Siapapun yang mempelajari kehidupan Imam Husain bin Ali (as) akan
menyadari bahwa perannya dalam Islam dimulai dari awal. Pada masa
mudanya, dia berpartisipasi aktif dalam gerakan kebangkitan Islam.
Perannya menonjol selama kepemimpinan ayahnya, Amirul Mukminin Imam Ali
(as) dan berjuang berdampingan bersama Imam Hasan (as).
Dalam
kesyahidannya, peran Imam Husain (as) memasuki fasa baru berkaitan
dengan kompleksnya permasalahan diantara umat Islam, karena peran semua
Imam Ahlul Bait (as) disesuaikan dengan kondisi perkembangan sosial,
ideologi dan politik pada jamannya.
Sungguh, Imam Husain (as)
menghadapi plot Bani Umayah yang menyimpang di tengah umat Islam dan
juga kondisi sulit yang dijalani umat Islam. Dia (as) hidup dibagian
paling berbahaya setelah perjanjian antara Muawiyah dan Imam Hasan (as).
Berikut ini adalah tujuan-tujuan dari rencana busuk Muawiyah:
1.
Menyebarkan teror dan memusnahkan seluruh kekuatan oposisi, terutama
pengikut Imam Ali (as). Mereka diburu dan ditindas dengan berbagai cara
dan teror digunakan untuk membungkam mereka.
Dengan kata-kata yang singkat dan jelas Imam Muhammad al-Baqir (as) menggambarkan tragedi berdarah ini. Dia berkata:
”Pengikut
kita dibunuh di setiap kota. Tangan dan kaki mereka dipotong hanya
karena kecurigaan kecil. Siapapun yang menunjukkan cinta (dukungan)
kepada kita atau punya hubungan dengan kita akan ditawan atau disita
harta-bendanya atau dirusak rumahnya. Frekwensi penindasan meningkat dan
semakin kejam sampai puncaknya saat Ubaidullah bin Ziyad membunuh Imam
Husain (as)”
Ibnu Athir, ahli sejarah, mencatat kejadian berdarah
yang terjadi selama masa Muawiyah. Dia berkata: ”Setelah Ziyad
mengangkat Sumrah, sementara waktu, sebagai gubernur Basrah, Sumrah
membunuh banyak orang. Ibnu Sirrin berkata: ’Selama ketidakhadiran
Ziyad, Sumrah membunuh delapan ribu orang.’ ’Apakah kau tidak khawatir
telah membunuh orang yang tidak bersalah?’, Ziyad bertanya kepada
Sumrah. ’Walaupun membunuh yang jumlah orangnya dua kali lipat saya
tidak akan pernah merasa khawatir.’, jawab Sumrah.
Sawari Adwi berkata:”Sumrah telah membunuh, dalam satu hari, empatpuluh tujuh sahabatku. Semua adalah penghapal Quran.”
2.
Menyebar uang untuk membeli kesetiaan orang-orang untuk merusak
karakter Islami mereka dan membantu penyelewengan Muawiyah untuk
memenuhi tujuan sesatnya. Dua tipe orang yang jadi sasaran :
A.
Sejumlah pengkhotbah dan ahli hadis yang berperan untuk membantu
Muawiyah. Mereka membuat hadis dan mengaku datang dari Rasulullah (saww)
dalam rangka mendiskreditkan Imam Ali (as) dan keluarganya.
B. Pimpinan masyarakat yang punya kemungkinan untuk melawan dinasti Muawiyah.
Ini adalah bentuk kebijakan Muawiyah dan pemimpin dinasti Bani Umayah yang lain.
Perang
kelaparan. Ini merupakan senjata yang dipergunakan Bani Umayah. Umat
Islam merasa terhina dan tidak mampu mengganti pimpinannya. Perintah
Muawiyah, yang dicatat sejarah, yang dikirim ke gubernurnya, menyatakan:
”Periksa setiap orang yang mencintai (mendukung) Ali dan keluarganya,
dan jika terbukti, namanya harus dihapus dari daftar masyarakat yang
menerima bayaran dan jatah makanan.”
Struktur ekonomi masyarakat
selama periode tersebut tercatat oleh ahli sejarah. Mereka menulis
tentang distribusi ekonomi yang timpang. Beberapa individu memiliki
kekayaan besar. Segelintir orang memanfaatkan pengaruh Bani Umayah, dari
bagian luar kekuasaan khalifah selama tahun-tahun terakhir kekuasaan
khalifah yang benar, dengan menumpuk kekayaan. Sebagai contoh:
”Amru
bin As gubernur Mesir dibawah Muawiyah, meninggalkan kekayaan sebanyak
325.000 dinar emas, 1000 dirham perak, kebun yang bernilai 2000.000
dinar di Mesir dan tanah milik di Mesir yang nilainya sebasar 10.000
dinar emas.”
4. Merusak ikatan persatuan umat Islam dengan
mengangkat isu nasionalisme, kesukuan dan kedaerahan diantara
kelompok-kelompok dan melestarikan sektarianisme antara muslim Arab dan
non-Arab.
5. Pembunuhan Imam Hasan bin Ali (as), yang dianggap sebagai simbol Islam yang sebenarnya.
6. Mengangkat Yazid, seorang korup yang gemar mabuk dan berjudi, sebagai pimpinan baru menggantikan Muawiyah.
Mandat
yang diberikan Yazid adalah untuk memimpin umat Islam, merencanakan dan
melaksanakan program masa depan dan melaksanakan ajaran Islam. Pada
kenyataannya menjadi perusak ajaran Islam.
Yazid, sebagaimana
disaksikan oleh sejarah, pikiran, perbuatan dan perasaannya dipenuhi
penyelewengan. Adalah mengherankan bahwa sejarah kita dipenuhi
cerita-cerita tentang penyelewengan sehari-hari Yazid yang dilakukan di
depan mata mayoritas umat Islam di Suriah. Dia menenggelamkan diri dalam
kemaksiatan, hiburan sia-sia, bermabuk-mabukan, main perempuan dan
bernyanyi. Dia begitu ceroboh dan bermoral rendah sehingga memakaikan
perhiasan emas kepada anjing-anjingnya.
Ahli sejarah, Baladuri menyatakan:
”Yazid
memiliki seekor monyet bernama Abi Qais... yang selalu dibawanya
bersama rekan-rekannya ke tempat minum anggur. Dia menaruh bantal untuk
tempat duduk monyetnya yang mana tindakan ini menjijikkan. Dia akan
membawanya di atas seekor keledai betina liar yang telah jinak, dengan
pelana kerajaan. Abi Qais ikut dalam kompetisi adu cepat dengan kuda
pada hari-hari tertentu.”
Ahli sejarah yang lain, Ibnu Athir, berkata:
”Diriwayatkan
bahwa Yazid terkenal dengan permainan alat musik bersenar, minum
anggur, bernyanyi, berburu, dan berkumpul bersama anak-muda, penyanyi
wanita dan anjing-anjing peliharaan. Dia suka menonton adu domba,
beruang dan monyet. Tiada hari tanpa mabuk. Dia juga suka mengikat
monyet di atas kuda dengan pelana dan berkeliling dengannya dan
memakaikan topi emas dan semacamnya kepada monyetnya, dan juga anak-anak
muda yang mengikutinya. Ketika seekor monyet mati, dia menunjukkan
kedukaannya. Dikisahkan bahwa alasan kematiannya adalah karena seekor
monyet muda menggigitnya.”
Jika seorang khalifah berkelakuan
seperti ini, bagaimana dengan yang lainnya. Seorang ahli sejarah,
Mas’udi, tentang ini menceritakan: ”Gubernurnya Yazid dan orang-orang
pemerintahannya terpengaruh oleh tindakan korup Yazid. Selama
pemerintahannya, hiburan nyanyian menyebar ke seluruh Madinah. Alat-alat
musik dipergunakan. Orang-orang mulai minum anggur di depan umum.”
Sejak
Muawiyah memutuskan mengangkat anaknya, Yazid sebagai khalifah umat
Islam menggantikannya dimana ini bertentangan dengan ajaran Islam,
keputusan ini membuat resah masyarakat, terutama tokoh tokoh yang
dikenal masyarakat Islam. Sejarah Islam berada di persimpangan jalan. Di
depan mereka ada dua pilihan:
Menolak dengan keras pola hidup yang ditawarkan, apapun resikonya, atau
Menerima
kenyataan hidup dengan artian melepas ajaran-ajaran Islam, sumber
kemuliannya dan simbol kehormatannya diantara bangsa-bangsa .
Perlawanan: Kenapa?Jika
kita mempelajari kehidupan Imam Husain dan peristiwa-peristiwa yang
disaksikannya, dan lingkungan sekitarnya, kita akan dengan mudah
mendapatkan bahwa dia tidak punya peluang sedikitpun untuk bisa
mengatasi penindasan Bani Umayah.
Walaupun dia yakin akan
terbunuh, dia tetap memulai perlawanannya dan bertahan sampai akhir yang
tragis, yang tak dapat dihindari.
Kenapa dia bertahan ? Atau malah, kenapa dia melakukan perlawanan ?Tanpa
revolusi Imam Husain, jalan hidup Bani Umayah dengan semua
penyelewengan, penindasan dan korupsi, akan menjadi lambang Islam di
benak semua orang sampai saat ini.
Imam Husain, anak kedua Imam
Ali (as), dan cucu nabi suci Muhammad (saww), adalah halaman jernih buku
Islam, dan penerjemahan yang jelas dari tujuan dan konsep Islam. Ini
yang menyababkan dia jadi orang pertama menanggapi panggilan keimanan di
masa dia hidup. Untuk menghormati komitmennya kepada Syariah, dia tidak
punya pilihan lain daripada perlawanan. Tanpa itu tidak akan ada
reformasi perbaikan kehidupan. Surat resminya yang pertama dari
perlawanannya menunjukkan kenyataan ini:
”Dan aku tidak mengangkat
senjata demi kesenangan belaka atau bertindak berlebihan dengan apa yang
aku miliki. Aku tidak melakukan kejahatan ataupun penindasan. Tetapi
aku bersedia bertempur untuk satu alasan yaitu memperjuangkan perbaikan
umat kakekku, Nabi Allah (saww). Aku ingin menyerukan kebaikan dan
melarang kejahatan dan mengarahkan urusan masyarakat seperti yang telah
dilakukan kakekku dan ayahku Ali bin Abi Thalib (as).”
Ini adalah
dasar justifikasi yang memberikan Imam Husain (as) dan pengikutnya
alasan untuk memulai perlawanan. Sebuah perlawanan yang masih menggema
di benak orang saat ini. Itu adalah sebuah revolusi yang melestarikan
Islam dan menginspirasi pelaku revolusi sepanjang masa, untuk
mempertahankan Islam dan bertempur dengan penuh semangat kepahlawanan
dalam perang jihad suci melawan penindasan yang tidak adil.
Angin Perlawanan.
Tak
lama setelah kematian Muawiyah, anaknya, Yazid, mengambil alih. Dia
memerintahkan gubernur-gubernurnya untuk membaiat rakyatnya mendukung
kepemimpinannya. Dia terutama menaruh perhatian kepada Imam Husain (as),
karena keyakinan Bani Umayah bahwa dia adalah kekuatan perlawanan yang
tak tergoyahkan diantara pihak oposisi. Pihak oposisi, minus Imam
Husain, dengan gampang ditundukkan. Dengan cepat dia menulis surat
kepada gubernurnya di Madinah, Walid bin Utba untuk membaiat rakyatnya,
khususnya Imam Husain (as). Sungguh, Imam Husain menjelaskan
penolakannya untuk membaiat Yazid. Dia berkata kepada gubernur Madinah,
Walid bin Utba: ”Yazid adalah seorang yang korup, yang suka menenggak
anggur, membunuh jiwa yang dilarang oleh Allah dan menunjukkan
kemaksiatannya di depan umum. Seorang laki-laki sepertiku tidak akan
membaiat orang seperti Yazid.”
Dalam jawabannya, Imam Husain
menjelaskan kualifikasi pemimpin yang harus dibaiat, dalam suratnya
kepada penduduk Kufah:” Demi hidupku, apakah fungsi seorang Imam kecuali
yang berhakim kepada Kitabullah; seorang yang menegakkan keadilan,
seorang yang memegang agama kebenaran, dan seorang yang mendedikasikan
hidupnya kepada Allah.”
Itulah titik awal perlawanannya terjadap
penyelewengan dan penindasan. Imam Husain (as) memutuskan untuk
mengambil tanggungjawab perlawanan terhadap penindas, karena dia
merupakan Imam yang sah dan benar dengan keimanan.
Dia pergi ke makam Rasulullah (saww), kakeknya dan berdoa disampingnya. Lalu dia mengangkat tangannya dan berdoa:
”Ya
Allah! Ini adalah makam RasulMu Muhammad (saww) dan aku adalah anak
dari anak perempuannya. Engkau tahu apa yang sedang kuhadapi. Ya Allah!
Aku mencintai kebaikan dan membenci kejahatan. Aku memohon kepadaMu,
wahai Tuhan yang Maha Mulia, dan meminta demi kuburan ini dan isinya,
untuk menentukan jalan hidupku aku dengan apapun yang Kau dan nabiMu
ridhai.”
Imam Husain cepat-cepat mengumpulkan anggota keluarganya
dan sahabatnya yang setia. Dia memberitahukan keputusannya untuk pindah
ke Mekah, rumah Allah. Orang yang tidak setuju dengannya semakin
banyak. Mereka memintanya untuk menyerah. Mereka tidak berdaya dan
khawatir akan dibunuh.
Imam Husain juga mempertimbangkan untuk mundur.Rombongan
kafilah Imam Husain (as) berjalan menuju Mekah. Nama Allah terucap
dibibirnya, dan hatinya penuh dengan cinta kepada Allah. Ketika memasuki
Mekah, dia menyitir kata-kata berikut: ”Dan ketika dia memalingkan
wajahnya kearah Madain, dia berkata: Mungkin Tuhan akan memberi petunjuk
ke jalan yang benar.”
Dia berdiam di rumah Abbas bin Abdul
Muthalib. Kelompok besar orang-orang beriman berkumpul untuk menerima
kedatangannya. Berita tentang kepergian Imam dari Madinah dan
penolakannya membaiat Yazid telah menyebar. Lalu, berbagai delegasi dan
surat dukungan kepadanya mulai berdatangan dari berbagai pelosok.
Sebagai jawaban, dia (as) mulai mengirim buku-buku dan surat-surat yang
berisi panggilan untuk revolusi dan menurunkan Yazid dari kekuasaan,
yang mendapatkan dukungan lewat paksaan, teror, penyuapan dan penipuan.
Usaha ini membuahkan hasil dengan bangkitnya semangat revolusi di Irak.
Imam Husain (as) memantau reaksi dari umat Islam terhadap Yazid yang
menduduki posisi khalifah. Kufah, ibukota Irak, sedang menyaksikan
gerakan revolusi dan goncangan politik yang besar. Setelah lama dalam
kondidi teror dan penindasan kekuatan oposisi melihat kesempatan emas
untuk melepaskan diri dari kekuasaan tirani. Mereka mengadakan
pertemuan-pertemuan darurat membahas naiknya ketegangan di Kufah dan
tanggungjawab mereka menghadapi perubahan pemerintahan, setelah Yazid
bin Muawiyah mengambil-alih urusan umat Islam.
Setelah mencapai
kesepakatan, tokoh-tokoh Kufah menulis surat yang menyatakan penolakan
mereka terhadap kekuasaan Bani Umayah dan dukungan terhadap Imam Husain
(as). Surat-surat berdatangan di Kufah membawa pesan kepada orang Kufah
untuk bergabung kepada Imam Husain (as), menjadikannya khalifah dan
pemimpin umat Islam. Gelombang dukungan kepada Imam Husain (as) begitu
besar sehingga banyak suku-suku menyiapkan tentara yang jumlahnya
mencapai 100.000 pasukan. Imam Husain mengirim surat-surat khusus kepada
rakyat disana dan terutama kepada pimpinan-pimpinan masyarakat.
Kufah
menerima kedatangan Muslim bin Aqil dengan penuh kesetiaan dan
tanggungjawab. Baiat diberikan kepada Imam Husain. Muslim, sampai titik
ini, yakin kecenderungan sedang mengarah kepada Ahlul Bait (as) dan
pesan Allah Taala. Apa yang sedang terjadi bukanlah hal yang biasa dan
tidak bisa diabaikan. Ini adalah tujuan yang benar, bisa dicapai dan
telah menyebar luas. Mereka harus bertindak cepat memanfaatkan situasi
sebelum sesuatu terjadi dan merusak kesempatan yang ada. Muslim (ra)
kemudian untuk memberitahu Imam Husain (as) tentang kecenderungan yang
nyata. Dalam suratnya dia mengundang Imam untuk datang ke Kufah. Dia
menulis:
”Sudah menjadi kepastian bahwa orang yang dikirim kafilah di
gurun untuk melihat kondisi di depannya tidak akan berdusta kepada
orang yang mengirimnya. Semua orang di Kufah bersama engkau.
Delapan-belas ribu orang dari mereka telah memberi baiat kepadaku.
Cepat-cepatlah datang kepada kami setelah membaca suratku ini. Salam dan
berkah Allah selalu bersamamu.”
Sementara itu, Imam Husain (as)
mempertimbangkan untuk menghubungi tokoh-tokoh Basrah dan membahas
keputusannya untuk melawan penyimpangan dan ketidakadilan. Dia mengirim
surat kepada mereka. Yazid bin Mas’ud mengirim surat yang menyatakan
kesetiaan orang-orang dari suku Tamim dan Bani Sad kepada Ahlul Bait
(as). Sangat disayangkan dan menyedihkan bahwa suratnya terlambat tiba.
Lalu, pasukan Nashali tiba terlambat. Mereka terkejut dengan berita
kesyahidan Imam Husain. Telah hilang kesempatannya untuk membantu cucu
nabi Muhammad (saww).
Berbaliknya orang-orang Kufah.Awalnya,
orang-orang Bani Umayah menjadi panik ketika melihat kesuksesan
orang-orang beriman dan wakilnya, Imam Husain bin Ali (as). Pimpinan
tertinggi Bani Umayah membuat pertemuan-pertemuan yang membahas langkah
mereka berikutnya. Mereka memutuskan untuk memberikan Yazid kabar
terakhir dan situasi nyata di kota Mekah. Mereka menulis surat kepada
kepalanya di Suriah memberitahukan perkembangan terakhir di Kufah.
Yazid
terkejut dengan berita tersebut. Penasihat khususnya menyarankan untuk
mengangkat Ubaidullah bin Ziyad sebagai gubernur Kufah. Ibnu Ziyad
adalah seorang pembunuh, kekosongan jiwanya dari rasa kemanusiaan dan
kegelaman hatinya kepada keluarga Rasulullah (saww) menjadikannya calon
yang tepat. Ibnu Ziyad menerima surat pengangkatan Yazid sebagai
gubernur baru di Kufah. Dia mengangkat saudaranya menggantikannya di
Basrah, dan secepatnya pergi ke Kufah dengan membawa 500 divisi pasukan
dari tentara Bani Umayah.
Beberapa pimpinan di Basrah ikut menemaninya, mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang-orang Kufah.
D
Kufah, Ibnu Ziyad mengumpulkan orang-orang dan memberikan mereka
arahan. Dia berjanji kepada mereka yang mendukung Bani Umayah akan
mendapatkan hadiah yang menggiurkan. Dia mengancam lawan Bani Umayah
dengan hukuman berat, misalnya kematian. Dibawah ancaman, dia
memerintahkan para kepala suku untuk menyerahkan daftar orang-orang yang
melanggar aturan Bani Umayah. Jika tidak, mereka sendiri akan dibantai
di depan pintu rumah-rumah mereka.
Kemudian, atmosfir kegelapan
merebak di seantero kota. Pertunjukan kekuasaan dari Bani Umayah, yang
diwakili oleh Yazid, terjadi.Pimpinan kaum Syiah dan pendukung gerakan
Islam yang diwakili Imam Husain terkurung.
Ketakutan mengibaskan
sayapnya dan keputus-asaan memenuhi hati orang-orang.
Peristiwa-peristiwa keji membuat suku-suku melindungi pimpinannya
melawan Bani Umayah dengan berbagai bentuk. Ibu-ibu mengunci
anak-anaknya karena khawatir akan membantu Muslim bin Aqil. Mereka yang
mengejar kekayaan dengan cepat datang ke istana gubernur, bergembira
dengan uang yang melimpah yang ditaburkan. Secara praktis, masyarakat
Kufah menjadi kacau-balau. Pendukung-pendukung panggilan Islam, yang
masih bebas, melakukan kontak secara rahasia dengan Muslim. Dia yang
memerintahkan hal itu, dibawah tekanan yang baru timbul.
Mata-mata
Bani Umayah dengan cepat menyebar teror ke seantero kota dan Ibnu Ziyad
memakai segala cara penipuan untuk keluar dari krisis. Dia menebar
gosip-gosip, lewat mata-matanya dan pengikutnya, bahwa pasukan besar
Bani Umayah sedang menuju Kufah. Gosip menyebar dengan cepat. Gosip
merebak dan teror berkuasa. Para wanita menghalangi anak-anaknya
bergabung dengan Muslim, dan mereka yang sudah, dipaksa mundur. Para
ayah menahan anak-anaknya dan saudara-saudara lelakinya mengambil bagian
dalam aksi militer.
Situasi terus memburuk. Banyak orang
meninggalkan pasukan Muslim, dan kepanikan terjadi. Pemaksaan dan
penghalangan kepada perlawanan sukses dilakukan. Muslim, pada
kenyataannya, tinggal hanya dengan sedikit pendukung setia yang
melakukan pertempuran-pertempuran jalanan melawan Bani Umayah. Mereka
membuat basis pertahanan di daerah lingkungan Kinda. Muslim bertempur
dengan lemah dan kurang semangat.
Setelah semua terbunuh atau
yang lain menelantarkannya, Muslim bertempur melawan tentara Bani Umayah
sendirian. Akhirnya dia terpojok dan ditawarkan perlindungan. Ketika
dibawa menghadap Ibnu Ziyad dia menolak menghormati perjanjian
perlindungan dan memerintahkan Muslim untuk dieksekusi. Setelah
memberikan wasiat terakhirnya, Muslim dibawa ke atas istana dan dilempar
ke bawah. Kemudian dia dipenggal. Kepalanya, bersama kepala Hani
dikirim ke Yazid di Suriah.
Lalu, dua pilar tokoh pergerakan
Islam di Kufah dibantai. Pergerakan Muslim dan Hani, dua dari pahlawan
padang pertempuran di Irak. Kufah dipermalukan dengan kekalahannya dan
teror meluas. Tirani menguasai kehidupan rakyat.
Jalan ke IrakBani
Umayah khawatir dengan berita kesuksesan Imam Husain di Mekah. Dia
memenangkan hampir seluruh kota. Didasari rasa takut akan penyebaran
kekuatan oposisi, Yazid mengirim tentara dari Suriah. Dia mengangkat
Umar bin Said sebagai panglimanya.
Imam Husain (as) menerima
kabar bahwa tentara Bani Umayah sedang menuju Mekah. Mengetahui tidak
adanya penghormatan dari Bani Umayah kepada Rumah Suci Allah, dia
memutuskan untuk meninggalkan kota. Tidaklah mungkin baginya untuk
membiarkan kesucian kota dikotori karena dirinya. Dengan sadar, dia
mengetahui nasib yang tak terelakkan di Irak. Dia menyatakannya dalam
khotbahnya yang disampaikan di Mekah sebelum pergi. Dia berkata:
”Segala
puji bagi Allah. Apa yang Allah kehendaki akan terjadi. Tidak ada
kekuatan kecuali dari Allah. Salawat Allah kepada rasul-Nya. Kematian
telah ditentukan pada setiap orang, sebagaimana kalung yang melingkar
pada leher seorang anak perempuan. Bagaimana besarnya keinginanku untuk
melihat penerusku. Sekuat keinginan Yakub (as)
untuk melihat anaknya
Yusuf (as). Adalah lebih baik bagiku menemui kematian. Sebagaimana aku
melihat anggota tubuhku dirobek-robek oleh serigala gurun, diantara
Nawawis dan Karbala. Mereka akan memenuhi perut kosong dan kelaparan
mereka. Tidak ada pelarian dari hari yang telah ditentukan Pena Ilahi.”
Pada
hari kedelapan bulan Zulhijah (hari para jemaah haji melakukan ritual
haji), di tahun 60 Hijriah, kafilah Imam Husain berangkat.
Sepanjang
jalan ke Irak dia bertanya kepada musafir yang ditemuinya tentang
keadaan Irak terakhir. Jawaban yang didapat hanya: ”Orang disana bersama
Bani Umayah, tapi hati mereka bersamanya (Imam Husain) !”
Dia telah
pasti bahwa keimanan akan lestari setelah kematiannya dan tidak ada yang
mempertahankan keimanan kecuali dia. Karena hal inilah dia berjalan
terus untuk mencapai kemenangan bersejarah yang nyata. Hanya dengan
menumpahkan darahnya dan mengorbankan jiwanya dan orang yang bersamanya
dari keturunan Rasulullah, Islam akan lestari.
Di KarbalaHari
itu hari Kamis, hari kedua Muharam tahun 61 Hijriah. Imam Husain,
sahabat dan keluarganya berhenti dan berkemah di gurun Karbala untuk
menjadi simbol kebebasan manusia dan slogan revolusi yang abadi
sepanjang masa dan generasi selanjutnya.
Di pihak lain, tentara
Bani Umayah, yang diwakili Ubaidullah bin Ziyad di Kufah, mulai
mengumpulkan pasukan dan memobilisasinya ke Karbala. Ibnu Ziyad
mengangkat Umar bin Sad sebagai panglima baru tentara tersebut. Umar
menyerah kepada keinginan Ubaidullah ketika diancam kedudukan atas
kekuasaannya di Ray. Umar berjuang dengan dua pertanyaan: Penyerahan
diri kepada kehidupan dunia atau menolak keinginan duniawi dan
menghindari pertempuran dengan Imam Husain. Akhirnya pertanyaan pertama
yang menang dan dia memutuskan untuk mengambil peranan dalam pertempuran
melawannya (Imam Husain).
Dia menunjukan perjuangannya dengan dua baris kalimat:
”Bisakah
aku menolak jabatan gubernur di Ray, dimana itu merupakan ketakutanku,
atau haruskan aku menerima tuduhan pembunuhan atas Husain? Haruskan aku
membunuhnya, ketika aku berakhir dalam api, tanpa hijab, ketika jabatan
gubernur di Ray akan menyejukkan mataku.”
Umar tidak lain adalah model dari orang-orang yang memerangi Imam Husain (as), dan mempunyai niat busuk dan tujuan keji.
Lalu
dia memutuskan untuk menjalankan tugasnya dan bergerak menuju Nainawa
(Karbala) memimpin pasukan dengan 4000 jumlah tentara. Saat
kedatangannya, Umar bin Sad mengurung perkemahan Husain. Imam Husain
(as) mulai bernegoisasi dengannya, melakukan berbagai pertemuan.
Hasilnya, dia menulis kepada Ubaidullah bin Ziyad menyarankannya untuk
melepaskan kurungannya terhadap perkemahan Husain, dan membiarkannya
kembali ke arah tempat dia datang, lalu, menghindari pertumpahan darah
yang akan terjadi. Ubaidullah menerima suratnya. Bahkan awalnya dia
menghargai usulannya dan menginginkan untuk langsung menjalankannya.
Tapi kemudian, Shimr bin Dil-Jawshan, seorang musuh berdarah dari Ahlul
Bait (as), memperingatkan akan konsekwensinya. Ubaidullah menerima saran
Shimr dan memberikan suran ancaman untuk dikirimkan kepada Umar bin
Sad. Sebagian isi surat:
”Jadi, lihatlah jika Husain dan pengikutnya
tunduk pada kekuasaanku dan menyerah, kirim mereka padaku dalam keadaan
selamat. Jika mereka menolak, lalu serang dan perangi mereka dan hukum
mereka, karena mereka pantas mendapatkannya. Jika Husain terbunuh,
biarkan kuda menginjak-injak mayatnya, di bagian depan dan belakang.”
Lalu,
logika Ibnu Ziyad memaksanya untuk menumpahkan darah dan
memotong-motong mayat para syuhada seperti yang dilakukan nenek
moyangnya kaum Quraisy pada jaman jahiliyah, yang memotong-motong mayat
Hamzah, paman Nabi, pada masa sebelumnya. Tidak ada pilihan lain selain
perang. Husain (as) biar bagaimanapun tidak akan menyerah kepada Ibnu
Ziyad:
”Seorang sepertiku tidak akan pernah membaiat Yazid.”
Dia
meneruskan: ”Aku tidak menginginkan kematianku kecuali dalam keadaan
syahid, karena hidup dalam ketidakadilan tidak dapat kujalani.”
Dia
(as) menyitir kata-kata Rasulullah (saww), yang disampaikannya kepada
tentara Bani Umayah beberapa hari sebelumnya. Dia memberitahukan mereka:
”Wahai
orang-orang, Rasulullah telah berkata: ’Siapa yang menyaksikan pemimpin
tidak adil yang melanggar larangan Allah yang Maha Besar, memperlakukan
pelayannya dengan penuh dosa dan keji dan telah melihat semua kejahatan
ini tapi tidak melawan dengan perkataan maupun perbuatan, Allah akan
menghukumnya.”
Imam Husain (as) melihat bahwa dia tidak bisa
bernegoisasi dengan kelompok orang lemah semangat yang mendedikasikan
dirinya untuk mendapatkan harta sitaan dan kekayaan. Dia meminta
saudaranya, Abbas, sekali lagi untuk berbicara dengan tentara dan
meminta penundaan satu malam. Umar bin Sad dan perwiranya setuju dengan
penangguhan ini. Keesokannya, sejarah membuka halaman baru dalam
kehidupan Islam. Laki-laki akan saling bertempur dalam pertempuran agung
di Karbala.
Malam Asyura.
Bukanlah karena
strategi militer Husain meminta penangguhan. Jalan kedepan terlihat
jelas di benaknya, tapi Husain meminta penangguhan untuk melakukan
ibadah malam itu. Dia menginginkan pada malam terakhir untuk bisa
berbicara dengan keluarga dan sahabatnya, orang-orang yang dicintainya.
Dia tahu apa yang akan terjadi. Lalu dia meminta saudaranya Abbas, kedua
kalinya menghadap Ibnu Sad:
”Kembali ke mereka. Jika kamu bisa
menangguhkan sampai pagi dan membujuk mereka untuk menjauhi kita selama
malam hari, mungkin kita bisa beribadah kepada Tuhan selama malam hari,
untuk berdoa dengan intim kepadaNya, membaca ayat-ayatNya, memohon
dengan berpanjang-panjang dan meminta ampunanNya.”
Gelap datang.
Keluarga Nabi (saww) dan pendukungnya tidak memejamkan mata. Beberapa
dari mereka beribadah, memohon kemurahan Allah dan membaca Quran.
Beberapa yang lainnya menyiapkan wasiat dan kata terakhir kepada
keluarganya. Suara-suara dengungan seperti lebah. Mereka menyiapkan diri
mereka untuk bertemu Tuhan mereka. Pedang dan tombak dipersiapkan.
Malam itu mereka menjadi tamu tanah Karbala. Sejarah menanti peristiwa
yang akan terjadi keesokan paginya. Pedang dan tombak menjadi pena yang
menuliskan bagian teragung dari drama yang ditulis manusia.
Selama
malam itu, Husain (as) mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya
dan orang-orang yang dicintainya. Dia mengunjungi Al-Sajjad, Sukaina,
Layla, Rabab dan Al-Baqir-Al-Saghir (as) kemenakannya. Dia membuat
wasiat terakhir, sebagaimana dia memutuskan untuk menyirami kebun Islam
dengan darahnya sendiri.
Hari Asyura.Imam Husain
(as) bersama dengan sahabatnya yang soleh, melewati malam sebelum hari
kesepuluh Muharah dengan ibadah, berdoa dan bersiap untuk keesokan
harinya. Malam berakhir. Terasa seperti sejarah yang panjang telah
lewat. Hari kesepuluh Muharam, hari berdarah, jihad dan syuhada, hari
keputusan perang, telah lahir.
Umar bin Sad mengatur barisan
tempurnya, dan memobilisasi tentaranya untuk memerangi anggota kelima
dari keluarga suci Nabi Muhammad, yang cintanya kepada umat dinyatakan
Allah lewat kalimat-kalimat jelas di dalam Quran.
Imam Husain
keluar dari kemahnya bersiap penuh menghadapi musuh. Perang tak
terelakkan. Jadi, dia mulai memperkuat perkemahannya dimana wanita dan
anak-anak menanti kejadian berikutnya.Dia memerintahkan untuk menggali
lobang di belakang perkemahan. Ini untuk menghindari serangan dari
belakang. Dia membuat api di lobang tersebut. Dengan amannya daerah
belakang, pertempuran akan terjadi hanya di daerah depan.
Sekali
lagi, Imam Husain (as) memberikan khotbah. Dia mengingatkan orang-orang
Kufah kepada surat-suratnya dan utusannya, dan janji setia mereka tapi
tidak membawa hasil. Dia menghadapi telinga-telinga yang tuli.
Dia
menaiki kudanya, dan melarikan kudanya ke depan musuh yang berbahaya,
dengan tangannya memegang Quran. Dia membukanya, mengangkat di atas
tangannya dan berkata:
”Wahai orang-orang ! Mari kita berpegang pada
Kitabullah dan Sunnah kakekku, Rasulullah (saww) untuk memutuskan urusan
diantara kita.”
Tidak ada yang terpengaruh dengan kata-kata Imam Husain (as).
Malahan,
Umar bin Sad memerintahkan pasukannya untuk maju dan memulai
pertempuran. Dia sendiri, melepaskan anakpanahnya kearah perkemahan Imam
Husain sambil berteriak:
”Semua menyaksikan bahwa aku orang pertama yang menyerang.”
Imam
Husain menatap tanpa goyah dan penuh tekad menghadapi pasukan besar
yang penuh perlengkapan. Seperti sedang menaiki bukit, penuh kepastian
dan tak tergoyahkan, Imam Husain tak menunjukan sedikitpun kegentaran.
Tidak pernah terpikir untuk mempertimbangkan kembali keputusannya. Tidak
ada yang dituju kecuali Allah. Dia mengangkat tangannya berdoa:
”Ya
Allah ! Hanya Engkau yang kupercayai didalam kesedihan. Engkau adalah
harapanku ditengah kekejaman. Engkau tempat berlindung dari semua
peristiwa yang kualami. Berapa banyak kesedihan yang melemahkan
semangat, meninggalkan aku sendiri untuk menghadapinya, dengan
kawan-kawan yang menelantarkanku, dan musuh yang bergembira atasnya. Aku
mempersembahkan kepadaMu dan mengeluhkannya kepadaMu, karena
keinginanku kepadaMu, hanya Engkau. Engkau membebaskan aku dan
menghapuskan daripadanya. Engkau adalah yang Maha Penyayang diantara
yang penyayang, pemilik semua kebaikan dan Tujuan Utama dari semua
keinginan.”
Itu adalah merupakan gambaran dari malapetaka dan
tragedi yang mengorbankan keturunan kenabian dan pemimpin umat Islam,
cucu dari Rasulullah (saww) yang mulia, Husain bin Ali bin Abu Thalib.
Orng-orang
saling bertempur, mulanya pertempuran satu lawan satu, kemudian
pertempuran penuh. Adalah alami kekuatan tentara Yazid bin Muawiyah bisa
membantai kelompok kecil pejuang yang jumlahnya tidak lebih dari 72
orang.
Keseluruhan tragedi Ahlul Bait (as) dan penderitaan hebat
mereka di tangan musuh mereka ditunjukkan dengan sangat jelas dalam
perang Karbala.
Perang terus berlanjut di Karbala. Penumpahan
darah mulia terus mengalir, berjalan menuju keabadian. Sahabat-sahabat
Imam Husain (as) roboh ke tanah, satu demi satu. Para pahlawan yang
hebat dari keluarga Aqil dan dari keluarga Ali bin Abu Thalib (as)
sekarang menjadi mayat-mayat dengan kepala terpotong, berserakan di
dataran perang seperti bintang-bintang di langit musim gugur, atau
seperti bunga lotus di atas permukaan kolam.
Sekarang serangan
lebih intensif. Mereka hampir terkurung oleh tentara Bani Umayah.
Beberapa tentara pergi ke perkemahan mencari barang berharga. Ibnu Sad
memerintahkan: ”Bakar semua kemah.” Anak-anak menangis dan wanita juga
bersedih, saat melihat tenda-tenda terbakar. Imam Husain (as) berdiri
diantara mereka, bergabung dengan mereka tapi tersentuh dengan tangisan
anak-anak dan ratapan para wanita. Dia mencari bantuan. Dia berteriak:
”Apakan
ada yang mau melindungi wanita dari keluarga Rasulullah ? Apakah ada
orang yang bertauhid yang takut kepada Allah dan menolong kami ? Adakah
pendukung yang mencari balasan dari Allah dan membantu kami ?
Tidak
ada jawaban kecuali ratapan wanita dan tangisan anak-anak. Imam Husain
(as) tidak punya pilihan lain kecuali memerangi musuh. Hatinya dipenuhi
kasih-sayang kebapakan dan kekhawatiran kepada keluarganya, kesucian,
kesucian para Penolong (kaum Ansar) dan anak yatim dari para syuhada.
Dengan
kepastian bahwa dia (as) tidak akan kembali selamat dari medan
pertempuran, dia pergi mengunjungi tenda saudara perempuannya Zainab,
memintanya untuk membawa anak bayinya untuk mencium bibirnya dan
melihatnya untuk saat terakhir.
Imam Husain (as) mengulangi kalimat berikut:
”Ya Allah ! Aku mengeluh kepadamu tentang apa yang telah dilakukan kepada anak laki-laki dari anak perempuan Nabi”.
Dia
(as) melihat sekeliling dan menyadari bahwa tidak ada yang membantunya.
Sahabatnya telah berserakan menjadi mayat disekitarnya, mereka telah
memenuhi tugasnya menegakkan kalimat. Imam Husain sendirian. Dia membawa
pedang Rasulullah di tangannya dan semangat dari Ali (as) di kedalaman
hatinya. Di lidahnya terdapat kata-kata penuh kesalehan. Ini adalah
harinya yang dijanjikan Rasulullah (saww) dan tempat yang diberitahukan
yang menjadi kediaman terakhirnya. Dia menantang musuhnya bertempur satu
lawan satu. Satu demi satu mereka datang dan dikirim ke dunia lain.
Imam
Husain (as) masih khawatir dengan perkemahannya, yang terus terbakar.
Saat pasukan Ibnu Sad memotong jalannya ke perkemahan, dia menantang
pasukan Bani Umayah: ”Aku bertempur melawanmu. Wanita tidak terlibat.
Aku akan melindungi wanita keluargaku dari kejahatanmu selama aku masih
hidup.”
Telinga dan hati mereka yang keji adalah mereka yang tuli
dari perkataan anak laki-laki dari anak perempuan Rasulullah, Shimr bin
Dil Jawshan dengan sepuluh orangnya maju kearah perkemahan keluarga
Imam Husain (as), dan dia berteriak kepada mereka:
”Celaka kau. Jika
kamu tidak punya keimanan dan tidak takut akan hari kiamat, berbuatlah
sekehendakmu (di dunia), dan menjauhlah dari kemuliaan, dan dari milikku
dan keluargaku dari tiranimu dan kebodohanmu.”
Serangan
berlanjut dengan kejam, ketika Imam Husain (as) berdebat dengan mereka,
sampai sebuah anak panah diarahkan ke Imam Husain (as) dan menancap di
tenggorokannya. Tombak dan pedang memakan tubuhnya. Dia menjadi lemah
karena darah yang melimpah keluar ketika tubuhnya menjadi metafor dari
sebuah buku, yang mana setiap tancapan pedang dan panah menuliskan
baris-baris agung dari kisah kepahlawanan.
Ada enampuluh-tujuh
luka yang dengan diam-diam menuturkan kisah perjuangan dan jihad dan
abadi menyuratkan bab-bab tragis dari penindasan dan ketidakadilan.
Musuh
masih belum puas. Shimr mendekati Imam Husain (as) membawa pedangnya
dan menebasnya beberapa kali, kemudian dia memenggal kepalanya. Dia
membawa kepala itu dengan penuh kebanggaan untuk dipersembahkan kepada
Ibnu Ziyad untuk mendapatkan hadiah.
Kepala yang tidak pernah berkata ”Ya” kepada penindas, yang selalu mengulangi:
”Demi
Allah ! Tidak akan pernah memberikan tanganku kepadamu seperti orang
terhina, ataupu tidak akan pernah melarikan diri seperti budak.”
Ibnu
Sad memerintahkan penunggang kuda untuk menginjak-injakkan kaki kuda
mereka diatas mayat suci Imam Husain (as). Kepala Imam Husain (as),
bersama kepala sahabatnya yang lain (bahkan kepala bayi Ali Ashgar)
diberikan kepada kriminal-kriminal, sebagai hadiah, dan membawanya
kepada gubernur Bani Umayah di Kufah.
Selama tiga hari, mayat
mayat suci dari syuhada dibiarkan terbaring di gurun Karbala sebelum
orang-orang suku Bani Asad, yang tinggal didekat medan perang tersebut
menguburkannya. Para kriminal, masih belum puas dengan semua ini,
menawan dan membawa wanita dan anak-anak, termasuk anak Imam Husain (as)
yang sedang sakit, Imam Zainal Abidin dari Kufah ke Suriah. Dibagian
depan dari rombongan prosesi kesedihan ini, kepala-kepala Imam Husain
dan pengikutnya.