Rausanfikr Sebagai Agen Revolusi Islam: Pandangan Ali Syari’ati
Oleh : Anjar Nugroho
Ali
Syari’ati mempunyai pandangan yang berbeda dengan Imam Khomeini tentang
konsep kunci kepemimpinan. Jika Imam Khomeini menempatkan kaum ulama
sebagai otoritas tertinggi dalam bidang politik maupun agama, maka Syari’ati menolak dominasi politik kaum ulama, dan sebaliknya menempatkan kaum “intelektual yang tercerahkan” (rausanfikr), sebagai pemegang otoritas kekuasaan politik.
Dalam pandangan Imam Khomeini, selama ghaibnya Imam Mahdi kemepimpinan dalam pemerintahan Islam menjadi hak para faqîh (fuqâhâ).
Sekali seorang faqîh berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, maka
rakyat dan para faqîh lain wajib mengikutinya, karena dia akan memiliki
kekuasaan dan otoritas pemerintahan yang sama sebagaimana yang dimiliki
nabi dan para imam terdahulu. Walau demikian, menurut Imam Khomeini,
tidak semua faqîh qualified
sebagai pemimpin. Sekurang-kurangnya beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi seorang faqîh untuk bisa memimpin pemerintahan Islam.
Konsep Wilâyah al-Faqîh memang didasarkan pada prinsip imâmah yang menjadi salah satu keimanan Syi’ah Imâmiyah. Bisa juga dikatakan bahwa Wilâyah al-Faqîh dimaksudkan untuk “mengisi kekosongan politik” selama masa ghaibnya Imam kedua belas (Al-Mahdi). Pada masa keghaiban itu, Faqîh –
yang memenuhi syarat – berperan selaku wakil imam, guna membimbing
umat, baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun sosial politik. Oleh
sebab itu, berdasarkan konsep Wilâyah al-Faqîh, keberadaan sebuah pemerintahan Islam merupakan suatu keharusan spiritual maupun historis.
Para ulama Syi’ah menjunjung tinggi aspek asasiyah doktrin imâmah.
Karena imam itu maksum dan menafsir otoritas wahyu Islami, maka dia
adalah satu-satunya otoritas absah yang dapat menegakkan negara dan
pemerintah Islam. Namun, di bawah pengaruh kuat keadaan historis, imâmah
menjadi terbagi ke dalam temporal dan spiritual. Otoritas temporal imam
dipandang sebagai telah “dijarah” oleh dinasti yang berkuasa, namun
otoritas spiritual tetap dimiliki oleh imam yang dipandang sebagai
hujjah Tuhan mengenai kemahakuasaan-Nya, yang diberi kuasa untuk memandu
kehidupan spiritual para pengikutnya sebagai “imam sejati”
Dengan
berfusinya nasionalisme Iran dan Islam Syi’ah, orang-orang Iran,
termasuk para ulama Syi’ahnya, tidak pernah merasakan adanya konflik
antara Islam dan nasionalisme Iran.
Namun, sebagian ulama Syi’ah menolak segala bentuk “kolaborasi” antara
raja dan ulama, termasuk dalam arti raja dalam posisi “superior” dan
ulama “inferior”. Imam Khomeini termasuk berada dalam deretan ulama yang
menetang keras kekuasaan raja. Walaupun dalam Kasyf al-Asyrâr, ia masih bisa menerima keberadaan lembaga monarki konstitusional, namun dalam Hukûmah Islamiyah,
Khomeini secara tegas menolak sistem monarki. Baginya, hanya ada satu
sitem kenegaraan yang sesuai dengan Islam, yaitu pemerintahan Islam yang
dipimpin oleh seorang fâqih atau dewan fuqahâ.
Berbeda denagn Imam Khomeini, Ali Syari’ati tidak setuju dengan peranan yang terlalu besar dari para mujtahîd
(ulama). Bagi Syari’ati, mereka yang bukan ulama bisa jadi dapat
memahami ajaran Islam dengan lebih baik; berfikir dan hidup dengan cara
Islami yang lebih murni, dibanding ahli hukum atau filosof. Syari’ati
bahkan menyalahkan ulama dengan adanya keberhasilan yang diperoleh oleh
para imperialis, karena akibat “kekeras kepalaan para ulamalah yang
menggiring para pemuda Iran mencari perlindungan dalam kebudayaan
Barat”. Tidak mengherankan jika hanya sedikit karya Syari’ati yang
sesuai dengan paham para ulama. Sebaliknya tidak jarang Syari’ati
dituduh oleh sementara ulama sebagai “agen Sunni, Wahabiyah, dan bahkan
Komunisme”.
Menurut
Syari’ati, kaum intelektual merupakan para eksponen real dari Islam
yang “rasional” dan “dinamis”, dan bahwa tugas utama mereka adalah untuk
memperkenalkan suatu “pencerahan” dan “revormasi” Islam.
Oleh sebab itu, betapa pentingnya kaum intelektual Muslim menghubungkan
dirinya dengan massa, menentang kaum reaksioner dan membangkitkan Islam
sebagai agama jihad yang menentang penindasan dan menegakkan keadilan.
Syari’ati berkeyakinan bahwa pemeritahan kaum intelektual merupakan
satu-satunya pilihan yang bisa diterima dan diperlukan setelah revolusi.
Dengan kata lain, Syari’ati mendukung suatu pemerintahan – atau lebih
dari itu, kediktatoran – kaum intelektual.
Syari’ati tegas-tegas menolak jika imâmah
diartikan sebagai pemberian kekuasaan yang bersar kepada kaum ulama.
Baginya, kaum ulama tidak berhak memonopoli kebenaran di bidang agama,
karena para ulama sama sekali tidak bisa lepas tangan dari terciptanya
kemunduran di dunia Islam. Manurut Syari’ati, selama ini kaum ulama
telah menafsirkan ajaran-ajaran agama yang justru hanya menguntungkan
kalangan istana. Sebaliknya, mereka yang non-ulama, khususnya kaum
intelektual yang tercerahkan (rausanfikr), adalah yang paling berhak mengendalikan kekuasaan selama masa ghaibnya Imam Mahdi.
H.E.
Chelabi adalah salah seorang yang sependapat dengan Syari’ati tentang
ketidakberhakan kelompok ulama secara otomatis menjadi pemimpin politik.
Sebagaimana digambarkannya:
Ayâtullah
Shariatmandari repeatedly stated his opposition to having popular
soverighnity restricted. Arguing that “member of clergy, whose role is a
spiritual one, should not interface in affair of state”, he would
accept a political leadership role for the clergy only when the state
passed anti-Islamic legislation, or the event of a temporary power
vacuum.
(Ayâtullah Shariatmandari berulang-kali menyatakan oposisinya untuk
mempunyai kedaulatan rakyat terbatas. Membantah bahwa “anggota ulama,
siapa yang berperan dalam bidang spiritual , mestinya tidak terlibat
dalam urusan negara”, ia akan menerima peran kepemimpinan politik untuk
ulama sekedar hanya ketika negara menerapkan perundang-undangan yang
tidak Islami, atau ketika terjadi kekosongan kekuasaan.)
Hal
ini mengakibatkan kekuasaan sulit dikontrol, dan partisipasi politik
rakyat menjadi sangat rendah. Padahal dalam sistem politik demokrasi,
kontrol terhadap kekuasaan dan partisipasi politik rakyat, merupakan dua
unsur yang sangat dominan. Pandangan ini umumnya dianut oleh
tokoh-tokoh “nasionalis-liberal” seperti Mehdi Bazargan, Abu al-Hasan,
dan Bani Sadr.
Syari’ati
kembali menegaskan bahwa yang berhak menjadi pemimpin umat adalah
intelektual yang tercerahkan. Mereka adalah orang yang terpanggil untuk
memperbaiki nasib umat dari ketertindasan dan mengembalikah hak-hak
rakyat agar mereka bisa menikmati kehidupan berkeadilan tanpa tanpa
harus merasa khawatir terjadi kesewenang-wenangan atas mereka. Rausanfikr,
merujuk kepada mereka yang melakukan tugas mental (sebagai alawan tugas
manual). Tidak semua intelektual adalah tercerahkan, tetapi menurut
Syari’ati, hanya sebagian darinya. Ia mencontohkan, misalnya, Sattar
Khan adalah orang yang tercerahkan tapi bukan seorang intelektual yang
bergelar, sementara Allamah Muhammad Qaznivi adalah seorang intelektual
tetapi tidak tercerahkan.
Secara
khusus Syari’ati mengidentifikasi kelompok orang-orang yang tercerahkan
berasal dari golongan orang yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” (human condition)
di masanya. Kesadaran semacam itu dengan sendirinya kan memberikan rasa
tanggungjawab sosial. Pada prinsipnya, kata Syari’ati, tanggungjawab
dan peranan orang-orang masa kini yang tercerahkan di dunia ini sama
dengan tanggungjawab dan pranan para nabi dan pendiri agama-agama besar –
yaitu para pemimpin yang mendorong terwujudnya perubahan-perubahan
struktural yang mendasar di masa lampau. Mereka itu, lanjut Syari’ati,
tidak harus seseorang yang mewarisi dan melanjutkan karya-karya Galileo,
Copernicus, Socrates, Aristoteles, dan Ibn Sina. Akan tetapi yang lebih
penting dari itu semua adalah kepekaan sosial dan politik dalam melihat
persoalan-persoalan masyarakat.
Di
saat masyarakat, dalam konteks ini adalah masyarakat Iran, sebagaimana
juga masyarakat lainnya di Dunia Ketiga, sedang mengalami keterpurukan
identitas nasional dan disparitas (kesenjangan) sosial ekonomi yang
sangat lebar, ia memerlukan dua bentuk revolusi yung saling berkaitan. Pertama,
revolusi nasional, yang bertujuan bukan hanya untuk mengakhiri seluruh
bentuk dominasi Barat, tetapi juga untuk merevitalisasi kebudayaan dan
identiras nasional negara Dunia Ketiga bersangkutan. Kedua,
revolusi sosial untuk menghapuskan semua bentuk eksploitasi dan
kemiskinan guna menciptakan masyarakat yang adil, dinamis dan “tanpa
kelas” (classes). Lantas siapa yang akan menjadi agen revolusi ini?
Ali Syari’ati secara tegas menyatakan bahwa orang yang tercerahkan (rausanfikr) itulah yang harus memulai langkah-langkah strategis revolusi nasional maupun sosial:
Although
not a prophet, an enlightened soul should play the role of the prophet
for his society. He should preach the call for awareness, freedom and
salvation to the deaf and unhearing ears of the people, inflame the fire
of a new faith in their hearts, and show them the social direction in
their stagnant society. This is not a job for the scientists, because
they have a clear-cut responsibility: understanding the status quo and
discovering and employing the forces of nature and of man for the
betterment of the material life of the people. Scientists, technicians,
and artists provide scientific assistance to their nations, or to the
human race, in order to help them to improve their lot and be better at
what “they are.” Enlightened souls, on the other hand, teach their
society how to “change” and toward what direction. They foster a mission
of “becoming” and pave the way by providing an answer to the question,
“What should we become?”
(Meskipun bukan Nabi, pemikir yang tercerahkan harus memainkan peranan
sebagai Nabi bagi masyarakatnya. Dia harus menyerukan kesadaran,
kebebasan dan keselamatan bagi telinga rakyat yang tuli dan tersumbat,
menggelorakan suatu keyakinan baru di dalam hati mereka, dan menunjukkan
kepada mereka arah sosial dalam masyarakat mereka yang mandek. Ini
bukanlah tugas para ilmuwan, sebab mereka mempunyai tanggungjawab yang
pasti: memahami status quo
dan menemukan serta memanfaatkan kekuatan-kekuatan alam dan daya
manusia untuk memperbaiki kehidupan material rakyat. Para ilmuwan,
teknisi, dan seniman memberikan bantuan ilmiah kepada bangsa mereka,
atau kepada umat manusia, untuk memperbaiki nasib mereka agar keadaanya
emnjadi lebih baik. Orang-orang yang tercerahkan, sebaliknya,
mengajarkan kepada masyarakat mereka bagaimana caranya “berubah” dan
akan mengarah ke mana perubahan itu. Mereka menjalankan misi “menjadi”
dan merintis jalan dengan memberi jawaban kepada pertanyaan, “Akan
menjadi apa kita ini?”.
Orang-orang yang tercerahkan (rausanfikr)
itu, kata Syari’ati, mempunyai tanggungjwab yang besar yaitu mencari
sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya dan
menemukan penyebab sebenarnya dari kemandegan dan kebobrokan rakyat
dalam lingkungannya. Lebih dari itu, lanjut Syari’ati, ia harus mendidik
masyarakatnya yang bodoh dan masih tertidur, mengenai alasan-alasan
dasar bagi nasib sosiohistoris mereka yang tragis. Kemudian, dengan
berpijak pada sumber-sumber tanggungjawab, kebutuhan-kebutuhan dan
penderitaan masyarakatnya, ia harus menentukan pemecahan-pemecahan
rasional yang akan memungkinkan rakyatnya membebaskan diri mereka dari
status quo. Berdasarkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya
terpendam di dalam masyarakatnya dan diagnosis yang tepat pula atas
penderitaan masyarakat itu, orang yang tercerahkan, masih menurut
Syari’ati, harus berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat
sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan
kelainan-kelainan, serta faktor internal dan eksternal.
Peran rausanfikr
dalam perubahan masyarakat dalam pemikiran Ali Syari’ati, sebangun
dengan apa yang pernah dibayangkan oleh Antonio Gramsci tentang
intelektual organik. Gramsci memetakan potensi intelektual menjadi dua
kategori, yaitu itelektual tradisional dan intelektual organik.
Intelektual tradisional berkutat pada persoalan yang bersifat otonom dan
digerakkan oleh proses produksi, sebaliknya intelektual organik adalah
mereka yang memiliki kemampuan sebagai organisator politik yang
menyadari identitas dari yang diwakili dan mewakili.
Intelektual organik itu, menurut Gramsci, tidak harus mereka yang fasih
berbicara dan berpenampilan seorang intelektual, tetapi lebih dari itu,
yaitu mereka yang aktif berpartisipasi dalam kehidupan praktis, sebagai
pembangun, organisator, penasehat tetap, namun juga unggul dalam
semangat matematis yang abstrak.
Bagi Syari’ati, rausanfikr
adalah kunci pemikirannya karena tidak ada harapan untuk perubahan
tanpa peran dari mereka. Mereka adalah agen perubahan sosial yang nyata,
karena pilihan jalan mereka adalah meninggalkan menara gading
intelektualisme dan turun untuk terlibat dalam problem-problem real
masyarakat. Mereka adalah katalis yang meradikalisasi massa yang sedang
tidur panjang menuju revolusi melawan penindas. Masyarakat dapat
mencapai lompatan kreatifitas yang tinggi menuju perubahan fundamental
struktur sosial-politik akibat peran katalis rausanfikr.
Dari
seluruh bangunan pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam dan revolusi di
atas, sumbangan terbesar Syari’ati sebenarnya bukan dalam kekuatannya
sebagai seorang teoritikus Islam di bidang ilmu-ilmu sosial, seperti
Ibnu Khaldun dengan Muqaddimahnya. Atau barangkali, seperti Erward Said
yang dengan Orientalism-nya telah membongkar dan meruntuhkan bangunan
ilmu-ilmu sosial “Barat” yang selama ini dibangun di atas power/knowledge
dalam era kolonialisme. Sumbangan dia yang paling monumental adalah
tesisnya yang menyatakan bahwa “kesadaran kolektif” yang menjadi basis
kekuatan revolusioner tidak selalu berangkat dari kesadaran kelas,
tetapi juga bisa dari kesadaran agama. Agama dalam konteks ini tentu
saja bukan agama dalam pemahaman umum, tetapi agama yang telah mengalami
“ideologisasi” sehingga mampu memberi kekuatan revolusioner. Oleh
karena itu, tidak heran jika setelah revolusi Iran terjadi, maka
kerangka teoritik yang biasanya dijadikan konseptualisasi “social movement” menjadi berantakan, karean sering meremehkan faktor budaya sebagai kekuatan “symbolic resistance”.
Dengan
teori politiknya yang menyatakan bahwa dunia ketiga, seperti Iran,
membutuhkan “double movement” atau gerakan ganda revolusi, yaitu pertama,
revolusi nasional yang bertujuan disamping untuk memperoleh kemerdekaan
dari imperialisme Barat, tetapi juga untuk merevitalisasi warisan
kebudayaan dan identitas nasional (to vitalize the country’s culture, heritage, and national identity).
Kedua, revolusi sosial yang dimaksudkan untuk mengahapus kesenjangan
kelas, kemiskinan, dan segala bentuk eksploitasi. Dua macam revolusi itu
dapat dilaksanakan dengan baik jika para intelektual yang tercerahkan (rausanfikr) dapat menjadi agen atau artikulator. Mereka – para rausanfikr itu – dapat menjadi agen yang baik jika dalam kesadaran jiwanya tertanam teologi Islam pembebasan.
Syarat-syarat
seorang faqih agar bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam antara lain:
1) mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam;
2) harus adil,
dalam arti memiliki iman dan akhlaq yang tinggi;
3) dapat dipercaya dan
berbudi luhur;
4) jenius;
5) memiliki kemampuan administratif;
6) bebas
dari segala pengaruh asing;
7) mampu mempertahankan hak-hak bangsa,
kemerdekaan dan integritas teritorial tanah Islam, sekalipun harus
dibayar denagn nyawanya; dan hidup sederhana.
Lihat Khomeini, Islamic Government (Roma: European Islamic Cultural Centre, 1983), hlm. 52-53.
ALI SYARI'ATI
Judul buku : Ali Syari'ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner
Penulis : Ali Rahnema
Penerbit : Erlangga, Jakarta
Edisi : I, 2006
Tebal : xvi + 648 halaman
ALI Syari'ati adalah sebuah nama yang tak asing lagi bagi kebanyakan
kalangan umat Islam, termasuk di Indonesia. Kemasyhurannya bisa
disandingkan dengan tokoh-tokoh Republik Islam Iran lainnya, seperti
Imam Khomeini, Murtadha Muthahhari, dan Allamah Thaba'thabi. Nama-nama
mereka cukup familier di telinga umat Islam Indonesia.
Seperti tokoh-tokoh Iran lainnya, ketokohan dan
intelektualitas Syari'ati semakin populer bagi masyarakat muslim
Indonesia setelah Revolusi Iran meletus pada 1979. Apalagi setelah
buku-buku karyanya, misalnya Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat-Pikir
Barat Lainnya, Islam Agama 'Protes', dan Haji diterjemahkan dan
diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Kini, sosok, latar belakang, aktivitas, dan
pemikiran Syari'ati bisa dibaca dan ditelaah lebih dalam melalui buku
karya Ali Rahnema, Ali Syari'ati: Biografi Politik Intelektual
Revolusioner. Melalui buku itu Syaria'ti semakin mudah dipahami
masyarakat Indonesia. Dalam buku itu Rahnema memaparkan sisi-sisi
kehidupan Ali Syari'ti, mulai dari masa kecil, pendidikan, politik,
hingga kematiannya dalam pengasingan pada umur 44 tahun, usia yang
relatif muda.
Rahnema memotret perjalanan kehidupan dan aktivitas politik Syari'ati sebagai seorang pemikir religius dan aktivis revolusioner.
Inilah satu-satunya buku biografi Ali Syari'ati
yang kini diterbitkan dalam edisi Indonesia dan ditulis dengan data
lengkap, mendalam, dan mendetail. Rahnema tidak hanya menjelaskan
liku-liku dramatis dan tragis perjalanan kehidupan Syari'ati, tetapi
juga memaparkan kondisi budaya, sosial, ekonomi, dan politik yang
mengitarinya. Dengan objektivitas akademisnya, tapi tetap simpati dan
hormat, guru besar dalam bidang ilmu ekonomi pada American University,
Paris, ini berhasil merekam dan menawarkan pemahaman baru tentang sosok
dan figur Syari'ati yang posisinya di dalam Revolusi Iran cukup penting
dan diperhitungkan.
Buku biografi Ali Syari'ati ini melanjutkan dan
memperkukuh tradisi penulisan riwayat hidup seseorang yang telah
berlangsung selama 15 abad lebih. Tradisi penulisan biografi ini bisa
dilacak pada masa-masa awal Islam yang biasa disebut sirah. Penulis
biografi Nabi Muhammad SAW paling awal adalah Aban ibn Utsman ibn Affan
(w. 105/723)--putra Khalifah Utsman ibn Affan yang lahir 10 tahun
setelah Nabi wafat. Penulis pertama yang menggunakan istilah sirah atau
biografi ialah Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri yang
merekonstruksi sirah Nabi dengan struktur yang baku, dan menggariskan
kerangka dalam bentuk yang jelas.
Biografi adalah sirah, sekaligus tuntunan,
anutan, sejarah, dan masa lalu yang sangat layak dipelajari dan dikaji
untuk kehidupan masa depan. Karena itu, sebuah buku biografi, termasuk
buku biografi Ali Syari'ti ini bisa menjadi uswah hasanah bagi perilaku
teladan kehidupan dan pemikiran seseorang dan masyarakat luas umumnya.
Dengan demikian, biografi Syari'ati ini layak dijadikan sebagai sumber
referensi untuk merumuskan masa depan pemikiran dan aktivitas politik
umat Islam, termasuk pula bagi masyarakat Indonesia.
Biografi Syari'ati karya Rahnema ini tampaknya
mengikuti gaya dan model penulisan biografi klasik yang biasanya
menggunakan pendekatan kronologis--ditulis secara berurutan dan terinci
sesuai dengan masa-masa terjadinya suatu kisah atau peristiwa kehidupan.
Biografi semacam ini sering disebut sejarah kronologis atau sejarah
'urut kacang', dan banyak digunakan para penulis biografi. Inilah cara
penulisan biografi yang paling sederhana, akurat, dan tidak terlalu
rumit untuk menjelaskan dan memaparkan rincian-rincian dasar
perikehidupan seseorang.
Karena kronologis, penulisan biografi klasik
biasanya dimulai dengan penggambaran kehidupan seseorang dari
prakelahiran, kelahiran, masa kanak-kanak, keluarga, perkawinan,
pendidikan, aktivitas, pemikiran, pemberontakan, pemenjaraan, hingga
masa-masa akhir hidupnya, seperti tampak jelas pada biografi Syari'ati
yang ditulis Rahnema ini.
Buku yang terdiri atas 23 bab ini dimulai dengan
pemaparan Rahnema tentang kondisi politik dan religius yang
melatarbelakangi prakelahiran Syari'ati dan keluarganya, yang ditulisnya
hingga tiga bab.
Dalam bab empat, Rahnema baru memaparkan tentang
masa kecil dan masa dewasa yang dilalui Syari'ati. Seperti disebutkan
Rahnema, pikiran dan ide-ide Syari'ati dibentuk oleh bacaan yang
diperolehnya selama masa pendidikan (h. 69-73). Bacaan-bacaan Syari'ati
cukup beragam, dan memengaruhi pola pikir dan ide. Daftar bacaannya
berjalan melalui sebuah transformasi radikal pada saat dia mulai masuk
ke sekolah dasar sampai ke sekolah menengah.
Di sekolah dasar, Syari'ati telah membaca
berbagai jenis buku; karya Victor Hugo Les Miserables, Que sais-je,
History of Cinema, dan buku populer yang best seller seperti Zan-e-
Mast. Di tingkat sekolah menengah, Syari'ati mulai mempelajari buku-buku
yang berkaitan dengan masalah-masalah filsafat, mistik, dan sufisme.
Dalam bidang filsafat, ia melahap karya-karya filosof Jerman, seperti
Arthur Schopenhauer, Franz Kafka, dan penyair besar Jerman Anatole
France. Ia memiliki kenangan pertama terhadap karya-karya Maurice
Maeterlink. Ia mengacu kepada penulis dan penyair simbolik dari Belgia
ini sebagai pemandu dalam merefleksikan dan memeditasikan kebenaran yang
ada di balik realitas.
Adapun literatur sufi yang dibaca Syari'ati
adalah karya sufi besar, seperti al-Hallaj, al-Junayd, Qadi Abu Yusuf,
Syabastari, Qusyairi, Abu Said Abu al-Khayr, Abu Yazid al-Bustami, Ayn
al-Qudat al-Hamadani, dan Maulana Jalaluddin Rumi. Dalam masa-masa
tersebut, seperti dijelaskan Rahnema, Syari'ati juga telah membaca
buku-buku tafsir Alquran, sastra, puisi, sejarah Islam, dan tentu saja
buku-buku politik.
Dalam bab-bab berikutnya, khususnya bab lima,
Rahnema memaparkan keterlibatan Syari'ati dalam aktivitas politik.
Syari'ati, jelas Rahnema, secara efektif memulai aktivitas politiknya
ketika menjadi mahasiswa pada institut keguruan. Baru pada 1950,
Syari'ati menjadi anggota aktif dalam sebuah partai politik. Namun,
dasar-dasar kesadaran sosial politiknya telah ia tanam pada Pusat
Penyebaran Kebenaran Islam ketika ia masih berusia 15 tahun. Dalam
perkembangan berikutnya, Syari'ati dapat digolongkan sebagai seorang
agitator dan pemimpin politik, dan tentu saja tidak mengesampingkan
tulis-menulis sebagai kegiatan utamanya. Antara periode 1951-1955,
Syari'ati secara produktif menulis artikel-artikel tentang sosial
politik.
Dalam artikel-artikelnya, papar Rahnema,
Syari'ati menyerukan penerapan konsep Islam tentang al-amr bi al-ma'ruf
wa al-nahy 'an al-munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari
perbuatan mungkar) ke wilayah sosial politik. Konsep Islam ini merupakan
sebuah tanggung jawab sosial yang diwajibkan atas semua orang. Di
tangan para agamawan tradisional, konsep Islam ini hanya dipahami dalam
batas-batas ibadah. Konsep ini sebenarnya bisa diimplikasikan dan
dimanifestasikan ke dalam kehidupan kontemporer, yaitu untuk mencegah
kemungkaran sosial politik. Misalnya, berjuang menentang imperialisme
internasional, zionisme, kolonialisme dan neokolonialisme, kediktatoran,
pertentangan kelas, rasisme, imperialisme kebudayaan, dan westernism.
Dengan pemahaman semacam itu, jelas Rahnema,
Syari'ati sebenarnya 'mengumandangkan' bahwa 'mengajak' kepada kebaikan
dan mencegah kemungkaran bukan monopoli agamawan, tapi menjadi tanggung
jawab sosial, dan dalam konteks wilayah sosial politik, tanggung jawab
sosial itu menjadi kewajiban setiap muslim. Kewajiban itu tidak hanya
berupa nasihat, tapi sebagai ajakan yang mengikat dan didukung oleh
kekuatan. Kewajiban itu mustahil dilaksanakan tanpa memerangi
ketidakadilan dan perilaku jahat (h.474-475).
Pandangan Syari'ati ini membuktikan bahwa ia
benar-benar sosok politikus-intelektual-revolusioner pada zamannya,
seperti tampak jelas dalam judul buku Rahnema ini. (Idris Thaha, dosen
politik Islam pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, serta peneliti
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta).
|
|
Pengarang: ALI RAHNEMA
Tahun: 2006
ISBN: 979781193X
|
Sinopsis:
|
Ali
Syari’ati adalah Bapak Ideologi revolusi Iran. Buku ini membahas
kehidupan dan pemikiran Ali Syari’ati dalam konteks kebudayaan yang
kompleks dan bertolak belakang, kondisi sosial dan politik dari
masyarakat Iran yang telah membesarkannya. Buku ini memotret kehidupan
Syari’ati mulai dari masa kecilnya di sebuah kota kecil bernama
Masyhad, kehidupannya sebagai seorang mahasiswa di Paris pada awal
tahun 60-an, perkembangannya sebagai pemikir religius dan
revolusioner, perseteruannya dengan rezim Pahlavi serta ulama Syi’ah
status-quo, hingga wafatnya dalam pengasingan pada umur empat puluh
empat tahun.
Ali
Syari’ati : Biografi Politik Intelektual Revolusioner menawarkan
sebuah pemahaman baru mengenai sosok yang memainkan peran signifikan
dalam revolusi Iran, dan analisis mengenai politik Islam yang telah
mempengaruhi gerakan-gerakan di Timur Tengah.
Para
praktisi dan pengamat politik, intelektual sosial politik, mahasiswa,
dan mereka yang tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang tokoh
ini sangat dianjurkan membaca buku ini.
|
DR Ali Syariati (http://media.us.macmillan.com)
PELAJARAN
apa yang saya petik dari pengalaman menunaikan ibadah haji?
Pertama-tama sebaiknya kita bertanya tentang apa arti haji. Pada
hakikatnya, ibadah haji adalah evolusi manusia menuju Allah. Ibadah haji
merupakan sebuah demonstrasi simbolis dan falsafah penciptaan Adam.
Gambaran selanjutnya, pelaksanaan ibadah haji dapat dikatakan sebagai
suatu pertunjukan banyak hal secara serempak. Ibadah haji adalah sebuah
pertunjukan tentang ‘penciptaan’, ’sejarah’, ‘keesaan’, ‘ideologi
Islam’, dan ‘ummah’.
Demikian ungkap cendekiawan muslim terkemuka Iran, DR Ali Syariati pada halaman pembukaan buku karyanya Hajj (The Pilgrimage) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Zahra menjadi Makna Haji.
Goresan
pena Syariati pada pembukaan buku yang telah saya kutip di atas
dilanjutkan dengan ilustrasi yang menarik. Kata Ali Syariati, “Allah
(Tuhan) adalah sutradaranya. Tema yang dibawakan adalah perbuatan
orang-orang yang terlibat, dan para tokoh utamanya meliputi Adam,
Ibrahim, Hajar, dan setan. Lokasi pertunjukannya adalah Masjid al-Haram,
daerah Haram, Nas’a, Arafah, padang Masy’ar dan Mina. Simbol-simbol
yang penting adalah Ka’bah, Shafa, Marwah, siang, malam, matahari
terbit, matahari terbenam, berhala dan upacara kurban. Pakaian dan make up-nya adalah ihram, halgh dan taqshir
(mencukur sebagian rambut kepala). Yang terakhir dari peran-peran dalam
‘pertunjukan’ ini adalah hanya seseorang, yakni dirimu sendiri.
Akhir Area Suci Kota Mekah (scan by dwiki).
Ditandaskan
pula oleh Syariati bahwa tidak peduli apakah engkau seorang laki-laki
atau perempuan, muda atau tua, kulit hitam atau kulit putih, engkau
adalah aktor utama dalam pergelaran ini. Engkau berperan sebagai Adam,
Ibrahim dan Hajar dalam konfrontasi antara ‘Allah dengan setan’.
Konsekuensinya, engkau adalah pahlawan dari pertunjukan ini.
Tentang buku Hajj
itu sendiri, Ali Syariati memang mengungkapkan bukan sebuah buku
tentang ‘jurisprudensi religius’ melainkan sekedar risalah yang mengajak
pembacanya untuk berpikir.
Haji
dalam pemahaman Syariati merupakan kepulangan manusia kepada Allah SWT
yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak dipadankan
oleh sesuatu apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju
kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai, dan
fakta-fakta.
Dengan
melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan manusia bukanlah
untuk binasa, tetapi untuk berkembang. Tujuan ini bukan untuk Allah,
tetapi untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya. Makna-makna tersebut
dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual,
atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan,
nyata atau simbolik.
Semua
itu, pada akhirnya, mengantarkan seorang haji hidup dengan pengamalan
dan nilai kemanusiaan universal. Syariati mencontohkan, dalam konteks
niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram,
haji memiliki makna yang lebih universal dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pakaian
ihram, menurutnya, melambangkan pola, preferensi, status, dan
perbedaan-perbedaan tertentu. “Tak dapat disangkal bahwa pakaian pada
kenyataannya dan juga menurut Al-Quran berfungsi sebagai pembeda antara
seseorang atau satu kelompok dengan lainnya,” tulis Syariati.
Menurutnya,
pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial,
ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis
pada pemakainya. Di Miqat, tempat ritual ibadah haji dimulai, perbedaan
tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama.
Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan. Semua
merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.
Di
Miqat ini, apapun ras dan suku harus dilepaskan. Semua pakaian yang
dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang
melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan
kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang
melambangkan penghambaan) harus ditinggalkan.
Cover Buku Makna Haji (dwiki scan).
Di
Miqat, dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih,
sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri
perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji
akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. “Ia akan merasakan
kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan
ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa,” tandas Syariati.
Selanjutnya,
Ka’bah yang dikunjungi di tengah-tengah Masjidil Haram, dalam pemahaman
Syariati mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan.
Di sana terdapat Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail.
Ali
Syariati, melalui ketajaman analisanya, mengajak kita untuk menyelami
makna haji. Menggiring kita ke dalam lorong-lorong haji yang penuh
makna, bukan yang hampa tak bermakna. Diajaknya kita untuk memahami haji
sebagi langkah maju “pembebasan diri”, bebas dari penghambaan kepada
tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Sejati.
Melalui
uraiannya yang khas dan membangkitkan semangat, kita diberitahu siapa
saja kepalsuan yang ternyata menjadi sahabat, kekasih dan pembela kita,
yang harus kita waspadai dan kita bongkar topeng-topeng kemunafikannya.
Penulis
buku ini hendak menunjukkan kepada kita bahwa haji bukanlah sekadar
prosesi lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir
dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi manusia. Dengan kata
lain, orang yang sudah berhaji haruslah menjadi manusia yang “tampil
beda” (lebih lurus hidupnya) dibanding sebelumnya. Dan ini adalah
kemestian. Kalau tidak, sesungguhnya kita hanyalah wisatawan yang
berlibur ke tanah suci di musim haji, tidak lebih!
Tidak
kalah dahsyat pula, pandangan Ali Syariati mengenai pilar-pilar doktrin
Islam dalam pengantar buku Hajj ini. Ia mengatakan, “Sejauh yang saya
ketahui, dari sudut pandang praktis dan konseptual, pilar-pilar doktrin
Islam terpenting yang memotivasi bangsa Muslim dan menjadikannya sadar,
bebas, terhormat, dan bertanggungjawab secara sosial adalah: tauhid,
jihad, dan haji.”
Sebuah buku menarik dan merangsang pikiran yang layak anda baca!
00*****00
DR Ali Syariati (http://persia1.wordpress.com)
Tentang Riwayat Hidup Ali Syariati dan Karya-karyanya (Klik Sini).
Syar`ati
tampaknya lebih revolusioner dan spektakuler dalam menghadapi berbagai
masalah yang menghimpit masyarakat lemah Iran khususnya, dan umat Islam
pada umumnya. Ia memanfaatkan dua kekuatan, yaitu kekuatan akal dan
kekuatan hati dalam memecahkan berbagai masalah sosial yang dihadapi
kaum lemah. Dua kekuatan ini apabila dipadukan akan menjadi kekuatan
yang luar biasa sehingga akan terjadi transformasi sosial yang sangat
mendasar di bawah naungan al-Qur`an dan as-Sunnah. Sebagai kata kunci
yang dikutip dari ayat-ayat al-Qur`an dalam menghadapi berbagai masalah
adalah kata iman (dzikir), ilmu pengetahuan dan teknologi (pikir), dan
amal (tindakan nyata).
Pemikiran Ali Syar`ati lainnya dapat dibaca dalam buku yang disusun oleh
Suwito. Buku ini menarik untuk dibaca, baik kalangan muda khususnya
maupun para peminat yang senang dengan transformasi sosial di seluruh
bidang kehidupan. Saya berharap bahwa setelah membaca dan memahami
pemikiran Ali Syar`ati dengan lebih lanjut dalam buku ini, para generasi
muda Islam khususnya dan para peminat perubahan sosial pada umumnya
dapat termotivasi untuk berdzikir, berpikir (berkreasi), dan bertindak
terampil dalam menghadapi setiap permasalahan keislaman dan
kemasyarakatan agar tidak terombang-ambing oleh perubahan sosial yang
begitu cepat dan dahsyat.
Tulisan
ini, seharusnya terbit dua hari yang lalu. Tapi, tak mengapa, karena
setiap kejadian dalam hidup bukan hanya sekedar momentum. Lebih dari
itu, ia merupakan makna dan hikmah. Demikian pula dengan Hijrah ini.
Menurut
Ali Syari’ati, migrasi atau hijrah (tentu saja hijrah di jalan Allah)
adalah pemutusan keterikatan masyarakat terhadap tanahnya. Artinya,
pergi meninggalkan tanah kelahirannya atau kampung halamannya. Kepergian
tersebut akan mengubah pandangan manusia
terhadap alam. Mengubahnya menjadi pandangan yang luas dan menyeluruh,
menghilangkan kemerosotan pemikiran dan perasaan, menjadikannya manusia yang dinamis. Dan, kepergian untuk meninggalkan kampung halaman ini mutlak atau harus. Mengapa?
“Seseorang
yang tertawan oleh lingkungan tempat tinggalnya, menjadi terpenjara dan
statis, dan pada gilirannya tidak bisa berkembang dan berubah. Akibat
lanjutannya, pikiran, akal, kesadaran, ilmu, seni, kebudayaan,
agama, dan pandangan kesemestaannya menjadi terkungkung dan mandeg,
atau didesak oleh – dan akhirnya mati di tangan – peradaban, agama, dan
masyarakat lain yang dinamis dan terbuka, yang lebih perkasa dalam
kontak yang terjadi dengannya.” (Lihat Ali Syari’ati dalam Rasulullah Saw. Sejak Hijrah Hingga Wafat, 1992).
Jadi, makna hijrah tanpa kepindahan geografis adalah nonsen. Ada dua contoh yang menarik untuk membenarkan pernyataan ini:
Pertama,
dulu bangsa Yunani menganggap bahwa bangsa merekalah yang memiliki
peradaban tertinggi, dan menganggap bangsa lain sebagai bangsa yang
tidak beradab. Tapi, akhirnya, peradaban mereka merosot dan hancur di
tangan bangsa Romawi dikarenakan tidak maunya mereka hijrah melihat
perkembangan bangsa lain yang senantiasa dinamis. Bangsa Yunani selama
itu terkungkung dalam dinding-dinding kota mereka, dan mengisolasi diri
dari dunia non Yunani.
Kedua, bangsa Indonesia (dulu Nusantara lalu kemudian bernama Hindia Belanda) terjajah oleh bangsa Belanda, tak lain tak bukan karena bangsa Indonesia setelah runtuhnya Majapahit tak pernah lagi hijrah ke luar dari negerinya melihat peradaban bangsa lain. (Lihat Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik dan Saya Terbakar Amarah Sendirian).
Beratus tahun kemudian setelah itu, Indonesia merdeka, disebabkan
karena adanya anak-anak bangsa ini yang hijrah ke luar lalu pulang
menyerukan kemerdekaan. Kalau tidak ada anak-anak bangsa ini yang pernah
hijrah ke luar, bangsa Indonesia ini tidak akan pernah merdeka. Sebab,
pada saat itu, bangsa ini sendiri tidak sadar bahwa mereka sedang
dijajah.
Dua contoh di atas sudah cukup untuk membenarkan bahwa memaknai hijrah tanpa perpindahan geografis itu nonsen.
Oleh sebab itu, perintah Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw.
beserta para pengikutnya untuk hijrah dari Mekah ke Madinah, dalam
konteks kekinian, haruslah diterjemahkan secara hakiki sebagai sebuah
perpindahan geografis. Tanpa terjadinya perpindahan geografis dari Mekah
ke Madinah itu, mustahil Islam akan berkembang seperti sekarang ini.
Karena pemikiran dan wawasan kaum muslimin kala itu terkungkung oleh
lingkungan orang-orang kafir Quraisy di Mekah. Dengan hijrah ke Madinah,
kaum muslimin (kata Syari’ati) menemukan “kemungkinan-kemungkinan
baru”, yang kelak setelah itu mereka memperoleh kemenangan beruntun
secara politik, kemiliteran, dan agama.
Demikian
pula hari ini, hijrah itu harus tetap dimaknai sebagai perpindahan
geografis. Tanpa perpindahan geografis, mustahil terjadi perubahan pada
pola pikir, akal, dan wawasan. Tanpa perpindahan geografis, akal dan pikiran
akan senantiasa statis dan tidak berkembang. Dengan hijrah secara
geografis, maka hijrah itu selanjutnya (kata Syari’ati) akan menjadi
“gerakan dan loncatan besar manusia, yang meniupkan semangat perubahan
dalam pandangan masyarakat, dan pada gilirannya menggerakkan dan
memindahkan mereka dari lingkungan yang beku menuju tangga kemajuan dan
kesempurnaan”.
The
Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World menyatakan bahwa sulit
menemukan biografi intelektual Syari’ati yang otoritatif. Banyak sisi
kehidupan Syari’ati yang tetap tersembunyi. Sejak ia wafat, setiap tahun
memang banyak karyanya yang diterbitkan di Iran untuk mengenangnya,
namun datanya tidak lengkap, tersebar, dan bercorak hagiografis,
sehingga agak sulit dibedakan antara kebenaran dan legenda.
Ali
Syari’ati lahir 23 November 1933, di desa Maziman, pinggiran kota
Masyhad dan Sabzavar, Propinsi Khorasan, Iran. Desanya berada di tepi
gurun pasir Dasht I Kavir, di sebelah Timur Laut Iran. Dia lahir dari
keluarga ulama. Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama
yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad, kota tempat
pemekaman Imam Ali Al-Ridha(w 818), Imam ke delapan dari kepercayaan
Islam Syi’ah.
Kehidupan
Syari’ati berakar di pedesaan. Di sanalah seperti ditulisnya dalam
otobiografinya pandangan dunia Syari’ati pertama kali dibentuk. Dia
begitu bangga akan leluhurnya, yang merupakan ulama-ulama terkemuka di
masanya dan mereka memilih menyepi di gurun Kavir.
Guru
pertama Syari’ati adalah Taqi Syari’ati, ayahnya sendiri, yang
memutuskan untuk mengajar di kota Mashyad, dan tidak kembali ke desanya
seperti tradisi leluhurnya.Sang ayah adalah ulama yang berbeda dari
ulama tradisional. Sang ayah ini mempunyai perpustakaan lengkap dan
besar yang selalu di kenang Syari’ati, yang secara metaforis dilukiskan
sebagai mata air yang terus menyinari pikiran dan jiwanya.Di masa
kecilnya ini, Syari’ati gemar membaca di perpustakaan ayahnya yang
besar. Bahan bacaannya antara lain Les Miserables (Victor Hugo), buku
tentang vitamin dan sejarah sinema terjemahan Hasan Safari, dan Great
Philosophies terjemahan Ahmad Aram Syari’atikecil juga mulai menyukai
filsafat dan mistisme sejak tahun-tahun pertamanya disekolah menengah.
Kombinasi
sosok intelektual dan aktivis yang terjun langsung ke lapangan membela
ketidakadilan ini sedikit membentuk semangat intelektual yang juga
aktivis politik revolusioner. Dan dia pula, Syari’ati menyerap pandagan
tentang konstruksi sosiologis Marx, khususnya banalisa tentang kelas
social dan truisme (itsar). Syari’ati mengaku lebih banyak dipengaruhi
Massigmon, George Gurvich, Jean-Paul Sartre, dan Franz Fanon. Ketika
berada di Perancis, dia sadar bahwa pemikiran Barat bisa mencerahkan
sekaligus memperbudak pemikiran pelajar Iran.
Modernisasi dari atas dan sentralisasi
kekuasaan yang dilakukan dengan tangan besi; penerapan cara-cara militer
yang ‘mengharuskan represi brutal terhadap mereka yang menentang,
menjadi cirri utama rezim kekuasaan Reza Syah. Modernisasi dan
Industrialisasi yang dijalankan pada dasarnya berkiblat pada
Negara-negara di Eropa Barat.
Dia
melihat adanya proses pembaratan total yang membentuk Eropanoid. Dari
sini muncul pemikirannya yang memetakan intelektual menjadi Intelektual
Islam yang meniru, dan ‘intelektual sejati’ yang mengikuti tradisi para
nabi dan menyadarkan umatnya sekaligus punya tanggung jawab dan misi
social. Syari’ati juga berusaha memecahkan masalah yang dihadapi Kaum
Muslim berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pada tanggal 18 Juni, Pouran,
istri Syari’ati, beserta tiga putrinya hendak menyusul ke London.
Tetapi, kali ini pihak berwenang menolak mengizinkan Pouran dan Mona,
anaknya yang berusia 6 tahun, untuk meninggalkan Iran. Tetapi Soosan dan
Sara, dua anak lainnya, diperbolehkan. Begitu keduanya tiba di
Heathrow, Syari’ati menjemputnya dan membawa mereka ke sebuah rumah yang
telah disewa di daerah Southampton, Inggris.
Tetapi keesokan paginya, 19 Juni 1977,
Syari’ati ditemukan tewas di Southampton, Inggris. Pemerintah Iaran
menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang
percaya bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia Iran. Kematiannya menjadi
mitos "Islam Militan" Popularitasnya memuncak selama berlangsungnya
revolusi Iran, Februari 1979. Saat itu, Fotonya mendominasi jalan-jalan
di Teheran berdampingan dengan Ayatullah Khomeini.
Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati
berbeda dengan pemahaman maintreem saat itu. Islam yang dipahami banyak
orang di masa Syari’ati adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan
fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial
kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana
beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif
untuk menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk
untuk membela kaum tertindas (mustad’afîn).
Islam
yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak
penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan mengumbar ketidakadilan,
karena ia bisa berlindung di balik dogma-dogma yang telah dibuat
sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.
Syari’ati
berpendapat bahwa Islam lebih dinamis dari pada agama lainnya.
Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di Barat, kata
"politik" berasal dari bahasa Yunani "polis" (kota), sebagai suatu unit
administrasi yang statis, tetapi padanan kata Islamnya adalah "siyasah",
yang secara harfiyah berarti "menjinakkan seokor kuda liar,", suatu
proses yang amengandung makna perjuangan yang kuat untuk memunculkan
kesempurnaan yang inheren.
Islam,
dalam pandangan Syari’ati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek
spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan antara hamba dengan
Sang Khaliq (Hablu min Allah), tetapi lebih dari itu, Islam adalah
sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan:
"
Adalah perlu menjelaskan tentang apa yang kita maksud dengan Islam.
Dengannya kita maksudkan Abu Zar; bukan Islamnya Khalîfah . Islam
keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islamnya penguasa,
aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan (progress) dan
kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum
mujâhid; bukan Islamnya kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggungjawab
pribadi dan protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi (taqiyeh)
keagamaan, wasilah ulama dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan untuk
keimanan dan pengetahuan ilmiah; bukan Islam yang menyerah, dogmatis,
dan imitasi tidak kritis (taqlîd) kepada ulama" .
Selanjutnya, gambaran Islam pembebasan ditegaskan kembali oleh Syari’ati:
"
Adalah tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Islam.
Kita harus menspesifikasi Islam mana yang kita maksudkan: Islam Abu Zar
atau Islam Marwan (bin. Affan), sang penguasa. Keduanya disebut Islam,
walaupun sebenarnya terdapat perbedaan besar diantara keduanya. Satunya
adalah Islam ke-khalîfah-an, istana dan penguasa. Sedangkan lainnya
adalah Islam rakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin. Lebih lanjut,
tidak cukup syah dengan sekadar berkata, bahwa orang harus mempunyai
kepedulian (concern) kepada kaum miskin dan tertindas. Khalîfah yang
korup juga berkata demikian. Islam yang benar lebih dari sekedar
kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk
keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan" .
Ali
Syari'ati menyebut Islam sebagai agama pembebasan. Islam, menurutnya,
bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau
hubungan individual dengan Sang Pencipta, melainkan lebih merupakan
ideologi emansipasi dan pembebasan. Syari'ati juga mengatakan masyarakat
Islam sejati tak mengenal kelas. Islam menjadi sarana bagi orang-orang
yang tercerabut haknya, yang tersisa, lapar, tertindas, dan
terdiskriminasi, untuk membebaskan diri mereka dari ketertindasan itu.
Syariati
mendasarkan Islamnya pada kerangka ideologis. Dia memahami Islam
sebagai kekuatan revolusioner untuk melawan segala bentuk tirani,
penindasan, dan ketidakadilan menuju persamaan tanpa kelas. Syari'ati
bahkan mencetuskan formula baru: ''Saya memberontak maka saya ada.''. .
Islam
pembebasan adalah Islam yang diwariskan oleh Imam Husein; kesyahidannya
di Karbala menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang tertindas untuk
memelihara Islam yang otentik itu. Sehingga, Islam yang demikian adalah
Islam Syi’ah awal, yakni Islam Syi’ah revolusioner yang
dipersonifikasikan Abu Zar al-Ghifari dengan kepapaannya, dan Imam
Husein dengan kesyahidannya. Keduanya merupakan simbol perjuangan abadi
ketertindasan melawan penguasa yang zalim. Islam Syi’ah revolusioner ini
kemudian mengalami "penjinakan" di tangan kelas atas – penguasa politik
dan ulama yang memberikan legitimasi atas "Islam" versi penguasa.
Ulama, tuduh Syari’ati dengan menggunakan jargon Marxis, telah menyunat
Islam dan melembagakannya sebagai "pemenang" (pacifier) bagi massa
tertindas, sebagai dogma kaku dan teks skriptural yang mati. Ulama
bergerak seolah-olah di dalam kevakuman, terpisah dari realitas sosial.
Menurut
pengamatan Syari’ati, selama 7 abad sampai masa Dinasti Safavi,
Syi’isme (Alavi) merupakan gerakan revolusioner dalam sejarah, yang
menentang seluruh rezim otokratik yang mempunyai kesadaran kelas seperti
Dinasti Ummayah, Abbasiyah, Ghaznawiyah, Saljuk, Mongol, dan lain-lain.
Dengan legitimasi ulama rezim-rezim ini menciptakan Islam Sunni versi
mereka sendiri. Pada pihak lain, Islam Syi’ah Merah, seperti sebuah
kelompok revolusioner, berjuang untuk membebaskan kaum yang tertindas
dan pencari keadilan.Syari’ati melihat rezim dan lembaga keulamaan, yang
bisa jadi terkadang ditunggangi pihak luar, sebagai manipulator masa
lampau Iran dan arsitek yang menjadikan tradisi menjadi penjara.
Rezim
Syah Iran tidak membangkitkan agama, tetapi mempertahankan kerajaan
yang mandek, sementara para ulama mempertahankan kemandekan Islam.
Menurut Syari’ati, apa yang terjadi di Iran adalah, bahwa di satu sisi,
para ulama yang menjadi pemimpin agama selama dua abad terakhir telah
mentransformasikannya menjadi bentuk agama yang kian mandek, sementara
di sisi lain orang-orang yang tercerahkan yang memahami kekinian dan
kebutuhan generasi dan zaman, tidak memahami agama. Akhirnya, kata
Syari’ati, "Islam sejati tetap tak diketahui dan tersembunyi dalam
relung-relung sejarah".
Bagi
Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner, dan Syi’ah sejati adalah
jenis khusus Islam revolusioner. Tetapi entah mengapa dalam perjalanan
waktu kemudian Islam telah berubah menjadi seperangkap doa-doa dan
ritual yang tak bermakna sama sekali dalam kehidupan. Islam hanya
sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak peduli
bagaimana orang bisa survive dalam kehidupan di tengah gelombang
diskriminasi, eksploitasi, dan aneka penindasan dari para penguasa
zalim. Agama model seperti ini yang sangat disukai para penguasa untuk
menjaga kekuasaannya tetap aman, tanpa ada gangguan dari orang-orang
yang ingin mengamalkan Islam sejati.
Gagasan Syari’ati tentang Islam revoluioner
atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan
(theology of liberation) yang banyak diusung oleh tokoh-tokoh
revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran
antara Syari’ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama,
yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan (ulama, gereja)
yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan, dan berpaling dari
kenyataan ril umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Mereka
sama-sama memberontak dan tidak puas dengan seperangkat doktrin yang
telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas
atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan teologi pembebasan
sama-sama berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi agama dan
mengembalikan hak menafsirkan agama itu kepada rakyat, sehingga
doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak
pada kepentingan rakyat.
Seperti
yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah
pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis
yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini
adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat
luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor
penting sistem sosial keagaman, seperti para elit keagamaan, gerakan
orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis
keagamaan.
Teologi
Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui, dengan
menyertakan di dalamnya suatu doktrin keagamaan yang benar-benar masuk
akal, Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar
terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk
akal itu telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran
tradisional keagaman yang mapan. Beberapa diantara doktrin itu adalah ;
1). Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan
kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2)
Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab
kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan
terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembacan baru
terhadap teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai
musuh utama agama 6) Kecaman teradap teologi tradisional yang bermuka
ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis.
Sejalan
dengan kerangka pikir gerakan teologi pembebasan yang diusung oleh
kalangan revolusioner di lingkungan agama Katholik, Islam revolusioner
atau Islam pembebasan kurang lebih mempunyai kerangka pikir yang sama.
Teologi pembebasan berbasis pada kesadaran rohani dan Islam pembebasan
juga berbasis pada kesadaran Islam sejati atau otentik. Masing-masing
mempunyai tujuan untuk menjadikan agama sebagai sarana untuk
memperjuangkan tegaknya keadilan, meruntuhkan segala sistem despotik dan
otoriter dan menjaga agar tidak ada penindasan di muka bumi ini.
Sebagaimana
yang telah terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan Islam adalah
untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan
eksploitasi; mereka inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat
lemah. Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian
anggota yang lainnya yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai
masyarakat Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan
ritualitas Islam. Ajaran Nabi menyatakan bahwa kemiskinan itu dekat
dengan kekufuran, dan menyuruh umatnya untuk berdoa kepada Allah agar
dapat terhindar dari keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat
begi terciptanya masyarakat Islam. Dalam hadis lain Nabi menyatakan,
bahwa sebuah negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada
kekufuran, namun tidak bisa bertahan jika di dalamnya terdapat dhulm
(penindasan).
Sayangnya,
sebagaimana yang telah digelisahkan oleh Syari’ati, Islam yang bersifat
revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan status quo.
Islam sarat dengan praktek feodalisme dan para ulama justru menyokong
kemapanan yang sudah kuat itu. Mereka lebih banyak menulis buku tentang
kaidah-kaidah ritual dan menghabiskan energinya untuk mengupas
masalah-masalah furû’iyah dalam syari’at, dan sama sekali mengecilkan
arti elan fital Islam dengan menciptakan keadilan sosial dan kepedulian
Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas
(mustad’afîn). Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mustakbirîn
(orang yang kuat dan sombong).
Seperti
yang telah disebut di muka, Syari’ati "menuduh" ulama sebagai sumber
utama atas penyelewengan ajaran Islam yang bersifat revolusioner. Di
tangan ulama, Islam telah menjadi agama "orang mati" yang tidak berdaya
melawan "orang-orang yang serakah". Dalam konteks Iran, ulama telah
merubah Syi’ah dari kepercayaan revolusioner menjadi ideologi
konservatif; menjadi agama negara (din-i dewlati), yang paling tinggi
menekankan sikap kedermawanan (philanthropism), paternalisme,
pengekangan diri secara sukarela dari kemewahan. Sedangkan pada pihak
lain, demikian Syari’ati menggambarkan, ulama mempunyai hubungan organik
dengan kemewahan itu sendiri melalui kelas berharta.
Karena
ulama Syi’ah memperoleh pemasuka dari Khams (sedekah) dari sahm-i Imâm
(bagian dari zakat), mereka tak terhindarkan lagi terkait kepada orang
kaya, negara tuan tanah, dan pedagang bazaar. Sebagai respon terhadap
orang yang mengklaim bahwa ulama Syi’ah lebih independen dibandingkan
dengan ulama Sunni. Syari’ati berargumen bahwa hal itu mungkin benar
pada masa sebelum Safavi, tetapi tidak demikian setelahnya.
Kritik terhadap Syari’ati.
Kritik yang cukup pedas dari Syari’ati kepada
golongan ulama membuat para ulama menberikan reaksi balik. Muthahari,
salah sorang ulama terkemuka, memandang Syari’ati telah memperalat Islam
untuk tujuan-tujuan politis dan sosialnya. Lebih jauh Muthahari
menilai, aktivisme politik protes Syari’ati menimbulkan tekanan politis
yang sulit untuk dipikul oleh sebuah lembaga keagamaan seperti
Hussainiyeh Ersyad dari rezim Syah.
Dan Memang, setelah Syari’ati banyak mengkritik lembaga ulama dan rezim,
Hussainiyeh Ersyad akhirnya ditutup paksa oleh pasukan keamanan. Selain
Muthahhari, masih banyak ulama sumber panutan (marja’ taqlid) seperti
Ayâtullah Khû’i, Milani, Rûhani, dan Thabathâba’i yang juga turut
mengecam suara-suara kritis Syari’ati. Bahkan mereka mengeluarkan fatwa
yang melarang membeli, menjual, dan membaca tulisan-tulisan Syari’ati.
Setelah
Syari’ati mengkritik ulama yang dinilainya sebagai akhund, Syari’ati
lantas menyampaikan tipikal ulama ideal. Menurutnya, ulama ideal, secara
sederhana, adalah ulama aktivis, yang menggalang massa untuk melakukan
gerakan protes. Sehingga dalam hal ini, ia menjadikan ayahnya sendiri
dan Ayâtullah Muhammad Baqir Sadr (dihukum mati oleh pemerintah Republik
Islam Iran tahun 1979) atau pemikir aktivis dari kalangan Sunni seperti
al-Afghani sebagai idolanya. Khomaeni tentu saja cocok dengan kerangka
Syari’ati mengenai ulama. Tetapi Syari’ati tidak pernah menyatakan
perasaannya secara terbuka tentang Khomaeni. Informasi yang ada
nampaknya memberikan indikasi bahwa Syari’ati mengakui Khomaeni sebagai
pemimpin besar.
Membedah Jejak Politik Ali Syariati
Judul buku : Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner
Penulis : Ali Rahnema
Penerbit : Erlangga, Jakarta
Edisi : I, 2006
Tebal : xvi + 648 halaman
Peresensi: Muhammadun AS (pemerhati sosial, tinggal di Yogyakarta).
Memahami pergolakaan
Republik Islam Iran dewasa ini tidak bisa dilepaskan revolusi yang
dipimpin oleh Ayatullah Humaini (1979) yang tidak hanya menjadi momentum
perubahan pemerintahan internasional menuju pemerintahan Republik Islam
Iran, namun juga merupakan manifestasi politik otentisitas berbasis
identitas agama yang menentang supremasi universalitas Barat, terutama
AS.
Di tangan Humaini, Iran
berani dengan lantang mendekontruksi hegemoni Barat yang diklaim
superior atas segala kebijakan perubahan dunia. Dari jejak Humaini ini,
tidak salah kalau sekarang Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad begitu
lantang menentang Barat yang mau melucuti praktek nuklir yang dilakukan
Iran.
Namun demikian, memahami
Iran sekarang hanya melihat Ayatullah Humaini tidaklah lengkap kalau
tidak dibarengi membedah jejak sosok misterius yang meninggal di London,
yakni Ali Syari’ati. Bagi penulis, Syari’ati adalah salah
seorang tokoh yang membantu perjuangan Imam Khomeini dalam menjatuhkan
rezim Syah Iran yang lalim, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan
menurut ajaran Islam. Doktor sastra lulusan Universitas Sorbonne
Perancis ini berjuang tak kenal lelah dan takut. Selama hidupnya ia
mengabdikan dirinya untuk membangunkan masyarakat Islam Iran dari
belenggu kezaliman. Pikiran-pikiran dalam ceramahnya telah membuat para
pemuda dan mahasiswa Iran tergugah semangat untuk memperjuangkan
kebenaran dan keadilan.
Syariati, anak pertama
Muhammad Taqi dan Zahra, lahir pada 24 November 1933. Bertepatan dengan
periode ketika ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai
mengajar di sebuah sekolah dasar, Syerafat. ‘Ali lahir dalam
keluarga terhormat. Dalam keluarga ini ritual dan ritus keagamaan ditunaikan
dengan seksama. Pada masa kanak-kanak ketika teman-temannya asyik
bermain, Syariati asyik membaca buku-buku sastra seperti Les Miserable
karya Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak tahun pertamannya di
sekolah menengah atas, ia asyik membaca buku-buku filsafat, sastra,
syair, ilmu sosial dan studi keagamaan di perpustakaan ayahnya yang
berjumlah 2000 buku. Kegemarannya inilah yang membuat ia jarang bermain dengan teman-teman sebayanya.
Pada 1955, Syariati masuk
Fakultas Sastra Universitas Masyhad yang baru saja diresmikan. Selama di
universitas, sekalipun menghadapi persoalan administratif akibat
pekerjaan resminya sebagai guru full-time, Syariati paling tinggi
rangkingnya di kelas. Bakat, pengetahuan dan kesukaannya kepada sastra
menjadikannya popular di kalangan mahasiswa. Di universitas,
Syari'ati bertemu Puran-e Syari'ati Razavi, yang kemudian
menjadi istrinya. Karena prestasi akademisnya di Universitas ini, dia
mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi keluar negeri. Pada April
1959, Syariati pergi ke Paris sendirian. Istri dan putranya yang baru lahir, bernama Ehsan bergabung dengannya setahun kemudian.
Selama di Paris, Syariati
berkenakan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan,
yang mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Dia
mengikuti kuliah-kuliah para akademisi, filosof, penyair, militan, dan
membaca karya-karya mereka, terkadang bertukar pikiran dengan mereka,
serta mengamati karya-karya seniman dan pemahat. Dari masing-masing
mereka Syari'ati mendapat sesuatu, dan kemudian mengaku berutang
budi kepada mereka. Di sinilah Syariati berkenalan dengan banyak tokoh intelektual barat antara lain Louis
Massignon yang begitu dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque dan
lain-lain.
Walaupun berada di Paris,
namun pribadi Syariati yang penuh dengan semangat perjuangan menegakkan
kebenaran dan keadilan, ia tetap berjuang menentang rezim Iran. Antara
1962 dan 1963, waktu Syariati tampaknya habis tersita untuk aktivitas
politik dan jurnalistiknya. Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang dan
gerakan politiknya yang menggugah semangat kaum muda menjadikan dia
sebagai figur oposan yang sangat spektakuler dalam merubah tatanan
politik atas yang dihegemoni Syah Pahlevi. Karena wataknya yang kritis,
sekembalinya di Iran dengan gelar doktoral tahun 1963, Syari’ati
menjadi sosok yang kharismatis yang kuliah-kuliahnya di universitas
Masyhad sangat memukau dan memikat audiens, karena isi kuliahnya yang
membangkitkan orang untuk berpikir.
Karena begitu kharismatis,
akhirnya pemerintahan Syah Pahlevi berang. Karena merasa terancam, pada
16 Mei 1977, Syariati meninggalkan Iran. Ia mengganti namanya menjadi
‘Ali Syariati. Tentara Syah, SAVAK akhirnya mengetahui kepergian
Ali Syariati mereka mengontak agen mereka di luar negeri. Di London
Inggeris, pada 19 Juni 1977 jenasah Ali Syariati terbujur di lantai
tempat ia menginap. Kematian yang tragis seorang pejuang Islam yang
teguh memperjuangkan keyakinannya. Ia syahid dalam memperjuangkan apa
yang dianggapnya benar. Ali Syariati telah mengkuti jejak sahabat Nabi
dan Imam Ali yang begitu dikagumi dan dijadikan simbol perjuangannya,
Abu Dzar Al-Ghifari. (IC)
Buku yang seringkali menjadi objek siksaannya
seputar wacana agama, filsafat, karya sastra dan buku-buku Komunikasi.
berkaitan dengan dunia tulis baca saya punya prinsip..."Membaca adalah
Persfektif, tak ada Persfektif tanpa kita Menuliskannya kembali".
Ali Syari’ati, Sosok Aktivis Tangguh.
“Seorang
intelektual tercerahkan adalah ia dengan tangan yang sama menuliskan
ayat-ayat suci dari langit serta terbenam dalam genangan lumpur dan
mengayunkan kayu untuk menyuburkan tanah yang kering, ia berdiri tegak
memperjuangkan ayat-ayat Allah dan hak-hak masyarakat”. (Ali Syari’ati)
Beberapa waktu lalu ada sebuah tulisan tentang ‘Makna Haji Menurut Ali Syari’ati’,
yang ditulis oleh salah seorang kompasianer, merasa memiliki apresiasi
yang sama terhadap Ali Syariati, saya pun mencari-cari data dalam
computer tentang Ali Syari’ati yang pernah saya tulis sebelumnya namun
belum pernah dipostkan di blog manapun. Walaupun penulis sudah
memberikan link tentang riwayat hidup Ali Syariati, namun dengan apologi
‘membaca adalah persfektif dan tak ada persfektif tanpa menuliskannya
kembali’, saya pun memberanikan diri untuk mengepostkannya. Dengan
harapan dapat sharing bersama kompasianer lainnya yang gandrung terhadap
dunia pemikiran dan perubahan-menjadi manusia tercerahkan sesuai dengan
jargon Ali Syari’ati. Namun tentu saja alasan yang paling menonjol
bukan semata-mata berlajar menulis, namun karena di dalam diri Ali
Syariati ada semangat yang dapat kita tiru, SEMANGAT MENULIS,
menggerakan orang dengan MENULIS.
Diantara
kita barangkali ada yang belum mengenal sosok Ali Syari’ati, siapakah
sebetulnya Ali Syari’ati? dan apa gunanya juga mengenal sosok
Syari’ati?. Bagi teman kita yang gandrung terhadap pemikiran (Islam)
khususnya, barangkali tidak ada yang asing dengan sosok Ali Syari’ati,
ia adalah salah satu arsitek intelektual Revolusi Islam Iran yang mampu
menggerakan para pemuda dan kaum buruh untuk bergerak melakukan
perlawanan terhadap rezim pemerintahan saat itu. Dalam litertur tentang
revolusi Islam Iran, Ali Syariati tidak disebut-sebut, yang muncul ke
permukaan adalah Ruhullah Ali Khomeini, pemimpin spiritual dan sekaligus
pemimpin tertinggi Iran dan beberapa Intelektual seperti Murthadha
Muthari yang berada di barisan para ulama juga Sayeed Hosein Nashr.
Sedangkan Kenapa Ali Syariati tidak disebut-sebut? Inilah salah satu
permasalahannya. Ali Syariati tidak berada dalam barisan ulama, ia
berada di barisan para intelektual dan menggerakan kampus-kampus di
Mashad. Bahkan ia menjadi salah satu orang yang membenci ulama karena
konspirasinya dengan rezim Pahlevi sehingga dibenci oleh sebagian ulama.
Padahal dalam biografinya Ali Syariati adalah orang yang dicari-cari
oleh intelijen Iran saat itu, dan pada akhirnya berhasil dibunuh, karena
selain menggerakan mahasiswa di Iran, ia juga menggerakan mahasiswa
Iran yang berada di Eropa khususnya yang berada di Prancis. Dengan
Tulisan serta gerakan politiknya Ali Syariati dituduh sebagai otak utama
dalam gerakan menentang pemerintah hingga akhirnya dia dibunuh oleh
Moshad-agen rahasia Iran saat itu.
Kelahiran.
Jhon L. Esposito dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic Word,
seperti dikutif oleh Malaky, menyatakan bahwa sulit menentukan biografi
intelektual Syariati yang otoritatifif. Banyak sisi kehidupan Syari’ati
yang tetap tersembunyi. Salah satu buku yang cukup lengkap perihal
Syari’ati dikarang oleh Ali Rahnema berjudul ‘An Islamic Utopian A political Biografhy of Ali Syari’ati’ atau dalam versi terjemahannya ‘Biografi Politik Ali Syariati.
Syari’ati
dilahirkan pada tahun1933 di kota Mazinan, sebuah desa kecil dan
tradisional di pinggiran Gurun Pasir Kavir dekat Mashad bagian dari kota
Sabzevar, Propinsi Khorasan Iran. Ali Syari’ati merupakan anak pertama
dari pasangan Muhammad Taqi Syariati dan Zahra. Kelahirannya bertepatan
dengan periode ketika ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan
mulai mengajar di sebuah Sekolah Dasar Syerafat. Sya’riati lahir dari
keluarga terhormat dan ta’at beragama, suka membantu masyarakat dan zuhud. Dalam keluarga ini ritual keagamaan ditunaikan secara seksama.
Pendidikan .
Menurut
Ali Rahnema, Syariati mulai membentuk mentalitas, kepribadian dan jati
dirinya lewat peran seorang ayahnya yang menjadi guru dalam arti
sesungguhnya dan dalam arti spiritual. Syari’ati kecil mulai belajar
menimba ilmu pendidikan dasarnya di Masyhad, yaitu Sekolah Dasar Ibn
Yamin, tempat ayahnya mengajar. Selama pendidikan dasarnya ini Syari’ati
termasuk orang yang tidak terlalu memperhatikan pelajaran seolahnya. Ia
lebih senang membaca buku-buku yang tidak ada hubungannya dengan
pelajaran sekolah. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan
milik ayahnya hingga menjelang pagi. Hal ini ia lakukan bersama
ayahnya. Kendati demikian ia selalu mengikuti ujian dan selalu naik
kelas pada setiap tahunnya.
Seperti dikutif Rakhmat:
“Ayahku
telah membentuk dimensi pertama dari jiwaku. Dialah yang pertama
mengajarkan kepadaku seni berfikir dan seni memanusia. Segera setelah
ibuku menyapihku, ia memberikan padaku kelezatan kebebasan, kemuliaan,
kesucian, keteguhan, keimanan, kebersihan ruhani dan kebebasan hati.
Dialah yang memperkenalkan aku kepada sahabat-sahabatnya-buku-bukunya.
Buku-buku itu telah menjadi sahabatku dan abadi sejak tahun-tahun
pertama masa sekolahku. Aku tumbuh dan berkembang di perpustakaanya,
yang baginya adalah seluruh kehidupan dan keluarganya. Banyak sekali hal
yang seharusnya aku pelajari pada waktu dewasa dan dengan waktu yang
lama serta perjuangan yang panjang, telah diberikan oleh ayahku, sebagai
hadiah dimasa kecilku, secara sederhana dan spontan. Sekarang
perpustakaan ayahku menjadi dunia yang penuh kenangan berharga bagiku.
Masih dapat kuingat setiap bukunya, bahkan sampai bentuk jilidnya.
Ayahnya, Sayyid Muhammad Taqi Syariati adalah seorang guru dan mujahid besar pendiri Markaz Nasyr ar-Haqa’iq al-Islamiyah (Pusat
Penyebaran Kebenaran-kebenaran Islam) di Masyhad. Sekaligus salah
seorang dari putera-putera pergerakan pemikiran Islam di Iran. Sepanjang
empat puluh tahun, Dia telah memberikan pengabdian yang amat berharga
kepada dakwah dan pencerdasan pemikiran logis ilmiah Islam dalam bentuk
yang seirama dengan kemajuan zaman. Taqi Syariati adalah orang yang
berada di barisan paling depan dari kalangan orang-orang yang bergiat
dalam mencerdaskan para pemuda alumni pendidikan tinggi agar mereka
mengoreksi konsep-konsep Barat yang sesat dan materialisme yang kosong,
untuk kemudian berpegang teguh pada Islam yang memancarkan cahaya yang
memerangi kehidupan. Syariati banyak menyerap pancaran pribadi ayahnya
yang dianggap sebagai pembaharu dan pengabdi ilmu. Kebanggaan dan
kekaguman Syariati terhadap sosok sang ayah pun akhirnya mengantarkan
pemikirannya sampai pada kesimpulan bahwa ayahnya adalah seorang
mujaddid, pembuat bid’ah yang menyimpang dari tradisi lama yang berkembang dalam masyarakat. Syariati dibesarkan dalam tradisi seperti itu.
Begitu
besar peranan sang ayah dalam mempengaruhi kecerdasan dan
kecendikiawanan Syari’ati. Lewat ayahnya ia diajak untuk memasuki
wawasan dan pandangan-pandangan dunia secara dewasa, menelaah beragam
literatur yang secara bebas ia dapatkan di perpustakaan pribadi ayahnya.
Perilakunya cenderung menyendiri dan perkembangan pendidikannya di
rumah membuat Syari’ati lebih mandiri di tengah masyarakat. Hal ini
kemudian melahirkan kebanggaan tersendiri yang mendalam bagi dirinya.
Syari’ati
tidak hanya menimba ilmu dari sang ayah, ia juga banyak belajar dari
kakeknya yang juga seorang faqih dan filosof serta dari pamannya.
Syari’ati mewarisi peninggalan tradisi keilmuan dan kemanusiaan
kakek-kakeknya. Syari’ati belajar banyak hal dari kehidupan
kakek-kakenya yang suci, terutama pilsafat mempertahankan jati diri
manusia pada masa ketika segala macam kefasikan dan dekadensi
merajalela, yang membuat seseorang sulit mempertahankannya saat dia
hidup pada zaman yang kebutuhan kita terhadap jihad hari ini jauh lebih
mendesak ketimbang masa-masa lalu.
Selain
pendidikan kehidupan dan agamanya yang didapatkan langsung dari orang
tua dan warisan keluarganya, Syari’ati pun menempuh sekolah formalnya di
Sekolah Dasar Ibn-e Yasin Sekolah menengah pertama Firdowsi di Masyhad.
Selama menempuh pendidikannya ini Syariati belajar dua bahasa
sekaligus, Bahasa arab dan Bahasa prancis. Mempunyai bakat alamiah
terhadap pengajaran, Syariati masuk Institute Pelatihan Guru di Masyhad,
dan setelah dua tahun ia mendapat sertifikat sebagai seorang
instruktur. Dalam Usia muda-delapan belas tahun, Syariati memulai
karirnya sebagai seorang guru di sebuah desa. Syariati melanjutkan
studinya tahun 1960 di Universitas Mashad hingga mendapat gelar B.A..
Haus akan ilmu membuatnya tidak puas akan pengetahuan, sehingga
mendorongnya menjadi yang terbaik ketika Dia mendapat rekomendasi dan
beasiswa ke Universitas Sorbonn Paris. Setelah lima tahun tinggal di
Paris merupakan masa pembentukan dan periode genting terhadap perluasan
dan pendalamannya terhadap pemikiran dan kehidupan sosialnya akan visi
dan masa depan. Pembawaan kemampuannya disandingkan dengan kajian
berbagai ide para pilosof modern dan para penulis sehebat gabungan
pribadinya dengan beberapa dari mereka menginsfirasi Ali untuk
memikirkan dirinya dan membangun pemikirannya yang segar orisinil. Pada
tahun 1965, dia mendapat gelar doktor dalam sosiologi dan sejarah agama.
Dia mengaplikasikan pengetahuannya untuk menganalisis gambaran sosial
politik rakyat dan negaranya serta diajukan sebagai sebuah kursus
pilihan.
Peran, Aktivitas dan Karya .
Ketika
Syariati menjadi mahasiswa Fakultas Sastra di Mashad, Ia sudah terlibat
dalam aktivitas politik dengan menggabungkan diri bersama kelompok
pro-Mossadeq, oposisi rezim penguasa serta di bawah NRM (National Revolution Movement) Cabang
Masyhad, ia melancarkan gerakan oposisinya melawan rezim. Ia pun aktif
dalam gerakan rakyat dan nasionalis untuk nasionalisasi industri minyak
Iran. Di Perancis ia pun bergelut dalam aktivitas politik, bersama
Mustafa Chamran dan Ibrahim Yazdi mendirikan gerakan Kebebasan Iran dan
turut serta dalam pembebasan rakyat Aljazair.
Selain
sibuk menggeluti dunia pemikiran dan aktivitas politiknya, ia pun
menjadi penyunting dua jurnal Persia serta menerjemahkan beragam buku.
Di antara buku-buku yang berhasil ia terjemahkan ialah: Niyashesh (”La Piere”) karya Alexis Carrel, Be Koja Takiye Kunin?(Apa yang menjadi Dukungan Kita ?) (1961), Guerrilla Warfare karya Guevara, What is Poetry? Karya Sartre, dan The Wretched of the Earth karya Frantz Fanon.
Sekembalinya
dari Paris, ia dipenjarakan karena aktivitas politiknya di luar negeri
dan setelah bebas ia memulai aktivitas mengajarnya di beberapa perguruan
tinggi dan beberapa tahun kemudian ditempatkan di Universitas Masyhad.
Ia langsung mengabdikan diri untuk membina angkatan muda. Karena metoda
mengajarnya yang bebas serta provokatif, akhirnya Syariati
diberhentikan.
Setelah Syari’ati pensiun dari mengajar tahun 1969, Syariati mengkonsentrasikan aktivitasnya di lembaga pendidikan Husyainiah.
lembaga yang didirikan bersama Murtadha Muthahari dan Sayyed Hosein
Nasr. Kegiatannya mencakup riset, pendidikan, dakwah dan distribusi
logistik untuk keperluan profaganda Islam. Di lembaga inilah ide-ide
segar Syariati mengalir untuk menentang rezim Syah Pahlevi dan karena kegiatannya lembaga inipun ditutup.
Selama
dalam proses penyemaian ide-idenya, ceramah-ceramah Syariati banyak
digemari kalangan muda berpendidikan hingga ke pelosok negeri. Dari
kumpulan ceramah ini jadilah dalam bentuk kumpulan tulisan (buku).
Selain hasil kumpulan ceramah, syariati pun mengarang buku demi
keperluan jihad intelektualnya.
Karya-karya tersebut adalah:
1. A Glance at Tomorrow’s History, 1985, p.24.
2.
An Approach to Understanding of Islam , Trans, Venus Kaivantash (The
Shariati, Foundation, and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
3. And Once again Abu Dhar, 1985, p, 75.
4. Art Awaiting The Saviour , Trans, Homa Farjadi (Shariati Foundation and Hamdami Publishers, Tehran 1979).
5. Capitalism Wakes UP?!, Trans Mahmoud Mogscni, (The Ministry of Islamic Guidance, Tehran, 1981).
6. Civilization and modernization, (Aligarh, Iranian Students Islamic Association, 1979).
7. Culture an Ideology, 1980, p.23.
8. Fatima is Fatima, Trans, Laleh Bakhtiar (Shariati Foundation and Hamdami Publishers, Tehran, 1980).
9. From Where Shall we Begin and Machine in the Captivity of Machinism, 1980, p.52.
11. Man and Islam, Trans, Ghulam M.Fayez (University of Mashhad Press, Mashad, Jahad Publications, 1982).
12. Martyrdom, Arise and Bear Witness, Trans, Ali Asghar Ghassemy (Ministy of Islamic Gudance, Tehran, 1981).
13. Marxism and Other Western Fallacies: An Islamic Critique, Tran’s, R. Campbell (Berkely, Mizan Press, 1981).
14.
One Followed By An Eternity of Zeros , Trans, Ali Asghar Ghassemy (The
Hosseiniyeh Ershad and the Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
15. On The Sociology of Islam, Trans”, Hamid Algar (Berkely, Mizan Press, 1979).
16. Red shiism, Trans, Habib Shirazi (The shariati Foundation and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
17. Retlection of A Concerned Muslim on The Plight of Oppressed Peoples, Trans” , Ali Behzadnia and Najla Denny.
18. Selection and of Election, Trans, Ali Asghar Ghassemy (The Hosseniyeh Ershad and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
19. The Visage of Mohammed, ‘Trans, A. A. Sachadin (Nor. Oqalam Publications, Lahore, 1983).
20. Ye Brother, That’s The Way it Was, Trans, Nader Assaf (Shariati Foundations and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
21. Awaiting the Religion of Protest Translated by: Shahyar Saadat.
22. What is to be done? Edited & Anotated by: Farhang Rajaee/ Forword by: John L. Esposito.
23. Hajj, trans, S.M.Farough, (Islamic faundation, India, 1989)
24. A Message to the Enlightened Thinkers
25. Extraction and Refinement of Cultural Resources
26.
Karena
dianggap memukau, karyanya tidak hanya diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris, tapi juga German, Prancis, Latin dan lain-lain. Sebagian karya
di atas sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam terjemahan
Indonesia, beberapa karyanya menjadi satu buku, misalnya The Vissage of Muhammad menjadi satu buku dengan On The Sociology of Islam.
Ada pula hasil kreatifitas pemikir Indonesia, makalah-makalahnya yang
berserakan dijadikan satu buku, seperti apa yang dilakukan oleh Afif
Muhammad menjadi satu buku yang utuh diberi judul Islam Pemikiran Madzhab dan Aksi. Dalam Jilid ‘Islam Agama protes’ merupakan kumpulan terjemahan dari ; A Glance At Tomorrow’s History, Awaiting The Religion of Protest dan An Aproach to The Understanding of Islam. Atau misalnya dari Jilid Paradigma Kaum Tertindas merupakan kumpulan dari terjemahan; On the Sociology of Islam dan The Visage of Muhammad.
Pengaruh terhadap ummat Islam Dunia.
Syariati
bukan hanya arsitek Iran Modern, Ia juga seorang guru, Pendakwah,
pejuang yang berbeda dari yang lain beberapa intelektual menyebutnya
sebagai seorang ideolog, halnya disebutkan oleh Azzumardi Azra, “selain
seorang Ideolog Syi’ah, Publik Speaker ( penceramah umum) ia
juga seorang sosiolog yang tertarik pada dialektika antara teori dan
praktik, ia adalah seorang pemikir Islam Revolusioner dan Progresif.”
Dengan
berbagai atribut yang disandangnya, Gagasan Islam Syariati tidak hanya
berpengaruh pada level Nasional Iran, tetapi menyebar ke seluruh pelosok
dunia Barat dan Timur, tak terkecuali Indonesia. Hal ini senada dengan
apa yang diungkapkan oleh Amin Rais juga oleh John L. Esposito,:
”
Makna penting Syariati tidak hanya terbatas bagi Iran saja, sebab ia
adalah salah satu contoh dari suatu generasi baru kaum intelektual dan
aktivis politik berorientasi Islam yang hidup di hampir seluruh dunia
Muslim masa kini. Ali Syariati sudah menjadi tokoh Islam internasional
yang gagasan-gagasan dan tulisan-tulisannya ditelaah, diperdebatkan, dan
diperbandingkan jauh di luar batas-batas negeri Iran.. Tahun 1970-an
membawa perubahan-perubahan besar dalam dunia muslim. Dari Sudan sampai
Sumatera, agar timbul kembali sebagai faktor penting dalam dunia politik
muslim”.
Di
Indonesia, walaupun mayoritas penduduknya bermadzhab Sunni yang
jelas-jelas berbeda corak dengan Syariati yang bermadzhab Syi’ah, tetapi
sebagian intelektual Muslim sudah mengenal pemikirannya lewat
penerjemahan buku-bukunya sejak akhir tahun 1970-an. Di Tahun 1980
bersamaan dengan penerjemahan dan kajian-kajian tentang Syari’ati,
muncul kelompok “Kiri Islam”, baik dari LSM maupun aktivis Islam seperti
HMI, MPO, Masjid Salman ITB dan Masjid Shalahuddin Yogyakarta.
Pemikiran dan penafsirannya tentang agama, yang dekat dan berfihak pada
rakyat kecil demi keadilan, dan kemudian diwujudkan dalam tindakan
kongkrit agaknya masih relevan dengan kondisi Indonesia yang rakyatnya
masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan.
Harus diakui bahwa yang
paling banyak mendapatkan perhatian ialah tulisan-tulisan sosiologis Ali
Syariati, yang hampir sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
seperti ditulis oleh Kuntowijoyo. Kebanyakan kaum muda menjadi pendukung
aktif dari pikiran-pikiran Islam radikal Ali Syariati. Para aktivis
pemuda dari kelompok yang membela hak-hak petani di beberapa tempat
diilhami oleh cita-cita pembebasan Ali Syariati, yang berarti aktivisme
sosial dan advokasi mereka pada kaum tertindas masih lebih dikerangkai
oleh nilai dan norma Islam. Kalau Syariati tidak dikenal tentu mereka
akan pergi kepada marxisme untuk berguru tentang praxis.
Disarikan dari berbagai sumber dan tulisan-tulisan Ali Syariati versi terjemahan, www. shariati.com serta buku biografinya ‘An Islamic Utopian A political Biografhy of Ali Syari’ati’ karangan Ali Rahnema.
Ali Syari’ati, Simbol Kaum Muda Iran Abad 20.
Selain Ayatullah
Ruhollah Khomeini, Iran juga memiliki tokoh besar yang amat berpengaruh
khususnya di kalangan intelektual muda, dalam memobilisasi perlawanan
terhadap Syah Iran. Tokoh itu bernama Ali Syari’ati. Ia merupakan
seorang pemikir sosial terkemuka Iran abad ke-20. Di samping juga
seorang ahli politik dan ahli syariat.
Ali Syari’ati Haji di Mekah.
Dilahirkan di Khurasan, Iran, pada 1933, sejak muda Ali Syari’ati sudah
terlibat dalam berbagai organisasi dan gerakan yang menentang
kediktatoran Syah Iran. Semangat juang yang mengalir dalam diri Ali
Syari’ati, tak lain diwarisi dari ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati, yang
merupakan seorang pengajar di sekolah lanjutan atas dan ahli dalam ilmu
keislaman (Islamologi). Sang ayah juga merupakan pendiri Gerakan
Sosialis Penyembah Tuhan, sebuah organisasi yang bergerak di bidang
dakwah Islamiah.
Pada usia 17 tahun, Ali
Syari’ati telah belajar pada sebuah lembaga pendidikan, Primary
Teacher’s Training College. Masa belajar tersebut dimanfaatkannya untuk
mengajar. Pada usia 20 tahun, ia mendirikan organisasi Persatuan Pelajar
Islam di Mashad, Iran. Pada tahun 1958 (ketika berusia 25 tahun) ia
meraih gelar sarjana muda dalam ilmu bahasa Arab dan Perancis. Kemudian
ia melanjutkan pendidikannya di Sorbonne, Paris, setelah berhasil
memenangkan beasiswa untuk belajar di negara itu. Ia belajar di Perancis
sampai meraih gelar doktor pada tahun 1963.
Setahun kemudian, ia
pulang ke negara kelahirannya. Setibanya di Iran, ia mengawali
langkahnya dengan menyampaikan ilmu yang diperolehnya dari berbagai
sekolah dan akademi. Kemudian ia mengadakan perjalanan keliling dalam
rangka mendirikan Husyaimiah Irsyad, sebuah lembaga pendidikan
pengkajian Islam yang kelak menjadi wadah pembinaan kader militan
pemuda-pemuda revolusioner.
Karena aktivitas
politiknya yang menentang kediktatoran Syah Iran, Ali Syari’ati
mengalami banyak kesulitan dalam hidupnya. Ia sudah harus menjalani
kehidupan di belakang terali besi dalam usia muda. Namun, hal tersebut
tidak membuatnya mundur sama sekali.
Periode kedua tahun
1960-an, Ali Syari’ati bergabung dengan Universitas Mashad.
Kuliah-kuliahnya di masjid kampus ini sangat diminati oleh sejumlah
besar mahasiswa. Karena ada kekhawatiran akan meningkatnya pengaruh Ali
Syari’ati, pada tahun 1968 pemerintah Iran memaksanya menjalani masa
pensiun pada usia yang relatif masih muda, 35 tahun.
Setelah pensiun Ali
Syari’ati giat mengajar di Husyaimiah Irsyad. Aktivitas-aktivitasnya di
Husyaimiah Irsyad ini dinilai membahayakan penguasa, sehingga lembaga
tersebut ditutup oleh pemerintah pada tahun 1972. Walaupun demikian, ia
tetap sering berceramah di berbagai perguruan tinggi dan masjid di
kota-kota besar Iran.
Kuliah-kuliahnya yang
simpatik dan berbobot menimbulkan kepercayaan diri bagi jutaan muslimin
di Iran. Sejumlah intelektual Islam, para mahasiswa, dan masyarakat Iran
tertarik kembali untuk mengkaji Islam yang memberikan potensi besar
dalam upaya memberi makna bagi kehidupan pribadi dan nasib bangsa.
Ali Syari’ati adalah
seorang orator luar biasa, lidahnya setajam penanya. Dengan
kelihaiannya, kampus dan masjid-masjid di Iran menjadi pusat kegiatan
organisasi revolusioner. Ia juga tampil memimpin perlawanan terhadap
pemerintahan Syah Iran. Oleh karena aktivitas politiknya, pada tahun
1974, Ali Syari’ati ditangkap. Ia kemudian menjalani tahanan rumah
sampai tahun 1977.
Sebagai seorang pemikir
sosial, Ali Syari’ati amat mengagumi prinsip-prinsip sosialisme,
menentang sistem kapitalis, dan mendukung pemerintahan nasionalis. Salah
satu tokoh sejarah yang disukai dan diklaim sebagai model bagi
kehidupannya sendiri adalah Abu Dzar al-Ghifari, sahabat Nabi Muhammad
SAW. Abu Dzar merupakan penganjur utama paham kesamarataan dan pembagian
kekayaan secara adil. Bagi Syari’ati, Abu Dzar adalah salah satu contoh
prinsip sosialisme yang sejalan dengan agama Islam.
Kematian misterius.
Pada bulan Mei 1977, ia terpaksa meninggalkan Iran menuju Inggris untuk
menghindarkan diri dari kejaran penguasa. Namun, rezim Syah tidak
mengizinkannya ke luar negeri untuk berbicara serta menulis secara
bebas, serta menawan istri dan anak Ali Syari’ati. Tidak lama setelah
itu, tepatnya tanggal 21 Juni 1977, Ali Syari’ati ditemukan tewas di
rumah kerabatnya di Southampton, Inggris.
Meskipun berita resmi
menyatakan bahwa ia terkena serangan jantung, namun banyak orang percaya
bahwa ia diracuni oleh agen rahasia pemerintah Iran. Jenazahnya
kemudian dikebumikan di Damaskus, Suriah.
Setahun setelah kematian
Ali Syari’ati, Dinasti Pahlevi runtuh dan lahirlah Republik Islam Iran
pada 16 Januari 1979. Ia dinilai memainkan peran penting menjelang
Revolusi Iran yang dipimpin Ayatullah Ruhollah Khomeini pada tahun 1978,
yang melahirkan berdirinya Republika Islam Iran.
Mengagumi Sekaligus Membenci Barat.
Walaupun kurang menguasai
kitab-kitab klasik, namun Ali Syari’ati mampu menggunakan teori-teori
Barat sebagai pijakan bagi kajian doktrin-doktrin keagamaan. Ia
berpendapat bahwa para nabi selalu berpihak kepada kaum lemah dalam
upaya menghancurkan kekuasaan lalim yang disebut dalam Alquran sebagai
mutrafin. Ia menggunakan istilah mustad’afin (lemah) sebagai pengganti
istilah proletar dalam teori Karl Marx dan istilah mutrafin sebagai
pengganti istilah borjuis, meskipun ia menentang paham moralisme.
Dalam bukunya Marxisme and
Other Western Fallacies (Marxisme dan Kekeliruan Pemikiran Barat
Lainnya), Ali Syari’ati menyatakan bahwa baik Marxisme maupun Islam
adalah dua ideologi yang mencakup seluruh dimensi kehidupan dan
pemikiran manusia. Ia juga secara tegas mmengatakan bahwa antara Islam
dan Marxisme terdapat kontradiksi (pertentangan). Marxisme berdasarkan
filsafat materialisme, sedangkan Islam, walaupun melihat dunia materi
sebagai kenyataan eksistensial, percaya pada adanya Tuhan dan memiliki
konsep yang gaib.
Pernyataan yang
disampaikan Ali Syari’ati selalu didukung oleh pendapat-pendapat atau
teori-teori para pemikir Barat, ayat-ayat Alquran, dan sunah Nabi
Muhammad SAW. Meski mengagumi teori para pemikir Barat, namun ia juga
membeci Barat. Ia secara terbuka, misalnya, mengakui bahwa proses
pendewasaan intelektual yang dilaluinya dibimbing oleh beberapa sarjana
Barat. Namun di sisi lain, ia menilai bahwa Barat adalah puncak gunung
materialisme dan amoralitas.
Sebagai seorang muslim,
Ali Syari’ati percaya Islam sejalan dengan pemikiran yang modern dan
progresif. Untuk itu ia mengembangkan sebuah filsafat yang menggabungkan
agama dan etika sosialisme.
Dalam karyanya,
Eslamshenasi (Islamologi), ia melakukan pembedaan atas Islam, yakni
Islam asli dan murni yang menganjurkan agar manusia mengembangkan ilmu
pengetahuan, kebebasan, intelektual, dan demokrasi, serta Islam masa
kini yang pasif sebagaimana ditawarkan oleh ulama konservatif.
Menurutnya, seluruh kaum muslim wajib untuk meneguhkan kembali Islam
yang asli. Karena pandangannya ini, ia dimusuhi baik oleh pemerintah
Syah maupun ulama konservatif, dan karya-karyanya dilarang beredar.
Sebagai penganut paham
Syiah, dalam banyak hal ia memegang prinsip-prinsip keyakinan Syiah.
Kecuali dalam masalah imamah (pemimpin), ia berbeda pendapat dengan
pendapat umum kalangan Syiah. Dalam hal imamah, ia berupaya memadukan
teori musyawarah Suni dan wasiat Syiah dalam pengangkatan pemimpin. Ia
mencoba menghapus kesan bahwa para khalifah Suni telah merampas hak Ali
bin Abi Thalib dalam imamah. Pemikirannya ini didukung dengan teori
sosiologi-politik yang memang merupakan keahliannya.
Pemikirannya selalu
diarahkan untuk menggalang ukhuwah Islamiah (persaudaraan dalam Islam).
Ukhuwah Islamiah ini, menurutnya, dapat dilakukan melalui gagasan
solidaritas di kalangan negeri muslim. Di samping ingin menumbuhkan
kesatuan di kalangan umat Islam, ia juga bermaksud agar pemikirannya
dapat diterima semua pihak, baik yang berpaham Suni maupun Syiah. Dalam
pandangannya, tanpa adanya solidaritas di kalangan negeri muslim, maka
persatuan dunia Islam tidak akan tercapai.
Ceramah-ceramah Ali
Syari’ati yang dibukukan adalah Marxism and Other Western Fallacies,
What is To Be Done (Apa yang Harus Dilakukan), On The Sociology of Islam
(Sosiologi Islam), al-Ummah wa al-Imamah (Umat dan Kepemimpinan),
Intizar Madab-I’tiraz (Menunggu Kritik), The Role of Intellectual in
Society (Peranan Cendikiawan dalam Masyarakat). dia/taq/berbagai sumber
(doc Republika April 2009).[republika]
Saya akan bangga dan hendak mengatakan, “Fathimah a.s. adalah putri Khadijah yang besar”.
Saya rasa itu bukan fathimah a.s..
Saya hendak mengatakan, “ Fathimah a.s. adalah putri Muhammad saw”. Saya rasa itu juga bukan fathimah a.s..
Saya hendak mengatakan, “Fathimah a.s. adalah istri Ali a.s.”. Saya rasa itu juga bukan fathimah a.s..
Kemudian saya hendak mengatakan, “Fathimah a.s. adalah ibu dari Hasan dan Husein.” Itu juga bukan Fathimah a.s..
Saya hendak katakan, “Fathimah a.s. adalah ibu Zainab”. Saya masih merasa itu bukan Fathimah a.s..
Tidak, semua itu benar tetapi tak satu pun yang menggambarkan Fathimah a.s. yang sesungguhnya. Fathimah a.s. adalah Fatimah ibu dari Anak-anak Ali a.s sampai sekarang.
Polaritas Masyarakat dalam Pemikiran Ali Syari’ati dan Imam Khomeini
Oleh: Mohammad Subhi-Ibrahim
Peta
politik internasional, khususnya kawasan Timur Tengah, akhir tahun
70-an mengalami pergeseran signifikan. Di tengah perang dingin antara
kekuatan Amerika dengan sekutunya, NATO, via-a-vis Uni Soviet dengan
Pakta Warsawa, muncul fenomena mengejutkan, yaitu tampilnya kekuatan
tradisional Islam-Syi’ah Iran ke pentas politik menggulingkan
pemerintahan sekuler Muhammad Reza Pahlevi (Syah Iran).
Revolusi Islam Iran (11
Februari 1979) menarik untuk dikaji. Setidaknya, ada tiga alasan mengapa
Revolusi Islam Iran itu layak untuk dicermati: Pertama, fenomena
Revolusi Islam Iran merupakan salah satu bentuk kontradiksi-paradoksal
dari proses modernisasi di negara dunia ketiga, terutama di Iran.
Kontradiksi-paradoksal dalam arti bahwa proses modernisasi yang
memangkas peran agama dalam fungsi sosial-politik, ternyata, di satu
sisi menyebabkan peran agama terpinggir, tetapi di sisi lain
mengentalkan sentimen keagamaan para pemeluknya. Keotentikan dan
identitas kaum beragama yang terancam modernisme mengkristal menjadi
gerakan-gerakan sosial, politik, dan kultural yang tidak sungkan-sungkan
menggunakan simbol-simbol agama sebagai basis aktivitasnya.
Kedua, pengaruh Revolusi
Iran telah menerobos seluruh penjuru dunia Islam, mulai dari Maroko
sampai ke Indonesia, dari Bosnia di jantung Eropa sampai ke Afrika. Oleh
karena itu, dampak revolusi tersebut sangat berpotensi mengubah peta
konstelasi politik regional, khususnya kawasan Timur Tengah, maupun
internasional.
Ketiga, Theda Skocpol,
dalam Social Revolutions in the Modern World, mengategorikan Revolusi
Islam Iran sebagai salah satu revolusi sosial terbesar di samping
Revolusi Prancis, Rusia dan Cina. Revolusi Islam Iran adalah akumulasi
kekecewaan dan ketidakpuasan seluruh komponen bangsa Iran, bukan hanya
ketidakpuasan kelompok elit mullah (religious scholars) dan intelektual.
Citra yang tertangkap
secara umum ketika kita menelaah Revolusi Islam Iran adalah citra sebuah
revolusi para mullah dengan instrumen ideologi religius murni. Citra
tersebut mengakibatkan pemerintahan Iran pasca Revolusi Februari 1979
kerap dituding dengan istilah mullahocracy (kekuasaan kaum mullah).
Namun, bila disorot secara lebih tajam dan cermat, sesungguhnya, ada
pula konstruk ideologis semi-religius.
Secara simplistik, ada dua
gugus ideologi yang menjadi pilar Revolusi Islam Iran, yaitu: ideologi
religius tradisional Syi’ah yang diusung oleh para ulama atau mullah,
dan ideologi semi-religius yang tetap berbasis atas
peristilahan-peristilahan Syi’ah, tetapi dibawa oleh para intelektual
berlatar pendidikan sekuler. Dalam kategori pertama bisa disebut dua
nama yang paling populer, yaitu Ayatullah Ruhullah Musawi Khomeini dan
Ayatullah Murtadha Muthahhari. Pada kategori kedua yang paling menonjol
adalah Ali Syari’ati, Mehdi Bazargan, dan Bani Sadr. Meski punya
misi-praktis yang sama, yaitu menggulingkan rezim represif Syah Iran,
kedua kelompok ideologis ini kadang saling berhadap-hadapan.
Yang paling sering
disinggung dalam studi-studi tentang para ideolog Revolusi Iran adalah
Khomeini. Tokoh-tokoh yang lain seakan tenggelam di bawah bayang-bayang
nama besarnya. Memang harus diakui, dengan berbekal kecerdasan dan
kharismanya, Khomeini mampu menyatukan gerakan-gerakan revolusioner yang
berbeda-beda di Iran saat itu yang menuntut penghapusan monarki. Lalu,
apakah fungsi Khomeini dan Syari’ati dalam Revolusi Iran tersebut?
Sebagaimana diungkap John L. Esposito, Khomeini, dalam Revolusi Islam
Iran, lebih berperan sebagai pemimpin revolusi, sedangkan perumus dan
penyedia ideologi revolusinya sendiri adalah Ali Syari’ati. Bahkan
menurut Nikki R. Keddie, "Ali Syari’ati-lah yang telah sangat
mempersiapkan (secara ideologis, MS) orang muda Iran untuk perjuangan
revolusioner itu". Tulisan ini akan mencoba menelusuri basis pemikiran
sosial Syari’ati tentang polaritas masyarakat dan membandingkannya
dengan gagasan Imam Khomeini seraya mencari titik temu, benang merahnya.
Kutub Habil Versus Kutub Qabil.
Inti
filsafat sosial Syari’ati adalah polarisasi masyarakat menjadi dua
kutub dialektis. Pandangan tentang polarisasi masyarakat merupakan wujud
konsistensi Syari’ati dalam mempertahankan kaca mata analisis
dialektika. Secara lebih spesifik, Syari’ati menyatakan, "Sosiologi pun
berdasarkan dialektika." Jadi, dialektika sosiologi adalah refleksi atas
masyarakat (sosiologi) yang didasarkan pada konsep dialektika.
Masyarakat, seperti telah
dikemukakan di muka, memiliki super-struktur, yang di dalamnya terdapat
struktur dan mekanisme ekonomi (cara produksi, relasi produksi,
alat-alat dan barang). Struktur tidak ditentukan oleh mekanisme ekonomi.
Struktur bersifat mandiri (independent) terhadap semua kinerja dan
mekanisme ekonomi. Dalam masyarakat, terdapat dua struktur tetap, yang
dalam konsep Syari’ati disebut sebagai struktur Habil dan struktur
Qabil, mengambil dua sosok anak Adam. Sisi beda kedua struktur itu dapat
dilihat dalam tabel berikut ini:
Kategori Perbedaan
| Struktur Habil
| Struktur Qabil
|
Posisi Individu
| Individu menentukan nasibnya sendiri (otonom)
| Nasib individu ditentukan oleh kelompok pemilik modal
|
Kepentingan yang diperjuangkan
| Kepentingan masyarakat
| Kepentingan pribadi atau pemiliki modal (kapitalis)
|
Oleh
karena masyarakat memiliki dua struktur tersebut, maka masyarakat pun
terbagi menjadi dua kutub, yaitu kutub Qabil dan kutub Habil. Syari’ati
memakai istilah "kutub masyarakat" dalam pengertian "kelas sosial".
Jadi, kutub masyarakat sama dengan kelas sosial, juga sebaliknya.
Syari’ati, dalam On Sociology of Islam, mengunakan kedua istilah ini
secara bergantian.
Kutub Qabil : Kelas Penguasa
Kutub
Qabil adalah kutub penguasa atau raja, pemilik (owner), dan aristokrat.
Kutub Qabil merupakan pemilik kekuasaan. Ada tiga kekuasaan yang
disebutkan oleh Syari’ati, yaitu kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi
dan kekuasaan religius. Kemudian, manifestasi ketiga kekuasaan kutub
Qabil tersebut dalam pentas sejarah sosial mengambil bentuk yang
berbeda-beda, tergantung tingkat perkembangan masyarakatnya.
Pada tahap-tahap
perkembangan sosial yang masih primitif dan terbelakang, kutub ini
memanifestasikan diri dalam bentuk pemusatan kekuasaan pada seorang
individu. Individu tersebut menyerap ketiga kekuasaan (raja, pemilik dan
aristokrat) pada dirinya. Ia mewakili muka Qabil. Sementara itu, dalam
tahap evolusi sosial yang lebih maju, ketiga kekuasaan tersebut
dipisahkan, yaitu kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan
religius.
Al-Quran, sebagai salah
satu dasar epistemologis filsafat sosial Syari’ati, menyinggung ketiga
wajah kekuasaan tersebut dengan memperkenalkan simbol-simbol khas untuk
ketiga manifestasi Qabil tersebut. Ada tiga istilah yang melukiskan
sifat tiga wajah kekuasaan tersebut, yaitu mala’ (yang serakah dan
kejam), mutraf (yang rakus dan bermewah-mewahan), dan rahib
(kependetaan). Personifikasi ketiga sifat tersebut disimbolkan dengan
nama-nama tokoh. Kekuasaan politik disimbolkan dengan tokoh Fir'aun,
kekuasaan ekonomi dilambangkan oleh tokoh Qarun (Croesus), dan kekuasaan
religius dilambangkan oleh tokoh Balaam Bauri. Ketiganya merupakan
manifestasi tritunggal dari Qabil. Syari’ati menjelaskan ketiga
manifestasi Qabil secara panjang lebar dalam Haji.
Di sepanjang sejarah,
anak-cucu Qabil telah berperan sebagai pemimpin umat manusia. Begitu
masyarakat-masyarakat manusia bertambah besar, berubah dan
sistem-sistemnya menjadi lebih rumit; dan begitu timbul
pembagian-pembagian, spesialisasi-spesialisasi, dan
klasifikasi-klasifikasi, Qabil, sang pemimpin, mengubah wajahnya!
Sementara mempertahankan kekuatan-kekuatannya di tiga buah basis, di
dalam masyarakat-masyarakat modern Qabil menyembunyikan wajah aslinya di
balik topeng politik, ekonomi dan agama. Qabil menciptakan tiga buah
kekuatan untuk menindas: kekayaan dan kemunafikan yang melahirkan
despostisme; eksploitasi; dan teknik-teknik indoktrinasi. Ketika
kekuatan ini dapat dijelaskan dengan istilah-istilah monoteisme
(tauhid). Fir'aun: lambang penindas; Qarun (Kroesus): lambang kapital
dan kapitalisme; Balaam: lambang kemunafikan (religius).
Dalam realitas konkret,
Fir'aun diwujudkan oleh orang-orang yang berkepentingan dengan politik,
dan hidup di bawah despotisme, militerisme dan fasisme. Qarun diwujudkan
oleh orang-orang yang berkubang dalam ekonomi pasar. Mereka memandang
ekonomi sebagai dewa penentu nasib masyarakat. Sedangkan Balaam
diwujudkan oleh kaum intelektual yang yakin bahwa perubahan sosial tidak
mungkin tercipta tanpa melawan kebodohan, kelemahan, dan kondisi yang
menyebabkan manusia menganut politeisme yang berselimutkan monoteisme.
Ketiga poros kekuasaan
tersebut saling menunjang. Fir'aun merestui perampokan sistematis dan
prosedural yang dilakukan Qarun. Lalu, Qarun pun mendukung kerja
intelektual Balaam dengan sarana finansial kekayaannya. Fir'aun
menyokong Balaam dengan jaminan politisnya. Sedangkan Balaam menyediakan
basis doktrin untuk melegitimasikan rezim Fir'aun, bahwa keberadaan
Fir’aun kekuasaan Tuhan. Ketiga komponen penopang kekuasaan Qabil itu
disebut trinitarianisme-sosial.
Kutub Habil: Kelas yang Dikuasai
Berseberangan
dengan kutub Qabil, kutub Habil adalah representasi kelas yang
dikuasai, yang ditindas. Kutub Qabil merupakan penjelmaan kelas rakyat
(al-nas). Syari’ati menggambarkan ketertindasan kutub Habil ini secara
dramatik dalam beberapa karyanya, seperti Yea, Brother! That's the Way
It Was.
Dalam buku itu Syari’ati
menceritakan tentang kekagumannya pada monumen-monumen besar, seperti
Piramida di Mesir. Namun, kekaguman tersebut mendadak sirna ketika ia
menyadari bahwa monumen-monumen itu dibangun di atas penderitaan para
budak yang dengan tenaga, keringat, bahkan nyawanya terpaksa mengikuti
keinginan penguasa untuk menciptakan simbol budaya tersebut. "Aku benci
dan marah! Kulihat peradaban sebagai suatu kutukan. Ia dihasilkan dari
ribuan tahun penindasan dan perbudakan," tulis Syari’ati. Para budak
adalah wujud nyata kelas Habil, penghuni kutub Habil.
Selanjutnya, yang menarik
dari pandangan Syari’ati adalah bahwa Allah Swt —dalam konfrontasi kedua
kutub masyarakat itu— memihak pada kutub rakyat (Habil). Bahkan,
Syari’ati berpendapat bahwa Allah Swt, dalam al-Quran menjadi sinonim
dengan al-nas. Menurutnya, kedua ungkapan tersebut kerap saling
menggantikan dan semakna. Umpamanya, Syari’ati memberi contoh QS.
Al-Taghabun ayat 17 yang berbunyi, "Jika kalian meminjamkan pinjaman
yang baik kepada Allah". Syari’ati menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan Allah adalah al-nas, manusia atau rakyat, karena Allah sama
sekali tak membutuhkan pinjaman dari kita.
Masalah sinonimasi Allah
dan al-nas perlu diklarifikasi karena bisa mengundang kesalahpahaman.
Syari’ati menyamakan kata al-nas dengan Allah dalam wacana sosial, bukan
wacana akidah seperti tata kosmos. Jelas, Syari’ati membedakan ranah
(domain) diskursus. Dalam ranah teologis, Allah berbeda dengan al-nas.
Namun, pada ranah sosiologis, istilah Allah dan al-nas adalah sinonim.
Lebih jauh Syari’ati
memaparkan bahwa sinonimasi kata Allah dan al-nas tersebut bermakna:
bila disebutkan "kekuasaan berada di tangan Allah", maka berarti
kekuasaan berada di tangan rakyat bukan di tangan mereka yang mengaku
dirinya sebagai wakil atau anak Tuhan, atau kerabat Tuhan atau sebagai
Tuhan itu sendiri. Bila dikatakan bahwa, "hak milik adalah kepunyaan
Allah", maka bermakna bahwa kapital adalah kepunyaan rakyat, bukan milik
Qarun. Selanjutnya, bila dituturkan, "agama adalah kepunyaan Allah",
maka itu bermaksud bahwa keseluruhan struktur dan isi agama
diperuntukkan bagi rakyat banyak, bukan demi kelompok, lembaga tertentu
yang memonopoli otoritas keagamaaan, seperti pendeta (clergy) atau
gereja (church).
Jadi, konsep utama tentang
kutub Habil adalah konsep al-nas. Kata al-nas memiliki makna yang dalam
dan khas. Kekhasan tersebut diungkap Syari’ati. Menurut Syari’ati,
rakyat merupakan wakil-wakil Allah (the representatives of God)
sekaligus keluarga-Nya (al-nas iyalu 'Llah). Syari’ati menandaskan pula
dengan adanya fakta bahwa al-Quran dibuka dengan nama Allah dan diakhiri
dengan nama rakyat (al-nas). Lalu, Ka’bah, kiblat umat Muslim saat
shalat, adalah rumah Allah (house of God), tapi juga sekaligus disebut
sebagai rumah rakyat (house of people) dan rumah kebebasan (free house
atau al-bayt al-'atiq).
Kata al-nas, meskipun
berbentuk tunggal, namun bermakna jamak. Kata al-nas tidak berarti
kumpulan perorangan, namun dalam pengertian masyarakat atau, lebih
tepat, massa. Oleh karena itu, kata al-nas, bagi Syari’ati, memiliki
konotasi unik yang mewakili konsep rakyat.
Mustadafin versus Mustakbirin
Pandangan
Syari’ati di atas bertitik temu dengan pemikiran Imam Khomeini. Imam
Khomeini membagi masyarakat secara dikotomis, terutama pada periode
1970-1982. Salah satu buku yang memadai untuk mengungkap pandangan Imam
Khomeini tentang masyarakat tersebut adalah Khomeinism: Essays on the
Islamic Republic (1993), karya Ervand Abrahamian. Dalam buku tersebut,
Abrahamian membagi tiga tahap pemikiran Imam Khomeini yang terkait
dengan pandangannya tentang masyarakat.
Tahap I (1943-1970): Gradasi yang Harmonis.
Menurut Abrahamian, pada
tahap ini Imam Khomeini memandang masyarakat sebagai sebuah hirarki yang
di dalamnya terdapat lapisan dan kelompok masyarakat (qeshra), seperti
ulama, santri, pegawai kantor, pedagang, buruh dan lainnya.
Masing-masing kelompok tersebut saling bergantung satu dengan lainnya
untuk mempertahankan diri, memiliki dan menjalankan fungsinya, serta
menghormati hak-hak kelompok lainnya. Skema Imam Khomeini ini, mengikuti
istilah Stanislaw Ossowski, berupa gradasi yang harmonis. Karena itu,
tugas utama pemerintah adalah melindungi Islam dan memelihara
keseimbangan antara strata sosial tersebut.
Bagi Imam Khomeini, strata
tertinggi (qeshr-e bala) dalam masyarakat adalah ulama. Ulama
bertanggung jawab untuk berteriak lantang, mengkritik pemerintah yang
tidak melakukan tugas utamanya. Jadi, secara singkat, pada periode ini
Imam Khomeini menggunakan metafora Aristotelian tentang tubuh manusia
(human body) untuk menjelaskan masyarakat. Strata sosial yang beragam
tersebut adalah bagian dari sebuah keseluruhan organik.
Tahap Kedua (1970-1982): Dikotomi Antagonistik.
Pada tahap ini, Imam
Khomeini mulai menggunakan konsep dan bahasa yang radikal, seperti
digunakan Syari’ati. Imam Khomeini memandang masyarakat dibangun dari
dua kelas antagonistik (tabaqat): penindas (mustadafin) dan yang
ditindas (mustakbirin). Pada periode sebelumnya Imam Khomeini
menggunakan istilah mustadafin dalam pengertian Quranik, yakni "yang
lembut/penurut", "rakyat biasa", dan "yang dilemahkan". Namun, pada
periode ini, Imam Khomeini menggunakan istilah mustadafin dengan makna
massa tertindas yang marah, sebuah pengertian yang didapat ketika pada
awal 1960-an Syari’ati dan murid-muridnya menerjemahkan The Wretched of
the Earth-nya Franz Fanon sebagai Mustadafin-e Zamin.
Terminologi mustakbirin
identik dengan kelas atas (tabaqeh-e bala) yang melingkupi dengan
penindas, pengekspoitir, feodalis, kapitalis, para penghuni istana,
koruptor, penikmat kemewahan, dan elit yang bermegah-megahan. Sedangkan
mustadafin disebut juga sebagai kelas bawah (tabaqeh-e payin), yang
tercakup di sana: orang-orang yang tertindas, yang diekploitir, kaum
yang lemah, yang lapar, miskin, pengangguran, yang tak berpendidikan,
tuna karya, dan tuna wisma.
Menurut Imam Khomeini,
para penindas selalu memiliki kecenderungan pada ketidakadilan, setani
dan membangun pemerintahan yang tiranik. Mereka melangggar dan melawan
ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw, dan dalam konteks Iran, mendukung
monarki Pahlevi dan emperialisme Amerika. Sedangkan kaum tertindas
sebaliknya. Mereka berjuang untuk keadilan, pemerintahan Islam,
mengikuti jejak langkah Nabi, dan bersedia mati demi revolusi Islam.
Yang memimpin dan membebaskan kaum tertindas adalah ulama. Pandangan
dikotomis masyarakat Imam Khomeini ini, meminjam terminonologi Ossowski,
disebut dengan dikotomi antagonistik.
Tahap Ketiga (1982-1989): Trikotomi Semiharmonis.
Tahap ini adalah tahap
pasca revolusi. Karena itu, pandangan Imam Khomeini tentang polaritas
masyarakat pun bergeser. Pada tahap ini, menurut Abrahamian, Imam
Khomeini tidak memakai dikotomi antagonistiknya, namun trikotomi.
Masyarakat terdiri dari tiga kelas: kelas atas (tabaqeh-e bala), kelas
menengah (tabaqeh-e motavasset), dan kelas bawah (tabaqeh-e payin).
Kelas atas dihuni oleh orang-orang yang secara ekonomi sejahtera dan
mapan. Kelas menengah melingkupi ulama, intelektual, dan pedagang. Kelas
bawah mencakup buruh, dan orang-orang yang secara ekonomi masih
terjerat kemiskinan. Dalam konteks pembagian kelas ini, Imam Khomeini
menekankan trikotomi semiharmonis di mana kelas menengah memiliki peran
yang penting.
Menurut Imam Khomeini,
kelas menengah, terutama kaum bazaris, berperan besar pada masa
pra-revolusi, selama revolusi, dan pasca revolusi. Kaum bazaris berperan
dalam mengkritik penguasa tiranik Pahlevi, bahkan menyumbangkan para
martirnya. Dan bazaris selalu bersanding dengan kelas bawah. Hal ini
dikarenakan kelas menengah memiliki kepentingan yang sama dengan kelas
bawah, yakni melawan imperialisme dan kelas atas lama. Karena itu, dapat
dipahami mengapa pemimpin-pemimpin pemerintahan yang baru banyak
berasal dari kelas menenggah ini. Singkatnya, pada tahap ketiga ini,
Imam Khomeini membagi kelas dalam masyarakat yang dapat distilahkan
dengan trikotomi semiharmonis.
Keberpihakan pada Mustadafin.
Dari
paparan di atas, tampak bahwa Syari’ati dan Imam Khomeini memiliki
kesamaan yakni penekanan pada emansipasi mustadafin. Perjuangan
pembebasan mustadafin sebagai isu dan agenda penting dalam karya-karya
mereka.
Deskripsi-deskripsi
Syari’ati, dalam dialektika sosiologi, telah mengkutubkan kemanusiaan
menjadi dua kutub, yakni kutub Habil dan kutub Qabil. Secara implisit
dan eksplisit, Syari’ati menilai kedua kutub tersebut sebagai kutub
positif dan kutub negatif. Kutub positif kemanusiaan selalu berada dalam
keadaan tertindas, terjajah dan tak diuntungkan. Oleh karena itu, bagi
Syari’ati, kutub ini perlu dibela serta diperjuangkan hak-haknya.
Demikian pula dengan identifikasi Imam Khomeini dengan dikotomi
antagonistik dan trikotomi semiharmonisnya.
Sesungguhnya, perjuangan
pembebasan mustadafin tidak murni dari Syari’ati dan Imam Khomeini.
Sejarah Syi’ah sendiri merupakan sejarah perlawanan kelompok yang
termarjinalkan secara politis di Dunia Islam. Doktrin Syi’ah, konsep
keadilan ('adalah) misalnya, memberikan ruang lebih untuk lahirnya
semangat pembebasan mustadafin. Bahkan, tendensi keberpihakan khas
Syi’ah ini semakin mengental pada pasca Revolusi Islam Iran. Robin
Wright mencatat pernyataan Khomeini sebulan setelah revolusi pecah
bahwa, "it is a champion of all oppressed people." Demikian pula dengan
pemerintahan Iran pasca Revolusi. Pemerintahan Iran pasca revolusi
memberikan simpati dan solidaritas pada perjuangan pembebasan di dunia
ketiga tak terkecuali terhadap gerakan revolusioner non-Muslim seperti
gerakan Kongres Nasional Afrika di Afrika Selatan atau gerakan
Sandinista di Nikaragua.[]
Sumber: www.icc-jakarta.com
DAFTAR PUSTAKA
Ali Syari’ati, On the Sociology of Islam, Barkeley : Mizan Press, 1979.
__________, Haji, Penerjemah: Anas Mahyudin, Bandung: Penerbit Pustaka, 2002.
_________, Yea Brother! That's the Way It Was, Tehran: Syari’ati Foundation, 1979.
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Posmodernisme, Jakarta: Paramadina, 1996.
Dilip Hiro, Between Marx and Muhammad: The Changing Face of Central Asia, T.T.: HarperCollins Publishers, 1994.
Ervand Abrahamian, Khomeinism: Essays on the Islamic Republic, (London: IB. Taurist and Co Ltd, 1993.
Erik Durscmied, Blood of Revolution: From the Reign Terror to the Rise of Khomeini, New York: Arcade Publishing, 2002.
Hamid Algar, The Islamic Revolution in Iran, Qum: Ansariyan Publisher, 1981.
John L. Esposito, Islam and Politics, New York: Syracuse University Press, 1987.
Khalid Bin Sayed, Western
Dominance and Political Islam: Challenge and Response, Albany: State
University of New York Press, 1995.
Nikki R. Keddie, Roots of
Revolution: An Interpretative History of Modern Iran, New Haven and
London: Yale University Press, 1981.
Oliver Roy, The Failure of Political Islam, London: I.B. Tauris, 1994.
Robin Wright, Sacred Rage: the Crusade of Modern Islam, New York: Linden Press, 1985.
Theda Skocpol, Social Revolutions in the Modern World, Cambridge: Ca.
Sekilas Tentang Faham Syiah
Sunnah-Syi'ah di Indonesia: Perspektif Ilmu Hadits.
Pendahuluan.
Pada
dekade terakhir ini, diskursus pemikiran Syi'ah kembali meramaikan
kancah pergulatan pemikiran di Indonesia. Dalam banyak hal, ia merupakan
bias logis angin perubahan (the wind of changes) yang ditiupkan oleh
keberhasilan revolusi Islam Iran (RII) yang digerakkan oleh sekte Islam
Syi'ah. Tentang pengaruh revolusi tersebut, Dr. Richard N. Frye, ahli
masalah Iran di Universitas Harvard, Seperti dikutip Jalaluddin Rahmat,
berkomentar: Hubungan revolusi Islam (Syi'ah) di Iran dengan dunia
ketiga, yakni bangsa-bangsa yang tidak memiliki kekayaan dan kekuatan di
dunia, adalah sama seperti hubungan antara revolusi Perancis dengan
bangsa-bangsa Eropa Barat... Revolsi Islam di Iran bukan hanya
titik-balik dalam sejarah Iran saja. Revolusi itu juga merupakan satu
titik-balik rakyat di seluruh negara-negara Islam, bahkan bagi massa
rakyat di dunia ketiga 1.
Pada sisi lain, kekecewaan
para intelektual dan politikus Islam Indonesia pasca Masyumi tampaknya
menemukan obat penawarnya pada revolusi Islam Iran itu. Pergulatan
politik di Indonesia yang merupakan Zero Sum games, satu pertaruhan yang
kalau kalah akan kehilangan segala-galanya2, mendorong para politikus
dan pemikir Islam untuk mencari kiblat proyeksi politik mereka. Di
negara-negara Arab mereka tidak menemukan itu, kecuali sedikit pada
Ikhwanul Muslimin yang mengalami nasib tak begitu jauh dengan mereka.
Revolusi Iran, dengan
pemikir-pemikir yang mendukung di belakangnya, seperti Dr. Ali
Syari'ati, sayyid M.H. Thabathaba'i dan Ayatullah Muthahhari, memberikan
alternatif kepada mereka3. Maka tidak mengherankan jika kita dapati
sebagian intelektual Indonesia dengan begitu pasih mengutip Ali
Syari'ati, Muthahhari atau pemikir-pemikir Syi'ah lainnya. Jalaluddin
Rahmat, dengan jelas menamakan yayasan yang didirikannya: yayasan
Muthahhari, nama tokoh Syi'ah yang terkenal itu. Amin Rais juga pernah
menerima gelar Syi'ah juga, karena seperti dikatakan oleh Jalaluddin
Rahmat ia sering memuji Revolusi Islam Iran, dan terutama sering
mengutip Ali Syari'ati. Bahkan menurut Jalaluddin Rahmat, sebuah buku
kecil pernah ditulis tentang "kesyiahan" Amien Rais itu 4.
Tradisi keilmuan yang
subur di kalangan Syi'ah juga menambah daya tarik bagi banyak
intelektual Indoneisa. Kajian pilsafat, misalnya, seperti dikatakan
banyak orang, tidak pernah terputus di kalangan Syi'ah. Sehingga, ketika
pemikiran mereka bersentuhan dengan kalangan intelektual Indonesia,
merekapun tercengang. Tentang karya Murthada Muthahhari " Sejarah dan
Masyarakat", Dawam rahadrdjo berkomentara: Sulit membayangkan, seorang
dengan pakaian jubah, seperti para kiai dan ulama di Indonesia menulis
buku seperti itu, penuh dengan ulasan-ulasan yang spekulatif,
menunjukkan olah pikir yang intens5.
Tentang khazanah keilmuan
Syi'ah, lebih lanjut Dawam Rahardjo berkomentar: Ketika berkunjung ke
Iran bersama Dr. Taufik Abdullah, kami tercengang melihat khazanah
kepustakaan Islam di Universitas Teheran dan perpustakaan Ayatullah
Marashi Najafi di Qum6.
Kajian tentang Syi'ah di
Indonesia, seperti dikatakan oleh Dr. Azyumardi Azra telah dilakukan
oleh banyak ahli dan pengamat sejarah, seperti Hamka7, Baroroh Baried8,
M. Yunus Jamil9 dan A. Hasymi10. Dua yang terakhir, seperti dikatakan
Azyumardi Azra bahkan berargumen bahwa Syi'ah pernah menjadi kekuatan
politik yang tangguh di Nusantara., Keduanya mengatakan bahwa kekuatan
politik Sunni dan Syi'ah terlibat dalam pergumulan dan pertarungan untuk
memperebutkan kekuasaan di Nusantara sejak awal-awal masa penyebaran
Islam di kawasan ini. Menurut mereka, kerajaan Islam yang pertama
berdiri di Nusantara adalah kerajaan Peureulak (Perlak) yang, konon,
didirikan pada 225H/845M. Pendiri kerajan ini adalah para
pelaut-pedagang Muslim asal Persia, Arab dan Gujarat yang mula-mula
datang untuk mengislamkan penduduk setempat. Belakangan mereka
mengangkat seorang Sayyid Mawlana Abd a-Aziz Syah, keturunan
Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syi'ah, sebagai sultan Perlak
11.
Agus Sunyoto, staf Lembaga
Penerangan dan Laboratorium Islam (LPII), Surabaya seperti dilaporkan
Majalah Prospek (10 Nopember 1991), melalui penelitiannya menyimpulkan
bahwa Syaikh 'Abd al-Rauf Al-Sinkli, salah seorang 'ulama' besar
Nusantara asal Aceh pada abad ke-17, adalah pengikut dan penggubah
sastra Syi'ah, bahkan hanya seorang saja dari walisongo di Jawa yang
tidak Syi'ah. Juga Nadlatul 'Ulama (NU) --setidaknya secara
kultural--juga adalah Syi'ah.
Walaupun, baik M.Yunus
Jamil, A.Hasymi dan Sunyoto, seperti dikatakan Dr. Azyumardi Azra,
memberikan argumennya tanpa referensi yang reliable dan memadai juga
tanpa analisis dan logika yang bisa diterima 12 namun deskripsi mereka
setidak menunjukkan satu hal: Bahwa Syi'ah, semenjak lama telah
bersentuhan --setidaknya secara kultural-- dengan masyarakat Indonesia
(Nusantara). Dalam masyarakat NU, pengaruh Syi'ah yang cukup kuat di
dalamnya, secara jelas diakui oleh Dr. Said Aqil Siraj Wakil Katib
Syuriah PBNU. Atau dalam kata-katanya: " Harus diakui pengaruh Syi'ah di
NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan membaca barzanji atau diba'i
yang menjadi ciri khas masyarakat NU misalnya secara jelas berasal dari
tradisi Syi'ah" 13. Maka, ketika diskursus Syi'ah kembali ramai di
Indonesia, bisa saja itu sekadar hembusan kecil dari badai yang sedang
mengganas. Sedang terjadi pemuatan nilai ideologis Syi'ah atas warisan
kultural bangsa Indonesia yang berbau Syi'ah? Mungkin saja.
Saat ini, menurut
keterangan Ahmad Barakbah --salah seorang alumni Qum Iran-- seperti
ditulis redaksi jurnal Ulumul Qur'an, di Indonesia terdapat kurang-lebih
40 yayasan Syi'ah yang tersebar di sejumlah kota besar seperti Malang,
Jember, Pontianak, Jakarta, Bangil, Samarinda, Banjarmasin dan
sebagainya 14. Jumlah masyarakat Syui'ah Indonesia sekarang ini, menurut
ustaz Ahmad, yang benar-benar mengikuti ajaran Syi'ah secara totalitas,
baik pemikiran maupun syari'at, sekitar dua puluh ribu orang 15.
Simpatisannya sudah barang
tentu lebih banyak lagi. Tentunya kajian tentang Syi'ah memang
dibutuhkan. Tidak saja untuk kepentingan akademis dan menguak lebih jauh
tentang sekte tersebut, namun juga ia mempunyai kepentingan ganda:
untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi hubungan Sunnah-Syi'ah di
masa depan. Dalam artikel ini, penulis akan membatasi diri pada visi
hadist dalam wacana keilmuan Syi'ah.
Walaupun demikian, sebagai
pengantar untuk mendekatkan pemahaman konsep hadits tersebut, penulis
merasa perlu mengkaji definisi, akar historis dan sekte-sekte dalam
Syi'ah. Sambil tidak lupa memberikan kontribusi pemikiran bagi hubungan
Sunnah-Syi'ah di masa mendatang, terutama bagi masyarakat Indonesia.
|
30 Tahun Syahidnya Ali Syariati.
|
|
"I have no religion, but if I were to choose one, it would be that of Shariati's."
-Jean-Paul Sartre:
Siang itu, 19 Juni
1977. Dua tahun sebelum impian Ali Syariati (atau Shariati, menurut
ejaan Barat) melihat Iran yang bebas dari cengkraman rezim Syah Iran.
Dosen revolusioner itu ia tewas di London. Misterius. Upacara
pemakamannya menjadi semacam pertemuan tingkat dunia para tokoh
pergerakan dunia ketiga. Di Damaskus, tepat di sebelah makan Zainab Ra
cucu Rasulullah, dipimpin oleh ketua PLP Yassir Arafat, semua tokoh
bawah tanah internasional dunia ketiga berduka mengantar kepergiaannya.
Saya punya kedekatan
khusus dengan Syariati sejak di bangku kuliah (Jurusan Sastra Arab,
Fakultas Sastra UI), sekitar pertengahan 1990-an. Pertama kali lewat Tugas Cendekiawan Muslim (diterjemahkan oleh Amien Rais), khususnya bab Man and Islam.
Baru pada saat tesis S2 di Jurusan Filsafat, saya mengangkat buku itu
sebagai salah satu acuan primer untuk mengkaji pemikirannya tentang
etika (dan eksistensialisme).
Sejak sekolah dasar, ia sudah melahap karya Victor Hugo, Les Miserables, Que sais-je, dan History of Cinema. Dalam
bidang filsafat, ia masuk dalam pemikiran filosof Jerman, seperti
Arthur Schopenhauer, Franz Kafka, dan penyair besar Jerman Anatole
France. Ia memiliki kenangan pertama terhadap karya-karya Maurice
Maeterlink.
Saat di Prancis, ia sudah
akrab dengan pengikut Che Guevara, dan gerakan bawah tanah Kongo. Ia
bahkan bertemu langsung dengan Franz Fanon dan Sartre. Di Iran, ia
bergabung dengan Sayyid Hussain Nashr dan Murtadha Mutahhari dan
menjalankan Hussainiyah Irsyad, sebelum seluruh dewan pendirinya
mengundurkan diri karena semangat revolusioner Syariati yang dianggap
kelewatan.
Bagaimana dampak pemikirannya sekarang? Simak wawancara Ummahonline dengan saya.
Wawancara maya yang cukup
menyegarkan bersama Ekky al-Malaky ini, atau nama sebenarnya Ekky
Imanjaya—yang menyelesaikan tesis sarjana tentang Etika Menurut Pemikiran Ali Shari’ati—diadakan
semata-mata mengenang 30 tahun kesyahidan Ali Shari’ati. Mudah-mudahan,
buah fikiran alumnus Universiti Indonesia ini yang sudi melakarkan
warna-warni pemikiran Shari’ati dapat memberi manfaat buat para pembaca
sekalian.
Pertama, bagaimana mahu mengambarkan sosok sebenar Ali Shari’ati,
yang sering dianggap sebagai insan yang kompleks? Ini memandangkan
Shari’ati bukan sahaja diketahui dekat dengan kelompok Marxisme
—sepertimana simpati yang diberikan oleh khalayak Hezb-e-Tudeh, Sazeman-e Cherkiha-ye Fedayen-e Khalq-e Iran dan Sazeman-e Mojahedin-e Khalq-e Iran
semasa beliau di Universiti Mashhad dan di Husainiyyah Irsyad— tetapi
beliau juga dianggap sebagai crypto-sunni, pro-wahhabi dan pengikut
Babisme oleh kumpulan Ayatollah Milani, serta kalangan mullah dari garis
konservatif. Kemudian, Shari’ati turut terlibat dalam perjuangan
nasionalis menerusi kumpulan oposisi pro-Mossadeq sehingga beliau pernah
dipenjarakan pada tahun 1956. Namun ironinya, latar Shari’ati sendiri
datangnya dari keluarga religius, di mana bapanya Muhammad Taqi
Shari’ati adalah seorang alim yang sangat dihormati di Mashhad. Malah,
menerusi Kavir (yang sarat dengan gaya bahasa Ibn ’Arabi), kita lihat Shari’ati menunjukkan minat yang besar dalam dunia ’irfan
dan sering merujuk tulisannya kepada ahli sufi parsi, Ain al-Quzat
al-Hamadani. Sama juga seperti dalam dunia sastera. Semasa kecil, iaitu
sewaktu kanak-kanak sebayanya asyik bermain, Shari’ati sudah pun
menikmati novel Les Miserables dan menerjemahkan buku tentang Abu
Dharr karya 'Abd al-Hamid Jawdat al-Sahhar. Nah, dengan pendidikan yang
dilaluinya sampailah beliau merangkul Ph.D di Universiti Sorbonne
—sembari di sana bergaul dengan Frantz Fanon, Louis Massignon, Jacques
Berque, Jean Paul Sartre, dll— maka selayaknya Ali Shari’ati itu siapa?
Apa identiti dan idealoginya atas segala warna-warni yang disebutkan
ini? Dan, apakah gelaran yang sesuai untuk kita berikan kepadanya?
Ada
tiga hal untuk membahas persoalan ini. Pertama, gelar yang layak bagi
Shari’ati adalah, seperti yang ia dan pengikutnya sebut: Abu Dharr
Moden. Kedua, ia adalah rausyanfikr, iaitu intelektual yang tercerahkan.
Bahkan ia adalah free-thinker. Manakala ketiga, ia sekadar ”berbicara dengan bahasa kaumnya”.
Shari’ati adalah intelektual sejati yang berjuang atas hati nuraninya dan tidak mahu diperintah oleh orang lain. Ia solitary,
berdiri sendiri dengan bebasnya, tidak terikat dengan mazhab, aliran,
atau golongan/kelompok apa pun. Penghargaannya terhadap ilmu pengetahuan
membuatnya menjadi seorang pelintas mazhab. Ia ”transenden”, di atas
segala batasan. Sebagai seorang intelektual yang tak mahu disebut
ulama’, ia adalah intelektual yang tercerahkan dan ingin mengubah nasib
bangsa dan zamannya dengan segenap kemampuannya.
Ada pun ia berbicara
tentang Shi’ah yang diramu dengan sosiologi dan falsafah Barat, itu
kerana ia sedang ”berbicara dengan bahasa kaumnya” iaitu kaum
terpelajar, mahasiswa. Baginya, agama adalah unsur utama dari budaya
kerakyatan yang menyediakan bagi kaum tertindas suatu alat ideologis
guna untuk berjuang melawan kaum penindas.
Ia bagai Abu Dharr, hidup
sendiri, berjuang sendiri, dan mati sendiri. Ia hidup dan berfikir
dengan penuh kebebasan dan keberanian. Ia memberontak terhadap apa pun
yang ia anggap salah, termasuk kepada kaum mullah yang disebutnya
”despotisme spiritual” seperti yang ia tulis dalam buku Haji.
Charles Kurzman ada memuatkan Ali Shari’ati dalam bukunya Liberal Islam: A Sourcebook.
Begitu juga dengan Ayatollah Mahmoud Taleqani, Mehdi Bazargan dan
Abdolkarim Soroush. Di sini, Kurzman di dapati cuba menghimpunkan
tulisan-tulisan yang dianggap sebagai mewakili kelompok yang liberal.
Pada anda, adakah Ali Shari’ati seorang yang liberal?
Apakah Shari’ati seorang
liberal? Saya kira ini pelabelan yang keliru. Sama persis ketika Islam
Liberal di Indonesia menempatkan Shari’ati bersama Muhammad Natsir dan
Yusof al-Qaradhawi dalam susunan gerakan Islam Liberal. Padahal tidak
sepenuhnya benar.
Saya cenderung menyatakan
bahawa Shari’ati melampaui zamannya, dan mungkin hal ini dimaknai dengan
liberal. Pada masanya, ia boleh berdiri dan bahkan menggabungkan segala
unsur, mulai Islam-Shi’ah hingga Falsafah Barat. Ia menghasilkan banyak
pemikiran yang luar biasa. Semuanya kerana pemaknaan yang mendalam
terhadap Islam. Dan kerana rujukannya sangat luas, maka jadilah sebuah
teori moden tentang Islam. Misalnya tentang konsep Becoming yang
diambil dari eksistensialisme, tapi ia juga mengkritik keras Sartre. Ia
mengambil sebahagian dari Marxisme, tapi ia menyerang Marxisme juga. Ia
mengambil Shi’ah sebagai “bahasa kaum”, tapi kritikannya terhadap
ulama’nya sangat sengit, bahkan ia tak ragu mengambil rujukan kaum
Sunni, yang merupakan musuh pemikiran Shi’ah.
Ada yang melihat
perjuangan Imam Khomeini dan Ali Shari’ati masing-masing memiliki jalur
yang berbeza, meskipun foto kedua-dua tokoh ini rata-rata menghiasi
demostrasi ketika revolusi Islam Iran 1979. Malah, sikap Khomeini
sendiri yang sering mendahulukan Murtadha Muthahhari ketimbang Shari’ati
dilihat memberi tanda bahawa mereka berbeza idealisme. Lebih dramatik,
Pouran-e Shari’ati Razavi, iaitu isteri Shari’ati sendiri pernah
membayangkan Shari’ati akan turut terpenjara—sepertimana yang berlaku
terhadap Ayatollah al-Udzma Hossein Ali Montazeri—sekiranya beliau masih
hidup setelah revolusi Islam Iran 1979. Jadi, bagaimana kita mahu
melihat situasi ini; iaitu hubungan antara Shari’ati dan Imam Khomeini?
Kita sedar, dari satu sudut, Imam Khomeini enggan mengharamkan
karya-karya Shari’ati, terutamanya Eslamshinasi, meskipun ada
gesaan ke arah itu. Namun, mengapakah Pouran-e Shari’ati berani
melakukan kenyataan demikian? Adakah kemungkinan sistem Wilayatul Faqeh
yang diamalkan oleh Republik Islam Iran dewasa ini sukar diterima oleh
Shari’ati? Apakah beliau akan persis termasuk dalam kumpulan seperti
Abdolkarim Soroush, Hashim Aghageri, Laleh Bakhtiar, Abol-hassan
Banisadr, dll?
Imam Khomeini sepertinya
memang tidak terlalu suka dengan pencak Shari’ati, tetapi tidak pula
menentangnya. Bagi saya, ini menunjukkan betapa bijaknya sang Imam. Ini
kerana, baik Shari’ati atau Khomeini, masing-masing sedar bahawa ada
musuh bersama, dan bahawa kedua belah pihak—ulama’ dan intelektual
moden—harus bersatu menumbangkan regim Shah Iran. Apalagi Khomeini cukup
sedar bahawa Shari’ati punya jaringan kuat dengan intelektual luar
negeri. Hal ini terbukti saat Shari’ati ditahan pada tahun 1975,
berbagai gerakan intelektual seperti di Paris dan Algeria mendesak agar
Shari’ati dibebaskan (termasuk Menteri Luar Negeri Algeria ketika itu,
Abdul Aziz Bouteflika yang berbicara pada pertemuan Opec di Algier).
Bahkan, keduanya pernah
bertemu pada 10 Januari 1977, serta berdiskusi di hadapan mahasiswa
tentang isu-isu semasa. Ini terjadi sesaat sebelum Shari’ati hijrah ke
London (8 Jun 1977) dan menjadi syahid pada 19 Jun 1977.
Jika Shari’ati masih hidup
saat Revolusi Islam Iran 1979 berhasil, tentu ia akan bergabung dengan
para intelektual yang bukan ulama’. Dan tentu ia akan terus melancarkan
aksi “pemberontakan intelektual” dan mengkritik segala yang ia anggap
sebagai zalim, termasuk Imam Khomeini itu sendiri.
Bagaimana pula hubungan
Ali Shari’ati dengan Murtadha Muthahhari, yang awalnya sangat akrab
sebelum timbulnya ketidaksenangan Muthahhari terhadap beberapa tulisan
Shari’ati?
Ali Shari’ati dan Murtadha
Muthahhari adalah Pendiri Husainiyyah Irsyad. Tapi Shari’ati dinilai
terlalu revolusioner kerana ceramah-ceramahnya di depan mahasiswanya
cenderung membuat mereka menjadi oposisi Shah Iran (tahun 1969). Ia juga
mengkritik keras ulama’ yang disebutnya ”borjuasi kecil”. Shari’ati
menilai para ulama’ Iran saat itu apatis terhadap kezaliman, sebahagian
pasif kerana mengharapkan Imam Mahdi, sebahagian oportunis. Shari’ati
lalu menunjukkan alternatif: Intizhar-i mushbat (penantian
positif), sebuah upaya mobilisasi Imam Ghaib untuk berinisiatif melawan
ketidakadilan dan mempersiapkan jalan untuk Imam Mahdi.
Kritik Shari’ati terhadap
ulama’ ini membuat Dewan Pimpinan—Muthahhari, Sayyid Hossein Nasr, dan
Hashemi Rafsanjani—mundur. Alasan lainnya, kerana mereka menilai
Shari’ati menyimpang dari tujuan asal Husainiyyah Irsyad kerana terlalu
menekankan kenyataan dan analisa sosiologis menyangkut Islam dan
mengorbankan dimensi intelektualnya. Shari’ati dianggap memperalatkan
Islam untuk tujuan politik dan sosialnya. Hingga menjelang ditutupnya
madrasah ini, ketika musim panas 1973, seluruh Dewan Pendiri, kecuali
Shari’ati, mengundurkan diri.
Apakah anda memikirkan
Ali Shari’ati seorang anti-mullah? Kerana Shari’ati seringkali dilihat
seperti ada kecenderungan demikian, sehinggakan beliau tidak keberatan
’mengejek’ para mullah dengan dengan panggilan Akhund. Lebih drastik
lagi, Shari’ati cuba mendefinisikan Shi’ah dalam dua jalur; Shiisme
Safavid dan Shiisme Alivi, sebagai reaksinya terhadap dogmatik para
mullah. Manakala, bagi para mullah pula, mereka memanggil Shari’ati
sebagai ’munafik’ dan ’marxis dengan baju Islam’. Bahkan, pernah Syeikh
Muhammad Ali Anshari melaungkan, ”kami peringatkan pemerintah Iran,
rakyat Iran, dan ulama’ Iran, bahawa selama seribu tahun terakhir,
sejarah Islam dan Shi’ah tidak pernah bertemu dengan musuh yang lebih
mengerikan dan degil, selain Ali Shari’ati.” Nah, sekerasnya manakah
permusuhan Shari’ati dengan kelompok mullah tradisional ini?
Bukan Mullah yang
dikritik, tetapi sikap dan perilakunya. Shari’ati menaruh hormat pada
beberapa ulama’, seperti Muthahhari dan Imam Khomeini. Bahkan antara
Shari’ati dan Muthahhari sempat akrab. Terbukti, selain keduanya adalah
Dewan Pendiri Hussainiyyah Irsyad, Muthahhari pernah mengundang
Shari’ati menulis tentang sejarah Nabi Muhammad sewaktu tempoh Hijrah
hingga wafat.
Kritik terhadap ulama’,
sudah saya jelaskan di atas. Dan, sebab yang lainnya adalah, bahawa para
ulama’ hanya mengulang-ulang pelajaran yang sama saja, tanpa ada usaha
untuk membangkitkan kesedaran diri rakyat bagi mengubah nasibnya.
Dan, program setelah
revolusi, juga membuat kedua pihak tidak boleh bertemu. Kaum Mullah
tentu saja berpendapat bahawa kaum agamawanlah yang akan mengatur
negara. Tapi, Shari’ati—seraya mengutip Gurvitch—berpendapat bahawa kaum
intelektual merupakan satu-satunya pilihan yang boleh diterima dan
diperlukan setelah revolusi.
Gagasan Ali Shari’ati
tentang rausyanfikr sering dijadikannya sebagai modal serta simbol untuk
membezakan dengan istilah ulama’, akhund mahupun mullah—seperti yang
lazim difahami. Shari’ati, dengan menggunakan model kon dalam A Glance at Tomorrow’s History
menjelaskan mengenai kuasa golongan intelek untuk mempengaruhi golongan
tingkat bawah. Sejauh pengetahuan anda, apakah makna, misi dan visi
tentang rausyanfikr yang paling ideal menurut perspektif yang
dikemukakan oleh Shari’ati?
Rausyanfikr atau free-thinker
biasanya adalah untuk membezakannya dengan ulama’ tradisional.
Lazimnya, istilah ini dipakai untuk intelektual yang berkiblat ke Barat,
tetapi Shari’ati memaknainya dengan berbeza: Orang yang sedar akan
keadaan kemanusiaan (human condition) di masanya, serta reka bentuk
kesejarahannya dan kemasyarakatannya yang memerinya rasa tanggung jawab
sosial. Mereka adalah individu yang sedar dan bertanggungjawab, yang
tujuannya adalah membangkitkan kurnia Tuhan yang mulia, iaitu ”kesedaran
diri” dari rakyat jelata. Kerana hanya kesedaran diri itulah yang mampu
mengubah rakyat yang statik dan bobrok menjadi kekuatan dinamik dan
kreatif yang akhirnya mengubah zaman.
Maka, selama orang itu—termasuk mullah—berada dalam definisi di atas, maka ia menjadi rausyanfikr.
Kita tahu, dalam banyak
tulisan Ali Shari’ati, beliau mengkritik dengan keras aliran
ateis-romantisme yang dikembangkan oleh Sartre dan kelompok
eksistensialisme yang lain. Namun, yang menariknya, Sartre sendiri
pernah memuji Shari’ati setelah kesyahidannya, dengan menyatakan bahawa
dia akan menjadi penganut agama Shari’ati jika terpaksa memilih agama.
Justeru, adakah anda melihat gagasan Shari’ati akhirnya dapat
menumbangkan gagasan Sartre, terutamanya dalam soal etika, kebebasan dan
hati nurani (dhamir)? Malah, kita turut sedar bahawa Shari’ati
sememangnya kental mendukung kepada prinsip-prinsip tauhid (dalam
versinya sendiri), dan ini sudah tentu sangat berbeza dengan
anjuran-anjuran ateistik Sartre.
Shari’ati sangat kagum
dengan eksistensialisme, namun ia juga mengkritiknya dengan keras,
kerana dipandangnya tak sesuai dengan Tauhid yang ia anut, dan juga
keadaan masyarakat Iran yang Shi’ah.
Eksistensialisme Sartre
adalah kemunduran yang disayangkan dari eksistensialisme yang agung,
dari puncak manusia-tuhan (god-man) ke gurun kecemasan yang sia-sia.
Kritik Shari’ati atas Etika, khususnya eksistensialisme Barat adalah
seperti catatan di bawah.
Pertama, absurditi:
Absurditi, kesia-siaan, nihilisme sangat ditentang Shari’ati kerana
berakar dari manusia yang tak punya cita-cita, tujuan, dan makna hidup
dan eksistensinya sendiri. Shari’ati bilang, absurditi disebabkan kerana
manusia terlalu memberikan perhatian kepada hal-hal materialistik.
Eksistensialisme memang
memberi indivisi kenderaan yang disebut keinginan dan kebebasan. Tapi
pada saat yang bersamaan, individu itu ”...sebenarnya tak ada arah yang
harus dituju. Pergilah ke mana pun engkau suka. Kerana, ketahuilah, ke
arah mana pun yang kau pilih, adalah pilihan peribadimu, tak lebih”.
Kedua, sumber moral:
Sumber dan tolok ukur moral Barat sangat ditentang oleh Shari’ati.
Baginya, Barat hendak menyingkirkan segala sesuatu yang berhubungan
dengan ’langit’, termasuk penyangkalan terhadap dimensi Roh Tuhan dalam
diri manusia, kerana semangat Prometheus dalam mitologi Yunani kuno yang
telah berakar dan menjadi pandangan-dunia. Tanpa Roh Tuhan, manusia
tidak boleh Becoming.
Keterpisahan Tuhan dari
Etika ditolak Shari’ati. Kerana, tanpa Tuhan yang mengawasi, maka tak
ada beza antara yang berkhianat dan setia, atau antara orang yang
mengorbankan orang lain demi kedudukan peribadi. Tanpa Tuhan, ibarat
rumah yang kosong, tak ada yang melihat, hingga kita boleh berbuat
seenaknya, tanpa harus bingung bagaimana harus duduk, harus berpakaian,
dan harus bertindak. Jadi, baik dan buruk tidak punya makna intrinsik
dalam alam semesta.
Kebebasan dan keinginan
seorang individu tidak punya arah yang jelas, tergantung dari
masing-masing pilihan peribadi. Padahal, moraliti memerlukan dorongan
dari sesuatu yang mengatasi dan lebih tinggi dari manusia yang tidak
hanya menjawab ”responsibility for” tapi juga ”responsibility to”.
Roubiczec benar saat
mengatakan: “To make sense, responsibility not only ” responsibility
for” but also ”responsibility to” and man himself is insufficient to
give meaning to the latter, unless he at leaset admits the presence of
transcendental elements in his own nature. Morality cannot be
arbitrarily created, it must have authority.”
Dan ketiga, tanggungjawab
dan kebebasan: Tanggungjawab dan kebebasan, bagi Shari’ati, adalah dua
hal yang supranatural dan supramaterial, dan memerlukan unsur ketuhanan
di dalamnya, sebagai Zat yang meminta dan menanyakan pertanggungjawaban
itu. Sementara, bagi Sartre, kedua hal itu berasal dari diri manusia itu
sendiri yang membentuk esensi dirinya. Kalau tanpa ada unsur tuhan,
akan sulit menjawab: ”bertanggung jawab terhadap apa?”.
Pemikiran etika Shari’ati,
walau terpengaruh falsafah Barat, masih berpandangan-dunia Tauhid.
Teorinya unik, kerana berbeza dengan konsep tradisional kaum mullah.
Ini kerana tentu saja
Tauhid sebagai sumber falsafah moral. Dan, Tuhan sebagai Guru Pertama
Manusia, yang disimbolkan saat Tuhan mengajarkan Nama-nama kepada Adam,
dan bukan Dewa yang anti manusia (tidak ada konsep Prometheusian dalam
Islam). Ertinya, manusia diberi bekal tentang ”kebaikan” yang terpancar
lewat hati nurani. Hati nurani ini adalah Roh Tuhan yang ditiupkan yang
membawa manusia untuk berproses (becoming) menuju tuhan. Itulah
kebaikan-bawaan yang disebut dengan fitrah. Dimensi ketuhanan dalam diri
manusia membuat manusia berbeza dengan makhluk lainnya, iaitu memiliki
tiga sifat ilahiah yang menjadi modal untuk becoming: kehendak-bebas, kreativiti, dan kesedaran diri.
Shari’ati masih berpangkal pada etika Islam secara umum: ”berakhlak seperti akhlak Tuhan”, tetapi ia merangkumi konsep becoming (yang ia ubahsuai menjadi ”insan”) untuk menjelaskannya.
Dan, yang patut dicatat, etika Shari’ati adalah otonom dan individual.
Bagaimana pula
perbandingan gagasan Ali Shari’ati dengan Søren Kierkegaard, lebih-lebih
lagi dalam konsep empat penjara (sifat dasar, sejarah, masyarakat dan
ego manusia) seperti yang dinukilkan oleh Shari’ati dalam Man and Islam?
Benar! Empat Penjara
Shari’ati dipengaruhi oleh Kierkeegard. Dan keduanya pun religius, dan
merasa sebagai ”manusia paling kesepian pada zamannya”. Bezanya, tiga
tahap Kierkegaard adalah dalam bentuk jenjang atau tahapan yang harus
dilalui satu demi satu seperti menaiki anak tangga. Sedangkan Empat
Penjara Shari’ati tidak membicarakan tentang tahapan, tetapi keempatnya
adalah hambatan-hambatan yang menghalangi proses becoming menuju
Tuhan. Shari’ati membicarakan hambatan-hambatan berupa penjara-penjara
ynag menghalangi perjalanan menuju Tuhan, sementara Keirkegaard
membicarakan tahapan-tahapan jenjang becoming manusia SETELAH melewati hambatan-hambatan tadi.
Dan, apa pula pandangan
Ali Shari’ati tentang manusia? Kerana, seperti yang di akuinya sendiri,
soal manusia sering menjadi pusat pemerhatiannya?
Shari’ati mempunyai
beberapa istilah seputar konsep manusia, iaitu: makhluk dua dimensi,
insan, khalifah, dan makhluk moral. Keempatnya punya makna berbeza tapi
saling berhubungan satu sama lain.
Sebagai khalifah Tuhan,
manusia harus melakukan tindakan etis seperti tindakan etis Tuhan
(berakhlak seperti akhlak Tuhan). Untuk meniru akhlak Tuhan, manusia
harus selalu senantiasa melakukan proses evolusi (becoming/insan) menuju
Tuhan, kerana hanya dalam modus berada dalam bentuk insan sajalah
manusia memperoleh kebebasan dan mendapat amanat menjadi Khalifah
(wakil) Tuhan).
Kebebasan manusia
diperoleh, kerana manusia adalah makluk dua dimensi, iaitu Roh Ilahi dan
Tanah Lumpur. Unsur Roh Tuhan ini membuat manusia mendapatkan atribut
yang hanya dimiliki Tuhan (kehendak bebas, kreativiti, kesedaran diri),
dan itulah modal untuk becoming. Sifat kebebasan itu membuat insan dibebani dengan tanggungjawab.
Tanggungjawab ini
merupakan titik mula moraliti, dan membuatnya menjadi makhluk moral,
iaitu makhluk yang selamanya dituntut untuk mempertimbangkan kegiatan
hidupnya dalam kriteria baik buruk. Sampai tahap ini, manusia mampu
mengabaikan kehidupan materi, bahkan boleh melakukan altruisme dan
kesyahidan.
Sejauh pembacaan kita,
Ali Shari’ati hampir tidak pernah berbicara tentang Abu Bakr dan Umar,
suatu sosok yang digambarkan sebaliknya oleh kebanyakan mullah Shi’ah,
termasuk oleh Kuliani, Majlisi, al-Qummi, dll. Dan, dalam waktu yang
sama, Shari’ati berbicara dengan fasih tentang Ali bin Abi Thalib,
Salman al-Farisi, Abu Dharr al-Ghiffari, Husain bin Ali Abi Thalib, para
Imam-imam mereka. Memang, di luar lingkungan kita—maksud saya di
kalangan sunni itu sendiri—ada yang mengakui keutamaan tokoh-tokoh
seperti yang dicanangkan oleh Shari’ati ini. Bahkan, Shari’ati dalam
bukunya al-Ummah wa al-Imamah telah mengemukakan sebuah analisa
yang cemerlang ke arah menunjukkan jalan keluar dari konflik Khalifah
dan Imamah—yang sekian lama membelenggu hubungan antara Sunni dan
Shi’ah. Menurut fikiran anda, apakah analisa yang dikemukakan oleh
Shari’ati dalam buku tersebut dapat dijadikan asas serta petunjuk dalam
mendamaikan antara dua belahan ini: Sunni dan Shi’ah? Mengapa? Adakah
ini juga menunjukkan bahawa jalur falsafah sebenarnya lebih berkesan
dari jalur fiqh dalam membentuk kesatuan ummah?
Bukan falsafah, tapi
semangat rausyanfikr membuatnya berkelana mencari rujukan kaum Sunni,
dan lebih jauh lagi, Barat. Semangat untuk tidak terkotak-kotak seperti
katak dalam tempurung. Semangat mencari kebenaran di mana pun letaknya.
Buku Marxism and Other Western Fallacies
merupakan karya Ali Shari’ati yang paling kompleks, malah kadang-kadang
juga yang paling mengelirukan. Kerana menerusi buku ini, Shari’ati
menyatakan sama ada Marxisme mahupun Islam, kedua-duanya adalah
merupakan idealogi yang mencakupi seluruh dimensi kehidupan dan
pemikiran manusia. Namun, dalam detik yang berbeza, Shari’ati kembali
menjelaskan bahawa antara Islam dan Marxisme masing-masing ada juga
perbedaan, terutamanya menerusi ontologi dan kosmologinya. Menurut anda,
apakah pendirian sebenar Shari’ati terhadap Marxisme? Walhal, kelompok
yang beridealogi Marxisme didapati antara yang aktif dalam mendukung
perjuangan beliau, sehingga beliau pernah menyampaikan syarahannya yang
sangat memukau di Masjid Narmak—dengan tema syahadah—semata-mata untuk
meraikan kesyahidan Reza’i, aktivis Marxisme sekaligus mahasiswa beliau
(Reza’i syahid di tembak oleh regim Shah Pahlevi)! Malah, lebih menarik
lagi, Shari’ati cuba menghubungkan sejarah Habil dan Qabil dengan
’perjuangan kelas’, suatu slogan yang identik dengan kaum
materialisme-dialektik ini.
Shari’ati adalah seorang
Marxis yang anti-marxis. Ia terpengaruh banyak oleh Marxisme, khususnya
Neo-Marxisme dari Gurvitch, tapi ia juga banyak mengkritiknya. Ada
hubungan benci-cinta antara keduanya.
Sekali lagi, rausyanfikr
selalu berkelana, namun tidak membuatnya terpesona dan taklid buta. Ia
banyak mengkritik Marxisme. Dan, sekali lagi, ia kala itu sedang
”berbicara dengan bahasa kaum”, iaitu mahasiswa yang ilmiah dan gerakan
kiri. Tapi pengaruh Marx sangat kelihatan. Shari’ati menerima teori
kesedaran kelas dan dialektika dan sejarah, tapi menolak materialisme
dialektika. Ia memodifikasi pertentangan kelas menjadi antara dunia
Ketiga melawan Imperialisme Barat. Ia juga menggunakan paradigma,
kerangka dan analisis marxis untuk menjelaskan perkembangan masyarakat.
Dan tentu saja semangat atheisme yang merendahkan agama ditolaknya.
Shari’ati menyatakan
bahawa Marxisme menolak martabat manusia, dan menghapus kakikat
kemanusiaan dalam sistem kerja sosial dan produksi. Dan hujungnya,
diktatorisme-proletariat menggantikan masyarakat bebas dan kebebasan
bekerja. Manusia diprogram dan direncanakan dari atas, semua individu
dipekerjakan sebagai ganti atas pengingkaran mereka atas sistem mekanik.
Dalam Marxisme, manusia menjadi makhluk yang terbelenggu dan terikat
syarat dan dibentuk. Manusia adalah milik masyarakat, dan masyarakat
adalah produk mesin produksi.
Ada usaha Shari’ati untuk melakukan Marxifikasi Islam, atau malah Islamisasi Marxisme.
Ali Shari’ati turut membawa kita untuk mengenang Fatimah az-Zahra menerusi Fatimah is Fatimah.
Buku ini sungguh memuliakan wanita! Anda tentunya pernah menelaah buku
ini? Apakah inspirasi yang anda perolehi setelah menikmati buku
tersebut? Dan, apakah perjuangan feminisme dan gender— dalam konteks
barat— boleh terjawab dengan kupasan-kupusan Shari’ati ini?
Benar! Seperti yang saya
bilang, ia seorang pelintas batas yang melewati zamannya. Untuk membahas
hal ini, perlu ada kajian lebih lanjut lagi.
Semasa di Universiti
Sorbonne, Ali Shari’ati mula menterjemahkan beberapa tulisan pemikir
Perancis ke dalam bahasa Parsi. Antara tulisan yang diterjemahkan oleh
beliau ialah buku-buku spiritual Alexis Carrel. Malah, pengaruh Carrel
begitu dirasai dalam tulisannya, ad-Du’a. Kemudian, Hajj,
sebuah bukunya yang terkenal, Shari’ati mengajak para pembaca untuk
berfalsafah —lantas meninggalkan pendekatan fiqhi yang sering merantai
penjelasan mengenai Haji. Lebih jauh dari itu, Shari’ati juga telah
mendefinasikan semula konsep Intizhar, yang beliau dapati sering
difahami dalam konteks yang sangat terbatas serta mengelirukan. Jadi,
bukankah kebanyakan apa yang cuba dirombak dan ditafsirkan semula oleh
Shari’ati ini melibatkan soal ritual dalam Islam, suatu usaha yang
barangkali tidak pernah di lakukan dalam tradisi Shi’ah sebelum itu?
Menurut anda, adakah usaha yang sama boleh kita kongsi dalam dunia
Sunni? Dan, tidakkah tindakan sebegini boleh mengugat fundamental agama,
sepertimana yang sudah kental di percayai khalayak?
Pertama yang perlu
perhatikan, Shari’ati bukanlah ulama’ atau mullah. Ia tak punya autoriti
dalam hal ritual keagamaan. Tetapi ia seorang ahli akademik,
intelektual yang punya autoriti dan kapasiti penuh sebagai seorang
ilmuwan sosiologi dan sejarah peradaban (dan bukan falsafah!). ia
hanyalah melakukan pembacaan dari simbol-simbol keagamaan dan
ditafsirkan dengan fikiran dan wawasan yang ia kuasai. Ia melakukan
pemaknaan agar agama menjadi modal utama untuk menjadi relevan dengan
kondisi zaman dan rakyat saat itu—dan kala itu semangat revolusi
anti-regim Shah yang sedang marak.
Jadi, masalahnya bukanlah
apakah ia berkongsi dengan Sunni atau gerakan dalam tradisi Shi’ah. Tapi
seorang pemikir yang terdidik secara Barat yang melakukan pendekatan
kepada konsepsi agamanya untuk menjadi modal utama dalam melakukan
revolusi. Jadi, pendekatannya bukan mullah/agamawan, tetapi seorang
rausyanfikr sejati yang ingin melakukan perubahan dan menggerakkan
rakyat. Ia ”sekadar” berbicara dengan bahasa kaumnya, Iaitu bahasa
Islam-Shi’ah dan bahasa kaum intelektual.
Saya melihat, dari
semangat pemaknaan, hal ini juga dilakukan oleh Ary Ginanjar Agustian
dengan ESQ Leadership Center (tempat saya sekarang bekerja). Pak Ary
bukanlah ulama’ atau ustadz, tapi ia melakukan pemaknaan atas konsepsi
Ihsan, Iman, dan Islam dengan pendekatan kecerdasan emosi (EQ) dan
kecerdasan spiritual (SQ). Tentu saja konteks ruang dan waktunya (alias
jiwa zaman/zeitgeist) sangat berbeza dengan Shari’ati.
Di antara banyak-banyak
karya Ali Shari’ati, yang manakah menurut anda paling memberi kesan
pada diri anda. Dan, apakah buah fikirannya yang paling besar untuk
kemanusiaan sejagat? Mengapa anda berbicara demikian?
Man and Islam
adalah buku yang inspiratif bagi saya. Kerana dipadati oleh
konsepsi-konsepsi dasar pemikiran Shari’ati. Selain tentang falsafah
manusia, di buku itu dibahas tentang Empat Penjara yang membahas tentang
insan dan basyar, dan juga Pandangan-Dunia tang membicarakan
falsafah sejarah Qabil dan Habil, juga kritik atas falsafah Barat. Buku
ini, dan juga Marxism and Other Western Fallacies menjadi buku rujukan utama dalam penghasilan tesis saya di jurusan Falsafah, Fakulti Ilmu Budaya, Universiti Indonesia.
Tapi, tentu saja, magnum opus Shari’ati adalah Haji. Di sinilah puncak pemikiran Shari’ati, dengan pemaknaan yang sama sekali original dan baru tentang ritual-ritual haji.
Terakhir, tahun ini
(2007) genaplah 30 tahun syahidnya Ali Shari’ati. Sudah tiga dekad
Shari’ati meninggalkan kita. Selama itu, wawasan Shari’ati masih hidup
dan bergema di celah-celah suara kemanusiaan! Terkenang juga kita kepada
teriakan Shari’ati mengutuk 5,000 tahun ketidakadilan, penindasan dan
diskriminasi kelas—sebagai reaksinya terhadap 2,500 tahun perayaan
monarki di Iran pada tahun 1971. Namun, di sebalik tiga dekad ini,
nampaknya ada sisi-sisi Shari’ati yang makin dilupakan oleh kita. Apakah
anda turut berfikir demikian? Dan, apakah sisi-sisinya serta ragam
dimensinya yang harus kita peringatkan kembali, terutamanya kepada
generasi muda dewasa ini?
Semangat rausyanfikr yang open mind dan berkelana mencari kebenaran dari tempat mana pun sungguh sebuah semangat yang harus ditiru. Tanpa harus menjadi totally liberal
(misalnya dengan meninggalkan Tauhid), Shari’ati telah menjadikan agama
menjadi kontekstual pada zamannya dan berusaha menjadi agama sebagai
jawaban atas keperluan rakyat dan zamannya.
Sebagai intelektual, ia
tidak berdiri di menara gading, atau berumah di awan, tetapi konkrit
turun ke masyarakat menjawab cabaran zaman. Dan, usaha untuk penyegaran
pemahaman keagamaan dengan penafsiran baru diperlukan sebagai usaha
pembaharuan agama.
Saya kira, sumbangan
terbesar pemikiran Shari’ati adalah menerjemahkan kosa kata agama dalam
kosa kata agama dalam kosa kata falsafah. Ia juga menjadi jambatan
dialog antara agama dan falsafah, juga antara teori dan praktik.
Konsep Masyarakat dalam Pandangan Ali Syariati.
Oleh: Ismail Amin Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran.
Kekuasaan
politik disimbolkan dengan tokoh Firaun sebagai lambang penindas,
kekuasaan ekonomi dilambangkan oleh tokoh Qarun sebagai lambang kapital
dan kapitalisme, dan kekuasaan intelektual-religius dilambangkan oleh
tokoh Bal'am sebagai simbol kemunafikan
Revolusi Islam Iran (1979)
selalu menarik untuk dikaji. Theda Skocpol, dalam Social Revolutions in
the Modern World, mengkategorikan Revolusi Islam Iran sebagai salah
satu revolusi sosial terbesar dunia di samping Revolusi Perancis, Rusia,
dan Cina.
Revolusi Islam Iran bukan hanya lahir dan terledakkan dari ketidakpuasan
kelompok elit mullah (religious scholars) terhadap kebijakan Syah
Pahlevi yang berusaha memangkas peran agama dalam fungsi sosial politik,
namun juga merupakan akumulasi kekecewaan dan ketidakpuasan seluruh
komponen bangsa Iran.
Eric Rouleau mengatakan, Revolusi Iran merupakan satu-satunya revolusi
religius yang bahkan kelompok minoritas pun mendukung dan ikut berperan
dalam prosesnya. Karenanya, jika dilakukan pencermatan lebih jauh maka
sesungguhnya ada dua ideologi besar yang menggerakan jalannya Revolusi
di Iran.
Ideologi religius yang diusung para ulama berbasis pendidikan Hauzawi
(pesantren) di antaranya oleh Imam Khomeini dan Syahid Murtadha
Muthahari dan konstruk ideologi semi religius, yang dibawa oleh kaum
intelektual berlatar pendidikan sekuler di antara tokohnya adalah Ali
Syariati dan Bani Sadr.
Meskipun mempunyai misi yang sama dalam menggulingkan pemerintahan
monarki Pahlevi namun tidak jarang kedua kelompok ideologis ini saling
berhadap-hadapan dalam merebut pengaruh.
Mohammad Subhi-Ibrahim dalam salah satu artikelnya menuliskan, bahwa
John L Esposito pernah mengungkapkan, dalam Revolusi Islam Iran kaum
Mullah khususnya Imam Khomeini lebih berperan sebagai pemimpin revolusi
yang berbekal kekharismaan mampu menyatukan gerakan-gerakan revolusioner
yang berbeda-beda namun perumus dan penyedia ideologi revolusinya
sendiri adalah dari kaum intelektual, utamanya Ali Syariati.
Bahkan menurut Nikki R Keddie, "Ali Syari'ati-lah yang telah sangat
mempersiapkan kaum muda Iran untuk perjuangan revolusioner itu". Tulisan
ini secara singkat memaparkan konsep pemikiran sosial Ali Syariati
tentang masyarakat dan klasifikasi kelas sosial.
Biografi Singkat.
Ali Syariati yang terlahir tahun 1933 di Mazinan , Iran, dikenal sebagai
manusia yang kompleks, hampir berbagai gerakan-gerakan revolusioner di
Iran merasa memilikinya. Ide-idenya menjadi sumber inspirasi kelompok
Marxisme Iran semisal Hezb-e-Tudeh dan Sazeman-e Mojahedin-e Khalq-e
Iran.
Ia juga terlibat dalam gerakan perjuangan nasionalis dan bergabung dalam
kelompok oposisi pro-Mossadeq, kritikan-kritikannya terhadap
ulama-ulama Syiah yang menurutnya konservatif membuat dia dianggap
sebagai crypto-sunni dan pro-wahhabi.
Namun, sebagai anak dari Muhammad Taqi Shari'ati, seorang ulama besar
yang sangat dihormati di Masyhad mengakrabkannya dengan tokoh-tokoh
Hauzawi dengan mendirikan Hussainiyah al-Irsyad bersama Sayyid Hussain
Nashr, Hashemi Rafsanjani dan Murtadha Mutahhari. Meskipun pada
akhirnya ketiganya mengundurkan diri dari Dewan Pimpinan karena semangat
revolusioner Syariati yang dianggap kelewatan.
Ali Syariati meraih gelar doktoralnya di Universiti Sorbonne, sembari
bergaul dengan Frantz Fanon, Louis Massignon, Jacques Berque dan Jean
Paul Sartre. Dalam bidang filsafat ia masuk dalam pemikiran filosof
Jerman, seperti Arthur Schopenhauer, Franz Kafka, dan penyair besar
Jerman Anatole France.
Selama di Perancispun ia akrab dengan pengikut Che Guevara, dan gerakan
bawah tanah Kongo. Dengan pergaulan yang demikian luas dengan ideologi
yang berwarna-warni maka Ali Syariati termasuk diantara pemikir yang
sulit teridentifikasi. Pengagumnya lebih cenderung menggelarinya sebagai
Rausyan Fikr, intelektual yang tercerahkan.
Konsep Masyarakat.
Menurut Syariati, polarisasi masyarakat terdiri atas dua kutub yang
dialektis. Dalam konsepnya dia mengistilahkan kutub Habil dan kutub
Qabil, mengambil nama dan karakter dua anak Adam as. Syariati menyebut
kutub Qabil sebagai kelas penguasa, yang merupakan pemilik kekuasaan,
diantaranya politik, ekonomi dan kekuasaan religius.
Kekuasaan politik disimbolkan dengan tokoh Firaun sebagai lambang
penindas, kekuasaan ekonomi dilambangkan oleh tokoh Qarun sebagai
lambang kapital dan kapitalisme, dan kekuasaan intelektual-religius
dilambangkan oleh tokoh Bal'am sebagai simbol kemunafikan.
Ketiga poros kekuasaan ini saling menunjang dan bekerja sama. Firaun
merestui Qarun melakukan perampokan sistematis dan penguasaan atas
pasar. Qarun memberikan jaminan finansial dan mendukung kerja
intelektual Bal'am sementara Firaun memberikan jaminan politis.
Dan Bal'am sendiri menyediakan basis doktrin untuk membenarkan rezim
Firaun dan penguasaan ekonomi Qarun. Ali Syariati menyebut. ketiga
komponen penopang kekuasaan Qabil sebagai trinitarianisme-sosial.
Sedangkan kutub Habil adalah representasi kelas yang dikuasai, yang
ditindas. Kutub Qabil merupakan penjelmaan kelas rakyat (an-nas) yang
tercakup di dalamnya: orang-orang tertindas, yang diekploitir dan kaum
lemah.
Menariknya, menurut Syariati, Allah dalam konfrontasi kedua kutub
masyarakat ini Allah SWT memihak pada kutub rakyat (Habil). Bahkan,
Syari'ati berpendapat bahwa dalam beberapa ayat al-Quran Allah
bersinonim dengan An-Nas. Misalnya, dalam surah At-Tagabun ayat 17,
"Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik".
Syari'ati menjelaskan bahwa Allah yang dimaksud dalam ayat ini adalah
an-nas (rakyat), karena Allah sama sekali tidak membutuhkan pinjaman.
Ketika disebutkan, "langit, bumi, di antara keduanya dan di bawah perut
bumi adalah kepunyaan Allah", maka dimaknakan bahwa semuanya itu adalah
milik rakyat, bukan milik Qarun (perorangan). Selanjutnya, bila
dikatakan, "Segala sesuatu akan kembali kepada Allah", maka itu
dimaksudkan bahwa keseluruhan manfaat dari kekayaan alam diperuntukkan
bagi kemakmuran dan harus kembali kepada rakyat banyak bukan hanya
dinikmati kelompok tertentu.
Menurut Syari'ati, rakyat merupakan wakil-wakil Allah (the
representatives of God) sekaligus keluarga-Nya (al-nas iyalu 'Llah).
Syari'ati menyebutkan pula adanya fakta bahwa al-Quran dibuka dengan
nama Allah dan diakhiri dengan nama rakyat (an-nas). Kakbah, kiblat umat
Islam disebut sebagai rumah Allah (house of God), bukanlah dimaksudkan
Allah butuh rumah melainkan rumah itu adalah milik semua orang (rakyat)
dan Makah disebut pula al-bayt al-'atiq yang artinya adalah kebebasan.
Tentu saja penyamaan an-Nas dengan Allah hanya dalam wacana sosial bukan
wacana aqidah. Dalam ranah teologis tetap tidak bisa disamakan antara
Allah dengan An-Nas, namun dalam ranah sosiologis, menurut Syariati,
keduanya adalah sinonim. Siapapun bisa tidak sepakat, namun inilah
sumbangsih pemikiran Syariati yang mampu menerjemahkan kosa kata agama
dalam kosa kata sosiologis.
Menurutnya Islam adalah kekuatan yang menjadi pisau tajam yang
memprakarsai sebuah perjalanan baru sejarah sosial Islam. Islam tidak
semata-mata memuat deretan do'a namun juga perlawanan yang bergelora
untuk memberikan manfaat kepada sebanyak-banyaknya manusia. Jean Paul
Sartre berkata, "Saya tidak memiliki agama, namun jika harus memilih
salah satu, kupilih agamanya Syariati"
***
FILSAFAT SEJARAH MENURUT ALI SYARI'ATI (1933-1977).
Islam
menggambarkan sebuah pandangan dunia yang mencakup seluruh segi
kehidupan, selain memperhatikan masalah-masalah yang dihadapi umat
manusia, Islam juga memberikan bimbingan dalam masalah sosial. Menurut
Ali Syari'ati, Islam merupakan sebuah Mazhab pemikiran yang menjamin
kehidupan manusia baik individu maupun kelompok, dan misinya adalah
membimbing masa depan umat manusia. Islam adalah sistem nilai dan ajaran
yang bersifat Illahiyah dan karena itu bersifat transenden, tetapi dari
sudut pandang sosiologis ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan
realitas sosial yang tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat
menjamin dan menjagat raya, tetapi juga mengejawani bahkan
institusi-institusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dinamika dunia
dan waktu.
Ali Syari'ati adalah salah satu tokoh yang secara intelektual dididik
dan dibesarkan dalam tradisi keagamaan yang kuat, dan dunia keilmuan
yang kritis. Ali Syari'ati dengan gagasan pemikirannya tentang Islam dan
pembaharuan telah menjadi salah satu alternatif bagi pemikiran sisoal,
politik kontemporer. Hal ini dibuktikannya dengan sebagai seorang
ideologi dan orator, serta penulis terutama tulisannya mengenai filsafat
sejarah. Ali Syari'ati sangat tertarik dengan Filsafat Sejarah, dalam
karyanya yang berjudul Tarikhi Takammuli Falsafi (Sejarah Perkembangan
Filsafat), ia berupaya membedakan antara Islam dengan mazhab Filsafat,
politik, dan sosial ekonomi atau dikenal dengan nama Maktab-evasetheh-e
Islam (Jalan Tengah Islam). Islam adalah Median School atau Mazhab
pertengahan antara sosialisme dan kapitalisme. Hal ini sangat menarik
mengingat filsafat sejarah yang berkembang pada saat itu mencampur
adukkan antara Islam dengan Mazhab yang ada, sehingga Ali Syari'ati
berusaha membuka wawasan masyarakat, dengan pemikiran Filsafat Sejarah
Ali Syari'ati pada nantinya akan mempengaruhi perkembangan Filsafat
Sejarah sampai saat ini.
Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada masalah-masalah yang
berkenaan dengan pemikiran Ali Syari'ati tentang Filsafat Sejarah yang
terimplementasikan dalam perkembangan Filsafat Sejarah masa kini serta
ideologi yang melatarbelakanginya.
Teori yang akan dipakai dala penelitian ini adalah teori perubahan ide
yang dikembangkan oleh William Watt yang menyatakan bahwa timbulnya ide
karena peristiwa yang mendahuluinya, sedangkan ide itu sendiri akan
melahirkan ide lagi.
Sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan perilaku (Behavioral
Approach). Teori ini berhubungan dengan penelitian tingkah laku manusia.
Teori ini tidak hanya tertuu pada peristiwanya, tetapi tertuju pada
perilaku sejarah dalam situasi riil serta bagaimana perilaku menafsirkan
situasi yang dihadapi. Penafsiran tersebut memunculkan suatu tindakan
yang menimbulkkan suatu kejadian dan khayalan maupun yang tidak
diharapkan. Ali Syari'ati berupaya menginterpretasikan situasi riil,
yang menjadi rangsangan dari sikapnya, sehingga mampu mengimplemetasikan
pemikiran Filsafat Sejarahnya.
Teologi Sejarah (Abstraks Skripsi: Konsep Sejarah Menurut Ali Syariati).
Oleh: AHMAD SAHIDIN
Dr. Ali Syari’ati (1933-1977) adalah seorang intelektual Muslim Iran.
Sebagai pemikir, ia punya pandangan bahwa Islam adalah agama progresif.
Yakni sebuah sikap dari ketidaktundukkan pada kemapanan dan anti
kezaliman yang kemudian melakukan resistensi dengan apa yang disebutnya
sebagai Islam protes. Islam versi penafsiran Syariati ini sangat yakin
bahwa Islam itu bersifat dinamis dan dalam mewujudkannya harus
disesuaikan dengan tingkat kebutuhan zaman. Karenanya, untuk
mewujudkannya umat Islam harus berani melakukan penafsiran terhadap
nash-nash agama (al-quran dan tradisi kenabian) secara kontekstual atau
sesuai dengan jiwa zamannya. Hal yang demikian, menurut Syariati,
apabila dilakukan oleh kaum intelektual Muslim yang tercerahkan dapat
membangkitkan dan menumbuhkan kembali khazanah Islam yang sudah
dilupakan umatnya.
Dengan sikap penentangan Syariati terhadap pemerintahan Muhammad Reza
Pahlevi yang dikenal rezim tiranik (zalim) telah membawa keberhasilan
kaum revolusioner Iran dalam Revolusi Islam Iran di Abad XX Masehi.
Karena itulah Syari’ati dianggap sebagai salah seorang yang menegakkan
kembali nilai-nilai Islam agar terbebas dari hegemoni dan dominasi dari
kekuatan maupun kekuasaan tertentu.
Dalam konteks revolusi Islam Iran, Syariati tidak hanya berperan sebagai
“arsitek” Revolusi Islam Iran yang menyuntikkan spirit perlawanan kaum
tertindas (mustadhafin) terhadap pemerintah zalim dan sistem kekuasaan
yang menindas (mustakbarin), bahkan telah mengupayakan adanya proses
integratif antara khazanah Islam dan Barat sehingga menjadi satu
kesatuan yang melahirkan gagasan-gagasan baru. Bukan hanya konteks
sosial kultural masyarakat Iran yang dianalisis lewat interpretasi teks
suci (nash-nash), tetapi juga konsep-konsep atau pemikiran-pemikiran
yang berkembang saat itu diperbarui menjadi sesuatu yang segar dan
mencerahkan (secara intelektual). Contohnya dalam pemikiran kesejarahan
yang dihasilkannya atas penafsiran al-quran dan realitas sosial kultural
yang ada dan dialaminya sehingga menjadi sebuah konsep sejarah.
Konsep sejarah versi doktor sejarah lulusan Universitas Sorbone,
Perancis, ini berbeda dengan para pemikir atau filsuf sejarah lainnya
yang hanya berbicara secara teoritis saja. Bagi Syariati, sejarah sangat
berkaitan dengan ruang dan waktu serta berkenaan pula dengan sejarah
masa depan.
Berkenaan dengan konsep sejarah versi Ali Syariati ini, penulis mencoba
menelaah dan mengkajinya dengan tujuan mengetahui konsep dan
pemikiran-pemikiran kesejarahan yang dikemukakannya.
Adapun pendekatan yang dipakai adalah deskripsi analitis, yaitu
menjelaskan dan memaparkan data-data yang diperoleh dengan
analisa-analisa yang relevan dengan masalah tersebut. Penulis melakukan
analisa terhadap karya-karya tulis Ali Syariati dan beberapa tulisan
dari para cendekiawan Muslim Indonesia dan ilmuwan lainnya yang menulis
tentang Syariati.
Dari pendekatan tersebut penulis menemukan bahwa konsep sejarah yang
dikemukakan Syariati berlandaskan pada paradigma modern (Barat) dan
nilai-nilai Islam (Al-Qur’an) yang diramu menjadi satu konsep, yaitu
Teologi Sejarah (Islam).
Konsep ini berkenaan dengan konteks manusia dalam ruang dan waktu, yang
dalam aktivitasnya menghasilkan perubahan-perubahan sejarah. Menurut
Syariati, perubahan sejarah terjadi karena dialektika dua kutub, yang
disimbolkan dengan Habil dan Qabil sebagai konflik awal peradaban
manusia, yang berakhir dengan peniadaan pada salah satu pihak.
Dialektika dua kutub inilah yang menjadikan sejarah terus-menerus
berkembang secara dinamik. Dalam pemikiran ini, Syari’ati dipengaruhi
wacana pemikiran dialektika historis dan materialisme historis yang
dikembangkan G.W.F. Hegel dan Karl Marx.
Bahkan menurut Syari’ati, bahwa perubahan sejarah tidak hanya terjadi
karena dialektika dua kutub yang bersifat alamiah, akan tetapi dengan
kehendak untuk berubah dengan cara berhijrah (migrasi) dari satu tempat
ke tempat lainnya adalah hal yang mendasar dari perubahan dan
perkembangan dalam peradaban umat manusia.
Maka dilektika dua kutub dan hijrah adalah proses dari adanya
perubahan-perubahan yang berkelanjutan menuju akhir sejarah. Akhir
sejarah yang dimaksud adalah lebih berupa upaya-upaya untuk menyongsong
masa depan. Dalam hal ini, segitiga kerucut adalah metode yang coba
ditawarkan Syari’ati dalam rangka melihat atau menengok sejarah masa
depan.
Namun kepastian akan adanya sejarah masa depan tersebut sangat
berhubungan dengan doktrin Imamah Syi’ah, yaitu penantian terhadap Imam
Mahdi sebagai “pembebas dan penyelamat” umat manusia dari berbagai
bentuk kezaliman dan yang menjadi pemenang sekaligus pemegang tonggak
“kebenaran” di akhir zaman.
Meskipun yang mencetuskannya seorang Muslim-Syiah, tapi pemikiran ini
sangat berguna untuk membaca atau meneropong bagaimana masa depan
sejarah umat manusia, khususnya umat Islam, dengan menggunakan konsep
dan metode historis yang digulirkannya. Penulis yakin bahwa sekarang ini
umat Islam sudah dewasa dan bisa melihat segala persoalan dengan penuh
kearifan sehingga paradigma sekterian dan dogmatisme ajaran bukan
perkara yang urgen untuk dipersoalkan lagi. Kebenaran dan hikmah bisa
datang dari siapa pun dan bersifat lintas ruang dan waktu, bahkan zaman.
Yang perlu dipersoalkan adalah seberapa besar kontribusinya bagi umat
Islam.
PENULIS, alumni Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Ali Syariati; Sosok Aktifis Idealis
“Seorang
intelektual tercerahkan adalah ia dengan tangan yang sama menuliskan
ayat-ayat suci dari langit serta terbenam dalam genangan lumpur dan
mengayunkan kayu untuk menyuburkan tanah yang kering, ia berdiri tegak
memperjuangkan ayat-ayat Allah dan hak-hak masyarakat”. (Ali Syari’ati)
Beberapa waktu lalu ada sebuah tulisan tentang ‘Makna Haji Menurut Ali Syari’ati’,
yang ditulis oleh salah seorang kompasianer, merasa memiliki apresiasi
yang sama terhadap Ali Syariati, saya pun mencari-cari data dalam
computer tentang Ali Syari’ati yang pernah saya tulis sebelumnya namun
belum pernah dipostkan di blog manapun. Walaupun penulis sudah
memberikan link tentang riwayat hidup Ali Syariati, namun dengan apologi
‘membaca adalah persfektif dan tak ada persfektif tanpa menuliskannya
kembali’, saya pun memberanikan diri untuk mengepostkannya. Dengan
harapan dapat sharing bersama kompasianer lainnya yang gandrung terhadap
dunia pemikiran dan perubahan-menjadi manusia tercerahkan sesuai dengan
jargon Ali Syari’ati. Namun tentu saja alasan yang paling menonjol
bukan semata-mata berlajar menulis, namun karena di dalam diri Ali
Syariati ada semangat yang dapat kita tiru, SEMANGAT MENULIS,
menggerakan orang dengan MENULIS.
Diantara
kita barangkali ada yang belum mengenal sosok Ali Syari’ati, siapakah
sebetulnya Ali Syari’ati? dan apa gunanya juga mengenal sosok
Syari’ati?. Bagi teman kita yang gandrung terhadap pemikiran (Islam)
khususnya, barangkali tidak ada yang asing dengan sosok Ali Syari’ati,
ia adalah salah satu arsitek intelektual Revolusi Islam Iran yang mampu
menggerakan para pemuda dan kaum buruh untuk bergerak melakukan
perlawanan terhadap rezim pemerintahan saat itu. Dalam litertur tentang
revolusi Islam Iran, Ali Syariati tidak disebut-sebut, yang muncul ke
permukaan adalah Ruhullah Ali Khomeini, pemimpin spiritual dan sekaligus
pemimpin tertinggi Iran dan beberapa Intelektual seperti Murthadha
Muthari yang berada di barisan para ulama juga Sayeed Hosein Nashr.
Sedangkan Kenapa Ali Syariati tidak disebut-sebut? Inilah salah satu
permasalahannya. Ali Syariati tidak berada dalam barisan ulama, ia
berada di barisan para intelektual dan menggerakan kampus-kampus di
Mashad. Bahkan ia menjadi salah satu orang yang membenci ulama karena
konspirasinya dengan rezim Pahlevi sehingga dibenci oleh sebagian ulama.
Padahal dalam biografinya Ali Syariati adalah orang yang dicari-cari
oleh intelijen Iran saat itu, dan pada akhirnya berhasil dibunuh, karena
selain menggerakan mahasiswa di Iran, ia juga menggerakan mahasiswa
Iran yang berada di Eropa khususnya yang berada di Prancis. Dengan
Tulisan serta gerakan politiknya Ali Syariati dituduh sebagai otak utama
dalam gerakan menentang pemerintah hingga akhirnya dia dibunuh oleh
Moshad-agen rahasia Iran saat itu.
Kelahiran.
Jhon L. Esposito dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic Word,
seperti dikutif oleh Malaky, menyatakan bahwa sulit menentukan biografi
intelektual Syariati yang otoritatifif. Banyak sisi kehidupan Syari’ati
yang tetap tersembunyi. Salah satu buku yang cukup lengkap perihal
Syari’ati dikarang oleh Ali Rahnema berjudul ‘An Islamic Utopian A political Biografhy of Ali Syari’ati’ atau dalam versi terjemahannya ‘Biografi Politik Ali Syariati.
Syari’ati
dilahirkan pada tahun1933 di kota Mazinan, sebuah desa kecil dan
tradisional di pinggiran Gurun Pasir Kavir dekat Mashad bagian dari kota
Sabzevar, Propinsi Khorasan Iran. Ali Syari’ati merupakan anak pertama
dari pasangan Muhammad Taqi Syariati dan Zahra. Kelahirannya bertepatan
dengan periode ketika ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan
mulai mengajar di sebuah Sekolah Dasar Syerafat. Sya’riati lahir dari
keluarga terhormat dan ta’at beragama, suka membantu masyarakat dan zuhud. Dalam keluarga ini ritual keagamaan ditunaikan secara seksama.
Pendidikan.
Menurut
Ali Rahnema, Syariati mulai membentuk mentalitas, kepribadian dan jati
dirinya lewat peran seorang ayahnya yang menjadi guru dalam arti
sesungguhnya dan dalam arti spiritual. Syari’ati kecil mulai belajar
menimba ilmu pendidikan dasarnya di Masyhad, yaitu Sekolah Dasar Ibn
Yamin, tempat ayahnya mengajar. Selama pendidikan dasarnya ini Syari’ati
termasuk orang yang tidak terlalu memperhatikan pelajaran seolahnya. Ia
lebih senang membaca buku-buku yang tidak ada hubungannya dengan
pelajaran sekolah. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan
milik ayahnya hingga menjelang pagi. Hal ini ia lakukan bersama
ayahnya. Kendati demikian ia selalu mengikuti ujian dan selalu naik
kelas pada setiap tahunnya.
Seperti dikutif Rakhmat:
“Ayahku
telah membentuk dimensi pertama dari jiwaku. Dialah yang pertama
mengajarkan kepadaku seni berfikir dan seni memanusia. Segera setelah
ibuku menyapihku, ia memberikan padaku kelezatan kebebasan, kemuliaan,
kesucian, keteguhan, keimanan, kebersihan ruhani dan kebebasan hati.
Dialah yang memperkenalkan aku kepada sahabat-sahabatnya-buku-bukunya.
Buku-buku itu telah menjadi sahabatku dan abadi sejak tahun-tahun
pertama masa sekolahku. Aku tumbuh dan berkembang di perpustakaanya,
yang baginya adalah seluruh kehidupan dan keluarganya. Banyak sekali hal
yang seharusnya aku pelajari pada waktu dewasa dan dengan waktu yang
lama serta perjuangan yang panjang, telah diberikan oleh ayahku, sebagai
hadiah dimasa kecilku, secara sederhana dan spontan. Sekarang
perpustakaan ayahku menjadi dunia yang penuh kenangan berharga bagiku.
Masih dapat kuingat setiap bukunya, bahkan sampai bentuk jilidnya.
Ayahnya, Sayyid Muhammad Taqi Syariati adalah seorang guru dan mujahid besar pendiri Markaz Nasyr ar-Haqa’iq al-Islamiyah (Pusat
Penyebaran Kebenaran-kebenaran Islam) di Masyhad. Sekaligus salah
seorang dari putera-putera pergerakan pemikiran Islam di Iran. Sepanjang
empat puluh tahun, Dia telah memberikan pengabdian yang amat berharga
kepada dakwah dan pencerdasan pemikiran logis ilmiah Islam dalam bentuk
yang seirama dengan kemajuan zaman. Taqi Syariati adalah orang yang
berada di barisan paling depan dari kalangan orang-orang yang bergiat
dalam mencerdaskan para pemuda alumni pendidikan tinggi agar mereka
mengoreksi konsep-konsep Barat yang sesat dan materialisme yang kosong,
untuk kemudian berpegang teguh pada Islam yang memancarkan cahaya yang
memerangi kehidupan. Syariati banyak menyerap pancaran pribadi ayahnya
yang dianggap sebagai pembaharu dan pengabdi ilmu. Kebanggaan dan
kekaguman Syariati terhadap sosok sang ayah pun akhirnya mengantarkan
pemikirannya sampai pada kesimpulan bahwa ayahnya adalah seorang
mujaddid, pembuat bid’ah yang menyimpang dari tradisi lama yang berkembang dalam masyarakat. Syariati dibesarkan dalam tradisi seperti itu.
Begitu
besar peranan sang ayah dalam mempengaruhi kecerdasan dan
kecendikiawanan Syari’ati. Lewat ayahnya ia diajak untuk memasuki
wawasan dan pandangan-pandangan dunia secara dewasa, menelaah beragam
literatur yang secara bebas ia dapatkan di perpustakaan pribadi ayahnya.
Perilakunya cenderung menyendiri dan perkembangan pendidikannya di
rumah membuat Syari’ati lebih mandiri di tengah masyarakat. Hal ini
kemudian melahirkan kebanggaan tersendiri yang mendalam bagi dirinya.
Syari’ati
tidak hanya menimba ilmu dari sang ayah, ia juga banyak belajar dari
kakeknya yang juga seorang faqih dan filosof serta dari pamannya.
Syari’ati mewarisi peninggalan tradisi keilmuan dan kemanusiaan
kakek-kakeknya. Syari’ati belajar banyak hal dari kehidupan
kakek-kakenya yang suci, terutama pilsafat mempertahankan jati diri
manusia pada masa ketika segala macam kefasikan dan dekadensi
merajalela, yang membuat seseorang sulit mempertahankannya saat dia
hidup pada zaman yang kebutuhan kita terhadap jihad hari ini jauh lebih
mendesak ketimbang masa-masa lalu.
Selain
pendidikan kehidupan dan agamanya yang didapatkan langsung dari orang
tua dan warisan keluarganya, Syari’ati pun menempuh sekolah formalnya di
Sekolah Dasar Ibn-e Yasin Sekolah menengah pertama Firdowsi di Masyhad.
Selama menempuh pendidikannya ini Syariati belajar dua bahasa
sekaligus, Bahasa arab dan Bahasa prancis. Mempunyai bakat alamiah
terhadap pengajaran, Syariati masuk Institute Pelatihan Guru di Masyhad,
dan setelah dua tahun ia mendapat sertifikat sebagai seorang
instruktur. Dalam Usia muda-delapan belas tahun, Syariati memulai
karirnya sebagai seorang guru di sebuah desa. Syariati melanjutkan
studinya tahun 1960 di Universitas Mashad hingga mendapat gelar B.A..
Haus akan ilmu membuatnya tidak puas akan pengetahuan, sehingga
mendorongnya menjadi yang terbaik ketika Dia mendapat rekomendasi dan
beasiswa ke Universitas Sorbonn Paris. Setelah lima tahun tinggal di
Paris merupakan masa pembentukan dan periode genting terhadap perluasan
dan pendalamannya terhadap pemikiran dan kehidupan sosialnya akan visi
dan masa depan. Pembawaan kemampuannya disandingkan dengan kajian
berbagai ide para pilosof modern dan para penulis sehebat gabungan
pribadinya dengan beberapa dari mereka menginsfirasi Ali untuk
memikirkan dirinya dan membangun pemikirannya yang segar orisinil. Pada
tahun 1965, dia mendapat gelar doktor dalam sosiologi dan sejarah agama.
Dia mengaplikasikan pengetahuannya untuk menganalisis gambaran sosial
politik rakyat dan negaranya serta diajukan sebagai sebuah kursus
pilihan.
Peran, Aktivitas dan Karya
Ketika
Syariati menjadi mahasiswa Fakultas Sastra di Mashad, Ia sudah terlibat
dalam aktivitas politik dengan menggabungkan diri bersama kelompok
pro-Mossadeq, oposisi rezim penguasa serta di bawah NRM (National Revolution Movement) Cabang
Masyhad, ia melancarkan gerakan oposisinya melawan rezim. Ia pun aktif
dalam gerakan rakyat dan nasionalis untuk nasionalisasi industri minyak
Iran. Di Perancis ia pun bergelut dalam aktivitas politik, bersama
Mustafa Chamran dan Ibrahim Yazdi mendirikan gerakan Kebebasan Iran dan
turut serta dalam pembebasan rakyat Aljazair.
Selain
sibuk menggeluti dunia pemikiran dan aktivitas politiknya, ia pun
menjadi penyunting dua jurnal Persia serta menerjemahkan beragam buku.
Di antara buku-buku yang berhasil ia terjemahkan ialah: Niyashesh (”La Piere”) karya Alexis Carrel, Be Koja Takiye Kunin?(Apa yang menjadi Dukungan Kita ?) (1961), Guerrilla Warfare karya Guevara, What is Poetry? Karya Sartre, dan The Wretched of the Earth karya Frantz Fanon.
Sekembalinya
dari Paris, ia dipenjarakan karena aktivitas politiknya di luar negeri
dan setelah bebas ia memulai aktivitas mengajarnya di beberapa perguruan
tinggi dan beberapa tahun kemudian ditempatkan di Universitas Masyhad.
Ia langsung mengabdikan diri untuk membina angkatan muda. Karena metoda
mengajarnya yang bebas serta provokatif, akhirnya Syariati
diberhentikan.
Setelah Syari’ati pensiun dari mengajar tahun 1969, Syariati mengkonsentrasikan aktivitasnya di lembaga pendidikan Husyainiah.
lembaga yang didirikan bersama Murtadha Muthahari dan Sayyed Hosein
Nasr. Kegiatannya mencakup riset, pendidikan, dakwah dan distribusi
logistik untuk keperluan profaganda Islam. Di lembaga inilah ide-ide
segar Syariati mengalir untuk menentang rezim Syah Pahlevi dan karena
kegiatannya lembaga inipun ditutup.
Selama
dalam proses penyemaian ide-idenya, ceramah-ceramah Syariati banyak
digemari kalangan muda berpendidikan hingga ke pelosok negeri. Dari
kumpulan ceramah ini jadilah dalam bentuk kumpulan tulisan (buku).
Selain hasil kumpulan ceramah, syariati pun mengarang buku demi
keperluan jihad intelektualnya.
Karya-karya tersebut adalah:
1. A Glance at Tomorrow’s History, 1985, p.24.
2.
An Approach to Understanding of Islam , Trans, Venus Kaivantash (The
Shariati, Foundation, and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
3. And Once again Abu Dhar, 1985, p, 75.
4. Art Awaiting The Saviour , Trans, Homa Farjadi (Shariati Foundation and Hamdami Publishers, Tehran 1979).
5. Capitalism Wakes UP?!, Trans Mahmoud Mogscni, (The Ministry of Islamic Guidance, Tehran, 1981).
6. Civilization and modernization, (Aligarh, Iranian Students Islamic Association, 1979).
7. Culture an Ideology, 1980, p.23.
8. Fatima is Fatima, Trans, Laleh Bakhtiar (Shariati Foundation and Hamdami Publishers, Tehran, 1980).
9. From Where Shall we Begin and Machine in the Captivity of Machinism, 1980, p.52.
11. Man and Islam, Trans, Ghulam M.Fayez (University of Mashhad Press, Mashad, Jahad Publications, 1982).
12. Martyrdom, Arise and Bear Witness, Trans, Ali Asghar Ghassemy (Ministy of Islamic Gudance, Tehran, 1981).
13. Marxism and Other Western Fallacies: An Islamic Critique, Tran’s, R. Campbell (Berkely, Mizan Press, 1981).
14.
One Followed By An Eternity of Zeros , Trans, Ali Asghar Ghassemy (The
Hosseiniyeh Ershad and the Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
15. On The Sociology of Islam, Trans”, Hamid Algar (Berkely, Mizan Press, 1979).
16. Red shiism, Trans, Habib Shirazi (The shariati Foundation and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
17. Retlection of A Concerned Muslim on The Plight of Oppressed Peoples, Trans” , Ali Behzadnia and Najla Denny.
18. Selection and of Election, Trans, Ali Asghar Ghassemy (The Hosseniyeh Ershad and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
19. The Visage of Mohammed, ‘Trans, A. A. Sachadin (Nor. Oqalam Publications, Lahore, 1983).
20. Ye Brother, That’s The Way it Was, Trans, Nader Assaf (Shariati Foundations and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
21. Awaiting the Religion of Protest Translated by: Shahyar Saadat.
22. What is to be done? Edited & Anotated by: Farhang Rajaee/ Forword by: John L. Esposito.
23. Hajj, trans, S.M.Farough, (Islamic faundation, India, 1989)
24. A Message to the Enlightened Thinkers
25. Extraction and Refinement of Cultural Resources.
Karena
dianggap memukau, karyanya tidak hanya diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris, tapi juga German, Prancis, Latin dan lain-lain. Sebagian karya
di atas sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam terjemahan
Indonesia, beberapa karyanya menjadi satu buku, misalnya The Vissage of Muhammad menjadi satu buku dengan On The Sociology of Islam.
Ada pula hasil kreatifitas pemikir Indonesia, makalah-makalahnya yang
berserakan dijadikan satu buku, seperti apa yang dilakukan oleh Afif
Muhammad menjadi satu buku yang utuh diberi judul Islam Pemikiran Madzhab dan Aksi. Dalam Jilid ‘Islam Agama protes’ merupakan kumpulan terjemahan dari ; A Glance At Tomorrow’s History, Awaiting The Religion of Protest dan An Aproach to The Understanding of Islam. Atau misalnya dari Jilid Paradigma Kaum Tertindas merupakan kumpulan dari terjemahan; On the Sociology of Islam dan The Visage of Muhammad.
Pengaruh terhadap ummat Islam Dunia.
Syariati
bukan hanya arsitek Iran Modern, Ia juga seorang guru, Pendakwah,
pejuang yang berbeda dari yang lain beberapa intelektual menyebutnya
sebagai seorang ideolog, halnya disebutkan oleh Azzumardi Azra, “selain
seorang Ideolog Syi’ah, Publik Speaker ( penceramah umum) ia juga
seorang sosiolog yang tertarik pada dialektika antara teori dan
praktik, ia adalah seorang pemikir Islam Revolusioner dan Progresif.”.
Dengan
berbagai atribut yang disandangnya, Gagasan Islam Syariati tidak hanya
berpengaruh pada level Nasional Iran, tetapi menyebar ke seluruh pelosok
dunia Barat dan Timur, tak terkecuali Indonesia. Hal ini senada dengan
apa yang diungkapkan oleh Amin Rais juga oleh John L. Esposito,:
”
Makna penting Syariati tidak hanya terbatas bagi Iran saja, sebab ia
adalah salah satu contoh dari suatu generasi baru kaum intelektual dan
aktivis politik berorientasi Islam yang hidup di hampir seluruh dunia
Muslim masa kini. Ali Syariati sudah menjadi tokoh Islam internasional
yang gagasan-gagasan dan tulisan-tulisannya ditelaah, diperdebatkan, dan
diperbandingkan jauh di luar batas-batas negeri Iran.. Tahun 1970-an
membawa perubahan-perubahan besar dalam dunia muslim. Dari Sudan sampai
Sumatera, agar timbul kembali sebagai faktor penting dalam dunia politik
muslim”.
Di
Indonesia, walaupun mayoritas penduduknya bermadzhab Sunni yang
jelas-jelas berbeda corak dengan Syariati yang bermadzhab Syi’ah, tetapi
sebagian intelektual Muslim sudah mengenal pemikirannya lewat
penerjemahan buku-bukunya sejak akhir tahun 1970-an. Di Tahun 1980
bersamaan dengan penerjemahan dan kajian-kajian tentang Syari’ati,
muncul kelompok “Kiri Islam”, baik dari LSM maupun aktivis Islam seperti
HMI, MPO, Masjid Salman ITB dan Masjid Shalahuddin Yogyakarta.
Pemikiran dan penafsirannya tentang agama, yang dekat dan berfihak pada
rakyat kecil demi keadilan, dan kemudian diwujudkan dalam tindakan
kongkrit agaknya masih relevan dengan kondisi Indonesia yang rakyatnya
masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan.
Harus
diakui bahwa yang paling banyak mendapatkan perhatian ialah
tulisan-tulisan sosiologis Ali Syariati, yang hampir sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia seperti ditulis oleh Kuntowijoyo. Kebanyakan
kaum muda menjadi pendukung aktif dari pikiran-pikiran Islam radikal Ali
Syariati. Para aktivis pemuda dari kelompok yang membela hak-hak petani
di beberapa tempat diilhami oleh cita-cita pembebasan Ali Syariati,
yang berarti aktivisme sosial dan advokasi mereka pada kaum tertindas
masih lebih dikerangkai oleh nilai dan norma Islam. Kalau Syariati tidak
dikenal tentu mereka akan pergi kepada marxisme untuk berguru tentang praxis.
Disarikan dari berbagai sumber dan tulisan-tulisan Ali Syariati versi terjemahan, www. shariati.com serta buku biografinya ‘An Islamic Utopian A political Biografhy of Ali Syari’ati’ karangan Ali Rahnema.