Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Rasulullah. Show all posts
Showing posts with label Rasulullah. Show all posts

"Manusia 250 Tahun” Menurut Rahbar


“Manusia 250 Tahun” adalah judul sebuah buku yang mengupas perspektif Rahbar Revolusi Islam Iran tentang biografi politik dan teori sosial para manusia suci Ahlul Bait as.

Buku ini menggambarkan dengan baik kondisi sosial dan politik yang dialami oleh para imam Ahlul Bait as dari sejak Rasulullah saw wafat hingga periode kegaiban kubra.

Buku yang disusun dalam tujuh belas pasal ini juga melukiskan secara ringkas biografi kehidupan politik Rasulullah saw sebagai cermin seluruh sikap dan tindakan politik para imam Ahlul Bait as selama 250 tahun. Mengenal kondisi sosial dan politik terutama pasca peristiwa berdarah Karbala dapat membantu kita memahami sikap yang telah diambil oleh manusia 250 tahun dalam penggalan sejarah ini.

Buku ini termasuk kategori best seller. Hingga kini, buku panduan sikap politik dan sosial ini telah naik cetak ke-43 kali.

Buku dalam edisi Persia dapat didownload secara gratis dihttp://rahemah.samenblog.com/250sale/ atauhttp://www.farhangnews.ir/sites/default/files/content/attaches/story/92-07/29/issue_1378715907%281%29%20%281%29.pdf.

Sahabat Yang Syahid Di Masa Rasulullah Saw


Saya ingin mengetahui nama sebagian sahabat yang syahid di masa Rasulullah Saw hidup?
Pertanyaan
Sebutkan sahabat Rasulullah yang meninggal dalam peperangan melawan kafir Quraisy?

Jawaban Global
Untuk  mengetahui lebih jauh tentang nama sahabat Rasulullah Saw yang gugur syahid pada peperangan melawan Quraisy maka kami sarankan Anda untuk merujuk pada literatur-literatur sejarah.[1]
Pada kesempatan ini, kami akan menyebutkan sebagian nama sahabat Rasulullah Saw yang gugur pada beberapa perang melawan orang-orang kafir sebagaimana berikut:
 
Perang Badar (Ghazwah Badar)
1.Ubaidah bin Harits (dari Bani Mutthalib bin Abdul-Manaf). 2. Umair bin Abi Waqqash (dari Bani Zuhrah bin Kilab). 3. Dzu al-Syimalain  Umair (Amru) bin Abdu-Amru bin Nadhlah. 4. Aqil bin Bukair. 5. Mujahha Maula Umar bin Khattab. 6. Shafwan bin Wahab (Abi al-Baidhah). 7. Sa’ad bin Khutsaimah. 8. Mubassyir bin Abdul-Mundzir. 9. Yazid bin Harits bin Qais bin Malik. 10. Umair bin Hammam.[2]
 
Perang Uhud (Ghazwah Uhud)
1. Abu Aiman Anshari. 2. Abu Hubbah bin Amru bin Tsabit. 3. Abu Hubairah bin Harits bin Alqamah. 4. Anas bin Nadhr. 5. Anis bin Qatadah. 6. Uwais bin Arqam Anshari. 7. Aus bin Tsabit bin Mundzir. 8. Iyas bin Aus bin Atik Anshari Asyhali. 9. Iyyas bin Udai Ansari. 10. Tsabit bin Amru bin Zaid.[3]
 
Perang Khandaq (Ghazwah Khandaq)
1. Sa’ad bin Muadz. 2. Anas bin Aus bin Atik. 3. Abdullah bin Sahl bin Rafi’. 4. Thufail bin Nu’man bin Khunsa. 5. Tsa’labah bin Ghunmah. 6. Ka’ab bin Zaid.[4]
 
Perang Bani Quraizha (Ghazwah Bani Quraizhah)
  1. Khallad bin Sawid bin Tsa’labah Anshari. 2. Abu Sinan bin Mahshan bin Hartsan,
    [5]
    3 Ibnu Aidz. 4. Mundzir bin Muhammad.
    [6]
 
Perang Dzu Qarad (Ghazwah Dzu Qarad)
  1. Muhriz bin Nadhlah. 2. Waqqash bin Mujazzaz Madalji.
    [7]
 
Perang Khaibar (Ghazwah Khaibar)
  1. Rabi’ bin Aktsam bin Sakhbarah. 2. Tsaqf bin Amru. 3. Rifa’ah bin Masruh. 4. Abdullah bin Habib. 5. Fadhil bin Nu’man. 6. Mas’ud bin Sa’ad bin Qais. 7. Mahmud bin Khalid. 8. Abu Dhayyah bin Tsabit bin Nu’man. 9. Harits bin Hathib. 10. Thalhah bin Yahya.
    [8]
 
Perang Mu’tah (Ghazwah Mu’tah)
  1. Ja’far bin Abi Thalib. 2. Zaid in Haritsah. 3. Mas’ud bin Aswad bin Haritsah bin Nadhlah. 4. Wahab bin Sa’ad bin Abi Surah. 5. Abdullah bin Rawahah. 6. Abbad bin Qais bin ‘Abasah. 7. Harits bin Nu’man bin Isaf. 8. Amir bin Sa’ad bin Harits. 9. Amru bin Sa’ad bin Harits. 10. Jabir bin Amru bin Zaid.
    [9]
 
Perang Hunain (Ghazwah Hunain)
  1. Aiman bin Ummu Aiman. 2. Yazid bin Zam’ah bin Aswad. 3. Saraqah bin Harits bin Udai. 4. Abu Amir Asy’ari,
    [10]
    5 Marrah bin Saraqah Anshari.
    [11]
    6. Zaid in Rabi’ah.
    [12]
    7. Zuhair bin ‘Ajwah Hadali.
    [13]
    8. Abi al-Lahm Ghaffari (Abdullah bin Abdul-Malik).
    [14]
    9. Raqim bin Tsabit bin Tsa’labah bin Zaid bin Ludzan.
    [15]
 
Perang Thaif (Ghazwah Thaif)
  1. Tsa’labah bin Zaid.
    [16]
    2. Jalilah bin Abdullah. 3. Harits bin Sahl. 4. Raqim bin Tsabit. 5. Saib bin Harits bin Qais. 6. Said bin Said bin Ash. 7. Abdullah bin Abi Umayyah. 8. Abdullah bin Harits bin Qais.. 9. Abdullah bin Amir. 10. Arfathah bin Jannab.
    [17]
 

[1] Dalam  artikel ini disebutkan sebagian referensi literatur sejarah yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan.
[2] Thabarsi, Fadhl bin Hasan, I’lām al-Warā bi A’lām al-Hudā, jil. 1, hal. 171-172, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Ketiga, 1390 H; Ibnu Hisyam, Abdul Malik, al-Sirah al-Nabawiyah, Riset oleh al-Saqa, Mustafa, Ibrahim, Syilbi, Abdul Hafizh, jil. 1, hal. 706-707, Beirut, Dar al-Ma’rifah, Cetakan Pertama, Tanpa Tahun; Waqidi, Muhammad bin Umar, al-Maghāzi, jil. 1, hal. 146, Beirut, A’lami, Cetakan Ketiga, 1409 H.
[3] Al-Sirah al-Nabawiyah, jil. 2, hal. 122-126; Al-Maghāzi, jil. 1, hal. 306-307; Ibnu Hazm Andalusi,Jawāmi’ al-Sirah al-Nabawiyah, hal. 132-137, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Tanpa Tahun.
[4] Al-Sirah al-Nabawiyah, jil. 2, hal. 252-253;
[5] Ibid, hal. 254.
[6] Ibnu Sayid al-Nas Ya’muri, Muhammad bin Muhammad, ‘Uyun al-Atsar, jil. 2, hal. 109, Beirut, Dar al-Qalam, Cetakan Pertama, 1414 H.
[7] Al-Sirah al-Nabawiyah, jil. 2, hal. 283.
[8] Ibid, hal. 343; Al-Maghāzi, jil. 2, hal. 700.
[9]  Al-Sirah al-Nabawiyah, jil. 2, hal. 388-389; Imad Thabari, Manāqib al-Thāhirin, jil. 1, hal. 235, Tehran, Sazeman Cap wa Intisyarat, Cetakan Pertama, 1379 S.
[10] I'lām al-Warā, jil. 1, hal. 230; al-Sirah al-Nabawiyah, jil. 2, hal. 459.
[11] Ibnu Hajar Asqalani, Ahmad bin Ali, al-Ishābah fi Tamyiz al-Shahābah, jil. 6, hal. 62, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Cetakan Pertama, 1415 H.
[12] Ibid, hal. 500.
[13] Ibid, hal. 475.
[14] Ibid, jil. 1, hal. 168.
[15] Al-Maghāzi, jil. 3, hal. 922.
[16] Al-Ishābah fi Tamyiiz al-Shahābah, jil. 1, hal. 518.
[17] Al-Sirah al-Nabawiyah, jil. 2, hal. 486-487.

Siapakah Tsauban itu? Apakah Ahlulbait memiliki pandangan dan riwayat-riwayat mengenainya?


Siapakah dan bagaimana karakteristik Tsauban? Apakah Ahlulbaitas memiliki pandangan dan riwayat-riwayat mengenainya? Apa yang dimaksud oleh Maula dalam kalimat "Tsauban Maula Rasulullah?"

Jawaban Global:
Tsauban yang dikenal sebagai Maula Rasulullah adalah salah satu dari budak atau belian yang dibebaskan oleh Rasulullah. Setelah bebas, ia menjadi sahabat Rasul dan Ahlulbait As. Terdapat riwayat dalam sebagian kitab-kitab hadis yang menjelaskan tentang kecintaan mendalam lelaki ini terhadap Rasulullah Saw dan keluarganya.

Jawaban Detil:
Tsauban adalah nama dari beberapa sahabat Rasulullah Saw, akan tetapi nama Tsauban dengan sebutan Maula Rasulullah[1] hanya dikatakan pada satu orang.[2]

Dengan demikian, Tsauban adalah salah satu dari sahabat Rasulullah, dengan sedikit informasi yang ada mengenainya, setidaknya bisa diketahui tentang kecintaannya yang mendalam kepada Rasulullah Saw dan keluarganya.

Dalam Rijâl Syaikh Thûsi dikatakan bahwa Tsauban yang mempunyai kuniyah (julukan) Abu Abdillah adalah salah satu sahabat Rasulullah saw.[3] Dan menurut nukilan Asqalani dalam al-Ishâbah, Tsauban adalah di antara sahabat terkenal Rasulullah Saw yang pada awalnya, dibeli oleh kemudian dibebaskan oleh Rasulullah saw. Namun setelah dibebaskan, ia sendiri memilih untuk berkhidmat kepada Rasulullah saw hingga akhir kehidupan beliau.[4]

Meski dalam literatur-literatur riwayat Syiah yang terkenal seperti kitab-kitab Arba'ah (Kutub al-Arba'ah), tidak ada satupun riwayat yang menukilkanya, akan tetapi dalam literatur-literatur lain telah dinukilkan sejumlah hadis-hadis riwayat mengenainya.

Di antara riwayat-riwayat yang ada yang bercerita dan menggambarkan tentang kecintaannya kepada Rasulullah Saw dan Ahli Baitnya adalah riwayat mengenai Rasulullah Saw yang menanyakan kecintaan Tsauban kepadanya dan kepada Ahli Bait As, dimana Tsauban menjawab, "Demi Allah, jika tubuhku terpotong-potong dengan pedang atau tergunting-gunting, atau terbakar di dalam api .... bagiku lebih mudah daripada memiliki ketakikhlasan terkecil dalam kalbuku terhadap Anda, Ahlulbait dan para sahabat."[5]

Thabarsi dalam Majma' al-Bayan setelah menyebutkan ayat, "Dan barang siapa yang menaati Allah dan rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddîqîn, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."[6] mengatakan, "Disebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Tsauban, pelayan Rasulullah Saw, karena suatu hari ia mendatangi Rasulullah dalam keadaan khawatir dan sakit, Rasulullah bertanya kepadanya tentang apa yang telah terjadi. Tsauban menjawab, "Wahai Rasulullah! Saya tidak sedang sakit, akan tetapi tengah berpikir bahwa kelak di hari kiamat, saya tidak akan melihat Anda lagi saat saya memasuki neraka, dan jika saya masuk ke surga, sayapun tidak akan bisa hadir di hadapan Anda karena kedudukan dan derajat lebih rendah yang saya miliki dari yang Anda miliki, sesungguhnya masalah inilah yang telah membuat saya bersedih." Saat inilah kemudian ayat ini diturunkan, dan Rasulullah Saw bersabda kepadanya, "Demi Allah! Keimanan seorang Muslim tidak akan menjadi sempurna sehingga aku lebih dicintai daripada dirinya, ayahnya, ibunya, istrinya, anaknya dan dari seluruh manusia lainnya."[7]

Dengan demikian, dengan memperhatikan persoalan yang telah dijelaskan, Tsauban dapat dianggap sebagai salah satu dari pecinta Rasulullah dan keluarga sucinya.

Akan tetapi dari konteks yang ada, makna kata maula yang terdapat untuk Tsauban (Tsauban Maula Rasulullah) dapat bermakna "Orang yang telah dibebaskan oleh Rasulullah" atau bermakna abdi atau budak Rasulullah, akan tetapi dengan memperhatikan bahwa Tsauban dari awal telah dibebaskan oleh Rasulullah, maka makna pertama lebih sesuai baginya.

Terakhir, kami ingatkan bahwa mengenai Tsauban tidak terdapat banyak riwayat dalam literatur Syiah, oleh karena itu tidak bisa ditemukan satupun pandangan dari Ahlulbait mengenai riwayatnya.

Referensi:
[1]. Kata "wilâyah" dan "maulâ" berasal dari akar kata wali, dan para ahli linguistik menyebutkan bermacam makna untuk kata ini, seperti, malik atau pemilik, abdi atau budak, mu'thiq (pembebas), mu'thaq (yang telah terbebas), shâhib (pemilik), qarîb (seperti anak lelaki paman), jâr (tetangga), hâlif (seperjanjian), ibnu (putra), paman dari pihak ayah, rabb (tuan pemelihara), nâshir (penolong), mun'im (yang diberikan karunia), nâzil (yang turun), syarîk (mitra), ibnu al-ukht (anak lelaki dari saudara perempuan), muhibb (pecinta), tabi', shahr (menantu lelaki), aula bitasharruf (seseorang yang dari satu aspek lebih layak untuk memanfaatkan sesuatu dari orang lain), diadaptasi dari indeks "Makna Wilayah", Pertanyaan 153 (Site: 1156).
[2]. Ibnu Hajar Asqalani, al-Ishâbah, jil. 1, hal. 528, Darulkutub al-Alamiyah, Beirut, 1415 HQ.
[3]. Muhammad bin Hasan Thusi, Rijâl Thûsi, hal. 31, Intisyarat-e Haidariyah, Najaf, 1381 HQ.
[4]. Ibnu Hajar Asqalani, al-Ishâbah, jil. 1, hal. 528.
[5]. Tafsir Imam Hasan Askari As, hal. 370, Madrasah Imam Mahdi Ajf, Qom, 1409 H; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 27, hal. 100, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1403 H.
[6]. (Qs. Al-Nisa [4]: 69).
[7]. Fadhl bin Hasan Thabarsi, Majma' al-Bayân, jil. 3, hal. 110, Intisyarat-e Nashir Khusru, Teheran, 1372 S.

Nabi Saw: Ketahuilah, Surat Al-Lail Diturunkan Kepada Ali


Hari itu, setelah menunaikan shalat Ashar, seorang lelaki mendekati Imam Ali as dan berkata, "Wahai Ali! Ada yang ingin saya sampaikan kepadamu dan saya berharap engkau sudi memenuhinya."

Imam Ali as melihatnya dan berkata, "Katakan apa yang engkau mau."

Lelaki menjelaskan, "Tetangga dekat rumah saya memiliki pohon kurma di rumahnya. Waktu itu ada angin kencang dan burung, lalu buah kurmanya terjatuh di halaman rumah kami. Saya dan anak-anak memungutnya dan memakannya. Suatu hari saya mendatanginya dan meminta agar ia menghalalkan kurma yang kami makan, tapi ia tidak rela. Sudikah engkau menjadi perantara antara kami dengannya untuk mendapatkan kehalalan dari kurma yang kami makan itu?"

Imam Ali as tidak pernah menolak untuk melakukan perbuatan baik. Tanpa banyak berpikir, beliau langsung mengikuti lelaki itu dan menemui pemilik pohon kurma. Ketika Imam Ali as melihat pemilik pohon kurma, beliau berkata, "Sudikah anda merelakan tetanggamu yang telah memakan buah kurma yang terjatuh? Semoga Allah Swt juga rela kepadamu."

Tetangga lelaki itu menolak permintaan Imam Ali as. Tapi Imam Ali as tidak berputus asa. Untuk kedua kalinya beliau mengulangi permintaan yang sama. Tapi pria itu tetap menolak. Untuk yang ketiga kalinya, Imam Ali as berkata, "Bila engkau merelakan tetanggamu, Demi Allah, saya akan menjadi jaminan dari Rasulullah Saw bahwa Allah Swt akan menganugerahimu sebuah kebun di surga."

Aneh, orang itu tidak menerimanya!

Imam Ali as kembali berkata, "Apakah engkau mau menukar rumahmu dengan satu dari kebun milikku?"

Pria itu menjawab, "Iya, saya mau menukar rumahku dengan kebunmu."

Imam Ali as memandang lelaki yang memintanya sebagai perantara guna menyelesaikan masalahnya dan berkata, "Sejak saat ini, rumah ini juga menjadi milikmu. Allah Swt memberkatimu dan rumah ini halal bagimu."

Keesokan harinya, setelah menunaikan shalat Subuh di masjid, Nabi Muhammad Saw menghadap para jamaah shalat dan berkata, "Tadi malam, siapa di antara kalian yang melakuan perbuatan baik?"

Karena tidak ada yang menjawab, Nabi Saw kembali berkata, "Kalian akan mengucapkannya, atau aku yang mengatakan?"

Ali as berkata, "Wahai Rasulullah! Silahkan anda yang mengatakan."

Nabi Muhammad Saw berkata, "Saat ini Jibril mendatangi aku dan berkata, ‘Tadi malam Ali melakukan perbuatan baik.' Saya bertanya kepadanya, ‘Apa yang dilakukannya?' Sebagai jawabannya, Jibril membawakan surat al-Lail kepadaku."

Setelah itu Nabi Saw berkata, "Wahai Ali! Engkau membenarkan surga dan mengganti kebunmu dengan rumah dan memberikan rumah itu kepada lelaki itu?"

Dengan wajah gembira Imam Ali as berkata, "Benar, wahai Rasulullah!"

Nabi Saw Bersabda, "Ketahuilah bahwa surat al-Lail diturunkan dengan sebab perbuatan baik yang engkau lakukan."

Setelah itu Nabi Saw mencium dahi Ali as dan berkata, "Saya adalah saudaramu dan engkau adalah saudaraku."

Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ali as

Orang yang Paling Mulia di Sisi Nabi Saw


Halimah Sa'diah adalah orang yang menyusui Muhammad Saw sewaktu kecil dan menjadi ibu susu beliau. Halimah Sa'diah mengasuh Nabi Saw selama beberapa tahun. Hal ini menciptakan hubungan emosional yang dekat antara Nabi Saw dan Halimah, sehingga hidup berjauhan tak jarang memunculkan kerinduan di antara mereka.

Beberapa tahun lewat dan waktu itu Muhammad telah diutus menjadi Nabi. Suatu hari beliau melihat anak perempuan Halimah yang juga saudari sesusuan beliau. Menyaksikan saudari sesusuannya, Nabi Saw begitu terlihat gembira dan segera beliau melepaskan jubahnya lalu dihamparkan di atas tanah menyambut tamu yang sekaligus saudarinya agar duduk di atas hamparan jubahnya. Dengan penuh kasih sayang dan wajah yang tersenyum, Nabi Saw melayani tamunya dan menanyakan keluarganya...

Setelah anak perempuan Halimah Sa'diah mengucapkan selamat tinggal, saudara lakinya datang mendekati Nabi Saw. Rasulullah Saw terlihat gembira bertemu dengan saudara sesusuannya. Dengan tersenyum, beliau melayaninya dan berbicara dengan lemah lembut kepadanya. Akhirnya, iapun mengucapkan selamat tinggal kepada Nabi Saw dan ingin  kembali ke rumah.

Para sahabat Nabi Saw berkata kepada beliau, "Ya Rasulullah! Saudari dan saudara Anda ke sini mendatangi Anda, tapi sikap dan perilaku Anda kepada saudari Anda lebih baik dan akrab ketimbang dengan saudaru anda. Apa sebabnya?"

Nabi Saw menjawab, "Rupanya kalian memperhatikan hal ini. Ketahuilah bahwa saudari sesusuanku itu lebih menghormati kedua orang tuanya ketimbang saudara lakinya. Oleh karenanya, sudah selayaknya bila utusan Allah Swt lebih menghormatinya."

Sumber: "Sad Pand va Hekayat" Nabi Muhammad Saw.

Imam Ali as dan Pertanyaan Usama bin Zuhair


"Sebelum kalian kehilangan aku, tanyakan apa saja yang tidak kalian ketahui. Karena dadaku penuh dengan khazanah rahasia. Ketahuilah, bila saya menginginkan, maka saya akan berbicara tentang setiap dari kalian, dari mana kalian berdiri dan akan pergi ke mana... dan saya akan mengatakan segalanya tentang kalian..."

Imam Ali as berulang kali menyampaikan ucapannya ini kepada masyarakat. Tujuannya untuk menyelamatkan masyarakat dari kebodohan dan dampaknya.

Satu kali Imam Ali as ingin mengulangi kembali ucapannya ini. Di antara yang hadir ada Usamah bin Zuhair. Ia berdiri dan berkata, "Wahai Ali! Katakan kepadaku, di wajah dan kepalaku ada berapa rambut yang tumbuh?!"

Ali as berkata, "Demi Allah! Saya mengetahuinya. Tapi apa yang harus kulakukan? Jawabanku juga tidak akan engkau terima. Sebelum ini saya telah menjawab pertanyaanmu dan saudaraku Rasulullah juga telah berkata kepadaku. Beliau berkata, 'Di setiap akar rambutmu, wahai Usama, ada malaikat yang senantiasa melaknatmu dan ada setan yang senantiasa menyesatkanmu' ... Alasan paling jelas dari ucapanku ini adalah anak yang engkau miliki di rumahmu. Ia akan membunuh keturunan Rasulullah Saw dan mengajak orang lain untuk ikut melakukannya."

Yang dimaksud Imam Ali as dengan anak di rumah itu adalah anak Usamah bin Zuhair yang masih menyusu dan setelah besar bergabung dengan bala tentara Ubaidillah bin Ziyad memerangi Imam Husein as. Anak Usamah ini nantinya yang mengeluarkan perintah kepada pasukannya untuk membunuh Imam Husein as dan ia sendiri ikut dalam perbuatan ini. Ia tidak lain adalah Hashin bin at-Tamim bin Usamah.

Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ali as

Sayyidah Fatimah as dalam Ucapan Ulama-ulama Ahlus Sunnah


Tidak ada yang dapat memungkiri mengenai keagungan, keutamaan dan kemuliaan Sayyidah Fatimah as. Ali Syariati mengatakan, "Saya tidak dapat mengungkapkan apapun mengenai Fatimah, kecuali satu hal, Fatimah adalah Fatimah." Dalam kitab-kitab klasik Syiah maupun kontemporer kita menemukan bejibun pernyataan, syair, puisi yang mencoba memuji keutamaan Sayyidah Fatimah as, namun kesemuanya itu tidak mampu mewakili keutuhan pribadi Sayyidah Fatimah as. Nabi Muhammad Saw berkenaan dengan putri tercintanya pernah bersabda, "Jika semua kebaikan dikumpulkan dan diletakkan disebuah tempat, maka az Zahra masih jauh lebih baik dari semua kebaikan tersebut." 
Yang bisa kita ketahui dari apa yang dimaksudkan Nabi Saw tersebut, penjelasan dan gambaran apapun yang dikemukakan tidak bisa mewakili kemuliaan dan keagungan hadhrat Fatimah az Zahra as.

Literarur Ahlus Sunnahpun tidak luput dari menceritakan sebagian dari keutamaan Sayyidah Fatimah az Zahra as tersebut. Jalaluddin Suyuti dalam kitab ال‍ث‍غ‍ور ال‍ب‍اس‍م‍ه‌ ف‍ی‌ ف‍ض‍ائ‍ل‌ ال‍س‍ی‍ده‌ ف‍اطم‍ه‌ (kitab yang  ditulis khusus berkenaan dengan Sayyidah Fatimah as mengenai fadilah-fadilah beliau baik sebelum hijrah maupun setelah hijrah, serta kumpulan hadits-hadits yang diriwayatkan Sayyidah Fatimah maupun nukilan ucapan-ucapan beliau) menulis: "Kami berkeyakinan, sebaik-baik perempuan seluruh alam adalah Bunda Maryam dan Sayyidah Fatimah." Syaikh Mahmud Afandi Alusi yang lebih dikenal dengan nama Syaikh Al Alusi dalam kitab tafsirnya Ruh al Ma'ani pada jilid 3 hal. 138 menulis, "Fatimah lebih utama atas semua perempuan baik yang terdahulu maupun yang akan datang. Adalah sabda Rasulullah Saw yang menunjukkan keutamaan Fatimah atas semua perempuan adalah sesuatu yang pasti (tidak ada keraguan didalamnya), karena beliau adalah ruh dan jiwa Rasulullah, bahkan lebih utama dari Aisyah sekalipun."

Syaikh Fakhr al Din al Razi dalam magnum opusnya 'Tafsir al Kabir' menjelaskan mengenai makna al Kautsar (anugerah yang melimpah) dalam surah al Kautsar. Beliau menulis, "Surah al Kautsar turun untuk membantah mereka yang berpandangan bahwa Nabi Muhammad Saw tidak akan memiliki keturunan. 
Oleh karena itu surah tersebut berkenaan mengenai karunia yang Allah SWT berikan kepada Nabi Muhammad Saw berupa keturunan yang akan terjaga sepanjang zaman. Perhatikan, betapa banyak dari keluarganya yang terbunuh, namun orang-orang berilmu dari kalangan keturunan Rasulullah Saw sangat banyak dan melimpah. Dan tak seorangpun dari keluarga Bani Umayyah yang mampu menyaingi salah satupun dari keluarga Nabi. Dan perhatikan pula, dari keturunan Nabi lahir ulama-ulama besar seperti al Baqir, as Shadiq, al Kadzim dan ar Ridha serta Nafs Zakiah (nama aslinya Muhammad bin Abdullah bin al Hasan, salah seorang keturunan imam al Hasan as yang pada tahun 145 H syahid di masa pemerintahan al Manshur)." (Tafsir al Kabir, jilid 32, hal. 124). Jadi dalam kitab tafsirnya tersebut, ulama mufassir Sunni ini menyebutkan, bahwa anugerah melimpah dari Allah SWT untuk nabi Muhammad Saw yang dimaksud adalah keturunan yang dimulai dari Sayyidah Fatimah az Zahrah yang lahir dari beliau ulama-ulama dan pejuang-pejuang Islam yang menegakkan dan menjaga agama dari berbagai anasir yang hendak merusak dan menodainya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh An Naisabury dalam Kitab Gharaib Al Qur’an Wa Raghaib Al Furqan jilid 8, hal. 576.

Salam atasmu duhai putri sebaik baiknya makhluk, salam atasmu wahai putri nabi, salam atasmu wahai istri al-washi, salam bagimu duhai ibu al-Hasan dan al-Husain, salam atasmu wahai wanita suci yang dizhalimi dan diambil haknya, salam bagi ruh dan jasadmu yang suci nan semerbak dari lisan yang penuh dengan dosa ini…
Salam bagimu.....

Keikhlasan yang Sempurna


Kata Rasulullah, kalau tangan kananmu berbuat baik, tangan kirimu jangan sampai tahu.

Perbuatan baik tidak boleh ditakaburkan. Tidak boleh dipamerkan. Tidak boleh menjadi peristiwa riya’ di dalam kalbu orang yang melakukannya.

Ada seorang lelaki setengah baya masuk mall. Membawa koper cukup besar. Ia naik eskalator. Tergugup-gugup, mungkin belum terbiasa menyesuaikan kaki dan badannya dengan mekanisme dan irama tangga berjalan itu.

Sedemikian rupa sehingga ia terjatuh, kopernya menggelinding ke bawah, terbuka, dan isinya terbaur keluar.

Isi koper itu ternyata beribu-ribu lembaran uang sepuluh ribuan.

Tanpa sadar orang-orang yang berkerumun dan lalu lalang di sekitar tempat itu langsung menyerbu dan meroyok lembaran-lembaran uang yang berhamburan itu.

Si lelaki setengah teriak-teriak.

Kemudian ia menangis dan menutupi mukanya. “Uang saya diroyok orang! Uang saya diroyok orang…..”, sambatnya.

Tak ada yang memperhatikannya, sampai akhirnya tak ada orang tahu juga tatkala ia menghilang.

Ternyata memang ia sengaja. Ia ingin beramal, tapi jangan sampai ketahuan kalau beramal. Ia pura-pura menangis dan eman uangnya hilang, agar tak seorang pun menyangka bahwa sebenarnya ia sengaja melakukan itu. Ia ingin menyempurnakan keikhlasannya.

Lelaki yang saya kisahkan ini sangat tinggi derajatnya di mata Allah.

Dan itulah bedanya dengan saya.

Derajat saya masih pada strata tugas “uswatun hasanah”. Memberi teladan yang baik. Celakanya, memberi teladan itu tidak mungkin dengan menyembunyikannya, melainkan justru harus menunjukkannya.

Saya berdoa kepada Allah: “Ya Kekasih, nilailah apa yang kulakukan ini sebagai riya’ dan takabur, sehingga Engkau membatalkan pahalaMu atasku. Karena dengan tiadanya tabungan pahala itu insyaAllah aku menjadi lebih bersemangat untuk tetap mencoba menabung pahala dan kemuliaan….”


Disalin dari tulisan Muhammad Ainun Najib 

Peringatan Allah dalam Al-Quran: Mengharamkan yang Dihalalkan Allah


Allah Swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu haramkan apa saja yang baik dan telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. al-Maidah: 87)

Termasuk peringatan Allah yang termaktub dalam al-Quran kepada orang-orang mukmin adalah meninggalkan dunia secara mutlak dan menilai haram nikmat-nikmat Allah yang suci dan halal. Dalam ayat 78 surat al-Maidah, peringatan ini disampaikan secara transparan. Sementara dalam Asbab Nuzul ayat ini disebutkan bahwa ada sejumlah sahabat Nabi Muhammad Saw yang duduk bersama beliau dalam sebuah pertemuan. Ketika Nabi Saw sampai pada penjelasan tentang kiamat, mereka begitu terpengaruh dan sadar, sehingga ada yang memutuskan untuk berpuasa setiap hari. Di malam hari mereka tidak tidur dan menggantinya dengan ibadah. Mereka tidak lagi ingin mendekati istrinya dan tidak makan daging.

Mereka berhasil mengamalkan perilaku ini untuk beberapa waktu, hingga berita ini sampai ke Nabi Saw. Ketika beliau mendengar kabar ini, dengan segera para sahabatnya dikumpulkan dan menyampaikan ketidaksukaannya akan perilaku yang seperti ini. Nabi Saw berkata, "Jiwa kalian memiliki hak. Berpuasalah, tapi pada saat yang sama kalian juga harus berbuka. Sisihkan waktu di malam hari untuk istirahat dan tidur. Karena saya juga melakukan hal yang demikian. Saya juga makan daging dan mendekati istriku. Barangsiapa yang berpaling dari cara hidup yang aku lakukan, berarti itu bukan ajaranku. Mengapa ada sebagian masyarakat mengharamkan wanita, makanan, bau wangi, tidur dan kelezatan dunia? Saya tidak pernah mengeluarkan perintah seperti itu. Saya tidak ingin kalian hidup seperti para rahib dan pendeta yang meninggalkan dunia lalu hidup di sudut gereja dan tempat ibadah serta menghancurkan dirinya. Tidak makan daging dan meninggalkan istri tidak termasuk dari ajaranku. Kehidupan rahib dan pendeta di luar dari ajaran Islam. Rekreasi umatku adalah berpuasa dan hidup menyendiri mereka adalah jihad. Beribadahlah kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya. Lakukan perintah Allah untuk melakukan umrah atau haji, menunaikan shalat dan mengeluarkan zakat. Berpuasa di bulan Ramadhan dan tegar di jalan Allah, sehingga Allah Swt menjagamu di jalan kebenaran. Orang-orang terdahulu binasa akibat menyulitkan diri sendiri. Mereka melakukan hal-hal yang menyulitkan diri dan Allah akhirnya menyulitkan mereka. Kini apa yang tertinggal dari mereka dapat disaksikan di tempat-tempat ibadahnya." Setelah itu ayat ini diturunkan kepada beliau Saw.[1]

Dengan demikian, sikap ekstrim sebagian sahabat dalam meninggalkan dunia telah membuat ayat ini diturunkan dan memperingatkan umat Islam untuk tidak mengharamkan nikmat-nikmat Allah yang suci dan halal. Perlu dicamkan bahwa ayat ini ditujukan kepada mereka yang ekstrim, tapi berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari, selama tidak membahayakan badan, maka bukan saj tidak hara, tapi metode paling tepat untuk mensucikan diri.

Sumber: Hoshdar-ha va Tahzir-haye Qorani, Hamid Reza Habibollahi, 1387 Hs, Markaz-e Pajuhesh-haye Seda va Sima.

Musuh, Penyebab Kebaikan/ Eskalasi Impresif Penjualan Al-Quran di Perancis


PARIS  - Sejumlah naskah-naskah Al-Quran terjual laris di Perancis setelah serangan teroris ke kantor mingguan Charlie Hebdo, yang telah memublikasikan karikatur yang menistakan kesucian Nabi. 

“Toko buku La Procure di Paris, ibukota Perancis mengabarkan kenaikan drastis penjualan naskah-naskah Al-Quran selama beberapa hari setelah serangan teroris di Perancis,” demikian laporan IQNA, seperti dikutip dari Al-Kanz.

Cardall Vitora, Penanggung jawab bagian agama toko buku ini dalam menjawab radio Perancis Culture yang menanyakan, apakah Anda sampai sekarang ini menyaksikan fenomena semacam ini, mengatakan, tidak, sejatinya ini adalah untuk pertama kalinya. Ketika penayangan film Rahiban Tibhirine (dokumenter tujuh biarawan Perancis yang terbunuh oleh kelompok teroris bersenjata pada tahun 1996 M di gereja Tibhirine, propinsi Médéa - Algeria) permintaan buku-buku terkait Islam dan komunikasi kaum muslimin dan umat Kristiani melonjak, namun terkait Al-Quran, ini adalah pertama kalinya terdapat permintaan semacam ini.

Delegasi Minoritas Kristiani di Majelis Pakistan: Penistaan terhadap Rasulullah Saw adalah Perbuatan Setan


PAKISTAN - Ms. Asiya Nasir lewat kecaman tindakan penistaan majalah Charlie Hebdo dalam memublikasikan kembali karikatur yang melecehkan kesucian Nabi mendeskripsikan pelecehan kehormatan ini sebagai perbuatan setan. 

Menurut laporan IQNA, Ms. Asiya Nasir, Anggota Majelis Nasional Pakistan dan Delegasi Minoritas Kristiani kota Quetta mengecam penistaan majalah satire Perancis Charlie Hebdo terhadap Rasulullah (Saw) dan menegaskan, umat Kristiani Quetta juga ikut berpartisipasi dalam demonstrasi kaum muslimin dan dengan hal ini mengumumkan bahwa menurut kami, penistaan ini sangat dikecam.

“Saling menghormati kepada agama dan kitab-kitab samawi dalam perspektif kesemuanya adalah layak untuk dihormati dan tidak ada seorangpun yang berhak untuk menistakan agama-agama ini,” tambahnya.
Dia menegaskan, mereka yang menyebabkan pensitaan ini dan demikian juga mengafirmasikan tindakan ini dengan dalih kebebasan press perlu tahu bahwa tindakan-tindakan semacam ini akan menyebabkan kondisi menjadi lebih fatal dan akan menyebabkan peningkatan konflik antar peradaban.

Anggota Majelis Nasional Pakistan ini meminta inspeksi tindakan-tindakan penistaan semacam ini dari pihak PBB di dunia.

Ulama Terkemuka Irak: Kembali ke Al-Quran, Masalah Penting Umat Muslim


IRAK - Masalah penting sekarang ini bagi umat muslim adalah urgensitas kembali kepada Al-Quran; pelajaran dan ajaran-ajaran Al-Quran secara praktis, ilmiah dan mendetail harus masuk dalam kehidupan sehari-hari kaum muslimin. 

Syaikh Muhammad Said Nu’mani, ulama terkemuka Irak dan Mantan Anggota Lembaga Taqrib Mazahib Islam saat wawancara dengan IQNA, dengan menjelaskan hal ini mengatakan, Al-Quran Al-Karim sangat mengafirmasi pokok persatuan dan nilai-nilai kecintaan, persaudaraan dan perdamaian. Namun, ironisnya salah satu masalah yang sangat mengherankan adalah kaum muslimin  memiliki harta karun seperti Al-Quran, mereka membacanya, namun tidak mengimplementasikannya.

“Tentunya masalah ini sering kali diulang berkali-kali, yaitu suatu umat yang mana Imam Husein (As) adalah cucunda Nabi mereka dan dalam satu hari berkali-kali dikumandangkan "Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah", dengan Ahlulbaitnya pun mereka memperlakukannya demikian, itupun kurang dari 50 tahun sepeninggal Rasulullah. Dengan demikian, tidak cukup hanya dengan bacaan dan ucapan semata,” tambahnya.

Syaikh Nu’mani melanjutkan, Al-Quran sendiri juga mengafirmasikan hal ini dalam surah asSaff, 2, yang memuji manusia, yaitu Ya Ayuhal Ladzina Amanu lima Taquluna ma la Taf’alun, “wahai orang-orang beriman, kenapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan”! Kenapa kita ketika mengatakan suatu hal, tidak disertai dengan tindakan?

Selanjutnya, dia dengan menegaskan jarak antara ucapan, pemahaman dan amal mengatakan, kami, bukan hanya kaum muslimin, bahkan semua masyarakat dunia, jika kita tidak teliti, maka kita akan tertimpa masalah ini. Umat Kristiani lahiriah mereka juga meyakini al-Masih (As), namun realitanya apakah kinerja mereka juga demikian. Kita menyaksikan bahwa semua pembunuhan, konspirasi dan penjarahan bangsa-bangsa lemah nan malang dilakukan oleh mereka.

Nu’mani menambahkan, apakah ini semua mengikuti ajaran-ajaran al-Masih (As)? al-Masih adalah nabi perdamaian, terpandang dan kecintaan. Sudah pasti tidaklah demikian dan tidak ada seorangpun yang menisbatkan umat al-Masih sejati kepada mereka. Namun sekarang ini dikarenakan kemaslahatan politik, kesalahan-kesalahan kaum muslimin dipikulkan di pundak Islam dan Al-Quran.

Ulama Irak ini menegaskan, mungkin menyalahi apa yang kita gambarkan, jarak kita sangatlah jauh sekali dengan Al-Quran. Sekarang ini masalah penting untuk umat muslim adalah urgensitas kembali kepada Al-Quran; pelajaran dan ajaran-ajaran Al-Quran, secara praktis, ilmiah dan mendetail harus masuk dalam kehidupan  kaum muslimin sehari-hari.

Selanjutnya, dia dengan mengisyaratkan urgensitas persatuan Islam mengatakan,  selain Al-Quran, akal juga mengafirmasikan persatuan. Sudah semestinya bagi kita, setiap perkumpulan bahkan satu keluarga kecil jika tidak bersatu, maka akan tercerai berai. Sudah sewajarnya bahwa umat Islam memiliki musuh dengan pelbagai dalih, jika kita tidak saling bersatu, maka selainnya akan memimpin dan menguasai kita.
Nu’mani mengintroduksikan, akal mengatakan, Al-Quran Al-Karim mengatakan, Rasulullah (Saw) mensabdakan, para wali mengatakan, para filusuf berkata, namun ironisnya, sekarang ini jarak kita masihlah jauh dengan perintah-perintah Al-Quran tentang persatuan dan solidaritas.

Selanjutnya, ulama Irak mewasiatkan, kita harus menempuh semua jalan untuk mengurangi jarak dengan Al-Quran, baik dengan film, sinema, teater, cerita, foto, dan pelbagai bentuk, kita harus menyampaikan masalah ini kepada masyarakat.

Dia menegaskan, kita memiliki ungkapan menarik dalam Al-Quran, dimana Al-Quran mengatakan Tablig, bukan I’lam. Dalam bahasa Arab, I’lam berartikan ucapan yang sampai ke telinga, namun tidak jelas, apakah bisa terlaksana ataukah tidak, dilaksanakan dengan benar ataukah tidak.

Namun Al-Quran mengatakan Tablig, Alladzina Yuballighuna Risalatillah, “Orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah atau misi-misi Allah”, dan ini berarti menyampaikan pesan dan menginstitusionalisasikannya. Sekarang bagaimana dapat menyampaikannya dengan benar dan menghantarkannya pada tahap praktis, bisa jadi dengan ceramah atau bisa jadi dengan kinerja seni seperti teater dan pameran.

Di penghujung, Syaikh Muhammad Said Nu’mani mengatakan, semua metode-metode yang bermanfaat dalam perkara tablig harus digunakan, sehingga risalah suci dan penyampaian pesan Al-Quran ini, yang untuk kita adalah sebuah kehidupan dan tanpanya kita tidak ada, terlaksana dengan benar.

Tingkatkan Oplah, Charlie Hebdo Hina Nabi Muhammad Saw


Di tengah protes luas Muslimin dunia, Charlie Hebdo tetap menerbitkan edisi terbarunya dengan sampul bergambar karikatur Nabi Muhammad Saw lebih dari tujuh juta eksemplar.

Fars News (24/1) melaporkan, surat kabar Perancis Le Figaro menulis, perusahaan MLP, distributor majalah mingguan satir Charlie Hebdo, Jumat (24/1) mengumumkan, “Edisi terbaru Charlie Hebdo bertema “orang-orang yang selamat” dengan gambar karikatur Nabi Muhammad Saw dicetak ulang dan oplahnya melampaui tujuh juta ekslempar.”

Menurut perusahaan distributor ini, hingga akhir Sabtu, tujuh juta eksemplar majalah Charlie Hebdo edisi terbaru berhasil dipasarkan dan sejak Senin lalu 300 ribu eksemplar dicetak.

Dua pekan lalu Charlie Hebdo menerbitkan karikatur menghina Nabi Muhammad Saw dan sepekan setelahnya kembali melakukan penghinaan yang sama dalam lima juta eksemplar. Langkah ini spontan memicu kemarahan Dunia Islam dan Muslimin dari seluruh penjuru dunia.

Kantor majalah satir Charlie Hebdo yang kerap menerbitkan karikatur-karikatur menghina tokoh-tokoh yang dihormati Islam khususnya Nabi Muhammad Saw, beberapa waktu lalu diserang orang bersenjata. Akibatnya 12 orang termasuk dua polisi tewas.

Oplah majalah ini biasanya hanya mencapai beberapa ribu eksemplar saja, namun dewan direksi berusaha meningkatkan oplah majalah tersebut.

Silsilah Kumail bin Ziyad


Berkaitan dengan pohon silsilah Kumail bin Ziyad, Ibnu Hazm menjelaskan sebagai berikut :
“Kumail bin Ziyad bin Nahik bin Haitsam bin Sa’d bin Malik bin Harits bin Shahban bin Sa’d bin Malik bin Annakha’”.[1]

Qabilah Kumail

Nakha’  merupakan salah satu qabilah besar dari daerah Madzhij yang berasal dari yaman. Orang-orang dari qabilah ini merupakan orang-orang yang memeluk Islam di masa dakwah Nabi Muhammad saw. Rasulullah saw pernah berdoa untuk qabilah ini sebagai berikut :

 اللَّهُمَ بارِكْفِىالنَّخَعِ

“Ya Allah, berkahilah qabilah Nakha’”

 -------------------------------------
Referensi:
[1]JumhuratAnsabul Arab : 415.

18 Rabiul Awal, Pembangunan Masjid Nabawi Dimulai


Tanggal 18 Rabiul Awal tahun pertama Hijriah, pembangunan Masjid Nabawi di Madinah dimulai. Pembangunan masjid terpenting kedua kaum muslimin, setelah Masjidil Haram itu, dimulai segera setelah Rasulullah tiba di kota Madinah.

Rasulullah sendiri juga terjun langsung bersama para sahabat beliau untuk melakukan pembangunan masjid tersebut. Dinding masjid terbuat dari batu-bata dan atapnya terbuat dari kayu. Di samping masjid dibangun pula ruangan-ruangan untuk tempat tinggal Rasul dan sebagian sahabat beliau.

Rasulullah menjadikan masjid bukan hanya sebagai tempat beribadah, melainkan juga untuk menyelenggarakan urusan pengadilan, musyawarah, pendidikan militer, dan penyelesaian masalah kaum muslimin. Oleh karena itu, masjid ini memiliki posisi yang sangat penting di tengah kaum muslimin.

Apakah Nabi Saww Pernah Lupa Dalam Shalat


Oleh: Mohammad Habri Zen

Hadits Lupa di Dalam Kitab “Al-Faqih”.
Didalam Ilmu kalam, menisbatkan sifat lupa kepada nabi saww adalah sesuatu yang mustahil, bahkan dalam segala hal nabi saww tidak pernah lupa, sebab kalau nabi saw pernah lupa dalam sesaat saja, berarti dimungkinkan pula nabi saww pernah lupa dalam menyampaikan wahyu Tuhannya, dan hal itu berhubungan dengan masalah aqidah  yang harus ditolak. Dilain hal ulama besar Syiah seperti Syeikh Shaduq ra pernah mengatakan didalam kitab manla yahdhuruhu alfaqih, dengan mengutip riwayat mengenai shalat, bahwa nabi saww pernah shalat qadha subuh dan lupa didalam shalat dan melakukan sujud sahwi bahkan ekstremnya, orang yang tidak mempercayai nabi saww pernah lupa salah satu ciri dari ghulu.[1]

Riwayat yang dibawa Syeikh Shaduq adalah  :

وروى الحسن بن محبوب عن الرباطي، عن سعيد الاعرج قال: ” سمعت أبا عبدالله عليه السلام يقول: إن الله تبارك وتعالى أنام رسوله صلى الله عليه وآله عن صلاة الفجر حتى طلعت الشمس، ثم قام فبدأ فصلى الركعتين اللتين قبل الفجر، ثم صلى الفجر، وأسهاه في صلاته فسلم في ركعتين ثم وصف ما قاله ذو الشمالين و إنما فعل ذلك به رحمة لهذه الامة لئلا يعير الرجل المسلم إذا هو نام عن صلاته أو سها فيها فيقال: قد أصاب ذلك رسول الله صلى الله عليه وآله.

Al-Husein Ibn Mahbûb meriwayatkan dari Arribâthi, dari Sa’îd al-A’râj berkata : Aku mendengar Aba Abdillah as bersabda: Sesungguhnya Allah Swt menidurkan Rasulullah saww sampai terbit matahari dan nabi saww dalam keadaan belum shalat shubuh, kemudian rasul saww bangun dan melaksanakan shalat dua rakaat (nafilah) sebelum shalat shubuh (qadha), kemudian melaksanakan shalat (qadha) Shubuh, dan Dia Swt juga membuat rasul saww lupa dalam shalatnya dengan memberi salam setelah rakaat kedua (dalam empat rakaat), kemudian yang mengingatkannya adalah dzu as-syimalain, hal itu terjadi untuk dijadikan rahmat bagi ummat ini (nabi saw), supaya tidak ada seorang lelaki muslim dihina karena ketiduran dan belum melaksanakan shalatnya atau lupa didalam shalatnya, dan dikatakan padanya bawa telah menimpa hal itu kepada rasulullah saww juga.[2]

Kemudian Syeikh Shaduq ra dalam hal ini membedakan antara sahw (lupa) dengan Isha (Melupakan-butuh objek), karena kalau  sahw (lupa) dinisbatkan kepada orang yang lalai karena pengaruh syaetan, sedangkan yang terjadi pada nabi bukanlah lupa dalam makna demikian tetapi Allah Swt secara langsung membuat lupa (isha’) nabi dalam hal itu, dan hal ini tidak diakibatkan oleh lalai atau pengaruh syaetan karena

 إِنَّما سُلْطانُهُ عَلَى الَّذينَ يَتَوَلَّوْنَهُ  

(Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukanya dengan Allah)[3]

dan nabi tidaklah berwala kepada syaetan. Begitu pula penulis sekaligus menjawab permasalahan yang menyatakan bahwa kalau nabi pernah lupa maka dimungkinkan nabi saww pernah lupa dalam menyampaikan wahyu tabligh dan risalah, dengan jawabannya yaitu : hal itu terjadi kalau makna lupa adalah disebabkan karena lalai, tetapi hal ini berbeda bukan karena hal itu tetapi karena Allah yang membuat nabi lupa (isha’), dilain hal beliau mengatakan bahwa shalat adalah hal yang musytarak selain nabipun melakukannya sedangkan wahyu, tidaklah demikian karena merupakan hal yang khusus dan mustahil menisbatkan lupa dalam masalah wahyu tabligh kepada ummat.

Syeikh Mufid ra Menolak Pendapat Syeikh Shaqud ra
Sebagian ulama menerima pendapat Syeikh Shaduq mengenai isha nabi saww tsubutan (alam kemungkinan) bukan itsbâtan (alam dalil), sebagian lagi menolak sepenuhnya baik itu sahwi maupun isha karena bertolak belakang dengan dalil aqli dan naqli kemaksuman nabi secara mutlak, terutama Syeikh Mufid didalam risalahnya ‘adam sahwi an-nabi saww, yang mengatakan bahwa isha pun tidak mungkin terjadi, yang mana Syeikh Mufid berkeyakinan bahwa hadits tersebut adalah hadits ahad yang tidak bisa dijadikan pegangan bagi permasalahan aqidah, dan juga beliau menambahkan bahwa hadits tersebut memiliki banyak permasalahan terutama dalam isi hadits tersebut, kadang menceritakan nabi saww lupa dalam shalat dzuhur sebagian riwayat dalam shalat ashar sebagian lagi dalam shalat isya,[4] dan juga hadits itu bertolak belakang dengan aqidah kemaksuman nabi saww. Sebagian Ulama seperti Alamah Jawadi Amuli dan ulama lainnya mengatakan kalau terjadi taarudh permasalahan naqliah dan aqliah yang sudah tsabit dalam permasalahan aqidah maka yang naqli itulah yang harus ditakwil bukan yang aqli.

Bagaimanapun pertentangan Ulama terhadap pernyataan Syeikh Shaduq ra dan riwayat yang diambilnya, sepanjang yang saya teliti hadits yang dibawa Syeikh Shaduq bisa dikatakan hadits sahih kalau perawinya yang bernama Ribâthi bukanlah Al-Hasan ibn Ribâthi Al-Bijli, karena nama itu adalah majhul belum ada keterangan didalam kitab-kitab rijal, sedangkan kalau yang dimaksud adalah Ali Ibn Al-Hasan Ibn Ar-Ribâthi maka dia adalah seorang imami yang tsiqah[5]. Oleh sebab itu dikarenakan nama musytarak yang ada dalam riwayat man la yahdhuruhu alfaqih  tidak bisa dijadikan pegangan untuk mengitsbatkan kesahihan riwayat tersebut.

Isykal Pernyataan Syeikh Mufid ra
Syeikh Mufid mengatakan bahwa permasalahan lupa yang dinisbatkan kepada nabi saww adalah hadits ahad, hal tersebut jikalau dinisbatkan hanya kepada kitab “Al-Faqih” bisa dibenarkan tetapi kalau kita lihat didalam kitab-kitab lainnya seperti Al-Kâfi dan Istibshar maka kita akan menemukan hadits serupa yang lebih dari satu dengan kualitas sahih. Bahkan Syarif Murtadha (Ali Ibn Husein Musawi) didalam Al-Masâil An-Nâshiriyyât menjadikan hadits yang serupa sebagai dalil dalam fiqihnya mengenai sujud sahwi.[6]

Walapun sebenarnya hadits lain mengenai lupa didalam shalat dan sujud sahwi yang tidak dinisbatkan kepada Nabipun banyak jumlahnya.

Kita dapat melihat beberapa hadits sebagai contoh didalam Al-kafi sebagai berikut:

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عِيسَى عَنْ سَمَاعَةَ بْنِ مِهْرَانَ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللهِ (ع): …فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ (ص) صَلَّى بِالنَّاسِ الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَهَا فَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ ذُو الشِّمَالَيْنِ يَا رَسُولَ اللهِ أَ نَزَلَ فِي الصَّلاةِ شَيْ‏ءٌ فَقَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ إِنَّمَا صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ (ص) أَتَقُولُونَ مِثْلَ قَوْلِهِ قَالُوا نَعَمْ فَقَامَ (ص) فَأَتَمَّ بِهِمُ الصَّلاةَ وَسَجَدَ بِهِمْ‏ سَجْدَتَيِ السَّهْوِ …

Berkata Abu Abdillah as: …Sesungguhnya rasulullah saww pernah shalat dzhuhur berjamaah dua rakaat, karena lupa, kemuadian memberi salam akhir, kemudian Dzu As-Syimalain berkata wahai rasulullah saw, apakah ada yang kurang didalam shalat anda, Rasul menjawab : memang apa yang terjadi? Dzu As-Syimalain berkata sesungguhnya anda telah shalat dua rakaat, kemudian Rasul Saww bertanya kepada yang lainnya : apakah kalian melihat benar apa yang dia katakan , mereka berkata : betul, kemudian rasulullah saww, meneruskan shalatnya lalu melaksanakan sujud sahwi…[7]

مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ النُّعْمَانِ عَنْ سَعِيدٍ الأَعْرَجِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ (ع) يَقُولُ صَلَّى رَسُولُ اللهِ (ص) ثُمَّ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَيْنِ فَسَأَلَهُ مَنْ خَلْفَهُ يَا رَسُولَ اللهِ أَحَدَثَ فِي الصَّلاةِ شَيْ‏ءٌ قَالَ وَمَا ذَلِكَ قَالُوا إِنَّمَا صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ أَكَذَلِكَ يَا ذَا الْيَدَيْنِ وَكَانَ يُدْعَى ذَا الشِّمَالَيْنِ فَقَالَ نَعَمْ فَبَنَى عَلَى صَلَاتِهِ فَأَتَمَّ الصَّلاةَ أَرْبَعاً وَقَالَ إِنَّ اللهَ هُوَ الَّذِي أَنْسَاهُ رَحْمَةً للأُمَّةِ …

Berkata Sa’îd Al-A’râj aku mendengar Aba Abdillah as bersabda : Rasulullah melakukan salam setelah dua rakaat, kemudian dibelakangnya bertanya : wahai rasulullah saww apakah terjadi kekurangan didalam shalat? Rasul saww menjawab : apa yang terjadi?, mereka berkata : anda telah shalat dua rakaat, rasul saww bertanya : apakah hal itu benar wahai Dzulyadain, yang mana dipanggil Dzu as-Syimalain, dia berkata betul, kemudian rasul saww meneruskan shalatnya dan menyempurnakan shalatnya menjadi empat rakaat, kemudian Imam as bersabda: Sesungguhnya Allah Swt lah yang melupakan nabi saww sebagai rahmat bagi umat…[8]

Kedua hadits tersebut dan masih ada lagi hadits serupa lainnya dalam bab yang sama didalam Alkafi dengan sanad sahih begitu pula didalam Tahdzib Al-Ahkam didalam bab ahkam As-Sahwi fi As-Shalat dengan sanad sahih pula, walaupun isi dari riwayat tersebut banyak ditemukan permasalahan diantaranya bertolak belakang dengan riwayat sahih lainnya.

Ta’arudh Hadits
Riwayat-riwayat yang sahih yang menceritakan mengenai kejadian lupa didalam shalat yang dinisbatkan kepada nabi saww bertolak belakang isi kandungannya dengan banyak riwayat sahih lainnya semisal riwayat didalam tahdzib:

عَنْهُ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُكَيْرٍ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ع هَلْ سَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ ص-‌سَجْدَتَيِ السَّهْوِ قَطُّ فَقَالَ لَا وَ لَا يَسْجُدُهُمَا فَقِيهٌ
‌قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الَّذِي أُفْتِي بِهِ مَا تَضَمَّنَهُ هَذَا الْخَبَرُ فَأَمَّا الْأَخْبَارُ الَّتِي قَدَّمْنَاهَا مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ ص سَهَا فَسَجَدَ فَإِنَّهَا مُوَافِقَةٌ لِلْعَامَّةِ وَ إِنَّمَا ذَكَرْنَاهَا لِأَنَّ مَا تَتَضَمَّنَهُ مِنَ الْأَحْكَامِ مَعْمُولٌ بِهَا عَلَى مَا بَيَّنَّاهُ

Darinya (Muhammad ibn Ali Ibn Mahbub), dari Ahmad ibn Muhammad dari Al-Hasan ibn Mahbûb dari Abdillah ibn Bukair dari Zurârah berkata : aku bertanya Aba Ja’far as apakah Rasulullah saww pernah melaksanakan dua sujud sahwi (karena lupa) sekali saja, Imam as menjawab tidak , dan tidak pula pernah seorang Faqih (orang alim) melaksanakan dua sujut (sahwi) itu.

Muhammad Ibn Al-Hasan (Syeikh Thûsi) yang mana berfatwa dengan kandungan riwayat tersebut (menolak sahwi nabi) adapun riwayat yang mengatakan nabi lupa kemudian melaksanakan sujud sahwi adalah riwayat yang sesuai dengan pendapat mazhab âmmah dan kami menyebutkan riwayat ini karena kandungannya berlaku didalam ahkam seperti yang telah kami jelaskan. (dari sanalah tidak bisa diambil kesimpulan bahwa nabi pernah lupa) [9]

Hadits ini adalah sahih seluruh perawinya tsiqah imamiah, dan kandungannya bertolak belakang dengan hadits sahih lain yang telah disebutkan diatas, karena riwayat ini menolak sedikitpun bahwa nabi pernah lupa dan melakukan sujud sahwi,  adapun mengenai sifat nabi saww yang tak pernah lupa bahkan nabi saww mengetahui khabar langit dan bumi, sehingga tidak mungkin nabi bertanya kepada dzulyadain atau lainnya mengenai sesuatu yang nabi saww tidak ketahui dari lupanya. Riwayat tersebut disebutkan didalam riwayat sahih semisal riwayat dalam al-kâfi berikut ini :

 عده من اصحابنا، عن احمدبن محمد عن علي بن حديد، عن سماعه بن مهران قال :کنت عند ابي عبدالله و عنده جماعه من مواليه، فقال: اعرفوا العقل و جنوده و الجهل و جنوده تهتدو…فقال ابوعبدالله: ان الله خلق العقل …ثم جعل للعقل خمسه و سبعين جندا فکان مما اعطي الله العقل من الخمسه و السبعين الجند الخير و جعل ضده الشر…والعلم و ضده الجهل و التسليم و ضده الشک و التذکر و ضده السهو و الحفظ و ضده النسيان…فلا تجتمع هذا الخصال کلها من اجناد العقل الا في نبي اووصي او مومن قد امتحن الله قلبه للايمان …

Dari beberapa sahabat kamidari Ahmad ibn Muhammad dari Ali ibn Hadid, dari Samâ’ah ibn Mihrân berkata : ketika aku bersama Abu Abdillah as dan disekitarnya sekumpulan para pengikutnya, Imam as bersabda : jelaskanlah oleh kalian mengenai akal dan tentaranya, kebodohan dan tentaranya pula anda akan memperoleh petunjuk…Abu Abdillah as bersabda : sesungguhnya Allah menciptakan akal… kemudian menjadikan akal tujuh puluh lima tentara, dan yang diberikan oleh Allah Swt dengan tujuh puluh lima tentara kebaikan dan menjadikan pula lawannya kejelekan, Ilmu lawannya Kebodohan, yakin (kepatuhan) lawannya keraguan, tadzakkur lawannya sahw (lupa),  hapalan lawannya nisyân (lupa)… tidaklah terkumpul seluruh tentara akal (kebaikan) tersebut kepada seorangpun kecuali pada nabi, dan washinya atau mukmin yang telah Allah Swt uji mereka hatinya dengan keimanan…[10]

Hadits tersebut adalah sahih sanad, adapun iddat min ashhâbina (beberapa sahabat kami) pun muktabar ketsiqatannya mereka adalah Ali Ibn Ibrahim, Ali Ibn Muhammad Ibn abdillah, Ahmad Ibn Abdillah ibn Umayyah, Ali Ibn Hasan yang meriwayatkan dari Ahmad ibn Muhammad Albarqi.[11]

Isi dari hadits tersebut  secara jelas menerangkan bahwa tazdzakur dan Hifz yang merupakan lawan dari lupa ada pada nabi dan washinya, sehingga tidak mungkin nabi memiliki sifat lupa (nisyân/sahw).
Dan masih banyak lagi hadits sahih lainnya yang menjelaskan hal yang serupa baik dengan manthuqnya atau mafhumnya yang menyatakan nabi tidak pernah lupa sedikitpun dan mengetahui urusan langit dan bumi.
Dan dari kedua belah kubu riwayat yang menyatakan nabi pernah lupa dan kubu lain yang menyebutkan nabi tak pernah lupa mengalami ta’ârudh, dan bagaimanakah kita menyelesaikan hal itu semua serta mencari jalan keluarnya?

Solusi permasalahan hadits yang muta’âridân (yang saling bertolak belakang)
Dari sanalah kita tidak bisa melihat riwayat hanya dari minhaj sanadi saja tetapi harus dilihat dari minhaj madhmûni, minhaj sanadi mengatakan kalau sanadnya sahih maka riwayat tersebut menjadi hujjah, sedangkan kita melihat diantara hadits secara sanad sahih terdapat madhmun (isi hadits) yang bertolak belakang seperti yang disebutkan diatas, oleh sebab itu mana yang harus kita pilih karena kedua-duanya hujjah menurut minhaj sanadi, tetapi kalau kita melihat minhaj Madhmûni, kita bisa melihat rujukan isi dan kandungannya yang bertolak belakang tadi dan mencari solusi lain dari pelajaran ushul fiqih.

Kalau kedua hadits tersebut sanad sahih, dan secara isi bertolak belakang maka hal itu terjadi ta’ârudh, atau didalam istilah Sayyid Syahid Baqir Shadrra “At-Tanâfi baina almadlûlain, wa lamma kâna ad-dalil hua al-ja’l fattanâfi almuhaqqiq littaârudh hua attanâfi baina al-ja’lain…”[12] bahkan ditambahkan didalamnya adalah taarudh diantara dua ja’l ( lisan dalil), yang mana didalam pembahasan kita kali ini adalah diantara dua kubu riwayat (dalil) diatas.

Disebutkan pula didalam ushul bahwa ta’ârudh diantara dua dalil tersebut ada yang mustaqir ada yang ghair mustaqir. Ta’ârudh gheir mustaqir adalah at-taârudh alladzi yumkinu ‘ilâjuhu bita’dîl dilâlah ahad ad-dalilain, wa ta’wîluha binahwin yansajim ma’a ad-dalîl al-âkhar[13] (ta’arudh yang mana dimungkinkan untuk dicarikan solusinya dengan mensinkronkan salah satu dalil dengan dalil lainnya, dan mentakwilkan yang sesuai dengan dalil lainnya. Sedangkan yang mustaqir tidak mungkin ditemukan solusi dengan cara mensinkronkan salah satu dalil dengan dalil lainnya. Ta’arudh gheir mustaqir bisa diambil solusi dengan cara al-jam’ al-‘urfi, maksudnya secara pandangan uruf bisa dicarikan solusinya baik itu dengan mencari salah satu dalil yang lebih dzahir (adzhar) dari yang dzahir, atau yang muqayyad dari yang muthlaq atau yang khas dari yang amm. Sedangkan kalau kita kembali lagi kedalam masalah kedua kubu dalil mengenai nabi pernah lupa atau tidak maka kita bisa meneliti bahwa kedua kubu hadits tersebut tidak bisa ditemukan dengan cara al-jam al-urfi, bahkan kedua kubu tersebut jelas-jelas masuk dalam kategori ta’arudh mustaqir. Lalu apa yang harus kita lakukan kalau memang hadits itu adalah taarudh mustaqir?
Didalam pembahasan Ushul dikatakan bahwa kalau mengalami ta’arudh mustaqir maka yang terjadi adalah tasâquth kila ad-dalilain (jatuh kedua dalil tersebut), tetapi dikatakan pula oleh Sayyid Shadr ra bahwa dengan adanya dalil yang khusus menunjukkan tarjîh (salah satu dalil maka tidak terjadi tasaqut kila ad-dalilain[14]. Riwayat khusus tersebut diantaranya:

إذا ورد عليكم حديثان مختلفان فاعرضوهما على كتاب الله، فما وافق كتاب الله فخذوه، وما خالف كتاب الله فردّوه، فإن لم تجدوهما في كتاب الله فاعرضوهما على أخبار العامة, فما وافق أخبارهم فذروه و ما خالف أخبارهم فخذوه.

Imam Shadiq as bersabda : JIkalau kalian menemukan dua hadits yang bertolak belakang maka rujuklah keduanya pada kitabullah, dan hadits yang sesuai dengan kitabullah maka ambillah, dan yang tidak sesuai maka tinggalkanlah, jikalau kalian tidak menemukan didalam kitabullah maka rujukalah keduanya pada hadits-hadits (mazhab) ‘ammah, yang sesuai dengan akhbar mereka maka tinggalkanlah yang tidak sesuai maka ambillah.[15]

Dari sanalah kita bisa merujuk kepada ayat alquran, sedangkan secara sarih Alquran banyak yang menerangkan ayat mengenai kemaksuman nabi, kalau kita mengambil  makna ithlaq  dari makna maksum yang meliputi juga maksum dari lupa dan salah. Tetapi kalaupun ayat-ayat tersebut mendapatkan permasalahan dengan ayat lainnya dan tidak bisa ditemukan kesimpulan akhir maka kita merujuk pada langkah kedua yaitu merujuk kepada hadits-hadits dari mazhab ammah, dan sudah dipastikan bahwa hadits yang menceritakan bahwa nabi saww pernah lupa sesuai dengan riwayat yang terdapat dalam mazhab Ammah, oleh sebab itulah maka kita mengambil riwayat yang tidak sesuai dengan mazhab tersebut yaitu riwayat yang menolak bahwa nabi pernah lupa, serta menjadikan riwayat yang sesuai dengan mazhab ammah adalah riwayat dalam kondisi taqiah. Kesimpulannya bahwa riwayat yang bisa kita pegang adalah riwayat yang mengatakan bahwa nabi sedikitpun tidak pernah lupa dan salah.

Adapun permasalahan ghulu yang dikatakan oleh Syeikh Shaduq maka hal itu tidak tepat, sebab hal itu tidak termasuk ghulu, dan juga banyak riwayat sahih yang menegaskan dalil mengenai ketiadaan lupa bagi nabi saww. Walaupun hukum ghulu seperti menganggap nabi tuhan atau imam maksum tuhan maka hal itu haram didalam mazhab syiah. Dan menafikan lupa dari rasul saww tidaklah termasuk kategori atau mishdaq dari ghulu seperti yang dikatakan banyak dari para ulama syiah sekalipun.


Rujukan:
[1] Syeikh Shaduq, Man la Yahdhuruhu Al-Faqih, Jilid-1, hal. 359, bab Ahkam As-sahwi fi As-Shalat, Cet. Islami
[2] Idem, hadits ke-1031.
[3] An-Nahl:100
[4] Syeikh Mufid, Adam Sahw An-Nabi Saww, hal 22-23, Maktabah Syamilah
[5] Rijal An-Najâsyi, hal251, Khulashah Al-Hilli, hal.100
[6] Syarif Murtadha, Al-Masâil An-Nâshiriyyât, hal 236, cet. Râbithah as-tsaqafiah,
[7] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.259, bab Man takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits.
[8] Al-Kulaini, Al-Kâfi, jilid ke-6, hal.284, bab Man takallama fi As-Shalat, cetakan darul hadits
[9] Syeikh Thûsi, Tahdzîb Al-Ahkâm, jilid ke-2, hal.351, bab Ahkam As-Sahwi, Cet. Dar Al-Kitab al-Islami
[10] Al-Kulaini, Al-Kâfi,jilid ke-1, hal.42, kitab al-‘ali wa al-jahli, cet. Dârulhadits
[11] Al-Hilli, Al-Kulâshah, hal.272 al-fâidah at-tsâlitsah.
[12] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâlitsah, hal. 542, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430
[13] Idem, hal.452
[14] Sayyid Shadr, Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430
[15] Sayyid Shadr, Duruf fi Durûs fi ‘Ilmi Al-Ushûl, al-halaqah ats-tsâniah, hal.462, Muassasah An-Nasyr Al-Islâmi, 1430, yang mengutip hadits dari alwasail jilid ke 18, bab ke-9 dari bab sifat alqâdhi, hadits ke-29

Berkah Kalung Sayidah Zahra

 
Suatu ketika Rasulullah Saw kedatangan tamu seorang musafir yang telah kehabisan bekal. karena di rumah beliau tidak ada sesuatu yang layak diberikan, maka beliau minta tolong sahabat Bilal agar mengantar tamu itu ke rumah putri Beliau, yaitu  Sayyidah Fathimah as.

Dirumah Sayyidah Fathimah as, rupanya juga tidak ada sesuatu yang layak dimakan. Maka dengan senang hati, tulus dan ikhlas, Sayyidah Fathimah memberinya kalung hadiah pernikahannya dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib as. Sayyidah Fathimah berkata:  “Ambillah kalung ini dan juallah, mudah-mudahan harganya cukup untuk memenuhi keperluanmu”.

Oleh si tamu, kalung itu dijual ke Ammar bin Yasir, salah seorang sahabat Nabi Saw  “Berapa hendak kamu jual kalung itu?” tanya Ammar bin Yasir.

“Aku akan menjualnya dengan roti dan daging, sekedar untuk mengenyangkan perutku, sebuah baju penutup tubuhku dan uang satu dinar untuk menemui istriku” kata si tamu tadi.

Ammar berkata:  “Baiklah, aku membeli kalung itu dengan harga 20 dinar, ditambah 200 dirham, ditambah sebuah baju, serta seekor unta agar engkau dapat menemui istrimu”.

Setelah itu Ammar berkata pada budaknya, Asham.

“Wahai Asham, pergilah sekarang menghadap Rasulullah Saw, katakan bahwa aku menghadiahkan kalung ini dan juga engkau kepadanya. jadi mulai hari ini kamu bukan budakku lagi tetapi budak Rasulullah Saw”.

Ternyata, Rasulullah Saw pun berbuat sebagaimana Ammar. Ia menghadiahkan kalung itu dan juga Asham kepada Sayyidah Fathimah.

Sayyidah Fathimah asbegitu berbahagia menerima hadiah dari ayahandanya, sekalipun dia tahu bahwa kalung ini semula memang miliknya.

Dia sadar, ternyata kebaikannya yang hanya sekedar memberi kalung mendapat balasan berlebih dari Allah Swt,  yaitu dengan ditambah seorang budak.

Lalu Sayyidah Fathimah berkata kepada Asham: “Wahai Asham, engkau sekarang bebas dari perbudakan dan menjadi manusia merdeka, aku melakukan semua ini karena Allah Swt semata”.

Mendengar perkataan Sayyidah Fathimah, Asham tertawa gembira.

Sayyidah Fathimah pun menjadi heran dan bertanya; ” Wahai Asham, mengapa engkau tertawa seperti itu?”

“Aku tertawa karena kagum dan takjub akan berkah kalung itu. Ia telah mengenyangkan orang yang lapar, Ia telah menutup tubuh orang yang telanjang, Ia telah memenuhi hajat seorang yang fakir dan akhirnya ia telah membebaskan seorang budak”, jawab Asham.

***

Mudah-mudahan kisah ini bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk kita semua, bahwa kedermawanan adalah akhlaq yang mulia, seperti apa yang dilakukan oleh Sayyidah Fathimah.

Amin.

Terkait Berita: