Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Malaikat Jibril. Show all posts
Showing posts with label Malaikat Jibril. Show all posts

Nabi Saw: Ketahuilah, Surat Al-Lail Diturunkan Kepada Ali


Hari itu, setelah menunaikan shalat Ashar, seorang lelaki mendekati Imam Ali as dan berkata, "Wahai Ali! Ada yang ingin saya sampaikan kepadamu dan saya berharap engkau sudi memenuhinya."

Imam Ali as melihatnya dan berkata, "Katakan apa yang engkau mau."

Lelaki menjelaskan, "Tetangga dekat rumah saya memiliki pohon kurma di rumahnya. Waktu itu ada angin kencang dan burung, lalu buah kurmanya terjatuh di halaman rumah kami. Saya dan anak-anak memungutnya dan memakannya. Suatu hari saya mendatanginya dan meminta agar ia menghalalkan kurma yang kami makan, tapi ia tidak rela. Sudikah engkau menjadi perantara antara kami dengannya untuk mendapatkan kehalalan dari kurma yang kami makan itu?"

Imam Ali as tidak pernah menolak untuk melakukan perbuatan baik. Tanpa banyak berpikir, beliau langsung mengikuti lelaki itu dan menemui pemilik pohon kurma. Ketika Imam Ali as melihat pemilik pohon kurma, beliau berkata, "Sudikah anda merelakan tetanggamu yang telah memakan buah kurma yang terjatuh? Semoga Allah Swt juga rela kepadamu."

Tetangga lelaki itu menolak permintaan Imam Ali as. Tapi Imam Ali as tidak berputus asa. Untuk kedua kalinya beliau mengulangi permintaan yang sama. Tapi pria itu tetap menolak. Untuk yang ketiga kalinya, Imam Ali as berkata, "Bila engkau merelakan tetanggamu, Demi Allah, saya akan menjadi jaminan dari Rasulullah Saw bahwa Allah Swt akan menganugerahimu sebuah kebun di surga."

Aneh, orang itu tidak menerimanya!

Imam Ali as kembali berkata, "Apakah engkau mau menukar rumahmu dengan satu dari kebun milikku?"

Pria itu menjawab, "Iya, saya mau menukar rumahku dengan kebunmu."

Imam Ali as memandang lelaki yang memintanya sebagai perantara guna menyelesaikan masalahnya dan berkata, "Sejak saat ini, rumah ini juga menjadi milikmu. Allah Swt memberkatimu dan rumah ini halal bagimu."

Keesokan harinya, setelah menunaikan shalat Subuh di masjid, Nabi Muhammad Saw menghadap para jamaah shalat dan berkata, "Tadi malam, siapa di antara kalian yang melakuan perbuatan baik?"

Karena tidak ada yang menjawab, Nabi Saw kembali berkata, "Kalian akan mengucapkannya, atau aku yang mengatakan?"

Ali as berkata, "Wahai Rasulullah! Silahkan anda yang mengatakan."

Nabi Muhammad Saw berkata, "Saat ini Jibril mendatangi aku dan berkata, ‘Tadi malam Ali melakukan perbuatan baik.' Saya bertanya kepadanya, ‘Apa yang dilakukannya?' Sebagai jawabannya, Jibril membawakan surat al-Lail kepadaku."

Setelah itu Nabi Saw berkata, "Wahai Ali! Engkau membenarkan surga dan mengganti kebunmu dengan rumah dan memberikan rumah itu kepada lelaki itu?"

Dengan wajah gembira Imam Ali as berkata, "Benar, wahai Rasulullah!"

Nabi Saw Bersabda, "Ketahuilah bahwa surat al-Lail diturunkan dengan sebab perbuatan baik yang engkau lakukan."

Setelah itu Nabi Saw mencium dahi Ali as dan berkata, "Saya adalah saudaramu dan engkau adalah saudaraku."

Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ali as

Pahala Buat Keluarga Imam Ali as


Imam Hasan dan Imam Husein as dalam kondisi sakit, sementara banyak yang datang untuk menjenguk keduanya. Nabi Muhammad Saw juga datang untuk menjenguk kedua cucunya yang masih kecil. Setelah melihat kondisi keduanya sangat lemah, sementara kedua orang tuanya, Imam Ali dan Sayidah Fathimah as serta Fiddhah begitu mengkhawatirkan keadaan keduanya. Nabi Saw mengusulkan agar kedua orang tuanya bernazar demi keselamatan Imam Hasan dan Husein as. Akhirnya, Imam Ali dan Sayidah Fathimah as bersama pelayannya Fiddhah bernazar untuk berpuasa selama tiga hari berturut-turut demi kesembuhan keduanya.

Keesokan harinya Imam Hasan dan Husein as sembuh dari sakitnya. Imam Ali as kemudian meminjam gandum dan Fiddhah membuat lima potong roti dan ketiganya berpuasa. Ketika tiba waktu berbuka, seorang peminta-minta mengetuk pintu rumah dan meminta makanan. Karena tidak ada makanan lain selain beberapa potong roti di rumah, mereka memberikan roti itu kepada pengemis itu dan hanya berbuka dengan air.

Mereka berpuasa di hari kedua dengan perut kosong. Imam Ali as kembali meminjam gandum untuk dibuat roti lalu berbuka dengannya. Tapi ketika tiba waktu berbuka, giliran seorang anak yatim yang mengetuk rumah dan meminta bantuan. Kali ini juga keluarga Imam Ali as harus merelakan roti untuk berbuka puasa diberikan kepada anak yatim itu.

Hari ketiga mereka berpuasa dalam kondisi perut mereka belum diisi apapun selama dua hari. Kejadian hari pertama dan kedua terulang juga di hari ketiga. Ketika akan berbuka puasa, ada orang lain yang membutuhkan bantuan mengetuk pintu rumah. Setelah mengetahui bahwa orang yang mengetuk pintu itu adalah seorang hamba sahaya yang tertawan oleh pemiliknya yang kaya raya, keluarga Imam Ali as untuk ketiga kalinya harus merelakan roti untuk berbuka puasanya diberikan kepada budak itu.

Pada hari keempat Nabi Muhammad Saw mendatangi rumah Ali as dan baru mengerti apa yang terjadi. Beliau melihat keluarga Ali dalam kondisi lemah. Setelah bertanya apa yang terjadi dan ketika mereka menjelaskan apa yang terjadi, beliau segera mengangkat tangannya dan berdoa, "Wahai Zat yang segera pertolongannya! Ya Allah, anak-anak Muhammad, Nabi-Mu terlihat lemah akibat lapar. Ya Allah, Bantulah mereka ..."

Pada waktu itu malaikat Jibril datang dan berkata, "Wahai Muhammad! Terimalah ucapan selamat dari Allah!"

Nabi Saw berkata, "Apa itu?"

Malaikat Jibril kemudian membacakan surat al-Insan dan berkata, "Surat itu diturunkan untuk Ali as dan keluarganya yang suci."

Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ali as

Imam Hasan al Mujtaba As


Hasan bin Ali bin Abi Thalib (Bahasa Arab: الحسن بن علي بن أبي طالب )adalah Imam kedua Syiah putra dari Imam Ali As dan Fatimah binti Muhammad Sa, dan dikenal sebagai sosok manusia suci yang ke empat yang di usianya yang ke 37 tahun telah mencapai derajat Imamah dan khilafah bagi kaum Muslimin. Pada tahun 41 H beliau melakukan perdamaian dengan Muawiyah. Masa kekhilafahan beliau sekitar 6 bulan 3 hari. Setelah melakukan perdamaian beliau hijrah ke Madinah dan menetap di kota kelahirannya tersebut selama kurang lebih 10 tahun hingga akhirnya beliau mencapai kesyahidannya [1] dan dimakamkan di Pemakaman Baqi di kota Madinah.

Dua tugas berat yang diemban Imam Hasan As yaitu Imamah dan Khalifah menunjukkan peran penting beliau dalam menjaga keutuhan dan persatuan dalam tubuh kaum muslimin dan mencegah dari perselisihan dan perpecahan, kemudian beliau mengeluarkan keputusan untuk melakukan perdamaian dengan Muawiyah. Hal tersebut memberikan gambaran seutuhnya mengenai kepribadian beliau yang memiliki karakter tegar dan lebih mengutamakan toleransi dan persaudaraan kaum muslimin. Perdamaian yang dilakukannya dengan Muawiyah di masa kekhalifahannya, menjadi keputusan paling penting dalam hidupnya bahkan dikenang sebagai kebijakan yang paling berpengaruh dalam sejarahIslam dan kaum muslimin, khususnya dalam terwujudnya persatuan dan tersebarnya pelajaran agama dan akhlak yang memberikan keteladanan utama bagi umat Syiah, tentang bagaimana bertindak dan mengambil keputusan ketika terjadi perbedaan pendapat, juga hal-hal berkenaan dengan perdamaian dan peperangan. [2]

Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Imam kedua umat Islam Syiah dan putra pertama Imam Ali As, dikenal dengan sebutan Imam Hasan As. Ibu beliau adalah Sayidah Fatimah al-Zahra As putri kesayangan Nabi Muhammad Saw. [3]Panggilan beliau adalah Abu Muhammad. Dengan lakab gelar yang paling masyhur dari beliau adalah al-Taqi. Selain itu beliau juga memiliki lakab yang lain, seperti al-Tayyib, al-Zaki, al-Sayid dan al-Sibth. Sedang Nabi Muhammad Saw sendiri menlakabi beliau dengan al-Sayid. [4]

Kelahiran dan Kehidupannya
Imam Hasan As lahir di kota Madinah pada malam atau siang dari pertengahan bulan Ramadhan tahun ketiga Hijriah [5]. Sementara Syaikh Kulaini dalam kitabnya al Kafi menukilkan riwayat bahwa Imam Hasan as lahir pada tahun kedua Hijriah [6] Ia wafat pada usia 48 tahun pada tahun ke 50 H [7]Tabarsi menukilkan wafatnya pada tanggal 28 Safar. [8]

Yang Memberikan Nama
Mengenai nama Imam Hasan As, diceritakan dimasa kelahirannya, Allah Swt berfirman kepada malaikat Jibril As untuk memerintahkan Nabi Muhammad Saw menemui puteranya yang baru lahir dan menyampaikan salam kepadanya dan mengucapkan selamat dan menyampaikan kepadanya, "Sesungguhnya posisi Ali di sisimu seperti Harun di sisi Musa, karenanya berilah nama putera Ali sebagaimana nama putera Harun." Malaikat Jibrilpun menyampaikan apa yang telah diperintahkan Allah Swt untuk disampaikan kepada nabi Muhammad Saw. Setelah mengucapkan salam dan selamat sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT, malaikat Jibril berkata, "Allah SWT menghendaki kamu memberikan nama putera Ali sebagaimana nama putera Harun." Nabi Muhammad Saw bertanya, "Nama putera Harun siapa?" Malaikat Jibril As menjawab, "Sabbar". Nabi Muhammad Saw kembali bertanya, "Dalam bahasa Arabnya apa?" Malaikat Jibril as berkata, "Berikan namanya Hasan." Dengan perintah itu, Nabi Muhammad Saw memberikan nama cucunya al-Hasan. [9]

Istri-Istri dan Keturunannya
Imam Hasan As: Puncak dari kecerdasan akal adalah akhlak yang baik kepada sesama manusia. Dan dengan akal dunia dan akhirat dapat diraih. Barang siapa yang tidak memanfaatkan akalnya, maka dunia dan akhiratpun tidak bermanfaat baginya. [Nahjul Sa'adah fi Mustarak Nahjul Balaghah, jilid 7 hal. 366]
Anak-anak kandung Imam Hasan As berjumlah 15 orang. 8 laki-laki dan 7 lainnya perempuan.
Zaid dan dua saudara perempuannya Ummul Hasan dan Ummul Husain dari istri beliau yang bernama Ummi Bashir putri *Ibnu Mas'ud ‘Aqabah bin Amru.
Hasan bin Hasan dari istri beliau yang bernama Khaulah binti Mandhur Fazari.
Amru dan dua saudara laki-lakinya Qasim dan Abdullah. Ibunya adalah seorang budak.
Abdurrahman. Ibunya juga dari seorang budak.
Husain dan saudara laki-lakinya Talhah dan saudara perempuannya Fatimah. Ibu mereka bernama Ummu Ishak binti *Talhah bin ‘Ubaidillah Taimi.
Putri-putri beliau, Ummu Abdullah, Fatimah, Ummu Salamah dan Ruqayyah dari istri-istri yang berbeda. [10]

Dari berbagai sumber-sumber yang ada, pernikahan ataupun perceraian yang dilakukan Imam Hasan As, baik dari sisi jumlah sekalipun, terdapat perbedaan pendapat. Hal tersebut bersumber dari adanya periwayatan yang berbeda-beda, yang kesemua itu tidak mungkin untuk dilakukan penerimaan begitu saja, dan juga tidak memungkinkan untuk ditolak dan pada dasarnya juga tidak menambah ataupun mengurangi nilai sejarah. Pada dasarnya kesemua perbedaan periwayatan tersebut bersumber dari berbagai aspek khususnya disebabkan oleh isu-isu sektarian dan politik. Para peneliti dan ulama dalam penjelasan mereka mengenai riwayat-riwayat yang beraneka ragam tersebut hanya sekedar menunjukkan sebagian dari kesalahan pada sanad ataupun mengenai muatan riwayat. [11]Khususnya harus dapat diterima, apa yang telah disampaikan oleh riwayat-riwayat yang ada sangat kabur dan tanpa catatan mengenai kesemua nama-nama istri Imam Hasan As.

Dari kesemua itu hanya nama Ja'dah binti Asy'at bin Qais yang sesuai dengan riwayat yang ada, yang disebutkan sebagai pelaku dari keracunan yang dialami Imam Hasan as yang kemudian merenggut nyawanya yang riwayatnya dapat diterima dan diakui. Meskipun terdapat kesimpang siuran dari riwayat-riwayat yang berkenaan dengan nama-nama istri Imam Hasan as namun mengenai keturunan Imam Hasan as terdapat kesepakatan bersama yang kemudian dengan dasar tersebut nama dari ibu-ibu mereka pun dapat dikenali, misalnya Khaulah binti Mandzhur bin Zabban Farazi. Ummu Bashir binti ‘Uqabah bin Amru Khazaraji, Ummu Ishak binti Talhah bin ‘Ubaidillah at Tamimi, Hafsah cucu Abu Bakar dan Hindun bin Sahil bin Amru. [12]

Kehidupannya di Sisi Rasulullah Saw
Baraa menukilkan, "Saya melihat Nabi Muhammad Saw bersama dengan Hasan bin Ali yang berada diatas pangkuannya dan dalam keadaan demikian beliau berkata, Ya Allah aku mencintainya, maka berikan juga kecintaanMu terhadapnya."[13] Dalam hadits yang lain dinukilkan bahwa Nabi Muhammad dalam keadaan bersama dengan Hasan dan Husain yang duduk diatas pangkuannya dan berkata, "Ini adalah kedua putraku dan putra dari putriku. Ya Allah, aku mencintai keduanya, maka berikan juga kecintaanMu kepada keduanya dan cintai pula siapa saja yang mencintai keduanya." [14]

Nabi Muhammad Saw dalam hadits yang lain mengenai Imam Hasan As dan Imam Husain As bersabda, "Hasan dan Husain adalah penghulu pemuda di surga." [15]"Kedua puteraku ini adalah dua bunga wangiku di dunia." [16]"Hasan dan Husain (atau kedua puteraku ini [17]adalah Imam, yang memimpin revolusi atau yang menciptakan perdamaian." [18] "Jika akal seorang laki-laki terwujud sebagai manusia, maka dia adalah al Hasan." [19]

Kehidupannya di Masa Kekhalifahan
Suatu hari Imam Hasan di masa kecilnya menemui Abu Bakar yang saat itu sedang berkhutbah di atas mimbar. Beliau mengajukan protes kepada Abu Bakar sembari berkata, "Turunlah dari atas mimbar ayahku." Abu Bakarpun menanggapi pernyataan tersebut dengnan mengatakan, "Demi Allah, benarlah apa yang kamu katakan itu. Ini adalah mimbar ayahmu, bukan mimbarku." [20] Imam Hasan dan Imam Husain pada saat perang menginvasi kerajaan Persia, keduanya tidak bergabung dalam laskar militer kaum muslimin.[21]Meskipun sebagian dari riwayat menyebutkan kehadiran Imam Hasan as di sejumlah peperangan. [22]

Disaat masa transisi dari pemerintahan Khalifah Umar kepada pemerintahan khalifah selanjutnya dan terbentuknya Dewan Syura yang kemudian menghasilkan keputusan yang menetapkan Utsman sebagai Khalifah selanjutnya, atas permintaan Umar bin Khattab, Imam Hasan as termasuk diantara enam orang yang dijadikan saksi dalam Dewan Syura yang terbentuk tersebut. Hal tersebut menunjukkan bukti betapa penting peran dan luasnya pengaruh beliau, sekaligus mengisyaratkan bahwa beliau bukan hanya diakui sebagai salah satu anggota dari Ahlul Bait Nabi Saw namun juga diakui sebagai tokoh berpengaruh yang memiliki peran sosial penting ditengah-tengah kaum Anshar dan Muhajirin. [23]

Sewaktu Utsman mengasingkan Abu Dzar al Ghiffari ke Rabadzhah dan menetapkan pelarangan untuk tidak seorang pun menemani dan berbicara dengannya, dan meminta kepada Marwan bin Hakam mengeluarkannya dari kota Madinah. Sewaktu Abu Dzar akhirnya dalam keadaan terusir keluar dari kota Madinah, tidak seorangpun yang berani untuk berbicara dan menemuinya, kecuali oleh Imam Ali as beserta saudaranya Aqil dan kedua putranya Hasan dan Husain serta Amar bin Yasir yang bahkan sampai mengawal kepergian Abu Dzar meninggalkan kota Madinah. [24]

Disaat terjadi kerusuhan, dengan adanya aksi pengepungan sejumlah pemberontak yang hendak membunuh khalifah Utsman bin Affan, sebagian catatan sejarah menyebutkan tindakan Imam Ali as untuk menjaga Islam adalah menjaga keselamatan khalifah. Beliau mengutus kedua puteranya Hasan dan Husain menuju rumah Utsman untuk menjamin keselamatannya. Sayang, situasi saat itu sangat sulit, dan pembunuhan terhadap khalifah Utsman tidak bisa dicegah. Disebutkan terjadi banyak perbedaan periwayatan dari berbagai sumber mengenai hal detail dari peristiwa pembunuhan tersebut. [25]

Imam Di Masa KeImamahan Imam Ali As
Imam Hasan As dan Imam Husain As bergabung dalam peperangan yang dipimpin oleh ayahnya, yaitu dalam perang Jamal, Shiffin dan perang Nahrawan. 26. [26]

Di Perang Jamal
Sewaktu Abu Musa al Asy'ari panglima perang Kufah yang diutus oleh Imam Ali As untuk menghadapi kaum pemberontak melakukan pembangkangan, Imam Ali as mengutus puteranya sendiri Imam Hasan bersama dengan Ammar bin Yasir dan sebuah surat ke Kufah. Dengan pidato yang disampaikannya di Masjid Kufah, beliau mampu mengumpulkan 10000 pasukan yang ikut serta bersamanya ke medan perang. [27]

Imam Hasan menyampaikan pidatonya sebelum terjadi perang [28]dan Amirul Mukminin mengutus beliau dalam perang tersebut untuk bersiaga di Maimanah [bagian kanan] dari pasukan perang. [29] Sebagian sejarahwan menyebutkan dalam perang tersebut, Imam Ali as berkata kepada Hanafiah, "Ambillah tombak ini, dan bunuhlah unta itu [yang dimaksud adalah unta yang dikendarai Aisyah yang dalam menghadapinya telah banyak menelan korban]". Muhammadpun pergi namun kembali dalam keadaan luka parah akibat terjangan panah disekujur tubuhnya. Setelah itu, Hasan mengambil tombak itu dan selanjutnya berhasil membunuh unta Aisyah. [30]

Imam Pada Perang Shiffin
Pada perang Shiffin, di tengah kecamuk menghadapi musuh-musuhnya, Imam Ali As tidak melepaskan perhatian dari kedua putranya yang turut berperang. Dalam menjaga keselamatan nyawa Hasan dan saudaranya Husain, Imam Ali As meminta keduanya untuk berada dibelakangnya. Imam Ali As berkata, "Ditengah kecamuk perang saya mengkhawatirkan keselamatan kedua puteraku, karena saya tidak mengingkankan keturunan Rasulullah Saw terputus." [31] Dalam perang, sewaktu Muawiyah melihat Imam Hasan As, ia memerintahkan kepada Ubaidillah bin Umar -putera bungsu khalifah kedua- memasuki medan perang dan menemui Imam Hasan As. Ubaidillahpun mendekati Imam Hasan yang sedang sibuk menghadapi musuh-musuhnya, dan berkata kepadanya, "Saya ada urusan denganmu." Imam Hasanpun mendekatinya. Ubaidillahpun menyampaikan pesan Muawiyah yang mengajaknya bergabung. Imam Hasan As dengan suara meninggi berkata, "Aku akan melihat, kau akan terbunuh hari ini atau besok. Namun syaitan telah menipumu dan memperindah perbuatan ini di matamu sampai akhirnya perempuan-perempuan Syam akan mengambil jenazahmu. Allah SWT akan mempercepat kematianmu dan kau akan berkalang tanah." Mendengar jawaban tegas tersebut, Ubaidillah kembali keperkemahan dan ketika Muawiyah melihat keadaannya, ia langsung menanggapinya dengan berkata, "Anak laki-laki itu adalah juga ayahnya." [32]

Imam Ali As untuk mencegah terjadinya fitnah dan perpecahan pasca pemerintahannya, ia secara terang-terangan mengingatkan masyarakat akan bahayanya, melalui pidato-pidato yang disampaikannya secara terbuka dengan penjelasan dalil dan argumentasi yang jelas. Hal demikian juga dilakukan oleh Imam Hasan As.[33] Surat ke-31 Imam Ali As yang terdokumentasikan dalam kitab Nahjul Balaghah berisikan surat wasiat yang penuh dengan pesan-pesan akhlak Imam Ali As kepada puteranya, Imam Hasan As. Surat tersebut disampaikan sewaktu Imam Hasan As dalam perjalanan pulang dari Shiffin disebuah tempat yang disebut Hadhirin.
"Ketakwaan adalah puncak dari keridhaan Ilahi, awal dari semua pertobatan, puncak dari segala hikmah dan kemuliaan dari setiap perbuatan." Imam Hasan Al-Mujtaba As
Tuhaf al-‘Uqul, hlm. 232.

Dalil-dalil KeImamahan
Hadits yang berbunyi, "Kedua puteraku ini, Hasan dan Husain adalah imam, baik dalam keadaan bangkit maupun tidak." [34], dari Rasulullah ini adalah hujjah yang jelas dan terang mengenai keimamahan Imam Hasan dan Imam Husain. Imam Ali As mewasiatkan kepada puteranya Imam Hasan As. "Wahai puteraku, Rasul Akram Saw memerintahkan kepadaku, agar aku menjadikan engkau sebagai washiku dan memberikan kepadamu kitab dan persenjataanku, sebagaimana Rasulullah Saw menjadikan aku washinya dan menyerahkan keduanya kepadaku serta memerintahkan kepadaku untuk melakukan hal yang sama terhadapmu. Dan sewaktu engkau menyadari akan mendekatnya tanda-tanda kematianmu, maka amanah ini serahkan kepada saudaramu, al-Husain." [35]

Masa ke Imamahannya
Imam Hasan al-Mujtaba As pada malam Jum'at 21 Ramadhan tahun ke 40 H bersamaan dengan kesyahidan ayahnya Imam Ali As ditangan Ibnu Muljam, urusan kepemimpinan dan kewilayahan atas ummat beralih ke atas pundaknya, dan penduduk Kufah secara berkelompok-kelompok berdatangan untuk memberikan baiat mereka. Ia kemudian mengangkat sejumlah pejabat dan pembantunya dalam pemerintahan serta menunjuk Abdullah bin Abbas sebagai gubernur di Basrah. [36]

Perang dengan Muawiyah
Sewaktu Muawiyah mendapat kabar akan kesyahidan Imam Ali As dan paham akan pembaiatan yang telah dilakukan umat Islam atas Imam Hasan As, diapun kemudian mengirimkan dua orang untuk menjadi mata-mata dan memprovokasi masyarakat untuk melawan Imam Hasan as ke kota Basrah dan Kufah. Imam Hasan As ketika mengetahui hal tersebut segera memerintahkan untuk melakukan penangkapan atas keduanya dan menjatuhkan hukuman yang setimpal.

Surat menyurat yang terjadi antara Imam Hasan As dengan Muawiyah, menunjukkan kelayakan Imam Hasan As sebagai khalifah atas kaum muslimin. [37]Muawiyah sesuai perintahnya melalui surat, mampu memobilisasi pasukannya untuk bergerak ke Irak bersamanya dan dia sendiri yang bertindak langsung sebagai komandan pasukan, dan memerintahkan Zahaak bin Qais Fahri sebagai wakilnya di ibu kota. Disebutkan sekitar 60000 pasukan bersama Muawiyah, dan riwayat lain menyebutkan lebih dari jumlah tersebut. [38]

Imam Hasan As: "Memikirkan pikiran, jiwa, hati dan visi adalah kunci pintu kebijaksanaan." [Musnad al Imam al Mujtaba, hal. 718]

Imam Hasan As mengutus Hujr bin Adi ke medan perang untuk mengambil alih komando dan mengajak kepada ummat untuk berjihad. Awalnya mereka mengalami kekalahan, namun akhirnya meraih kemenangan. [39]Imam As kemudian mengutus Qais bin Sa'ad bin ‘Ubadah menuju Syam dan ia sendiri menuju Madain. Setiap hari ia mendapat kabar baru disetiap perjalanannya. Suatu hari ia mendapatkan kabar akan gugurnya Qais. Berita tersebut dengan cepat menyebar dan menimbulkan kegoncangan dikalangan pasukan. Tanpa adanya komando, pasukan yang tersisa kemudian menyerbu tenda-tenda dan menjarah apapun yang ada. [40]Imam Hasan as dengan melihat adanya kejadian indisipliner tersebut dari pasukannya sendiri, kemudian berkesimpulan tetap melakukan perlawanan akan tidak ada manfaatnya. Tetap bertahan dengan kondisi pasukan seperti itu hanya akan membawa kerugian dan mudharat yang lebih besar. Karenanya Imam Hasan as kemudian memilih untuk sepakat untuk melakukan perdamaian dengan Muawiyah. [41]

Perdamaian dengan Muawiyah
Imam Hasan As: "Demi Allah kembalinya kami dari medan perang melawan orang-orang Syam bukan karena kami ragu atau karena kami diliputi rasa sesal melainkan karena sebelumnya kami menghadapi orang-orang Syam dengan dengan kejernihan pikiran dan konsistensi namun karena permusuhan semua itu jadi berubah. Dan kalian [orang-orang Kufah] pada awal pekerjaan kalian di Shiffin kalian lebih mengutamakan agama kalian daripada kepentingan dunia kalian, namun hari ini kalian lebih mengutamakan kepentingan dunia kalian dari agama kalian." [Tuhuf al ‘Uqul, hak. 234]

Baladzari [بلاذری ] menulis: "Muawiyah mengirim kertas kosong yang di bagian bawahnya diberi cap stempel kepada Imam Hasan dan meminta apapun yang dikehendaki oleh Imam Hasan dalam perjanjian tersebut untuk menuliskannya. Berikut surat rekonsiliasi/perdamaian antara Hasan bin Ali dan Muawiyah bin Abi Sofyan yang kepemimpinan kaum muslim beralih ke tangan Muawiyah dengan persyaratan sebagai berikut:
Akan bertindak sesuai dengan kitab Allah, Sunnah Nabi dan sirah para khalifah yang saleh.
Tidak mengangkat putra mahkota dan mengembalikan amanah kepada permusyawaratan kaum muslimin.
Rakyat dimanapun berada, nyawa, harta dan keturunannya harus dijamin keamanannya.
Muawiyah tidak boleh baik secara terang-terangan maupun tersembunyi mengusik Imam Hasan as dan mengancam dan serta menakut-nakutinya pengikutnya.

Abdullah Haarat dan Amruh bin Salamah menjadi saksi dari penandatanganan deklarasi perdamaian tersebut. [42]Dengan persyaratan yang telah dibuat melalui Imam Hasan as, perjanjian tersebut ditandatangani di awal tahun 41 H. [43]Akan tetapi Muawiyah meskipun menyepakati perjanjian tersebut namun berlaku tidak layak. Disaat Imam Hasan as menawarkan perdamaian, Muawiyah justru tidak memberikan penghormatan yang semestinya, malah mengatakan hal yang tidak layak mengenai Imam Ali as. Imam Husain as awalnya hendak membalas pelecehan tersebut namun dicegah oleh Imam Hasan as yang kemudian menyampaikan pidatonya mengenai pentingnya perdamaian dan kemudian membandingkan nasab beliau dengan Muawiyah sebagai balasan dari sikap tidak hormat Muawiyah terhadap ayahnya, Imam Ali as. [44] Hal tersebut menjadikan Muawiyah terdiam malu. [45]

Setelah Perdamaian hingga Wafatnya
Imam Hasan setelah melakukan perdamaian dengan Muawiyah, ia berhijrah ke Madinah. Dan di kota tersebut ia menjadi sumber rujukan ilmu, agama, masalah sosial dan politik. Ia berkali-kali melakukan perdebatan dengan Muawiyah dan para pengikutnya di kota Madinah dan Damaskus, yang riwayat-riwayat mengenai hal tersebut diantaranya ditulis oleh Tabarsi dalam kitabnya Ihtijaj. [46]

Kesyahidan
Muawiyah sangat berambisi untuk menghabisi nyawa imam Hasan As. Telah berkali-kali ia mengupayakan cara untuk meracuninya namun tidak pernah berhasil.[47]Sampai akhirnya Muawiyah secara licik berusaha merayu istri Imam Hasan As, Ja'dah binti Asy'at bin Qais dan menjanjikannya untuk dinikahkan dengan Yazid putranya dan akan diberikan seratus ribu dirham dengan syarat mampu membunuh imam Hasan.

Diapun kemudian berhasil melakukan keinginan Muawiyah tersebut dengan cara meracuni Imam Hasan As dengan racun yang mematikan. Diapun mendapat uang seratus ribu dirham yang telah dijanjikan Muawiyah namun janji untuk menikahkannya dengan Yazid tidak dipenuhi Muawiyah. [48] Sewaktu Imam Husain menghantarkan jenazah saudaranya untuk dimakamkan disisi makam kakeknya Nabi Muhammad Saw, Aisyah, Marwan dan sejumlah pembesar dari Bani Umayyah mencegat dan mencegah proses pemakaman tersebut. Untuk mencegah perselisihan dan pertikaian yang bisa saja lebih meluas antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah, Ibnu Abbas kemudian membawa jenazah Imam Hasan kepemakaman Baqi dan dimakamkan di sisi neneknya, Fatimah binti Asad. [49]

Kepribadian dan Keutamaannya
Imam Hasan as adalah yang paling mirip dengan Rasulullah Saw baik secara fisik, penampilan, perangai maupun akhlaknya. [50] Diriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda kepadanya, "Wahai Hasan, kamu dari penciptaan bentuk dan akhlak sangat mirip denganku." [51]Imam Hasan as adalah salah satu dari Ashabul Kisa[52]] dan disaat mubahalah dengan rohaniawan Kristiani, Nabi Muhammad Saw membawa serta Imam Hasan, Imam Husain, Imam Ali dan Sayyidah Fatimah sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT. [53]Turunnya Ayat Tathir juga menunjukkan mengenai keutamaan beliau yang sangat besar, demikian juga dengan Ahlul Bait yang lain. [54]

Imam Hasan sebanyak 25 kali menunaikan ibadah Haji dan tiga kali mensedekahkan semua hartanya di jalan Allah, sampai sepatunyapun diserahkannya dan hanya menyisakan sandal untuknya. [55]

Catatan Kaki:
Arbili, Kasyf al-Ghummah, jld. 2, hlm. 489. .
Haj Manuchahri, Faramarz, Dāirah al-Ma'ārif Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Imam Husain, hlm. 532. .
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 3. .
Arbili, Kasyf al-Ghummah, jld. 2, hlmn 296. .
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 3. .
Kulaini, Ushul Kāfi, jld. 2, hlm. 499. .
Kulaini, Kāfi, jld. 2, hlm. 501. .
Thābarsi, I'lām al-Wara, jld. 1, hlm. 403. .
Shaduq, al-Amāli, hlm. 134. .
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 16. .
Untuk contoh bisa merujuk ke ‘Aqiqi, jld. 4, hlm. 523; Qarsyi, 1413 H, jld. 2, hlm. 443 dst; Madelung, 380-387 yang dinukil oleh Haj Manucahri, Faramarz, Dāirah al-Ma'ārif Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Imam Husain, hlm. 545. .
Rujuk ke kitab Ya'qubi, jld. 2, hlm. 228; al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 20; Ibnu Shaufi, hlm. 19; Bukhari, Sahal, 5; Ibn Syahr Asyub, Manāqib, jld. 3, hlm. 192; Ibnu ‘Unabah, 68 yang dinukil Haj Manucahri, Faramarz, Dāirah al-Ma'ārif Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Imam Husain, hlm. 545. .
Bukhari, Shahih Bukhari, jld. 2, hlm. 432; Suyuti, Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafa, Tahqiq Lajnah Min al-Adbā, Tauzih Dār al-Ta'āwun Abbas Ahmad al-Bāz, Makah al-Mukaramah, hlm. 206. .
Suyuti, Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafa, Tahqiq Lajnah Min al-Adbā, Tauzih Dār al-Ta'āwun Abbas Ahmad al-Bāz, Makah al-Mukaramah, hlm. 207. .
Shaduq, Amāli, hlm. 333; Suyuti, Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafa, Tahqiq Lajnah Min al-Adbā, Tauzih Dār al-Ta'āwun Abbas Ahmad al-Bāz, Mekah al-Mukaramah, hlm. 207. .
Majlisi, Bihār al-Anwar, jld. 37, hlm. 73; Suyuti, Jalal al-Din, Tārikh al-Khulafa, Tahqiq Lajnah Min al-Adbā, Tauzih Dār al-Ta'āwun Abbas Ahmad al-Bāz, Makah al-Mukaramah, hlm. 207. .
Shaduq, ‘Ilal al-Syarā'i, jld. 1, hlm. 211. .
Al-Mufid, al-Arsyād, jld. 2, hlm. 27. .
Juwaini, Farāidh al-Simthain, jld. 2, hlm. 68. .
Suyuti, Tārikh al-Khulafā, hlm. 80. .
‘Amali, Tahlili az Zendegi Imam Hasan Mujtaba, hlm. 170. .
Daneshnāmeh Buzurgh Islami, jld. 20, Madkhal Hasan As, Imam, hlm. 534. .
Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, Kairom Muasassah al-Halbi, jld. 1, hlm. 30; Ibnu abd al-Bar, Yusuf, al-Isti'āb, Beirut, jld. 1, hlm. 391, 1412 H; Jauhari Ahmad, al-Saqifah wa Fadak, Riset oleh Muhammad Hadi Amini, Tehran, 1401 H; Sarasar Kitab, Danesh Nameh Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Hasan As, Imam, hlm. 534. .
Mas'udi, Murūj al-Dzahab, jld. 1, hlm. 698. .
Jump up↑ Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, Kairom Muasassah al-Halbi, jld. 1, hlm. 40; Baladzuri, Ahmad, Ansāb al-Asyrāf, Riset oleh Muhammad Baqir Mahmudi, Beirut, jld. 2, hlm. 216-217, 1394 H; Maliki, Muhammad, al-Tamhid wa al-Bayān, Qatar, hlm. 119, 194, 1405 H; Muqaddasi, Mathar al-Bada wa al-Tārikh, Kairo, Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, jld. 5, hlm. 206; ‘Amuli, Ja'far Murtadha, al-Hayat al-Siyāsah al-Imam al-Hasan, Qom, hlm. 140 dst, Daneshname Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Hasan As, Imam, hlm. 534, 1363 H. .
Al-Amin, al-Sayyid Muhsin, A'yān al-Syiah, jld. 2, Haqaqah wa Akhrajah al-Sayyid Muhsin al-Amin, Beirut, Dār al-Ta'ārif lil Mathbu'āt, hlm. 370, 1418 H..
Ja'fariyan, Hayāt Fikri wa Siyāsi Imāmān Syiah, hlm. 124. .
Al-Mufid, al-Jamal, hlm. 327. .
Al-Mufid, al-Jamal, hlm. 348. .
Al-Qarsyi, Mausu'ah Sirah Ahl al-Bait, jld. 10, Riset oleh Mahdi Baqir al Qarasyi, Qom, Dār al-Ma'ruf, hlm. 403, 1430 H. .
Qarsyi, Hayāt al-Hasan, hlm. 219. .
Qarsyi, Hayāt al-Hasan, hlm. 218. .
Qarsyi, Hayāt al-Hasan, hlm. 245. .
Al-Mufid, al-Irsyād, Qom: Sa'id bin Jabir, hlm. 290, 1428 H. .
Kulaini, Ushul al-Kafi, jld. 1, hlm. 297. .
Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 350. .
Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 350. .
Qarsyi, Zendegi Imam Hasan As, Penerjemah: Fakhr al-Din Hijazi, hlm. 334-335. .
Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 351. .
Syahidi, Tārikh Tahlil Islam, hlm. 159. .
Syahidi, Tārikh Tahlil Islam, hlm. 160. .
Baladzuri, Ahmad, Ansāb al-Asyrāf, Dār al-Ta'ārif, jld. 3, hlm. 41-42, 1397 H; Syahidi, Tārikh Tahlil Islam, hlm. 162. .
Khalifah bin Khiyat, Tārikh, Riset oleh Akram Dhaya ‘Umri, Beirut, 1397 H. .
Thabari, jld. 4, hlm. 124-125, 128-129; Abu al-Faraj, 45 dst, Ibnu Syu'bah, hlm. 232 dst, Risalah al-Imam Hasan, Riset oleh Zainab Hasan Abdul Kadir, hlm. 29, Kairo, hlm. 1411 H. .
Haj Manuchahri, Faramarz, Dāirah al-Ma'ārif Buzurg Islami, jld. 20, Madkhal Imam Husain, hlm. 538. .
Thabarsi, al-Ihtijāj, jld. 2, hlm. 45-65. .
Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 357. .
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 13. .
Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 280-281, 1428 H. .
Arbali, Kasyf al-Ghummah, jld. 2, hlm. 290. .
Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 43, hlm. 294. .
Shaduq, al-Khishal, jld. 2, hlm. 550; Shaduq, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, Agha Najafi, jld. 1, hlm. 55. .
Ali bin Ibrahim Qumi, Tafsir Qumi, jld. 1, hlm. 104; al-Zamakhsyari, al-Kassyāf, jld. 1, hlm. 368. .
Ali bin Ibrahim Qumi, Tafsir Qumi, jld. 2, hlm. 193. .
Al-Sunan al-Kubra lil Baihaqi, jld. 4, hlm. 331, Tarjamah al-Imam Ali As min Tārikh Dimasyq, hlm. 142, dinukil dari Muntakhab Fadhāil al-Nabi wa Ahli Baitihi ‘alaihim al-Salam min al-Shihāh al-Sittah wa Gairihuma min al-Kutub al-Mu'tabar ‘inda Ahl al-Sunnah,hlm. 279. .

Daftar Pustaka:
Al-‘Athardi, Azizallah, Musnad al-Imam al-Mujtaba, Qum, ‘Athardi, 1373 H.
Al-Harrani, Ibnu Syu'bah, Tuhuf al-‘Uqūl ‘an Ali al-Rasūl Saw, Riset: Ali Akbar al-Ghaffari, Qum, Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1404 H.
Al-Mahmudi, Nahj al-Sa'ādah fi Mustadrak Nahj al-Balāghah, jld. 7, Najaf, 1385 H/1965 M.
Sotfware Nur al-Sirah 2, Markaz Tahqiqat Komputeri Ulūm Islami Nur.
Al-‘Amali, Ja'far Murtadha, al-Hayat al-Siyāsiah lil Imam al-Hasan, Qum, 1363 H.
‘Amuli, Tahlili az Zendegi Imam Hasan Mujtaba, Penerjemah: Saihari, Intisyarat Daftar Tablighat, 1376 S.
Ibnu Sufi, Ali, al-Majdi, Riset: Ahmad Mahdawi Damaghani, Qum, 1409 H.
Ibnu ‘Unabah, Ahmad, ‘Umdah al-Thālib, Riset: Muhamammad Hasan Ali Thaliqani, Najaf, 1380 H/1960 M.
Al-Bukhari, Sahal, Sirr al-Silsilah al-‘Alawiyah, Riset: Muhammad Shadiq Bahr al-Ulum, Najaf, 1381 H/1962 M.
Ja'fariyan, Hayāt Fikri wa Siyāsi Imāmān Syiah, Intisyarat Anshariyan, 1381 H.
Qarasyi, Baqir Syarif, Hayāt al-Imām al-Hasan bin Ali As, Dirasah wa Tahlil, Beirut, 1413 H.
Muntakhab Fadhāil al-Nabi wa Ahli Baitihi ‘alaihim al-Salam min al-Shihāh al-Sittah wa Gairihuma min al-Kutub al-Mu'tabar ‘inda Ahl al-Sunnah, Disusun oleh: Muhammad Bayaumi Mihran, Beirut, al-Ghadir, 1423 H.
Al-Mufid, al-Jamal, Nasyir Maktab al-‘Alām al-Islami, 1371 S.
Al-Thabari, Muhammad bin Jarir, Tārikh Thabari, Muassasah al-‘Alami lil Mathbu'āt, Beirut, tanpa tahun.
Radhi Yasin, Sulh al-Hasan, Penerjemah: Sayid Ali Khamanei, Intisyarat Ghulsyan cet. 13, 1378 S.
Ya'qubi, Tārikh Ya'qubi, Penerjemah: Muhammad Ibrahim Ayati, Intisyarat ‘Ilmi wa Farhanggi, 1362 S.
Thabarsi, al-Ihtijāj, Intisyarat Uswah, 1413 H.
Syaikh Shaduq, Amāli, Intisyarat Kitab Khaneh Islami 1362 S.
Arbali, Kasyf al-Ghumah, Nāsyir Majma Jahani Ahl Bait, 1426 H.
‘Aqiqi Bakhsyayasyi, Abd al-Rahim, Chahardah Nur_e Pak, Tehran, 1381 S.
Al-Mufid, al-Irsyad, Penerjemah: Khurasani, Intisyarat ‘Ilmiah Islamiyah 1380 S.
Qarsyi, Baqir Syarig, al-Hayāt al-Hasan, Penerjemah: Fakhr al-Din Hijazi, Intisyarat Bitsat, 1376 S.
Suyuti, Tārikh al-Khulafa, tanpa tahun.
Shaduq, Amāli, Penerjemah: Kumrehi, 1363 S.
Shaduq, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, Penerjemah: Ali Akbar Ghafari, Akhtar Syumal, 1373 S.
Software Islami Jami al-Hadits, Markaz Tahqiqat Komputeri ‘Ulum Islami Nur.
Kulaini, Ushul Kāfi, Dār al-Hadits.
Thabarsi, I'lām al-Wara, Muassasah ali Al-Bait Liahya al-Turat.
Bukhari, Shahih Bukhari, Nasyir Dār al-Fikr.
Ibnu Syahr Asyub, Manāqib Alu Abi Thālib, Nasyir Dzu al-Qurba.
Majlisi, Bihār al-Anwār, Beirut.
Jawini, Faraid al-Simthain, Muassasah al-Mahmudi, Beirut, 1980 M.
Syaikh Shaduq, Khishal.
Tafsir Qumi, Nasyir Maktabah al-Hadi, Najaf.
Al-Zamakhsyari, Mahmud, al-Kassyāf ‘an Haqāiq Ghawāmidh al-Tanzil, jld. 1, Qum, Nasyr al-Balagāh, al-Thaba'ah al-Tsaniah, 1415 H.
Syahidi, Sayid Ja'far, Tārikh Tahlili Islāmi, Tehran, Markaz Nasyr Danesgahi, 1390 S.
Madelung, W., The Succession to Muhammad, Cambridge, 1977.

Pelajaran Kemuliaan Hidup dari Imam Husein


Pada tanggal 3 Sya'ban tahun ke-4 Hijriah kebahagiaan terpancar dari rumah keluarga Rasulullah Saw. Asma membawa bayi yang terbungkus kain putih dan memberikannya kepada Rasulullah saw. Beliau begitu gembira lalu mendekapnya. Dibacakan azan di telinga kanan bayi itu, dan iqamat di telinga kirinya. Kemudian  bayi itu ditidurkan di pangkuannya. Ketika itu, Jibril datang menemui Nabi Muhammad Saw, dan berkata, "Allah swt menyampaikan salam bagimu dan berfirman, 'Kedudukan Ali disampingmu seperti Harun bagi Musa, maka namailah anak ini dengan nama putra Harun yaitu 'Syabir', yang dalam bahasa Arab  berarti 'Husein'." Maka Rasulullah saw menamainya dengan Husein. 

Imam Husein dibesarkan di lingkungan keluarga suci. Para pendidik beliau adalah orang-orang yang paling mulia moralnya dan paling menjulang kemanusiaannya. Imam Husein dibesarkan di tengah orang-orang yang mengemban tugas membimbing dan memimpin umat manusia. Beliau tumbuh besar dalam sebuah keluarga yang dipenuhi dengan kesempurnaan dan keutamaan akhlak. Beliau selama beberapa tahun mendapat didikan langsung dari Rasulullah Saw. Selain itu, kedua orang tuanya, yaitu Imam Ali dan Sayidah Fatimah merupakan dua manusia agung hasil didikan langsung Nabi Muhammad Saw. Pembinaan Rasulullah Saw, kasih sayang dan keadilan Ali, serta keutamaan Fatimah membentuk keindahan dan kesempurnaan Husein.

Suatu hari, Rasulullah terlihat keluar dari rumahnya, saat itu Hasan berdiri di salah satu bahu beliau, dan Husein berdiri di bahu lainnya. Rasulullah mencium mereka berdua. Seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, Anda mencintai kedua anak ini?" Beliau bersabda, "Barang siapa yang mencintai keduanya, ia mencintaiku dan barang siapa yang memusuhinya, maka ia memusuhiku". Abu Hurairah berkata, "Aku melihat dengan mata sendiri langkah Husein kecil di atas kaki Rasulullah. Beliau memegang kedua tangan Husein dan mengangkatnya. Anak itu diangkat hingga melangkah di dada Rasulullah. Ketika itu beliau mencium anak itu seraya berdoa, "Ya Allah, Cintailah ia, sebagaimana aku mencintainya".

Imam Shadiq menyebut Imam Husein sebagai manifestasi Nafs al-Mutmainah, jiwa yang tenang, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran. Perkataan dan sikap Imam Husein menunjukan bahwa dalam hidupnya senantiasa menegakkan kebenaran dan keadilan serta menyebarkan agama Tuhan. Husein senantiasa menegakkan jalan Rasulullah Saw dan para Nabi sebelumnya. Tampaknya, inilah maksud dari ziarah warits yang disampaikan kepada beliau, pada saat kita membaca, "Assalamu Alaika ya Waritsa Adama shifwatillah, Assalamu Alaika Ya waritsa Nuhi Nabiyillah... Assalamu Alaika ya Waritsa Muhammad Rasulillah. Salam atasmu wahai pewaris Adam as, Salam atasmu wahai pewaris nuh... salam atasmu wahai pewaris Rasulullah…

Perjuangan Husein bin Ali melawan kezaliman telah menjadi contoh dari figur manusia pembela nilai-nilai luhur meskipun harus ditebus dengan nyawanya sendiri. Aktivitas Bani Umayyah membuat ajaran akhlak Rasulullah di tengah umat Islam mulai pudar. Kerusakan moral di tengah masyarakat semakin tinggi dan semakin transparannya kezaliman penguasa lalim. Ketika itu Imam Husein berkata, "Wahai umat manusia, hiduplah kalian dengan nilai-nilai moral yang luhur dan berlomba-lombalah kalian untuk memperoleh bekal kebahagiaan. Jika kalian berbuat baik kepada orang lain, meski ia tak membalas kebaikanmu, janganlah khawatir. Sebab Allah swt akan memberimu ganjaran yang terbaik. Ketahuilah, kebutuhan masyarakat kepada kalian merupakan karunia ilahi. Maka, jangan kalian lewatkan karunia itu supaya kalian bisa terhindar dari azab ilahi."

Imam Husein terkenal sebagai sosok manusia yang amat pengasih dan pemaaf. Lembaran sejarah Islam menjelaskan suatu ketika seorang dari Syam bernama Isham datang ke kota Madinah. Setibanya di sana, ia melihat seorang pribadi yang terlihat amat berbeda dengan khalayak lainnya. Ia pun bertanya kepada orang-orang, siapakah gerangan sosok istimewa yang dilihatnya itu. Mereka menjawab, ia adalah Husein bin Ali. Isham yang saat itu terpengaruh oleh fitnah dan propaganda Bani Umayyah segera pergi mendekati beliau dan mencercanya dengan segala hinaan dan makian.

Menanggapi perilaku Isham, Imam Husein tidak marah, sebaliknya beliau justru menatapnya dengan penuh keramahan dan kasih sayang. Sejenak kemudian, beliau pun membacakan ayat suci al-Quran mengenai sikap maaf dan mengabaikan kekhilafan orang lain, lalu berkata, "Wahai lelaki, aku siap melayani dan membantu apapun yang engkau perlukan". Kemudian Imam Husein bertanya, "Apakah engkau berasal dari Syam?" Lelaki itupun menjawabnya, "Iya". Imam lantas berkata, "Aku tahu mengapa engkau bersikap demikian. Tapi kini engkau sekarang berada di kota kami dan terasing di sini. Jika engkau memerlukan sesuatu, aku siap membantu dan menyambutmu di rumahku".

Melihat sikap Imam Husein yang di luar dugaan dan begitu ramah itu, Isham pun heran dan terkesima. Ia pun berkata, "Di saat itu, aku berharap bumi terbelah dan aku tergelincir di dalamnya daripada bersikap begitu keras kepala dan ceroboh semacam itu. Bayangkah saja, hingga saat itu aku masih menyimpan kebencian yang sangat mendalam terhadap Husein dan ayahnya. Namun sikap penuh welas asih Husein bin Ali membuat diriku malu dan menyesal. Dan kini tak ada siapapun yang lebih aku cintai kecuali dia dan ayahnya".

Selain itu, salah satu karakter yang bisa kita pelajari dari kehidupan Imam Husein adalah pandangannya mengenai dunia. Menurut Imam Husein, manusia tidak boleh menggantungkan diri kepada keindahan dunia yang bersifat semu. Imam Husein berkata: "Apa yang disinari oleh matahari di atas bumi ini, mulai dari timur hingga barat, dari laut hingga padang pasir, dari gunung hingga lembah, semua itu di mata seorang wali Allah adalah ibarat sebuah bayangan yang cepat berlalu dan tidak layak dicintai. Wahai manusia! Janganlah menjual diri kalian kepada dunia yang fana ini. Sadarlah bahwa tidak ada yang berharga bagi kalian selain surga dan barang siapa yang mencintai dunia dan puas atasnya, maka ia telah puas terhadap sesuatu yang hina."

Rekan setia di penghujung acara, kami segenap kru Radio Melayu Suara Republik Islam Iran menyampaikan selamat atas kelahiran Imam Husein. Imam Husein berkata, "Ayahku Imam Ali pernah mengatakan barang siapa yang berpuasa di bulan Syaban demi mendekatkan diri kepada Allah dan kecintaan kepada Rasulullah Saw,… maka surga wajib baginya".

Berita Gembira bagi Pelantun Shalawat


Pada suatu hari, Rasulullah saw bersabda kepada Amirul Mukminin Ali as, “Maukah kamu saya berikan berita gembira?”

Imam Ali menjawa, “Silakan, demi ayah dan ibuku? Anda senantiasa memberitakan kebaikan.”

Rasulullah saw menjawab, “Baru saja Jibril membawakan berita gembira untukku. Barang siapa dari umatku mengirimkan salawat untukku dan juga menyusulkan salawat untuk Ahlul Baitku, maka seluruh pintu langit terbuka untuk menerima doa dan ibadanya dan pada malaikat mengirimkan 70 salam untuknya. Ini adalah pelebur dosa-dosanya. Ketika itu, dosa-dosanya akan beruntuhan seperti dedaunan pohon beruntuhan. Allah berfirman, ‘Labbaik. Aku telah menerimamu. Semoga engkau bahagia.’ Setelah itu, Dia berfirman kepada para malaikat, ‘Kalian telah mengirimkan 70 salawat untuknya dan Aku juga 70 salawat.’

Tetapi, jika ia mengirimkan salawat kepadaku dan tidak menyambungkannya dengan Ahlul Baitku, maka antara doanya dan langit terbentang 70 hijab dan Allah berfirman, ‘La labbaik.’” (Amali Syaikh Shaduq, hlm. 679 dan Tsawab al-A’mal, hlm. 157).

Memaknai Idul Adha; Mari Berkorban untuk Kemanusiaan

Idul Adha dan peristiwa kurban yang setiap tahun dirayakan umat muslim di dunia seharusnya tak lagi dimaknai sebatas proses ritual, tetapi juga diletakkan dalam konteks peneguhan nilai-nilai kemanusiaan dan spirit keadilan, sebagaimana pesan tekstual utama agama.


Kurban dalam bahasa Arab sendiri disebut dengan qurbah yang berarti mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ritual Idul Adha itu terdapat apa yang biasa disebut udlhiyah (penyembelihan hewan kurban). Pada hari itu kita menyembelih hewan tertentu, seperti domba, sapi, atau kerbau, guna memenuhi panggilan Tuhan.

Idul Adha juga merupakan refleksi atas catatan sejarah perjalanan kebajikan manusia masa lampau, untuk mengenang perjuangan monoteistik dan humanistik yang ditorehkan Nabi Ibrahim. Idul Adha bermakna keteladanan Ibrahim yang mampu mentransformasi pesan keagamaan ke aksi nyata perjuangan kemanusiaan.
Dalam konteks ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus perjuangan maha berat seorang Nabi yang diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk mengurbankan anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim pada titah sang pencipta.

Bagi Ali Syari’ati (1997), ritual kurban bukan cuma bermakna bagaimana manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya, akan tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan. Sementara bagi Jalaluddin Rakhmat (1995), ibadah kurban mencerminkan dengan tegas pesan solidaritas sosial Islam, mendekatkan diri kepada saudara-saudara kita yang kekurangan.

Dengan berkurban, kita mendekatkan diri kepada mereka yang fakir. Bila Anda memiliki kenikmatan, Anda wajib berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila Anda puasa, Anda akan merasa lapar seperti mereka yang miskin. Ibadah kurban mengajak mereka yang mustadh’afiin untuk merasakan kenyang seperti Anda.
Atas dasar spirit itu, peringatan Idul Adha dan ritus kurban memiliki tiga makna penting sekaligus. Pertama, makna ketakwaan manusia atas perintah sang Khalik. Kurban adalah simbol penyerahan diri manusia secara utuh kepada sang pencipta, sekalipun dalam bentuk pengurbanan seorang anak yang sangat kita kasihi.

Kedua, makna sosial, di mana Rasulullah melarang kaum mukmin mendekati orang-orang yang memiliki kelebihan rezeki, akan tetapi tidak menunaikan perintah kurban. Dalam konteks itu, Nabi bermaksud mendidik umatnya agar memiliki kepekaan dan solidaritas tinggi terhadap sesama. Kurban adalah media ritual, selain zakat, infak, dan sedekah yang disiapkan Islam untuk mengejewantahkan sikap kepekaaan sosial itu.

Ketiga, makna bahwa apa yang dikurbankan merupakan simbol dari sifat tamak dan kebinatangan yang ada dalam diri manusia seperti rakus, ambisius, suka menindas dan menyerang, cenderung tidak menghargai hukum dan norma-norma sosial menuju hidup yang hakiki.

Bagi Syari’ati, kisah penyembelihan Ismail, pada hakikatnya adalah refleksi dari kelemahkan iman, yang menghalangi kebajikan, yang membuat manusia menjadi egois sehingga manusia tuli terhadap panggilan Tuhan dan perintah kebenaran. Ismail adalah simbolisasi dari kelemahan manusia sebagai makhluk yang daif, gila hormat, haus pangkat, lapar kedudukan, dan nafsu berkuasa. Semua sifat daif itu harus disembelih atau dikorbankan.

Pengorbanan nyawa manusia dan harkat kemanusiaannya jelas tidak dibenarkan dalam ajaran Islam dan agama mana pun. Untuk itu, Ibrahim tampil menegakkan martabat kemanusiaan sebagai dasar bagi agama tauhid, yang kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad dalam ajaran Islam. Ali Syari’ati mengatakan Tuhan Ibrahim itu bukan Tuhan yang haus darah manusia, berbeda dengan tradisi masyarakat Arab saat itu, yang siap mengorbankan manusia sebagai “sesaji” para dewa.

Ritual kurban dalam Islam dapat dibaca sebagai pesan untuk memutus tradisi membunuh manusia demi “sesaji” Tuhan. Manusia, apa pun dalihnya, tidak dibenarkan dibunuh atau dikorbankan sekalipun dengan klaim kepentingan Tuhan. Lebih dari itu, pesan Iduladha (Kurban) juga ingin menegaskan dua hal penting yang terkandung dalam dimensi hidup manusia (hablun minannas).

Pertama, semangat ketauhidan, keesaan Tuhan yang tidak lagi mendiskriminasi ras, suku atau keyakinan manusia satu dengan manusia lainnya. Di dalam nilai ketauhidan itu, terkandung pesan pembebasan manusia dari penindasan manusia lainnya atas nama apa pun. Kedua, Idul Adha juga dapat diletakkan dalam konteks penegakan nilai-nilai kemanusiaan, seperti sikap adil, toleran, dan saling mengasihi tanpa dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan di luar pesan profetis agama itu sendiri.

Masalahnya, spirit kemanusiaan yang seharusnya menjadi tujuan utama Islam, dalam banyak kasus tereduksi oleh ritualisme ibadah-mahdah. Seakan-akan agama hanya media bagi individu untuk berkomunikasi dengan Tuhannya, yang lepas dari kewajiban sosial-kemanusiaan. Keberagamaan yang terlalu teosentris dan sangat personal itu, pada akhirnya terbukti melahirkan berbagai problem sosial dan patologi kemanusiaan.

Tadarus; Membaca Ulang Dialog Masyarakat, Nabi Isa, Maryam dan Allah


Di antara dialog yang disebutkan dalam al-Quran adalah dialog para malaikat dengan Maryam as juga dialog Isa as dengan Allah. Maryam ibu Nabi Isa as adalah seorang perempuanyang beriman dan suci. Dalam tingkat ibadah dan penghambaan beliau mencapai derajat tertentu sehingga makanan langit hadir di hadapannya. Allah telah memilihnya dan Nabi Isa as diangkat sebagai nabi dari pangkuan dan kesuciannya. Kita simak kisah ini dari al-Quran:

"Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas semua wanita di dunia (yang semasa dengan kamu)." (QS: Ali Imran:42)

"Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'." (QS: Ali Imran:43)

…"Hai Maryam!Seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)" (QS: Ali Imran:45)

"Dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia adalah termasuk orang-orang yang saleh." (QS: Ali Imran:46)

"Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun". Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia." (QS: Ali Imran:47)

Ketika Maryam kembali kepada kaumnya dengan menggendong bayi, masyarakat mencelanya seraya berkata, "Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar."

Tanpa mengucapkan kata-kata, Maryam memberikan isyarat kepada anaknya. Mereka berkata, "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?"

Tiba-tiba Nabi Isa berkata, "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka." (QS. Maryam:30-33)

"Dan ia ditetapkan sebagai seorang Rasul untuk Bani Israil (yang berkata kepada mereka): "Sesungguhnya aku telah datang kepada kalian dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhan kalian, yaitu aku membuat sesuatu berbentuk burung dari tanah; kemudian aku meniupnya, maka dengan izin Allah, ia menjadi seekor burung; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak (belang-belang); dan aku menghidupkan orang mati dengan izin Allah; dan aku kabarkan kepada kalian apa yang kalian makan dan apa yang kalian simpan di rumah kalian. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagi kalian, jika kalian benar-benar beriman."

"Dan (aku datang kepada kalian) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagi kalian sebagian yang telah diharamkan untuk kalian, dan aku datang kepada kalian dengan membawa suatu tanda (mukjizat) daripada Tuhan kalian. Karena itu bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku!"

"Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus." (QS. Ali Imran:49-51)

Sekelompok orang dari pengikut Isa telah tersesat dan menyekutukan Allah dengan Isa serta menyebutnya sebagai putra-Nya. Dalam sebagian dialog al-Quran, kepada Isa Allah berfirman: "Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?" Isa menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib."

"Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu: "Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian" dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu."

"Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar." (QS. Maidah:116-119)

Sumber: IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati

Terkait Berita: