TA'ASHSHUB;
INTERAKSI LEBIH TINGGI KETIMBANG KESAMAAN IDEOLOGY
(DR Ali Syariati).
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Saya mempunyai keyakinan, hatta pada waktu-waktu belakangan ini, bahwa ika tan paling tinggi dan sakral adalah kesamaan Ideology dan Keyakinan. Artinya saya menyadari bahwa orang yang paling dekat de ngan diri saya adalah orang -orang yang mempunyai jalan berpikir seperti saya, dan memiliki keimanan se perti yang saya yakini.
Sebenarnya memang demikian persoalannya bila kita analogikan pada berba gai bentuk interaksi lainnya. Tetapi dari istilah Ummah dan Imamah, ternyata kita bisa sampai pada istilah Ta'ashshub, yakni interaksi antara anak-anak ma nusia dalam bentuknya yang lebih tinggi ketimbang interaksi yang didasarkan atas kesamaan ideology dan kemiripan dalam keyakinan.
Individu-individu yang hidup dalam satu ummah, tidak saja dekat dalam aspek pemikiran, tetapi juga memiliki ikatan yang lebih mendalam dan kuat dibanding itu. Diantara interaksi-interaksi yang didasarkan atas kelompok, keturunan, war na kulit dan kesamaan tanah air, tidak satupun yang terjamin dan memiliki eksis tensi hakiki dan praktis. Sementara itu, ikatan ideologis dan keyakinan, kendati pun boleh dianggap sebagai satu-satunya ikatan yang paling tinggi, toh masih belum apa-apa, jika kita menunjuk kepada istilah Satre, "ia tidak punya eksis tensi sebagai sesuatu yang esensial, sebab tidak berlaku dalam kehidupan praktis".
"Aku berpikir dengan cara ini", "Aku punya keyakinan tertentu", "Aku orang baik", "Aku orang jahat" dan ungkapan-ungkapan seperti itu, semuanya hanya lah konsep-konsep kosong dan baru bisa dianggap eksis serta punya arti ma nakala telah terbukti eksistensinya secara nyata. Justeru itu "Aku orang baik" dan "Aku orang jahat", sama dan sebanding, dan sama pula dengan konsep-konsep berikut ini: "Engkau berpikir", "Kami berpikir dengan metode yang sama", dan "Kita tidak memiliki ,metode berpikir yang sama", sebab semuanya memang tidak punya eksistensi. "Kita berpikir dengan metodologi yang sama dan memiliki keyakinan yang sama pula", memang merupakan ungkapan yang benar, tetapi manusianya tetap belum eksis. Ia baru dikatakan eksis bila telah meniupkan etos kerja dalam hal-hal yang "baik" atau "buruk", '"indah" atau "jelek", "pengabdian" atau "pengkhianatan". Dengan tinjauan seperti ini ,maka adanya dua orang yang bersatu dalam pemikiran, memiliki eksistensi dalam bentuk ide secara potensial, dan baru bisa di katakan suatu eksistensi yang nyata manakala kedua nya telah menapaki jalan menuju alam nyata.
Disini kita melihat bahwa jika hanya semata-mata potensi pemikiran dan keima nan yang sama, maka tetap dianggap sebagai sesuatu yang belum berarti apa-apa. Artinya, belum ada pengaruhnya sedikitpun terhadap kehidupan individu, dan tidak pula bakal memberikan pengaruhnya terhadap kehidupan ummat manusia. Dan disaat kesatuan qalbu, keimanan dan penderitaan tersebut su dah menyatu dengan amal, niscaya ia akan muncul dalam realita. Itulah sebab nya, maka para ulama warasatul Ambya mendefinisikan iman dengan, 'penga kuan lisan dan pengamalan dengan anggota tubuh' (aplikasi di alam nyata-pen).
Ummah adalah komunitas anak-anak manusia yang memiliki kesatuan pemi kiran, keyakinan, mazhab dan metodologi, yang tidak saja tergambarkan di dalam ide, tetapi terbukti perwujudannya di alam nyata. Individu-individu suatu Ummah, dari keturunan, ras dan tanah air manapun mereka berasal, mempu nyai cara berpikir dan keyakinan yang sama, dan saat yang sama mereka mengharuskan diri mereka bergerak menuju kesempurnaan - dan bukan keba hagiaan - dibawah kepemimpinan sosial kolektif.
Kepemimpinan ummah yang dinamakan imamah itu, tugasnya bukanlah seperti Kepala Negara Amerika Serikat atau penanggung jawab acara 'Anda dan Radio' yang harus bekerja sebagai suatu kelompok untuk memenuhi selera dan keinginan para pendengarnya, dan tidak cuma memiliki kewajiban untuk merealisasikan kebahagiaan dan kesejahteraan paling tinggi bagi individu dan diharuskan pula un tuk memimpin gerakan sosial menuju kesempurnaan, mela lui program-program yang digariskan secara mantap, disertai gerakan yang cepat dan tepat, sehingga manakala menjadi taruhan adalah penderitaan indivi du-individu, maka hendaknya hal itu merupakan penderitaan yang secara nyata dirasakan mayoritas ummah, dan sama sekali bukan sesuatu yang fiktif belaka.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka imamah kini menjadi manifestasi dari 'risalah kepemimpinan dan bimbingan individu dan masyarakat' dari 'apa yang kini ada' (das sollen) semaksimal yang bisa dilakukan, bukan berdasar kan pada keinginan pribadi seorang Imam, melainkan atas konsep yang baku yang menjadi kewajiban bagi Imam lebih dari individu lainnya. Itulah sebabnya, maka imamah berbeda dari kepemimpinan diktator, sekaligus menentang kepe mimpinan revolusionir- ideologis dan diktator-individual.
(Cuplikan dari buku Ummah dan Imamah, karya DR Ali Syariati, rausyanfikr dari RII).
Post a Comment
mohon gunakan email