Rasulullah SAWW adalah keturunan Fatimah ra. Ini adalah perkataan Ibnu Sayyidah. Al-Azhari berkata, ‘Di dalam hadis Zaid bin Tsabit yang berkata, ‘Rasulullah SAWW bersabda, ‘… lalu dia menyebut hadis Tsaqalain’ . Maka di sini Rasulullah menjadikan ‘Itrahnya sebagai Ahlul Bait.’ Abu ‘Ubaid dan yang lainnya berkata, “‘Itrah seorang laki-laki adalah kerabatnya.’ Ibnu Atsir berkata, “Itrah seorang laki-laki lebih khusus dari kaum kerabatnya.’ Ibnu A’rabi berkata, “Itrah seorang laki-laki ialah anak dan keturunannya yang berasal dari tulang sulbinya.’ Ibnu A’rabi melanjutkan perkataannya, ‘Maka ‘Itrah Rasulullah SAWW adalah keturunan Fatimah.”[9] Dari makna-makna ini menjadi jelas bahwa yang dimaksud Ahlul Bait bukan mutlak kaum kerabat, melainkan kaum kerabat yang paling khusus. Oleh karena itu, di dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa tatkala Zaid bin Arqam ditanya, siapa yang dimaksud dengan Ahlul Bait Rasulullah? Apakah istri-istrinya?
Zaid bin Arqam menjawab, “Tidak, demi Allah. Sesungguhnya seorang wanita tidak selamanya bersama suaminya, karena jika dia ditalak maka dia akan kembali kepada ayah dan kaumnya. Adapun yang dimaksud Ahlul Bait Rasulullah SAWW ialah keluarga nasabnya, yang diharamkan sedekah atas mereka sepeninggalnya (Rasulullah SAWW).”
Menjadi anggota Ahlul Bait tidak pernah diklaim oleh seorang pun dari kaum kerabat Rasulullah SAWW, dan begitu juga oleh istri-istrinya. Karena jika tidak, maka tentunya sejarah akan menceritakan hal itu kepada kita. Tidak ada di dalam sejarah dan juga di dalam hadis yang menyebutkan bahwa istri Rasulullah SAWW berhujjah dengan ayat ini. Sebaliknya dengan Ahlul Bait. Inilah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, “Sesungguhnya Allah Azza Wajalla mengutamakan kami, Ahlul Bait. Bagaimana tidak demikian, padahal Allah SWT telah berfirman di dalam Kitab-Nya, ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.’ Allah SWT telah mensucikan kami dari berbagai kotoran, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Maka kami berada di atas jalan kebenaran.”
Putranya, al-Hasan as berkata, “Wahai manusia, barangsiapa yang mengenalku, maka sungguh dia telah mengenalku, dan barangsiapa yang tidak mengenalku, maka inilah aku, Hasan putra Ali. Akulah anak seorang laki-laki pemberi kabar gembira dan peringatan, penyeru kepada Allah dengan izin-Nya, dan pelita yang bercahaya. Saya termasuk Ahlul Bait yang mana Jibril turun naik kepada mereka. Saya termasuk Ahlul Bait yang telah Allah hilangkan dosa dari mereka dan telah Allah sucikan mereka sesuci-sucinya.” Pada kesempatan yang lain al-Hasan berkata, “Wahai manusia, dengarkanlah. Kamu mempunyai hati dan telinga, maka perhatikanlah. Sesungguhnya kami ini adalah Ahlul Bait yang telah Allah muliakan dengan Islam, dan Allah telah memilih kami, maka Dia pun menghilangkan dosa dari kami dan mensucikan kami sesuci-sucinya.”
Adapun argumentasi Ibnu Katsir tentang keharusan memasukkan istri-istri Rasulullah SAWW tidaklah dapat diterima, karena kehujjahan zhuhur bersandar kepada kesatuan ucapan. Sebagaimana di ketahui bahwa ucapan telah berubah dari bentuk ta’nits (seruan kepada wanita dengan menggunakan kata ganti yang bermuatan wanita – Penerj.) pada ayat-ayat sebelumnya kepada bentuk tadzkir (seruan kepada wanita dengan menggunakan kata ganti yang bermuatan lelaki – Penerj.) pada ayat ini. Jika yang di maksud dari ayat ini adalah istri-istri Rasulullah SAWW maka tentunya ucapan ayat berbunyi “Innama Yuridullah Liyudzhiba ‘Ankunnar Rijsa Ahlal Bait wa Yuthahhirakunna Tathhira “, karena ayat-ayat tersebut khusus untuk istri-istri Rasulullah SAWW. Oleh karena itu, Allah SWT memulai firmannya setelah ayat ini, “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah….” (QS. al-Ahzab: 34)
Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa ayat Tathhir turun kepada istri-istri Rasulullah SAWW selain dari Ikrimah dan Muqatil. Ikrimah mengatakan, “Barangsiapa yang menginginkan keluarganya maka sesungguhnya ayat ini turun kepada istri-istri Nabi SAWW.”[10] Perkataan Ikrimah ini tidak dapat diterima, disebabkan bertentangan dengan riwayat-riwayat sahih yang dengan jelas mengatakan bahwa Ahlul Bait itu ialah para ashabul kisa, sebagaimana yang telah dijelaskan.
Kedua, apa yang telah memicu emosi Ikrimah sehingga dia berteriak-teriak di pasar menantang mubâhalah?
Apakah karena kecintaan kepada istri-istri Nabi SAWW atau karena kebencian kepada para Ashabul Kisa`?! Dan kenapa dia mengajak ber-mubahalah jika ayat itu tidak diragukan turun kepada istri-istri Nabi SAWW?! Atau apakah karena pendapat umum yang berkembang mengatakan bahwa ayat itu turun kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain?! Dan memang demikian. Ini dapat dilihat dari perkataannya, “Yang benar bukanlah sebagaimana pendapat Anda semua, melainkan ayat ini turun hanya kepada istri-istri Nabi SAWW.”[11] Ini artinya bahwa di kalangan para tabi’in ayat ini jelas turun kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain as.
Kita juga tidak mungkin bisa menerima Ikrimah sebagai saksi dan penengah dalam masalah ini, disebabkan dia sudah sangat dikenal amat memusuhi Ali. Dia termasuk kelompok Khawarij yang memerangi Ali, maka tentunya dia akan mengatakan bahwa ayat ini turun kepada istri-istri Nabi SAWW. Karena jika dia mengakui bahwa ayat ini turun kepada Ali maka berarti dia telah menghancurkan mazhabnya sendiri dan telah merobohkan pilar-pilar keyakinan yang mendorong dirinya dan para sahabatnya untuk keluar memerangi Ali as. Di samping sudah sangat terkenalnya kebohongan Ikrimah atas Ibnu Abbas, sehingga Ibnu al-Musayyab sampai mengatakan kepada budaknya, “Jangan kamu berbohong atasku sebagaimana Ikrimah telah berbohong atas Ibnu Abbas.” Di dalam kitab Mîzân al-I’tidâl disebutkan bahwa Ibnu Ummar pun mengatakan yang sama kepada budaknya yang bernama Nâfi’.
Ali bin Abdullah bin Abbas telah berusaha mencegah Ikrimah dari perbuatan berdusta kepada ayahnya. Salah satu cara yang dilakukannya ialah dengan cara menggantung Ikrimah ke atas dinding supaya dia tidak berdusta lagi atas ayahnya. Abdullah bin Abi Harits berkata, “Saya menemui Ibnu Abdullah bin Abbas, dan saya mendapati Ikrimah tengah diikat di atas pintu dinding. Kemudian saya berkata kepadanya, ‘Beginikah kamu memperlakukan budakmu?’ Ibnu Abdullah bin Abbas menjawab, ‘Dia telah berdusta atas ayahku.’”[12]
Adapun Muqatil, dia tidak kalah dari Ikrimah di dalam permusuhannya terhadap Amirul Mukminin dan reputasi kebohongannya, sehingga an-Nasa’i memasukkannya ke dalam kelompok pembohong terkenal pembuat hadis.[13]
Al-Juzajani di dalam kitab Mîzân adz-Dzahab berkata di dalam biografi Muqatil, “Muqatil adalah seorang pembohong yang berani.”[14]
Muqatil pernah berkata kepada Mahdi al-’Abbasi, “Jika Anda mau, saya bisa membuat hadis-hadis tentang keutamaan Abbas.” Namun Mahdi al-’Abbasi menjawab, “Saya tidak perlu itu.”[15]
Kita tidak mungkin mengambil perkataan dari orang-orang seperti mereka. Karena perbuatan yang demikian adalah tidak lain bersumber dari kesombongan dan kebodohan. Karena hadis-hadis sahih yang mutawatir bertentangan dengannya, sebagaimana yang telah dijelaskan. Dan ini selain dari riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa setelah turunnya ayat ini Rasulullah SAWW mendatangi pintu Ali bin Abi Thalib setiap waktu shalat selama sembilan bulan berturut-turut dengan mengatakan, “Salam, rahmat Allah dan keberkahan atasmu, wahai Ahlul Bait. ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hal Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.”‘ Itu dilakukan oleh Rasulullah SAWW sebanyak lima kali dalam sehari.[16]
Di dalam Sahih Turmudzi, Musnad Ahmad, Musnad ath-Thayalisi, Mustadrak al-Hakim ‘ala ash-Shahihain, Usud al-Ghabah, tafsir ath-Thabari, Ibnu Katsir dan as-Suyuthi disebutkan bahwa Rasulullah SAWW mendatangi pintu rumah Fatimah selama enam bulan setiap kali keluar hendak melaksanakan shalat Shubuh dengan berseru, “Shalat, wahai Ahlul Bait. ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.’”[17]Dan riwayat-riwayat lainnya yang serupa yang berkenaan dengan bab ini.
Dengan keterangan-keterangan ini menjadi jelas bagi kita bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait ialah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.
Dan tidak ada tempat bagi siapa pun untuk mengingkarinya. Karena orang yang meragukan hal ini adalah tidak ubahnya seperti orang yang meragukan matahari di siang hari yang cerah.

Ahlul Bait as dalam Ayat Mubâhalah

Sesungguhnya pertarungan antara front kebenaraan dengan front kebatilan di medan peperangan adalah perkara yang sulit, namun jauh lebih sulit lagi jika dilakukan di medan mihrab. Yaitu manakala masing-masing orang membuka dirinya di hadapan Dzat Yang Maha Mengetahui hal-hal yang gaib, dan menjadikan-Nya sebagai hakim di antara mereka. Pada keadaan ini tidak akan menang orang yang di dalam hatinya terdapat keraguan.
Mungkin saja seseorang merupakan petempur yang gagah di medan peperangan, dan oleh karena itu kita mendapati Rasulullah SAWW menyeru kepada setiap orang yang mampu memanggul senjata, meski pun dia seorang munafik, untuk berjihad menghadapi orang-orang kafir. Namun, ketika bentuk pertarungan telah berubah dari bentuk peperangan ke dalam bentuk mubahalah dengan orang-orang Nasrani, Rasulullah SAWW tidak memanggil seorang pun dari para sahabatnya untuk ikut terjun ke dalam bentuk pertarungan yang baru ini. Karena pada pertarungan yang semacam ini tidak akan ada yang bisa maju kecuali orang yang mempunyai hati yang lurus dan telah disucikan dari segala macam dosa dan kotoran. Mereka itulah manusia-manusia pilihan. Orang-orang yang semacam itu tidak banyak jumlahnya di tengah-tengah manusia. Jumlah mereka sedikit, namun mereka adalah sebaik-baiknya penduduk bumi.

Siapakah orang-orang yang terpilih itu?

Ketika Rasulullah SAWW berdebat dengan cara yang paling baik dengan para pendeta Nasrani, Rasulullah SAWW tidak mendapati dari mereka kecuali kekufuran, pengingkaran dan pembangkangan, dan tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain dari bermubahalah. Yaitu dengan cara masing-masing dari mereka memanggil orang-orang mereka, dan kemudian menjadikan laknat Allah menimpa orang-orang yang dusta. Pada saat itulah datang perintah dari Allah SWT,
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah kepadanya, ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri-diri kami dan diri-diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.’” (QS. Ali ‘lmran: 61)
Ketika para pendeta menerima tantangan Rasulullah SAWW ini, sehingga akan menjadi peperangan penentu di antara mereka, maka para pendeta mengumpulkan orang-orang khusus mereka untuk bersiap-siap menghadapi hari yang telah ditentukan. Ketika telah tiba hari yang ditentukan maka berkumpullah sekelompok besar dari kalangan kaum Nasrani. Mereka maju dengan keyakinan bahwa Rasulullah SAWW akan keluar menghadapi mereka dengan sekumpulan besar para sahabatnya, sementara istri-istrinya di belakang dia. Namun, Rasulullah SAWW maju dengan langkah pasti bersama bintang kecil dari Ahlul Bait, yaitu Hasan di sebelah kanannya dan Husain di sebelah kirinya, sementara Ali dan Fatimah di belakangnya. Ketika orang-orang Nasrani melihat wajah-wajah yang bercahaya ini, mereka gemetar ketakutan. Maka mereka semua pun menoleh ke arah Uskup, pemimpin mereka seraya bertanya,
“Wahai Abu Harits, bagaimana pendapat Anda tentang hal ini?”
Uskup itu menjawab, “Saya melihat wajah-wajah yang jika salah seorang dari mereka memohon kepada Allah supaya gunung dihilangkan dari tempatnya, maka Allah akan menghilangkan gunung itu.”
Bertambahlah ketercengangan mereka. Ketika Uskup merasakan yang demikian itu dari mereka, maka dia pun berkata, “Tidakkah engkau melihat Muhammad sedang mengangkat kedua tangannya sambil menunggu terkabulnya doanya. Demi al-Masih, jika dia menggerakkan mulutnya dengan satu kata saja, maka kita tidak akan bisa kembali kepada keluarga dan harta kita.”[18]
Akhirnya mereka memutuskan untuk segera pulang dan meninggalkan arena mubâhalah. Mereka rela walau pun harus menanggung kehinaan dan memberikan jizyah (denda).
Dengan lima orang itu Rasulullah SAWW mampu mengalahkan orang-orang Nasrani dan menjadikan mereka kecil. Rasulullah SAWW bersabda, “Demi Dzat yang diriku berada di dalam genggamannya, sesungguhnya azab tengah bergantung di atas kepala para penduduk Najran. Kalaulah tidak ada ampunan-Nya, niscaya mereka telah diubah menjadi kera dan babi, dan dinyalakan atas mereka lembah menjadi lautan api, serta Allah binasakan perkampungan Najran dan seluruh para penghuninya, bahkan burung-burung yang berada di pepohonan sekali pun.”
Namun, kenapa Rasulullah SAWW menghadirkan mereka yang lima saja, dan tidak menghadirkan para sahabat dan istri-istrinya?
Pertanyaan itu dapat dijawab dengan satu kalimat, yaitu bahwa Ahlul Bait adalah seutama-utamanya makhluk setelah Rasulullah, dan manusia-manusia yang paling suci. Sifat-sifat yang telah Allah SWT tetapkan bagi Ahlul Bait di dalam ayat Tathhîr ini tidak diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu, di dalam menerapkan ayat ini kita mendapati bagaimana Rasulullah menarik perhatian umat kepada kedudukan Ahlul Bait. Rasulullah menafsirkan firman Allah yang berbunyi “abnâ’anâ” (anak-anak kami) dengan Hasan dan Husain, “nisâ’anâ” (istri-istri kami) dengan Sayyidah Fatimah az-Zahra as, dan “anfusanâ” (diri-diri kami) dengan Ali as. Itu dikarenakan imam Ali tidak masuk ke dalam kategori istri-istri dan tidak termasuk ke dalam kategori anak-anak, melainkan hanya masuk ke dalam kata “diri-diri kami”. Karena ungkapan “anfusanâ” (diri-diri kami) akan menjadi buruk jika seruan itu hanya ditujukan kepada diri Rasulullah SAWW saja.
Bagaimana mungkin Rasulullah SAWW memanggil dirinya?! Ini diperkuat dengan hadis Rasulullah SAWW yang berbunyi, “Aku dan Ali berasal dari pohon yang sama, sedangkan seluruh manusia yang lain berasal dari pohon yang bermacam-macam.”
Jika Imam Ali adalah diri Rasulullah SAWW sendiri, maka Imam Ali memiliki apa yang dimiliki oleh Rasulullah SAWW, berupa kepemimpinan atas kaum Muslimin, kecuali satu kedudukan yaitu kedudukan kenabian. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah SAWW di dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, “Wahai Ali, kedudukan engkau di sisiku tidak ubahnya sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku.”[19]
Sesungguhnya argumentasi kita dengan ayat ini bukan untuk menjelaskan peristiwa mubâhalah, melainkan semata-mata dalam rangka menjelaskan siapakah Ahlul Bait itu. Dan alhamdulillah, tidak ada perbedaan pendapat bahwa ayat ini turun kepada Ashabul Kisâ`. Terdapat banyak riwayat dan hadis di dalam masalah ini. Muslim dan Turmudzi telah meriwayatkan di dalam bab keutamaan-keutamaan Ali:
Dari Sa’ad bin Abi Waqash yang berkata, “Ketika ayat ini turun, ‘Katakanlah, ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu…’ Rasulullah SAWW memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Lalu Rasulullah SAWW berkata, ‘Ya Allah, mereka inilah Ahlul Baitku.”‘[20]

[1] Ash-Shawâ’iq, hal 143.
[2] Mustadrak al-Hâkim, jld 3, hal 197 – 198.
[3] Mustadrak al-Hâkim, jld 3, hal 197 – 198.
[4] Sahih Muslim, bab keutamaan-keutmaan Ahlul Bait.
[5] Baihaqi, di dalam Sunan al-Kubra, bab keterangan Ahlul Baitnya (Rasulullah saw); Tafsir ath-Thabari, jld 22, hal 5; Tafsir Ibnu Katsir, jld 3, hal 485; afsir ad-Durr al-Mantsûr, jld 5, hal 198 – 199; Sahih Turmudzi, bab keutamaan-keutamaan Fatimah; Musnad Ahmad, jld 6, hal 292 – 323.
[6] Tafsir ad-Durr al-Mantsûr, jld 5, hal 198.
[7] Mustadrak al-Hakim, jld 2, hal 416.
[8] Musnad Ahmad, jld 3, hal 292 – 323.
[9] Lisân al-Arab, jld 9, hal 34.
[10] Tafsir ad-Durr al-Mantsûr, jld 5, hal 198.
[11] Tafsir ad-Durr al-Mantsûr, jld 5, hal 198.
[12] Wafayât al-A’yân, jld 1, hal 320.
[13] Dalâ’il ash-Shidq, jld 2, hal 95.
[14] Al-Kalimah al-Gharrâ`, Syarafuddin, hal 217.
[15] Al-Ghadîr, jld 5, hal 266.
[16] Penafsiran ayat dari Ibnu Abbas, di dalam kitab tafsir ad-Durr al-Mantsûr, jld
5, hal 199.
[17] Mustadrak ‘ala ash-Shahîhain, jld 3, hal 158.
[18] Tafsir ad-Durr al-Mantsûr, jld 2, pembahasan tafsir surat Ali ‘lmran ayat 61.
[19] Sahih Bukhari, kitab Manaqib; Sahih Muslim, kitab keutamaan-keutamaan sahabat; dan Musnad Ahmad, riwayat nomer 1463.
[20] Sahih Muslim, jld 2, hal 360; Isa al-Halabi, jld 15, hal 176; Sahih Turmudzi, jld 4, hal 293, hadir nomer 3085; al-Mustadrak ‘ala ash-Shahîhain, jld 3, hal 150.

Ahlulbait dalam Al-Quran.

Al-Quran adalah sumber pemikiran, sumber hukum dan sumber segala kebajikan yang esensinya adalah kalam ilahi yang suci. Al-Quran adalah pola bagi hidup dan kehidupan seluruh umat manusia. Maka setiap muslim atau muslimah wajib mengetahui dan memahami bahwa Kitabullah itu adalah syari’ah dan risalah-Nya yang umat manusia harus merealisasikannya dalam hidup dan kehidupannya serta berjalan di atas petunjuk-Nya.

Banyak ayat Al-Quran yang menceritakan Ahlulbait atau keluarga Nabi yang disucikan yang antara lain seperti di bawah ini:
1.Surah Al-Ahzab: 33
Dalam ayat ini Allah menyebut mereka Ahlulbait. Dia berfirman: “Innamâ yuridu l`llâhu liyudzhiba ‘ankumu l`rijsa ahla l`bayt wa yuthahhirakum tathhirâ”. Yang artinya: “Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan al-rijs dari kamu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.” (QS 33/33).
Imam Ja’far Al-Shadiq ditanya mengenai makna al-rijs yang terdapat pada ayat diatas. Beliau menjawab:
“Al-Rijsu itu adalah al-syakk (keraguan)”. (Ma’ani l`Akhbar).

Jika kita tidak taat kepada Allah dalam satu perkara, maka hal itu telah menunjukan kepada keraguan kita terhadap-Nya, semakin banyak ketidaktaatan kita kepadanya, maka semakin besar pula keraguan kita kepada-Nya. Ahlulbait yang disucikan itu sedikit pun tidak pernah ragu kepada-Nya, oleh karena itu tidak ada satu pun keburukan atau kemaksiatan yang mereka lakukan. Dan tidak adanya keraguan dari mereka, dikuatkan dengan pensucian sesuci-sucinya, yang demikian itu menunjukan bahwa mereka memiliki sifat ‘ishmah yang sangat kuat, mereka adalah orang-orang ma’shum (tidak melakukan dosa dan kesalahan).
Sebagian kaum muslim beranggapan bahwa tafsir ahlul`bayt yang terdapat pada ayat di atas adalah istri-istri Rasulullah saw, mereka menafsirkan demikian barangkali dikarenakan awal ayat tersebut ditujukan kepada istri-istri Nabi yaitu : “Dan hendaklah kamu (istri-istri Nabi) tinggal di rumah-rumah kamu, dan janganlah kamu bersolek seperti kaum jahiliah yang pertama, dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah serta Rasul-Nya…”.

Tafsir seperti itu rasanya tidak benar karena kata ganti (personal pronoun, dhamir) bagi istri-istri Nabi dan untuk ahlulbait berbeda; untuk istri-istri Nabi dhamirnya mu`annats (feminine) sedangkan untuk Ahlulbait dhamirnya mudzakkar (masculine). Kedua mereka tidak memakai tafsir atau penjelasan dari Rasulullah dan para sahabatnya, padahal orang yang paling mengetahui tafsirnya adalah Nabi saw, dan Al-Quran telah memerintahkan kita untuk mengikuti beliau sebagaimana dalam firman-Nya berikut ini (yang artinya): “Dan telah Kami turunkan Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu jelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir”. (Al-Nahl 44).

“Dan tidak Kami turunkan Al-Kitab melainkan agar kamu jelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Al-Nahl 64).
“Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu maka laksanakan dan apa-apa yang dia larang maka tinggalkanlah, dan ber-taqwa-lah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya”. (QS 59/7).
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Uli l`amri (para khalifah Rasulullah yang dua belas) dari kamu…”. (QS 4/59).

Kemudian siapakah Ahlulbait yang disebutkan dalam Al-Ahzab 33 menurut Nabi dan sebagian sahabatnya itu? Marilah kita perhatikan beberapa riwayat berikut ini :
Ummu l`mu`minin Aisyah mengatakan : “Pada suatu pagi Rasulullah saw keluar dari rumah) dengan membawa kain berbulu yang berwarna hitam. Kemudian datang (kepada beliau) Hasan putra Ali, lalu beliau memasukkannya (ke bawah kain); lalu datang Husayn lantas dia masuk bersamanya; kemudian datang Fathimah,lantas beliau memasukannya; kemudian datang Ali, lalu beliau memasukannya. Kemudian beliau membaca ayat : ‘Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan dari kalian wahai Ahlulbait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’”. (Lihat Shahih Muslim bab fadha`il Ahli bayti l`Nabiyy; Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/147; Sunan Al-Bayhaqi 2/149 dan Tafsir Ibnu Jarir Al-Thabari 22/5).

Amer putra Abu Salamah – anak tiri Rasulullah – mengatakan : “Ketika ayat ini (innama yuridu l`llahu liyudzhiba ‘ankumu l`rijsa ahla l`bayt wa yuthahhirakum tathhira) diturunkan di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan dan Husayn sedangkan Ali as. berada di belakang beliau. Kemudian beliu mengerudungi mereka dengan kain seraya beliau berdoa : ‘Ya Allah mereka ini ahlulbaitku maka hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya’. Ummu Salamah berkata: ‘Dan aku bersama mereka wahai Nabi Allah?’ Beliau bersabda :
‘Engkau tetap di tempatmu, engkau dalam kebaikan’”. (Al-Turmudzi 2:209, 308 ; Musykilu l`Atsar 1:335;
Usudu l`Ghabah 2:12; Tafsir Ibni Jarir Al-Thabari 22: 6-7).

Dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw. telah mengerudungkan sehelai kain ke atas Hasan, Husayn, Ali, Fatimah lalu beliau berkata, “Ya Allah, mereka ini Ahlulbaitku dan orang-orang terdekatku, hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya,”. Kemudian Ummu Salamah berkata: “Aku ini bersama mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau berada di atas kebaikan”. (HR Al-Turmudzi 2:319).

Anas bin Malik telah berkata : “Rasulullah saw pernah melewati pintu rumah Fatimah ‘alayha l`salam selama enam bulan, apabila beliau hendak keluar untuk shalat subuh, beliau berkata, ‘Salat wahai Ahlulbait! Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan darimu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya’”. (HR Al-Turmudzi 2 : 29).

Itulah beberapa kesaksian dari beberapa kitab rujukan bahwa Ahlulbait dalam surah Al-Ahzab itu bukan istri-istri Nabi saw melainkan Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn sekalipun ayat tersebut digabungkan penulisannya dengan ayat yang menceriterakan istri-istri Nabi saw sebab di dalam Al-Quran mushhaf ‘utsmani ini terkadang dalam surah makkiyyah terselip di dalamnya beberapa ayat madaniyyah atau sebaliknya atau satu ayat mengandung dua cerita seperti pada ayat diatas dan tentu para ulama telah maklum adanya.

2. Surah Al-Syura:23.
Ketika orang-orang musyrik berkumpul di satu tempat pertemuan mereka, tiba-tiba berkatalah sebagian dari mereka kepada yang lainnya : Apakan kalian melihat Muhammad meminta upah atas apa yang dia berikan ? Kemudian turunlah ayat : “Katakanlah aku tidak meminta upah dari kalian selain kecintaan (mawaddah) kepada al-qurba”. (Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf).

Kemudian beliau berkata: Telah diriwayatkan ketika ayat tersebut turun bahawa ada orang yang bertanya:
Wahai Rasulullah, siapakah kerabatmu yang telah diwajibkan atas kami mencintai mereka? Beliau menjawab: “Mereka itu adalah Ali, Fathimah dan kedua putranya (Hasan dan Husayn)”.

Ayat tersebut di atas telah mewajibkan seluruh manusia untuk mencintai (mengikuti) keluarga Nabi atau Ahlulbait dan mencintai mereka merupakan dasar di dalam ajaran Islam. Rasulullah saw bersabda (yang artinya): “Segala sesuatu ada asasnya dan asas Islam adalah mencintai Ahlulbaitku”. (Hadits yang mulia). Dan jika kita membenci mereka maka amal baik kita akan menjadi sia-sia dan kita masuk neraka. Sabdanya :
“Maka seandainya seseorang berdiri (beribadah) lalu dia salat dan saum kemudian dia berjumpa dengan Allah (mati) sedangkan dia benci kepada Ahlulbait Muhammad, niscaya dia masuk neraka.” Al-Hakim memberikan komentar terhadap sabda Nabi ini sebagai berikut: “Ini hadits yang baik lagi sah atas syarat Muslim”. ( Kitab Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/148).
3. Surah Ali ‘Imran:61.

Ayat ini disebut sebagai ayat mubahalah karena di dalamnya ada ajakan untuk ber-mubahalah dengan para pendeta nasrani. Adapun terjemahannya: “Siapa yang menbantahmu tentang dia (Al-Masih) setelah datang kepadamu ilmu, maka katakanlah (kepada mereka): Marilah, kami memanggil anak-anak lelaki kami dan (kamu memanggil) anak-anak lelaki kamu, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu
dan diri-diri kami serta diri-diri kamu, kita bermubahalah dan kita tetapkan laknat Allah atas mereka yang berdusta”.

Saksi sejarah yang hidup dan kekal yang diriwayatkan ahli-ahli tarikh dan tafsir telah memberikan kejelasan kepada khalayak akan kesucian keluarga Nabi saw yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Ayat tersebut menunjukan betapa agungnya kadar dan kedudukan mereka di sisi Allah ‘azza wa jalla.

Diantara kasus yang disampaikan para muarrikh, mufassir dan muhaddits ialah peristiwa mubahalah, yaitu ketika datang utusan dari masyarakat keristen Najran untuk membantah Rasulullah—shalla l`llahu ‘alayhi wa alihi wa sallam—kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas agar beliau memanggil Ali, Fathimah. Hasan dan Husain. Beliau keluar membawa mereka ke lembah yang telah ditentukan dan para pemimpin keristen pun membawa anak-anak dan perempuan-perempuan mereka.

Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf berkata : “Sesungguhnya ketika mereka diseru untuk bermubahalah mereka mengataakan : ‘Nanti akan kami pertimbangkan terlebih dahulu’. Tatkala mereka berpaling (dari mubahalah) berkatalah mereka kepada Al-Aqib—yang menjadi juru bicara mereka : ‘Wahai hamba Al-Masih, bagaimanakah menurutmu?’ Dia berkata: Demi Allah, kalian juga tentu mengetahui wahai umat nasrani bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan Rasul. Dia datang kepadamu membawa penjelasan mengenai Isa (Yesus). Demi Allah tidak ada satu kaum pun yang mengadakan mubahalah dengan seorang Nabi lalu mereka hidup. Dan jika kalian melakukan mubahalah dengannya niscaya kalian semua pasti binasa, dan apabila kalian ingin tetap berpegang kepada ajaran kalian maka tinggalkan orang tersebut dan pulanglah ke kampung halaman kalian”.

Keesokan harinya Nabi saw datang dengan menggendong Husayn dan menuntun Hasan dan Fathimah berjalah di belakang beliau sedang Ali berjalan di belakang Fathimah. Nabi bersabda : “Bila aku menyeru kalian maka berimanlah !”. Melihat Nabi dan Ahlulbaitnya, berkatalah uskup Najran : “Wahai umat keristen, sungguh aku melihat wajah-wajah yang sendainya mereka berdoa kepada Allah agar Dia (Allah) menghilangkan sebuah gunung dari tempatnya pasti doa mereka akan dikabulkan, oleh karena itu tinggalkan mubahalah sebab kalian akan celaka yang nantinya tidak akan tersisa seorang keristen pun sampai hari kiamat”.

Akhirnya mereka berkata : “Wahai Abul Qasim, kami telah mengambil keputusan bahwa kami tidak jadi bermubahalah, namun kami ingin tetap memeluk agama kami.” Rasul bersabda : “Jika kalian enggan mubahalah maka terimalah Islam bagi kalian dan akan berlaku hukum atas kalian sebagai mana berlaku atas mereka (muslimin yang lain).”

Kemudian Al-Zamakhsyari–rahimahu l`llah–menjelaskan kedudukan Ahlulbait ketika menafsirkan ayat mubahalah, setelah dia menjelaskan keutamaan mereka melalui riwayat dari Aisyah dengan mengatakan : “Diantara mereka ada yang diungkapkan dengan anfusana (diri-diri kami); ini adalah untuk mengingatkan akan tingginya kedudukan mereka dan ayat ini adalah dalil yang sangat kuat dari-Nya atas keutamaan ashhabu l`kisa` (Ahlulbait)—‘alayhimu l`salam”. Pertunjukan mubahalah yang tidak terjadi itu telah menampilkan dua kekuatan yaitu iman versus syirik, dan manusia-manusia mukmin yang tampil waktu itu (Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn) adalah para tokoh petunjuk, umat terkemuka dan orang-orang suci. Seruan mereka tidak boleh dibantah dan kalimat mereka tidak boleh didustakan. Dari sini kita dapat memahami bahwa apa-apa yang datang dari mereka baik pemikiran, syari’ah, tafsiran, petunjuk maupun pengarahan adalah berlaku; mereka adalah orang-orang yang benar dalam ucapannya, perjalanan hidupnya dan tingkah lakunya.

Al-Quran telah menganggap setiap yang berlawanan dengan mereka adalah musuh-musuh, dan menjadikan musu-musuh mereka sebagai orang-orang yang berdusta serta berpaling dari kebenaran yang sepantasnya mendapat laknat dan azab. “…maka kami jadikan laknat Allah atas mereka yang berdusta.”
Dan juga dari segi bahasa yang sangat dalam pada ayat tersebut yang harus kita perhatikan, yakni ketika mereka disandarkan kepada Nabi. Hasan dan Husayn disebut sebagai “anak-aknak kami”, Fathimah sebagai perempuan-perempuan kami” dan Ali sebagai “diri-diri kami”. Di sini Imam Ali disandarkan kepada diri Nabi yang suci.

Sesungguhnya Rasulullah -shalla l`llahu ‘alayhi wa alihi wa sallam-hanya mengeluarkan empat orang ke arena mubahalah, ini berarti memberikan penjelasan kepada kita bahwa Fathimah Al-Zahra` -‘alayha l`salam- perempuan pilihan yang harus diteladani umat manusia; Imam Hasan dan Imam Husayn -‘alayhima l`salam- adalah anak-anak umat yang wajib kita taati sedangkan Imam Ali -‘alayhi l`salam- adalah dianggap diri Nabi sendiri.

Ahlulbait dalam Sunnah Nabi saw 
Orang yang membaca sunnah-sunnah Nabi saw, perjalanan hidupnya dan memperhatikan hubungannya dengan Ahlulbaitnya yang telah ditegaskan di dalam Al-Quran yakni Ali, Fathimah adan kedua putranya, pasti dia mengetahui bahwa Ahlulbait Nabi mempunyai tanggung jawab risalah dengan umat ini. Rasulullah saw telah menggariskannya untuk umat agar mereka menerimanya sebagai perinyah dari Allah ‘azza wa jalla.
Langkah pertama yang ditempuh Nabi saw ialah melaksanakan perintah Allah, yaitu menikahkan Fathimah kepada Ali bin Abi Thalib. Beliau menanam pohon yang diberkati agar cabang-cabangnya menjangkau segala ufuk umat ini di sepanjang sejaarahnya.

Tentang pernikahan itu Nabi bersabda kepada Imam Ali—salam atasnya : “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanku agar aku menikahkanmu kepada Fathimah dengan mahar empat mitsqal perak jika engkau rela dengan yang demikian.” Dia berkata: “Aku rela dengan yang demikian.”
Dari pernikahan yang diberkati itu lahir Imam Hasan dan Imam Husayn. Dan dari sulbi Imam Husayn lahir sembilan Ahlulbait Nabi yang suci. Dzurriyyah (keturunan) Nabi melalui sulbi Imam Ali as sebagaimana yang beliau katakan : “Sesungguhnya Allah telah menjadikan keturunan setiap nabi dari sulbinya, tetapi dzurriyyahku dari sulbi orang ini yakni Ali.”

Cerita Ahlulbait Nabi saw dalam sunnahnya lebih banyak lagi, baik tentang Fathimah sebagai sayyidatu nisa` l`’alamin, pengangkatan Ali sebagai khalifah Nabi yang pertama, Ahllulbait sebagai padanan Al-Quran, kedudukan mereka, dua belas imam maupun yang lainnya. Di sini kita ceritakan dua hal saja, yaitu yang paling mengikat: Ahlulbait sebagai bahtera keselamatan dan Ahlulbait padanan Al-Quran.

Bahtera Keselamatan.
Abu Nuaym telah meriwayatkan hadits yang sanadnya dari Sa’id bin Jubayr dari Ibnu Abbas dia berkata bahwa Rasulullah saw telah mengatakan : “Perumpamaan Ahlulbaitku pada kamu adalah semisal bahtera Nuh—‘alayhi l`salam—barangsiapa yang mengikutinya pasti selamat dan yang berpaling darinya pasti dia tenggelam.” Hadits Nabi ini diriwayatkan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 2/343. Dia berkata : Hadits ini sah berdasarkan persyaratan Muslim. Pesan dari sunnah Nabi ini ialah bahwa kita hanya akan selamat jika mengikuti Ahlulbait Nabi yang disucikan.

Padanan Al-Quran.
Ahlulbait telah dijamin kesuciannya, mereka yang menjaga tafsir Al-Quran dan sunnah-sunnah Rasul, mereka yang menjaga kesucian ajaran Islam dari penambahan dan pengurangan, dari bid’ah, khurafat dan takhayyul.
Supaya umat tidak tersesat, maka Rasulullah saw berpesan kepada manusia agar tida tersesat jalan, sabdanya : “Wahai umat manusia! Sesungguhnya telah kutinggalkan pada kamu yang apabila kamu berpegang dengannya kamu tidak akan tersesat; kitab Allah dan ‘itrahku Ahlulbaitku.” (HSR Al-Turmudzi 2/308).

Ahlulbait Dikenal Umat Terdahulu.
Ahlulbait telah dikenal oleh umat-umat terdahulu, antara lain oleh Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa—salam atas mereka. Nabi Adam –salam atasnya–telah bermohon kepada Allah dengan hak mereka. Ibn Abbas telah berkata : “Saya telah bertanya kepada Rasulullah saw tentang kalimat-kalimat yang telah diterima Adam dari Rabb-nya hingga Dia menerima taubatnya. Nabi saw bersabda : “Dia telah bermohon (kepada Allah) : Dengan hak Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn terimalah taubatku, lalu Dia menerima taubatnya”. (Al-Durr al-Mantsur ketika menafsirkan firman Allah ‘azza wa jalla : “fatalaqqa ‘Adamu min Rabbihi kalimat,” (QS. Al-Baqarah 37), baca juga kitab Kanzu l`‘Ummal 1:234.
Sebuah team ahli peneliti Rusia telah menemukan tumpukan kayu bekas kapal Nabi Nuh as. yang di dalamnya terdapat tulisan doa tawassul dengan Nabi Muhammad saw dan Ahlulbaitnya. Mohammad, Ali, Hassan, Hossain, Fatema.

Pada bulan Juli tahun 1951, sebuah team riset Rusia di sekitar gunung Judi di perbatasan Uni Soviet dan Turki secara tidak sengaja, mereka menemukan beberapa kuburan tumpukan kayu-kayu yang telah bobrok yang terssusun secara luar biasa. Di antara tumpukan kayu tersebut ditemukan satu plat kayu yang berukuran sekitar 10 x 14 inci. Pada palat kayu tersebut terukir beberapa kalimat dalam bahasa kuno yang sudah tidak dikenal. Pada tahun 1953 pemerintah Uni Soviet menunjuk sebuah komisi peneliti yang terdiri dari tujuh orang ahli (untuk meneliti penemuan tersebut), mereka menyimpulkan bahwa tumpukan kayu itu adalah bagian bahtera Nabi Nuh—‘alayhi l`salam–yang terkenal itu. Dan kata-kata yang terukir pada plat kayu adalah kata-kata dari bahasa Samani, yaitu suatu bahasa yang sudah sangat tua. Kata-kata tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia dan Inggris oleh Prof. N.F. Thomas, seorang ahli bahasa-bahasa kuno dari Manchester, Inggris.

Pada plat kayu itu terdapat ukiran telapak tangan dengan lima jari. Pada kelima jari tersebut terdapat tulisan masing-masing: Muhammad, Ali, Hasan (syabar), Husayn (Syubayr), dan Fathimah. (Di bawahnya terdapat doa tawassul kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan mereka): “Wahai Tuhanku, wahai penolongku, aku berdoa dengan kemurahan-Mu melalui tubuh-tubuh suci yang Engkau ciptakan, mereka terbesar dan termulia, tolonglah aku melalui nama mereka, engkaulah yang mendatangkan cahaya”.

Plat kayu itu sekarang terpelihara dengan aman pada Museum Arkeologi dan Riset, Moscow, Uni Soviet. (Sumber : The Bulletin of The Islamic Center “UNDER SIEGE” P.O. BOX 32343 Wahington D.C. N.W. 20007 Vol. 7 No. 10 Rabi al-Awwal 6, 1408/Oktober 30,1987).


Pengakuan Ummu Salamah: Beliau Bukan Ahlulbait


Salam wa rahmatollah. Bismillah.
Diriwayatkan dengan sanad yang sahih, bahawa Ummu Salamah sendiri mengakui bahawa Ayatul tathir turun dirumah beliau, dan diriya bukan dari kalangan Ahlulbait(as).
وحدثنا ابن أبي داود أيضا قال حدثنا سليمان بن داود المهري قال حدثنا عبد الله بن وهب قال حدثنا أبو صخر عن أبي معاوية البجلي عن سعيد بن جبير عن أبي الصهباء عن عمرة الهمدانية قالت قالت لي أم سلمة أنت عمرة ؟ قالت : قلت نعم يا أمتاه ألا تخبريني عن هذا الرجل الذي أصيب بين ظهرانينا ، فمحب وغير محب ؟ فقالت أم سلمة أنزل الله عز وجل إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا وما في البيت إلا جبريل ورسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهما وأنا فقلت : يا رسول الله أنا من أهل البيت ؟ قال أنت من صالحي نسائي قالت أم سلمة : يا عمرة فلو قال نعم كان أحب إلي مما تطلع عليه الشمس وتغرب
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud Al Mahriy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Shakhr dari Abu Muawiyah Al Bajaliy dari Sa’id bin Jubair dari Abi Shahba’ dari ‘Amrah Al Hamdaniyah yang berkata Ummu Salamah berkata kepadaku:
“Engkau ‘Amrah?”. Aku berkata “Ya, wahai Ibu kabarkanlah kepadaku tentang laki-laki yang gugur di tengah-tengah kita, ia dicintai sebahagian orang dan tidak dicintai oleh yang lain. Ummu Salamah berkata “Allah SWT menurunkan ayat Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya, dan ketika itu tidak ada di rumahku selain Jibril, Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan, Husein dan aku, aku berkata Wahai Rasulullah apakah aku termasuk Ahlul Bait?”. Beliau  berkata “Engkau termasuk istriku yang shalih”. Ummu Salamah berkata “Wahai ‘Amrah sekiranya Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjawab iya niscaya jawaban itu lebih aku sukai daripada semua yang terbentang antara timur dan barat [dunia dan seisinya][Asy Syari’ah Al Ajjuri 4/248 no 1542].

Hadis ini sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya, ‘Amrah Al Hamdaniyah adalah tabiin wanita di kufah yang tsiqat dikenal meriwayatkan dari Ummu Salamah.
  • Ibnu Abi Dawud adalah Abdullah bin Sulaiman bin Al Asy’at As Sijistani putra dari Abu Dawud, kuniyahnya Abu Bakar sehingga lebih dikenal dengan sebutan Abu Bakar bin Abi Dawud. Al Khalili menyebutnya Al Hafizh Al Imam Baghdad seorang alim yang muttafaq ‘alaihi [Al Irshad Al Khalili 2/6]. Ia termasuk Syaikh [guru] Ath Thabrani, seorang yang hafiz tsiqat dan mutqin [Irsyad Al Qadhi no 576].
  • Sulaiman bin Dawud Al Mahriy adalah perawi Abu Dawud dan Nasa’i. Nasa’i menyatakan ia tsiqat dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 317]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/384]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat faqih [Al Kasyf no 2083].
  • ‘Abdullah bin Wahb bin Muslim Al Qurasiy adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ahmad menyatakan shahih hadisnya. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Abu Zur’ah, Ibnu Sa’ad dan Al Ijli juga menyatakan tsiqat. Nasa’i menyatakan tsiqat. As Saji berkata “shaduq tsiqat”. Al Khalili berkata “tsiqat muttafaq ‘alaihi” [At Tahdzib juz 6 no 141]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat faqih hafizh dan ahli ibadah [At Taqrib 1/545].
  • Abu Shakhr adalah Humaid bin Ziyad perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i. Yahya bin Sa’id Al Qaththan telah meriwayatkan darinya itu berarti Humaid tsiqat dalam pandangannya. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Daruquthni menyatakan ia tsiqat. [At Tahdzib juz 3 no 69]. Al Ijli menyatakan Humaid bin Ziyad tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqat no 362]. Terdapat perselisihan mengenai pendapat Ibnu Ma’in terhadapnya. Dalam riwayat Ad Darimi dari Ibnu Ma’in menyatakan “tsiqat tidak ada masalah” [Al Jarh Wat Ta’dil juz 3 no 975]. Dalam riwayat Ibnu Junaid dari Ibnu Ma’in menyatakan “tidak ada masalah padanya” [Sualat Ibnu Junaid no 835]. Dalam riwayat Ishaq bin Manshur dari Ibnu Ma’in menyatakan “dhaif” [Al Jarh Wat Ta’dil juz 3 no 975]. Dalam riwayat Ibnu Abi Maryam dari Ibnu Ma’in menyatakan “dhaif” [Al Kamil Ibnu Adiy 2/236]. An Nasa’i memasukkannya dalam Adh Dhu’afa dan berkata “tidak kuat” [Adh Dhu’afa An Nasa’i no 143]. Yang rajih disini Humaid bin Ziyad adalah seorang yang tsiqat, Ibnu Ma’in telah mengalami tanaqudh dimana ia melemahkannya tetapi juga menguatkannya sedangkan pernyataan Nasa’i “tidak kuat” berarti ia seorang yang hadisnya hasan dalam pandangan An Nasa’i [tidak mencapai derajat shahih].
  • Abu Muawiyah Al Bajaliy adalah ‘Ammar bin Muawiyah Ad Duhniy perawi Muslim dan Ashabus Sunan. Telah meriwayatkan darinya Syu’bah yang berarti ia tsiqat dalam pandangan Syu’bah. Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim dan Nasa’i menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 7 no 662]. Ibnu Hajar menyatakan “shaduq” tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau ‘Ammar Ad Duhniy seorang tsiqat [Tahrir At Taqrib no 4833].
  • Sa’id bin Jubair adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Qasim Ath Thabari berkata tsiqat imam hujjah kaum muslimin. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan menyatakan faqih ahli ibadah memiliki keutamaan dan wara’. [At Tahdzib juz 4 no 14]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit faqih” [At Taqrib 1/349]. Al Ijli berkata “tabiin kufah yang tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 578].
  • Abu Shahba’ Al Bakriy namanya adalah Shuhaib termasuk perawi Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i. Abu Zur’ah menyatakan ia tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Nasa’i menyatakan “dhaif” [At Tahdzib juz 4 no 771]. Al Ijli berkata “Shuhaib mawla Ibnu Abbas tabiin Makkah yang tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 770]. Ibnu Khalfun menyebutkannya dalam Ats Tsiqat [Al Ikmal Mughlathai 2/198]. Yang rajih dia seorang yang tsiqat, sedangkan pernyataan Nasa’i tidak memiliki asal penukilan yang shahih, namanya tidak tercantum dalam kitab Adh Dhu’afa milik Nasa’i.
  • ‘Amrah Al Hamdaniyah adalah tabiin wanita kufah yang tsiqat. Dalam riwayat lain disebutkan kalau ia adalah ‘Amrah binti Af’a atau ‘Amrah binti Syafi’ [menurut Ibnu Hibban]. Al Ijli berkata “tabiin wanita kufah yang tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 2345]. Ibnu Hibban menyebutkan dalam Ats Tsiqat, ‘Amrah binti Asy Syaafi’ meriwayatkan dari Ummu Salamah dan telah meriwayatkan darinya ‘Ammar Ad Duhniy [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 5 no 4880].
Bantahan oleh para Nasibi.
Kesimpulannya adalah hadis diatas adalah Sahih kerana diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah. Percubaan untuk melemahkan perawinya adalah cubaan sia-sia kerana ia telah terbukti dari perbahasan di atas. Bantahan yang layak ditanggapi hanyalah ‘Ammar Ad Duhniy tidak mendengar dari Sa’id bin Jubair jadi riwayat itu terputus.
Disebutkan dari Al Qawaririy dari Abu Bakar bin ‘Ayasy bahwa ‘Ammar Ad Duhniy tidak mendengar dari Sa’id bin Jubair [Ilal Ma’rifat Ar Rijal no 3033]. Pernyataan ini tidak benar karena Ammar Ad Duhny telah mendengar dari Sa’id bin Jubair. Buktinya adalah:
Al Bukhari sendiri telah menyebutkan biografi ‘Ammar bin Mu’awiyah Ad Duhniy dan berkata “mendengar dari Abu Thufail dan Sa’id bin Jubair” [Tarikh Al Kabir juz 7 no 120] kemudian Imam Muslim berkata:
أبو معاوية عمار بن أبي معاوية الدهني سمع أبا الطفيل وسعيد بن جبير روى عنه الثوري أبو مودود وأبو صخر

 Abu Mu’awiyah ‘Ammar bin Abi Muawiyah Ad Duhniy telah mendengar dari Abu Thufail dan Sa’id bin Jubair, telah meriwayatkan darinya Ats Tsawriy, Abu Mawdudi dan Abu Shakhr [Al Asma' Wal Kuna Muslim 1/758 no 3803].
Selain itu ‘Ammar Ad Duhniy sendiri menyatakan yang dia pernah bertemu Sa’id bin Jubair dan bertanya kepadanya, sebagaimana yang disebutkan oleh Abdurrazaq.
أخبرنا عبد الرزاق قال أخبرنا بن عيينة عن عمار الدهني قال سألت سعيد بن جبير
Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdurrazaq yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ibnu Uyainah dari ‘Ammar Ad Duhniy yang berkata aku bertanya kepada Sa’id bin Jubair [Mushannaf Abdurrazaq 8/26 no 14160]

Jadi pernyataan Abu Bakar bin ‘Ayasy yang menyatakan bahawa ‘Ammar tidak mendengar dari Sa’id bin Jubair itu tidak shahih. Abu Bakar bin ‘Ayasy sendiri memang seorang yang tsiqat atau shaduq tetapi disebutkan yang ia banyak melakukan kesalahannya karena hafalan yang buruk atau mengalami ikhtilaf di akhir umurnya. Ahmad terkadang berkata “tsiqat tetapi melakukan kesalahan” dan terkadang berkata “sangat banyak melakukan kesalahan”. Muhammad bin Abdullah bin Numair mendhaifkannya, Al Ijli menyatakan ia tsiqat tetapi sering salah. Ibnu Sa’ad juga menyatakan ia tsiqat shaduq tetapi banyak melakukan kesalahan, Al Hakim berkata “bukan seorang yang hafizh di sisi para ulama” Al Bazzar juga mengatakan kalau ia bukan seorang yang hafizh. Yaqub bin Syaibah berkata “hadis-hadisnya idhthirab”. As Saji berkata “shaduq tetapi terkadang salah”[At Tahdzib juz 12 no 151]. Ibnu Hajar berkata “tsiqah, ahli ibadah, berubah hafalannya di usia tua, dan riwayat dari kitabnya shahih” [At Taqrib 2/366].

Boleh jadi riwayat Abu Bakar bin ‘Ayasy ini sebahagian dari keburukan hafalannya atau dari ikhtilathnya di mana tidak diketahui apakah Al Qawaririy meriwayatkan sebelum atau sesudah ia mengalami ikhtilath. Jadi riwayat Abu Bakar bin ‘Ayasy tidak dapat dijadikan hujjah apabila bertentangan dengan pendapat ulama lain dan riwayat shahih lain yakni bahawa ‘Ammar bertemu dengan Sa’id bin Jubair.
Kesimpulan dari hadis di atas.
  • Al Ahzab 33 ayat tathiir turun di rumah Ummu Salamah di mana saat itu berkumpul Rasulullah(sawa), Sayyidah Fathimah, Imam Hasan dan Imam Husein
  • Ayat tathiir turun untuk Ahlul kisa’ dan hal ini menjadi keutamaan bagi mereka, sehingga ketika ‘Amrah bertanya kepada Ummu Salamah tentang Ali maka Ummu Salamah menyebutkan keutamaan ini.
  • Ummu Salamah bukan sebahagian dari Ahlul Kisa, ini dapat dilihat dari harapan beliau yang menginginkan Rasul(sawa) mengiyakan soalan beliau, dan menganggapnya lebih baik dari dunia dan sekalian isinya.
  • Rasulullah(sawa) dengan akhlak yang penu mulia, menolak dengan halus pertanyaan Ummu Salamah, dan menggolongkan beliau sebagai termasuk dalam golongan para isterinya yang solehah.(secara peribadi, saya mengambil maksud tersirat kata-kata ini akan wujudnya isteri baginda yang tidak solehah)
Catatan :
Berikut ini adalah tambahan riwayat yang semakna dengan hadis di atas. Riwayat ini menjadi penguat bagi riwayat di atas bahwa Ummu Salamah bukanlah ahlul bait bersama ahlul kisa’
حدثنا محمد بن إسماعيل بن أبي سمينة حدثنا عبد الله بن داود عن فضيل عن عطية عن أبي سعيد عن أم سلمة أن النبي – صلى الله عليه و سلم – غطى على علي و فاطمة و حسن و حسين كساء ثم قال هؤلاء أهل بيتي إليك لا إلى النار قالت أم سلمة : فقلت : يا رسول الله وأنا منهم ؟ قال : لا وأنت على خير
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Isma’il bin Abi Samiinah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Dawud dari Fudhail dari ‘Athiyah dari Abu Sa’id dari Ummu Salamah bahwa Nabi(sawa) menutupi Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dengan kain kemudian berkata “Mereka adalah ahlul baitku, kepadamu [ya Allah] jangan masukkan ke dalam neraka”. Ummu Salamah berkata “Wahai Rasulullah, apakah aku bersama mereka?. Baginda(sawa) menjawab “Tidak dan engkau di atas kebaikan”[Musnad Abu Ya’la 12/313 no 6888].
Riwayat di atas diriwayatkan para perawi tsiqat dan shaduq kecuali Athiyah. Athiyah bin Sa’ad bin Junadah Al ‘Aufiy adalah perawi yang shaduq tetapi ia dituduh melakukan tadlis syuyukh dari Al Kalbi. Tuduhan tadlis syuyukh ini adalah dusta karena itu berasal dari Al Kalbi sendiri seorang yang pendusta tetapi aneh sekali tuduhan ini malah diikuti oleh para ulama seperti Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban.
  • Muhammad bin Isma’il bin Abi Saminah adalah perawi Bukhari dan Abu Dawud. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat. Shalih bin Muhammad berkata “tsiqat dan ia lebih terpercaya dari Muhammad bin Yahya bin Abi Samiinah”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 9 no 59].
  • ‘Abdullah bin Dawud bin ‘Aamir Al Hamdhaniy adalah perawi Bukhari dan Ashabus Sunan. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat”. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat shaduq ma’mun”. Abu Zur’ah dan Nasa’i berkata “tsiqat”. Abu Hatim menyatakan ia shaduq. Daruquthni dan Ibnu Qani’ menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 5 no 346].
  • Fudhail bin Marzuq termasuk perawi Bukhari [dalam Juz Raf’ul Yadain], Muslim dan Ashabus Sunan. Ats Tsawriy menyatakan ia tsiqat. Ibnu Uyainah menyatakan ia tsiqat. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Abu Hatim menyatakan ia shalih shaduq banyak melakukan kesalahan dan tidak bisa dijadikan hujjah. Nasa’i berkata “dhaif”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Tahdzib juz 8 no 546]. Pendapat yang rajih Fudhail seorang yang hadisnya hasan pembicaraan terhadapnya tidak menurunkan derajatnya dari derajat hasan. Ibnu Ady berkata “Fudhail hadisnya hasan kukira tidak ada masalah padanya” [Al Kamil Ibnu Adiy 6/19].
  • Athiyyah bin Sa’ad bin Junadah Al ‘Aufiy adalah tabiin yang hadisnya hasan. Ibnu Sa’ad berkata ”seorang yang tsiqat, insya Allah memiliki hadis-hadis yang baik dan sebagian orang tidak menjadikannya sebagai hujjah” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 6/304]. Al Ijli berkata ”tsiqat dan tidak kuat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1255]. Ibnu Syahin memasukkannya sebagai perawi tsiqat dan mengutip Yahya bin Ma’in yang berkata ”tidak ada masalah padanya” [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 1023]. At Tirmidzi telah menghasankan banyak hadis Athiyyah Al Aufiy dalam kitab Sunan-nya. Sebahagian ulama mendhaifkannya seperti Sufyan, Ahmad dan Ibnu Hibban serta yang lainnya dengan alasan tadlis syuyukh.  Satu-satunya kelemahan pada Athiyah bukan terletak pada ‘adalah-nya tetapi pada dhabit-nya. Abu Zur’ah berkata “layyin”. Abu Hatim berkata “dhaif ditulis hadisnya dan Abu Nadhrah lebih aku sukai daripadanya” [At Tahdzib juz 7 no 414].
Di sisi kami, Athiyah bin Sa’ad Al Aufiy adalah seorang yang hadisnya hasan. Kelemahan terhadap dhabit-nya tidak menurunkan hadisnya dari derajat hasan. Dan walaupun salafy bersikap keras untuk mendhaifkannya maka dengan penta’dilan terhadapnya dan kelemahan pada dhabit-nya maka Athiyah adalah perawi yang hadisnya dapat dijadikan i’tibar dan syawahid. Hadis ini menjadi penguat bagi hadis riwayat ‘Amrah Al Hamdaniyah karena keduanya berada dalam satu makna yaitu Ummu Salamah mengakui bahwa dirinya tidak bersama mereka [ahlul kisa’] sebagai ahlul bait.

Hadis Yang Menjelaskan Siapa Ahlul Bait Yang Disucikan Dalam Al Ahzab 33


Salam wa rahmatollah.
Di dalam Al Quran, terdapat sebuah ayat yang cukup fenomenal dan menjadi kontroversi di antara pengikut Wahabi dan Pengikut Syiah. Syiah meyakini bahawa Ayatul Tahthir, surah Al Ahzab, ayat 33, yang diturunkan kepada Ahlulbait(as) bukannya turun untuk ister-isteri Nabi, manakala para Wahabi pula memegang pendapat bahawa ayat ini adalah untuk isteri-ister Nabi. Mengikut perkembangan zaman, kerana mereka tidak dapat mempertahankan hujah mereka, kini mereka datang membawa penafsiran baru, iaitu, Ayatul Tathir sebenarnya diturunkan untuk isteri Nabi, tetapi Rasulullah(sawa) memperluaskan maksudnya Ahlulbait(as) agar ia meliputi Imam Ali, Fatimah, Imam Hassan dan Imam Hussain(Solawat ke atas mereka semua).

Di dalam perbahasan ini, saya akan membuktikan bahawa hujah dan penafsiran mereka ini adalah keliru, dan kebenarannya adalah Ayatul Tathir hanya diturunkan kepada Ahlulbait(as) yang tidak termasuk isteri-isteri Nabi. Tentu sahaja, untuk membuktikan kebenaran ini, saya akan bawakan dalil dan hujah sahih dari sumber Sunni, untuk membuktikan kejahilan mereka.

عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه و سلم قال لما نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه و سلم { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا فاطمة و حسنا و حسينا فجللهم بكساء و علي خلف ظهره فجللهم بكساء ثم قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة وأنا معهم يا نبي الله ؟ قال أنت على مكانك وأنت على خير

Dari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi SAW yang berkata “Ayat ini turun kepada Nabi SAW [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] di rumah Ummu Salamah, kemudian Nabi SAW memanggil Fatimah, Hasan dan Husain dan menutup Mereka dengan kain dan Ali berada di belakang Nabi SAW, Beliau juga menutupinya dengan kain. Kemudian Beliau SAW berkata “ Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata “Apakah aku bersama mereka, Ya Nabi Allah?”. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”. [Shahih Sunan Tirmidzi no 3205].

Hujjah mereka ini batal dengan alasan berikut Para Wahabi Nasibi berdalil bahawa hadis di atas adalah menunjukkan ayat itu tidak turun kepada Ahlul Kisa semata-mata, tetapi diturunkan khas untuk para isteri Nabi. Namun atas dasar kecintaannya kepada ahli keluarganya, maka Rasulullah memasukkan Ahlul Kisa ke dalam Ahlulbait(as). Sayangnya, berikut adalah kenyataan yang membatalkan dalil mereka:
  • Hadis dari At Tarmizi di atas menunjukkan bahawa, ketika ayat ini turun, Rasulullah lantas memanggil Ahlul Kisa, dan bukanlah isteri-isteri baginda yang seterusnya. Jika benar ayat ini untuk ister-isteri Nabi, maka sudah tentu baginda akan memanggil isteri baginda yang selebihnya.
  • Ummu Salamah sendiri tidak merasakan bahawa diri beliau adalah termasuk dengan Ahlulbait, ini terbukti dengan pertanyaan beliau: [“Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?”] bahkan dalam riwayat lain Ummu Salamah bertanya [“Apakah Aku termasuk Ahlul Bait?”].
  • Secara logiknya, jika ayat Quran itu diturunkan oleh Allah swt kepada para isteri Nabi, iaitu Ahlulbait(as) itu hanya khusus untuk isteri Nabi pada asalnya, maka apakah hak Rasulullah(sawa), atas dasar kecintaan peribadi beliau, dengan sengaja meluaskan Ahlulbait kepada ahlul Kisa, sedangkan sudah jelas, Ahlulbait di dalam surah itu untuk isteri Nabi?
Nasibi kemudiannya terpaksa membela diri mereka dengan hujah bahawa, Ummu Salamah ketika itu masih belum mengetahui bahawa ayat itu diturunkan kepada beliau, oleh kerana itu barulah beliau bertanya kepada Rasulullah(sawa) dan mengetahui bahawa yat itu turun untuk beliau. Hujah ini terbatal di atas sebab-sebab berikut:
  • Di awal tadi, hujah Nasibi mengatakan bahawa ayat ini diturunkan untuk isteri Nabi, dan kemudiannya, Rasulullah meluaskan Ahlulbait(as) kepada Ahlul Kisa. Jika benar apa yang mereka ucapkan, maka sepatutnya Rasulullah(sawa) apabila turun sahaja ayat itu, perkara pertama yang dibuat baginda adalah semestinya memberitahukan hal itu kepada Ummu Salamah(tambahan pula ayat ini turun di rumah beliau, logik la sikit) dan seterusnya memanggil isteri-isteri baginda yang lain untuk menerangkan bahawa ayat itu turun kepada mereka. Dan seterusnya, oleh kerana baginda mahu memasukkan Ahlul Kisa ke dalam Ahlulbait(as), barulah baginda memanggil keseluruhan Ahlul Kisa ke rumahnya Ummu Salamah. Mustahil untuk Seorang Rasul, mendahulukan kemahuannya dari kemahuan Allah, iaitu menyatakan ayat tersebut kepada orang yang di tuju.
  • Jika sekiranya benar seperti apa yang dikatakan oleh Wahabi, iaitu  Ummu Salamah bertanya di dalam keadaan tidak mengetahui akan maksudnya Ahlulbait, lalu selepas beliau bertanya, Rasulullah memberi jawabannya. Maka apabila beliau meriwayatkan kepada tabi’in akan hadis ini, sudah pasti beliau sudah menjelaskan kepada tabi’in akan salah faham beliau berkaitan hal ini, iaitu tentang soalan yang beliau tanyakan, dan penjelasan Rasulullah(sawa).  Atau, mungkin beliau akan terus menerangkan Ahlulbait(as) itu adalah para isteri Rasulullah(sawa). Tetapi malangnya, kita dapati tidak wujud riwayat tentang penjelasan Rasulullah atau dari Ummu Salamah berkaitan hal ini, membuktikan hujah Wahabi itu kosong dan dipaksakan.
Ayatul Tahhir sememangnya diturunkan untuk Ahlulbait(as) iaitu di zaman Rasulullah(sawa) hanya Imam Ali, Fatimah Zahra, Imam Hassan dan Imam Hussain(sa), dan bukanlah seperti yang dihujahkan oleh Wahabi, iaitu konteks ayat ini adalah untuk isteri Nabi, dan kemasukan Ahlul Kisa hanyalah atas dasar kecintaan peribadi Nabi. Perhatikan riwayat Ummu Salamah berikut:

عن حكيم بن سعد قال ذكرنا علي بن أبي طالب رضي الله عنه عند أم سلمة قالت فيه نزلت (إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا) قالت أم سلمة جاء النبي صلى الله عليه وسلم إلى بيتي, فقال: “لا تأذني لأحد”, فجاءت فاطمة, فلم أستطع أن أحجبها عن أبيها, ثم جاء الحسن, فلم أستطع أن أمنعه أن يدخل على جده وأمه, وجاء الحسين, فلم أستطع أن أحجبه, فاجتمعوا حول النبي صلى الله عليه وسلم على بساط, فجللهم نبي الله بكساء كان عليه, ثم قال: “وهؤلاء أهل بيتي, فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا, فنزلت هذه الآية حين اجتمعوا على البساط; قالت: فقلت: يا رسول الله: وأنا, قالت: فوالله ما أنعم وقال: “إنك إلى خير”

Dari Hakim bin Sa’ad yang berkata “kami menyebut-nyebut Ali bin Abi Thalib RA di hadapan Ummu Salamah. Kemudian ia [Ummu Salamah] berkata “Untuknyalah ayat [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun . Ummu Salamah berkata “Nabi SAW datang ke rumahku dan berkata “jangan izinkan seorangpun masuk”. Lalu datanglah Fathimah maka aku tidak dapat menghalanginya menemui ayahnya, kemudian datanglah Hasan dan aku tidak dapat melarangnya menemui datuknya dan Ibunya”. Kemudian datanglah Husain dan aku tidak dapat mencegahnya. Maka berkumpullah mereka di sekeliling Nabi SAW di atas hamparan kain. Lalu Nabi SAW menyelimuti mereka dengan kain tersebut kemudian bersabda “Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya”. Lalu turunlah ayat tersebut ketika mereka berkumpul di atas kain. Ummu Salamah berkata “Wahai Rasulullah SAW dan aku?”. Demi Allah, beliau tidak mengiyakan. Beliau hanya berkata “sesungguhnya engkau dalam kebaikan”. [Tafsir At Thabari 22/12 no 21739].

Riwayat Hakim bin Sa’ad di atas dikuatkan oleh riwayat dengan matan yang lebih singkat dari Ummu Salamah iaitu:

حدثنا فهد ثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا حرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن جعفر بن عبد الرحمن البجلي عن حكيم بن سعيد عن أم سلمة قالت نزلت هذه الآية في رسول الله وعلي وفاطمة وحسن وحسين إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا

Telah menceritakan kepada kami Fahd yang berkata telah menceritakan kepada kami Usman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir bin Abdul Hamid dari ’Amasy dari Ja’far bin Abdurrahman Al Bajali dari Hakim bin Saad dari Ummu Salamah yang berkata : Ayat [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun ditujukan untuk Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain[Musykil Al Atsar Ath Thahawi 1/227].

Riwayat Hakim bin Sa’ad ini sanadnya shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat
  • Fahd, Beliau adalah Fahd bin Sulaiman bin Yahya dengan kuniyah Abu Muhammad Al Kufi. Beliau adalah seorang yang terpercaya (tsiqah) dan kuat (tsabit) sebagaimana dinyatakan oleh Adz Dzahabi  dan Ibnu Asakir [Tarikh Al Islam 20/416 dan Tarikh Ibnu Asakir 48/459 no 5635].
  • Usman bin Abi Syaibah adalah perawi Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Main berkata ”ia tsiqat”, Abu Hatim berkata ”ia shaduq(jujur)” dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 7  no 299].
  • Jarir bin Abdul Hamid, beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Main, Al Ajli, Imam Nasa’i, Al Khalili dan Abu Ahmad Al Hakim. Ibnu Kharrasy menyatakannya Shaduq dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 2 no 116].
  • Al ’Amasy adalah Sulaiman bin Mihran Al Kufi. Beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Al Ajli, Ibnu Main, An Nasa’i dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 386].
  • Ja’far bin Abdurrahman disebutkan oleh Ibnu Hajar bahwa Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Ta’jil Al Manfaah 1/ 387].  Imam Bukhari menyebutkan biografinya seraya mengutip bahawa dia seorang Syaikh Wasith tanpa menyebutkan cacatnya [Tarikh Al Kabir juz 2 no 2174]. Disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat bahwa ia meriwayatkan hadis dari Hakim bin Saad dan diantara yang meriwayatkan darinya adalah Al ’Amasy. [Ats Tsiqat juz 6 no 7050].
  • Hakim bin Sa’ad, sebagaimana disebutkan bahwa beliau adalah perawi Bukhari dalam Adab Al Mufrad, dan perawi Imam Nasa’i. Ibnu Main dan Abu Hatim berkata bahwa ia tempat kejujuran dan ditulis hadisnya. Dalam kesempatan lain Ibnu Main berkata laisa bihi ba’sun(yang berarti tsiqah). Al Ajli menyatakan ia tsiqat dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 no 787].
Riwayat Ummu Salamah ini dikuatkan oleh riwayat Abu Sa’id Al Khudri sebagai berikut:

حدثنا الحسن بن أحمد بن حبيب الكرماني بطرسوس حدثنا أبو الربيع الزهراني حدثنا عمار بن محمد عن سفيان الثوري عن أبي الجحاف داود بن أبي عوف عن عطية العوفي عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه في قوله عز و جل إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قال نزلت في خمسة في رسول الله صلى الله عليه و سلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهم

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ahmad bin Habib Al Kirmani yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Rabi’ Az Zahrani yang berkata telah menceritakan kepada kami Umar bin Muhammad dari Sufyan Ats Tsawri dari Abi Jahhaf Daud bin Abi ‘Auf dari Athiyyah Al ‘Aufiy dari Abu Said Al Khudri RA bahwa firman Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] turun untuk lima orang iaitu Rasulullah SAW ,Ali, Fathimah ,Hasan dan Husain radiallahuanhum[Mu’jam As Shaghir Thabrani 1/231 no 375].

Riwayat Abu Sa’id ini sanadnya hasan karena Athiyyah Al Aufy seorang yang hadisnya hasan dan Hasan Al Kirmani adalah seorang yang shaduq la ba’sa bihi.
  • Hasan bin Ahmad bin Habib Al Kirmani dia seorang yang shaduq seperti yang disebutkan Adz Dzahabi [Al Kasyf no 1008]. Ibnu Hajar menyatakan ia la ba’sa bihi [tidak ada masalah] kecuali hadisnya dari Musaddad [At Taqrib 1/199].
  • Abu Rabi’ Az Zahrani yaitu Sulaiman bin Daud seorang Al Hafizh [Al Kasyf no 2088] dan Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/385].
  • Umar bin Muhammad Ats Tsawri seorang yang tsiqah, ia telah dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Ma’in, Ali bin Hujr, Abu Ma’mar Al Qathi’I, Ibnu Saad dan Ibnu Syahin. Disebutkan dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 4832].
  • Sufyan Ats Tsawri seorang Imam Al Hafizh yang dikenal tsiqah. Adz Dzahabi menyebutnya sebagai Al Imam [Al Kasyf no 1996] dan Ibnu Hajar menyatakan ia Al hafizh tsiqah faqih ahli ibadah dan hujjah [At Taqrib 1/371].
  • Daud bin Abi Auf Abu Jahhaf, ia telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in dan Ahmad bin Hanbal. Abu Hatim berkata “hadisnya baik” dan An Nasa’i berkata “tidak ada masalah dengannya”. [At Tahdzib juz 3 no 375] dan Ibnu Syahin telah memasukkan Abul Jahhaf sebagai perawi tsiqah [Tarikh Asma’ Ats Tsiqat no 347].
Athiyyah Al Aufy adalah seorang yang hadisnya hasan.
Ummu Salamah sendiri tidak memahami kejadian itu seperti yang di fahami oleh Wahabi. Malah Ummu Salamah mengakui bahawa beliau bukanlah dari Ahlulbait(as), dan turut menguatkan kenyataan ini adalah sabda Nabi(sawa) kepada beliau: “kamu dalam kebaikan”.

عن أم سلمة رضي الله عنها أنها قالت : في بيتي نزلت هذه الآية { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت } قالت : فأرسل رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى علي و فاطمة و الحسن و الحسين رضوان الله عليهم أجمعين فقال : اللهم هؤلاء أهل بيتي قالت أم سلمة : يا رسول الله ما أنا من أهل البيت ؟ قال : إنك أهلي خير و هؤلاء أهل بيتي اللهم أهلي أحق

Dari Ummu Salamah RA yang berkata “Turun dirumahku ayat [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait] kemudian Rasulullah SAW memanggil Ali Fathimah Hasan dan Husain radiallahuanhu ajma’in dan berkata “Ya Allah merekalah Ahlul BaitKu”. Ummu Salamah berkata “wahai Rasulullah apakah aku termasuk Ahlul Bait?”. Rasul SAW menjawab “kamu keluargaku yang baik dan merekalah Ahlul BaitKu Ya Allah keluargaku yang haq”. [Al Mustadrak 2/451 no 3558 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi].

حدثنا الحسين بن الحكم الحبري الكوفي ، حدثنا مخول بن مخول بن راشد الحناط ، حدثنا عبد الجبار بن عباس الشبامي ، عن عمار الدهني ، عن عمرة بنت أفعى ، عن أم سلمة قالت : نزلت هذه الآية في بيتي : إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا ، يعني في سبعة جبريل ، وميكائيل ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم ، وعلي ، وفاطمة ، والحسن ، والحسين عليهم السلام وأنا على باب البيت فقلت : يا رسول الله ألست من أهل البيت ؟ قال إنك من أزواج النبي عليه السلام  وما قال : إنك من أهل البيت

Telah menceritakan kepada kami Husain bin Hakam Al Hibari Al Kufi yang berkata telah menceritakan kepada kami Mukhawwal bin Mukhawwal bin Rasyd Al Hanath yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdul Jabar bin ‘Abbas Asy Syabami dari Ammar Ad Duhni dari Umarah binti Af’a dari Ummu Salamah yang berkata “Ayat ini turun di rumahku [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] dan ketika itu ada tujuh penghuni rumah yaitu Jibril Mikail, Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Aku berada di dekat pintu lalu aku berkata “Ya Rasulullah, apakah aku tidak termasuk Ahlul Bait?” Rasulullah SAW berkata “kamu termasuk istri Nabi Alaihis Salam”. Beliau tidak mengatakan “sesungguhnya kamu termasuk Ahlul Bait”. [Musykil Al Atsar Ath Thahawi 1/228].

Riwayat Ummu Salamah ini memiliki sanad yang shahih diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat.
  • Husain bin Hakam Al Hibari Al Kufi adalah seorang yang tsiqat [Su’alat Al Hakim no 90] telah meriwayatkan darinya para perawi tsiqat dan hafiz seperti Ali bin Abdurrahman bin Isa, Abu Ja’far Ath Thahawi dan Khaitsamah bin Sulaiman.
  • Mukhawwal adalah Mukhawwal bin Ibrahim bin Mukhawwal bin Rasyd disebutkan Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 19021]. Abu Hatim termasuk yang meriwayatkan darinya dan Abu Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil 8/399 no 1831].
  • Abdul Jabbar bin Abbas disebutkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Dawud dan Al Ajli bahwa tidak ada masalah padanya. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 209]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Taqrib 1/552]. Adz Dzahabi menyatakan ia seorang syiah yang shaduq [Al Kasyf no 3085].
  • Ammar Ad Duhni yaitu Ammar bin Muawiyah Ad Duhni dinyatakan tsiqat oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, An Nasa’i, Abu Hatim dan Ibnu Hibban [At Tahdzib juz 7 no 662]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 1/708] tetapi ternyata pernyataan ini keliru dan telah dibetulkan dalam Tahrir At Taqrib bahawa Ammar Ad Duhni adalah seorang yang tsiqat [ Tahrir At Taqrib no 4833].
  • Umarah binti Af’a termasuk dalam thabaqat tabiin wanita penduduk kufah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 5 no 4880]. Hanya saja Ibnu Hibban salah menuliskan nasabnya. Umarah juga dikenali dengan sebutan Umarah Al Hamdaniyah [seperti yang diriwayatkan oleh Ath Thahawi dalam Musykil Al Atsar]. Al Ajli menyatakan ia tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqah no 2345].
عن أم سلمه رضي الله عنها قالت نزلت هذه الاية في بيتي إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا قلت يارسول الله ألست من أهل البيت قال إنك إلى خير إنك من أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم قالت وأهل البيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي وفاطمة والحسن والحسين رضي الله عنهم أجمعين

Dari Ummu Salamah RA yang berkata “Ayat ini turun di rumahku [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya]. Aku berkata “wahai Rasulullah apakah aku tidak termasuk Ahlul Bait?. Beliau SAW menjawab “kamu dalam kebaikan kamu termasuk istri Rasulullah SAW”. Aku berkata “Ahlul Bait adalah Rasulullah SAW, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radiallahuanhum ajma’in”.[Al Arba’in Fi Manaqib Ummahatul Mukminin Ibnu Asakir hal 106].

Ibnu Asakir setelah meriwayatkan hadis ini, telah menyatakan bahawa hadis ini shahih. Hadis ini juga menjadi bukti bahawa Ummu Salamah sendiri mengakui bahwa Ahlul Bait yang dimaksudkan dalam Al Ahzab 33 firman Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya] adalah Rasulullah SAW, Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain.

Seperti yang kita ketahui, kenyataan Wahabi telah terbukti bathil dengan dalil-dalil sokongan yang telah diberikan. Tambahan pula, saya akan sertakan hadis, bahawa Ahlul Kisa sendiri mengakui bahawa merekalah Ahlulbait yang mana kepada mereka ayatul Tathir.

ياأهل العراق اتقوا الله فينا, فإِنا أمراؤكم وضيفانكم, ونحن أهل البيت الذي قال الله تعالى: {إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيراً} قال فما زال يقولها حتى ما بقي أحد في المسجد إِلا وهو يحن بكاءً

Wahai penduduk Iraq bertakwalah kepada Allah tentang kami, karena kami adalah pemimpin kalian dan tamu kalian dan kami adalah Ahlul Bait yang difirmankan oleh Allah SWT [Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya]. Beliau terus mengingatkan mereka sehingga tidak ada satu orangpun di dalam masjid yang tidak menangis [Tafsir Ibnu Katsir 3/495].

Riwayat Imam Hasan ini memiliki sanad yang shahih. Ibnu Katsir membawakan sanad berikut:

قال ابن أبي حاتم: حدثنا أبي, حدثنا أبو الوليد, حدثنا أبو عوانة عن حصين بن عبد الرحمن عن أبي جميلة قال: إِن الحسن بن علي

Ibnu Abi Hatim berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan  kepada kami Abu Walid yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Hushain bin Abdurrahman dari Abi Jamilah bahwa Hasan bin Ali berkata [Tafsir Ibnu Katsir 3/495]
Ibnu Abi Hatim dan Abu Hatim telah terkenal sebagai ulama yang terpercaya dan hujjahm manakla perawi lainnya adalah perawi tsiqah
  • Abu Walid adalah Hisyam bin Abdul Malik seorang Hafizh Imam Hujjah. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [2/267]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 5970].
  • Abu Awanah adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yaskuri. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/283]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqah [Al Kasyf no 6049].
  • Hushain bin Abdurrahman adalah seorang yang tsiqah. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqah [At Taqrib 1/222] dan Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat hujjah [Al Kasyf no 1124].
  • Abu Jamilah adalah Maisarah bin Yaqub seorang tabiin yang melihat Ali dan meriwayatkan dari Ali dan Hasan bin Ali. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 693]. Ibnu Hajar menyatakan ia maqbul [At Taqrib 2/233]. Pernyataan Ibnu Hajar keliru karena Abu Jamilah adalah seorang tabiin dan telah meriwayatkan darinya sekumpulan perawi tsiqah bahkan Ibnu Hibban menyebutnya dalam Ats Tsiqat maka dia adalah seorang yang shaduq hasanul hadis seperti yang dibetulkan dalam Tahrir At Taqrib [Tahrir At Taqrib no 7039].
Cukuplah setakat ini penulisan ini, kerana bagi mereka yang benar-benar menyayangi Ahlulbait(as) dan bersetuju dengan konsep Imamah, maka tidak ada masalah untuk menerima hujah ini. Yang bermasalah ialah mereka yang buta dalam kecintaan tanpa sebab kepada para sahabat, mereka yang fanatik terhadap pegangan nenek moyang.. Entah mengapa mereka sangat keberatan jika Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain mendapatkan keistimewaan dan keutamaan yang khusus, tetapi dalam masa yang sama, meletakkan sifat kemaksuman kepada buah hati mereka, Muawiyah dan Yazid. Apapun cara mereka, kebathilan akan selalu terungkap dan dikalahkan oleh kebenaran. Wallahualam


Apakah Istri Nabi [Shallallahu ‘alaihi wasallam] Diharamkan Menerima Sedekah?
Tidak diragukan bahwa Ahlul Bait diharamkan menerima sedekah sebagaimana dijelaskan dalam hadis hadis shahih. Perselisihan timbul ketika ditanyakan apakah istri Nabi termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah?. Tulisan ini mencoba untuk memberikan dalil-dalil atau hujjah bahwa istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah. Mereka adalah ahlul bait tetapi tidak diharamkan menerima sedekah sedangkan ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah adalah mereka ahlul bait yang memiliki ikatan nasab dengan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].

Ada yang berhujjah dengan riwayat perkataan Aisyah radiallahu ‘anha dimana Beliau pernah menolak sedekah dan menyatakan itu tidak halal bagi keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Berikut riwayatnya.

حدثنا وكيع عن محمد بن شريك عن ابن أبي مليكة أن خالد بن سعيد بعث إلى عائشة ببقرة من الصدقة فردتها وقالت إنا آل محمد صلى الله عليه وسلم لا تحل لنا الصدقة

Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Muhammad bin Syariik dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Khalid bin Sa’id diutus kepada Aisyah untuk memberikan sapi dari sedekah kepada Aisyah tetapi ia menolaknya seraya berkata “sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidak dihalalkan bagi kami menerima sedekah” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 3/214 no 10802].

Riwayat ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat seolah tampak shahih tetapi jika diteliti dengan baik riwayat ini mengandung illat [cacat] yaitu inqitha’ [terputus sanadnya]. Riwayat diatas sanadnya berhenti pada Ibnu Abi Mulaikah dan ia meriwayatkan kisah dimana Khalid bin Sa’id memberikan sedekah kepada Aisyah radiallahu ‘anha.

Khalid bin Sa’id yang dimaksud adalah Khalid bin Sa’id bin ‘Ash salah seorang sahabat Nabi. Khalid bin Sa’id bin ‘Ash wafat atau syahid pada perang Ajnadain pada tahun 13 H [Al Ishabah Ibnu Hajar 2/238 no 2169]. Jadi peristiwa Khalid bin Sa’id mengirimkan sapi sedekah kepada Aisyah dan Aisyah menolaknya seraya berkata kepada Khalid bahwa keluarga Muhammad tidak dihalalkan menerima sedekah terjadi sebelum tahun 13 H.

Adz Dzahabiy dalam As Siyar ketika menyebutkan biografi Ibnu Abi Mulaikah menyatakan bahwa ia lahir pada masa khalifah Ali atau sebelumnya. Disebutkan Al Bukhari bahwa ia wafat tahun 117 H dan Adz Dzahabi menyatakan bahwa umurnya lebih kurang delapan puluh tahun [As Siyar Adz Dzahabiy 5/89-90 no 30]. Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Abi Mulaikah belum lahir saat peristiwa Khalid bin Sa’id datang kepada Aisyah. Jadi riwayat tersebut inqitha’ [sanadnya terputus] sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
Mungkin akan ada yang berkata riwayat Ibnu Abi Mulaikah itu ia dapat dari Aisyah. Ini hanya asumsi tanpa bukti. Riwayat tersebut sanadnya berhenti pada Ibnu Abi Mulaikah dan perkataan Aisyah adalah bagian dari matan riwayat dimana Aisyah berkata kepada Khalid bukan Aisyah berkata kepada Ibnu Abi Mulaikah. Jika nashibi itu bisa membuktikan bahwa Ibnu Abi Mulaikah mendengar langsung dari Aisyah tentang kisah tersebut maka benarlah bahwa riwayat tersebut dari Aisyah. Nah namanya berhujjah tentu dengan dalil.

حدثنا ابن فضيل عن أبي حيان عن يزيد بن حيان قال انطلقت أنا وحصين بن عقبة إلى زيد بن أرقم فقال له يزيد وحصين من أهل بيته أليس نساؤه من أهل بيته قال لا ولكن أهل بيته من حرم الصدقة عليه فقال له حصين ومن هم قال هم آل عباس وآل علي وآل جعفر وآل عقيل فقال له حصين على هؤلاء تحرم الصدقة قال نعم

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudhail dari Abi Hayyaan dari Yazid bin Hayyaan yang berkata aku dan Hushain bin ‘Uqbah datang kepada Zaid bin Arqam maka Yazid dan Hushain berkata kepadanya “siapakah ahlul baitnya [Rasulullah]? Bukankah istri istrinya termasuk ahlul baitnya?”. Zaid berkata “tidak, ahlul baitnya adalah orang yang diharamkan sedekah atas mereka”. Hushain berkata kepadanya “siapakah mereka?”. Zaid berkata “mereka adalah keluarga ‘Abbas keluarga Ali, keluarga Ja’far dan keluarga Aqil”. Hushain berkata kepadanya “mereka semua diharamkan sedekah”. Zaid berkata “benar” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 3/214 10806].

Riwayat Zaid bin Arqam ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dan bersambung hingga Zaid bin Arqam, para perawinya adalah perawi tsiqat.
  • Muhammad bin Fudhail bin Ghazwaan adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/125]. Adz Dzahabiy menyatakan tsiqat [Al Kasyf no 5115].
  • Abu Hayyaan adalah Yahya bin Sa’id bin Hayyaan adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Hajar berkata “tsiqat ahli ibadah” [At Taqrib 2/303] dan Adz Dzahabiy berkata “Imam tsabit” [Al Kasyf no 6173].
  • Yazid bin Hayyaan At Tamimiy termasuk perawi Muslim yang tsiqat. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 2/323]. Adz Dzahabiy berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 6294].
Riwayat Zaid menyatakan dengan jelas bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukan termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah.

Terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak termasuk yang diharamkan menerima sedekah

عن بن أبى رافع عن أبيه ان النبي صلى الله عليه و سلم بعث رجلا من بني مخزوم على الصدقة فقال الا تصحبني تصيب قال قلت حتى أذكر ذلك لرسول الله صلى الله عليه و سلم فذكرت ذلك فقال أنا آل محمد لا تحل لنا الصدقة وان مولى القوم من أنفسهم

Dari Ibnu Abi Rafi’ dari ayahnya bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus seorang laki-laki dari bani Makhzum untuk mengambil sedekah. Maka ia berkata “temanilah aku dan engkau akan mendapat bagian”. Aku berkata “tunggu sampai aku menanyakan hal itu kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” dan aku menanyakannya maka Beliau berkata “kami keluarga Muhammad tidak dihalalkan bagi kami sedekah dan mawla suatu kaum termasuk kaum itu sendiri [Musnad Ahmad 6/390 no 27226 Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari Muslim”].

Kemudian diriwayatkan pula dari Ummu Kultsum binti Ali bahwa mawla Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang bernama Maimun atau Mihran mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah bersabda:

فقال له يا ميمون أو يا مهران انا أهل بيت نهينا عن الصدقة وان موالينا من أنفسنا ولا نأكل الصدقة

Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata kepadanya “wahai Maimun atau wahai Mihraan kami ahlul bait dilarang bagi kami menerima sedekah dan mawla kami termasuk bagian dari kami dan tidak boleh memakan sedekah” [Musnad Ahmad 4/34 no 16446 Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya hasan”].

Dari kedua hadis ini disimpulkan bahwa mawla Ahlul Bait juga diharamkan menerima sedekah. Maka jika istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah maka mawla merekapun seharusnya diharamkan menerima sedekah. Faktanya tidak begitu, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] membolehkan Barirah maula Aisyah radiallahu ‘anha untuk menerima sedekah

عن قتادة سمع أنس بن مالك قال أهدت بريرة إلى النبي صلى الله عليه و سلم لحما تصدق به عليها فقال هو لها صدقة ولنا هدية

Dari Qatadah yang mendengar Anas bin Malik berkata Barirah mengahadiahkan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] daging yang disedekahkan kepadanya maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “untuknya ini adalah sedekah dan bagi kami ini adalah hadiah” [Shahih Muslim 2/756 no 1074].

Sisi pendalilannya adalah disebutkan dalam dua hadis sebelumnya bahwa keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah termasuk juga maula ahlul bait atau maula keluarga Muhammad [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Barirah maula Aisyah radiallahu ‘anha dibolehkan menerima sedekah maka hal itu menunjukkan bahwa Aisyah radiallahu ‘anha tidak termasuk dalam ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah.


Apakah Istri Nabi Diharamkan Menerima Sedekah? Anomali Bantahan Nashibi.
Seperti biasa nashibi yang ingkar sunnah itu kembali membuat bantahan terhadap tulisan kami dan seperti biasanya bantahan itu “tidak bernilai” bagi orang yang mau sedikit saja menggunakan akalnya. Nashibi ini memang layak untuk dikatakan ajaib aneh tapi nyata, ia membantah suatu tulisan dengan dalil padahal dalil yang ia gunakan sebenarnya menjadi bantahan bagi dirinya. Fenomena ini hanya terjadi pada orang yang lemah akalnya atau orang berakal yang dikuasai oleh kebencian sehingga akalnya tertutup dengan nafsu membantah.

Tulisan ini kami buat bukan untuk dirinya karena ia jelas bukan tipe orang yang menginginkan kebenaran tetapi tipe orang yang hanya dipengaruhi kebencian terhadap syiah rafidhah. Jadi harap maklum kalau dalam pikiran nashibi itu setiap orang yang bertentangan dengannya harus dikatakan syiah rafidhah. Tulisan ini kami tujukan untuk para pembaca yang berniat mencari kebenaran.

Pada tulisan sebelumnya kami membawakan hadis Zaid bin Arqam dimana Zaid mengeluarkan istri Nabi dari ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Anehnya nashibi ngeyel itu membantah dengan membawakan riwayat Muslim yang malah menguatkan hujjah kami [komentar nashibi itu adalah yang kami blockquote]
Riwayat Zaid bin Arqam dalam riwayat Muslim adalah sebagai berikut :
وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ
Lalu Husain bertanya kepada Zaid ”Hai Zaid siapa gerangan Ahlul Bait itu? Tidakkah istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait? Jawabnya “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah sepeninggal beliau”, Husain bertanya “Siapa mereka?”.Jawab Zaid ”Mereka adalah Keluarga Ali, Keluarga Aqil, Keluarga Ja’far dan Keluarga Ibnu Abbas”. Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah (zakat)?” tanya Husain; “Ya”, jawabnya. (Shahih Muslim juz II hal 279 bab Fadhail Ali).
Dalam hadits Muslim di atas, Zaid mengatakan bahwa istri-istri Nabi termasuk dalam ahlul bait yang dimaksud berbeda dengan riwayat Mushanaf Ibnu Abi Syaibah.
Lucu sekali bukan, apa ada dalam tulisan kami sebelumnya kami menyatakan bahwa istri Nabi bukan ahlul bait?. Orang yang mampu memahami dengan baik pasti akan mengerti bahwa maksud perkataan Zaid bin Arqam adalah istri Nabi memang ahlul bait tetapi mereka bukan ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Riwayat Muslim tersebut tidaklah berbeda dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah apalagi Muslim juga membawakan riwayat Zaid bin Arqam dimana Hushain dan Yazid bertanya.

فقلنا من أهل بيته ؟ نساؤه ؟ قال لا وايم الله إن المرأة تكون مع الرجل العصر من الدهر ثم يطلقها فترجع إلى أبيها وقومها أهل بيته أصله وعصبته الذين حرموا الصدقة بعده

Kami bertanya “siapakah ahlul baitnya?” apakah istri istrinya?. Zaid menjawab “tidak, demi Allah seorang istri bisa saja ia terus bersama suaminya kemudian bisa juga ditalaknya hingga akhirnya ia kembali kepada ayahnya dan kaumnya. Yang dimaksud Ahlul baitnya adalah keturunan dan keluarga Beliau yang diharamkan menerima sedekah sepeninggalnya [Shahih Muslim 4/1873 no 2408].

Jadi justru riwayat Zaid bin Arqam dalam Shahih Muslim menguatkan apa yang kami tuliskan yaitu istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah. Yah melihat cara nashibi itu berhujjah membuat kami merasa kasihan. Semoga Allah SWT menyembuhkan penyakit di dalam hati mereka.

Nashibi itu juga berkata jika memang perkataan Zaid seperti itu maka itu adalah pendapatnya sendiri yang bisa benar dan bisa pula keliru. Kalau begitu hal yang sama pula bisa dikatakan untuk riwayat Aisyah yang sering dijadikan hujjah oleh nashibi. Jika memang riwayat Aisyah shahih [nyatanya tidak] maka itupun adalah pendapatnya sendiri yang bisa benar dan bisa pula keliru.

Kemudian nashibi itu membahas riwayat Barirah dengan cara yang menyedihkan. Ia mengatakan kesimpulan kami mentah dan ia membuat bantahan ngawur berikut
Orang syi’ah ini ternyata begitu mudah menarik kesimpulan yang masih mentah, berdasarkan hadits yang dia kutip, maula yang yang diharamkan menerima sedekah sebenarnya adalah khusus maula Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, karena mereka seperti keluarga beliau sendiri, Maimun dan Mihran adalah Maula Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam maka mereka pun haram menerima sedekah, sedangkan maula selain dari Maula Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam (termasuk Maula Aisyah) tidak terkena hukum ini.
Kami yakin nashibi itu sudah membaca tulisan kami sebelumnya dan ternyata ia masih mengeluarkan ucapan di atas. Hal ini membuktikan kalau nashibi itu memang orang yang ingkar sunnah. Wahai nashibi, kami hanya mengulang apa yang jelas jelas dinyatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Beliau bersabda

انا أهل بيت نهينا عن الصدقة وان موالينا من أنفسنا ولا نأكل الصدقة

Kami ahlul bait dilarang bagi kami menerima sedekah dan maula kami adalah bagian dari kami dan tidak boleh menerima sedekah.

Masa’ sih ada orang yang masih salah memahami hadis di atas. Lafaz yang dimaksud adalah “kami ahlul bait” kemudian dilanjutkan dengan lafaz “maula kami adalah bagian dari kami”. Maka siapapun yang punya sedikit akal pikiran pasti mampu memahami bahwa “maula kami” yang dimaksud disitu adalah “maula ahlul bait”. Apa ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami ahlul bait dilarang menerima sedekah” itu maksudnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] saja dan tidak untuk ahlul baitnya?. Aduhai kami kehilangan kata-kata menghadapi hujjah nashibi yang menyedihkan.

Hadis ini menjadi hujjah bahwa ahlul bait yang dimaksudkan dalam lafaz “kami ahlul bait diharamkan menerima sedekah” adalah ahlul bait yang maula mereka diharamkan menerima sedekah. Termasuk di dalamnya adalah Bani Hasyim yaitu keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga Aqil dan keluarga Abbas. Sedangkan istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak termasuk karena maula mereka dibolehkan menerima sedekah padahal Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyatakan “maula suatu kaum adalah bagian dari kaum tersebut” dan “maula ahlul bait diharamkan menerima sedekah”. Jadi jika suatu kaum diharamkan menerima sedekah maka maula kaum tersebut juga diharamkan menerima sedekah. Jika istri Nabi sebagai ahlul bait diharamkan menerima sedekah maka maula mereka pun akan diharamkan menerima sedekah. Itulah yang nampak dari hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut.
Bagaimana mungkin maula (hamba sahaya yang dimerdekakan) beliau, diharamkan menerima sedekah yang merupakan salah satu kekhususan beliau, sedangkan Aisyah sebagai istri/ahlul bait beliau di dunia dan di akhirat tidak diharamkan menerima sedekah? Suatu logika yang sangat anomaly.
Ketika ada tempatnya harus memakai logika maka nashibi ini menunjukkan seolah ia tidak punya logika atau menampilkan logika yang menyedihkan dan ketika pada tempat yang seharusnya tidak menggunakan logika, ia malah sok berhujjah dengan logika [walaupun logikanya masih ngawur juga]. Perkara siapa yang diharamkan menerima sedekah itu adalah nash dari Allah SWT dan Rasul-Nya bukan perkara logika. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri yang menyatakan bahwa maula ahlul bait juga diharamkan menerima sedekah. Dan sampai saat ini kami belum menemukan dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa istri Nabi diharamkan menerima sedekah.

Selanjutnya ia membawakan riwayat Barirah memberikan makanan yang disedekahkan padanya kepada Aisyah. Dengan berbagai riwayat ini ia ingin menunjukkan bahwa Aisyah [radiallahu ‘anha] itu termasuk diharamkan menerima sedekah. Silakan para pembaca perhatikan pembahasan kami dan pakailah logika yang benar untuk melihat betapa buruknya cara nashibi itu berhujjah.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ فِي بَرِيرَةَ ثَلَاثُ سُنَنٍ عَتَقَتْ فَخُيِّرَتْ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ وَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبُرْمَةٌ عَلَى النَّارِ فَقُرِّبَ إِلَيْهِ خُبْزٌ وَأُدْمٌ مِنْ أُدْمِ الْبَيْتِ فَقَالَ أَلَمْ أَرَ الْبُرْمَةَ فَقِيلَ لَحْمٌ تُصُدِّقَ بِهِ عَلَى بَرِيرَةَ وَأَنْتَ لَا تَأْكُلُ الصَّدَقَةَ قَالَ هُوَ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf yang berkata telah mengabarkan kepada kami Malik dari Rabi’ah bin ‘Abdurrahman dari Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radiallahu ‘anha yang berkata pada Barirah terdapat tiga pelajaran. Ia dimerdekakan kemudian diberikan pilihan. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “sesungguhnya wala’ itu adalah bagi mereka yang memerdekakan. Kemudian suatu ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] masuk sedangkan periuk berada di atas api, Beliau lalu diberikan roti dan makanan yang biasa ada di rumah. Beliau berkata “bukankah tadi aku melihat periuk?”. Dikatakan kepada Beliau [oleh Aisyah] “periuk itu berisi daging yang disedekahkan kepada Barirah sedangkan anda tidak makan sedekah”.Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “baginya adalah sedekah sedangkan bagi kita adalah hadiah” [Shahih Bukhari 7/9 no 5097].

Barirah menghadiahkan daging itu kepada Aisyah [radiallahu ‘anha]. Kemudian Aisyah radiallahu ‘anha menerima daging pemberian Barirah itu dan memasaknya. Aisyah [radiallahu ‘anha] itu awalnya beranggapan daging itu masih sedekah sehingga tidak boleh disajikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hal ini nampak dalam lafaz  “anda tidak makan sedekah”. Dari lafaz itu juga diketahui bahwa menurut Aisyah, dirinya tidak diharamkan menerima sedekah. Kalau memang dirinya termasuk diharamkan menerima sedekah maka ia akan berkata “kita tidak makan sedekah” bukannya “anda tidak makan sedekah”.
Kalau memang Aisyah sebelumnya beranggapan daging pemberian Barirah itu adalah sedekah maka mengapa ia menerima bahkan memasaknya?. Apa daging sedekah itu mau ia sajikan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]?. Jelas tidak. Seandainya Aisyah merasa dirinya termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah maka ia pasti tidak akan menerima daging pemberian Barirah apalagi memasaknya. Mengapa? Karena ahlul bait diharamkan menerima sedekah.

Nashibi itu beranggapan Aisyah [radiallahu ‘anha] tahu bahwa dirinya ahlul bait diharamkan menerima sedekah tetapi tetap menerima sedekah yang ia diharamkan atasnya bahkan memasaknya. Bukankah ini suatu celaan yang nyata kepada Aisyah [radiallahu ‘anha]. Hal ini membuktikan kalau anggapan nashibi itu keliru. Aisyah merasa dirinya tidak diharamkan menerima sedekah maka tidak ada masalah baginya menerima pemberian Barirah [yang ia anggap sedekah]. Ia memasaknya untuk dirinya tetapi ia tidak menyajikan daging itu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena ia mengetahui bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan menerima sedekah.

Pernyataan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] “baginya sedekah dan bagi kita hadiah” tidak menunjukkan bahwa Aisyah diharamkan menerima sedekah tetapi menunjukkan bahwa status makanan tersebut berubah. Ketika disedekahkan kepada Barirah maka daging itu adalah sedekah dan ketika Barirah menghadiahkan kepada Aisyah maka daging tersebut menjadi hadiah bukan lagi sedekah. Jadi daging tersebut ketika telah diberikan Barirah dan diterima Aisyah maka itu menjadi hadiah bagi Aisyah sehingga tidak masalah untuk diberikan kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Riwayat lain yang menunjukkan Aisyah dan juga istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang lain adalah termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah sebagai berikut :
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ بَعَثَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مِنْ الصَّدَقَةِ فَبَعَثْتُ إِلَى عَائِشَةَ مِنْهَا بِشَيْءٍ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى عَائِشَةَ قَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ قَالَتْ لَا إِلَّا أَنَّ نُسَيْبَةَ بَعَثَتْ إِلَيْنَا مِنْ الشَّاةِ الَّتِي بَعَثْتُمْ بِهَا إِلَيْهَا قَالَ إِنَّهَا قَدْ بَلَغَتْ مَحِلَّهَا
Muslim, 13.165/1789. Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim dari Khalid dari Hafshah dari Ummu ‘Athiyyah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengirimkan seekor kambing dari hasil sedekah kepadaku, lalu aku mengirim sebahagian darinya kepada ‘Aisyah. Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke rumah ‘Aisyah, beliau bertanya: Apakah kalian mempunyai sesuatu untuk dimakan? ‘Aisyah menjawab, Tidak ada, kecuali sedikit daging kambing yang telah engkau kirimkan kepadanya (Ummu ‘Athiyyah). Beliau berkata: Ia telah menjadi halal untuk dimakan.
Nashibi itu membawakan riwayat di atas sebagai bukti bahwa istri adalah ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah. Lagi lagi hadis ini adalah hujjah bagi kami bukan hujjah bagi dirinya. Dengan lucunya ia berkata:
Jawaban Aisyah dalam riwayat di atas ketika ditanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam apakah Aisyah mempunyai makanan menunjukkan bahwa Aisyah pada awalnya menganggap daging kiriman dari Ummu Athiyah tidak boleh dimakan sehingga beliau mengatakan “tidak ada”, tetapi kemudian Nabi membolehkannya karena itu bukan lagi barang sedekah.
Ummu Athiyah mendapatkan sedekah kemudian sebagiannya diberikan kepada Aisyah. Jika memang Aisyah pada awalnya menganggap daging itu sedekah sehingga tidak boleh dimakan. Maka mengapa ia menerima daging tersebut untuk dijadikan makanan. Aisyah menerima daging yang ia anggap sedekah karena ia tidak diharamkan menerima sedekah. Sikap Aisyah ini sangat berbeda dengan riwayat Ibnu Abi Syaibah yang dikutip nashibi, ketika Khalid mengirimkan sapi sedekah kepada Aisyah, ia menolaknya dan berkata “kami keluarga Muhammad diharamkan menerima sedekah”.

Mengapa Aisyah tidak mengatakan hal yang sama kepada Ummu Athiyah bukankah Aisyah beranggapan daging tersebut adalah sedekah. Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bertanya kepada Aisyah “apakah ada makanan?” Aisyah menjawab “tidak ada”. Mengapa ia menjawab “tidak ada” padahal ada makanan yang ia terima dari Ummu Athiyah karena ia tahu bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan memakan sedekah dan ia beranggapan daging tersebut adalah sedekah. Baru setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyampaikan “sedekah itu telah sampai pada tempatnya” yaitu pada Ummu Athiyah maka pemberian Ummu Athiyah kepada Aisyah bukan lagi sedekah melainkan hadiah.

حدثنا أحمد بن زهير التستري ثنا عبيد الله بن سعد ثنا عمي ثنا أبي عن صالح بن كيسان عن ابن شهاب أن عبيد بن السباق أخبره أن جويرية بنت الحارث زوج النبي صلى الله عليه و سلم أخبرته أن مولاتها تصدق عليها بلحم فصنعته فلما رجع رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : هل عند كم من عشاء ؟ قلت : يا رسول الله قد تصد ق على فلانة بعضو من لحم وقد صنعته فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : قربوه فقد بلغت محلها فأكل منها

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Zuhair Al Tusturiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Sa’d yang berkata telah menceritakan kepada kami pamanku yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku dari Shalih bin Kiisaan dari Ibnu Syihaab bahwa Ubaid bin As Sabbaaq mengabarkan kepadanya bahwa Juwairiyah binti Al Haarits istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengabarkan kepadanya bahwa maulanya mendapatkan sedekah berupa daging maka ia memasak daging tersebut. Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang, Beliau berkata “apakah disisimu ada sesuatu [makanan]?”. Ia menjawab “wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sungguh telah disedekahkan kepada fulanah sebagian daging maka aku telah memasaknya”. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “bawalah kemari sungguh sedekah itu telah sampai pada tempatnya” maka Beliau memakannya [Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 24/64 no 169].

Riwayat ini sanadnya shahih. Ahmad bin Zuhair adalah Ahmad bin Yahya bin Zuhair Al Tustury seorang Imam hujjah muhaddis alim hafizh [As Siyar Adz Dzahabiy 14/362 no 213]. Ubaidillah bin Sa’d bin Ibrahim adalah perawi Bukhari seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/632]. Pamannya adalah Yaq’ub bin Ibrahim bin Sa’d adalah perawi Bukhari Muslim yang tsiqat dan memiliki keutamaan [At Taqrib 2/337]. Ayahnya adalah Ibrahim bin Sa’d bin Ibrahim Az Zuhriy adalah perawi Bukhari Muslim yang tsiqat dan hujjah [At Taqrib 1/56]. Shalih bin Kiisaan adalah perawi Bukhari dan Muslim yang tsiqat tsabit faqih [At Taqrib 1/431]. Az Zuhriy adalah perawi Bukhari dan Muslim yang faqih hafizh disepakati kemuliaannya, pemimpin thabaqat keempat [At Taqrib 2/133]. Ubaid bin As Sabbaaq adalah perawi Bukhari dan Muslim yang tsiqat [At Taqrib 1/644].

Sisi pendalilannya adalah daging itu disedekahkan kepada maula Juawiriyah kemudian maula Juwairiyah memberikannya kepada Juwairiyah. Juwairiyah sebagai istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menerima dan memasak daging tersebut. Awalnya ia beranggapan daging tersebut masih berstatus daging sedekah sehingga ia tidak mau menyajikan kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Disini terdapat hujjah bahwa Juwairiyah istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun menurutnya daging itu adalah sedekah ia tetap menerimanya dan memasaknya. Untuk siapa ia memasaknya?. Jelas bukan untuk Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] karena Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diharamkan memakan sedekah maka tidak lain ia memasaknya untuk dirinya sendiri. Kesimpulannya istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah.

Riwayat Barirah maula Aisyah yang mendapat sedekah dan riwayat maula Juwairiyah mendapatkan sedekah adalah dalil bahwa istri Nabi tidak diharamkan menerima sedekah yaitu dilihat dari dua sisi
  • Pertama, berdasarkan hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa ahlul bait dan maula ahlul bait diharamkan menerima sedekah maka hal ini menunjukkan kalau istri Nabi tidak termasuk ahlul bait yang diharamkan menerima sedekah karena maula mereka dibolehkan menerima sedekah
  • Kedua, dalam riwayat tersebut Aisyah dan Juwairiyah menerima daging yang anggapan mereka pada awalnya adalah sedekah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sebagai istri Nabi memang dibolehkan menerima sedekah tetapi tidak boleh menyajikannya kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Begitu pula riwayat Ummu Athiyah dan Nusaibah yang memberikan sedekah yang mereka terima kepada istri Nabi. Istri Nabi Aisyah awalnya mengira itu sedekah tetapi ia tetap menerimanya hanya saja ketika Nabi bertanya adakah makanan, ia menjawab tidak ada kecuali makanan dari sedekah tersebut. Ia menjawab “tidak ada” karena Nabi tidak boleh memakan sedekah. Tetapi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjelaskan kalau itu bukan lagi sedekah karena sedekah itu telah sampai pada tempatnya. Seandainya istri Nabi diharamkan menerima sedekah maka Aisyah pasti akan langsung menolak pemberian daging dari Ummu Athiyah yang ia anggap dari sedekah bukannya menerima dan memasaknya.

 Sumber:
1. http://syiahali.wordpress.com/2012/12/02/siapakah-ahlul-bait-nabi-itu-sudahkah-anda-mengenalnya/
2. http://sconprince.wordpress.com/

Terkait Berita: