Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Fatimah Az Zahra. Show all posts
Showing posts with label Fatimah Az Zahra. Show all posts

Pahala Buat Keluarga Imam Ali as


Imam Hasan dan Imam Husein as dalam kondisi sakit, sementara banyak yang datang untuk menjenguk keduanya. Nabi Muhammad Saw juga datang untuk menjenguk kedua cucunya yang masih kecil. Setelah melihat kondisi keduanya sangat lemah, sementara kedua orang tuanya, Imam Ali dan Sayidah Fathimah as serta Fiddhah begitu mengkhawatirkan keadaan keduanya. Nabi Saw mengusulkan agar kedua orang tuanya bernazar demi keselamatan Imam Hasan dan Husein as. Akhirnya, Imam Ali dan Sayidah Fathimah as bersama pelayannya Fiddhah bernazar untuk berpuasa selama tiga hari berturut-turut demi kesembuhan keduanya.

Keesokan harinya Imam Hasan dan Husein as sembuh dari sakitnya. Imam Ali as kemudian meminjam gandum dan Fiddhah membuat lima potong roti dan ketiganya berpuasa. Ketika tiba waktu berbuka, seorang peminta-minta mengetuk pintu rumah dan meminta makanan. Karena tidak ada makanan lain selain beberapa potong roti di rumah, mereka memberikan roti itu kepada pengemis itu dan hanya berbuka dengan air.

Mereka berpuasa di hari kedua dengan perut kosong. Imam Ali as kembali meminjam gandum untuk dibuat roti lalu berbuka dengannya. Tapi ketika tiba waktu berbuka, giliran seorang anak yatim yang mengetuk rumah dan meminta bantuan. Kali ini juga keluarga Imam Ali as harus merelakan roti untuk berbuka puasa diberikan kepada anak yatim itu.

Hari ketiga mereka berpuasa dalam kondisi perut mereka belum diisi apapun selama dua hari. Kejadian hari pertama dan kedua terulang juga di hari ketiga. Ketika akan berbuka puasa, ada orang lain yang membutuhkan bantuan mengetuk pintu rumah. Setelah mengetahui bahwa orang yang mengetuk pintu itu adalah seorang hamba sahaya yang tertawan oleh pemiliknya yang kaya raya, keluarga Imam Ali as untuk ketiga kalinya harus merelakan roti untuk berbuka puasanya diberikan kepada budak itu.

Pada hari keempat Nabi Muhammad Saw mendatangi rumah Ali as dan baru mengerti apa yang terjadi. Beliau melihat keluarga Ali dalam kondisi lemah. Setelah bertanya apa yang terjadi dan ketika mereka menjelaskan apa yang terjadi, beliau segera mengangkat tangannya dan berdoa, "Wahai Zat yang segera pertolongannya! Ya Allah, anak-anak Muhammad, Nabi-Mu terlihat lemah akibat lapar. Ya Allah, Bantulah mereka ..."

Pada waktu itu malaikat Jibril datang dan berkata, "Wahai Muhammad! Terimalah ucapan selamat dari Allah!"

Nabi Saw berkata, "Apa itu?"

Malaikat Jibril kemudian membacakan surat al-Insan dan berkata, "Surat itu diturunkan untuk Ali as dan keluarganya yang suci."

Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ali as

Ketika Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as Bercanda


Salman al-Farisi mengisahkan:
"Suatu hari Sayidah Fathimah az-Zahra as mendatangi ayahnya.

Ketika Nabi Saw melihat mata Sayidah Fathimah as, anaknya, beliau menyaksikan ada sisa air mata yang menggantung di pelupuk matanya. Akhirnya beliau menanyakan apa penyebab tangisannya.

Sayidah Fathimah az-Zahra menjawab, ‘Ayah, kemarin ada kejadian antara aku dan suamiku, Ali bin Abi Thalib as. Pada waktu itu kami tengah berbicara dan diselingi dengan candaan. Saya mengucapkan sebuah kalimat dengan niat bercanda, tapi kemudian ucapan itu membuat hati suamiku sedih.

Karena merasa suamiku sedih, saya sangat menyesali apa yang kuucapkan kepadanya. Aku telah meminta maaf kepadanya dan merelakanku.

Suamiku menerima permintaan maafku dan kembali terlihat gembira, lalu tertawa lagi denganku. Saya merasa ia telah merelakanku. Tapi saat ini saya masih khawatir, jangan sampai Allah Swt murka dan tidak merelakanku.'

Begitu mendengar kisah yang disampaikan Sayidah Fathimah as, Nabi Saw berkata, ‘Anakku, kerelaan dan kegembiraan suamimu sama seperti kerelaan dan kegembiraan Allah Swt. Kemarahan dan kesedihan suamimu menjadi sebab kemarahan dan kesedihan Allah Swt.'

Setelah itu beliau berkata, ‘Setiap perempuan yang beribadah kepada Allah Swt dan memuji-Nya seperti Sayidah Maryam, tapi suaminya tidak rela kepadanya, maka ibadah dan perbuatannya tidak akan diterima oleh Allah Swt.

Anakku! Ketahuilah bahwa perbuatan paling baik adalah menaati suami, tentu saja dalam hal-hal yang tidak dilarang Islam dan al-Quran.

Anakku! Setiap perempuan yang menanggung semua kesulitan di rumah dan mengelola segala urusan rumah demi ketenangan dan kesejahteraan anggota keluarga, maka ia akan menjadi ahli surga."

Catatan:
1. Ihqaq al-Haq, jilid 19, hal 112-113.

Ketaatan pada Ali dalam Puisi Fathimah


Mengkaji posisi dan maqam Sayidah Fathimah az-Zahra as sebagai penghulu wanita di mata Rasulullah Saw, ayahnya dan begitu juga di hadapan Imam Ali as, suaminya akan memberikan gambaran ketinggian pribadi yang disebut Ummul Aimmah atau ibu para Imam as ini. Sayidah Fathimah as memiliki maqam yang tinggi di mata suaminya dan kisah berikut ini dapat menggambarkan hal itu.

Suatu hari ada seorang yang lapar mengetuk pintu rumah Imam Ali as dan meminta bantuan kepada pemilik rumah. Pada waktu Imam Ali as menyampaikan permintaan orang miskin yang dalam keadaan lapar itu kepada istrinya, Sayidah Fathimah as dalam bentuk puisi. Dalam puisinya itu, Imam Ali as mengingatkannya untuk membantu orang yang lapar ini.

Sayidah Fathimah az-Zahra as menjawab puisi suaminya dengan empat baris puisi juga:

اَمرُکَ سَمعٌ یَابنَ عَمٌ وَ طاعَةُ

ما بی مِن لُومٍ وَ لا ضاعَةُ

اُطعِمُهُ وَ لا اُبالی الساعَةَ

اَرجُو اِذاً اَشبَعتُ مِن مُجاعَة
Amruka Sam'un Yabna ‘Ammi Wa Thaa'athun
Maa Bii Min Laumin Wa Laa Dha'ah
Ath'imuhu Wa Laa Ubaali as-Saa'ah
Arjuu Idzan Asyba'tu Min Muja'ah

Aku menaati perintahmu, wahai anak pamanku
Aku tidak akan menegur dan merasa kehilangan
Aku memberinya makan dan tidak memikirkan diriku
Aku ingin berkorban di jalan Allah dengan perut lapar. (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)

Sumber: Nahj al-Hayah, hadis 103, hal 186.

Sayyidah Fatimah as dalam Ucapan Ulama-ulama Ahlus Sunnah


Tidak ada yang dapat memungkiri mengenai keagungan, keutamaan dan kemuliaan Sayyidah Fatimah as. Ali Syariati mengatakan, "Saya tidak dapat mengungkapkan apapun mengenai Fatimah, kecuali satu hal, Fatimah adalah Fatimah." Dalam kitab-kitab klasik Syiah maupun kontemporer kita menemukan bejibun pernyataan, syair, puisi yang mencoba memuji keutamaan Sayyidah Fatimah as, namun kesemuanya itu tidak mampu mewakili keutuhan pribadi Sayyidah Fatimah as. Nabi Muhammad Saw berkenaan dengan putri tercintanya pernah bersabda, "Jika semua kebaikan dikumpulkan dan diletakkan disebuah tempat, maka az Zahra masih jauh lebih baik dari semua kebaikan tersebut." 
Yang bisa kita ketahui dari apa yang dimaksudkan Nabi Saw tersebut, penjelasan dan gambaran apapun yang dikemukakan tidak bisa mewakili kemuliaan dan keagungan hadhrat Fatimah az Zahra as.

Literarur Ahlus Sunnahpun tidak luput dari menceritakan sebagian dari keutamaan Sayyidah Fatimah az Zahra as tersebut. Jalaluddin Suyuti dalam kitab ال‍ث‍غ‍ور ال‍ب‍اس‍م‍ه‌ ف‍ی‌ ف‍ض‍ائ‍ل‌ ال‍س‍ی‍ده‌ ف‍اطم‍ه‌ (kitab yang  ditulis khusus berkenaan dengan Sayyidah Fatimah as mengenai fadilah-fadilah beliau baik sebelum hijrah maupun setelah hijrah, serta kumpulan hadits-hadits yang diriwayatkan Sayyidah Fatimah maupun nukilan ucapan-ucapan beliau) menulis: "Kami berkeyakinan, sebaik-baik perempuan seluruh alam adalah Bunda Maryam dan Sayyidah Fatimah." Syaikh Mahmud Afandi Alusi yang lebih dikenal dengan nama Syaikh Al Alusi dalam kitab tafsirnya Ruh al Ma'ani pada jilid 3 hal. 138 menulis, "Fatimah lebih utama atas semua perempuan baik yang terdahulu maupun yang akan datang. Adalah sabda Rasulullah Saw yang menunjukkan keutamaan Fatimah atas semua perempuan adalah sesuatu yang pasti (tidak ada keraguan didalamnya), karena beliau adalah ruh dan jiwa Rasulullah, bahkan lebih utama dari Aisyah sekalipun."

Syaikh Fakhr al Din al Razi dalam magnum opusnya 'Tafsir al Kabir' menjelaskan mengenai makna al Kautsar (anugerah yang melimpah) dalam surah al Kautsar. Beliau menulis, "Surah al Kautsar turun untuk membantah mereka yang berpandangan bahwa Nabi Muhammad Saw tidak akan memiliki keturunan. 
Oleh karena itu surah tersebut berkenaan mengenai karunia yang Allah SWT berikan kepada Nabi Muhammad Saw berupa keturunan yang akan terjaga sepanjang zaman. Perhatikan, betapa banyak dari keluarganya yang terbunuh, namun orang-orang berilmu dari kalangan keturunan Rasulullah Saw sangat banyak dan melimpah. Dan tak seorangpun dari keluarga Bani Umayyah yang mampu menyaingi salah satupun dari keluarga Nabi. Dan perhatikan pula, dari keturunan Nabi lahir ulama-ulama besar seperti al Baqir, as Shadiq, al Kadzim dan ar Ridha serta Nafs Zakiah (nama aslinya Muhammad bin Abdullah bin al Hasan, salah seorang keturunan imam al Hasan as yang pada tahun 145 H syahid di masa pemerintahan al Manshur)." (Tafsir al Kabir, jilid 32, hal. 124). Jadi dalam kitab tafsirnya tersebut, ulama mufassir Sunni ini menyebutkan, bahwa anugerah melimpah dari Allah SWT untuk nabi Muhammad Saw yang dimaksud adalah keturunan yang dimulai dari Sayyidah Fatimah az Zahrah yang lahir dari beliau ulama-ulama dan pejuang-pejuang Islam yang menegakkan dan menjaga agama dari berbagai anasir yang hendak merusak dan menodainya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh An Naisabury dalam Kitab Gharaib Al Qur’an Wa Raghaib Al Furqan jilid 8, hal. 576.

Salam atasmu duhai putri sebaik baiknya makhluk, salam atasmu wahai putri nabi, salam atasmu wahai istri al-washi, salam bagimu duhai ibu al-Hasan dan al-Husain, salam atasmu wahai wanita suci yang dizhalimi dan diambil haknya, salam bagi ruh dan jasadmu yang suci nan semerbak dari lisan yang penuh dengan dosa ini…
Salam bagimu.....

Imam Hasan al Mujtaba As


Hasan bin Ali bin Abi Thalib (Bahasa Arab: الحسن بن علي بن أبي طالب )adalah Imam kedua Syiah putra dari Imam Ali As dan Fatimah binti Muhammad Sa, dan dikenal sebagai sosok manusia suci yang ke empat yang di usianya yang ke 37 tahun telah mencapai derajat Imamah dan khilafah bagi kaum Muslimin. Pada tahun 41 H beliau melakukan perdamaian dengan Muawiyah. Masa kekhilafahan beliau sekitar 6 bulan 3 hari. Setelah melakukan perdamaian beliau hijrah ke Madinah dan menetap di kota kelahirannya tersebut selama kurang lebih 10 tahun hingga akhirnya beliau mencapai kesyahidannya [1] dan dimakamkan di Pemakaman Baqi di kota Madinah.

Dua tugas berat yang diemban Imam Hasan As yaitu Imamah dan Khalifah menunjukkan peran penting beliau dalam menjaga keutuhan dan persatuan dalam tubuh kaum muslimin dan mencegah dari perselisihan dan perpecahan, kemudian beliau mengeluarkan keputusan untuk melakukan perdamaian dengan Muawiyah. Hal tersebut memberikan gambaran seutuhnya mengenai kepribadian beliau yang memiliki karakter tegar dan lebih mengutamakan toleransi dan persaudaraan kaum muslimin. Perdamaian yang dilakukannya dengan Muawiyah di masa kekhalifahannya, menjadi keputusan paling penting dalam hidupnya bahkan dikenang sebagai kebijakan yang paling berpengaruh dalam sejarahIslam dan kaum muslimin, khususnya dalam terwujudnya persatuan dan tersebarnya pelajaran agama dan akhlak yang memberikan keteladanan utama bagi umat Syiah, tentang bagaimana bertindak dan mengambil keputusan ketika terjadi perbedaan pendapat, juga hal-hal berkenaan dengan perdamaian dan peperangan. [2]

Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Imam kedua umat Islam Syiah dan putra pertama Imam Ali As, dikenal dengan sebutan Imam Hasan As. Ibu beliau adalah Sayidah Fatimah al-Zahra As putri kesayangan Nabi Muhammad Saw. [3]Panggilan beliau adalah Abu Muhammad. Dengan lakab gelar yang paling masyhur dari beliau adalah al-Taqi. Selain itu beliau juga memiliki lakab yang lain, seperti al-Tayyib, al-Zaki, al-Sayid dan al-Sibth. Sedang Nabi Muhammad Saw sendiri menlakabi beliau dengan al-Sayid. [4]

Kelahiran dan Kehidupannya
Imam Hasan As lahir di kota Madinah pada malam atau siang dari pertengahan bulan Ramadhan tahun ketiga Hijriah [5]. Sementara Syaikh Kulaini dalam kitabnya al Kafi menukilkan riwayat bahwa Imam Hasan as lahir pada tahun kedua Hijriah [6] Ia wafat pada usia 48 tahun pada tahun ke 50 H [7]Tabarsi menukilkan wafatnya pada tanggal 28 Safar. [8]

Yang Memberikan Nama
Mengenai nama Imam Hasan As, diceritakan dimasa kelahirannya, Allah Swt berfirman kepada malaikat Jibril As untuk memerintahkan Nabi Muhammad Saw menemui puteranya yang baru lahir dan menyampaikan salam kepadanya dan mengucapkan selamat dan menyampaikan kepadanya, "Sesungguhnya posisi Ali di sisimu seperti Harun di sisi Musa, karenanya berilah nama putera Ali sebagaimana nama putera Harun." Malaikat Jibrilpun menyampaikan apa yang telah diperintahkan Allah Swt untuk disampaikan kepada nabi Muhammad Saw. Setelah mengucapkan salam dan selamat sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT, malaikat Jibril berkata, "Allah SWT menghendaki kamu memberikan nama putera Ali sebagaimana nama putera Harun." Nabi Muhammad Saw bertanya, "Nama putera Harun siapa?" Malaikat Jibril As menjawab, "Sabbar". Nabi Muhammad Saw kembali bertanya, "Dalam bahasa Arabnya apa?" Malaikat Jibril as berkata, "Berikan namanya Hasan." Dengan perintah itu, Nabi Muhammad Saw memberikan nama cucunya al-Hasan. [9]

Istri-Istri dan Keturunannya
Imam Hasan As: Puncak dari kecerdasan akal adalah akhlak yang baik kepada sesama manusia. Dan dengan akal dunia dan akhirat dapat diraih. Barang siapa yang tidak memanfaatkan akalnya, maka dunia dan akhiratpun tidak bermanfaat baginya. [Nahjul Sa'adah fi Mustarak Nahjul Balaghah, jilid 7 hal. 366]
Anak-anak kandung Imam Hasan As berjumlah 15 orang. 8 laki-laki dan 7 lainnya perempuan.
Zaid dan dua saudara perempuannya Ummul Hasan dan Ummul Husain dari istri beliau yang bernama Ummi Bashir putri *Ibnu Mas'ud ‘Aqabah bin Amru.
Hasan bin Hasan dari istri beliau yang bernama Khaulah binti Mandhur Fazari.
Amru dan dua saudara laki-lakinya Qasim dan Abdullah. Ibunya adalah seorang budak.
Abdurrahman. Ibunya juga dari seorang budak.
Husain dan saudara laki-lakinya Talhah dan saudara perempuannya Fatimah. Ibu mereka bernama Ummu Ishak binti *Talhah bin ‘Ubaidillah Taimi.
Putri-putri beliau, Ummu Abdullah, Fatimah, Ummu Salamah dan Ruqayyah dari istri-istri yang berbeda. [10]

Dari berbagai sumber-sumber yang ada, pernikahan ataupun perceraian yang dilakukan Imam Hasan As, baik dari sisi jumlah sekalipun, terdapat perbedaan pendapat. Hal tersebut bersumber dari adanya periwayatan yang berbeda-beda, yang kesemua itu tidak mungkin untuk dilakukan penerimaan begitu saja, dan juga tidak memungkinkan untuk ditolak dan pada dasarnya juga tidak menambah ataupun mengurangi nilai sejarah. Pada dasarnya kesemua perbedaan periwayatan tersebut bersumber dari berbagai aspek khususnya disebabkan oleh isu-isu sektarian dan politik. Para peneliti dan ulama dalam penjelasan mereka mengenai riwayat-riwayat yang beraneka ragam tersebut hanya sekedar menunjukkan sebagian dari kesalahan pada sanad ataupun mengenai muatan riwayat. [11]Khususnya harus dapat diterima, apa yang telah disampaikan oleh riwayat-riwayat yang ada sangat kabur dan tanpa catatan mengenai kesemua nama-nama istri Imam Hasan As.

Dari kesemua itu hanya nama Ja'dah binti Asy'at bin Qais yang sesuai dengan riwayat yang ada, yang disebutkan sebagai pelaku dari keracunan yang dialami Imam Hasan as yang kemudian merenggut nyawanya yang riwayatnya dapat diterima dan diakui. Meskipun terdapat kesimpang siuran dari riwayat-riwayat yang berkenaan dengan nama-nama istri Imam Hasan as namun mengenai keturunan Imam Hasan as terdapat kesepakatan bersama yang kemudian dengan dasar tersebut nama dari ibu-ibu mereka pun dapat dikenali, misalnya Khaulah binti Mandzhur bin Zabban Farazi. Ummu Bashir binti ‘Uqabah bin Amru Khazaraji, Ummu Ishak binti Talhah bin ‘Ubaidillah at Tamimi, Hafsah cucu Abu Bakar dan Hindun bin Sahil bin Amru. [12]

Kehidupannya di Sisi Rasulullah Saw
Baraa menukilkan, "Saya melihat Nabi Muhammad Saw bersama dengan Hasan bin Ali yang berada diatas pangkuannya dan dalam keadaan demikian beliau berkata, Ya Allah aku mencintainya, maka berikan juga kecintaanMu terhadapnya."[13] Dalam hadits yang lain dinukilkan bahwa Nabi Muhammad dalam keadaan bersama dengan Hasan dan Husain yang duduk diatas pangkuannya dan berkata, "Ini adalah kedua putraku dan putra dari putriku. Ya Allah, aku mencintai keduanya, maka berikan juga kecintaanMu kepada keduanya dan cintai pula siapa saja yang mencintai keduanya." [14]

Nabi Muhammad Saw dalam hadits yang lain mengenai Imam Hasan As dan Imam Husain As bersabda, "Hasan dan Husain adalah penghulu pemuda di surga." [15]"Kedua puteraku ini adalah dua bunga wangiku di dunia." [16]"Hasan dan Husain (atau kedua puteraku ini [17]adalah Imam, yang memimpin revolusi atau yang menciptakan perdamaian." [18] "Jika akal seorang laki-laki terwujud sebagai manusia, maka dia adalah al Hasan." [19]

Kehidupannya di Masa Kekhalifahan
Suatu hari Imam Hasan di masa kecilnya menemui Abu Bakar yang saat itu sedang berkhutbah di atas mimbar. Beliau mengajukan protes kepada Abu Bakar sembari berkata, "Turunlah dari atas mimbar ayahku." Abu Bakarpun menanggapi pernyataan tersebut dengnan mengatakan, "Demi Allah, benarlah apa yang kamu katakan itu. Ini adalah mimbar ayahmu, bukan mimbarku." [20] Imam Hasan dan Imam Husain pada saat perang menginvasi kerajaan Persia, keduanya tidak bergabung dalam laskar militer kaum muslimin.[21]Meskipun sebagian dari riwayat menyebutkan kehadiran Imam Hasan as di sejumlah peperangan. [22]

Disaat masa transisi dari pemerintahan Khalifah Umar kepada pemerintahan khalifah selanjutnya dan terbentuknya Dewan Syura yang kemudian menghasilkan keputusan yang menetapkan Utsman sebagai Khalifah selanjutnya, atas permintaan Umar bin Khattab, Imam Hasan as termasuk diantara enam orang yang dijadikan saksi dalam Dewan Syura yang terbentuk tersebut. Hal tersebut menunjukkan bukti betapa penting peran dan luasnya pengaruh beliau, sekaligus mengisyaratkan bahwa beliau bukan hanya diakui sebagai salah satu anggota dari Ahlul Bait Nabi Saw namun juga diakui sebagai tokoh berpengaruh yang memiliki peran sosial penting ditengah-tengah kaum Anshar dan Muhajirin. [23]

Sewaktu Utsman mengasingkan Abu Dzar al Ghiffari ke Rabadzhah dan menetapkan pelarangan untuk tidak seorang pun menemani dan berbicara dengannya, dan meminta kepada Marwan bin Hakam mengeluarkannya dari kota Madinah. Sewaktu Abu Dzar akhirnya dalam keadaan terusir keluar dari kota Madinah, tidak seorangpun yang berani untuk berbicara dan menemuinya, kecuali oleh Imam Ali as beserta saudaranya Aqil dan kedua putranya Hasan dan Husain serta Amar bin Yasir yang bahkan sampai mengawal kepergian Abu Dzar meninggalkan kota Madinah. [24]

Disaat terjadi kerusuhan, dengan adanya aksi pengepungan sejumlah pemberontak yang hendak membunuh khalifah Utsman bin Affan, sebagian catatan sejarah menyebutkan tindakan Imam Ali as untuk menjaga Islam adalah menjaga keselamatan khalifah. Beliau mengutus kedua puteranya Hasan dan Husain menuju rumah Utsman untuk menjamin keselamatannya. Sayang, situasi saat itu sangat sulit, dan pembunuhan terhadap khalifah Utsman tidak bisa dicegah. Disebutkan terjadi banyak perbedaan periwayatan dari berbagai sumber mengenai hal detail dari peristiwa pembunuhan tersebut. [25]

Imam Di Masa KeImamahan Imam Ali As
Imam Hasan As dan Imam Husain As bergabung dalam peperangan yang dipimpin oleh ayahnya, yaitu dalam perang Jamal, Shiffin dan perang Nahrawan. 26. [26]

Di Perang Jamal
Sewaktu Abu Musa al Asy'ari panglima perang Kufah yang diutus oleh Imam Ali As untuk menghadapi kaum pemberontak melakukan pembangkangan, Imam Ali as mengutus puteranya sendiri Imam Hasan bersama dengan Ammar bin Yasir dan sebuah surat ke Kufah. Dengan pidato yang disampaikannya di Masjid Kufah, beliau mampu mengumpulkan 10000 pasukan yang ikut serta bersamanya ke medan perang. [27]

Imam Hasan menyampaikan pidatonya sebelum terjadi perang [28]dan Amirul Mukminin mengutus beliau dalam perang tersebut untuk bersiaga di Maimanah [bagian kanan] dari pasukan perang. [29] Sebagian sejarahwan menyebutkan dalam perang tersebut, Imam Ali as berkata kepada Hanafiah, "Ambillah tombak ini, dan bunuhlah unta itu [yang dimaksud adalah unta yang dikendarai Aisyah yang dalam menghadapinya telah banyak menelan korban]". Muhammadpun pergi namun kembali dalam keadaan luka parah akibat terjangan panah disekujur tubuhnya. Setelah itu, Hasan mengambil tombak itu dan selanjutnya berhasil membunuh unta Aisyah. [30]

Imam Pada Perang Shiffin
Pada perang Shiffin, di tengah kecamuk menghadapi musuh-musuhnya, Imam Ali As tidak melepaskan perhatian dari kedua putranya yang turut berperang. Dalam menjaga keselamatan nyawa Hasan dan saudaranya Husain, Imam Ali As meminta keduanya untuk berada dibelakangnya. Imam Ali As berkata, "Ditengah kecamuk perang saya mengkhawatirkan keselamatan kedua puteraku, karena saya tidak mengingkankan keturunan Rasulullah Saw terputus." [31] Dalam perang, sewaktu Muawiyah melihat Imam Hasan As, ia memerintahkan kepada Ubaidillah bin Umar -putera bungsu khalifah kedua- memasuki medan perang dan menemui Imam Hasan As. Ubaidillahpun mendekati Imam Hasan yang sedang sibuk menghadapi musuh-musuhnya, dan berkata kepadanya, "Saya ada urusan denganmu." Imam Hasanpun mendekatinya. Ubaidillahpun menyampaikan pesan Muawiyah yang mengajaknya bergabung. Imam Hasan As dengan suara meninggi berkata, "Aku akan melihat, kau akan terbunuh hari ini atau besok. Namun syaitan telah menipumu dan memperindah perbuatan ini di matamu sampai akhirnya perempuan-perempuan Syam akan mengambil jenazahmu. Allah SWT akan mempercepat kematianmu dan kau akan berkalang tanah." Mendengar jawaban tegas tersebut, Ubaidillah kembali keperkemahan dan ketika Muawiyah melihat keadaannya, ia langsung menanggapinya dengan berkata, "Anak laki-laki itu adalah juga ayahnya." [32]

Imam Ali As untuk mencegah terjadinya fitnah dan perpecahan pasca pemerintahannya, ia secara terang-terangan mengingatkan masyarakat akan bahayanya, melalui pidato-pidato yang disampaikannya secara terbuka dengan penjelasan dalil dan argumentasi yang jelas. Hal demikian juga dilakukan oleh Imam Hasan As.[33] Surat ke-31 Imam Ali As yang terdokumentasikan dalam kitab Nahjul Balaghah berisikan surat wasiat yang penuh dengan pesan-pesan akhlak Imam Ali As kepada puteranya, Imam Hasan As. Surat tersebut disampaikan sewaktu Imam Hasan As dalam perjalanan pulang dari Shiffin disebuah tempat yang disebut Hadhirin.
"Ketakwaan adalah puncak dari keridhaan Ilahi, awal dari semua pertobatan, puncak dari segala hikmah dan kemuliaan dari setiap perbuatan." Imam Hasan Al-Mujtaba As
Tuhaf al-‘Uqul, hlm. 232.

Dalil-dalil KeImamahan
Hadits yang berbunyi, "Kedua puteraku ini, Hasan dan Husain adalah imam, baik dalam keadaan bangkit maupun tidak." [34], dari Rasulullah ini adalah hujjah yang jelas dan terang mengenai keimamahan Imam Hasan dan Imam Husain. Imam Ali As mewasiatkan kepada puteranya Imam Hasan As. "Wahai puteraku, Rasul Akram Saw memerintahkan kepadaku, agar aku menjadikan engkau sebagai washiku dan memberikan kepadamu kitab dan persenjataanku, sebagaimana Rasulullah Saw menjadikan aku washinya dan menyerahkan keduanya kepadaku serta memerintahkan kepadaku untuk melakukan hal yang sama terhadapmu. Dan sewaktu engkau menyadari akan mendekatnya tanda-tanda kematianmu, maka amanah ini serahkan kepada saudaramu, al-Husain." [35]

Masa ke Imamahannya
Imam Hasan al-Mujtaba As pada malam Jum'at 21 Ramadhan tahun ke 40 H bersamaan dengan kesyahidan ayahnya Imam Ali As ditangan Ibnu Muljam, urusan kepemimpinan dan kewilayahan atas ummat beralih ke atas pundaknya, dan penduduk Kufah secara berkelompok-kelompok berdatangan untuk memberikan baiat mereka. Ia kemudian mengangkat sejumlah pejabat dan pembantunya dalam pemerintahan serta menunjuk Abdullah bin Abbas sebagai gubernur di Basrah. [36]

Perang dengan Muawiyah
Sewaktu Muawiyah mendapat kabar akan kesyahidan Imam Ali As dan paham akan pembaiatan yang telah dilakukan umat Islam atas Imam Hasan As, diapun kemudian mengirimkan dua orang untuk menjadi mata-mata dan memprovokasi masyarakat untuk melawan Imam Hasan as ke kota Basrah dan Kufah. Imam Hasan As ketika mengetahui hal tersebut segera memerintahkan untuk melakukan penangkapan atas keduanya dan menjatuhkan hukuman yang setimpal.

Surat menyurat yang terjadi antara Imam Hasan As dengan Muawiyah, menunjukkan kelayakan Imam Hasan As sebagai khalifah atas kaum muslimin. [37]Muawiyah sesuai perintahnya melalui surat, mampu memobilisasi pasukannya untuk bergerak ke Irak bersamanya dan dia sendiri yang bertindak langsung sebagai komandan pasukan, dan memerintahkan Zahaak bin Qais Fahri sebagai wakilnya di ibu kota. Disebutkan sekitar 60000 pasukan bersama Muawiyah, dan riwayat lain menyebutkan lebih dari jumlah tersebut. [38]

Imam Hasan As: "Memikirkan pikiran, jiwa, hati dan visi adalah kunci pintu kebijaksanaan." [Musnad al Imam al Mujtaba, hal. 718]

Imam Hasan As mengutus Hujr bin Adi ke medan perang untuk mengambil alih komando dan mengajak kepada ummat untuk berjihad. Awalnya mereka mengalami kekalahan, namun akhirnya meraih kemenangan. [39]Imam As kemudian mengutus Qais bin Sa'ad bin ‘Ubadah menuju Syam dan ia sendiri menuju Madain. Setiap hari ia mendapat kabar baru disetiap perjalanannya. Suatu hari ia mendapatkan kabar akan gugurnya Qais. Berita tersebut dengan cepat menyebar dan menimbulkan kegoncangan dikalangan pasukan. Tanpa adanya komando, pasukan yang tersisa kemudian menyerbu tenda-tenda dan menjarah apapun yang ada. [40]Imam Hasan as dengan melihat adanya kejadian indisipliner tersebut dari pasukannya sendiri, kemudian berkesimpulan tetap melakukan perlawanan akan tidak ada manfaatnya. Tetap bertahan dengan kondisi pasukan seperti itu hanya akan membawa kerugian dan mudharat yang lebih besar. Karenanya Imam Hasan as kemudian memilih untuk sepakat untuk melakukan perdamaian dengan Muawiyah. [41]

Perdamaian dengan Muawiyah
Imam Hasan As: "Demi Allah kembalinya kami dari medan perang melawan orang-orang Syam bukan karena kami ragu atau karena kami diliputi rasa sesal melainkan karena sebelumnya kami menghadapi orang-orang Syam dengan dengan kejernihan pikiran dan konsistensi namun karena permusuhan semua itu jadi berubah. Dan kalian [orang-orang Kufah] pada awal pekerjaan kalian di Shiffin kalian lebih mengutamakan agama kalian daripada kepentingan dunia kalian, namun hari ini kalian lebih mengutamakan kepentingan dunia kalian dari agama kalian." [Tuhuf al ‘Uqul, hak. 234]

Baladzari [بلاذری ] menulis: "Muawiyah mengirim kertas kosong yang di bagian bawahnya diberi cap stempel kepada Imam Hasan dan meminta apapun yang dikehendaki oleh Imam Hasan dalam perjanjian tersebut untuk menuliskannya. Berikut surat rekonsiliasi/perdamaian antara Hasan bin Ali dan Muawiyah bin Abi Sofyan yang kepemimpinan kaum muslim beralih ke tangan Muawiyah dengan persyaratan sebagai berikut:
Akan bertindak sesuai dengan kitab Allah, Sunnah Nabi dan sirah para khalifah yang saleh.
Tidak mengangkat putra mahkota dan mengembalikan amanah kepada permusyawaratan kaum muslimin.
Rakyat dimanapun berada, nyawa, harta dan keturunannya harus dijamin keamanannya.
Muawiyah tidak boleh baik secara terang-terangan maupun tersembunyi mengusik Imam Hasan as dan mengancam dan serta menakut-nakutinya pengikutnya.

Abdullah Haarat dan Amruh bin Salamah menjadi saksi dari penandatanganan deklarasi perdamaian tersebut. [42]Dengan persyaratan yang telah dibuat melalui Imam Hasan as, perjanjian tersebut ditandatangani di awal tahun 41 H. [43]Akan tetapi Muawiyah meskipun menyepakati perjanjian tersebut namun berlaku tidak layak. Disaat Imam Hasan as menawarkan perdamaian, Muawiyah justru tidak memberikan penghormatan yang semestinya, malah mengatakan hal yang tidak layak mengenai Imam Ali as. Imam Husain as awalnya hendak membalas pelecehan tersebut namun dicegah oleh Imam Hasan as yang kemudian menyampaikan pidatonya mengenai pentingnya perdamaian dan kemudian membandingkan nasab beliau dengan Muawiyah sebagai balasan dari sikap tidak hormat Muawiyah terhadap ayahnya, Imam Ali as. [44] Hal tersebut menjadikan Muawiyah terdiam malu. [45]

Setelah Perdamaian hingga Wafatnya
Imam Hasan setelah melakukan perdamaian dengan Muawiyah, ia berhijrah ke Madinah. Dan di kota tersebut ia menjadi sumber rujukan ilmu, agama, masalah sosial dan politik. Ia berkali-kali melakukan perdebatan dengan Muawiyah dan para pengikutnya di kota Madinah dan Damaskus, yang riwayat-riwayat mengenai hal tersebut diantaranya ditulis oleh Tabarsi dalam kitabnya Ihtijaj. [46]

Kesyahidan
Muawiyah sangat berambisi untuk menghabisi nyawa imam Hasan As. Telah berkali-kali ia mengupayakan cara untuk meracuninya namun tidak pernah berhasil.[47]Sampai akhirnya Muawiyah secara licik berusaha merayu istri Imam Hasan As, Ja'dah binti Asy'at bin Qais dan menjanjikannya untuk dinikahkan dengan Yazid putranya dan akan diberikan seratus ribu dirham dengan syarat mampu membunuh imam Hasan.

Diapun kemudian berhasil melakukan keinginan Muawiyah tersebut dengan cara meracuni Imam Hasan As dengan racun yang mematikan. Diapun mendapat uang seratus ribu dirham yang telah dijanjikan Muawiyah namun janji untuk menikahkannya dengan Yazid tidak dipenuhi Muawiyah. [48] Sewaktu Imam Husain menghantarkan jenazah saudaranya untuk dimakamkan disisi makam kakeknya Nabi Muhammad Saw, Aisyah, Marwan dan sejumlah pembesar dari Bani Umayyah mencegat dan mencegah proses pemakaman tersebut. Untuk mencegah perselisihan dan pertikaian yang bisa saja lebih meluas antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah, Ibnu Abbas kemudian membawa jenazah Imam Hasan kepemakaman Baqi dan dimakamkan di sisi neneknya, Fatimah binti Asad. [49]

Kepribadian dan Keutamaannya
Imam Hasan as adalah yang paling mirip dengan Rasulullah Saw baik secara fisik, penampilan, perangai maupun akhlaknya. [50] Diriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda kepadanya, "Wahai Hasan, kamu dari penciptaan bentuk dan akhlak sangat mirip denganku." [51]Imam Hasan as adalah salah satu dari Ashabul Kisa[52]] dan disaat mubahalah dengan rohaniawan Kristiani, Nabi Muhammad Saw membawa serta Imam Hasan, Imam Husain, Imam Ali dan Sayyidah Fatimah sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT. [53]Turunnya Ayat Tathir juga menunjukkan mengenai keutamaan beliau yang sangat besar, demikian juga dengan Ahlul Bait yang lain. [54]

Imam Hasan sebanyak 25 kali menunaikan ibadah Haji dan tiga kali mensedekahkan semua hartanya di jalan Allah, sampai sepatunyapun diserahkannya dan hanya menyisakan sandal untuknya. [55]

Catatan Kaki:
Arbili, Kasyf al-Ghummah, jld. 2, hlm. 489. .
Haj Manuchahri, Faramarz, Dāirah al-Ma'ārif Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Imam Husain, hlm. 532. .
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 3. .
Arbili, Kasyf al-Ghummah, jld. 2, hlmn 296. .
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 3. .
Kulaini, Ushul Kāfi, jld. 2, hlm. 499. .
Kulaini, Kāfi, jld. 2, hlm. 501. .
Thābarsi, I'lām al-Wara, jld. 1, hlm. 403. .
Shaduq, al-Amāli, hlm. 134. .
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 16. .
Untuk contoh bisa merujuk ke ‘Aqiqi, jld. 4, hlm. 523; Qarsyi, 1413 H, jld. 2, hlm. 443 dst; Madelung, 380-387 yang dinukil oleh Haj Manucahri, Faramarz, Dāirah al-Ma'ārif Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Imam Husain, hlm. 545. .
Rujuk ke kitab Ya'qubi, jld. 2, hlm. 228; al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 20; Ibnu Shaufi, hlm. 19; Bukhari, Sahal, 5; Ibn Syahr Asyub, Manāqib, jld. 3, hlm. 192; Ibnu ‘Unabah, 68 yang dinukil Haj Manucahri, Faramarz, Dāirah al-Ma'ārif Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Imam Husain, hlm. 545. .
Bukhari, Shahih Bukhari, jld. 2, hlm. 432; Suyuti, Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafa, Tahqiq Lajnah Min al-Adbā, Tauzih Dār al-Ta'āwun Abbas Ahmad al-Bāz, Makah al-Mukaramah, hlm. 206. .
Suyuti, Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafa, Tahqiq Lajnah Min al-Adbā, Tauzih Dār al-Ta'āwun Abbas Ahmad al-Bāz, Makah al-Mukaramah, hlm. 207. .
Shaduq, Amāli, hlm. 333; Suyuti, Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafa, Tahqiq Lajnah Min al-Adbā, Tauzih Dār al-Ta'āwun Abbas Ahmad al-Bāz, Mekah al-Mukaramah, hlm. 207. .
Majlisi, Bihār al-Anwar, jld. 37, hlm. 73; Suyuti, Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafa, Tahqiq Lajnah Min al-Adbā, Tauzih Dār al-Ta'āwun Abbas Ahmad al-Bāz, Makah al-Mukaramah, hlm. 207. .
Shaduq, ‘Ilal al-Syarā'i, jld. 1, hlm. 211. .
Al-Mufid, al-Arsyād, jld. 2, hlm. 27. .
Juwaini, Farāidh al-Simthain, jld. 2, hlm. 68. .
Suyuti, Tārikh al-Khulafā, hlm. 80. .
‘Amali, Tahlili az Zendegi Imam Hasan Mujtaba, hlm. 170. .
Daneshnāmeh Buzurgh Islami, jld. 20, Madkhal Hasan As, Imam, hlm. 534. .
Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, Kairom Muasassah al-Halbi, jld. 1, hlm. 30; Ibnu abd al-Bar, Yusuf, al-Isti'āb, Beirut, jld. 1, hlm. 391, 1412 H; Jauhari Ahmad, al-Saqifah wa Fadak, Riset oleh Muhammad Hadi Amini, Tehran, 1401 H; Sarasar Kitab, Danesh Nameh Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Hasan As, Imam, hlm. 534. .
Mas'udi, Murūj al-Dzahab, jld. 1, hlm. 698. .
Jump up↑ Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, Kairom Muasassah al-Halbi, jld. 1, hlm. 40; Baladzuri, Ahmad, Ansāb al-Asyrāf, Riset oleh Muhammad Baqir Mahmudi, Beirut, jld. 2, hlm. 216-217, 1394 H; Maliki, Muhammad, al-Tamhid wa al-Bayān, Qatar, hlm. 119, 194, 1405 H; Muqaddasi, Mathar al-Bada wa al-Tārikh, Kairo, Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, jld. 5, hlm. 206; ‘Amuli, Ja'far Murtadha, al-Hayat al-Siyāsah al-Imam al-Hasan, Qom, hlm. 140 dst, Daneshname Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Hasan As, Imam, hlm. 534, 1363 H. .
Al-Amin, al-Sayyid Muhsin, A'yān al-Syiah, jld. 2, Haqaqah wa Akhrajah al-Sayyid Muhsin al-Amin, Beirut, Dār al-Ta'ārif lil Mathbu'āt, hlm. 370, 1418 H..
Ja'fariyan, Hayāt Fikri wa Siyāsi Imāmān Syiah, hlm. 124. .
Al-Mufid, al-Jamal, hlm. 327. .
Al-Mufid, al-Jamal, hlm. 348. .
Al-Qarsyi, Mausu'ah Sirah Ahl al-Bait, jld. 10, Riset oleh Mahdi Baqir al Qarasyi, Qom, Dār al-Ma'ruf, hlm. 403, 1430 H. .
Qarsyi, Hayāt al-Hasan, hlm. 219. .
Qarsyi, Hayāt al-Hasan, hlm. 218. .
Qarsyi, Hayāt al-Hasan, hlm. 245. .
Al-Mufid, al-Irsyād, Qom: Sa'id bin Jabir, hlm. 290, 1428 H. .
Kulaini, Ushul al-Kafi, jld. 1, hlm. 297. .
Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 350. .
Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 350. .
Qarsyi, Zendegi Imam Hasan As, Penerjemah: Fakhr al-Din Hijazi, hlm. 334-335. .
Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 351. .
Syahidi, Tārikh Tahlil Islam, hlm. 159. .
Syahidi, Tārikh Tahlil Islam, hlm. 160. .
Baladzuri, Ahmad, Ansāb al-Asyrāf, Dār al-Ta'ārif, jld. 3, hlm. 41-42, 1397 H; Syahidi, Tārikh Tahlil Islam, hlm. 162. .
Khalifah bin Khiyat, Tārikh, Riset oleh Akram Dhaya ‘Umri, Beirut, 1397 H. .
Thabari, jld. 4, hlm. 124-125, 128-129; Abu al-Faraj, 45 dst, Ibnu Syu'bah, hlm. 232 dst, Risalah al-Imam Hasan, Riset oleh Zainab Hasan Abdul Kadir, hlm. 29, Kairo, hlm. 1411 H. .
Haj Manuchahri, Faramarz, Dāirah al-Ma'ārif Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Imam Husain, hlm. 538. .
Thabarsi, al-Ihtijāj, jld. 2, hlm. 45-65. .
Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 357. .
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 13. .
Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 280-281, 1428 H. .
Arbali, Kasyf al-Ghummah, jld. 2, hlm. 290. .
Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 43, hlm. 294. .
Shaduq, al-Khishal, jld. 2, hlm. 550; Shaduq, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, Agha Najafi, jld. 1, hlm. 55. .
Ali bin Ibrahim Qumi, Tafsir Qumi, jld. 1, hlm. 104; al-Zamakhsyari, al-Kassyāf, jld. 1, hlm. 368. .
Ali bin Ibrahim Qumi, Tafsir Qumi, jld. 2, hlm. 193. .
Al-Sunan al-Kubra lil Baihaqi, jld. 4, hlm. 331, Tarjamah al-Imam Ali As min Tārikh Dimasyq, hlm. 142, dinukil dari Muntakhab Fadhāil al-Nabi wa Ahli Baitihi ‘alaihim al-Salam min al-Shihāh al-Sittah wa Gairihuma min al-Kutub al-Mu'tabar ‘inda Ahl al-Sunnah,hlm. 279. .

Daftar Pustaka:
Al-‘Athardi, Azizallah, Musnad al-Imam al-Mujtaba, Qum, ‘Athardi, 1373 H.
Al-Harrani, Ibnu Syu'bah, Tuhuf al-‘Uqūl ‘an Ali al-Rasūl Saw, Riset: Ali Akbar al-Ghaffari, Qum, Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1404 H.
Al-Mahmudi, Nahj al-Sa'ādah fi Mustadrak Nahj al-Balāghah, jld. 7, Najaf, 1385 H/1965 M.
Sotfware Nur al-Sirah 2, Markaz Tahqiqat Komputeri Ulūm Islami Nur.
Al-‘Amali, Ja'far Murtadha, al-Hayat al-Siyāsiah lil Imam al-Hasan, Qum, 1363 H.
‘Amuli, Tahlili az Zendegi Imam Hasan Mujtaba, Penerjemah: Saihari, Intisyarat Daftar Tablighat, 1376 S.
Ibnu Sufi, Ali, al-Majdi, Riset: Ahmad Mahdawi Damaghani, Qum, 1409 H.
Ibnu ‘Unabah, Ahmad, ‘Umdah al-Thālib, Riset: Muhamammad Hasan Ali Thaliqani, Najaf, 1380 H/1960 M.
Al-Bukhari, Sahal, Sirr al-Silsilah al-‘Alawiyah, Riset: Muhammad Shadiq Bahr al-Ulum, Najaf, 1381 H/1962 M.
Ja'fariyan, Hayāt Fikri wa Siyāsi Imāmān Syiah, Intisyarat Anshariyan, 1381 H.
Qarasyi, Baqir Syarif, Hayāt al-Imām al-Hasan bin Ali As, Dirasah wa Tahlil, Beirut, 1413 H.
Muntakhab Fadhāil al-Nabi wa Ahli Baitihi ‘alaihim al-Salam min al-Shihāh al-Sittah wa Gairihuma min al-Kutub al-Mu'tabar ‘inda Ahl al-Sunnah, Disusun oleh: Muhammad Bayaumi Mihran, Beirut, al-Ghadir, 1423 H.
Al-Mufid, al-Jamal, Nasyir Maktab al-‘Alām al-Islami, 1371 S.
Al-Thabari, Muhammad bin Jarir, Tārikh Thabari, Muassasah al-‘Alami lil Mathbu'āt, Beirut, tanpa tahun.
Radhi Yasin, Sulh al-Hasan, Penerjemah: Sayid Ali Khamanei, Intisyarat Ghulsyan cet. 13, 1378 S.
Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, Penerjemah: Muhammad Ibrahim Ayati, Intisyarat ‘Ilmi wa Farhanggi, 1362 S.
Thabarsi, al-Ihtijāj, Intisyarat Uswah, 1413 H.
Syaikh Shaduq, Amāli, Intisyarat Kitab Khaneh Islami 1362 S.
Arbali, Kasyf al-Ghumah, Nāsyir Majma Jahani Ahl Bait, 1426 H.
‘Aqiqi Bakhsyayasyi, Abd al-Rahim, Chahardah Nur_e Pak, Tehran, 1381 S.
Al-Mufid, al-Irsyad, Penerjemah: Khurasani, Intisyarat ‘Ilmiah Islamiyah 1380 S.
Qarsyi, Baqir Syarig, al-Hayāt al-Hasan, Penerjemah: Fakhr al-Din Hijazi, Intisyarat Bitsat, 1376 S.
Suyuti, Tārikh al-Khulafa, tanpa tahun.
Shaduq, Amāli, Penerjemah: Kumrehi, 1363 S.
Shaduq, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, Penerjemah: Ali Akbar Ghafari, Akhtar Syumal, 1373 S.
Software Islami Jami al-Hadits, Markaz Tahqiqat Komputeri ‘Ulum Islami Nur.
Kulaini, Ushul Kāfi, Dār al-Hadits.
Thabarsi, I'lām al-Wara, Muassasah ali Al-Bait Liahya al-Turat.
Bukhari, Shahih Bukhari, Nasyir Dār al-Fikr.
Ibnu Syahr Asyub, Manāqib Alu Abi Thālib, Nasyir Dzu al-Qurba.
Majlisi, Bihār al-Anwār, Beirut.
Jawini, Faraid al-Simthain, Muassasah al-Mahmudi, Beirut, 1980 M.
Syaikh Shaduq, Khishal.
Tafsir Qumi, Nasyir Maktabah al-Hadi, Najaf.
Al-Zamakhsyari, Mahmud, al-Kassyāf ‘an Haqāiq Ghawāmidh al-Tanzil, jld. 1, Qum, Nasyr al-Balagāh, al-Thaba'ah al-Tsaniah, 1415 H.
Syahidi, Sayid Ja'far, Tārikh Tahlili Islāmi, Tehran, Markaz Nasyr Danesgahi, 1390 S.
Madelung, W., The Succession to Muhammad, Cambridge, 1977.

Apa arti “Fatimah” itu? Dan mengapa Rasulullah Saw memilih nama ini untuk putri tunggalnya?


Pengetahuan saya tentang nama-nama sangat minim. Saya kira seluruh orang tahu bahwa "Fatimah" itu adalah putri Rasulullah Saw dan tentu saja nama ini memiliki makna khusus dan menyeluruh. Persisnya apa makna "Fatimah" itu dan mengapa Rasulullah Saw memilih nama ini untuk putri tunggalnya?

Jawaban Global:
Tentu saja tidak mesti setiap nama dibuat untuk melambangkan satu makna khusus dan mencerminkan pelbagai dimensi kepribadian pemilik nama, melainkan cukup bahwa nama tersebut tidak memuat nama yang mengandung arti kemusyrikan dan antinilai.

Akan tetapi, terkait dengan para wali Allah, seperti Hadhrat Fatimah Zahra Salamullah ‘alaiha, dimana nama-nama mereka diilhamkan dari alam gaib, tentu saja nama ini memiliki beberapa poin penting yang selaras dan senada dengan tipologi pemilik nama tersebut.

Nama Fatimah yang akar katanya dari kata "fa-tha-ma" bermakna terpisahnya atau tercerabutnya sesuatu; sesuai dengan lisan riwayat; terpisahnya atau tercerabutnya puan besar ini dari segala jenis keburukan dan ketercelaan dan juga bermakna bahwa beliau akan menyelamatkan para pecinta sejatinya dari api neraka.

Jawaban Detil:
Pertanyaan ini dapat dijawab dari dua sudut pandang:
1. Apakah setiap nama yang diberikan untuk setiap orang; bahkan putra-putri Nabi dan para imam; harus memiliki dalil khusus dan merupakan perlambang pelbagai dimensi eksistensial pemilik nama tersebut?
2. Apakah Rasulullah Saw ketika memilih nama Fatimah untuk putrinya memiliki dalil khusus dan apakah nama ini merupakan penjelas satu subjek tertentu?

Terkait dengan bagian pertama, harus dikatakan bahwa seperti yang dinukil dari para Imam Maksum bahwa memilihkan nama baik dan pantas untuk anak-anak adalah kebaikan pertama baginya[1] dan jelas bahwa orang tua, dengan ragam kecenderungan dan selera, memilih ragam nama untuk anak-anak mereka. Agama Islam, kendati banyak menganjurkan dalam masalah ini, namun anjuran ini tidak bersifat wajib dan mesti dilaksanakan. Dan setiap orang boleh, sepanjang nama tersebut tidak mengandung arti kemusyrikan dan anti-nilai, meletakkan nama apa pun buat anak-anaknya.[2]

Atas dasar ini, Rasulullah Saw, setelah menyampaikan agama Islam dan menyebarluaskannya, beliau tidak menerapkan kebijakan ini sehingga beliau harus mengganti seluruh nama para sahabatnya dan memilihkan nama baru buat mereka yang menunjukkan keimanan dan keislaman mereka. Adanya nama-nama seperti Ammar, Mus'ab, Miqdad dan sebagiannya di antara para sahabat Rasulullah Saw yang tidak memiliki makna religius pada nama-nama mereka, menandaskan hal ini. Akan tetapi ada sebagian riwayat bahwa Rasulullah Saw hanya mengganti nama-nama para sahabatnya yang menunjukkan kesyirikan dan penyembahan berhala atau yang bermakna tidak terpuji.[3]

Tentu saja, dengan adanya kebebasan bagi setiap orang dalam memilih nama maka sudah sepantasnya mereka memilih nama yang lebih baik dan lebih layak mengamalkan anjuran-anjuran para Imam Maksum As dalam hal ini seperti, salah satu dari riwayat tersebut, berikut ini.
Imam Baqir As bersabda, "Sebaik-baik nama adalah nama yang bermakna penghambaan dan sebaik-baik nama tersebut adalah nama-nama para nabi."[4]

Apa yang dijelaskan, merupakan sebuah analisis singkat terkait dengan pemberian nama untuk seseorang secara global. Namun sehubungan dengan pertanyaan yang Anda singgung, sebagian nama seperti nama suci "Fatimah" yang merupakan pilihan Allah Swt dan diilhamkan kepada Rasulullah Saw, namanya harus berbeda dari nama-nama lainnya dan pada tataran tertentu menampilkan dimensi-dimensi kepribadian pemilik nama tersebut. Akan tetapi, hal ini tidak memestikan bahwa nama seperti ini, hanya terkhusus secara eksklusif kepada orang tertentu dan tidak memiliki latar sejarah sebelumnya atau terlarang bagi orang lain untuk memilihnya.

Nama "Fatimah" akar katanya dari kata "fa-tha-ma" yang bermakna tercerabutnya dan terpisahnya sesuatu.[5]

Adapun terkait mengapa Rasulullah Saw menamai putra tunggalnya sebagai Fatimah, terdapat sebagian riwayat yang menyoroti masalah ini. Dan mengingat masing-masing riwayat ini menjelaskan satu sisi dari beberapa dalil, tetapi dengan menelaah seluruh riwayat ini, kita tidak jumpai adanya pertentangan di antara riwayat-riwayat ini. Bahkan masing-masing dari riwayat-riwayat tersebut merupakan pelengkap bagi yang lainnya. Atas dasar ini, kami akan menukil riwayat-riwayat tersebut di sini untuk diketahui:
A. Yunus bin Zhibyan meriwayatkan bahwa Imam Shadiq bertanya kepadaku, "Apakah engkau tahu tafsirnya Fatimah?" Aku berkata, "Tuanku! Silahkan Anda beritahukan tafsirnya?" Beliau bersabda, "Fatimah Sa terpisah dari segala jenis keburukan dan kekotoran (fatamat min al-syarr). Dan apabila Baginda Ali As tidak menikah dengannya, semenjak permulaan penciptaan, tiada seorang pun yang sepadan dan sekufu untuk menikah dengannya!"[6]
B. Imam Ridha As sesuai nukilan dari ayah-ayahnya, meriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda, "Saya memilihkan nama "Fatimah" sebagai nama untuk putriku karena Allah Swt memisahkan api neraka darinya dan dari para pecintanya."[7]
C. Imam Baqir As bersabda, "Tatkala Fatimah Sa lahir ke dunia, Allah Swt mewahyukan kepada seorang malaikat supaya nama Fatimah terlontar dari lisan Rasulullah Saw, kemudian Allah Swt berfirman kepada Fatimah Sa bahwa "Aku membinamu dengan ilmu dan pengetahuan dan memisahkanmu dari segala jenis kotoran dan...'"[8]

Akhir kata, kita harus tahu bahwa putri mulia Rasulullah Saw sesuai dengan riwayat seluruh kaum Muslimin, baik Sunni atau pun Syiah, bahwa Fatimah Sa adalah belahan jiwa Rasulullah Saw. Mengganggu dan menyakitinya sama dengan menyakiti Rasulullah.[9] Dan nama yang layak dan pantas untuk dipilihkan untuknya sehingga sepenggal dari kepribadiannya dan dimensi-dimensi spiritual puan besar ini, dengan bantuan nama ini, diperkenalkan kepada alam semesta. Atas dasar ini, kami meyakini bahwa Allah Swt memilih nama penuh keberkahan ini baginya.




Referensi:
[1]. Muhammad bin al-Hasan, Hurr ‘Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 388-389, riwayat 27374, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1409 H.
[2]. Ibid.
[3]. Ibid, hal. 390, riwayat 27379.
[4]. Ibid, hal. 391, riwayat 27381.
[5]. Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 12, hal. 454.
[6]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 43, hal. 10, bab 2, riwayat pertama, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[7]. Ibid, hal. 12, riwayat 4
[8]. Ibid, hal. 13, riwayat 9.
[9]. Shahîh Bukhâri, jil. 4, hal. 219, Dar al-Fikr, Beirut, hal. 1410 H.

Berkah Kalung Sayidah Zahra

 
Suatu ketika Rasulullah Saw kedatangan tamu seorang musafir yang telah kehabisan bekal. karena di rumah beliau tidak ada sesuatu yang layak diberikan, maka beliau minta tolong sahabat Bilal agar mengantar tamu itu ke rumah putri Beliau, yaitu  Sayyidah Fathimah as.

Dirumah Sayyidah Fathimah as, rupanya juga tidak ada sesuatu yang layak dimakan. Maka dengan senang hati, tulus dan ikhlas, Sayyidah Fathimah memberinya kalung hadiah pernikahannya dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib as. Sayyidah Fathimah berkata:  “Ambillah kalung ini dan juallah, mudah-mudahan harganya cukup untuk memenuhi keperluanmu”.

Oleh si tamu, kalung itu dijual ke Ammar bin Yasir, salah seorang sahabat Nabi Saw  “Berapa hendak kamu jual kalung itu?” tanya Ammar bin Yasir.

“Aku akan menjualnya dengan roti dan daging, sekedar untuk mengenyangkan perutku, sebuah baju penutup tubuhku dan uang satu dinar untuk menemui istriku” kata si tamu tadi.

Ammar berkata:  “Baiklah, aku membeli kalung itu dengan harga 20 dinar, ditambah 200 dirham, ditambah sebuah baju, serta seekor unta agar engkau dapat menemui istrimu”.

Setelah itu Ammar berkata pada budaknya, Asham.

“Wahai Asham, pergilah sekarang menghadap Rasulullah Saw, katakan bahwa aku menghadiahkan kalung ini dan juga engkau kepadanya. jadi mulai hari ini kamu bukan budakku lagi tetapi budak Rasulullah Saw”.

Ternyata, Rasulullah Saw pun berbuat sebagaimana Ammar. Ia menghadiahkan kalung itu dan juga Asham kepada Sayyidah Fathimah.

Sayyidah Fathimah asbegitu berbahagia menerima hadiah dari ayahandanya, sekalipun dia tahu bahwa kalung ini semula memang miliknya.

Dia sadar, ternyata kebaikannya yang hanya sekedar memberi kalung mendapat balasan berlebih dari Allah Swt,  yaitu dengan ditambah seorang budak.

Lalu Sayyidah Fathimah berkata kepada Asham: “Wahai Asham, engkau sekarang bebas dari perbudakan dan menjadi manusia merdeka, aku melakukan semua ini karena Allah Swt semata”.

Mendengar perkataan Sayyidah Fathimah, Asham tertawa gembira.

Sayyidah Fathimah pun menjadi heran dan bertanya; ” Wahai Asham, mengapa engkau tertawa seperti itu?”

“Aku tertawa karena kagum dan takjub akan berkah kalung itu. Ia telah mengenyangkan orang yang lapar, Ia telah menutup tubuh orang yang telanjang, Ia telah memenuhi hajat seorang yang fakir dan akhirnya ia telah membebaskan seorang budak”, jawab Asham.

***

Mudah-mudahan kisah ini bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk kita semua, bahwa kedermawanan adalah akhlaq yang mulia, seperti apa yang dilakukan oleh Sayyidah Fathimah.

Amin.

Pelajaran Kemuliaan Hidup dari Imam Husein


Pada tanggal 3 Sya'ban tahun ke-4 Hijriah kebahagiaan terpancar dari rumah keluarga Rasulullah Saw. Asma membawa bayi yang terbungkus kain putih dan memberikannya kepada Rasulullah saw. Beliau begitu gembira lalu mendekapnya. Dibacakan azan di telinga kanan bayi itu, dan iqamat di telinga kirinya. Kemudian  bayi itu ditidurkan di pangkuannya. Ketika itu, Jibril datang menemui Nabi Muhammad Saw, dan berkata, "Allah swt menyampaikan salam bagimu dan berfirman, 'Kedudukan Ali disampingmu seperti Harun bagi Musa, maka namailah anak ini dengan nama putra Harun yaitu 'Syabir', yang dalam bahasa Arab  berarti 'Husein'." Maka Rasulullah saw menamainya dengan Husein. 

Imam Husein dibesarkan di lingkungan keluarga suci. Para pendidik beliau adalah orang-orang yang paling mulia moralnya dan paling menjulang kemanusiaannya. Imam Husein dibesarkan di tengah orang-orang yang mengemban tugas membimbing dan memimpin umat manusia. Beliau tumbuh besar dalam sebuah keluarga yang dipenuhi dengan kesempurnaan dan keutamaan akhlak. Beliau selama beberapa tahun mendapat didikan langsung dari Rasulullah Saw. Selain itu, kedua orang tuanya, yaitu Imam Ali dan Sayidah Fatimah merupakan dua manusia agung hasil didikan langsung Nabi Muhammad Saw. Pembinaan Rasulullah Saw, kasih sayang dan keadilan Ali, serta keutamaan Fatimah membentuk keindahan dan kesempurnaan Husein.

Suatu hari, Rasulullah terlihat keluar dari rumahnya, saat itu Hasan berdiri di salah satu bahu beliau, dan Husein berdiri di bahu lainnya. Rasulullah mencium mereka berdua. Seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, Anda mencintai kedua anak ini?" Beliau bersabda, "Barang siapa yang mencintai keduanya, ia mencintaiku dan barang siapa yang memusuhinya, maka ia memusuhiku". Abu Hurairah berkata, "Aku melihat dengan mata sendiri langkah Husein kecil di atas kaki Rasulullah. Beliau memegang kedua tangan Husein dan mengangkatnya. Anak itu diangkat hingga melangkah di dada Rasulullah. Ketika itu beliau mencium anak itu seraya berdoa, "Ya Allah, Cintailah ia, sebagaimana aku mencintainya".

Imam Shadiq menyebut Imam Husein sebagai manifestasi Nafs al-Mutmainah, jiwa yang tenang, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran. Perkataan dan sikap Imam Husein menunjukan bahwa dalam hidupnya senantiasa menegakkan kebenaran dan keadilan serta menyebarkan agama Tuhan. Husein senantiasa menegakkan jalan Rasulullah Saw dan para Nabi sebelumnya. Tampaknya, inilah maksud dari ziarah warits yang disampaikan kepada beliau, pada saat kita membaca, "Assalamu Alaika ya Waritsa Adama shifwatillah, Assalamu Alaika Ya waritsa Nuhi Nabiyillah... Assalamu Alaika ya Waritsa Muhammad Rasulillah. Salam atasmu wahai pewaris Adam as, Salam atasmu wahai pewaris nuh... salam atasmu wahai pewaris Rasulullah…

Perjuangan Husein bin Ali melawan kezaliman telah menjadi contoh dari figur manusia pembela nilai-nilai luhur meskipun harus ditebus dengan nyawanya sendiri. Aktivitas Bani Umayyah membuat ajaran akhlak Rasulullah di tengah umat Islam mulai pudar. Kerusakan moral di tengah masyarakat semakin tinggi dan semakin transparannya kezaliman penguasa lalim. Ketika itu Imam Husein berkata, "Wahai umat manusia, hiduplah kalian dengan nilai-nilai moral yang luhur dan berlomba-lombalah kalian untuk memperoleh bekal kebahagiaan. Jika kalian berbuat baik kepada orang lain, meski ia tak membalas kebaikanmu, janganlah khawatir. Sebab Allah swt akan memberimu ganjaran yang terbaik. Ketahuilah, kebutuhan masyarakat kepada kalian merupakan karunia ilahi. Maka, jangan kalian lewatkan karunia itu supaya kalian bisa terhindar dari azab ilahi."

Imam Husein terkenal sebagai sosok manusia yang amat pengasih dan pemaaf. Lembaran sejarah Islam menjelaskan suatu ketika seorang dari Syam bernama Isham datang ke kota Madinah. Setibanya di sana, ia melihat seorang pribadi yang terlihat amat berbeda dengan khalayak lainnya. Ia pun bertanya kepada orang-orang, siapakah gerangan sosok istimewa yang dilihatnya itu. Mereka menjawab, ia adalah Husein bin Ali. Isham yang saat itu terpengaruh oleh fitnah dan propaganda Bani Umayyah segera pergi mendekati beliau dan mencercanya dengan segala hinaan dan makian.

Menanggapi perilaku Isham, Imam Husein tidak marah, sebaliknya beliau justru menatapnya dengan penuh keramahan dan kasih sayang. Sejenak kemudian, beliau pun membacakan ayat suci al-Quran mengenai sikap maaf dan mengabaikan kekhilafan orang lain, lalu berkata, "Wahai lelaki, aku siap melayani dan membantu apapun yang engkau perlukan". Kemudian Imam Husein bertanya, "Apakah engkau berasal dari Syam?" Lelaki itupun menjawabnya, "Iya". Imam lantas berkata, "Aku tahu mengapa engkau bersikap demikian. Tapi kini engkau sekarang berada di kota kami dan terasing di sini. Jika engkau memerlukan sesuatu, aku siap membantu dan menyambutmu di rumahku".

Melihat sikap Imam Husein yang di luar dugaan dan begitu ramah itu, Isham pun heran dan terkesima. Ia pun berkata, "Di saat itu, aku berharap bumi terbelah dan aku tergelincir di dalamnya daripada bersikap begitu keras kepala dan ceroboh semacam itu. Bayangkah saja, hingga saat itu aku masih menyimpan kebencian yang sangat mendalam terhadap Husein dan ayahnya. Namun sikap penuh welas asih Husein bin Ali membuat diriku malu dan menyesal. Dan kini tak ada siapapun yang lebih aku cintai kecuali dia dan ayahnya".

Selain itu, salah satu karakter yang bisa kita pelajari dari kehidupan Imam Husein adalah pandangannya mengenai dunia. Menurut Imam Husein, manusia tidak boleh menggantungkan diri kepada keindahan dunia yang bersifat semu. Imam Husein berkata: "Apa yang disinari oleh matahari di atas bumi ini, mulai dari timur hingga barat, dari laut hingga padang pasir, dari gunung hingga lembah, semua itu di mata seorang wali Allah adalah ibarat sebuah bayangan yang cepat berlalu dan tidak layak dicintai. Wahai manusia! Janganlah menjual diri kalian kepada dunia yang fana ini. Sadarlah bahwa tidak ada yang berharga bagi kalian selain surga dan barang siapa yang mencintai dunia dan puas atasnya, maka ia telah puas terhadap sesuatu yang hina."

Rekan setia di penghujung acara, kami segenap kru Radio Melayu Suara Republik Islam Iran menyampaikan selamat atas kelahiran Imam Husein. Imam Husein berkata, "Ayahku Imam Ali pernah mengatakan barang siapa yang berpuasa di bulan Syaban demi mendekatkan diri kepada Allah dan kecintaan kepada Rasulullah Saw,… maka surga wajib baginya".

Mengapa banyak kaum muslimin yang tidak mengetahuinya (apalagi mengenangnya) ?



Al-HUSAYN, KARBALA DAN ASYURA
Umar menendang pintu dan pintu, Fatimah jatuh tertimpa pintu, -tanpa patah tulang-
Fatimah mendorong pintu agar menghalangi mereka masuk, Umar menendang pintu hingga terlepas dan mengenai perut Fatimah hingga Muhsin gugur dari perut ibunya.
Multaqal Bahrain hal 81, Al Jannah Al Ashimah hal 251, Umar menggunakan pedang dan cambuk tanpa menyentuh pintu.

Fatimah berteriak Wahai Ayahku, Wahai Rasulullah, lalu Umar mengangkat pedang yang masih di sarungnya dan memukul perut Fatimah, lalu Fatimah berteriak lagi, wahai ayahku, lalu Umar mencambuk tangan Fatimah,  Fatimah memanggil Wahai Rasulullah, betapa buruk penggantim, Abubakar dan Umar, Ali melompat dan mencengkeram baju Umar dan membantingnya, dan memukul hidung serta lehernya. Ali berniat membunuh Umar tetapi dia teringat wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam.
Kitab Sulaim bin Qais , jilid 3 hal 538.

Fatimah didorong di pintu, tanpa ditendang, tanpa pedang, cambuk atau paku
Al Mas’udi, seorang ahli sejarah mengatakan : Amirul Mu’minin Ali tinggal di rumahnya beserta beberapa pengikutnya, seperti yang dipesankan oleh Rasulullah, lalu mereka menuju rumah Ali dan menyerbunya, membakar pintu rumah dan memaksa orang yang di dalamnya untuk keluar, mereka mendorong Fatimah di pintu hingga janinnya gugur, mereka memaksa Ali untuk berbaiat dan Ali menolak, dan mengatakan : aku tidak mau, mereka mengatakan : kalau begitu kami akan membunuhmu, Ali mengatakan: jika kalian membunuhku maka aku adalah Hamba Allah dan saudara RasulNya. Lihat Itsbatul Washiyyah hal 123.
Umar menyerbu rumah Ali bersama tiga ratus orang.

Diriwayatkan mengenai penyebab wafatnya Fatimah : Umar bin Khattab menyerang rumah Ali dan Fatimah bersama tiga ratus orang. Lihat dalam kitab Al Awalim jilid 2 hal 58.

Umar memukul Fatimah di jalan, bukan di rumah
Fatimah berhasil meminta surat dari Abubakar yang berisi pengembalian tanah Fadak pada Fatimah, ketika di jalan Fatimah bertemu Umar dan kemudian Umar bertanya: wahai putri Muhammad, surat apa yang ada di tanganmu? Fatimah menjawab: surat dari Abubakar tentang pengembalian tanah Fadak, Umar berkata lagi : bawa sini surat itu, Fatimah menolak menyerahkan surat itu, lalu Umar menendang Fatimah
Amali Mufid hal 38, juga kitab Al Ikhtishash.

Fatimah dicambuk.
Yang disesalkan adalah mereka memukul Fatimah Alaihassalam, telah diriwayatkan bahwa mereka memukulnya dengan cambuk
Talkhis Syafi jilid 3 hal 156

Punggungnya dicambuk dan dipukul dengan pedang.
Lalu Miqdad berdiri dan mengatakan : putri Nabi hampir  meninggal dunia, sedang darah mengalir di punggung dan rusuknya karena kalian mencambuknya dan memukulnya dengan pedang, sedangkan di mata kalian aku lebih hina dibanding Ali dan Fatimah
Ahwal Saqifah/ Kamil Al Baha’I, Hasan bin Ali bin Muhamamd bin Ali bin Hasan At Thabari yang dikenal dengan nama Imadudin At Thabari, jilid 1 hal 312.

Semenjak peristiwa Saqifah, begitu banyak serentetan peristiwa yang merupakan hari-hari kelam bagi Umat Islam. Termasuk peritiwa karbala, yang sepertinya sejarah telah menguburnya. Karbala, stigma terbesar dalam sejarah umat Islam, tidak banyak orang yang mengetahuinya. Spekulasi bisa muncul, mengapa sejarah karbala tidak banyak disinggung oleh sebagian besar umat Islam. Yang muncul sekali-sekali lebih bertendensi kepada persoalan aliran dalam Islam daripada nilai kesejarahan dan faktualitas persoalan. Pada akhirnya yang muncul hanyalah politisasi sejarah. Untuk itu saya berusaha menghindari pemaparan sejarah atas satu pihak saja. Apalagi peristiwa karbala sangat sarat dengan tendensi yang mungkin akan menjebak saya pada pemahaman yang sempit atas sejarah itu sendiri.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan peristiwa karbala ?. Mengapa banyak kaum muslimin yang tidak mengetahuinya (apalagi mengenangnya) ?. Apakah peristiwa karbala semata-mata bertendensi pada Syiah, untuk itu harus dikubur dalam-dalam ?. Semuanya pasti punya jawaban sendiri. Dan menyinggung peristiwa karbala, beberapa ahli sejarah Islam menarik benang merah bahwa peristiwa karbala tidak terjadi spontanitas secara diskrit waktu. Tetapi peristiwa tersebut berkaitan erat dengan peristiwa Saqifah. Karena tidak mungkin bagi kita untuk mendiskusikan sejarah Islam semenjak peristiwa Saqifah hingga peritiwa karbala, maka saya hanya mengambil potongan sejarah setelah kematian Ali bin Abi Thalib.baca selengkapnya

Sejarah Khulafaur Rasyidin berakhir setelah meninggalnya Ali bin Abi Thalib. Sejarah mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib meninggal setelah dua hari dari percobaan pembunuhan yang dilakukan kepadanya, tepatnya malam Ahad, 21 Ramadhan 40 H. Setelah kematian Ali, kepemimpinan berganti dengan diangkatnya Al-Hasan, anak dari Ali bin Abi Thalib, oleh orang-orang kuffah sebagai khalifah umat Islam pada saat itu. Tetapi di saat yang bersamaan, Mu’awiyyah, pendiri dinasti Umayyah dan bertindak sebagai gubernur pada saat itu, mulai menyebarkan berita dan propaganda yang isinya memihak Mu’awiyyah untuk menjadi khalifah. Banyak janji dan hadiah yang diberikan Mu’awiyyah bagi para pendukungnya. Tidak hanya itu, Mu’awiyyah juga menyebarkan berita bohong dan menjelek-jelekkan Ali beserta keluarganya dari sejak awal. Yang mungkin tidak terlupakan bagi Syiah ‘Ali adalah perintah Muawiyyah yang memerintahkan para Khatib pada setiap khotbah Jumat untuk mencaci-maki Ali dan bahkan harus mengkafirkannya. Begitu gencarnya propaganda Mu’awiyyah menyebabkan banyak sekali umat Islam yang memberikan dukungan kepadanya. Dengan dukungan yang luas, mulailah Mu’awiyyah datang ke Kuffah untuk memerangi Al-Hasan. Selanjutnya, terjadilah perang antara Al- Hasan dengan pasukan Mu’awiyyah. Namun sayang, banyak dari pasukan Al- Hasan yang berkhianat dan memihak pada Mu’awiyyah. Untuk mencegah pertumpahan darah yang semakin besar diantara kaum muslimin, Al-Hasan terdesak untuk menandatangani perjanjian damai dan membai’at Muawiyyah sebagai khalifah. Di dalam perjanjian tersebut ada beberapa permintaan Al-Hasan, seperti meminta Mu’awiyyah agar menghentikan perintah mencaci-maki ayahanda beliau dan Mu’awiyyah menyanggupinya . Akan tetapi setelah perjanjian itu, Mu’awiyyah justru melanggar janji dengan terus-menerus menyebarkan fitnah dan mencaci Ali. Sementara itu Al-Hasan justru dibunuh dengan racun yang dimasukkan ke dalam makanannya oleh Ja’dah Binti As’ats, istrinya sendiri.

Janji Mu’awiyyah kepada Al-Hasan tidak pernah dilaksanakan. Bahkan tidak kurang dari 70.000 mimbar di bawah kekuasaan Mu’awiyyah melakukan perintah mencaci Ali. Ia bertindak sewenang-wenang. Barang siapa yang mencoba untuk melakukan perlawanan, olehnya langsung dibunuh. Dan tidak pernah ada kebebasan mimbar di masa kepemimpinannya. Salah seorang gubernur yang ditunjuk Mu’awiyyah untuk memerintah kufah adalah Ziyad. Ia terkenal sebagai pembunuh berdarah dingin. Suatu ketika Hujur bin ‘Ady dan sahabatnya memprotes kebiasaan mencaci Ali. Tetapi yang terjadi, Hujur justru dijatuhi hukuman mati. Ia juga memerintahkan memotong kepala Amr bin Hamk, dan mengarak kepala itu keliling kota, kemudian dilemparkan kepala Amr bin Hamk itu ke pangkuan istrinya.

Kebiadaban ini disaksikan langsung oleh Al Husein. Ia merasa tidak dapat diam begitu saja. Apalagi setelah ia dipaksa untuk membai’at Yazid, putra mahkota Mu’awiyyah. Karena bagaimana mungkin Al-Husein dapat membai’at seorang pemimpin bagi kaum muslimin bila ia pecinta arak dan gila wanita. Akhirnya Al-Husein memutuskan untuk meninggalkan kota madinah yang telah dikuasai oleh Mu’awiyyah. Dan pada tanggal 3 bulan Sya’ban tahun 60 H, Al-Husein sampai di Makkah. Sementara itu di Damaskus Mu’awiyyah meninggal dan secara langsung kepemimpinan digantikan oleh Yazid.

Mendengar kematian Mu’awiyyah dan penolakan Al-Husein kepada Yazid, orang-orang kuffah membulatkan tekad untuk melawan Yazid. Untuk itu mereka mengirim utusan untuk membawa surat kepada Al Husein. Setelah datangnya utusan tersebut kepada Al-Husein, Al Husein segera mengirim utusannya ke Kufah, Muslim bin Aqil. Tetapi disaat yang bersamaan, Yazid menggantikan gubernur kufah yang sebelumnya Nu’man menjadi Ibnu ziyad.

Setelah Muslim sampai ke Kufah, ia disambut dengan baik oleh penduduk kufah. Inilah yang membuat yakin Muslim bahwa penduduk kufah akan mendukung Al-Husein. Untuk itu Muslim mengirim surat kepada Al-Husein agar datang ke Kufah. Segera setelah penggantian itu, Ibnu Ziyad datang ke kufah. Kemudian mengumpulkan penduduk kufah untuk mengingatkan mereka agar patuh pada penguasa tunggal Yazid bin Mu’awiyyah. Ibnu Ziyad melakukan teror kepada penduduk kufah dan ternyata berhasil. Orang-orang kufah pun berbalik, justru mendukung Yazid. Sementara itu Muslim yang telah sampai di Kufah terlebih dahulu sebelum kedatangan Ibnu Ziyad ditangkap dan dijatuhi hukuman penggal.

Surat yang disampaikan Muslim telah sampai kepada Al-Husein. Dan berita kematian Muslim justru belum terdengar. Berangkatlah rombongan Al-Husein menuju kufah. Ketika rombongan Al-Husein sampai di Hijaz, ia mengutus Qays untuk memberitahu penduduk kufah bahwa kedatangannya beberapa hari lagi. Akan tetapi Ibnu Ziyad telah mengirimkan mata-mata, dan karenanya Qays digeledah dan dijatuhi hukuman mati. Al-Husein melanjutkan perjalanan kembali dan ketika sampai di Tsa’labiyah barulah Al-Husein mendengar kematian Muslim. Keadaan ini tidak membuat rombongan Al-Husein gentar. Mereka melanjutkan perjalanan kembali dan ketika sampai di sebuah dusun yang bernama Zabalah, Al-Husein mendengar kematian utusannya yang kedua, Qays.

Perjalanan tetap berlanjut. Dan sampailah rombongan Al-Husein di Zulhisam. Di Zulhisam, Al-Husein bertemu dengan utusan Ibnu Ziyad, Hurr bin Yazid yang dikawal dengan 1000 pasukan berkuda. Al-Hurr menyampaikan maksudnya bahwa ia diperintahkan untuk membawa Al-Husein ke kufah.

Pada tanggal 2 Muharram rombongan Al-Husein sampai di sebuah lapangan yang bernama Karbala. Tanggal 3 Muharram Ibnu Ziyad mengirimkan 4000 tentara untuk memperkuat Al-Hurr. Dan 500 tentara berkuda diperintahkan untuk menutup saluran air dengan maksud agar pengikut Al-Husein kehausan. Keesokannya mulailah Al Husein mengatur pasukannya. Dengan 32 orang berkuda, 40 orang pejalan kaki, selebihnya anak-anak dan wanita, melawan pasukan Umar bin Sa’ad yang berjumlah 5000 dengan senjata lengkap. Berlangsunglah pertempuran itu hingga satu-persatu pasukan Al-Husein gugur. Satu kejadian yang paling kejam adalah ketika seorang bayi kecil yang menangis kehausan membuat iba Al-Husein dan ia menunjukkan kepada musuh untuk memberikan air minum. Yang terjadi justru bayi itu dipanah oleh salah seorang anggota pasukan Umar bin saad dan tepat mengenai perut bayi itu. Pertempuran yang sangat tidak seimbang terus berlangsung hingga Al-Husein pun gugur sebagai Syuhada pada tanggal 10 muharram 61 H setelah kepalanya di penggal oleh Syamir Zul Tawisyan. Berakhirlah perang tersebut dan pada tanggal 11 muharram 61 H, sebanyak 72 kepala ditancapkan di atas tombak. Sementara dibelakangnya diseret para wanita dan anak-anak.

Beberapa kaum muslimin sering mengenang kesyahidan Al-Husein, pada tanggal 10 muharram, yang sering di kenal dengan hari Asyura. Mengenang kegigihan Al-Husein bukanlah semata-mata mengagungkan perjuangan Al-Husein beserta pengikutnya. Tetapi Asyura juga mengingatkan kita akan ketidakberanian kaum muslimin pada saat itu untuk menentang rezim. Sampai saat ini pun kaum muslimin belum berani mengambil barisan terdepan melawan rezim. Wajar bila kaum muslimin saat ini belum dapat diharapkan untuk menjadi lokomotif umat manusia. Tidak hanya itu, Muawiyyah-Mu’awiyyah baru pun juga mulai banyak muncul. Mereka muncul dengan propaganda, topeng, dan fitnah atas nama Allah. Atau mungkin dengan mengubur sejarah dan identitas yang dibungkus ‘apologia sejarah’.

Akhirnya apapun yang saya tulis di sini tentunya ada yang mengalami distorsi. Tetapi banyak analisa yang lebih mendalam mengenai Asyura. Beberapa kajian di antaranya mencoba menghadirkan realitas sosial-politik masyarakat Arab pada saat itu dan bukan sekedar peristiwa karbala. Sehingga dalam hal ini sangat penting bagi saya untuk memberitahukan beberapa literatur sejarah yang saya pakai. Beberapa diantaranya yaitu :
1. Khilafah dan kerajaan , oleh Abul A’la Maududi
2. Kerugian dunia karena kemunduran umat Islam, oleh Abul Hasan an-Nadwi
3. Sejarah umat Islam II, oleh Prof DR. Hamka
4. Khulashah Nurul yaqin, oleh Umar bin Abdul Jabbar
5. Berbagai penyimpangan politik dalam dinasti Bani Umayyah, oleh Abu Riza
6. Tarikh al Umam wa al-Muluk, juz 6, Darul Fikr, oleh Abu Ja’far Al-Thabari
8. Hayat al-Husain, Abdul Hamid Jaudah Al-Sakhar.
9. A Probe Into History of Ashura, Dr. Ibrahim Ayati

Aku tetap akan meneruskan langkahku
Sebab bagi seorang pemuda, mati itu bukan sesuatu yang memalukan
Apabila kebenaran menjadi niatnya dan berjuang sebagai seorang muslim
Kalau aku tetap hidup, aku tak pernah menyesal
Dan kalau aku mati, aku tidak menderita
Cukuplah untuk disebut dengan kehinaan,
bila engkau tetap hidup, tapi dihinakan- Syair Al-Husein
Maqtal Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib
Shallallahu ‘alaika ya Aba ‘Abdillah
Shallallahu ‘alaika ya Mazlum bi Karbala
Shallallahu ‘alaika ya Syahid bi Karbala
Salam sejahtera bagimu ya Aba ‘Abdillah al-Husain bin ‘Ali (as.)
Salam sejahtera bagimu wahai putra Rasulullah (saw.)
Salam sejahtera bagimu wahai putra Fatimah az-Zahra. (as.)

baca selengkapnya
Pertama-tama marilah kita dengar beberapa sabda Nabi Muhammad saw. tentang Husain “Husainun minni wa ana min Husaini. Ahabballah man ahabba Husaina. Husain sibthun minal asbath. “
(Husain adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagian dari diri Husain. Semoga Allah mencintai orang yang mencintai Husain, dan Husain adalah cucu istimewa dari cucu-cucuku”.
Hadis lain, “Innal Hasana wal Husain Sayyida syababi Ahlil Jannah”, Sungguh Hasan dan Husain adalah dua pemuka pemuda sorga.

Ibnu Hajar mencatat dalam kitabnya at-Tahzib riwayat Ummu Salamah,: “Suatu hari Hasan dan Husain sedang bermain di rumahku, di hadapan datuknya Rasulullah saw. Tidak lama berselang, malaekat Jibril datang. Dia berkata sambil menunjuk ke arah Husain, “ya Muhammad, kelak ummatmu akan membunuh putramu ini. Mendengar itu Nabi kemudian menangis. Dipanggilnya Husain dan dipeluknya erat-erat ke dadanya. Kemudian Nabi memanggilku, kata Ummu Salamah, dan memberiku sebongkah tanah. Setelah mencium bongkahan tanah itu, Nabi berkata, “ya Ummu Salamah, di tanah ini ada bau Karbun wa Bala’. Kelak apabila ia berubah menjadi darah, ketahuilah bahwa di saat itu putraku ini syahid bermandikan darah.’
Lima puluh tahun setelah wafat baginda Rasulullah saw, tepatnya tanggal10 Muharram tahun 61 Hijriah, tragedi Karbala yang diucapkan oleh Nabi tersebut menjadi kenyataan. la bermula dari keengganan Husain as. untuk memberikan bai’at kepada Yazid bin Mu’awiyah sepeninggal ayahnya.

Kepada al-Walid, gubernur Madinah, Imam Husain berkata, ” Ayyuhal Amir! Kami adalah Keluarga Nabi, Tambang Risalah, Tempat Kunjungan para malaekat, dan pusat rahmat Illahi. Karena kamilah maka Allah membuka dan mengakhiri segala sesuatu. Sementara Yazid adalah seorang yang fasik, peminum arak, pembunuh nyawa yang tak berdosa dan terang-terangan melanggar perintah Allah. Orang seumpamaku takkan mungkin akan memberinya bai’at…”

Ketika Husain didesak oleh orang-orang Mu.awiyah, terutama oleh Marwan bin Hakam, seorang yang dikatakan oleh Nabi sebagai al-la’in ibnul la’in, dengan nada yang tinggi Husain berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un… Apabila bai’at ini diberikan kepada Yazid, itu berarti pengkhianatan kepada agama Islam. Bagaimana mungkin ummat ini akan dibiarkan dipimpin oleh orang seperti Yazid.” Husain kemudian berkata: ‘Wahai musuh Allah! Enyahlah engkau dariku. Kami adalah keluarga Rasulullah. Kebenaran ada pada kami. Dan al-haq pasti keluar dari lisan kami. Kudengar sendiri N abi bersabda, “Hak Khilafah adalah haram bagi keluarga Abu Sufyan dan bagi at- Thulaqa. ibnut Thalaqa., (yakni anak keturunan para tawanan Makkah kalian lihat Mu’awiyah berada di atas mimbarku, maka tikamlah perutnya. Demi Allah penduduk kota Madinah telah melihat Mu’awiyah duduk di atas minbar datukku, dan mereka tidak melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh Nabinya. Itulah kenapa akhimya mereka ditimpakan oleh Allah bencana anaknya Yazid, Zadahullah fin nari ‘adzaban, (semoga Allah lebih menimpakan adzab yang pedih kepadanya di api neraka).

Suasana mencekam di kota Madinatur Rasul karena ancaman Yazid atas nyawa Husain menyebabkan Husain berpikir untuk pergi ke kota Mekah. Sebelum pergi, Husain as. berkunjung ke pusara datuknya di tengah malam gulita, sambil berkata:
Assalamu ‘alaika ya Rasulallah!
Anal Husain ibnu Fathimah. Ana Farkhuka
wabnu Farkhika…

Salam sejahtera kepadamu wahai Rasulallah Aku adalah Husain putranya Fatimah. Aku adalah anakmu dan anak dari putrimu. Aku adalah cucumu yang kautinggalkan kepada ummatmu. Saksikanlah wahai Nabi Allah bahwa mereka telah menghinaku dan mengabaikan hak-hakku serta tidak memeliharaku. Inilah keluhanku kepadamu hingga kelak aku berjumpa denganmu…”

Kemudian Husain berdiri shalat, ruku’ dan sujud sepanjang malarnnya di samping pusara kekasihnya Rasulullah saw. Usai shalat Husain berdo’a:
Allahumma! Inna hadza qabru nabiyyika Muhammad… YaAllah! Ini adalah pusara Nabi-Mu Muhammad, sementara aku adalah putra dari putrinya Muhammad. Engkau Mahatahu derita yang apa kini datang kepadaku. Allahumma ya Allah! Sungguh aku cinta pada yang ma’ruf dan benci pada yang munkar. Aku bermohon kepada-Mu ya Dzal Jalali wal Ikram, demi pusara ini dan demi penghuninya, agar Kau pilihkan untukku sesuatu yang di dalarnnya Kau redha padaku.””

Menjelang subuh, Husain kemudian meletakkan kepalanya ke pusara datuknya. Di sana kemudian ia sejenak tertidur. Dalam tidur itu ia melihat datuknya datang dengan serombongan malaekat kepadanya. Dipeluknya Husain erat-erat ke dadanya. Diciumnya antara kedua matanya. Kemudian Nabi berkata, “Wahai putraku Husain! Sepertinya sebentar lagi kau akan terbunuh dan tersembelih di sebuah tempat dan bumi karbun wa bala’. Di sana kau dikepung oleh sekumpulan orang dari ummatku, dalam keadaan kau haus dan tidak diberi air minum. Tapi mereka masih mengharapkan syafaatku di hari kiamat. Demi Allah, kelak aku tidak akan memberi mereka syafaat di hari kiamat…”

Setelah kunjungan terakhir ke pusara Rasulullah saw., Husain kemudian berangkat ke kota Mekah bersama seluruh anggota keluarganya. Syaikh Mufid meriwayatkan, di saat Husain meninggalkan kota Mekah, Husain membaca ayat yang ada dalam surah al-Qashas (28) ayat 21, “fa kharaja minha khaifan yataraqqabu, qala rabbi najjini minal qaumidz dzalimin…” (Maka (Musa) keluar dari (kota) itu dengan ketakutan seraya berhati hati. Dia berkata, “ya Tuhanku, selamatkan aku dari kaum yang zalim.)

Husain tiba di kota Mekah pada tangga13 Sya’ban tahun 60 H. Di sana beliau dan keluarganya menetap sepanjang bulan Sya’ban, Ramadhan, Syawal dan Dzulkaidah.

Sepanjang empat bulan itu Husain berjumpa dengan sebagian dari sahabat-sahabat Rasul yang masih hidup tak terkecuali Ibnu ‘Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair dan sebagainya. Kepada mereka Husain sampaikan niatnya untuk tidak memberikan bai’at sedikitpun kepada Yazid, meskipun untuk itu ia akan berhadapan dengan kekerasan. Ketika sebagian dari mereka menasehati Husain untuk berdamai saja dengan Yazid, Husain malah menjawab, “Apakah aku akan berikan bai’at kepada Yazid dan berdamai dengannya, sementara Nabi saw. telah berkata sesuatu yang jelas tentangnya dan tentang ayahnya.”

Ibnu Umar mendesak Husain agar pulang saja ke kota Madinah untuk menghindari pertumpahan darah. ‘fidak perlu Husain memberikan bai’at, tapi juga jangan menentang Yazid. Sebab wajah semulia Husain tidak layak ditumpahkan dan mandi bersimbahkan darah di hadapan Yazid al-mal’un. Tapi Husain menjawab ajakan Ibnu Umar dengan kata-katanya yang terkenal: . “Ya Ibnu Umar! Mereka tidak akan membiarkan aku begitu saja. Mereka akan tetap memaksaku membai’atnya atau membunuhku. Dengarkan baik-baik wahai hamba Allah! Di antara sebab mengapa dunia ini sangat hina di sisi Allah adalah sebuah tragedi dimana kepala Nabi Yahya bin Zakaria dipenggal oleh kaurnnya dan kemudian ia dijadikan sebagai hadiah yang diberikan kepada pemimpin mereka yang zalim. Padahal kepala itu berbicara kepada mereka dan menyempurnakan hujahnya di hadapan mereka semua. Wahai hamba Allah! Jangan engkau lari dari membelaku. Ingatlah aku di saat-saat shalatmu. Demi Allah yang telah membangkitkan datukku Muhammad sebagai Nabi yang bashiran wa nadzira, seandainya ayahmu Umar bin Khattab hidup di zaman ini, niscaya dia akan membelaku seperti dia membela datukku. Wahai putra Umar! Apabila engkau tidak bersedia keluar bersamaku dan berat bagimu ikut bersamaku, maka itu kumaafkan. Namun jangan lupa untuk mendoakan aku setelah shalat-shalatmu. Jauhi mereka dan jangan kau berikan bai’at kepada mereka sampailah segala perkara menjadi jelas.”

Selama Husain berada di Mekah, ratusan bahkan ribuan surat datang kepadanya dari arah Kufah, Bashrah dan sekitarnya memintanya segera datang ke sana untuk dijadikan sebagai Imam mereka dalam menumbangkan kezaliman Yazid.

“Innahu laisa ‘alaina Imam. Fa aqbil la’allaha an yajma ‘ana bika ‘alal haq”, (Kami tidak punya Imam. Datanglah ke mari. Mudah-mudahan Allah akan menyatukan kami denganmu di atas jalan kebenaran)” Begitu yang mereka tulis kepada Imam Husain.

Pada tanggal delapan Dzulhijjah tahun 60 H. Husain meninggalkan kota suci Mekah menuju Irak. Malam sebelumnya ia sempat berjumpa dengan saudaranya Muhammad bin al-Hanafiah. Saudaranya ini mengusulkan kepada Husain agar pergi saja ke tempat lain yang lebih amman, ke Yaman misalnya. Namun Husain meminta waktu untuk memikirkannya. Pada pagi harinya ketika ia berjumpa kembali dengan Husain, Muhammad al-Hanafiah menuntut janji jawaban Husain. Husain kemudian berkata, “Wahai saudaraku! Setelah kita berpisah tadi malam, aku berjumpa dengan datukku Muhammad saw. Katanya, “ya Husain ukhruj, fainnallaha qad syaa an yaraka qatilan” (ya Husain! Keluarlah, sebab Allah telah menghendaki melihatmu terbunuh (di jalan-Nya). “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…” Gumam Hanafiah.

Hari kesepuluh dari bulan Muharram tahun 61 Hijriah, adalah hari yang paling menyedihkan bagi keluarga Nabi saw. Betapa tidak. Di hari itu pasukan Husain yang berjumlah lebih kurang 78 orang telah dihadang oleh tak kurangdari 30,000 pasukan yang berkuda dan bersenjata lengkap untuk siap membantainya dan menawan putra-putrinya.Di sisi lain, air sungai Furat yang terbentang panjang dan menghidupi makhluk-makhluk padang Karbala, hatta anjing sekalipun, pada hari itu diharamkan bagi putra- putri Nabi yang suci ini.

Sejak pagi Asyura Imam Husain berupaya menyadarkan mereka untuk tidak memerangi keluarga Nabi ini. Dia berusaha maksimal untuk menghentikan petumpahan darah yang akan berakibat fatal bagi kehidupan mereka setelahnya. Sampai-sampai Husain berteriak lantang, “

“Ayyuhan nas! Dengarlah kata-kataku, dan jangan kalian terburu-buru ingin memerangiku hingga aku bisa memberi kalian nasehat yang mana kalian berhak untuk mendengarnya. Lihatlah siapa diriku dan diri
kalian. Sadarlah dan perhatikan baik-baik kedudukan aku di sisi kalian. Apakah kalian boleh membunuhku dan menginjak-injak keluargaku. Bukankah aku adalah putra dari putri Nabi kalian, dan putra washinya,
orang pertama yang beriman kepada Nabi-Nya? Bukankah Hamzah, penghulu para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far at-Thayyar, yang memiliki dua sayap di syurga kelak adalah pamanku? Bukankah kalian pernah mendengar sabda Nabi tentangku dan saudaraku Hasan bahwa dua putra ini adalah pemuka pemuda syurga?”
Kata-kata Husain tidak banyak mengusik hati mereka yang telah beku. Tapi Husain terus berupaya maksimal untuk menyentuh hari nurani mereka. Sampai beliau berkata secara emosional,
“Ayyuhan Nas, ama min mughitsin yughitsu ‘anna…, apakah masih ada orang yang mau membela kami keluarga Rasul. Apakah masih ada orang yang mau menolong kami sebagai keluarga Rasul? Apakah salah kami? Apakah dosa anak-anak dan wanita kami sehingga kalian haramkan mereka dari air Furat itu?
Kata-kata Husain terakhir tiba-tiba mengusik perasaan al-Hur bin Yazid ar-Riyahi, salah seorang dari pimpinan pasukan Umar bin Sa’ad. Sejenak ia mundur dan mencari tempat yang tepat, akhirnya ia menyebat kudanya untuk bergabung bersama Husain. Al-Hur dengan suara yang penuh sesal berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah masih ada kesempatan bagiku untuk bertaubat? Kumohon maafmu ya Husain, karena telah menakut-nakuti hati para kekasih Allah dan putra-putri Nabi Allah” “Na’am. Taballahu ‘alaika. Semoga Allah menerima taubatmu ya Hur. Kata Husain, “Anta hurrun kama waladatka ummuka hurra. Khawatir sahabat-sahabat lain menyusul Hur, tiba-tiba Umar bin Sa’ad, pimpinan pasukan musuh melesatkan anak panahnya ke arah Husain sebagai tanda dimulainya perang. Sambil berteriak Umar berkata: “Saksikan di hadapan Amir bahwa aku adalah orang pertama yang melemparkan anak panahnya kepada Husain.” Dan berikutnya ribuan anak panah dilesatkan ke arah Husain, keluarganya dan sahabat- sahabatnya.
Peperangan yang tidak seimbangpun berkobar. Sahabat Husain satu demi satu maju dan kemudian gugur, disusul pula oleh keluargnya. Orang pertama adalah putranya yang bemama Ali al-Akbar, seorang anak remaja yang mempunyai wajah yang betul-betul mirip dengan wajah datuknya Rasulullah saw.
Melihat putranya ini Husain terisak menangis. Dipeluknya erat-erat putra kesayangannya ini. Sambil mengangkat janggutnya yang telah memutih, Husain berdo’a, “ya Allah, saksikanlah betapa tega dan kejamnya kaum ini. Muncul di hadapan mereka seorang yang mempunyai wajah, sifat dan kata-kata yang sangat mirip dengan Rasul-Mu Muhammad. Bahkan ketika kami rindu kepada Rasul-Mu, kami akan memandangi wajah anak ini. Ya Allah, haramkan bagi mereka keberkahan perut bumi ini. Porak- porandakan mereka. Mereka telah mengundang kami dan berjanji untuk membela kami, tiba-tiba mereka jugalah yang memusuhi kami dan memerangi kami.”

Ali al-Akbar maju ke medan perang dengan sangat tangkas sehingga mengingatkan orang akan keperkasaan datuknya Ali bin Abi Thalib as. Riwayat berkata, setelah lebih dari seratus orang tewas di tangannya, Ali kembali ke kemah ayahnya dengan luka-luka yang cukup banyak. Dia berkata, “Ya abatah, (duhai ayahanda yang mulia), haus, haus. Rasa haus benar-benar telah mencekikku sehingga terasa benar beratnya besi ini.Adakah sedikit air yang bisa memberiku sedikit tenaga?’

Husain memeluk erat putra kesayangannya ini. Sebentar kemudian dia julurkan lidahnya yang suci ke mulut anaknya yang suci. “Demi Allah, lidah Husain sendiri lebih kering dari ranting-ranting yang kering hadapan yang ada di padang Karbala.” Husain berkata, “Sebentar lagi kau pasti akan berjumpa dengan datukmu Muhammad yang tengah menunggumu dengan segelas air dari telaga al-kautsar. Bersabarlah wahai putraku, bersabarlah…”

Ali al-Akbar kembali ke medan perang. Gerak- geriknya diperhatikan oleh ayahnya yang sudah mulai tua itu. Tak lama berselang, tiba-tiba Husain menyaksikan bagaimana anak yang masih muda ini ditikam oleh musuh-musuhnya dari berbagai arah. Ada yang memukul kepalanya, menusuk dadanya, menikam perutnya, bahkan ada yang melemparkan anak panahnya sehingga jatuh persis ke lehemya. Ali al-Akbar sempat berteriak memanggil-manggil ayahnya,” ya abatah (duhai ayah)’alaika minnis salam. Kini kusaksikan datukku Rasulullah saw, mengucapkan salam kepadamu dan memintamu agar segera datang menemuinya…” Husain mendatangi putranya ini sambil mengibas-ngibaskan pedangnya ke setiap orang yang menghalanginya. Husain memeluk wajah Akbar yang bersimbahkan darah suci. Husain berkata, “qatalallahu qauman qataluka ya bunayya…, semoga Allah membunuh suatu kaum yang telah membunuhmu wahau putraku. Alangkah beraninya mereka terhadap Allah; dan alangkah nekatnya mereka menganiaya keluarga Rasulullah Sungguh, wahai putraku, apalah artinya dunia ini bagiku setelah kepergianmu…”

Kini giliran Husain, tapi sebelum itu dia minta dibawakan bayinya Ali ar-Radhi’. Maksud Husain adalah ingin mencium dan memeluk sebagai pertemuan terakhirnya. Sambil memegang bayi yang tak berdosa ini, Husain terus berteriak:
Apakah masih ada orang bertauhid yang masih takut kepada Allah. Apakah masih ada orang yang mau
menolong kami. Apakah masih ada orang yang mau membela keluarga Rasulullah.
Tengah Husain memeluk dan ingin mengecup anak yang suci ini, tiba-tiba Harmalah bin Kahil melesatkan anak panahnya ke arah leher Ali ar-Radhi’. Demi Allah, anak panah itu menembus lehemya.
Pekikan suara Ali ar-Radhi’ sangat menyayat hati. Husain menggeleng-gelengkan kepalanya seperti tak percaya betapa kejamnya manusia-manusia durjana itu.

Kini Husain benar-benar sendirian. Seluruh keluarga dan sahabatnya gugur syahid satu persatu di hadapannya. Dia berdiri sendirian di kemahnya yang semakin kosong. la bergumam menyebut-nyebut kebesaran Asma’ Allah. Sekali- sekali Husain melihat kemah putri-putrinya, kemudian ia menatap kembali lautan musuh yang tengah menanti untuk menyergapnya. Akhimya Husein melangkahkan kakinya mendatangi kemah wanita untuk melihat putri-putri Fatimah az-Zahra’ as. Suara Husain kini tidak lagi lantang. Air matanya sudah terkuras habis. Dadanya sesak menahan napas panjang. Kerongkongannya kering dan panas. Dengan suaranya yang parau dan terbata- bata, dia memanggil satu persatu putri-putri Fatimah az-Zahra’:
” Assalamu alaiki ya Sakinah! Terimalah salamku wahai Sakinah.” ” Assalamu alaiki ya Fatimah! Terimalah salamku wahai Fatimah:’ ” Assalamu Alaiki ya Zainab! Terimalah salamku wahai Zainab.” ” Assalamu Alaiki ya Ummu Kalthum! Terimalah salamku wahai Ummu Kalthum.”

Sakinah yang kecil memeluk erat tubuh ayahnya yang kini kesendirian itu.
“Ya abatah. Ayah! Apakah salammu ini pertanda bahwa kau akan pergi meninggalkan kami? Apakah ini pertanda perpisahanmu dengan kami?” Husain merangkul putrinya yang mungil ini sambil berbisik:
” Wahai putriku Sakinah! Apakah mungkin maut tidak menjemput orang yang tidak ada pembela dan kesendirian ini. Bersabarlah putriku! Usaplah air matamu. Bersabarlah, kau akan lebih banyak lagi menangis setelah kematianku. Tolong jangan kau bakar hati ini sebelum ruhku meninggalkan badan ini. Kelak setelah aku gugur, menangislah putriku dan menangislah!” Husein memeluk satu persatu putri-putrinya yang tidak berdosa. Juga adik-adik wanitanya yang bersamanya di Karbala, Zainab dan Ummu Kaltsum. Kemudian dia datang memeluk Ali Zainal Abidin yang sedang berbaring lantaran sakit keras. Mas’udi dalam kitabnya Ithbat al-Washiyyah meriwayatkan, Husain kemudian berwasiat kepada putranya yang sedang sakit ini al-Ism al-A’zam dan peninggalan-peninggalan waris para Nabi. Kemudian Husain juga menyampaikan bahwa ia telah menitipkan ilmu-ilmu, kitab-kitab, mushaf-mushaf dan senjata warisan kepada Ummu Salamah r.a.

Usai pamit dengan keluarganya tercinta, Husain kemudian menunggang kudanya yang membawanya berhadapan dengan musuh-musuhnya yang berjumlah lebih dari tiga puluh ribu serdadu. Husain masih berupaya untuk menyadarkan mereka dan menyelamatkan mereka dari kesesatan. Husain masih tetap ingin meyempumakan hujjahnya kepada orang- orang yang sepertinya sudah ditutupkan oleh Allah hatinya. Tapi hati mereka tak bergeming.

Tiba-tiba Umar bin Sa’ ad berteriak:
“Celaka kalian! Tahukah kalian dengan siapa kalian berperang? Inilah putra singa orang-orang Arab. Inilah putra Ali bin Abi Thalib. Serang dia dari berbagai sisi.”
Perintah Umar bin Sa’ ad kemudian diikuti dengan lemparan empat ribu anak panah yang dilesatkan
untuk menembak Husain.

Dengan gagahnya Husain tetap berdiri kokoh, walaupun sebagian anak panah mengenai badannya yang mulia. “Kalian mengancamku dengan maut; kalian menakut-nakuti aku dengan anak panah. Demi Allah mati adalah lebih mulia ketimbang harus tunduk pada kezaliman. Syahid di jalan Allah lebih mulia ketimbang tunduk pada kehinaan. Husain berkata:
Mati lebih utama ketimbang melakukan keaiban dan lebih utama daripada masuk ke dalam api neraka akulah Husain putra Ali tidak pemah mundur dalam membela kebenaran. Kukan pertahankan keluarga ayahku. Kukan teruskan berjalan di atas agama sang Nabi.

Peperangan yang tak seimbang antara Husain dengan pasukan Umar bin Sa’ ad sudah tak terelakkan lagi. Tidak sedikit dari kalangan pasukan Ibnu Sa’ ad yang tewas di tangan Husain.

Dalam keadaan letih dan haus yang amat sangat, Husain kemudian duduk ingin sejenak beristirahat. Riwayat berkata, tiba-tiba Abul Hatuf membidikkan panahnya yang kemudian jatuh persis mengenai dahinya Husain. Dengan tangannya yang mulai putranya lemah, Husain berupaya mencabut anak panah itu perlahan-lahan. Dahi Husain yang sering digunakannya untuk bersimpuh sujud di hadapan al- Khaliq, kini menyemprotkan darah suci dan segar tentang pada pasir Karbala. Wajah Husain berubah merah. Janggutnya yang putih kemilau kini bermandikan darahnya yang segar. Husain berkata:
Ya Allah! Engkau saksikan sendiri apa yang dilakukan oleh hamba-hambaMu yang durhaka ini
terhadapku.
Ya Allah, hancurkan mereka, habisi mereka, dan jangan Kausisakan satupun dari mereka di atas muka bumi ini, dan jangan juga Kauampuni mereka.

Husain kemudian berdiri lagi meneruskan perlawanannya sampai kemudian dia merasa keletihan lagi. Sejenak ia beristirahat, tiba-tiba sebuah batu besar dilemparkan ke arah dahinya dan persis mengenai lukanya. Darahnya yang suci kini lebih banyak mengalir membasahi seluruh tubuhnya. Husain meringis kesakitan. Luka-luka yang mengenai tubuhnya membuatnya tak berdaya. Imam Husain kemudian mengangkat tangannya untuk mengambil ujung bajunya guna mengusap darah yang mengalir di dahinya. Tiba-tiba sebatang anak panah beracun yang bermata tiga dibidikkan persis ke arah dadanya. Dada Husain luka. Jantung Husain robek. Anak panah tembus sampai ke belakang Husain. Husain menundukkan kepalanya sambil memegahg-megang dadanya yang memancurkan darah segar Nabi yang mulia. Dengan suara yang terbatah-batah Husain berdo’ a:
Dengan Asma’ Allah
dengan bantuan Allah
dan di atas agama Rasulullah
Ilahi, Engkau Mahatahu bahwa mereka telah membunuh satu-satunya putra NabiMu yang masih ada di atas muka bumi ini.

Husain kemudian mencabut anak panah itu dari belakangnya, yang kemudian memuntahkan darah segar nan suci. Perawi berkata, Husain kemudian menampung darah-darahnya itu dengan kedua tangannya, lalu dilemparkan ke arah langit. Demi Allah! Tidak setetespun dari darah itu kemudian kembali ke bumi.
Kemudian Husain menampung lagi darah yang masih mengalir deras dengan kedua tangannya. Kemudian ia usap-usapkan ke wajahnya, janggutnya, dan tubuhnya sambil berkata:
Seperti inilah aku akan bertemu dengan datukku Rasulullah saw dalam keadaan badan ini bersimbah darah Kelak akan kukatakan kepadanya bahwa yang membunuhku adalah Fulan bin Fulan. Melihat Husain tergeletak lemah, Umar bin Sa’ ad berteriak, “Turun kalian dan penggallehemya…” Maka turunlah sebagian makhluk-makhluk durjana itu untuk menghina Husain. sebagian memukuli amamah atau sorban Husain sampai kepalanya luka; sebagian menusukkan pedangnya ke perut Husain; sebagian yang lain menyabetkan pedangnya ke punggung Husain. sedemikian buruk perlakuan mereka kepada Husain yang sudah jatuh lemah itu, sampai Imam Baqir as. berkata, “Hatta kepada anjingpun, mereka dilarang memperlakukannya seumpama itu. Husain telah ditusuk dengan pedang, dipukul dengan tombak, dilempar dengan batu, dipukul dengan kayu dan tongkat; bahkan dinjak- injak dengan kuda…”

Tidak sekedar itu. Jiwa iblis Umar bin Sa’ ad masih belum puas. Dendam Ibnu Ziyad terhadap Husain masih belum tuntas. Meskipun Husain kini telah tergeletak layu bersimbah darah, dalam keadaan badan nyaris tidak lagi bemyawa, mereka kobarkan api permusuhan sedalam-dalamnya terhadap Husain.

Umar bin Sa’ad memerintahkan orangnya untuk turun menghabisi Husain. Shimir dan Sinan bin Anas turun dari kudanya. Melihat mereka Husain masih terengah-engah meminta air. “Sungguh, aku haus, aku Husain haus!” Kata Husain. Syimir kemudian menendang dengan sepatunya yang keras. Dengan suaranya yang keras dia berkata, “Wahai putra Abu Turab! Bukankah engkau berkata bahwa ayahmu akan memberi air di telaga al-kautsar kepada orang yang dicintainya. Mintalah dari ayahmu…!” Syimir kemudian duduk di dada Husain. Dia pegang janggut Husain yang sudah bermandikan darah. Dengan senyum Husain berkata kepada Syimir, “Apakah engkau tidak kenal aku dan akan membunuhku?” Syimir menjawab, “Ya, Aku mengenalmu dengan baik. Ibumu Fatimah az-Zahra’; ayahmu Ali al-Murtadha, dan datukmu Muhammad al-Mustafa, pembelamu adalah Allah Ta’ala. Aku tidak perduli semua itu…”

Dalam sebuah riwayat, Syimir berusaha memenggal leher Husain dari arah depan. Namun dia gagal. Kemudian dia membalik Husain dengan sangat kasar dan menebaskan pedangnya dari arah belakang Husain…” setiap kali urat leher Husain terpotong, Husain berteriak, “Wa abatah, wa ummah, wa jaddah, wa ‘aliyyah (duhai ayah, duhai ibu az- Zahra’, duhai datukku Mustafa dan duha ayahku Ali…”

Riwayat berikutnya kemudian berkata,
“Mereka kemudian turun beramai-ramai dari kudanya untuk merampas setiap barang yang ada di tubuh Husain yang mulia. Bahar bin Ka’ab melucuti celana Husain; Akhnas bin Marthad menarik sorban. Husain; Aswad bin Khalid merampas sandal Husain; Umar bin Sa’ ad mengambil baju perang Husain; Jami’ bin al-Khalq merebut pedang Husain. Yang lebih tragis lagi, Bajdal bin Sulaim mengambil cincin Husain. Kata perawi, semula Bajdal mencoba keras menarik-narik cincin Husain. Tapi dia tidak berhasil. Kemudian dia mengambil jalan pintas. Dihunuskan pedangnya ke arah jari-jari Husain, dan … karena sepotong cincin, ia potong jari Husain.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…

Terkait Berita: