Apakah terpenggalnya kepala Kanji Goto, wartawan Jepang yang terjadi
pekan ini dan eksekusi terhadap sandera Jepang lainnya bernama Haruna
Yukawa yang dilakukan seminggu sebelumnya, akan mendorong Jepang untuk
terlibat semakin mendalam di Timur Tengah dan secara umum akan semakin
memancing negara ini untuk membuat kebijakan asing yang berasas pada
gerakan-gerakan militer?
Penyebaran video eksekusi James Foli,
reporter Amerika telah menjadi peristiwa pertama yang membuka peluang
bagi Amerika untuk memberikan dukungan umum pada serangan udara anti
ISIL. Keikutsertaan Perancis dalam koalisi ini juga mengalami
peningkatan tajam sejak terjadinya serangan teroris di Paris bulan lalu.
Kini muncul pertanyaan, apakah terpenggalnya kepala Ganji Goto,
wartawan surat kabar Jepang yang terjadi pekan ini, dan eksekusi
terhadap Haruna Yokawa, seminggu sebelumnya, akan mendorong Jepang untuk
terlibat secara lebih mendalam di Timur Tengah dan secara umum akan
lebih menggerakkannya untuk menciptakan kebijakan asing yang bersandar
pada dinamika-dinamika militer?
Shinzo Abe, Perdana Menteri
Jepang melalui janjinya untuk melakukan sesuatu sehingga para teroris
membayar kerugian yang dialami oleh Jepang, tampaknya ia ingin
menyatakan perang terhadap ISIL. Akan tetapi benarkah Abe ingin membawa
negaranya untuk mengesampingkan ‘Pasifisme’ yang menjadi kebijakan asing
negara ini?
Menurut pasal 9 Konstitusi Dasar Jepang yang
ditulis oleh Amerika pasca PD II, ditegaskan bahwa Jepang akan menutup
mata dari perang sebagai sebuah hak kedaulatan nasional ketika terancam
atau tidak akan menggunakan pasukan untuk terlibat dalam konflik-konflik
internasional. Akan tetapi untuk beberapa waktu lamanya, Jepang talah
menyingkirkan sikap ini.
Pada tahun 1992, Parlemen Jepang
memutuskan sebuah hukum yang melanggar apa yang dipertentangkan oleh
umum mengenai kebolehan pasukan Jepang untuk ikut berpartisipasi dalam
operasi-operasi perdamaian, dan mereka melakukan hal ini dalam beberapa
kasus termasuk perang Irak.
Langkah ini diambil oleh Shinzo
Abe untuk mempercepat lajunya kemiliteran Jepang dalam pemerintahannya.
Hingga batasan tertentu Abe juga mengurangi pelarangan ekspor
persenjataan, ia juga mengemukakan analisa ulang mengenai rasionalitas
sejarah Perang Dunia II dimana berdasarkan hal tersebut, negara ini
hingga kini mengaku sangat malu dengan tindakan-tindakan yang
dilakukannya pada masa perang.
Kabinetnya mengemukakan
definisi baru mengenai pasal 9 Konstitusi ِDasar, bahwa pasukan negara
ini bisa membela mitranya ketika mitranya tersebut--terutama
Amerika--diserang oleh musuh gabungan.
Tentunya Parlemen Jepang harus memutuskan hukum ini terlebih dahulu sebelum pasukan bisa melakukan langkah-langkah tersebut.
Motivasi utama terjadinya proses perubahan ini adalah kekhawatiran
Jepang terhadap kekuasaan dan kemajuan China, serta ancaman nuklir dari
kelompok utara, akan tetapi Abe juga telah terlibat dalam
konflik-konflik di luar Jepang.
Bulan lalu, sebelum muncul
krisis penyanderaan, Abe sepakat untuk membayar 200 juta dolar ke
negara-negara yang terlibat perang dengan ISIL.
Ia juga
melakukan lawatan ke Kairo, dan mengatakan, “Jika kita membiarkan
teroris dan senjata pemusnah massal menyebar bebas di kawasan ini, maka
kerugian yang akan dialami oleh masyarakat internasional tidak bisa lagi
dihitung.”
Tampaknya kematian Goto bisa mempertegas keputusan
Abe untuk memperluas aktivitas-aktivitas militernya. Akan tetapi ini
bertentangan dengan keinginan masyarakat umum di Jepang.
Jajak
pendapat yang dilakukan pada musim semi lalu menunjukkan bahwa 64
persen dari warga Jepang menentang langkah yang diambil oleh Perdana
Menterinya untuk menulis ulang konstitusi.
Yang lebih penting
dari itu semua opini umum Jepang tidak terpengaruh oleh penyanderaan
warga negara ini di luar perbatasan Jepang.
Menurut laporan
BBC, saat sekelompok aktivis perdamaian Jepang yang disandera di Irak
pada tahun 2004, kembali ke negaranya, mereka justru menerima pelecehan
di bandar udara dan terpaksa harus menyembunyikan diri dari khalayak
untuk beberapa bulan.
Ibu Goto dan ayah Yukawa pun pada
pernyataan terpisah yang disampaikannya, masing-masing malah meminta
maaf kepada pemerintah karena anak-anak mereka telah menimbulkan
kekhawatiran bagi Jepang.
Sebagian kalangan di Jepang menuduh kebijakan asing yang aktiv dari Abe lah yang menjadi penyebab kematian Goto dan Yukawa.
ISIL pada awalnya meminta imbalan 200 juta dari Jepang untuk
membebaskan para sandera Jepang, angka yang persis dengan jumlah yang
dijanjikan oleh Abe pada bulan April lalu kepada negara-negara yang yang
tengah terlibat perang dengan ISIL.
ISIL meminta kepada pemerintah Jepang untuk menghentikan dukungan bodohnya pada upaya-upaya militer Amerika.
Mengenai insiden yang menimpa dua sandera Jepang ini, para penentang
perubahan konstitusi berkeyakinan bahwa kemiliteran Abe telah
menyebabkan warga Jepang menjadi target ISIL.
Sementara Abe
dan para mitranya menganggap peristiwa yang menurut salah satu diplomat
Jepang seperti Peristiwa 11 September bagi Jepang, merupakan sebuah
indikasi bahwa Jepang tak mampu lagi menghadapi berbagai ancaman dan
terisolir, dan sebagian besar opini umum Jepang menganggapnya sebagai
sebuah alasan bagi Jepang untuk tidak ikut terlibat dalam
masalah-masalah trans-perbatasan.