Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Al-Kafi. Show all posts
Showing posts with label Al-Kafi. Show all posts

Wahabi dan kelompok takfiri hakikatnya adalah musuh Ahlul Bait karena berusaha menghentikan laju dakwah Syiah

Wahabi dan kelompok takfiri hakikatnya adalah musuh Ahlul Bait. Mereka menggunakan semua kemampuan yang mereka punya, baik secara materi maupun fisik untuk menghentikan laju dakwah Syiah yang semakin tidak bisa terbendung belakangan ini.

Wasiat Imam Ali bagi Umat Islam

“Putraku Hasan! Engkau dan seluruh anakku serta seluruh yatim dan orang yang menerima pesan ini, aku memberikan wasiat kepada kalian: Bertakwalah kepada Allah Swt dan jangan melupakannya. Berusahalah mempertahankannya hingga kematian menjemputmu. Kalian seluruhnya bersama-sama bersandar pada tali Allah. Bersatulah dalam keimanan dan jangan bercerai-berai. RasulullahSaw bersabda, ‘Mendamaikan sesama manusia lebih utama dari shalat dan puasa tanpa henti. Dan sesuatu yang dikecam dan ditolak dalam agama adalah kerusakan dan perpecahan,”.


Penulis terkemuka Lebanon, Khalil Gibran berkata, “Ali bin Abi Thalib syahid dengan keagungannya.Ia meninggal ketika menunaikan shalat dan hatinya dipenuhi kecintaan kepada Tuhan.” Bahkan di akhir hayatnya pun Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib masih menyebarkan kebenaran ajaran Islam. Dalam wasiat yang disampaikan kepada putranya Imam Hasan, Imam Ali berkata,“Putraku Hasan! Engkau dan seluruh anakku serta seluruh yatim dan orang yang menerima pesan ini, aku memberikan wasiat kepada kalian: Bertakwalah kepada Allah Swt dan jangan melupakannya. Berusahalah mempertahankannya hingga kematian menjemputmu. Kalian seluruhnya bersama-sama bersandar pada tali Allah. Bersatulah dalam keimanan dan jangan bercerai-berai. RasulullahSaw bersabda, ‘Mendamaikan sesama manusia lebih utama dari shalat dan puasa tanpa henti. Dan sesuatu yang dikecam dan ditolak dalam agama adalah kerusakan dan perpecahan,”.

Terkait penafsiran dari wasiat Imam Ali ini, Ayatullah Makarim Shirazi menulis, “Sejak awal wasiat ini, Imam Ali menegaskan keutamaan bertakwa kepada Allah yang merupakan jalan keselamatan selamanya bagi manusia dalam perjalanan menuju akhirat, dan ukuran bagi keutamaan manusia di sisi Allah Swt. Kemudian, Imam Ali dalam wasiatnya menyinggung seluruh sistem keamanan sosial, ekonomi, politik dan ibadah serta urusan yang berkaitan dengan keluarga serta pendidikan dan pengajaran. Keabadiaan alam semesta ini ditentukan oleh sistem yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Setiap masyarakat yang tidak memilikinya, maka akan hancur dan setiap manusia yang memilih jalan di luar yang ditetapkan maka tidak akan sampai kepada tujuannya, meskipun memiliki potensi yang tinggi dan fasilitas yang besar.”

Berkaitan dengan wasiat Imam Ali bahwa mendamaikan sesama manusia lebih tinggi dari shalat dan puasa, hal ini menunjukkan perhatian besar Islam terhadap masalah kemanusiaan dan perdamaian. Islam sangat mengutamakan persatuan dan  membenci permusuhan. Terkait hal ini Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada seorang pun, setelah menjalankan kewajibannya, yang melakukan perbuatan lebih utama dari pada mendamaikan sesama manusia, “.

Kelanjutan pesan Imam Ali ini mengenai masalah penting seperti masalah sosial, ubudiyah serta akhlak, dan sebagiannya dimulai dengan penegasan kalimat “Allah, Allah” yang menunjukkan betapa pentingnya masalah tersebut. Imam Ali juga menegaskan perhatian terhadap yatim. Beliau bersabda, “Allah, Allah! Kalian harus memperhatikan hak yatim, jangan sampai mereka kelaparan dan terhina di hadapanmu.”

Agama Islam sangat menekankan perhatian terhadap hak yatim dan orang-orang yang tertindas dan membutuhkan pertolongan.Dalam kitab al-Kafi disebutkan, “Suatu hari seseorang memberikan hadiah madu dan buah tin kepada Imam Ali. Kemudian Amirul Mukminin memerintahkan anak-anak yatim hadir. Lalu beliau menyuapkan madu itu dengan jarinya kepada anak yatim itu satu persatu. Seseorang bertanya kepada Imam Ali, ‘Mengapa bukan mereka sendiri yang melakukannya?’. Imam Ali menjawab, “Ali adalah ayah anak-anak yatim. Aku menyuapkan madu ini kepada mereka seperti halnya para ayah menyuapi anak-anaknya.”

Mengenai dengan hak tetangga, Imam Ali dalam wasiatnya berkata, “Allah, Allah! Kalian harus berbuat baik kepada para tetangga.Sebab Rasulullah memerintahkan kita untuk bersikap baik terhadap mereka. Saking pentinya berbuat baik kepada tetangga, bahkan Rasulullah bersabda [seolah] kita saling mewarisi dengan para tetangga,”. Tetangga memiliki penghormatan tinggi dalam Islam, sebab agama Islam memiliki perhatian terhadap masalah sosial. Keluarga, kerabat, tetangga dan masyarakat, masing-masing memiliki kedudukan khusus dalam agama samawi ini.

Di bagian lain wasiatnya, Imam Ali berkata, “Allah, Allah. Kalian jangan melupakan hukum al-Quran, dan jangan sampai orang lain lebih dahulu menjalankannya dari pada kalian.” Terkait wasiat ini, Ayatullah Makarim Shirazi menulis, “Perkataan ini menegaskan bahwa kita jangan sampai hanya cukup dengan membaca al-Quran disertai tajwidnya saja dan melupakan isinya, sedangkan non-Muslim justru mengamalkan isinya. Misalnya mengenai jual beli di pasar, al-Quran memerintahkan untuk jujur dan amanah, tapi kalian melanggarnya. Mereka menuntut berbagai ilmu pengetahuan dan terorganisir mengikuti sistem yang berlaku, tapi kalian tidak memperdulikannya dan akan tertinggal,”. Amat disayangkan berbagai masalah tersebut justru menimpa umat Islam dewasa ini.

Mengenai shalat, Imam Ali dalam wasiatnya berkata, “Allah, Allah. Dirikanlah shalat, karena shalat merupakan tiang agama.”Shalat menjadikan manusia terhubungan dengan Allah dan mengingat-Nya. Shalat juga menghidupkan spirit takwa. Oleh karena itu, shalat menjauhkan manusia dari kerusakan dan kemunkaran. Untuk sebabnya shalat disebut sebagai tiang agama. Sebaliknya meninggalkan shalat  akan “melupakan Tuhan”, dan orang yang melupakan Tuhan cenderung mudah untuk melakukan dosa dan kemaksiatan.

Di bagian lain wasiatnya, Imam Ali juga menyinggung mengenai haji. Beliau berkata, “Allah, Allah!. Mengenai Kabah, baitullah, jangan sampai kalian meninggalkanya dan kesempatan tidak akan diberikan lagi, dan orang lain akan menggantikanmu.” Masalah ini bukan hanya memiliki dimensi ubudiyah semata tapi lebih luas dalam aspek sosial dan politik. Salah seorang perdana menteri Inggris di akhir abad 19 bernama William Gladstone berkata, “Kaum Muslim membaca al-Quran dan bertawaf di Baitullah. Nama Muhammad dikumandangkan setiap pagi dan sore oleh muadzin, maka Kristen menghadapi ancaman besar. Untuk itu kalian harus membakar al-Quran dan merusak Kabah serta menghapus nama Muhammad dari azan, “.Ucapan orang-orang yang memusuhi Islam seperti William Gladstone ini menunjukkan pentingnya al-Quran, shalat dan haji serta nama Nabi Muhammad Saw yang harus dijaga oleh umat Islam.

Imam Ali dalam wasiat lainnya berkata, “Allah, Allah! Kalian jangan mengabaikan jihad dengan harta, jiwa dan lisanmu di jalan Allah”. Maksud jihad dengan jiwa adalah maju ke medan perang demi membela Islam dan negara-negara Islam dari serangan musuh. Sedangkan jihad dengan harta adalah memberikan bantuan finansial untuk membantu pasukan Muslim, dan dalam konteks kekinian adalah penggunaan media massa. Tapi perlu diperhatikan bahwa penyalahgunaan kata jihad untuk menciptakan perpecahan di tengah umat Islam dan pembantaian terhadap Muslim maupun menunjukkan wajah buruk Islam seperti kejahatan anti-kemanusiaan yang dilakukan kelompok-kelompok takfiri seperti ISIS berbeda dengan makna Jihad sebenarnya dalam Islam.

Masalah ikatan persahabatan dan kasih sayang juga memiliki kedudukan khusus dalam Islam. Menurut Imam shadiq, ketika dua orang Muslim bermusuhan, maka setan bersuka cita, tapi ketika mereka berdamai, setan tidak berdaya. Di bagian lain wasiatnya, Imam Ali memberikan nasehat supaya umat Islam jangan  sampai meninggalkan Amr Maruf dan Nahi Munkar. Beliau berkata, “Amr maruf dan nahi Munkar jangan sampai ditinggalkan, sebab kejahatan akan menguasai kalian dan ketika berdoa tidak akan terkabul,”. Sejumlah riwayat menjelaskan bahwa salah satu penyebab doa tidak terkabul disebabkan mengabaikan Amr Maruf dan Nahi Munkar.

Di akhir kata, wasiat mulia Imam Ali bagi umat Islam ini menunjukkan hakikat keagungan beliau sebagai Amirul Mukminin. Harus diakui, jika wasiat Imam Ali ini dijalankan dengan baik oleh kaum Muslimin saat ini, maka umat Islam akan hidup mulia di dunia dan akhirat. Tapi amat disayangkan, wasiat yang diucapkan Imam Ali menjelang kesyahidannya itu tidak diperdulikan oleh umat Islam.Inna lillahi wa inna ilahi rajiun.


Ayatullah al-Uzhma Nuri Hamadani dalam pertemuannya dengan anggota Komite Penyiaran program siaran keagamaan dan dakwah stasiun TV Ahlul Bait As sabru pagi [3/1] di kantor pribadinya mengatakan, “Pekerjaan kalian betapa sangat mulia, penting dan insya Allah sangat bermanfaat bagi umat.”

Ulama marja taklid tersebut selanjutnya menambahkan, “Pemimpin keagamaan kita, yaitu para Maksumin As adalah pribadi-pribadi yang maksum, yang dengan itu setiap perkataan dan perbuatannya adalah hujjah bagi para pengikutnya. Yang itu mencakup dua dimensi, material dan spiritual. Dua dimensi ini dibagi lagi dalam 10 unsur yaitu: aqidah, ibadah, akhlak, masalah ekonomi, kebudayaan, kewarganegaraan, politik, masalah hukum, peradilan, dan masalah jihad atau pertahanan.”

“Pekerjaan kalian sangat luas cakupannya, ketika tema yang kalian bahas mengenai kehidupan Nabi Saw dan para Aimmah As, karena kehidupan para Maksumin As tersebut mencakup kesemua sisi yang dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupannya.” tambahnya lagi.

“Diantara tema penting yang harus lebih banyak mendapat perhatian dan program yang lebih dikedepankan adalah membangun semangat persatuan Islam. Sebab mempersatukan umat adalah diantara pekerjaan Nabi yang paling penting. Beliau menyatukan kaum Arab yang sebelumnya terjadi perang dan saling bantai antar kabilah. Demikian pula setiap langkah dari Ahlul Bait adalah dalam rangka mewujudkan umat yang penuh kedamaian. Imam Shadiq As diriwayatkan senantiasa memberikan bantuan kepada kaum fakir, meskipun ia bukan syiah dan pengikut Ahlul Bait As.” lanjut ulama besar Iran ini.

Ayatullah al-Uzhma Nuri Hamadni kembai melanjutkan, “Tema yang berkenaan dengan Ahlul Bait tidak ada habis-habisnya, bisa digali dari Al-Qur’an, Nahjul Balaghah dan Sahifah Sajjadiyah. Meskipun ini memiliki tema yang sangat luas dan beragam, bukan berarti mudah untuk dilakukan. Kalian harus tetap mampu menampilkan tayangan yang sebaik mungkin, dan menggunakan riwayat-riwayat dan penukilan yang paling valid dan diterima secara masyhur dikalangan ulama dan sejarahwan.”

“Pasca Revolusi Islam Iran, pihak musuh senantiasa berupaya keras untuk memadamkan semangat kebangkitan itu. Termasuk mencegahnya agar tidak menular dan mempengaruhi Negara-negara lain. Saya mendapat kabar, 30 warga Syiah Mesir, ditangkap oleh pemerintah dengan alasan, pergi ke Karbala pada saat Arbain tahun ini secara illegal.” lanjutnya.

“Inilah diantara upaya mereka, yang menunjukkan betapa mereka khawatir dengan ajaran Ahlul Bait. Wahabi dan kelompok takfiri hakikatnya adalah musuh Ahlul Bait. Mereka menggunakan semua kemampuan yang mereka punya, baik secara materi maupun fisik untuk menghentikan laju dakwah Syiah yang semakin tidak bisa terbendung belakangan ini. Mereka tidak hanya melakukan agresi secara militer namun juga perang pemikiran, dan tugas kalianlah diantaranya memberikan pemahaman dan pengenalan yang sesungguhnya kepada masyarakat luas akan konspirasi ini. Semoga yang kalian lakukan, selalu meningkat dalam keadaan yang lebih baik.” pesannya.


“Takfiri merupakan sebuah musibah dan penyakit yang muncul dalam masyarakat Islam. Jadi sebagaimana penyakit pada umumnya, maka takfiri juga membutuhkan penyembuhan termasuk pencegahan.”

Ayatullah Ja’far Subhani dalam mejelis penutupan Kongres Gerakan Ekstremisme dan Takfiri Dalam Pandangan Ulama Islam berkata, “Sebagian karya ditulis untuk mendukung kemunculan Takfiri. Kita juga mendengar ucapan mereka yang semua ini cenderung ke arah Takfiri, yang mana para hadirin yang terhormati melalui forum ini telah menyampaikan pengecaman dan mengutuknya. Masing-masing percaya bahwa Allah Swt tidak ridha dengan apa yang mereka lakukan. Para ulama fikih Islam juga mempunyai bukti tentang adanya konspiarsi ini. Mereka meyakini, bahwa melalui pengadilan syariat saja seseorang dapat diklasifikasikan dan divonis kafir.”

Setelah itu beliau menyampaikan sambutan dalam bahasa Arab dengan menyatakan masalah Takfiri merupakan sebuah urusan yang dikecam sepenuhnya dalam Islam dan tidak mendapatkan tempat dan hujjah oleh nash-nash syariat, “Takfiri merupakan sebuah musibah dan penyakit yang muncul dalam masyarakat Islam. Jadi sebagaimana penyakit pada umumnya, maka takfiri juga membutuhkan penyembuhan termasuk pencegahan.”

Ayatullah Subhani kemudian menceritakan beberapa perkara penting sebagai jalan penyelesaian krisis Takfiri yaitu tidak cukup dengan hanya menulis artikel dan mengeluarkan fatwa, “Kita perlu menyediakan langkah-langkah strategis untuk mencabut akar persoalan ini; oleh karena itu, diusulkan untuk membuat membuat rencana-rencana alternatif untuk menghadapi gerakan takfiri.”

Beliau juga menganggap tindakan menyadarkan masyarakat di negara-negara Islam melalui media dan minbar-minbar masjid tentang bahaya gerakan dan pemahaman Takfiri merupakan langkah strategis yang cukup mampan demi menghadapi masalah Takfiri, “Sekiranya terdapat kemungkaran dalam masyarakat, maka kita perlu berdiri menghadapinya. Hari ini pengkafiran atas ahli kiblat yang juga menunaikan ibadah shalat dan haji terkategori sebagai kemungkaran yang paling besar. Bahkan lebih dari itu, dengan dalih kafir, mereka berlaku kejam atas saudara seagama. Mereka membantai dan bertindak dengan tidak berprikemanusiaan. Ini disebabkan kesalah pahaman atas nash-nash agama, yang justru memberi keuntungan kepada pihak musuh.”

Ulama besar yang juga marja taklid terkenal di kota Qom ini kembali berkata, memperkenalkan ajaran Islam yang sebenarnya adalah langkah strategis kedua, yaitu Islam yang ramah dan pemberi rahmat sesuai dengan tuntunan Nabi Saw. “Ajaran Islam yang sesungguhnya adalah menyeru kepada ajakan yang memanusiakan manusia, untuk lebih mengutamakan persaudaraan dan keharmonisan antara kalangan masyarakat Islam.Anjuran untuk saling memuliakan bukan hanya untuk sesama muslim, namun juga untuk penganut agama lain. Berdasarkan ajaran Islam ini, maka secara tegas dikatakan, darah umat Islam haram hukumnya untuk ditumpahkan. Namun takfiri dan gerakannya telah menodai ajaran Islam ini, dengan menggunakan simbol-simbol Islam mereka memperkenalkan kemasyarakat dunia bahwa Islam adalah ajaran teror dan penuh kekerasan.”

Ayatullah Subhani turut menerangkan beberapa langkah efektif lain dalam menangani kemelut yang diciptakan kelompok takfiri, “Demi merealisasikan misi tersebut, pertemuan-pertemuan seperti ini perlu diteruskan dan digalakkan. Pertemuan yang dilakukan hendaklah lahir dari keinginan dan tekad kuat bersama untuk menyelesaikan persoalan ini. Sehingga yang hadir di pertemuan seperti ini, ketika kembali ketengah-tengah masyarakatnya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Umat Islam tidak boleh dibiarkan lalai dari persoalan, mereka tidak boleh dibiarkan buta dengan kondisi dunia Islam hari ini. Ulama-ulama Islamlah yang paling bertanggungjawab untuk mengakhiri episode tragis umat Islam.”

Mengenai langkah strategis keempat, Ayatullah Subhani berkata, “”Tidak diragukan lagi, di kalangan umat Islam ada perbedaan pandangan dalam bidang fikih termasuk sejumah entri dari bahasan akidah, dan masing-masing pandangan memiliki hujjah yang kuat. Namun sekiranya kita ingin mengenali sebuah mazhab, hendaklah kita melihat sumber-sumber asli yang dipegang mazhab tersebut yaitu berdasarkan apa yang dijelaskan oleh ulamanya. Salah satu argumen yang menjadi jurang pemisah adalah kita tidak melihat sumber asli mazhab tersebut dan bagaimana ulama yang paling berwenang dalam hal tersebut menjelaskannya.”

“Langkah selanjutnya, adalah membersihkan silabus materi pelajaran Islam disekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan yang mengandung unsur-unsur pemahaman takfiri, seperti pandangan yang menyebutkan bertawassul kepada para Nabi hukumnya syirik, berziarah kubur haram hukumnya dan sebagainya. Tidak dapat dipungkiri, materi Islam yang diajarkan sekolah memberikan pengaruh besar terhadap generasi muda Islam. Kita tidak bisa pungkiri, adanya peran agen-agen Barat dalam penyusunan materi-materi kurikulum pelajaran Islam di sekolah-sekolah. Dan ini harus mendapatkan langkah antisipasi yang sifatnya segera dan mendesak.” tambahnya lagi.
Ayatullah Subhani menambahkan, “Akar dari pemahaman takfiri adalah kesalahan dalam memaknai kufir, tauhid, syirik dan bid’ah. Ini yang harus diluruskan.”

Di ujung penyampaiannya, Ayatullah Ja’far Subhani berkata, “Hal yang sangat mengherankan adalah sikap Barat yang bermuka dua. Disatu sisi mereka mengecam aksi terorisme dan menyebutnya sebagai aksi yang menciderai Islam, namun disaat yang sama mereka memberikan dukungan bahkan membiayai gerakan-gerakan terorisme di Negara-negara lain.”

“Kepada Allah Swt jualah akhirnya kita memohon agar para hadirin dalam konferensi ini senantiasa mendapatkan kesehatan dan keselamatan sehingga dapat menjalankan amanah-amanah dari pertemuan ini.” tutupnya.

Konferensi Internasional Gerakan Ekstremisme Dan Takfiri dalam Pandangan Ulama Islam telah terselenggara selama dua hari di kota Qom pada 23 dan 24 November lalu yang diprakarsai Ayatullah Makarim Syirazi dan Ayatullah Ja’far Subhani dengan kerjasama  Majma’ Jahani Ahlul Bait, Jamiatul Mustafa al-Alamiyah dan lembaga-lembaga Islam lainnya dengan tujuan membincangkan akar krisis Takfiri serta mencari jalan penyelesaiannya. Konferensi ini setidaknya dihadiri kurang lebih 350 ulama Sunni dan Syiah yang mewakili 80 negara.

Mengapa Imam Mahdi af tidak segera muncul?


Oleh: Ja’far Subhani

Rencana Imam Mahdi af jauh berbeda dengan rencana para nabi as, rencana beliau bukan perundang-undangan, melainkan rencana yang sepenuhnya operasional untuk seluruh dunia. Dengan kata lain, misi beliau adalah menerapkan seluruh pokok ajaran Islam di dunia dan menyebarkan keadilan serta hakikat kebenaran di tengah umat manusia. Terang saja pelaksanaan rencana revolusi global yang menyebarkan prinsip-prinsip keadilan dan hakikat kebenaran untuk seluruh umat manusia ini menuntut sarana, prasarana dan kondisi tertentu, dimana semua itu tidak mungkin terpenuhi kecuali setelah waktu yang cukup lama dan tercapainya kesempurnaan-kesempurnaan tertentu pada seluruh aspek kehidupan sosial manusia. Antara lain yang harus terpenuhi adalah:

1. Kesiapan Ruh
Pada tahap awal, masyarakat dunia harus betul-betul haus dan siap untuk menerapkan prinsip-prinsip itu, selama belum ada permintaan global maka penawaran dan pemaparan program material dan spiritual apa pun tidaklah efektif. Asas permintaan dan penawaran tidak hanya berlaku dalam sistem kehidupan ekonomi, tapi berlaku juga pada penawaran rencana¬rencana spiritual, prinsip-prinsip moral, ideologi politik dan revolusioner, maka selama di dalam kalbu masyarakat yang paling dalam belum ada permintaan untuk itu maka penawaran dan pemaparannya secara luas akan berujung pada kekalahan dan tidak efektif.
Imam Muhammad Baqir as berkata, ‘Pada hari Al Qaim dari keluarga suci Nabi Muhammad Saw bangkit, Allah Swt meletakkan tangan-Nya di atas kepala hamba-hamba-Nya, dengan demikian akal-akal mereka terpadu dan perasaan mereka menjadi sempuma.’[1]

Terang saja laju zaman, kekalahan undang-undang materialis, kebuntuan-kebuntuan global, dan keterdesakan umat manusia sampai pada bibir jurang peperangan membuat masyarakat dunia terhimpit dan sadar akan kenyataan bahwa prinsip-prinsip dan undang-undang materialis serta organisasi-organisasi internasional bukan saja tidak mampu menyelesaikan berbagai kendala kehidupan mereka dan menegakkan keadilan. Lebih dari itu, keterhimpitan dan keputusasaan ini mempersiapkan masyarakat dunia untuk menerima sebuah revolusi yang fundamental. Tentu kita sadar bahwa hal ini butuh waktu panjang, sehingga pengalaman-pengalaman pahit kehidupan akan membuktikan kegagalan seluruh sistem materialis dan organisasi-organisasi manusia dalam menerapkan prinsip-prinsip keadilan, menegakkan kebenaran, dan menjamin keamanan serta kesejahteraan. Pada akhirnya, akibat keputusasaan yang mendalam muncullah permintaan dari masyarakat dunia untuk merealisasikan nilai-nilai Ilahi dan dengan demikian, terpenuhilah seluruh hal yang diperlukan untuk sebuah revolusi global dengan kepempimpinan manusia yang Ilahi.[2]

2. Kesempumaan Ilmu dan Budaya Manusia
Di sisi lain, untuk mendirikan pemerintahan global atas dasar keadilan sangat diperlukan berbagai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan budaya sosial manusia. Dan tentu saja ini juga tidak akan tercapai dalam waktu singkat dan tanpa kemajuan intelektual.
Pemerintahan global, yang menegakkan keadilan dan undang-undang di seluruh dunia sehingga setiap orang mendapatkan hak-hak individual dan sosialnya, tidak mungkin didirikan tanpa adanya budaya yang maju dan sempurna di setiap aspek kehidupan manusia. Dan ini juga butuh waktu untuk tercapai.

3. Kemajuan Media Komunikasi Massa
Pemerintahan yang seperti itu juga tidak bisa ditegakkan tanpa media komunikasi massa yang maju, karena hanya dengan media yang maju undang-undang dan prinsip-prinsip insani dapat diumumkan dalam waktu singkat ke seluruh masyarakat dunia, dan ini tidak mungkin dilakukan tanpa kemajuan industri dalam kurun waktu yang relatif lama.

4. Pembinaan Sumber Daya Manusia
Di samping itu semua, tujuan besar dan revolusi global tersebut membutuhkan sumber daya manusia yang aktif dan produktif, merekalah yang sebenamya akan menjadi pasukan revolusi global. Pembinaan bala tentara dan sumber daya manusia yang bersih serta rela mengorbankan segala sesuatu demi tujuan besar itu tentu saja butuh waktu yang lama.

Bila di dalam hadis-hadis kita membaca bahwa filosofi kepanjangan masa gaib Imam Mahdi af adalah cobaan terhadap umat manusia, mungkin maksudnya adalah sumber daya manusia ini. Sebab, cobaan menurut logika Islam bukan berarti cobaan-cobaan yang biasa atau penyingkapan hal-hal yang tersembunyi, melainkan maksudnya adalah pembinaan ruh atau mental-mental suci serta pelatihan yang maksimal.
Empat hal ini membutuhkan waktu yang relatif panjang sehingga dari berbagai sisi dunia sudah mengalami kemajuan dan masyarakat sudah mempunyai kesiapan mental, ruh dan intelektual untuk menerima pemerintahan global berdasarkan hak dan keadilan. Ketika itulah rencana besar di atas akan dilaksanakan oleh Imam Mahdi af dengan sarana dan prasarananya yang khas. Inilah sekelumit dari filosofi gaibnya beliau.

Referensi:
[1] Al-Kafi, jld. 1, hal. 25, kitab Al-‘Aql, hadis no. 21.
[2] Salah satu tanda kebangkitan Imam Mahdi af yang disepakati oleh hadis-hadis Islam adalah kezaliman telah memenuhi seluruh kehidupan umat manusia sehingga keputusasaan mendominasi mereka semua. Dan pada hakikatnya, begitu kuatnya tekanan kezaliman itu sehingga secara mental umat manusia mengharapkan terjadinya revolusi baru yang dalam dan mendasar serta dipimpin oleh manusia Ilahi.

Imam Hasan al Mujtaba As


Hasan bin Ali bin Abi Thalib (Bahasa Arab: الحسن بن علي بن أبي طالب )adalah Imam kedua Syiah putra dari Imam Ali As dan Fatimah binti Muhammad Sa, dan dikenal sebagai sosok manusia suci yang ke empat yang di usianya yang ke 37 tahun telah mencapai derajat Imamah dan khilafah bagi kaum Muslimin. Pada tahun 41 H beliau melakukan perdamaian dengan Muawiyah. Masa kekhilafahan beliau sekitar 6 bulan 3 hari. Setelah melakukan perdamaian beliau hijrah ke Madinah dan menetap di kota kelahirannya tersebut selama kurang lebih 10 tahun hingga akhirnya beliau mencapai kesyahidannya [1] dan dimakamkan di Pemakaman Baqi di kota Madinah.

Dua tugas berat yang diemban Imam Hasan As yaitu Imamah dan Khalifah menunjukkan peran penting beliau dalam menjaga keutuhan dan persatuan dalam tubuh kaum muslimin dan mencegah dari perselisihan dan perpecahan, kemudian beliau mengeluarkan keputusan untuk melakukan perdamaian dengan Muawiyah. Hal tersebut memberikan gambaran seutuhnya mengenai kepribadian beliau yang memiliki karakter tegar dan lebih mengutamakan toleransi dan persaudaraan kaum muslimin. Perdamaian yang dilakukannya dengan Muawiyah di masa kekhalifahannya, menjadi keputusan paling penting dalam hidupnya bahkan dikenang sebagai kebijakan yang paling berpengaruh dalam sejarahIslam dan kaum muslimin, khususnya dalam terwujudnya persatuan dan tersebarnya pelajaran agama dan akhlak yang memberikan keteladanan utama bagi umat Syiah, tentang bagaimana bertindak dan mengambil keputusan ketika terjadi perbedaan pendapat, juga hal-hal berkenaan dengan perdamaian dan peperangan. [2]

Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Imam kedua umat Islam Syiah dan putra pertama Imam Ali As, dikenal dengan sebutan Imam Hasan As. Ibu beliau adalah Sayidah Fatimah al-Zahra As putri kesayangan Nabi Muhammad Saw. [3]Panggilan beliau adalah Abu Muhammad. Dengan lakab gelar yang paling masyhur dari beliau adalah al-Taqi. Selain itu beliau juga memiliki lakab yang lain, seperti al-Tayyib, al-Zaki, al-Sayid dan al-Sibth. Sedang Nabi Muhammad Saw sendiri menlakabi beliau dengan al-Sayid. [4]

Kelahiran dan Kehidupannya
Imam Hasan As lahir di kota Madinah pada malam atau siang dari pertengahan bulan Ramadhan tahun ketiga Hijriah [5]. Sementara Syaikh Kulaini dalam kitabnya al Kafi menukilkan riwayat bahwa Imam Hasan as lahir pada tahun kedua Hijriah [6] Ia wafat pada usia 48 tahun pada tahun ke 50 H [7]Tabarsi menukilkan wafatnya pada tanggal 28 Safar. [8]

Yang Memberikan Nama
Mengenai nama Imam Hasan As, diceritakan dimasa kelahirannya, Allah Swt berfirman kepada malaikat Jibril As untuk memerintahkan Nabi Muhammad Saw menemui puteranya yang baru lahir dan menyampaikan salam kepadanya dan mengucapkan selamat dan menyampaikan kepadanya, "Sesungguhnya posisi Ali di sisimu seperti Harun di sisi Musa, karenanya berilah nama putera Ali sebagaimana nama putera Harun." Malaikat Jibrilpun menyampaikan apa yang telah diperintahkan Allah Swt untuk disampaikan kepada nabi Muhammad Saw. Setelah mengucapkan salam dan selamat sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT, malaikat Jibril berkata, "Allah SWT menghendaki kamu memberikan nama putera Ali sebagaimana nama putera Harun." Nabi Muhammad Saw bertanya, "Nama putera Harun siapa?" Malaikat Jibril As menjawab, "Sabbar". Nabi Muhammad Saw kembali bertanya, "Dalam bahasa Arabnya apa?" Malaikat Jibril as berkata, "Berikan namanya Hasan." Dengan perintah itu, Nabi Muhammad Saw memberikan nama cucunya al-Hasan. [9]

Istri-Istri dan Keturunannya
Imam Hasan As: Puncak dari kecerdasan akal adalah akhlak yang baik kepada sesama manusia. Dan dengan akal dunia dan akhirat dapat diraih. Barang siapa yang tidak memanfaatkan akalnya, maka dunia dan akhiratpun tidak bermanfaat baginya. [Nahjul Sa'adah fi Mustarak Nahjul Balaghah, jilid 7 hal. 366]
Anak-anak kandung Imam Hasan As berjumlah 15 orang. 8 laki-laki dan 7 lainnya perempuan.
Zaid dan dua saudara perempuannya Ummul Hasan dan Ummul Husain dari istri beliau yang bernama Ummi Bashir putri *Ibnu Mas'ud ‘Aqabah bin Amru.
Hasan bin Hasan dari istri beliau yang bernama Khaulah binti Mandhur Fazari.
Amru dan dua saudara laki-lakinya Qasim dan Abdullah. Ibunya adalah seorang budak.
Abdurrahman. Ibunya juga dari seorang budak.
Husain dan saudara laki-lakinya Talhah dan saudara perempuannya Fatimah. Ibu mereka bernama Ummu Ishak binti *Talhah bin ‘Ubaidillah Taimi.
Putri-putri beliau, Ummu Abdullah, Fatimah, Ummu Salamah dan Ruqayyah dari istri-istri yang berbeda. [10]

Dari berbagai sumber-sumber yang ada, pernikahan ataupun perceraian yang dilakukan Imam Hasan As, baik dari sisi jumlah sekalipun, terdapat perbedaan pendapat. Hal tersebut bersumber dari adanya periwayatan yang berbeda-beda, yang kesemua itu tidak mungkin untuk dilakukan penerimaan begitu saja, dan juga tidak memungkinkan untuk ditolak dan pada dasarnya juga tidak menambah ataupun mengurangi nilai sejarah. Pada dasarnya kesemua perbedaan periwayatan tersebut bersumber dari berbagai aspek khususnya disebabkan oleh isu-isu sektarian dan politik. Para peneliti dan ulama dalam penjelasan mereka mengenai riwayat-riwayat yang beraneka ragam tersebut hanya sekedar menunjukkan sebagian dari kesalahan pada sanad ataupun mengenai muatan riwayat. [11]Khususnya harus dapat diterima, apa yang telah disampaikan oleh riwayat-riwayat yang ada sangat kabur dan tanpa catatan mengenai kesemua nama-nama istri Imam Hasan As.

Dari kesemua itu hanya nama Ja'dah binti Asy'at bin Qais yang sesuai dengan riwayat yang ada, yang disebutkan sebagai pelaku dari keracunan yang dialami Imam Hasan as yang kemudian merenggut nyawanya yang riwayatnya dapat diterima dan diakui. Meskipun terdapat kesimpang siuran dari riwayat-riwayat yang berkenaan dengan nama-nama istri Imam Hasan as namun mengenai keturunan Imam Hasan as terdapat kesepakatan bersama yang kemudian dengan dasar tersebut nama dari ibu-ibu mereka pun dapat dikenali, misalnya Khaulah binti Mandzhur bin Zabban Farazi. Ummu Bashir binti ‘Uqabah bin Amru Khazaraji, Ummu Ishak binti Talhah bin ‘Ubaidillah at Tamimi, Hafsah cucu Abu Bakar dan Hindun bin Sahil bin Amru. [12]

Kehidupannya di Sisi Rasulullah Saw
Baraa menukilkan, "Saya melihat Nabi Muhammad Saw bersama dengan Hasan bin Ali yang berada diatas pangkuannya dan dalam keadaan demikian beliau berkata, Ya Allah aku mencintainya, maka berikan juga kecintaanMu terhadapnya."[13] Dalam hadits yang lain dinukilkan bahwa Nabi Muhammad dalam keadaan bersama dengan Hasan dan Husain yang duduk diatas pangkuannya dan berkata, "Ini adalah kedua putraku dan putra dari putriku. Ya Allah, aku mencintai keduanya, maka berikan juga kecintaanMu kepada keduanya dan cintai pula siapa saja yang mencintai keduanya." [14]

Nabi Muhammad Saw dalam hadits yang lain mengenai Imam Hasan As dan Imam Husain As bersabda, "Hasan dan Husain adalah penghulu pemuda di surga." [15]"Kedua puteraku ini adalah dua bunga wangiku di dunia." [16]"Hasan dan Husain (atau kedua puteraku ini [17]adalah Imam, yang memimpin revolusi atau yang menciptakan perdamaian." [18] "Jika akal seorang laki-laki terwujud sebagai manusia, maka dia adalah al Hasan." [19]

Kehidupannya di Masa Kekhalifahan
Suatu hari Imam Hasan di masa kecilnya menemui Abu Bakar yang saat itu sedang berkhutbah di atas mimbar. Beliau mengajukan protes kepada Abu Bakar sembari berkata, "Turunlah dari atas mimbar ayahku." Abu Bakarpun menanggapi pernyataan tersebut dengnan mengatakan, "Demi Allah, benarlah apa yang kamu katakan itu. Ini adalah mimbar ayahmu, bukan mimbarku." [20] Imam Hasan dan Imam Husain pada saat perang menginvasi kerajaan Persia, keduanya tidak bergabung dalam laskar militer kaum muslimin.[21]Meskipun sebagian dari riwayat menyebutkan kehadiran Imam Hasan as di sejumlah peperangan. [22]

Disaat masa transisi dari pemerintahan Khalifah Umar kepada pemerintahan khalifah selanjutnya dan terbentuknya Dewan Syura yang kemudian menghasilkan keputusan yang menetapkan Utsman sebagai Khalifah selanjutnya, atas permintaan Umar bin Khattab, Imam Hasan as termasuk diantara enam orang yang dijadikan saksi dalam Dewan Syura yang terbentuk tersebut. Hal tersebut menunjukkan bukti betapa penting peran dan luasnya pengaruh beliau, sekaligus mengisyaratkan bahwa beliau bukan hanya diakui sebagai salah satu anggota dari Ahlul Bait Nabi Saw namun juga diakui sebagai tokoh berpengaruh yang memiliki peran sosial penting ditengah-tengah kaum Anshar dan Muhajirin. [23]

Sewaktu Utsman mengasingkan Abu Dzar al Ghiffari ke Rabadzhah dan menetapkan pelarangan untuk tidak seorang pun menemani dan berbicara dengannya, dan meminta kepada Marwan bin Hakam mengeluarkannya dari kota Madinah. Sewaktu Abu Dzar akhirnya dalam keadaan terusir keluar dari kota Madinah, tidak seorangpun yang berani untuk berbicara dan menemuinya, kecuali oleh Imam Ali as beserta saudaranya Aqil dan kedua putranya Hasan dan Husain serta Amar bin Yasir yang bahkan sampai mengawal kepergian Abu Dzar meninggalkan kota Madinah. [24]

Disaat terjadi kerusuhan, dengan adanya aksi pengepungan sejumlah pemberontak yang hendak membunuh khalifah Utsman bin Affan, sebagian catatan sejarah menyebutkan tindakan Imam Ali as untuk menjaga Islam adalah menjaga keselamatan khalifah. Beliau mengutus kedua puteranya Hasan dan Husain menuju rumah Utsman untuk menjamin keselamatannya. Sayang, situasi saat itu sangat sulit, dan pembunuhan terhadap khalifah Utsman tidak bisa dicegah. Disebutkan terjadi banyak perbedaan periwayatan dari berbagai sumber mengenai hal detail dari peristiwa pembunuhan tersebut. [25]

Imam Di Masa KeImamahan Imam Ali As
Imam Hasan As dan Imam Husain As bergabung dalam peperangan yang dipimpin oleh ayahnya, yaitu dalam perang Jamal, Shiffin dan perang Nahrawan. 26. [26]

Di Perang Jamal
Sewaktu Abu Musa al Asy'ari panglima perang Kufah yang diutus oleh Imam Ali As untuk menghadapi kaum pemberontak melakukan pembangkangan, Imam Ali as mengutus puteranya sendiri Imam Hasan bersama dengan Ammar bin Yasir dan sebuah surat ke Kufah. Dengan pidato yang disampaikannya di Masjid Kufah, beliau mampu mengumpulkan 10000 pasukan yang ikut serta bersamanya ke medan perang. [27]

Imam Hasan menyampaikan pidatonya sebelum terjadi perang [28]dan Amirul Mukminin mengutus beliau dalam perang tersebut untuk bersiaga di Maimanah [bagian kanan] dari pasukan perang. [29] Sebagian sejarahwan menyebutkan dalam perang tersebut, Imam Ali as berkata kepada Hanafiah, "Ambillah tombak ini, dan bunuhlah unta itu [yang dimaksud adalah unta yang dikendarai Aisyah yang dalam menghadapinya telah banyak menelan korban]". Muhammadpun pergi namun kembali dalam keadaan luka parah akibat terjangan panah disekujur tubuhnya. Setelah itu, Hasan mengambil tombak itu dan selanjutnya berhasil membunuh unta Aisyah. [30]

Imam Pada Perang Shiffin
Pada perang Shiffin, di tengah kecamuk menghadapi musuh-musuhnya, Imam Ali As tidak melepaskan perhatian dari kedua putranya yang turut berperang. Dalam menjaga keselamatan nyawa Hasan dan saudaranya Husain, Imam Ali As meminta keduanya untuk berada dibelakangnya. Imam Ali As berkata, "Ditengah kecamuk perang saya mengkhawatirkan keselamatan kedua puteraku, karena saya tidak mengingkankan keturunan Rasulullah Saw terputus." [31] Dalam perang, sewaktu Muawiyah melihat Imam Hasan As, ia memerintahkan kepada Ubaidillah bin Umar -putera bungsu khalifah kedua- memasuki medan perang dan menemui Imam Hasan As. Ubaidillahpun mendekati Imam Hasan yang sedang sibuk menghadapi musuh-musuhnya, dan berkata kepadanya, "Saya ada urusan denganmu." Imam Hasanpun mendekatinya. Ubaidillahpun menyampaikan pesan Muawiyah yang mengajaknya bergabung. Imam Hasan As dengan suara meninggi berkata, "Aku akan melihat, kau akan terbunuh hari ini atau besok. Namun syaitan telah menipumu dan memperindah perbuatan ini di matamu sampai akhirnya perempuan-perempuan Syam akan mengambil jenazahmu. Allah SWT akan mempercepat kematianmu dan kau akan berkalang tanah." Mendengar jawaban tegas tersebut, Ubaidillah kembali keperkemahan dan ketika Muawiyah melihat keadaannya, ia langsung menanggapinya dengan berkata, "Anak laki-laki itu adalah juga ayahnya." [32]

Imam Ali As untuk mencegah terjadinya fitnah dan perpecahan pasca pemerintahannya, ia secara terang-terangan mengingatkan masyarakat akan bahayanya, melalui pidato-pidato yang disampaikannya secara terbuka dengan penjelasan dalil dan argumentasi yang jelas. Hal demikian juga dilakukan oleh Imam Hasan As.[33] Surat ke-31 Imam Ali As yang terdokumentasikan dalam kitab Nahjul Balaghah berisikan surat wasiat yang penuh dengan pesan-pesan akhlak Imam Ali As kepada puteranya, Imam Hasan As. Surat tersebut disampaikan sewaktu Imam Hasan As dalam perjalanan pulang dari Shiffin disebuah tempat yang disebut Hadhirin.
"Ketakwaan adalah puncak dari keridhaan Ilahi, awal dari semua pertobatan, puncak dari segala hikmah dan kemuliaan dari setiap perbuatan." Imam Hasan Al-Mujtaba As
Tuhaf al-‘Uqul, hlm. 232.

Dalil-dalil KeImamahan
Hadits yang berbunyi, "Kedua puteraku ini, Hasan dan Husain adalah imam, baik dalam keadaan bangkit maupun tidak." [34], dari Rasulullah ini adalah hujjah yang jelas dan terang mengenai keimamahan Imam Hasan dan Imam Husain. Imam Ali As mewasiatkan kepada puteranya Imam Hasan As. "Wahai puteraku, Rasul Akram Saw memerintahkan kepadaku, agar aku menjadikan engkau sebagai washiku dan memberikan kepadamu kitab dan persenjataanku, sebagaimana Rasulullah Saw menjadikan aku washinya dan menyerahkan keduanya kepadaku serta memerintahkan kepadaku untuk melakukan hal yang sama terhadapmu. Dan sewaktu engkau menyadari akan mendekatnya tanda-tanda kematianmu, maka amanah ini serahkan kepada saudaramu, al-Husain." [35]

Masa ke Imamahannya
Imam Hasan al-Mujtaba As pada malam Jum'at 21 Ramadhan tahun ke 40 H bersamaan dengan kesyahidan ayahnya Imam Ali As ditangan Ibnu Muljam, urusan kepemimpinan dan kewilayahan atas ummat beralih ke atas pundaknya, dan penduduk Kufah secara berkelompok-kelompok berdatangan untuk memberikan baiat mereka. Ia kemudian mengangkat sejumlah pejabat dan pembantunya dalam pemerintahan serta menunjuk Abdullah bin Abbas sebagai gubernur di Basrah. [36]

Perang dengan Muawiyah
Sewaktu Muawiyah mendapat kabar akan kesyahidan Imam Ali As dan paham akan pembaiatan yang telah dilakukan umat Islam atas Imam Hasan As, diapun kemudian mengirimkan dua orang untuk menjadi mata-mata dan memprovokasi masyarakat untuk melawan Imam Hasan as ke kota Basrah dan Kufah. Imam Hasan As ketika mengetahui hal tersebut segera memerintahkan untuk melakukan penangkapan atas keduanya dan menjatuhkan hukuman yang setimpal.

Surat menyurat yang terjadi antara Imam Hasan As dengan Muawiyah, menunjukkan kelayakan Imam Hasan As sebagai khalifah atas kaum muslimin. [37]Muawiyah sesuai perintahnya melalui surat, mampu memobilisasi pasukannya untuk bergerak ke Irak bersamanya dan dia sendiri yang bertindak langsung sebagai komandan pasukan, dan memerintahkan Zahaak bin Qais Fahri sebagai wakilnya di ibu kota. Disebutkan sekitar 60000 pasukan bersama Muawiyah, dan riwayat lain menyebutkan lebih dari jumlah tersebut. [38]

Imam Hasan As: "Memikirkan pikiran, jiwa, hati dan visi adalah kunci pintu kebijaksanaan." [Musnad al Imam al Mujtaba, hal. 718]

Imam Hasan As mengutus Hujr bin Adi ke medan perang untuk mengambil alih komando dan mengajak kepada ummat untuk berjihad. Awalnya mereka mengalami kekalahan, namun akhirnya meraih kemenangan. [39]Imam As kemudian mengutus Qais bin Sa'ad bin ‘Ubadah menuju Syam dan ia sendiri menuju Madain. Setiap hari ia mendapat kabar baru disetiap perjalanannya. Suatu hari ia mendapatkan kabar akan gugurnya Qais. Berita tersebut dengan cepat menyebar dan menimbulkan kegoncangan dikalangan pasukan. Tanpa adanya komando, pasukan yang tersisa kemudian menyerbu tenda-tenda dan menjarah apapun yang ada. [40]Imam Hasan as dengan melihat adanya kejadian indisipliner tersebut dari pasukannya sendiri, kemudian berkesimpulan tetap melakukan perlawanan akan tidak ada manfaatnya. Tetap bertahan dengan kondisi pasukan seperti itu hanya akan membawa kerugian dan mudharat yang lebih besar. Karenanya Imam Hasan as kemudian memilih untuk sepakat untuk melakukan perdamaian dengan Muawiyah. [41]

Perdamaian dengan Muawiyah
Imam Hasan As: "Demi Allah kembalinya kami dari medan perang melawan orang-orang Syam bukan karena kami ragu atau karena kami diliputi rasa sesal melainkan karena sebelumnya kami menghadapi orang-orang Syam dengan dengan kejernihan pikiran dan konsistensi namun karena permusuhan semua itu jadi berubah. Dan kalian [orang-orang Kufah] pada awal pekerjaan kalian di Shiffin kalian lebih mengutamakan agama kalian daripada kepentingan dunia kalian, namun hari ini kalian lebih mengutamakan kepentingan dunia kalian dari agama kalian." [Tuhuf al ‘Uqul, hak. 234]

Baladzari [بلاذری ] menulis: "Muawiyah mengirim kertas kosong yang di bagian bawahnya diberi cap stempel kepada Imam Hasan dan meminta apapun yang dikehendaki oleh Imam Hasan dalam perjanjian tersebut untuk menuliskannya. Berikut surat rekonsiliasi/perdamaian antara Hasan bin Ali dan Muawiyah bin Abi Sofyan yang kepemimpinan kaum muslim beralih ke tangan Muawiyah dengan persyaratan sebagai berikut:
Akan bertindak sesuai dengan kitab Allah, Sunnah Nabi dan sirah para khalifah yang saleh.
Tidak mengangkat putra mahkota dan mengembalikan amanah kepada permusyawaratan kaum muslimin.
Rakyat dimanapun berada, nyawa, harta dan keturunannya harus dijamin keamanannya.
Muawiyah tidak boleh baik secara terang-terangan maupun tersembunyi mengusik Imam Hasan as dan mengancam dan serta menakut-nakutinya pengikutnya.

Abdullah Haarat dan Amruh bin Salamah menjadi saksi dari penandatanganan deklarasi perdamaian tersebut. [42]Dengan persyaratan yang telah dibuat melalui Imam Hasan as, perjanjian tersebut ditandatangani di awal tahun 41 H. [43]Akan tetapi Muawiyah meskipun menyepakati perjanjian tersebut namun berlaku tidak layak. Disaat Imam Hasan as menawarkan perdamaian, Muawiyah justru tidak memberikan penghormatan yang semestinya, malah mengatakan hal yang tidak layak mengenai Imam Ali as. Imam Husain as awalnya hendak membalas pelecehan tersebut namun dicegah oleh Imam Hasan as yang kemudian menyampaikan pidatonya mengenai pentingnya perdamaian dan kemudian membandingkan nasab beliau dengan Muawiyah sebagai balasan dari sikap tidak hormat Muawiyah terhadap ayahnya, Imam Ali as. [44] Hal tersebut menjadikan Muawiyah terdiam malu. [45]

Setelah Perdamaian hingga Wafatnya
Imam Hasan setelah melakukan perdamaian dengan Muawiyah, ia berhijrah ke Madinah. Dan di kota tersebut ia menjadi sumber rujukan ilmu, agama, masalah sosial dan politik. Ia berkali-kali melakukan perdebatan dengan Muawiyah dan para pengikutnya di kota Madinah dan Damaskus, yang riwayat-riwayat mengenai hal tersebut diantaranya ditulis oleh Tabarsi dalam kitabnya Ihtijaj. [46]

Kesyahidan
Muawiyah sangat berambisi untuk menghabisi nyawa imam Hasan As. Telah berkali-kali ia mengupayakan cara untuk meracuninya namun tidak pernah berhasil.[47]Sampai akhirnya Muawiyah secara licik berusaha merayu istri Imam Hasan As, Ja'dah binti Asy'at bin Qais dan menjanjikannya untuk dinikahkan dengan Yazid putranya dan akan diberikan seratus ribu dirham dengan syarat mampu membunuh imam Hasan.

Diapun kemudian berhasil melakukan keinginan Muawiyah tersebut dengan cara meracuni Imam Hasan As dengan racun yang mematikan. Diapun mendapat uang seratus ribu dirham yang telah dijanjikan Muawiyah namun janji untuk menikahkannya dengan Yazid tidak dipenuhi Muawiyah. [48] Sewaktu Imam Husain menghantarkan jenazah saudaranya untuk dimakamkan disisi makam kakeknya Nabi Muhammad Saw, Aisyah, Marwan dan sejumlah pembesar dari Bani Umayyah mencegat dan mencegah proses pemakaman tersebut. Untuk mencegah perselisihan dan pertikaian yang bisa saja lebih meluas antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah, Ibnu Abbas kemudian membawa jenazah Imam Hasan kepemakaman Baqi dan dimakamkan di sisi neneknya, Fatimah binti Asad. [49]

Kepribadian dan Keutamaannya
Imam Hasan as adalah yang paling mirip dengan Rasulullah Saw baik secara fisik, penampilan, perangai maupun akhlaknya. [50] Diriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda kepadanya, "Wahai Hasan, kamu dari penciptaan bentuk dan akhlak sangat mirip denganku." [51]Imam Hasan as adalah salah satu dari Ashabul Kisa[52]] dan disaat mubahalah dengan rohaniawan Kristiani, Nabi Muhammad Saw membawa serta Imam Hasan, Imam Husain, Imam Ali dan Sayyidah Fatimah sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT. [53]Turunnya Ayat Tathir juga menunjukkan mengenai keutamaan beliau yang sangat besar, demikian juga dengan Ahlul Bait yang lain. [54]

Imam Hasan sebanyak 25 kali menunaikan ibadah Haji dan tiga kali mensedekahkan semua hartanya di jalan Allah, sampai sepatunyapun diserahkannya dan hanya menyisakan sandal untuknya. [55]

Catatan Kaki:
Arbili, Kasyf al-Ghummah, jld. 2, hlm. 489. .
Haj Manuchahri, Faramarz, Dāirah al-Ma'ārif Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Imam Husain, hlm. 532. .
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 3. .
Arbili, Kasyf al-Ghummah, jld. 2, hlmn 296. .
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 3. .
Kulaini, Ushul Kāfi, jld. 2, hlm. 499. .
Kulaini, Kāfi, jld. 2, hlm. 501. .
Thābarsi, I'lām al-Wara, jld. 1, hlm. 403. .
Shaduq, al-Amāli, hlm. 134. .
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 16. .
Untuk contoh bisa merujuk ke ‘Aqiqi, jld. 4, hlm. 523; Qarsyi, 1413 H, jld. 2, hlm. 443 dst; Madelung, 380-387 yang dinukil oleh Haj Manucahri, Faramarz, Dāirah al-Ma'ārif Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Imam Husain, hlm. 545. .
Rujuk ke kitab Ya'qubi, jld. 2, hlm. 228; al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 20; Ibnu Shaufi, hlm. 19; Bukhari, Sahal, 5; Ibn Syahr Asyub, Manāqib, jld. 3, hlm. 192; Ibnu ‘Unabah, 68 yang dinukil Haj Manucahri, Faramarz, Dāirah al-Ma'ārif Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Imam Husain, hlm. 545. .
Bukhari, Shahih Bukhari, jld. 2, hlm. 432; Suyuti, Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafa, Tahqiq Lajnah Min al-Adbā, Tauzih Dār al-Ta'āwun Abbas Ahmad al-Bāz, Makah al-Mukaramah, hlm. 206. .
Suyuti, Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafa, Tahqiq Lajnah Min al-Adbā, Tauzih Dār al-Ta'āwun Abbas Ahmad al-Bāz, Makah al-Mukaramah, hlm. 207. .
Shaduq, Amāli, hlm. 333; Suyuti, Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafa, Tahqiq Lajnah Min al-Adbā, Tauzih Dār al-Ta'āwun Abbas Ahmad al-Bāz, Mekah al-Mukaramah, hlm. 207. .
Majlisi, Bihār al-Anwar, jld. 37, hlm. 73; Suyuti, Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafa, Tahqiq Lajnah Min al-Adbā, Tauzih Dār al-Ta'āwun Abbas Ahmad al-Bāz, Makah al-Mukaramah, hlm. 207. .
Shaduq, ‘Ilal al-Syarā'i, jld. 1, hlm. 211. .
Al-Mufid, al-Arsyād, jld. 2, hlm. 27. .
Juwaini, Farāidh al-Simthain, jld. 2, hlm. 68. .
Suyuti, Tārikh al-Khulafā, hlm. 80. .
‘Amali, Tahlili az Zendegi Imam Hasan Mujtaba, hlm. 170. .
Daneshnāmeh Buzurgh Islami, jld. 20, Madkhal Hasan As, Imam, hlm. 534. .
Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, Kairom Muasassah al-Halbi, jld. 1, hlm. 30; Ibnu abd al-Bar, Yusuf, al-Isti'āb, Beirut, jld. 1, hlm. 391, 1412 H; Jauhari Ahmad, al-Saqifah wa Fadak, Riset oleh Muhammad Hadi Amini, Tehran, 1401 H; Sarasar Kitab, Danesh Nameh Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Hasan As, Imam, hlm. 534. .
Mas'udi, Murūj al-Dzahab, jld. 1, hlm. 698. .
Jump up↑ Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, Kairom Muasassah al-Halbi, jld. 1, hlm. 40; Baladzuri, Ahmad, Ansāb al-Asyrāf, Riset oleh Muhammad Baqir Mahmudi, Beirut, jld. 2, hlm. 216-217, 1394 H; Maliki, Muhammad, al-Tamhid wa al-Bayān, Qatar, hlm. 119, 194, 1405 H; Muqaddasi, Mathar al-Bada wa al-Tārikh, Kairo, Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, jld. 5, hlm. 206; ‘Amuli, Ja'far Murtadha, al-Hayat al-Siyāsah al-Imam al-Hasan, Qom, hlm. 140 dst, Daneshname Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Hasan As, Imam, hlm. 534, 1363 H. .
Al-Amin, al-Sayyid Muhsin, A'yān al-Syiah, jld. 2, Haqaqah wa Akhrajah al-Sayyid Muhsin al-Amin, Beirut, Dār al-Ta'ārif lil Mathbu'āt, hlm. 370, 1418 H..
Ja'fariyan, Hayāt Fikri wa Siyāsi Imāmān Syiah, hlm. 124. .
Al-Mufid, al-Jamal, hlm. 327. .
Al-Mufid, al-Jamal, hlm. 348. .
Al-Qarsyi, Mausu'ah Sirah Ahl al-Bait, jld. 10, Riset oleh Mahdi Baqir al Qarasyi, Qom, Dār al-Ma'ruf, hlm. 403, 1430 H. .
Qarsyi, Hayāt al-Hasan, hlm. 219. .
Qarsyi, Hayāt al-Hasan, hlm. 218. .
Qarsyi, Hayāt al-Hasan, hlm. 245. .
Al-Mufid, al-Irsyād, Qom: Sa'id bin Jabir, hlm. 290, 1428 H. .
Kulaini, Ushul al-Kafi, jld. 1, hlm. 297. .
Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 350. .
Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 350. .
Qarsyi, Zendegi Imam Hasan As, Penerjemah: Fakhr al-Din Hijazi, hlm. 334-335. .
Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 351. .
Syahidi, Tārikh Tahlil Islam, hlm. 159. .
Syahidi, Tārikh Tahlil Islam, hlm. 160. .
Baladzuri, Ahmad, Ansāb al-Asyrāf, Dār al-Ta'ārif, jld. 3, hlm. 41-42, 1397 H; Syahidi, Tārikh Tahlil Islam, hlm. 162. .
Khalifah bin Khiyat, Tārikh, Riset oleh Akram Dhaya ‘Umri, Beirut, 1397 H. .
Thabari, jld. 4, hlm. 124-125, 128-129; Abu al-Faraj, 45 dst, Ibnu Syu'bah, hlm. 232 dst, Risalah al-Imam Hasan, Riset oleh Zainab Hasan Abdul Kadir, hlm. 29, Kairo, hlm. 1411 H. .
Haj Manuchahri, Faramarz, Dāirah al-Ma'ārif Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Imam Husain, hlm. 538. .
Thabarsi, al-Ihtijāj, jld. 2, hlm. 45-65. .
Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 357. .
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 13. .
Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 280-281, 1428 H. .
Arbali, Kasyf al-Ghummah, jld. 2, hlm. 290. .
Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 43, hlm. 294. .
Shaduq, al-Khishal, jld. 2, hlm. 550; Shaduq, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, Agha Najafi, jld. 1, hlm. 55. .
Ali bin Ibrahim Qumi, Tafsir Qumi, jld. 1, hlm. 104; al-Zamakhsyari, al-Kassyāf, jld. 1, hlm. 368. .
Ali bin Ibrahim Qumi, Tafsir Qumi, jld. 2, hlm. 193. .
Al-Sunan al-Kubra lil Baihaqi, jld. 4, hlm. 331, Tarjamah al-Imam Ali As min Tārikh Dimasyq, hlm. 142, dinukil dari Muntakhab Fadhāil al-Nabi wa Ahli Baitihi ‘alaihim al-Salam min al-Shihāh al-Sittah wa Gairihuma min al-Kutub al-Mu'tabar ‘inda Ahl al-Sunnah,hlm. 279. .

Daftar Pustaka:
Al-‘Athardi, Azizallah, Musnad al-Imam al-Mujtaba, Qum, ‘Athardi, 1373 H.
Al-Harrani, Ibnu Syu'bah, Tuhuf al-‘Uqūl ‘an Ali al-Rasūl Saw, Riset: Ali Akbar al-Ghaffari, Qum, Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1404 H.
Al-Mahmudi, Nahj al-Sa'ādah fi Mustadrak Nahj al-Balāghah, jld. 7, Najaf, 1385 H/1965 M.
Sotfware Nur al-Sirah 2, Markaz Tahqiqat Komputeri Ulūm Islami Nur.
Al-‘Amali, Ja'far Murtadha, al-Hayat al-Siyāsiah lil Imam al-Hasan, Qum, 1363 H.
‘Amuli, Tahlili az Zendegi Imam Hasan Mujtaba, Penerjemah: Saihari, Intisyarat Daftar Tablighat, 1376 S.
Ibnu Sufi, Ali, al-Majdi, Riset: Ahmad Mahdawi Damaghani, Qum, 1409 H.
Ibnu ‘Unabah, Ahmad, ‘Umdah al-Thālib, Riset: Muhamammad Hasan Ali Thaliqani, Najaf, 1380 H/1960 M.
Al-Bukhari, Sahal, Sirr al-Silsilah al-‘Alawiyah, Riset: Muhammad Shadiq Bahr al-Ulum, Najaf, 1381 H/1962 M.
Ja'fariyan, Hayāt Fikri wa Siyāsi Imāmān Syiah, Intisyarat Anshariyan, 1381 H.
Qarasyi, Baqir Syarif, Hayāt al-Imām al-Hasan bin Ali As, Dirasah wa Tahlil, Beirut, 1413 H.
Muntakhab Fadhāil al-Nabi wa Ahli Baitihi ‘alaihim al-Salam min al-Shihāh al-Sittah wa Gairihuma min al-Kutub al-Mu'tabar ‘inda Ahl al-Sunnah, Disusun oleh: Muhammad Bayaumi Mihran, Beirut, al-Ghadir, 1423 H.
Al-Mufid, al-Jamal, Nasyir Maktab al-‘Alām al-Islami, 1371 S.
Al-Thabari, Muhammad bin Jarir, Tārikh Thabari, Muassasah al-‘Alami lil Mathbu'āt, Beirut, tanpa tahun.
Radhi Yasin, Sulh al-Hasan, Penerjemah: Sayid Ali Khamanei, Intisyarat Ghulsyan cet. 13, 1378 S.
Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, Penerjemah: Muhammad Ibrahim Ayati, Intisyarat ‘Ilmi wa Farhanggi, 1362 S.
Thabarsi, al-Ihtijāj, Intisyarat Uswah, 1413 H.
Syaikh Shaduq, Amāli, Intisyarat Kitab Khaneh Islami 1362 S.
Arbali, Kasyf al-Ghumah, Nāsyir Majma Jahani Ahl Bait, 1426 H.
‘Aqiqi Bakhsyayasyi, Abd al-Rahim, Chahardah Nur_e Pak, Tehran, 1381 S.
Al-Mufid, al-Irsyad, Penerjemah: Khurasani, Intisyarat ‘Ilmiah Islamiyah 1380 S.
Qarsyi, Baqir Syarig, al-Hayāt al-Hasan, Penerjemah: Fakhr al-Din Hijazi, Intisyarat Bitsat, 1376 S.
Suyuti, Tārikh al-Khulafa, tanpa tahun.
Shaduq, Amāli, Penerjemah: Kumrehi, 1363 S.
Shaduq, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, Penerjemah: Ali Akbar Ghafari, Akhtar Syumal, 1373 S.
Software Islami Jami al-Hadits, Markaz Tahqiqat Komputeri ‘Ulum Islami Nur.
Kulaini, Ushul Kāfi, Dār al-Hadits.
Thabarsi, I'lām al-Wara, Muassasah ali Al-Bait Liahya al-Turat.
Bukhari, Shahih Bukhari, Nasyir Dār al-Fikr.
Ibnu Syahr Asyub, Manāqib Alu Abi Thālib, Nasyir Dzu al-Qurba.
Majlisi, Bihār al-Anwār, Beirut.
Jawini, Faraid al-Simthain, Muassasah al-Mahmudi, Beirut, 1980 M.
Syaikh Shaduq, Khishal.
Tafsir Qumi, Nasyir Maktabah al-Hadi, Najaf.
Al-Zamakhsyari, Mahmud, al-Kassyāf ‘an Haqāiq Ghawāmidh al-Tanzil, jld. 1, Qum, Nasyr al-Balagāh, al-Thaba'ah al-Tsaniah, 1415 H.
Syahidi, Sayid Ja'far, Tārikh Tahlili Islāmi, Tehran, Markaz Nasyr Danesgahi, 1390 S.
Madelung, W., The Succession to Muhammad, Cambridge, 1977.

Kata Nasibhi (WAhabi) Al-kafi dianggap shahih oleh Syiah, Adalah Kejahilan Nasibhi itu sendiri

Al Kaafiy Sekarang Bukan Al Kaafiy Yang Dulu? : Kejahilan Nashibi.

Tulisan ini akan membahas tuduhan nashibi terhadap kitab hadis mazhab Syiah yaitu Al Kaafiy. Intinya menyatakan bahwa Al Kaafiy yang beredar sekarang itu dibuat oleh pihak-pihak tertentu setelah era Al Kulainiy. Seandainya tuduhan tersebut valid dan tegak berdasarkan hujjah yang kuat maka tidak masalah dan akan menjadi tambahan ilmu bagi para peneliti tetapi sayang sekali tuduhan tersebut hanya bualan dan kicauan dari orang-orang yang jahil akal pikirannya. Selamat menyimak,

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَسْبَاطٍ عَنِ الْحَكَمِ بْنِ مِسْكِينٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِنَا قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) مَتَى يَعْرِفُ الْأَخِيرُ مَا عِنْدَ الْأَوَّلِ قَالَ فِي آخِرِ دَقِيقَةٍ تَبْقَى مِنْ رُوحِهِ

Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Aliy bin Asbaath dari Al Hakam bin Miskiin dari sebagian sahabat kami yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah “kapan orang terakhir mengetahui apa yang ada di sisi yang pertama”. Beliau berkata “pada akhir daqiiqah yang tersisa dari ruh-nya” [Al Kaafiy Al Kulainiy 1/274].

Nashibi mengartikan lafaz “daqiiqah” yang dimaksud sebagai “menit” kemudian ia merujuk pada kitab Mu’jam Al Wasiith

الدقيقة وحدة زمنية تعادل جزءا من ستين جزءا من الساعة ووحدة لقياس خطوط الطول أو العرض تساوي جزءا من ستين جزءا من الدرجة (مج) (ج) دقائق محدثة

Menit [ad-daqiqah] adalah satuan waktu yang sama dengan 1/60 jam, dan satuan bagi busur garis vertikal dan horisontal yang disamakan dengan 1/60 derajat. Jamaknya daqaaiq; dan ia merupakan istilah baru [muhdats].[Mu’jaam Al Wasiith 1/291].

Dengan dasar ini mereka mengatakan bahwa Al Kafiy jelas dibuat setelah era Al Kulainiy karena lafaz “daqiiqah” adalah istilah baru. Hujjah ini bisa dibilang rapuh dengan alasan sebagai berikut
Di sisi Syiah, mereka tidak mengartikan lafaz “daqiiqah” tersebut sebagai menit. Dalam kitab Majma’ Al Bahrain Fakhruddin bin Muhammad Ath Thuraihiy

و فيحديث الأئمة و قد سئل ع متى يعرف الأخير ما عند الأول؟ قال في آخر دقيقة تبقى منروحه
أي آخر جزء

Dan dalam hadis Imam ketika ditanya “kapan orang terakhir mengenal apa yang ada di sisi yang pertama”. Beliau berkata “pada akhir daqiiqah yang tersisa dari ruh-nya”. Maksudnya adalah “bagian akhir” [Majma’ Al Bahrain 5/163].

Jika dikatakan istilah “daqiiqah” adalah istilah baru maka secara kritis kita dapat bertanya kalau begitu kapan tepatnya istilah itu muncul?. Kemudian apakah yang dimaksud dengan istilah baru tersebut? Apakah kata tersebut dahulunya tidak ada kemudian baru muncul atau kata tersebut sudah ada sebelumnya kemudian entah kapan baru dipakai sebagai lafaz bermakna “menit”.
.
Istilah daqiiqah sudah ada pada zaman Ibnu Hazm yang lahir pada tahun 384 H [As Siyaar Adz Dzahabiy 18/185] dan digunakan untuk menyatakan waktu tertentu. Ibnu Hazm pernah berkata dalam kitabnya Al Muhalla

فإنه لو جاز أن يحول بين النية وبين العمل دقيقة لجاز أن يحول بينهما دقيقتان وثلاث وأربع

Maka jika dibolehkan adanya jeda antara niat dan amal, daqiiqah maka diperbolehkan juga adanya jeda antara keduanya dua daqiiqah, tiga dan empat [Al Muhalla Ibnu Hazm 1/77].

Sehingga pernyataan daqiiqah sebagai “istilah baru” itu harus diteliti kembali. Istilah daqiiqah sudah lama dikenal dalam ilmu Falaq. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Al Khawarizmiy dalam Mafatih Al ‘Ulum

فلك البروج، هو الدائرة التي ترسمها الشمس بسيرها من المغرب إلى المشرق في سنة واحدة، وهو مقسوم إثني عشر قسماً، وهي البروج. وقد ذكرت أسماءها في الفصل الأول. وطول كل برج منها ثلاثون درجة، وكل درجة ستون دقيقة، وكل دقيقة ستون ثانية

Falaq Al Buruj, adalah lingkaran yang menunjukkan pergerakan matahari dari barat ke timur dalam satu tahun, itu dibagi dalam 12 bagian yang disebut Buruj dan telah disebutkan nama-namanya dalam pasal awal. Jarak setiap buruj adalah 30 derajat, setiap derajat 60 daqiiqah dan setiap daqiiqah 60 tsaniyah [Mafatih Al ‘Ulum Al Khawarizmiy 1/41].

Disebutkan dalam Mu’jam Al Mu’allifiin bahwa Al Khawarizmiy penulis Mafatih Al ‘Ulum wafat tahun 387 H [Mu’jam Al Mu’allifiin 9/29]. Istilah “daqiiqah” yang terkait ilmu Falaq juga digunakan Al Ya’qubiy dalam kitab Tarikh-nya [Tarikh Al Ya’qubiy 1/26]. Dan Al Ya’qubiy disebutkan oleh Yaqut Al Hamawiy dalam kitab Mu’jam Al ‘Udaba bahwa ia wafat tahun 284 H [Mu’jam Al ‘Udaba 1/214].

Al Kulainiy sendiri wafat pada tahun 329 H, sehingga jika dibandingkan dengan masa hidup Al Ya’qubiy, Al Khawarizmiy dan Ibnu Hazm maka dapat disimpulkan bahwa pada masa hidup Al Kulainiy sudah dikenal istilah “daqiiqah”. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa istilah ini sudah ada di zaman Imam Ja’far. Terdapat riwayat dalam Al Kafiy yang menyebutkan bahwa di masa Imam Ja’far sudah berkembang ilmu Falaq

عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ خَالِدٍ عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ أَسْبَاطٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَيَابَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) جُعِلْتُ لَكَ الْفِدَاءَ إِنَّ النَّاسَ يَقُولُونَ إِنَّ النُّجُومَ لَا يَحِلُّ النَّظَرُ فِيهَا وَ هِيَ تُعْجِبُنِي فَإِنْ كَانَتْ تُضِرُّ بِدِينِي فَلَا حَاجَةَ لِي فِي شَيْ‏ءٍ يُضِرُّ بِدِينِي وَ إِنْ كَانَتْ لَا تُضِرُّ بِدِينِي فَوَ اللَّهِ إِنِّي لَأَشْتَهِيهَا وَ أَشْتَهِي النَّظَرَ فِيهَا فَقَالَ لَيْسَ كَمَا يَقُولُونَ لَا تُضِرُّ بِدِينِكَ ثُمَّ قَالَ إِنَّكُمْ تَنْظُرُونَ فِي شَيْ‏ءٍ مِنْهَا كَثِيرُهُ لَا يُدْرَكُ وَ قَلِيلُهُ لَا يُنْتَفَعُ بِهِ تَحْسُبُونَ عَلَى طَالِعِ الْقَمَرِ ثُمَّ قَالَ أَ تَدْرِي كَمْ بَيْنَ الْمُشْتَرِي وَ الزُّهَرَةِ مِنْ دَقِيقَةٍ قُلْتُ لَا وَ اللَّهِ

Dari sebagian sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad bin Khaalid dari Ibnu Fadhdhaal dari Al Hasan bin Asbaath dari ‘Abdurrahman bin Sayaabat yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salam] “aku menjadi tebusanmu, orang-orang mengatakan bahwa tidak boleh mempelajari ilmu perbintangan, dan itu membuatku heran. Maka jika itu membahayakan agamaku maka tidak ada alasan bagiku untuk membahayakan agamaku dan jika itu tidak membahayakan agamaku maka demi Allah aku menyukainya dan suka untuk mempelajarinya. Beliau berkata “Hal ini tidak seperti yang orang-orang itu katakan, hal itu tidak membahayakan agamamu”. Kemudian Beliau berkata “sesungguhnya kalian mempelajari sesuatu dimana banyak yang tidak kalian ketahui dan sedikit tidak memberikan manfaat dengannya, kalian telah menghitung pergerakan bulan. Kemudian Beliau berkata “apakah kalian mengetahui berapa daqiiqah antara musytariy dan zuharah?”. Aku berkata “tidak demi Allah”…[Al Kaafiy Al Kulainiy 8/195].

Jika kita asumsikan bahwa kedua riwayat Al Kaafiy tersebut shahih di sisi Syiah maka hal ini menjadi hujjah bahwa di masa Imam Ja’far sudah dikenal istilah “daqiiqah” yang terkait dengan ilmu falaq dan digunakan juga untuk menyatakan bagian tertentu yang singkat atau kecil [merujuk pada riwayat Al Kafiy yang pertama]. Jadi bisa saja dikatakan bahwa istilah “daqiiqah” memang tidak ada di zaman Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi sudah ada di zaman Imam Ja’far [‘alaihis salam].

Adapun tuduhan terhadap kitab Al Kaafiy bahwa ia ditulis setelah era Kulainiy karena adanya lafaz “daqiiqah” merupakan tuduhan yang tidak beralasan. Hal ini karena kata daqiqah bahkan sudah disebutkan oleh ulama lain sebelum Al Kulainiy seperti As Shaffaar yang wafat tahun 290 H.

حدثنا محمد بن الحسين عن علي بن أسباط عن الحكم بن مسكين عن عبيد بن زرارة وجماعة معه قالوا سمعنا أبا عبد الله ع يقول يعرف الإمام الذي بعده علم من كان قبله في آخر دقيقة تبقى من روحه.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Husain dari Aliy bin Asbath dari Al Hakam bin Miskiin dari Ubaid bin Zurarah dan jama’ah yang bersamanya, mereka berkata “kami mendengar Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan imam setelahnya mengetahui apa yang ada pada sebelumnya pada akhir daqiqah yang tersisa dari ruh-nya [Basha’ir Ad Darajaat hal 520, Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar].

Makna daqiqah dalam riwayat di atas bukanlah “menit” dalam pengertian waktu di zaman sekarang ini. Lafaz “daqiqah” tersebut lebih mungkin diartikan sebagai bagian yang singkat atau kecil.
.
Yang lucunya fenomena yang sama juga terdapat dalam kitab hadis ahlus sunnah, yaitu adanya hadis yang menggunakan lafaz “sa’ah” yang pada bahasa arab modern, istilah ini bermakna jam yaitu 60 menit.

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ سَوَّادِ بْنِ الأَسْوَدِ بْنِ عَمْرٍو وَالْحَارِثُ بْنُ مِسْكِينٍ قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ – وَاللَّفْظُ لَهُ – عَنِ ابْنِ وَهْبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنِ الْجُلاَحِ مَوْلَى عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَهُ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

Telah mengabarkan kepada kami ‘Amru bin Sawwaad bin Al Aswad bin ‘Amru dan Al Haarits bin Miskiin membacakan kepadanya dan aku mendengar –lafaz darinya-dari Ibnu Wahb dari ‘Amru bin Al Haarits dari Al Julaah maula ‘Abdul ‘Aziiz bahwa Abu Salamah bin ‘Abdurrahman menceritakan kepadanya dari Jabir bin ‘Abdullah dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang bersabda “hari Jum’at ada dua belas jam, dan di dalamnya terdapat waktu yang tidaklah seorang muslim meminta kepada Allah melainkan Allah akan mengabulkannya, oleh karena itu carilah pada akhir jam setelah Ashar” [Sunan Nasa’i no 1400].

Al Iraqiy berkata “sanadnya shahih” [Tharh At Tatsriib 4/59]. Lafaz sa’ah ini berbeda dengan lafaz sa’ah yang digunakan dalam Al Qur’anul Kariim. Kalau kita memperhatikan lafaz “sa’ah” yang sering digunakan di dalam Al Qur’an maka akan kita dapati bahwa makna sa’ah tersebut adalah sesaat, tidak disematkan dengan angka tertentu

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya [QS. Al-A’raf : 34].

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ كَأَنْ لَمْ يَلْبَثُوا إِلا سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ يَتَعَارَفُونَ بَيْنَهُمْ قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ

Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat saja di siang hari (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk [QS. Yunus : 45].

الساعة: ج ساعات، جزء من أجزاء الوقت، ومنه: مضت ساعة من الليل
ويراد به مقدار ستين دقيقة من الزمان الوقت الحاضر

As Sa’ah : jamak Saa’aat : adalah bagian dari waktu, dan darinya “sesaat dari malam telah berlalu”. Dan dimaksudkan pula dengannya adalah ukuran 60 menit dari waktu yang ada pada zaman sekarang ini. [Mu’jam Al Lughah Al Fuqaha 1/239].

Mudah saja dikatakan bahwa lafaz sa’ah yang disematkan dengan angka dua belas tidak bisa diartikan sebagai sesaat maka itu lebih tepat bermakna dua belas jam, dan makna satu jam disini dalam bahasa arab modern adalah 60 menit dan pembagian siang hari menjadi 12 jam [12 x 60 menit] itu perkara muhdats. Tetapi para ulama justru menjadikan hadis ini sebagai bukti bahwa pembagian satu hari menjadi 24 sa’ah dimana siang 12 sa’ah dan malam 12 sa’ah sudah dikenal di kalangan arab pada masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun makna sa’ah disana bukan satu jam sebagai satuan waktu enam puluh menit tetapi hanyalah bagian dari waktu siang atau bagian dari waktu malam.

Kalau kita melihat permasalahan ini secara mendalam maka akan nampak bahwa ulama ahlus sunnah ketika menafsirkan hadis “dua belas sa’ah” di atas mereka menjadikan hadis tersebut sebagai dasar bahwa pada zaman itu sudah dikenal pembagian waktu satu hari satu malam sebagai 24 sa’ah dan sa’ah disana bukan bermakna sebagai satu jam yang dalam bahasa arab modern adalah 60 menit. Maka seharusnya dengan cara yang sama hadis Imam Ja’far dengan lafaz “daqiiqah” bisa dijadikan dasar bahwa pada zaman Imam Ja’far memang dikenal istilah daqiiqah sebagai bagian waktu tertentu yang singkat bukan diartikan sebagai menit dalam bahasa arab modern.
.
Note : Tulisan nashibi yang dimaksud dapat dibaca disini http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/10/al-kaafiy-sekarang-bukan-al-kaafiy-yang.html ( Souce )

_____________________

Ulama syi’ah dan aswaja sunni membantah tahrif Quran dalam kitab Al Kafi Kulaini.

Pertanyaan: Apakah wujud riwayat tahrif dalam kitab al-Kafi?
Jawaban: Pertamanya, tidak semua riwayat dalam kitab al-Kafi itu Sahih, kami seperti Ahlusunnah, kami tidak mengakui semua riwayat dalam kitab al-Kafi itu Sahih.
Keduanya istilah tahrif dalam Kalam kami dan daripada al-Marhum Kulaini menyebut:

يُحَرِّفُونَ الکَلِمَ عَن مَوَاضِعِهِ ( سوره مائده آيه 41)
 
Berbicara kalam tentang tempat-tempatnya
ialah sesuatu yang kembali menunjuki makna ayat, bukannya sesuatu itu mengubah al-Quran.
Pengriwayatan daripada Usul al-Kafi yang menunjukkan adanya Tahrif masih boleh dijawab jika menurut semua jalan metodologi dari arah persanadannya sudah Sahih. Misalnya firman Allah (swt):

قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ ما كانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ (فِي عَلِي وَ الْأَئِمَّةِ ) كَالَّذِينَ آذَوْا مُوسي فَبَرَّأَهُ اللَّهُ مِمَّا قالُوا
اصول الکافي ، ج1  ص414 ، بَابٌ فِيهِ نُكَتٌ وَ نُتَفٌ مِنَ التَّنْزِيلِ فِي الْوَلَايةِ
.

Usul al-Kafi, jilid 1 halaman 414.

Firman Allah:
Kamu tidak berhak menyakiti Rasulullah (terhadap Ali dan para Imam) seperti orang-orang yang menyakiti Musa maka Allah berlepas tangan dengan apa yang telah mereka katakan

Dalam Sanad berasingan ini iaitu Sanad Sahih atau tidak, kita mampu menjawab:
Bermaksud daripada firman Allah (azj) dalam riwayat, bukanlah al-Quran (kerana kebanyakan riwayat adalah hadis-hadis Qudsi, diturunkan daripada Allah kepada RasulNya namun ianya bukan al-Quran).
Riwayat ini juga menerangkan subjek-subjeknya. Iaitu ketika ayat ini turun atas Rasulullah, pengriwayatan itu membawa maksud kepada Ali dan para Imam.

Akan tetapi Ahlusunnah memaknai ayat itu sebagai Tahrif, dan menerangkannya sebagai subjek yang lain pula.
Pegangan Syiah tidak mempercayai adanya Tahrif al- Quran. Menurut pandangan Syiah tiada tempat untuk Tahrif al-Quran walaupun banyaknya ulama Ahlusunnah mengiktiraf adanya Tahrif tersebut.
Syaikh Muhammad Abu Zuhrah menyatakan:

القرآن بإجماع المسلمين هو حجة الإسلام الأولي و هو مصدر له ، و هو سجل شريعته ، و هو الذي يشتمل علي كلها و قد حفظه الله تعلي الي يوم الدين كما وعد سبحانه اذ قال : «انا نحن نزلنا الذكر و إنا له لحافظون» و إن إخواننا الامامية علي اختلاف منازعهم يرونه كما يراه كل مؤمنين .
الامام الصادق ، محمد ابوزهره ، ص296 .

Saudara-saudara kita Syiah, adanya ikhtilaf mazhab dengan kita, pandangan mereka terhadap al-Quran sama sebagaimana semua Mukmin yang lain.

Imam Shadiq, Muhammad Abu Zuhrah, halaman 296.

و مهما يكن من أمر فإن هذا المصحف هو الوحيد المتداول في العالم الاسلامي ، بما فيه فرق الشيعة ، و منذ ثلاثة عشر قرناً من الزمان
مدخل إلي القرآن الكريم ، ص40_39

Sesungguhnya Mashaf al-Quran yang tersebar di seluruh dunia Islam sekarang ini adalah al-Quran yang sama dikalangan Syiah, (Iaitu Syiah juga menerima al-Quran ini) selama tiga belas abad.
Madkhal ilal Quranul Karim, 39-40.

Syaikh Rahmatullah al-Hindi:

القرآن المجيد عند جمهور علماء الشيعة الامامية الاثني عشرية محفوظ من التغيير و التبديل، و من قال منهم بوقوع النقصان فيه، فقوله مردود غير مقبول عندهم .
اظهار الحق ، تعليق الدكتور أحمد حجازي ، ص431 .

Al-Quran Majid menurut Jumhur Ulama Syiah Imamiah Ithna ‘Asyariyah terjaga daripada perubahan dan penggantian. Orang yang mengatakan bahawa di dalam al-Quran terdapat kekurangan, perkataannya tidak bisa diterima.

Syaikh Muhammad al-Ghazali:

سمعت من هؤلاء يقول في مجلس علم : إنّ للشيعة قرآنا آخر يزيد و ينقص عن قرآننال المعروف فقلت له : أين هذا القرآن ؟ و لماذا لم يطّلع الإنس و الجن علي نسخة منه خلال هذا الدهر الطويل ؟ لماذا يساق هذا الافتراء…
دفاع عن العقيدة والشريعة ، ص 253 ، 264 طبع مصر عام 1975 الطبعة الرابعة .

Saya telah mendengar daripada mereka dalam majlis ilmu mengatakan Syiah mempunyai al-Quran yang berbeda daripada al-Quran kita dan mempunyai subjek yang berkurang dan berlebih. Lalu saya mengatakan al-Quran ini di mana? Kenapa tidak seorang pun manusia dan jin menemui walau satu naskah daripadanya selama zaman yang panjang ini? Kenapa engkau membuat tuduhan tersebut?.

Seandainya semata-mata pengriwayatan hadis tersebut boleh menjadi kafir, maka seharusnya dari awal lagi hendaklah dihukumkan kafir terhadap penulis besar Ahlusunnah kerana mereka juga membawa riwayat yang berunsur Tahrif.

Telah berkata Ibnu Abbas, Umar telah berkata:

عن ابن عباس، قال: قال عمر: إِنَّ اللَّهَ بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ آيَةُ الرَّجْمِ فَقَرَأْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا رَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ وَاللَّهِ مَا نَجِدُ آيَةَ الرَّجْمِ فِي كِتَابِ
اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ وَالرَّجْمُ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أُحْصِنَ مِنْ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتْ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوْ الِاعْتِرَافُ ثُمَّ إِنَّا كُنَّا نَقْرَأُ فِيمَا نَقْرَأُ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ أَنْ لَا تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ أَوْ إِنَّ كُفْرًا بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ
صحيح البخاري،  ج8، ص25و 26 و صحيح مسلم، ج5، ص116و مسند احمد، ج1،‌ ص40 و 55. و السنن الدارمي، عبدالله بن بهرام الدارمي ، ج2، ص179و سنن ترمزي، ج2، ص442 و المحلى ، ابن حزم ، ج 11 ، ص 236 .

Sesungguhnya Allah mengutuskan Muhammad (s) dengan benar, dan menurunkan kitab kepadanya, maka di dalamnya ada satu ayat tentang Rejam, lalu kami membacanya dan memahaminya dengan seluruh pemahaman, dan kami melakukan hukuman rejam selepas Rasulullah (s). Saya takut selepas masa berlalu pergi, orang berkata demi Allah kami tidak menemui ayat ini dalam al-Quran lalu dengan sebab meninggalkan kewajiban tuhan ini, mereka akan tersesat……

Al-Sya’rani daripada ulama besar Ahlusunnah juga mengatakan:

ولولا ما يسبق للقلوب الضعيفة ووضع الحكمة في غير اهلها لبينت جميع ما سقط من مصحف عثمان .
الكبريت الاحمر على هامش اليواقيت والجواهر ، ص143 .

Jikalau tiada kemusykilan bagi hati orang yang lemah, dan ilmu berada pada bukan posisinya maka tidak akan jatuh seluruh penerangan di Mushaf Uthmani.
al-ahmar ‘ala hamisy al-Yuwaqit wal jawahir, halaman 143.

Mufassir tersohor al-Alusi selepas menyebut tentang riwayat-riwayat Tahrif berkata:

والروايات في هذا الباب اكثر من ان تحصى .
روح المعاني ، ج1 ، ص24 .خ

Pengriwayatan tentang ini terlalu banyak daripada yang telah diperhitungkan.
Ruhul Ma’ani, jilid 1, halaman 24.

نقل في الكتب القديمة ان ابن مسعود كان ينكر كون سورة الفاتحة من القرآن وكان ينكر كون المعوذتين من القرآن .
مفاتيح الغيب  ، ج 1 ، ص169 .

Fakhrudin al-Razi di dalam tafsirnya mengatakan ia telah menukilkan dari kitab-kitab lama sesungguhnya Ibnu Mas’ud berkata surah Fatihah dan Falaq dan al- Nas bukan bahagian daripada al-Quran.

Jadi sebelum kami menjawab (tentunya kami telah menjawabnya) Ahlusunnah juga harus menjawabnya.
===============================================
Apakah dalam kitab pengriwayatan hadis Syiah terdapatnya hadis berkenaan perubahan al-Quran?

Jawapan:
Hadis-hadis yang tidak menjadi pegangan akidah sebenar kami ini, dalam kitab Bihar dan daripada kitab-kitab muktabar Syiah selainnya memang ada. Daripada jumlah berkenaan perubahan al-Quran … apakah ini subjek yang baik adanya? Dan jikalau begini apakah jawabnya? Namun jikalau ia adalah hadis palsu maka pengriwayatan ini tidak ada gunanya bagi kita untuk menerangkannya. Mengapa ulama seperti Helli dan…. 

(Semoga rahmat Allah atas mereka) tidak menyedari atau tidak tahu kenapa jenis subjek seperti ini dihimpunkan dalam kitab-kitab mereka?

Seperti mana yang telah kita ketahui kitab-kitab seperti Biharul Anwar dan…. kitab yang pengriwayatannya adalah dari usaha bersungguh-sungguh penulisnya sendiri sehingga ia dapat dihimpun buat sekalian orang di masa mendatang. Mereka sendiri tidak mengistiharkan seluruh pengriwayatan yang telah dinukil dalam kitab ini adalah sahih.

Meneliti riwayat-riwayat ini sahih atau tidak sahih akan disandang oleh penyelidik dan pembacanya.
Berkenaan perubahan al-Quran, banyak juga diriwayatkan dalam kitab Syiah dan ianya ditemui lebih banyak lagi dalam kitab-kitab Ahlusunnah.

Periwayatan tentang ini tidak diterima oleh aqidah mazhab kami, dalam pandangan kami ianya ditolak dan tidak dapat diterima. Dengan ini banyaknya pengriwayatan perubahan al-Quran dirujuk kepada Syiah sebenarnya ada ditemui juga dalam riwayat Ahlusunnah. Dalam pandangan sanad dan dalil-dalil, riwayat dhaif dan ditolak ini terlalu banyak masalahnya. Beberapa riwayat dari klasifikasi ini dalam kitab-kitab seperti Kafi telah dinukil, tiada dalil atas perubahan al-Quran pun berlaku; mengapa pula ketika Imam (as) mengambil contoh pandangan seperti ini untuk tujuan menerangkan tafsir ayat, musuh-musuh Syiah mengambil kesempatan atas kejahilan dan ketidak fahaman dalam masalah ini, menyerang atas perubahan al-Quran.

Al-Kafi di Mata Ulama Syiah.

Syiah tidak mengamalkan hadis-hadis yang bertentangan dengan teks al-Quran WALAUPUN HADiS TSB TERDAPAT DALAM KiTAB KiTAB SYi’AH !!

Kamis, 04 Oktober 2012 13:41 Redaksi
Oleh: Ustad Husain Ardilla*

Syi’ah tidak menganggap al-Kafi dll kitab hadis sebagai kitab suci yang tidak mungkin salah ! Jadi kutipan sunni dari kitab kitab syi’ah bukan bermakna itu semua i’tiqad syi’ah.

kenyataan yang sebenarnya adalah Al Kafi di sisi Syiah tidak sama kedudukannya dengan Shahih Bukhari di sisi Sunni. Al Kafi memang menjadi rujukan oleh ulama Syiah tetapi tidak ada ulama Syiah yang dapat membuktikan bahwa semua riwayat Al Kafi shahih.

Dalam mengambil hadis sebagai rujukan, ulama syiah akan menilai kedudukan hadisnya baru menetapkan fatwa. Hal ini jelas berbeda dengan Shahih Bukhari dimana Bukhari sendiri menyatakan bahwa semua hadisnya adalah shahih, dan sudah menjadi ijma ulama(sunni tentunya) bahwa kitab Shahih Bukhari adalah kitab yang paling shahih setelah Al Quran.

cendekiawan Syiah menolak menyamakan kitab hadits al-Kafi dengan Shahih Bukhari. Mereka tidak setuju jika ada orang menilai kedudukan Al Kafi di sisi Syiah sama dengan Shahih Bukhari di sisi Sunni. Bahkan mereka menuduh orang yang melakukan hal itu bertujuan untuk mengelabui orang  awam yang tidak tahu-menahu tentang Al Kafi.

Mereka mengakui bahwa Al Kafi, karya al-Kulaini memang menjadi rujukan Syiah tetapi tidak ada ulama Syiah yang dapat membuktikan bahwa semua riwayat Al Kafi shahih. Karena itu, dalam mengambil hadits sebagai rujukan, ulama Syiah akan menilai kedudukan haditsnya, baru menetapkan fatwa. Hal ini jelas berbeda dengan Shahih Bukhari dimana Bukhari sendiri menyatakan bahwa semua hadisnya adalah shahih, dan sudah menjadi ijma ulama Sunni bahwa kitab tersebut paling shahih setelah Al Quran.

Mereka mengatakan bahwa Al Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as. Ia hanyalah mengumpulkan hadis-hadis dari Ahlul Bait. Menurut mereka tidak ada sedikitpun pernyataan Al Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan otentik. Oleh karena Itulah ulama-ulama sesudahnya telah menseleksi hadits dalam kitab tersebut dan menentukan kedudukan setiap haditsnya. Allamah Al Hilli misalkan, yang telah mengelompokkan hadis-hadis Al Kafi menjadi shahih, muwatstsaq, hasan dan dhaif. Sayyid Ali Al Milani menyatakan bahwa 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis muwatstsaq (hadis yang diriwayatkan perawi bukan Syiah tetapi dipercayai oleh Syiah), 302 hadis Qawiy (kuat) dan 9.480 hadis dhaif.

Al-Sayyid Muhammad al-Mujahid al-Tabataba’i (1242H) juga mengemukakan hujah bahwa tidak semua riwayat al-Kafi sahih. Hal ini diungkapkan oleh Hasyim Ma’ruf Husyein dalam kitabnya,  Dirasat Hadits. (hal.135-136).

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ayatullah Husayn `Ali al-Muntazari mengenai ketidaksahihan riwayat dalam al-Kafi dalam kitabnya Dirasah  fi Makasib al Muharomah, juz III, hal. 123. Ia mengatakan: “Kepercayaan al-Kulaini akan kesahihan riwayat (di dalam kitabnya) tidak termasuk dalam hujah syar’iah karena dia bukanlah ma’sum di sisi kami.”.


Sudah jelas siapapun orangnya apakah Sunni atau Syiah, berhujjah dengan hadis dhaif adalah keliru. Kalau ia menganggap metode dirinya benar maka Syiahpun juga benar. Jika Syiah berdusta maka apa ia akan ikut berdusta pula. Bagaimana mungkin dikatakan dibolehkan berdusta asalkan digunakan untuk membantah kedustaan Syiah?

Kami tekankan bahwa kami tidak ada masalah dengan siapapun yang mau membela Ahlus Sunnah dan membantah Syiah ataupun sebaliknya tetapi harus diingat bahwa jangan sampai kebablasan dalam membantah sehingga memakai akhlak yang buruk dan lisan yang kotor. Apalagi jika lisan kotor tersebut diimbaskan juga pada orang lain yang bukan Syiah.  Dan yang paling menjijikkan adalah menjustifikasi lisan kotor-nya dengan mengatasnamakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Semoga Allah SWT melindungi kita dari keburukan yang seperti ini.

Ketika Sunni dan Syiah mengakui tuhan yang sama, nabi yang sama, Alquran yang sama, kiblat yang sama, syahadat yang sama, mengapa perbedaan harus dibesar-besarkan? 
 
Tentu jika membahas masalah Al Kafi membuat sebagian kalangan marah karena banyak riwayat-riwayat yang terdapat di dalamnya yang bertentangan dengan pemikiran Ahlusunnah. Namun saya sdikit memberikan gambaran tentang Al Kafi agar tidak terjadi perselisihan di tengah masyarakat Muslim yang di inginkan oleh musuh Islam. 
 
Mereka yang mengkritik Syiah telah membawakan riwayat-riwayat yang ada dalam kitab rujukan Syiah yaitu Al Kafi dalam karya-karya mereka seraya mereka berkata Kitab Al Kafi di sisi Syiah sama seperti Shahih Bukhari di sisi Sunni. Tujuan mereka berkata seperti itu adalah sederhana yaitu untuk mengelabui mereka yang awam yang tidak tahu-menahu tentang Al Kafi. Atau jika memang mereka tidak bertujuan seperti itu berarti Mereka lah yang terkelabui. 
 
Dengan kata-kata seperti itu maka orang-orang yang membaca karya mereka akan percaya bahwa riwayat apa saja dalam Al Kafi adalah shahih atau benar sama seperti hadis dalam Shahih Bukhari yang semuanya didakwa shahih.  Sungguh sangat disayangkan, karena kenyataan yang sebenarnya adalah Al Kafi di sisi Syiah tidak sama kedudukannya dengan Shahih Bukhari di sisi Sunni. 
 
Al Kafi memang menjadi rujukan oleh ulama Syiah tetapi tidak ada ulama Syiah yang dapat membuktikan bahwa semua riwayat Al Kafi shahih. Dalam mengambil hadis sebagai rujukan, ulama syiah akan menilai kedudukan hadisnya baru menetapkan fatwa. Hal ini jelas berbeda dengan Shahih Bukhari dimana Bukhari sendiri menyatakan bahwa semua hadisnya adalah shahih, dan sudah menjadi ijma ulama(sunni tentunya) bahwa kitab Shahih Bukhari adalah kitab yang paling shahih setelah Al Quran. 
 
Kedudukan Al Kafi.
 
Al Kafi adalah kitab hadis Syiah yang ditulis oleh Syaikh Abu Ja’far Al Kulaini pada abad ke 4 H. Kitab ini ditulis selama 20 tahun yang memuat 16.199 hadis. Al Kulaini tidak seperti Al Bukhari yang menseleksi hadis yang ia tulis. Di Al Kafi, Al Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti para Imam Ahlul Bait as. Jadi Al Kulaini hanyalah sebagai pengumpul hadis-hadis dari Ahlul Bait as. Tidak ada sedikitpun pernyataan Al Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan adalah otentik. Oleh karena Itulah ulama-ulama sesudah Beliau telah menseleksi hadis ini dan menentukan kedududkan setiap hadisnya. 
 
Di antara ulama syiah tersebut adalah Allamah Al Hilli yang telah mengelompokkan hadis-hadis Al Kafi menjadi shahih, muwatstsaq, hasan dan dhaif. Pada awalnya usaha ini ditentang oleh sekelompok orang yang disebut kaum Akhbariyah. Kelompok ini yang dipimpin oleh Mulla Amin Astarabadi menentang habis-habisan Allamah Al Hilli karena Mulla Amin beranggapan bahwa setiap hadis dalam Kutub Arba’ah termasuk Al Kafi semuanya otentik. Sayangnya usaha ini tidak memiliki dasar sama sekali. Oleh karena itu banyak ulama-ulama syiah baik sezaman atau setelah Allamah Al Hilli seperti Syaikh At Thusi, Syaikh Mufid, Syaikh Murtadha Al Anshari dan lain-lain lebih sepakat dengan Allamah Al Hilli dan mereka menentang keras pernyataan kelompok Akhbariyah tersebut. (lihat Prinsip-prinsip Ijtihad Antara Sunnah dan Syiah oleh Murtadha Muthahhari hal 23-30). 
 
Dari hadis-hadis dalam Al Kafi, Sayyid Ali Al Milani menyatakan bahwa 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis Muwatstsaq(hadis yang diriwayatkan perawi bukan syiah tetapi dipercayai oleh syiah), 302 hadis Qawiy (kuat) dan 9.480 hadis dhaif. (lihat Al Riwayat Li Al Hadits Al Tahrif oleh Sayyid Ali Al Milani dalam Majalah Turuthuna Bil 2 Ramadhan 1407 H hal 257). Jadi dari keterangan ini saja dapat dinyatakan kira-kira lebih dari 50% hadis dalam Al Kafi itu dhaif. Walaupun begitu jumlah hadis yang dapat dijadikan hujjah (yaitu selain hadis yang dhaif) jumlahnya cukup banyak, kira-kira hampir sama dengan jumlah hadis dalam Shahih Bukhari. 
 
Semua keterangan diatas sudah cukup membuktikan perbedaan besar di antara Shahih Bukhari dan Al Kafi. Suatu Hadis jika terdapat dalam Shahih Bukhari maka itu sudah cukup untuk membuktikan keshahihannya. Sedangkan suatu hadis jika terdapat dalam Al Kafi maka tidak bisa langsung dikatakan shahih, hadis itu harus diteliti sanad dan matannya berdasarkan kitab Rijal Syiah atau merujuk kepada Ulama Syiah tentang kedudukan hadis tersebut. 
 
Catatan:
Oleh karena cukup banyaknya hadis yang dhaif dalam Al-Kafi maka sepatutnya orang harus berhati-hati dalam membaca buku-buku yang menyudutkan syiah dengan menggunakan riwayat-riwayat Hadis Syiah seperti dalam Al-Kafi. Dalam hal ini bersikap skeptis adalah perlu sampai diketahui dengan pasti kedudukan hadisnya baik dengan menganalisis sendiri berdasarkan Kitab Rijal Syiah atau merujuk langsung ke Ulama Syiah. 
 
Dan Anda bisa lihat di antara buku-buku yang menyudutkan syiah dengan memuat riwayat syiah sendiri seperti dari Al Kafi tidak ada satupun penulisnya yang bersusah payah untuk menganalisis sanad riwayat tersebut atau menunjukkan bukti bahwa riwayat itu dishahihkan oleh ulama syiah. Satu-satunya yang mereka jadikan dalil adalah Fallacy bahwa Al Kafi itu di sisi Syiah sama seperti Shahih Bukhari di Sisi Sunni. Padahal sebenarnya tidak demikian, sungguh dengan fallacy seperti itu mereka telah menyatakan bahwa Syiah itu kafir dan sesat. Sungguh Sayang sekali. 
 
Peringatan ini jelas ditujukan kepada mereka yang akan membaca buku-buku tersebut agar tidak langsung percaya begitu saja. Pikirkan dan analisis riwayat tersebut dengan Kitab Rijal Syiah (Rijal An Najasy atau Rijal Al Thusi). Atau jika terlalu sulit dengarkan pendapat Ulama Syiah perihal riwayat tersebut. Karena pada dasarnya mereka Ulama Syiah lebih mengetahui hadis Syiah ketimbang para penulis buku-buku tersebut. 
 
Politik Adu Domba Zionis.
 
Sebenarnya perbedaan pemahaman dalam masalah hadis diatas merupakan hal yang sepele yang tidak menimbulkan perpecahan umat, namun selalu dalam hal ini oleh musuh-musuh islam di gunakan sebagai politik adu domba di tengah masyarakat Islam. Menurut Prof Dr Musthafa ar-Rifa’i lewat kitab bertajuk Islamuna fi at-Taufiq Baina as-Sunni wa asy-Syi’ah, perbedaan antara Sunni-Syiah yang selama ini kerap muncul di permukaan, hakikatnya bukan perbedaan yang prinsipil. 
 
Perbedaan hanya terletak pada persoalan non-prinsipil furuiyyah yang dapat ditoleransi.  Dalam konteks masa kini, ar-Rafa’i meyakini, faktor lain yang amat kuat memengaruhi dan memanaskan konflik antara Sunni dan Syiah adalah kekuatan eksternal yang datang dari imperalis Barat.
 
Terutama politik dan konspirasi devide et impera (politik memecah belah) yang diterapkan oleh protokol kaum Zionis yang hendak memecah belah umat. Perpecahan faksi dan sekte yang tumbuh berkembang di internal Muslim, digunakan sebagai momen membenturkan dan mengadu domba berbagai kelompok itu.
 

 


Sunni menuduh hadis syi’ah penuh kebohongan, lalu Mengapa perawi hadis sunni (seperti Bukhari dll) tidak merujuk kepada Imam Ahlulbait As ?

Kenapa Bukhari tidak mengumpulkan hadis dari jalur Imam Ja’far Shadiq ??

Jika wahabi menuduh bahwa YANG SESAT BUKAN 12 iMAM, tetapi PENGiKUT nya, maka tanyakan kepada wahabi : “Mengapa perawi hadis sunni (seperti Bukhari dll) tidak merujuk kepada Imam Ahlulbait As ?”

Sebelum terlalu jauh, mari kita ingat beberapa fakta ini:
1. Syiah adalah mazhab Islam terbesar kedua setelah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
2. Syiah adalah mazhab yang dianut oleh jumlah sangat signifikan penduduk negara-negara Timur Tengah (untuk tidak mengatakan mayoritas penduduk Teluk), tempat asal Islam.
3. Syiah adalah mazhab yang dianut oleh mayoritas dua bangsa pemilik tradisi keilmuan paling kuat dan paling kaya di dunia Islam: Iran (90%) dan Irak (68%).

Kedua bangsa yang kemudian menjadi Muslim Syiah ini bisa dibilang adalah pemilik dua khazanah kultural pra Islam (Persia dan Akkadia, Asyuria & Babilonia di wilayah Mesopotamia) yang berkontribusi paling besar terhadap kemajuan umat manusia. Intinya, Persia + Babilonia memiliki “tradisi ilmiah” di atas kebanyakan penduduk Muslim lain–tanpa mengurangi rasa hormat kepada bangsa lain, karena saya sendiri bukan tergolong dari kedua bangsa tersebut.

Ada baiknya kita bertanya: Mungkinkah kedua bangsa pemilik tradisi ilmiah hebat dan kaya itu telah sampai pada tafsir agama yang lebih baik dari kita?

4. Mari kita lihat kembali data populasi Syiah berikut ini: Iran (90%), Iraq (65%–menurut sensus rezim Saddam yang berat sebelah dan tak menunjukkan fakta sebenarnya), Azerbaijan (85%), Lebanon (35-40%), Kuwait (35%–menurut sensus rezim Wahabi yang menyesatkan Syiah), Turkey (25%), Saudi Arabia (10-15%–menurut sensus rezim Wahabi yang mengkafirkan Syiah), Yaman (40%), Uni Emirat Arab (15-20 % –menurut sensus rezim tribal Al-Nahiyan yang anti Iran) dan Bahrain (80%–menurut sensus rezim Wahabi yang menyesatkan Syiah).

Nah, setelah melihat beberapa fakta di atas, marilah kita kembali ke topik hadis Syiah. Berikut saya berikan beberapa tanggapan umum—tanpa merujuk pada poin-poin yang ditulis sebelumnya karena saya takkan terlibat perdebatan:
 
1. Apa yang disebut Sunnah atau Hadis oleh Syiah bukan hanya berupa ucapan, perilaku, sikap, kebiasaan Nabi, tapi juga seluruh ma’shum yang berjumlah 14. Dengan demikian, era wurud Sunnah tidak berhenti dengan wafatnya Nabi Besar Muhammad–seperti kepercayaan Ahlus Sunnah–melainkan berlanjut terus hingga masa kegaiban besar Imam Muhammad bin Hasan Al-Askari pada 941 M atau 329 H. Karena faktor itulah kita-kitab hadis Syiah ditulis dan dikodifikasikan dalam beberapa periode yang berbeda. Tapi itu tidak berarti bahwa kitab hadis Syiah baru ada di abad ke7 seperti diklaim sebagian orang. Jumlah hadis Syiah juga lebih banyak daripada hadis Sunni. Saya tak pernah hitung berapa persis jumlah surplusnya, tapi yg jelas ada defisit  hadis dalam mazhab Sunni:-)

Dilema justru muncul di kalangan mazhab Ahlus Sunnah yang mengakhiri periode Sunnah pada masa Nabi Muhammad tapi penulisannya terjadi jauh setelah beliau wafat. Ada periode kevakuman yang panjang. Banyak peneliti yg mencurigai bahwa dalam periode ini telah terjadi produksi hadis palsu besar-besaran. Kecurigaan ini didukung berbagai fakta. Tapi saya lagi2 tak tertarik untuk lari2an ke topik lain.

Kekayaan Sunnah dalam mazhab Syiah ini beberapa ratus tahun lalu memunculkan dampak negatif berupa fenomena pola pikir Akhbari. Kaum Akhbari percaya bahwa sunnah 14 Ma’shum sudah mencakupi semua sisi kehidupan manusia, sehingga tak perlu ada ijtihad dan sebagainya. Tapi itu juga isu lain lagi.

2.  Setiap mujtahid dalam Syiah tidak menyandarkan keabsahan hadis pada si pengumpul hadis, namun mereka harus melakukan verifikasi, investigasi dan riset hadis sendiri untuk menilai kredibilitas perawi dan kebasahan matan hadis yang diriwayatkannya. Untuk itulah, mujtahid dalam mazhab Syiah harus menguasai metode verifikasi hadis dengan handal. Bahkan, banyak di antara mujtahid yang juga sekaligus adalah muhaddits. Misalnya, Ayatullah Khoei yang beberapa saat sebelum meninggal dunia sempat mengarang buku rijal sebanyak 24 jilid besar. Kalo ada yang mau lihat buku itu, bisa download di sini: http://www.shiatc.com/Lib_List/t5.xml

3. Karena poin 2 di atas, kalangan Syiah tak mengenal adanya kitab shahih. Pengumpul hadis tak pernah mengklaim hadisnya shahih. Dia hanya mengumpulkan dan menyerahkan penilaian pada masing-masing pakar, terutama yang ingin berijtihad. Allamah Majlisi sampai berhasil menuliskan hadis Syiah dalam 120 jilid.
Di bawah, saya copas satu bab penuh dari karya Allamah Hasan Shadr berkenaan dengan kepeloporan Syiah dalam bidang Hadis.

Bab Kedua.
Kepeloporan Syi’ah dalam Ilmu-ilmu Hadis.
Sebelum memasuki serangkaian pasal dari bab ini, kami akan mengajak pembaca untuk mengenal alasan kepeloporan kaum Syi’ah dalam ilmu-ilmu hadis. Di sini, saya hendak menyatakan bahwa di antara para sahabat dan para tabi’in terdapat perselisihan besar tentang penulisan ilmu. Banyak dari mereka enggan melakukan penulisan dan penyusunan ilmu, meski ada sebagian dari mereka yang melakukannya, di antaranya ialah Ali ibn Abi Thalib a.s. dan putra beliau yang pertama; Hasan Al-Mujtaba a.s .

Sebagaimana yang dikatakan oleh As-Suyuthi di dalam Tadribur Rawi, bahwa Nabi saw. telah mendiktekan kepada Ali bin Abi Thalib seluruh yang terkumpul di dalam sebuah kitab besar, dan Al-Hakam ibn ‘Uyainah telah melihat kitab tersebut berada di tangan Imam Muhammad Al-Baqir, yaitu ketika di antara mereka berdua terjadi perselisihan pen-dapat tentang suatu masalah, lalu Imam Al-Baqir a.s. mengeluarkan kitab itu dan menjelaskannya lalu menga-takan kepada Al-Hakam: “Ini adalah tulisan tangan Ali ibn Abi Thalib yang didiktekan oleh Rasulullah, dan inilah kitab pertama yang menghimpun ilmu-ilmu pada masa hidup Rasulullah saw.” Maka, kaum Syi’ah mengetahui bagai-mana penyusunan ilmu itu sebegitu rapihnya. Lalu, mereka segera menapaki langkah imam pertama mereka.

Sementara itu, terdapat sekelompok dari selain Syi’ah yang justru melarang penyusunan ilmu ke dalam sebuah kitab, sehingga mereka tertinggal. Al-Jahidz As-Suyuthi di dalam Tadribur Rawi mengatakan: “Karya-karya yang mun-cul pada jaman sahabat dan kaum tabi’in belum tersusun secara rapih, mengingat hafalan mereka yang kuat, selain juga sebelum itu mereka melarang upaya penulisan ilmu-ilmu, sebagaimana yang disinyalir di dalam Shahih Muslim, lantaran kekuatiran mereka terhadap pencampuradukan hadis dengan ayat-ayat Al-Quran. Di samping itu juga karena sebagian besar dari mereka tidak mampu menulis.”
Saya katakan bahwa hal ini terjadi pada selain sahabat dan tabi’in besar Syi’ah. Adapun sahabat dan tabi’in dari Syi’ah, mereka sudah merumuskan ilmu dan menyusunnya, sebagaimana usaha ini telah dimulai oleh Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s.

Pasal Pertama.
Tentang Orang Pertama yang Mengumpulkan Hadis dan Menyusunnya ke dalam Bab-bab.
Di antara orang Syi’ah yang pertama kali melakukan proses pengumpulan dan penyusunan itu ialah Abu Rafi’e; budak Rasulullah saw. An-Najasyi di dalam Asma’ Mushannifisy Syi’ah, mengatakan: “Dan Abu Rafi’e budak Rasulullah saw. mempunyai kitab As-Sunan wal Ahkam wal-Qodhoya”. Lalu ia  menyebutkan sanad-sanadnya sampai periwayatan kitab secara bab per bab;  mulai dari bab shalat, puasa, haji, zakat dan tema-tema muamalah. Kemudian dia menyatakan bahwa Abu Rafi’e telah menjadi Muslim secara lebih dahulu di Mekkah lalu hijrah ke Madinah dan ikut serta bersama Nabi saw. dalam banyak peperangan, dan setelah wafat beliau, ia menjadi pengikut setia Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s.

Abu Rafi’e tergolong sebagai orang Syi’ah yang saleh, dan turut terjun di dalam peperangan bersama Ali ibn Abi Thalib a.s. Ia juga dipercayai sebagai pemegang kunci Baitul Mal di masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib di Kufah.

Abu Rafi’e meninggal pada tahun 35 H., sesuai dengan kesaksian Ibnu Hajar di dalam At-Taqrib, di mana ia telah membenarkan tahun wafatnya di awal kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib a.s. Atas dasar ini, menurut ijma’ para ulama, tidak ada orang yang lebih dahulu dari Abu Rafi’e dalam upaya mengumpulkan hadis dan menyusunnya secara bab perbab. Karena, nama-nama yang disebutkan mengenai penghimpun hadis, semuanya muncul di pertengahan abad kedua.

Sebagaimana yang dicatat di dalam At-Tadrib oleh As-Suyuthi dan dinukil oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari, bahwa orang pertama yang mengumpulkan dan menyusun hadis-hadis berdasarkan perintah Umar ibn Abdul Aziz adalah Ibnu Syahab Az-Zuhri. Segera Ibnu Syahab memulai tugasnya di awal abad kedua Hijriyah, lantaran Umar ibn Abdul Aziz menjadi khalifah pada tahun 98 H. atau 99 H., dan meninggal pada tahun 101 H. Di dalam kitab Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, kami secara khusus memberikan catatan-catatan kritis terhadap apa yang diterangkan oleh Ibnu Hajar Asqolani.

Pasal Kedua.
Tentang Orang Pertama dari Kaum Sahabat yang Syi’ah yang Mengumpulkan Hadis dalam Satu Bab dan Satu Judul.
Mereka adalah Abu Abdillah Salman Al-Farisi dan Abu Dzar Al-Ghifari. Rasyiduddin ibn Syarhasub di dalam kitab Ma’alim Ulamau Syi’ah, telah memberikan kesaksiannya atas hal ini. Begitu pula Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi, guru besar Syi’ah, dan Syeikh Abu Abbas An-Najasyi di dalam kitab-kitab mereka, yaitu Asma Mushannifis Syi’ah, ketika mengulas ihwal Abu Abdillah Salman Al-Farisi dan Abu Dzar Al-Gifari. Mereka melacak dan mampu menemukan sanad-sanadnya sampai periwayatan kitab Salman dan kitab Abu Dzar. Kitab Salman adalah kitab hadis Al-Jatsliq dan kitab Abu Dzar adalah sebuah surat khotbah yang di dalamnya menjelaskan pelbagai perkara dan peristiwa yang terjadi setelah wafat Rasulullah saw.

Sayyid Al-Khunsari di dalam kitab Ar-Raudhah fi Ahwalil ‘Ulama’ wa As-Sadat, menerangkan sebuah kitab yang dinukil dari kitab Az-Zinah karya Abu Hatim di juz ketiga; bahwa kata ‘syi’ah’ pada masa Rasulullah saw. adalah nama untuk empat sahabat, yaitu Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad Ibnul Aswad Al-Kindi dan Ammar ibn Yasir. Demikian ini telah disebutkan juga di dalam kitab Kasyful Dzunun dan kitab Az-Zinah karya Abu Hatim Sahal ibn Muhammad As-Sajastani yang wafat pada tahun 205 H.

Pasal Ketiga.
Tentang Orang Pertama yang Menyusun Kata-kata Hikmah dari Para Tokoh Tabi’in Syi’ah.
Para tokoh tabi’in Syi’ah itu melakukan penyusunan di satu masa, hanya saja saya tidak tahu mana di antara mereka yang melakukan hal ini lebih dahulu. Di antara mereka ialah Ali ibn Abi Rafi’e; sahabat Ali ibn Abi Thalib a.s sekaligus sebagai sekretaris dan pemegang kunci Baitul Mal.

An-Najasyi di dalam Asma Mushannifisy Syi’ah, pada bab nama-nama generasi pertama Syi’ah yang mengarang  kitab, mengatakan: “Ali ibn Abu Rafi’e adalah seorang tabi’in dari Syi’ah yang soleh yang bersahabat dekat dengan Amiril Mukminin  Ali ibn Abi Thalib a.s. Ia juga sekretaris beliau dan menghafal banyak hal dan menyusun sebuah kitab yang menghimpun pelbagai bab Fiqih, seperti Wudhu, Shalat, dan bab-bab hukum lainnya. Lalu ia menyambungkan sanadnya sampai ke Ali ibn Abi Thalib a.s.

Dan saudara Ali ibn Abu Rafi’e bernama Ubaidillah ibn Abu Radfi’e adalah sekretaris Ali ibn Abi Thalib a.s. Ia mengarang kitab Kitabul Qodho Amiril Mu’minin dan kitab Tasmiyatu Man Syahida ma’a Amiril Mu’minin Al-Jamala wash Shiffin wan Nahrawan minal Shohabah (kitab yang mencatat nama-nama para sahabat yang ikut bertempur bersama Imam Ali a.s. di perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan, pent.). Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Fehrest Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi dan di At-Taqrib karya Ibnu Hajar, bahwa Ubaidillah adalah sekretaris Ali ibn Abi Thalib dan perawi yang terpercaya.

Selain dua bersaudara di atas, adalah Ashbagh ibn Nubatah Al-Majasyi’ie. Ia sahabat khusus Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. dan berumur panjang hingga masih hidup setelah wafatnya Ali ibn Abi Thalib. Ashbagh telah meriwayatkan surat Ali ibn Abi Thalib tentang pelantikan Malik Al-Asytar sebagai gubernur Mesir. An-Najasyi berkata: “Surat itu adalah surat yang amat masyhur, juga sebagai wasiat Imam Ali ibn Abi Thalib kepada putranya yang bernama Muhammad ibn Hanafiyah.” Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi menambahkan dalam Al-Fehrest, bahwa Ashbagh ibn Nubatah juga mempunyai kitab Maqtalul Husein ibn Ali, yang darinya Ad-Dauri telah meriwayatkan.

Lalu di antara mereka ialah Sulaim ibn Qois Al-Hilali Abu Shadiq, sahabat dekat Ali ibn Abi Thalib. Ia menulis kitab yang sangat bagus. Di dalamnya ia meriwayatkan hadis-hadis dari Imam Ali ibn Abi Thalib, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad, Ammar ibn Yasir, dan sekelompok dari sahabat besar Nabi saw.

Syeikh Imam Abu Abdillah An-Nu’mani, yang perihal dirinya telah diulas pada pasal tokoh-tokoh tafsir terdahulu, di dalam kitab Al-Ghaibah, tepatnya setelah menukil sebuah hadis dari kitab Sulaim ibn Qois, mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dan perawi kaum Syi’ah tentang bahwa kitab Sulaim ibn Qois adalah salah satu kitab induk yang banyak dinukil hadis dan riwayatnya oleh para ulama dan perawi hadis Ahlul Bait. Dan kitab itu merupakan kitab rujukan kaum Syi’ah.” Sulaim ibn Qois wafat di awal pemerintahan Hajjaj ibn Yusuf di kota Kufah.

Lalu di antara mereka ialah Maitsam ibn Yahya Abu Soleh At-Tammar. Ia adalah salah satu sahabat dekat Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. dan pemegang rahasia-rahasia beliau. Maitsam menulis kitab yang bagus mengenai hadis. Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi, Syeikh Abu Amr Al-Kisyi dan Ath-Thabari di dalam Bisyarotul Musthafa, banyak menukil hadis dari kitab Maitsam ini. Maitsam wafat di Kufah karena dibunuh oleh Ubaidillah ibn Ziyad lantaran kesyi’ahannya.

Lalu di antara mereka ialah Muhammad ibn Qois Al-Bajali. Ia mengarang sebuah kitab yang diriwayatkan dari Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. Para tokoh tabi’in Syi’ah telah menyebutkan kitab tersebut. Mereka juga banyak meriwayatkan hadis-hadis darinya. Adapun Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi di dalam Al-Fehrest dari Ubaid ibn Muhammad ibn Qois mengatakan: “Saya mengajukan kitab ini kepada Abu Ja’far Imam Muhammad Al-Baqir a.s., lalu beliau berkata: ‘Kitab ini adalah perkataan Ali ibn Abi Thalib a.s.’. Dan di awal-awal kitab itu, diriwayatkan bahwa jika seseorang hendak melakukan shalat, katakanlah di awal shalatnya… Begitu selanjutnya hingga akhir kitab.”

Ya’la ibn Murroh mempunyai satu naskah kitab itu yang diriwayat-kannya dari Ali ibn Abi Thalib a.s. An-Najasyi di dalam Al-Fehrest telah membawakan sanad kesaksian atas keberadaan naskah tersebut dari Ya’la.

Lalu di antara mereka ialah Ibnul Hurr Al-Ja’fi. Ia seorang tabi’in Kufah dan penyair Persia. Ia memiliki sebuah naskah hadis yang diriwayatkan dari Amiril Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. Al-Ja’fi wafat di masa kekuasaan Al-Mukhtar. An-Najasyi telah menempatkannya dalam jajaran  pertama dari tokoh-tokoh pengarang Syi’ah.

Lalu di antara mereka ialah Tabi’ah ibn Sami’ie. Ia menulis sebuah kitab tentang bab zakat. An-Najasyi menyebutkan nama ini di generasi pertama dari tokoh-tokoh pengarang Syi’ah. Ia termasuk dari kaum tabi’in.

Lalu Harts ibn Abdillah Al-A’war, dari kota Hamadan. Ia termasuk sahabat Ali ibn Abi Thalib a.s. Harts meri-wayatkan pelbagai permasalahan yang disampaikan oleh Imam Ali a.s. kepada seorang Yahudi, kemudian Ammar ibn Abil Miqdad meriwayatkannya dari Abi Ishaq As-Sami’ie yang ia sendiri meriwayatkannya dari Harts Al-A’war, dan yang terakhir ini meriwayatkan dari Ali ibn Abi Thalib a.s., sebagaimana yang termaktub di dalam Al-Fehrest karya Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi. Harts wafat pada masa kekuasaan Ibnu Zubeir.

Namun, Syeikh Rasyiduddin Ibn Syahrasyub di awal kitabnya, Ma’alimul ‘Ulama’, membawakan sebuah daftar kitab mengenai jawaban yang disampaikan oleh Al-Ghazzali, bahwa kitab pertama yang dikarang di dalam Islam ialah kitab Ibnu Juraij tentang hadis dan tafsir huruf-huruf dari Mujahid dan ‘Atha’ di Mekkah, lalu kitab Mu’ammar ibn Rafi’e Ash-Shan’ani di Yaman, lalu kitab Al-Muwaththa’ karya Malik ibn Anas, lalu kitab Al-Jami’e karya Sufyan Ats-Tsauri.

Kemudian Ibnu Syahrasyub mengatakan: “Namun yang benar ialah bahwa orang pertama yang mengarang kitab di bidang ini dalam Islam ialah Amiril Mukiminin Ali ibn Abi Thalib lalu Salman Al-Farisi, lalu Abu Dzar Al-Ghifari, lalu Ashbagh ibn Nubatah, lalu Ubaidillah ibn Abu Ra’fi’e, lalu Shohifah Kamilah Sajjadiyyah dari Imam Ali Zainal Abidin a.s.”

Syeikh An-Najasyi menyatakan bahwa generasi pertama adalah para pengarang, sebagaimana telah disebutkan, tanpa menerangkan siapa yang lebih dahulu, juga tidak menjelaskan urutan-urutan mereka. Begitu pula Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi menyebutkan nama-nama mereka tanpa menerangkan urutan yang tegas. Mungkin Ibnu Syahrasyub telah menemukan sesuatu yang tidak mereka temukan.

Sebuah catatan di akhir pasal ini ialah bahwa Al-Jahidz Adz-Dzahabi tatkala menyinggung riwayat hidup Aban ibn Taghlab, memberikan kesaksian bahwa mazhab Syi’ah di kalangan tabi’in dan generasi setelah tabi’in amat berkembang dan dikenal dengan ketaatan, warak dan kejujuran. Lalu mengatakan: “Jika ucapan-ucapan mereka itu ditolak, maka akan banyak hadis-hadis Nabi saw. yang tercampakkan. Ini sebuah konsekuensi yang jelas keliru dan merugikan.”

Saya katakan, renungkanlah kesaksian Al-Jahidz ini, dan ketahuilah kemuliaan pada kepeloporan nama-nama mereka yang telah kami bawakan di sini dan nama-nama yang akan kami sebutkan setelah ini, yaitu dari kaum tabi’in Syi’ah dan generasi Syi’ah setelah mereka.

Pasal Keempat.
Tentang Orang Pertama Penghimpun Hadis di Pertengahan Abad Kedua.
Dari kaum Syi’ah yang menyusun kitab-kitab, pokok-pokok akidah dan perincian hukum-hukum yang diriwayatkan dari jalur Ahlul Bait adalah mereka yang hidup di masa-masa orang yang disebutkan berkenaan dengan orang pertama yang mengumpulkan riwayat dari kalangan Ahli Sunnah. Mereka meriwayatkan hadis-hadis dari Imam Ali Zainal Abidin a.s. dan dari putranya; Imam Muhammad Al-Baqir a.s. Di antara mereka adalah Aban bin Taghlab. Ia telah meriwayatkan tiga puluh ribu hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s.

Ada pula Jabir ibn Yazid Al-Ja’fi yang meriwayatkan tujuh puluh ribu hadis dari Imam Muhammad Al-Baqir a.s., dari ayah-ayah beliau hingga Nabi saw. Jabir mengatakan: “Aku memiliki lima puluh ribu hadis yang belum aku sampaikan. Semuanya dari Nabi saw. dari jalur Ahlul Bait a.s.”

Terdapat nama-mana lain yang melakukan penghimpunan dan periwayatan hadis sebanyak di atas tadi, seperti Abu Hamzah, Zurarah ibn A’yan, Muhammad ibn Muslim Ath-Thaifi, Abu Bashir Yahya ibn Al-Qosim Al-Asadi, Abdul Mu’min ibn Al-Qosim ibn Qois ibn Muhammad Al-Anshari, Bassam ibn Abdullah Ash-Shairafi, Abu Ubaidah Al-Hidzaie Ziyad ibn Isa Abu Raja’ Al-Kufi, Zakaria ibn Abdullah Al-Fayyad Abu Yahya, Jahdar ibn Al-Mughirah Ath-Thaie, Hajar ibn Zaidah Al-Hadhrami Abu Abdillah, Muawiyah ibn Ammar ibn Abi Muawiyah, Khabbab ibn Abdillah, Al-Mutthalib Az-Zuhri Al-Qurasyi Al-Madani, dan Ab-dullah ibn Maimun ibn Al-Aswad Al-Qoddah. Saya telah singgung kitab dan riwayat hidup mereka masing-masing di dalam Ta’sisusy Sy’ah li Fununil Islam.

Sementara itu, Tsaur ibn Abu Fakhitah Abu Jaham telah meriwayatkan hadis-hadis dari sekelompok sahabat Nabi saw. Dan ia memiliki sebuah kitab yang masih utuh dari Imam Muhammad Al-Baqir a.s.

Pasal Kelima.
Tentang Orang Pertama dari Kaum Syi’ah yang Menyusun Kitab Hadis Setelah Pertengahan Abad Kedua.
Terdapat sekelompok sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. yang meriwayatkan hadis dari beliau dan menghimpunnya ke dalam empat ratus kitab dengan judul Al-Ushul. Syeikh Imam Abu Ali Al-Fadhl ibn Al-Hasan Ath-Thabarsi dalam kitabnya, A’lamul Wara’, mengatakan: “Dinukil secara hampir mutawatir oleh banyak kalangan, bahwa orang-orang yang meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. adalah mereka yang tergolong dari tokoh-tokoh besar yang jumlah mereka mencapai empat ribu. Lalu, mereka menyusun hadis-hadis tersebut ke dalam empat ratus kitab yang dikenal di tengah kaum Syi’ah dengan nama Al-Ushul. Kemudian, kitab ini diriwayatkan oleh sabahat-sahabat Imam Ash-Shadiq a.s. dan oleh para sahabat putra beliau; Imam Al-Kadzim a.s.”

Abul Abbas Ahmad ibn ‘Uqdah telah menulis sebuah buku terpisah dengan judul Kitabu Rijali Man Rowa ‘an Abi Abdillah Ash-Shadiq. Kitab ini secara khusus menghimpun nama-nama mereka yang meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. Bahkan, Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi menyebutkan dan menghitung karangan-karangan mereka masing-masing dalam bab ‘Ashabu Abi Abdillah Ash-Shadiq’ dari kitabnya;  Ar-Rijal, yaitu kitab yang disusun menurut nama-nama sahabat setiap dua belas imam a.s.

Pasal Keenam.
Tentang Jumlah Kitab yang Dikarang oleh Orang Syi’ah tentang Hadis dari Jalur  Ahlul Bait,
Sejak Masa Imam Ali bin Abi Thalib Sampai Masa Imam Hasan Al-Askari a.s.
Ketahuilah bahwa jumlah kitab-kitab itu melampaui angka 6600, sebagaimana yang dicatat oleh Syeikh Al-Jahidz Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr, penulis Al-Wasail, dan ia menyatakan jumlah tersebut secara tegas pada bab keempat dari kitabnya yang besar tentang hadis, yaitu Wasailusy Syi’ah ila Ahkamisy Syari’ah. Tentang semua ini, saya juga telah membawakan data-data yang menguatkan jumlah di atas tadi dalam kitab saya yang berjudul Nihayatud Dirayah fi Ushuli Ilmil Hadis.

Pasal Ketujuh
Tentang Generasi Berikut yang Menjadi Tokoh Ilmu Hadis dan Penyusun Kitab-kitab Induk yang Hingga Kini Merupakan Rujukan Hukum-hukum Syar’ie Kaum Syi’ah
Ketahuilah bahwa tiga Muhammad pertama adalah tokoh terdepan dalam penyusunan empat kitab induk hadis. Yang   pertama ialah Muhammad ibn Ya’qub Al-Kulaini, penyusun kitab Al-Kafi. Ia wafat pada 328 H. Di dalam kitab tersebut, Al-Kulaini telah mencatat sebanyak 16099 hadis beserta sanad-sanadnya.
Kedua ialah Muhammad ibn Ali ibn Al-Husein ibn Musa ibn Babaweih Al-Qummi yang wafat pada tahun 381 H. Ia dikenal juga dengan panggilan nasab Abu Ja’far Ash-Shaduq. Ia telah menyusun 1400 kitab tentang ilmu hadis. Yang terbesar di antara kitab-kitab Ash-Shaduq adalah kitab  Man La Yahdhuruhul Faqih yang memuat 9044 hadis menge-nai hukum-hukum syariat dan sunah-sunah.

Ketiga adalah Muhammad ibn Al-Hasan Ath-Thusi yang terkenal dengan gelar Syeikh Ath-Thoifah. Ia telah menulis kitab Tahdzibul Ahkam, dan menyusunnya ke dalam 393 bab, dan mencatat hadis sebanyak 13590. Kitab Ath-Thusi lainnya adalah Al-Istibshor yang memuat 920 bab sehingga mencakup 5511 hadis. Inilah empat kitab induk yang menjadi rujukan utama kaum Syi’ah.

Kemudian tibalah peran tiga Muhammad terakhir yang juga tergolong sebagai tokoh kitab induk hadis. Pertama ialah Imam Muhammad Al-Baqir ibn Muhammad At-Taqie. Ia terkenal dengan nama Al-Majlisi. Kitab besar yang ditulis Al-Majlisi adalah kitab Biharul Anwar; fil Ahaditsil Marwiyyah ‘anin Nabi wal Aimmah min Alihil Ath-har. Kitab ini disusun sebanyak 26 jilid tebal. Dapat dikatakan bahwa kitab ini telah menjadi pegangan kaum Syi’ah. Sebab, tidak ada kitab induk hadis yang paling lengkap selain kitab Biharul Anwar. Sehingga Tsiqotul Islam Allamah An-Nurie menulis sebuah kitab yang berjudul Al-Faidhul Qudsi fi Ahwalil Al-Majelisi dan dicetak di Iran, yakni sebuah kitab yang secara khusus mengulas ihwal kehidupan Al-Majlisi.

Kedua ialah Muhammad ibn Murtadha ibn Mahmud, seorang tokoh besar ilmu hadis dan guru utama di dua bidang ilmu aqli dan naqli. Ia lebih dikenal dengan nama Muhsin Al-Kasyani dan julukan ‘Al-Faydh’. Kitab hadis yang ditulis olehnya berjudul Al-Wafi fi Ilmil Hadis, yang ketebalannya mencapai 14 jilid, dan setiap jilidnya merupa-kan kitab tersendiri. Kitab Al-Wafi menghimpun hadis-hadis yang tercatat di dalam empat kitab induk terdahulu berke-naan dengan akidah, hukum syariat, akhlak dan sunah-sunah. Usia Muhsin Al-Kasyani mencapai 84 tahun dan wafat pada tahun 1091 H. Dalam usainya yang panjang itu, ia telah mengarang kurang lebih dua ratus kitab dari pelbagai bidang ilmu.

Ketiga ialah Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr Asy-Syami Al-‘Amili Al-Masyghari, seorang ulama hadis yang mayshur di kalangan ahli hadis dengan gelar Syeikhusy Syuyukh (guru para guru). Ia menulis kitab Tafshil Wasailsy Syi’ah ila Tahshil Ahadits Asy-Syari’ah, dan penyusunannya mengacu pada kitab-kitab Fiqih.

Di antara kitab-kitab induk hadis, kitab hadis Al-‘Amili ini tergolong sebagai kitab yang paling  banyak diakses oleh ulama. Di dalamnya telah tercatat hadis-hadis yang dinukil dari 80 kitab induk hadis, 70 dari jumlah itu dinukil dengan perantara, dan dicetak berkali-kali di Iran. Bisa dikatakan bahwa kaum Syi’ah sekarang lebih berkutat pada kitab ini. Muhammad Al-‘Amili dilahirkan pada bulan Rajab 1033 dan wafat pada tahun 1204 H. di Thus-Khurasan (sebuah propinsi di bagian barat Iran).

Dan Syeikh Allamah Tsiqotul Islam Al-Husein ibn Allamah An-Nurie telah menghimpun hadis-hadis yang tidak dicatat oleh penulis Wasailusy Syi’ah, dan menyu-sunnya di dalam sebuah kitab berjilid berdasarkan susunan bab-bab kitab Wasailusy Syi’ah, dan meletakkan judul Mustadrokul Wasail wa Mustanbatul Masail padanya. Secara umum, kitab ini bentuk lain dari kitab Wasailusy Syi’ah. Dan dapat dikatakan bahwa kitab Syeikh An-Nurie ini meru-pakan kitab hadis Syi’ah yang paling besar, di mana Syeikh telah menyelesaikannya pada tahun 1319 H. Ia wafat pada 28 Jumadil Akhir 1320 H.

Dan masih banyak kitab-kitab induk hadis yang disusun oleh ulam-ulama besar hadis Syi’ah. Di antaranya ialah kitab Al-‘Awalim sebanyak 100 jilid, karya seorang ahli hadis yang tersohor bernama Syeikh Abdullah ibn Nurullah Al-Bahrani. Ia hidup semasa dengan Allamah Al-Majlisi, pengarang kitab Biharul Anwar yang telah kami singgung di atas tadi.

Selain Al-‘Awalim adalah kitab Syarhul Istabshor fi Ahaditsul Aimmatil Athhar yang disusun Syeikh Qosim ibn Muham-mad ibn Jawad ke dalam beberapa jilid besar, mirip dengan kitab Biharul Anwar. Syeikh Qosim dikenal dengan panggilan Ibnu Al-Wandi dan panggilan Faqih Al-Kadzimi. Ia hidup semasa dengan Syeikh Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr; pengarang kitab Wasailusy Syi’ah sebagaimana telah dising-gung. Syeikh Qosim adalah salah seorang murid utama  datuk saya, Allamah Sayyid Nuruddin; saudara Sayyid Muhammad pengarang kitab Al-Madarik.

Selain itu adalah kitab Jami’ul Akhbar fi Idhohil Istibshor. Kitab ini tergolong kitab hadis yang besar yang disusun ke dalam banyak jilid oleh Syeikh Allamah Abdullatif ibn Ali ibn Ahmad ibn Abu Jami’ Al-Haritsi Al-Hamadani Asy-Syami Al-‘Amili. Ia menimba ilmu dari Syeikh Al-Hasan ibn Abu Mansur ibn Asy-Syahid Syeikh Zainuddin Al-‘Amili, penulis kitab Al-Ma’alim dan Al-Muntaqo, dan salah seorang ulama abad keepuluh Hijriyah.

Selain itu adalah kitab induk besar yang berjudul Asy-Syifa fi Hadis Alil Mushtafa. Kitab ini mencakup beberapa jilid tebal, disusun oleh seorang ulama peneliti hadis yang ulung, yaitu Syeikh Muhammad Ar-Ridha, putra seorang ahli fiqih; Syeikh Abdullatif At-Tabrizi. Ia telah menuntaskan penulisan kitab tersebut pada tahun 1158 H.

Selain itu adalah kitab Jami’ul Ahkam yang tercetak hingga mencapai 25 jilid besar, disusun oleh Allamah Abdullah ibn Sayyid Muhammad Ar-Ridha Asy-Syubbari Al-Kadzimi. Pada masa itu, ia dikenal sebagai guru besar kaum Syi’ah dan penulis unggul. Dapat dikatakan bahwa setelah era Allamah Al-Majlisi, tidak ada ulama yang mengarang kitab lebih banyak daripada karya-karyanya. Sayyid Muhammad Ar-Ridha wafat di Kadzimain pada tahun 1242 H.

Pasal Kedelapan.
Kepeloporan Kaum Syi’ah dalam Menggagas Ilmu Dirayah dan Membaginya ke Beberapa Cabang Utama.
Orang pertama yang memulai perintisan dan penggagasan ilmu ini ialah Abu Abdillah Al-Hakim yang lahir di Naysabur (Khurasan-Iran). Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Abdullah. Ia wafat pada 405 H. Semasa hidupnya, Al-Hakim telah mengarang sebuah kitab yang berjudul Ma’rifatu Ulumil Hadis setebal lima jilid, lalu membagi ilmu-ilmu hadis ke lima puluh cabang.

Kitab Kasyful Dzunun telah menyatakan kesaksiannya atas kepeloporannya dalam penggagasan ilmu Dirayah, dan mengatakan: “Orang pertama yang memulai penggagasan dan pembagian ilmu Hadis ialah Muhammad ibn Abdullah dari Naysabur, kemudian diikuti oleh Ibnu Ash-Shalah.”.

Sementara itu, Al-Jahidz As-Suyuthi menyebutkan dalam kitab Al-Wasail fil Awail, bahwa orang pertama yang menyu-sun macam-macam ilmu Hadis dan membaginya menjadi beberapa cabang yang masih dikenal sampai sekarang ialah Ibnu Ash-Shalah. Ia wafat pada tahun 643 H.

Data ini tidaklah bertentangan dengan apa yang baru saja kami bawakan. Sebab, Al-Jahidz hendak menyebutkan orang pertama yang mengerjakan hal itu dari kaum Ahli Sunnah, sedangkan Abu Abdillah Al-Hakim adalah seorang Syi’ah berdasarkan kesepakatan para ulama Ahli Sunnah dan Syi’ah. Syeikh As-Sam’ani di dalam Al-Ansab, Syeikh Ahmad ibn Taimiyah dan Al-Jahidz Adz-Dzahabi di dalam Tadzkirotul Huffadz telah menyatakan secara tegas kesyi’ahan Al-Hakim.

Bahkan dalam Tadzkirotul Huffadz, misalnya, Adz-Dzahabi menuturkan kesaksian Ibnu Thahir yang mengatakan: “Aku bertanya kepada Abu Ismail Al-Anshari perihal Al-Hakim. Ia berkata: ‘Ia adalah perawi yang terpercaya di bidang hadis dan seorang Syi’ah yang penyimpang’”. Lalu Adz-Dzahabi mengatakan: “Lalu Ibnu Thahir berkata: ‘Abu Abdillah Al-Hakim adalah seorang syi’ah yang fanatik dalam taqiyah-nya, namun ia menampakkan kesunniannya dalam permasalahan khilafah dan khalifah pertama setelah Nabi saw. Ia berseberangan dengan Muawiyah dan sanak keluarganya seraya menampakkan pengakuannya pada mereka; suatu hal yang tidak bisa diterima pendiriannya ini.’”

Pada hemat saya, ulama-ulama kami, Syi’ah, juga telah menyatakan kesaksian mereka atas kesyi’ahan Abu Abdillah Al-Hakim, seperti Syeikh Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr di akhir-akhir kitab Wasailusy Syi’ah. Di dalam Ma’alimul Ulama di bab ‘Al-Kuna’, ia menukil dari Ibnu Syarasyub yang menilai Al-Hakim sebagai salah seorang pengarang Syi’ah, dan ia memiliki kitab tentang keutamaan-keutamaan Ahlul Bait serta sebuah kitab khusus tentang keutamaan-keutamaan Imam Ar-Ridha a.s. Mereka juga menyebutkan sebuah kitabnya khusus berkenaan dengan keutamaan-keutamaan Fatimah Az-Zahra a.s.

Bahkan, Abdullah Afandi telah menerangkan riwayat hidup Al-Hakim secara rinci dalam kitabnya; Riyadul ‘Ulama, di bagian pertama yang secara khusus membahas Syi’ah Imamiyah. Begitu juga, Afandi menyebutkan nama-nya dan memberikan kesaksian atas kesyi’ahannya di bab ‘Al-Alqob’ dan di bab ‘Al-Kuna’. Di dalam kitab itu, ia menyebutkan dua kitab Al-Hakim yang berjudul Ushul Ilmil Hadis dan Al-Makhal ila Ilmish Shohih. Afandi mengatakan: “Dan Al-Hakim telah mencatat hadis-hadis tentang Ahlul Bait yang tidak termaktub di dalam Shahih Al-Bukhari, seperti hadis ‘Ath-Thoirul Masywi’ dan hadis ‘Man Kuntu Maulahu.’”

Setelah Abu Abillah Al-Hakim, terdapat sekelompok tokoh ilmu Hadis dari kaum Syi’ah yang mengarang di bidang Dirayah. Di antara mereka ialah Sayyid Jamaluddin Ahmad ibn Thawus Abul Fadhail. Dialah peletak istilah-istilah hadis Syi’ah Imamiyah berkenaan dengan pembagian hadis kepada empat macam; shahih, hasan, muwatssaq dan dzaif. Ibnu Tawus wafat pada tahun 673 H.

Dan di antara mereka ialah Sayyid Allamah Ali ibn Abdul Hamid Al-Hasani. Ia mengarang kitab Syarh Ushul Dirayatul Hadis. Ia juga melaporkan dari Syeikh Allamah Al-Hilli ibn Al-Muthahhar dan Syeikh Zainuddin yang masyhur dengan gelar Syahid Tsani (sang syahid kedua), sebuah kitab bernama Ad-Dirayah fi Ilmid Dirayah dan syarahnya yang berjudul Ad-Dirayah.

Dan di antara mereka ialah Syeikh Al-Husein ibn Abdul Shomad Al-Haritsi Al-Hamadani; pengarang kitab Wushulul Akhyar ila Ushulil Akhbar, Syeikh Abu Mansur Al-Hasan ibn Zainudin Al-‘Amili; pengarang kitab Muqod-dimatul Muntaqo dan Ushul Ilmil Hadis, dan Syeikh Bahauddin Al-‘Amili pengarang kitab Al-Wajizah fi Ilmi Diroyahtul Hadis. Saya telah menyarahi kitab terakhir ini dalam sebuah kitab yang saya namai dengan judul Syarah Nihayatud Dirayah, dan dicetak di India sampai menjadi kurikulum di sekolah-sekolah pen-didikan agama.

Pasal Kesembilan.
Tentang Orang Pertama yang Menyusun Ilmu Rijal dan Riwayat Hidup Para Perawi.
Ketahuilah bahwa Abu Abdillah Muhammad ibn Khalid Al-Barqi Al-Qummi adalah seorang sahabat Imam Musa ibn Ja’far Al-Kadzim a.s., sebagaimana Syeikh Abu Ja’far Ath-Thusi mencatat hal ini di dalam kitab Ar-Rijal. Dan Abul Faraj Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest, di awal bagian kelima pasal keenam mengenai riwayat tokoh-tokoh fiqih Syi’ah menyebutkan karya Al-Barqi di bidang ilmu Rijal. Di sana ia mengatakan: “Dan di antara karya-karya Al-Barqi adalah Al-‘Awidh, At-Tabshiroh dan Ar-Rijal. Di dalam kitab terakhir ini, ia menyebutkan nama-nama yang meriwayatkan hadis-hadis dari Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.”
Setelah Al-Barqi ialah Abu Muhammad Abdullah ibn Jablah ibn Hayyan ibn Abhar Al-Kinani. Ia mengarang kitab Ar-Rijal. Abdullah Al-Kinani berusia panjang dan wafat pada tahun 219 H.

As-Suyuthi dalam Al-Awail mengatakan: “Orang pertama yang membahas ilmu Rijal ialah Syu’bah.” Jelas, bahwa Syu’bah datang setelah Abdullah ibn Jablah, karena yang pertama wafat pada tahun 260 H. Bahkan setelah Abdullah ibn Jablah dan sebelum Syu’bah, terdapat sahabat Imam Al-Jawad a.s. yang bernama Abu Ja’far Al-Yaqthini. Ia menulis Kitabur Rijal, sebagaimana yang dicatat oleh An-Najasyi di dalam Al-Fehrest dan Ibnu Nadim di dalam Al-Fehrest.

Saya bubuhkan di sini, bahwa Abu Abdillah Muhammad ibn Khalid Al-Barqi juga seorang sahabat imam Ahlul Bait, yaitu Imam Musa Al-Kadzim a.s. dan Imam Ali Ar-Ridha a.s. Bahkan, ia juga sempat menjumpai Imam Muhammad Al-Jawad a.s. Kitab Al-Barqi masih terjaga utuh dan tersedia sampai sekarang. Di dalamnya disebutkan nama perawi-perawi yang meriwayatkan hadis dari Ali bin Abi Thalib a.s. dan perawi-perawi setelah mereka. Kitab itu juga memuat tema penting Rijal mengenai Al-Jarah wat Ta’dil (penilaian kritis atas ihwal kehidupan para perawi), sebagaimana yang juga dibahas oleh semua kitab Rijal.
Lalu, Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid Al-Barqi yang mengarang kitab Ar-Rijal dan kitab Ath-Thabaqot. Abu Ja’far wafat pada tahun 274 H.

Lalu, Syeikh Abul Hasan Muhammad ibn Ahmad ibn Dawud ibn Ali Al-Qummi yang dikenal juga dengan Ibnu Dawud; seorang ulama terkemuka Syi’ah. Ia mengarang kitab Al-Mamduhin wal Madzmumin minar Ruwat, dan wafat pada tahun 368 H.

Lalu, Syeikh Abu Ja’far Muhammad ibn Babaweih Ash-Shoduq yang mengarang kitab Ma’rifatur Rijal dan Kitabur Rijalil Mukhtarin min Ashabin Nabi saw. Ia wafat pada tahun 381 H.

Lalu, Syeikh Abu Bakar Al-Ji’ani yang dinyatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ia merupakan salah seorang ulama besar Syi’ah. Al-Ji’ani mengarang kitab Asy-Syi’ah min Ashabil Hadits wa Thabaqotuhum. Tentang kitab ini, An-Najasyi mengatakan bahwa kitab itu dikarang dalam ukuran besar.

Lalu, Syeikh Muhammad ibn Baththah yang mengarang kitab Asma’ Mushannifisy Syi’ah, dan wafat pada tahun 274 H.

Lalu, Syeikh Nashr ibn Ash-Shabah Abul Qosim Al-Balkhi; guru Syeikh Abu Amr Al-Kasyi. Ia mengarang kitab Ma’ri-fatun Naqilin min Ahlil Miah Tsalitsah. Ia wafat pada tahun pada abad ketiga Hijriyah.
Lalu, Ali ibn Al-Hasan ibn Fidhal; pengarang kitab Ar-Rijal. Ia berada di generasi sebelum Syeikh Nashr Al-Balkhi.

Lalu, Sayyid Abu Ya’la Hamzah ibn Al-Qosim ibn Ali ibn Hamzah ibn Al-Hasan ibn Ubaidilah ibn Al-Abbas ibn Ali ibn Abu Thalib a.s., yang mengarang kitab Man Rowa ‘an Ja’far ibn Muhammad minar Rijal. 

An-Najasyi mengatakan: “Kitab ini bagus, dan At-Tal’akbari meriwayatkan sertifikat pengakuan dan pengesahan darinya”. Hamzah ibn Qosim adalah ulama Syi’ah abad ketiga Hijriyah.
Lalu, Syeikh Muhammad ibn Al-Hasan ibn Ali Abu Abdillah Al-Maharibi yang menyusun kitab bagus yang berjudul Ar-Rijal min Ulama Tsalitsah.

Lalu, Al-Musta’thof Isa ibn Mehran; pengarang Kitabul Muhadditsin. Isa termasuk ulama terdahulu Syi’ah, demikian dicatat oleh Syeikh Ath-Thusi di dalam Al-Fehrest.

Berikutnya, di dalam kitab Ta’sisusy Syi’ah li Fununil Islam, saya telah mengulas karangan-karangan Syeikh Ath-Thusi, An-Najasyi, Al-Kasyi, Allamah ibn Al-Muthahhar Al-Hilli, Ibnu Dawud dan generasi-generasi yang mengarang kitab tentang ilmu Rijal. Dan hingga kini, semua karya mereka masih menjadi rujukan dalam upaya menilai kualitas pribadi para perawi (Al-jarah wa Ta’dil).

Perlu dibubuhkan di sini, bahwa Abul Faraj Al-Qannani Al-Kufi; guru An-Najasyi, mempunyai karangan di bidang ini, berjudul Kitab Mu’jam Rijalil Mufadhal, dan menyusunnya sesuai dengan urutan huruf Hijaiyah.

*Peneliti Pemikiran dan Peradaban Islam.
 


Terkait Berita: