Oleh: Mohammad Habri Zen
Hadits Lupa di Dalam Kitab “Al-Faqih”.
Didalam Ilmu kalam, menisbatkan sifat lupa kepada nabi saww adalah
sesuatu yang mustahil, bahkan dalam segala hal nabi saww tidak pernah
lupa, sebab kalau nabi saw pernah lupa dalam sesaat saja, berarti
dimungkinkan pula nabi saww pernah lupa dalam menyampaikan wahyu
Tuhannya, dan hal itu berhubungan dengan masalah aqidah yang harus
ditolak. Dilain hal ulama besar Syiah seperti Syeikh Shaduq ra pernah
mengatakan didalam kitab
manla yahdhuruhu alfaqih, dengan
mengutip riwayat mengenai shalat, bahwa nabi saww pernah shalat qadha
subuh dan lupa didalam shalat dan melakukan sujud sahwi bahkan
ekstremnya, orang yang tidak mempercayai nabi saww pernah lupa salah
satu ciri dari
ghulu.[1]
Riwayat yang dibawa Syeikh Shaduq adalah :
وروى الحسن بن محبوب عن الرباطي، عن سعيد الاعرج قال: ” سمعت
أبا عبدالله عليه السلام يقول: إن الله تبارك وتعالى أنام رسوله صلى الله
عليه وآله عن صلاة الفجر حتى طلعت الشمس، ثم قام فبدأ فصلى الركعتين اللتين
قبل الفجر، ثم صلى الفجر، وأسهاه في صلاته فسلم في ركعتين ثم وصف ما قاله
ذو الشمالين و إنما فعل ذلك به رحمة لهذه الامة لئلا يعير الرجل المسلم إذا
هو نام عن صلاته أو سها فيها فيقال: قد أصاب ذلك رسول الله صلى الله عليه
وآله.
Al-Husein Ibn Mahbûb meriwayatkan dari Arribâthi,
dari Sa’îd al-A’râj berkata : Aku mendengar Aba Abdillah as bersabda:
Sesungguhnya Allah Swt menidurkan Rasulullah saww sampai terbit matahari
dan nabi saww dalam keadaan belum shalat shubuh, kemudian rasul saww
bangun dan melaksanakan shalat dua rakaat (nafilah) sebelum shalat
shubuh (qadha), kemudian melaksanakan shalat (qadha)
Shubuh, dan Dia Swt juga membuat rasul saww lupa dalam shalatnya dengan
memberi salam setelah rakaat kedua (dalam empat rakaat), kemudian
yang mengingatkannya adalah dzu as-syimalain, hal itu terjadi untuk
dijadikan rahmat bagi ummat ini (nabi saw), supaya tidak ada seorang
lelaki muslim dihina karena ketiduran dan belum melaksanakan shalatnya
atau lupa didalam shalatnya, dan dikatakan padanya bawa telah menimpa
hal itu kepada rasulullah saww juga.[2]
Kemudian Syeikh Shaduq ra dalam hal ini membedakan antara
sahw (lupa) dengan
Isha (Melupakan-butuh objek), karena kalau
sahw (lupa)
dinisbatkan kepada orang yang lalai karena pengaruh syaetan, sedangkan
yang terjadi pada nabi bukanlah lupa dalam makna demikian tetapi Allah
Swt secara langsung membuat lupa (
isha’) nabi dalam hal itu,
dan hal ini tidak diakibatkan oleh lalai atau pengaruh syaetan karena
إِنَّما سُلْطانُهُ عَلَى الَّذينَ يَتَوَلَّوْنَهُ
(
Sesungguhnya
kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi
pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukanya dengan Allah)[3]
dan nabi tidaklah ber
wala
kepada syaetan. Begitu pula penulis sekaligus menjawab permasalahan
yang menyatakan bahwa kalau nabi pernah lupa maka dimungkinkan nabi saww
pernah lupa dalam menyampaikan wahyu tabligh dan risalah, dengan
jawabannya yaitu : hal itu terjadi kalau makna lupa adalah disebabkan
karena lalai, tetapi hal ini berbeda bukan karena hal itu tetapi karena
Allah yang membuat nabi lupa (
isha’), dilain hal beliau mengatakan bahwa shalat adalah hal yang
musytarak
selain nabipun melakukannya sedangkan wahyu, tidaklah demikian karena
merupakan hal yang khusus dan mustahil menisbatkan lupa dalam masalah
wahyu tabligh kepada ummat.
Syeikh Mufid ra Menolak Pendapat Syeikh Shaqud ra
Sebagian ulama menerima pendapat Syeikh Shaduq mengenai
isha’ nabi saww
tsubutan (alam kemungkinan) bukan
itsbâtan (alam dalil), sebagian lagi menolak sepenuhnya baik itu
sahwi maupun
isha’ karena bertolak belakang dengan dalil aqli dan naqli kemaksuman nabi secara mutlak, terutama Syeikh Mufid didalam risalahnya ‘
adam sahwi an-nabi saww, yang mengatakan bahwa
isha’ pun tidak mungkin terjadi, yang mana Syeikh Mufid berkeyakinan bahwa hadits tersebut adalah hadits
ahad
yang tidak bisa dijadikan pegangan bagi permasalahan aqidah, dan juga
beliau menambahkan bahwa hadits tersebut memiliki banyak permasalahan
terutama dalam isi hadits tersebut, kadang menceritakan nabi saww lupa
dalam shalat dzuhur sebagian riwayat dalam shalat ashar sebagian lagi
dalam shalat isya,[4] dan juga hadits
itu bertolak belakang dengan aqidah kemaksuman nabi saww. Sebagian Ulama
seperti Alamah Jawadi Amuli dan ulama lainnya mengatakan kalau terjadi
taarudh
permasalahan naqliah dan aqliah yang sudah tsabit dalam permasalahan
aqidah maka yang naqli itulah yang harus ditakwil bukan yang aqli.
Bagaimanapun pertentangan Ulama terhadap pernyataan Syeikh Shaduq ra
dan riwayat yang diambilnya, sepanjang yang saya teliti hadits yang
dibawa Syeikh Shaduq bisa dikatakan hadits sahih kalau perawinya yang
bernama Ribâthi bukanlah Al-Hasan ibn Ribâthi Al-Bijli, karena nama itu
adalah majhul belum ada keterangan didalam kitab-kitab rijal, sedangkan
kalau yang dimaksud adalah Ali Ibn Al-Hasan Ibn Ar-Ribâthi maka dia
adalah seorang
imami yang
tsiqah[5]. Oleh sebab itu dikarenakan nama musytarak yang ada dalam riwayat
man la yahdhuruhu alfaqih tidak bisa dijadikan pegangan untuk mengitsbatkan kesahihan riwayat tersebut.
Isykal Pernyataan Syeikh Mufid ra
Syeikh Mufid mengatakan bahwa permasalahan lupa yang dinisbatkan kepada nabi saww adalah hadits
ahad,
hal tersebut jikalau dinisbatkan hanya kepada kitab “Al-Faqih” bisa
dibenarkan tetapi kalau kita lihat didalam kitab-kitab lainnya seperti
Al-Kâfi dan Istibshar maka kita akan menemukan hadits serupa yang lebih
dari satu dengan kualitas sahih. Bahkan Syarif Murtadha (Ali Ibn Husein
Musawi) didalam Al-Masâil An-Nâshiriyyât menjadikan hadits yang serupa
sebagai dalil dalam fiqihnya mengenai sujud sahwi.[6]
Walapun sebenarnya hadits lain mengenai lupa didalam shalat dan sujud
sahwi yang tidak dinisbatkan kepada Nabipun banyak jumlahnya.
Kita dapat melihat beberapa hadits sebagai contoh didalam Al-kafi sebagai berikut:
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ
عِيسَى عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عِيسَى عَنْ سَمَاعَةَ بْنِ مِهْرَانَ قَالَ
قَالَ أَبُو عَبْدِ اللهِ (ع): …فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ (ص) صَلَّى
بِالنَّاسِ الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَهَا فَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ ذُو
الشِّمَالَيْنِ يَا رَسُولَ اللهِ أَ نَزَلَ فِي الصَّلاةِ شَيْءٌ
فَقَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ إِنَّمَا صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ
رَسُولُ اللهِ (ص) أَتَقُولُونَ مِثْلَ قَوْلِهِ قَالُوا نَعَمْ فَقَامَ
(ص) فَأَتَمَّ بِهِمُ الصَّلاةَ وَسَجَدَ بِهِمْ سَجْدَتَيِ السَّهْوِ …
Berkata Abu Abdillah as: …Sesungguhnya rasulullah saww pernah
shalat dzhuhur berjamaah dua rakaat, karena lupa, kemuadian memberi
salam akhir, kemudian Dzu As-Syimalain berkata wahai rasulullah saw,
apakah ada yang kurang didalam shalat anda, Rasul menjawab : memang apa
yang terjadi? Dzu As-Syimalain berkata sesungguhnya anda telah shalat
dua rakaat, kemudian Rasul Saww bertanya kepada yang lainnya : apakah
kalian melihat benar apa yang dia katakan , mereka berkata : betul,
kemudian rasulullah saww, meneruskan shalatnya lalu melaksanakan sujud
sahwi…[7]
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ
عِيسَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ النُّعْمَانِ عَنْ سَعِيدٍ الأَعْرَجِ قَالَ
سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ (ع) يَقُولُ صَلَّى رَسُولُ اللهِ (ص) ثُمَّ
سَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ فَسَأَلَهُ مَنْ خَلْفَهُ يَا رَسُولَ اللهِ
أَحَدَثَ فِي الصَّلاةِ شَيْءٌ قَالَ وَمَا ذَلِكَ قَالُوا إِنَّمَا
صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ أَكَذَلِكَ يَا ذَا الْيَدَيْنِ وَكَانَ
يُدْعَى ذَا الشِّمَالَيْنِ فَقَالَ نَعَمْ فَبَنَى عَلَى صَلَاتِهِ
فَأَتَمَّ الصَّلاةَ أَرْبَعاً وَقَالَ إِنَّ اللهَ هُوَ الَّذِي أَنْسَاهُ
رَحْمَةً للأُمَّةِ …
Berkata Sa’îd Al-A’râj aku mendengar Aba Abdillah as bersabda :
Rasulullah melakukan salam setelah dua rakaat, kemudian dibelakangnya
bertanya : wahai rasulullah saww apakah terjadi kekurangan didalam
shalat? Rasul saww menjawab : apa yang terjadi?, mereka berkata : anda
telah shalat dua rakaat, rasul saww bertanya : apakah hal itu benar
wahai Dzulyadain, yang mana dipanggil Dzu as-Syimalain, dia berkata
betul, kemudian rasul saww meneruskan shalatnya dan menyempurnakan
shalatnya menjadi empat rakaat, kemudian Imam as bersabda: Sesungguhnya
Allah Swt lah yang melupakan nabi saww sebagai rahmat bagi umat…[8]
Kedua hadits tersebut dan masih ada lagi hadits serupa lainnya dalam
bab yang sama didalam Alkafi dengan sanad sahih begitu pula didalam
Tahdzib Al-Ahkam didalam bab
ahkam As-Sahwi fi As-Shalat dengan
sanad sahih pula, walaupun isi dari riwayat tersebut banyak ditemukan
permasalahan diantaranya bertolak belakang dengan riwayat sahih lainnya.
Ta’arudh Hadits
Riwayat-riwayat yang sahih yang menceritakan mengenai kejadian lupa
didalam shalat yang dinisbatkan kepada nabi saww bertolak belakang isi
kandungannya dengan banyak riwayat sahih lainnya semisal riwayat didalam
tahdzib:
عَنْهُ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ
مَحْبُوبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ
سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ع هَلْ سَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ ص-سَجْدَتَيِ
السَّهْوِ قَطُّ فَقَالَ لَا وَ لَا يَسْجُدُهُمَا فَقِيهٌ
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الَّذِي أُفْتِي بِهِ مَا
تَضَمَّنَهُ هَذَا الْخَبَرُ فَأَمَّا الْأَخْبَارُ الَّتِي قَدَّمْنَاهَا
مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ ص سَهَا فَسَجَدَ فَإِنَّهَا مُوَافِقَةٌ
لِلْعَامَّةِ وَ إِنَّمَا ذَكَرْنَاهَا لِأَنَّ مَا تَتَضَمَّنَهُ مِنَ
الْأَحْكَامِ مَعْمُولٌ بِهَا عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ
Darinya (Muhammad ibn Ali Ibn Mahbub), dari Ahmad ibn Muhammad dari
Al-Hasan ibn Mahbûb dari Abdillah ibn Bukair dari Zurârah berkata : aku
bertanya Aba Ja’far as apakah Rasulullah saww pernah melaksanakan dua
sujud sahwi (karena lupa) sekali saja, Imam as menjawab tidak , dan
tidak pula pernah seorang
Faqih (orang alim) melaksanakan dua sujut (sahwi) itu.
Muhammad Ibn Al-Hasan (Syeikh Thûsi) yang mana berfatwa dengan
kandungan riwayat tersebut (menolak sahwi nabi) adapun riwayat yang
mengatakan nabi lupa kemudian melaksanakan sujud sahwi adalah riwayat
yang sesuai dengan pendapat mazhab
âmmah dan kami menyebutkan
riwayat ini karena kandungannya berlaku didalam ahkam seperti yang telah
kami jelaskan. (dari sanalah tidak bisa diambil kesimpulan bahwa nabi
pernah lupa) [9]
Hadits ini adalah sahih seluruh perawinya tsiqah imamiah, dan
kandungannya bertolak belakang dengan hadits sahih lain yang telah
disebutkan diatas, karena riwayat ini menolak sedikitpun bahwa nabi
pernah lupa dan melakukan sujud sahwi, adapun mengenai sifat nabi saww
yang tak pernah lupa bahkan nabi saww mengetahui khabar langit dan bumi,
sehingga tidak mungkin nabi bertanya kepada
dzulyadain atau
lainnya mengenai sesuatu yang nabi saww tidak ketahui dari lupanya.
Riwayat tersebut disebutkan didalam riwayat sahih semisal riwayat dalam
al-kâfi berikut ini :
عده من اصحابنا، عن احمدبن محمد عن علي بن حديد، عن سماعه بن
مهران قال :کنت عند ابي عبدالله و عنده جماعه من مواليه، فقال: اعرفوا
العقل و جنوده و الجهل و جنوده تهتدو…فقال ابوعبدالله: ان الله خلق العقل
…ثم جعل للعقل خمسه و سبعين جندا فکان مما اعطي الله العقل من الخمسه و
السبعين الجند الخير و جعل ضده الشر…والعلم و ضده الجهل و التسليم و ضده
الشک و التذکر و ضده السهو و الحفظ و ضده النسيان…فلا تجتمع هذا الخصال
کلها من اجناد العقل الا في نبي اووصي او مومن قد امتحن الله قلبه للايمان …
Dari “beberapa sahabat kami” dari
Ahmad ibn Muhammad dari Ali ibn Hadid, dari Samâ’ah ibn Mihrân berkata :
ketika aku bersama Abu Abdillah as dan disekitarnya sekumpulan para
pengikutnya, Imam as bersabda : jelaskanlah oleh kalian mengenai akal
dan tentaranya, kebodohan dan tentaranya pula anda akan memperoleh
petunjuk…Abu Abdillah as bersabda : sesungguhnya Allah menciptakan akal…
kemudian menjadikan akal tujuh puluh lima tentara, dan yang diberikan
oleh Allah Swt dengan tujuh puluh lima tentara kebaikan dan menjadikan
pula lawannya kejelekan, Ilmu lawannya Kebodohan, yakin (kepatuhan)
lawannya keraguan, tadzakkur lawannya sahw (lupa), hapalan lawannya
nisyân (lupa)… tidaklah terkumpul seluruh tentara akal (kebaikan)
tersebut kepada seorangpun kecuali pada nabi, dan washinya atau mukmin
yang telah Allah Swt uji mereka hatinya dengan keimanan…[10]
Hadits tersebut adalah sahih sanad, adapun
iddat min ashhâbina
(beberapa sahabat kami) pun muktabar ketsiqatannya mereka adalah Ali
Ibn Ibrahim, Ali Ibn Muhammad Ibn abdillah, Ahmad Ibn Abdillah ibn
Umayyah, Ali Ibn Hasan yang meriwayatkan dari Ahmad ibn Muhammad
Albarqi.[11]
Isi dari hadits tersebut secara jelas menerangkan bahwa
tazdzakur dan
Hifz yang merupakan lawan dari lupa ada pada nabi dan washinya, sehingga tidak mungkin nabi memiliki sifat lupa (
nisyân/sahw).
Dan masih banyak lagi hadits sahih lainnya yang menjelaskan hal yang serupa baik dengan
manthuqnya atau
mafhumnya yang menyatakan nabi tidak pernah lupa sedikitpun dan mengetahui urusan langit dan bumi.
Dan dari kedua belah kubu riwayat yang menyatakan nabi pernah lupa
dan kubu lain yang menyebutkan nabi tak pernah lupa mengalami
ta’ârudh, dan bagaimanakah kita menyelesaikan hal itu semua serta mencari jalan keluarnya?
Solusi permasalahan hadits yang muta’âridân (yang saling bertolak belakang)
Dari sanalah kita tidak bisa melihat riwayat hanya dari minhaj
sanadi saja tetapi harus dilihat dari minhaj
madhmûni,
minhaj sanadi mengatakan kalau sanadnya sahih maka riwayat tersebut
menjadi hujjah, sedangkan kita melihat diantara hadits secara sanad
sahih terdapat
madhmun (isi hadits) yang bertolak belakang
seperti yang disebutkan diatas, oleh sebab itu mana yang harus kita
pilih karena kedua-duanya hujjah menurut minhaj
sanadi, tetapi kalau kita melihat minhaj
Madhmûni, kita bisa melihat rujukan isi dan kandungannya yang bertolak belakang tadi dan mencari solusi lain dari pelajaran ushul fiqih.
Kalau kedua hadits tersebut sanad sahih, dan secara isi bertolak belakang maka hal itu terjadi
ta’ârudh, atau didalam istilah Sayyid Syahid Baqir Shadrra “
At-Tanâfi baina almadlûlain, wa lamma kâna ad-dalil hua al-ja’l fattanâfi almuhaqqiq littaârudh hua attanâfi baina al-ja’lain…”[12] bahkan ditambahkan didalamnya adalah taarudh diantara dua
ja’l ( lisan dalil), yang mana didalam pembahasan kita kali ini adalah diantara dua kubu riwayat (dalil) diatas.
Disebutkan pula didalam ushul bahwa
ta’ârudh diantara dua dalil tersebut ada yang
mustaqir ada yang
ghair mustaqir.
Ta’ârudh gheir mustaqir adalah
at-taârudh alladzi yumkinu ‘ilâjuhu bita’dîl dilâlah ahad ad-dalilain, wa ta’wîluha binahwin yansajim ma’a ad-dalîl al-âkhar[13]
(ta’arudh yang mana dimungkinkan untuk dicarikan solusinya dengan
mensinkronkan salah satu dalil dengan dalil lainnya, dan mentakwilkan
yang sesuai dengan dalil lainnya. Sedangkan yang
mustaqir tidak mungkin ditemukan solusi dengan cara mensinkronkan salah satu dalil dengan dalil lainnya.
Ta’arudh gheir mustaqir bisa diambil solusi dengan cara
al-jam’ al-‘urfi, maksudnya secara pandangan uruf bisa dicarikan solusinya baik itu dengan mencari salah satu dalil yang lebih
dzahir (
adzhar) dari yang
dzahir, atau yang
muqayyad dari yang
muthlaq atau yang
khas dari yang
amm.
Sedangkan kalau kita kembali lagi kedalam masalah kedua kubu dalil
mengenai nabi pernah lupa atau tidak maka kita bisa meneliti bahwa kedua
kubu hadits tersebut tidak bisa ditemukan dengan cara al-jam al-urfi,
bahkan kedua kubu tersebut jelas-jelas masuk dalam kategori
ta’arudh mustaqir. Lalu apa yang harus kita lakukan kalau memang hadits itu adalah
ta’arudh mustaqir?
Didalam pembahasan Ushul dikatakan bahwa kalau mengalami
ta’arudh mustaqir maka yang terjadi adalah
tasâquth kila ad-dalilain (jatuh kedua dalil tersebut), tetapi dikatakan pula oleh Sayyid Shadr ra bahwa dengan adanya dalil yang khusus menunjukkan
tarjîh (salah satu dalil maka tidak terjadi
tasaqut kila ad-dalilain[14]. Riwayat khusus tersebut diantaranya:
إذا ورد عليكم حديثان مختلفان فاعرضوهما على كتاب الله، فما
وافق كتاب الله فخذوه، وما خالف كتاب الله فردّوه، فإن لم تجدوهما في كتاب
الله فاعرضوهما على أخبار العامة, فما وافق أخبارهم فذروه و ما خالف
أخبارهم فخذوه.
Imam Shadiq as bersabda : JIkalau kalian menemukan dua hadits yang
bertolak belakang maka rujuklah keduanya pada kitabullah, dan hadits
yang sesuai dengan kitabullah maka ambillah, dan yang tidak sesuai maka
tinggalkanlah, jikalau kalian tidak menemukan didalam kitabullah maka
rujukalah keduanya pada hadits-hadits (mazhab)
‘ammah, yang sesuai dengan akhbar mereka maka tinggalkanlah yang tidak sesuai maka ambillah.[15]
Dari sanalah kita bisa merujuk kepada ayat alquran, sedangkan secara
sarih Alquran banyak yang menerangkan ayat mengenai kemaksuman nabi,
kalau kita mengambil makna
ithlaq dari makna maksum yang
meliputi juga maksum dari lupa dan salah. Tetapi kalaupun ayat-ayat
tersebut mendapatkan permasalahan dengan ayat lainnya dan tidak bisa
ditemukan kesimpulan akhir maka kita merujuk pada langkah kedua yaitu
merujuk kepada hadits-hadits dari mazhab
ammah, dan sudah
dipastikan bahwa hadits yang menceritakan bahwa nabi saww pernah lupa
sesuai dengan riwayat yang terdapat dalam mazhab Ammah, oleh sebab
itulah maka kita mengambil riwayat yang tidak sesuai dengan mazhab
tersebut yaitu riwayat yang menolak bahwa nabi pernah lupa, serta
menjadikan riwayat yang sesuai dengan mazhab
ammah adalah
riwayat dalam kondisi taqiah. Kesimpulannya bahwa riwayat yang bisa kita
pegang adalah riwayat yang mengatakan bahwa nabi sedikitpun tidak
pernah lupa dan salah.
Adapun permasalahan ghulu yang dikatakan oleh Syeikh Shaduq maka hal
itu tidak tepat, sebab hal itu tidak termasuk ghulu, dan juga banyak
riwayat sahih yang menegaskan dalil mengenai ketiadaan lupa bagi nabi
saww. Walaupun hukum ghulu seperti menganggap nabi tuhan atau imam
maksum tuhan maka hal itu haram didalam mazhab syiah. Dan menafikan lupa
dari rasul saww tidaklah termasuk kategori atau mishdaq dari ghulu
seperti yang dikatakan banyak dari para ulama syiah sekalipun.
Rujukan:
[1] Syeikh Shaduq, Man la Yahdhuruhu Al-Faqih, Jilid-1, hal. 359, bab Ahkam As-sahwi fi As-Shalat, Cet. Islami
[2] Idem, hadits ke-1031.
[3] An-Nahl:100
[4] Syeikh Mufid, Adam Sahw An-Nabi Saww, hal 22-23, Maktabah Syamilah
[5] Rijal An-Najâsyi, hal251, Khulashah Al-Hilli, hal.100
[6] Syarif Murtadha, Al-Masâil An-Nâshiriyyât, hal 236, cet. Râbithah as-tsaqafiah,
[7] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.259, bab Man takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits.
[8] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.284, bab Man takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits
[9] Syeikh Thûsi, Tahdzîb Al-Ahkâm, jilid ke-2, hal.351, bab Ahkam As-Sahwi, Cet. Dar Al-Kitab al-Islami
[10] Al-Kulaini, Al-Kâfi,jilid ke-1, hal.42, kitab al-‘ali wa al-jahli, cet. Dârulhadits
[11] Al-Hilli, Al-Kulâshah, hal.272 al-fâidah at-tsâlitsah.
[12] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâlitsah, hal. 542, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430
[13] Idem, hal.452
[14] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430
[15] Sayyid Shadr, Duruf fi Durûs fi
‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr
Al-Islâmi, 1430, yang mengutip hadits dari alwasail jilid ke 18, bab
ke-9 dari bab sifat alqâdhi, hadits ke-29