Pesan Rahbar

Home » , , , , » FALSAFAH MENANGIS ATAS IMAM HUSAIN

FALSAFAH MENANGIS ATAS IMAM HUSAIN

Written By Unknown on Thursday 21 August 2014 | 11:34:00


Oleh: Syeikh Fadhil Maliki

PERDEBATAN SEPUTAR TANGISAN ATAS IMAM HUSAIN.
Semoga Allah SWT mencurahkan salam kepadamu wahai junjunganku dan pemimpinku, Abu Abdillah. Salam kepadamu wahai pemimpinku dan putra pemimpinku, wahai putra Rasulullah saw. Sungguh beruntung orang yang berpegang teguh dengan talimu dan sungguh aman orang yang berlindung di bentengmu. Wahai Tuhan kami, kami benar-benar bersama mereka (ahlul bait) sehingga kami memperoleh kemenangan yang besar.


Allah SWT berfirman: “Dan Ya`qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf,’ dan kedua matanya menjadi putih (buta) karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya) . Mereka berkata: “Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf, sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang yang binasa.” Ya`qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 84-86).

Banyak perdebatan seputar masalah menangis atas Imam Husain as. Tangisan ini dianggap sebagai bentuk jaza` (keluh kesah yang tidak berguna). Kami pikir inilah (bulan Muharram) saat yang tepat untuk membahas tema ini. Banyak kesalahan, syubhat, dan kemusykilan yang dikemukakan berkenaan dengan persoalan ini. Agar kita menjadi mengerti terhadap syiar-syiar tentang Imam Husain yang biasa kita lakukan maka sudah semestinya kita membahas topik ini secara obyektif, argumentatif, logis sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an, hadis dan akal. Kami akan mengambil manfaat dari nas-nas yang dijadikan acuan dan pijakan oleh Ahli Sunah dan Syi`ah. Sebab, kami meyakini bahwa problema Imam Husain bukan hanya problema yang menjadi “milik” Syi`ah namun ia sesungguhnya problema Islam. 

Namun seperti biasa peringatan tragedi Imam Husain lebih banyak diadakan oleh masyarakat Syi`ah ketimbang lainnya. Seharusnya seluruh kaum Muslim terlibat dalam peringatan syahadah Imam Husain. Kami melihat bahwa kaum Muslim yang berpikir obyektif (fair), bahkan mereka yang tidak menggunakan syiar-syiar tertentu, namun di hati mereka yang paling dalam terpancar loyalitas dan kesetiaan kepada sayyidus syuhada (penghulu para syahid). Seorang Muslim yang beriman kepada Allah SWT; setiap Muslim yang berpikir adil (tidak memihak), meskipun bukan orang Syi`ah pasti menghormati dan “menyucikan” sikap Husain as dan terpengaruh dengan tragedinya. 

Selanjutnya, kita dapat katakan bahwa tragedi Imam Husain melampaui batas Islam dan menjamah ruang lingkup kemanusiaan secara umum. Berapa banyak orang non-Muslim yang terpengaruh dengan kisah Imam Husain, mengucapkan pujian padanya, bahkan menulis buku tentangnya, padahal tidak ada ikatan apa-apa antara mereka dengan Imam Husain. Namun pengaruh tidak akan menghasilkan sesuatu yang diharapkan kecuali dengan adanya interaksi pada masalah yang berkaitan dengannya. Jadi, yang memperoleh manfaat adalah sesuatu yang dipuji, bukan orang yang memuji. 

Adapun keadaan yang dipuji maka cukuplah anugerah (minhah) yang Allah berikan kepada ahlul bait dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan nista dari kamu ahlul bait dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.” (QS. Al-Ahzab: 33) Dan cukuplah sabda Nabi saw: “Husain dariku dan aku dari Husain.” Dan cukuplah kedudukan Imam Husain sebagai penghulu pemuda surga (sayyidus syababi ahlil jannah).

MAKNA DI BALIK TERUS MENERUS MENANGIS.
Adapun mayit yang ditangisi selama bertahun-tahun, sepanjang generasi sampai hari kiamat maka di sinilah letak rahasia kehebatan dan keutamaan tangisan tersebut. Semua agama dan keyakinan sampai sekarang pun menangisi orang yang meninggal sebagaimana kita menangisi Imam Husain. Sepanjang masa kita memperingati syahadah Imam Husain dan menangis karenanya. Tentu dalam peringatan tersebut kita menunjukkan makna dan penghayatan yang dalam. Terkadang ada orang yang “puas” dengan membaca syair atau kasidah saat peringatan itu. Yang lain lagi merasa puas hanya dengan mengucapkan sekata dua kata. Sebagian umat memperingati para pahlawan dan para pejuangnya, misalnya, dengan mengadakan acara pesta dan kegembiraan. Sedangkan mengadakan peringatan terhadap orang yang meninggal dengan tangisan dengan cara seperti ini dan terjadi sepanjang masa maka ini tampak begitu menonjol saat kita mengenang peristiwa Karbala.

Nah, dari sini terlontar pertanyaan penting: mengapa kita terus menangis atas Husain? Bukankah seharusnya mayit ditangisi untuk beberapa saat lalu tangisan ini pun berakhir? Mengapa kita terus menangisi Imam Husain? Bukankah menangis atas mayit merupakan bentuk jaza` (keluh kesah)? Misalnya, seseorang yang ditinggal mati oleh ayahnya lalu ia menangis setiap kali ia mengingatnya. Bukankah kita menemukan–pada setiap tahun–majelis- majelis belasungkawa (majalis `aza’) di mana di dalamnya hadirin menangis tersedu-sedu untuk Imam Husain, terutama di hari pertama dari bulan Muharram sampai hari kesepuluh. Maka, keadaan seperti ini pasti mengundang pertanyaan. Seseorang yang menangisi ayahnya sepanjang hidupnya sampai ia mati maka banyak orang yang akan merasa heran dengannya. Pertanyaan yang muncul ialah: apa falsafah tangisan atas Husain? Kami kira, jika kita mengetahui falsafah menangis maka kita akan mengetahui falsafah terus menerusnya tangisan ini. Yakni, ini adalah jawaban atas pertanyaan pertama tentang falsafah menangis. Bila kita mengetahui mengapa kita menangis atas Imam Husain maka kita mengerti mengapa kita melanjutkan tangisan ini. Jawaban pertanyaan kedua terlihat pada jawaban pertanyaan pertama.

MENANGIS DAN BENTUK KELUH KESAH (JAZA`).
Ada beberapa fenomena yang kita anggap sebagai bentuk dari jaza`. Jaza` memiliki dua bentuk: pertama, jaza` berarti keluarnya manusia yang tertimpa musibah dari kemampuan alaminya dalam mengekspresikan derita atau musibah. Kedua, jaza` bermakna mengerjakan sesuatu yang haram saat memuji orang yang meninggal. Misalnya, seseorang yang menentang hukum (keputusan) Allah SWT karena saking beratnya derita yang dialaminya. Contohnya dengan mengatakan, mengapa anak itu mati; mengapa tidak ditunda dua tahun lagi? Penentangan terhadap urusan Allah ini merupakan salah satu bentuk jaza`. Atau ia mengungkapkan penderitaan atas kepergian si mayit namun dengan cara-cara yang haram. Ini juga termasuk jaza`. Namun jaza` seperti apa? Ini adalah jaza` yang dilarang. Namun ada bentuk jaza` yang tidak dilarang, yaitu jaza` al-mafrudh (jaza` yang terjadi di luar ikhtiar manusia). Yakni ketika manusia tidak mampu mengendalikan kemampuan alaminya saat memuji orang yang mati. Misalnya, ada riwayat yang sampai pada kita tentang larangan memukul-mukul paha saat kita tertimpa musibah. Ini dianggap bentuk jaza`, namun jaza` yang bagaimana? Ini adalah jaza` al-mafrudh, yang tidak mencapai tingkat keharaman.

Dari sini kita bertanya: mengapa kita menangisi Imam Husain, bahkan kita memukul-mukul bagian tertentu dari tubuh kita? Bukankah dalam pandangan masyarakat umum (`urf) menangis dengan keras dan terus menerus menangis termasuk bentuk jaza`? Jadi, apa falsafah tangisan atas Imam Husain? Pertama, apa karakter dan tugas tangisan itu? Yakni, ketika saya menangis maka apa tugas dari tangisan itu? Tugas tangisan ialah: pertama, menghilangkan penderitaan dan kesedihan (at-tanfis `anil alam wal huzn). Kedua, interaksi dengan problema keagamaan (at-tafa`ul ma`a qadhiyyah risaliyyah). 

DUA DIMENSI DALAM TRAGEDI KARBALA.
Problema keagamaan ini tidak mungkin akan tertanam dalam jiwa dengan hanya sekadar memikirkannya (penggunaan nalar) namun ia harus menyentuh emosi (perasaan) dan harus mengguncangkan hati. Anda saksikan bahwa banyak peradaban atau banyak teori atau disertasi para tokoh besar yang jenius yang bertahan untuk beberapa masa saja setelah itu hilang dan lenyap. Namun sebagian darinya justru bertahan sepanjang masa dan abadi. Mengapa demikian? Terkadang pemikiran kehilangan aktualitas dan ikatan emosional, sehingga dalam situasi-situasi sulit kadang kala pemikiran terkalahkan. Lagi pula, pemikiran hanya dipahami oleh sebagian orang yang memang spesialis di bidang ini, sedangkan mayoritas manusia umumnya lebih mudah berinteraksi dengan ikatan emosional dari suatu problem. Bila problem menciptakan ikatan emosional maka ia akan memicu seseorang untuk membelanya, meskipun ia tidak memiliki argumentasi. Cukuplah ikatan emosional yang menjadi buktinya. Problema Imam Husain memiliki dua dimensi: dimensi rasional (janib fikri) dan dimensi emosional (janib `athifi). Tragedi yang dialami Imam Husain tidak hanya dipahami oleh pemikiran (rasio); pemikiran adalah hal yang utama dan penting. Namun dalam menghadapi tantangan-tantangan yang berat biasanya manusia yang memiliki rasio terkalahkan. Sedangkan mereka yang memiliki ikatan emosional dan kesetiaan hati kepada Imam Husain justru tegar dan perkasa dalam menghadapi tantangan yang berat. Berapa banyak kita saksikan manusia yang mempersembahkan kepalanya, tangannya dan apa saja yang berharga karena adanya ikatan rohani dan emosi serta kesatuan dengan problema Imam Husain. Kesatuan ini harus tetap terjaga.

PESAN DI BALIK TANGISAN FATIMAH.
Terkadang manusia menangis hanya karena sedih. Namun terkadang tidak. Ada yang menangis dengan tujuan mengabadikan suatu problema atau peristiwa. Misalnya, para sejarawan menceritakan bahwa Fatimah az-Zahra menangis atas Rasulullah saw, sehingga sebagian orang Madinah berkata kepada Sayidina Ali: Katakan kepadanya, apakah ia akan tetap menangis siang dan malam. Kami merasa tidak nyaman karena saking seringnya mendengar tangisan Fatimah. Lalu Fatimah menangis sepanjang malam di rumahnya, sedangkan di waktu siang ia berteduh di pohon arak dan menangis di tempat ini. Kemudian orang-orang datang ke tempat tersebut dan memotong pohon itu. Maka Imam Ali as. membangun rumah kesedihan (baitul ahzan) di atasnya. Demikianlah Fatimah melewati hari-harinya dengan penuh kesedihan. Beliau menangis di pohon tersebut di waktu siang dengan ditemani Hasan dan Husain. 

Dan menjelang Maghrib, Ali mengantar mereka pulang ke rumahnya; dan Fatimah melanjutkan tangisannya di sini di waktu malam. Tentu di antara kita ada yang bertanya: mengapa Fatimah menangis sampai batas seperti ini? Meskipun yang ditangisinya adalah Rasul saw yang agung dan kematiannya adalah musibah yang besar pula, tapi apakah Fatimah tidak cukup bersabar dan apakah ia tidak mampu menahan diri? 
Jika kita memahami tangisan hanya sebatas ungkapan kesedihan maka tentu kita akan bertanya-tanya seperti itu. 

Namun pertanyaan itu tidak akan menggelinding bila kita memahami bahwa di balik tangisan tersebut menyimpan pesan tertentu: pesan pengingkaran (risalah istinkar), pesan kecaman (risalah tandid), dan pesan kutukan (risalah idanah) yang ditujukan kepada siapapun yang berkepentingan. Yakni, tangisan ini ingin menunjukkan bahwa di sana ada kezaliman. Atau dengan kata lain, tangisan ini merupakan suara lantang yang ingin mengatakan bahwa di sana terdapat kezaliman yang dialami keluarga Muhammad saw (ahlul bait) sepeninggal Muhammad. Dengan kalimat yang lebih jelas lagi, bahwa tangisan tersebut di samping membawa karakter syariat (thabi` syar`i), ia pun membawa pesan politik (thabi` siyasi). 

Dengan tangisan tersebut, Fatimah az-Zahra ingin menggerakkan dan memancing emosi; Fatimah ingin agar jiwa tergugah dengan problemanya dan penindasan yang dialaminya. Jangan Anda bayangkan bahwa problema Fatimah hanya sekadar kasus tanah Fadak, atau kasus penyerangan di rumahnya. Penyerangan atas rumah Fatimah adalah musibah yang besar, namun sebab-sebab yang melatarbelakangi penyerangan kaum merupakan musibah dan penyerangan yang hakiki. Yakni, penyerangan atas kedudukan (maqam) ahlul bait sepeninggal Rasul saw. Di sinah letak musibah yang sesungguhnya. Kaum (orang-orang yang menyerang) itu ingin menyingkirkan kedudukan mulia ahlul bait yang telah Allah tetapkan bagi mereka. Sekali lagi, inilah musibah yang besar dan inilah pengkhianatan yang luar biasa. 

Keadaan tragis ahlul bait ini digambarkan oleh Imam Baqir dalam perkataannya: “Ketika Rasulullah meninggal, maka ahlul baitnya seakan-akan tidak dinaungi oleh langit dan tidak dilindungi oleh bumi.” Jadi, tangisan putri Nabi saw tersebut membawa pesan agama, bukan sekadar tangisan biasa. Oleh karena itu, Fatimah terus menerus menangis sehingga masuk dalam kelompok lima orang yang banyak menangis sebagaimana yang dinyatakan dalam riwayat Imam Shadiq as.

TANGISAN YA`QUB.
Karena kami mengawali pembahasan ini dengan ayat-ayat yang mengemukakan kisah Nabi Ya`qub yang menangis hingga matanya buta, maka kami akan mengupas ayat tersebut. Dalam surah Yusuf disebutkan: “Dan Ya`qub berpaling dari mereka,” yakni dari anak-anaknya yang menyingkirkan Yusuf dan saudaranya Benjamin. Ya`qub berpaling dari mereka seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf.” Kata al-asaf berarti sedih atas apa yang telah terjadi atau berlalu (al-huzn ala ma fata). 

Sebagian sahabat berkata, Ya`qub mengucapkan “ya asafa”, karena saat itu belum ada kalimat “inna lillah wa inna ilaihi raji`un” dan beliau belum mendapatkan ilham tentang kalimat tersebut. Ibarat yang ada saat itu adalah ungkapan ya asafa. Setelah Nabi Muhammad saw hadir maka Allah SWT mengilhamkan syiar ini, sehingga syiar yang mengungkapkan kesedihan atas apa yang terjadi dari ya asafa diganti dengan syiar inna lillah. Hal ini masih perlu dibuktikan kebenarannya. Kalimat inna lillah digunakan saat mulai mengungkapkan kesedihan atas orang yang meninggal. Sedangkan Ya`qub mengetahui bahwa Yusuf masih hidup karena dalam ayat tersebut Ya`qub mengatakan: “Aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.”

Para musuh mengatakan kepadanya: “Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf, sehingga kamu hidup dengan berat,” yakni engkau tetap hidup tapi menjalaninya dengan penderitaan: boleh jadi engkau kehilangan mata atau kehilangan akal (gila), atau termasuk orang yang binasa. Ya`qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” Para musuh itu mengatakan padanya: tangisanmu tidak membawa manfaat apa-apa padamu karena Yusuf sudah dimakan oleh serigala. Tetapi Ya`qub menjawab: “Aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” Yakni, aku diberitahu oleh Allah melalui malaikat Jibril bahwa Yusuf masih hidup dan ia akan kembali padaku dan aku akan melihatnya. 

Dan urusan Allah pasti menang. Tetapi kapan ini terjadi? Ini berada di tangan Allah SWT. Aku menangis karena perpisahan dengannya. Aku menangis karena–untuk beberapa saat–aku tidak dapat menatap wajahnya lagi. Aku menangis, meskipun aku tahu bahwa ia akan kembali. Namun bagaimana ia kembali? Apakah ia kembali dalam keadaan selamat, sehat atau sakit? Bukti yang menunjukkan bahwa Ya`qub mengetahui dari sisi Allah bahwa Yusuf masih hidup adalah ayat berikut ini:
“Takkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya`qub sehingga ia kembali dapat melihat. Ya`kub berkata: “ Tidakkah aku katakan padamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 96) Bukankah aku telah mengatakan bahwa Yusuf akan kembali? Tangisanku semata-mata karena perpisahan karena aku diberitahu bahwa perpisahanku dengannya terjadi dalam waktu yang lama. Alhasil, Al-Qur’an menceritakan bahwa ketika Yusuf dijauhkan oleh Allah dari pandangan Ya`qub maka ia menangis sampai matanya “mengering” karena saking sedihnya. Memang Al-Qur’an tidak menyebut kata “menangis” (al-buka’), namun dengan melakukan tadabur terhadap ayat-ayat tersebut kita akan mengetahui makna yang tersirat darinya. Nabi Ya`qub mengungkapkan kesedihan atas kebenaran, bukan kebatilan karena berpisah dengan anak yang mulia; anak yang merupakan wali dari wali-wali Allah. 

APA YANG MEMBUAT MATA YA`QUB BUTA?
Selanjutnya, Al-Qur’an mengatakan: “Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya) . Apa yang dimaksud dengan kedua matanya menjadi putih? Sebagian mufasir mengatakan bahwa Ya`qub terkena kelemahan dalam pandangan sehingga ia tidak dapat melihat sesuatu kecuali dari jarak dekat sekali. Namun menurut riwayat dari ahlul bait bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah kebutaan, yakni Ya`qub menjadi buta. 

Apa bukti atau indikasi (qarinah) dari hal ini? Buktinya adalah perkataan Yusuf: “Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah di wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali.” (QS. Yusuf: 93). Jadi, yang dimaksud matanya menjadi putih ialah buta, buta karena sedih. Namun karena sedih saja tidak akan menyebabkan buta. Lalu mengapa disebutkan kata kata kesedihan (al-huzn)? 

Penyebutan kesedihan karena diiringi dengan sebab musabab. Sebab kebutaan adalah tangisan; lalu apa yang menjadi sebab tangisan? Sebab tangisan adalah kesedihan. Dalam bahasa Arab ada ungkapan majaz (metafor), seperti: was’al qaryah (tanyalah kepada desa ). Yang dimaksud dari pernyataan ini adalah was`al ahlal qaryah (tanyalah kepada penduduk desa). 

Demikian juga dengan ayat karena kesedihan, yakni karena tangisan yang disebabkan oleh kesedihan. Ayat ini perlu kita amati dengan seksama. Sebab sebagian mereka mempersoalankan tangisan Ya`kub dengan mengatakan: apakah engkau menangis sampai engkau kehilangan matamu; apakah ini termasuk bentuk jaza` yang diperbolehkan? 
Ya`qub adalah seorang Nabi yang menangisi salah satu manusia termulia dan teragung yang hilang. Apakah ajaran sawami membolehkan tangisan sehebat ini terhadap orang yang hilang? 
Lalu bagaimana dengan tangisan yang dilakukan terhadap orang yang hilang selama-lamanya (orang yang mati? Apakah benar tangisan Ya`qub terhadap anak yang hilang sehingga matanya buta? 
Ini adalah masalah syar`iyyah: boleh atau tidak boleh? Banyak jawaban yang dapat dikemukakan atas pertanyaan ini. 

HIKMAH DI BALIK TANGISAN YA`QUB.
Tangisan yang menyebabkan kebutaan Ya`kub ini bukan tangisan yang bersifat ikhtiar (dibuat-buat atau dilakukan dengan kesadaran penuh). Tangisan ini keluar dari batas ikhtiar karena sakit kuatnya ikatan cinta antara Ya`kub dan Yusuf. Yusuf bukan hanya anak Ya`kub, namun lebih dari itu ia adalah wali Allah yang agung, sehingga karena ini tangisan Ya`kub semakin menjadi-jadi dan ia tidak dapat menguasai dirinya lagi alias keluar dari batas ikhtiarnya. Dan sesuatu yang keluar dari batas ikhtiar tidak dapat disifati halal atau haram. Meskipun ia melakukan maksiat, dengan asumsi bahwa perbuatan tersebut adalah maksiat, namun ia mengerjakan sesuatu di luar ikhtiar dan pilihannya. 

Kemudian, siapa yang mengatakan bahwa jaza` selalu diharamkan sehingga apa yang dilakukn Ya`kub pun dilarang. Sebab, terkadang sebagian bentuk jaza` diperbolehkan oleh syariat Islam yang mulia demi tujuan-tujuan risalah (agama), seperti tangisan Ya`qub yang semata-mata mengagungkan kedudukan Yusuf, peristiwa Yusuf, dan sikap Yusuf dimana Allah SWT ingin agar semua itu terjadi. Lalu tangisan yang membutakan ini pun justru menunjukkan karamah Yusuf ketika ia memerintahkan agar pakaiannya diletakkan di wajah ayahnya sehingga ia melihat kembali. Ya`qub adalah Nabi yang maksum yang tidak mungkin berbuat salah. Ketika ia menangisi Yusuf sampai matanya buta karena kesedihan maka ini menunjukkan bahwa jaza` baginya–dalam keadaan apa pun–tidak dilarang. 

BENTUK JAZA` (KELUH KESAH) YANG DIBOLEHKAN.
Meskipun dalam situasi-situasi biasa jaza` dilarang namun bagi sebagian pribadi ia justru tidak dilarang. Apa contohnya? Imam Ja`far ash-Shadiq as. berkata: “Untuk keadaan seperti Husain, pipi boleh ditampar dan kantong boleh dirobek.” Lalu apa ini tidak bertentangan dengan wasiat Imam Husain kepada putri-putri Rasulullah: “Janganlah kalian mencakar pipi; jangan memukul-mukul tubuh; jangan merobek-robek kantong.” 

Larangan ini sangat tepat di hadapan musuh karena boleh jadi mereka akan memukul-mukul diri mereka di depan musuh. Imam Husain saat itu berada dalam puncak kesabaran dan puncak ketegaran dalam menanggung derita. Saat beliau merasakan puncak penderitaan, beliau tetap bersabar dan tidak menangis di hadapan musuh. Namun ketika beliau menyendiri, beliau pun menangis. Banyak keadaan dan peristiwa yang menunjukkan bahwa beliau menangis. 

Ketika beliau memasuki Karbala pada hari kedua dari Muharram, dan dikatakan bahwa tanah yang diinjaknya adalah Karbala maka mata beliau bercucuran air mata. Jadi, yang dimaksud perkataan Imam Husain: janganlah menampar pipi, yakni di hadapan musuh. 

Adapun wanita yang mengalami penderitaan berat di antara waktu pagi dan petang; di sebagian hari ia kehilangan delapan lelaki dari keluarganya; kemahnya dibakar; perempuan-perempuan nya ditawan; dan rentetan tragedi dan musibah lainnya, lalu ia–di luar ikhtiarnya dan kesadarannya- -mencakar- cakar pipinya maka apakah kita akan mempersoalkan tindakannya, menghujatnya dan menghukuminya? 

Para ahli hadis menyebutkan bahwa ketika Nabi Harun meninggal dunia, Nabi Musa merobek-robek saku bajunya. Apa rahasia hal ini? 
Ini merupakan ungkapan tentang besarnya tragedi dan tindakan ini terjadi di luar ikhtiyar dan kesadaran. Ketika Musa mendapati kenyataan bahwa saudaranya Harun meninggal dunia semasa hidupnya maka ia “tak sadar” dan merobek-robek sakunya. 

Tentu tindakan ini jika dilakukan oleh selainnya makruh (dibenci). Namun problema yang membawa pesan agama dalam hal ini tidak dianggap makruh atau tidak dilarang karena terdapat nas-nas yang cukup memadai tentang masalah ini. 

MA`TAM YANG PERTAMA KALI.
Apakah terdapat kontradiksi ketika seseorang menangisi orang lain sebelum kematiannya, meskipun cukup berat musibahnya? Apakah seseorang yang menangisi orang lain 50 tahun sebelum kematiannya dianggap melakukan jaza` dalam pandangan masyarakat umum? Kaum Muslim sepakat bahwa Rasulullah saw menangis atas Imam Husain 50 tahun sebelum terbunuhnya Imam Husain. Riwayat menyebutkan bahwa malam Asyura’ bertepatan dengan 11 Hijriah, yakni tahun kematian Nabi saw. Imam Husain terbunuh pada 61 Hijriah. Jadi jarak yang terpaut adalah 50 tahun. Pada malam Asyura Rasul saw tampak begitu sedih, murung, dan lesu. 

Hakim an-Naisaburi dalam Mustadrak Shahih Muslim dan Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw keluar menemui para sahabatnya setelah malaikat Jibril memberitahunya tentang terbunuhnya Imam Husain dan ia membawa tanah Karbala. Beliau menangis tersedu-sedu di hadapan para sahabatnya sehingga mereka menanyakan hal tersebut. Beliau memberitahu mereka, “Beberapa saat lalu Jibril mendatangiku dan membawa tanah Karbala, lalu ia mengatakan kepadaku bahwa di tanah itulah anakku Husain akan terbunuh.” Kemudian beliau pun menangis lagi dan para sahabat pun ikut menangis. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa inilah ma’tam (acara kesedihan dan belasungkawa untuk Imam Husain) yang pertama kali. Jika ada orang yang bertanya: kapan ma`tam yang pertama kali diadakan oleh umat Islam untuk Imam Husain? Jawabannya adalah ma`tam yang dihadiri oleh Nabi Muhammad saw dan pendengarnya adalah para sahabat Rasulullah. Tentu tidak ada seseorang yang berani mengusik masalah ini. Sebab, masalah ini memiliki keistimewaan dibandingkan dengan masalah lainnya. 

TUJUAN MENANGIS ATAS IMAM HUSAIN.
Lalu apa tujuan dari menangis atas Imam Husain? 
Apakah masalah ini hanya berkisar pada ungkapan sedih dan derita? 
Problema ini lebih besar dari hanya sekadar ungkapan sedih dan derita. Kami telah katakan bahwa orang non-Muslim yang obyektif ketika mendengar kisah Imam Husain ia menangis. 

Namun tujuan menangis atas Imam Husain bukan ungkapan kesedihan dari sisi kemanusiaan. Tujuan menangis yang sesungguhnya ialah mengabadikan problema Imam Husain, ajarannya, nilai-nilainya serta prinsip-prinsipnya melalui tangisan yang menyingkap kezaliman dari satu sisi, yang menyebabkan terikatnya jiwa pada orang yang diperingati dan prinsip-prinsipnya sepanjang masa. Tangisan yang kita persembahkan untuk Imam Husain merupakan bentuk pengingkaran dan perlawanan terhadap kezaliman. Hal yang demikian ini tidak dapat diwaliki oleh pemikiran dan penalaran saja. 

Dan Allah SWT berkehendak agar tragedi Imam Husain tetap kekal dalam jiwa dalam bentuk tangisan dan pelajaran. Karena itu, terdapat riwayat yang berbunyi:
“Aku korban pembunuhan yang memberi pelajaran.” Yakni, setiap orang mukmin yang mengingatku pasti ia akan mengambil pelajaran dan menangis.

Dalam kitab Mustadrak disebutkan bahwa Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya terbunuhnya Husain menciptakan bara pada hati orang mukmin yang tak akan pernah padam.” Jadi, tangisan kita atas Imam Husain bukan hanya sekadar tangisan atas mayit namun ia merupakan senjata pemusnah kezaliman dan usaha berinteraksi dengan problema emosional serta mengikat jiwa dengan kesemangatan dan kesetiaan padanya sepanjang masa. 

Oleh karena itu, seorang penyair berkata:
Mataku menangis bukan karena pukulan,
Namun semata-mata untukmu ia menangis.
__._,_.___
__,_._,___
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: