Sumber :
Buku : Syarah Doa Kumail
Karya : Ayatullah Husein Ansariyan
Dalam kitab yang sama Athar mengatakan :
“Pada saat Ruhul Amin berada di sidratul muntaha, ia mendengar jawaban
Labaik yang
datang dari Allah, namun ia tidak mengetahui untuk siapakah jawaban
itu. Ia tidak menemukan siapapun di langit dan bumi. Ia kembali mencari
hamba yang mendapat jawaban dari Allah.
Ruhul
Amin tetap tidak menemukan seorang hamba yang memiliki kelayakan untuk
menerima jawaban tersebut. Ia berkata : “Ya Allah, tunjukanlah kepadaku
hamba yang sedang Engkau jawab keluh kesah dan panggilannya”. Terdengar
jawaban : “lihatlah daratan Rum”. Ia melihat seorang penyembah berhala
di dalam tempat ibadahnya sedang memanggil-manggil berhalanya
dikarenakan musim semi yang tertutup awan. Jibril as yang terkejut
melihat kenyataan ini berucap : “Angkatlah pentutup dari hadapanku Ya
Allah, bagaimana mungkin orang yang sedang memohon dan menyeru
berhalanya Engkau jawab dengan penuh kasih sayang?”. “ia adalah hambaku
yang kehilangan arah dikarenakan telah hitam hatinya. Akan tetapi dengan
harapan agar ia terhidayahi Akupun menjawab panggilannya”.
Dinukil dari buku syarah doa kumail, karya Ayatullah Husein Ansariyan.
“JAWABAN ATAS TUDUHAN JIKA ALLAH ADALAH NAMA TUHAN PENYEMBAH BERHALA”
Pendahuluan ;
Mengenai pengunaan kata "Allâh" ini dari sudut bahasa. Kalimat "Allâh" berasal dari dua kata: al, dan ilâh.
Al adalah kata sandang (banding bahasa Inggeris; the), dan ilâh berarti: “yang kuat”, dewa, dll.
Dalam bahasa-bahasa Semitik, kata ini menunjuk pada kuasa yang ada di luar jangkauan manusia, yaitu pada dewa atau tuhan.
Kata
/ Kalimat Allah tsb adalah telah dikenal semenjak jaman Nabi adam n
penggunaanya terus menyebar kepenjuru bumi dan masuk kedalam peradaban
manusia dan termasuk dalam kehidupan bangsa Arab.
Sudah di zaman pra-Islam, al-ilâh telah disambung menjadi Allâh.
Dan
dalam AlQuran dijelaskan "La Ilaha Illallah" Tiada “ilah” / tiada Tuhan
selain Allah. Yang berarti Tuhan Yang Maha Esa (Tuhan pencipta Alam
semesta)
Dan penggunakan Kata / kalimat “Allah” ini
digunakan oleh kalangan Nabi- nabi Allah dan para pengikutnya yg
mengajarkan kalimat Tauhid ( Keesaan Tuhan) kalimat tsb digunakan.
Adapun para penyembah berhala ga menggunakan kata “Allah” untuk menyebut tuahan / “ilah” mereka.
Dalam
literatur sejarah bangsa Arab ga pernah ada yg mengatakan; Allah Lata ,
Allah Uza, dll dengan kata lain ga ada embel –embel kata “Allah”
didepan Nama-nama Tuhan penyembah berhala.
Dengan kata lain, penyembah berhala langsung menyebut nama – nama tuhan mereka seperti ; Latta, Uzza, dkk.
Menanggapi
tuduhan segelintir umat Kristen yg menuduh jika Allah adalah Nama Tuhan
penyembah berhala adalah sebuah pernyataan adalah sangat lucu sekali.
Sebetulnya Umat Kristen serbasalah mengajukan pertanyaan seperti ini.
Karna, bukankah dalam Injil sendiri dikatakan jika Tuhan mereka juga adalah Allah ???
Jikalau mereka mengangap Allah adalah Berhala / Tuhan penyembah berhala, lalu apakah mereka sendiri tidak menuhankan Allah?
Yang
juga berarti selama ini mereka telah salah karena sama – sama menyembah
berhala selama ratusan tahun dan itu juga menandakan jika Injil mereka
adalah palsu karna dalam injil mereka juga menuhankan Allah.
Namun
pada umumnya yg getol sekali menanyakan hal demikian adalah dari
kalangan Umat Kristen minoritas yaitu Sekte YHWH / saksi YHWH. Dari
merekalah propaganda – propaganda jika Allah adalah Tuhan Penyembah
berhala itu muncul.
Mereka getol sekali mengeluarkan
propaganda – propaganda demikian dan mereka juga berusaha untuk
mengganti kata / kalimat Allah dalam Injil mereka dengan nama Tuhan
mereka yaitu “YHWH”
Akan tetapi sesungguhnya mereka juga
tidak menyadari karna bukti – bukti ataupun dari temuan- temuan dari
Para Ahli arkeolog menunjukan jika nama YHWH adalah sesungguhnya berasal
dari ajaran penyembah Dewa Bulan.
"MENAGGAPI HUJATAN KEPADA ALLAH"
(Makna kata Allah)
Menurut
orang-orang “Kristen Radikal” informasi dari Robert morrey sangatlah
bermanfaat untuk menyerang “ketuhanan islam”,seperti mendapatkan sebuah
amunisi.
tetapi orang-orang yang begitu bersemangat untuk
memberikan tuduhan seperti itu tidak berfikir panjang,bahwa faktanya
didalam Al kitab banyak sekali menggunakan “istilah Allah”
maka
ada sebagian orang-orang Kristen yang meyakini bahwa nama Allah sebagai
nama “dewa bulan” , dan melihat realita didalam al kitab menggunakan
istilah Allah maka mereka melakukan perubahan / penggantian nama Allah
diganti dengan nama YHWH.
maka persoalan ini saya akan
menyampaikan pandangan/tanggapan / penjelasan nama Allah dari berbagai
sudut “Intelektual” baik yang masih Kristen ataupun dari Intelektual
Islam.
pertama dari orang Kristen:
Banyak
pertanyaan diajukan mengenai ‘Apakah Allah Islam sama dengan Allah
Kristen?’ dan argumentasi yang banyak dikemukakan adalah bahwa ‘Allah
Islam tidak sama dengan Allah Kristen’ alasannya ‘Karena ajaran keduanya
berbeda!’. Pandangan ini tercermin dalam buku Dr. Robert Morey yang
beredar bahkan dianut belakangan ini di kalangan tertentu di Indonesia:
“Islam
claims that Allah is the same God who was revealed in the Bible. This
logically implies in the positive sense that the concept of God set
forth in the Quran will correspond in all points to the concept of God
found in the Bible. This also implies in the negative sense that if the
Bible and the Quran have differing views of God, then Islam’s claim is
false.” (Islamic Invasion, Harvest House Publishers, 1992, h.57).
Definisi
Morley ini memiliki kelemahan dasar berfikir yang fatal yang menganggap
masalah-masalah teologi (ilmu sosial) bersifat eksakta dan mencampur
adukkan pengertian soal ‘identitas’ dan ‘opini’ (meta basis). Dari dasar
berfikir atau asumsi ini, maka dihasilkan kesimpulan bahwa (1) Bila
Allah Islam adalah Tuhan Kristen, maka secara positif konsep keduanya
mengenai Tuhan harusnya sama dalam setiap butirnya, sebaliknya secara
negatif disebut bahwa (2) Bila Al-Quran dan Alkitab memiliki pandangan
berbeda mengenai Tuhan, maka klaim Islam adalah salah.
Pandangan
yang terlalu sederhana ini dengan mudah bisa digugurkan bila kita
mengambil contoh soal ‘Suharto’ mantan presiden ORBA. Menurut definisi
Morley, bila Suharto yang dimaksudkan oleh para pengikut ORBA sama
dengan Suharto yang di demo mahasiswa, maka konsep keduanya mengenai
Suharto akan sama dalam setiap butirnya. Faktanya sekalipun Suhartonya
sama konsep keduanya berbeda. Bagi para pengikut ORBA, Suharto adalah
bapak pembangunan yang membawa kesejahteraan dan mendatangkan kesatuan
dan keamanan regional, padahal Suharto yang sama itu oleh para mahasiswa
dianggap sebagai bapak pembangkrutan yang membawa kemiskinan karena KKN
dan tiran yang membawa bangsa Indonesia kepada disintegrasi bangsa.
Mengapa
berbeda? Dan kalau berbeda apakah klaim mahasiswa mengenai Suharto
salah? Di sini kita berhubungan dengan dua soal yang tidak bisa dicampur
adukkan satu dengan lainnya, yaitu bahwa Suharto sebagai pribadi
(oknum) dengan namanya dan konsep orang (ajaran atau aqidah) mengenai
oknum yang sama itu.
Soal yang sama terjadi dalam hubungan
dengan pertanyaan mengenai apakah ‘Allah Islam sama dengan Tuhan
Kristen?’. Jawabannya perlu kita lihat dari Kitab Suci Islam (Al-Quran)
maupun Kristen (Al-Kitab), dan juga sejarah bangsa dan bahasa Semit.
EL SEMIT
Faktanya,
bila kita membandingkan agama Yahudi (Alkitab Perjanjian Lama), Kristen
(Alkitab Perjanjian Lama dan Baru), dan Islam (Al-Quran), kita dapat
melihat bahwa ada butir-butir yang sama, namun banyak butir-butir
lainnya yang tidak sama (jadi bukan semua sama atau semua tidak sama).
Bila
kita melihat Alkitab PL, kita dapat mengetahui bahwa nama Tuhan
‘El/Elohim’ adalah pencipta langit dan bumi, manusia dan segala isinya.
Dan ia juga Tuhan yang menyatakan dirinya kepada Adam, Nuh, Abraham,
Ishak, dan Yakub. Agama Yahudi, Kristen dan Islam mempercayai itu semua,
namun mereka berbeda dalam kepercayaan akan wahyu mana yang dari El
yang sama itu yang dipercayai. Agama Yahudi mempercayai wahyu yang
dibukukan menjadi Alkitab Perjanjian Lama, namun sekalipun agama Kristen
menerima hal ini, agama Kristen juga mengakui penggenapan dalam Tuhan
Yesus Kristus yang wahyunya dibukukan dalam Perjanjian Baru padahal
Yahudi menolak.
“Katakanlah: Kami telah beriman kepada
Allah dan (kitab) yang diturunkan kepada kami dan apa-apa yang
diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Y’qub dan anak-anaknya,
(begitu juga kepada kitab) yang diturunkan kepada Musa dan ‘Isa, dan
apa-apa yang diturunkan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka, tiadalah
kami perbedakan seorang juga di antara mereka itu dan kami patuh kepada
Allah” (Al-Quran, Al-Baqarah, 2:136, Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim).
Agama
Islam, sekalipun menerima kitab yang diterima Ibrahim, Ishak, Yakub dan
Isa, namun lebih menerima kitab wahyu yang diterima Muhammad dari jalur
Ismael, dan menerima kitab-kitab Ibrahim, Ishak, Yakub dan Isa sejauh
diterima oleh Muhammad yang dipercayai sebagai nabi, dan sekalipun
menerima kitab-kitab Yahudi dan Kristen, namun karena dianggap telah
dipalsukan, maka kepercayaan kepada berita Al-Kitab terbatas hanya bila
hal itu dikuatkan dalam Al-Quran.
Jadi, dari terang
Alkitab (PL+PB) dan Al-Quran jelas terlihat bahwa sebagai oknum dengan
namanya, Allah Islam adalah Tuhan Yahudi dan Kristen. Namun karena wahyu
yang dipercayai berbeda, dengan sendirinya banyak pengajaran
(aqidah)nya yang berbeda.
Agama Yahudi, kepercayaannya
hanya bergantung kepada Perjanjian Lama, akibatnya mereka memandang
Tuhan ‘El’ (yang sejak Musa diberi nama juga sebagai ‘Yahweh’
(Kel.6:1-2)) sebagai Tuhan monotheisme yang transenden dengan hukum
Taurat sebagai pedoman, namun agama Kristen berbeda dan menerima
kenyataan bahwa El Abraham itu juga telah menyatakan diri dalam oknum
Yesus dalam ke-Tritunggalannya, dan hukum kasih/Injil menjadi
pedomannya.
Islam mengikuti jalur Abraham mempercayai
Tuhan ‘El’ itu yang dalam dialek Arab disebut ‘Allah’ (dari al-ilah).
Dalam bahasa Ibrani kata sandang ‘the’ (‘al’ dalam dialek Arab dan ‘ha’
dalam dialek Aram-Siria namun diletakkan di belakang menjadi ‘alaha’)
tidak digunakan bila menyebut Tuhan.
Dari sejarah kita
mengetahui bahwa sejak awalnya ‘El’ bisa memiliki arti umum sebagai
sebutan untuk ‘Tuhan/Ketuhanan’ dan ‘Elohim’ sering digunakan dalam arti
kata jamak (politheistik) dan dipakai oleh suku-suku keturunan Sem
(menjadi rumpun Semit) dan karena perkembangan zaman sering merosot
sehingga dimengerti dalam berbagai-bagai ajaran aqidah, namun ‘El/Il’
juga digunakan untuk menyebut ‘nama diri’ Tuhan.
“‘Ilu,
El’ sebagai sebutan untuk ketuhanan. Istilah ‘il mempunyai arti sebutan
umum (generic appelative) untuk menunjuk pada ‘tuhan’ atau ‘ketuhanan’
pada tahap awal semua cabang utama rumpun bahasa Semit. Ini terlihat
jelas di Semit Timur, Akadian kuno (ilu) dan dialek-dialek sesaudara
dimulai zaman pra-Sargon (sebelum 2360 BC) dan berlanjut sampai akhir
masa Babil. Penggunaan sebagai sebutan juga muncul di Semit Barat Laut,
di Amrit (‘ilu, ‘ilum, ‘ila), di Ugarit, di Ibrani, dan umum di
dialek-dialek Arab Selatan kuno, di Arab Utara digantikan dengan nama
‘ilah. ‘Ilu, El juga digunakan sebagai Nama Diri (proper name). … Di
Semit Timur ada bukti kuno yang menunjukkan bahwa ‘Il’ adalah nama diri
tuhan … tuhan Il (kemudian El Semit) adalah kepala ketuhanan pada rumpun
Semit Mesopotamia pada masa Pra-Sargon.” (G. Johanes Botterwech,
Theological Dictionary of the Old Testament, Vol.I, 242-244).
Dari
sejarah ini kita dapat melihat bahwa ‘Allah’ di kalangan bangsa dan
bahasa Arab tidak lain menunjuk pada ‘El’ Semit’ yang sama, ini
dijelaskan dalam buku-buku teologi Kristen maupun Ensiklopedia Islam
bahwa setidaknya bangsa Arab mewarisi tiga jalur nenek moyang yang
semuanya mengenal ‘El Abraham’ yaitu sebagai keturunan Sem, Yoktan
(keturunan Eber), dan Adnan (keturunan Ismael anak Abraham).
Bahwa
ajaran/konsep mengenai ‘Allah’ (El) itu kemudian merosot dan makin
tidak mendekati hakekat yang di’nama’kan dan ditujukan kepada pribadi
lain seperti yang terjadi pada jalur Ishak (Kel.32, Anak Lembu Emas
disebut ‘Elohim’ dan ‘Yahweh’) maupun jalur Ismael (masa jahiliah, dewa
berhala disebut ‘Allah’), tentu tidak mengurangi hakekat nama itu
sendiri sebagai menunjuk kepada ‘El’ semitik dan monotheisme Abraham.
Namun, sekalipun diyakini bahwa ‘Allah’ Yahudi, Kristen dan Islam sama,
tentu tidak disimpulkan bahwa Tuhan Semua Agama sama. Dalam pengertian
‘Universalisme’ (pluralisme agama) disebutkan bahwa semua agama itu
menyembah Tuhan yang sama (universal) namun melalui jalan-jalan yang
berbeda (partikular).
Kita harus menyadari bahwa
setidaknya ada 4 golongan agama, yaitu (1) ‘Theisme’ – Tuhan yang
berpribadi (Yahudi, Kristen, Islam), (2) ‘Monisme’ – Tuhan kekuatan
semesta (Hindu-Upanishad, Tao dan Kebatinan), (3) Non-Theis – Tuhan yang
‘non-exist’ (Buddhisme), dan (4) Demonisme – Tuhan Okultis (satanisme).
Bisa juga dimasukkan ‘politheisme’ (Hindu-Veda) sebagai golongan ke-5.
Sudah
jelas ke-empat (atau ke-lima) bentuk Tuhan itu tidak sama, namun harus
diakui bahwa Tuhan ‘Theisme’ (Yahudi, Kristen, Islam) adalah Tuhan
Semitik agama samawi yang berpribadi, berfirman dan menurunkan wahyu
kepada umatnya, jadi sekalipun kita menyebut Tuhan Theisme Yahudi,
Kristen dan Islam menunjuk pada oknum yang sama namun sekalipun ada yang
sama juga ada yang berbeda ajaran/aqidahnya, sedang Tuhan Theisme,
Monisme, Non-Theisme, dan Demonisme jelas berbeda baik sebagai nama
oknum maupun ajaran/aqidahnya.
Tetapi bagaimana dengan
definisi yang dicantumkan dalam kamus-kamus dalam bahasa Inggeris?
Disana disebutkan bahwa “Allah … Muslim’s name for God” (a.l. Oxford
Dictionary & Grollier Ensyclopedia). Kita dapat membandingkan hal
ini dengan definisi yang disebutkan dalam Enyclopaedia Britannica, yang
sekalipun mengakui ke-khasan nama Allah dalam penggunaannya di kalangan
agama Islam sebagai salah satu artinya, dalam arti yang lain jelas
memberikan pengertian yang lebih ilmiah dan lebih mengandung kebenaran:
“Allah
(Arabic:”God”), the one and only God in the religion of Islam.
Etymologically, the name Allah is probably a contraction of the Arabic
al-Ilah, “the God.” The name’s origin can be traced back to the earliest
Semitic writings in which the word for god was Il or El, the latter
being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the standard Arabic
word for “God” and is used by Arab Christians as well as by Muslims.”
Definisi
yang benar ini juga disebutkan dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia
dimana disebutkan bahwa: “ALLAH adalah Tuhan, pencipta alam raya
termasuk segala isinya”. (Vol.I, h.270).
Memang dalam
literatur Barat termasuk dalam beberapa kamus, ada sentimen kuat anti
Arab/Islam sehingga sering timbul ungkapan-ungkapan memojokkan yang
tidak ilmiah seperti ucapan Morley di atas yang memberi stigmata
seakan-akan nama ‘Allah’ itu nama dewa/i masa jahiliah Arab seperti Dewa
Pengairan atau Dewa Bulan, namun banyak pula literatur Barat yang lebih
bersifat netral dan ilmiah seperti Ensyclopaedia Britannica dan umumnya
kamus-kamus teologia yang menyebut bahwa nama ‘Allah’ adalah nama dalam
dialek/bahasa Arab untuk menunjuk pada ‘El’ Semitik, dan juga digunakan
oleh orang Arab pra-Islam (terutama kaum Hanif yang tetap
mempertahankan Allah monotheisme Abraham) maupun bangsa Arab yang
menganut agama Yahudi dan Kristen:
“Karena Islam
memperbaiki agama yang dibawa Ibrahim, yakni agama fitrah, maka
jahiliyah dipandang sebagai sebuah zaman sebelum kedatangan Islam,
ibarat kegelapan sebelum terbit fajar. Pada zaman ini ajaran monotheisme
Ibrahim telah musnah berganti dengan sitem paganisme, dan diwarnai
dekadensi moral. Sejumlah berhala sesembahan didatangkan ke Makkah dari
berbagai negeri di Timur Tengah. Namun tidak semua warga Arab pada saat
itu menganut sistem keyakinan pagan, melainkan terdapat beberapa suku
Arab memeluk agama Kristen dan Yahudi. Bahkan terdapat sejumlah pribadi
yang menekuni dunia spiritual, mereka itu dinamakan ‘hunafa’ (tgl.
hanif) yang mana mereka tidak memihak kepada satu di antara kedua agama
tersebut, melainkan mereka bertahan pada ajaran monotheisme Ibrahim”.
(Cyrill Glasse, Ensiklopedia Islam, h.190, dibawah kata al-Jahiliah).
Kenyataan
ini juga diperkuat dengan ditemukannya peninggalan arkeologis beberapa
abad sebelum masa Islam abad-VII (yang secara keliru disebut dalam buku
Morley bahwa Alkitab dalam bahasa Arab baru ada pada abad-IX dan
menggunakan nama Allah karena dipaksa orang Islam dan bandingkan dengan
buku-buku yang bertema ‘Asal bukan Allah’ yang menganggap orang Islam
tidak menyukai orang Kristen menggunakan nama ‘Allah’). Suatu
pengingkaran sejarah yang dihasilkan semangat Arab/Islam fobia, sebab
jauh sebelum ada agama Islam nama Allah sudah digunakan bersama-sama
oleh umat Yahudi Arab, Kristen Arab dan bangsa Arab pra-Islam.
Namun,
kalau ‘El’ (Ibrani) sama dengan ‘Alaha’ (Aram-Siria) dan ‘Allah’
(Arab), mengapa tidak memilih saja ‘El/Elohim’ yang merupakan bahasa
aslinya?
Tuhan dalam menyebarkan firmannya menggunakan
kendaraan bahasa-bahasa. Pada zaman Ezra, Alkitab Ibrani sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Aram, dan sejak itu sampai abad ke-XIX
bahasa Ibrani hanya digunakan dalam penulisan/penyalinan Kitab Suci
saja. Ketika bahasa Yunani menguasai kawasan sekitar Laut Tengah, atas
perintah imam besar di Yerusalem, Eliezer, Alkitab PL diterjemahkan dari
bahasa Ibrani ke bahasa Yunani (Septuaginta/LXX), inilah yang digunakan
Yesus, para Rasul, umat Kristen dan dipakai juga di sinagoga-sinagoga.
Demikian juga di hari Pentakosta, Roh Kudus sendiri mengilhami para
Rasul untuk mengkotbahkan firman (termasuk nama El/Theos) ke
bahasa-bahasa pendengar, dalam arti kata penerjemahan nama Tuhan ke
dalam bahasa-bahasa lokal didorong oleh Roh Tuhan/Kudus sendiri.
Berbeda
dengan ‘El’ yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai ‘Theos’
dan bahasa Barat sebagai ‘God, Gott, Dieu’, maka nama ‘Allah’ (Arab)
sebenarnya bukan terjemahan melainkan perkembangan dialek dalam rumpun
Semit sendiri untuk menyebut El (di samping a.l. Alaha dalam bahasa
Aram-Siria).
Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad
ke-XIII, Kristen Katolik baru masuk abad ke-XVI dan Protestan pada abad
ke-XVII, ini berarti sudah tiga abad lebih dimana agama Islam dan bahasa
Arab sudah merakyat di Indonesia, dan kemudian nama ‘Allah’ masuk
menjadi kosa-kata bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, dalam bahasa Indonesia, ada banyak kosa-kata yang berasal
dari bahasa asing, yaitu bahasa Arab (1.495, termasuk kata ‘Allah’),
Inggeris (1.610), dan Belanda (3.280), maka adalah tepat bila kata yang
sekarang menjadi kosa-kata Indonesia itu dipakai untuk menyebut
El/Elohim Perjanjian Lama dan Theos Perjanjian Baru dalam Alkitab
terjemahan bahasa Indonesia, karena kata itu bukan saja dekat tetapi
termasuk keluarga serumpun Semit dengan bahasa Ibrani.
Salam kasih dari Herlianto/YBA.
kemudian bisa kita baca juga yang ini:
MENJAWAB HUJATAN PARA PENENTANG ALLAH DI DALAM ALKITAB
Baru-baru
ini beberapa gereja-gereja dan segelintir umat Kristen diresahkan
dengan terbitnya “Alkitab Eliezer ben Abraham” berjudul Kitab Suci
Taurat dan Injil. Tidak kurang juga orang Kristen telah bingung dengan
gerakan ini. Gerakan ini menuntut agar istilah Allah dalam Kitab Suci
umat Kristian dihapuskan. Alasannya, nama Allah itu kononnya berasal
dari “dewa air” yang mengairi bumi.
Saya sendiri sudah
pernah menanggapi usul kontroversial ini dengan menggelar seminar yang
menghadirkan pembicara Muslim dari IAIN Syarif Hidayatullah, Dr. Kautsar
Azhari Noer.(1) Rekan Muslim saya ini menanggapi dengan kepala dingin,
seraya mengatakan: “Itu hanya gerakan kaum awam yang tidak perlu
ditanggapi.: Mengapa? Menurut Kautsar, “Setiap agama mengenal
kontekstualisasi atau inkulturasi.” Ya, memang dulu istilah Allah pernah
dipakai di lingkungan orang-orang jahiliah sebelum zaman Islam. Tetapi
Islam justru datang untuk mengubah makna teologis istilah itu.
SEKITAR PENYIMPANGAN NAMA YAHWEH DAN ALLAH
Setelah
seminar tersebut, reaksi berdatangan dari pihak “penentang Allah”.
Bahkan terbit traktat baru yang khusus menanggapi makalah saya. Saya
sendiri memutuskan untuk menghentikan polemik ini. Terus terang, amatlah
sulit untuk sesiapa pun memahami “logika” kaum yang kurang cerdas itu.
Bayangkan
saja, menurut mereka Allah sebenarnya adalah nama “dewa air.” Yang
menjadi dasar mereka adalah buku-buku sumber yang mereka kutip
sepenggal-sepenggal dan lepas dari konteks. Saya pun membuktikan
berdasarkan inskripsi-inskripsi kuno yang ditemukan di Kuntilet Ajrud,
di sekitar Nablus sekarang. Di daerah tersebut nama Yahweh pernah dipuja
bersama-sama dewi kesuburan Asyera. Salah satu bunyi inksripsi Kuntilet
Ajrud, seperti disebut Andrew D. Clarke dan Bruce W. Winters (ed.), One
God, One Lord; Christianity in a world of religious Pluralism, dalam
bahasa Ibrani:
Birkatekem le-Yahweh syomron we le ‘asyeratah
Yakni – Aku memberkati engkau demi Yahwe dari Samaria dan demi Asyera. (2)
Dengan
fakta di atas, apakah kita dapat mengatakan kita jangan menggunakan
nama Yahwe karena nama ini sekutu Asyera, dewi kesuburan Palestina?
Argumentasi ini dijawab oleh mreka, bahwa semua yang saya kemukakan itu
tidak perlu ditanggapi karena tidak berdasar pada Alkitab. Ya, maksud
mereka adalah saya tidak perlu mengutip data-data arkeologi dalam
berargumentasi, kecuali hanya berdasarkan ayat-ayat Alkitab.
Nah,
di sinilah terbukti ketidakadilan kaum penentang “Allah” dengan amat
jelas! Mengapa? Sebab umat Islam tentu saja boleh bertanya balik,
“Apakah Allah sebagai dewa air itu ada dalam Alquran?” Lalu, umat Islam
pun mengajak kita untuk berargumentasi dan berdebat tanpa bukti sejarah.
Cukup dengan ayat-ayat Al-Quran saja. Kalau begitu, jelas tidak ada
sepotong ayat pun dalam Alquran yang menyebut Allah sebagai dewa air.
Menurut Alquran, Allah adalah Pencipta langit dan bumi (Q.surah
al-Jatsiyah 45:22, “Wa khadaq Allah as-samawati wa al-ardh”).
Begitu
juga, siapakah Allah itu bagi umat Kristen Arab? “Allah” – demikian
menurut Buthros ‘Abd al-Malik, dalam Qamus al-kitab al-Muqaddas – adalah
“nama dari Ilah (sembahan) yang menciptakan segala yang ada” (hadza
al-llah khalaq al-jami’ al-kainat). (3)
Begitu juga,
setiap umat Arab Kristen sebelum atau sesudah Islam mengawali
mengucapkan Qanun al-Iman (syahadat Kristian) yang diawali dengan
kalimat:
“Nu’minu bi-ilahun wahidun, Allah al-Ab al-dhabital kull, khalaqa as-sama’I wa al-ardh, kulla ma yura wa maa layuura”
yang bermaksud :
Kami
percaya kepada satu-satunya sembahan/ilah, yaitu Allah Bapa, yang
berkuasa atas segala sesuatu, Pencipta langit dan bumi, dan segala
sesuatu yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. (4)
Mengapa
mreka menuduh bahwa Allah adalah “dewa air” berdasarkan sumber-sumber
tulisan yang bukan Alquran, sementara mereka menolak data yang telah
saya kemukakan tentang penyimpangan nama Yahwe, karena tidak ada dalam
Alkitab?
Oleh karena itu, saya menyarankan agar belajar
lebih banyak tentang sejarah kekristenan di Timur Tengah, tempat
kekristenan mula-mulanya berkembang. Peranan filologi (ilmu perbandingan
bahasa) juga sangat penting dalam memperkaya kajian ini, sebelum mereka
begitu bersemangat menyebarkan pendapat yang jelas-jelas tidak ilmiah.
KATA ALLAH DAN PADANANNYA DALAM BAHASA IBRANI DAN ARAMI
Dalam
menilai kata Allah, kita harus memahami bahwa kata itu serumpun dengan
kata-kata bahasa Semitik yang lebih tua (yang dipakai di Timur Tengah:
Ibrani dan Arami). Kata Allah itu cognate dengan kata Ibrani: El, Eloah,
Elohim; dan kata Arami Elah, Alaha, yang semuanya terdapat dalam
Perjanjian Lama ataupun dalam Targum (komentar-komentar Taurat dalam
bahasa Arami yang lazim dibaca mulai dari zaman sebelum Al-Masih, zaman
Sayidina Isa hingga hari ini).
Perlu anda ketahui,
sebagian kecil Kitab Perjanjian Lama juga ditulis dalam bahasa Arami,
yakni beberapa pasal Kitan Ezra dan juga beberapa pasal dari Daniel.
Marilah kita baca dan cermati ayat-ayat yang menggunakan kata elah di
bawah ini:
“Be Shum elah yisra’el …”
Daniel 5 : 1, “Demi Nama Allah Israel.”
“…di elahekon hu elah elahin, umara malekin
Daniel 2:47, “Sesungguhnya Elah-mu itu elah yang mengatasi segala elah dan berkuasa atas para raja.
Sedangkan
bentuk Ibrani yang dekat dengan istilah Arami elah dan Arab ilah,
al-ilah dan Allah adalah sebutan eloah, misalnya disebutkan:
“Eloah mi-Teman yavo we Qadosh me-Har Paran, Selah”
Yaitu Habakuk 3 : 3, yang bererti -
“Eloah akan datang dari negeri Teman, dan Yang Mahakudus dari pergunungan Paran, Sela.”
Tetapi
argumentasi ini pun segera ditanggapi dengan traktat mereka. Menurut
mereka, istilah el, elohim, eloah (Ibrani) dan elah, alaha
(Arami/Syriac) tidak sejajar dengan istilah Arab Allah berasal dari ilah
(God, sembahan). Dengan awalan kata sandang di depannya Al (Inggris:
the), makna the god, “sembahan yang itu”. Maksudnya sembahan atau ilah
yang benar.
“Laa ilaha ilallah”. Tidak ada ilah selain
Allah. Allah adalah satu-satunya ilah. Ungkapan Laa ilaha ilallah ini,
dijumpai pula dalam Alkitab terjemahan bahasa Arab, 1 Korintus 8 : 4-6
berbunyi :
“… wa’an Laa ilaha ilallah al-ahad, …faa lana
ilahu wahidu wa huwa al-Abu iladzi minhu kullu sya’in wa ilahi narji’u,
wa huwa rabbu wahidu wa huwa Yasu’ al-Masihu iladzi bihi kullu syai’in
wa bihi nahya”
Yakni maksudnya :
Dan
sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah, Yang Mahaesa … dan bagi kita
hanya ada satu ilah/sembahan yaitu Bapa, yang dari-Nya berasal segala
sesuatu dan kepada-Nya kita akan kembali, dan hanya ada satu Rabb/Tuhan,
yaitu Yesus Kristus yang melalui-Nya (sebagai Firman Allah) telah
diciptakan segala sesuatu dan untuk Dia kita hidup). (5)
Mereka
begitu entengnya menanggapi hal ini. Menurut brosur mereka, istilah
‘Allah’ memang ada dalam Alkitab berbahasa Ibrani, tetapi artinya
“sumpah” (1 Raj. 8:31; II Taw. 6:22). Mereka benar, tetapi mereka juga
harus tahu, seperti kata Yahweh tidak turun dari langit. Demikian pula
kata elohim, eloah, elah berasal dari akar kata tertentu. Menurut C.L.
Schofield, istilah elah berasal dari akar kata el (Yang Maha kuat) dan
alah (sumpah):
“to swear, to bind oneself by an oath, so implifying faithfullness.” (6)
Jadi,
di hadapan hadirat El (Yang Maha kuat) seseorang mengikat sumpah
(alah). Dari kata El dan alah ini, kemudian terbentuklah kata elah.
Sedangkan bentuk elohim, dengan akhiran im menunjukkan jamak untuk
menekankan kebesaran (pluralis maestaticus). Oleh para pujangga gereja
kata tersebut ditafsirkan secara alegoris sebagai bukti dari sifat
ketritunggalan Allah. Karena itu, sangat gegabah untuk menolak fakta
keserumpunan antara Arab dengan bahasa Ibrani dan Aram, hanya dengan
argumentasi dangkal seperti ini.
Kata alah (dengan satu
“l”) memang ada dalam bahasa Ibrani yang berarti “sumpah, kutuk”.
Berbeda dengan bahasa Arab allah (dengan dua huruf “L”). Dua huruf “l”
(lam) yang dalam istilah Allah menunjukkan asal-usulnya dari kata
sandang Al (the) dan ilah (god) seperti dikemukakan di atas. (7)
ISTILAH ALLAH DI LINGKUNGAN KRISTIAN SYRIA PRA-ISLAM
Seperti
istilah Yahweh pernah dipuja secara salah di sekitar wilayah Samaria,
terbukti dari inskripsi Kuntilet Ajrud dan Khirbet el-Qom, demikian juga
istilah Allah disalahgunakan di sekitar Mekkah sebelum zaman Islam.
Tetapi istilah Allah dipakai sebagai sebutan bagi Khaliq langit dan bumi
oleh orang-orang Kristen Arab di wilayah Syria. Hal ini dibuktikan dari
sejumlah inskripsi Arab pra-Islam yang semuanya ternyata berasal dari
lingkungan Kristen.
Salah satu inskripsi kuno yang
ditemukan pada tahun 1881 di kota Zabad, sebelah tenggara kota Allepo
(Arab: Halab), sebuah kota di Syria sekarang, meneguhkan dalil tersebut.
Inskripsi Zabad ini telah dibuktikan tanggalnya berasal dari azman
sebelum Islam, tepatnya tahun 512. Menariknya, inskripsi ini diawali
dengan perkataan Bism-al-lah, “Dengan Nama al-lah” (bentuk singkatnya:
Bismillah, “Dengan Nama Allah”), dan kemudian diusul dengan nama-nama
orang Kristen Syria. Bunyi lengkap inskripsi Arab Kristen ini dapat
direkonstruksi sebagai berikut:
“Bism’ al-lah: Serjius bar ‘Amad, Manaf wa Hani bar Mar al-Qais, Serjius bar Sa’d wa Sitr wa Sahuraih”
terjemahannya :
- Dengan Nama Allah: Sergius putra Amad, Manaf dan Hani putra Mat al-Qais, Sergius putra Sa’ad, Sitr dan Shauraih. (8)
Menurut
Yasin Hamid al-Safadi, dalam The Islamic Calligraphy, inskripsi
pra-Islam lainya yang ditemukan di Ummul Jimal dari pertengahan abad
ke-6 Masehi, membuktikan bahwa berbeda dengan yang terjadi di Arab
selatan, di sekitar Syria nama ‘Allah’ disembah secara benar. Inskripsi
Ummul Jimmal diawali dengan kata-kata Allah ghafran (Allah mengampuni).
(9)
Bahkan menurut Spencer Trimingham, dalam bukunya
Christianity among the Arabs in the pre-Islamic Times, membuktikan bahwa
pada tahun yang sama dengan diadakannya Majma’ (Konsili) Efesus (431),
di wilayah suku Arab Hartis (Yunani: Aretas ) dipimpin seorang uskup
yang bernama ‘Abd Allah (Hamba Allah). (10)
Dari
bukti-bukti arkeologis ini, jelas bahwa sebutan Allah sudah dipakai di
lingkungan Kristen sebelum zaman Islam yang dimaknai sebagai sebutan
bagi Tuhan Yang Mahaesa, Pencipta langit dan bumi.
PENGGUNAAN BAHASA IBRANI, YUNANI DAN ARAMI PADA ZAMAN YESUS
Cukup
mengherankan bahwa “para penentang Allah” itu selalu menggunakan Ha
B’rit ha-Hadasah (Perjanjian Baru bahasa Ibrani) dan memperlakukannya
seolah-olah itulah teks bahasa aslinya. Dalam Perjanjian Baru berbahasa
Ibrani ini tentu saja kita akan menjumpai nama Yahwe. Tetapi Perjanjian
Baru berbahasa Ibrani itu adalah hasil terjemahan dari bahasa Yunani.
Penerjemahan dilakukan oleh United Bible Society in Israel, baru pada
tahun 1970-an.
Perjanjian Baru aslinya ditulis dalam
bahasa Yunani Koine dan para rasul Yesus tidak mempertahankan nama diri
Yahwe. Saya setuju bahwa Yesus ketika masuk ke sinagoge, Baginda
mengutip teks-teks Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani (Lukas 4:18-19).
Namun, kita juga harus paham bahwa Baginda juga telah bercakap-cakap
dalam bahasa Arami dengan murid-murid-Nya sebagai “bahasa ibunda”
masyarakat Yahudi pada zaman intu.
Penulisan Perjanjian
Baru dalam bahasa Yunani karena bahasa ini menjadi bahasa yang paling
luas digunakan di seluruh wilayah kekaisaran Romawi pada zaman itu.
Meskipun demikian, Perjanjian Baru Yunani itu tidak dapat dipahami tanpa
melihat latar belakang budaya Arami. (11) Oleh karena kitab ini masih
memelihara beberapa ungkapan Arami – yang waktu itu juga biasa disebut
Ibrani – sebab dianggap sebagai salah satu dialek tutur saja bagi
masyrakat Yahudi di Galilea. Beberapa contoh kata Arami yang dipelihara
itu, antara lain: Talita Kum (Mark 5 : 41), Gabbata (Yohanes 19 : 13),
Maranatha (1 Korintus 16 : 23).
Salah satu bukti bahwa
Yesus membaca Targum berbahasa Arami, di mana kata Alaha (yang cognate
dengan bentuk Ibrani: Eloah, dan Arab: Allah) adalah ungkapan Yesus
dalam Markus 15:33, Elohi, Elohi, l’mah sh’vaktani. Sebab dalam teks
Mazmur 22:2 bahasa Ibraninya: Eli, Eli lamah ‘azvatani. Selanjutnya,
apabila bahasa asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani dan para
rasul tidak mempertahankan nama Yahwe, lalu apa pula dasar dan alasan
mereka mati-matian mempertahankannya?
Para rasul penulis
Perjanjian Baru menterjemahkan Kyrios (Tuhan) sebagai kata ganti Yahwe.
Sebut satu contoh saja, misalnya Haddebarim/ Ulangan 6 : 4 dalam bahasa
asli (Ibrani):
“Syema Ysrael, Adonai Elohenu, Adonay Ehad”.
Kutipan
ayat ini ditemukan dalam Markus 12 : 29, di mana nama Yahwe
diterjemahkan Kyrios – Tuhan, mengikut terjemahan Yunani Septuaginta:
“Akoue, Israel, Kurios ho theos hemin, kurios eis esti”
- Dengarlah wahai Israel, Kurios (Tuhan) itu Theos/Allah kita, Kurios/Tuhan itu Esa.
Jadi,
sekali lagi Markus sang penulis Injil pun tidak mempertahankan nama
Yahwe. Lalu, apakah mereka berani berkata bahwa seluruh penulis
Perjanjian Baru itu adalah salah?
Dalam bahasa Ibrani
istilah “Nama” juga tidak bisa dipahami secara harfiah seperti
nama-nama: Suharto, Suradi, Marsudi, Wan, Ngah dan sebagainya. Dalam hal
ini anda harus bedakan antara “nama” (yang berasal dari bahasa manusia
yang dibatasi oleh konteks ruang dan waktu) dengan “Dia yang dinamakan”
(Yang Absolute, tidak terbatas, tidak terhingga). “Nama” dalam teologi
Yahudi lebih menunjuk kepada “Kuasa di balik Ia yang di-Nama-kan”.
Karena itu, orang-orang Yahudi hanya mempertahankan tetagramaton
(keempat huruf suci: y h w h), tetapi tidak membacanya dalam tradisi
lisan. Kata itu sudah lazim dibaca dengan: Adonay (Tuhanku) atau Ha-Shem
(“the Name”, Sang Nama).
Silakan mereka memeriksa tradisi
Yahudi ini, misalnya literatur Yahudi: Humasah Hunasy Torah ‘im Targum
Onqelos, (12) berbahasa Ibrani dan Arami yang lazim dipakai pemeluk
Yahudi hingga zaman sekarang ini.
Kesimpulan saya, apabila
kita menolak usulan para “penentang Allah” itu, bukan sekadar menimbang
manfaat atau mudaratnya saja. Manfaatnya jelas tidak ada sama sekali.
Mudaratnya jelas tidak hanya membingungkan umat Kristiani, tetapi telah
membuka “barisan permusuhan” dengan umat Islam. Yang lebih penting lagi,
tidak ada gunanya berdialog dengan orang-orang yang memang tidak
memenuhi standard berpikir ilmiah itu. “Tetapi mereka menghujat segala
sesuatu yang tidak mereka ketahui,” demikian Yudas 1:10, dan lanjutan
ayat ini saya tidak tega untuk menuliskannya di sini.
Nota-nota dan Referensi:
Majalah DR, “Ketika Allah diperdebatkan”, 9-14 Ogos 1999.
Andrew
D. Clarcke dan Bruce W.Winters (ed.), Satu Allah satu Tuhan: Tinjauan
Alkitab tentang Pluralisme Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995),
hlm.50
Buthros ‘Abd al-Malik (ed.), Qamus al-Kitab al-Muqaddas (Beirut: Jami’ al-Kana’is fii al-Syarif al-Adniy, 1981), hlm.107
Al-Qamas
Isodorus al-Baramus, Al-Ajabiyat: shalawat As-Sa’at wa Ruh al-Tashra’at
(Kairo: Maktabah Mar Jurjis al-Syaikulaniy Syabra, 1996), hlm. 79.
“Risalat
Bulus ar-Rasul ila Ahl Kurinthus al-Awwal 8 : 4-6″, dalam al-Kitab
al-Muqaddas (Beirut: Dar al-Kitab al-Muqaddas fii al-Syariq al-Ausath,
1992).
Rev. C.I. Schofield (ed.), Holy Bible, Schofield Reference (London: Oxford University Press, 1945), hlm.3
Kita
lihat bahwa Allah itu Al-nya merupakan hamzah washl. Kerana itu menjadi
wallahi, billahi dan sebagainya. Itu berarti kata Allah bukan merupakan
akar kata yang asli. Sebab akar kata yang asli pasti menggunakan hamzah
qath’. Lihat: Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai
Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina,
1998), hlm.262.
Bacaan Bism al-lah (Dengan Nama Allah) berasal
dari Yasin Hamid al-Safadi, Kaligrafi Islam. Alih Bahasa: Abdul Hadi WM
(Jakarta: PT. Panca Simpati, 1986), hlm. 6. Sedangkan M.A. Kugener, Note
sur l’inscription triligue de Zebed (1907) seperti dikutip Spencer
Trimingham Christianity Among the Arabs in pre Islamic Times
(London-Beirut: Longman-Librairie du Liban, 1979), hlm. 226, membacanya
“Teym al-Ilah”.
Jadi, sebagai nama diri yang diusul oleh nama-nama
lainnya, bukan sebagai bunyi sebuah doa. Tetapi apa pun bunyi yang
paling tepat dari awal inskripsi itu, yang jelas kata al-llah, Allah
sudah dipakai dalam makna Tauhid Kristen, dan bukan dalam makna dewa
berhala yaitu pagan.
Yasin Hamid al-Safadi, Loc.Cit
Spencer Trimingham, Op. Cit. Hlm. 74
Matthew Black, An Aramaic Approach to the Gospels and Acts (Oxford: At the Calrendon Press, 1967).
Rabbi
Nosson Scherman-Rabbi Meir Zlotowitz (ed.), Humasah Humasy Torah ‘im
Targum Onqelos (Brooklyn: Mesorah Publications, Ltd. 1993), hlm.xxvi.
Selanjutnya, mengenai Nama (dan nama-nama) Allah, cf. “Parashas Shemos”,
hlm.304-305.
point yang penting dari penjelasan tersebut
1. Tuhan yang disembah orang Islam sama dengan yang di sembah para nabi dan pengikutnya ,sebelum kenabian nabi Muhammad
2. bahwa Nama YHWH pernah disimpangkan,
seperti yang tertulis:
“Saya
pun membuktikan berdasarkan inskripsi-inskripsi kuno yang ditemukan di
Kuntilet Ajrud, di sekitar Nablus sekarang. Di daerah tersebut nama
Yahweh pernah dipuja bersama-sama dewi kesuburan Asyera. Salah satu
bunyi inksripsi Kuntilet Ajrud, seperti disebut Andrew D. Clarke dan
Bruce W. Winters (ed.), One God, One Lord; Christianity in a world of
religious Pluralism, dalam bahasa Ibrani:
Birkatekem le-Yahweh syomron we le ‘asyeratah
Yakni – Aku memberkati engkau demi Yahwe dari Samaria dan demi Asyera. (2)
Dengan
fakta di atas, apakah kita dapat mengatakan kita jangan menggunakan
nama Yahwe karena nama ini sekutu Asyera, dewi kesuburan Palestina?
Argumentasi ini dijawab oleh mreka, bahwa semua yang saya kemukakan itu
tidak perlu ditanggapi karena tidak berdasar pada Alkitab. Ya, maksud
mereka adalah saya tidak perlu mengutip data-data arkeologi dalam
berargumentasi, kecuali hanya berdasarkan ayat-ayat Alkitab.”
kemudian dari penjelasan intelektual yang sebelumnya adalah intelektual Kristen,yaitu Jerald f dirk
Penggunaan
kata Allah yang berarti Tuhan sering kali terdengar agak aneh,
esoterik, dan asing bagi telinga orang Barat. Allah adalah kata dalam
bahasa Arab yang berasal dari pemadatan al dan Ilah. Ia berarti Tuhan
atau menyiratkan Satu Tuhan. Secara linguistik, bahasa Ibrani dan bahasa
Arab terkait dengan bahasa-bahasa Semitik, dan istilah Arab Allah atau
al-Ilah terkait dengan El dalam bahasa Ibrani, yang berarti Tuhan.1
El-Elohim berarti Tuhannya para tuhan atau Sang Tuhan.2 Ia adalah kata
bahasa Ibrani yang dalam Perjanjian Lama diterjemahkan Tuhan. Karena
itu, kita bisa memahami bahwa penggunaan kata Allah adalah konsisten,
bukan hanya dengan Al-Qur’an dan tradisi Islam, tetapi juga dengan
tradisi-tradisi-biblikal yang tertua.
Persamaan mendasar
antara istilah Arab al-Ilah, di mana Allah merupakan pemadatannya, dan
istilah Ibrani El-Elohim bisa dipahami secara lebih jelas jika kita
memerhatikan abjad bahasa Arab dan Ibrani. Baik bahasa Arab maupun
Ibrani sama-sama tidak memiliki huruf untuk bunyi vokal. Abjad kedua
bahasa tersebut hanya terdiri dari konsonan, dan keduanya bersandar pada
penandaan sebagai bunyi vokal yang secara khas ditemukan hanya dalam
tulisan formal sebagai satu petunjuk pengucapan. Transliterasi bahasa
Indonesia dari istilah Arab al-Ilah dan istilah Ibrani El-Elohim telah
memasukkan penandaan-penandaan vokal ini. Jika kita harus menghilangkan
transliterasi Indonesia berupa penandaan-penandaan vokal ini, maka
istilah Arab tersebut menjadi al-Ilh dan istilah Ibrani di atas menjadi
El-Elhm. Jika kita harus menghilangkan bentuk jamak, yang hanya
ditemukan dalam bahasa Ibrani, maka istilah Arabnya tetap al-Ilh,
sementara istilah Ibraninya menjadi El-Elh. Akhirnya, jika kita harus
melakukan transliterasi atas seluruh “alif” dalam bahasa Arab sebagai
“a”, dan seluruh “alif” dalam bahasa Ibrani sebagai “a” juga, maka
istilah Arabnya menjadi Al-Alh, dan istilah Ibraninyapun menjadi Al-Alh.
Dengan kata lain, dengan pengecualian tunggal bahwa bahasa Ibrani
menggunakan bentuk jamak, al-Ilah, di mana Allah merupakan pemadatannya,
dan El-Elohim, istilah Ibrani yang diterjemahkan sebagai Tuhan dalam
Perjanjian Lama, benar-benar merupakan istilah yang sama sekali identik
dalam bahasa Arab dan Ibrani, dua bahasa yang memiliki hubungan sangat
erat.
kemudian dari kalangan “ulama islam”
soal keunikan nama Allah, saya akan menyampaikan dari sumber tulisan orang/ulama Islam.
Kata
‘Allah’ merupakan nama Tuhan yang paling populer. Apabila anda berkata
:”Allah..”, maka apa yang anda ucapkan itu telah mencakup semua
nama-nama-Nya yang lain, sedangkan bila anda mengucapkan nama-nama-Nya
yang lain – misalnya ‘ar-Rahmaan’, ‘al-Malik’ dan sebagainya – maka ia
hanya menggambarkan sifat Rahman, atau sifat kepemilikan-Nya. Disisi
lain, tidak satupun dapat dinamakan Allah, baik secara hakikat maupun
secara majazi, sedangkan sifat-sifat-Nya yang lain – secara umum – dapat
dikatakan bisa disandang oleh makhluk-makhluk-Nya. Bukankah kita dapat
menamakan si Ali yang pengasih sebagai ‘Rahiim’?, atau Ahmad yang
berpengetahuan sebagai ‘Aliim’?. Secara tegas, Tuhan Yang Maha Esa itu
sendiri yang menamakan dirinya Allah.
14. Sesungguhnya Aku
ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah
Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaahaa). Innanii =
sesungguhnya Aku, anaa = Aku, Allaahu = Allah, laa ilaaha = tidak ada
tuhan, illaa = melainkan, ana = Aku…
Dia juga dalam
Al-Qur’an yang bertanya :”hal ta’lamu lahuu samiyyaa..” (Surat Maryam
ayat 19). Ayat ini, dipahami oleh pakar-pakar Al-Qur’an bermakna
:”Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti nama ini..?”
atau :”Apakah engkau mengetahui sesuatu yang berhak memperoleh
keagungan dan kesempurnaan sebagaimana pemilik nama itu (Allah)?” atau
bermakna :”Apakah engkau mengetahui ada nama yang lebih agung dari nama
ini?”, juga dapat berarti :”Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama
dengan Dia (yang patut disembah)?”
Pertanyaan-pertanyaan
yang mengandung makna sanggahan ini kesemuanya benar, karena hanya Tuhan
Yang Maha Esa yang wajib wujudnya itu yang berhak menyandang nama
tersebut, selain-Nya tidak ada, bahkan tidak boleh. Hanya Dia yang
berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan mutlak, sebagaimana tidak
ada nama yang lebih agung dari nama-Nya itu.
Para ulama
dan pakar bahasa mendiskusikan kata tersebut antara lain apakah ia
memiliki akar kata atau tidak. Sekian banyak ulama yang berpendapat
bahwa kata ‘Allah’ tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tapi ia
adalah nama yang menunjuk kepada zat yang wajib wujud-Nya, yang
menguasai seluruh hidup dan kehidupan, serta hanya kepada-Nya seharusnya
seluruh makhluk mengabdi dan bermohon. Tetapi banyak ulama berpendapat,
bahwa kata ‘Allah’ asalnya adalah ‘Ilaah’, yang dibubuhi huruf ‘Alif’
dan ‘Laam’ dan dengan demikian, ‘Allah’ merupakan nama khusus, karena
itu tidak dikenal bentuk jamaknya. Sedangkan ‘Ilaah’ adalah nama yang
bersifat umum dan yang dapat berbentuk jamak (plural), yaitu ‘Alihah’.
Dalam Bahasa Inggeris, baik yang bersifat umum maupun khusus, keduanya
diterjemahkan dengan ‘god’, demikian juga dalam Bahasa Indonesia
keduanya dapat diterjemahkan dengan ‘tuhan’, tapi cara penulisannya
dibedakan. Yang bersifat umum ditulis dengan huruf kecil ‘god/tuhan’,
dan yang bermakna khusus ditulis dengan huruf besar ‘God/Tuhan’.
‘Alif’
dan ‘Laam’ yang dibubuhkan pada kata ‘Ilaah’ berfungsi menunjukkan
bahwa kata yang dibubuhi tersebut merupakan sesuatu yang telah dikenal
dalam benak. Kedua huruf tersebut sama dengan ‘The’ dalam bahasa
Inggeris. Kedua huruf tambahan itu menjadi kata yang dibubuhi menjadi
‘ma’rifat’ atau ‘definite’ (diketahui/dikenal). Pengguna Bahasa Arab
mengakui bahwa Tuhan yang dikenal dalam benak mereka adalah Tuhan
Pencipta, berbeda dengan tuhan-tuhan (aliihah/bentuk jamak dari ilaah)
yang lain. Selanjutnya dalam perkembangannya lebih jauh dan dengan
alasan mempermudah, ‘hamzah’ yang berada antara dua ‘laam’ yang dibaca
‘i’ pada kata ‘al-Ilaah’ tidak dibaca lagi, sehingga berbunyi ‘Allah’
dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata baru yang
tidak memiliki akar kata, sekaligus sejak itu pula kata ‘Allah’ menjadi
nama khusus bagi Pencipta dan Pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya.
Sementara
ulama berpendapat bahwa kata ‘Ilaah’ yang darinya terbentuk kata
‘Allah’ berakar dari kata ‘al-Ilaahah’, ‘al-Uluuhah’ dan ‘al-Uluuhiyyah’
yang kesemuanya menurut mereka bermakna ‘ibadah/penyembahan’, sehingga
‘Allah’ secara harfiah bermakna ‘Yang Disembah’. Ada juga yang
berpendapat bahwa kata tersebut berakar dari kata ‘Alaha’ dalam arti
‘mengherankan’ atau ‘menakjubkan’ karena segala perbuatan/ciptaan-Nya
menakjubkan atau karena bila dibahas hakekat-Nya akan mengherankan
akibat ketidak-tahuan makhluk tentang hakekat zat Yang Maha Agung itu.
Apapun yang terlintas dalam benak menyangkut hakekat zat Allah, maka
Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan
:”Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir
tentangZat-Nya”. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ‘Allah’ terambil
dari akar kata ‘Aliiha Ya’lahuu” yang berarti ‘tenang’, karena hati
menjadi tenang bersama-Nya, atau dalam arti ‘menuju’ dan ‘bermohon’
karena harapan seluruh makhluk tertuju kepada-Nya dan kepada-Nya jua
makhluk bermohon.
Memang setiap yang dipertuhankan pasti
disembah dan kepadanya tertuju harapan dan permohonan lagi menakjubkan
ciptaannya, tetapi apakah itu berarti bahwa kata ‘Ilaah’ – dan juga
‘Allah’ – secara harfiah bermakna demikian..? , dapat dipertanyakan
apakah bahasa atau Al-Qur’an yang menggunakannya untuk makna ‘yang
disembah’?. Kalau anda menemukan semua kata ‘Ilaah’ dalam Al-Qur’an,
niscaya akan anda temukan bahwa kata itu lebih dekat untuk dipahami
sebagai penguasa, pengatur alam raya atau dalam genggaman-Nya segala
sesuatu, walaupun tentunya yang meyakini demikian, ada yang salah pilih
‘ilaah’nya.
Kata ‘Allah’ mempunyai kekhususan yang tidak
dimiliki oleh kata selainnya, ia adalah kata-kata yang sempurna
huruf-hurufnya, sempurna maknanya, serta memiliki kekhususan berkaitan
dengan rahasianya, sehingga sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah
yang dinamai ‘Ismu-Ilaah al-A’zham (Nama Allah yang paling mulia). Yang
bila diucapkan dalam do’a, Allah akan mengabulkannya. Dari segi lafaz
terlihat keistimewaan ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata
‘Allah’ dengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi ‘Lilaah’ dalam
arti ‘milik/bagi Allah’, kemudian hapus huruf awal dari kata ‘Lilaah’,
itu akan terbaca ‘Laahu’ dalam arti ‘bagi-Nya’, selanjutnya, hapus lagi
huruf awal dari ‘Laahu’, akan terdengan dalam ucapan ‘Huu’, yang berarti
‘Dia (menunjuk Allah), dan apabila itupun dipersingkat akan terdengar
suara ‘Ah’ yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan,
tapi pada hakekatnya mengandung makna permohonan kepada Allah. Karena
itu sementara ulama berkata bahwa kata ‘Allah’ terucap oleh manusia,
sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak suka. Itulah salah satu
bukti adanya ‘fitrah’ dalam diri manusia. Al-Qur’an juga menegaskan
bahwa sikap orang-orang musyrik adalah :
38. Dan sungguh
jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan
bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. (Az Zumar)
dari
segi makna dapat dikatakan bahwa kata ‘Allah’ mencakup segala
sifat-sifat-Nya, bahkan Dia-lah yang menyandang nama-nama tersebut,
karena itu jika anda berkata “Yaa..Allah..”, maka semua
nama-nama/sifat-sifat-Nya telah tercakup oleh kata tersebut. Disisi
lain, jika anda berkata ‘ar-Rahiim’, maka sesungguhnya yang anda maksud
adalah Allah. Demikian juga ketika anda menyebut ‘al-Muntaqim’ (yang
membalas kesalahan), namun kandungan makna ‘ar-Rahiim’ (Yang Maha
Pengasih) tidak tercakup didalam pembalasan-Nya, atau sifat-sifat-Nya
yang lain. Itulah salah satu sebab mengapa dalam syahadat seseorang
selalu harus menggunakan kata ‘Allah’ ketika mengucapkan ‘Asyhadu an Laa
Ilaaha Illa-llaah’ dan tidak dibenarkan menggantinya dengan
nama-nama-Nya yang lain.
Demikianlah Allah, karena itu
tidak heran jika ditemukan sekian banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang
memerintahkan orang-orang beriman agar memperbanyak zikir menyebut nama
Allah, karena itu setiap perbuatan yang penting hendaknya dimulai dengan
menyebut nama itu, nama Allah. Rasulullah bahkan mengajarkan lebih
rinci lagi :”Tutuplah pintumu dan sebutlah nama Allah, padamkanlah
lampumu dan sebutlah nama Allah, tutuplah periukmu dan sebutlan nama
Allah, rapatkanlah kendi airmu dan sebutlah nama Allah…”