Pesan Rahbar

Home » , , , , , , , , , , » Akankah Jepang Berbalik dari Pasifisme dan Memasuki Perang?

Akankah Jepang Berbalik dari Pasifisme dan Memasuki Perang?

Written By Unknown on Tuesday, 10 February 2015 | 05:14:00


Apakah terpenggalnya kepala Kanji Goto, wartawan Jepang yang terjadi pekan ini dan eksekusi terhadap sandera Jepang lainnya bernama Haruna Yukawa yang dilakukan seminggu sebelumnya, akan mendorong Jepang untuk terlibat semakin mendalam di Timur Tengah dan secara umum akan semakin memancing negara ini untuk membuat kebijakan asing yang berasas pada gerakan-gerakan militer?

Penyebaran video eksekusi James Foli, reporter Amerika telah menjadi peristiwa pertama yang membuka peluang bagi Amerika untuk memberikan dukungan umum pada serangan udara anti ISIL. Keikutsertaan Perancis dalam koalisi ini juga mengalami peningkatan tajam sejak terjadinya serangan teroris di Paris bulan lalu.

Kini muncul pertanyaan, apakah terpenggalnya kepala Ganji Goto, wartawan surat kabar Jepang yang terjadi pekan ini, dan eksekusi terhadap Haruna Yokawa, seminggu sebelumnya, akan mendorong Jepang untuk terlibat secara lebih mendalam di Timur Tengah dan secara umum akan lebih menggerakkannya untuk menciptakan kebijakan asing yang bersandar pada dinamika-dinamika militer?

Shinzo Abe, Perdana Menteri Jepang melalui janjinya untuk melakukan sesuatu sehingga para teroris membayar kerugian yang dialami oleh Jepang, tampaknya ia ingin menyatakan perang terhadap ISIL. Akan tetapi benarkah Abe ingin membawa negaranya untuk mengesampingkan ‘Pasifisme’ yang menjadi kebijakan asing negara ini?

Menurut pasal 9 Konstitusi Dasar Jepang yang ditulis oleh Amerika pasca PD II, ditegaskan bahwa Jepang akan menutup mata dari perang sebagai sebuah hak kedaulatan nasional ketika terancam atau tidak akan menggunakan pasukan untuk terlibat dalam konflik-konflik internasional. Akan tetapi untuk beberapa waktu lamanya, Jepang talah menyingkirkan sikap ini.

Pada tahun 1992, Parlemen Jepang memutuskan sebuah hukum yang melanggar apa yang dipertentangkan oleh umum mengenai kebolehan pasukan Jepang untuk ikut berpartisipasi dalam operasi-operasi perdamaian, dan mereka melakukan hal ini dalam beberapa kasus termasuk perang Irak.

Langkah ini diambil oleh Shinzo Abe untuk mempercepat lajunya kemiliteran Jepang dalam pemerintahannya. Hingga batasan tertentu Abe juga mengurangi pelarangan ekspor persenjataan, ia juga mengemukakan analisa ulang mengenai rasionalitas sejarah Perang Dunia II dimana berdasarkan hal tersebut, negara ini hingga kini mengaku sangat malu dengan tindakan-tindakan yang dilakukannya pada masa perang.

Kabinetnya mengemukakan definisi baru mengenai pasal 9 Konstitusi ِDasar, bahwa pasukan negara ini bisa membela mitranya ketika mitranya tersebut--terutama Amerika--diserang oleh musuh gabungan.

Tentunya Parlemen Jepang harus memutuskan hukum ini terlebih dahulu sebelum pasukan bisa melakukan langkah-langkah tersebut.

Motivasi utama terjadinya proses perubahan ini adalah kekhawatiran Jepang terhadap kekuasaan dan kemajuan China, serta ancaman nuklir dari kelompok utara, akan tetapi Abe juga telah terlibat dalam konflik-konflik di luar Jepang.

Bulan lalu, sebelum muncul krisis penyanderaan, Abe sepakat untuk membayar 200 juta dolar ke negara-negara yang terlibat perang dengan ISIL.

Ia juga melakukan lawatan ke Kairo, dan mengatakan, “Jika kita membiarkan teroris dan senjata pemusnah massal menyebar bebas di kawasan ini, maka kerugian yang akan dialami oleh masyarakat internasional tidak bisa lagi dihitung.”

Tampaknya kematian Goto bisa mempertegas keputusan Abe untuk memperluas aktivitas-aktivitas militernya. Akan tetapi ini bertentangan dengan keinginan masyarakat umum di Jepang.

Jajak pendapat yang dilakukan pada musim semi lalu menunjukkan bahwa 64 persen dari warga Jepang menentang langkah yang diambil oleh Perdana Menterinya untuk menulis ulang konstitusi.

Yang lebih penting dari itu semua opini umum Jepang tidak terpengaruh oleh penyanderaan warga negara ini di luar perbatasan Jepang.

Menurut laporan BBC, saat sekelompok aktivis perdamaian Jepang yang disandera di Irak pada tahun 2004, kembali ke negaranya, mereka justru menerima pelecehan di bandar udara dan terpaksa harus menyembunyikan diri dari khalayak untuk beberapa bulan.

Ibu Goto dan ayah Yukawa pun pada pernyataan terpisah yang disampaikannya, masing-masing malah meminta maaf kepada pemerintah karena anak-anak mereka telah menimbulkan kekhawatiran bagi Jepang.

Sebagian kalangan di Jepang menuduh kebijakan asing yang aktiv dari Abe lah yang menjadi penyebab kematian Goto dan Yukawa.

ISIL pada awalnya meminta imbalan 200 juta dari Jepang untuk membebaskan para sandera Jepang, angka yang persis dengan jumlah yang dijanjikan oleh Abe pada bulan April lalu kepada negara-negara yang yang tengah terlibat perang dengan ISIL.

ISIL meminta kepada pemerintah Jepang untuk menghentikan dukungan bodohnya pada upaya-upaya militer Amerika.

Mengenai insiden yang menimpa dua sandera Jepang ini, para penentang perubahan konstitusi berkeyakinan bahwa kemiliteran Abe telah menyebabkan warga Jepang menjadi target ISIL.

Sementara Abe dan para mitranya menganggap peristiwa yang menurut salah satu diplomat Jepang seperti Peristiwa 11 September bagi Jepang, merupakan sebuah indikasi bahwa Jepang tak mampu lagi menghadapi berbagai ancaman dan terisolir, dan sebagian besar opini umum Jepang menganggapnya sebagai sebuah alasan bagi Jepang untuk tidak ikut terlibat dalam masalah-masalah trans-perbatasan.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: