Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Prof. Dr. Ali Syariati. Show all posts
Showing posts with label Prof. Dr. Ali Syariati. Show all posts

Sayyidah Fatimah as dalam Ucapan Ulama-ulama Ahlus Sunnah


Tidak ada yang dapat memungkiri mengenai keagungan, keutamaan dan kemuliaan Sayyidah Fatimah as. Ali Syariati mengatakan, "Saya tidak dapat mengungkapkan apapun mengenai Fatimah, kecuali satu hal, Fatimah adalah Fatimah." Dalam kitab-kitab klasik Syiah maupun kontemporer kita menemukan bejibun pernyataan, syair, puisi yang mencoba memuji keutamaan Sayyidah Fatimah as, namun kesemuanya itu tidak mampu mewakili keutuhan pribadi Sayyidah Fatimah as. Nabi Muhammad Saw berkenaan dengan putri tercintanya pernah bersabda, "Jika semua kebaikan dikumpulkan dan diletakkan disebuah tempat, maka az Zahra masih jauh lebih baik dari semua kebaikan tersebut." 
Yang bisa kita ketahui dari apa yang dimaksudkan Nabi Saw tersebut, penjelasan dan gambaran apapun yang dikemukakan tidak bisa mewakili kemuliaan dan keagungan hadhrat Fatimah az Zahra as.

Literarur Ahlus Sunnahpun tidak luput dari menceritakan sebagian dari keutamaan Sayyidah Fatimah az Zahra as tersebut. Jalaluddin Suyuti dalam kitab ال‍ث‍غ‍ور ال‍ب‍اس‍م‍ه‌ ف‍ی‌ ف‍ض‍ائ‍ل‌ ال‍س‍ی‍ده‌ ف‍اطم‍ه‌ (kitab yang  ditulis khusus berkenaan dengan Sayyidah Fatimah as mengenai fadilah-fadilah beliau baik sebelum hijrah maupun setelah hijrah, serta kumpulan hadits-hadits yang diriwayatkan Sayyidah Fatimah maupun nukilan ucapan-ucapan beliau) menulis: "Kami berkeyakinan, sebaik-baik perempuan seluruh alam adalah Bunda Maryam dan Sayyidah Fatimah." Syaikh Mahmud Afandi Alusi yang lebih dikenal dengan nama Syaikh Al Alusi dalam kitab tafsirnya Ruh al Ma'ani pada jilid 3 hal. 138 menulis, "Fatimah lebih utama atas semua perempuan baik yang terdahulu maupun yang akan datang. Adalah sabda Rasulullah Saw yang menunjukkan keutamaan Fatimah atas semua perempuan adalah sesuatu yang pasti (tidak ada keraguan didalamnya), karena beliau adalah ruh dan jiwa Rasulullah, bahkan lebih utama dari Aisyah sekalipun."

Syaikh Fakhr al Din al Razi dalam magnum opusnya 'Tafsir al Kabir' menjelaskan mengenai makna al Kautsar (anugerah yang melimpah) dalam surah al Kautsar. Beliau menulis, "Surah al Kautsar turun untuk membantah mereka yang berpandangan bahwa Nabi Muhammad Saw tidak akan memiliki keturunan. 
Oleh karena itu surah tersebut berkenaan mengenai karunia yang Allah SWT berikan kepada Nabi Muhammad Saw berupa keturunan yang akan terjaga sepanjang zaman. Perhatikan, betapa banyak dari keluarganya yang terbunuh, namun orang-orang berilmu dari kalangan keturunan Rasulullah Saw sangat banyak dan melimpah. Dan tak seorangpun dari keluarga Bani Umayyah yang mampu menyaingi salah satupun dari keluarga Nabi. Dan perhatikan pula, dari keturunan Nabi lahir ulama-ulama besar seperti al Baqir, as Shadiq, al Kadzim dan ar Ridha serta Nafs Zakiah (nama aslinya Muhammad bin Abdullah bin al Hasan, salah seorang keturunan imam al Hasan as yang pada tahun 145 H syahid di masa pemerintahan al Manshur)." (Tafsir al Kabir, jilid 32, hal. 124). Jadi dalam kitab tafsirnya tersebut, ulama mufassir Sunni ini menyebutkan, bahwa anugerah melimpah dari Allah SWT untuk nabi Muhammad Saw yang dimaksud adalah keturunan yang dimulai dari Sayyidah Fatimah az Zahrah yang lahir dari beliau ulama-ulama dan pejuang-pejuang Islam yang menegakkan dan menjaga agama dari berbagai anasir yang hendak merusak dan menodainya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh An Naisabury dalam Kitab Gharaib Al Qur’an Wa Raghaib Al Furqan jilid 8, hal. 576.

Salam atasmu duhai putri sebaik baiknya makhluk, salam atasmu wahai putri nabi, salam atasmu wahai istri al-washi, salam bagimu duhai ibu al-Hasan dan al-Husain, salam atasmu wahai wanita suci yang dizhalimi dan diambil haknya, salam bagi ruh dan jasadmu yang suci nan semerbak dari lisan yang penuh dengan dosa ini…
Salam bagimu.....

Memaknai Idul Adha; Mari Berkorban untuk Kemanusiaan

Idul Adha dan peristiwa kurban yang setiap tahun dirayakan umat muslim di dunia seharusnya tak lagi dimaknai sebatas proses ritual, tetapi juga diletakkan dalam konteks peneguhan nilai-nilai kemanusiaan dan spirit keadilan, sebagaimana pesan tekstual utama agama.


Kurban dalam bahasa Arab sendiri disebut dengan qurbah yang berarti mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ritual Idul Adha itu terdapat apa yang biasa disebut udlhiyah (penyembelihan hewan kurban). Pada hari itu kita menyembelih hewan tertentu, seperti domba, sapi, atau kerbau, guna memenuhi panggilan Tuhan.

Idul Adha juga merupakan refleksi atas catatan sejarah perjalanan kebajikan manusia masa lampau, untuk mengenang perjuangan monoteistik dan humanistik yang ditorehkan Nabi Ibrahim. Idul Adha bermakna keteladanan Ibrahim yang mampu mentransformasi pesan keagamaan ke aksi nyata perjuangan kemanusiaan.
Dalam konteks ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus perjuangan maha berat seorang Nabi yang diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk mengurbankan anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim pada titah sang pencipta.

Bagi Ali Syari’ati (1997), ritual kurban bukan cuma bermakna bagaimana manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya, akan tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan. Sementara bagi Jalaluddin Rakhmat (1995), ibadah kurban mencerminkan dengan tegas pesan solidaritas sosial Islam, mendekatkan diri kepada saudara-saudara kita yang kekurangan.

Dengan berkurban, kita mendekatkan diri kepada mereka yang fakir. Bila Anda memiliki kenikmatan, Anda wajib berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila Anda puasa, Anda akan merasa lapar seperti mereka yang miskin. Ibadah kurban mengajak mereka yang mustadh’afiin untuk merasakan kenyang seperti Anda.
Atas dasar spirit itu, peringatan Idul Adha dan ritus kurban memiliki tiga makna penting sekaligus. Pertama, makna ketakwaan manusia atas perintah sang Khalik. Kurban adalah simbol penyerahan diri manusia secara utuh kepada sang pencipta, sekalipun dalam bentuk pengurbanan seorang anak yang sangat kita kasihi.

Kedua, makna sosial, di mana Rasulullah melarang kaum mukmin mendekati orang-orang yang memiliki kelebihan rezeki, akan tetapi tidak menunaikan perintah kurban. Dalam konteks itu, Nabi bermaksud mendidik umatnya agar memiliki kepekaan dan solidaritas tinggi terhadap sesama. Kurban adalah media ritual, selain zakat, infak, dan sedekah yang disiapkan Islam untuk mengejewantahkan sikap kepekaaan sosial itu.

Ketiga, makna bahwa apa yang dikurbankan merupakan simbol dari sifat tamak dan kebinatangan yang ada dalam diri manusia seperti rakus, ambisius, suka menindas dan menyerang, cenderung tidak menghargai hukum dan norma-norma sosial menuju hidup yang hakiki.

Bagi Syari’ati, kisah penyembelihan Ismail, pada hakikatnya adalah refleksi dari kelemahkan iman, yang menghalangi kebajikan, yang membuat manusia menjadi egois sehingga manusia tuli terhadap panggilan Tuhan dan perintah kebenaran. Ismail adalah simbolisasi dari kelemahan manusia sebagai makhluk yang daif, gila hormat, haus pangkat, lapar kedudukan, dan nafsu berkuasa. Semua sifat daif itu harus disembelih atau dikorbankan.

Pengorbanan nyawa manusia dan harkat kemanusiaannya jelas tidak dibenarkan dalam ajaran Islam dan agama mana pun. Untuk itu, Ibrahim tampil menegakkan martabat kemanusiaan sebagai dasar bagi agama tauhid, yang kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad dalam ajaran Islam. Ali Syari’ati mengatakan Tuhan Ibrahim itu bukan Tuhan yang haus darah manusia, berbeda dengan tradisi masyarakat Arab saat itu, yang siap mengorbankan manusia sebagai “sesaji” para dewa.

Ritual kurban dalam Islam dapat dibaca sebagai pesan untuk memutus tradisi membunuh manusia demi “sesaji” Tuhan. Manusia, apa pun dalihnya, tidak dibenarkan dibunuh atau dikorbankan sekalipun dengan klaim kepentingan Tuhan. Lebih dari itu, pesan Iduladha (Kurban) juga ingin menegaskan dua hal penting yang terkandung dalam dimensi hidup manusia (hablun minannas).

Pertama, semangat ketauhidan, keesaan Tuhan yang tidak lagi mendiskriminasi ras, suku atau keyakinan manusia satu dengan manusia lainnya. Di dalam nilai ketauhidan itu, terkandung pesan pembebasan manusia dari penindasan manusia lainnya atas nama apa pun. Kedua, Idul Adha juga dapat diletakkan dalam konteks penegakan nilai-nilai kemanusiaan, seperti sikap adil, toleran, dan saling mengasihi tanpa dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan di luar pesan profetis agama itu sendiri.

Masalahnya, spirit kemanusiaan yang seharusnya menjadi tujuan utama Islam, dalam banyak kasus tereduksi oleh ritualisme ibadah-mahdah. Seakan-akan agama hanya media bagi individu untuk berkomunikasi dengan Tuhannya, yang lepas dari kewajiban sosial-kemanusiaan. Keberagamaan yang terlalu teosentris dan sangat personal itu, pada akhirnya terbukti melahirkan berbagai problem sosial dan patologi kemanusiaan.

HAJI : RITUAL YANG SARAT MAKNA


Oleh : Muhammad Jawodiy.

Dari sekian banyak ibadah, haji adalah puncak ibadah ritual yang sangat didambakan bisa dilakukan setiap Muslim. Selain karena pahalanya yang sangat besar, orang-orang yang berhaji akan dianggap oleh Allah sebagai tamu-tamu-Nya. “Orang yang beribadah haji dan umrah adalah tamu-tamu Allah serta mengaruniakan mereka ampunan.” Demikian kata sebuah hadis. Karena itu dalam tulisan ini akan diuraikan beberapa hal berkaitan dengan ibadah ritual yang sarat makna ini.

Sekilas Sejarah Haji.
Haji, secara harfiah mempunyai arti ‘keluar menuju sesuatu’. Dalam ajaran Islam, istilah ini menandakan ibadah tahunan ke Makkah dengan niat menunaikan ritual tertentu sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Allah SWT telah mewajibkan haji atas semua umat Islam yang mampu, untuk mengerjakannya, paling tidak sekali seumur hidupnya.

Sejarah permulaan ibadah haji di Baitullah al-Haram bermula ketika Nabi Adam as, dikirim Allah ke bumi. Kemudian Adam as diperintah untuk mendirikan sebuah bangunan yang seakan-akan sama dengan Baitul Makmur di langit. Bangunan berbentuk empat segi ini kemudian dinamakan Kabah, yakni “Rumah Allah”. Menurut riwayat Ibnu Abbas ra, Rasulullah pernah bersabda bahwa Makkah telah dipilih sebagai tempat Kabah karena posisinya yang selaras dengan kedudukan Baitul Makmur di alam Malaikat.

Seiring penyempurnaan Kabah, Allah memerintahkan Nabi Adam as serta keluarganya untuk mengerjakan ibadah thawaf sebagaimana yang dikerjakan oleh para malaikat di Baitul Makmur. Baitullah al-Haram, selain menjadi tempat beribadah umat manusia dan jin, turut menjadi tempat thawaf para malaikat yang ditugaskan di bumi.

Setelah Nabi Adam as wafat, bangunan Kabah berangsur rapuh. Selanjutnya Allah memerintahkan Nabi Syits as, salah satu putra Adam untuk membangun Kabah kembali di tempat yang sama. Namun, pada masa Nabi Nuh as, banjir besar turut meruntuhkan bangunan Kabah. Allah kemudian mengutus Nabi Ibrahim as untuk membangun Kabah kembali.

Mematuhi perintah Allah, dengan dibantu oleh anaknya Nabi Ismail as, Nabi Ibrahim as membangun Kabah di atas timbunan batu dan tanah liat dari tujuh bukit yang terletak di sekitar kawasan kota Makkah. Setelah menyempurnakan bangunan tersebut, Nabi Ibrahim as dan keluarganya diperintahkan pula untuk mengerjakan ibadah thawaf di Kabah sebagai bagian dari ibadah haji. Allah berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.” (QS.Al-Hajj : 26).

Selesai mendirikan Kabah, Nabi Ibrahim as diperintahkan agar memanggil semua umat manusia untuk mengerjakan haji. Setelah pembangunan Kabah, Ibrahim as datang ke Makkah untuk melakukan haji setiap tahun. Setelah wafat, praktik ini diteruskan oleh anaknya. Namun seiring perjalanan waktu, bentuk dan tujuan haji mengalami perubahan dan penyimpangan. Penyembahan dan penempatan berhala marak di dalam dan sekitar Kabah. Namun, setelah periode yang panjang, tiba saatnya doa Nabi Ibrahim as dijawab: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS.2 : 129).

Doa Nabi Ibrahim as terkabul dengan kelahiran Muhammad bin Abdullah. Selama 23 tahun Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan monoteisme sejati, yang telah disampaikan sebelumnya oleh Nabi Ibrahim as dan semua nabi lainnya, serta menegakkan hukum Allah di atas muka bumi. Beliau melakukan penghapusan berbagai bentuk kepalsuan, meruntuhkan berbagai berhala dan mengembailkan Kabah ke dalam fungsi awalnya sebagai pusat semesta penghambaan kepada Tuhan Yang Mahaesa.

Haji dan Refleksi Nilai-Nilai Kemanusiaan.
Makna kemanusiaan dan pengamalan nilai-nilainya tak hanya terbatas pada persamaan nilai antar perseorangan dengan yang lain, tapi mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekedar persamaan tersebut. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya. Kemanusiaan menjadikan makhluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin makhluk-makhluk lain mencapai tujuan penciptaan. Kemanusiaan mengantarnya menyadari bahwa ia adalah makhluk dwi dimensi yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir. Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang tak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi.

Makna-makna tersebut dipraktekkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara ritual atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik, yang kesemuanya pada akhirnya mengantar jamaah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal.

Professor Quraish Shihab, dalam sebuah artikelnya mencoba merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan dari pelaksanaan ibadah haji antara lain: Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram. Tak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Tetapi di Miqat, saat dimana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan.

Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus dilepaskan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan. Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Seperti jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan mencabut pepohonan. Mengapa?

Karena manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya kesempatan seluas mungkin mencapai tujuan penciptaannya. Ketiga, Kabah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga, karena disanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Kabah ini pernah berada dalam pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu. Namun demikian, budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah SWT memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepada Allah SWT dan usahanya untuk menjadi Hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban. Keempat, kalau thawaf menggambarkan larutnya dan meleburnya manusia dalam hadirat Ilahi, atau dalam istilah kaum sufi al-fana fi Allah maka sa’i menggambarkan usaha manusia mencari hidup yang melambangkan bahwa kehidupan dunia dan akhirat merupakan suatu kesatuan dan keterpaduan.

Dengan thawaf disadarilah tujuan hidup manusia. setengah kesadaran itu dimulai pada sa’i yang menggambarkan,tugas manusia adalah berupaya semaksimal mungkin. Dan hasil usaha pasti akan diperoleh baik melalui usahanya maupun melalui anugerah Tuhan, seperti yang dialami Hajar bersama putranya Ismail dengan ditemukannya air Zamzam itu. Kelima, di Arafah, di sanalah mereka seharusnya menemukan makrifat pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya, serta di sana pula ia menyadari langkah-langkahnya selama ini, sebagaimana ia menyadari pula betapa besar dan agung Tuhan yang kepada-Nya bersimpuh seluruh makhluk.

Kesadaran-kesadaran itulah yang mengantarkannya di padang Arafah untuk menjadi arif atau sadar dan mengetahui. Keenam, dari Arafah para jamaah ke Musdalifah mengumpulkan senjata menghadapi musuh utama yaitu setan, kemudian melanjutkan perjalanan ke Mina untuk merefleksikan kebencian dan kemarahan mereka masing-masing terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab segala kegetiran yang dialaminya.

Demikianlah ibadah haji merupakan kumpulan simbol-simbol yang sangat indah, apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan benar, maka pasti akan mengantarkan setiap pelakunya dalam lingkungan kemanusiaan yang benar sebagaimana dikehendaki Allah.

Haji, Ritual Yang Berdimensi Politik.
Menurut Al-Quran, ibadah haji diperintahkan agar mereka menyaksikan berbagai manfaat buat mereka dan berzikir (menyebut nama Allah) pada hari-hari yang ditentukan (QS.22 : 28). Menurut para mufassir, ayat ini menyebutkan dua dimensi haji: dimensi manfaat dan dimensi zikir. Al-Thabari, dalam tafsirnya, menyebut manfaat itu meliputi dunia dan akhirat. Mahmud Syaltut, Syeikh Al-Azhar, menyebut dimensi-dimensi ipoleksosbud sebagai kandungan makna “manfaat”. Pada waktu hajilah, kata Syaltut, bertemu para pemikir dan ilmuwan, ahli-ahli pendidikan dan kebudayaan, para negarawan dan ahli pemerintahan, ahli-ahli ekonomi, para ulama dan juga para ahli militer kaum Muslim. Inilah kongres atau muktamar umat manusia yang terbesar. Hal inilah yang dimaksudkan sebagai ritual yang berdimensi politik.

Haji, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha serta juga Shalat Jumat, menurut hemat saya adalah bagian dari ibadah-ibadah yang mengandung unsur politik di dalamnya. Oleh karena ibadah jenis seperti itulah yang dapat menunjukkan kebersamaan dan persatuan kaum muslimin sekaligus kekuatan umat Islam.

Sekiranya perspektif seperti itu yang digunakan dalam melihat ritual haji ini, maka bisa dibayangkan bagaimana kekuatan kaum muslimin yang berhimpun di suatu tempat dan berasal dari berbagai daerah di seluruh penjuru dunia ini, lalu menyatukan persepsi dan pandangannya serta langkah-langkah yang akan diambil dalam menghadapi kezaliman musuh-musuh Islam di berbagai belahan dunia, maka efeknya tentu saja akan sangat besar. Kalau saja hal itu bisa terwujud, maka tentara-tentara penindas seperti Israel tidak akan mungkin berani melakukan agresi dan penindasan di Palestina seperti yang berlangsung sekarang ini.

Kekuatan Islam akan sangat diperhitungkan dalam percaturan dunia. Tapi, tengoklah apa yang terjadi saat ini. Islam dan kaum muslimin tidak begitu diperhitungkan oleh kekuatan musuh-musuh Islam. Negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya muslim, dengan mudah dipermainkan dan dipolitisir, bahkan terkadang dengan gampang di adu domba diantara sesama kaum muslimin. Lihatlah, betapa seringnya kita saksikan dan dengarkan, satu kelompok muslim dengan mudah menganggap sesat dan kafir kelompok lainnya , hanya karena adanya perbedaan pandangan dan tafsiran terhadap sesuatu hal. Mereka yang berlaku seperti itu biasanya lebih mengikuti prasangka dan hawa nafsunya, mereka menganggap kelompoknya saja yang paling benar dan yang lainnya salah.

Padahal seluruh tuduhan dan tudingannya didasarkan pada informasi yang bersifat fitnah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, bahkan boleh jadi bersumber dari musuh-musuh Islam. Penyebab dari semua itu, karena kaum muslimin melupakan pesan Nabi SAW dan tidak bertekad untuk mengimplementasikan dimensi politik dari ritual haji untuk membangun dan menciptakan kebersamaan, kesatuan dan persatuan di kalangan kaum muslimin agar tetap menjadi kuat dan solid.

Apa pesan penting dari Nabi kita Muhammad SAW pada tanggal 10 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah di Haji Wada’ atau Haji Perpisahan? Dalam khutbahnya Nabi berkata: “Wahai manusia, dengarkan pembicaraanku, karena barangkali aku tidak akan berjumpa lagi dengan kalian setelah tahun ini. Yang hadir sekarang ini hendaknya menyampaikan kepada yang tidak hadir. Hai hadirin, tahukah kamu hari apakah ini?” “Hari yang suci,” jawab yang hadir.

“Bulan apakah ini?” “Bulan yang suci.” “Negeri apakah ini?” “Negeri yang suci.” “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian, sama sucinya seperti hari ini pada bulan ini di negeri ini. Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara. Tidak boleh ditumpahkan darahnya, tidak boleh dirampas hartanya, dan tidak boleh dicemarkan kehormatannya.”.

Itulah pesan sakral dari ibadah haji yang sering dilupakan kaum muslimin. Padahal pesan tersebut tidak hanya berlaku bagi mereka yang telah menunaikan haji, tetapi berlaku umum kepada seluruh umat Islam.

Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin mengutip Dr. Ali Syariati dalam bukunya tentang ‘Makna Haji’ yang mengungkapkan, “Wahai Haji, ke mana engkau akan pergi kini? Kembali ke kehidupanmu dan ke duniamu? Jangan! Jangan! Engkau memainkan ‘peran Ibrahim’ dalam pertunjukan simbolis ini. Aktor yang baik adalah orang yang kepribadiannya sangat diwarnai oleh karakter dari individu yang sedang diperankannya.

Engkau bagaikan Ibrahim, dan dalam sejarah umat manusia ia adalah seorang pejuang besar yang menentang penyembahan berhala. Ia adalah pendiri tauhid di dunia ini dan bertanggung jawab untuk memimpin umatnya. Ia adalah seorang pemimpin yang suka memberontak dan jiwanya menderita, hatinya mencinta, pikirannya menerangi. Engkau bagaikan Ibrahim! Padamkanlah api penindasan dan kebodohan itu agar engkau dapat menyelamatkan kaummu. Api itu berada dalam nasib setiap individu yang bertanggung jawab.

Kewajibanmulah untuk membimbing dan menyelamatkan manusia. tetapi, Allah menjadikan tungku pembakaran Namrud dan pengikutnya serasa bagaikan sebuah taman bunga untuk Ibrahim dan pengikutnya. Engkau tidak akan terbakar oleh apinya ataupun kembali menjadi debu. Inilah pelajaran bagimu agar engkau siap terjun ke dalam api demi menegakkan jihad (perjuangan), dan agar engkau membiarkan dirimu masuk ke dalam api sehingga tidak ada orang lain yang terbakar, dan mencapai tahap syahadat yang lebih berat. Kini engkau sedang berdiri di maqam Ibrahim dan akan berperan sebagai dia, hidup seperti dia, menjadi arsitek Kabah keyakinanmu.

Selamatkanlah umatmu dari rawa-rawa kehidupan mereka. Hembuskan kembali nafas kehidupan ke dalam tubuh mereka yang kaku dan mati karena menderita penindasan dan gelapnya kebodohan. Doronglah mereka untuk berdiri di atas kakinya dan berilah mereka pengarahan. serulah mereka untuk beribadah haji dan berthawaf. Setelah mengikuti thawaf, membuang sifat suka mementingkan diri sendiri dan mensucikan diri dengan meniru sifat-sifat Ibrahim, maka berarti engkau telah berjanji kepada Tuhan untuk mengikuti jalan Ibrahim.

Allah menjadi saksi bagimu.”

Akhirnya, istiqamahlah engkau atas perjanjianmu dengan-Nya di saat hajimu. Peliharalah ikrarmu yang kau ucapkan di hadapan Tuhanmu di saat hajimu, niscaya Dia akan wajibkan apa yang Dia janjikan untukmu kelak di hari kiamat. Semoga Allah memberkahi perjalanan semua tamu-tamu Allah yang berangkat ke tanah suci di tahun ini dari belahan dunia manapun mereka berasal. Semoga Allah memelihara perjalanan mereka dan menjadikan haji mereka haji yang mabrur. Amin.

CUPLIKAN DARI BUKU UMMAH DAN IMAMAH


TA'ASHSHUB;
INTERAKSI LEBIH TINGGI KETIMBANG KESAMAAN IDEOLOGY
(DR Ali Syariati).

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Saya mempunyai keyakinan, hatta pada waktu-waktu belakangan ini, bahwa ika tan paling tinggi dan sakral adalah kesamaan Ideology dan Keyakinan. Artinya saya menyadari bahwa orang yang paling dekat de ngan diri saya adalah orang -orang yang mempunyai jalan berpikir seperti saya, dan memiliki keimanan se perti yang saya yakini.

Sebenarnya memang demikian persoalannya bila kita analogikan pada berba gai bentuk interaksi lainnya. Tetapi dari istilah Ummah dan Imamah, ternyata kita bisa sampai pada istilah Ta'ashshub, yakni interaksi antara anak-anak ma nusia dalam bentuknya yang lebih tinggi ketimbang interaksi yang didasarkan atas kesamaan ideology dan kemiripan dalam keyakinan.

Individu-individu yang hidup dalam satu ummah, tidak saja dekat dalam aspek pemikiran, tetapi juga memiliki ikatan yang lebih mendalam dan kuat dibanding itu. Diantara interaksi-interaksi yang didasarkan atas kelompok, keturunan, war na kulit dan kesamaan tanah air, tidak satupun yang terjamin dan memiliki eksis tensi hakiki dan praktis. Sementara itu, ikatan ideologis dan keyakinan, kendati pun boleh dianggap sebagai satu-satunya ikatan yang paling tinggi, toh masih belum apa-apa, jika kita menunjuk kepada istilah Satre, "ia tidak punya eksis tensi sebagai sesuatu yang esensial, sebab tidak berlaku dalam kehidupan praktis".

"Aku berpikir dengan cara ini", "Aku punya keyakinan tertentu", "Aku orang baik", "Aku orang jahat" dan ungkapan-ungkapan seperti itu, semuanya hanya lah konsep-konsep kosong dan baru bisa dianggap eksis serta punya arti ma nakala telah terbukti eksistensinya secara nyata. Justeru itu "Aku orang baik" dan "Aku orang jahat", sama dan sebanding, dan sama pula dengan konsep-konsep berikut ini: "Engkau berpikir", "Kami berpikir dengan metode yang sama", dan "Kita tidak memiliki ,metode berpikir yang sama", sebab semuanya memang tidak punya eksistensi. "Kita berpikir dengan metodologi yang sama dan memiliki keyakinan yang sama pula", memang merupakan ungkapan yang benar, tetapi manusianya tetap belum eksis. Ia baru dikatakan eksis bila telah meniupkan etos kerja dalam hal-hal yang "baik" atau "buruk", '"indah" atau "jelek", "pengabdian" atau "pengkhianatan". Dengan tinjauan seperti ini ,maka adanya dua orang yang bersatu dalam pemikiran, memiliki eksistensi dalam bentuk ide secara potensial, dan baru bisa di katakan suatu eksistensi yang nyata manakala kedua nya telah menapaki jalan menuju alam nyata.

 Disini kita melihat bahwa jika hanya semata-mata potensi pemikiran dan keima nan yang sama, maka tetap dianggap sebagai sesuatu yang belum berarti apa-apa. Artinya, belum ada pengaruhnya sedikitpun terhadap kehidupan individu, dan tidak pula bakal memberikan pengaruhnya terhadap kehidupan ummat manusia. Dan disaat kesatuan qalbu, keimanan dan penderitaan tersebut su dah menyatu dengan amal, niscaya ia akan muncul dalam realita. Itulah sebab nya, maka para ulama warasatul Ambya mendefinisikan iman dengan, 'penga kuan lisan dan pengamalan dengan anggota tubuh' (aplikasi di alam nyata-pen).

Ummah adalah komunitas anak-anak manusia yang memiliki kesatuan pemi kiran, keyakinan, mazhab dan metodologi, yang tidak saja tergambarkan di dalam ide, tetapi terbukti perwujudannya di alam nyata. Individu-individu suatu Ummah, dari keturunan, ras dan tanah air manapun mereka berasal, mempu nyai cara berpikir dan keyakinan yang sama, dan saat yang sama mereka mengharuskan diri mereka bergerak menuju kesempurnaan - dan bukan keba hagiaan - dibawah kepemimpinan sosial kolektif.

Kepemimpinan ummah yang dinamakan imamah itu, tugasnya bukanlah seperti Kepala Negara Amerika Serikat atau penanggung jawab acara 'Anda dan Radio' yang harus bekerja sebagai suatu kelompok untuk memenuhi selera dan keinginan para pendengarnya, dan tidak cuma memiliki kewajiban untuk merealisasikan kebahagiaan dan kesejahteraan paling tinggi bagi individu dan diharuskan pula un tuk memimpin gerakan sosial menuju kesempurnaan, mela lui program-program yang digariskan secara mantap, disertai gerakan yang cepat dan tepat, sehingga manakala menjadi taruhan adalah penderitaan indivi du-individu, maka hendaknya hal itu merupakan penderitaan yang secara nyata dirasakan mayoritas ummah, dan sama sekali bukan sesuatu yang fiktif belaka.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka imamah kini menjadi manifestasi dari 'risalah kepemimpinan dan bimbingan individu dan masyarakat' dari 'apa yang kini ada' (das sollen) semaksimal yang bisa dilakukan, bukan berdasar kan pada keinginan pribadi seorang Imam, melainkan atas konsep yang baku yang menjadi kewajiban bagi Imam lebih dari individu lainnya. Itulah sebabnya, maka imamah berbeda dari kepemimpinan diktator, sekaligus menentang kepe mimpinan revolusionir- ideologis dan diktator-individual.

(Cuplikan dari buku Ummah dan Imamah, karya DR Ali Syariati, rausyanfikr dari RII).

Ali Syariati Dalam Pandangan Umat Dunia







Rausanfikr Sebagai Agen Revolusi Islam: Pandangan Ali Syari’ati
Oleh : Anjar Nugroho 
Ali Syari’ati mempunyai pandangan yang berbeda dengan Imam Khomeini tentang konsep kunci kepemimpinan. Jika Imam Khomeini menempatkan kaum ulama sebagai otoritas tertinggi dalam bidang politik maupun agama, maka Syari’ati menolak dominasi politik kaum ulama, dan sebaliknya menempatkan kaum “intelektual yang tercerahkan” (rausanfikr), sebagai pemegang otoritas kekuasaan politik.
Dalam pandangan Imam Khomeini, selama ghaibnya Imam Mahdi kemepimpinan dalam pemerintahan Islam menjadi hak para faqîh (fuqâhâ). Sekali seorang faqîh berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, maka rakyat dan para faqîh lain wajib mengikutinya, karena dia akan memiliki kekuasaan dan otoritas pemerintahan yang sama sebagaimana yang dimiliki nabi dan para imam terdahulu. Walau demikian, menurut Imam Khomeini, tidak semua faqîh qualified sebagai pemimpin. Sekurang-kurangnya beberapa persyaratan yang harus dipenuhi seorang faqîh untuk bisa memimpin pemerintahan Islam.
Konsep Wilâyah al-Faqîh memang didasarkan pada prinsip imâmah yang menjadi salah satu keimanan Syi’ah Imâmiyah. Bisa juga dikatakan bahwa Wilâyah al-Faqîh dimaksudkan untuk “mengisi kekosongan politik” selama masa ghaibnya Imam kedua belas (Al-Mahdi). Pada masa keghaiban itu, Faqîh – yang memenuhi syarat – berperan selaku wakil imam, guna membimbing umat, baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun sosial politik. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep Wilâyah al-Faqîh, keberadaan sebuah pemerintahan Islam merupakan suatu keharusan spiritual maupun historis.
Para ulama Syi’ah menjunjung tinggi aspek asasiyah doktrin imâmah. Karena imam itu maksum dan menafsir otoritas wahyu Islami, maka dia adalah satu-satunya otoritas absah yang dapat menegakkan negara dan pemerintah Islam. Namun, di bawah pengaruh kuat keadaan historis, imâmah menjadi terbagi ke dalam temporal dan spiritual. Otoritas temporal imam dipandang sebagai telah “dijarah” oleh dinasti yang berkuasa, namun otoritas spiritual tetap dimiliki oleh imam yang dipandang sebagai hujjah Tuhan mengenai kemahakuasaan-Nya, yang diberi kuasa untuk memandu kehidupan spiritual para pengikutnya sebagai “imam sejati”
Dengan berfusinya nasionalisme Iran dan Islam Syi’ah, orang-orang Iran, termasuk para ulama Syi’ahnya, tidak pernah merasakan adanya konflik antara Islam dan nasionalisme Iran. Namun, sebagian ulama Syi’ah menolak segala bentuk “kolaborasi” antara raja dan ulama, termasuk dalam arti raja dalam posisi “superior” dan ulama “inferior”. Imam Khomeini termasuk berada dalam deretan ulama yang menetang keras kekuasaan raja. Walaupun dalam Kasyf al-Asyrâr, ia masih bisa menerima keberadaan lembaga monarki konstitusional, namun dalam Hukûmah Islamiyah, Khomeini secara tegas menolak sistem monarki. Baginya, hanya ada satu sitem kenegaraan yang sesuai dengan Islam, yaitu pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang fâqih atau dewan fuqahâ.
Berbeda denagn Imam Khomeini, Ali Syari’ati tidak setuju dengan peranan yang terlalu besar dari para mujtahîd (ulama). Bagi Syari’ati, mereka yang bukan ulama bisa jadi dapat memahami ajaran Islam dengan lebih baik; berfikir dan hidup dengan cara Islami yang lebih murni, dibanding ahli hukum atau filosof. Syari’ati bahkan menyalahkan ulama dengan adanya keberhasilan yang diperoleh oleh para imperialis, karena akibat “kekeras kepalaan para ulamalah yang menggiring para pemuda Iran mencari perlindungan dalam kebudayaan Barat”. Tidak mengherankan jika hanya sedikit karya Syari’ati yang sesuai dengan paham para ulama. Sebaliknya tidak jarang Syari’ati dituduh oleh sementara ulama sebagai “agen Sunni, Wahabiyah, dan bahkan Komunisme”.
Menurut Syari’ati, kaum intelektual merupakan para eksponen real dari Islam yang “rasional” dan “dinamis”, dan bahwa tugas utama mereka adalah untuk memperkenalkan suatu “pencerahan” dan “revormasi” Islam. Oleh sebab itu, betapa pentingnya kaum intelektual Muslim menghubungkan dirinya dengan massa, menentang kaum reaksioner dan membangkitkan Islam sebagai agama jihad yang menentang penindasan dan menegakkan keadilan. Syari’ati berkeyakinan bahwa pemeritahan kaum intelektual merupakan satu-satunya pilihan yang bisa diterima dan diperlukan setelah revolusi. Dengan kata lain, Syari’ati mendukung suatu pemerintahan – atau lebih dari itu, kediktatoran – kaum intelektual.
Syari’ati tegas-tegas menolak jika imâmah diartikan sebagai pemberian kekuasaan yang bersar kepada kaum ulama. Baginya, kaum ulama tidak berhak memonopoli kebenaran di bidang agama, karena para ulama sama sekali tidak bisa lepas tangan dari terciptanya kemunduran di dunia Islam. Manurut Syari’ati, selama ini kaum ulama telah menafsirkan ajaran-ajaran agama yang justru hanya menguntungkan kalangan istana. Sebaliknya, mereka yang non-ulama, khususnya kaum intelektual yang tercerahkan (rausanfikr), adalah yang paling berhak mengendalikan kekuasaan selama masa ghaibnya Imam Mahdi.
H.E. Chelabi adalah salah seorang yang sependapat dengan Syari’ati tentang ketidakberhakan kelompok ulama secara otomatis menjadi pemimpin politik. Sebagaimana digambarkannya:
Ayâtullah Shariatmandari repeatedly stated his opposition to having popular soverighnity restricted. Arguing that “member of clergy, whose role is a spiritual one, should not interface in affair of state”, he would accept a political leadership role for the clergy only when the state passed anti-Islamic legislation, or the event of a temporary power vacuum. (Ayâtullah Shariatmandari berulang-kali menyatakan oposisinya untuk mempunyai kedaulatan rakyat terbatas. Membantah bahwa “anggota ulama, siapa yang berperan dalam bidang spiritual , mestinya tidak terlibat dalam urusan negara”, ia akan menerima peran kepemimpinan politik untuk ulama sekedar hanya ketika negara menerapkan perundang-undangan yang tidak Islami, atau ketika terjadi kekosongan kekuasaan.)
Hal ini mengakibatkan kekuasaan sulit dikontrol, dan partisipasi politik rakyat menjadi sangat rendah. Padahal dalam sistem politik demokrasi, kontrol terhadap kekuasaan dan partisipasi politik rakyat, merupakan dua unsur yang sangat dominan. Pandangan ini umumnya dianut oleh tokoh-tokoh “nasionalis-liberal” seperti Mehdi Bazargan, Abu al-Hasan, dan Bani Sadr. 

Syari’ati kembali menegaskan bahwa yang berhak menjadi pemimpin umat adalah intelektual yang tercerahkan. Mereka adalah orang yang terpanggil untuk memperbaiki nasib umat dari ketertindasan dan mengembalikah hak-hak rakyat agar mereka bisa menikmati kehidupan berkeadilan tanpa tanpa harus merasa khawatir terjadi kesewenang-wenangan atas mereka. Rausanfikr, merujuk kepada mereka yang melakukan tugas mental (sebagai alawan tugas manual). Tidak semua intelektual adalah tercerahkan, tetapi menurut Syari’ati, hanya sebagian darinya. Ia mencontohkan, misalnya, Sattar Khan adalah orang yang tercerahkan tapi bukan seorang intelektual yang bergelar, sementara Allamah Muhammad Qaznivi adalah seorang intelektual tetapi tidak tercerahkan. 

Secara khusus Syari’ati mengidentifikasi kelompok orang-orang yang tercerahkan berasal dari golongan orang yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya. Kesadaran semacam itu dengan sendirinya kan memberikan rasa tanggungjawab sosial. Pada prinsipnya, kata Syari’ati, tanggungjawab dan peranan orang-orang masa kini yang tercerahkan di dunia ini sama dengan tanggungjawab dan pranan para nabi dan pendiri agama-agama besar – yaitu para pemimpin yang mendorong terwujudnya perubahan-perubahan struktural yang mendasar di masa lampau. Mereka itu, lanjut Syari’ati, tidak harus seseorang yang mewarisi dan melanjutkan karya-karya Galileo, Copernicus, Socrates, Aristoteles, dan Ibn Sina. Akan tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah kepekaan sosial dan politik dalam melihat persoalan-persoalan masyarakat.
Di saat masyarakat, dalam konteks ini adalah masyarakat Iran, sebagaimana juga masyarakat lainnya di Dunia Ketiga, sedang mengalami keterpurukan identitas nasional dan disparitas (kesenjangan) sosial ekonomi yang sangat lebar, ia memerlukan dua bentuk revolusi yung saling berkaitan. Pertama, revolusi nasional, yang bertujuan bukan hanya untuk mengakhiri seluruh bentuk dominasi Barat, tetapi juga untuk merevitalisasi kebudayaan dan identiras nasional negara Dunia Ketiga bersangkutan. Kedua, revolusi sosial untuk menghapuskan semua bentuk eksploitasi dan kemiskinan guna menciptakan masyarakat yang adil, dinamis dan “tanpa kelas” (classes). Lantas siapa yang akan menjadi agen revolusi ini?
Ali Syari’ati secara tegas menyatakan bahwa orang yang tercerahkan (rausanfikr) itulah yang harus memulai langkah-langkah strategis revolusi nasional maupun sosial:
Although not a prophet, an enlightened soul should play the role of the prophet for his society. He should preach the call for awareness, freedom and salvation to the deaf and unhearing ears of the people, inflame the fire of a new faith in their hearts, and show them the social direction in their stagnant society. This is not a job for the scientists, because they have a clear-cut responsibility: understanding the status quo and discovering and employing the forces of nature and of man for the betterment of the material life of the people. Scientists, technicians, and artists provide scientific assistance to their nations, or to the human race, in order to help them to improve their lot and be better at what “they are.” Enlightened souls, on the other hand, teach their society how to “change” and toward what direction. They foster a mission of “becoming” and pave the way by providing an answer to the question, “What should we become?” (Meskipun bukan Nabi, pemikir yang tercerahkan harus memainkan peranan sebagai Nabi bagi masyarakatnya. Dia harus menyerukan kesadaran, kebebasan dan keselamatan bagi telinga rakyat yang tuli dan tersumbat, menggelorakan suatu keyakinan baru di dalam hati mereka, dan menunjukkan kepada mereka arah sosial dalam masyarakat mereka yang mandek. Ini bukanlah tugas para ilmuwan, sebab mereka mempunyai tanggungjawab yang pasti: memahami status quo dan menemukan serta memanfaatkan kekuatan-kekuatan alam dan daya manusia untuk memperbaiki kehidupan material rakyat. Para ilmuwan, teknisi, dan seniman memberikan bantuan ilmiah kepada bangsa mereka, atau kepada umat manusia, untuk memperbaiki nasib mereka agar keadaanya emnjadi lebih baik. Orang-orang yang tercerahkan, sebaliknya, mengajarkan kepada masyarakat mereka bagaimana caranya “berubah” dan akan mengarah ke mana perubahan itu. Mereka menjalankan misi “menjadi” dan merintis jalan dengan memberi jawaban kepada pertanyaan, “Akan menjadi apa kita ini?”.

Orang-orang yang tercerahkan (rausanfikr) itu, kata Syari’ati, mempunyai tanggungjwab yang besar yaitu mencari sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya dan menemukan penyebab sebenarnya dari kemandegan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya. Lebih dari itu, lanjut Syari’ati, ia harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih tertidur, mengenai alasan-alasan dasar bagi nasib sosiohistoris mereka yang tragis. Kemudian, dengan berpijak pada sumber-sumber tanggungjawab, kebutuhan-kebutuhan dan penderitaan masyarakatnya, ia harus menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang akan memungkinkan rakyatnya membebaskan diri mereka dari status quo. Berdasarkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam masyarakatnya dan diagnosis yang tepat pula atas penderitaan masyarakat itu, orang yang tercerahkan, masih menurut Syari’ati, harus berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan kelainan-kelainan, serta faktor internal dan eksternal.

Peran rausanfikr dalam perubahan masyarakat dalam pemikiran Ali Syari’ati, sebangun dengan apa yang pernah dibayangkan oleh Antonio Gramsci tentang intelektual organik. Gramsci memetakan potensi intelektual menjadi dua kategori, yaitu itelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional berkutat pada persoalan yang bersifat otonom dan digerakkan oleh proses produksi, sebaliknya intelektual organik adalah mereka yang memiliki kemampuan sebagai organisator politik yang menyadari identitas dari yang diwakili dan mewakili. Intelektual organik itu, menurut Gramsci, tidak harus mereka yang fasih berbicara dan berpenampilan seorang intelektual, tetapi lebih dari itu, yaitu mereka yang aktif berpartisipasi dalam kehidupan praktis, sebagai pembangun, organisator, penasehat tetap, namun juga unggul dalam semangat matematis yang abstrak. 

Bagi Syari’ati, rausanfikr adalah kunci pemikirannya karena tidak ada harapan untuk perubahan tanpa peran dari mereka. Mereka adalah agen perubahan sosial yang nyata, karena pilihan jalan mereka adalah meninggalkan menara gading intelektualisme dan turun untuk terlibat dalam problem-problem real masyarakat. Mereka adalah katalis yang meradikalisasi massa yang sedang tidur panjang menuju revolusi melawan penindas. Masyarakat dapat mencapai lompatan kreatifitas yang tinggi menuju perubahan fundamental struktur sosial-politik akibat peran katalis rausanfikr. 

Dari seluruh bangunan pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam dan revolusi di atas, sumbangan terbesar Syari’ati sebenarnya bukan dalam kekuatannya sebagai seorang teoritikus Islam di bidang ilmu-ilmu sosial, seperti Ibnu Khaldun dengan Muqaddimahnya. Atau barangkali, seperti Erward Said yang dengan Orientalism-nya telah membongkar dan meruntuhkan bangunan ilmu-ilmu sosial “Barat” yang selama ini dibangun di atas power/knowledge dalam era kolonialisme. Sumbangan dia yang paling monumental adalah tesisnya yang menyatakan bahwa “kesadaran kolektif” yang menjadi basis kekuatan revolusioner tidak selalu berangkat dari kesadaran kelas, tetapi juga bisa dari kesadaran agama. Agama dalam konteks ini tentu saja bukan agama dalam pemahaman umum, tetapi agama yang telah mengalami “ideologisasi” sehingga mampu memberi kekuatan revolusioner. Oleh karena itu, tidak heran jika setelah revolusi Iran terjadi, maka kerangka teoritik yang biasanya dijadikan konseptualisasi “social movement” menjadi berantakan, karean sering meremehkan faktor budaya sebagai kekuatan “symbolic resistance”. 

Dengan teori politiknya yang menyatakan bahwa dunia ketiga, seperti Iran, membutuhkan “double movement” atau gerakan ganda revolusi, yaitu pertama, revolusi nasional yang bertujuan disamping untuk memperoleh kemerdekaan dari imperialisme Barat, tetapi juga untuk merevitalisasi warisan kebudayaan dan identitas nasional (to vitalize the country’s culture, heritage, and national identity). Kedua, revolusi sosial yang dimaksudkan untuk mengahapus kesenjangan kelas, kemiskinan, dan segala bentuk eksploitasi. Dua macam revolusi itu dapat dilaksanakan dengan baik jika para intelektual yang tercerahkan (rausanfikr) dapat menjadi agen atau artikulator. Mereka – para rausanfikr itu – dapat menjadi agen yang baik jika dalam kesadaran jiwanya tertanam teologi Islam pembebasan.
Konsep kepemimpinan menurut Imam Khomeini tertuang gagasannya tentang Wilayah al-Faqih. Istilah Wilâyah al-Faqîh (Velayat-i Faqih atau Wilayat-i Faqih atau Wilâyatul Faqîh) diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi “governance by the yurisprudent”, atau “guardiarship of the juristconsult”, “ atau “mandate of the jurist” atau “the purported authority of the yurisprudent”. Lihat Michael M.J. Fischer, Iran: From Religious Dispute to Revolution (Cambridge: Harvard University Press, 1980), hlm. 153. Wilâyah al-Faqîh mengartikulasikan gagasan esensial Imam Khomeini tentang negara dan juga tujuan yang ingin dicapainya. Wilâyah al-Faqîh juga merupakan “blue print” bagi suatu reorganisasi masyarakat, dan merupakan sebuah “handbook” bagi Revolusi Islam Iran. Lihat A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed.), Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian ( Bandung: Mizan, 2000), hlm. 61
Syarat-syarat seorang faqih agar bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam antara lain: 
1) mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam; 
2) harus adil, dalam arti memiliki iman dan akhlaq yang tinggi; 
3) dapat dipercaya dan berbudi luhur; 
4) jenius; 
5) memiliki kemampuan administratif; 
6) bebas dari segala pengaruh asing; 
7) mampu mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas teritorial tanah Islam, sekalipun harus dibayar denagn nyawanya; dan hidup sederhana. 
Lihat Khomeini, Islamic Government (Roma: European Islamic Cultural Centre, 1983), hlm. 52-53.

Hanya imam yang ditunjuk secara eksplisitlah yang berhak membuat keputusan yang mengikat dalam masalah yang emmpengaruhi kesejahteraan umat manusia.
Abdulaziz A. Sachedina, Kepemimpinan Dalam Islam (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 197
A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed.), Syi’ah dan Politik…, hlm. 63
Erward Mortimer, Islam dan Kekuasaan (Bandung: Mizan, 1984), hlm. 322.
Ervand Abrahamian, Radical Islam: The Iranian Mojahedin (London: I.B. Tauris, 1989), hlm. 112-113
Jalaluddin Rakhmad, “Ali Syari’ati: Panggilan untuk Ulil Albab”, pengantar dalam Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual…, hlm. 25.
H.E. Chehabi, “Religion and Politics in Iran”, dalam Daedalus, Volume 120, No. 3 (Summer 1991: 69-91), hlm. 77.

Ali Syari’ati, “Where shall we begin?”.

ALI SYARI'ATI

Judul buku : Ali Syari'ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner
Penulis : Ali Rahnema
Penerbit : Erlangga, Jakarta
Edisi : I, 2006
Tebal : xvi + 648 halaman

 
ALI Syari'ati adalah sebuah nama yang tak asing lagi bagi kebanyakan kalangan umat Islam, termasuk di Indonesia. Kemasyhurannya bisa disandingkan dengan tokoh-tokoh Republik Islam Iran lainnya, seperti Imam Khomeini, Murtadha Muthahhari, dan Allamah Thaba'thabi. Nama-nama mereka cukup familier di telinga umat Islam Indonesia.

Seperti tokoh-tokoh Iran lainnya, ketokohan dan intelektualitas Syari'ati semakin populer bagi masyarakat muslim Indonesia setelah Revolusi Iran meletus pada 1979. Apalagi setelah buku-buku karyanya, misalnya Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, Islam Agama 'Protes', dan Haji diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia.

Kini, sosok, latar belakang, aktivitas, dan pemikiran Syari'ati bisa dibaca dan ditelaah lebih dalam melalui buku karya Ali Rahnema, Ali Syari'ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner. Melalui buku itu Syaria'ti semakin mudah dipahami masyarakat Indonesia. Dalam buku itu Rahnema memaparkan sisi-sisi kehidupan Ali Syari'ti, mulai dari masa kecil, pendidikan, politik, hingga kematiannya dalam pengasingan pada umur 44 tahun, usia yang relatif muda.
 
Rahnema memotret perjalanan kehidupan dan aktivitas politik Syari'ati sebagai seorang pemikir religius dan aktivis revolusioner.

Inilah satu-satunya buku biografi Ali Syari'ati yang kini diterbitkan dalam edisi Indonesia dan ditulis dengan data lengkap, mendalam, dan mendetail. Rahnema tidak hanya menjelaskan liku-liku dramatis dan tragis perjalanan kehidupan Syari'ati, tetapi juga memaparkan kondisi budaya, sosial, ekonomi, dan politik yang mengitarinya. Dengan objektivitas akademisnya, tapi tetap simpati dan hormat, guru besar dalam bidang ilmu ekonomi pada American University, Paris, ini berhasil merekam dan menawarkan pemahaman baru tentang sosok dan figur Syari'ati yang posisinya di dalam Revolusi Iran cukup penting dan diperhitungkan.

Buku biografi Ali Syari'ati ini melanjutkan dan memperkukuh tradisi penulisan riwayat hidup seseorang yang telah berlangsung selama 15 abad lebih. Tradisi penulisan biografi ini bisa dilacak pada masa-masa awal Islam yang biasa disebut sirah. Penulis biografi Nabi Muhammad SAW paling awal adalah Aban ibn Utsman ibn Affan (w. 105/723)--putra Khalifah Utsman ibn Affan yang lahir 10 tahun setelah Nabi wafat. Penulis pertama yang menggunakan istilah sirah atau biografi ialah Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri yang merekonstruksi sirah Nabi dengan struktur yang baku, dan menggariskan kerangka dalam bentuk yang jelas.

Biografi adalah sirah, sekaligus tuntunan, anutan, sejarah, dan masa lalu yang sangat layak dipelajari dan dikaji untuk kehidupan masa depan. Karena itu, sebuah buku biografi, termasuk buku biografi Ali Syari'ti ini bisa menjadi uswah hasanah bagi perilaku teladan kehidupan dan pemikiran seseorang dan masyarakat luas umumnya. Dengan demikian, biografi Syari'ati ini layak dijadikan sebagai sumber referensi untuk merumuskan masa depan pemikiran dan aktivitas politik umat Islam, termasuk pula bagi masyarakat Indonesia.

Biografi Syari'ati karya Rahnema ini tampaknya mengikuti gaya dan model penulisan biografi klasik yang biasanya menggunakan pendekatan kronologis--ditulis secara berurutan dan terinci sesuai dengan masa-masa terjadinya suatu kisah atau peristiwa kehidupan. Biografi semacam ini sering disebut sejarah kronologis atau sejarah 'urut kacang', dan banyak digunakan para penulis biografi. Inilah cara penulisan biografi yang paling sederhana, akurat, dan tidak terlalu rumit untuk menjelaskan dan memaparkan rincian-rincian dasar perikehidupan seseorang.
 
Karena kronologis, penulisan biografi klasik biasanya dimulai dengan penggambaran kehidupan seseorang dari prakelahiran, kelahiran, masa kanak-kanak, keluarga, perkawinan, pendidikan, aktivitas, pemikiran, pemberontakan, pemenjaraan, hingga masa-masa akhir hidupnya, seperti tampak jelas pada biografi Syari'ati yang ditulis Rahnema ini.

Buku yang terdiri atas 23 bab ini dimulai dengan pemaparan Rahnema tentang kondisi politik dan religius yang melatarbelakangi prakelahiran Syari'ati dan keluarganya, yang ditulisnya hingga tiga bab.

Dalam bab empat, Rahnema baru memaparkan tentang masa kecil dan masa dewasa yang dilalui Syari'ati. Seperti disebutkan Rahnema, pikiran dan ide-ide Syari'ati dibentuk oleh bacaan yang diperolehnya selama masa pendidikan (h. 69-73). Bacaan-bacaan Syari'ati cukup beragam, dan memengaruhi pola pikir dan ide. Daftar bacaannya berjalan melalui sebuah transformasi radikal pada saat dia mulai masuk ke sekolah dasar sampai ke sekolah menengah.
Di sekolah dasar, Syari'ati telah membaca berbagai jenis buku; karya Victor Hugo Les Miserables, Que sais-je, History of Cinema, dan buku populer yang best seller seperti Zan-e- Mast. Di tingkat sekolah menengah, Syari'ati mulai mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan masalah-masalah filsafat, mistik, dan sufisme. Dalam bidang filsafat, ia melahap karya-karya filosof Jerman, seperti Arthur Schopenhauer, Franz Kafka, dan penyair besar Jerman Anatole France. Ia memiliki kenangan pertama terhadap karya-karya Maurice Maeterlink. Ia mengacu kepada penulis dan penyair simbolik dari Belgia ini sebagai pemandu dalam merefleksikan dan memeditasikan kebenaran yang ada di balik realitas.

Adapun literatur sufi yang dibaca Syari'ati adalah karya sufi besar, seperti al-Hallaj, al-Junayd, Qadi Abu Yusuf, Syabastari, Qusyairi, Abu Said Abu al-Khayr, Abu Yazid al-Bustami, Ayn al-Qudat al-Hamadani, dan Maulana Jalaluddin Rumi. Dalam masa-masa tersebut, seperti dijelaskan Rahnema, Syari'ati juga telah membaca buku-buku tafsir Alquran, sastra, puisi, sejarah Islam, dan tentu saja buku-buku politik.

Dalam bab-bab berikutnya, khususnya bab lima, Rahnema memaparkan keterlibatan Syari'ati dalam aktivitas politik. Syari'ati, jelas Rahnema, secara efektif memulai aktivitas politiknya ketika menjadi mahasiswa pada institut keguruan. Baru pada 1950, Syari'ati menjadi anggota aktif dalam sebuah partai politik. Namun, dasar-dasar kesadaran sosial politiknya telah ia tanam pada Pusat Penyebaran Kebenaran Islam ketika ia masih berusia 15 tahun. Dalam perkembangan berikutnya, Syari'ati dapat digolongkan sebagai seorang agitator dan pemimpin politik, dan tentu saja tidak mengesampingkan tulis-menulis sebagai kegiatan utamanya. Antara periode 1951-1955, Syari'ati secara produktif menulis artikel-artikel tentang sosial politik.
Dalam artikel-artikelnya, papar Rahnema, Syari'ati menyerukan penerapan konsep Islam tentang al-amr bi al-ma'ruf wa al-nahy 'an al-munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan mungkar) ke wilayah sosial politik. Konsep Islam ini merupakan sebuah tanggung jawab sosial yang diwajibkan atas semua orang. Di tangan para agamawan tradisional, konsep Islam ini hanya dipahami dalam batas-batas ibadah. Konsep ini sebenarnya bisa diimplikasikan dan dimanifestasikan ke dalam kehidupan kontemporer, yaitu untuk mencegah kemungkaran sosial politik. Misalnya, berjuang menentang imperialisme internasional, zionisme, kolonialisme dan neokolonialisme, kediktatoran, pertentangan kelas, rasisme, imperialisme kebudayaan, dan westernism.

Dengan pemahaman semacam itu, jelas Rahnema, Syari'ati sebenarnya 'mengumandangkan' bahwa 'mengajak' kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran bukan monopoli agamawan, tapi menjadi tanggung jawab sosial, dan dalam konteks wilayah sosial politik, tanggung jawab sosial itu menjadi kewajiban setiap muslim. Kewajiban itu tidak hanya berupa nasihat, tapi sebagai ajakan yang mengikat dan didukung oleh kekuatan. Kewajiban itu mustahil dilaksanakan tanpa memerangi ketidakadilan dan perilaku jahat (h.474-475).

Pandangan Syari'ati ini membuktikan bahwa ia benar-benar sosok politikus-intelektual-revolusioner pada zamannya, seperti tampak jelas dalam judul buku Rahnema ini. (Idris Thaha, dosen politik Islam pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, serta peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

Pengarang: ALI RAHNEMA
Tahun: 2006
ISBN: 979781193X


Sinopsis:
Ali Syari’ati adalah Bapak Ideologi revolusi Iran. Buku ini membahas kehidupan dan pemikiran Ali Syari’ati dalam konteks kebudayaan yang kompleks dan bertolak belakang, kondisi sosial dan politik dari masyarakat Iran yang telah membesarkannya. Buku ini memotret kehidupan Syari’ati mulai dari masa kecilnya di sebuah kota kecil bernama Masyhad, kehidupannya sebagai seorang mahasiswa di Paris pada awal tahun 60-an, perkembangannya sebagai pemikir religius dan revolusioner, perseteruannya dengan rezim Pahlavi serta ulama Syi’ah status-quo, hingga wafatnya dalam pengasingan pada umur empat puluh empat tahun.
 
Ali Syari’ati : Biografi Politik Intelektual Revolusioner menawarkan sebuah pemahaman baru mengenai sosok yang memainkan peran signifikan dalam revolusi Iran, dan analisis mengenai politik Islam yang telah mempengaruhi gerakan-gerakan di Timur Tengah.
 
Para praktisi dan pengamat politik, intelektual sosial politik, mahasiswa, dan mereka yang tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang tokoh ini sangat dianjurkan membaca buku ini.

 
 

DR Ali Syariati (http://media.us.macmillan.com)
PELAJARAN apa yang saya petik dari pengalaman menunaikan ibadah haji? Pertama-tama sebaiknya kita bertanya tentang apa arti haji. Pada hakikatnya, ibadah haji adalah evolusi manusia menuju Allah. Ibadah haji merupakan sebuah demonstrasi simbolis dan falsafah penciptaan Adam. Gambaran selanjutnya, pelaksanaan ibadah haji dapat dikatakan sebagai suatu pertunjukan banyak hal secara serempak. Ibadah haji adalah sebuah pertunjukan tentang ‘penciptaan’, ’sejarah’, ‘keesaan’, ‘ideologi Islam’, dan ‘ummah’.
 
Demikian ungkap cendekiawan muslim terkemuka Iran, DR Ali Syariati pada halaman pembukaan buku karyanya Hajj (The Pilgrimage) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Zahra menjadi Makna Haji.
 
Goresan pena Syariati pada pembukaan buku yang telah saya kutip di atas dilanjutkan dengan ilustrasi yang menarik. Kata Ali Syariati, “Allah (Tuhan) adalah sutradaranya. Tema yang dibawakan adalah perbuatan orang-orang yang terlibat, dan para tokoh utamanya meliputi Adam, Ibrahim, Hajar, dan setan. Lokasi pertunjukannya adalah Masjid al-Haram, daerah Haram, Nas’a, Arafah, padang Masy’ar dan Mina. Simbol-simbol yang penting adalah Ka’bah, Shafa, Marwah, siang, malam, matahari terbit, matahari terbenam, berhala dan upacara kurban. Pakaian dan make up-nya adalah ihram, halgh dan taqshir (mencukur sebagian rambut kepala). Yang terakhir dari peran-peran dalam ‘pertunjukan’ ini adalah hanya seseorang, yakni dirimu sendiri.
 
 
Akhir Area Suci Kota Mekah (scan by dwiki).
Ditandaskan pula oleh Syariati bahwa tidak peduli apakah engkau seorang laki-laki atau perempuan, muda atau tua, kulit hitam atau kulit putih, engkau adalah aktor utama dalam pergelaran ini. Engkau berperan sebagai Adam, Ibrahim dan Hajar dalam konfrontasi antara ‘Allah dengan setan’. Konsekuensinya, engkau adalah pahlawan dari pertunjukan ini.
 
Tentang buku Hajj itu sendiri, Ali Syariati memang mengungkapkan bukan sebuah buku tentang ‘jurisprudensi religius’ melainkan sekedar risalah yang mengajak pembacanya untuk berpikir.

Haji dalam pemahaman Syariati merupakan kepulangan manusia kepada Allah SWT yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak dipadankan oleh sesuatu apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai, dan fakta-fakta.
 
Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan manusia bukanlah untuk binasa, tetapi untuk berkembang. Tujuan ini bukan untuk Allah, tetapi untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya. Makna-makna tersebut dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, nyata atau simbolik.
 
Semua itu, pada akhirnya, mengantarkan seorang haji hidup dengan pengamalan dan nilai kemanusiaan universal. Syariati mencontohkan, dalam konteks niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram, haji memiliki makna yang lebih universal dengan nilai-nilai kemanusiaan.
 
Pakaian ihram, menurutnya, melambangkan pola, preferensi, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. “Tak dapat disangkal bahwa pakaian pada kenyataannya dan juga menurut Al-Quran berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau satu kelompok dengan lainnya,” tulis Syariati.
 
Menurutnya, pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Di Miqat, tempat ritual ibadah haji dimulai, perbedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan. Semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.
Di Miqat ini, apapun ras dan suku harus dilepaskan. Semua pakaian yang dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) harus ditinggalkan.
 
 
Cover Buku Makna Haji (dwiki scan).
Di Miqat, dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. “Ia akan merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa,” tandas Syariati.
 
Selanjutnya, Ka’bah yang dikunjungi di tengah-tengah Masjidil Haram, dalam pemahaman Syariati mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana terdapat Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail.
 
Ali Syariati, melalui ketajaman analisanya, mengajak kita untuk menyelami makna haji. Menggiring kita ke dalam lorong-lorong haji yang penuh makna, bukan yang hampa tak bermakna. Diajaknya kita untuk memahami haji sebagi langkah maju “pembebasan diri”, bebas dari penghambaan kepada tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Sejati. 
 
Melalui uraiannya yang khas dan membangkitkan semangat, kita diberitahu siapa saja kepalsuan yang ternyata menjadi sahabat, kekasih dan pembela kita, yang harus kita waspadai dan kita bongkar topeng-topeng kemunafikannya. 
 
Penulis buku ini hendak menunjukkan kepada kita bahwa haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi manusia. Dengan kata lain, orang yang sudah berhaji haruslah menjadi manusia yang “tampil beda” (lebih lurus hidupnya) dibanding sebelumnya. Dan ini adalah kemestian. Kalau tidak, sesungguhnya kita hanyalah wisatawan yang berlibur ke tanah suci di musim haji, tidak lebih!
 
Tidak kalah dahsyat pula, pandangan Ali Syariati mengenai pilar-pilar doktrin Islam dalam pengantar buku Hajj ini. Ia mengatakan, “Sejauh yang saya ketahui, dari sudut pandang praktis dan konseptual, pilar-pilar doktrin Islam terpenting yang memotivasi bangsa Muslim dan menjadikannya sadar, bebas, terhormat, dan bertanggungjawab secara sosial adalah: tauhid, jihad, dan haji.”
 
Sebuah buku menarik dan merangsang pikiran yang layak anda baca!
 
00*****00
 
DR Ali Syariati (http://persia1.wordpress.com)
Tentang Riwayat Hidup Ali Syariati dan Karya-karyanya (Klik Sini).
Dwiki Setiyawan, Kompasianer pengagum Ali Syariati.

Syar`ati tampaknya lebih revolusioner dan spektakuler dalam menghadapi berbagai masalah yang menghimpit masyarakat lemah Iran khususnya, dan umat Islam pada umumnya. Ia memanfaatkan dua kekuatan, yaitu kekuatan akal dan kekuatan hati dalam memecahkan berbagai masalah sosial yang dihadapi kaum lemah. Dua kekuatan ini apabila dipadukan akan menjadi kekuatan yang luar biasa sehingga akan terjadi transformasi sosial yang sangat mendasar di bawah naungan al-Qur`an dan as-Sunnah. Sebagai kata kunci yang dikutip dari ayat-ayat al-Qur`an dalam menghadapi berbagai masalah adalah kata iman (dzikir), ilmu pengetahuan dan teknologi (pikir), dan amal (tindakan nyata).

Pemikiran Ali Syar`ati lainnya dapat dibaca dalam buku yang disusun oleh Suwito. Buku ini menarik untuk dibaca, baik kalangan muda khususnya maupun para peminat yang senang dengan transformasi sosial di seluruh bidang kehidupan. Saya berharap bahwa setelah membaca dan memahami pemikiran Ali Syar`ati dengan lebih lanjut dalam buku ini, para generasi muda Islam khususnya dan para peminat perubahan sosial pada umumnya dapat termotivasi untuk berdzikir, berpikir (berkreasi), dan bertindak terampil dalam menghadapi setiap permasalahan keislaman dan kemasyarakatan agar tidak terombang-ambing oleh perubahan sosial yang begitu cepat dan dahsyat.

Ali Syari’ati; Mengapa Harus Hijrah?


Tulisan ini, seharusnya terbit dua hari yang lalu. Tapi, tak mengapa, karena setiap kejadian dalam hidup bukan hanya sekedar momentum. Lebih dari itu, ia merupakan makna dan hikmah. Demikian pula dengan Hijrah ini.

Menurut Ali Syari’ati, migrasi atau hijrah (tentu saja hijrah di jalan Allah) adalah pemutusan keterikatan masyarakat terhadap tanahnya. Artinya, pergi meninggalkan tanah kelahirannya atau kampung halamannya. Kepergian tersebut akan mengubah pandangan manusia terhadap alam. Mengubahnya menjadi pandangan yang luas dan menyeluruh, menghilangkan kemerosotan pemikiran dan perasaan, menjadikannya manusia yang dinamis. Dan, kepergian untuk meninggalkan kampung halaman ini mutlak atau harus. Mengapa?

“Seseorang yang tertawan oleh lingkungan tempat tinggalnya, menjadi terpenjara dan statis, dan pada gilirannya tidak bisa berkembang dan berubah. Akibat lanjutannya, pikiran, akal, kesadaran, ilmu, seni, kebudayaan, agama, dan pandangan kesemestaannya menjadi terkungkung dan mandeg, atau didesak oleh – dan akhirnya mati di tangan – peradaban, agama, dan masyarakat lain yang dinamis dan terbuka, yang lebih perkasa dalam kontak yang terjadi dengannya.” (Lihat Ali Syari’ati dalam Rasulullah Saw. Sejak Hijrah Hingga Wafat, 1992).

Jadi, makna hijrah tanpa kepindahan geografis adalah nonsen. Ada dua contoh yang menarik untuk membenarkan pernyataan ini:

Pertama, dulu bangsa Yunani menganggap bahwa bangsa merekalah yang memiliki peradaban tertinggi, dan menganggap bangsa lain sebagai bangsa yang tidak beradab. Tapi, akhirnya, peradaban mereka merosot dan hancur di tangan bangsa Romawi dikarenakan tidak maunya mereka hijrah melihat perkembangan bangsa lain yang senantiasa dinamis. Bangsa Yunani selama itu terkungkung dalam dinding-dinding kota mereka, dan mengisolasi diri dari dunia non Yunani.

Kedua, bangsa Indonesia (dulu Nusantara lalu kemudian bernama Hindia Belanda) terjajah oleh bangsa Belanda, tak lain tak bukan karena bangsa Indonesia setelah runtuhnya Majapahit tak pernah lagi hijrah ke luar dari negerinya melihat peradaban bangsa lain. (Lihat Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik dan Saya Terbakar Amarah Sendirian). Beratus tahun kemudian setelah itu, Indonesia merdeka, disebabkan karena adanya anak-anak bangsa ini yang hijrah ke luar lalu pulang menyerukan kemerdekaan. Kalau tidak ada anak-anak bangsa ini yang pernah hijrah ke luar, bangsa Indonesia ini tidak akan pernah merdeka. Sebab, pada saat itu, bangsa ini sendiri tidak sadar bahwa mereka sedang dijajah.

Dua contoh di atas sudah cukup untuk membenarkan bahwa memaknai hijrah tanpa perpindahan geografis itu nonsen.

Oleh sebab itu, perintah Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. beserta para pengikutnya untuk hijrah dari Mekah ke Madinah, dalam konteks kekinian, haruslah diterjemahkan secara hakiki sebagai sebuah perpindahan geografis. Tanpa terjadinya perpindahan geografis dari Mekah ke Madinah itu, mustahil Islam akan berkembang seperti sekarang ini. Karena pemikiran dan wawasan kaum muslimin kala itu terkungkung oleh lingkungan orang-orang kafir Quraisy di Mekah. Dengan hijrah ke Madinah, kaum muslimin (kata Syari’ati) menemukan “kemungkinan-kemungkinan baru”, yang kelak setelah itu mereka memperoleh kemenangan beruntun secara politik, kemiliteran, dan agama.

Demikian pula hari ini, hijrah itu harus tetap dimaknai sebagai perpindahan geografis. Tanpa perpindahan geografis, mustahil terjadi perubahan pada pola pikir, akal, dan wawasan. Tanpa perpindahan geografis, akal dan pikiran akan senantiasa statis dan tidak berkembang. Dengan hijrah secara geografis, maka hijrah itu selanjutnya (kata Syari’ati) akan menjadi “gerakan dan loncatan besar manusia, yang meniupkan semangat perubahan dalam pandangan masyarakat, dan pada gilirannya menggerakkan dan memindahkan mereka dari lingkungan yang beku menuju tangga kemajuan dan kesempurnaan”.

The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World menyatakan bahwa sulit menemukan biografi intelektual Syari’ati yang otoritatif. Banyak sisi kehidupan Syari’ati yang tetap tersembunyi. Sejak ia wafat, setiap tahun memang banyak karyanya yang diterbitkan di Iran untuk mengenangnya, namun datanya tidak lengkap, tersebar, dan bercorak hagiografis, sehingga agak sulit dibedakan antara kebenaran dan legenda.
 
Ali Syari’ati lahir 23 November 1933, di desa Maziman, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar, Propinsi Khorasan, Iran. Desanya berada di tepi gurun pasir Dasht I Kavir, di sebelah Timur Laut Iran. Dia lahir dari keluarga ulama. Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad, kota tempat pemekaman Imam Ali Al-Ridha(w 818), Imam ke delapan dari kepercayaan Islam Syi’ah.
 
Kehidupan Syari’ati berakar di pedesaan. Di sanalah seperti ditulisnya dalam otobiografinya pandangan dunia Syari’ati pertama kali dibentuk. Dia begitu bangga akan leluhurnya, yang merupakan ulama-ulama terkemuka di masanya dan mereka memilih menyepi di gurun Kavir.
 
Guru pertama Syari’ati adalah Taqi Syari’ati, ayahnya sendiri, yang memutuskan untuk mengajar di kota Mashyad, dan tidak kembali ke desanya seperti tradisi leluhurnya.Sang ayah adalah ulama yang berbeda dari ulama tradisional. Sang ayah ini mempunyai perpustakaan lengkap dan besar yang selalu di kenang Syari’ati, yang secara metaforis dilukiskan sebagai mata air yang terus menyinari pikiran dan jiwanya.Di masa kecilnya ini, Syari’ati gemar membaca di perpustakaan ayahnya yang besar. Bahan bacaannya antara lain Les Miserables (Victor Hugo), buku tentang vitamin dan sejarah sinema terjemahan Hasan Safari, dan Great Philosophies terjemahan Ahmad Aram Syari’atikecil juga mulai menyukai filsafat dan mistisme sejak tahun-tahun pertamanya disekolah menengah.
 
Kombinasi sosok intelektual dan aktivis yang terjun langsung ke lapangan membela ketidakadilan ini sedikit membentuk semangat intelektual yang juga aktivis politik revolusioner. Dan dia pula, Syari’ati menyerap pandagan tentang konstruksi sosiologis Marx, khususnya banalisa tentang kelas social dan truisme (itsar). Syari’ati mengaku lebih banyak dipengaruhi Massigmon, George Gurvich, Jean-Paul Sartre, dan Franz Fanon. Ketika berada di Perancis, dia sadar bahwa pemikiran Barat bisa mencerahkan sekaligus memperbudak pemikiran pelajar Iran.

Modernisasi dari atas dan sentralisasi kekuasaan yang dilakukan dengan tangan besi; penerapan cara-cara militer yang ‘mengharuskan represi brutal terhadap mereka yang menentang, menjadi cirri utama rezim kekuasaan Reza Syah. Modernisasi dan Industrialisasi yang dijalankan pada dasarnya berkiblat pada Negara-negara di Eropa Barat.
 
Dia melihat adanya proses pembaratan total yang membentuk Eropanoid. Dari sini muncul pemikirannya yang memetakan intelektual menjadi Intelektual Islam yang meniru, dan ‘intelektual sejati’ yang mengikuti tradisi para nabi dan menyadarkan umatnya sekaligus punya tanggung jawab dan misi social. Syari’ati juga berusaha memecahkan masalah yang dihadapi Kaum Muslim berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pada tanggal 18 Juni, Pouran, istri Syari’ati, beserta tiga putrinya hendak menyusul ke London. Tetapi, kali ini pihak berwenang menolak mengizinkan Pouran dan Mona, anaknya yang berusia 6 tahun, untuk meninggalkan Iran. Tetapi Soosan dan Sara, dua anak lainnya, diperbolehkan. Begitu keduanya tiba di Heathrow, Syari’ati menjemputnya dan membawa mereka ke sebuah rumah yang telah disewa di daerah Southampton, Inggris.

Tetapi keesokan paginya, 19 Juni 1977, Syari’ati ditemukan tewas di Southampton, Inggris. Pemerintah Iaran menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia Iran. Kematiannya menjadi mitos "Islam Militan" Popularitasnya memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran, Februari 1979. Saat itu, Fotonya mendominasi jalan-jalan di Teheran berdampingan dengan Ayatullah Khomeini.
ISLAM AGAMA PEMBEBASAN.

Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda dengan pemahaman maintreem saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa Syari’ati adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustad’afîn).
 
Islam yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya. 
 
Syari’ati berpendapat bahwa Islam lebih dinamis dari pada agama lainnya. Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di Barat, kata "politik" berasal dari bahasa Yunani "polis" (kota), sebagai suatu unit administrasi yang statis, tetapi padanan kata Islamnya adalah "siyasah", yang secara harfiyah berarti "menjinakkan seokor kuda liar,", suatu proses yang amengandung makna perjuangan yang kuat untuk memunculkan kesempurnaan yang inheren. 
 
Islam, dalam pandangan Syari’ati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan antara hamba dengan Sang Khaliq (Hablu min Allah), tetapi lebih dari itu, Islam adalah sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan: 
" Adalah perlu menjelaskan tentang apa yang kita maksud dengan Islam. Dengannya kita maksudkan Abu Zar; bukan Islamnya Khalîfah . Islam keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islamnya penguasa, aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan (progress) dan kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum mujâhid; bukan Islamnya kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggungjawab pribadi dan protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi (taqiyeh) keagamaan, wasilah ulama dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah; bukan Islam yang menyerah, dogmatis, dan imitasi tidak kritis (taqlîd) kepada ulama" .
 
Selanjutnya, gambaran Islam pembebasan ditegaskan kembali oleh Syari’ati:
" Adalah tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Islam. Kita harus menspesifikasi Islam mana yang kita maksudkan: Islam Abu Zar atau Islam Marwan (bin. Affan), sang penguasa. Keduanya disebut Islam, walaupun sebenarnya terdapat perbedaan besar diantara keduanya. Satunya adalah Islam ke-khalîfah-an, istana dan penguasa. Sedangkan lainnya adalah Islam rakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin. Lebih lanjut, tidak cukup syah dengan sekadar berkata, bahwa orang harus mempunyai kepedulian (concern) kepada kaum miskin dan tertindas. Khalîfah yang korup juga berkata demikian. Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan" . 
 
Ali Syari'ati menyebut Islam sebagai agama pembebasan. Islam, menurutnya, bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hubungan individual dengan Sang Pencipta, melainkan lebih merupakan ideologi emansipasi dan pembebasan. Syari'ati juga mengatakan masyarakat Islam sejati tak mengenal kelas. Islam menjadi sarana bagi orang-orang yang tercerabut haknya, yang tersisa, lapar, tertindas, dan terdiskriminasi, untuk membebaskan diri mereka dari ketertindasan itu.
 
Syariati mendasarkan Islamnya pada kerangka ideologis. Dia memahami Islam sebagai kekuatan revolusioner untuk melawan segala bentuk tirani, penindasan, dan ketidakadilan menuju persamaan tanpa kelas. Syari'ati bahkan mencetuskan formula baru: ''Saya memberontak maka saya ada.''. . 
 
Islam pembebasan adalah Islam yang diwariskan oleh Imam Husein; kesyahidannya di Karbala menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang tertindas untuk memelihara Islam yang otentik itu. Sehingga, Islam yang demikian adalah Islam Syi’ah awal, yakni Islam Syi’ah revolusioner yang dipersonifikasikan Abu Zar al-Ghifari dengan kepapaannya, dan Imam Husein dengan kesyahidannya. Keduanya merupakan simbol perjuangan abadi ketertindasan melawan penguasa yang zalim. Islam Syi’ah revolusioner ini kemudian mengalami "penjinakan" di tangan kelas atas – penguasa politik dan ulama yang memberikan legitimasi atas "Islam" versi penguasa. Ulama, tuduh Syari’ati dengan menggunakan jargon Marxis, telah menyunat Islam dan melembagakannya sebagai "pemenang" (pacifier) bagi massa tertindas, sebagai dogma kaku dan teks skriptural yang mati. Ulama bergerak seolah-olah di dalam kevakuman, terpisah dari realitas sosial.
 
Menurut pengamatan Syari’ati, selama 7 abad sampai masa Dinasti Safavi, Syi’isme (Alavi) merupakan gerakan revolusioner dalam sejarah, yang menentang seluruh rezim otokratik yang mempunyai kesadaran kelas seperti Dinasti Ummayah, Abbasiyah, Ghaznawiyah, Saljuk, Mongol, dan lain-lain. Dengan legitimasi ulama rezim-rezim ini menciptakan Islam Sunni versi mereka sendiri. Pada pihak lain, Islam Syi’ah Merah, seperti sebuah kelompok revolusioner, berjuang untuk membebaskan kaum yang tertindas dan pencari keadilan.Syari’ati melihat rezim dan lembaga keulamaan, yang bisa jadi terkadang ditunggangi pihak luar, sebagai manipulator masa lampau Iran dan arsitek yang menjadikan tradisi menjadi penjara. 
 
Rezim Syah Iran tidak membangkitkan agama, tetapi mempertahankan kerajaan yang mandek, sementara para ulama mempertahankan kemandekan Islam. Menurut Syari’ati, apa yang terjadi di Iran adalah, bahwa di satu sisi, para ulama yang menjadi pemimpin agama selama dua abad terakhir telah mentransformasikannya menjadi bentuk agama yang kian mandek, sementara di sisi lain orang-orang yang tercerahkan yang memahami kekinian dan kebutuhan generasi dan zaman, tidak memahami agama. Akhirnya, kata Syari’ati, "Islam sejati tetap tak diketahui dan tersembunyi dalam relung-relung sejarah". 
 
Bagi Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner, dan Syi’ah sejati adalah jenis khusus Islam revolusioner. Tetapi entah mengapa dalam perjalanan waktu kemudian Islam telah berubah menjadi seperangkap doa-doa dan ritual yang tak bermakna sama sekali dalam kehidupan. Islam hanya sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak peduli bagaimana orang bisa survive dalam kehidupan di tengah gelombang diskriminasi, eksploitasi, dan aneka penindasan dari para penguasa zalim. Agama model seperti ini yang sangat disukai para penguasa untuk menjaga kekuasaannya tetap aman, tanpa ada gangguan dari orang-orang yang ingin mengamalkan Islam sejati.

Gagasan Syari’ati tentang Islam revoluioner atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan (theology of liberation) yang banyak diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran antara Syari’ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama, yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan (ulama, gereja) yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan, dan berpaling dari kenyataan ril umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Mereka sama-sama memberontak dan tidak puas dengan seperangkat doktrin yang telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan teologi pembebasan sama-sama berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi agama dan mengembalikan hak menafsirkan agama itu kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak pada kepentingan rakyat.
 
Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagaman, seperti para elit keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis keagamaan. 
 
Teologi Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui, dengan menyertakan di dalamnya suatu doktrin keagamaan yang benar-benar masuk akal, Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagaman yang mapan. Beberapa diantara doktrin itu adalah ; 1). Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembacan baru terhadap teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama 6) Kecaman teradap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis. 
 
Sejalan dengan kerangka pikir gerakan teologi pembebasan yang diusung oleh kalangan revolusioner di lingkungan agama Katholik, Islam revolusioner atau Islam pembebasan kurang lebih mempunyai kerangka pikir yang sama. Teologi pembebasan berbasis pada kesadaran rohani dan Islam pembebasan juga berbasis pada kesadaran Islam sejati atau otentik. Masing-masing mempunyai tujuan untuk menjadikan agama sebagai sarana untuk memperjuangkan tegaknya keadilan, meruntuhkan segala sistem despotik dan otoriter dan menjaga agar tidak ada penindasan di muka bumi ini.
 
Sebagaimana yang telah terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan Islam adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan eksploitasi; mereka inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat lemah. Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota yang lainnya yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai masyarakat Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam. Ajaran Nabi menyatakan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, dan menyuruh umatnya untuk berdoa kepada Allah agar dapat terhindar dari keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat begi terciptanya masyarakat Islam. Dalam hadis lain Nabi menyatakan, bahwa sebuah negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa bertahan jika di dalamnya terdapat dhulm (penindasan).
 
Sayangnya, sebagaimana yang telah digelisahkan oleh Syari’ati, Islam yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan status quo. Islam sarat dengan praktek feodalisme dan para ulama justru menyokong kemapanan yang sudah kuat itu. Mereka lebih banyak menulis buku tentang kaidah-kaidah ritual dan menghabiskan energinya untuk mengupas masalah-masalah furû’iyah dalam syari’at, dan sama sekali mengecilkan arti elan fital Islam dengan menciptakan keadilan sosial dan kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas (mustad’afîn). Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mustakbirîn (orang yang kuat dan sombong).
 
Seperti yang telah disebut di muka, Syari’ati "menuduh" ulama sebagai sumber utama atas penyelewengan ajaran Islam yang bersifat revolusioner. Di tangan ulama, Islam telah menjadi agama "orang mati" yang tidak berdaya melawan "orang-orang yang serakah". Dalam konteks Iran, ulama telah merubah Syi’ah dari kepercayaan revolusioner menjadi ideologi konservatif; menjadi agama negara (din-i dewlati), yang paling tinggi menekankan sikap kedermawanan (philanthropism), paternalisme, pengekangan diri secara sukarela dari kemewahan. Sedangkan pada pihak lain, demikian Syari’ati menggambarkan, ulama mempunyai hubungan organik dengan kemewahan itu sendiri melalui kelas berharta. 
 
Karena ulama Syi’ah memperoleh pemasuka dari Khams (sedekah) dari sahm-i Imâm (bagian dari zakat), mereka tak terhindarkan lagi terkait kepada orang kaya, negara tuan tanah, dan pedagang bazaar. Sebagai respon terhadap orang yang mengklaim bahwa ulama Syi’ah lebih independen dibandingkan dengan ulama Sunni. Syari’ati berargumen bahwa hal itu mungkin benar pada masa sebelum Safavi, tetapi tidak demikian setelahnya. 
 
Kritik terhadap Syari’ati.

Kritik yang cukup pedas dari Syari’ati kepada golongan ulama membuat para ulama menberikan reaksi balik. Muthahari, salah sorang ulama terkemuka, memandang Syari’ati telah memperalat Islam untuk tujuan-tujuan politis dan sosialnya. Lebih jauh Muthahari menilai, aktivisme politik protes Syari’ati menimbulkan tekanan politis yang sulit untuk dipikul oleh sebuah lembaga keagamaan seperti Hussainiyeh Ersyad dari rezim Syah.

Dan Memang, setelah Syari’ati banyak mengkritik lembaga ulama dan rezim, Hussainiyeh Ersyad akhirnya ditutup paksa oleh pasukan keamanan. Selain Muthahhari, masih banyak ulama sumber panutan (marja’ taqlid) seperti Ayâtullah Khû’i, Milani, Rûhani, dan Thabathâba’i yang juga turut mengecam suara-suara kritis Syari’ati. Bahkan mereka mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual, dan membaca tulisan-tulisan Syari’ati. 
 
Setelah Syari’ati mengkritik ulama yang dinilainya sebagai akhund, Syari’ati lantas menyampaikan tipikal ulama ideal. Menurutnya, ulama ideal, secara sederhana, adalah ulama aktivis, yang menggalang massa untuk melakukan gerakan protes. Sehingga dalam hal ini, ia menjadikan ayahnya sendiri dan Ayâtullah Muhammad Baqir Sadr (dihukum mati oleh pemerintah Republik Islam Iran tahun 1979) atau pemikir aktivis dari kalangan Sunni seperti al-Afghani sebagai idolanya. Khomaeni tentu saja cocok dengan kerangka Syari’ati mengenai ulama. Tetapi Syari’ati tidak pernah menyatakan perasaannya secara terbuka tentang Khomaeni. Informasi yang ada nampaknya memberikan indikasi bahwa Syari’ati mengakui Khomaeni sebagai pemimpin besar.

Membedah Jejak Politik Ali Syariati


Judul buku : Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner
Penulis : Ali Rahnema
Penerbit : Erlangga, Jakarta
Edisi : I, 2006
Tebal : xvi + 648 halaman


Peresensi: Muhammadun AS (pemerhati sosial, tinggal di Yogyakarta).

Memahami pergolakaan Republik Islam Iran dewasa ini tidak bisa dilepaskan revolusi yang dipimpin oleh Ayatullah Humaini (1979) yang tidak hanya menjadi momentum perubahan pemerintahan internasional menuju pemerintahan Republik Islam Iran, namun juga merupakan manifestasi politik otentisitas berbasis identitas agama yang menentang supremasi universalitas Barat, terutama AS.

 
Di tangan Humaini, Iran berani dengan lantang mendekontruksi hegemoni Barat yang diklaim superior atas segala kebijakan perubahan dunia. Dari jejak Humaini ini, tidak salah kalau sekarang Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad begitu lantang menentang Barat yang mau melucuti praktek nuklir yang dilakukan Iran.

 
Namun demikian, memahami Iran sekarang hanya melihat Ayatullah Humaini tidaklah lengkap kalau tidak dibarengi membedah jejak sosok misterius yang meninggal di London, yakni Ali Syari’ati. Bagi penulis, Syari’ati adalah salah seorang tokoh yang membantu perjuangan Imam Khomeini dalam menjatuhkan rezim Syah Iran yang lalim, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan menurut ajaran Islam. Doktor sastra lulusan Universitas Sorbonne Perancis ini berjuang tak kenal lelah dan takut. Selama hidupnya ia mengabdikan dirinya untuk membangunkan masyarakat Islam Iran dari belenggu kezaliman. Pikiran-pikiran dalam ceramahnya telah membuat para pemuda dan mahasiswa Iran tergugah semangat untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

 
Syariati, anak pertama Muhammad Taqi dan Zahra, lahir pada 24 November 1933. Bertepatan dengan periode ketika ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai mengajar di sebuah sekolah dasar, Syerafat. ‘Ali lahir dalam keluarga terhormat. Dalam keluarga ini ritual dan ritus keagamaan ditunaikan dengan seksama. Pada masa kanak-kanak ketika teman-temannya asyik bermain, Syariati asyik membaca buku-buku sastra seperti Les Miserable karya Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak tahun pertamannya di sekolah menengah atas, ia asyik membaca buku-buku filsafat, sastra, syair, ilmu sosial dan studi keagamaan di perpustakaan ayahnya yang berjumlah 2000 buku. Kegemarannya inilah yang membuat ia jarang bermain dengan teman-teman sebayanya.

 
Pada 1955, Syariati masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad yang baru saja diresmikan. Selama di universitas, sekalipun menghadapi persoalan administratif akibat pekerjaan resminya sebagai guru full-time, Syariati paling tinggi rangkingnya di kelas. Bakat, pengetahuan dan kesukaannya kepada sastra menjadikannya popular di kalangan mahasiswa. Di universitas, Syari'ati bertemu Puran-e Syari'ati Razavi, yang kemudian menjadi istrinya. Karena prestasi akademisnya di Universitas ini, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi keluar negeri. Pada April 1959, Syariati pergi ke Paris sendirian. Istri dan putranya yang baru lahir, bernama Ehsan bergabung dengannya setahun kemudian.

 
Selama di Paris, Syariati berkenakan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan, yang mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Dia mengikuti kuliah-kuliah para akademisi, filosof, penyair, militan, dan membaca karya-karya mereka, terkadang bertukar pikiran dengan mereka, serta mengamati karya-karya seniman dan pemahat. Dari masing-masing mereka Syari'ati mendapat sesuatu, dan kemudian mengaku berutang budi kepada mereka. Di sinilah Syariati berkenalan dengan banyak tokoh intelektual barat antara lain Louis Massignon yang begitu dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque dan lain-lain.

 
Walaupun berada di Paris, namun pribadi Syariati yang penuh dengan semangat perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan, ia tetap berjuang menentang rezim Iran. Antara 1962 dan 1963, waktu Syariati tampaknya habis tersita untuk aktivitas politik dan jurnalistiknya. Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang dan gerakan politiknya yang menggugah semangat kaum muda menjadikan dia sebagai figur oposan yang sangat spektakuler dalam merubah tatanan politik atas yang dihegemoni Syah Pahlevi. Karena wataknya yang kritis, sekembalinya di Iran dengan gelar doktoral tahun 1963, Syari’ati menjadi sosok yang kharismatis yang kuliah-kuliahnya di universitas Masyhad sangat memukau dan memikat audiens, karena isi kuliahnya yang membangkitkan orang untuk berpikir.

 
Karena begitu kharismatis, akhirnya pemerintahan Syah Pahlevi berang. Karena merasa terancam, pada 16 Mei 1977, Syariati meninggalkan Iran. Ia mengganti namanya menjadi ‘Ali Syariati. Tentara Syah, SAVAK akhirnya mengetahui kepergian Ali Syariati mereka mengontak agen mereka di luar negeri. Di London Inggeris, pada 19 Juni 1977 jenasah Ali Syariati terbujur di lantai tempat ia menginap. Kematian yang tragis seorang pejuang Islam yang teguh memperjuangkan keyakinannya. Ia syahid dalam memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Ali Syariati telah mengkuti jejak sahabat Nabi dan Imam Ali yang begitu dikagumi dan dijadikan simbol perjuangannya, Abu Dzar Al-Ghifari. (IC)


 
Buku yang seringkali menjadi objek siksaannya seputar wacana agama, filsafat, karya sastra dan buku-buku Komunikasi. berkaitan dengan dunia tulis baca saya punya prinsip..."Membaca adalah Persfektif, tak ada Persfektif tanpa kita Menuliskannya kembali".
 
Ali Syari’ati, Sosok Aktivis Tangguh.
 
 
“Seorang intelektual tercerahkan adalah ia dengan tangan yang sama menuliskan ayat-ayat suci dari langit serta terbenam dalam genangan lumpur dan mengayunkan kayu untuk menyuburkan tanah yang kering, ia berdiri tegak memperjuangkan ayat-ayat Allah dan hak-hak masyarakat”. (Ali Syari’ati)
 
Beberapa waktu lalu ada sebuah tulisan tentang ‘Makna Haji Menurut Ali Syari’ati’, yang ditulis oleh salah seorang kompasianer, merasa memiliki apresiasi yang sama terhadap Ali Syariati, saya pun mencari-cari data dalam computer tentang Ali Syari’ati yang pernah saya tulis sebelumnya namun belum pernah dipostkan di blog manapun. Walaupun penulis sudah memberikan link tentang riwayat hidup Ali Syariati, namun dengan apologi ‘membaca adalah persfektif dan tak ada persfektif tanpa menuliskannya kembali’, saya pun memberanikan diri untuk mengepostkannya. Dengan harapan dapat sharing bersama kompasianer lainnya yang gandrung terhadap dunia pemikiran dan perubahan-menjadi manusia tercerahkan sesuai dengan jargon Ali Syari’ati. Namun tentu saja alasan yang paling menonjol bukan semata-mata berlajar menulis, namun karena di dalam diri Ali Syariati ada semangat yang dapat kita tiru, SEMANGAT MENULIS, menggerakan orang dengan MENULIS.
 
Diantara kita barangkali ada yang belum mengenal sosok Ali Syari’ati, siapakah sebetulnya Ali Syari’ati? dan apa gunanya juga mengenal sosok Syari’ati?. Bagi teman kita yang gandrung terhadap pemikiran (Islam) khususnya, barangkali tidak ada yang asing dengan sosok Ali Syari’ati, ia adalah salah satu arsitek intelektual Revolusi Islam Iran yang mampu menggerakan para pemuda dan kaum buruh untuk bergerak melakukan perlawanan terhadap rezim pemerintahan saat itu. Dalam litertur tentang revolusi Islam Iran, Ali Syariati tidak disebut-sebut, yang muncul ke permukaan adalah Ruhullah Ali Khomeini, pemimpin spiritual dan sekaligus pemimpin tertinggi Iran dan beberapa Intelektual seperti Murthadha Muthari yang berada di barisan para ulama juga Sayeed Hosein Nashr. Sedangkan Kenapa Ali Syariati tidak disebut-sebut? Inilah salah satu permasalahannya. Ali Syariati tidak berada dalam barisan ulama, ia berada di barisan para intelektual dan menggerakan kampus-kampus di Mashad. Bahkan ia menjadi salah satu orang yang membenci ulama karena konspirasinya dengan rezim Pahlevi sehingga dibenci oleh sebagian ulama. Padahal dalam biografinya Ali Syariati adalah orang yang dicari-cari oleh intelijen Iran saat itu, dan pada akhirnya berhasil dibunuh, karena selain menggerakan mahasiswa di Iran, ia juga menggerakan mahasiswa Iran yang berada di Eropa khususnya yang berada di Prancis. Dengan Tulisan serta gerakan politiknya Ali Syariati dituduh sebagai otak utama dalam gerakan menentang pemerintah hingga akhirnya dia dibunuh oleh Moshad-agen rahasia Iran saat itu.
 
Kelahiran.
Jhon L. Esposito dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic Word, seperti dikutif oleh Malaky, menyatakan bahwa sulit menentukan biografi intelektual Syariati yang otoritatifif. Banyak sisi kehidupan Syari’ati yang tetap tersembunyi. Salah satu buku yang cukup lengkap perihal Syari’ati dikarang oleh Ali Rahnema berjudul ‘An Islamic Utopian A political Biografhy of Ali Syari’ati’ atau dalam versi terjemahannya ‘Biografi Politik Ali Syariati.
 
Syari’ati dilahirkan pada tahun1933 di kota Mazinan, sebuah desa kecil dan tradisional di pinggiran Gurun Pasir Kavir dekat Mashad bagian dari kota Sabzevar, Propinsi Khorasan Iran. Ali Syari’ati merupakan anak pertama dari pasangan Muhammad Taqi Syariati dan Zahra. Kelahirannya bertepatan dengan periode ketika ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai mengajar di sebuah Sekolah Dasar Syerafat. Sya’riati lahir dari keluarga terhormat dan ta’at beragama, suka membantu masyarakat dan zuhud. Dalam keluarga ini ritual keagamaan ditunaikan secara seksama.
 
Pendidikan .
Menurut Ali Rahnema, Syariati mulai membentuk mentalitas, kepribadian dan jati dirinya lewat peran seorang ayahnya yang menjadi guru dalam arti sesungguhnya dan dalam arti spiritual. Syari’ati kecil mulai belajar menimba ilmu pendidikan dasarnya di Masyhad, yaitu Sekolah Dasar Ibn Yamin, tempat ayahnya mengajar. Selama pendidikan dasarnya ini Syari’ati termasuk orang yang tidak terlalu memperhatikan pelajaran seolahnya. Ia lebih senang membaca buku-buku yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran sekolah. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan milik ayahnya hingga menjelang pagi. Hal ini ia lakukan bersama ayahnya. Kendati demikian ia selalu mengikuti ujian dan selalu naik kelas pada setiap tahunnya.
 
Seperti dikutif Rakhmat:
“Ayahku telah membentuk dimensi pertama dari jiwaku. Dialah yang pertama mengajarkan kepadaku seni berfikir dan seni memanusia. Segera setelah ibuku menyapihku, ia memberikan padaku kelezatan kebebasan, kemuliaan, kesucian, keteguhan, keimanan, kebersihan ruhani dan kebebasan hati. Dialah yang memperkenalkan aku kepada sahabat-sahabatnya-buku-bukunya. Buku-buku itu telah menjadi sahabatku dan abadi sejak tahun-tahun pertama masa sekolahku. Aku tumbuh dan berkembang di perpustakaanya, yang baginya adalah seluruh kehidupan dan keluarganya. Banyak sekali hal yang seharusnya aku pelajari pada waktu dewasa dan dengan waktu yang lama serta perjuangan yang panjang, telah diberikan oleh ayahku, sebagai hadiah dimasa kecilku, secara sederhana dan spontan. Sekarang perpustakaan ayahku menjadi dunia yang penuh kenangan berharga bagiku. Masih dapat kuingat setiap bukunya, bahkan sampai bentuk jilidnya.
 
Ayahnya, Sayyid Muhammad Taqi Syariati adalah seorang guru dan mujahid besar pendiri Markaz Nasyr ar-Haqa’iq al-Islamiyah (Pusat Penyebaran Kebenaran-kebenaran Islam) di Masyhad. Sekaligus salah seorang dari putera-putera pergerakan pemikiran Islam di Iran. Sepanjang empat puluh tahun, Dia telah memberikan pengabdian yang amat berharga kepada dakwah dan pencerdasan pemikiran logis ilmiah Islam dalam bentuk yang seirama dengan kemajuan zaman. Taqi Syariati adalah orang yang berada di barisan paling depan dari kalangan orang-orang yang bergiat dalam mencerdaskan para pemuda alumni pendidikan tinggi agar mereka mengoreksi konsep-konsep Barat yang sesat dan materialisme yang kosong, untuk kemudian berpegang teguh pada Islam yang memancarkan cahaya yang memerangi kehidupan. Syariati banyak menyerap pancaran pribadi ayahnya yang dianggap sebagai pembaharu dan pengabdi ilmu. Kebanggaan dan kekaguman Syariati terhadap sosok sang ayah pun akhirnya mengantarkan pemikirannya sampai pada kesimpulan bahwa ayahnya adalah seorang mujaddid, pembuat bid’ah yang menyimpang dari tradisi lama yang berkembang dalam masyarakat. Syariati dibesarkan dalam tradisi seperti itu.
 
Begitu besar peranan sang ayah dalam mempengaruhi kecerdasan dan kecendikiawanan Syari’ati. Lewat ayahnya ia diajak untuk memasuki wawasan dan pandangan-pandangan dunia secara dewasa, menelaah beragam literatur yang secara bebas ia dapatkan di perpustakaan pribadi ayahnya. Perilakunya cenderung menyendiri dan perkembangan pendidikannya di rumah membuat Syari’ati lebih mandiri di tengah masyarakat. Hal ini kemudian melahirkan kebanggaan tersendiri yang mendalam bagi dirinya.
 
Syari’ati tidak hanya menimba ilmu dari sang ayah, ia juga banyak belajar dari kakeknya yang juga seorang faqih dan filosof serta dari pamannya. Syari’ati mewarisi peninggalan tradisi keilmuan dan kemanusiaan kakek-kakeknya. Syari’ati belajar banyak hal dari kehidupan kakek-kakenya yang suci, terutama pilsafat mempertahankan jati diri manusia pada masa ketika segala macam kefasikan dan dekadensi merajalela, yang membuat seseorang sulit mempertahankannya saat dia hidup pada zaman yang kebutuhan kita terhadap jihad hari ini jauh lebih mendesak ketimbang masa-masa lalu.
 
Selain pendidikan kehidupan dan agamanya yang didapatkan langsung dari orang tua dan warisan keluarganya, Syari’ati pun menempuh sekolah formalnya di Sekolah Dasar Ibn-e Yasin Sekolah menengah pertama Firdowsi di Masyhad. Selama menempuh pendidikannya ini Syariati belajar dua bahasa sekaligus, Bahasa arab dan Bahasa prancis. Mempunyai bakat alamiah terhadap pengajaran, Syariati masuk Institute Pelatihan Guru di Masyhad, dan setelah dua tahun ia mendapat sertifikat sebagai seorang instruktur. Dalam Usia muda-delapan belas tahun, Syariati memulai karirnya sebagai seorang guru di sebuah desa. Syariati melanjutkan studinya tahun 1960 di Universitas Mashad hingga mendapat gelar B.A.. Haus akan ilmu membuatnya tidak puas akan pengetahuan, sehingga mendorongnya menjadi yang terbaik ketika Dia mendapat rekomendasi dan beasiswa ke Universitas Sorbonn Paris. Setelah lima tahun tinggal di Paris merupakan masa pembentukan dan periode genting terhadap perluasan dan pendalamannya terhadap pemikiran dan kehidupan sosialnya akan visi dan masa depan. Pembawaan kemampuannya disandingkan dengan kajian berbagai ide para pilosof modern dan para penulis sehebat gabungan pribadinya dengan beberapa dari mereka menginsfirasi Ali untuk memikirkan dirinya dan membangun pemikirannya yang segar orisinil. Pada tahun 1965, dia mendapat gelar doktor dalam sosiologi dan sejarah agama. Dia mengaplikasikan pengetahuannya untuk menganalisis gambaran sosial politik rakyat dan negaranya serta diajukan sebagai sebuah kursus pilihan.
 
Peran, Aktivitas dan Karya .
Ketika Syariati menjadi mahasiswa Fakultas Sastra di Mashad, Ia sudah terlibat dalam aktivitas politik dengan menggabungkan diri bersama kelompok pro-Mossadeq, oposisi rezim penguasa serta di bawah NRM (National Revolution Movement) Cabang Masyhad, ia melancarkan gerakan oposisinya melawan rezim. Ia pun aktif dalam gerakan rakyat dan nasionalis untuk nasionalisasi industri minyak Iran. Di Perancis ia pun bergelut dalam aktivitas politik, bersama Mustafa Chamran dan Ibrahim Yazdi mendirikan gerakan Kebebasan Iran dan turut serta dalam pembebasan rakyat Aljazair.
 
Selain sibuk menggeluti dunia pemikiran dan aktivitas politiknya, ia pun menjadi penyunting dua jurnal Persia serta menerjemahkan beragam buku. Di antara buku-buku yang berhasil ia terjemahkan ialah: Niyashesh (”La Piere”) karya Alexis Carrel, Be Koja Takiye Kunin?(Apa yang menjadi Dukungan Kita ?) (1961), Guerrilla Warfare karya Guevara, What is Poetry? Karya Sartre, dan The Wretched of the Earth karya Frantz Fanon.
 
Sekembalinya dari Paris, ia dipenjarakan karena aktivitas politiknya di luar negeri dan setelah bebas ia memulai aktivitas mengajarnya di beberapa perguruan tinggi dan beberapa tahun kemudian ditempatkan di Universitas Masyhad. Ia langsung mengabdikan diri untuk membina angkatan muda. Karena metoda mengajarnya yang bebas serta provokatif, akhirnya Syariati diberhentikan.
 
Setelah Syari’ati pensiun dari mengajar tahun 1969, Syariati mengkonsentrasikan aktivitasnya di lembaga pendidikan Husyainiah. lembaga yang didirikan bersama Murtadha Muthahari dan Sayyed Hosein Nasr. Kegiatannya mencakup riset, pendidikan, dakwah dan distribusi logistik untuk keperluan profaganda Islam. Di lembaga inilah ide-ide segar Syariati mengalir untuk menentang rezim Syah Pahlevi dan karena kegiatannya lembaga inipun ditutup.
 
Selama dalam proses penyemaian ide-idenya, ceramah-ceramah Syariati banyak digemari kalangan muda berpendidikan hingga ke pelosok negeri. Dari kumpulan ceramah ini jadilah dalam bentuk kumpulan tulisan (buku). Selain hasil kumpulan ceramah, syariati pun mengarang buku demi keperluan jihad intelektualnya. 
 
Karya-karya tersebut adalah:
1. A Glance at Tomorrow’s History, 1985, p.24.
2. An Approach to Understanding of Islam , Trans, Venus Kaivantash (The Shariati, Foundation, and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
3. And Once again Abu Dhar, 1985, p, 75.
4. Art Awaiting The Saviour , Trans, Homa Farjadi (Shariati Foundation and Hamdami Publishers, Tehran 1979).
5. Capitalism Wakes UP?!, Trans Mahmoud Mogscni, (The Ministry of Islamic Guidance, Tehran, 1981).
6. Civilization and modernization, (Aligarh, Iranian Students Islamic Association, 1979).
7. Culture an Ideology, 1980, p.23.
8. Fatima is Fatima, Trans, Laleh Bakhtiar (Shariati Foundation and Hamdami Publishers, Tehran, 1980).
9. From Where Shall we Begin and Machine in the Captivity of Machinism, 1980, p.52.
10. Islamic View of Man, Trans, Ali Behzadnia and Najla Denny.
11. Man and Islam, Trans, Ghulam M.Fayez (University of Mashhad Press, Mashad, Jahad Publications, 1982).
12. Martyrdom, Arise and Bear Witness, Trans, Ali Asghar Ghassemy (Ministy of Islamic Gudance, Tehran, 1981).
13. Marxism and Other Western Fallacies: An Islamic Critique, Tran’s, R. Campbell (Berkely, Mizan Press, 1981).
14. One Followed By An Eternity of Zeros , Trans, Ali Asghar Ghassemy (The Hosseiniyeh Ershad and the Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
15. On The Sociology of Islam, Trans”, Hamid Algar (Berkely, Mizan Press, 1979).
16. Red shiism, Trans, Habib Shirazi (The shariati Foundation and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
17. Retlection of A Concerned Muslim on The Plight of Oppressed Peoples, Trans” , Ali Behzadnia and Najla Denny.
18. Selection and of Election, Trans, Ali Asghar Ghassemy (The Hosseniyeh Ershad and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
19. The Visage of Mohammed, ‘Trans, A. A. Sachadin (Nor. Oqalam Publications, Lahore, 1983).
20. Ye Brother, That’s The Way it Was, Trans, Nader Assaf (Shariati Foundations and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
21. Awaiting the Religion of Protest Translated by: Shahyar Saadat.
22. What is to be done? Edited & Anotated by: Farhang Rajaee/ Forword by: John L. Esposito.
23. Hajj, trans, S.M.Farough, (Islamic faundation, India, 1989)
24. A Message to the Enlightened Thinkers
25. Extraction and Refinement of Cultural Resources
26.
 
Karena dianggap memukau, karyanya tidak hanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, tapi juga German, Prancis, Latin dan lain-lain. Sebagian karya di atas sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam terjemahan Indonesia, beberapa karyanya menjadi satu buku, misalnya The Vissage of Muhammad menjadi satu buku dengan On The Sociology of Islam. Ada pula hasil kreatifitas pemikir Indonesia, makalah-makalahnya yang berserakan dijadikan satu buku, seperti apa yang dilakukan oleh Afif Muhammad menjadi satu buku yang utuh diberi judul Islam Pemikiran Madzhab dan Aksi. Dalam Jilid ‘Islam Agama protes’ merupakan kumpulan terjemahan dari ; A Glance At Tomorrow’s History, Awaiting The Religion of Protest dan An Aproach to The Understanding of Islam. Atau misalnya dari Jilid Paradigma Kaum Tertindas merupakan kumpulan dari terjemahan; On the Sociology of Islam dan The Visage of Muhammad.
 
Pengaruh terhadap ummat Islam Dunia.
Syariati bukan hanya arsitek Iran Modern, Ia juga seorang guru, Pendakwah, pejuang yang berbeda dari yang lain beberapa intelektual menyebutnya sebagai seorang ideolog, halnya disebutkan oleh Azzumardi Azra, “selain seorang Ideolog Syi’ah, Publik Speaker ( penceramah umum) ia juga seorang sosiolog yang tertarik pada dialektika antara teori dan praktik, ia adalah seorang pemikir Islam Revolusioner dan Progresif.”
 
Dengan berbagai atribut yang disandangnya, Gagasan Islam Syariati tidak hanya berpengaruh pada level Nasional Iran, tetapi menyebar ke seluruh pelosok dunia Barat dan Timur, tak terkecuali Indonesia. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Amin Rais juga oleh John L. Esposito,:
” Makna penting Syariati tidak hanya terbatas bagi Iran saja, sebab ia adalah salah satu contoh dari suatu generasi baru kaum intelektual dan aktivis politik berorientasi Islam yang hidup di hampir seluruh dunia Muslim masa kini. Ali Syariati sudah menjadi tokoh Islam internasional yang gagasan-gagasan dan tulisan-tulisannya ditelaah, diperdebatkan, dan diperbandingkan jauh di luar batas-batas negeri Iran.. Tahun 1970-an membawa perubahan-perubahan besar dalam dunia muslim. Dari Sudan sampai Sumatera, agar timbul kembali sebagai faktor penting dalam dunia politik muslim”.
 
Di Indonesia, walaupun mayoritas penduduknya bermadzhab Sunni yang jelas-jelas berbeda corak dengan Syariati yang bermadzhab Syi’ah, tetapi sebagian intelektual Muslim sudah mengenal pemikirannya lewat penerjemahan buku-bukunya sejak akhir tahun 1970-an. Di Tahun 1980 bersamaan dengan penerjemahan dan kajian-kajian tentang Syari’ati, muncul kelompok “Kiri Islam”, baik dari LSM maupun aktivis Islam seperti HMI, MPO, Masjid Salman ITB dan Masjid Shalahuddin Yogyakarta. Pemikiran dan penafsirannya tentang agama, yang dekat dan berfihak pada rakyat kecil demi keadilan, dan kemudian diwujudkan dalam tindakan kongkrit agaknya masih relevan dengan kondisi Indonesia yang rakyatnya masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan.
 
Harus diakui bahwa yang paling banyak mendapatkan perhatian ialah tulisan-tulisan sosiologis Ali Syariati, yang hampir sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seperti ditulis oleh Kuntowijoyo. Kebanyakan kaum muda menjadi pendukung aktif dari pikiran-pikiran Islam radikal Ali Syariati. Para aktivis pemuda dari kelompok yang membela hak-hak petani di beberapa tempat diilhami oleh cita-cita pembebasan Ali Syariati, yang berarti aktivisme sosial dan advokasi mereka pada kaum tertindas masih lebih dikerangkai oleh nilai dan norma Islam. Kalau Syariati tidak dikenal tentu mereka akan pergi kepada marxisme untuk berguru tentang praxis.
 
Disarikan dari berbagai sumber dan tulisan-tulisan Ali Syariati versi terjemahan, www. shariati.com serta buku biografinya ‘An Islamic Utopian A political Biografhy of Ali Syari’ati’ karangan Ali Rahnema.

Ali Syari’ati, Simbol Kaum Muda Iran Abad 20.

Selain Ayatullah Ruhollah Khomeini, Iran juga memiliki tokoh besar yang amat berpengaruh khususnya di kalangan intelektual muda, dalam memobilisasi perlawanan terhadap Syah Iran. Tokoh itu bernama Ali Syari’ati. Ia merupakan seorang pemikir sosial terkemuka Iran abad ke-20. Di samping juga seorang ahli politik dan ahli syariat.
 
 Ali Syari’ati Haji di Mekah.

Dilahirkan di Khurasan, Iran, pada 1933, sejak muda Ali Syari’ati sudah terlibat dalam berbagai organisasi dan gerakan yang menentang kediktatoran Syah Iran. Semangat juang yang mengalir dalam diri Ali Syari’ati, tak lain diwarisi dari ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati, yang merupakan seorang pengajar di sekolah lanjutan atas dan ahli dalam ilmu keislaman (Islamologi). Sang ayah juga merupakan pendiri Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan, sebuah organisasi yang bergerak di bidang dakwah Islamiah.

Pada usia 17 tahun, Ali Syari’ati telah belajar pada sebuah lembaga pendidikan, Primary Teacher’s Training College. Masa belajar tersebut dimanfaatkannya untuk mengajar. Pada usia 20 tahun, ia mendirikan organisasi Persatuan Pelajar Islam di Mashad, Iran. Pada tahun 1958 (ketika berusia 25 tahun) ia meraih gelar sarjana muda dalam ilmu bahasa Arab dan Perancis. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Sorbonne, Paris, setelah berhasil memenangkan beasiswa untuk belajar di negara itu. Ia belajar di Perancis sampai meraih gelar doktor pada tahun 1963.
 
Setahun kemudian, ia pulang ke negara kelahirannya. Setibanya di Iran, ia mengawali langkahnya dengan menyampaikan ilmu yang diperolehnya dari berbagai sekolah dan akademi. Kemudian ia mengadakan perjalanan keliling dalam rangka mendirikan Husyaimiah Irsyad, sebuah lembaga pendidikan pengkajian Islam yang kelak menjadi wadah pembinaan kader militan pemuda-pemuda revolusioner.
 
Karena aktivitas politiknya yang menentang kediktatoran Syah Iran, Ali Syari’ati mengalami banyak kesulitan dalam hidupnya. Ia sudah harus menjalani kehidupan di belakang terali besi dalam usia muda. Namun, hal tersebut tidak membuatnya mundur sama sekali.
 
Periode kedua tahun 1960-an, Ali Syari’ati bergabung dengan Universitas Mashad. Kuliah-kuliahnya di masjid kampus ini sangat diminati oleh sejumlah besar mahasiswa. Karena ada kekhawatiran akan meningkatnya pengaruh Ali Syari’ati, pada tahun 1968 pemerintah Iran memaksanya menjalani masa pensiun pada usia yang relatif masih muda, 35 tahun.
 
Setelah pensiun Ali Syari’ati giat mengajar di Husyaimiah Irsyad. Aktivitas-aktivitasnya di Husyaimiah Irsyad ini dinilai membahayakan penguasa, sehingga lembaga tersebut ditutup oleh pemerintah pada tahun 1972. Walaupun demikian, ia tetap sering berceramah di berbagai perguruan tinggi dan masjid di kota-kota besar Iran.
 
Kuliah-kuliahnya yang simpatik dan berbobot menimbulkan kepercayaan diri bagi jutaan muslimin di Iran. Sejumlah intelektual Islam, para mahasiswa, dan masyarakat Iran tertarik kembali untuk mengkaji Islam yang memberikan potensi besar dalam upaya memberi makna bagi kehidupan pribadi dan nasib bangsa.
Ali Syari’ati adalah seorang orator luar biasa, lidahnya setajam penanya. Dengan kelihaiannya, kampus dan masjid-masjid di Iran menjadi pusat kegiatan organisasi revolusioner. Ia juga tampil memimpin perlawanan terhadap pemerintahan Syah Iran. Oleh karena aktivitas politiknya, pada tahun 1974, Ali Syari’ati ditangkap. Ia kemudian menjalani tahanan rumah sampai tahun 1977.
 
Sebagai seorang pemikir sosial, Ali Syari’ati amat mengagumi prinsip-prinsip sosialisme, menentang sistem kapitalis, dan mendukung pemerintahan nasionalis. Salah satu tokoh sejarah yang disukai dan diklaim sebagai model bagi kehidupannya sendiri adalah Abu Dzar al-Ghifari, sahabat Nabi Muhammad SAW. Abu Dzar merupakan penganjur utama paham kesamarataan dan pembagian kekayaan secara adil. Bagi Syari’ati, Abu Dzar adalah salah satu contoh prinsip sosialisme yang sejalan dengan agama Islam.
 
Kematian misterius.
Pada bulan Mei 1977, ia terpaksa meninggalkan Iran menuju Inggris untuk menghindarkan diri dari kejaran penguasa. Namun, rezim Syah tidak mengizinkannya ke luar negeri untuk berbicara serta menulis secara bebas, serta menawan istri dan anak Ali Syari’ati. Tidak lama setelah itu, tepatnya tanggal 21 Juni 1977, Ali Syari’ati ditemukan tewas di rumah kerabatnya di Southampton, Inggris.
 
Meskipun berita resmi menyatakan bahwa ia terkena serangan jantung, namun banyak orang percaya bahwa ia diracuni oleh agen rahasia pemerintah Iran. Jenazahnya kemudian dikebumikan di Damaskus, Suriah.
Setahun setelah kematian Ali Syari’ati, Dinasti Pahlevi runtuh dan lahirlah Republik Islam Iran pada 16 Januari 1979. Ia dinilai memainkan peran penting menjelang Revolusi Iran yang dipimpin Ayatullah Ruhollah Khomeini pada tahun 1978, yang melahirkan berdirinya Republika Islam Iran.
 
Mengagumi Sekaligus Membenci Barat.
Walaupun kurang menguasai kitab-kitab klasik, namun Ali Syari’ati mampu menggunakan teori-teori Barat sebagai pijakan bagi kajian doktrin-doktrin keagamaan. Ia berpendapat bahwa para nabi selalu berpihak kepada kaum lemah dalam upaya menghancurkan kekuasaan lalim yang disebut dalam Alquran sebagai mutrafin. Ia menggunakan istilah mustad’afin (lemah) sebagai pengganti istilah proletar dalam teori Karl Marx dan istilah mutrafin sebagai pengganti istilah borjuis, meskipun ia menentang paham moralisme.
 
Dalam bukunya Marxisme and Other Western Fallacies (Marxisme dan Kekeliruan Pemikiran Barat Lainnya), Ali Syari’ati menyatakan bahwa baik Marxisme maupun Islam adalah dua ideologi yang mencakup seluruh dimensi kehidupan dan pemikiran manusia. Ia juga secara tegas mmengatakan bahwa antara Islam dan Marxisme terdapat kontradiksi (pertentangan). Marxisme berdasarkan filsafat materialisme, sedangkan Islam, walaupun melihat dunia materi sebagai kenyataan eksistensial, percaya pada adanya Tuhan dan memiliki konsep yang gaib.
 
Pernyataan yang disampaikan Ali Syari’ati selalu didukung oleh pendapat-pendapat atau teori-teori para pemikir Barat, ayat-ayat Alquran, dan sunah Nabi Muhammad SAW. Meski mengagumi teori para pemikir Barat, namun ia juga membeci Barat. Ia secara terbuka, misalnya, mengakui bahwa proses pendewasaan intelektual yang dilaluinya dibimbing oleh beberapa sarjana Barat. Namun di sisi lain, ia menilai bahwa Barat adalah puncak gunung materialisme dan amoralitas.
 
Sebagai seorang muslim, Ali Syari’ati percaya Islam sejalan dengan pemikiran yang modern dan progresif. Untuk itu ia mengembangkan sebuah filsafat yang menggabungkan agama dan etika sosialisme.
Dalam karyanya, Eslamshenasi (Islamologi), ia melakukan pembedaan atas Islam, yakni Islam asli dan murni yang menganjurkan agar manusia mengembangkan ilmu pengetahuan, kebebasan, intelektual, dan demokrasi, serta Islam masa kini yang pasif sebagaimana ditawarkan oleh ulama konservatif. Menurutnya, seluruh kaum muslim wajib untuk meneguhkan kembali Islam yang asli. Karena pandangannya ini, ia dimusuhi baik oleh pemerintah Syah maupun ulama konservatif, dan karya-karyanya dilarang beredar.
 
Sebagai penganut paham Syiah, dalam banyak hal ia memegang prinsip-prinsip keyakinan Syiah. Kecuali dalam masalah imamah (pemimpin), ia berbeda pendapat dengan pendapat umum kalangan Syiah. Dalam hal imamah, ia berupaya memadukan teori musyawarah Suni dan wasiat Syiah dalam pengangkatan pemimpin. Ia mencoba menghapus kesan bahwa para khalifah Suni telah merampas hak Ali bin Abi Thalib dalam imamah. Pemikirannya ini didukung dengan teori sosiologi-politik yang memang merupakan keahliannya.
Pemikirannya selalu diarahkan untuk menggalang ukhuwah Islamiah (persaudaraan dalam Islam). Ukhuwah Islamiah ini, menurutnya, dapat dilakukan melalui gagasan solidaritas di kalangan negeri muslim. Di samping ingin menumbuhkan kesatuan di kalangan umat Islam, ia juga bermaksud agar pemikirannya dapat diterima semua pihak, baik yang berpaham Suni maupun Syiah. Dalam pandangannya, tanpa adanya solidaritas di kalangan negeri muslim, maka persatuan dunia Islam tidak akan tercapai.
 
Ceramah-ceramah Ali Syari’ati yang dibukukan adalah Marxism and Other Western Fallacies, What is To Be Done (Apa yang Harus Dilakukan), On The Sociology of Islam (Sosiologi Islam), al-Ummah wa al-Imamah (Umat dan Kepemimpinan), Intizar Madab-I’tiraz (Menunggu Kritik), The Role of Intellectual in Society (Peranan Cendikiawan dalam Masyarakat). dia/taq/berbagai sumber (doc Republika April 2009).[republika]
 
Saya akan bangga dan hendak mengatakan, “Fathimah a.s. adalah putri Khadijah yang besar”.
Saya rasa itu bukan fathimah a.s..

Saya hendak mengatakan, “ Fathimah a.s. adalah putri Muhammad saw”. Saya rasa itu juga bukan fathimah a.s..

Saya hendak mengatakan, “Fathimah a.s. adalah istri Ali a.s.”. Saya rasa itu juga bukan fathimah a.s..

Kemudian saya hendak mengatakan, “Fathimah a.s. adalah ibu dari Hasan dan Husein.” Itu juga bukan Fathimah a.s..

Saya hendak katakan, “Fathimah a.s. adalah ibu Zainab”. Saya masih merasa itu bukan Fathimah a.s..

Tidak, semua itu benar tetapi tak satu pun yang menggambarkan Fathimah a.s. yang sesungguhnya. Fathimah a.s. adalah Fatimah ibu dari Anak-anak Ali a.s sampai sekarang.

Polaritas Masyarakat dalam Pemikiran Ali Syari’ati dan Imam Khomeini

Oleh: Mohammad Subhi-Ibrahim

Peta politik internasional, khususnya kawasan Timur Tengah, akhir tahun 70-an mengalami pergeseran signifikan. Di tengah perang dingin antara kekuatan Amerika dengan sekutunya, NATO, via-a-vis Uni Soviet dengan Pakta Warsawa, muncul fenomena mengejutkan, yaitu tampilnya kekuatan tradisional Islam-Syi’ah Iran ke pentas politik menggulingkan pemerintahan sekuler Muhammad Reza Pahlevi (Syah Iran).
Revolusi Islam Iran (11 Februari 1979) menarik untuk dikaji. Setidaknya, ada tiga alasan mengapa Revolusi Islam Iran itu layak untuk dicermati: Pertama, fenomena Revolusi Islam Iran merupakan salah satu bentuk kontradiksi-paradoksal dari proses modernisasi di negara dunia ketiga, terutama di Iran. Kontradiksi-paradoksal dalam arti bahwa proses modernisasi yang memangkas peran agama dalam fungsi sosial-politik, ternyata, di satu sisi menyebabkan peran agama terpinggir, tetapi di sisi lain mengentalkan sentimen keagamaan para pemeluknya. Keotentikan dan identitas kaum beragama yang terancam modernisme mengkristal menjadi gerakan-gerakan sosial, politik, dan kultural yang tidak sungkan-sungkan menggunakan simbol-simbol agama sebagai basis aktivitasnya. 
 
Kedua, pengaruh Revolusi Iran telah menerobos seluruh penjuru dunia Islam, mulai dari Maroko sampai ke Indonesia, dari Bosnia di jantung Eropa sampai ke Afrika. Oleh karena itu, dampak revolusi tersebut sangat berpotensi mengubah peta konstelasi politik regional, khususnya kawasan Timur Tengah, maupun internasional. 
 
Ketiga, Theda Skocpol, dalam Social Revolutions in the Modern World, mengategorikan Revolusi Islam Iran sebagai salah satu revolusi sosial terbesar di samping Revolusi Prancis, Rusia dan Cina. Revolusi Islam Iran adalah akumulasi kekecewaan dan ketidakpuasan seluruh komponen bangsa Iran, bukan hanya ketidakpuasan kelompok elit mullah (religious scholars) dan intelektual.
 
Citra yang tertangkap secara umum ketika kita menelaah Revolusi Islam Iran adalah citra sebuah revolusi para mullah dengan instrumen ideologi religius murni. Citra tersebut mengakibatkan pemerintahan Iran pasca Revolusi Februari 1979 kerap dituding dengan istilah mullahocracy (kekuasaan kaum mullah). Namun, bila disorot secara lebih tajam dan cermat, sesungguhnya, ada pula konstruk ideologis semi-religius.
Secara simplistik, ada dua gugus ideologi yang menjadi pilar Revolusi Islam Iran, yaitu: ideologi religius tradisional Syi’ah yang diusung oleh para ulama atau mullah, dan ideologi semi-religius yang tetap berbasis atas peristilahan-peristilahan Syi’ah, tetapi dibawa oleh para intelektual berlatar pendidikan sekuler. Dalam kategori pertama bisa disebut dua nama yang paling populer, yaitu Ayatullah Ruhullah Musawi Khomeini dan Ayatullah Murtadha Muthahhari. Pada kategori kedua yang paling menonjol adalah Ali Syari’ati, Mehdi Bazargan, dan Bani Sadr. Meski punya misi-praktis yang sama, yaitu menggulingkan rezim represif Syah Iran, kedua kelompok ideologis ini kadang saling berhadap-hadapan. 
 
Yang paling sering disinggung dalam studi-studi tentang para ideolog Revolusi Iran adalah Khomeini. Tokoh-tokoh yang lain seakan tenggelam di bawah bayang-bayang nama besarnya. Memang harus diakui, dengan berbekal kecerdasan dan kharismanya, Khomeini mampu menyatukan gerakan-gerakan revolusioner yang berbeda-beda di Iran saat itu yang menuntut penghapusan monarki. Lalu, apakah fungsi Khomeini dan Syari’ati dalam Revolusi Iran tersebut? Sebagaimana diungkap John L. Esposito, Khomeini, dalam Revolusi Islam Iran, lebih berperan sebagai pemimpin revolusi, sedangkan perumus dan penyedia ideologi revolusinya sendiri adalah Ali Syari’ati. Bahkan menurut Nikki R. Keddie, "Ali Syari’ati-lah yang telah sangat mempersiapkan (secara ideologis, MS) orang muda Iran untuk perjuangan revolusioner itu". Tulisan ini akan mencoba menelusuri basis pemikiran sosial Syari’ati tentang polaritas masyarakat dan membandingkannya dengan gagasan Imam Khomeini seraya mencari titik temu, benang merahnya.

Kutub Habil Versus Kutub Qabil.

Inti filsafat sosial Syari’ati adalah polarisasi masyarakat menjadi dua kutub dialektis. Pandangan tentang polarisasi masyarakat merupakan wujud konsistensi Syari’ati dalam mempertahankan kaca mata analisis dialektika. Secara lebih spesifik, Syari’ati menyatakan, "Sosiologi pun berdasarkan dialektika." Jadi, dialektika sosiologi adalah refleksi atas masyarakat (sosiologi) yang didasarkan pada konsep dialektika.
Masyarakat, seperti telah dikemukakan di muka, memiliki super-struktur, yang di dalamnya terdapat struktur dan mekanisme ekonomi (cara produksi, relasi produksi, alat-alat dan barang). Struktur tidak ditentukan oleh mekanisme ekonomi. Struktur bersifat mandiri (independent) terhadap semua kinerja dan mekanisme ekonomi. Dalam masyarakat, terdapat dua struktur tetap, yang dalam konsep Syari’ati disebut sebagai struktur Habil dan struktur Qabil, mengambil dua sosok anak Adam. Sisi beda kedua struktur itu dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
 
Kategori Perbedaan
Struktur Habil
Struktur Qabil
Posisi Individu
Individu menentukan nasibnya sendiri (otonom)
Nasib individu ditentukan oleh kelompok pemilik modal
Kepentingan yang diperjuangkan
Kepentingan masyarakat
Kepentingan pribadi atau pemiliki modal (kapitalis)

Oleh karena masyarakat memiliki dua struktur tersebut, maka masyarakat pun terbagi menjadi dua kutub, yaitu kutub Qabil dan kutub Habil. Syari’ati memakai istilah "kutub masyarakat" dalam pengertian "kelas sosial". Jadi, kutub masyarakat sama dengan kelas sosial, juga sebaliknya. Syari’ati, dalam On Sociology of Islam, mengunakan kedua istilah ini secara bergantian.

Kutub Qabil : Kelas Penguasa

Kutub Qabil adalah kutub penguasa atau raja, pemilik (owner), dan aristokrat. Kutub Qabil merupakan pemilik kekuasaan. Ada tiga kekuasaan yang disebutkan oleh Syari’ati, yaitu kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan religius. Kemudian, manifestasi ketiga kekuasaan kutub Qabil tersebut dalam pentas sejarah sosial mengambil bentuk yang berbeda-beda, tergantung tingkat perkembangan masyarakatnya.
Pada tahap-tahap perkembangan sosial yang masih primitif dan terbelakang, kutub ini memanifestasikan diri dalam bentuk pemusatan kekuasaan pada seorang individu. Individu tersebut menyerap ketiga kekuasaan (raja, pemilik dan aristokrat) pada dirinya. Ia mewakili muka Qabil. Sementara itu, dalam tahap evolusi sosial yang lebih maju, ketiga kekuasaan tersebut dipisahkan, yaitu kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan religius.
Al-Quran, sebagai salah satu dasar epistemologis filsafat sosial Syari’ati, menyinggung ketiga wajah kekuasaan tersebut dengan memperkenalkan simbol-simbol khas untuk ketiga manifestasi Qabil tersebut. Ada tiga istilah yang melukiskan sifat tiga wajah kekuasaan tersebut, yaitu mala’ (yang serakah dan kejam), mutraf (yang rakus dan bermewah-mewahan), dan rahib (kependetaan). Personifikasi ketiga sifat tersebut disimbolkan dengan nama-nama tokoh. Kekuasaan politik disimbolkan dengan tokoh Fir'aun, kekuasaan ekonomi dilambangkan oleh tokoh Qarun (Croesus), dan kekuasaan religius dilambangkan oleh tokoh Balaam Bauri. Ketiganya merupakan manifestasi tritunggal dari Qabil. Syari’ati menjelaskan ketiga manifestasi Qabil secara panjang lebar dalam Haji. 
Di sepanjang sejarah, anak-cucu Qabil telah berperan sebagai pemimpin umat manusia. Begitu masyarakat-masyarakat manusia bertambah besar, berubah dan sistem-sistemnya menjadi lebih rumit; dan begitu timbul pembagian-pembagian, spesialisasi-spesialisasi, dan klasifikasi-klasifikasi, Qabil, sang pemimpin, mengubah wajahnya! Sementara mempertahankan kekuatan-kekuatannya di tiga buah basis, di dalam masyarakat-masyarakat modern Qabil menyembunyikan wajah aslinya di balik topeng politik, ekonomi dan agama. Qabil menciptakan tiga buah kekuatan untuk menindas: kekayaan dan kemunafikan yang melahirkan despostisme; eksploitasi; dan teknik-teknik indoktrinasi. Ketika kekuatan ini dapat dijelaskan dengan istilah-istilah monoteisme (tauhid). Fir'aun: lambang penindas; Qarun (Kroesus): lambang kapital dan kapitalisme; Balaam: lambang kemunafikan (religius). 
Dalam realitas konkret, Fir'aun diwujudkan oleh orang-orang yang berkepentingan dengan politik, dan hidup di bawah despotisme, militerisme dan fasisme. Qarun diwujudkan oleh orang-orang yang berkubang dalam ekonomi pasar. Mereka memandang ekonomi sebagai dewa penentu nasib masyarakat. Sedangkan Balaam diwujudkan oleh kaum intelektual yang yakin bahwa perubahan sosial tidak mungkin tercipta tanpa melawan kebodohan, kelemahan, dan kondisi yang menyebabkan manusia menganut politeisme yang berselimutkan monoteisme.
Ketiga poros kekuasaan tersebut saling menunjang. Fir'aun merestui perampokan sistematis dan prosedural yang dilakukan Qarun. Lalu, Qarun pun mendukung kerja intelektual Balaam dengan sarana finansial kekayaannya. Fir'aun menyokong Balaam dengan jaminan politisnya. Sedangkan Balaam menyediakan basis doktrin untuk melegitimasikan rezim Fir'aun, bahwa keberadaan Fir’aun kekuasaan Tuhan. Ketiga komponen penopang kekuasaan Qabil itu disebut trinitarianisme-sosial.

Kutub Habil: Kelas yang Dikuasai

Berseberangan dengan kutub Qabil, kutub Habil adalah representasi kelas yang dikuasai, yang ditindas. Kutub Qabil merupakan penjelmaan kelas rakyat (al-nas). Syari’ati menggambarkan ketertindasan kutub Habil ini secara dramatik dalam beberapa karyanya, seperti Yea, Brother! That's the Way It Was.
Dalam buku itu Syari’ati menceritakan tentang kekagumannya pada monumen-monumen besar, seperti Piramida di Mesir. Namun, kekaguman tersebut mendadak sirna ketika ia menyadari bahwa monumen-monumen itu dibangun di atas penderitaan para budak yang dengan tenaga, keringat, bahkan nyawanya terpaksa mengikuti keinginan penguasa untuk menciptakan simbol budaya tersebut. "Aku benci dan marah! Kulihat peradaban sebagai suatu kutukan. Ia dihasilkan dari ribuan tahun penindasan dan perbudakan," tulis Syari’ati. Para budak adalah wujud nyata kelas Habil, penghuni kutub Habil.
Selanjutnya, yang menarik dari pandangan Syari’ati adalah bahwa Allah Swt —dalam konfrontasi kedua kutub masyarakat itu— memihak pada kutub rakyat (Habil). Bahkan, Syari’ati berpendapat bahwa Allah Swt, dalam al-Quran menjadi sinonim dengan al-nas. Menurutnya, kedua ungkapan tersebut kerap saling menggantikan dan semakna. Umpamanya, Syari’ati memberi contoh QS. Al-Taghabun ayat 17 yang berbunyi, "Jika kalian meminjamkan pinjaman yang baik kepada Allah". Syari’ati menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Allah adalah al-nas, manusia atau rakyat, karena Allah sama sekali tak membutuhkan pinjaman dari kita.
Masalah sinonimasi Allah dan al-nas perlu diklarifikasi karena bisa mengundang kesalahpahaman. Syari’ati menyamakan kata al-nas dengan Allah dalam wacana sosial, bukan wacana akidah seperti tata kosmos. Jelas, Syari’ati membedakan ranah (domain) diskursus. Dalam ranah teologis, Allah berbeda dengan al-nas. Namun, pada ranah sosiologis, istilah Allah dan al-nas adalah sinonim.
Lebih jauh Syari’ati memaparkan bahwa sinonimasi kata Allah dan al-nas tersebut bermakna: bila disebutkan "kekuasaan berada di tangan Allah", maka berarti kekuasaan berada di tangan rakyat bukan di tangan mereka yang mengaku dirinya sebagai wakil atau anak Tuhan, atau kerabat Tuhan atau sebagai Tuhan itu sendiri. Bila dikatakan bahwa, "hak milik adalah kepunyaan Allah", maka bermakna bahwa kapital adalah kepunyaan rakyat, bukan milik Qarun. Selanjutnya, bila dituturkan, "agama adalah kepunyaan Allah", maka itu bermaksud bahwa keseluruhan struktur dan isi agama diperuntukkan bagi rakyat banyak, bukan demi kelompok, lembaga tertentu yang memonopoli otoritas keagamaaan, seperti pendeta (clergy) atau gereja (church).
Jadi, konsep utama tentang kutub Habil adalah konsep al-nas. Kata al-nas memiliki makna yang dalam dan khas. Kekhasan tersebut diungkap Syari’ati. Menurut Syari’ati, rakyat merupakan wakil-wakil Allah (the representatives of God) sekaligus keluarga-Nya (al-nas iyalu 'Llah). Syari’ati menandaskan pula dengan adanya fakta bahwa al-Quran dibuka dengan nama Allah dan diakhiri dengan nama rakyat (al-nas). Lalu, Ka’bah, kiblat umat Muslim saat shalat, adalah rumah Allah (house of God), tapi juga sekaligus disebut sebagai rumah rakyat (house of people) dan rumah kebebasan (free house atau al-bayt al-'atiq).
Kata al-nas, meskipun berbentuk tunggal, namun bermakna jamak. Kata al-nas tidak berarti kumpulan perorangan, namun dalam pengertian masyarakat atau, lebih tepat, massa. Oleh karena itu, kata al-nas, bagi Syari’ati, memiliki konotasi unik yang mewakili konsep rakyat.

Mustadafin versus Mustakbirin

Pandangan Syari’ati di atas bertitik temu dengan pemikiran Imam Khomeini. Imam Khomeini membagi masyarakat secara dikotomis, terutama pada periode 1970-1982. Salah satu buku yang memadai untuk mengungkap pandangan Imam Khomeini tentang masyarakat tersebut adalah Khomeinism: Essays on the Islamic Republic (1993), karya Ervand Abrahamian. Dalam buku tersebut, Abrahamian membagi tiga tahap pemikiran Imam Khomeini yang terkait dengan pandangannya tentang masyarakat.
 
Tahap I (1943-1970): Gradasi yang Harmonis.
Menurut Abrahamian, pada tahap ini Imam Khomeini memandang masyarakat sebagai sebuah hirarki yang di dalamnya terdapat lapisan dan kelompok masyarakat (qeshra), seperti ulama, santri, pegawai kantor, pedagang, buruh dan lainnya. Masing-masing kelompok tersebut saling bergantung satu dengan lainnya untuk mempertahankan diri, memiliki dan menjalankan fungsinya, serta menghormati hak-hak kelompok lainnya. Skema Imam Khomeini ini, mengikuti istilah Stanislaw Ossowski, berupa gradasi yang harmonis. Karena itu, tugas utama pemerintah adalah melindungi Islam dan memelihara keseimbangan antara strata sosial tersebut.
Bagi Imam Khomeini, strata tertinggi (qeshr-e bala) dalam masyarakat adalah ulama. Ulama bertanggung jawab untuk berteriak lantang, mengkritik pemerintah yang tidak melakukan tugas utamanya. Jadi, secara singkat, pada periode ini Imam Khomeini menggunakan metafora Aristotelian tentang tubuh manusia (human body) untuk menjelaskan masyarakat. Strata sosial yang beragam tersebut adalah bagian dari sebuah keseluruhan organik.
 
Tahap Kedua (1970-1982): Dikotomi Antagonistik.
Pada tahap ini, Imam Khomeini mulai menggunakan konsep dan bahasa yang radikal, seperti digunakan Syari’ati. Imam Khomeini memandang masyarakat dibangun dari dua kelas antagonistik (tabaqat): penindas (mustadafin) dan yang ditindas (mustakbirin). Pada periode sebelumnya Imam Khomeini menggunakan istilah mustadafin dalam pengertian Quranik, yakni "yang lembut/penurut", "rakyat biasa", dan "yang dilemahkan". Namun, pada periode ini, Imam Khomeini menggunakan istilah mustadafin dengan makna massa tertindas yang marah, sebuah pengertian yang didapat ketika pada awal 1960-an Syari’ati dan murid-muridnya menerjemahkan The Wretched of the Earth-nya Franz Fanon sebagai Mustadafin-e Zamin. 
 
Terminologi mustakbirin identik dengan kelas atas (tabaqeh-e bala) yang melingkupi dengan penindas, pengekspoitir, feodalis, kapitalis, para penghuni istana, koruptor, penikmat kemewahan, dan elit yang bermegah-megahan. Sedangkan mustadafin disebut juga sebagai kelas bawah (tabaqeh-e payin), yang tercakup di sana: orang-orang yang tertindas, yang diekploitir, kaum yang lemah, yang lapar, miskin, pengangguran, yang tak berpendidikan, tuna karya, dan tuna wisma.
 
Menurut Imam Khomeini, para penindas selalu memiliki kecenderungan pada ketidakadilan, setani dan membangun pemerintahan yang tiranik. Mereka melangggar dan melawan ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw, dan dalam konteks Iran, mendukung monarki Pahlevi dan emperialisme Amerika. Sedangkan kaum tertindas sebaliknya. Mereka berjuang untuk keadilan, pemerintahan Islam, mengikuti jejak langkah Nabi, dan bersedia mati demi revolusi Islam. Yang memimpin dan membebaskan kaum tertindas adalah ulama. Pandangan dikotomis masyarakat Imam Khomeini ini, meminjam terminonologi Ossowski, disebut dengan dikotomi antagonistik.
 
Tahap Ketiga (1982-1989): Trikotomi Semiharmonis.
Tahap ini adalah tahap pasca revolusi. Karena itu, pandangan Imam Khomeini tentang polaritas masyarakat pun bergeser. Pada tahap ini, menurut Abrahamian, Imam Khomeini tidak memakai dikotomi antagonistiknya, namun trikotomi. Masyarakat terdiri dari tiga kelas: kelas atas (tabaqeh-e bala), kelas menengah (tabaqeh-e motavasset), dan kelas bawah (tabaqeh-e payin). Kelas atas dihuni oleh orang-orang yang secara ekonomi sejahtera dan mapan. Kelas menengah melingkupi ulama, intelektual, dan pedagang. Kelas bawah mencakup buruh, dan orang-orang yang secara ekonomi masih terjerat kemiskinan. Dalam konteks pembagian kelas ini, Imam Khomeini menekankan trikotomi semiharmonis di mana kelas menengah memiliki peran yang penting. 
 
Menurut Imam Khomeini, kelas menengah, terutama kaum bazaris, berperan besar pada masa pra-revolusi, selama revolusi, dan pasca revolusi. Kaum bazaris berperan dalam mengkritik penguasa tiranik Pahlevi, bahkan menyumbangkan para martirnya. Dan bazaris selalu bersanding dengan kelas bawah. Hal ini dikarenakan kelas menengah memiliki kepentingan yang sama dengan kelas bawah, yakni melawan imperialisme dan kelas atas lama. Karena itu, dapat dipahami mengapa pemimpin-pemimpin pemerintahan yang baru banyak berasal dari kelas menenggah ini. Singkatnya, pada tahap ketiga ini, Imam Khomeini membagi kelas dalam masyarakat yang dapat distilahkan dengan trikotomi semiharmonis.

Keberpihakan pada Mustadafin.

Dari paparan di atas, tampak bahwa Syari’ati dan Imam Khomeini memiliki kesamaan yakni penekanan pada emansipasi mustadafin. Perjuangan pembebasan mustadafin sebagai isu dan agenda penting dalam karya-karya mereka. 
 
Deskripsi-deskripsi Syari’ati, dalam dialektika sosiologi, telah mengkutubkan kemanusiaan menjadi dua kutub, yakni kutub Habil dan kutub Qabil. Secara implisit dan eksplisit, Syari’ati menilai kedua kutub tersebut sebagai kutub positif dan kutub negatif. Kutub positif kemanusiaan selalu berada dalam keadaan tertindas, terjajah dan tak diuntungkan. Oleh karena itu, bagi Syari’ati, kutub ini perlu dibela serta diperjuangkan hak-haknya. Demikian pula dengan identifikasi Imam Khomeini dengan dikotomi antagonistik dan trikotomi semiharmonisnya. 
 
Sesungguhnya, perjuangan pembebasan mustadafin tidak murni dari Syari’ati dan Imam Khomeini. Sejarah Syi’ah sendiri merupakan sejarah perlawanan kelompok yang termarjinalkan secara politis di Dunia Islam. Doktrin Syi’ah, konsep keadilan ('adalah) misalnya, memberikan ruang lebih untuk lahirnya semangat pembebasan mustadafin. Bahkan, tendensi keberpihakan khas Syi’ah ini semakin mengental pada pasca Revolusi Islam Iran. Robin Wright mencatat pernyataan Khomeini sebulan setelah revolusi pecah bahwa, "it is a champion of all oppressed people." Demikian pula dengan pemerintahan Iran pasca Revolusi. Pemerintahan Iran pasca revolusi memberikan simpati dan solidaritas pada perjuangan pembebasan di dunia ketiga tak terkecuali terhadap gerakan revolusioner non-Muslim seperti gerakan Kongres Nasional Afrika di Afrika Selatan atau gerakan Sandinista di Nikaragua.[]
Sumber: www.icc-jakarta.com

DAFTAR PUSTAKA

Ali Syari’ati, On the Sociology of Islam, Barkeley : Mizan Press, 1979.
__________, Haji, Penerjemah: Anas Mahyudin, Bandung: Penerbit Pustaka, 2002.
_________, Yea Brother! That's the Way It Was, Tehran: Syari’ati Foundation, 1979.
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Posmodernisme, Jakarta: Paramadina, 1996.
Dilip Hiro, Between Marx and Muhammad: The Changing Face of Central Asia, T.T.: HarperCollins Publishers, 1994.
Ervand Abrahamian, Khomeinism: Essays on the Islamic Republic, (London: IB. Taurist and Co Ltd, 1993.
Erik Durscmied, Blood of Revolution: From the Reign Terror to the Rise of Khomeini, New York: Arcade Publishing, 2002.
Hamid Algar, The Islamic Revolution in Iran, Qum: Ansariyan Publisher, 1981.
John L. Esposito, Islam and Politics, New York: Syracuse University Press, 1987.
Khalid Bin Sayed, Western Dominance and Political Islam: Challenge and Response, Albany: State University of New York Press, 1995.
Nikki R. Keddie, Roots of Revolution: An Interpretative History of Modern Iran, New Haven and London: Yale University Press, 1981.
Oliver Roy, The Failure of Political Islam, London: I.B. Tauris, 1994.
Robin Wright, Sacred Rage: the Crusade of Modern Islam, New York: Linden Press, 1985.
Theda Skocpol, Social Revolutions in the Modern World, Cambridge: Ca.

Sekilas Tentang Faham Syiah



Sunnah-Syi'ah di Indonesia: Perspektif Ilmu Hadits.

Pendahuluan.

Pada dekade terakhir ini, diskursus pemikiran Syi'ah kembali meramaikan kancah pergulatan pemikiran di Indonesia. Dalam banyak hal, ia merupakan bias logis angin perubahan (the wind of changes) yang ditiupkan oleh keberhasilan revolusi Islam Iran (RII) yang digerakkan oleh sekte Islam Syi'ah. Tentang pengaruh revolusi tersebut, Dr. Richard N. Frye, ahli masalah Iran di Universitas Harvard, Seperti dikutip Jalaluddin Rahmat, berkomentar: Hubungan revolusi Islam (Syi'ah) di Iran dengan dunia ketiga, yakni bangsa-bangsa yang tidak memiliki kekayaan dan kekuatan di dunia, adalah sama seperti hubungan antara revolusi Perancis dengan bangsa-bangsa Eropa Barat... Revolsi Islam di Iran bukan hanya titik-balik dalam sejarah Iran saja. Revolusi itu juga merupakan satu titik-balik rakyat di seluruh negara-negara Islam, bahkan bagi massa rakyat di dunia ketiga 1.
 
Pada sisi lain, kekecewaan para intelektual dan politikus Islam Indonesia pasca Masyumi tampaknya menemukan obat penawarnya pada revolusi Islam Iran itu. Pergulatan politik di Indonesia yang merupakan Zero Sum games, satu pertaruhan yang kalau kalah akan kehilangan segala-galanya2, mendorong para politikus dan pemikir Islam untuk mencari kiblat proyeksi politik mereka. Di negara-negara Arab mereka tidak menemukan itu, kecuali sedikit pada Ikhwanul Muslimin yang mengalami nasib tak begitu jauh dengan mereka.

 
Revolusi Iran, dengan pemikir-pemikir yang mendukung di belakangnya, seperti Dr. Ali Syari'ati, sayyid M.H. Thabathaba'i dan Ayatullah Muthahhari, memberikan alternatif kepada mereka3. Maka tidak mengherankan jika kita dapati sebagian intelektual Indonesia dengan begitu pasih mengutip Ali Syari'ati, Muthahhari atau pemikir-pemikir Syi'ah lainnya. Jalaluddin Rahmat, dengan jelas menamakan yayasan yang didirikannya: yayasan Muthahhari, nama tokoh Syi'ah yang terkenal itu. Amin Rais juga pernah menerima gelar Syi'ah juga, karena seperti dikatakan oleh Jalaluddin Rahmat ia sering memuji Revolusi Islam Iran, dan terutama sering mengutip Ali Syari'ati. Bahkan menurut Jalaluddin Rahmat, sebuah buku kecil pernah ditulis tentang "kesyiahan" Amien Rais itu 4.

 
Tradisi keilmuan yang subur di kalangan Syi'ah juga menambah daya tarik bagi banyak intelektual Indoneisa. Kajian pilsafat, misalnya, seperti dikatakan banyak orang, tidak pernah terputus di kalangan Syi'ah. Sehingga, ketika pemikiran mereka bersentuhan dengan kalangan intelektual Indonesia, merekapun tercengang. Tentang karya Murthada Muthahhari " Sejarah dan Masyarakat", Dawam rahadrdjo berkomentara: Sulit membayangkan, seorang dengan pakaian jubah, seperti para kiai dan ulama di Indonesia menulis buku seperti itu, penuh dengan ulasan-ulasan yang spekulatif, menunjukkan olah pikir yang intens5.
Tentang khazanah keilmuan Syi'ah, lebih lanjut Dawam Rahardjo berkomentar: Ketika berkunjung ke Iran bersama Dr. Taufik Abdullah, kami tercengang melihat khazanah kepustakaan Islam di Universitas Teheran dan perpustakaan Ayatullah Marashi Najafi di Qum6.

 
Kajian tentang Syi'ah di Indonesia, seperti dikatakan oleh Dr. Azyumardi Azra telah dilakukan oleh banyak ahli dan pengamat sejarah, seperti Hamka7, Baroroh Baried8, M. Yunus Jamil9 dan A. Hasymi10. Dua yang terakhir, seperti dikatakan Azyumardi Azra bahkan berargumen bahwa Syi'ah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di Nusantara., Keduanya mengatakan bahwa kekuatan politik Sunni dan Syi'ah terlibat dalam pergumulan dan pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan di Nusantara sejak awal-awal masa penyebaran Islam di kawasan ini. Menurut mereka, kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah kerajaan Peureulak (Perlak) yang, konon, didirikan pada 225H/845M. Pendiri kerajan ini adalah para pelaut-pedagang Muslim asal Persia, Arab dan Gujarat yang mula-mula datang untuk mengislamkan penduduk setempat. Belakangan mereka mengangkat seorang Sayyid Mawlana Abd a-Aziz Syah, keturunan Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syi'ah, sebagai sultan Perlak 11.
Agus Sunyoto, staf Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam (LPII), Surabaya seperti dilaporkan Majalah Prospek (10 Nopember 1991), melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa Syaikh 'Abd al-Rauf Al-Sinkli, salah seorang 'ulama' besar Nusantara asal Aceh pada abad ke-17, adalah pengikut dan penggubah sastra Syi'ah, bahkan hanya seorang saja dari walisongo di Jawa yang tidak Syi'ah. Juga Nadlatul 'Ulama (NU) --setidaknya secara kultural--juga adalah Syi'ah.
Walaupun, baik M.Yunus Jamil, A.Hasymi dan Sunyoto, seperti dikatakan Dr. Azyumardi Azra, memberikan argumennya tanpa referensi yang reliable dan memadai juga tanpa analisis dan logika yang bisa diterima 12 namun deskripsi mereka setidak menunjukkan satu hal: Bahwa Syi'ah, semenjak lama telah bersentuhan --setidaknya secara kultural-- dengan masyarakat Indonesia (Nusantara). Dalam masyarakat NU, pengaruh Syi'ah yang cukup kuat di dalamnya, secara jelas diakui oleh Dr. Said Aqil Siraj Wakil Katib Syuriah PBNU. Atau dalam kata-katanya: " Harus diakui pengaruh Syi'ah di NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan membaca barzanji atau diba'i yang menjadi ciri khas masyarakat NU misalnya secara jelas berasal dari tradisi Syi'ah" 13. Maka, ketika diskursus Syi'ah kembali ramai di Indonesia, bisa saja itu sekadar hembusan kecil dari badai yang sedang mengganas. Sedang terjadi pemuatan nilai ideologis Syi'ah atas warisan kultural bangsa Indonesia yang berbau Syi'ah? Mungkin saja. 

 
Saat ini, menurut keterangan Ahmad Barakbah --salah seorang alumni Qum Iran-- seperti ditulis redaksi jurnal Ulumul Qur'an, di Indonesia terdapat kurang-lebih 40 yayasan Syi'ah yang tersebar di sejumlah kota besar seperti Malang, Jember, Pontianak, Jakarta, Bangil, Samarinda, Banjarmasin dan sebagainya 14. Jumlah masyarakat Syui'ah Indonesia sekarang ini, menurut ustaz Ahmad, yang benar-benar mengikuti ajaran Syi'ah secara totalitas, baik pemikiran maupun syari'at, sekitar dua puluh ribu orang 15.

 
Simpatisannya sudah barang tentu lebih banyak lagi. Tentunya kajian tentang Syi'ah memang dibutuhkan. Tidak saja untuk kepentingan akademis dan menguak lebih jauh tentang sekte tersebut, namun juga ia mempunyai kepentingan ganda: untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi hubungan Sunnah-Syi'ah di masa depan. Dalam artikel ini, penulis akan membatasi diri pada visi hadist dalam wacana keilmuan Syi'ah.
Walaupun demikian, sebagai pengantar untuk mendekatkan pemahaman konsep hadits tersebut, penulis merasa perlu mengkaji definisi, akar historis dan sekte-sekte dalam Syi'ah. Sambil tidak lupa memberikan kontribusi pemikiran bagi hubungan Sunnah-Syi'ah di masa mendatang, terutama bagi masyarakat Indonesia.




30 Tahun Syahidnya Ali Syariati.




"I have no religion, but if I were to choose one, it would be that of Shariati's."
-Jean-Paul Sartre:
Siang itu, 19 Juni 1977. Dua tahun sebelum impian Ali Syariati (atau Shariati, menurut ejaan Barat) melihat Iran yang bebas dari cengkraman rezim Syah Iran. Dosen revolusioner itu ia tewas di London. Misterius. Upacara pemakamannya menjadi semacam pertemuan tingkat dunia para tokoh pergerakan dunia ketiga. Di Damaskus, tepat di sebelah makan Zainab Ra cucu Rasulullah, dipimpin oleh ketua PLP Yassir Arafat, semua tokoh bawah tanah internasional dunia ketiga berduka mengantar kepergiaannya.

Saya punya kedekatan khusus dengan Syariati sejak di bangku kuliah (Jurusan Sastra Arab, Fakultas Sastra UI), sekitar pertengahan 1990-an. Pertama kali lewat Tugas Cendekiawan Muslim (diterjemahkan oleh Amien Rais), khususnya bab Man and Islam. Baru pada saat tesis S2 di Jurusan Filsafat, saya mengangkat buku itu sebagai salah satu acuan primer untuk mengkaji pemikirannya tentang etika (dan eksistensialisme).
Sejak sekolah dasar, ia sudah melahap karya Victor Hugo, Les Miserables, Que sais-je, dan History of Cinema. Dalam bidang filsafat, ia masuk dalam pemikiran filosof Jerman, seperti Arthur Schopenhauer, Franz Kafka, dan penyair besar Jerman Anatole France. Ia memiliki kenangan pertama terhadap karya-karya Maurice Maeterlink.

Saat di Prancis, ia sudah akrab dengan pengikut Che Guevara, dan gerakan bawah tanah Kongo. Ia bahkan bertemu langsung dengan Franz Fanon dan Sartre. Di Iran, ia bergabung dengan Sayyid Hussain Nashr dan Murtadha Mutahhari dan menjalankan Hussainiyah Irsyad, sebelum seluruh dewan pendirinya mengundurkan diri karena semangat revolusioner Syariati yang dianggap kelewatan.

Bagaimana dampak pemikirannya sekarang? Simak wawancara Ummahonline dengan saya.
 
Wawancara maya yang cukup menyegarkan bersama Ekky al-Malaky ini, atau nama sebenarnya Ekky Imanjaya—yang menyelesaikan tesis sarjana tentang Etika Menurut Pemikiran Ali Shari’ati—diadakan semata-mata mengenang 30 tahun kesyahidan Ali Shari’ati. Mudah-mudahan, buah fikiran alumnus Universiti Indonesia ini yang sudi melakarkan warna-warni pemikiran Shari’ati dapat memberi manfaat buat para pembaca sekalian.

Pertama, bagaimana mahu mengambarkan sosok sebenar Ali Shari’ati, yang sering dianggap sebagai insan yang kompleks? Ini memandangkan Shari’ati bukan sahaja diketahui dekat dengan kelompok Marxisme —sepertimana simpati yang diberikan oleh khalayak Hezb-e-Tudeh, Sazeman-e Cherkiha-ye Fedayen-e Khalq-e Iran dan Sazeman-e Mojahedin-e Khalq-e Iran semasa beliau di Universiti Mashhad dan di Husainiyyah Irsyad— tetapi beliau juga dianggap sebagai crypto-sunni, pro-wahhabi dan pengikut Babisme oleh kumpulan Ayatollah Milani, serta kalangan mullah dari garis konservatif. Kemudian, Shari’ati turut terlibat dalam perjuangan nasionalis menerusi kumpulan oposisi pro-Mossadeq sehingga beliau pernah dipenjarakan pada tahun 1956. Namun ironinya, latar Shari’ati sendiri datangnya dari keluarga religius, di mana bapanya Muhammad Taqi Shari’ati adalah seorang alim yang sangat dihormati di Mashhad. Malah, menerusi Kavir (yang sarat dengan gaya bahasa Ibn ’Arabi), kita lihat Shari’ati menunjukkan minat yang besar dalam dunia ’irfan dan sering merujuk tulisannya kepada ahli sufi parsi, Ain al-Quzat al-Hamadani. Sama juga seperti dalam dunia sastera. Semasa kecil, iaitu sewaktu kanak-kanak sebayanya asyik bermain, Shari’ati sudah pun menikmati novel Les Miserables dan menerjemahkan buku tentang Abu Dharr karya 'Abd al-Hamid Jawdat al-Sahhar. Nah, dengan pendidikan yang dilaluinya sampailah beliau merangkul Ph.D di Universiti Sorbonne —sembari di sana bergaul dengan Frantz Fanon, Louis Massignon, Jacques Berque, Jean Paul Sartre, dll— maka selayaknya Ali Shari’ati itu siapa? Apa identiti dan idealoginya atas segala warna-warni yang disebutkan ini? Dan, apakah gelaran yang sesuai untuk kita berikan kepadanya? 



Ada tiga hal untuk membahas persoalan ini. Pertama, gelar yang layak bagi Shari’ati adalah, seperti yang ia dan pengikutnya sebut: Abu Dharr Moden. Kedua, ia adalah rausyanfikr, iaitu intelektual yang tercerahkan. Bahkan ia adalah free-thinker. Manakala ketiga, ia sekadar ”berbicara dengan bahasa kaumnya”. 
 
Shari’ati adalah intelektual sejati yang berjuang atas hati nuraninya dan tidak mahu diperintah oleh orang lain. Ia solitary, berdiri sendiri dengan bebasnya, tidak terikat dengan mazhab, aliran, atau golongan/kelompok apa pun. Penghargaannya terhadap ilmu pengetahuan membuatnya menjadi seorang pelintas mazhab. Ia ”transenden”, di atas segala batasan. Sebagai seorang intelektual yang tak mahu disebut ulama’, ia adalah intelektual yang tercerahkan dan ingin mengubah nasib bangsa dan zamannya dengan segenap kemampuannya. 
 
Ada pun ia berbicara tentang Shi’ah yang diramu dengan sosiologi dan falsafah Barat, itu kerana ia sedang ”berbicara dengan bahasa kaumnya” iaitu kaum terpelajar, mahasiswa. Baginya, agama adalah unsur utama dari budaya kerakyatan yang menyediakan bagi kaum tertindas suatu alat ideologis guna untuk berjuang melawan kaum penindas. 
 
Ia bagai Abu Dharr, hidup sendiri, berjuang sendiri, dan mati sendiri. Ia hidup dan berfikir dengan penuh kebebasan dan keberanian. Ia memberontak terhadap apa pun yang ia anggap salah, termasuk kepada kaum mullah yang disebutnya ”despotisme spiritual” seperti yang ia tulis dalam buku Haji
 
Charles Kurzman ada memuatkan Ali Shari’ati dalam bukunya Liberal Islam: A Sourcebook. Begitu juga dengan Ayatollah Mahmoud Taleqani, Mehdi Bazargan dan Abdolkarim Soroush. Di sini, Kurzman di dapati cuba menghimpunkan tulisan-tulisan yang dianggap sebagai mewakili kelompok yang liberal. Pada anda, adakah Ali Shari’ati seorang yang liberal?
Apakah Shari’ati seorang liberal? Saya kira ini pelabelan yang keliru. Sama persis ketika Islam Liberal di Indonesia menempatkan Shari’ati bersama Muhammad Natsir dan Yusof al-Qaradhawi dalam susunan gerakan Islam Liberal. Padahal tidak sepenuhnya benar. 
 
Saya cenderung menyatakan bahawa Shari’ati melampaui zamannya, dan mungkin hal ini dimaknai dengan liberal. Pada masanya, ia boleh berdiri dan bahkan menggabungkan segala unsur, mulai Islam-Shi’ah hingga Falsafah Barat. Ia menghasilkan banyak pemikiran yang luar biasa. Semuanya kerana pemaknaan yang mendalam terhadap Islam. Dan kerana rujukannya sangat luas, maka jadilah sebuah teori moden tentang Islam. Misalnya tentang konsep Becoming yang diambil dari eksistensialisme, tapi ia juga mengkritik keras Sartre. Ia mengambil sebahagian dari Marxisme, tapi ia menyerang Marxisme juga. Ia mengambil Shi’ah sebagai “bahasa kaum”, tapi kritikannya terhadap ulama’nya sangat sengit, bahkan ia tak ragu mengambil rujukan kaum Sunni, yang merupakan musuh pemikiran Shi’ah. 
 
Ada yang melihat perjuangan Imam Khomeini dan Ali Shari’ati masing-masing memiliki jalur yang berbeza, meskipun foto kedua-dua tokoh ini rata-rata menghiasi demostrasi ketika revolusi Islam Iran 1979. Malah, sikap Khomeini sendiri yang sering mendahulukan Murtadha Muthahhari ketimbang Shari’ati dilihat memberi tanda bahawa mereka berbeza idealisme. Lebih dramatik, Pouran-e Shari’ati Razavi, iaitu isteri Shari’ati sendiri pernah membayangkan Shari’ati akan turut terpenjara—sepertimana yang berlaku terhadap Ayatollah al-Udzma Hossein Ali Montazeri—sekiranya beliau masih hidup setelah revolusi Islam Iran 1979. Jadi, bagaimana kita mahu melihat situasi ini; iaitu hubungan antara Shari’ati dan Imam Khomeini? Kita sedar, dari satu sudut, Imam Khomeini enggan mengharamkan karya-karya Shari’ati, terutamanya Eslamshinasi, meskipun ada gesaan ke arah itu. Namun, mengapakah Pouran-e Shari’ati berani melakukan kenyataan demikian? Adakah kemungkinan sistem Wilayatul Faqeh yang diamalkan oleh Republik Islam Iran dewasa ini sukar diterima oleh Shari’ati? Apakah beliau akan persis termasuk dalam kumpulan seperti Abdolkarim Soroush, Hashim Aghageri, Laleh Bakhtiar, Abol-hassan Banisadr, dll?
Imam Khomeini sepertinya memang tidak terlalu suka dengan pencak Shari’ati, tetapi tidak pula menentangnya. Bagi saya, ini menunjukkan betapa bijaknya sang Imam. Ini kerana, baik Shari’ati atau Khomeini, masing-masing sedar bahawa ada musuh bersama, dan bahawa kedua belah pihak—ulama’ dan intelektual moden—harus bersatu menumbangkan regim Shah Iran. Apalagi Khomeini cukup sedar bahawa Shari’ati punya jaringan kuat dengan intelektual luar negeri. Hal ini terbukti saat Shari’ati ditahan pada tahun 1975, berbagai gerakan intelektual seperti di Paris dan Algeria mendesak agar Shari’ati dibebaskan (termasuk Menteri Luar Negeri Algeria ketika itu, Abdul Aziz Bouteflika yang berbicara pada pertemuan Opec di Algier). 
 
Bahkan, keduanya pernah bertemu pada 10 Januari 1977, serta berdiskusi di hadapan mahasiswa tentang isu-isu semasa. Ini terjadi sesaat sebelum Shari’ati hijrah ke London (8 Jun 1977) dan menjadi syahid pada 19 Jun 1977. 
 
Jika Shari’ati masih hidup saat Revolusi Islam Iran 1979 berhasil, tentu ia akan bergabung dengan para intelektual yang bukan ulama’. Dan tentu ia akan terus melancarkan aksi “pemberontakan intelektual” dan mengkritik segala yang ia anggap sebagai zalim, termasuk Imam Khomeini itu sendiri. 
 
Bagaimana pula hubungan Ali Shari’ati dengan Murtadha Muthahhari, yang awalnya sangat akrab sebelum timbulnya ketidaksenangan Muthahhari terhadap beberapa tulisan Shari’ati?
Ali Shari’ati dan Murtadha Muthahhari adalah Pendiri Husainiyyah Irsyad. Tapi Shari’ati dinilai terlalu revolusioner kerana ceramah-ceramahnya di depan mahasiswanya cenderung membuat mereka menjadi oposisi Shah Iran (tahun 1969). Ia juga mengkritik keras ulama’ yang disebutnya ”borjuasi kecil”. Shari’ati menilai para ulama’ Iran saat itu apatis terhadap kezaliman, sebahagian pasif kerana mengharapkan Imam Mahdi, sebahagian oportunis. Shari’ati lalu menunjukkan alternatif: Intizhar-i mushbat (penantian positif), sebuah upaya mobilisasi Imam Ghaib untuk berinisiatif melawan ketidakadilan dan mempersiapkan jalan untuk Imam Mahdi. 
 
Kritik Shari’ati terhadap ulama’ ini membuat Dewan Pimpinan—Muthahhari, Sayyid Hossein Nasr, dan Hashemi Rafsanjani—mundur. Alasan lainnya, kerana mereka menilai Shari’ati menyimpang dari tujuan asal Husainiyyah Irsyad kerana terlalu menekankan kenyataan dan analisa sosiologis menyangkut Islam dan mengorbankan dimensi intelektualnya. Shari’ati dianggap memperalatkan Islam untuk tujuan politik dan sosialnya. Hingga menjelang ditutupnya madrasah ini, ketika musim panas 1973, seluruh Dewan Pendiri, kecuali Shari’ati, mengundurkan diri. 
 
Apakah anda memikirkan Ali Shari’ati seorang anti-mullah? Kerana Shari’ati seringkali dilihat seperti ada kecenderungan demikian, sehinggakan beliau tidak keberatan ’mengejek’ para mullah dengan dengan panggilan Akhund. Lebih drastik lagi, Shari’ati cuba mendefinisikan Shi’ah dalam dua jalur; Shiisme Safavid dan Shiisme Alivi, sebagai reaksinya terhadap dogmatik para mullah. Manakala, bagi para mullah pula, mereka memanggil Shari’ati sebagai ’munafik’ dan ’marxis dengan baju Islam’. Bahkan, pernah Syeikh Muhammad Ali Anshari melaungkan, ”kami peringatkan pemerintah Iran, rakyat Iran, dan ulama’ Iran, bahawa selama seribu tahun terakhir, sejarah Islam dan Shi’ah tidak pernah bertemu dengan musuh yang lebih mengerikan dan degil, selain Ali Shari’ati.” Nah, sekerasnya manakah permusuhan Shari’ati dengan kelompok mullah tradisional ini?
Bukan Mullah yang dikritik, tetapi sikap dan perilakunya. Shari’ati menaruh hormat pada beberapa ulama’, seperti Muthahhari dan Imam Khomeini. Bahkan antara Shari’ati dan Muthahhari sempat akrab. Terbukti, selain keduanya adalah Dewan Pendiri Hussainiyyah Irsyad, Muthahhari pernah mengundang Shari’ati menulis tentang sejarah Nabi Muhammad sewaktu tempoh Hijrah hingga wafat. 
 
Kritik terhadap ulama’, sudah saya jelaskan di atas. Dan, sebab yang lainnya adalah, bahawa para ulama’ hanya mengulang-ulang pelajaran yang sama saja, tanpa ada usaha untuk membangkitkan kesedaran diri rakyat bagi mengubah nasibnya. 
 
Dan, program setelah revolusi, juga membuat kedua pihak tidak boleh bertemu. Kaum Mullah tentu saja berpendapat bahawa kaum agamawanlah yang akan mengatur negara. Tapi, Shari’ati—seraya mengutip Gurvitch—berpendapat bahawa kaum intelektual merupakan satu-satunya pilihan yang boleh diterima dan diperlukan setelah revolusi. 
 
Gagasan Ali Shari’ati tentang rausyanfikr sering dijadikannya sebagai modal serta simbol untuk membezakan dengan istilah ulama’, akhund mahupun mullah—seperti yang lazim difahami. Shari’ati, dengan menggunakan model kon dalam A Glance at Tomorrow’s History menjelaskan mengenai kuasa golongan intelek untuk mempengaruhi golongan tingkat bawah. Sejauh pengetahuan anda, apakah makna, misi dan visi tentang rausyanfikr yang paling ideal menurut perspektif yang dikemukakan oleh Shari’ati?
Rausyanfikr atau free-thinker biasanya adalah untuk membezakannya dengan ulama’ tradisional. Lazimnya, istilah ini dipakai untuk intelektual yang berkiblat ke Barat, tetapi Shari’ati memaknainya dengan berbeza: Orang yang sedar akan keadaan kemanusiaan (human condition) di masanya, serta reka bentuk kesejarahannya dan kemasyarakatannya yang memerinya rasa tanggung jawab sosial. Mereka adalah individu yang sedar dan bertanggungjawab, yang tujuannya adalah membangkitkan kurnia Tuhan yang mulia, iaitu ”kesedaran diri” dari rakyat jelata. Kerana hanya kesedaran diri itulah yang mampu mengubah rakyat yang statik dan bobrok menjadi kekuatan dinamik dan kreatif yang akhirnya mengubah zaman.
Maka, selama orang itu—termasuk mullah—berada dalam definisi di atas, maka ia menjadi rausyanfikr. 
 
Kita tahu, dalam banyak tulisan Ali Shari’ati, beliau mengkritik dengan keras aliran ateis-romantisme yang dikembangkan oleh Sartre dan kelompok eksistensialisme yang lain. Namun, yang menariknya, Sartre sendiri pernah memuji Shari’ati setelah kesyahidannya, dengan menyatakan bahawa dia akan menjadi penganut agama Shari’ati jika terpaksa memilih agama. Justeru, adakah anda melihat gagasan Shari’ati akhirnya dapat menumbangkan gagasan Sartre, terutamanya dalam soal etika, kebebasan dan hati nurani (dhamir)? Malah, kita turut sedar bahawa Shari’ati sememangnya kental mendukung kepada prinsip-prinsip tauhid (dalam versinya sendiri), dan ini sudah tentu sangat berbeza dengan anjuran-anjuran ateistik Sartre. 
 
Shari’ati sangat kagum dengan eksistensialisme, namun ia juga mengkritiknya dengan keras, kerana dipandangnya tak sesuai dengan Tauhid yang ia anut, dan juga keadaan masyarakat Iran yang Shi’ah.
Eksistensialisme Sartre adalah kemunduran yang disayangkan dari eksistensialisme yang agung, dari puncak manusia-tuhan (god-man) ke gurun kecemasan yang sia-sia. Kritik Shari’ati atas Etika, khususnya eksistensialisme Barat adalah seperti catatan di bawah. 
 
Pertama, absurditi: Absurditi, kesia-siaan, nihilisme sangat ditentang Shari’ati kerana berakar dari manusia yang tak punya cita-cita, tujuan, dan makna hidup dan eksistensinya sendiri. Shari’ati bilang, absurditi disebabkan kerana manusia terlalu memberikan perhatian kepada hal-hal materialistik. 
 
Eksistensialisme memang memberi indivisi kenderaan yang disebut keinginan dan kebebasan. Tapi pada saat yang bersamaan, individu itu ”...sebenarnya tak ada arah yang harus dituju. Pergilah ke mana pun engkau suka. Kerana, ketahuilah, ke arah mana pun yang kau pilih, adalah pilihan peribadimu, tak lebih”.
 
Kedua, sumber moral: Sumber dan tolok ukur moral Barat sangat ditentang oleh Shari’ati. Baginya, Barat hendak menyingkirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan ’langit’, termasuk penyangkalan terhadap dimensi Roh Tuhan dalam diri manusia, kerana semangat Prometheus dalam mitologi Yunani kuno yang telah berakar dan menjadi pandangan-dunia. Tanpa Roh Tuhan, manusia tidak boleh Becoming
 
Keterpisahan Tuhan dari Etika ditolak Shari’ati. Kerana, tanpa Tuhan yang mengawasi, maka tak ada beza antara yang berkhianat dan setia, atau antara orang yang mengorbankan orang lain demi kedudukan peribadi. Tanpa Tuhan, ibarat rumah yang kosong, tak ada yang melihat, hingga kita boleh berbuat seenaknya, tanpa harus bingung bagaimana harus duduk, harus berpakaian, dan harus bertindak. Jadi, baik dan buruk tidak punya makna intrinsik dalam alam semesta. 
 
Kebebasan dan keinginan seorang individu tidak punya arah yang jelas, tergantung dari masing-masing pilihan peribadi. Padahal, moraliti memerlukan dorongan dari sesuatu yang mengatasi dan lebih tinggi dari manusia yang tidak hanya menjawab ”responsibility for” tapi juga ”responsibility to”.
Roubiczec benar saat mengatakan: “To make sense, responsibility not only ” responsibility for” but also ”responsibility to” and man himself is insufficient to give meaning to the latter, unless he at leaset admits the presence of transcendental elements in his own nature. Morality cannot be arbitrarily created, it must have authority.” 
 
Dan ketiga, tanggungjawab dan kebebasan: Tanggungjawab dan kebebasan, bagi Shari’ati, adalah dua hal yang supranatural dan supramaterial, dan memerlukan unsur ketuhanan di dalamnya, sebagai Zat yang meminta dan menanyakan pertanggungjawaban itu. Sementara, bagi Sartre, kedua hal itu berasal dari diri manusia itu sendiri yang membentuk esensi dirinya. Kalau tanpa ada unsur tuhan, akan sulit menjawab: ”bertanggung jawab terhadap apa?”. 
 
Pemikiran etika Shari’ati, walau terpengaruh falsafah Barat, masih berpandangan-dunia Tauhid. Teorinya unik, kerana berbeza dengan konsep tradisional kaum mullah. 
 
Ini kerana tentu saja Tauhid sebagai sumber falsafah moral. Dan, Tuhan sebagai Guru Pertama Manusia, yang disimbolkan saat Tuhan mengajarkan Nama-nama kepada Adam, dan bukan Dewa yang anti manusia (tidak ada konsep Prometheusian dalam Islam). Ertinya, manusia diberi bekal tentang ”kebaikan” yang terpancar lewat hati nurani. Hati nurani ini adalah Roh Tuhan yang ditiupkan yang membawa manusia untuk berproses (becoming) menuju tuhan. Itulah kebaikan-bawaan yang disebut dengan fitrah. Dimensi ketuhanan dalam diri manusia membuat manusia berbeza dengan makhluk lainnya, iaitu memiliki tiga sifat ilahiah yang menjadi modal untuk becoming: kehendak-bebas, kreativiti, dan kesedaran diri. 
 
Shari’ati masih berpangkal pada etika Islam secara umum: ”berakhlak seperti akhlak Tuhan”, tetapi ia merangkumi konsep becoming (yang ia ubahsuai menjadi ”insan”) untuk menjelaskannya.
Dan, yang patut dicatat, etika Shari’ati adalah otonom dan individual. 
 
Bagaimana pula perbandingan gagasan Ali Shari’ati dengan Søren Kierkegaard, lebih-lebih lagi dalam konsep empat penjara (sifat dasar, sejarah, masyarakat dan ego manusia) seperti yang dinukilkan oleh Shari’ati dalam Man and Islam?
Benar! Empat Penjara Shari’ati dipengaruhi oleh Kierkeegard. Dan keduanya pun religius, dan merasa sebagai ”manusia paling kesepian pada zamannya”. Bezanya, tiga tahap Kierkegaard adalah dalam bentuk jenjang atau tahapan yang harus dilalui satu demi satu seperti menaiki anak tangga. Sedangkan Empat Penjara Shari’ati tidak membicarakan tentang tahapan, tetapi keempatnya adalah hambatan-hambatan yang menghalangi proses becoming menuju Tuhan. Shari’ati membicarakan hambatan-hambatan berupa penjara-penjara ynag menghalangi perjalanan menuju Tuhan, sementara Keirkegaard membicarakan tahapan-tahapan jenjang becoming manusia SETELAH melewati hambatan-hambatan tadi. 
 
Dan, apa pula pandangan Ali Shari’ati tentang manusia? Kerana, seperti yang di akuinya sendiri, soal manusia sering menjadi pusat pemerhatiannya?
Shari’ati mempunyai beberapa istilah seputar konsep manusia, iaitu: makhluk dua dimensi, insan, khalifah, dan makhluk moral. Keempatnya punya makna berbeza tapi saling berhubungan satu sama lain.
Sebagai khalifah Tuhan, manusia harus melakukan tindakan etis seperti tindakan etis Tuhan (berakhlak seperti akhlak Tuhan). Untuk meniru akhlak Tuhan, manusia harus selalu senantiasa melakukan proses evolusi (becoming/insan) menuju Tuhan, kerana hanya dalam modus berada dalam bentuk insan sajalah manusia memperoleh kebebasan dan mendapat amanat menjadi Khalifah (wakil) Tuhan). 
 
Kebebasan manusia diperoleh, kerana manusia adalah makluk dua dimensi, iaitu Roh Ilahi dan Tanah Lumpur. Unsur Roh Tuhan ini membuat manusia mendapatkan atribut yang hanya dimiliki Tuhan (kehendak bebas, kreativiti, kesedaran diri), dan itulah modal untuk becoming. Sifat kebebasan itu membuat insan dibebani dengan tanggungjawab. 
 
Tanggungjawab ini merupakan titik mula moraliti, dan membuatnya menjadi makhluk moral, iaitu makhluk yang selamanya dituntut untuk mempertimbangkan kegiatan hidupnya dalam kriteria baik buruk. Sampai tahap ini, manusia mampu mengabaikan kehidupan materi, bahkan boleh melakukan altruisme dan kesyahidan. 
 
Sejauh pembacaan kita, Ali Shari’ati hampir tidak pernah berbicara tentang Abu Bakr dan Umar, suatu sosok yang digambarkan sebaliknya oleh kebanyakan mullah Shi’ah, termasuk oleh Kuliani, Majlisi, al-Qummi, dll. Dan, dalam waktu yang sama, Shari’ati berbicara dengan fasih tentang Ali bin Abi Thalib, Salman al-Farisi, Abu Dharr al-Ghiffari, Husain bin Ali Abi Thalib, para Imam-imam mereka. Memang, di luar lingkungan kita—maksud saya di kalangan sunni itu sendiri—ada yang mengakui keutamaan tokoh-tokoh seperti yang dicanangkan oleh Shari’ati ini. Bahkan, Shari’ati dalam bukunya al-Ummah wa al-Imamah telah mengemukakan sebuah analisa yang cemerlang ke arah menunjukkan jalan keluar dari konflik Khalifah dan Imamah—yang sekian lama membelenggu hubungan antara Sunni dan Shi’ah. Menurut fikiran anda, apakah analisa yang dikemukakan oleh Shari’ati dalam buku tersebut dapat dijadikan asas serta petunjuk dalam mendamaikan antara dua belahan ini: Sunni dan Shi’ah? Mengapa? Adakah ini juga menunjukkan bahawa jalur falsafah sebenarnya lebih berkesan dari jalur fiqh dalam membentuk kesatuan ummah?
Bukan falsafah, tapi semangat rausyanfikr membuatnya berkelana mencari rujukan kaum Sunni, dan lebih jauh lagi, Barat. Semangat untuk tidak terkotak-kotak seperti katak dalam tempurung. Semangat mencari kebenaran di mana pun letaknya. 
 
Buku Marxism and Other Western Fallacies merupakan karya Ali Shari’ati yang paling kompleks, malah kadang-kadang juga yang paling mengelirukan. Kerana menerusi buku ini, Shari’ati menyatakan sama ada Marxisme mahupun Islam, kedua-duanya adalah merupakan idealogi yang mencakupi seluruh dimensi kehidupan dan pemikiran manusia. Namun, dalam detik yang berbeza, Shari’ati kembali menjelaskan bahawa antara Islam dan Marxisme masing-masing ada juga perbedaan, terutamanya menerusi ontologi dan kosmologinya. Menurut anda, apakah pendirian sebenar Shari’ati terhadap Marxisme? Walhal, kelompok yang beridealogi Marxisme didapati antara yang aktif dalam mendukung perjuangan beliau, sehingga beliau pernah menyampaikan syarahannya yang sangat memukau di Masjid Narmak—dengan tema syahadah—semata-mata untuk meraikan kesyahidan Reza’i, aktivis Marxisme sekaligus mahasiswa beliau (Reza’i syahid di tembak oleh regim Shah Pahlevi)! Malah, lebih menarik lagi, Shari’ati cuba menghubungkan sejarah Habil dan Qabil dengan ’perjuangan kelas’, suatu slogan yang identik dengan kaum materialisme-dialektik ini. 
 
Shari’ati adalah seorang Marxis yang anti-marxis. Ia terpengaruh banyak oleh Marxisme, khususnya Neo-Marxisme dari Gurvitch, tapi ia juga banyak mengkritiknya. Ada hubungan benci-cinta antara keduanya. 
 
Sekali lagi, rausyanfikr selalu berkelana, namun tidak membuatnya terpesona dan taklid buta. Ia banyak mengkritik Marxisme. Dan, sekali lagi, ia kala itu sedang ”berbicara dengan bahasa kaum”, iaitu mahasiswa yang ilmiah dan gerakan kiri. Tapi pengaruh Marx sangat kelihatan. Shari’ati menerima teori kesedaran kelas dan dialektika dan sejarah, tapi menolak materialisme dialektika. Ia memodifikasi pertentangan kelas menjadi antara dunia Ketiga melawan Imperialisme Barat. Ia juga menggunakan paradigma, kerangka dan analisis marxis untuk menjelaskan perkembangan masyarakat. Dan tentu saja semangat atheisme yang merendahkan agama ditolaknya. 
 
Shari’ati menyatakan bahawa Marxisme menolak martabat manusia, dan menghapus kakikat kemanusiaan dalam sistem kerja sosial dan produksi. Dan hujungnya, diktatorisme-proletariat menggantikan masyarakat bebas dan kebebasan bekerja. Manusia diprogram dan direncanakan dari atas, semua individu dipekerjakan sebagai ganti atas pengingkaran mereka atas sistem mekanik. Dalam Marxisme, manusia menjadi makhluk yang terbelenggu dan terikat syarat dan dibentuk. Manusia adalah milik masyarakat, dan masyarakat adalah produk mesin produksi. 
 
Ada usaha Shari’ati untuk melakukan Marxifikasi Islam, atau malah Islamisasi Marxisme.
 
Ali Shari’ati turut membawa kita untuk mengenang Fatimah az-Zahra menerusi Fatimah is Fatimah. Buku ini sungguh memuliakan wanita! Anda tentunya pernah menelaah buku ini? Apakah inspirasi yang anda perolehi setelah menikmati buku tersebut? Dan, apakah perjuangan feminisme dan gender— dalam konteks barat— boleh terjawab dengan kupasan-kupusan Shari’ati ini?
Benar! Seperti yang saya bilang, ia seorang pelintas batas yang melewati zamannya. Untuk membahas hal ini, perlu ada kajian lebih lanjut lagi. 
 
Semasa di Universiti Sorbonne, Ali Shari’ati mula menterjemahkan beberapa tulisan pemikir Perancis ke dalam bahasa Parsi. Antara tulisan yang diterjemahkan oleh beliau ialah buku-buku spiritual Alexis Carrel. Malah, pengaruh Carrel begitu dirasai dalam tulisannya, ad-Du’a. Kemudian, Hajj, sebuah bukunya yang terkenal, Shari’ati mengajak para pembaca untuk berfalsafah —lantas meninggalkan pendekatan fiqhi yang sering merantai penjelasan mengenai Haji. Lebih jauh dari itu, Shari’ati juga telah mendefinasikan semula konsep Intizhar, yang beliau dapati sering difahami dalam konteks yang sangat terbatas serta mengelirukan. Jadi, bukankah kebanyakan apa yang cuba dirombak dan ditafsirkan semula oleh Shari’ati ini melibatkan soal ritual dalam Islam, suatu usaha yang barangkali tidak pernah di lakukan dalam tradisi Shi’ah sebelum itu? Menurut anda, adakah usaha yang sama boleh kita kongsi dalam dunia Sunni? Dan, tidakkah tindakan sebegini boleh mengugat fundamental agama, sepertimana yang sudah kental di percayai khalayak? 
 
Pertama yang perlu perhatikan, Shari’ati bukanlah ulama’ atau mullah. Ia tak punya autoriti dalam hal ritual keagamaan. Tetapi ia seorang ahli akademik, intelektual yang punya autoriti dan kapasiti penuh sebagai seorang ilmuwan sosiologi dan sejarah peradaban (dan bukan falsafah!). ia hanyalah melakukan pembacaan dari simbol-simbol keagamaan dan ditafsirkan dengan fikiran dan wawasan yang ia kuasai. Ia melakukan pemaknaan agar agama menjadi modal utama untuk menjadi relevan dengan kondisi zaman dan rakyat saat itu—dan kala itu semangat revolusi anti-regim Shah yang sedang marak. 
 
Jadi, masalahnya bukanlah apakah ia berkongsi dengan Sunni atau gerakan dalam tradisi Shi’ah. Tapi seorang pemikir yang terdidik secara Barat yang melakukan pendekatan kepada konsepsi agamanya untuk menjadi modal utama dalam melakukan revolusi. Jadi, pendekatannya bukan mullah/agamawan, tetapi seorang rausyanfikr sejati yang ingin melakukan perubahan dan menggerakkan rakyat. Ia ”sekadar” berbicara dengan bahasa kaumnya, Iaitu bahasa Islam-Shi’ah dan bahasa kaum intelektual. 
 
Saya melihat, dari semangat pemaknaan, hal ini juga dilakukan oleh Ary Ginanjar Agustian dengan ESQ Leadership Center (tempat saya sekarang bekerja). Pak Ary bukanlah ulama’ atau ustadz, tapi ia melakukan pemaknaan atas konsepsi Ihsan, Iman, dan Islam dengan pendekatan kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Tentu saja konteks ruang dan waktunya (alias jiwa zaman/zeitgeist) sangat berbeza dengan Shari’ati. 
 
Di antara banyak-banyak karya Ali Shari’ati, yang manakah menurut anda paling memberi kesan pada diri anda. Dan, apakah buah fikirannya yang paling besar untuk kemanusiaan sejagat? Mengapa anda berbicara demikian?
Man and Islam adalah buku yang inspiratif bagi saya. Kerana dipadati oleh konsepsi-konsepsi dasar pemikiran Shari’ati. Selain tentang falsafah manusia, di buku itu dibahas tentang Empat Penjara yang membahas tentang insan dan basyar, dan juga Pandangan-Dunia tang membicarakan falsafah sejarah Qabil dan Habil, juga kritik atas falsafah Barat. Buku ini, dan juga Marxism and Other Western Fallacies menjadi buku rujukan utama dalam penghasilan tesis saya di jurusan Falsafah, Fakulti Ilmu Budaya, Universiti Indonesia. 
 
Tapi, tentu saja, magnum opus Shari’ati adalah Haji. Di sinilah puncak pemikiran Shari’ati, dengan pemaknaan yang sama sekali original dan baru tentang ritual-ritual haji. 
 
Terakhir, tahun ini (2007) genaplah 30 tahun syahidnya Ali Shari’ati. Sudah tiga dekad Shari’ati meninggalkan kita. Selama itu, wawasan Shari’ati masih hidup dan bergema di celah-celah suara kemanusiaan! Terkenang juga kita kepada teriakan Shari’ati mengutuk 5,000 tahun ketidakadilan, penindasan dan diskriminasi kelas—sebagai reaksinya terhadap 2,500 tahun perayaan monarki di Iran pada tahun 1971. Namun, di sebalik tiga dekad ini, nampaknya ada sisi-sisi Shari’ati yang makin dilupakan oleh kita. Apakah anda turut berfikir demikian? Dan, apakah sisi-sisinya serta ragam dimensinya yang harus kita peringatkan kembali, terutamanya kepada generasi muda dewasa ini? 
 
Semangat rausyanfikr yang open mind dan berkelana mencari kebenaran dari tempat mana pun sungguh sebuah semangat yang harus ditiru. Tanpa harus menjadi totally liberal (misalnya dengan meninggalkan Tauhid), Shari’ati telah menjadikan agama menjadi kontekstual pada zamannya dan berusaha menjadi agama sebagai jawaban atas keperluan rakyat dan zamannya. 
 
Sebagai intelektual, ia tidak berdiri di menara gading, atau berumah di awan, tetapi konkrit turun ke masyarakat menjawab cabaran zaman. Dan, usaha untuk penyegaran pemahaman keagamaan dengan penafsiran baru diperlukan sebagai usaha pembaharuan agama. 
 
Saya kira, sumbangan terbesar pemikiran Shari’ati adalah menerjemahkan kosa kata agama dalam kosa  kata agama dalam kosa kata falsafah. Ia juga menjadi jambatan dialog antara agama dan falsafah, juga antara teori dan praktik.


Konsep Masyarakat dalam Pandangan Ali Syariati.
 
Oleh: Ismail Amin Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran.


Kekuasaan politik disimbolkan dengan tokoh Firaun sebagai lambang penindas, kekuasaan ekonomi dilambangkan oleh tokoh Qarun sebagai lambang kapital dan kapitalisme, dan kekuasaan intelektual-religius dilambangkan oleh tokoh Bal'am sebagai simbol kemunafikan Revolusi Islam Iran (1979) selalu menarik untuk dikaji. Theda Skocpol, dalam Social Revolutions in the Modern World, mengkategorikan Revolusi Islam Iran sebagai salah satu revolusi sosial terbesar dunia di samping Revolusi Perancis, Rusia, dan Cina. 

Revolusi Islam Iran bukan hanya lahir dan terledakkan dari ketidakpuasan kelompok elit mullah (religious scholars) terhadap kebijakan Syah Pahlevi yang berusaha memangkas peran agama dalam fungsi sosial politik, namun juga merupakan akumulasi kekecewaan dan ketidakpuasan seluruh komponen bangsa Iran.
Eric Rouleau mengatakan, Revolusi Iran merupakan satu-satunya revolusi religius yang bahkan kelompok minoritas pun mendukung dan ikut berperan dalam prosesnya. Karenanya, jika dilakukan pencermatan lebih jauh maka sesungguhnya ada dua ideologi besar yang menggerakan jalannya Revolusi di Iran.


Ideologi religius yang diusung para ulama berbasis pendidikan Hauzawi (pesantren) di antaranya oleh Imam Khomeini dan Syahid Murtadha Muthahari dan konstruk ideologi semi religius, yang dibawa oleh kaum intelektual berlatar pendidikan sekuler di antara tokohnya adalah Ali Syariati dan Bani Sadr.
Meskipun mempunyai misi yang sama dalam menggulingkan pemerintahan monarki Pahlevi namun tidak jarang kedua kelompok ideologis ini saling berhadap-hadapan dalam merebut pengaruh.


Mohammad Subhi-Ibrahim dalam salah satu artikelnya menuliskan, bahwa John L Esposito pernah mengungkapkan, dalam Revolusi Islam Iran kaum Mullah khususnya Imam Khomeini lebih berperan sebagai pemimpin revolusi yang berbekal kekharismaan mampu menyatukan gerakan-gerakan revolusioner yang berbeda-beda namun perumus dan penyedia ideologi revolusinya sendiri adalah dari kaum intelektual, utamanya Ali Syariati.


Bahkan menurut Nikki R Keddie, "Ali Syari'ati-lah yang telah sangat mempersiapkan kaum muda Iran untuk perjuangan revolusioner itu". Tulisan ini secara singkat memaparkan konsep pemikiran sosial Ali Syariati tentang masyarakat dan klasifikasi kelas sosial.

Biografi Singkat.
Ali Syariati yang terlahir tahun 1933 di Mazinan , Iran, dikenal sebagai manusia yang kompleks, hampir berbagai gerakan-gerakan revolusioner di Iran merasa memilikinya. Ide-idenya menjadi sumber inspirasi kelompok Marxisme Iran semisal Hezb-e-Tudeh dan Sazeman-e Mojahedin-e Khalq-e Iran.
Ia juga terlibat dalam gerakan perjuangan nasionalis dan bergabung dalam kelompok oposisi pro-Mossadeq, kritikan-kritikannya terhadap ulama-ulama Syiah yang menurutnya konservatif membuat dia dianggap sebagai crypto-sunni dan pro-wahhabi.


Namun, sebagai anak dari Muhammad Taqi Shari'ati, seorang ulama besar yang sangat dihormati di Masyhad mengakrabkannya dengan tokoh-tokoh Hauzawi dengan mendirikan Hussainiyah al-Irsyad bersama Sayyid Hussain Nashr, Hashemi Rafsanjani dan Murtadha Mutahhari. Meskipun pada  akhirnya ketiganya mengundurkan diri dari Dewan Pimpinan karena semangat revolusioner Syariati yang dianggap kelewatan.


Ali Syariati meraih gelar doktoralnya di Universiti Sorbonne, sembari bergaul dengan Frantz Fanon, Louis Massignon, Jacques Berque dan Jean Paul Sartre. Dalam bidang filsafat ia masuk dalam pemikiran filosof Jerman, seperti Arthur Schopenhauer, Franz Kafka, dan penyair besar Jerman Anatole France.


Selama di Perancispun ia akrab dengan pengikut Che Guevara, dan gerakan bawah tanah Kongo. Dengan pergaulan yang demikian luas dengan ideologi yang berwarna-warni maka Ali Syariati termasuk diantara pemikir yang sulit teridentifikasi. Pengagumnya lebih cenderung menggelarinya sebagai Rausyan Fikr, intelektual yang tercerahkan.


Konsep Masyarakat.
Menurut Syariati, polarisasi masyarakat terdiri atas dua kutub yang dialektis. Dalam konsepnya dia mengistilahkan kutub Habil dan kutub Qabil, mengambil nama dan karakter dua anak Adam as. Syariati menyebut kutub Qabil sebagai kelas penguasa, yang merupakan pemilik kekuasaan, diantaranya politik, ekonomi dan kekuasaan religius.

Kekuasaan politik disimbolkan dengan tokoh Firaun sebagai lambang penindas, kekuasaan ekonomi dilambangkan oleh tokoh Qarun sebagai lambang kapital dan kapitalisme, dan kekuasaan intelektual-religius dilambangkan oleh tokoh Bal'am sebagai simbol kemunafikan.


Ketiga poros kekuasaan ini saling menunjang dan bekerja sama. Firaun merestui Qarun melakukan perampokan sistematis dan penguasaan atas pasar. Qarun memberikan jaminan finansial dan mendukung kerja intelektual Bal'am sementara  Firaun memberikan jaminan politis.


Dan Bal'am sendiri menyediakan basis doktrin untuk membenarkan rezim Firaun dan penguasaan ekonomi Qarun. Ali Syariati menyebut. ketiga komponen penopang kekuasaan Qabil sebagai trinitarianisme-sosial.
Sedangkan kutub Habil adalah representasi kelas yang dikuasai, yang ditindas. Kutub Qabil merupakan penjelmaan kelas rakyat (an-nas) yang tercakup di dalamnya: orang-orang tertindas, yang diekploitir dan kaum lemah.


Menariknya, menurut Syariati, Allah dalam konfrontasi kedua kutub masyarakat ini Allah SWT memihak pada kutub rakyat (Habil). Bahkan, Syari'ati berpendapat bahwa dalam beberapa ayat al-Quran Allah bersinonim dengan An-Nas. Misalnya, dalam surah At-Tagabun ayat 17, "Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik".


Syari'ati menjelaskan bahwa Allah yang dimaksud dalam ayat ini adalah an-nas (rakyat), karena Allah sama sekali tidak membutuhkan pinjaman.


Ketika disebutkan, "langit, bumi, di antara keduanya dan di bawah perut bumi adalah kepunyaan Allah", maka dimaknakan bahwa semuanya itu adalah milik rakyat, bukan milik Qarun (perorangan). Selanjutnya, bila dikatakan, "Segala sesuatu akan kembali kepada Allah", maka itu dimaksudkan bahwa keseluruhan manfaat dari kekayaan alam diperuntukkan bagi kemakmuran dan harus kembali kepada rakyat banyak bukan hanya dinikmati kelompok tertentu.


Menurut Syari'ati, rakyat merupakan wakil-wakil Allah (the representatives of God) sekaligus keluarga-Nya (al-nas iyalu 'Llah). Syari'ati menyebutkan pula adanya fakta bahwa al-Quran dibuka dengan nama Allah dan diakhiri dengan nama rakyat (an-nas). Kakbah, kiblat umat Islam disebut sebagai rumah Allah (house of God), bukanlah dimaksudkan Allah butuh rumah melainkan rumah itu adalah milik semua orang (rakyat) dan Makah disebut pula al-bayt al-'atiq yang artinya adalah kebebasan. 


Tentu saja penyamaan an-Nas dengan Allah hanya dalam wacana sosial bukan wacana aqidah. Dalam ranah teologis tetap tidak bisa disamakan antara Allah dengan An-Nas, namun dalam ranah sosiologis, menurut Syariati, keduanya adalah sinonim. Siapapun bisa tidak sepakat, namun inilah sumbangsih pemikiran Syariati yang mampu menerjemahkan kosa kata agama dalam kosa kata  sosiologis.


Menurutnya Islam adalah kekuatan yang menjadi pisau tajam yang memprakarsai sebuah perjalanan baru sejarah sosial Islam. Islam tidak semata-mata memuat deretan do'a namun juga perlawanan yang bergelora untuk memberikan manfaat kepada sebanyak-banyaknya manusia. Jean Paul Sartre berkata, "Saya tidak memiliki agama, namun jika harus memilih salah satu, kupilih agamanya Syariati"


***


FILSAFAT SEJARAH MENURUT ALI SYARI'ATI (1933-1977).

Islam menggambarkan sebuah pandangan dunia yang mencakup seluruh segi kehidupan, selain memperhatikan masalah-masalah yang dihadapi umat manusia, Islam juga memberikan bimbingan dalam masalah sosial. Menurut Ali Syari'ati, Islam merupakan sebuah Mazhab pemikiran yang menjamin kehidupan manusia baik individu maupun kelompok, dan misinya adalah membimbing masa depan umat manusia. Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat Illahiyah dan karena itu bersifat transenden, tetapi dari sudut pandang sosiologis ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial yang tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat menjamin dan menjagat raya, tetapi juga mengejawani bahkan institusi-institusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dinamika dunia dan waktu.

Ali Syari'ati adalah salah satu tokoh yang secara intelektual dididik dan dibesarkan dalam tradisi keagamaan yang kuat, dan dunia keilmuan yang kritis. Ali Syari'ati dengan gagasan pemikirannya tentang Islam dan pembaharuan telah menjadi salah satu alternatif bagi pemikiran sisoal, politik kontemporer. Hal ini dibuktikannya dengan sebagai seorang ideologi dan orator, serta penulis terutama tulisannya mengenai filsafat sejarah. Ali Syari'ati sangat tertarik dengan Filsafat Sejarah, dalam karyanya yang berjudul Tarikhi Takammuli Falsafi (Sejarah Perkembangan Filsafat), ia berupaya membedakan antara Islam dengan mazhab Filsafat, politik, dan sosial ekonomi atau dikenal dengan nama Maktab-evasetheh-e Islam (Jalan Tengah Islam). Islam adalah Median School atau Mazhab pertengahan antara sosialisme dan kapitalisme. Hal ini sangat menarik mengingat filsafat sejarah yang berkembang pada saat itu mencampur adukkan antara Islam dengan Mazhab yang ada, sehingga Ali Syari'ati berusaha membuka wawasan masyarakat, dengan pemikiran Filsafat Sejarah Ali Syari'ati pada nantinya akan mempengaruhi perkembangan Filsafat Sejarah sampai saat ini.

Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada masalah-masalah yang berkenaan dengan pemikiran Ali Syari'ati tentang Filsafat Sejarah yang terimplementasikan dalam perkembangan Filsafat Sejarah masa kini serta ideologi yang melatarbelakanginya.

Teori yang akan dipakai dala penelitian ini adalah teori perubahan ide yang dikembangkan oleh William Watt yang menyatakan bahwa timbulnya ide karena peristiwa yang mendahuluinya, sedangkan ide itu sendiri akan melahirkan ide lagi.

Sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan perilaku (Behavioral Approach). Teori ini berhubungan dengan penelitian tingkah laku manusia. Teori ini tidak hanya tertuu pada peristiwanya, tetapi tertuju pada perilaku sejarah dalam situasi riil serta bagaimana perilaku menafsirkan situasi yang dihadapi. Penafsiran tersebut memunculkan suatu tindakan yang menimbulkkan suatu kejadian dan khayalan maupun yang tidak diharapkan. Ali Syari'ati berupaya menginterpretasikan situasi riil, yang menjadi rangsangan dari sikapnya, sehingga mampu mengimplemetasikan pemikiran Filsafat Sejarahnya.
Teologi Sejarah (Abstraks Skripsi: Konsep Sejarah Menurut Ali Syariati).
Oleh: AHMAD SAHIDIN

Dr. Ali Syari’ati (1933-1977) adalah seorang intelektual Muslim Iran. Sebagai pemikir, ia punya pandangan bahwa Islam adalah agama progresif. Yakni sebuah sikap dari ketidaktundukkan pada kemapanan dan anti kezaliman yang kemudian melakukan resistensi dengan apa yang disebutnya sebagai Islam protes. Islam versi penafsiran Syariati ini sangat yakin bahwa Islam itu bersifat dinamis dan dalam mewujudkannya harus disesuaikan dengan tingkat kebutuhan zaman. Karenanya, untuk mewujudkannya umat Islam harus berani melakukan penafsiran terhadap nash-nash agama (al-quran dan tradisi kenabian) secara kontekstual atau sesuai dengan jiwa zamannya. Hal yang demikian, menurut Syariati, apabila dilakukan oleh kaum intelektual Muslim yang tercerahkan dapat membangkitkan dan menumbuhkan kembali khazanah Islam yang sudah dilupakan umatnya.

Dengan sikap penentangan Syariati terhadap pemerintahan Muhammad Reza Pahlevi yang dikenal rezim tiranik (zalim) telah membawa keberhasilan kaum revolusioner Iran dalam Revolusi Islam Iran di Abad XX Masehi. Karena itulah Syari’ati dianggap sebagai salah seorang yang menegakkan kembali nilai-nilai Islam agar terbebas dari hegemoni dan dominasi dari kekuatan maupun kekuasaan tertentu.

Dalam konteks revolusi Islam Iran, Syariati tidak hanya berperan sebagai “arsitek” Revolusi Islam Iran yang menyuntikkan spirit perlawanan kaum tertindas (mustadhafin) terhadap pemerintah zalim dan sistem kekuasaan yang menindas  (mustakbarin), bahkan telah mengupayakan adanya proses integratif antara khazanah Islam dan Barat sehingga menjadi satu kesatuan yang melahirkan gagasan-gagasan baru. Bukan hanya konteks sosial kultural masyarakat Iran yang dianalisis lewat interpretasi teks suci (nash-nash), tetapi juga konsep-konsep atau pemikiran-pemikiran yang berkembang saat itu diperbarui menjadi sesuatu yang segar dan mencerahkan (secara intelektual). Contohnya dalam pemikiran kesejarahan yang dihasilkannya atas penafsiran al-quran dan realitas sosial kultural yang ada dan dialaminya sehingga menjadi sebuah konsep sejarah.
Konsep sejarah versi doktor sejarah lulusan Universitas Sorbone, Perancis, ini berbeda dengan para pemikir atau filsuf sejarah lainnya yang hanya berbicara secara teoritis saja. Bagi Syariati, sejarah sangat berkaitan dengan ruang dan waktu serta berkenaan pula dengan sejarah masa depan.

Berkenaan dengan konsep sejarah versi Ali Syariati ini, penulis mencoba menelaah dan mengkajinya dengan tujuan mengetahui konsep dan pemikiran-pemikiran kesejarahan yang dikemukakannya.
Adapun pendekatan yang dipakai adalah deskripsi analitis, yaitu menjelaskan dan memaparkan data-data yang diperoleh dengan analisa-analisa yang relevan dengan masalah tersebut. Penulis melakukan analisa terhadap karya-karya tulis Ali Syariati dan beberapa tulisan dari para cendekiawan Muslim Indonesia dan ilmuwan lainnya yang menulis tentang Syariati. 

Dari pendekatan tersebut penulis menemukan bahwa konsep sejarah yang dikemukakan Syariati berlandaskan pada paradigma modern (Barat) dan nilai-nilai Islam (Al-Qur’an) yang diramu menjadi satu konsep, yaitu Teologi Sejarah (Islam).

Konsep ini berkenaan dengan konteks manusia dalam ruang dan waktu, yang dalam aktivitasnya menghasilkan perubahan-perubahan sejarah. Menurut Syariati, perubahan sejarah terjadi karena dialektika dua kutub, yang disimbolkan dengan Habil dan Qabil sebagai konflik awal peradaban manusia, yang berakhir dengan peniadaan pada salah satu pihak. Dialektika dua kutub inilah yang menjadikan sejarah terus-menerus berkembang secara dinamik. Dalam pemikiran ini, Syari’ati dipengaruhi wacana pemikiran dialektika historis dan materialisme historis yang dikembangkan G.W.F. Hegel dan Karl Marx.

Bahkan menurut Syari’ati, bahwa perubahan sejarah tidak hanya terjadi karena dialektika dua kutub yang bersifat alamiah, akan tetapi dengan kehendak untuk berubah dengan cara berhijrah (migrasi) dari satu tempat ke tempat lainnya adalah hal yang mendasar dari perubahan dan perkembangan dalam peradaban umat manusia.
Maka dilektika dua kutub dan hijrah adalah proses dari adanya perubahan-perubahan yang berkelanjutan menuju akhir sejarah. Akhir sejarah yang dimaksud adalah lebih berupa upaya-upaya untuk menyongsong masa depan. Dalam hal ini, segitiga kerucut adalah metode yang coba ditawarkan Syari’ati dalam rangka melihat atau menengok sejarah masa depan.

Namun kepastian akan adanya sejarah masa depan tersebut sangat berhubungan dengan doktrin Imamah Syi’ah, yaitu penantian terhadap Imam Mahdi sebagai “pembebas dan penyelamat” umat manusia dari berbagai bentuk kezaliman dan yang menjadi pemenang sekaligus pemegang tonggak “kebenaran” di akhir zaman.

Meskipun yang mencetuskannya seorang Muslim-Syiah, tapi pemikiran ini sangat berguna untuk membaca atau meneropong bagaimana masa depan sejarah umat manusia, khususnya umat Islam, dengan menggunakan konsep dan metode historis yang digulirkannya. Penulis yakin bahwa sekarang ini umat Islam sudah dewasa dan bisa melihat segala persoalan dengan penuh kearifan sehingga paradigma sekterian dan dogmatisme ajaran bukan perkara yang urgen untuk dipersoalkan lagi. Kebenaran dan hikmah bisa datang dari siapa pun dan bersifat lintas ruang dan waktu, bahkan zaman. Yang perlu dipersoalkan adalah seberapa besar kontribusinya bagi umat Islam. 

PENULIS, alumni Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Ali Syariati; Sosok Aktifis Idealis

“Seorang intelektual tercerahkan adalah ia dengan tangan yang sama menuliskan ayat-ayat suci dari langit serta terbenam dalam genangan lumpur dan mengayunkan kayu untuk menyuburkan tanah yang kering, ia berdiri tegak memperjuangkan ayat-ayat Allah dan hak-hak masyarakat”. (Ali Syari’ati)

Beberapa waktu lalu ada sebuah tulisan tentang ‘Makna Haji Menurut Ali Syari’ati’, yang ditulis oleh salah seorang kompasianer, merasa memiliki apresiasi yang sama terhadap Ali Syariati, saya pun mencari-cari data dalam computer tentang Ali Syari’ati yang pernah saya tulis sebelumnya namun belum pernah dipostkan di blog manapun. Walaupun penulis sudah memberikan link tentang riwayat hidup Ali Syariati, namun dengan apologi ‘membaca adalah persfektif dan tak ada persfektif tanpa menuliskannya kembali’, saya pun memberanikan diri untuk mengepostkannya. Dengan harapan dapat sharing bersama kompasianer lainnya yang gandrung terhadap dunia pemikiran dan perubahan-menjadi manusia tercerahkan sesuai dengan jargon Ali Syari’ati. Namun tentu saja alasan yang paling menonjol bukan semata-mata berlajar menulis, namun karena di dalam diri Ali Syariati ada semangat yang dapat kita tiru, SEMANGAT MENULIS, menggerakan orang dengan MENULIS.

Diantara kita barangkali ada yang belum mengenal sosok Ali Syari’ati, siapakah sebetulnya Ali Syari’ati? dan apa gunanya juga mengenal sosok Syari’ati?. Bagi teman kita yang gandrung terhadap pemikiran (Islam) khususnya, barangkali tidak ada yang asing dengan sosok Ali Syari’ati, ia adalah salah satu arsitek intelektual Revolusi Islam Iran yang mampu menggerakan para pemuda dan kaum buruh untuk bergerak melakukan perlawanan terhadap rezim pemerintahan saat itu. Dalam litertur tentang revolusi Islam Iran, Ali Syariati tidak disebut-sebut, yang muncul ke permukaan adalah Ruhullah Ali Khomeini, pemimpin spiritual dan sekaligus pemimpin tertinggi Iran dan beberapa Intelektual seperti Murthadha Muthari yang berada di barisan para ulama juga Sayeed Hosein Nashr. Sedangkan Kenapa Ali Syariati tidak disebut-sebut? Inilah salah satu permasalahannya. Ali Syariati tidak berada dalam barisan ulama, ia berada di barisan para intelektual dan menggerakan kampus-kampus di Mashad. Bahkan ia menjadi salah satu orang yang membenci ulama karena konspirasinya dengan rezim Pahlevi sehingga dibenci oleh sebagian ulama. Padahal dalam biografinya Ali Syariati adalah orang yang dicari-cari oleh intelijen Iran saat itu, dan pada akhirnya berhasil dibunuh, karena selain menggerakan mahasiswa di Iran, ia juga menggerakan mahasiswa Iran yang berada di Eropa khususnya yang berada di Prancis. Dengan Tulisan serta gerakan politiknya Ali Syariati dituduh sebagai otak utama dalam gerakan menentang pemerintah hingga akhirnya dia dibunuh oleh Moshad-agen rahasia Iran saat itu.

Kelahiran.
Jhon L. Esposito dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic Word, seperti dikutif oleh Malaky, menyatakan bahwa sulit menentukan biografi intelektual Syariati yang otoritatifif. Banyak sisi kehidupan Syari’ati yang tetap tersembunyi. Salah satu buku yang cukup lengkap perihal Syari’ati dikarang oleh Ali Rahnema berjudul ‘An Islamic Utopian A political Biografhy of Ali Syari’ati’ atau dalam versi terjemahannya ‘Biografi Politik Ali Syariati.

Syari’ati dilahirkan pada tahun1933 di kota Mazinan, sebuah desa kecil dan tradisional di pinggiran Gurun Pasir Kavir dekat Mashad bagian dari kota Sabzevar, Propinsi Khorasan Iran. Ali Syari’ati merupakan anak pertama dari pasangan Muhammad Taqi Syariati dan Zahra. Kelahirannya bertepatan dengan periode ketika ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai mengajar di sebuah Sekolah Dasar Syerafat. Sya’riati lahir dari keluarga terhormat dan ta’at beragama, suka membantu masyarakat dan zuhud. Dalam keluarga ini ritual keagamaan ditunaikan secara seksama.

Pendidikan.
Menurut Ali Rahnema, Syariati mulai membentuk mentalitas, kepribadian dan jati dirinya lewat peran seorang ayahnya yang menjadi guru dalam arti sesungguhnya dan dalam arti spiritual. Syari’ati kecil mulai belajar menimba ilmu pendidikan dasarnya di Masyhad, yaitu Sekolah Dasar Ibn Yamin, tempat ayahnya mengajar. Selama pendidikan dasarnya ini Syari’ati termasuk orang yang tidak terlalu memperhatikan pelajaran seolahnya. Ia lebih senang membaca buku-buku yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran sekolah. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan milik ayahnya hingga menjelang pagi. Hal ini ia lakukan bersama ayahnya. Kendati demikian ia selalu mengikuti ujian dan selalu naik kelas pada setiap tahunnya.
Seperti dikutif Rakhmat:

“Ayahku telah membentuk dimensi pertama dari jiwaku. Dialah yang pertama mengajarkan kepadaku seni berfikir dan seni memanusia. Segera setelah ibuku menyapihku, ia memberikan padaku kelezatan kebebasan, kemuliaan, kesucian, keteguhan, keimanan, kebersihan ruhani dan kebebasan hati. Dialah yang memperkenalkan aku kepada sahabat-sahabatnya-buku-bukunya. Buku-buku itu telah menjadi sahabatku dan abadi sejak tahun-tahun pertama masa sekolahku. Aku tumbuh dan berkembang di perpustakaanya, yang baginya adalah seluruh kehidupan dan keluarganya. Banyak sekali hal yang seharusnya aku pelajari pada waktu dewasa dan dengan waktu yang lama serta perjuangan yang panjang, telah diberikan oleh ayahku, sebagai hadiah dimasa kecilku, secara sederhana dan spontan. Sekarang perpustakaan ayahku menjadi dunia yang penuh kenangan berharga bagiku. Masih dapat kuingat setiap bukunya, bahkan sampai bentuk jilidnya.

Ayahnya, Sayyid Muhammad Taqi Syariati adalah seorang guru dan mujahid besar pendiri Markaz Nasyr ar-Haqa’iq al-Islamiyah (Pusat Penyebaran Kebenaran-kebenaran Islam) di Masyhad. Sekaligus salah seorang dari putera-putera pergerakan pemikiran Islam di Iran. Sepanjang empat puluh tahun, Dia telah memberikan pengabdian yang amat berharga kepada dakwah dan pencerdasan pemikiran logis ilmiah Islam dalam bentuk yang seirama dengan kemajuan zaman. Taqi Syariati adalah orang yang berada di barisan paling depan dari kalangan orang-orang yang bergiat dalam mencerdaskan para pemuda alumni pendidikan tinggi agar mereka mengoreksi konsep-konsep Barat yang sesat dan materialisme yang kosong, untuk kemudian berpegang teguh pada Islam yang memancarkan cahaya yang memerangi kehidupan. Syariati banyak menyerap pancaran pribadi ayahnya yang dianggap sebagai pembaharu dan pengabdi ilmu. Kebanggaan dan kekaguman Syariati terhadap sosok sang ayah pun akhirnya mengantarkan pemikirannya sampai pada kesimpulan bahwa ayahnya adalah seorang mujaddid, pembuat bid’ah yang menyimpang dari tradisi lama yang berkembang dalam masyarakat. Syariati dibesarkan dalam tradisi seperti itu.

Begitu besar peranan sang ayah dalam mempengaruhi kecerdasan dan kecendikiawanan Syari’ati. Lewat ayahnya ia diajak untuk memasuki wawasan dan pandangan-pandangan dunia secara dewasa, menelaah beragam literatur yang secara bebas ia dapatkan di perpustakaan pribadi ayahnya. Perilakunya cenderung menyendiri dan perkembangan pendidikannya di rumah membuat Syari’ati lebih mandiri di tengah masyarakat. Hal ini kemudian melahirkan kebanggaan tersendiri yang mendalam bagi dirinya.

Syari’ati tidak hanya menimba ilmu dari sang ayah, ia juga banyak belajar dari kakeknya yang juga seorang faqih dan filosof serta dari pamannya. Syari’ati mewarisi peninggalan tradisi keilmuan dan kemanusiaan kakek-kakeknya. Syari’ati belajar banyak hal dari kehidupan kakek-kakenya yang suci, terutama pilsafat mempertahankan jati diri manusia pada masa ketika segala macam kefasikan dan dekadensi merajalela, yang membuat seseorang sulit mempertahankannya saat dia hidup pada zaman yang kebutuhan kita terhadap jihad hari ini jauh lebih mendesak ketimbang masa-masa lalu.

Selain pendidikan kehidupan dan agamanya yang didapatkan langsung dari orang tua dan warisan keluarganya, Syari’ati pun menempuh sekolah formalnya di Sekolah Dasar Ibn-e Yasin Sekolah menengah pertama Firdowsi di Masyhad. Selama menempuh pendidikannya ini Syariati belajar dua bahasa sekaligus, Bahasa arab dan Bahasa prancis. Mempunyai bakat alamiah terhadap pengajaran, Syariati masuk Institute Pelatihan Guru di Masyhad, dan setelah dua tahun ia mendapat sertifikat sebagai seorang instruktur. Dalam Usia muda-delapan belas tahun, Syariati memulai karirnya sebagai seorang guru di sebuah desa. Syariati melanjutkan studinya tahun 1960 di Universitas Mashad hingga mendapat gelar B.A.. Haus akan ilmu membuatnya tidak puas akan pengetahuan, sehingga mendorongnya menjadi yang terbaik ketika Dia mendapat rekomendasi dan beasiswa ke Universitas Sorbonn Paris. Setelah lima tahun tinggal di Paris merupakan masa pembentukan dan periode genting terhadap perluasan dan pendalamannya terhadap pemikiran dan kehidupan sosialnya akan visi dan masa depan. Pembawaan kemampuannya disandingkan dengan kajian berbagai ide para pilosof modern dan para penulis sehebat gabungan pribadinya dengan beberapa dari mereka menginsfirasi Ali untuk memikirkan dirinya dan membangun pemikirannya yang segar orisinil. Pada tahun 1965, dia mendapat gelar doktor dalam sosiologi dan sejarah agama. Dia mengaplikasikan pengetahuannya untuk menganalisis gambaran sosial politik rakyat dan negaranya serta diajukan sebagai sebuah kursus pilihan.

Peran, Aktivitas dan Karya
Ketika Syariati menjadi mahasiswa Fakultas Sastra di Mashad, Ia sudah terlibat dalam aktivitas politik dengan menggabungkan diri bersama kelompok pro-Mossadeq, oposisi rezim penguasa serta di bawah NRM (National Revolution Movement) Cabang Masyhad, ia melancarkan gerakan oposisinya melawan rezim. Ia pun aktif dalam gerakan rakyat dan nasionalis untuk nasionalisasi industri minyak Iran. Di Perancis ia pun bergelut dalam aktivitas politik, bersama Mustafa Chamran dan Ibrahim Yazdi mendirikan gerakan Kebebasan Iran dan turut serta dalam pembebasan rakyat Aljazair.

Selain sibuk menggeluti dunia pemikiran dan aktivitas politiknya, ia pun menjadi penyunting dua jurnal Persia serta menerjemahkan beragam buku. Di antara buku-buku yang berhasil ia terjemahkan ialah: Niyashesh (”La Piere”) karya Alexis Carrel, Be Koja Takiye Kunin?(Apa yang menjadi Dukungan Kita ?) (1961), Guerrilla Warfare karya Guevara, What is Poetry? Karya Sartre, dan The Wretched of the Earth karya Frantz Fanon.

Sekembalinya dari Paris, ia dipenjarakan karena aktivitas politiknya di luar negeri dan setelah bebas ia memulai aktivitas mengajarnya di beberapa perguruan tinggi dan beberapa tahun kemudian ditempatkan di Universitas Masyhad. Ia langsung mengabdikan diri untuk membina angkatan muda. Karena metoda mengajarnya yang bebas serta provokatif, akhirnya Syariati diberhentikan.

Setelah Syari’ati pensiun dari mengajar tahun 1969, Syariati mengkonsentrasikan aktivitasnya di lembaga pendidikan Husyainiah. lembaga yang didirikan bersama Murtadha Muthahari dan Sayyed Hosein Nasr. Kegiatannya mencakup riset, pendidikan, dakwah dan distribusi logistik untuk keperluan profaganda Islam. Di lembaga inilah ide-ide segar Syariati mengalir untuk menentang rezim Syah Pahlevi dan karena kegiatannya lembaga inipun ditutup.

Selama dalam proses penyemaian ide-idenya, ceramah-ceramah Syariati banyak digemari kalangan muda berpendidikan hingga ke pelosok negeri. Dari kumpulan ceramah ini jadilah dalam bentuk kumpulan tulisan (buku). Selain hasil kumpulan ceramah, syariati pun mengarang buku demi keperluan jihad intelektualnya. 
 
Karya-karya tersebut adalah:
1. A Glance at Tomorrow’s History, 1985, p.24.
2. An Approach to Understanding of Islam , Trans, Venus Kaivantash (The Shariati, Foundation, and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
3. And Once again Abu Dhar, 1985, p, 75.
4. Art Awaiting The Saviour , Trans, Homa Farjadi (Shariati Foundation and Hamdami Publishers, Tehran 1979).
5. Capitalism Wakes UP?!, Trans Mahmoud Mogscni, (The Ministry of Islamic Guidance, Tehran, 1981).
6. Civilization and modernization, (Aligarh, Iranian Students Islamic Association, 1979).
7. Culture an Ideology, 1980, p.23.
8. Fatima is Fatima, Trans, Laleh Bakhtiar (Shariati Foundation and Hamdami Publishers, Tehran, 1980).
9. From Where Shall we Begin and Machine in the Captivity of Machinism, 1980, p.52.
10. Islamic View of Man, Trans, Ali Behzadnia and Najla Denny.
11. Man and Islam, Trans, Ghulam M.Fayez (University of Mashhad Press, Mashad, Jahad Publications, 1982).
12. Martyrdom, Arise and Bear Witness, Trans, Ali Asghar Ghassemy (Ministy of Islamic Gudance, Tehran, 1981).
13. Marxism and Other Western Fallacies: An Islamic Critique, Tran’s, R. Campbell (Berkely, Mizan Press, 1981).
14. One Followed By An Eternity of Zeros , Trans, Ali Asghar Ghassemy (The Hosseiniyeh Ershad and the Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
15. On The Sociology of Islam, Trans”, Hamid Algar (Berkely, Mizan Press, 1979).
16. Red shiism, Trans, Habib Shirazi (The shariati Foundation and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
17. Retlection of A Concerned Muslim on The Plight of Oppressed Peoples, Trans” , Ali Behzadnia and Najla Denny.
18. Selection and of Election, Trans, Ali Asghar Ghassemy (The Hosseniyeh Ershad and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
19. The Visage of Mohammed, ‘Trans, A. A. Sachadin (Nor. Oqalam Publications, Lahore, 1983).
20. Ye Brother, That’s The Way it Was, Trans, Nader Assaf (Shariati Foundations and Hamdami Publishers, Tehran, 1979).
21. Awaiting the Religion of Protest Translated by: Shahyar Saadat.
22. What is to be done? Edited & Anotated by: Farhang Rajaee/ Forword by: John L. Esposito.
23. Hajj, trans, S.M.Farough, (Islamic faundation, India, 1989)
24. A Message to the Enlightened Thinkers
25. Extraction and Refinement of Cultural Resources.

Karena dianggap memukau, karyanya tidak hanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, tapi juga German, Prancis, Latin dan lain-lain. Sebagian karya di atas sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam terjemahan Indonesia, beberapa karyanya menjadi satu buku, misalnya The Vissage of Muhammad menjadi satu buku dengan On The Sociology of Islam. Ada pula hasil kreatifitas pemikir Indonesia, makalah-makalahnya yang berserakan dijadikan satu buku, seperti apa yang dilakukan oleh Afif Muhammad menjadi satu buku yang utuh diberi judul Islam Pemikiran Madzhab dan Aksi. Dalam Jilid ‘Islam Agama protes’ merupakan kumpulan terjemahan dari ; A Glance At Tomorrow’s History, Awaiting The Religion of Protest dan An Aproach to The Understanding of Islam. Atau misalnya dari Jilid Paradigma Kaum Tertindas merupakan kumpulan dari terjemahan; On the Sociology of Islam dan The Visage of Muhammad.

Pengaruh terhadap ummat Islam Dunia.
Syariati bukan hanya arsitek Iran Modern, Ia juga seorang guru, Pendakwah, pejuang yang berbeda dari yang lain beberapa intelektual menyebutnya sebagai seorang ideolog, halnya disebutkan oleh Azzumardi Azra, “selain seorang Ideolog Syi’ah, Publik Speaker ( penceramah umum) ia juga seorang sosiolog yang tertarik pada dialektika antara teori dan praktik, ia adalah seorang pemikir Islam Revolusioner dan Progresif.”.
 
Dengan berbagai atribut yang disandangnya, Gagasan Islam Syariati tidak hanya berpengaruh pada level Nasional Iran, tetapi menyebar ke seluruh pelosok dunia Barat dan Timur, tak terkecuali Indonesia. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Amin Rais juga oleh John L. Esposito,:

” Makna penting Syariati tidak hanya terbatas bagi Iran saja, sebab ia adalah salah satu contoh dari suatu generasi baru kaum intelektual dan aktivis politik berorientasi Islam yang hidup di hampir seluruh dunia Muslim masa kini. Ali Syariati sudah menjadi tokoh Islam internasional yang gagasan-gagasan dan tulisan-tulisannya ditelaah, diperdebatkan, dan diperbandingkan jauh di luar batas-batas negeri Iran.. Tahun 1970-an membawa perubahan-perubahan besar dalam dunia muslim. Dari Sudan sampai Sumatera, agar timbul kembali sebagai faktor penting dalam dunia politik muslim”.

Di Indonesia, walaupun mayoritas penduduknya bermadzhab Sunni yang jelas-jelas berbeda corak dengan Syariati yang bermadzhab Syi’ah, tetapi sebagian intelektual Muslim sudah mengenal pemikirannya lewat penerjemahan buku-bukunya sejak akhir tahun 1970-an. Di Tahun 1980 bersamaan dengan penerjemahan dan kajian-kajian tentang Syari’ati, muncul kelompok “Kiri Islam”, baik dari LSM maupun aktivis Islam seperti HMI, MPO, Masjid Salman ITB dan Masjid Shalahuddin Yogyakarta. Pemikiran dan penafsirannya tentang agama, yang dekat dan berfihak pada rakyat kecil demi keadilan, dan kemudian diwujudkan dalam tindakan kongkrit agaknya masih relevan dengan kondisi Indonesia yang rakyatnya masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan.

Harus diakui bahwa yang paling banyak mendapatkan perhatian ialah tulisan-tulisan sosiologis Ali Syariati, yang hampir sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seperti ditulis oleh Kuntowijoyo. Kebanyakan kaum muda menjadi pendukung aktif dari pikiran-pikiran Islam radikal Ali Syariati. Para aktivis pemuda dari kelompok yang membela hak-hak petani di beberapa tempat diilhami oleh cita-cita pembebasan Ali Syariati, yang berarti aktivisme sosial dan advokasi mereka pada kaum tertindas masih lebih dikerangkai oleh nilai dan norma Islam. Kalau Syariati tidak dikenal tentu mereka akan pergi kepada marxisme untuk berguru tentang praxis.

Disarikan dari berbagai sumber dan tulisan-tulisan Ali Syariati versi terjemahan, www. shariati.com serta buku biografinya ‘An Islamic Utopian A political Biografhy of Ali Syari’ati’ karangan Ali Rahnema.

Terkait Berita: