Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Asyura. Show all posts
Showing posts with label Asyura. Show all posts

POSISI DAN PERAN IMAMAH; Studi historikal kesinambungan Imamah dalam percakapan Imam Husein as dan Imam Sajjad as


Imamah dan kepemimpinan merupakan prinsip dan pondasi penting agama Islam. Kedua masalah ini, di samping prinsip-prinsip lainnya, mewujudkan eksistensi Islam. Keuniversalan agama Islam membuatnya tidak bergantung pada lainnya. Kedua prinsip ini sebagai penjaga hukum, undang-undang dan nilai-nilai ilahi. Bahkan lebih dari itu, begitu pentingnya prinsip ini juga sebagai penjamin keberlangsungan hasil dari prinsip-prinsip yang lain. Keberadaan dan peran dari prinsip Imamah menjamin tauhid, keadilan ilahi, kenabian dan hari akhir menjadi lebih realistis; mulai dari sisi teoritis hingga praktis. Manusia dengan mudah dapat merasakan itu dan memanfaatkannya. 

Dalam sistem politik Islam, prinsip Imamah dan kepemimpinan keberadaan dan perannya tidak diragukan lagi. Prinsip Imamah dan kepemimpinan adalah langkah awal untuk mendirikan sebuah pemerintahan Islam yang pada gilirannya menyiapkan kondisi dan fasilitas demi terlaksananya undang-undang politik, sosial, ekonomi, militer, moral, pendidikan, hukum dan peradilan di tengah-tengah masyarakat berdasarkan Islam.

Kewajiban, peran dan dampak penting dari prinsip Imamah dan kepemimpin dalam ajaran Islam menjadi tanggung jawab seorang Imam dan pemimpin.
(1) Pada saat yang bersamaan, setiap orang diwajibkan untuk mengetahui Imam di zamannya.
(2) Ketaatan terhadap seorang Imam identik dengan ketaatan terhadap Allah Swt.
(3) Dan para Imam menjadi saksi atas perbuatan manusia.(4)

Dalam peristiwa Asyura, terjadi pertemuan dan bincang-bincang antara Imam Husein as dengan Imam Sajjad as. Sebuah percakapan bersejarah. Pembicaraan itu bila diteliti menunjukkan posisi dan pentingnya Imamah dan kepemimpinan.

Imam Sajjad as dalam peristiwa Asyura menderita sakit. Penderitaan yang membuatnya tidak dapat ikut serta dalam peperangan itu. Sakit membuatnya tidak dapat berjihad di samping ayahnya. Ketidakmampuannya untuk ikut dalam membela kebenaran yang diusung oleh Imam Husein as membuatnya sangat bersedih.

Pada detik-detik terakhir peristiwa Asyura, Imam Husein as untuk terakhir kalinya menyambangi anaknya, Imam Sajjad as. Pertemuan untuk terakhir kalinya. Ketika Imam Husein as mendekat anaknya, ia ditanya, "Ayah! Hari ini apa yang engkau lakukan dengan orang-orang Munafik?"

Imam Husein as menjawab, "Wahai anakku! Setan telah mengalahkan mereka. Setan berhasil menyingkirkan keinginan mengingat Allah dari hati mereka. Perang akhirnya merupakan pilihan yang tidak dapat dielakkan. Mereka bak orang kehausan sampai berhasil melihat bumi menyerap semua darah kami."

Imam Sajjad kembali bertanya, "Pamanku Abbas di mana?"

Imam Husein as menjawab, "Wahai anakku! Pamanmu dibunuh. Jasadnya berada dekat sungai Furat. Tangannya terpotong."

Mendengar penjelasan ayahnya, Imam Sajjad menangis tersedu-sedu. Ia kemudian bertanya, "Bagaimana kabar Ali, saudaraku dan rombongan yang lain?"

Imam Husein as menjawab, "Anakku! Ketahuilah bahwa di perkemahan kita tidak ada lagi orang yang tersisa, selain kita berdua. Semua orang yang engkau Tanya telah tewas berkalang tanah."

Kembali Imam Sajjad as menangis tersedu-sedu. Ia kemudian memohon kepada Zainab, bibinya agar mengambilkan tongkat dan pedangnya.

Imam Husein as ganti bertanya, "Apa yang ingin engkau lakukan dengan tongkat dan pedang?"

Imam Sajjad as menjawab, "Dengan tongkat aku dapat menyanggah tubuhku. Dan dengan pedang aku akan membela keturunan Nabi Saw.

Imam Husein as memanggil Ummu Kultsum dan berkata, "Jaga dia! Tidak boleh terjadi bumi kosong dari Alu Muhammad (keluarga Muhammad)."(5)

Sekejap, Imam Husein as dapat merasakan mengapa anaknya mengucapkan hal itu. Ucapan dan sikap yang lahir dari rasa tanggung jawab yang tinggi, sekalipun dalam kondisi sakit dan lemah. Sebuah keputusan yang lahir dari semangat melawan musuh. Namun, Imam Husein as melarang anaknya untuk ikut berperang. Argumentasinya adalah Imam Sajjad as harus tetap hidup. Ia harus hidup untuk masa yang akan datang. Masa yang menuntut tanggung jawab yang besar dari prinsip Imamah dan kepemimpinan. Imam Sajjad as harus tetap hidup agar prinsip ini tetap langgeng, tidak terputus. Kematian Imam Sajjad as berarti terputusnya prinsip Imamah dan sama dengan kosongnya bumi dari seorang Imam dan pemimpin.

Tiba saatnya Imam Husein as harus mengucapkan salam perpisahan kepada anaknya.

Pertama, beliau menasihati keluarganya bahwa setelah ia terbunuh, mereka semua bakal ditawan. Kedua, beliau membeberkan rencana dan tugas yang harus diemban oleh mereka. Dan yang bertanggung jawab penuh dalam tugas ini adalah imam Sajjad as. Mereka harus menyampaikan dan menyingkap semua keteraniayaan Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya.

Nasihat Imam Husein as kepada anaknya:

"Kapan saja anggota keluarga berteriak akibat beratnya cobaan, maka engkau yang harus mendiamkan mereka!

Kapan saja mereka merasa ketakutan, maka engkau yang bertugas menenangkan mereka!

Pikiran mereka yang bercabang harus engkau satukan dengan ucapan yang dapat menenangkan!

Ini harus engkau lakukan karena orang yang menjadi tempat pengaduan mereka telah tiada selain engkau. Biarkan mereka dengan keadannya sehingga dapat merasakan kehadiranmu dan engkau dapat merasakan penderitaan mereka. Lakukan ini agar mereka menangisimu dan engkau menangisi mereka."

Setelah itu, Imam Husein as memegang dan mengangkat tangan Imam Sajjad as. Dengan nada tinggi beliau berkata kepada anak-anak dan wanita Ahlul Bait:

"Dengarkan ucapanku! 

Ketahuilah! Ini adalah anakku dan khalifahku untuk kalian. Ia adalah Imam yang wajib untuk ditaati."(6)

Percakapan antara Imam Husein as dengan Imam Sajjad as dan keluarganya pada detik-detik terakhir peristiwa Asyura sangat jelas dan kuat menekankan posisi, peran dan nilai "Imamah dan kepemimpinan". Pentingnya masalah ini dengan memperkenalkan Imam dan pemimpin setelahnya. Imam dan pemimpin bagi khilafah, wilayah dan pemerintahan atas masyarakat dan negara Islam.

Prinsip Imamah dan kepemimpinan hadir di tengah-tengah peristiwa Karbala. Hadir dan dapat dirasakan dalam semua tahapan-tahapan kejadian Karbala. Imamah dan kepemimpin mengawasi jalannya peristiwa bersejarah ini agar sahabat-sahabatnya tidak keluar dari garis itu. Dan yang terpenting pada detik-detik terakhir Asyura prinsip Imamah dan kepemimpinan ditetapkan, bahkan suksesi berjalan sempurna. Imamah dan kepemimpinan tidak berhenti, namun hadir dalam bentangan sejarah pada semua generasi dan di setiap zaman.

*) Artikel ini dimuat di harian Jomhouri Eslami, no 7979, tahun ke 28.

Catatan:
1. Ghurar al-Hikam, jilid 2, hal 29.
2. Farhang Sukhanan Emam Hossein as, penerbit Masyhur, hal 92.
3.Ghurar al-Hikam, jilid 2, hal 208.
4. Ibid, hal 206.
5. Farhang Sukhanan Emam Hossein as, hal 539-540.
6. Ibid. Hal 541-542.

Mengapa banyak kaum muslimin yang tidak mengetahuinya (apalagi mengenangnya) ?



Al-HUSAYN, KARBALA DAN ASYURA
Umar menendang pintu dan pintu, Fatimah jatuh tertimpa pintu, -tanpa patah tulang-
Fatimah mendorong pintu agar menghalangi mereka masuk, Umar menendang pintu hingga terlepas dan mengenai perut Fatimah hingga Muhsin gugur dari perut ibunya.
Multaqal Bahrain hal 81, Al Jannah Al Ashimah hal 251, Umar menggunakan pedang dan cambuk tanpa menyentuh pintu.

Fatimah berteriak Wahai Ayahku, Wahai Rasulullah, lalu Umar mengangkat pedang yang masih di sarungnya dan memukul perut Fatimah, lalu Fatimah berteriak lagi, wahai ayahku, lalu Umar mencambuk tangan Fatimah,  Fatimah memanggil Wahai Rasulullah, betapa buruk penggantim, Abubakar dan Umar, Ali melompat dan mencengkeram baju Umar dan membantingnya, dan memukul hidung serta lehernya. Ali berniat membunuh Umar tetapi dia teringat wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam.
Kitab Sulaim bin Qais , jilid 3 hal 538.

Fatimah didorong di pintu, tanpa ditendang, tanpa pedang, cambuk atau paku
Al Mas’udi, seorang ahli sejarah mengatakan : Amirul Mu’minin Ali tinggal di rumahnya beserta beberapa pengikutnya, seperti yang dipesankan oleh Rasulullah, lalu mereka menuju rumah Ali dan menyerbunya, membakar pintu rumah dan memaksa orang yang di dalamnya untuk keluar, mereka mendorong Fatimah di pintu hingga janinnya gugur, mereka memaksa Ali untuk berbaiat dan Ali menolak, dan mengatakan : aku tidak mau, mereka mengatakan : kalau begitu kami akan membunuhmu, Ali mengatakan: jika kalian membunuhku maka aku adalah Hamba Allah dan saudara RasulNya. Lihat Itsbatul Washiyyah hal 123.
Umar menyerbu rumah Ali bersama tiga ratus orang.

Diriwayatkan mengenai penyebab wafatnya Fatimah : Umar bin Khattab menyerang rumah Ali dan Fatimah bersama tiga ratus orang. Lihat dalam kitab Al Awalim jilid 2 hal 58.

Umar memukul Fatimah di jalan, bukan di rumah
Fatimah berhasil meminta surat dari Abubakar yang berisi pengembalian tanah Fadak pada Fatimah, ketika di jalan Fatimah bertemu Umar dan kemudian Umar bertanya: wahai putri Muhammad, surat apa yang ada di tanganmu? Fatimah menjawab: surat dari Abubakar tentang pengembalian tanah Fadak, Umar berkata lagi : bawa sini surat itu, Fatimah menolak menyerahkan surat itu, lalu Umar menendang Fatimah
Amali Mufid hal 38, juga kitab Al Ikhtishash.

Fatimah dicambuk.
Yang disesalkan adalah mereka memukul Fatimah Alaihassalam, telah diriwayatkan bahwa mereka memukulnya dengan cambuk
Talkhis Syafi jilid 3 hal 156

Punggungnya dicambuk dan dipukul dengan pedang.
Lalu Miqdad berdiri dan mengatakan : putri Nabi hampir  meninggal dunia, sedang darah mengalir di punggung dan rusuknya karena kalian mencambuknya dan memukulnya dengan pedang, sedangkan di mata kalian aku lebih hina dibanding Ali dan Fatimah
Ahwal Saqifah/ Kamil Al Baha’I, Hasan bin Ali bin Muhamamd bin Ali bin Hasan At Thabari yang dikenal dengan nama Imadudin At Thabari, jilid 1 hal 312.

Semenjak peristiwa Saqifah, begitu banyak serentetan peristiwa yang merupakan hari-hari kelam bagi Umat Islam. Termasuk peritiwa karbala, yang sepertinya sejarah telah menguburnya. Karbala, stigma terbesar dalam sejarah umat Islam, tidak banyak orang yang mengetahuinya. Spekulasi bisa muncul, mengapa sejarah karbala tidak banyak disinggung oleh sebagian besar umat Islam. Yang muncul sekali-sekali lebih bertendensi kepada persoalan aliran dalam Islam daripada nilai kesejarahan dan faktualitas persoalan. Pada akhirnya yang muncul hanyalah politisasi sejarah. Untuk itu saya berusaha menghindari pemaparan sejarah atas satu pihak saja. Apalagi peristiwa karbala sangat sarat dengan tendensi yang mungkin akan menjebak saya pada pemahaman yang sempit atas sejarah itu sendiri.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan peristiwa karbala ?. Mengapa banyak kaum muslimin yang tidak mengetahuinya (apalagi mengenangnya) ?. Apakah peristiwa karbala semata-mata bertendensi pada Syiah, untuk itu harus dikubur dalam-dalam ?. Semuanya pasti punya jawaban sendiri. Dan menyinggung peristiwa karbala, beberapa ahli sejarah Islam menarik benang merah bahwa peristiwa karbala tidak terjadi spontanitas secara diskrit waktu. Tetapi peristiwa tersebut berkaitan erat dengan peristiwa Saqifah. Karena tidak mungkin bagi kita untuk mendiskusikan sejarah Islam semenjak peristiwa Saqifah hingga peritiwa karbala, maka saya hanya mengambil potongan sejarah setelah kematian Ali bin Abi Thalib.baca selengkapnya

Sejarah Khulafaur Rasyidin berakhir setelah meninggalnya Ali bin Abi Thalib. Sejarah mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib meninggal setelah dua hari dari percobaan pembunuhan yang dilakukan kepadanya, tepatnya malam Ahad, 21 Ramadhan 40 H. Setelah kematian Ali, kepemimpinan berganti dengan diangkatnya Al-Hasan, anak dari Ali bin Abi Thalib, oleh orang-orang kuffah sebagai khalifah umat Islam pada saat itu. Tetapi di saat yang bersamaan, Mu’awiyyah, pendiri dinasti Umayyah dan bertindak sebagai gubernur pada saat itu, mulai menyebarkan berita dan propaganda yang isinya memihak Mu’awiyyah untuk menjadi khalifah. Banyak janji dan hadiah yang diberikan Mu’awiyyah bagi para pendukungnya. Tidak hanya itu, Mu’awiyyah juga menyebarkan berita bohong dan menjelek-jelekkan Ali beserta keluarganya dari sejak awal. Yang mungkin tidak terlupakan bagi Syiah ‘Ali adalah perintah Muawiyyah yang memerintahkan para Khatib pada setiap khotbah Jumat untuk mencaci-maki Ali dan bahkan harus mengkafirkannya. Begitu gencarnya propaganda Mu’awiyyah menyebabkan banyak sekali umat Islam yang memberikan dukungan kepadanya. Dengan dukungan yang luas, mulailah Mu’awiyyah datang ke Kuffah untuk memerangi Al-Hasan. Selanjutnya, terjadilah perang antara Al- Hasan dengan pasukan Mu’awiyyah. Namun sayang, banyak dari pasukan Al- Hasan yang berkhianat dan memihak pada Mu’awiyyah. Untuk mencegah pertumpahan darah yang semakin besar diantara kaum muslimin, Al-Hasan terdesak untuk menandatangani perjanjian damai dan membai’at Muawiyyah sebagai khalifah. Di dalam perjanjian tersebut ada beberapa permintaan Al-Hasan, seperti meminta Mu’awiyyah agar menghentikan perintah mencaci-maki ayahanda beliau dan Mu’awiyyah menyanggupinya . Akan tetapi setelah perjanjian itu, Mu’awiyyah justru melanggar janji dengan terus-menerus menyebarkan fitnah dan mencaci Ali. Sementara itu Al-Hasan justru dibunuh dengan racun yang dimasukkan ke dalam makanannya oleh Ja’dah Binti As’ats, istrinya sendiri.

Janji Mu’awiyyah kepada Al-Hasan tidak pernah dilaksanakan. Bahkan tidak kurang dari 70.000 mimbar di bawah kekuasaan Mu’awiyyah melakukan perintah mencaci Ali. Ia bertindak sewenang-wenang. Barang siapa yang mencoba untuk melakukan perlawanan, olehnya langsung dibunuh. Dan tidak pernah ada kebebasan mimbar di masa kepemimpinannya. Salah seorang gubernur yang ditunjuk Mu’awiyyah untuk memerintah kufah adalah Ziyad. Ia terkenal sebagai pembunuh berdarah dingin. Suatu ketika Hujur bin ‘Ady dan sahabatnya memprotes kebiasaan mencaci Ali. Tetapi yang terjadi, Hujur justru dijatuhi hukuman mati. Ia juga memerintahkan memotong kepala Amr bin Hamk, dan mengarak kepala itu keliling kota, kemudian dilemparkan kepala Amr bin Hamk itu ke pangkuan istrinya.

Kebiadaban ini disaksikan langsung oleh Al Husein. Ia merasa tidak dapat diam begitu saja. Apalagi setelah ia dipaksa untuk membai’at Yazid, putra mahkota Mu’awiyyah. Karena bagaimana mungkin Al-Husein dapat membai’at seorang pemimpin bagi kaum muslimin bila ia pecinta arak dan gila wanita. Akhirnya Al-Husein memutuskan untuk meninggalkan kota madinah yang telah dikuasai oleh Mu’awiyyah. Dan pada tanggal 3 bulan Sya’ban tahun 60 H, Al-Husein sampai di Makkah. Sementara itu di Damaskus Mu’awiyyah meninggal dan secara langsung kepemimpinan digantikan oleh Yazid.

Mendengar kematian Mu’awiyyah dan penolakan Al-Husein kepada Yazid, orang-orang kuffah membulatkan tekad untuk melawan Yazid. Untuk itu mereka mengirim utusan untuk membawa surat kepada Al Husein. Setelah datangnya utusan tersebut kepada Al-Husein, Al Husein segera mengirim utusannya ke Kufah, Muslim bin Aqil. Tetapi disaat yang bersamaan, Yazid menggantikan gubernur kufah yang sebelumnya Nu’man menjadi Ibnu ziyad.

Setelah Muslim sampai ke Kufah, ia disambut dengan baik oleh penduduk kufah. Inilah yang membuat yakin Muslim bahwa penduduk kufah akan mendukung Al-Husein. Untuk itu Muslim mengirim surat kepada Al-Husein agar datang ke Kufah. Segera setelah penggantian itu, Ibnu Ziyad datang ke kufah. Kemudian mengumpulkan penduduk kufah untuk mengingatkan mereka agar patuh pada penguasa tunggal Yazid bin Mu’awiyyah. Ibnu Ziyad melakukan teror kepada penduduk kufah dan ternyata berhasil. Orang-orang kufah pun berbalik, justru mendukung Yazid. Sementara itu Muslim yang telah sampai di Kufah terlebih dahulu sebelum kedatangan Ibnu Ziyad ditangkap dan dijatuhi hukuman penggal.

Surat yang disampaikan Muslim telah sampai kepada Al-Husein. Dan berita kematian Muslim justru belum terdengar. Berangkatlah rombongan Al-Husein menuju kufah. Ketika rombongan Al-Husein sampai di Hijaz, ia mengutus Qays untuk memberitahu penduduk kufah bahwa kedatangannya beberapa hari lagi. Akan tetapi Ibnu Ziyad telah mengirimkan mata-mata, dan karenanya Qays digeledah dan dijatuhi hukuman mati. Al-Husein melanjutkan perjalanan kembali dan ketika sampai di Tsa’labiyah barulah Al-Husein mendengar kematian Muslim. Keadaan ini tidak membuat rombongan Al-Husein gentar. Mereka melanjutkan perjalanan kembali dan ketika sampai di sebuah dusun yang bernama Zabalah, Al-Husein mendengar kematian utusannya yang kedua, Qays.

Perjalanan tetap berlanjut. Dan sampailah rombongan Al-Husein di Zulhisam. Di Zulhisam, Al-Husein bertemu dengan utusan Ibnu Ziyad, Hurr bin Yazid yang dikawal dengan 1000 pasukan berkuda. Al-Hurr menyampaikan maksudnya bahwa ia diperintahkan untuk membawa Al-Husein ke kufah.

Pada tanggal 2 Muharram rombongan Al-Husein sampai di sebuah lapangan yang bernama Karbala. Tanggal 3 Muharram Ibnu Ziyad mengirimkan 4000 tentara untuk memperkuat Al-Hurr. Dan 500 tentara berkuda diperintahkan untuk menutup saluran air dengan maksud agar pengikut Al-Husein kehausan. Keesokannya mulailah Al Husein mengatur pasukannya. Dengan 32 orang berkuda, 40 orang pejalan kaki, selebihnya anak-anak dan wanita, melawan pasukan Umar bin Sa’ad yang berjumlah 5000 dengan senjata lengkap. Berlangsunglah pertempuran itu hingga satu-persatu pasukan Al-Husein gugur. Satu kejadian yang paling kejam adalah ketika seorang bayi kecil yang menangis kehausan membuat iba Al-Husein dan ia menunjukkan kepada musuh untuk memberikan air minum. Yang terjadi justru bayi itu dipanah oleh salah seorang anggota pasukan Umar bin saad dan tepat mengenai perut bayi itu. Pertempuran yang sangat tidak seimbang terus berlangsung hingga Al-Husein pun gugur sebagai Syuhada pada tanggal 10 muharram 61 H setelah kepalanya di penggal oleh Syamir Zul Tawisyan. Berakhirlah perang tersebut dan pada tanggal 11 muharram 61 H, sebanyak 72 kepala ditancapkan di atas tombak. Sementara dibelakangnya diseret para wanita dan anak-anak.

Beberapa kaum muslimin sering mengenang kesyahidan Al-Husein, pada tanggal 10 muharram, yang sering di kenal dengan hari Asyura. Mengenang kegigihan Al-Husein bukanlah semata-mata mengagungkan perjuangan Al-Husein beserta pengikutnya. Tetapi Asyura juga mengingatkan kita akan ketidakberanian kaum muslimin pada saat itu untuk menentang rezim. Sampai saat ini pun kaum muslimin belum berani mengambil barisan terdepan melawan rezim. Wajar bila kaum muslimin saat ini belum dapat diharapkan untuk menjadi lokomotif umat manusia. Tidak hanya itu, Muawiyyah-Mu’awiyyah baru pun juga mulai banyak muncul. Mereka muncul dengan propaganda, topeng, dan fitnah atas nama Allah. Atau mungkin dengan mengubur sejarah dan identitas yang dibungkus ‘apologia sejarah’.

Akhirnya apapun yang saya tulis di sini tentunya ada yang mengalami distorsi. Tetapi banyak analisa yang lebih mendalam mengenai Asyura. Beberapa kajian di antaranya mencoba menghadirkan realitas sosial-politik masyarakat Arab pada saat itu dan bukan sekedar peristiwa karbala. Sehingga dalam hal ini sangat penting bagi saya untuk memberitahukan beberapa literatur sejarah yang saya pakai. Beberapa diantaranya yaitu :
1. Khilafah dan kerajaan , oleh Abul A’la Maududi
2. Kerugian dunia karena kemunduran umat Islam, oleh Abul Hasan an-Nadwi
3. Sejarah umat Islam II, oleh Prof DR. Hamka
4. Khulashah Nurul yaqin, oleh Umar bin Abdul Jabbar
5. Berbagai penyimpangan politik dalam dinasti Bani Umayyah, oleh Abu Riza
6. Tarikh al Umam wa al-Muluk, juz 6, Darul Fikr, oleh Abu Ja’far Al-Thabari
8. Hayat al-Husain, Abdul Hamid Jaudah Al-Sakhar.
9. A Probe Into History of Ashura, Dr. Ibrahim Ayati

Aku tetap akan meneruskan langkahku
Sebab bagi seorang pemuda, mati itu bukan sesuatu yang memalukan
Apabila kebenaran menjadi niatnya dan berjuang sebagai seorang muslim
Kalau aku tetap hidup, aku tak pernah menyesal
Dan kalau aku mati, aku tidak menderita
Cukuplah untuk disebut dengan kehinaan,
bila engkau tetap hidup, tapi dihinakan- Syair Al-Husein
Maqtal Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib
Shallallahu ‘alaika ya Aba ‘Abdillah
Shallallahu ‘alaika ya Mazlum bi Karbala
Shallallahu ‘alaika ya Syahid bi Karbala
Salam sejahtera bagimu ya Aba ‘Abdillah al-Husain bin ‘Ali (as.)
Salam sejahtera bagimu wahai putra Rasulullah (saw.)
Salam sejahtera bagimu wahai putra Fatimah az-Zahra. (as.)

baca selengkapnya
Pertama-tama marilah kita dengar beberapa sabda Nabi Muhammad saw. tentang Husain “Husainun minni wa ana min Husaini. Ahabballah man ahabba Husaina. Husain sibthun minal asbath. “
(Husain adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagian dari diri Husain. Semoga Allah mencintai orang yang mencintai Husain, dan Husain adalah cucu istimewa dari cucu-cucuku”.
Hadis lain, “Innal Hasana wal Husain Sayyida syababi Ahlil Jannah”, Sungguh Hasan dan Husain adalah dua pemuka pemuda sorga.

Ibnu Hajar mencatat dalam kitabnya at-Tahzib riwayat Ummu Salamah,: “Suatu hari Hasan dan Husain sedang bermain di rumahku, di hadapan datuknya Rasulullah saw. Tidak lama berselang, malaekat Jibril datang. Dia berkata sambil menunjuk ke arah Husain, “ya Muhammad, kelak ummatmu akan membunuh putramu ini. Mendengar itu Nabi kemudian menangis. Dipanggilnya Husain dan dipeluknya erat-erat ke dadanya. Kemudian Nabi memanggilku, kata Ummu Salamah, dan memberiku sebongkah tanah. Setelah mencium bongkahan tanah itu, Nabi berkata, “ya Ummu Salamah, di tanah ini ada bau Karbun wa Bala’. Kelak apabila ia berubah menjadi darah, ketahuilah bahwa di saat itu putraku ini syahid bermandikan darah.’
Lima puluh tahun setelah wafat baginda Rasulullah saw, tepatnya tanggal10 Muharram tahun 61 Hijriah, tragedi Karbala yang diucapkan oleh Nabi tersebut menjadi kenyataan. la bermula dari keengganan Husain as. untuk memberikan bai’at kepada Yazid bin Mu’awiyah sepeninggal ayahnya.

Kepada al-Walid, gubernur Madinah, Imam Husain berkata, ” Ayyuhal Amir! Kami adalah Keluarga Nabi, Tambang Risalah, Tempat Kunjungan para malaekat, dan pusat rahmat Illahi. Karena kamilah maka Allah membuka dan mengakhiri segala sesuatu. Sementara Yazid adalah seorang yang fasik, peminum arak, pembunuh nyawa yang tak berdosa dan terang-terangan melanggar perintah Allah. Orang seumpamaku takkan mungkin akan memberinya bai’at…”

Ketika Husain didesak oleh orang-orang Mu.awiyah, terutama oleh Marwan bin Hakam, seorang yang dikatakan oleh Nabi sebagai al-la’in ibnul la’in, dengan nada yang tinggi Husain berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un… Apabila bai’at ini diberikan kepada Yazid, itu berarti pengkhianatan kepada agama Islam. Bagaimana mungkin ummat ini akan dibiarkan dipimpin oleh orang seperti Yazid.” Husain kemudian berkata: ‘Wahai musuh Allah! Enyahlah engkau dariku. Kami adalah keluarga Rasulullah. Kebenaran ada pada kami. Dan al-haq pasti keluar dari lisan kami. Kudengar sendiri N abi bersabda, “Hak Khilafah adalah haram bagi keluarga Abu Sufyan dan bagi at- Thulaqa. ibnut Thalaqa., (yakni anak keturunan para tawanan Makkah kalian lihat Mu’awiyah berada di atas mimbarku, maka tikamlah perutnya. Demi Allah penduduk kota Madinah telah melihat Mu’awiyah duduk di atas minbar datukku, dan mereka tidak melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh Nabinya. Itulah kenapa akhimya mereka ditimpakan oleh Allah bencana anaknya Yazid, Zadahullah fin nari ‘adzaban, (semoga Allah lebih menimpakan adzab yang pedih kepadanya di api neraka).

Suasana mencekam di kota Madinatur Rasul karena ancaman Yazid atas nyawa Husain menyebabkan Husain berpikir untuk pergi ke kota Mekah. Sebelum pergi, Husain as. berkunjung ke pusara datuknya di tengah malam gulita, sambil berkata:
Assalamu ‘alaika ya Rasulallah!
Anal Husain ibnu Fathimah. Ana Farkhuka
wabnu Farkhika…

Salam sejahtera kepadamu wahai Rasulallah Aku adalah Husain putranya Fatimah. Aku adalah anakmu dan anak dari putrimu. Aku adalah cucumu yang kautinggalkan kepada ummatmu. Saksikanlah wahai Nabi Allah bahwa mereka telah menghinaku dan mengabaikan hak-hakku serta tidak memeliharaku. Inilah keluhanku kepadamu hingga kelak aku berjumpa denganmu…”

Kemudian Husain berdiri shalat, ruku’ dan sujud sepanjang malarnnya di samping pusara kekasihnya Rasulullah saw. Usai shalat Husain berdo’a:
Allahumma! Inna hadza qabru nabiyyika Muhammad… YaAllah! Ini adalah pusara Nabi-Mu Muhammad, sementara aku adalah putra dari putrinya Muhammad. Engkau Mahatahu derita yang apa kini datang kepadaku. Allahumma ya Allah! Sungguh aku cinta pada yang ma’ruf dan benci pada yang munkar. Aku bermohon kepada-Mu ya Dzal Jalali wal Ikram, demi pusara ini dan demi penghuninya, agar Kau pilihkan untukku sesuatu yang di dalarnnya Kau redha padaku.””

Menjelang subuh, Husain kemudian meletakkan kepalanya ke pusara datuknya. Di sana kemudian ia sejenak tertidur. Dalam tidur itu ia melihat datuknya datang dengan serombongan malaekat kepadanya. Dipeluknya Husain erat-erat ke dadanya. Diciumnya antara kedua matanya. Kemudian Nabi berkata, “Wahai putraku Husain! Sepertinya sebentar lagi kau akan terbunuh dan tersembelih di sebuah tempat dan bumi karbun wa bala’. Di sana kau dikepung oleh sekumpulan orang dari ummatku, dalam keadaan kau haus dan tidak diberi air minum. Tapi mereka masih mengharapkan syafaatku di hari kiamat. Demi Allah, kelak aku tidak akan memberi mereka syafaat di hari kiamat…”

Setelah kunjungan terakhir ke pusara Rasulullah saw., Husain kemudian berangkat ke kota Mekah bersama seluruh anggota keluarganya. Syaikh Mufid meriwayatkan, di saat Husain meninggalkan kota Mekah, Husain membaca ayat yang ada dalam surah al-Qashas (28) ayat 21, “fa kharaja minha khaifan yataraqqabu, qala rabbi najjini minal qaumidz dzalimin…” (Maka (Musa) keluar dari (kota) itu dengan ketakutan seraya berhati hati. Dia berkata, “ya Tuhanku, selamatkan aku dari kaum yang zalim.)

Husain tiba di kota Mekah pada tangga13 Sya’ban tahun 60 H. Di sana beliau dan keluarganya menetap sepanjang bulan Sya’ban, Ramadhan, Syawal dan Dzulkaidah.

Sepanjang empat bulan itu Husain berjumpa dengan sebagian dari sahabat-sahabat Rasul yang masih hidup tak terkecuali Ibnu ‘Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair dan sebagainya. Kepada mereka Husain sampaikan niatnya untuk tidak memberikan bai’at sedikitpun kepada Yazid, meskipun untuk itu ia akan berhadapan dengan kekerasan. Ketika sebagian dari mereka menasehati Husain untuk berdamai saja dengan Yazid, Husain malah menjawab, “Apakah aku akan berikan bai’at kepada Yazid dan berdamai dengannya, sementara Nabi saw. telah berkata sesuatu yang jelas tentangnya dan tentang ayahnya.”

Ibnu Umar mendesak Husain agar pulang saja ke kota Madinah untuk menghindari pertumpahan darah. ‘fidak perlu Husain memberikan bai’at, tapi juga jangan menentang Yazid. Sebab wajah semulia Husain tidak layak ditumpahkan dan mandi bersimbahkan darah di hadapan Yazid al-mal’un. Tapi Husain menjawab ajakan Ibnu Umar dengan kata-katanya yang terkenal: . “Ya Ibnu Umar! Mereka tidak akan membiarkan aku begitu saja. Mereka akan tetap memaksaku membai’atnya atau membunuhku. Dengarkan baik-baik wahai hamba Allah! Di antara sebab mengapa dunia ini sangat hina di sisi Allah adalah sebuah tragedi dimana kepala Nabi Yahya bin Zakaria dipenggal oleh kaurnnya dan kemudian ia dijadikan sebagai hadiah yang diberikan kepada pemimpin mereka yang zalim. Padahal kepala itu berbicara kepada mereka dan menyempurnakan hujahnya di hadapan mereka semua. Wahai hamba Allah! Jangan engkau lari dari membelaku. Ingatlah aku di saat-saat shalatmu. Demi Allah yang telah membangkitkan datukku Muhammad sebagai Nabi yang bashiran wa nadzira, seandainya ayahmu Umar bin Khattab hidup di zaman ini, niscaya dia akan membelaku seperti dia membela datukku. Wahai putra Umar! Apabila engkau tidak bersedia keluar bersamaku dan berat bagimu ikut bersamaku, maka itu kumaafkan. Namun jangan lupa untuk mendoakan aku setelah shalat-shalatmu. Jauhi mereka dan jangan kau berikan bai’at kepada mereka sampailah segala perkara menjadi jelas.”

Selama Husain berada di Mekah, ratusan bahkan ribuan surat datang kepadanya dari arah Kufah, Bashrah dan sekitarnya memintanya segera datang ke sana untuk dijadikan sebagai Imam mereka dalam menumbangkan kezaliman Yazid.

“Innahu laisa ‘alaina Imam. Fa aqbil la’allaha an yajma ‘ana bika ‘alal haq”, (Kami tidak punya Imam. Datanglah ke mari. Mudah-mudahan Allah akan menyatukan kami denganmu di atas jalan kebenaran)” Begitu yang mereka tulis kepada Imam Husain.

Pada tanggal delapan Dzulhijjah tahun 60 H. Husain meninggalkan kota suci Mekah menuju Irak. Malam sebelumnya ia sempat berjumpa dengan saudaranya Muhammad bin al-Hanafiah. Saudaranya ini mengusulkan kepada Husain agar pergi saja ke tempat lain yang lebih amman, ke Yaman misalnya. Namun Husain meminta waktu untuk memikirkannya. Pada pagi harinya ketika ia berjumpa kembali dengan Husain, Muhammad al-Hanafiah menuntut janji jawaban Husain. Husain kemudian berkata, “Wahai saudaraku! Setelah kita berpisah tadi malam, aku berjumpa dengan datukku Muhammad saw. Katanya, “ya Husain ukhruj, fainnallaha qad syaa an yaraka qatilan” (ya Husain! Keluarlah, sebab Allah telah menghendaki melihatmu terbunuh (di jalan-Nya). “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…” Gumam Hanafiah.

Hari kesepuluh dari bulan Muharram tahun 61 Hijriah, adalah hari yang paling menyedihkan bagi keluarga Nabi saw. Betapa tidak. Di hari itu pasukan Husain yang berjumlah lebih kurang 78 orang telah dihadang oleh tak kurangdari 30,000 pasukan yang berkuda dan bersenjata lengkap untuk siap membantainya dan menawan putra-putrinya.Di sisi lain, air sungai Furat yang terbentang panjang dan menghidupi makhluk-makhluk padang Karbala, hatta anjing sekalipun, pada hari itu diharamkan bagi putra- putri Nabi yang suci ini.

Sejak pagi Asyura Imam Husain berupaya menyadarkan mereka untuk tidak memerangi keluarga Nabi ini. Dia berusaha maksimal untuk menghentikan petumpahan darah yang akan berakibat fatal bagi kehidupan mereka setelahnya. Sampai-sampai Husain berteriak lantang, “

“Ayyuhan nas! Dengarlah kata-kataku, dan jangan kalian terburu-buru ingin memerangiku hingga aku bisa memberi kalian nasehat yang mana kalian berhak untuk mendengarnya. Lihatlah siapa diriku dan diri
kalian. Sadarlah dan perhatikan baik-baik kedudukan aku di sisi kalian. Apakah kalian boleh membunuhku dan menginjak-injak keluargaku. Bukankah aku adalah putra dari putri Nabi kalian, dan putra washinya,
orang pertama yang beriman kepada Nabi-Nya? Bukankah Hamzah, penghulu para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far at-Thayyar, yang memiliki dua sayap di syurga kelak adalah pamanku? Bukankah kalian pernah mendengar sabda Nabi tentangku dan saudaraku Hasan bahwa dua putra ini adalah pemuka pemuda syurga?”
Kata-kata Husain tidak banyak mengusik hati mereka yang telah beku. Tapi Husain terus berupaya maksimal untuk menyentuh hari nurani mereka. Sampai beliau berkata secara emosional,
“Ayyuhan Nas, ama min mughitsin yughitsu ‘anna…, apakah masih ada orang yang mau membela kami keluarga Rasul. Apakah masih ada orang yang mau menolong kami sebagai keluarga Rasul? Apakah salah kami? Apakah dosa anak-anak dan wanita kami sehingga kalian haramkan mereka dari air Furat itu?
Kata-kata Husain terakhir tiba-tiba mengusik perasaan al-Hur bin Yazid ar-Riyahi, salah seorang dari pimpinan pasukan Umar bin Sa’ad. Sejenak ia mundur dan mencari tempat yang tepat, akhirnya ia menyebat kudanya untuk bergabung bersama Husain. Al-Hur dengan suara yang penuh sesal berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah masih ada kesempatan bagiku untuk bertaubat? Kumohon maafmu ya Husain, karena telah menakut-nakuti hati para kekasih Allah dan putra-putri Nabi Allah” “Na’am. Taballahu ‘alaika. Semoga Allah menerima taubatmu ya Hur. Kata Husain, “Anta hurrun kama waladatka ummuka hurra. Khawatir sahabat-sahabat lain menyusul Hur, tiba-tiba Umar bin Sa’ad, pimpinan pasukan musuh melesatkan anak panahnya ke arah Husain sebagai tanda dimulainya perang. Sambil berteriak Umar berkata: “Saksikan di hadapan Amir bahwa aku adalah orang pertama yang melemparkan anak panahnya kepada Husain.” Dan berikutnya ribuan anak panah dilesatkan ke arah Husain, keluarganya dan sahabat- sahabatnya.
Peperangan yang tidak seimbangpun berkobar. Sahabat Husain satu demi satu maju dan kemudian gugur, disusul pula oleh keluargnya. Orang pertama adalah putranya yang bemama Ali al-Akbar, seorang anak remaja yang mempunyai wajah yang betul-betul mirip dengan wajah datuknya Rasulullah saw.
Melihat putranya ini Husain terisak menangis. Dipeluknya erat-erat putra kesayangannya ini. Sambil mengangkat janggutnya yang telah memutih, Husain berdo’a, “ya Allah, saksikanlah betapa tega dan kejamnya kaum ini. Muncul di hadapan mereka seorang yang mempunyai wajah, sifat dan kata-kata yang sangat mirip dengan Rasul-Mu Muhammad. Bahkan ketika kami rindu kepada Rasul-Mu, kami akan memandangi wajah anak ini. Ya Allah, haramkan bagi mereka keberkahan perut bumi ini. Porak- porandakan mereka. Mereka telah mengundang kami dan berjanji untuk membela kami, tiba-tiba mereka jugalah yang memusuhi kami dan memerangi kami.”

Ali al-Akbar maju ke medan perang dengan sangat tangkas sehingga mengingatkan orang akan keperkasaan datuknya Ali bin Abi Thalib as. Riwayat berkata, setelah lebih dari seratus orang tewas di tangannya, Ali kembali ke kemah ayahnya dengan luka-luka yang cukup banyak. Dia berkata, “Ya abatah, (duhai ayahanda yang mulia), haus, haus. Rasa haus benar-benar telah mencekikku sehingga terasa benar beratnya besi ini.Adakah sedikit air yang bisa memberiku sedikit tenaga?’

Husain memeluk erat putra kesayangannya ini. Sebentar kemudian dia julurkan lidahnya yang suci ke mulut anaknya yang suci. “Demi Allah, lidah Husain sendiri lebih kering dari ranting-ranting yang kering hadapan yang ada di padang Karbala.” Husain berkata, “Sebentar lagi kau pasti akan berjumpa dengan datukmu Muhammad yang tengah menunggumu dengan segelas air dari telaga al-kautsar. Bersabarlah wahai putraku, bersabarlah…”

Ali al-Akbar kembali ke medan perang. Gerak- geriknya diperhatikan oleh ayahnya yang sudah mulai tua itu. Tak lama berselang, tiba-tiba Husain menyaksikan bagaimana anak yang masih muda ini ditikam oleh musuh-musuhnya dari berbagai arah. Ada yang memukul kepalanya, menusuk dadanya, menikam perutnya, bahkan ada yang melemparkan anak panahnya sehingga jatuh persis ke lehemya. Ali al-Akbar sempat berteriak memanggil-manggil ayahnya,” ya abatah (duhai ayah)’alaika minnis salam. Kini kusaksikan datukku Rasulullah saw, mengucapkan salam kepadamu dan memintamu agar segera datang menemuinya…” Husain mendatangi putranya ini sambil mengibas-ngibaskan pedangnya ke setiap orang yang menghalanginya. Husain memeluk wajah Akbar yang bersimbahkan darah suci. Husain berkata, “qatalallahu qauman qataluka ya bunayya…, semoga Allah membunuh suatu kaum yang telah membunuhmu wahau putraku. Alangkah beraninya mereka terhadap Allah; dan alangkah nekatnya mereka menganiaya keluarga Rasulullah Sungguh, wahai putraku, apalah artinya dunia ini bagiku setelah kepergianmu…”

Kini giliran Husain, tapi sebelum itu dia minta dibawakan bayinya Ali ar-Radhi’. Maksud Husain adalah ingin mencium dan memeluk sebagai pertemuan terakhirnya. Sambil memegang bayi yang tak berdosa ini, Husain terus berteriak:
Apakah masih ada orang bertauhid yang masih takut kepada Allah. Apakah masih ada orang yang mau
menolong kami. Apakah masih ada orang yang mau membela keluarga Rasulullah.
Tengah Husain memeluk dan ingin mengecup anak yang suci ini, tiba-tiba Harmalah bin Kahil melesatkan anak panahnya ke arah leher Ali ar-Radhi’. Demi Allah, anak panah itu menembus lehemya.
Pekikan suara Ali ar-Radhi’ sangat menyayat hati. Husain menggeleng-gelengkan kepalanya seperti tak percaya betapa kejamnya manusia-manusia durjana itu.

Kini Husain benar-benar sendirian. Seluruh keluarga dan sahabatnya gugur syahid satu persatu di hadapannya. Dia berdiri sendirian di kemahnya yang semakin kosong. la bergumam menyebut-nyebut kebesaran Asma’ Allah. Sekali- sekali Husain melihat kemah putri-putrinya, kemudian ia menatap kembali lautan musuh yang tengah menanti untuk menyergapnya. Akhimya Husein melangkahkan kakinya mendatangi kemah wanita untuk melihat putri-putri Fatimah az-Zahra’ as. Suara Husain kini tidak lagi lantang. Air matanya sudah terkuras habis. Dadanya sesak menahan napas panjang. Kerongkongannya kering dan panas. Dengan suaranya yang parau dan terbata- bata, dia memanggil satu persatu putri-putri Fatimah az-Zahra’:
” Assalamu alaiki ya Sakinah! Terimalah salamku wahai Sakinah.” ” Assalamu alaiki ya Fatimah! Terimalah salamku wahai Fatimah:’ ” Assalamu Alaiki ya Zainab! Terimalah salamku wahai Zainab.” ” Assalamu Alaiki ya Ummu Kalthum! Terimalah salamku wahai Ummu Kalthum.”

Sakinah yang kecil memeluk erat tubuh ayahnya yang kini kesendirian itu.
“Ya abatah. Ayah! Apakah salammu ini pertanda bahwa kau akan pergi meninggalkan kami? Apakah ini pertanda perpisahanmu dengan kami?” Husain merangkul putrinya yang mungil ini sambil berbisik:
” Wahai putriku Sakinah! Apakah mungkin maut tidak menjemput orang yang tidak ada pembela dan kesendirian ini. Bersabarlah putriku! Usaplah air matamu. Bersabarlah, kau akan lebih banyak lagi menangis setelah kematianku. Tolong jangan kau bakar hati ini sebelum ruhku meninggalkan badan ini. Kelak setelah aku gugur, menangislah putriku dan menangislah!” Husein memeluk satu persatu putri-putrinya yang tidak berdosa. Juga adik-adik wanitanya yang bersamanya di Karbala, Zainab dan Ummu Kaltsum. Kemudian dia datang memeluk Ali Zainal Abidin yang sedang berbaring lantaran sakit keras. Mas’udi dalam kitabnya Ithbat al-Washiyyah meriwayatkan, Husain kemudian berwasiat kepada putranya yang sedang sakit ini al-Ism al-A’zam dan peninggalan-peninggalan waris para Nabi. Kemudian Husain juga menyampaikan bahwa ia telah menitipkan ilmu-ilmu, kitab-kitab, mushaf-mushaf dan senjata warisan kepada Ummu Salamah r.a.

Usai pamit dengan keluarganya tercinta, Husain kemudian menunggang kudanya yang membawanya berhadapan dengan musuh-musuhnya yang berjumlah lebih dari tiga puluh ribu serdadu. Husain masih berupaya untuk menyadarkan mereka dan menyelamatkan mereka dari kesesatan. Husain masih tetap ingin meyempumakan hujjahnya kepada orang- orang yang sepertinya sudah ditutupkan oleh Allah hatinya. Tapi hati mereka tak bergeming.

Tiba-tiba Umar bin Sa’ ad berteriak:
“Celaka kalian! Tahukah kalian dengan siapa kalian berperang? Inilah putra singa orang-orang Arab. Inilah putra Ali bin Abi Thalib. Serang dia dari berbagai sisi.”
Perintah Umar bin Sa’ ad kemudian diikuti dengan lemparan empat ribu anak panah yang dilesatkan
untuk menembak Husain.

Dengan gagahnya Husain tetap berdiri kokoh, walaupun sebagian anak panah mengenai badannya yang mulia. “Kalian mengancamku dengan maut; kalian menakut-nakuti aku dengan anak panah. Demi Allah mati adalah lebih mulia ketimbang harus tunduk pada kezaliman. Syahid di jalan Allah lebih mulia ketimbang tunduk pada kehinaan. Husain berkata:
Mati lebih utama ketimbang melakukan keaiban dan lebih utama daripada masuk ke dalam api neraka akulah Husain putra Ali tidak pemah mundur dalam membela kebenaran. Kukan pertahankan keluarga ayahku. Kukan teruskan berjalan di atas agama sang Nabi.

Peperangan yang tak seimbang antara Husain dengan pasukan Umar bin Sa’ ad sudah tak terelakkan lagi. Tidak sedikit dari kalangan pasukan Ibnu Sa’ ad yang tewas di tangan Husain.

Dalam keadaan letih dan haus yang amat sangat, Husain kemudian duduk ingin sejenak beristirahat. Riwayat berkata, tiba-tiba Abul Hatuf membidikkan panahnya yang kemudian jatuh persis mengenai dahinya Husain. Dengan tangannya yang mulai putranya lemah, Husain berupaya mencabut anak panah itu perlahan-lahan. Dahi Husain yang sering digunakannya untuk bersimpuh sujud di hadapan al- Khaliq, kini menyemprotkan darah suci dan segar tentang pada pasir Karbala. Wajah Husain berubah merah. Janggutnya yang putih kemilau kini bermandikan darahnya yang segar. Husain berkata:
Ya Allah! Engkau saksikan sendiri apa yang dilakukan oleh hamba-hambaMu yang durhaka ini
terhadapku.
Ya Allah, hancurkan mereka, habisi mereka, dan jangan Kausisakan satupun dari mereka di atas muka bumi ini, dan jangan juga Kauampuni mereka.

Husain kemudian berdiri lagi meneruskan perlawanannya sampai kemudian dia merasa keletihan lagi. Sejenak ia beristirahat, tiba-tiba sebuah batu besar dilemparkan ke arah dahinya dan persis mengenai lukanya. Darahnya yang suci kini lebih banyak mengalir membasahi seluruh tubuhnya. Husain meringis kesakitan. Luka-luka yang mengenai tubuhnya membuatnya tak berdaya. Imam Husain kemudian mengangkat tangannya untuk mengambil ujung bajunya guna mengusap darah yang mengalir di dahinya. Tiba-tiba sebatang anak panah beracun yang bermata tiga dibidikkan persis ke arah dadanya. Dada Husain luka. Jantung Husain robek. Anak panah tembus sampai ke belakang Husain. Husain menundukkan kepalanya sambil memegahg-megang dadanya yang memancurkan darah segar Nabi yang mulia. Dengan suara yang terbatah-batah Husain berdo’ a:
Dengan Asma’ Allah
dengan bantuan Allah
dan di atas agama Rasulullah
Ilahi, Engkau Mahatahu bahwa mereka telah membunuh satu-satunya putra NabiMu yang masih ada di atas muka bumi ini.

Husain kemudian mencabut anak panah itu dari belakangnya, yang kemudian memuntahkan darah segar nan suci. Perawi berkata, Husain kemudian menampung darah-darahnya itu dengan kedua tangannya, lalu dilemparkan ke arah langit. Demi Allah! Tidak setetespun dari darah itu kemudian kembali ke bumi.
Kemudian Husain menampung lagi darah yang masih mengalir deras dengan kedua tangannya. Kemudian ia usap-usapkan ke wajahnya, janggutnya, dan tubuhnya sambil berkata:
Seperti inilah aku akan bertemu dengan datukku Rasulullah saw dalam keadaan badan ini bersimbah darah Kelak akan kukatakan kepadanya bahwa yang membunuhku adalah Fulan bin Fulan. Melihat Husain tergeletak lemah, Umar bin Sa’ ad berteriak, “Turun kalian dan penggallehemya…” Maka turunlah sebagian makhluk-makhluk durjana itu untuk menghina Husain. sebagian memukuli amamah atau sorban Husain sampai kepalanya luka; sebagian menusukkan pedangnya ke perut Husain; sebagian yang lain menyabetkan pedangnya ke punggung Husain. sedemikian buruk perlakuan mereka kepada Husain yang sudah jatuh lemah itu, sampai Imam Baqir as. berkata, “Hatta kepada anjingpun, mereka dilarang memperlakukannya seumpama itu. Husain telah ditusuk dengan pedang, dipukul dengan tombak, dilempar dengan batu, dipukul dengan kayu dan tongkat; bahkan dinjak- injak dengan kuda…”

Tidak sekedar itu. Jiwa iblis Umar bin Sa’ ad masih belum puas. Dendam Ibnu Ziyad terhadap Husain masih belum tuntas. Meskipun Husain kini telah tergeletak layu bersimbah darah, dalam keadaan badan nyaris tidak lagi bemyawa, mereka kobarkan api permusuhan sedalam-dalamnya terhadap Husain.

Umar bin Sa’ad memerintahkan orangnya untuk turun menghabisi Husain. Shimir dan Sinan bin Anas turun dari kudanya. Melihat mereka Husain masih terengah-engah meminta air. “Sungguh, aku haus, aku Husain haus!” Kata Husain. Syimir kemudian menendang dengan sepatunya yang keras. Dengan suaranya yang keras dia berkata, “Wahai putra Abu Turab! Bukankah engkau berkata bahwa ayahmu akan memberi air di telaga al-kautsar kepada orang yang dicintainya. Mintalah dari ayahmu…!” Syimir kemudian duduk di dada Husain. Dia pegang janggut Husain yang sudah bermandikan darah. Dengan senyum Husain berkata kepada Syimir, “Apakah engkau tidak kenal aku dan akan membunuhku?” Syimir menjawab, “Ya, Aku mengenalmu dengan baik. Ibumu Fatimah az-Zahra’; ayahmu Ali al-Murtadha, dan datukmu Muhammad al-Mustafa, pembelamu adalah Allah Ta’ala. Aku tidak perduli semua itu…”

Dalam sebuah riwayat, Syimir berusaha memenggal leher Husain dari arah depan. Namun dia gagal. Kemudian dia membalik Husain dengan sangat kasar dan menebaskan pedangnya dari arah belakang Husain…” setiap kali urat leher Husain terpotong, Husain berteriak, “Wa abatah, wa ummah, wa jaddah, wa ‘aliyyah (duhai ayah, duhai ibu az- Zahra’, duhai datukku Mustafa dan duha ayahku Ali…”

Riwayat berikutnya kemudian berkata,
“Mereka kemudian turun beramai-ramai dari kudanya untuk merampas setiap barang yang ada di tubuh Husain yang mulia. Bahar bin Ka’ab melucuti celana Husain; Akhnas bin Marthad menarik sorban. Husain; Aswad bin Khalid merampas sandal Husain; Umar bin Sa’ ad mengambil baju perang Husain; Jami’ bin al-Khalq merebut pedang Husain. Yang lebih tragis lagi, Bajdal bin Sulaim mengambil cincin Husain. Kata perawi, semula Bajdal mencoba keras menarik-narik cincin Husain. Tapi dia tidak berhasil. Kemudian dia mengambil jalan pintas. Dihunuskan pedangnya ke arah jari-jari Husain, dan … karena sepotong cincin, ia potong jari Husain.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…

Makna Asyura bagi Ahlusunnah dan Syi’ah


Teks: Dr. KH. Said Aqil Siradj
Kita semua telah mengetahui bahwa cucu Rasulullah Saw dari Sayyidah Fathimah az-Zahra yaitu Al Hasan dan Al Husain, keduanya akan menjadi pemimpin pemuda surga, dua orang pemuda yang sudah dipastikan masuk surga. Hendaknya umat Islam mencontoh dan mengambil teladan dari kedua tokoh tersebut, dari kedua pemimpin kita semua. Baik dilihat dari nash Al Quran dan Al Hadits maupun dilihat dari sejarah, kita seharusnya menghayati apa arti Asyura, apa arti peristiwa Karbala ini sebagai mas’alatil Islam wal muslimin, sebagai tragedi yang menimpa umat Islam dan ajaran Islam itu sendiri.
 Walaupun ada beberapa pihak yang tidak senang dengan adanya acara ini, itu karena mereka melihatnya dengan sepotong-sepotong, hanya melihat dari aspek politik saja. Tetapi bagi kita yang masih memiliki hati nurani yang ikhlas dan iman yang cukup ideal, kita mencintai hari ini, acara ini, bukan karena kepentingan, politik, target, atau apapun yang bersifat duniawi, tapi kita betul-betul melihat peristiwa Karbala sebagai peristiwa adzim, salah satu peristiwa agama. Sama seperti peristiwa lahirnya Nabi Muhammad, Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Yaumil Arafah, demikian pula peristiwa Karbala merupakan peristiwa agama.

Syekh Abdul Qadir Jailani, dalam kitabnya yang berjudul Al Ghunyah, mengatakan bahwa Asyura itu termasuk ‘Asyirul Karomah (hari berkeramat yang ke-10). Peristiwa Asyura disejajarkan dengan peristiwa Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Maulidil Rasul, Isra dan Mi’raj, Yaumil Arafah, Lailatul ‘Idain (Idul Fitri dan Idul Adha), dan termasuk yang ke-10 adalah hari yang penuh keramat, penuh kemuliaan bagi umat Islam, yaitu hari Karbala. Artinya, memperingati peristiwa Karbala bukan milik kelompok tertentu, dalam hal ini Syiah, tetapi milik kita semua sebagai umat Islam, terlebih lagi milik NU. NU seharusnya berada di depan, menjadi pelopor dalam memperingati acara ini. Syiah merupakan kelompok minoritas di negeri ini, sedangkan NU adalah kelompok terbesar, jadi seharusnya merasa memiliki hari ini.

Kita seharusnya berkewajiban dan merasa terpanggil untuk menghidupkan acara Madrasatil Karbala, karena merupakan peristiwa besar dalam agama Islam. Cucu Rasulullah Saw, yang ketika masih kecil selalu digendong dan diciumi oleh beliau, bersama seluruh rombongannya, keluarganya, putra-putranya, laki-laki dan perempuan, semuanya dibantai dan disembelih, dibunuh dengan sangat sadis di padang Karbala. Yang selamat hanya dua orang, yaitu Sayyidah Zainab dan Imam Ali Zainal Abidin. Itupun karena Imam Ali Zainal Abidin sedang sakit dan ditunggui oleh Sayyidah Zainab, sehingga mereka tidak keluar dari kemah. Seandainya beliau tidak sakit dan keluar dari kemah, tentulah Ahlul Bait sudah habis.

Ini adalah suatu kekejaman yang luar biasa, suatu peristiwa besar yang luar biasa, tidak kalah dengan peristiwa agama Islam yang lain. Hendaknya kita sebagai masyarakat Nahdatul Ulama, sebagai pengikut Ahlusunnah, yang arti sebenarnya adalah yang selalu berjalan di atas garis Rasulullah, peduli dengan hari yang sangat memilukan ini. Kita tidak perlu melihat dengan kaca mata politik, karena dalam politik selalu ada dampak kepentingan yang nantinya akan menimbulkan fanatisme kelompok, kemudian timbul fitnah, dan seterusnya.

Marilah kita berkumpul dalam Madrasatil Karbala ini dengan tulus ikhlas, menghidupkan hari pengorbanan yang besar dari cucu Rasulullah Saw. Tanpa ada pengorbanan, agama apapun, perjuangan apapun, idealisme apapun, tidak akan terwujud. Pengorbanan itu baik dalam bentuk jiwa, tenaga, maupun harta. Islam dibesarkan oleh Allah melalui wasilah, perantara, darah-darah syuhada yang dikorbankan dengan sangat murah, antara lain dalam perang Badar, Uhud, dan peperangan lain. Dan juga yang sangat mengejutkan adalah darah Imam Husain yang dibantai di padang Karbala. Hal ini harus menjadi catatan sejarah yang betul-betul masuk dalam keimanan kita.

Oleh karena itu, di Timur Tengah, seperti di Mesir yang mayoritasnya Ahlusunnah, apalagi di Iran dan Irak, sudah menjadi budaya untuk memperingati hari ini secara besar-besaran. Pengorbanan yang telah dicontohkan oleh Imam Husain, hendaknya menjadi contoh bagi kita semua.

Agama Islam sebenarnya merupakan amanat yang digantungkan pada leher kita semua. Apabila kita tidak merasa demikian, maka kita tidak akan terpanggil, tidak akan peduli, tidak akan semangat, tidak akan mempunyai motivasi dalam perjuangan agama. Tentunya bukan berarti kita harus berperang, tetapi kita dalam memperjuangkan kebenaran pasti ada tantangan. Jika ada tantangan pasti ada upaya, perjuangan, rasa lelah, prinsip yang kuat, dan sikap yang tegar dalam menghadapinya. Tanpa itu semua, jangan harap Islam bisa diperhitungkan. Yang ada hanyalah Islam turunan, Islam KTP, Islam yang terbawa oleh lingkungannya.
Hal ini berarti, bahwa setiap umat Islam harus mempunyai visi ingin mengubah atau ingin melakukan sesuatu yang bisa mengubah keadaan yang tidak baik atau tidak benar. Setiap kali kita melihat kejelekan atau kerusakan, kerusakan masyarakat atau kerusakan sosial, kita harus terpanggil ingin mengubah hal itu menjadi baik. Sudah tentu tidak harus dengan kasar atau kekerasan, tapi kita mempunyai tujuan ingin mengubah keadaan yang buruk ini.

Jika masyarakat sudah rusak, terjadi bentrok antar masyarakat, antar kelompok, apalagi sesama umat Islam, pejabat melakukan KKN, para kyai bertengkar, kaum mudanya terbawa arus entah kemana, kemungkaran merajalela, kebohongan dan fitnah mudah sekali timbul sesama Islam, maka kita harus mempunyai niat untuk mengubahnya. Hal seperti ini jangan sampai berlanjut dan harus kita ubah. Caranya jangan dengan kekerasan, tapi harus dengan ketegasan. Itulah salah satu pelajaran yang diambil dari peristiwa Karbala.
Imam Husain meninggalkan Madinah dan Mekah pada musin haji yang ramai dengan orang yang melaksanakan ibadah haji. Betapapun pentingnya ibadah haji, tetapi jika hanya dipandang sebagai rutinitas, sebagai hal yang biasa, maka tidak ada artinya, tidak akan mengubah sesuatu. Seseorang, asal memiliki uang, tiap tahun dapat melaksanakan ibadah haji. Akan tetapi, adakah perubahan bagi diriya, bagi lingkungannya, dan bagi masyarakatnya? Tidak ada sama sekali!

Sedangkan Imam Husain meninggalkan umat Islam yang akan berhaji, dan berangkat menuju Irak. Yang terlihat seolah-olah beliau meninggalkan kegiatan ibadah haji, salah satu rukun Islam, bersama seluruh keluarga dan pengikutnya Tetapi, bagi orang yang mengerti, tujuannya adalah ingin mengubah, ingin melakukan perubahan, jika perlu dengan berkorban, dan ternyata beliau betul-betul berkorban. Inilah orang yang betul-betul memiliki spiritual quotient (kecerdasan spiritual).

Jika hanya IQ (intelegent quation) saja yang dipedulikan, maka akibatnya seperti yang sering terjadi di Jakarta, orang-orangnya ber-IQ tinggi, tetapi juga pandai korupsi. Sedangkan di desa, orang-orangnya tidak pandai, IQ-nya rendah, tapi akhlaknya lebih baik. Jika IQ-nya tinggi, cerdas, tapi moralnya bejat, maka yang tejadi adalah kerusakan seperti situasi saat ini. Yang bisa mengubah keadaan ini adalah orang yang memiliki SQ (spiritual quotient) atau dzaka’irruh, dengan menggunakan salah satu sel yang ada dalam saraf yang disebut God’s Spot (titik Tuhan), atau istilah agamanya bil khusyu’ wal khudu’ wa tadhorru’. Bagaimana kita mengupayakan titik Tuhan kita agar selalu “on”, selalu aktif, menyala, dan mempunyai daya kekuatan yang tajam, sehingga kita mampu mengubah keadaan ini. Hal ini dicontohkan oleh Imam Husain ra, yang ingin mengubah keadaan yang sudah sangat parah dan tidak bisa ditolerir, walaupun beliau harus meninggalkan acara seremonial besar yaitu ibadah haji.

Perubahan yang dicita-citakan oleh Al Husain, bukan hanya perubahan politik (siyasah), tetapi yang paling penting dan mendasar adalah inovasi atau meningkatkan kualitas iman dan akhlaqul karimah. Bukan hanya ingin menjatuhkan Yazid, kemudian beliau menjadi khalifah, tetapi cita-cita yang beliau inginkan adalah bagaimana umat Islam betul-betul menjalankan sunnah Rasul Saw. Jika kita ingin menganggap diri kita Ahlusunnah wal jamaah, maka masing-masing diri kita harus mempunyai visi demikian.

Oleh karena itu, yang perlu kita tekankan dalam Madrasatil Karbala ini adalah, aktivitas budaya, gerakan moral dan akhlak, gerakan tsaqafah tarbawiyyah, meningkatkan pendidikan, wacana, dan intelektualitas kita. Selain itu juga gerakan moral, spiritual, rohani, dan menunjukkan bahwa kita adalah kelompok yang memiliki akhlaqul karimah, yang kepribadiannya tegar dan imannya besar, tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh keadaan sekarang ini. Itulah yang kita harapkan dari Madrasatil Karbala ini, dan sama sekali tidak mempunyai target politik, atau acara-acara yang berbau politik.

Mari kita tunjukkan kepada umat Islam yang lain, yang masih belum paham, apalagi yang masih su’udzon kepada kita. Kita tunjukkan bahwa kita benar-benar murni dan ikhlas, tidak memiliki target, bukan gerakan politik, tapi kita ingin membangun kepribadian muslim sunni yang betul-betul sunnaturrasul wa min haajihi. Itulah yang kita harapkan.

Dari aspek budaya, sebenarnya pesantren NU adalah orang-orang yang paling mencintai Ahlul Bait, bahkan boleh dibilang “sudah menjadi Ahlul Bait”, hanya secara ilmiah kita tidak mengetahuinya. Akan tetapi, tanpa terasa, kita para santri sudah menjadi Ahlul Bait. Para sufi, para tarekat tasawuf, semuanya sudah menjadi Ahlul Bait. Hal itu dilihat dari bacaan tawasul yang setiap hari dibacakan dalam Al Fatihah, ila hadrati Nabi Muhammad. Setelah itu barulah para guru sufi, yang silsilah tasawufnya apa saja, kecuali Naqsyabandiyah, pasti melalui Sayyid Tho’ifah, Al Imam Abul Qasim Muhammad al- Junaidi al-Baghdadi yang wafat tahun 297 H. Imam Junaidi ini murid dari Sirri Assaqathi murid dari Ma’ruf Al Qarhi yang wafat tahun 200 H, yang masuk Islam di tangan imam ke delapan Ahlul Bait, Imam Ali al-Ridha bin Imam Musa al-Kadzim bin Imam Ja’far ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husain bin Imam Ali bin Abi Thalib.

Pertama kali laqab sufi diberikan kepada Jabir bin Hayyan al-Azdi yang lahir tahun 100 H dan wafat tahun 160 H. Beliau adalah murid Imam Ja’far as-Shadiq. Setiap akan mengadakan eksperiman, Jabir bin Hayyan yang ahli kimia dan metematika (beliau pencetus ilmu aljabar), pasti melakukan shalat malam terlebih dahulu, kemudian pagi harinya isti’dzan (permisi) dahulu kepada Imam Ja’far as-Shadiq. Jadi, hubungan antara tasawuf dan Ahlul Bait kental sekali.

Belum lagi puji-pujian yang dibaca orang-orang NU jika terjadi wabah seperti cacar atau penyakit menular lain, mereka pasti bertawasul dengan ahli kisa. Sejarah ahli kisa ini yaitu ketika Rasulullah mengadakan mubahalah (saling melaknat dan yang salah akan binasa). Nabi menggelar sorbannya, dan di dalamnya berkumpul lima orang yaitu Rasulullah, Sayyidina Ali, Sayyidah Fathimah, Al Hasan dan Al Husain. Kaum Nasrani ternyata tidak berani melakukan mubahalah, seperti terdapat dalam Al Quran surat Ali Imran. Kelima ahli kisa ini, menurut para kyai, bisa menolak tho’un yaitu menolak penyakit yang merajalela.

Bunyinya : li khamsatun utfi biha …

Jika kita sudah biasa bertawasul seperti itu, mana mungkin tidak mengenal Ahlul Bait, maupun peristiwa Karbala. Itulah kelemahan kita, para Nahdiyin. Lain halnya dengan pengikut ormas lain yang tidak pernah melakukan hal itu, wajar saja jika tidak mengenal mereka. Jika sejak kecil tidak mengenal pesantren, tidak mengenal wirid, dzikir, maulid diba’, dan barzanji, bisa dimaklumi. Sedangkan kita yang sudah biasa melakukan hal itu, tidak pantas jika tidak mengenal Ahlul Bait.

Salah satu tradisi yang sering kita lakukan adalah membaca diba’ barzanji dalam acara tasyakuran (selamatan), atau kegiatan lain yang bernafaskan Islam. Barzanji merupakan karangan Abu Ja’far al Barzanji dari Turki, yang mengirimkannya kepada raja Islam di Aceh, dan ditukar dengan sebuah kapal bermuatan cengkeh. Di dalam maulid barzanji tersebut terdapat kalimat yang menyebutkan bahwa Ahlul Bait adalah amanul ardhi, yang memelihara dan menciptakan stabilitas di muka bumi (yang dalam bahasa Jawa disebut Paku Buwono, Hamengku Buwono, Mangku Bumi, atau Paku Alam), yang selalu kita baca dan kita muliakan, serta kita cari barakah dan syafaatnya. Kita harus benar-benar peduli dan bertanggung jawab atas perjuangan Ahlul Bait, jika kita benar-benar mencintai Rasulullah Saw. Bacaannya sudah kita baca, tinggal penghayatan, aplikasi, dan implementasinya belum mampu kita realisasikan.

Bagi NU, tidak ada masalah dengan Madrasatil Karbala, justru sangat senang dan menghormati, serta mendukung minimal dengan kata-kata. Acara ini sangat bagus dan mulia, dan merupakan langkah pertama untuk membangkitkan kembali semangat Islam yang sangat esensial, bukan hanya semangat Islam yang dilakukan dengan kekerasan, tapi tujuan kita lebih dari itu, lebih bernilai dan mulia. Kita ingin mencontoh dan mengambil hikmah, bahkan mengikuti, apa yang telah dilakukan oleh Sayyidina Husain bin Ali.

Kesimpulan dari apa yang telah saya sampaikan adalah,
pertama, bahwa Madrasatil Karbala merupakan simbol perjuangan dan pengorbanan Ahlul Bait. Mari kita menjadikannya sebagai hari yang mulia, seperi yang dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani, ‘Asyirul Karamah (hari berkeramat yang ke-10), sejajar dengan hari-hari mulia lainnya. Kegiatan ini hendaknya kita lanjutkan, karena langkah ini sangat baik sekali.

Kedua, hendaknya pertemuan kita dalam Madrasatil Karbala ini menghasilkan upaya yang sinergi, perjuangan yang menyatu, menjadi sentra persatuan bagi semua pihak. Apapun latar belakangnya, dari pesantren, sekolah, pegawai, mandor, dan lain-lain, semuanya hendaknya hadir dalam Madrasatil Karbala, tidak hanya kelompok elit atau kelompok orang yang sudah bisa membaca Al Quran saja, tetapi menyeluruh bagi semua lapisan masyarakat.

Itulah salah satu perjuangan para aulia’ terutama Ahlul Bait, sehingga mencapai keberhasilan. Sebagaimana para Wali Songo, mereka termasuk keturunan Ahlul Bait. Kunci-kunci perjuangan Islam di pulau Jawa ada di tangan mereka, dengan pendekatan budaya dan tangan terbuka, dengan pendekatan moral, bukan pendekatan politik.
Kerajaaan Majapahit yang awalnya dipertahankan oleh masyarakat Jawa akhirnya mereka tinggalkan. Sewaktu Majapahit diserang oleh orang Islam, mereka bertahan, sehingga menyebabkan gugurnya lima orang kyai di pintu gerbang Majapahit (Syekh Abdul Qadir Assini, Syekh Ibrahim as-Samarkandi, Syekh Jumadil Qubra, Syekh Utsman al-Hamadani, Syekh Marzuki). Mereka ingin menyerang Majapahit dengan kekerasan, tetapi gagal karena rakyat mempertahankan Majapahit yang merupakan simbol kebesaran Jawa. Tetapi, dengan pendekatan Ahlul Bait, dengan cara tsaqafah, pendidikan, moral, pergaulan yang baik, akhlaqul karimah, bahkan melalui seni, akhirnya lama-kelamaan tanpa paksaan masyarakat Majapahit berbondong-bondong masuk Islam.
 Sampai-sampai orang Jawa sendiri mengakui, “suro diro joyoningrat lebur diningpangastuti”, keningratan orang Jawa hancur lebur oleh kebersihannya orang santri. “Sirno ilang kertaning bumi”, kebesaran Jawa hilang ditelan bumi. Kerajaan Majapahit, imperium yang sangat besar bahkan sampai ke Kolombo dan Philipina Selatan, kini tidak ada lagi, hanya sedikit sekali peninggalannya Seluruh Jawa akhirnya masuk Islam. Sehingga Sunan Ampel mengizinkan muridnya yaitu Raden Fatah mendirikan kerajaan Islam yang pertama di Demak. Itulah hasil perjuangan dengan pendekatan moral, akhlak, dan pendidikan, yang dilakukan oleh Ahlul Bait, dalam hal ini Wali Songo.
Coba bandingkan dengan kerajaan Islam di Spanyol yang berkuasa selama 800 tahun dan sudah melahirkan ulama-ulama besar seperti Ibnu Malik seorang pengarang Alfiyah, Ibnu Arabi seorang sufi besar, Syathibi ahli qiraat, Ibnu Hazm, Ibnu Zaidun seorang sastrawan, dan lain-lain. Kerajaan ini hilang dan tidak ada bekasnya sama sekali, bahkan masjid yang terbesar, Cordoba, sudah kembali menjadi gereja. Makam khalifah dan istrinya sudah digali dan tulang-tulangnya dibakar oleh pasukan Isabela.
Padahal kerajaan itu dahulu begitu besar dan kuat, melahirkan suatu peradaban yang besar, bahkan menjadi pintu gerbang ke Eropa, dan banyak kata-kata Arab yang masuk ke Eropa melalui Spanyol. Mengapa demikian? Setelah dianalisa dan direnungkan, selama 800 tahun pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, tidak pernah ada raja yang menghormati Ahlul Bait.
Sebaliknya, di Indonesia, meskipun belum melahirkan ulama-ulama besar seperti di Spanyol, tetapi Islamnya masih bertahan. Inilah bi barakati Ahlul Bait, karena umat Islam di Indonesia masih menghormati Ahlul Bait. Tentu ini hanyalah tinjauan spiritual. Analisa yang dilakukan bukan analisa rasional, tetapi analisa metafisis. Islam saat ini sudah semakin mantap dan menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Kita ketahui bahwa Dinasti Bani Umayyah yang sudah begitu banyak merekayasa sejarah hanya berkuasa selama 70 tahun, berakhir tahun 112 H dan diganti dengan dinasti Bani Abbasiyah. Dalam masalah seperti ini, orang-orang yang rasional terkadang tidak percaya bahwa ada barakah, ada faktor x yang bersifat metafisis dan supranatural, yang tidak bisa dilihat dengan mata kasat. Hal itu tidak bisa dilihat dengan bashar tapi harus dengan bashirah, tidak bisa dipikirkan tapi harus ditafakuri, tidak bisa dengan akal tapi dengan ta’aqqul, tidak bisa dengan mantiq tapi dengan dzauq, tidak bisa dengan logika tapi dengan intuisi. Kita harus memahami itu semua.
Mudah-mudahan, dengan berkumpulnya kita di tempat ini dengan niat yang tulus ikhlas, bukan karena kepentingan apapun, kita semua mendapatkan barakah dan syafaat dari Ahlul Bait. (*)

Benarkah Tahlil dari Tradisi Hindu?


Jakarta, NU Online
Selama ini terdapat keyakinan bahwa tradisi tahlilan bagi orang yang sudah meninggal yang dilakukan pada hari-hari tertentu seperti 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari sampai dengan haul yang diadakan untuk memperingati setiap tanggal kematian merupakan tradisi Hindu atau Budha yang kemudian substansinya dirubah oleh para wali songo dengan mengisi bacaan dan doa dari tradisi Islam, termasuk bacaan tahlil sehingga akhirnya disebut tahlil

Pendapat berbeda diungkapkan oleh Agus Sunyoto, penulis buku Syeikh Siti Jenar tersebut berpendapat bahwa tradisi tahlil sebenarnya merupakan tradisi Syiah yang kemudian dibawa oleh para musyafir yang menyebarkan Islam di Indonesia.

”Dalam tradisi Hindu, tidak ada peringatan 7 hari sampai dengan 1000 hari. Yang ada peringatan 12 tahun sekali,” tandasnya saat berdiskusi di kantor NU Online Selasa malam dengan sejumlah budayawan dan aktivis Lembaga Seni dan Budaya Nahdlatul Ulama (Lesbumi).

Pertanyaan tersebut muncul dalam dirinya ketika diajak salah satu temannya yang beraliran Syiah untuk tahlil diajak tahlil. ”Lho ini tradisinya kok sama dengan NU,” fikirnya dalam hati. Selanjutnya ia melakukan penelitian tentang asal usul tradisi ini.

Para musyafir yang berasal dari kerajaan Campa yang kebanyakan beragama Islam dan memiliki tradisi tasawuf beraliran Syiah lah yang mengembangkan tradisi ini. Makanya tak heran ketika Imam Khumeini meninggal, juga diadakan tahlil untuk mendoakannya.

Tradisi lain yang berasal dari Syiah adalah adanya bulan baik atau buruk untuk mengadakan suatu acara. ”Orang Jawa dha berani mengadakan hajatan pada bulan Muharram atau lebih dikenal dengan bulan Suro karena bisa membawa sial. Ini merupakan tradisi Syiah karena pada bulan tersebut Sayyidina Husein, anak Ali bin Abi Tholib meninggal dibunuh,” tuturnya.

Tentang mengapa wali yang disebut berjumlah sembilan atau lebih dikenal sebagai wali songo, padahal wali sebenarnya lebih dari itu, Agus berpendapat ini berkaitan dengan adopsi kepercayaan Hindu yang berkeyakinan adanya delapan arah mata angin dan satu dipusatnya sehingga jumlahnya menjadi sembilan.(mkf)

Source: http://www.nu.or.id/
Rabu, 14 Desember 2005 14:13

Kejadian-kejadian Aneh Pasca Terbunuhnya Al-Husein(Cucu Nabi saw) as di Medan Karbala’


*Ketika Al-Husain as. terbunuh, di sudut-sudut langit terlihat warna warna kemerahan. Warna merah itu menandakan bahwa langit tengah menangis. Sewaktu pasukan musuh membagi-bagikan sejenis tumbuhan berwarna kuning milik Al-Husain as., tumbuhan itu berubah menjadi abu. Dan sewaktu mereka menyembelih seekor unta yang dirampas dari kamp Al-Husain as., mereka menemukan sejenis kayu di dagingnya.
Hal ini disebutkan di buku-buku berikut ini:
Maqtalu Al-Husain 2 hal. 90, Tarikhu Al-Islam 2 hal. 348, Siyaru A’lami Al-Nubala’ 3 hal. 311, Tafsir Ibnu Katsir 9 hal. 162, Tahdzibu Al-Tahdzib 2 hal. 353, Tarikhu Dimasyq 4 hal. 339, Al-Mahasinu wa Al-Masaw.i hal. 62, Tarikhu Al-Khulafa’ hal. 80 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 467-469

*Kepala suci Al-Husain as. yang berada di ujung tombak berbicara dengan membawakan ayat-ayat suci Al-Quran dan lainnya.

hal ini disebutkan di Miftahu Al-Naja fi Manaqibi Aali Al-’Abahal. 145, Al-Khashaishu Al-Kubra 2 hal. 127, Al-Kawakibu Al-Durruiyyah hal. 57, Is’afu Al-Raghibin hal. 218, Nuuru Al-Abshar hal. 125, dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 452-453.

*Pada hari Al-Husain as. terbunuh, langit meneteskan hujan darah sehingga semua orang pada keesokan harinya mendapati apa yang mereka miliki telah dipenuhi oleh darah. Darah itu membekas pada baju-baju mereka beberapa waktu lamanya, hingga akhirnya terkoyak-koyak. Warna merah darah terlihat di langit pada hari itu. Peristiwa tersebut hanya pernah terjadi saat itu saja.

hal ini disebutkan di buku-buku berikut ini:
Maqtalu Al-Husain 2 hal. 89, Dzakhairu Al-’Uqba hal. 144, 145 dan 150, Tarikhu Dimasyq -seperti yang disebutkan di muntakhab (ringkasan)nya- 4 hal. 339, Al-Shawaiqu Al-Muhriqah hal. 116 dan 192, Al-Khashaishu Al-Kubra hal. 126, Wasilatu Al-Maal hal. 197, Yanabi’u Al-Mawaddah hal. 320 dan 356, Nuuru Al-Abshar hal. 123, Al-Ithaf bi Hubbi Al-Asyraf hal. 12, Tarikhu Al-Islam 2 hal 349, Tadzkiratu Al-Khawash hal. 284, Nadzmu Durari Al-Simthain hal. 220 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 458-462.

*Ketika kepala Al-Husain as. dibawa ke istana Ubaidillah bin Ziyad, orang ramai melihat dinding-dinding mengalirkan darah segar.
Hal ini disebutkan di kitab-kitab berikut:
Dzakahiru Al-’Uqbahal. 144, Tarikhu Dimasyq seperti yang disebutkan dalam muntakhab-nya 4 hal. 339, Al-Shawaiqu Al-Muhriqah hal. 192, Wasilatu Al-Maal hal. 197, Yanabi’u Al-Mawaddah hal. 322, dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 463.

*Di dinding sebuah gereja tertulis:

“Apakah umat yang membantai Al-Husain

Mengharapkan syafaat kakeknya di hari kiamat.”

Ketika pendeta yang berada di sana ditanya tentang tulisan tersebut dan siapakah yang menulisnya, ia menjawab, “Bait syiar ini telah tertulis di sini sejak lima ratus tahun sebelum nabi kalian diutus.”

hal ini di tulis di kitab2 ahlu sunnah berikut ini :
Tarikhu Al-Islam wa Al-Rijalhal. 386, Al-Akhbaru Al-Thiwal hal. 109, Hayatu Al-Hayawan 1 hal. 60, Nuuru Al-Abshar hal. 122, Kifayatu Al-Thalib hal. 290 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 567-568.

*Seorang penduduk Najran saat menggali tanah menemukan sebuah kepingan emas yang bertuliskan:

“Apakah umat yang telah membantai Al-Husain

Mengharapkan syafaat kakeknya di hari kiamat”

hal ini disebutkan di kitab Miftahu Al-Najahal. 135, Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 566.

*Sebuah tembok merekah lalu muncullah sebuah telapak tangan yang bertuliskan:

“Apakah umat yang telah membantai Al-Husain

Mengharapkan syafaat kakeknya di hari kiamat.”

hal ini disebutkan di kitab-kitab Tarikhu Al-Khamis 2 hal. 299 dan Ihqaqu Al-Haq 11 hal. 567.

*Sesaat setelah Al-Husain as. terbunuh, warna langit menghitam pekat sekali. Lalu bintang-bintang bermunculan di siang hari, sampai-sampai bintang kembar terlihat di waktu sore. Segumpal tanah berwarna merah jatuh dari atas. Langit terlihat berwarna merah bagai darah selama tujuh hari tujuh malam.

hal ini di sebutkan di kitab Tarikhu Dimasyq 4 hal. 339 dan Al-Shawaiqu Al-Muhriqah hal. 116.

Rute Imam Husain dari Mekah ke Karbala


Setelah meninggalkan Mekah, ada 14 tempat yang disebutkan dalam sejarah dimana Imam Husain pernah tinggal atau bertemu orang atau memberikan khutbah.
1. Saffah: Disini Imam bertemu dengan Farazzdaq, seorang penyair yang ditanyai oleh Imam tentang keadaan di Kufah. Dia berkata, ”Hati orang Kufah bersamamu tapi pedang mereka terhunus melawanmu.” Imam menjawab, ”Allah telah menakdirkan. Aku serahkan nasibku kepadaNya yang telah memberikan alasan yang benar (untuk pergi-penerj.)”.

2. Dhat-el-Irq: Disini sepupu Imam, Abdullah bin Jafar membawa dua anak lelakinya Auwn dan Muhammad kepada ibunya Sayidah Zainab untuk membantu Imam. Dia membujuk Imam untuk kembali ke Madinah tetapi Imam menjawab, ”Nasibku di tangan Allah.”.

3. Batn-er-Rumma: Imam mengirim surat ke Kufah dengan Qais bin Mashir, bertemu Abdullah bin Mutee yang datang dari Irak. Ketika mendengar tujuan Imam, dia mencoba untuk menghentikannya. Dia berkata bahwa orang Kufah tidak beriman dan tidak dapat dipercaya. Tapi Imam meneruskan perjalanannya.

4. Zurud: Imam bertemu Zuhair Ibnu Qain. Zuhair bukan termasuk pengikut Ahlulbait. Tapi ketika Imam memberitahukan tujuan perjalanannya Zuhair memberikan harta-bendanya kepada istrinya, menyuruhnya pulang dan berniat untuk menjadi syuhada bersama Imam.

5. Zabala: Imam mengetahui dari dua orang suku badui yang datang dari Kufah tentang kematian Muslim. Imam berkata, ”Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Indallah nahtasib anfusana.” (Kita berasal dari Allah dan kembali kepadaNya yang menjadi tujuan pengorbanan kita). Orang dari suku Asadi mencoba membujuk Imam, tapi dia bergeming. Disini Imam memberitahukan sahabatnya tentang kematian Muslim dan Hani dan bahwa orang Kufah tidak siap memberikan bantuan. Imam berkata,”Siapa yang ingin pergi, silahkan.” Kumpulan orang dari berbagai suku yang telah ikut dalam perjalanan dengan harapan mendapatkan pampasan perang menyadari harapan hampanya dan berpencar pulang. Hanya 50 orang yang tetap tinggal.

6. Batn-e-Aqiq: Imam bertemu seorang dari suku Akrama yang memberitahukan bahwa Kufah bukan lagi kota yang bersahabat dan telah dikepung tentara Yazid. Tidak ada orang yang dapat masuk dan keluar dari kota. Tapi Imam tetap berjalan terus.

7. Sorat: Imam bermalam disini dan pagi harinya memerintahkan sahabatnya untuk membawa air sebanyak mungkin.

8. Sharaf: Ketika Imam melewati tempat ini. Seorang sahabatnya meneriakkan bahwa dia telah melihat kedatangan sepasukan tentara. Imam meminta untuk cari tempat perlindungan, terutama disebuah gunung di belakang mereka. Seorang pengantar embawa mereka ke gunung terdekat.

9. Zuhasm: Disinilah Imam bertemu dengan pasukan Hurr yang terdiri dari 1000 orang. Mereka kehausan lalu Imam memerintahkan untuk memberikan air kepada mereka. Imam sendiri menolong beberapa tentara yang kehausaan untuk minum. Bahkan binatangpun diberi minum. Sholat Zuhur yang dipimpin Imam dan semua mengikutinya termasuk tentara Hurr. Disini Imam memberitahukan Hurr tentang surat-surat yang diterima dari Kufah. Dia berkata,”Wahai orang Kufah, engkau mengirim delegasimu dan menfirim surat memberitahukan bahwa engkau tidak punya pemimpin dan mengajakku datang kepadamu dan memimpinmu di jalan Allah. Kau menulis bahwa kami Ahlulbait lebih pantas untuk mengendalikan urusanmu daripada mereka yang meng-klaim tapi tidak berhak dan bertindak zalim dan batil. Tapi jika kamu mengubah putusanmu, mengabaikan hak kami dan melupakan janjimu. Aku akan kembali. Tapi dia dilarang kembali oleh pasukan Hur dan diarahkan untuk mengitari Kufah.

10. Baiza: Imam mencapai Baiza keesokan harinya dan memberikan khutbahnya yang terkenal. ”Wahai orang-orang, Nabi telah berkata bahwa jika seseorang menjumpai pemimpin yang tiran, menyeleweng dari jalan Allah dan Nabi dan menindas orang, tetapi tidak melakukan apa-apa lewat perkataan atau tindakan untuk merubahnya, maka keadilan Allah yang akan menghukumnya. Tidakkah kau melihat bagaimana rendahnya keadaanmu... Tidakkah kau perhatikan bahwa kebenaran tidak diikuti dan kebatilan (telah dilakukan-penerj) tanpa batas. Bagiku, aku mencari kematian sebagai jalan mencapai syuhada dan hidup diantara kesesatan tidaklah berarti apa-apa kecuali kesedihan dan penderitaan.

11. Uzaibul Hajanat: Disini Imam berpisah dengan pasukan Hurr dan bertemu Trimmah bin Adi. Setelah mengetahui Kufah telah menelantarkan utusannya, menjadi jelas baginya bahwa dia tidak punya harapan untuk mendapat bantuan atau bahkan kelangsungan hidup di Kufah. Walaupun begitu, dia menolak perlindungan, jika tidak pasti berguna. Trimmah menawarkan bantuan pasukan 20.000 orang terlatih dari sukunya untuk mengiringinya ke Kufah atau berlindung di pegunungan. Imam menjawab ke Ibnu Adi,”Allah memberkahimu dan orang-orangmu. Aku tidak bisa menarik kata-kataku. Semua telah ditakdirkan.” Dari jawaban ini adalah jelas bahwa dia mengerti penuh dengan situasi yang dihadapi dan bahwa dia telah memiliki strategi dan rencana di benaknya untuk mengadakan revolusi untuk membangkitkan kesadaran muslimin. Dia tidak mencoba memobilisasi pasukan militer dimana bisa dengan mudah dilakukannya di Hijaz ataupun dia tidak memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan kekuatan fisik yang ada.

12. Qasr-e-Bani Makatil: Disini terbukti bahwa Kufah bukanlah tujuannya. Karena Hurr tidak ingin meninggalkannya, dia mengitari Kufah dan mengambil rute baru. Dalam istirahatnya di siang hari, dia mengucap ”Inna Lillah” Anaknya yang berumur 18 tahun Ali Akbar mendekatinya dan bertanya. Imam menjawab bahwa dalam tidurnya dia mendengar seseorang berkata bahwa orang-orang ini akan menemui kematiannya. Ali Akbar bertanya, ”Bukankah kita di jalan yang benar.” Kematian tidak berarti baginya. Kematian dalam bentuk ini berarti kemenangan dalam kesyahidan.

13. Nainawa: Di tempat ini seorang utusan Ibnu Ziyad membawa pesan untuk tidak meninggalkan Imam. Kafilah melewati Ghaziriya menuju tempat yang disebut Karbala. Imam menanyakan tentang tempat ini. Seseorang memberitahu Karbala. Imam berkata, betul, inilah tempat Kerbin-wa-bala (tempat penderitaan dan penyiksaan). Mari kita berhenti disni karena kita telah tiba di tujuan. Ini adalah tempat kesyahidan. Inilah Karbala.

14. Karbala: Berdasarkan perintah Imam, tenda-tenda didirikan dekat dengan sungai yang menjadi cabang dari sungai Eufrat yang jaraknya beberapa mil. Hari ini bertanggal 2 Muharam tahun 61 Hijriah (3 Oktober 680 AD).

Peta menunjukkan rute yang diambil Imam Husain (as) ketika meninggalkan Mekah dengan tujuan Irak. Hari itu bertanggal 8 Zulhijah tahun 60 Hijriah (10 September 680 AD). Bersamanya ada 50 orang termasuk wanita dan laki-laki dari keluarganya dan sahabatnya. Pamannya Ibnu Abbas dan saudaranya Muhammad bin Hanafiyah tidak ikut bersamanya. Mereka memberikan kata perpisahan dan mencoba memperingatkan bahaya yang dihadapi Imam. Muhammad bin Hanafiyah memberitahukan bahwa orang Mekah dan para jamaah haji bertanya-tanya kenapa dia pergi satu hari sebelum hari raya Haji. Imam meninggalkan surat kepada saudaranya menerangkan maksudnya dengan jelas. Surat itu berkata:
”Aku tidak keluar untuk memprovokasi atau ingin menindas. Aku ingin membawa umat kembali ke jalan Amr bil Maruf wa Nahi Anil Munkar. Aku ingin mengajak mereka ke jalan dari kakekku dan ayahku Ali bin Abi Thalib.”

Peran Imam Husain Melestarikan Ajaran Islam


Siapapun yang mempelajari kehidupan Imam Husain bin Ali (as) akan menyadari bahwa perannya dalam Islam dimulai dari awal. Pada masa mudanya, dia berpartisipasi aktif dalam gerakan kebangkitan Islam. Perannya menonjol selama kepemimpinan ayahnya, Amirul Mukminin Imam Ali (as) dan berjuang berdampingan bersama Imam Hasan (as).

Dalam kesyahidannya, peran Imam Husain (as) memasuki fasa baru berkaitan dengan kompleksnya permasalahan diantara umat Islam, karena peran semua Imam Ahlul Bait (as) disesuaikan dengan kondisi perkembangan sosial, ideologi dan politik pada jamannya.

Sungguh, Imam Husain (as) menghadapi plot Bani Umayah yang menyimpang di tengah umat Islam dan juga kondisi sulit yang dijalani umat Islam. Dia (as) hidup dibagian paling berbahaya setelah perjanjian antara Muawiyah dan Imam Hasan (as). Berikut ini adalah tujuan-tujuan dari rencana busuk Muawiyah:

1. Menyebarkan teror dan memusnahkan seluruh kekuatan oposisi, terutama pengikut Imam Ali (as). Mereka diburu dan ditindas dengan berbagai cara dan teror digunakan untuk membungkam mereka.
Dengan kata-kata yang singkat dan jelas Imam Muhammad al-Baqir (as) menggambarkan tragedi berdarah ini. Dia berkata:
”Pengikut kita dibunuh di setiap kota. Tangan dan kaki mereka dipotong hanya karena kecurigaan kecil. Siapapun yang menunjukkan cinta (dukungan) kepada kita atau punya hubungan dengan kita akan ditawan atau disita harta-bendanya atau dirusak rumahnya. Frekwensi penindasan meningkat dan semakin kejam sampai puncaknya saat Ubaidullah bin Ziyad membunuh Imam Husain (as)”

Ibnu Athir, ahli sejarah, mencatat kejadian berdarah yang terjadi selama masa Muawiyah. Dia berkata: ”Setelah Ziyad mengangkat Sumrah, sementara waktu, sebagai gubernur Basrah, Sumrah membunuh banyak orang. Ibnu Sirrin berkata: ’Selama ketidakhadiran Ziyad, Sumrah membunuh delapan ribu orang.’ ’Apakah kau tidak khawatir telah membunuh orang yang tidak bersalah?’, Ziyad bertanya kepada Sumrah. ’Walaupun membunuh yang jumlah orangnya dua kali lipat saya tidak akan pernah merasa khawatir.’, jawab Sumrah.

Sawari Adwi berkata:”Sumrah telah membunuh, dalam satu hari, empatpuluh tujuh sahabatku. Semua adalah penghapal Quran.”

2. Menyebar uang untuk membeli kesetiaan orang-orang untuk merusak karakter Islami mereka dan membantu penyelewengan Muawiyah untuk memenuhi tujuan sesatnya. Dua tipe orang yang jadi sasaran :

A. Sejumlah pengkhotbah dan ahli hadis yang berperan untuk membantu Muawiyah. Mereka membuat hadis dan mengaku datang dari Rasulullah (saww) dalam rangka mendiskreditkan Imam Ali (as) dan keluarganya.
B. Pimpinan masyarakat yang punya kemungkinan untuk melawan dinasti Muawiyah.

Ini adalah bentuk kebijakan Muawiyah dan pemimpin dinasti Bani Umayah yang lain.

Perang kelaparan. Ini merupakan senjata yang dipergunakan Bani Umayah. Umat Islam merasa terhina dan tidak mampu mengganti pimpinannya. Perintah Muawiyah, yang dicatat sejarah, yang dikirim ke gubernurnya, menyatakan: ”Periksa setiap orang yang mencintai (mendukung) Ali dan keluarganya, dan jika terbukti, namanya harus dihapus dari daftar masyarakat yang menerima bayaran dan jatah makanan.”

Struktur ekonomi masyarakat selama periode tersebut tercatat oleh ahli sejarah. Mereka menulis tentang distribusi ekonomi yang timpang. Beberapa individu memiliki kekayaan besar. Segelintir orang memanfaatkan pengaruh Bani Umayah, dari bagian luar kekuasaan khalifah selama tahun-tahun terakhir kekuasaan khalifah yang benar, dengan menumpuk kekayaan. Sebagai contoh:
”Amru bin As gubernur Mesir dibawah Muawiyah, meninggalkan kekayaan sebanyak 325.000 dinar emas, 1000 dirham perak, kebun yang bernilai 2000.000 dinar di Mesir dan tanah milik di Mesir yang nilainya sebasar 10.000 dinar emas.”

4. Merusak ikatan persatuan umat Islam dengan mengangkat isu nasionalisme, kesukuan dan kedaerahan diantara kelompok-kelompok dan melestarikan sektarianisme antara muslim Arab dan non-Arab.

5. Pembunuhan Imam Hasan bin Ali (as), yang dianggap sebagai simbol Islam yang sebenarnya.

6. Mengangkat Yazid, seorang korup yang gemar mabuk dan berjudi, sebagai pimpinan baru menggantikan Muawiyah.

Mandat yang diberikan Yazid adalah untuk memimpin umat Islam, merencanakan dan melaksanakan program masa depan dan melaksanakan ajaran Islam. Pada kenyataannya menjadi perusak ajaran Islam.
Yazid, sebagaimana disaksikan oleh sejarah, pikiran, perbuatan dan perasaannya dipenuhi penyelewengan. Adalah mengherankan bahwa sejarah kita dipenuhi cerita-cerita tentang penyelewengan sehari-hari Yazid yang dilakukan di depan mata mayoritas umat Islam di Suriah. Dia menenggelamkan diri dalam kemaksiatan, hiburan sia-sia, bermabuk-mabukan, main perempuan dan bernyanyi. Dia begitu ceroboh dan bermoral rendah sehingga memakaikan perhiasan emas kepada anjing-anjingnya.

Ahli sejarah, Baladuri menyatakan:
”Yazid memiliki seekor monyet bernama Abi Qais... yang selalu dibawanya bersama rekan-rekannya ke tempat minum anggur. Dia menaruh bantal untuk tempat duduk monyetnya yang mana tindakan ini menjijikkan. Dia akan membawanya di atas seekor keledai betina liar yang telah jinak, dengan pelana kerajaan. Abi Qais ikut dalam kompetisi adu cepat dengan kuda pada hari-hari tertentu.”

Ahli sejarah yang lain, Ibnu Athir, berkata:
”Diriwayatkan bahwa Yazid terkenal dengan permainan alat musik bersenar, minum anggur, bernyanyi, berburu, dan berkumpul bersama anak-muda, penyanyi wanita dan anjing-anjing peliharaan. Dia suka menonton adu domba, beruang dan monyet. Tiada hari tanpa mabuk. Dia juga suka mengikat monyet di atas kuda dengan pelana dan berkeliling dengannya dan memakaikan topi emas dan semacamnya kepada monyetnya, dan juga anak-anak muda yang mengikutinya. Ketika seekor monyet mati, dia menunjukkan kedukaannya. Dikisahkan bahwa alasan kematiannya adalah karena seekor monyet muda menggigitnya.”

Jika seorang khalifah berkelakuan seperti ini, bagaimana dengan yang lainnya. Seorang ahli sejarah, Mas’udi, tentang ini menceritakan: ”Gubernurnya Yazid dan orang-orang pemerintahannya terpengaruh oleh tindakan korup Yazid. Selama pemerintahannya, hiburan nyanyian menyebar ke seluruh Madinah. Alat-alat musik dipergunakan. Orang-orang mulai minum anggur di depan umum.”

Sejak Muawiyah memutuskan mengangkat anaknya, Yazid sebagai khalifah umat Islam menggantikannya dimana ini bertentangan dengan ajaran Islam, keputusan ini membuat resah masyarakat, terutama tokoh tokoh yang dikenal masyarakat Islam. Sejarah Islam berada di persimpangan jalan. Di depan mereka ada dua pilihan:
Menolak dengan keras pola hidup yang ditawarkan, apapun resikonya, atau
Menerima kenyataan hidup dengan artian melepas ajaran-ajaran Islam, sumber kemuliannya dan simbol kehormatannya diantara bangsa-bangsa .

Perlawanan: Kenapa?

Jika kita mempelajari kehidupan Imam Husain dan peristiwa-peristiwa yang disaksikannya, dan lingkungan sekitarnya, kita akan dengan mudah mendapatkan bahwa dia tidak punya peluang sedikitpun untuk bisa mengatasi penindasan Bani Umayah.

Walaupun dia yakin akan terbunuh, dia tetap memulai perlawanannya dan bertahan sampai akhir yang tragis, yang tak dapat dihindari.

Kenapa dia bertahan ? Atau malah, kenapa dia melakukan perlawanan ?

Tanpa revolusi Imam Husain, jalan hidup Bani Umayah dengan semua penyelewengan, penindasan dan korupsi, akan menjadi lambang Islam di benak semua orang sampai saat ini.

Imam Husain, anak kedua Imam Ali (as), dan cucu nabi suci Muhammad (saww), adalah halaman jernih buku Islam, dan penerjemahan yang jelas dari tujuan dan konsep Islam. Ini yang menyababkan dia jadi orang pertama menanggapi panggilan keimanan di masa dia hidup. Untuk menghormati komitmennya kepada Syariah, dia tidak punya pilihan lain daripada perlawanan. Tanpa itu tidak akan ada reformasi perbaikan kehidupan. Surat resminya yang pertama dari perlawanannya menunjukkan kenyataan ini:
”Dan aku tidak mengangkat senjata demi kesenangan belaka atau bertindak berlebihan dengan apa yang aku miliki. Aku tidak melakukan kejahatan ataupun penindasan. Tetapi aku bersedia bertempur untuk satu alasan yaitu memperjuangkan perbaikan umat kakekku, Nabi Allah (saww). Aku ingin menyerukan kebaikan dan melarang kejahatan dan mengarahkan urusan masyarakat seperti yang telah dilakukan kakekku dan ayahku Ali bin Abi Thalib (as).”

Ini adalah dasar justifikasi yang memberikan Imam Husain (as) dan pengikutnya alasan untuk memulai perlawanan. Sebuah perlawanan yang masih menggema di benak orang saat ini. Itu adalah sebuah revolusi yang melestarikan Islam dan menginspirasi pelaku revolusi sepanjang masa, untuk mempertahankan Islam dan bertempur dengan penuh semangat kepahlawanan dalam perang jihad suci melawan penindasan yang tidak adil.

Angin Perlawanan.

Tak lama setelah kematian Muawiyah, anaknya, Yazid, mengambil alih. Dia memerintahkan gubernur-gubernurnya untuk membaiat rakyatnya mendukung kepemimpinannya. Dia terutama menaruh perhatian kepada Imam Husain (as), karena keyakinan Bani Umayah bahwa dia adalah kekuatan perlawanan yang tak tergoyahkan diantara pihak oposisi. Pihak oposisi, minus Imam Husain, dengan gampang ditundukkan. Dengan cepat dia menulis surat kepada gubernurnya di Madinah, Walid bin Utba untuk membaiat rakyatnya, khususnya Imam Husain (as). Sungguh, Imam Husain menjelaskan penolakannya untuk membaiat Yazid. Dia berkata kepada gubernur Madinah, Walid bin Utba: ”Yazid adalah seorang yang korup, yang suka menenggak anggur, membunuh jiwa yang dilarang oleh Allah dan menunjukkan kemaksiatannya di depan umum. Seorang laki-laki sepertiku tidak akan membaiat orang seperti Yazid.”

Dalam jawabannya, Imam Husain menjelaskan kualifikasi pemimpin yang harus dibaiat, dalam suratnya kepada penduduk Kufah:” Demi hidupku, apakah fungsi seorang Imam kecuali yang berhakim kepada Kitabullah; seorang yang menegakkan keadilan, seorang yang memegang agama kebenaran, dan seorang yang mendedikasikan hidupnya kepada Allah.”

Itulah titik awal perlawanannya terjadap penyelewengan dan penindasan. Imam Husain (as) memutuskan untuk mengambil tanggungjawab perlawanan terhadap penindas, karena dia merupakan Imam yang sah dan benar dengan keimanan.

Dia pergi ke makam Rasulullah (saww), kakeknya dan berdoa disampingnya. Lalu dia mengangkat tangannya dan berdoa:
”Ya Allah! Ini adalah makam RasulMu Muhammad (saww) dan aku adalah anak dari anak perempuannya. Engkau tahu apa yang sedang kuhadapi. Ya Allah! Aku mencintai kebaikan dan membenci kejahatan. Aku memohon kepadaMu, wahai Tuhan yang Maha Mulia, dan meminta demi kuburan ini dan isinya, untuk menentukan jalan hidupku aku dengan apapun yang Kau dan nabiMu ridhai.”

Imam Husain cepat-cepat mengumpulkan anggota keluarganya dan sahabatnya yang setia. Dia memberitahukan keputusannya untuk pindah ke Mekah, rumah Allah. Orang yang tidak setuju dengannya semakin banyak. Mereka memintanya untuk menyerah. Mereka tidak berdaya dan khawatir akan dibunuh.

Imam Husain juga mempertimbangkan untuk mundur.

Rombongan kafilah Imam Husain (as) berjalan menuju Mekah. Nama Allah terucap dibibirnya, dan hatinya penuh dengan cinta kepada Allah. Ketika memasuki Mekah, dia menyitir kata-kata berikut: ”Dan ketika dia memalingkan wajahnya kearah Madain, dia berkata: Mungkin Tuhan akan memberi petunjuk ke jalan yang benar.”

Dia berdiam di rumah Abbas bin Abdul Muthalib. Kelompok besar orang-orang beriman berkumpul untuk menerima kedatangannya. Berita tentang kepergian Imam dari Madinah dan penolakannya membaiat Yazid telah menyebar. Lalu, berbagai delegasi dan surat dukungan kepadanya mulai berdatangan dari berbagai pelosok. Sebagai jawaban, dia (as) mulai mengirim buku-buku dan surat-surat yang berisi panggilan untuk revolusi dan menurunkan Yazid dari kekuasaan, yang mendapatkan dukungan lewat paksaan, teror, penyuapan dan penipuan. Usaha ini membuahkan hasil dengan bangkitnya semangat revolusi di Irak. Imam Husain (as) memantau reaksi dari umat Islam terhadap Yazid yang menduduki posisi khalifah. Kufah, ibukota Irak, sedang menyaksikan gerakan revolusi dan goncangan politik yang besar. Setelah lama dalam kondidi teror dan penindasan kekuatan oposisi melihat kesempatan emas untuk melepaskan diri dari kekuasaan tirani. Mereka mengadakan pertemuan-pertemuan darurat membahas naiknya ketegangan di Kufah dan tanggungjawab mereka menghadapi perubahan pemerintahan, setelah Yazid bin Muawiyah mengambil-alih urusan umat Islam.

Setelah mencapai kesepakatan, tokoh-tokoh Kufah menulis surat yang menyatakan penolakan mereka terhadap kekuasaan Bani Umayah dan dukungan terhadap Imam Husain (as). Surat-surat berdatangan di Kufah membawa pesan kepada orang Kufah untuk bergabung kepada Imam Husain (as), menjadikannya khalifah dan pemimpin umat Islam. Gelombang dukungan kepada Imam Husain (as) begitu besar sehingga banyak suku-suku menyiapkan tentara yang jumlahnya mencapai 100.000 pasukan. Imam Husain mengirim surat-surat khusus kepada rakyat disana dan terutama kepada pimpinan-pimpinan masyarakat.

Kufah menerima kedatangan Muslim bin Aqil dengan penuh kesetiaan dan tanggungjawab. Baiat diberikan kepada Imam Husain. Muslim, sampai titik ini, yakin kecenderungan sedang mengarah kepada Ahlul Bait (as) dan pesan Allah Taala. Apa yang sedang terjadi bukanlah hal yang biasa dan tidak bisa diabaikan. Ini adalah tujuan yang benar, bisa dicapai dan telah menyebar luas. Mereka harus bertindak cepat memanfaatkan situasi sebelum sesuatu terjadi dan merusak kesempatan yang ada. Muslim (ra) kemudian untuk memberitahu Imam Husain (as) tentang kecenderungan yang nyata. Dalam suratnya dia mengundang Imam untuk datang ke Kufah. Dia menulis:
”Sudah menjadi kepastian bahwa orang yang dikirim kafilah di gurun untuk melihat kondisi di depannya tidak akan berdusta kepada orang yang mengirimnya. Semua orang di Kufah bersama engkau. Delapan-belas ribu orang dari mereka telah memberi baiat kepadaku. Cepat-cepatlah datang kepada kami setelah membaca suratku ini. Salam dan berkah Allah selalu bersamamu.”

Sementara itu, Imam Husain (as) mempertimbangkan untuk menghubungi tokoh-tokoh Basrah dan membahas keputusannya untuk melawan penyimpangan dan ketidakadilan. Dia mengirim surat kepada mereka. Yazid bin Mas’ud mengirim surat yang menyatakan kesetiaan orang-orang dari suku Tamim dan Bani Sad kepada Ahlul Bait (as). Sangat disayangkan dan menyedihkan bahwa suratnya terlambat tiba. Lalu, pasukan Nashali tiba terlambat. Mereka terkejut dengan berita kesyahidan Imam Husain. Telah hilang kesempatannya untuk membantu cucu nabi Muhammad (saww).

Berbaliknya orang-orang Kufah.
Awalnya, orang-orang Bani Umayah menjadi panik ketika melihat kesuksesan orang-orang beriman dan wakilnya, Imam Husain bin Ali (as). Pimpinan tertinggi Bani Umayah membuat pertemuan-pertemuan yang membahas langkah mereka berikutnya. Mereka memutuskan untuk memberikan Yazid kabar terakhir dan situasi nyata di kota Mekah. Mereka menulis surat kepada kepalanya di Suriah memberitahukan perkembangan terakhir di Kufah.

Yazid terkejut dengan berita tersebut. Penasihat khususnya menyarankan untuk mengangkat Ubaidullah bin Ziyad sebagai gubernur Kufah. Ibnu Ziyad adalah seorang pembunuh, kekosongan jiwanya dari rasa kemanusiaan dan kegelaman hatinya kepada keluarga Rasulullah (saww) menjadikannya calon yang tepat. Ibnu Ziyad menerima surat pengangkatan Yazid sebagai gubernur baru di Kufah. Dia mengangkat saudaranya menggantikannya di Basrah, dan secepatnya pergi ke Kufah dengan membawa 500 divisi pasukan dari tentara Bani Umayah.
Beberapa pimpinan di Basrah ikut menemaninya, mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang-orang Kufah.

D Kufah, Ibnu Ziyad mengumpulkan orang-orang dan memberikan mereka arahan. Dia berjanji kepada mereka yang mendukung Bani Umayah akan mendapatkan hadiah yang menggiurkan. Dia mengancam lawan Bani Umayah dengan hukuman berat, misalnya kematian. Dibawah ancaman, dia memerintahkan para kepala suku untuk menyerahkan daftar orang-orang yang melanggar aturan Bani Umayah. Jika tidak, mereka sendiri akan dibantai di depan pintu rumah-rumah mereka.

Kemudian, atmosfir kegelapan merebak di seantero kota. Pertunjukan kekuasaan dari Bani Umayah, yang diwakili oleh Yazid, terjadi.Pimpinan kaum Syiah dan pendukung gerakan Islam yang diwakili Imam Husain terkurung.

Ketakutan mengibaskan sayapnya dan keputus-asaan memenuhi hati orang-orang. Peristiwa-peristiwa keji membuat suku-suku melindungi pimpinannya melawan Bani Umayah dengan berbagai bentuk. Ibu-ibu mengunci anak-anaknya karena khawatir akan membantu Muslim bin Aqil. Mereka yang mengejar kekayaan dengan cepat datang ke istana gubernur, bergembira dengan uang yang melimpah yang ditaburkan. Secara praktis, masyarakat Kufah menjadi kacau-balau. Pendukung-pendukung panggilan Islam, yang masih bebas, melakukan kontak secara rahasia dengan Muslim. Dia yang memerintahkan hal itu, dibawah tekanan yang baru timbul.

Mata-mata Bani Umayah dengan cepat menyebar teror ke seantero kota dan Ibnu Ziyad memakai segala cara penipuan untuk keluar dari krisis. Dia menebar gosip-gosip, lewat mata-matanya dan pengikutnya, bahwa pasukan besar Bani Umayah sedang menuju Kufah. Gosip menyebar dengan cepat. Gosip merebak dan teror berkuasa. Para wanita menghalangi anak-anaknya bergabung dengan Muslim, dan mereka yang sudah, dipaksa mundur. Para ayah menahan anak-anaknya dan saudara-saudara lelakinya mengambil bagian dalam aksi militer.

Situasi terus memburuk. Banyak orang meninggalkan pasukan Muslim, dan kepanikan terjadi. Pemaksaan dan penghalangan kepada perlawanan sukses dilakukan. Muslim, pada kenyataannya, tinggal hanya dengan sedikit pendukung setia yang melakukan pertempuran-pertempuran jalanan melawan Bani Umayah. Mereka membuat basis pertahanan di daerah lingkungan Kinda. Muslim bertempur dengan lemah dan kurang semangat.

Setelah semua terbunuh atau yang lain menelantarkannya, Muslim bertempur melawan tentara Bani Umayah sendirian. Akhirnya dia terpojok dan ditawarkan perlindungan. Ketika dibawa menghadap Ibnu Ziyad dia menolak menghormati perjanjian perlindungan dan memerintahkan Muslim untuk dieksekusi. Setelah memberikan wasiat terakhirnya, Muslim dibawa ke atas istana dan dilempar ke bawah. Kemudian dia dipenggal. Kepalanya, bersama kepala Hani dikirim ke Yazid di Suriah.

Lalu, dua pilar tokoh pergerakan Islam di Kufah dibantai. Pergerakan Muslim dan Hani, dua dari pahlawan padang pertempuran di Irak. Kufah dipermalukan dengan kekalahannya dan teror meluas. Tirani menguasai kehidupan rakyat.

Jalan ke Irak

Bani Umayah khawatir dengan berita kesuksesan Imam Husain di Mekah. Dia memenangkan hampir seluruh kota. Didasari rasa takut akan penyebaran kekuatan oposisi, Yazid mengirim tentara dari Suriah. Dia mengangkat Umar bin Said sebagai panglimanya.

Imam Husain (as) menerima kabar bahwa tentara Bani Umayah sedang menuju Mekah. Mengetahui tidak adanya penghormatan dari Bani Umayah kepada Rumah Suci Allah, dia memutuskan untuk meninggalkan kota. Tidaklah mungkin baginya untuk membiarkan kesucian kota dikotori karena dirinya. Dengan sadar, dia mengetahui nasib yang tak terelakkan di Irak. Dia menyatakannya dalam khotbahnya yang disampaikan di Mekah sebelum pergi. Dia berkata:
”Segala puji bagi Allah. Apa yang Allah kehendaki akan terjadi. Tidak ada kekuatan kecuali dari Allah. Salawat Allah kepada rasul-Nya. Kematian telah ditentukan pada setiap orang, sebagaimana kalung yang melingkar pada leher seorang anak perempuan. Bagaimana besarnya keinginanku untuk melihat penerusku. Sekuat keinginan Yakub (as)
untuk melihat anaknya Yusuf (as). Adalah lebih baik bagiku menemui kematian. Sebagaimana aku melihat anggota tubuhku dirobek-robek oleh serigala gurun, diantara Nawawis dan Karbala. Mereka akan memenuhi perut kosong dan kelaparan mereka. Tidak ada pelarian dari hari yang telah ditentukan Pena Ilahi.”

Pada hari kedelapan bulan Zulhijah (hari para jemaah haji melakukan ritual haji), di tahun 60 Hijriah, kafilah Imam Husain berangkat.

Sepanjang jalan ke Irak dia bertanya kepada musafir yang ditemuinya tentang keadaan Irak terakhir. Jawaban yang didapat hanya: ”Orang disana bersama Bani Umayah, tapi hati mereka bersamanya (Imam Husain) !”
Dia telah pasti bahwa keimanan akan lestari setelah kematiannya dan tidak ada yang mempertahankan keimanan kecuali dia. Karena hal inilah dia berjalan terus untuk mencapai kemenangan bersejarah yang nyata. Hanya dengan menumpahkan darahnya dan mengorbankan jiwanya dan orang yang bersamanya dari keturunan Rasulullah, Islam akan lestari.

Di Karbala

Hari itu hari Kamis, hari kedua Muharam tahun 61 Hijriah. Imam Husain, sahabat dan keluarganya berhenti dan berkemah di gurun Karbala untuk menjadi simbol kebebasan manusia dan slogan revolusi yang abadi sepanjang masa dan generasi selanjutnya.

Di pihak lain, tentara Bani Umayah, yang diwakili Ubaidullah bin Ziyad di Kufah, mulai mengumpulkan pasukan dan memobilisasinya ke Karbala. Ibnu Ziyad mengangkat Umar bin Sad sebagai panglima baru tentara tersebut. Umar menyerah kepada keinginan Ubaidullah ketika diancam kedudukan atas kekuasaannya di Ray. Umar berjuang dengan dua pertanyaan: Penyerahan diri kepada kehidupan dunia atau menolak keinginan duniawi dan menghindari pertempuran dengan Imam Husain. Akhirnya pertanyaan pertama yang menang dan dia memutuskan untuk mengambil peranan dalam pertempuran melawannya (Imam Husain).

Dia menunjukan perjuangannya dengan dua baris kalimat:
”Bisakah aku menolak jabatan gubernur di Ray, dimana itu merupakan ketakutanku, atau haruskan aku menerima tuduhan pembunuhan atas Husain? Haruskan aku membunuhnya, ketika aku berakhir dalam api, tanpa hijab, ketika jabatan gubernur di Ray akan menyejukkan mataku.”
Umar tidak lain adalah model dari orang-orang yang memerangi Imam Husain (as), dan mempunyai niat busuk dan tujuan keji.

Lalu dia memutuskan untuk menjalankan tugasnya dan bergerak menuju Nainawa (Karbala) memimpin pasukan dengan 4000 jumlah tentara. Saat kedatangannya, Umar bin Sad mengurung perkemahan Husain. Imam Husain (as) mulai bernegoisasi dengannya, melakukan berbagai pertemuan. Hasilnya, dia menulis kepada Ubaidullah bin Ziyad menyarankannya untuk melepaskan kurungannya terhadap perkemahan Husain, dan membiarkannya kembali ke arah tempat dia datang, lalu, menghindari pertumpahan darah yang akan terjadi. Ubaidullah menerima suratnya. Bahkan awalnya dia menghargai usulannya dan menginginkan untuk langsung menjalankannya. Tapi kemudian, Shimr bin Dil-Jawshan, seorang musuh berdarah dari Ahlul Bait (as), memperingatkan akan konsekwensinya. Ubaidullah menerima saran Shimr dan memberikan suran ancaman untuk dikirimkan kepada Umar bin Sad. Sebagian isi surat:
”Jadi, lihatlah jika Husain dan pengikutnya tunduk pada kekuasaanku dan menyerah, kirim mereka padaku dalam keadaan selamat. Jika mereka menolak, lalu serang dan perangi mereka dan hukum mereka, karena mereka pantas mendapatkannya. Jika Husain terbunuh, biarkan kuda menginjak-injak mayatnya, di bagian depan dan belakang.”

Lalu, logika Ibnu Ziyad memaksanya untuk menumpahkan darah dan memotong-motong mayat para syuhada seperti yang dilakukan nenek moyangnya kaum Quraisy pada jaman jahiliyah, yang memotong-motong mayat Hamzah, paman Nabi, pada masa sebelumnya. Tidak ada pilihan lain selain perang. Husain (as) biar bagaimanapun tidak akan menyerah kepada Ibnu Ziyad:
”Seorang sepertiku tidak akan pernah membaiat Yazid.”
Dia meneruskan: ”Aku tidak menginginkan kematianku kecuali dalam keadaan syahid, karena hidup dalam ketidakadilan tidak dapat kujalani.”

Dia (as) menyitir kata-kata Rasulullah (saww), yang disampaikannya kepada tentara Bani Umayah beberapa hari sebelumnya. Dia memberitahukan mereka:
”Wahai orang-orang, Rasulullah telah berkata: ’Siapa yang menyaksikan pemimpin tidak adil yang melanggar larangan Allah yang Maha Besar, memperlakukan pelayannya dengan penuh dosa dan keji dan telah melihat semua kejahatan ini tapi tidak melawan dengan perkataan maupun perbuatan, Allah akan menghukumnya.”

Imam Husain (as) melihat bahwa dia tidak bisa bernegoisasi dengan kelompok orang lemah semangat yang mendedikasikan dirinya untuk mendapatkan harta sitaan dan kekayaan. Dia meminta saudaranya, Abbas, sekali lagi untuk berbicara dengan tentara dan meminta penundaan satu malam. Umar bin Sad dan perwiranya setuju dengan penangguhan ini. Keesokannya, sejarah membuka halaman baru dalam kehidupan Islam. Laki-laki akan saling bertempur dalam pertempuran agung di Karbala.

Malam Asyura.

Bukanlah karena strategi militer Husain meminta penangguhan. Jalan kedepan terlihat jelas di benaknya, tapi Husain meminta penangguhan untuk melakukan ibadah malam itu. Dia menginginkan pada malam terakhir untuk bisa berbicara dengan keluarga dan sahabatnya, orang-orang yang dicintainya. Dia tahu apa yang akan terjadi. Lalu dia meminta saudaranya Abbas, kedua kalinya menghadap Ibnu Sad:
”Kembali ke mereka. Jika kamu bisa menangguhkan sampai pagi dan membujuk mereka untuk menjauhi kita selama malam hari, mungkin kita bisa beribadah kepada Tuhan selama malam hari, untuk berdoa dengan intim kepadaNya, membaca ayat-ayatNya, memohon dengan berpanjang-panjang dan meminta ampunanNya.”
Gelap datang. Keluarga Nabi (saww) dan pendukungnya tidak memejamkan mata. Beberapa dari mereka beribadah, memohon kemurahan Allah dan membaca Quran. Beberapa yang lainnya menyiapkan wasiat dan kata terakhir kepada keluarganya. Suara-suara dengungan seperti lebah. Mereka menyiapkan diri mereka untuk bertemu Tuhan mereka. Pedang dan tombak dipersiapkan. Malam itu mereka menjadi tamu tanah Karbala. Sejarah menanti peristiwa yang akan terjadi keesokan paginya. Pedang dan tombak menjadi pena yang menuliskan bagian teragung dari drama yang ditulis manusia.

Selama malam itu, Husain (as) mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya dan orang-orang yang dicintainya. Dia mengunjungi Al-Sajjad, Sukaina, Layla, Rabab dan Al-Baqir-Al-Saghir (as) kemenakannya. Dia membuat wasiat terakhir, sebagaimana dia memutuskan untuk menyirami kebun Islam dengan darahnya sendiri.

Hari Asyura.
Imam Husain (as) bersama dengan sahabatnya yang soleh, melewati malam sebelum hari kesepuluh Muharah dengan ibadah, berdoa dan bersiap untuk keesokan harinya. Malam berakhir. Terasa seperti sejarah yang panjang telah lewat. Hari kesepuluh Muharam, hari berdarah, jihad dan syuhada, hari keputusan perang, telah lahir.

Umar bin Sad mengatur barisan tempurnya, dan memobilisasi tentaranya untuk memerangi anggota kelima dari keluarga suci Nabi Muhammad, yang cintanya kepada umat dinyatakan Allah lewat kalimat-kalimat jelas di dalam Quran.

Imam Husain keluar dari kemahnya bersiap penuh menghadapi musuh. Perang tak terelakkan. Jadi, dia mulai memperkuat perkemahannya dimana wanita dan anak-anak menanti kejadian berikutnya.Dia memerintahkan untuk menggali lobang di belakang perkemahan. Ini untuk menghindari serangan dari belakang. Dia membuat api di lobang tersebut. Dengan amannya daerah belakang, pertempuran akan terjadi hanya di daerah depan.

Sekali lagi, Imam Husain (as) memberikan khotbah. Dia mengingatkan orang-orang Kufah kepada surat-suratnya dan utusannya, dan janji setia mereka tapi tidak membawa hasil. Dia menghadapi telinga-telinga yang tuli.

Dia menaiki kudanya, dan melarikan kudanya ke depan musuh yang berbahaya, dengan tangannya memegang Quran. Dia membukanya, mengangkat di atas tangannya dan berkata:
”Wahai orang-orang ! Mari kita berpegang pada Kitabullah dan Sunnah kakekku, Rasulullah (saww) untuk memutuskan urusan diantara kita.”
Tidak ada yang terpengaruh dengan kata-kata Imam Husain (as).
Malahan, Umar bin Sad memerintahkan pasukannya untuk maju dan memulai pertempuran. Dia sendiri, melepaskan anakpanahnya kearah perkemahan Imam Husain sambil berteriak:
”Semua menyaksikan bahwa aku orang pertama yang menyerang.”
Imam Husain menatap tanpa goyah dan penuh tekad menghadapi pasukan besar yang penuh perlengkapan. Seperti sedang menaiki bukit, penuh kepastian dan tak tergoyahkan, Imam Husain tak menunjukan sedikitpun kegentaran. Tidak pernah terpikir untuk mempertimbangkan kembali keputusannya. Tidak ada yang dituju kecuali Allah. Dia mengangkat tangannya berdoa:
”Ya Allah ! Hanya Engkau yang kupercayai didalam kesedihan. Engkau adalah harapanku ditengah kekejaman. Engkau tempat berlindung dari semua peristiwa yang kualami. Berapa banyak kesedihan yang melemahkan semangat, meninggalkan aku sendiri untuk menghadapinya, dengan kawan-kawan yang menelantarkanku, dan musuh yang bergembira atasnya. Aku mempersembahkan kepadaMu dan mengeluhkannya kepadaMu, karena keinginanku kepadaMu, hanya Engkau. Engkau membebaskan aku dan menghapuskan daripadanya. Engkau adalah yang Maha Penyayang diantara yang penyayang, pemilik semua kebaikan dan Tujuan Utama dari semua keinginan.”

Itu adalah merupakan gambaran dari malapetaka dan tragedi yang mengorbankan keturunan kenabian dan pemimpin umat Islam, cucu dari Rasulullah (saww) yang mulia, Husain bin Ali bin Abu Thalib.

Orng-orang saling bertempur, mulanya pertempuran satu lawan satu, kemudian pertempuran penuh. Adalah alami kekuatan tentara Yazid bin Muawiyah bisa membantai kelompok kecil pejuang yang jumlahnya tidak lebih dari 72 orang.

Keseluruhan tragedi Ahlul Bait (as) dan penderitaan hebat mereka di tangan musuh mereka ditunjukkan dengan sangat jelas dalam perang Karbala.

Perang terus berlanjut di Karbala. Penumpahan darah mulia terus mengalir, berjalan menuju keabadian. Sahabat-sahabat Imam Husain (as) roboh ke tanah, satu demi satu. Para pahlawan yang hebat dari keluarga Aqil dan dari keluarga Ali bin Abu Thalib (as) sekarang menjadi mayat-mayat dengan kepala terpotong, berserakan di dataran perang seperti bintang-bintang di langit musim gugur, atau seperti bunga lotus di atas permukaan kolam.

Sekarang serangan lebih intensif. Mereka hampir terkurung oleh tentara Bani Umayah. Beberapa tentara pergi ke perkemahan mencari barang berharga. Ibnu Sad memerintahkan: ”Bakar semua kemah.” Anak-anak menangis dan wanita juga bersedih, saat melihat tenda-tenda terbakar. Imam Husain (as) berdiri diantara mereka, bergabung dengan mereka tapi tersentuh dengan tangisan anak-anak dan ratapan para wanita. Dia mencari bantuan. Dia berteriak:
”Apakan ada yang mau melindungi wanita dari keluarga Rasulullah ? Apakah ada orang yang bertauhid yang takut kepada Allah dan menolong kami ? Adakah pendukung yang mencari balasan dari Allah dan membantu kami ?

Tidak ada jawaban kecuali ratapan wanita dan tangisan anak-anak. Imam Husain (as) tidak punya pilihan lain kecuali memerangi musuh. Hatinya dipenuhi kasih-sayang kebapakan dan kekhawatiran kepada keluarganya, kesucian, kesucian para Penolong (kaum Ansar) dan anak yatim dari para syuhada.

Dengan kepastian bahwa dia (as) tidak akan kembali selamat dari medan pertempuran, dia pergi mengunjungi tenda saudara perempuannya Zainab, memintanya untuk membawa anak bayinya untuk mencium bibirnya dan melihatnya untuk saat terakhir.
Imam Husain (as) mengulangi kalimat berikut:
”Ya Allah ! Aku mengeluh kepadamu tentang apa yang telah dilakukan kepada anak laki-laki dari anak perempuan Nabi”.

Dia (as) melihat sekeliling dan menyadari bahwa tidak ada yang membantunya. Sahabatnya telah berserakan menjadi mayat disekitarnya, mereka telah memenuhi tugasnya menegakkan kalimat. Imam Husain sendirian. Dia membawa pedang Rasulullah di tangannya dan semangat dari Ali (as) di kedalaman hatinya. Di lidahnya terdapat kata-kata penuh kesalehan. Ini adalah harinya yang dijanjikan Rasulullah (saww) dan tempat yang diberitahukan yang menjadi kediaman terakhirnya. Dia menantang musuhnya bertempur satu lawan satu. Satu demi satu mereka datang dan dikirim ke dunia lain.

Imam Husain (as) masih khawatir dengan perkemahannya, yang terus terbakar. Saat pasukan Ibnu Sad memotong jalannya ke perkemahan, dia menantang pasukan Bani Umayah: ”Aku bertempur melawanmu. Wanita tidak terlibat. Aku akan melindungi wanita keluargaku dari kejahatanmu selama aku masih hidup.”

Telinga dan hati mereka yang keji adalah mereka yang tuli dari perkataan anak laki-laki dari anak perempuan Rasulullah, Shimr bin Dil Jawshan dengan sepuluh orangnya maju kearah perkemahan keluarga Imam Husain (as), dan dia berteriak kepada mereka:
”Celaka kau. Jika kamu tidak punya keimanan dan tidak takut akan hari kiamat, berbuatlah sekehendakmu (di dunia), dan menjauhlah dari kemuliaan, dan dari milikku dan keluargaku dari tiranimu dan kebodohanmu.”

Serangan berlanjut dengan kejam, ketika Imam Husain (as) berdebat dengan mereka, sampai sebuah anak panah diarahkan ke Imam Husain (as) dan menancap di tenggorokannya. Tombak dan pedang memakan tubuhnya. Dia menjadi lemah karena darah yang melimpah keluar ketika tubuhnya menjadi metafor dari sebuah buku, yang mana setiap tancapan pedang dan panah menuliskan baris-baris agung dari kisah kepahlawanan.

Ada enampuluh-tujuh luka yang dengan diam-diam menuturkan kisah perjuangan dan jihad dan abadi menyuratkan bab-bab tragis dari penindasan dan ketidakadilan.

Musuh masih belum puas. Shimr mendekati Imam Husain (as) membawa pedangnya dan menebasnya beberapa kali, kemudian dia memenggal kepalanya. Dia membawa kepala itu dengan penuh kebanggaan untuk dipersembahkan kepada Ibnu Ziyad untuk mendapatkan hadiah.

Kepala yang tidak pernah berkata ”Ya” kepada penindas, yang selalu mengulangi:
”Demi Allah ! Tidak akan pernah memberikan tanganku kepadamu seperti orang terhina, ataupu tidak akan pernah melarikan diri seperti budak.”

Ibnu Sad memerintahkan penunggang kuda untuk menginjak-injakkan kaki kuda mereka diatas mayat suci Imam Husain (as). Kepala Imam Husain (as), bersama kepala sahabatnya yang lain (bahkan kepala bayi Ali Ashgar) diberikan kepada kriminal-kriminal, sebagai hadiah, dan membawanya kepada gubernur Bani Umayah di Kufah.

Selama tiga hari, mayat mayat suci dari syuhada dibiarkan terbaring di gurun Karbala sebelum orang-orang suku Bani Asad, yang tinggal didekat medan perang tersebut menguburkannya. Para kriminal, masih belum puas dengan semua ini, menawan dan membawa wanita dan anak-anak, termasuk anak Imam Husain (as) yang sedang sakit, Imam Zainal Abidin dari Kufah ke Suriah. Dibagian depan dari rombongan prosesi kesedihan ini, kepala-kepala Imam Husain dan pengikutnya.

Terkait Berita: