Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Fikih. Show all posts
Showing posts with label Fikih. Show all posts

Ternyata Ajaran Fikih Sunni Diambil dari Hajjaj (Bani Umayyah)!


Dari Musa ibn Anas: Hajjaj [1] berpidato di hadapan kami dan berkata, “Basuhlah wajah-wajah dan tangan-tangan kalian hingga siku-siku dan basuhlah kaki-kaki kalian.”
Lalu saya sampaikan hal itu kepada Anas dan Anas pun berkata, “Maha benar Allah dan bohonglah si Hajjaj.
Inilah wudhu’ ajaran Hajjaj … membasuh kedua kaki bukan mengusapnya! Anas segera menuduh Hajjaj sebagai PEMBOHONG!! Yang berdusta atas nama agama!!

Tapi anehnya!!! Kebohongan Hajjaj itu kini menjadi mazhab resmi Ahlusunnah wal Jama’ah!!
Sementara Imam Ali berulang kali Menegaskan bahwa telapak kaki dalam berwudhu’ harus diusap… seperti yang diajarkan Allah SWT dalam Al Qur’an-Nya.






________________

[1] Hajjaj ibnu Yusuf adalah seorang gubenur kerajaan rezim bani Umayyah terkutuk, seorang penjahat perang dan pembunuh berdarah dingin. Tidak sedikit bukti kekufurannya. Ia telah menghina banyak sahabat, membunuh kaum muslimin tidak terkecuali para sahabat dan para ulama tabi’in, di antaranya adalah Said ibn Jubair; seorang tokoh ulama tafsir tabi’in.

(Source)

Penyakit yang Menimpa Perempuan Tidak Berjilbab


Rasulullah bersabda, "Para wanita yang berpakaian tetapi (pada hakikatnya) telanjang, lenggak-lengkok, kepala mereka seperti punuk unta, mereka tidak akan masuk surga dan tiada mencium semerbak harumnya (HR. Abu Daud)

Rasulullah bersabda, "Tidak diterima sholat wanita dewasa kecuali yang memakai khimar (jilbab) (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, bn Majah)

Penelitian ilmiah kontemporer telah menemukan bahwasannya perempuan yang tidak berjilbab atau berpakaian tetapi ketat, atau transparan maka ia akan mengalami berbagai penyakit kanker ganas di sekujur anggota tubuhnya yang terbuka, apa lagi gadis ataupun putri-putri yang mengenakan pakaian ketat-ketat. Majalah kedokteran Inggris melansir hasil penelitian ilmiah ini dengan mengutip beberapa fakta, diantaranya bahwasanya kanker ganas milanoma pada usia dini, dan semakin bertambah dan menyebar sampai di kaki.

Dan sebab utama penyakit kanker ganas ini adalah pakaian ketat yang dikenakan oleh putri-putri di terik matahari, dalam waktu yang panjang setelah bertahun-tahun. dan kaos kaki nilon yang mereka kenakan tidak sedikitpun bermanfaat didalam menjaga kaki mereka dari kanker ganas. Dan sungguh Majalah kedokteran Inggris tersebut telah pun telah melakukan polling tentang penyakit milanoma ini, dan seolah keadaan mereka mirip dengan keadaan orang-orang pendurhaka (orang-orang kafir Arab) yang di da'wahi oleh Rasulullah. Tentang hal ini Allah berfirman:

وإذ قالوا اللهم إن كان هذا هو الحق من عندك فأمطر علينا حجارة من السماء أو ائتنا بعذاب أليم (الأنفال: 32)

Dan ingatlah ketika mereka katakan: Ya Allah andai hal ini (Al-Qur'an) adalah benar dari sisimu maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih ( Q.S. Al-Anfaal:32)

Dan sungguh telah datang azab yang pedih ataupun yang lebih ringan dari hal itu, yaitu kanker ganas, dimana kanker itu adalah seganas-ganasnya kanker dari berbagai kanker. Dan penyakit ini merupakan akibat dari sengatan matahari yang mengandung ultraviolet dalam waktu yang panjang disekujur pakaian yang ketat, pakaian pantai (yang biasa dipakai orang-orang kafir ketika di pantai dan berjemur di sana) yang mereka kenakan.

Dan penyakit ini terkadang mengenai seluruh tubuh dan dengan kadar yang berbeda-beda. Yang muncul pertama kali adalah seperti bulatan berwarna hitam agak lebar. Dan terkadang berupa bulatan kecil saja, kebanyakan di daerah kaki atau betis, dan terkadang di daerah sekitar mata; kemudian menyebar ke seluruh bagian tubuh disertai pertumbuhan di daerah-daerah yang biasa terlihat, pertautan limpa (daerah di atas paha), dan menyerang darah, dan menetap di hati serta merusaknya.

Terkadang juga menetap di sekujur tubuh, diantaranya: tulang, dan bagian dalam dada dan perut karena adanya dua ginjal, sampai menyebabkan air kencing berwarna hitam karena rusaknya ginjal akibat serangan penyakit kanker ganas ini. Dan terkadang juga menyerang janin di dalam rahim ibu yang sedang mengandung. Orang yang menderita kanker ganas ini tidak akan hidup lama, sebagaimana obat luka sebagai kesempatan untuk sembuh untuk semua jenis kanker (selain kanker ganas ini), dimana obat-obatan ini belum bisa mengobati kanker ganas ini.

Dari sini, kita mengetahui hikmah yang agung anatomi tubuh manusia di dalam perspektif Islam tentang perempuan-perempuan yang melanggar batas-batas syari'at. yaitu bahwa model pakaian perempuan yang benar adalah yang menutupi seluruh tubuhnya, tidak ketat, tidak transparan, kecuali wajah dan telapak tangan. Dan sungguh semakin jelaslah bahwa pakaian yang sederhana dan sopan adalah upaya preventif yang paling bagus agar tidak terkena "adzab dunia" seperti penyakit tersebut di atas, apalagi adzab akhirat yang jauh lebih dahsyat dan pedih. Kemudian, apakah setelah adanya kesaksian dari ilmu pengetahuan kontemporer ini -padahal sudah ada penegasan hukum syari'at yang bijak sejak 14 abad silam- kita akan tetap tidak berpakaian yang baik (jilbab), bahkan malah tetap bertabarruj.

(Sumber: Al-I'jaaz Al-Ilmiy fii Al-Islam wa Al-Sunnah Al-Nabawiyah, Oleh :Muhammad Kamil Abd Al-Shomad).

Amalan dalam Shalat : Rukuk


Diriwayatkan dari imam Shadiq as bahwa beliau bersabda: “Tidaklah rukuk seorang hamba kepada Allah dengan rukuk yang hakiki kecuali Allah menyinarinya dengan cahaya kebesaran-Nya, dan menaunginya dengan payung keagungan-Nya, dan melindunginya dengan pakaian kesucian-Nya. Dan rukuk adalah perbuatan yang pertama sementara sujud perbuatan yang kedua, barangsiapa baik dalam melakukan yang pertama maka baik juga yang kedua. Dalam rukuk terdapat etika dan dalam sujud terdapat kedekatan. Barangsiapa yang tidak beretika niscaya tidak mendekat. Maka rukuklah dengan rukuknya orang yang hatinya khusyuk kepada Allah, menghinakan diri dan malu di bawah kekuasaan-Nya, rendah hati kepada-Nya dengan seluruh raganya”.[1]

Diriwayatkan berkaitan dengan turunnya ayat suci: “Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Rukuklah”, niscaya mereka tidak mau rukuk”[2], bahwasannya turun bekenaan dengan bani Tsaqif ketika Allah memerintahkan salat kepada mereka, lalu mereka mengatakan, kami tidak akan tunduk karena itu celaan atas kami, lalu Nabi saw membacanya dan bersabda: “Tidak ada kebaikan dalam agama yang di dalamnya tidak terdapat rukuk”. Kedudukan rukuk adalah kedudukan yang besar dan penting. Orang yang ingin sampai kepada rukuk yang hakiki harus mempersiapkan diri, yaitu dengan merasakan keagungan Allah dan kehinaan dirinya. Manifestasi kemuliaan-Nya tercermin dalam kehinaan di hadapan zat-Nya yang tidak seorangpun berhak merendahkan diri kecuali kepada-Nya.

Hukum rukuk:
Rukuk adalah termasuk rukun salat. Salat menjadi batal dengan menguranginya secara sengaja atau lupa atau menambahinya secara sengaja. Adapun penambahan yang tidak disengaja (lupa), maka berdasarkan ihtyath wajib juga membatalkan salat-kecuali dalam salat berjama’ah yang perinciannya akan datang nanti dan salat nafilah-.

Kewajiban-kewajiban dalam rukuk:
  1. Menunduk dengan niat tunduk hingga ujung-ujung jemari tangan sampai kepada kedua lutut bagi orang laki-laki, demikian juga bagi perempuan berdasarkan ihtiyath
  2. Membaca zikir dalam rukuk, dan cukup membaca salah satu dari zikir berikut:
  3. (سبحان ربي العظيم وبحمده), Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung dan senantiasa kami memuji-Nya, sekali dan lebih utama dibaca tiga kali.
  4. Atau membaca:
(سبحان الله) atau (الحمد لله) atau (الله أكبر) atau   (لا إله إلا الله)tiga kali, dan ihtiyath istihbabnya memilih tasbih (سبحان الله)  dari tasbih-tasbih pendek.
  1. Berdiri sebelum rukuk, maka salat akan batal dengan meninggalkannya secara sengaja. Adapaun ditinggalkannya lantaran lupa, maka ada dua kemungkinan:
  2. Ingat berdiri setelah masuk pada sujud kedua atau setelah selesai darinya, pada kondisi ini maka salat batal menurut ihtiyath
  3. Ingat berdiri sebelum masuk pada sujud kedua, maka wajib berdiri seketika kemudian rukuk dan salatnya sah.
  4. Berdiam sejenak untuk zikir dan tuma’nina seukuran zikir yang wajib-yakni menenangkan tubuh-, dan demikian juga (wajib tuma’nina) di saat tidak sibuk dengan zikir yang wajib menurut ihtiyath
  5. Mengangkat kepala sampai berdiri tegak.
  6. Berdiam walaupun sejenak di saat berdiri, begitu juga harus tuma’nina di saat berdiri setelah rukuk berdasarkan ihtiyath
Syarat-syarat zikir:
  1. Berbahasa Arab.
  2. Berkesinambungan.
  3. Mengeluarkan huruf-huruf dari makhrajnya.
  4. Tenang (istiqrar).
Hukum-hukum umum dalam rukuk:
  1. Apabila mukalaf lupa berdiri setelah rukuk, maka ada beberapa keadaan:
  2. Jika dia lupa sampai keluar dari batas rukuk dan sebelum masuk pada sujud, maka ia tidak wajib kembali sekalipun ihtiyath istihbabnya harus kembali lagi.
  3. Jika dia ingat setelah masuk pada sujud pertama dan sebelum sujud yang kedua, maka ia harus menyempurnakan salatnya dan tidak terkena kewajiban apa-apa, dan menurut ihtiyath istihbab harus mengulangi salat.
  4. Jika dia ingat setelah masuk pada sujud yang kedua, maka salatnya sah, dan menurut ihtiyath istihbab harus melakukan sujud sahwi.
  5. Apabila orang yang salat ragu ketika rukuk maupun belum, ada beberapa keadaan:
  6. Dalam keadaan tidak bergerak untuk sujud maka wajib melakukan.
  7. Sedang turun untuk sujud dan belum masuk ke dalamnya, maka keraguan tidak perlu diperhatikan dan hendaknya menyempurnakan salat dan salatnya sah.
  8. Jika telah masuk sujud, maka menyempurnakan salat dan tidak ada kewajiban apapun baginya.
  9. Apabila lupa rukuk, maka ada beberapa keadaan:
  10. Jika ingat sebelum meletakkan dahi di atas tanah, maka harus kembali berdiri kemudian rukuk dan menyempurnakan salat.
  11. Jika ingat pada sujud pertama atau setelahnya tapi belum masuk pada sujud yang kedua, maka harus kembali berdiri lalu rukuk dan menyempurnakan salat, dan ihtiyath istihbabnya harus mengulangi salat.
  12. Jika ingat setelah masuk pada sujud yang kedua, berdasarkan ihtiyath wajib salat batal dan harus mengulangi lagi.
Hal-hal yang disunahkan dalam rukuk:
Sunah-sunah rukuk sangat banyak, di antaranya adalah:
  1. Mengucapkan takbir untuk rukuk.
  2. Mengangkat kedua tangan saat takbir.
  3. Meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua lutut; tangan kanan di atas lutut kanan dan tangan kiri di atas lutut kiri.
  4. Mendorong kedua lutut ke belakang.
  5. Meratakan punggung.
  6. Meluruskan leher dengan punggung.
  7. Hendaknya pandangan terfokus di antara kedua kaki.
  8. Meletakkan tangan kanan di atas lutut kanan sebelum tangan kiri.
  9. Bagi perempuan hendaknya meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha.
  10. Mengulangi tasbih tiga kali atau lima kali dan hendaknya ganjil.
  11. Bersalawat kepada nabi Muhammad saw dan keluarga beliau.
  12. Mencondongkan kedua siku.
Hal-hal yang dimakruhkan dalam rukuk:
  1. Menundukkan kepala.
  2. Mengangkat kepala ke atas.
  3. Menempelkan kedua tangan ke sebelah kanan dan kiri perut.
  4. Meletakkan salah satu telapak tangan di atas yang lain.
  5. Memasukkan kedua tangan di antara kedua lutut.
  6. Membaca al Quran dalam rukuk.
Catatan:
1/ Rukuk adalah salah satu rukun yang salat menjadi batal dengan menambahinya atau menguranginya secara sengaja atau lupa.
2/ Termasuk syarat zikir adalah dibaca dengan bahasa Arab fasih dengan memperhatikan kaidah-kaidah nahwu, dan mengeluarkan huruf-huruf dari makhrajnya.
3/ Betapa banyak dari orang yang salat yang memulai zikir sebelum sampai pada batas rukuk yang wajib, dan ini berlawanan dengan syarat-syarat zikir dalam rukuk sebab salah satu syaratnya adalah istiqrar (tenang) dalam rukuk.
4/ termasuk kewajiban rukuk adalah berdiri tegak setelahnya, sebegaimana wajib tuma’nina setelah berdiri tegak.

Rujuk:
[1]  Bihar al-Anwar, juz. 82, hlm. 108.
[2] Q.S. al-Mursalat: 47-48.

Membaca Al Qur’an Di Kamar Mandi Dalam Fiqih Syi’ah Dan Fiqih Ahlus Sunnah?

Tulisan ini seperti biasa terkesan membela Syi’ah tetapi hakikat sebenarnya hanya ingin menunjukkan kedunguan para nashibiy. Sebagian orang yang memiliki kenifaqan di hatinya memasukkan perkara ini dalam kumpulan sampah yang disebutnya “Ketawa Merinding Ala Syi’ah” tanpa mereka sadari bahwa perkara yang sama juga ada dalam kitab pegangan mereka.

FiqihSyi’ah.
Dalam Fiqih Syi’ah terdapat riwayat shahih di sisi mazhab mereka bahwa tidak mengapa membaca Al Qur’an di kamar mandi. Berikut riwayat yang dimaksud:


عنه، عن إسماعيل بن مهران، عن محمد بن أبي حمزة، عن علي بن يقطين قالقلت لأبي الحسن عليه السلام: أقرء القرآن في الحمام وأنكح؟ قال: لا بأس

Darinya dari Isma’iil bin Mihraan dari Muhammad bin Abi Hamzah dari Aliy bin Yaqthiin yang berkata aku bertanya kepada Abul Hasan [‘alaihis salaam] “bolehkah aku membaca Al Qur’an di kamar mandi dan nikah [di dalamnya]?”. Ia berkata “tidak apa-apa” [Al Kafiy 6/316 no 31]
Kemudian kebolehan membaca Al Qur’an di kamar mandi ini telah dikhususkan oleh riwayat setelahnya yaitu sebagai berikut:

علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن حماد بن عيسى، عن ربعي بن عبد الله، عن محمد بن مسلم قال: سألت أبا جعفر عليه السلام أكان أمير المؤمنين عليه السلام ينهى عن قراءة القرآن في الحمام؟قال: لا إنما نهى أن يقرء الرجل وهو عريان فأما إذا كان عليه إزار فلا بأس

Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Hammad bin Iisa dari Rib’iy bin ‘Abdullah dari Muhammad bin Muslim yang berkata aku bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam] “apakah amirul mukminin ‘alaihis salaam telah melarang membaca Al Qur’an di kamar mandi?”. Maka Beliau menjawab “tidak, sesungguhnya yang dilarang hanyalah orang yang membaca sedang ia dalam keadaan telanjang, adapun jika ia memakai kain maka tidak apa-apa” [Al Kafiy 6/316 no 32].

Al Majlisiy berkata bahwa riwayat pertama sanadnya shahih dan riwayat kedua sanadnya hasan [Mir’at Al ‘Uquul 22/405]. Sebagian nashibiy menjadikan adanya riwayat ini sebagai bahan celaan dan tertawaan terhadap mazhab Syi’ah. Anehnya mereka tidak menyadari bahwa sebagian ulama ahlus sunnah juga ada yang berpendapat demikian. Apakah lantas mereka akan dicela dan ditertawakan juga?
.
Fiqih Ahlus Sunnah.



Bukhariy menyebutkan dalam kitab Shahih-nya sebuah bab dengan judul sebagai berikut:

باب قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ بَعْدَ الْحَدَثِ وَغَيْرِهِ
وَقَالَ مَنْصُورٌ عَنْ إِبْرَاهِيمَ لاَ بَأْسَ بِالْقِرَاءَةِ فِى الْحَمَّامِ ، وَبِكَتْبِ الرِّسَالَةِ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ . وَقَالَ حَمَّادٌ عَنْ إِبْرَاهِيمَ إِنْ كَانَ عَلَيْهِمْ إِزَارٌ فَسَلِّمْ ، وَإِلاَّ فَلاَ تُسَلِّمْ

Bab bacaan Al Qur’an dan lainnya setelah hadats.
Dan berkata Manshuur dari Ibrahiim “tidak apa-apa membaca Al Qur’an di kamar mandi dan menulis risalah tanpa berwudhu’. Dan berkata Hammad dari Ibrahiim “jika mereka memakai kain maka jawab salamnya tetapi jika tidak memakai kain maka jangan dijawab salamnya” [Shahih Bukhariy 1/79 Kitab Wudhu’  bab 36 ].

Ibnu Hajar dalam Kitab Fath Al Bariy Syarh Shahih Bukhariy memberikan penjelasan bahwa terjadi perselisihan di kalangan ulama mengenai membaca Al Qur’an di kamar mandi, berikut apa yang dijelaskan Ibnu Hajar,




قوله وقال منصور أي بن المعتمر عن إبراهيم أي النخعي وأثره هذا وصله سعيد بن منصور عن أبي عوانة عن منصور مثله وروى عبد الرزاق عن الثوري عن منصور قال سألت إبراهيم عن القراءة في الحمام فقال لم يبن للقراءة فيه قلت وهذا لا يخالف رواية أبي عوانة فإنها تتعلق بمطلق الجواز وقد روى سعيد بن منصور أيضا عن محمد بن أبان عن حماد بن أبي سليمان قال سألت إبراهيم عن القراءة في الحمام فقال يكره ذلك انتهى والإسناد الأول أصح

Perkataannya “dan berkata Manshuur yaitu bin Mu’tamar dari Ibrahim yaitu An Nakha’iy “Atsar ini telah disambungkan oleh Sa’id bin Manshuur dari Abi ‘Awaanah dari Manshuur seperti ini. Abdurrazaq meriwayatkan dari Ats Tsauri dari Manshur ia berkata “aku bertanya kepada Ibrahim tentang membaca Al Qur’an di kamar mandi?” maka ia menjawab “tidak ada keterangan tentang membaca Al Qur’an di dalamnya”. Aku [Ibnu Hajar] berkata “riwayat ini tidak menyelisihi riwayat Abi ‘Awaanah, karena dikaitkan dengan kemutlakan pembolehannya” Dan diriwayatkan juga oleh Sa’id bin Manshuur dari Muhammad bin Abaan dari Hammaad bin Abi Sulaiman ia berkata “aku bertanya kepada Ibrahim tentang membaca Al Qur’an di kamar mandi?”maka ia berkata “dimakruhkan hal tersebut”. [Ibnu Hajar berkata] Sanad yang pertama [yaitu riwayat Manshuur] lebih shahih. [Fath Al Bariy Syarh Shahih Bukhariy 1/344]

وروى بن المنذر عن على قال بئس البيت الحمام ينزع فيه الحياء ولا يقرأ فيه آية من كتاب الله وهذا لا يدل على كراهة القراءة وإنما هو أخبار بما هو الواقع بان شأن من يكون في الحمام أن يلتهي عن القراءة

Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Aliy [radhiallahu ‘anhu] yang berkata “sejelek-jeleknya bagian rumah adalah kamar mandi, di dalamnya dilepaskan rasa malu dan tidak dibacakan di dalamnya ayat dari Kitabullah”. [Ibnu Hajar berkata] Perkataan ini tidak menjadi dalil makruhnya membaca Al Qur’an di dalam kamar mandi karena riwayat itu hanyalah merupakan kabar kenyataan yang terjadi, bahwa kamar mandi pada umumnya memang tempat yang tidak dibaca Al Qur’an di dalamnya. [Fath Al Bariy Syarh Shahih Bukhariy 1/344]

وحكيت الكراهة عن أبي حنيفة وخالفه صاحبه محمد بن الحسن ومالك فقالا لا تكره لأنه ليس فيه دليل خاص وبه صرح صاحبا العدة والبيان من الشافعية وقال النووي في التبيان عن الأصحاب لا تكره فاطلق لكن في شرح الكفايه للصيمري لا ينبغي أن يقرأ وسوى الحليمي بينه وبين القراءة حال قضاء الحاجة ورجح السبكي الكبير عدم الكراهة واحتج بان القراءة مطلوبه والاستكثار منها مطلوب والحدث يكثر فلو كرهت لفات خير كثير ثم قال حكم القراءة في الحمام أن كان القارئ في مكان نظيف وليس فيه كشف عورة لم يكره وإلا كره

Dinukil pendapat makruh dari Abu Hanifah, namun diselisihi oleh sahabatnya Muhammad bin Hasan dan Malik keduanya berkata “tidak makruh karena tidak ada dalil khusus yang melarangnya” demikian juga ditegaskan penulis kitab Al ‘Uddah dan Al Bayaan keduanya dari kalangan ulama Syafi’iyyah. An Nawawi berkata dalam At Tibyaan dari para sahabatnya yang mengatakan tidak makruh, lalu memutlakkan kebolehannya. Namun dalam Syarah Al Kifaayah Lis Shaimariy, ia berkata ”tidak selayaknya membaca Al Qur’an di kamar mandi”. Al Hulaimiy menyamakan antara membaca Al Qur’an di kamar mandi dengan membaca Al Qur’an pada saat buang hajat. As Subkiy Al Kabiir merajihkan tidak dimakruhkannya hal tersebut dan berhujjah bahwa membaca Al Qur’an telah diperintahkan, begitu juga memperbanyak membacanya juga sesuatu yang diperintahkan, sedangkan hadas itu sering terjadi, seandainya hal itu dimakruhkankan maka akan terluput kebaikan yang sangat banyak. Kemudian ia berkata “hukum membaca Al Qur’an di kamar mandi, jika membaca di tempat yang bersih dan tidak terbuka auratnya, maka tidak dimakruhkan, kalau tidak seperti itu, maka dimakruhkan. [Fath Al Bariy Syarh Shahih Bukhariy 1/344].

Berdasarkan penjelasan Ibnu Hajar di atas maka ternukil pendapat yang memakruhkan membaca Al Qur’an di kamar mandi dan ternukil pula pendapat yang membolehkan membaca Al Qur’an di kamar mandi yaitu Ibrahim An Nakha’iy, Malik, Muhammad bin Hasan, An Nawawiy, As Subkiy dan ulama mazhab Syafi’iy lainnya.

Penutup:
Dalam tulisan ini saya tidak merajihkan pendapat yang mana. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa ada sebagian ulama ahlus sunnah yang mengatakan hal yang sama dengan yang dikatakan Imam ahlul bait mazhab Syi’ah. Tentu saja perkataan imam ahlul bait menjadi hujjah di sisi mazhab Syi’ah dan tidak menjadi hujjah di sisi ahlus sunnah begitu pula perkataan sebagian ulama ahlus sunnah tersebut menjadi hujjah bagi sebagian pengikut ahlus sunnah dan tidak menjadi hujjah bagi Syi’ah.

Perbedaannya, dalam mazhab Syi’ah perkara ini telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih oleh Imam ahlul bait, oleh karena itu saya tidak perlu repot-repot menukil pendapat para ulama Syi’ah. Sedangkan dalam mazhab Sunni, perkara ini tidak ditemukan adanya dalil yang membolehkan dan melarangnya dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihiwasallam] oleh karena itu para ulama ahlus sunnah berselisih pendapat sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Kesimpulannya adalah mencela, mentertawakan atau merendahkan mazhab Syi’ah karena perkara ini sama saja seperti mencela, mentertawakan atau merendahkan sebagian ulama ahlus sunnah.

FALSAFAH MENANGIS ATAS IMAM HUSAIN


Oleh: Syeikh Fadhil Maliki

PERDEBATAN SEPUTAR TANGISAN ATAS IMAM HUSAIN.
Semoga Allah SWT mencurahkan salam kepadamu wahai junjunganku dan pemimpinku, Abu Abdillah. Salam kepadamu wahai pemimpinku dan putra pemimpinku, wahai putra Rasulullah saw. Sungguh beruntung orang yang berpegang teguh dengan talimu dan sungguh aman orang yang berlindung di bentengmu. Wahai Tuhan kami, kami benar-benar bersama mereka (ahlul bait) sehingga kami memperoleh kemenangan yang besar.


Allah SWT berfirman: “Dan Ya`qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf,’ dan kedua matanya menjadi putih (buta) karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya) . Mereka berkata: “Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf, sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang yang binasa.” Ya`qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 84-86).

Banyak perdebatan seputar masalah menangis atas Imam Husain as. Tangisan ini dianggap sebagai bentuk jaza` (keluh kesah yang tidak berguna). Kami pikir inilah (bulan Muharram) saat yang tepat untuk membahas tema ini. Banyak kesalahan, syubhat, dan kemusykilan yang dikemukakan berkenaan dengan persoalan ini. Agar kita menjadi mengerti terhadap syiar-syiar tentang Imam Husain yang biasa kita lakukan maka sudah semestinya kita membahas topik ini secara obyektif, argumentatif, logis sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an, hadis dan akal. Kami akan mengambil manfaat dari nas-nas yang dijadikan acuan dan pijakan oleh Ahli Sunah dan Syi`ah. Sebab, kami meyakini bahwa problema Imam Husain bukan hanya problema yang menjadi “milik” Syi`ah namun ia sesungguhnya problema Islam. 

Namun seperti biasa peringatan tragedi Imam Husain lebih banyak diadakan oleh masyarakat Syi`ah ketimbang lainnya. Seharusnya seluruh kaum Muslim terlibat dalam peringatan syahadah Imam Husain. Kami melihat bahwa kaum Muslim yang berpikir obyektif (fair), bahkan mereka yang tidak menggunakan syiar-syiar tertentu, namun di hati mereka yang paling dalam terpancar loyalitas dan kesetiaan kepada sayyidus syuhada (penghulu para syahid). Seorang Muslim yang beriman kepada Allah SWT; setiap Muslim yang berpikir adil (tidak memihak), meskipun bukan orang Syi`ah pasti menghormati dan “menyucikan” sikap Husain as dan terpengaruh dengan tragedinya. 

Selanjutnya, kita dapat katakan bahwa tragedi Imam Husain melampaui batas Islam dan menjamah ruang lingkup kemanusiaan secara umum. Berapa banyak orang non-Muslim yang terpengaruh dengan kisah Imam Husain, mengucapkan pujian padanya, bahkan menulis buku tentangnya, padahal tidak ada ikatan apa-apa antara mereka dengan Imam Husain. Namun pengaruh tidak akan menghasilkan sesuatu yang diharapkan kecuali dengan adanya interaksi pada masalah yang berkaitan dengannya. Jadi, yang memperoleh manfaat adalah sesuatu yang dipuji, bukan orang yang memuji. 

Adapun keadaan yang dipuji maka cukuplah anugerah (minhah) yang Allah berikan kepada ahlul bait dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan nista dari kamu ahlul bait dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.” (QS. Al-Ahzab: 33) Dan cukuplah sabda Nabi saw: “Husain dariku dan aku dari Husain.” Dan cukuplah kedudukan Imam Husain sebagai penghulu pemuda surga (sayyidus syababi ahlil jannah).

MAKNA DI BALIK TERUS MENERUS MENANGIS.
Adapun mayit yang ditangisi selama bertahun-tahun, sepanjang generasi sampai hari kiamat maka di sinilah letak rahasia kehebatan dan keutamaan tangisan tersebut. Semua agama dan keyakinan sampai sekarang pun menangisi orang yang meninggal sebagaimana kita menangisi Imam Husain. Sepanjang masa kita memperingati syahadah Imam Husain dan menangis karenanya. Tentu dalam peringatan tersebut kita menunjukkan makna dan penghayatan yang dalam. Terkadang ada orang yang “puas” dengan membaca syair atau kasidah saat peringatan itu. Yang lain lagi merasa puas hanya dengan mengucapkan sekata dua kata. Sebagian umat memperingati para pahlawan dan para pejuangnya, misalnya, dengan mengadakan acara pesta dan kegembiraan. Sedangkan mengadakan peringatan terhadap orang yang meninggal dengan tangisan dengan cara seperti ini dan terjadi sepanjang masa maka ini tampak begitu menonjol saat kita mengenang peristiwa Karbala.

Nah, dari sini terlontar pertanyaan penting: mengapa kita terus menangis atas Husain? Bukankah seharusnya mayit ditangisi untuk beberapa saat lalu tangisan ini pun berakhir? Mengapa kita terus menangisi Imam Husain? Bukankah menangis atas mayit merupakan bentuk jaza` (keluh kesah)? Misalnya, seseorang yang ditinggal mati oleh ayahnya lalu ia menangis setiap kali ia mengingatnya. Bukankah kita menemukan–pada setiap tahun–majelis- majelis belasungkawa (majalis `aza’) di mana di dalamnya hadirin menangis tersedu-sedu untuk Imam Husain, terutama di hari pertama dari bulan Muharram sampai hari kesepuluh. Maka, keadaan seperti ini pasti mengundang pertanyaan. Seseorang yang menangisi ayahnya sepanjang hidupnya sampai ia mati maka banyak orang yang akan merasa heran dengannya. Pertanyaan yang muncul ialah: apa falsafah tangisan atas Husain? Kami kira, jika kita mengetahui falsafah menangis maka kita akan mengetahui falsafah terus menerusnya tangisan ini. Yakni, ini adalah jawaban atas pertanyaan pertama tentang falsafah menangis. Bila kita mengetahui mengapa kita menangis atas Imam Husain maka kita mengerti mengapa kita melanjutkan tangisan ini. Jawaban pertanyaan kedua terlihat pada jawaban pertanyaan pertama.

MENANGIS DAN BENTUK KELUH KESAH (JAZA`).
Ada beberapa fenomena yang kita anggap sebagai bentuk dari jaza`. Jaza` memiliki dua bentuk: pertama, jaza` berarti keluarnya manusia yang tertimpa musibah dari kemampuan alaminya dalam mengekspresikan derita atau musibah. Kedua, jaza` bermakna mengerjakan sesuatu yang haram saat memuji orang yang meninggal. Misalnya, seseorang yang menentang hukum (keputusan) Allah SWT karena saking beratnya derita yang dialaminya. Contohnya dengan mengatakan, mengapa anak itu mati; mengapa tidak ditunda dua tahun lagi? Penentangan terhadap urusan Allah ini merupakan salah satu bentuk jaza`. Atau ia mengungkapkan penderitaan atas kepergian si mayit namun dengan cara-cara yang haram. Ini juga termasuk jaza`. Namun jaza` seperti apa? Ini adalah jaza` yang dilarang. Namun ada bentuk jaza` yang tidak dilarang, yaitu jaza` al-mafrudh (jaza` yang terjadi di luar ikhtiar manusia). Yakni ketika manusia tidak mampu mengendalikan kemampuan alaminya saat memuji orang yang mati. Misalnya, ada riwayat yang sampai pada kita tentang larangan memukul-mukul paha saat kita tertimpa musibah. Ini dianggap bentuk jaza`, namun jaza` yang bagaimana? Ini adalah jaza` al-mafrudh, yang tidak mencapai tingkat keharaman.

Dari sini kita bertanya: mengapa kita menangisi Imam Husain, bahkan kita memukul-mukul bagian tertentu dari tubuh kita? Bukankah dalam pandangan masyarakat umum (`urf) menangis dengan keras dan terus menerus menangis termasuk bentuk jaza`? Jadi, apa falsafah tangisan atas Imam Husain? Pertama, apa karakter dan tugas tangisan itu? Yakni, ketika saya menangis maka apa tugas dari tangisan itu? Tugas tangisan ialah: pertama, menghilangkan penderitaan dan kesedihan (at-tanfis `anil alam wal huzn). Kedua, interaksi dengan problema keagamaan (at-tafa`ul ma`a qadhiyyah risaliyyah). 

DUA DIMENSI DALAM TRAGEDI KARBALA.
Problema keagamaan ini tidak mungkin akan tertanam dalam jiwa dengan hanya sekadar memikirkannya (penggunaan nalar) namun ia harus menyentuh emosi (perasaan) dan harus mengguncangkan hati. Anda saksikan bahwa banyak peradaban atau banyak teori atau disertasi para tokoh besar yang jenius yang bertahan untuk beberapa masa saja setelah itu hilang dan lenyap. Namun sebagian darinya justru bertahan sepanjang masa dan abadi. Mengapa demikian? Terkadang pemikiran kehilangan aktualitas dan ikatan emosional, sehingga dalam situasi-situasi sulit kadang kala pemikiran terkalahkan. Lagi pula, pemikiran hanya dipahami oleh sebagian orang yang memang spesialis di bidang ini, sedangkan mayoritas manusia umumnya lebih mudah berinteraksi dengan ikatan emosional dari suatu problem. Bila problem menciptakan ikatan emosional maka ia akan memicu seseorang untuk membelanya, meskipun ia tidak memiliki argumentasi. Cukuplah ikatan emosional yang menjadi buktinya. Problema Imam Husain memiliki dua dimensi: dimensi rasional (janib fikri) dan dimensi emosional (janib `athifi). Tragedi yang dialami Imam Husain tidak hanya dipahami oleh pemikiran (rasio); pemikiran adalah hal yang utama dan penting. Namun dalam menghadapi tantangan-tantangan yang berat biasanya manusia yang memiliki rasio terkalahkan. Sedangkan mereka yang memiliki ikatan emosional dan kesetiaan hati kepada Imam Husain justru tegar dan perkasa dalam menghadapi tantangan yang berat. Berapa banyak kita saksikan manusia yang mempersembahkan kepalanya, tangannya dan apa saja yang berharga karena adanya ikatan rohani dan emosi serta kesatuan dengan problema Imam Husain. Kesatuan ini harus tetap terjaga.

PESAN DI BALIK TANGISAN FATIMAH.
Terkadang manusia menangis hanya karena sedih. Namun terkadang tidak. Ada yang menangis dengan tujuan mengabadikan suatu problema atau peristiwa. Misalnya, para sejarawan menceritakan bahwa Fatimah az-Zahra menangis atas Rasulullah saw, sehingga sebagian orang Madinah berkata kepada Sayidina Ali: Katakan kepadanya, apakah ia akan tetap menangis siang dan malam. Kami merasa tidak nyaman karena saking seringnya mendengar tangisan Fatimah. Lalu Fatimah menangis sepanjang malam di rumahnya, sedangkan di waktu siang ia berteduh di pohon arak dan menangis di tempat ini. Kemudian orang-orang datang ke tempat tersebut dan memotong pohon itu. Maka Imam Ali as. membangun rumah kesedihan (baitul ahzan) di atasnya. Demikianlah Fatimah melewati hari-harinya dengan penuh kesedihan. Beliau menangis di pohon tersebut di waktu siang dengan ditemani Hasan dan Husain. 

Dan menjelang Maghrib, Ali mengantar mereka pulang ke rumahnya; dan Fatimah melanjutkan tangisannya di sini di waktu malam. Tentu di antara kita ada yang bertanya: mengapa Fatimah menangis sampai batas seperti ini? Meskipun yang ditangisinya adalah Rasul saw yang agung dan kematiannya adalah musibah yang besar pula, tapi apakah Fatimah tidak cukup bersabar dan apakah ia tidak mampu menahan diri? 
Jika kita memahami tangisan hanya sebatas ungkapan kesedihan maka tentu kita akan bertanya-tanya seperti itu. 

Namun pertanyaan itu tidak akan menggelinding bila kita memahami bahwa di balik tangisan tersebut menyimpan pesan tertentu: pesan pengingkaran (risalah istinkar), pesan kecaman (risalah tandid), dan pesan kutukan (risalah idanah) yang ditujukan kepada siapapun yang berkepentingan. Yakni, tangisan ini ingin menunjukkan bahwa di sana ada kezaliman. Atau dengan kata lain, tangisan ini merupakan suara lantang yang ingin mengatakan bahwa di sana terdapat kezaliman yang dialami keluarga Muhammad saw (ahlul bait) sepeninggal Muhammad. Dengan kalimat yang lebih jelas lagi, bahwa tangisan tersebut di samping membawa karakter syariat (thabi` syar`i), ia pun membawa pesan politik (thabi` siyasi). 

Dengan tangisan tersebut, Fatimah az-Zahra ingin menggerakkan dan memancing emosi; Fatimah ingin agar jiwa tergugah dengan problemanya dan penindasan yang dialaminya. Jangan Anda bayangkan bahwa problema Fatimah hanya sekadar kasus tanah Fadak, atau kasus penyerangan di rumahnya. Penyerangan atas rumah Fatimah adalah musibah yang besar, namun sebab-sebab yang melatarbelakangi penyerangan kaum merupakan musibah dan penyerangan yang hakiki. Yakni, penyerangan atas kedudukan (maqam) ahlul bait sepeninggal Rasul saw. Di sinah letak musibah yang sesungguhnya. Kaum (orang-orang yang menyerang) itu ingin menyingkirkan kedudukan mulia ahlul bait yang telah Allah tetapkan bagi mereka. Sekali lagi, inilah musibah yang besar dan inilah pengkhianatan yang luar biasa. 

Keadaan tragis ahlul bait ini digambarkan oleh Imam Baqir dalam perkataannya: “Ketika Rasulullah meninggal, maka ahlul baitnya seakan-akan tidak dinaungi oleh langit dan tidak dilindungi oleh bumi.” Jadi, tangisan putri Nabi saw tersebut membawa pesan agama, bukan sekadar tangisan biasa. Oleh karena itu, Fatimah terus menerus menangis sehingga masuk dalam kelompok lima orang yang banyak menangis sebagaimana yang dinyatakan dalam riwayat Imam Shadiq as.

TANGISAN YA`QUB.
Karena kami mengawali pembahasan ini dengan ayat-ayat yang mengemukakan kisah Nabi Ya`qub yang menangis hingga matanya buta, maka kami akan mengupas ayat tersebut. Dalam surah Yusuf disebutkan: “Dan Ya`qub berpaling dari mereka,” yakni dari anak-anaknya yang menyingkirkan Yusuf dan saudaranya Benjamin. Ya`qub berpaling dari mereka seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf.” Kata al-asaf berarti sedih atas apa yang telah terjadi atau berlalu (al-huzn ala ma fata). 

Sebagian sahabat berkata, Ya`qub mengucapkan “ya asafa”, karena saat itu belum ada kalimat “inna lillah wa inna ilaihi raji`un” dan beliau belum mendapatkan ilham tentang kalimat tersebut. Ibarat yang ada saat itu adalah ungkapan ya asafa. Setelah Nabi Muhammad saw hadir maka Allah SWT mengilhamkan syiar ini, sehingga syiar yang mengungkapkan kesedihan atas apa yang terjadi dari ya asafa diganti dengan syiar inna lillah. Hal ini masih perlu dibuktikan kebenarannya. Kalimat inna lillah digunakan saat mulai mengungkapkan kesedihan atas orang yang meninggal. Sedangkan Ya`qub mengetahui bahwa Yusuf masih hidup karena dalam ayat tersebut Ya`qub mengatakan: “Aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.”

Para musuh mengatakan kepadanya: “Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf, sehingga kamu hidup dengan berat,” yakni engkau tetap hidup tapi menjalaninya dengan penderitaan: boleh jadi engkau kehilangan mata atau kehilangan akal (gila), atau termasuk orang yang binasa. Ya`qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” Para musuh itu mengatakan padanya: tangisanmu tidak membawa manfaat apa-apa padamu karena Yusuf sudah dimakan oleh serigala. Tetapi Ya`qub menjawab: “Aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” Yakni, aku diberitahu oleh Allah melalui malaikat Jibril bahwa Yusuf masih hidup dan ia akan kembali padaku dan aku akan melihatnya. 

Dan urusan Allah pasti menang. Tetapi kapan ini terjadi? Ini berada di tangan Allah SWT. Aku menangis karena perpisahan dengannya. Aku menangis karena–untuk beberapa saat–aku tidak dapat menatap wajahnya lagi. Aku menangis, meskipun aku tahu bahwa ia akan kembali. Namun bagaimana ia kembali? Apakah ia kembali dalam keadaan selamat, sehat atau sakit? Bukti yang menunjukkan bahwa Ya`qub mengetahui dari sisi Allah bahwa Yusuf masih hidup adalah ayat berikut ini:
“Takkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya`qub sehingga ia kembali dapat melihat. Ya`kub berkata: “ Tidakkah aku katakan padamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 96) Bukankah aku telah mengatakan bahwa Yusuf akan kembali? Tangisanku semata-mata karena perpisahan karena aku diberitahu bahwa perpisahanku dengannya terjadi dalam waktu yang lama. Alhasil, Al-Qur’an menceritakan bahwa ketika Yusuf dijauhkan oleh Allah dari pandangan Ya`qub maka ia menangis sampai matanya “mengering” karena saking sedihnya. Memang Al-Qur’an tidak menyebut kata “menangis” (al-buka’), namun dengan melakukan tadabur terhadap ayat-ayat tersebut kita akan mengetahui makna yang tersirat darinya. Nabi Ya`qub mengungkapkan kesedihan atas kebenaran, bukan kebatilan karena berpisah dengan anak yang mulia; anak yang merupakan wali dari wali-wali Allah. 

APA YANG MEMBUAT MATA YA`QUB BUTA?
Selanjutnya, Al-Qur’an mengatakan: “Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya) . Apa yang dimaksud dengan kedua matanya menjadi putih? Sebagian mufasir mengatakan bahwa Ya`qub terkena kelemahan dalam pandangan sehingga ia tidak dapat melihat sesuatu kecuali dari jarak dekat sekali. Namun menurut riwayat dari ahlul bait bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah kebutaan, yakni Ya`qub menjadi buta. 

Apa bukti atau indikasi (qarinah) dari hal ini? Buktinya adalah perkataan Yusuf: “Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah di wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali.” (QS. Yusuf: 93). Jadi, yang dimaksud matanya menjadi putih ialah buta, buta karena sedih. Namun karena sedih saja tidak akan menyebabkan buta. Lalu mengapa disebutkan kata kata kesedihan (al-huzn)? 

Penyebutan kesedihan karena diiringi dengan sebab musabab. Sebab kebutaan adalah tangisan; lalu apa yang menjadi sebab tangisan? Sebab tangisan adalah kesedihan. Dalam bahasa Arab ada ungkapan majaz (metafor), seperti: was’al qaryah (tanyalah kepada desa ). Yang dimaksud dari pernyataan ini adalah was`al ahlal qaryah (tanyalah kepada penduduk desa). 

Demikian juga dengan ayat karena kesedihan, yakni karena tangisan yang disebabkan oleh kesedihan. Ayat ini perlu kita amati dengan seksama. Sebab sebagian mereka mempersoalankan tangisan Ya`kub dengan mengatakan: apakah engkau menangis sampai engkau kehilangan matamu; apakah ini termasuk bentuk jaza` yang diperbolehkan? 
Ya`qub adalah seorang Nabi yang menangisi salah satu manusia termulia dan teragung yang hilang. Apakah ajaran sawami membolehkan tangisan sehebat ini terhadap orang yang hilang? 
Lalu bagaimana dengan tangisan yang dilakukan terhadap orang yang hilang selama-lamanya (orang yang mati? Apakah benar tangisan Ya`qub terhadap anak yang hilang sehingga matanya buta? 
Ini adalah masalah syar`iyyah: boleh atau tidak boleh? Banyak jawaban yang dapat dikemukakan atas pertanyaan ini. 

HIKMAH DI BALIK TANGISAN YA`QUB.
Tangisan yang menyebabkan kebutaan Ya`kub ini bukan tangisan yang bersifat ikhtiar (dibuat-buat atau dilakukan dengan kesadaran penuh). Tangisan ini keluar dari batas ikhtiar karena sakit kuatnya ikatan cinta antara Ya`kub dan Yusuf. Yusuf bukan hanya anak Ya`kub, namun lebih dari itu ia adalah wali Allah yang agung, sehingga karena ini tangisan Ya`kub semakin menjadi-jadi dan ia tidak dapat menguasai dirinya lagi alias keluar dari batas ikhtiarnya. Dan sesuatu yang keluar dari batas ikhtiar tidak dapat disifati halal atau haram. Meskipun ia melakukan maksiat, dengan asumsi bahwa perbuatan tersebut adalah maksiat, namun ia mengerjakan sesuatu di luar ikhtiar dan pilihannya. 

Kemudian, siapa yang mengatakan bahwa jaza` selalu diharamkan sehingga apa yang dilakukn Ya`kub pun dilarang. Sebab, terkadang sebagian bentuk jaza` diperbolehkan oleh syariat Islam yang mulia demi tujuan-tujuan risalah (agama), seperti tangisan Ya`qub yang semata-mata mengagungkan kedudukan Yusuf, peristiwa Yusuf, dan sikap Yusuf dimana Allah SWT ingin agar semua itu terjadi. Lalu tangisan yang membutakan ini pun justru menunjukkan karamah Yusuf ketika ia memerintahkan agar pakaiannya diletakkan di wajah ayahnya sehingga ia melihat kembali. Ya`qub adalah Nabi yang maksum yang tidak mungkin berbuat salah. Ketika ia menangisi Yusuf sampai matanya buta karena kesedihan maka ini menunjukkan bahwa jaza` baginya–dalam keadaan apa pun–tidak dilarang. 

BENTUK JAZA` (KELUH KESAH) YANG DIBOLEHKAN.
Meskipun dalam situasi-situasi biasa jaza` dilarang namun bagi sebagian pribadi ia justru tidak dilarang. Apa contohnya? Imam Ja`far ash-Shadiq as. berkata: “Untuk keadaan seperti Husain, pipi boleh ditampar dan kantong boleh dirobek.” Lalu apa ini tidak bertentangan dengan wasiat Imam Husain kepada putri-putri Rasulullah: “Janganlah kalian mencakar pipi; jangan memukul-mukul tubuh; jangan merobek-robek kantong.” 

Larangan ini sangat tepat di hadapan musuh karena boleh jadi mereka akan memukul-mukul diri mereka di depan musuh. Imam Husain saat itu berada dalam puncak kesabaran dan puncak ketegaran dalam menanggung derita. Saat beliau merasakan puncak penderitaan, beliau tetap bersabar dan tidak menangis di hadapan musuh. Namun ketika beliau menyendiri, beliau pun menangis. Banyak keadaan dan peristiwa yang menunjukkan bahwa beliau menangis. 

Ketika beliau memasuki Karbala pada hari kedua dari Muharram, dan dikatakan bahwa tanah yang diinjaknya adalah Karbala maka mata beliau bercucuran air mata. Jadi, yang dimaksud perkataan Imam Husain: janganlah menampar pipi, yakni di hadapan musuh. 

Adapun wanita yang mengalami penderitaan berat di antara waktu pagi dan petang; di sebagian hari ia kehilangan delapan lelaki dari keluarganya; kemahnya dibakar; perempuan-perempuan nya ditawan; dan rentetan tragedi dan musibah lainnya, lalu ia–di luar ikhtiarnya dan kesadarannya- -mencakar- cakar pipinya maka apakah kita akan mempersoalkan tindakannya, menghujatnya dan menghukuminya? 

Para ahli hadis menyebutkan bahwa ketika Nabi Harun meninggal dunia, Nabi Musa merobek-robek saku bajunya. Apa rahasia hal ini? 
Ini merupakan ungkapan tentang besarnya tragedi dan tindakan ini terjadi di luar ikhtiyar dan kesadaran. Ketika Musa mendapati kenyataan bahwa saudaranya Harun meninggal dunia semasa hidupnya maka ia “tak sadar” dan merobek-robek sakunya. 

Tentu tindakan ini jika dilakukan oleh selainnya makruh (dibenci). Namun problema yang membawa pesan agama dalam hal ini tidak dianggap makruh atau tidak dilarang karena terdapat nas-nas yang cukup memadai tentang masalah ini. 

MA`TAM YANG PERTAMA KALI.
Apakah terdapat kontradiksi ketika seseorang menangisi orang lain sebelum kematiannya, meskipun cukup berat musibahnya? Apakah seseorang yang menangisi orang lain 50 tahun sebelum kematiannya dianggap melakukan jaza` dalam pandangan masyarakat umum? Kaum Muslim sepakat bahwa Rasulullah saw menangis atas Imam Husain 50 tahun sebelum terbunuhnya Imam Husain. Riwayat menyebutkan bahwa malam Asyura’ bertepatan dengan 11 Hijriah, yakni tahun kematian Nabi saw. Imam Husain terbunuh pada 61 Hijriah. Jadi jarak yang terpaut adalah 50 tahun. Pada malam Asyura Rasul saw tampak begitu sedih, murung, dan lesu. 

Hakim an-Naisaburi dalam Mustadrak Shahih Muslim dan Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw keluar menemui para sahabatnya setelah malaikat Jibril memberitahunya tentang terbunuhnya Imam Husain dan ia membawa tanah Karbala. Beliau menangis tersedu-sedu di hadapan para sahabatnya sehingga mereka menanyakan hal tersebut. Beliau memberitahu mereka, “Beberapa saat lalu Jibril mendatangiku dan membawa tanah Karbala, lalu ia mengatakan kepadaku bahwa di tanah itulah anakku Husain akan terbunuh.” Kemudian beliau pun menangis lagi dan para sahabat pun ikut menangis. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa inilah ma’tam (acara kesedihan dan belasungkawa untuk Imam Husain) yang pertama kali. Jika ada orang yang bertanya: kapan ma`tam yang pertama kali diadakan oleh umat Islam untuk Imam Husain? Jawabannya adalah ma`tam yang dihadiri oleh Nabi Muhammad saw dan pendengarnya adalah para sahabat Rasulullah. Tentu tidak ada seseorang yang berani mengusik masalah ini. Sebab, masalah ini memiliki keistimewaan dibandingkan dengan masalah lainnya. 

TUJUAN MENANGIS ATAS IMAM HUSAIN.
Lalu apa tujuan dari menangis atas Imam Husain? 
Apakah masalah ini hanya berkisar pada ungkapan sedih dan derita? 
Problema ini lebih besar dari hanya sekadar ungkapan sedih dan derita. Kami telah katakan bahwa orang non-Muslim yang obyektif ketika mendengar kisah Imam Husain ia menangis. 

Namun tujuan menangis atas Imam Husain bukan ungkapan kesedihan dari sisi kemanusiaan. Tujuan menangis yang sesungguhnya ialah mengabadikan problema Imam Husain, ajarannya, nilai-nilainya serta prinsip-prinsipnya melalui tangisan yang menyingkap kezaliman dari satu sisi, yang menyebabkan terikatnya jiwa pada orang yang diperingati dan prinsip-prinsipnya sepanjang masa. Tangisan yang kita persembahkan untuk Imam Husain merupakan bentuk pengingkaran dan perlawanan terhadap kezaliman. Hal yang demikian ini tidak dapat diwaliki oleh pemikiran dan penalaran saja. 

Dan Allah SWT berkehendak agar tragedi Imam Husain tetap kekal dalam jiwa dalam bentuk tangisan dan pelajaran. Karena itu, terdapat riwayat yang berbunyi:
“Aku korban pembunuhan yang memberi pelajaran.” Yakni, setiap orang mukmin yang mengingatku pasti ia akan mengambil pelajaran dan menangis.

Dalam kitab Mustadrak disebutkan bahwa Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya terbunuhnya Husain menciptakan bara pada hati orang mukmin yang tak akan pernah padam.” Jadi, tangisan kita atas Imam Husain bukan hanya sekadar tangisan atas mayit namun ia merupakan senjata pemusnah kezaliman dan usaha berinteraksi dengan problema emosional serta mengikat jiwa dengan kesemangatan dan kesetiaan padanya sepanjang masa. 

Oleh karena itu, seorang penyair berkata:
Mataku menangis bukan karena pukulan,
Namun semata-mata untukmu ia menangis.
__._,_.___
__,_._,___

syi’ah memuliakan wanita, syi’ah memuliakan kaum ibu

Halaman Majalah.
Beginilah Syiah Menghinakan Wanita.




Nama : Majalah AKHWAT
Edisi : Vol.15/1432/2011
Penerbit : Penerbit Al-Ilmu
Moto : Jurnal Muslimah dan Keluarga Sakinah
Penasehat : Ust Ali Basuki, Ust Risqi, Ust Hammad, Ust Yuswaji, Ust Na’im, Ust Abu Faizah, Ust Nashrullah
Ukuran : 24 x 14
Jumlah Halaman : 90
Cover : Art paper 150gr kilap
Kertas isi : HVS 70 gr
Berat : 125 gram
Jumlah Grosir : 1
Diskon Grosir : 5%
Harga : Rp 10.000


 Seminar internasional wanita di Iran.

Jelaskan Kedudukannya Dalam Islam, Iran Gelar Seminar Internasional Wanita.
 
Kamis, 02 Pebruari 2012 07:27 WIB
TEHERAN -
Teheran telah mengadakan Seminar Internasional ‘Ladies Eminent Agama Ilahi’. Seminar ini dihadiri oleh peserta wanita dari berbagai negara.

Wanita dari 22 negara menghadiri seminar bersama dengan sejumlah pejabat Iran dan ulama perempuan, pada Rabu (1/2) kemarin. Acara ini diselenggarakan untuk memperkenalkan dan menjelaskan pola individu, keluarga dan sosial untuk wanita terpilih, dengan kualitas khusus seperti, kesabaran, kejujuran, pengetahuan perdamaian dan iman.

Peserta seminar berbagi pikiran tentang bagaimana tempat pria dan wanita dalam Islam adalah sama, dalam urusan agama, politik, intelektual dan pendidikan.

Mereka juga menekankan bahwa perempuan diberikan kesempatan menjalankan urusan negara di banyak negara Islam.

Selain mengadakan seminar, Iran juga mengadakan Festival Internasional pertama dari Media Cetak Wanita Muslim untuk menghargai usaha perempuan muslim dalam memperluas nilai-nilai Islam.



Perempuan Muslim teladan terbagi dalam dua kelompok; perempuan dari kalangan Ahlul Bait Rasulullah SAW dan para pengikut setianya dari kalangan perempuan secara umum. Di antara anggota kelompok pertama, kita dapat menyebut nama-nama seperti Khadijah as (istri Nabi SAW), Fatimah as (putri beliau SAW), Zainab as (cucu perempuan SAW), serta beberapa saudara perempuan para Imam dan anak perempuannya, seperti Fatimah dan Sakinah (putri-putri Sayyidina Husain), Fatimah (saudara perempuan Imam Ridha), dan Hakimah (anak perempuan Imam Ali an-Naqi). Para istri sebagian imam juga termasuk dalam daftar tersebut, seperti Ibunda Imam Mahdi, Narjes, yang menurut beberapa laporan sejarah seorang murid Isa as. Terdapat juga sejumlah nama perempuan yang disebutkan sebagai pengikut setia Rasulullah SAW dan para Imam.




Fatimah Zahra.
Fatimah, putri Rasulullah SAW, memiliki status paling tinggi di antara semua karakter tersebut. Karakteristiknya identik dengan apapun yang dinilai Al-Quran sebagai terpuji dan berharga pada diri perempuan. Berikut ini merupakan sejumlah laporan yang diriwayatkan tentang status spiritualnya.
  1. Fatimah merupakan sosok terpilih di antara seluruh perempuan di dunia.
  2. Fatimah bercakap-cakap dengan para malaikat dan bahkan setelah wafatnya Rasulullah SAW, berbicara dengan Jibril dan menerima beberapa penjelasan darinya.
  3. Fatimah dipandang pada derajat tinggi oleh Allah dan Allah telah menetapkannya sebagai salah seorang hamba-Nya yang terpilih.
  4. Fatimah merupakan titik sentral Ahlul Bait Nabi SAW dan semua anggota yang dirujuk pada Ahlul Bait berada dalam terminologi hubungan mereka dengannya. Diriwayatkan bahwa Allah, ketika berbicara kepada Jibril, merujuk pada anggota-anggota keluarga suci ini dalam terminologi berikut; mereka adalah Fatimah, ayahnya, suaminya, dan putra-putranya.
  5. Fatimah adalah salah satu dari orang-orang yang bersegera dalam melakukan semua perbuatan baik.
  6. Fatimah merupakan seorang manusia tersabar, yang mengalami berbagai derita dan diksriminasi dari orang-orang zalim tetapi tidak pernah mengutuk seorang pun dari mereka.
  7. Fatimah memiliki status tinggi sebagai eksistensi suci yang mampu memberikan pertolongan (syafaat) atas izin Allah untuk umat manusia.
  8. Fatimah merupakan kriteria bagi perbuatan-perbuatan manusia pada hari pengadilan
  9. Fatimah mengaplikasikan seluruh kualitas dan posisi tersebut pada perilakunya yang khas terhadap kehidupan dan perubahannya serta energi Fatimah yang seakan tak pernah habis dalam meraih pertumbuhan spiritual dan kesempurnaan.
Sikap Fatimah terhadap Kehidupan.
Sebuah telaah yang seksama tentang gaya hidup Fatimah menunjukkan bahwa seluruh hidupnya dibentuk satu prinsip yang esensial; lebih memilih kesusahan daripada kemudahan.

Seseorang mungkin akan terkejut ketika mengetahui prinsip seperti itu; mengapa ia mesti memilih prinsip tersebut dan melaksanakannya sepanjang hayat? Di Dunia modern kita, yang di dalamnya seluruh nilai secara drastis mengalami metamorfosis dan yang di dalamnya teknologi bermaksud untuk mereduksi kesulitan dan memanjakan manusia dengan kemungkinan maksimal dari kemudahan dan kenyamanan, pertanyaan di atas jelaslah sangat relevan. Islam, bagaimanapun, memiliki pandangannya tersendiri.

Ketika berbicara tentang penemuan diri dan pertumbuhan spiritual, Islam mendorong adanya pengalaman dalam menghadapi kesulitan hingga batas yang layak bagi seseorang. Membangun suatu karakter memerlukan ketahanan akan kesusahan.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS. Al-Insyirah : 5)
Ini merupakan prinsip yang sama, yang dapat ditemukan dalam kehidupan semua orang saleh, para reformis besar, dan semua pencari tujuan-tujuan yang bermakna. Berikut beberapa contohnya.
  1. Lebih memilih kemiskinan ketimbang kemakmuran dan kekayaan. Meskipun memiliki penghasilan yang stabil dari tanah Fadak, Fatimah hidup dalam kemiskinan dan mendermakan penghasilannya pada fakir miskin. Ia diriwayatkan pernah berkata, ”Aku tidak memiliki sesuatu apapun kecuali sepasang sepatu sobek dan penuh tambalan serta sehelai pakaian dan selembar hijab dalam kondisi yang sama.”
  2. Lebih mencintai orang lain daripada diri sendiri; putra Fatimah, Sayyidina Hasan mengenang ibunya sebagai berikut, ”Suatu kali, ibuku mendirikan shalat sejak pertengahan malam hingga fajar menjelang dan mendoakan seluruh orang kecuali dirinya sendiri. Aku bertanya, kenapa ? beliau berkata, putraku tersayang! Yang pertama adalah tetangga lalu dirimu.
  3. Lebih menyukai kesederhanaan daripada kemewahan. Fatimah mendermakan perhiasan-perhiasan lehernya, anting-anting, perhiasan-perhiasan anak-anaknya, dan gorden-gorden rumahnya yang indah untuk membantu kemajuan Islam. Ayahnya, Nabi SAW, merupakan sumber pendorong akan hal ini.
  4. Lebih menyukai usaha dan kesulitan daripada kemudahan dan kemalasan. Fatimah bersikeras mengerjakan sendiri tugas-tugas rumah tangga dan tangannya menunjukkan efek kerja keras itu.
  5. Lebih menyukai shalat malam daripada tidur dan beristirahat. Putranya, Sayyidina Hasan pernah menuturkan, ”Tak seorang pun yang lebih mengabdi daripada Fatimah. Ia berdiri di atas kakinya (mendirikan shalat) begitu lama sehingga kakinya bengkak.”
”Pada sebagian besar malamnya, ia mendirikan shalat hingga pagi hari.”
  1. Lebih suka menentang kezaliman daripada diam. Fatimah adalah pejuang Tuhan di hadapan kezaliman, khususnya setelah Rasulullah SAW wafat, ketika dirinya melancarkan protes terhadap berbagai ketidakadilan dengan keberanian luar biasa. Dua di antara penentangannya yang penting tercermin dari dua khutbah yang disampaikannya; satu di masjid dihadapan semua orang, satunya lagi di rumah di hadapan kehadiran orang-orang yang datang menjenguknya tatkala sakit. Ia memohon kepada suaminya, Sayyidina Ali, agar menguburkannya diam-diam sehingga orang-orang zalim tidak mengetahui kuburnya dan, dengan begitu, terhindar dari hipokritas (kemunafikan) yang dipertontonkan orang-orang tersebut setelah kematiannya. Ini juga merupakan suatu bentuk yang kompleks dari penentangan Fatimah as terhadap kezaliman orang-orang tersebut.
Semua yang disebutkan di atas secara konsisten dilaksanakan karena Fatimah hendak meraih status tinggi dari keridhaan Allah serta dileburkan dalam eksistensi-Nya yang abadi, tangga tertinggi dari kesempurnaan manusia. Kaum perempuan yang hidup semasa dengan Fatimah mengatakan bahwa Fatimah memiliki seluruh karakteristik kemanusiaan yang transenden.

”Aku tidak pernah melihat seorang perempuan yang lebih peduli daripada Zahra.
”Rasulullah SAW memberikan padaku putrinya. Maka, kudidik sang putri itu tetapi ia ternyata lebih terdidik dibandingkan aku.” Istri Nabi SAW, Aisyah berkata, ”Aku tidak pernah melihat seorang perempuan pun yang lebih mukmin daripada Fatimah.” Aku tidak pernah melihat siapa pun yang lebih utama dibanding Fatimah kecuali ayahnya.”.

Haruslah diperhatikan bahwa kualitas-kualitas yang disebutkan dari sumber-sumber yang berbeda, sebagai bukti bagi status spiritual Fatimah dan karakter teladannya, merupakan tanga-tanda umum kesempurnaan bagi segenap manusia, di mana masalah gender sama sekali tidak berperan apapun dalam konteks ini.

Kesimpulan:
Sudah menjadi Fitrah Manusia untuk mencontoh sosok yang ideal. Dalam Islam, sosok yang ideal mewujud pada pribadi-pribadi tertentu, yang memiliki nilai-nilai spiritual termulia.

Melalui sebuah telaah terhadap karakter-karakter dalam Al-Quran dan teks-teks Islam, menjadi jelas bahwa kesempurnaan spiritual terbuka bagi siapapun, baik pria maupun perempuan. Kami menyajikan beragam contoh mengenai perempuan-perempuan yang telah meraih kedekatan dengan Tuhan dan menjadi teladan bagi pria dan perempuan di seluruh penjuru dunia. Dalam pribadi-pribadi yang disebut sebagai ”empat perempuan sempurna” kesalehan-kesalehan abadi telah dipaparkan, seperti kesabaran, kesucian, dan keberanian. Sebagai perempuan, mereka juga menampilkan diri di hadapan kaum perempuan Muslim, pelbagai model peran yang ideal dalam tugas-tugasnya sebagai istri dan ibu. Pada diri Maryam as, kita menyaksikan pengaruh langsung kesuciannya dalam membesarkan dan mendidik puranya, Nabi Isa as.

Pada Khadijah, kita melihat signifikansi persahabatan seorang istri pada suaminya dalam mendukung sang suami dalam kehidupan yang berorientasi Ilahiah. Pada karakter Aisyah as, kita mengamati suatu personifikasi keberanian dan pengabdian pada Tuhan dalam penentangannya terhadap tirani dan kezaliman suaminya. Semua kebaikan dan kesalehan tersebut bersatu padu dalam semangat tanpa akhir pada diri Fatimah az-Zahra as. Ia benar-benar merupakan perempuan paling inspiratif dalam penciptaan dan cahayanya bersinar layaknya obor yang menerangi umat manusia.

Seorang perempuan Muslim selamanya diberkati dengan keberadaan para teladan tersebut, yang menampilkan baginya suatu bimbingan dan inspirasi yang diperlukan untuk meraih kesempurnaan dan tetap mulia di antara perempuan-perempuan lain di masanya.


Dalam pandangan Islam, kedudukan pria dan wanita sesungguhnya tidak ada perbedaan secara subtansial. Perbedaan di antara keduanya – kalau pun ada – hanya seputar aspek lahiriah, peran serta fungsinya saja. Karena pada hakikatnya ‘manusia’ bukan pria dan bukan pula wanita. Makna kata ‘manusia’ dalam Al-Quran tidak terbatas pada jenis dan golongan manusia tertentu, namun ia mencakup  seluruh jenis manusia, baik pria maupun wanita, semuanya sama.

Itulah sebabnya Allah SWT lewat firman suci-Nya di dalam Al-Quran Surah Al-Hujurat ayat 13, telah menyampaikan secara tegas dan gamblang bahwa perbedaan kedudukan di antara manusia itu, hanyalah karena takwanya. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” Pertanyaan kemudian, bagaimana dengan realitas di sekitar kehidupan kita? Adakah idealitas Al-Quran tersebut telah terwujud?

Dalam kenyataannya, memang kita melihat bahwa ajaran Islam tersebut tidak sepenuhnya dijalankan manusia, bahkan terkadang oleh umat Islam sendiri. Mungkin kita sering mendengar getirnya kehidupan para TKW kita yang mempertaruhkan nasibnya kepada para tuan-tuan di negeri-negeri yang umumnya muslim. Padahal di zaman awal Islam, Rasulullah telah memberikan contoh pengajaran dalam memuliakan wanita, tatkala masyarakat jahiliah Arab menempatkan wanita sebagai makhluk yang tidak berguna dengan cara mengubur mereka hidup-hidup.

Agaknya sabda Rasulullah SAW perlu kita renungkan ketika mengatakan : “Tidak akan pernah memuliakan perempuan kecuali laki-laki yang mulia, dan tidak akan pernah merendahkan perempuan kecuali laki-laki yang rendah juga.” Dengan begitu akan terkuaklah bagaimana sesungguhnya wajah masyarakat kita. Apakah sudah di era pencerahan atau masih berada di masa jahiliah.

Menjaga kehormatan dan harga diri manusia khususnya kehormatan wanita adalah suatu asas yang telah diterima dalam agama Islam serta dalam seluruh aturan-aturan dan hukum-hukumnya. Dan masalah hijab adalah merupakan salah satu dari perkara tersebut. Al-Quran Karim telah menjelaskan berbagai topik hijab dalam berbagai bentuk, gambaran, dan ibarat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, hijab dipandang sebagai suatu kewajiban dalam agama islam dan apabila seseorang mengingkarinya maka dia telah mengingkari satu hukum yang telah diwajibkan dalam agama dan mengingkari kewajiban agama berarti terjerumus di dalam kekafiran. Perlu diketahui bahwa tidak perlu semua aturan-aturan Islam itu dibahas dalam Al-Quran, karena Al-Quran Al-Karim adalah sebuah aturan pokok yang hanya memberikan pembahasan secara global dan masalah-masalah detailnya diserahkan kepada mufassir Al-Quran, yakni Rasulullah SAW  dan para awliya  di mana mereka mengambil sumber dari wahyu Tuhan, di sisi lain juga kebanyakan hukum-hukum tidak dibahas secara detail dalam Al-Quran, akan tetapi dibahas dengan terang dan jelas di dalam fiqih islam.

Adapun masalah hijab terdapat beberapa ayat yang dijelaskan dengan detail di dalam Al-Quran, oleh karena itu sebagian orang yang tidak memiliki informasi tentang hijab, mereka menciptakan suatu keraguan dan kesangsian di dalam pikiran wanita sehingga menanyakan “Memangnya hijab juga terdapat dalam Al-Quran?” pertanyaan ini  sampai kapanpun tidak akan pernah tepat, sebab Al-Quran dengan jelas telah membahas topik tentang hijab dan setiap orang yang mengakui dirinya muslim, maka dia tidak boleh mengingkari masalah hijab dalam islam.

Sekarang kita tunjukkan sebagian dari ayat-ayat suci Al-Quran mengenai hijab berikut ini: (Qullilmu’minaati yaghdhudhna min abshaarihinna wa yahpadzna puruujahunna walaa yubdiina ziinatahunna illaa maa dzhara minhaa walyadhribna bikhumurihinna ‘alaa juyuubihinna walaa yubdiina ziinatahunna illaa libu’uulatihinna …) Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka dan ….(QS. An-Nur : 31).

Ayat di atas adalah ayat pertama yang menjelaskan tentang pandangan yang membangkitkan syahwat, dan lelaki serta perempuan dianjurkan untuk menahan pandangannya, sebab pandangan yang tercemari oleh syahwat pada lawan jenis merupakan langkah untuk melakukan dosa dan kerusakan karena itu akar dosa ini harus disingkirkan. Dan telah di jelaskan pula dengan transparan bahwa  memandang aurat orang lain (lelaki, perempuan, muhrim dan non muhrim) adalah dilarang. Topik lain yang perlu diperhatikan pada ayat ini adalah kewajiban menutup leher, dada dan seputar anggota badan wanita yang kebanyakan di jadikan pusat perhatian oleh lawan jenis, demikian juga dalam ayat ini menunjukkan bahwa adanya larangan berhias dan berdandan untuk yang non muhrim, kecuali apa yang telah nampak darinya, dan sambungan dari ayat sebelumnya, dengan jelas telah melarang secara mutlak untuk tidak menunjukkan dan mempertontonkan keindahan diri kepada yang non muhrim, dan kalimat itu adalah; walaa yadhribna biarjulihinna …; yaitu Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan (seperti khalkhal yang di pakai oleh wanita-wanita arab); bahkan badan sampai pergelangan tangan dan juga kaki harus ditutup. Disamping itu ayat ini telah menjelaskan tentang falsafah hijab dan kehormatan menahan pandangan yang di antaranya adalah menghindari terjadinya kesalahan dan kerusakan.

Ayat ke dua yang membahas tentang kewajiban menutup tubuh adalah ayat 59 surah Al-Ahzab yang berbunyi: ”Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin,”Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak di ganggu.”
Dalam kitab Lisânul Arabi di katakan: Jilbab, yaitu lebih besar dari kerudung dan lebih kecil dari jubah, yang dengan wasilah ini wanita menutupi kepala dan dadanya. Oleh karena itu kata “Jilbâb” dalam surah Al-Ahzab di atas dan kata “Khumur” dalam surah An-Nur dengan jelas menekankan mengenai kewajiban menutup tubuh bagi wanita terhadap non mahramnya. Biasanya “Khumur” menunjukkan pada kewajiban menutup kepala dan dada serta leher dengan sesuatu yang menyerupai kerudung, akan tetapi “Julbaab” adalah sebuah pakaian yang lebih panjang dari kerudung di mana seluruh tubuh tertutupi olehnya; yaitu sesuatu yang menyerupai jubah dan biasanya dipakai oleh wanita-wanita arab.

Hijab adalah wajib bagi semua wanita, dan wanita-wanita yang bertalian dan bersangkutan  dengan kepemimpinan umat harus lebih berhati-hati, sebab mereka akan menjadi tokoh atau panutan terhadap wanita-wanita lain. Dengan demikian baik dalam berbicara, berhadapan dan bertemu dengan masyarakat serta aktivitas lainnya, menjaga hijab sangatlah dianjurkan karena mereka dalam hal ini sangatlah peka dan sensitif. Dari sudut pandang yang lain, kali ini Al-Quran menjadikan istri-istri Nabi sebagai acuan, dan berkata: (Yaa nisaa’annabii lastunna kaahadin minannisaa’i inittaqaitunna falaa takhdha’na bil qauli fayathma’a aladzi fi qalbihi maradhun wa qulna qawlan ma’ruufan). “Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS.Al-Ahzab : 32).

Ayat di atas adalah menegaskan tentang bagaimana menghindari terjadinya dosa dan fitnah dan wanita-wanita diharuskan memiliki batas di dalam berbicara dengan yang non  muhrimnya, sebagaimana di dalamnya tidak terlihat berbagai bentuk godaan dan rangsangan sehingga dapat menimbulkan fitnah. Demikan juga mengenai istri-istri Nabi saw dikatakan: (Wa qarna buyuutikunna walaa tabarrajna tabarruja aljahiliyyati al uula). Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu. (QS.Al-Ahzab : 33) Dan juga ayat 53 dalam surah yang sama diketahui sebagai pelengkap tentang kebagaimanaan wanita-wanita menjaga hijabnya dalam bersosialisasi dan mengatakan:( Wa idzaa saaltumuhunna mataa’aan fas aluhunnna min waraai hijaabin dzalikum athharu liquluubikum wa quluubihinna …. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. (QS. Al-Ahzab : 53).

Ketika kita mencermati muatan ayat tersebut di atas, maka sangatlah jelas bahwa hijab adalah menghindari dari terjadinya dosa dan fitnah, dan kesemuanya ini telah ditekankan pada hijab dan penutup tubuh wanita untuk kebersihan dan keselamatan masyarakat. Masih terdapat banyak poin-poin tentang hijab dari ayat yang lain dalam Al-Quran yang dikarenakan pembahasannya akan dialihkan ke topik yang lain maka kami tidak memberikan penjelasannya.

Hijab dalam Hadis-Hadis dan Budaya Ahli Bait.
Adapun Al-Quran yang merupakan Tsaql Akbar dan juga amanat besar ilahi, menjelaskan bahwa penutup atau hijab wanita adalah merupakan satu tugas dan tanggung jawab, dan juga di dalam hadis-hadis ahli bait yang dikenal sebagai  Tsaql Ashgar dan tafsir Quran menjelaskan tentang hijab. Efaf atau penutup bagi wanita secara detail yang sebahagian dari hadis tersebut dapat kita tunjukkan sebagai berikut: Imam Ali kw berkata dalam suratnya kepada anaknya Sayyidina Hasan; wakfuf  ‘alaihinna min absharihinna bihijaabika iyyahunna fainna syiddata alhijaabi abqaa ‘alaihinna … Wanita-wanita yang menutup wajahnya sehingga matanya tidak tertuju pada yang non muhrim (dan mata non muhrim tidak tertuju kepadanya) di sebabkan wanita-wanita yang ketat dalam berhijab akan lebih terjaga dari segala gangguan, dan ketika mereka keluar rumah tidak lebih buruk dari orang-orang non muhrim dan membawa orang lain yang tidak dapat di percaya kedalam rumahnya.(Bihar al-Anwar, Jilid 100).

Imam Ali dalam perkataan nuraninya, di samping beliau menegaskan tentang hijab, juga menjelaskan dengan aspek khusus filsafat dan penyebab dari hijab tersebut yang juga melingkupi kekekalan, daya tahan dan pemeliharaan wanita dalam sorotan hijabnya dan juga mengisyaratkan topik dan tema  penting yang lain yaitu tidak memasukkan orang-orang yang tidak dapat dipercaya ke dalam rumah, dan juga tidak seharusnya teman-teman dan keluarga yang non muhrim banyak lalu lalang atau bolak balik di dalam rumah, demikian pula wanita terlarang baginya untuk lalu lalang di tengah  masyarakat tanpa memakai hijab.
Dalam hadis-hadis mengenai akhir zaman telah di ingatkan, di antaranya tentang wanita-wanita yang berbuat dosa dan fitnah dan telah menjadi cercaan adalah mereka yang hadir di tengah-tengah lelaki untuk menjual diri dan tanpa memakai hijab.

Rasulullah SAW megabarkan bahwa azab bagi wanita-wanita yang berhijab buruk adalah demikian: Shinfaani min ummatii min ahlinnaari lam arahumaa … wa nisaa’an kaasiyaatun ‘aariyaatun…; Pada malam mikraj Saya menyaksikan dua kelompok dari penghuni neraka yang sebelumnya saya tidak pernah melihat serupa ini, dalam siksaan saya melihat, sejumlah wanita-wanita yang memakai pakaian-pakaian tipis dan menampakkan tubuh (setengah telanjang) dengan wajah-wajah yang tidak tertutupi, mereka ini tidak akan memasuki surga dan tidak akan sampai kepadanya bau surga padahal bau wangi surga tersebut dapat tercium keharumannya dalam jarak yang sangat jauh dan panjang.(Atsaar as-Shadiqiin, Jilid 3).

Azab Bagi Yang Berhijab Buruk.        
Imam Ali kw berkata: Saya menemui Rasulullah SAW, dan saya melihat beliau dalam keadaan menangis, saya menanyakan penyebab beliau menangis. Rasulullah SAW berkata: Dalam malam mikraj, saya melihat sejumlah wanita-wanita dari umat saya  sedang dalam azab yang sangat dahsyat. Salah satu dari mereka seorang wanita yang rambut kepalanya digantung dan dia adalah wanita yang tidak menutup rambutnya di depan non muhrim, demikian pula saya melihat seorang wanita yang memakan daging dirinya sendiri dan dia adalah wanita yang berhias dan mempercantik dirinya untuk orang lain. (Wasail, Jilid 14).

Wanita-Wanita di Akhir Zaman.
Sangat disayangkan bahwa salah satu dari tanda-tanda akhir zaman yang telah banyak di jelaskan dalam hadis-hadis adalah perihal keadaan menyedihkan wanita-wanita berhijab buruk pada zaman itu. Wanita-wanita dalam zaman itu, hadir di tengah-tengah masyarakat dalam suatu bentuk yang buruk, memolekkan dan mempercantik dirinya bukan untuk suaminya, dan memakai pakaian-pakaian yang setengah telanjang dan menampakkan tubuhnya.
.
Rasulullah SAW berkata: Halaaku nisaai ummatii filahmaraini adzdszahabu watstsayaaburriqaaqi. Terdapat dua penyebab yang menghancurkan umat saya, yang pertama adalah emas (perhiasan-perhiasan) dan yang ke dua adalah pakaian-pakaian tipis dan menampakkan tubuh. (Arsyaadu al-Quluub, Jilid 1).

Berdasarkan inilah membuat wanita-wanita berhijab buruk dan bahkan lebih buruk lagi dari mereka yang tidak berhijab, hal ini mengisyaratkan tentang kebenaran-kebenaran dari kerusakan dan kebinasaan yang merupakan tanda-tanda akhir zaman dan juga kita lihat bahwa ketidakmaluan para wanita yang mempermainkan seorang lelaki, hal inilah yang menjadi sumber kekhawatiran Rasul Akram SAW dan sangat disayangkan bahwa sebagian dari wanita-wanita muslim yang terjun dan aktif ke dalam masyarakat, mereka selangkah lebih maju dari wanita-wanita barat dengan wajah yang dihias kental dan tebal serta berpakaian ringan dan sembrono, padahal mereka ini lebih merusak dan membinasakan dari pada wanita-wanita barat yang non hijab, dan hal ini adalah masalah yang sangat besar. Seorang wanita yang menyatakan dirinya muslim seharusnya dia tidak menodai dan menyakiti hati Rasulullah SAW dan jantung Imam ‘Ashr. Apakah memang tidak boleh seorang wanita muslim meneladani dan menokohkan Sayyidah Zahra dan Sayyidah Zaenab? Apakah dahulu beliau-beliau ini hijab dan pakainnya adalah demikian? Sayyidah Zaenab kubra dalam majelis Yazid di samping beliau menyatakan protesnya terhadap Yazid, beliau juga mengisyaratkan masalah hijab dan beliau berkata pada Yazid: Bagaimana prinsip kamu terhadap tirai kesucian sehingga kamu dapat terjaga dan terpelihara dari para non muhrim dan bagaimana pula  prinsip kamu mengarak para keluarga Rasulullah SAW dari kota ke kota sehingga setiap non muhrim menengok ke arah wajah-wajah mereka?

Aminal’adli yabnaththulaqaa’a takhdiruka haraairaka wa imaaaka wa sawquka banaati rasulillahi saw sabaayaa qad hatakta sutuurahunna wa abdaita wujuuhahunna, Wahai Yazid! Apakah ini berarti adil bahwa para wanita dan para kanizmu kamu tunjukkan dibalik tirai sementara putri-putri Rasulullah SAW kamu arak ke berbagai kota dan kamu jadikan mereka tawanan dan tirai hijab mereka kamu koyak, melepaskan cadar-cadar mereka dari wajahnya?!(Hayaatu al-Imam Husain, Khotbah Hadhrat Zaenab di Syam).

Penegasan Rasulullah SAW Tentang Hijab.
Rasulullah SAW selain menyarankan secara tegas terhadap pentingnya menghindari berhijab buruk, beliau juga memperhatikan dalam tingkatan  amal, Ummu Salamah salah satu dari istri-istri Rasulullah SAW mengatakan: Saya dan Maemunah istri yang lain dari Rasulullah SAW setelah sampai kepada kami tentang perintah berhijab, kami menemui Rasulullah SAW yang ketika itu pula anak dari Ummu Maktum (yang matanya buta) memasuki ruangan kami, Rasulullah SAW berkata: Ihtajibaa; tutuplah diri-diri kalian. Saya mengatakan: Wahai Rasulullah! Dia adalah buta (dia tidak akan melihat kami). Beliau berkata: Afa’umyaa wa in antuma? Apakah kalian juga buta (dan kalian tidak melihat dia)? Jadi telah jelas bahwa menjaga hijab dan tidak melihat, tidak terbatas dan terkhusus pada lelaki saja bahkan wanita juga harus menjaga mata dan tubuhnya di hadapan lelaki. (Diterjemahkan oleh Ummu Jausyan….
Wallahu a’lam bisshawab.

Tanya Jawab: Benda-benda najis


SOAL 266:
Apakah darah itu suci?
JAWAB:
Hewan yang mempunyai darah yang mengalir ketika disembelih (nafsun sailah), darahnya najis.

SOAL 267:
Darah yang mengalir dari kepala pada upacara peringatan kesyahidan Al-Husain (as) akibat membenturkan kepala dengan keras pada dinding lalu berhamburan dan mengenai kepala orang-orang yang menghadiri upacara, najis ataukah tidak?
JAWAB:
Darah manusia dalam semua keadaan najis.

SOAL 268:
Apakah warna tipis bekas darah yang masih ada di pakaian setelah dibasuh najis?
JAWAB:
Jika darahnya telah lenyap, dan yang tersisa hanyalah warnanya saja dan tidak dapat lenyap dengan dibasuh, maka ia suci.

SOAL 269:
Apa hukum titik darah dalam telur?
JAWAB:
Dihukumi suci, namun haram dimakan.

SOAL 270:
Apa hukum keringat orang yang junub karena perbuatan haram dan keringat hewan pemakan kotoran?
JAWAB:
Keringat onta pemakan kotoran najis. Sedangkan keringat hewan pemakan kotoran selain onta, demikian pula keringat orang yang junub karena perbuatan haram, berdasarkan aqwa, suci hukumnya. Namun berdasarkan ahwath, wajib meninggalkan shalat dengan keringat janabah karena perbuatan haram.

SOAL 271:
Apakah tetesan-tetesan yang jatuh dari jasad mayat sebelum dimandikan dengan air murni dan setelah dimandikan dengan sidr (bidara) dan kapur suci ataukah tidak?
JAWAB:
Jika jasad mayat belum dimandikan hingga tuntas dengan mandi yang ketiga, maka ia tetap dihukumi sebagai najis.

SOAL 272:
Apakah kulit kedua tangan, bibir atau kedua kaki yang terkadang terlepas dihukumi suci ataukah najis?
JAWAB:
Kulit kedua tangan, bibir, kedua kaki atau bagian tubuh lainnya yang terlepas sendiri, dihukumi suci.

SOAL 273:
Seorang di medan tempur menghadapi situasi yang memaksanya untuk membunuh dan memakan babi. Apakah basah tubuhnya dan ludahnya dihukumi najis?
JAWAB:
Keringat tubuh dan ludah seseorang yang memakan daging haram dan najis tidaklah najis. Ia tidak diwajibkan melakukan istibra’ (membersihkan diri) Tetapi segala sesuatu yang menyentuh daging babi dalam keadaan basah dihukumi najis.

SOAL 274:
Mengingat penggunaan kuas dalam melukis dan pembuatan sketsa, padahal jenis kuas yang berkualitas baik dan digemari, yang kebanyakannya terbuat dari rambut babi, adalah yang didatangkan dari negara-negara non-Islam dan bisa didapat oleh semua orang, terutama di pusat-pusat informasi dan kebudayaan, maka apa hukum syar’iy menggunakan kuas-kuas tersebut? Lalu, apa hukum menulis ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis mulia dengannya?
JAWAB:
Rambut babi hukumnya najis, dan tidak boleh dipergunakan untuk melakukan hal-hal yang mensyaratkan kesucian (thaharah) secara syar’iy. Adapun penggunaannya dalam hal-hal yang tidak mensyaratkan kesucian, maka tidak dipermasalahkan (la isykal). Bahkan menggunakan kuas, jika tidak diketahui apakah terbuat dari rambut babi ataukah tidak, dalam hal-hal yang mensyaratkan kesucian pun , tidaklah dipermasalahkan (la isykal).

SOAL 275:
Apakah halal mengkonsumsi daging yang diimport dari negara non muslim? Apa hukumnya dari sisi suci atau najisnya?
JAWAB:
Sampai kita tidak yakin akan cara penyembelihannya maka dihukumi haram mengkonsumsinya, namun dari sisi kesucian jika tidak yakin, bahwa ia tidak disembelih (secara salah), maka dihukumi suci.

SOAL 276:
Kami mohon YM menerangkan berkenaan dengan bahan-bahan kulit dan anggota tubuh binatang lainnya yang diimport dari negara non muslim!
JAWAB:
Jika Anda memiliki dugaan, bahwa binatang tersebut disembelih dengan cara islamiy, maka suci, dan jika Anda yakin bahwa ia tidak disembelih dengan cara islamiy, maka dihukumi najis.

SOAL 277:
Jika pakaian orang junub menjadi najis karena mani, apakah hukumnya jika tangan menyentuhnya ketika salah satu dari keduanya basah, dan bolehkah orang yang junub menyerahkan pakaiannya kepada orang lain untuk disucikan, dan apakah orang yang mengalami ihtilam (mimpi basah) harus memberitahu orang yang secara sukarela mencuci pakaian tersebut tentang kenajisannya?
JAWAB:
Mani najis hukumnya dan bila mengenai suatu benda dengan tingkat kebasahan yang dapat berpindah, maka menyebabkan kenajisannya. Dan tidak diharuskan memberitahukan kenajisan pakaian kepada yang mencucinya.

SOAL 278:
Setiap kali usai kencing saya melakukan istibra’, namun setelah itu keluar cairan yang beraromakan air mani. Saya mohon Anda berkenan menerangkan hukumnya berkenaan dengan shalat saya?
JAWAB:
Jika Anda belum meyakini bahwa itu mani dan ia tidak disertai dengan tanda-tanda syar’iy keluarnya mani, maka ia suci dan tidak diperlakukan secara hukum sebagai mani.

SOAL 279:
Apakah kotoran burung yang haram dimakan dagingnya, seperti burung gagak, elang dan kakak tua najis?
JAWAB:
Binatang yang halal dimakan dagingnya baik burung atau bukan kotorannya suci. Begitu juga kotoran burung yang haram dimakan dagingnya. .

SOAL 280:
Dalam beberapa risalah amaliyah disebutkan bahwa kotoran binatang dan burung yang dagingnya haram dimakan najis hukumnya. Apakah kotoran binatang yang boleh dimakan, seperti sapi, kambing, dan ayam najis ataukah tidak?
JAWAB:
Kotoran binatang yang halal dimakan suci hukumnya.

SOAL 281:
Jika terdapat benda najis di sudut-sudut kloset dalam wc atau di dalam kloset yang telah dibasuh tempatnya dengan air kur atau dengan air sedikit dan masih tersisa benda najis di dalamnya, apakah tempat yang kosong dari benda najis namun terkena air basuhan tersebut najis ataukah suci?
JAWAB:
Tempat yang tidak terkena oleh air yang najis yang bersambung dengan benda najis ditetapkan secara hukum sebagai suci.

SOAL 282:
Jika seorang tamu menajiskan salah satu benda tuan rumahnya, apakah wajib memberi tahu tuan rumah tentang najis itu?
JAWAB:
Tidak diharuskan memberitahukan hal itu pada selain makanan, minuman dan wadah-wadah makanan.

SOAL 283:
Apakah sesuatu yang bersentuhan dengan mutanajjis (benda yang terkena najis) dihukumi mutanajjis ataukah tidak? Jika dihukumi mutanajjis, apakah hal ini berlaku dalam semua perantara ataukah hanya pada perantara-perantara yang dekat saja?
JAWAB:
Yang bersentuhan dengan najis dihukumi najis karena bersentuhan. Begitu pula yang bersentuhan dengannya. Berdasarkan ahwath, yang bersentuhan dengan benda yang bersentuhan yang kedua juga najis. Adapun yang bersentuhan dengan benda yang bersentuhan yang ke tiga maka tidak dihukumi najis.

SOAL 284:
Bila mengenakan sepatu yang terbuat dari kulit hewan yang tidak disembelih, apakah selalu wajib membasuh kedua kaki sebelum berwudhu? Sebagian orang mengatakan, bahwa bila kaki berkeringat dalam sepatu wajib melakukan hal ini (mencuci kedua kaki). Saya memperhatikan bahwa kaki berkeringat dalam kadar yang berbeda-beda antara sedikit dan banyak dalam berbagai jenis sepatu. Apa pendapat Anda mengenai masalah ini?
JAWAB:
Jika dipastikan bahwa kaki berkeringat dalam sepatu tersebut, maka wajib mensucikan kedua kaki untuk melakukan shalat.

SOAL 285:
Apa hukum tangan anak yang basah, air liur dan sisa minumannya jika ia selalu menajiskan dirinya? Apa hukum anak yang meletakkan tangannya yang basah pada kakinya?
JAWAB:
Selama belum diperoleh keyakinan bahwa ia terkena najis, maka dihukumi suci.

SOAL 286:
Saya mengalami sakit gusi. Menurut pendapat dokter, saya harus selalu memijat-mijat gusi saya. Tindakan ini meyebabkan beberapa bagian gusi menghitam seakan-akan ada darah yang menggumpal di dalamnya. Ketika saya letakan tisu, warnanya berubah merah. Karena itulah saya mensucikan mulut saya dengan air kur. Hanya saja darah yang mengeras itu tetap ada dalam waktu yang cukup lama dan tidak hilang dengan dibasuh. Nah, setelah air kur tersebut terputus, apakah air yang masuk ke dalam mulut kemudian saya keluarkan dan melewati bagian darah yang menggumpal dibawah gusi itu dihukumi najis, ataukah ia termasuk ludah dan dihukumi suci?
JAWAB:
Dihukumi suci, meskipun, berdasarkan ahwath hendaknya dihindari.

SOAL 287:
Saya juga ingin bertanya, apakah makanan yang saya makan dan menyentuh bagian darah yang mengeras dalam gusi itu menjadi mutanajjis ataukah tidak? Jika dianggap mutanajjis, apakah ruang mulut tetap dianggap mutanajjis setelah menelan makanan?
JAWAB:
Makanan dalam contoh kasus yang ditanyakan diatas tidak dihukumi najis dan menelannya tidak dipermasalahkan (la isykal). Sedangkan ruang mulutnya suci.

SOAL 288:
Sejak beberapa waktu tersebar rumor bahwa bahan-bahan kosmetik najis. Dikatakan, bahwa mereka mengambil ari-ari janin bayi yang baru lahir dan menyimpannya dalam alat pendingin. Dikatakan juga bahwa mereka menyimpannya bersama janin yang telah mati untuk dibuat menjadi bahan-bahan kecantikan, seperti pemerah bibir. Bahan-bahan tersebut kadang kala kami gunakan, bahkan sebagian pemerah bibir dapat dimakan. Apakah ia najis?
JAWAB:
Rumor bukanlah hujjah (alasan) syar’iy atas kenajisan bahan-bahan kecantikan. Selama belum dipastikan kenajisannya dengan cara syar’iy yang mu’tabar (diakui), maka pemakaian bahan-bahan tersebut tidak dipermasalahkan (la isykal).

SOAL 289:
Dari setiap pakaian atau potongan kain berguguran rambut-rambut halus. Ketika mensucikan pakaian-pakaian kami menemukan rambut-rambut halus itu dalam timba. Jika timba tersebut penuh dengan air dan bersambung dengan air kran, maka air meluap ke samping setiap kami memasukkan pakaian ke dalamnya. Karena rambut-rambut halus itu ada dalam air yang keluar dari timba, saya berhati-berhati dengan menghindari air tersebut dan mensucikan semua tempat, atau ketika melepas pakaian bayi yang terkena najis, saya mensucikan tempat dimana saya melepaskan pakaian-pakaian itu, meskipun dalam keadaan kering, karena saya beranggapan bahwa rambut-rambut itu berjatuhan disana. Apakah berhati-hati dengan cara demikian perlu dilakukan?
JAWAB:
Air yang meluap ke samping-samping timba ketika bersambung dengan air kran, dan rambut-rambut halus yang terlepas dari pakaian dan mengapung di atas air, dalam kasus yang ditanyakan hukumnya suci. Apabila pakaian anak-anak yang terkena najis kering, maka tidak ada alasan bahwa tempat melepasnya menjadi najis karenanya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk berhati-hati dalam dua kasus yang disebutkan dalam pertanyaan.

SOAL 290:
Basah seukuran apakah yang menyebabkan perpindahan dari satu benda ke benda yang lain?
JAWAB:
Tolok ukur basah yang dapat berpindah adalah jika basah berpindah secara tampak jelas dari benda yang basah kepada benda lain ketika keduanya bersentuhan.

SOAL 291:
Apa hukum pakaian-pakaian yang diserahkan kepada penatu dari segi kesucian, mengingat sebagian penganut agama-agama kaum minoritas, seperti Yahudi, Nasrani dan lainnya juga mencucikan pakaiannya di tempat-tempat tersebut, dan bahwa para pemiliknya menggunakan bahan kimia dalam mencuci pakian?
JAWAB:
Jika pakaian yang yang diserahkan ke tempat-tempat pencucian dan pengeringan sebelumnya tidak najis maka dihukumi suci, dan bersentuhan dengan pakaian para penganut agama minoritas dari kalangan ahli kitab tidak menyebabkan kenajisan.

SOAL 292:
Apakah pakaian yang dicuci dengan mesin cuci di rumah yang bekerja seluruhnya secara otomatis suci ataukah tidak? Proses kerja alat tersebut sebagai berikut:
Tahap pertama ketika pakaian dicuci dengan bubuk deterjen, sebagian air dan busa deterjen cucian akan berhamburan mengenai kaca mesin cuci dan karet yang melingkarinya. Setelah itu, pada tahap kedua untuk menyedot air guna mencuci, busa deterjen akan menutupi pintu mesin secara penuh dan karet yang melingkarinya. Pada-tahap-tahap berikutnya, mesin ini mencuci pakaian sebanyak tiga kali dengan air sedikit, kemudian air cucian akan disedot keluar.
Kami mohon penjelasan apakah pakaian-pakaian yang telah dicuci dengan cara demikian suci ataukah tidak?
JAWAB:
Setelah benda najis (ainun- najasah) lenyap, jika air yang bersambung dengan kran sampai ke pakaian dan semua bagian dalam mesin kemudian terpisah darinya dan keluar, maka ia dihukumi suci.

SOAL 293:
Jika air dialirkan ke tanah atau kolam, atau kamar mandi yang digunakan untuk mencuci pakaian lalu percikannya mengenai pakaian, apakah ia menjadi mutanajjis ataukah tidak?
JAWAB:
Jika air dituang ke tempat yang suci atau tanah yang suci, maka percikan-percikannya juga suci. Dan jika kita ragu apakah tempat tersebut suci atau najis, percikannya pun dihukumi suci.

SOAL 294:
Apakah air yang mengalir di jalan-jalan yang berasal dari mobil-mobil pengangkut sampah Pemerintahan Daerah dan terkadang mengenai orang akibat angin kencang dihukumi suci ataukah najis?
JAWAB:
Ia dihukumi suci, kecuali apabila seseorang meyakini kenajisannya akibat bersentuhan dengan sesuatu yang najis.

SOAL 295:
Apakah air yang menggenang dalam lubang di jalan-jalan suci ataukah tidak?
JAWAB:
Air demikian dihukumi suci.

SOAL 296:
Apa hukum saling melakukan kunjungan keluarga bersama orang-orang yang tidak memperhatikan masalah-masalah kesucian dan kenajisan dalam makan dan minum dan sebagainya?.
JAWAB:
Secara umum berkenaan masalah kesucian dan najis di dalam hukum Islam, segala sesuatu yang tidak diyakini najis dalam pandangan syariat dihukumi suci. ?

SOAL 297:
Kami mohon Anda menjelaskan hukum syar’iy tentang suci atau najisnya muntah dalam beberapa masalah sebagai berikut:
A). Muntah bayi yang masih menyusu.
B). Muntah bayi yang masih menyusu dan mulai makan?
C). Muntah orang dewasa (balig) .
JAWAB:
Semua itu dihukumi suci.

SOAL 298:
Apa hukum sesuatu yang bersentuhan dengan benda yang diduga najis di antara beberapa subyek terbatas (asy-syubhah al-mahshurah)?
JAWAB:
Jika bersentuhan dengan sebagian dari subyek-subyeknya, maka hukum mutanajjis tidak berlaku atasnya.

SOAL 299:
Seseorang yang agamanya tidak diketahui, menjual makanan dan menyentuhnya dalam keadaan basah yang dapat berpindah. Apakah wajib menanyakan agamanya ataukah berlaku “asas kesucian (ashalatuth-thaharah)”, padahal kami tahu ia bukan penduduk negara Islam, namun hanyalah pekerja asing?
JAWAB:
Tidak wajib menayakan agamanya, dan “asas kesucian” berlaku atas orang tersebut dan benda-benda yang disentuh anggota tubuhnya secara langsung dalam keadaan basah.

SOAL 300:
Apa takilf orang yang rumahnya atau rumah kerabatnya ditinggali atau dikunjungi oleh seseorang yang tidak memperhatikan kesucian dan kenajisan sehingga rumah dan benda-benda di dalamnya menjadi najis sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibasuh atau disucikan? Dalam kondisi demikian bagaimana seseorang bisa tetap suci terutama dalam shalat yang disyaratkan suci agar sah? Apa hukum masalah ini?
JAWAB:
Tidak diharuskan mensucikan seluruh rumah. Cukup untuk sahnya shalat apabila pakaian dan tempat dahi dalam sujud suci. Rumah dan perabotnya yang najis tidak menimbulkan taklif lebih dari menjaga kesucian dalam shalat, makan dan minum.

Terkait Berita: