Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Jalaluddin Rakhmat. Show all posts
Showing posts with label Jalaluddin Rakhmat. Show all posts

Khutbah Idulfitri 1436H : Cinta Nabi, Cinta Ahlul bait As-nya


إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
وَمَن يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ

Pada hari ini, Allah yang Mahakasih mengantarkan kita kembali pada Lebaran lagi, pada hari Raya Idul Fitri lagi. Lebaran ini adalah Lebaran yang kedua puluh kali, ketiga puluh kali, keempat puluh kali, kelima puluh kali, keenam puluh kali, atau ketujuh puluh kali dalam perjalanan hidup kita.

Tengoklah ke kanan dan kiri kita.
Kenangkan orang-orang yang tahun atau beberapa tahun yang lalu berlebaran bersama kita, menghamparkan sajadahnya di samping kita, atau mengumandangkan takbirnya bersama kita. Tapi Lebaran ini mereka tidak lagi bersama kita.

Tahun yang lalu atau beberapa tahun yang lalu adalah Lebaran terakhir bagi mereka. Mereka tidak lagi hadir di tempat ini. Tidak kita lihat lagi senyum bahagia mereka. Tidak kita dengar lagi tawa dan canda mereka. Tidak kita cium lagi wewangian mereka. Tidak kita rasakan lagi sentuhan tangan mereka. Mereka telah kembali ke pangkuan kasih Yang Mahasuci.

Pada pagi yang penuh berkah ini, marilah kita hantarkan kepada mereka doa kita yang tulus, lembutkan hatimu dan biarkan air matamu mengalir, karena pada kelembutan hatimu, Allah swt membuka pintu ijabah-Nya. Gumamkan dari kedalaman hatimu: Allahumma adkhil ‘ala ahlil quburis surur! Ya Allah, antarkan kebahagiaan kepada para penghuni kubur.

As-Salamu ‘alaikum ya Ahlal Qubur. Antum lanaa salaf wa inna insya Allah bikum laahiquun. Salam sejahtera bagi kalian wahai para penghuni kubur. Kalian telah mendahului kami dan insya Allah kami akan menyusul kalian.

Hari ini kita menangisi mereka. Pada tahun atau tahun-tahun mendatang kita yang akan ditangisi. Hari ini kita kehilangan mereka. Pada tahun atau tahun-tahun mendatang sanak saudara dan handai taulan akan kehilangan kita. Lebaran yang akan datang boleh jadi kita tidak lagi berlebaran bersama mereka.

نفس المرء خطاه الي اجله- نهج البلاغة الحكمة 74

“Setiap tarikan nafasmu adalah ayunan langkah kakimu ke kuburanmu,” kata Imam Ali as.

Hadirin dan hadirat, ‘Aidin dan ‘Aidat
Ujung hidup kita adalam kematian. Kita adalah buah-buah yang siap dipetik Malakal Maut. Giliran berikutnya bukanlah mereka yang sudah mendahului kita. Giliran berikutnya adalah kita semua. Dan maut tidak membeda-bedakan usia. Tua muda, laki perempuan, dewasa atau anak kecil.

نَحْنُ قَدَّرْنَا بَيْنَكُمُ الْمَوْتَ وَمَا نَحْنُ بِمَسْبُوقِينَ
عَلَىٰ أَن نُّبَدِّلَ أَمْثَالَكُمْ وَنُنشِئَكُمْ فِي مَا لَا تَعْلَمُونَ

Kami telah menentukan kematian untuk kalian dan Kami tidak bisa dilawan,
Untuk menggantikan orang-orang seperti kalian (di dunia) dan menciptakan kalian (kelak di hari akhirat) dalam keadaan yang tidak kamu ketahui.

Hadirin dan hadirat:
Setiap kali kita disentakkan oleh berita orang yang meninggal dunia, kita ucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”, kita semua kepunyaan Allah dan kita semua akan kembali kepada-Nya. Kita semua dikirim ke dunia dengan membawa tugas yang mulia; menanggung missi yang suci. Kita tidak dihadirkan ke bumi untuk sesuatu yang sia-sia; bukan sekedar bermain-main tanpa tujuan. Kita semua hadir di sini dengan membawa amanah yang agung.

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalnya. Dialah yang Mahasantun dan Maha Pengampun.

Nanti kita kembali lagi kepada-Nya. Seperti anak-anak yang kembali kepada ibu-Nya, insya Allah kita kembali ke dalam pelukan kasih-sayang-Nya.

Kita boleh jadi meninggal dalam berbagai tempat dan berbeda waktu. Setelah kita meninggal, kita akan dibangkitkan pada tempat yang sama dan waktu yang sama.

وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَإِذَا هُم مِّنَ الْأَجْدَاثِ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يَنسِلُونَ

Dan ditiuplah sangkakala. Lalu mereka berhamburan dari kuburannya menuju Tuhannya.
Hanya satu teriakan dahsyat, maka mereka semua secara serentak akan dihadapkan kepada Kami.

إِن كَانَتْ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ جَمِيعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُونَ

Hadirin dan hadirat:
Bayangkan kalian baru dibangkitkan dari kuburan kalian. Kalian menjerit ketakutan: Siapa yang membangunkan kami dari tidur panjang kami? Inilah yang telah dijanjikan Tuhan yang Mahakasih dan benarlah para utusan.

Kalian berada di padang mahsyar yang tidak terhingga. Kalian dihempaskan dalam pengadilan Yang Mahakuasa. Hamparan bumi diterangi cahaya Tuhan dan malaikat dengan muka-muka yang garang berdiri dalam barisan-barisan. Tiba-tiba seperti gelegar halilintar, disampaikan firman Tuhan yang Mahaakbar:

فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ
فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِم بِعِلْمٍ ۖ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ

Kami sungguh akan memeriksa orang-orang yang didatangi para utusan, dan sungguh akan Kami tanya juga para utusan. Akan Kami ungkapkan di hadapan mereka apa yang mereka lakukan dengan pengetahuan, dan Kami tidak pernah kehilangan perhatian.

Hatta para Rasul pun ketika ditanya Tuhan, karena dahsyatnya pertanyaan Tuhan, hati mereka berguncang dan seluruh ilmu mereka hilang. Mereka hanya berkata pelan. Mereka hanya berkata: “Kami tidak memiliki pengetahuan apa pun. Engkau sajalah yang Maha Mengetahui yang Gaib. “

قَالُوا لَا عِلْمَ لَنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ

Jika para Rasul, kekasih Tuhan saja, tidak sanggup menjawab pertanyaan Tuhan, bagaimana jawaban kalian yang setiap jam menambah dosa dan kemaksiatan.

Apa yang akan ditanyakan Allah swt pada kalian?

وروى باسناده عن أبي برزة قال: «قال رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم ونحن جلوس ذات يوم: والذي نفسي بيده لا تزول قدم عبد يوم القيامة حتى يسأله الله تبارك وتعالى عن أربع: عن عمره فيما أفناه، وعن جسده فميا أبلاه، وعن ماله فيما اكتسبه وفيما أنفقه، وعن حبنا أهل البيت

Menurut sahabat Abu Barzah, “Rasulullah saw bersabda ketika kami duduk pada suatu hari di hadapannya: Demi yang jiwaku ada di Tangannya, tidak akan bergeser telapak kaki seorang manusia pada hari kiamat sampai ia ditanya Allah tabaraka wa ta’ala tentang empat hal: Dari umurnya, untuk apa ia habiskan; dari tubuhnya untuk apa ia gunakan; dari hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan; dan terakhir, dari kecintaannya kepada kami, keluarga Nabi saw?“

Mungkin kalian bisa menjawab tiga pertanyaan pertama: kalian telah menghabiskan umur kalian untuk mensyukuri anugrah Tuhan dan bersabar atas ujian-Nya; kalian telah gunakan tubuh kalian untuk mengabdi kepada Tuhan dan melayani sesama; kalian tlah berusaha mencari nafkah yang halal dan membiayai keluarga atau menginfakkannya di jalan Allah.

Tetapi apa yang akan kalian jawab terhadap pertanyaan: Apakah kalian telah mencintai keluarga Nabi saw? Apakah kalian telah menegakkan agama kalian di atas kecintaan kepada Ahlul Bait?
Tapi sebelum itu semua. Jawablah pertanyaaan yang paling penting: Apakah kalian kenal Ahlul Bait? Siapa keluarga Nabi saw yang harus diikuti itu?

فقال له عمر بن الخطاب: فما آية حبّكم من بعدكم؟ قال: فوضع يده على رأس علي وهو الى جانبه. وقال: ان حبّي من بعدي حب هذا، وطاعته طاعتي ومخالفته مخالفتي . . »

Sesudah Nabi saw menyampaikan kewajiban untuk mencintai Nabi saw, kewajiban yang akan diminta pertanggunganjawabnya pada hari kiamat, Umar bin Khatab bertanya: Apa tanda kecintaan kepadamu sepeninggalmu? Rasulullah saw meletakkan tangannya yang mulia di atas kepala Ali bin Abi Thalib, yang berada di sampingnya: “Mencintai aku ialah mencintai orang ini. Mentaatinya sama dengan mentaatiku dan menentangnya sama dengan menentang aku.”

Hadirin dan hadirat:
Kita tidak bisa menghapalkan jawaban soal itu sekarang. Pada hari akhirat nanti semua mulut terkunci.

الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰ أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Kita harus membuktikan kecintaan kita kepada Nabi saw dan keluarganya tidak dengan mulut-mulut kita, tetapi dengan tangan dan kaki kita. Kita harus menutup rapat mulut-mulut kita ketika “mereka bermaksud untuk memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, karena Allah akan menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir membencinya.”

Karena itu, mulai hari ini julurkan tangan kita untuk menarik tangan-tangan kaum muslimin agar berpegang teguh pada tangan Amirul Mukminin, kepada tangan yang diangkat Nabi saw pada hari al-Ghadir: Man kuntu mawlaah fahaza ‘Aliyyun mawlah!

Mari kita gunakan tangan kita untuk mengayuh Perahu Keselamatan, Safinatun Najah, perahu keluarga Nabi saw, menuju tepian samudra kasih sayang Tuhan. Mari kita siapkan tangan kita untuk membantu dan melindungi para pecinta Ahlul Bait as.

Mari kita salami orang-orang yang menyebarkan senyuman Sang Nabi saw. Sehingga tangan kita menjadi saksi di hadapan Nabi saw bahwa kita mencintainya dan mencintai keluarganya.

Mulai hari ini mari kita ayunkan langkah kita, bersama para imam, di jalan Cinta Nabi saw. Ayunan langkah kaki kita bukan saja menuju ajal kita, tetapi nun jauh di ufuk kerinduan, kita menuju senyuman al-Mushtafa.
Pada hembusan nafas kita yang terakhir, kita berdoa mudah-mudahan Nabi saw yang mulia memberikan kita cawan minuman dari telaga al-Kautsar, sehingga kita tidak lagi kehausan selama-lamanya.

Jalaluddin Rakhmat.

(Mahdi News/ABNS)

Memaknai Idul Adha; Mari Berkorban untuk Kemanusiaan

Idul Adha dan peristiwa kurban yang setiap tahun dirayakan umat muslim di dunia seharusnya tak lagi dimaknai sebatas proses ritual, tetapi juga diletakkan dalam konteks peneguhan nilai-nilai kemanusiaan dan spirit keadilan, sebagaimana pesan tekstual utama agama.


Kurban dalam bahasa Arab sendiri disebut dengan qurbah yang berarti mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ritual Idul Adha itu terdapat apa yang biasa disebut udlhiyah (penyembelihan hewan kurban). Pada hari itu kita menyembelih hewan tertentu, seperti domba, sapi, atau kerbau, guna memenuhi panggilan Tuhan.

Idul Adha juga merupakan refleksi atas catatan sejarah perjalanan kebajikan manusia masa lampau, untuk mengenang perjuangan monoteistik dan humanistik yang ditorehkan Nabi Ibrahim. Idul Adha bermakna keteladanan Ibrahim yang mampu mentransformasi pesan keagamaan ke aksi nyata perjuangan kemanusiaan.
Dalam konteks ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus perjuangan maha berat seorang Nabi yang diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk mengurbankan anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim pada titah sang pencipta.

Bagi Ali Syari’ati (1997), ritual kurban bukan cuma bermakna bagaimana manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya, akan tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan. Sementara bagi Jalaluddin Rakhmat (1995), ibadah kurban mencerminkan dengan tegas pesan solidaritas sosial Islam, mendekatkan diri kepada saudara-saudara kita yang kekurangan.

Dengan berkurban, kita mendekatkan diri kepada mereka yang fakir. Bila Anda memiliki kenikmatan, Anda wajib berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila Anda puasa, Anda akan merasa lapar seperti mereka yang miskin. Ibadah kurban mengajak mereka yang mustadh’afiin untuk merasakan kenyang seperti Anda.
Atas dasar spirit itu, peringatan Idul Adha dan ritus kurban memiliki tiga makna penting sekaligus. Pertama, makna ketakwaan manusia atas perintah sang Khalik. Kurban adalah simbol penyerahan diri manusia secara utuh kepada sang pencipta, sekalipun dalam bentuk pengurbanan seorang anak yang sangat kita kasihi.

Kedua, makna sosial, di mana Rasulullah melarang kaum mukmin mendekati orang-orang yang memiliki kelebihan rezeki, akan tetapi tidak menunaikan perintah kurban. Dalam konteks itu, Nabi bermaksud mendidik umatnya agar memiliki kepekaan dan solidaritas tinggi terhadap sesama. Kurban adalah media ritual, selain zakat, infak, dan sedekah yang disiapkan Islam untuk mengejewantahkan sikap kepekaaan sosial itu.

Ketiga, makna bahwa apa yang dikurbankan merupakan simbol dari sifat tamak dan kebinatangan yang ada dalam diri manusia seperti rakus, ambisius, suka menindas dan menyerang, cenderung tidak menghargai hukum dan norma-norma sosial menuju hidup yang hakiki.

Bagi Syari’ati, kisah penyembelihan Ismail, pada hakikatnya adalah refleksi dari kelemahkan iman, yang menghalangi kebajikan, yang membuat manusia menjadi egois sehingga manusia tuli terhadap panggilan Tuhan dan perintah kebenaran. Ismail adalah simbolisasi dari kelemahan manusia sebagai makhluk yang daif, gila hormat, haus pangkat, lapar kedudukan, dan nafsu berkuasa. Semua sifat daif itu harus disembelih atau dikorbankan.

Pengorbanan nyawa manusia dan harkat kemanusiaannya jelas tidak dibenarkan dalam ajaran Islam dan agama mana pun. Untuk itu, Ibrahim tampil menegakkan martabat kemanusiaan sebagai dasar bagi agama tauhid, yang kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad dalam ajaran Islam. Ali Syari’ati mengatakan Tuhan Ibrahim itu bukan Tuhan yang haus darah manusia, berbeda dengan tradisi masyarakat Arab saat itu, yang siap mengorbankan manusia sebagai “sesaji” para dewa.

Ritual kurban dalam Islam dapat dibaca sebagai pesan untuk memutus tradisi membunuh manusia demi “sesaji” Tuhan. Manusia, apa pun dalihnya, tidak dibenarkan dibunuh atau dikorbankan sekalipun dengan klaim kepentingan Tuhan. Lebih dari itu, pesan Iduladha (Kurban) juga ingin menegaskan dua hal penting yang terkandung dalam dimensi hidup manusia (hablun minannas).

Pertama, semangat ketauhidan, keesaan Tuhan yang tidak lagi mendiskriminasi ras, suku atau keyakinan manusia satu dengan manusia lainnya. Di dalam nilai ketauhidan itu, terkandung pesan pembebasan manusia dari penindasan manusia lainnya atas nama apa pun. Kedua, Idul Adha juga dapat diletakkan dalam konteks penegakan nilai-nilai kemanusiaan, seperti sikap adil, toleran, dan saling mengasihi tanpa dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan di luar pesan profetis agama itu sendiri.

Masalahnya, spirit kemanusiaan yang seharusnya menjadi tujuan utama Islam, dalam banyak kasus tereduksi oleh ritualisme ibadah-mahdah. Seakan-akan agama hanya media bagi individu untuk berkomunikasi dengan Tuhannya, yang lepas dari kewajiban sosial-kemanusiaan. Keberagamaan yang terlalu teosentris dan sangat personal itu, pada akhirnya terbukti melahirkan berbagai problem sosial dan patologi kemanusiaan.

Syiah di Indonesia Bukan Mazhab Baru


UQ: Ada yang bilang bahwa Syi’ah di Indonesia itu sebenarnya bukan mazhab baru, tetapi sudah lama. Hanya saja mungkin ia tidak tersebar luas sebagaimana mazhab Sunni. Bagaimana Kang Jalal melihat perkembangan Syi’ah di negeri ini?

JALALUDDIN RAKHMAT: Ada beberapa teori tentang kedatangan Syi’ah di Indonesia. Teori pertama merujuk pada masa penyebaran Islam di Indonesia. Jadi, menurut teori ini, dahulu orang-orang Syi’ah yang dikejar-kejar oleh penguasa Abbasiyah lari dari Timur Tengah sebelah utara, yang sekarang mungkin daerah Irak, ke sebelah selatan –dibawah pimpinan seorang yang bernama Ahmad Muhajir– sampai ke Yaman. Mereka menghentikan pelarian di puncak-puncak bukit yang terjal. Kisah ini dimuat dalam beberapa kitab Syi’ah. Alkisah, pemimpinnya, Ahmad Muhajir, waktu itu mematahkan pedangnya dan kemudian mengatakan, “Wahai saat ini kita ganti perjuangan kita dengan pena.”

Kemudian mereka semua secara lahir menganut mazhab Syafi’i. Mereka bertaqiyyah sebagai pengikut mazhab Syafi’i di daerah Yaman, Hadramaut. Sehingga di dalam kamus Munjid edisi lama, pada kata ‘Hadramaut’ ditulis: sukkanuha syi’iyyuna syafi’iyyuna; penduduknya orang-orang Syi’i yang bermazhab Syafi’i. Saya kira Munjid itu merekam mereka. Dari Hadramaut inilah menyebar para penyebar Islam yang pertama, khususnya kaum ‘Alawiy, orang-orang keturunan Sayyid, atau yang mengklaim sebagai keturunan Sayyid. Mereka datang ke Indonesia dan menyebarkan Islam. Tetapi ketika mereka datang ke Indonesia, di luar, mereka Syafi’i, di dalam, mereka Syi’i.

Belakangan ada bukti-bukti lain yang memperkuat teori ini. Misalnya, pernyataan Abdurrahman Wahid bahwa NU secara kultural adalah Syi’ah. Hal itu karena tradisi Syafi’i di Indonesia –berbeda dengan tradisi Syafi’i di negeri-negeri lain– sangat kental diwarnai tradisi-tradisi Syi’ah. Ada beberapa shalawat khas Syi’ah yang sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren. Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlul Bait. Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu membuat kubah pada kuburan. Itu semua tradisi Syi’ah. Tradisi itu lahir di sini dalam bentuk mazhab Syafi’i. Jadi di luarnya Syafi’i di dalamnya Syi’i.

Masih ada juga bukti-bukti ritus khas Syi’ah –bukan khas Syafi’i– yang populer di Indonesia. Salah satunya ialah tahlilan hari ke satu atau keempatpuluh (setelah kematian seseorang) dan juga haul. Itu tradisi Syi’ah yang tidak dikenal pada mazhab Syafi’i di Mesir. Lalu, di kalangan NU setiap malam Jum’at sering dibacakan shalawat diba’. Pada shalawat itu disebutkan seluruh Imam Syi’ah yang dua belas. Dan itu mereka lakukan setiap malam Jum’at, seperti pembaruan bai’at, kepatuhan pada dua belas Imam.
Untuk memperkuat itu, ada juga kebiasaan orang-orang Indonesia yang menganut mazhab Syafi’i untuk menghormati –kadang-kadang secara berlebihan– keturunan Nabi yang mereka artikan sebagai Ahlul Bait. Saya sebut secara berlebihan karena menurut orang-orang Syi’ah, Ahlul Bait itu hanya terbatas kepada dua belas Imam yang ma’shum. Jadi, tidak semua keturunan Nabi adalah termasuk Ahlul Bait. Mereka juga percaya bahwa semua Ahlul Bait itu pasti masuk surga, dan mereka tak berdosa. Kepercayaan itu merata, khususnya pada kalangan Muslim yang awam.
Kemudian di Surabaya ada seorang peneliti (kalau tidak salah namanya Agus Sunyoto) dari sebuah lembaga penyiaran Islam (nama lembaganya saya lupa; dipimpin oleh Dr. Saleh Jufri) yang pernah melakukan penelitian terhadap kuburan-kuburan di Jawa Timur. Ia menemukan bahwa kuburan-kuburan itu adalah kuburan-kuburan orang Syi’ah. Ia punya dugaan keras bahwa Islam yang pertama kali masuk ke Indonesia itu Islam Syi’ah. Kemudian, Ali Hsymi juga pernah menulis buku tentang Syi’ah di Indonesia dan ia punya teori bahwa Isalm yang pertama datang ke Indonesia ini adalah Islam Syi’ah. Menurut Agus Sunyoto, sebagian besar dari wali yang sembilan itu adalah Syi’ah, kecuali satu (kalau tidak salah Sunan Kalijaga atau entah siapa, saya tidak ingat betul; itulah yang suni). Itu dari segi bukti-bukti sejarah.

Teori kedua, Islam yang datang ke Indonesia itu Islam Sunni. Tetapi kemudian Syi’ah masuk terutama melalui aliran-aliran tarekat. Soalnya, dalam tarekat, Syi’ah dan Sunni bertemu sudah sejak lama. Ambillah contoh tarekat Qadriyyah-Naqsabandiyyah. Silsilahnya bersambung kepada imam-imam Syi’ah. Sisilahnya begini: dari Allah, Malaikat Jibril, Rasulullah, Ali, Husain, Ali bin Husain, terus kepada Imam Syi’ah sampai Imam Ali Ridha. Dari situ barulah keluar kepada silsilah yang lain. Tetapi tujuh atau delapan yang awal itu adalah para imam Syi’ah.

Tampaknya, menurut teori kedua ini, Islam yang datang ke Indonesia ialah Islam Sunni. Tetapi karena Islam yang pertama datang itu Islam yang bersifat mistikal, maka pengaruh-pengaruh Syi’ah masuk lewat Islam yang mistikal itu. Ritus-ritus yang disebutkan tadi tidak menunjukkan bahwa Syi’ahlah yang pertama datang ke Indonesia. Itu hanya sekedar menunjukkan adanya pengaruh Syi’ah yang masuk ke dalam pemikiran Ahlussunnah lewat Syafi’i. Ada juga yang punya teori Islam itu dulu pernah disebarkan ke Indonesia lewat orang-orang Persia. Ada yang menyebutkan mereka juga pernah tinggal di Gujarat, di India Barat yang kebanyakan adalah Syi’ah.

Teori ketiga, Syi’ah itu baru datang setelah peristiwa Revolusi Islam Iran (RII), dimulai antara lain dengan tulisan-tulisan Ali Syariati dan disusul dengan tulisan-tulisan pemikir Islam Iran lain. Sebetulnya, banyak orang yang terpengaruh Syi’ah hanya kerena peristiwa RII. Belakangan, kadang-kadang orang mendefinisikan Syi’ah sebagai siapa saja yang bersimpati terhadap RII. Misalnya, Mas Amien Rais, pernah menerima gelar Syi’ah juga. Bahkan sebuah buku kecil pernah ditulis tentang ciri ke-Syi’ah-an Amien Rais. Saya kira sebabnya sederhana saja: karena mas Amien Rais memang sering memuji RII. Boleh jadi ada juga orang yang menyebut mas Dawam Rahardjo itu Syi’ah karena ia sangat apresiatif terhadap Iran, sampai seringkali memuji-muji ulama Iran.

[Petikan wawancara Jalaluddin Rakhmat dengan Redaktur Majalah Ulumul Quran (UQ): Arief Subhan dan Nasrullah Ali Fauzi; edisi No.4, Vol.VI, Tahun 1995].

Terkait Berita: