Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Jepang. Show all posts
Showing posts with label Jepang. Show all posts

Peringatan 70 Tahun Meledaknya Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki


70 tahun telah berlalu Amerika menjatuhkan bom atom ke dua kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang lalu meratakannya dengan tanah. Ledakan mematikan itu merenggut ribuan nyawa.
 
Berdasarkan yang diberitakan melalui Daily Mail, pada pukul 8:15 pagi tanggal 6 Agustus 1945, komunikasi Tokyo dengan Hiroshima terputus. Telfon-telfon tak terdengar jawaban. Begitu juga dengan telegraf. Tayangan televisi dan siaran radio dari Hiroshima juga terputus begitu saja.


Tokyo mengirim sebuah pesawat tempur untuk mencari tahu keadaan yang sebenarnya di Hiroshima. Dari jarak 100 mil, pilot melihat asap tebal mengepul setinggi 70 kaki. Setibanya di sekitar kota ia melihat Hiroshima telah rata dengan tanah.


Beberapa jam kemudian presiden Amerika saat itu mengaku di hadapan dunia bahwa Amerika adalah pelakunya. Tiga hari kemudian, Nagasaki pun diratakan dengan tanah dengan bom atom juga. Lalu pada hari berikutnya Jepang menyerah dan bersedia mengakhiri Perang Dunia II.


Jumlah korban jiwa korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki mencapai 220,000 jiwa.


70 tahun telah berlalu namun hingga saat ini negara-negara yang memiliki bom atom dibiarkan begitu saja. Sekitar 9 negara memiliki 16 ribu bom atom.



(Shabestan/ABNS)

Siauw Giok Tjhan, Sosok Pejuang Dan Pembangun Bangsa

Siauw Giok Tjhan

Namanya nyaris tidak ditulis dalam sejarah resmi. Bahkan, di era rezim orde baru, ia hendak dihapus sama sekali dari sejarah bangsanya. Ironisnya, pejuang besar ini justru dipaksa di akhir hayatnya menjadi “pengungsi politik” di negeri lain dan, pada akhirnya, meninggal di Belanda.

Dia adalah Siauw Giok Tjhan. Salah seorang wartawan senior Indonesia, Yoesoef Isak, menganggap Siauw Giok Tjhan sebagai pejuang yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya bagi bangsanya: Indonesia. Kita tahu, Siauw Giok Tjhan tak henti-hentinya berseru tentang pembangunan nasion (nation building).

Siauw Giok Tjhan juga konsisten berjuang untuk keadilan dan kesetaraan. Ia juga selalu berada di garis depan menentang segala bentuk penindasan dan penghisapan manusia atas manusia. Karena itu, Siauw Giok Thjan sangat dekat dengan pemikiran-pemikiran kiri, khususnya marxisme.

Sejak kecil menentang diskriminasi
Siauw Giok Tjhan lahir pada 23 Maret 1914 di Surabaya, Jawa Timur. Nama tempat kelahirannya adalah Kapasan—sebuah dari pemukiman Tionghoa. Di sana, Tionghoa totok dan peranakan melebur.
Ayahnya, Siauw Gwan Swie, adalah seorang nasionalis Tionghoa. Sedangkan ibunya, Kwan Tjian Nio, adalah seorang Tionghoa totok yang menghargai adat-istiadat rakyat setempat. Ia tidak memaksa anaknya berbahasa Tionghoa. Jadinya, Siauw Giok Tjhan bisa berbaha Melayu-Tionghoa dan Jawa.
Pada usia 4 tahun, Siauw Giok Tjhan sudah dibawa kakeknya bersekolah di THHK (Tiong Hoa Hwee Koan). Kakek Siauw Giok Tjhan, Kwan Sie Liep, adalah seorang fanatik dengan kebudayaan Tionghoa. Tetapi Siauw Giok Tjhan tidak terlalu lama bersekolah di sana. Maklum, ayahnya sangat menginginkannya masuk sekolah Belanda.

Akhirnya, Siauw Giok Tjhan dipindah ke sekolah Belanda- Institut Buys. Lalu, ia dipindahkan lagi ke ELS (Europese Lagere School). Di sekolah inilah Siauw Giok Tjhan sering mendapatkan perlakuan diskriminatif. Ia sering dihina sebagai “Cina Loleng”. Siauw Giok Tjhan tak menerima perlakuan itu. Akhirnya, ia sering terlibat perkelahian dengan anak-anak Belanda.

Siauw Giok Tjhan melanjutkan sekolahnya di HBS (Hogere Burger School ). Sayang, belum tamat HBS, kedua orang tuanya meninggal. Sedangkan kakeknya sudah pulang ke Tiongkok. Siauw Giok Tjhan harus berjuang untuk membiayai dirinya dan adiknya. Sebagai solusinya: ia jual semua harta orang tuanya dan kemudian membeli tiga kendaraan roda tiga. Ia kemudian menjalankan semacam usaha Taxi. Dari situlah ia membiayi hidup dan pendidikannya.

Pengalaman itu sangat berpengaruh bagi Siauw Giok Tjhan. Ia pun bergabung dengan perhimpunan Pemuda Tionghoa (Hua Chiao Tsing Niem Hui). Organisasi ini banyak membantu rakyat yang dalam kesulitan.

Memperjuangkan kemerdekaan
Siauw Giok Tjhan memang nasionalis sejak awalnya. Ini terbukti dengan sikapnya bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Partai ini, yang resminya berdiri September 1932, secara tegas memperjuangkan Indonesia Merdeka.

PTI juga banyak berhubungan dengan pergerakan nasional Indonesia lainnya, seperti PBI (Dr Sutomo), PNI-Partindo, PNI baru (Hatta-Sjahrir), dan lain-lain. PTI juga aktif mendukung Ki Hajar Dewantara menentang UU sekolah liar. Bahkan, ketika Gerakan Rakyat Indonesia (gerindo) berdiri, PTI aktif mendukung dan sebagian anggotanya masuk ke organisas tersebut.

Semangat nasionalisme Siauw Giok Tjhan juga nampak dalam olahraga. Ia pernah terlibat dalam gerakan pemboikotan terhadap organisasi sepak bola yang didominasi Belanda, yakni Nederland Indische Voetbaldbond (NIVB). Ketika NIVB akan menggelar pertandingan di Surabaya, Siauw Giok Tjhan turut dalam gerakan untuk mengalihkan penonton ke Pasar Turi—tempat pertandingan yang digelar oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Pemikiran politik Siauw Giok Tjhan makin berkembang tatkala bertemu dengan dua kawannya, Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie. Kedua orang inilah yang memperkenalkan marxisme kepada Siauw. Konon, pada tahun 1938, Siauw menerjemahkan buku Edgar Snow, Red Star Over China.

Selain itu, Siauw juga aktif sebagai wartawan di harian Matahari. Koran ini cenderung nasionalis. Koran ini banyak meliput kegiatan Taman Siswa. Pada tahun 1939, Siauw menjadi pemimpin redaksi koran ini. Di tangannya koran ini menjadi sangat pro-kemerdekaan dan anti-fasisme Jepang.

Jadinya, ketika Jepang masuk, nama Siauw masuk daftar orang yang seharusnya ditangkap. Namun, ia berhasil melarikan diri dari Semarang dan kemudian menjadi pemilik toko eceran di Malang, Jawa Timur. Namun, di Malang, Siauw sempat menjadi pemimpin organisasi bentukan Jepang bernama Kakyo Shokai. Ia juga mendirikan organisasi keamanan bernama Kebotai.

17 Agustus 1945: Indonesia merdeka! Siauw sangat bergembira dan mendukung penuh kemerdekaan itu. Bahkan, sebagai sokongan terhadap kemerdekaan, ia mendirikan dua organisasi, yakni Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru di Malang. Kedua organisasi ini sangat membantu rakyat di saat revolusi. Bahkan, organisasi ini turut di medan pertempuran bersama rakyat Surabaya pada 10 November 1945.

Tahun 1946, Siauw masuk ke Partai Sosialis. Di dalamnya, ada Amir Sjarifuddin, Sjahrir, dan Tan Ling Djie. Bagi Siauw, tak perlu lagi ada partai khusus Tionghoa. Ia menganjurkan agar orang Tionghoa melebur langsung dalam revolusi nasional rakyat Indonesia.

Karena itulah, pada tahun 1946, Bung Karno menunjuk Siauw sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Di sini, Siauw makin condong ke marxisme. Ia juga makin meleburkan diri dalam revolusi Indonesia.

Salah satu hasil kerja Siauw adalah UU Kewarganegaraan RI tahun 1946. UU kewarganegaraan ini menganut semangat Manifesto Politik R.I., 1 November 1945, yang menyatakan:“…di dalam negeri kita akan melaksanakan kedaulatan Rakyat kita dengan aturan kewargaan yang akan lekas membuat semua golongan Indo Asia dan Europa menjadi orang Indonesia sejati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia!”

Siauw makin dekat kiri. Apalagi kiri, khususnya PKI, yang paling konsisten menentang segala  bentuk rasialisme dan penindasan. Akhirnya, ketika terjadi “peristiwa Madiun”, Siauw juga sempat ditangkap. Lalu, ketika terjadi agresi militer Belanda akhir 1948, Siauw sempat lolos dari penjara. Sayang, ia tetap berhasil ditangkap Belanda.

Kewarganegaraandan Nation-Building
Meskipun Indonesia sudah merdeka, tetapi persoalan kewarganegaraan belum juga tuntas. Sentimen anti-tionghoa seringkali muncul. Merespon persoalan ini, sejumlah tokoh Tionghoa mendirikan organisasi: Badan Permusyawaratan Warga Turunan Tionghoa (Baperwatt).

Ia tak setuju dengan nama organisasi itu. Baginya, penyelesaian masalah minoritas Tionghoa merupakan bagian dari pembangunan nasion Indonesia. Menurutnya,  di Indonesia ini hanya ada satu bangsa, yaitu bangsa (nasion) Indonesia. Karena itu, ia mengusulkan nama Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).

Baperki, pada tahun 1955, menegaskan diri sebagai alat perjuangan bangsa Indonesia untuk mempercepat terbentuknya nasion Indonesia yang tidak mengenal diskriminasi rasial. Baperki memperjuangkan nation Indonesia sesuai dengan prinsip “Bhineka Tunggal Ika”.

Karena itu, dalam penyelesaian soal minoritas Tionghoa, Baperki punya konsep yang disebut “integrasi wajar” (integrasi revolusioner). Konsep ini memperjuangkan orang Tionghoa sebagai bagian dari Indonesia tanpa harus mempersoalkan “ketionghoannya”—sama dengan tidak mempersoalkan orang Jawa, Bugis, Melayu, dll. Proses ini tidak perlu menghilangkan identitas dan kebudayaan orang Tionghoa. Dengan demikian, di mata Siauw Giok Tjham, terciptalah nasion Indonesia yang berbhineka tunggal ika.

Yang penting, kata Siauw, bukan memupuk perbedaan nama, agama, dan budaya, melainkan memupuk perasaan senasib, sebangsa, dan satu aspirasi—masyarakat adil dan makmur. Lagi pula, kata Siauw, asal-usul keturunan tidak menentukan loyalitas atau kecintaan orang terhadap bangsa.

Gagasan ini ditentang oleh kelompok Tionghoa lainnya, yaitu LPKB atau Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa. LPKB memperjuangka konsep  yang disebut asimilasi. Kubu asimilasi menghendaki agar supaya orang-orang Tionghoa menghilangkan identitas budayanya dan melebur ke dalam tubuh bangsa Indonesia. Yang terjadi, orang-ornag Tionghoa dipaksa mengganti namanya sesuai nama Indonesia. Kasus lainnya, banyak orang Tionghoa dipaksa mengikuti agama yang diakui di Indonesia. berbagai bentuk ekspresi budaya Tionghoa juga dilarang: huruf Tionghoa, perayaan tradisional seperti tahun baru, pertunjukan barongsai, dan lain-lain. Ini terjadi pada era Orde baru.

Siauw juga punya pemikiran di bidang pendidikan yang cemerlang. Baginya, pendidikan merupakan sarana nation-building. Akhirnya, sebagai bentuk konkret idenya itu, ia—Baperki—mendirikan Universitas Res Publica (Ureca). Menariknya, kampus ini dibangun secara gotong-royong. Menariknya lagi, Baperki punya motto: “pendidikan bukan barang dagangan. Ilmu harus diabdikan untuk kemajuan dan kebahagiaan hidup rakyat banyak!”

Di bidang ekonomi, Siauw juga punya pikiran cemerlang. Katanya, kapital domestik—terutama dari orang Tionghoa—bisa dikembangkan untuk memperkuat ekonomi nasional. Artinya, tidak perlu mempertentangkan antara kapital pribumi dan Tionghoa. Esensinya, semua kapital bangsa Indonesia harus dipergunakan untuk kepentingan ekonomi nasional.

Dengan begitu, Siauw menentang konsep Sumitro, tokoh PSI yang sempat jadi menteri, yang kebijakan Bantengnya dianggap diskriminasi di lapangan ekonomi. Siauw juga menyerang PNI karena membiarkan salah seorang kadernya, Iskaq selaku Menko Perekonomian, menerapkan diskriminasi di bidang ekonomi.

Korban rezim orde baru
Segalanya berubah total tatkala rezim orde baru naik kekuasaan. Setelah sebelumnya menggulingkan Bung Karno dan membantai kaum kiri. Siauw Giok Tjhan turut menjadi korban kekejian orde baru.
4 Nopember 1965, Siauw sendiri ditangkap dan meringkuk di dalam tahanan selama 13 tahun tanpa proses pengadilan. Baperki dibubarkan. Berbagai kontribusi perjuangan dan pemikirannya dihapuskan dalam sejarah.

Pada Bulan Mei 1978, Siauw Giok Tjhan dibebaskan. Tahun itu juga ia ke Belanda untuk berobat.  Represi orba berdampak sangat buruk pada kesehatan Siauw Giok Tjhan: satu matanya buta, satunya hanya juga tidak terlalu baik, dan ia menderi penyakit jantung yang parah.

Tak lama kemudian, tepatnya 20 Nopember 1981, Siauw Giok Tjhan meninggal dunia. Ia meninggal dunia di negeri orang.

Siauw Giok Tjhan adalah pejuang kemerdekaan nasional Indonesia! Ia adalah nasionalis dan sekaligus sosialis sejati.

“.. Cak Siauw atau Nyonya Lie mengucapkan kata tercinta kepada saya, saya kembalikan itu kepada Revolusi. Yang dicintai itu adalah Revolusi Indonesia. Yang dicintai itu adalah perjoangan untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia.”–Pidato Bung Karno pada pembukaan Kongres Nasional ke-8 BAPERKI.

Ditulis:
Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online

Akankah Jepang Berbalik dari Pasifisme dan Memasuki Perang?


Apakah terpenggalnya kepala Kanji Goto, wartawan Jepang yang terjadi pekan ini dan eksekusi terhadap sandera Jepang lainnya bernama Haruna Yukawa yang dilakukan seminggu sebelumnya, akan mendorong Jepang untuk terlibat semakin mendalam di Timur Tengah dan secara umum akan semakin memancing negara ini untuk membuat kebijakan asing yang berasas pada gerakan-gerakan militer?

Penyebaran video eksekusi James Foli, reporter Amerika telah menjadi peristiwa pertama yang membuka peluang bagi Amerika untuk memberikan dukungan umum pada serangan udara anti ISIL. Keikutsertaan Perancis dalam koalisi ini juga mengalami peningkatan tajam sejak terjadinya serangan teroris di Paris bulan lalu.

Kini muncul pertanyaan, apakah terpenggalnya kepala Ganji Goto, wartawan surat kabar Jepang yang terjadi pekan ini, dan eksekusi terhadap Haruna Yokawa, seminggu sebelumnya, akan mendorong Jepang untuk terlibat secara lebih mendalam di Timur Tengah dan secara umum akan lebih menggerakkannya untuk menciptakan kebijakan asing yang bersandar pada dinamika-dinamika militer?

Shinzo Abe, Perdana Menteri Jepang melalui janjinya untuk melakukan sesuatu sehingga para teroris membayar kerugian yang dialami oleh Jepang, tampaknya ia ingin menyatakan perang terhadap ISIL. Akan tetapi benarkah Abe ingin membawa negaranya untuk mengesampingkan ‘Pasifisme’ yang menjadi kebijakan asing negara ini?

Menurut pasal 9 Konstitusi Dasar Jepang yang ditulis oleh Amerika pasca PD II, ditegaskan bahwa Jepang akan menutup mata dari perang sebagai sebuah hak kedaulatan nasional ketika terancam atau tidak akan menggunakan pasukan untuk terlibat dalam konflik-konflik internasional. Akan tetapi untuk beberapa waktu lamanya, Jepang talah menyingkirkan sikap ini.

Pada tahun 1992, Parlemen Jepang memutuskan sebuah hukum yang melanggar apa yang dipertentangkan oleh umum mengenai kebolehan pasukan Jepang untuk ikut berpartisipasi dalam operasi-operasi perdamaian, dan mereka melakukan hal ini dalam beberapa kasus termasuk perang Irak.

Langkah ini diambil oleh Shinzo Abe untuk mempercepat lajunya kemiliteran Jepang dalam pemerintahannya. Hingga batasan tertentu Abe juga mengurangi pelarangan ekspor persenjataan, ia juga mengemukakan analisa ulang mengenai rasionalitas sejarah Perang Dunia II dimana berdasarkan hal tersebut, negara ini hingga kini mengaku sangat malu dengan tindakan-tindakan yang dilakukannya pada masa perang.

Kabinetnya mengemukakan definisi baru mengenai pasal 9 Konstitusi ِDasar, bahwa pasukan negara ini bisa membela mitranya ketika mitranya tersebut--terutama Amerika--diserang oleh musuh gabungan.

Tentunya Parlemen Jepang harus memutuskan hukum ini terlebih dahulu sebelum pasukan bisa melakukan langkah-langkah tersebut.

Motivasi utama terjadinya proses perubahan ini adalah kekhawatiran Jepang terhadap kekuasaan dan kemajuan China, serta ancaman nuklir dari kelompok utara, akan tetapi Abe juga telah terlibat dalam konflik-konflik di luar Jepang.

Bulan lalu, sebelum muncul krisis penyanderaan, Abe sepakat untuk membayar 200 juta dolar ke negara-negara yang terlibat perang dengan ISIL.

Ia juga melakukan lawatan ke Kairo, dan mengatakan, “Jika kita membiarkan teroris dan senjata pemusnah massal menyebar bebas di kawasan ini, maka kerugian yang akan dialami oleh masyarakat internasional tidak bisa lagi dihitung.”

Tampaknya kematian Goto bisa mempertegas keputusan Abe untuk memperluas aktivitas-aktivitas militernya. Akan tetapi ini bertentangan dengan keinginan masyarakat umum di Jepang.

Jajak pendapat yang dilakukan pada musim semi lalu menunjukkan bahwa 64 persen dari warga Jepang menentang langkah yang diambil oleh Perdana Menterinya untuk menulis ulang konstitusi.

Yang lebih penting dari itu semua opini umum Jepang tidak terpengaruh oleh penyanderaan warga negara ini di luar perbatasan Jepang.

Menurut laporan BBC, saat sekelompok aktivis perdamaian Jepang yang disandera di Irak pada tahun 2004, kembali ke negaranya, mereka justru menerima pelecehan di bandar udara dan terpaksa harus menyembunyikan diri dari khalayak untuk beberapa bulan.

Ibu Goto dan ayah Yukawa pun pada pernyataan terpisah yang disampaikannya, masing-masing malah meminta maaf kepada pemerintah karena anak-anak mereka telah menimbulkan kekhawatiran bagi Jepang.

Sebagian kalangan di Jepang menuduh kebijakan asing yang aktiv dari Abe lah yang menjadi penyebab kematian Goto dan Yukawa.

ISIL pada awalnya meminta imbalan 200 juta dari Jepang untuk membebaskan para sandera Jepang, angka yang persis dengan jumlah yang dijanjikan oleh Abe pada bulan April lalu kepada negara-negara yang yang tengah terlibat perang dengan ISIL.

ISIL meminta kepada pemerintah Jepang untuk menghentikan dukungan bodohnya pada upaya-upaya militer Amerika.

Mengenai insiden yang menimpa dua sandera Jepang ini, para penentang perubahan konstitusi berkeyakinan bahwa kemiliteran Abe telah menyebabkan warga Jepang menjadi target ISIL.

Sementara Abe dan para mitranya menganggap peristiwa yang menurut salah satu diplomat Jepang seperti Peristiwa 11 September bagi Jepang, merupakan sebuah indikasi bahwa Jepang tak mampu lagi menghadapi berbagai ancaman dan terisolir, dan sebagian besar opini umum Jepang menganggapnya sebagai sebuah alasan bagi Jepang untuk tidak ikut terlibat dalam masalah-masalah trans-perbatasan.

Permintaan Maaf Harian Jepang Karena Memublikasikan Karikatur Menista Islam


TOKYO - Harian Tokyo Shimbun meminta maaf kepada umat muslim karena telah memublikasikan gambar sampul mingguan Perancis Charlie Hebdo di halaman pertamanya. 

“Harian Jepang ini dalam edisi sebelumnya menjustifikasikan demikian bahwa tindakan ini telah mengizinkan kepada pembaca untuk mengambil keputusan terkait problem yang muncul karena gambar karikatur yang menistakan Nabi Islam, Muhammad Saw,” demikian laporan IQNA, seperti dikutip dari cannel Al-Alam.
Namun, kemarin hari dengan memublikasikan sebuah makalah dengan nama Permintaan Maaf kepada Kaum Muslimin mengklaimkan, harian kami dengan memublikasikan karikatur menista Rasulullah (Saw) telah melukai sensitivitas kaum muslimin.

Harian ini menambahkan, terdapat pesan-pesan protes dari pihak dua organisasi muslim Pakistan di Jepang yang telah melukai sensitivitas mereka atas pemublikasian gambar sampul majalah dan sangat terkejut sekali atas tindakan ini.

Dua organisasi Pakistan ini dengan berkumpul di depan kantor harian Jepang pada tanggal 22 Januari 2015, memprotes tindakan ini; namun Koran mengkalim bahwa tindakan ini sama sekali tidak bermaksud menghina Islam.

Dongeng Jepang: Tanabata

Pada zaman dahulu, di sebuah desa kecil hiduplah seorang pemuda miskin. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya pemuda tersebut menjual gerabah. Setiap hari ia berjalan dari kampung ke kampung untuk menawarkan gerabah buatannya. “Gerabah… gerabah…!!!” teriaknya setiap hari. Meskipun sangat berat dan melelahkan tetapi sang pemuda selalu riang gembira menawarkan barang dagangannya.

Pada suatu hari yang panas, sang pemuda berjalan menyusuri tepi sebuah danau yang jernih. “Ah, hari ini melelahkan sekali” katanya sambil meletakkan bakulnya di tepi danau tersebut dan mengusap peluh yang menetes di dahinya. Sang pemuda membasuh muka dan minum beberapa tangkup air yang diambil dengan tangannya. “Ah, segarnya…” katanya dengan senang.

Sang pemuda hendak melanjutkan perjalanan ketika sayup-sayup terdengar suara perempuan yang sedang bercanda ria dari arah danau. “Suara siapa ya?” tanyanya dalam hati. Dengan penuh konsentrasi dia coba tajamkan pendengarannya serta dipicingkannya matanya untuk mencari sumber suara tersebut. Ternyata suara tersebut memang berasal dari beberapa wanita yang sedang mandi di tepi danau. Melihat wanita cantik yang sedang mandi itu, hati sang pemuda menjadi berdebar-debar karena malu. Ketika ia sedang mencari tempat persembunyian agar tidak terlihat oleh para wanita itu, ia melihat beberapa helai pakaian yang sangat halus dan indah warnanya. Mungkin itu adalah pakaian para wanita yang sedang mandi. Akhirnya timbullah pikiran jahat sang pemuda untuk mengambil sebuah pakaian mereka. Lalu pakaian itu disembunyikannya dalam bakulnya. Sang pemuda lalu pergi menjauh dari tempat itu.

Menjelang senja, sang pemuda kembali lagi melewati danau tersebut untuk melihat-lihat apakah ada wanita-wanita cantik yang tadi sedang mandi masih ada atau sudah pergi. Betapa terkejutnya ia ketika melihat dari balik pohon di tepi danau seorang wanita yang cantik jelita tanpa berpakaian selembar pun sedang menangis seorang diri. Dengan hati berdebar-debar sang pemuda mendekati gadis itu.

“Hai, kenapa engkau menangis?” tanya sang pemuda.
“Pakaianku dicuri orang! Aku tak bisa pulang tanpa pakaian itu” jawab sang gadis.

Sang pemuda jadi merasa kasihan melihat gadis itu menangis, sejenak timbul niatnya untuk mengembalikan pakaian yang telah diambilnya tadi. Tapi, karena baru pertama kali ia melihat gadis secantik itu, maka timbul niatnya untuk mengajak sang gadis ikut pulang ke rumah bersamanya. Sang gadis pun sangat berterima kasih atas kebaikan sang pemuda untuk mengajaknya pulang ke rumah.

Karena sang gadis tidak punya tempat tujuan lainnya di dunia ini maka ia memutuskan untuk tinggal bersama sang pemuda. Mereka pun akhirnya menikah. Beberapa waktu kemudian sang gadis yang kini telah menjadi istrinya, melahirkan seorang anak. Kehidupan mereka pun menjadi semakin bahagia.

Pada suatu hari, seperti biasanya sang suami pergi bekerja, sedangkan sang istri tinggal di rumah untuk memasak dan bermain dengan anaknya yang masih bayi. Hari itu tidak seperti biasanya, sang bayi menangis dengan keras, hingga sang ibu harus bersusah payah untuk menidurkannya. Ketika anaknya sedang tertidur pulas, tanpa disadarinya mata sang ibu tertuju pada sebuah benda aneh yang digantung di langit-langit rumahnya. Benda apa itu ya? Karena penasaran, maka diambilnya tangga untuk mengambil benda yang sedang tergantung di atas. Ternyata benda itu adalah sebuah bungkusan kain. Perlahan-lahan dibukanya bungkusan itu dan… “Oh, ini pakaianku yang selama ini aku cari. Ternyata suamiku sendiri yang telah menyimpannya!” katanya dengan sedih bercampur gembira. Segera dipakainya pakaian itu. Dan dengan menggendong anaknya yang masih tertidur pulas itu, ia hendak terbang ke angkasa. Bersamaan dengan itu suaminya pulang ke rumah. Melihat istrinya mengenakan pakaian itu suaminya menjadi sedih dan khawatir.
“Istriku, hendak pergi kemana engkau?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.

“Suamiku, aku telah menemukan pakaian yang selama ini aku cari. Sesungguhnya aku adalah bidadari dari langit. Dan kini saatnya aku harus kembali ke langit. Karena disanalah tempatku!” kata sang istri sambil perlahan-lahan melayang ke udara.

“Istriku, jangan tinggalkan aku!” teriak sang suami dengan memohon.
“Kalau engkau ingin menemui aku, buatlah seribu pasang sandal jerami, lalu pendamlah dalam tanah di hutan bambu yang tinggi. Panjatlah pohon bambu itu hingga mencapai kerajaan langit. Nanti kita akan dapat bertemu lagi. Sampai jumpa…” kata istrinya dengan mata berkaca-kaca karena sedih berpisah dengan suaminya. Dan perlahan-lahan sang istri pun naik ke atas langit hingga hilang di balik awan putih.

Setelah mendengarkan penjelasan tersebut, sang suami segera mengumpulkan jerami sebanyak-banyaknya dan tanpa kenal lelah bekerja siang malam untuk membuat seribu pasang sandal jerami. Akhirnya sang suami berhasil membuat 999 pasang sandal, tetapi karena sudah tidak sabar ingin menemui istri dan anaknya segera diangkut ke-999 sandal jerami tersebut dan dikubur dalam hutan bambu. Tiba-tiba dari dalam timbunan sandal jerami tersebut tumbuhlah sebatang pohon bambu yang menjulang tinggi ke angkasa. Sang suami pun menaiki pohon bambu tersebut sampai ke ujungnya. Tetapi karena sandal jerami yang dibuatnya kurang satu pasang, maka sang suami tidak bisa mencapai kerajaan langit yang hanya kurang satu lengan saja. Betapa pun tangan sang suami menggapai-gapai tidak juga sampai ke kerajaan langit. Maka ia pun berteriak sekencang-kencangnya untuk memanggil sang istri. “Istriku… aku datang untuk menemuimu. Keluarlah!”


Teriakan sang suami pun akhirnya sampai juga ke telinga sang istri. Diulurkannya lengan sang istri untuk menjangkau lengan suaminya. Akhirnya sang suami berhasil juga menginjakkan kaki di kerajaan langit. Setelah itu mereka berdua menghadap ke dewa langit yang juga ayah sang istri. Tetapi karena pada dasarnya kerajaan langit tidak menyukai adanya hubungan antara manusia dan dewa, maka dengan cara apapun ayah dan ibu istrinya memisahkan hubungan anaknya dengan manusia.

Suatu hari sang ayah memerintahkan suami anaknya untuk mengambil air tanpa tumpah sedikitpun dengan keranjang yang banyak lubangnya. Tentu saja hal tersebut mustahil. Dalam kebingungannya sang istri menolong sang suami dengan membawakan kertas minyak untuk menutupi keranjang yang berlubang-lubang itu. Sewaktu ayah sang istri melihat bahwa keranjang tersebut mampu menampung air, ia sangat terkejut.
“Ternyata manusia juga mempunyai kepandaian!” katanya dengan bersungut-sungut. Sejenak hati sang suami lega, tetapi hal itu belumlah berakhir.

Saat itu adalah saat musim panas. Di kerajaan langit, makan buah semangka adalah suatu pantangan yang tidak boleh dilakukan karena akan menimbulkan suatu bencana. Namun, karena sang ibu ingin memisahkan anak gadisnya dari suaminya, maka ia memerintahkannya untuk memetik semangka di kebun.
“Belah dan bawa kemari buah semangka dari kebun!” perintah sang ibu.

Karena ia pikir memetik dan membelah buah semangka bukanlah merupakan pekerjaan sulit, maka tanpa banyak basa-basi sang suami langsung pergi ke kebun untuk mengambil buah semangka. Dipotongnya buah semangka tersebut dengan hati-hati. Tetapi selanjutnya apa yang terjadi? Dari dalam buah semangka yang terbelah itu mengalirlah air bah dengan derasnya. Sang suami terseret arus air tersebut tanpa bisa berbuat apa-apa. “Tolong… tolong!” teriak sang suami. Ayah dan ibu sang istri tertawa senang melihat suami anaknya terseret arus air yang telah berubah menjadi sungai yang besar. Istrinya yang baru menyadari terjadinya bencana tersebut segera pergi ke tepi sungai tersebut. Namun ia terlambat. Suaminya telah terbawa arus sungai yang jauh. Ia sangat sedih. Ia pun berteriak, “Suamiku! Kita akan bertemu setiap tanggal tujuh! Tujuh…!”

Tetapi karena suaminya semakin menjauh, maka yang terdengar oleh suaminya hanya angka “tujuh”.
Aliran sungai di kerajaan langit tersebut dinamakan sungai Amanogawa. Setiap tanggal tujuh tiap bulannya, sang istri selalu menunggu kedatangan sang suami di tepi sungai Amanogawa. Tetapi berbulan-bulan ditunggunya suaminya tidak muncul-muncul juga. Akhirnya suaminya datang untuk menemui sang istri tercinta pada tanggal 7 bulan 7 (Juli). Sang suami hanya mendengar angka tujuh dan tujuh, jadi pikirnya bertemu pada tanggal tujuh bulan tujuh. Sejak saat itu mereka hanya dapat bertemu satu kali dalam setahun yaitu pada tanggal 7 Juli. Sampai saat ini tanggal 7 Juli diperingati sebagai Festival Tanabata di Jepang. Di hari itu, masyarakat Jepang menggantungkan kertas kecil warna-warni berisi berbagai macam permohonan di ranting pohon bambu dengan harapan agar permohonan tersebut dapat terkabulkan.


Dongeng Tanabata ini berasal dari Prefektur Kagawa. Tema kisah cinta yang tragis ini memberikan inspirasi bagi masyarakat tradisional Jepang untuk menjadikan kedua tokoh dalam cerita itu sebagai dewa-dewi yang dapat mengabulkan segala permohonan mereka, terutama hal-hal yang berhubungan dengan cinta asmara. Nilai-nilai positif yang dapat diambil antara lain adalah ketulusan cinta tidak akan pernah mati walaupun diterpa berbagai macam rintangan.

Dikutip dari: Antonius R. Pujo Purnomo, M.A. TANABATA Kumpulan Cerita Rakyat Jepang Pilihan. Era Media. 2007.

Kekecewaan Seorang Jepang


PADA 15 Februari 1958, Presiden Sukarno menyerahkan sebuah teks kepada Shigetada Nishijima untuk disimpan di biara Buddha Shei Shoji di Minatoku, Tokyo. Teks itu berisi kenangan Sukarno kepada dua orang Jepang yang membantu perjuangan Indonesia: Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro.
 
Di biara Buddha itu kemudian dibuat monumen Sukarno (Soekarno hi) bertuliskan: “Kepada sdr. Ichiki Tatsuo dan sdr. Yoshizumi Tomegoro. Kemerdekaan bukanlah milik suatu bangsa saja, tetapi milik semua manusia. Tokyo, 15 Februari 1958. Soekarno.” 
 
Ichiki Tatsuo lahir di kota kecil Taraki, prefektur Kumamoto, bagian selatan Kyushu. Dia anak ketiga dari enam bersaudara. Ketika kecil, orangtuanya bercerai, dia ikut ibunya. Ichiki dibesarkan saat Jepang berada pada masa transisi. Kebebasan dan demokrasi selama zaman Taisho (1912-1926) mulai tergerus oleh tekanan militer pada masa Showa (1926-1989). Banyak pemuda desa seperti juga Ichiki bercita-cita mencari kehidupan baru di Amerika Selatan atau Samudra Pasifik bagian selatan, yaitu Asia Tenggara.
 
Kesempatan itu pun datang. Datang surat dari teman sekampung, Tsuruoka Kazuo, yang sukses mendirikan toko kelontong –dikenal dengan sebutan toko Jepang– di kota Pagar Alam, dekat Palembang, Sumatra Selatan. Isinya: mengundang Ichiki untuk datang dan bekerja di studio foto Miyahata di Palembang. Saat itu Ichiki berusia 21 tahun. Dia meninggalkan bangku sekolah menengah sebelum lulus dan magang di sebuah studio foto, dekat kampungnya. Pada 22 Januari 1928, Ichiki pun berangkat.
 
“Dia bermimpi menjalankan studio foto terbesar di Samudra Pasifik bagian selatan,” tulis Goto dalam “Life and Death of Abdul Rachman (1906-49): One Aspect of Japanese-Indonesian Relationships,” Indonesia, Vol 22, 1976.
 
Pada 1933, Ichiki datang ke Bandung karena saudara mudanya, Naohiro yang menyusulnya pada akhir 1929, meninggal dunia. Ichiki tak kembali ke Palembang tapi tetap di Bandung dan bekerja di studio foto. Merasa tak nyaman, dia jadi kondektur bus. Tak cocok, dia meninggalkan pekerjaan ini dan tinggal di rumah Iti, perempuan dari keluarga miskin di sebuah kampung di Sumedang. Dia menemukan kedamaian, bahkan merasa hampir sepenuhnya sebagai orang Indonesia. “Ini adalah kelahiran baru Ichiki Tatsuo,” tulis Kenichi.
 
Dalam kehidupan keras di kampung ini, Ichiki memupuk pengetahuan bahasa Indonesia sampai dia menyusun kamus Indonesia-Jepang. Ichiki tetap mengikuti perkembangan politik di Jepang. Untuk itu, dia sering pergi ke Klub Jepang di Bandung. Dia juga melahap koran dan majalah JepangTerkadang dia menerjemahkan artikel bertopik semangat Jepang Bushido lalu menjualnya koran-koran lokal.
 
Machida Taisaku, pemimpin senior Klub Jepang di Bandung, merekomendasikan Ichiki ke koran Nichiran Shogyo Shinbun, yang dijalankan Kubo Tatsuji, advokat pendukung Asianisme. Pada Juli 1937, koran ini merger dengan Jawa Nippo dan berubah nama menjadi Toindo Nippo (Harian Hindia Timur) tapi tetap anti-Belanda. Pemerintah Hindia Belanda, yang menganggap Jepang sebagai ancaman, meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan Ichiki dan kawan-kawannya.
 
Pada 1938, untuk mendiskusikan proyek Toindo Nippo lebih kongkret, Ichiki kembali ke Tokyo. Tapi sebelum berangkat ke Indonesia, dia menerima telegram dari Belanda di Batavia yang melarangnya masuk kembali ke Jawa karena kegiatan anti-Belandanya. Ichiki pun bekerja sebagai peneliti paruh waktu di Biro Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri dan di Staf Umum Angkatan Darat.
 
Pada 1940-an, Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda secara bertahap memperkuat embargo ekonominya kepada Jepang. “Hal ini bahkan mengakibatkan semakin pentingnya arti Indonesia bagi Jepang. Pada saat itu, pemimpin-pemimpin Jepang mulai membicarakan secara terang-terangan ‘pembebasan’ Indonesia,” tulisnya Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
 
Pada masa ini, Ichiki berteman dekat dengan Joseph Hassan, pejuang kemerdekaan Indonesia yang secara diam-diam dikirim ke Jepang oleh teman Jepangnya, seperti Machida Taisaku and Sato Nobuhide. “Ichiki dan Hassan akan menghabiskan berjam-jam dengan antusias berbicara tentang hari esok rakyat Indonesia setelah mereka dibebaskan,” tulis Kenichi.
 
Setelah menggulingkan Belanda pada Maret 1942, Jepang disambut dengan suka cita sebagai Saudara Tua. Namun, suasana itu tak berlangsung lama. Jepang segera melarang berbagai aktivitas politik. Ichiki pun kecewa.
 
Pada sesi Imperial Diet (Majelis Perwakilan Tertinggi Jepang) awal 1943, Perdana Menteri Hideki Tojo menyebutkan akan memberikan kemerdekaan bagi Filipina dan Burma di akhir tahun 1943, tapi Indonesia tidak disebut. Sekali lagi, Ichiki frustasi dan lambat-laun membenci negerinya sendiri.
 
 
Bendera PETA
Pada Oktober 1943, Jepang membentuk Pembela Tanah Air (Peta) –kelak menjadi inti dari angkatan bersenjata Indonesia. Ichiki bekerja sebagai petugas paruh waktu di Divisi Pendidikan Peta di Bogor. Dia membangun sebuah rumah terpencil di perkebunan karet dan menyebut dirinya –karena kulitnya agak gelap– “gagak dari Bogor.” Pekerjaannya menerjemahkan manual tentara Jepang seperti Rikugun Hohei Soten(Manual Infantri) dan menjadi editor majalah Heiho, Pradjoerit. Melalui karyanya, dia merasa masih bisa melayani masyarakat Indonesia. Ichiki juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi Asia Raya.
 
Pada 15 Agustus 1945, berita kekalahan Jepang sampai pada Ichiki. Jepang, yang melalui Perdana Menteri Kuniaki Koiso, pengganti Tojo, berjanji memberikan “kemerdekaan Indonesia di kemudian hari” pada 7 September 1944, mengingkari dan mematuhi perintah Sekutu, serta menyatakan tak ada hubungannya lagi dengan masalah kemerdekaan Indonesia. Ichiki merasa Jepang telah mengkhianati rakyat Indonesia dua kali: pada awal dan akhir pendudukan.
 
Di hari Jepang menyerah, Ichiki menyatakan berpisah dengan Jepang. Dia menentang tentara Sekutu dan pendaratan pasukan Belanda, serta bertekad untuk berbagi dengan rakyat Indonesia akan nasib ibu pertiwi barunya, Republik Indonesia, bukan sebagai seorang Jepang Tatsuo Ichiki, tapi sebagai pemuda Abdul Rachman. Nama Abdul Rachman diberikan oleh H. Agus Salim ketika menjadi penasihat Divisi Pendidikan Peta, sebagai bentuk penghargaan kepadanya yang memihak Republik.
 
Pada masa perang kemerdekaan, Abdul Rachman memimpin Pasukan Gerilya Istimewa di Semeru, Jawa Timur, yang disegani Belanda. Pasukan yang dibentuk pada 1948 ini merupakan satuan khusus di bawah militer Indonesia yang beranggotakan sekira 28 orang tentara Jepang yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka disebut zanryu nihon hei atau prajurit yang tinggal di belakang.
 
Pada 9 Januari 1949, desa terpencil Dampit dekat Malang, Jawa Timur, yang merupakan salah satu medan pertempuran paling sengit, menjadi akhir riwayat sang samurai. Abdul Rachman berlari ke depan melawan arus peluru Belanda untuk mendorong pasukan Indonesia, yang mulai ragu melihat kekuatan Belanda, agar menyerang. Alhasil, beberapa peluru Belanda menembus dahinya.
 
 

Sejarah Tahu, Tahu Sejarah

Tahu.

Tahu adalah kuliner tertua yang diperkenalkan orang Tionghoa di Nusantara. Ia menjadi penyelamat masyarakat Jawa di masa krisis asupan gizi.
OLEH: RAHADIAN RUNDJAN

ORANG-orang Tionghoa datang ke Nusantara dengan membawa keterampilan kulinernya. Salah satu makanan yang paling awal diperkenalkan adalah tahu.
Sejarawan JJ Rizal mengungkapkan bahwa pada abad ke-10 orang-orang Tionghoa telah menyajikan tahu di Nusantara, meskipun terbatas di kalangan elite. “Jadi tahu lebih tua daripada tempe dilihat dari masa mulai produksinya,” kata Rizal. (Baca: Sejarah Tempe)

Menurut Suryatini N. Ganie dalam Dapur Naga di Indonesia, tahu mempunyai sejarah panjang di Tiongkok, tempat asalnya sejak 3.000 tahun lalu. Teknologi pembuatan tahu secara cepat menyebar ke Jepang, Korea, dan Asia Tenggara. Tetapi, kapan tahu mulai hadir di Nusantara tidak dapat ditentukan waktunya dengan tepat. Namun, orang Kediri mengklaim sebagai kota pertama di Nusantara yang mengenal tahu, yang dibawa tentara Kubilai Khan pada tahun 1292.

“Saat mengunjungi Kediri,” tulis Suryatini, “kami mendapati tempat berlabuhnya jung-jung Mongol di kota itu sampai hari ini masih disebut dengan Jung Biru. Armada ini mempunyai jung-jung khusus untuk mengurus makanan tentara, termasuk satu yang khusus untuk menyimpan kacang kedelai dan membuat tahu.”
Kata tahu sendiri, menurut Hieronymus Budi Santoso, berasal dari bahasa Tionghoa, yakni: tao-hu atau teu-hu. Suku kata tao/teu berarti kacang kedelai, sedangkan hu berarti hancur menjadi bubur.

“Dengan demikian secara harfiah, tahu adalah makanan yang bahan bakunya kedelai yang dihancurkan menjadi bubur,” tulis Hieronymus dalam Teknologi Tepat Guna Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai.
Pada abad ke-19, orang-orang Jawa dilanda krisis gizi yang luar biasa akibat penerapan sistem cultuurstelsel (Tanam Paksa). Hasil bumi dikuras untuk kepentingan kolonial sampai mereka sendiri kesulitan untuk makan. Saat itulah tahu muncul sebagai pangan alternatif.

“Menurut sejarawan Onghokham,” ungkap Rizal, “tahu bersama tempe, menjadi penyelamat orang-orang Jawa dari masa krisis asupan gizi.” (Baca: Sejarah Tempe)

Sampai sekarang, tahu menjadi makanan penting bagi orang Indonesia. Cara penyajiannnya di tiap wilayah pun bervariasi. Meski begitu, ia tetap menjadi pangan yang populer dan dapat dinikmati kapan saja.

Antara Drama dan Film


Sebagai perwira militer Jepang, tugasnya membuat dan menjalankan propaganda untuk tujuan perang. Suatu usaha yang justru menggiatkan usaha berkesenian di Indonesia.
OLEH: BUDI SETIYONO

PADA musim semi 1942, Hinatsu Eitaroo tiba di Jawa sebagai bagian dari rombongan ahli kebudayaan Jepang yang bekerja untuk Kantor Propaganda Jepang (Sendenbu).

Sendenbu, yang merupakan organ utama pemerintah militer (Gunseikanbu) Jepang, dibentuk pada Agustus 1942. Ia bertanggung jawab atas propaganda dan informasi yang menyangkut pemerintahan sipil. Beberapa orang berbakat dan spesialis di bidang kesenian tertentu, seperti Hinatsu, direkrut. 

Pendudukan Jepang membawa perubahan besar-besaran dalam produksi film dan sandiwara di Jawa. Pembikinan film (propaganda) dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah. Film-film Jepang, terutama yang berguna untuk propaganda, diimpor. Dalam bidang drama, Sendenbu membentuk sekolah dan mendorong pembentukan kelompok-kelompok teater baru, yang kemudian berkumpul dalam Jawa Engeki Kyokai atau Perserikatan Oesaha Sandiwara di Djawa (POSD). Produksi drama meningkat, lahir dari karya seniman Indonesia seperti Abu Hanifah, Usmar Ismail, Armijn Pane, Idrus, Kotot Sukardi....

Hinatsu bertugas memimpin POSD, yang menggalakkan penulisan dan pementasan drama.  Kelompok sandiwara yang semula bermain tanpa naskah diharuskan mementaskan cerita tertulis, setelah melalui sensor POSD. Hinatsu akan marah jika ada seniman yang menyalahi aturan. Kamadjaja, misalnya, pernah kena semprot karena nekat mengubah isi lakon teater “Petjah sebagai Ratna” karya Kotot Soekardi yang dipentaskan kelompok sandiwara Tjahaja Timoer. Tapi akhirnya Hinatsu diam saja setelah menonton pementasan.

Usaha lainnya melalui sayembara penulisan skenario film, lakon sandiwara, syair, dan semboyan yang bertemakan pengerahan Romusha. Hasil sayembara akan dibikin film, pementasan, dimuat di majalah dan suratkabar. Mohammad Hatta menjadi ketua panitia, dan Hinatsu menjadi wakilnya.

“Sayembara serupa ini perlu diadakan sebagai tindakan untuk menyempurnakan pengerahan Romusha dan untuk menyatakan penghargaan pada mereka,” ujar Hinatsu seperti dikutip Asia Raya, 4 Juni 1945.
Hinatsu sendiri rajin menulis naskah drama, yang kemudian dipentaskan di beberapa kota. Lakon-musiknya “Asia Gembira” dipentaskan kelompok sandiwara Warnasari di Jakarta, yang menampilkan tarian, nyanyian, dan musik dari berbagai wilayah Asia Timur Raya. Ada juga pementasan akbar lakonnya “Boenga Rampai Djawa Baroe”, yang merangkai tarian, nyanyian, lelucon, sandiwara, dan pencak silat, untuk menyambut peringatan tiga tahun koran Djawa Baroe.

Karya terpopulernya, “Fadjar Telah Menjingsing”, dipentaskan di Jakarta dan Surabaya untuk menyambut janji Indonesia merdeka di kemudian hari –yang disampaikan Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Asia Tenggara Marsekal Terauci ketika bertemu Sukarno, Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat di markasnya di Dalat, Vietnam– sekaligus peringatan hari jadi POSD. Pemainnya: bintang-bintang sandiwara kenamaan dari berbagai kelompok sandiwara seperti Tjahaja Timoer, Warnasari, Noesantara, Bintang Soerabaja, dan Dewi Mada.

“POSD dengan demikian ingin membuktikan adanya gabungan dan persatuan di antara berbagai sandiwara di Jawa, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam riwayat sandiwara di Indonesia,” tulis Soeara Asia, 6 September 1944.

Hinatsu juga mengarang syair lagu “Kirikomi no Uta” karya Kusbini. Keahliannya dalam bidang film dia terapkan dalam penyutradaraan film dokumenter Calling Australia (Goshu no Yobigoe, 1944) untuk menjawab kritik Sekutu soal kamp tahanan Jepang. Pembuatannya dilakukan di salah satu kamp, dengan pemeran tahanan perang sungguhan.

Film ini menggambarkan bagaimana para tahanan menikmati kehidupan yang nyaman di kamp-kamp tahanan. Mereka mendapat perawatan kesehatan yang baik, bebas menyiapkan makanan di dapur, minum bir, dan main bilyar. Tahanan perempuan mengeluhkan kenaikan berat badan mereka. Ketika pembuatan film hampir rampung, pamflet tentang film itu dijatuhkan ke seantero Australia. Harapannya, semangat tentara Australia kendor dan mendorong mereka menyerah kepada Jepang.

Propaganda Jepang ternyata tak sebanding dengan kemampuan tempurnya dalam Perang Pasifik. Pada 1945, Jepang kalah perang. Film Calling Australia karya Hinatsu dirampas lalu dibikin ulang oleh sutradara Belanda Jaap Speyer untuk menunjukkan perlakuan kejam tentara Jepang dengan judul Nippon Presents. Calling Australia juga diputar di Pengadilan Kejahatan Perang di Tokyo pada 1945 sebagai bukti yang memberatkan para pemimpin militer Jepang.

Dalam situasi ini, sekali lagi Hinatsu mengambil keputusan sulit. Kepada seorang teman dekatnya, Hinatsu berkata: “Kalian (orang-orang Korea) semua datang ke sini (Indonesia) dalam sebuah kelompok yang bekerja untuk militer Jepang. Tapi saya atas inisiatif sendiri mencoba membujuk pemerintah kolonial Korea untuk membuat You and I dengan bantuan militer kolonial. Semua orang tahu tentang You and I. Semua orang tahu bahwa Hue Yong dan Hinatsu Eitaroo adalah orang yang sama. Ditambah lagi bahasa Korea saya tak begitu bagus. Saya adalah seorang Korea yang hampir tak mengetahui apapun tentang sejarah Korea selain apa yang saya pelajari di Tokyo… Apabila saya kembali ke Korea, saya akan dicap sebagai antek Jepang,” ujarnya seperti ditulis Michael Baskett dalam The Attractive Empire: Transnational Film Culture in Imperial Japan.

Hinatsu Eitaroo memilih tetap tinggal di Indonesia dan mengganti namanya menjadi Dr Huyung. Dia juga menikahi seorang perempuan Indonesia, dan mulai membangun dunia teater dan film Indonesia yang sedang berkembang.

Ada Jepang di Belakang PKS


Dalam 3,5 tahun masa pendudukannya, Jepang ambil begitu banyak kekayaan negeri ini, mulai sayuran sampai asinan.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI

BEBERAPA bulan setelah menduduki Jawa, balatentara Jepang membutuhkan banyak dukungan logistik, tak terkecuali sayuran. Untuk keperluan itulah Jepang mendirikan Pertaroehan dan Keloearan Sajoeran-sajoeran (Penyimpanan dan Distribusi Sayur-sayuran-Red) pada pengujung 1942 di Lembang, Bandung. Suratkabar Tjahaja menyingkatnya menjadi PKS. Organisasi yang mengatur hasil pertanian itu langsung di bawah pengawasan bagian pertanian balatentara Dai Nippon di Jawa.

Suratkabar Tjahaja, 7 November 1942, menurunkan berita tentang dua maklumat PKS yang diterbitkan tak lama setelah pembentukannya. Maklumat kesatu berbunyi, pertama, tanaman sayuran-sayuran di Lembang Gun akan dipasrahkan untuk keperluan Balatentara Dai Nippon, yang mana pengelolaannya dipasrahkan pada Dai Nippon Peratoeran Keboen PKS Lembang Gun. Kedua, Semua sayuran-sayuran yang baik harus dimasukkan pada Dai Nippon Peratoeran Keboen PKS Lembang Gun. Ketiga, sayuran-sayuran yang kurang baik, sebelum dijual ke luar, lebih dahulu harus mendapat ijin Dai Nippon Peratoeran Keboen PKS Lembang Gun atau Poesat Penjoealan di Bandung. Keempat, siapa yang tidak menurut pada undang-undang ini, berarti mengganggu keamanan Balatentara Dai Nippon dan akan mendapat hukuman yang berat. 

Menurut Aiko Kurasawa dalam bukunya Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945 kegiatan ekonomi Jepang di Jawa diarahkan untuk upaya perang Jepang. Produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer diberi prioritas utama. Meskipun Jawa telah bisa menopang dirinya sendiri dalam hal bahan makanan pokok di zaman Belanda, keadaan ini tidak bisa berlangsung di bawah pendudukan Jepang karena meningkatnya tuntutan yang dikenakan atas produksi bahan makanan di pulau Jawa.

“Selama pendudukan Jepang, slogan ‘Melipatgandakan Hasil’ diulang terus menerus dan sering muncul di surat kabar, teater, dan film-film. Dengan slogan ini, petani ditempatkan di bawah tekanan keras militer Jepang untuk memuaskan semua tenaga mereka bagi ‘Pelipatgandaan Hasil’,” tulis Aiko.

Propaganda Jepang itu, untuk sementara waktu, bisa berjalan secara sukses karena didukung oleh peraturan yang keras dan bersifat memaksa. Setiap pelanggaran yang dilakukan oleh rakyat, tak segan-segan Jepang menjatuhkan hukuman berat, bahkan sampai hukuman mati. Dalam soal PKS, Jepang pun memberlakukan yang sama, seperti tertera dalam maklumat kedua yang berbunyi, “Dipermaklumkan bahwa barang siapa yang menyiarkan kabar yang bukan-bukan, ataupun mempercakapkan yang tidak benar tentang PKS atau pengurus dan pegawainya, akan dianggap sebagai menyiarkan kabar bohong yang merusak keamanan rakyat dan Balatentara, dan akan dihukum berat. Bilamana ada sesuatu hal janganlah bersembunyi-sembunyi atau menyiarkan yang tidak-tidak, melainkan hendaklah dikemukakan pada pengurus atau lain-lain yang berwajib.”

Kedua maklumat tersebut mulai berlaku sejak hari Rabu 26 Hachigatsu 2602 (26 September 1942-Red.) ditandatangani tiga petinggi sekaligus yang mengatasnamakan Pembesar Balatentara Dai Nippon di Indonesia. Mereka adalah ketua bagian Nodzohan (pertanian-Red) balatentara Dai Nippon, Pengurus Nodzohan Lembang, dan Ketua I PKS Raden Djajakoesoemah.

“Tadi malam telah diadakan malam pembukaan Pusat PKS di Logeweg 20 Bandung. Acara ini dihadiri oleh orang-orang terkemuka, baik dari Balatentara Jepang maupun dari pihak Indonesia,” tulis Tjahaja, 16 November 1942.

Tepat pada pukul 20:00 malam, acara dibuka oleh ketua Bandung Kentyo (Kabupaten Bandung-Red) dengan mengucapkan selamat dan terima kasih atas kedatangan hadirin dan kemudian menerangkan maksud dan tujuan berdirinya PKS. Pembentukan PKS, menurut ketua, ditujukan untuk memenuhi pasokan sayur baik untuk keperluan Balatentara Jepang maupun kepentingan khalayak umum. Organisasi itu juga bertujuan supaya kaum tani mendapat perlindungan yang sempurna.

Dalam kesempatan itu K. Nakatuka pemimpin umum urusan PKS turut menyampaikan keterangan tentang maksud dan tujuan pendirian PKS. Dia pun berharap agar PKS mendapat hasil yang memuaskan di dalam aktivitasnya.

Sementara itu Kolonel K. Tanaka dari pihak Balatentara Jepang menyampaikan rasa syukur dan gembiranya atas pembentukkan organisasi pertanian itu. “Umumnya, bangsa Asia memang selalu mementingkan pertanian,” kata dia. Tanaka berharap agar balatentara Jepang dan bangsa Indonesia bersedia bekerjasama demi kemajuan dua bangsa yang bersaudara itu.

Sambutan terakhir disampaikan oleh Ir. Soezaja dari Nodzohan Lembang. “Dia membentangkan tentang usaha yang telah dijalankan oleh PKS untuk mencapai cita-citanya yang baik itu,” tulis Tjahaja, 16 November 1942.

Setelah semua sambutan selesai, acara dilanjutkan dengan jamuan makan sederhana sambil mendengarkan kecapi-orkes.

Harian Tjahaja edisi 21 November 1942 memberitakan berbagai kemajuan yang dicapai PKS. Menurut koran itu, sejak didirikan sampai dengan 10 November 1942, PKS telah berhasil menjual sayuran sebanyak 1268.843 kilogram, 83.344 kilogram buah-buahan, dan 46.408 kilogram bumbu-bumbu dengan jumlah pendapatan f.123.469,87. Bahkan, PKS telah mempunyai empat cabang, yakni di Cianjur, Bandung, Garut, dan Tanjungsari (Sumedang). Untuk buah-buahan PKS banyak mendatangkannya dari daerah Sumedang dan kedelai didatangkan dari Garut.

Tak hanya itu, organisasi pengepul dan penyuplai hasil pertanian ini pun melebarkan sayapnya. Di tiap-tiap Syuu (karesiden-Red) didirikan cabang PKS. Berdasarkan laporan Tjahaja, 21 Desember 1942, di Priangan Syuu telah didirikan beberapa cabang di antaranya di Lembang, Garut, Pangalengan, Sindanglaya, dan lain-lain. Daerah tersebut sudah dikenal sejak lama sebagai sentra penghasil sayur-sayuran di Jawa Barat. Seiring pesatnya perkembangan PKS, mereka pun menguasai produsen makanan berbahan baku sayuran di tingkat hilir seperti pabrik asinan di Lembang, Bandung. Suratkabar Tjahaja melaporkan, “Dalam bulan November dihasilkan lebih dari 50 ton asinan untuk keperluan Balatentara.”

Gerak PKS memang sangat agresif. Organisasi itu pun merambah ke distribusi minyak tanah, minyak kelapa, dan rokok. “Yang biasanya penjualan minyak tanah, minyak kelapa, dan rokok dilakukan para Lurah di Lembang, sekarang diusahakan oleh PKS dimulai di Lembang,” tulis Tjahaja, 26 Januari 1943.

Meski hanya 3,5 tahun, pendudukan Jepang di Indonesia telah meninggalkan luka mendalam bagi rakyat Indonesia. Jepang melakukan eksploitasi sumberdaya alam dan manusia. Para petani diperas untuk menyediakan pangan untuk keperluan militer Jepang dalam peperangan. Jepang juga mengerahkan penduduk Indonesia untuk dijadikan romusha. Dan, gadis-gadis pun dipaksa jadi jugun ianfu, pemuas nafsu serdadu Jepang. Lengkaplah sudah penderitaan rakyat Indonesia akibat pendudukan Jepang.

Jepang Mencengkeram Pedesaan, Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai, Bubur Perjuangan dan Roti Asia, Terowongan Neyama Romusha, Romusha di Seberang Lautan, Rakyat Yogyakarta Diselamatkan Selokan, Membebaskan Sultan Yogya, Geraf [Gerakan Rakyat Anti Fasis] Bergerak, Djojobojo Menentang Jepang

Propaganda Jepang. Foto: KITLV.

Untuk tujuan perang, Jepang memobilisasi dan mengontrol rakyat hingga pedesaan.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI, MF. MUKTHI, ARYONO

KEBIJAKAN Jepang selama perang, baik di Jepang maupun di negera-negara jajahannya seperti Indonesia, dimaksudkan untuk kepentingan perang. Tujuan akhirnya membangun kawasan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya di bawah kepemimpinan Jepang. Untuk itu, Jepang mencengkeram kehidupan rakyat pedesaan.

Menurut Aiko Kurasawa, sejarawan Universitas Keio Jepang, kebijakan Jepang di pedesaan Jawa memadukan mobilisasi (doin) dan kontrol (tosei). Jepang memobilisasi rakyat untuk meningkatkan produktivitas pertanian, terutama padi, lalu menyerahkannnya dalam bentuk “wajib serah padi.” (Baca: Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai dan Bubur Perjuangan dan Roti Asia).
*****
Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai


Jepang memperkenalkan padi horai dari Taiwan ke Indonesia untuk memasok pasukannya di medan perang.

PADI yang ditanam di Jawa sebelum perang secara kasar dikelompokkan menjadi dua jenis: pade cere (padi tak berambut) dan padi bulu (padi berambut). Orang Jawa lebih menghargai padi bulu ketimbang padi cere karena lebih enak dan dianggap bermutu lebih tinggi, sehingga harganya pun lebih mahal.

Ketika menduduki Indonesia, pemerintah militer Jepang mendorong petani agar menanam padi cere yang lebih produktif. Setiap hektarnya, padi cere bisa menghasilkan panen lebih tinggi karena tahan terhadap musim kering dan bisa tumbuh di tanah yang kurang subur.

“Apa yang penting bagi pemerintah Jepang bukanlah rasa yang enak atau mutu yang tinggi, melainkan memaksimalkan produksi secara keseluruhan,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol. Produksi bahan makannan, terutama padi, untuk memasok pasukan Jepang di medan perang mendapat prioritas.

Awalnya Jepang frustrasi dengan rendahnya produktivitas beras di Jawa. Mereka menganggap produktivitas bisa ditingkatkan dengan memilih bibit padi yang lebih cocok bagi Jawa. Selain menyarankan penggunaan bibit padi cere, Jepang memperkenalkan beberapa jenis padi baru yang cocok dengan kondisi ekologi Jawa. Serangkaian percobaan pun dilakukan di Bogor Noji Shinkenjo (Stasiun Percobaan Pertanian Bogor). “Salah satu bibit baru yang direkomendasikan oleh stasiun ini ialah beras horai dari Taiwan,” tulis Aiko Kurasawa.

Padi horai mula-mula berasal dari beras Jepang tapi lama-lama dicampur dengan beras lokal Taiwan. Jepang mengunggulkan padi horai karena “batang padi di Nippon lebih besar dan lebih banyak mengeluarkan padi daripada yang terdapat di daerah-daerah Selatan. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan di daerah-daerah Selatan meninggalkan batang padi di sawah dan membiarkannya hingga busuk guna memupuk tanah,” tulis harian Kita-Sumatora-Sinbun, 12 Juni 1944, yang terbit di Medan.

Menurut Shigeru Sato, “Japanization in Indonesia Re-Examined: The Problem of Self-Sufficiency in Clothing,” dalam Imperial Japan and National Identities in Asia 1895-1945 karya Li Narangoa dan Robert Cribb, padi horai termasuk varietas indica sehingga identik dengan padi cere. Masa pertumbuhannya pendek. Rata-rata varietas padi lokal membutuhkan 170 hari untuk matang, sedangkan padi Horai masak dalam 110 hari.

Ada banyak macam padi horai. Namun, tulis Pandji Poestaka, 15 September 1943, yang memberikan hasil lebih baik di Jawa hanya ada 1-2 jenis. Kemungkinan besar padi horai yang didatangkan ke Indonesia adalah jenis taichu dan kanan ni go, yang juga diperkenalkan di Malaysia. 

Syutyokan (Residen) Cirebon, Ichibangase, yang pernah menjadi pejabat kolonial di Taiwan, paling bernafsu memperkenalkan bibit Taiwan ini dan membawa serta bibit bersamanya ke Indonesia. Wilayahnya ditunjuk untuk percobaan pertama budidaya padi horai –selain karesidenan Kedu. Bibitnya dibagikan cuma-cuma kepada para petani.

Pada mulanya, petani ragu untuk mengesampingkan padi bulu karena mutunya yang mereka banggakan. Namun pemerintah Jepang berusaha mempromosikan padi horai itu dengan memanfaatkan kebiasaan petani meminjam bibit dari para pialang padi dan orang lain sebelum masa tanam serta membayarnya kembali setelah panen.

“Dalam menggantikan para pialang padi tersebut,” tulis Aiko Kurasawa, “kantor desa didorong supaya meminjamkan padi kepada petani dan hanya jenis bibit baru (horai) yang dipasok.”
Secara bertahap petani mulai terbiasa menanam bibit baru melalui cara lunak semacam ini. “Wajib serah padi” kepada pemerintah Jepang juga membuat petani tak punya pilihan selain memilih padi produktivitas tinggi: horai dan cere. Alhasil, sejak adanya padi horai, produksi padi bulu berkurang lebih dari setengahnya.

Media memberitakan kesuksesan penanaman padi horai. Asia Raya, 3 Mei 1943, melaporkan, “penanaman padi horai yang kali pertama dilakukan beberapa bulan berselang dan dalam bulan Februari 1943 sudah dipetik hasilnya dengan memuaskan.” Upacara pemotongan padi horai di Palimanan, Cirebon, dihadiri Syutyokan Cirebon, Ichibangase. “Setelah diadakan perhitungan hasilnya sawah itu di luar dugaan, 1 ha menghasilkan 42 kuintal,” tulis Soeara Asia, 26 Mei 1944.  

Meski penanaman padi horai dilakukan intensif, padi bulu tak sepenuhnya hilang karena para pejabat Jepang tetap lebih menyukai beras bermutu tinggi itu untuk kebutuhan mereka sendiri. Sedangkan padi horai diproduksi untuk kebutuhan militer Jepang di medan perang. “Akan tetapi, diragukan apakah mereka bisa memperoleh beras yang enak sebanyak yang mereka inginkan, karena banyak petani menyatakan bahwa mereka biasanya mengatur supaya beras yang bermutu rendah yang diserahkan kepada pemerintah, dan berusaha menyimpan yang bermutu tinggi untuk mereka sendiri, sejauh mereka mempunyai pilihan untuk itu,” tulis Aiko Kurasawa.

Sejak awal, para petani tak suka dengan padi horai. Mereka menanamnya karena dipaksa Jepang. Padi horai pun hanya bertahan selama pembawanya menduduki Indonesia. Sementara padi bulu dan padi cere sebagai padi lokal tetap menjadi andalan petani Indonesia sampai sekarang.
*****

Bubur Perjuangan dan Roti Asia


Jepang memaksa penduduk memakan "menu perjuangan" sebagai pengganti nasi.

PADA masa pendudukan Jepang, petani harus menyerahkan sejumlah besar padi yang mereka hasilkan. Padahal petani terbiasa menanam padi secukupnya untuk konsumsi sendiri, dan hanya sedikit yang mereka jual ke pasar. Mereka juga umumnya petani kecil, yang mengolah sepetak tanah sendiri atau sewaan kurang dari setengah hektar. Mereka menderita kemiskinan yang kronis dan hampir selalu terlilit utang dan terikat sistem ijon. Kelaparan pun melanda.

Untuk menutupi kekurangan beras, menurut sejarawan Universitas Keio, Jepang, Aiko Kurasawa, Jepang mendorong masyarakat memakan jagung, singkong, atau kedelai. Bahkan tanaman yang sebelumnya tak pernah dimakan atau hanya jadi lalaban seperti bonggol pisang, pepaya, dan daun singkong. Sebagai sumber protein pengganti, bekicot jadi pilihan. Penduduk juga terpaksa memakan badur (semacam keladi), yang harus dipotong-potong dan direndam air asin dulu untuk menghilangkan getahnya yang beracun.
Jepang juga memperkenalkan resep-resep baru untuk makanan-makanan pelengkap itu. “Resep-resep itu umumnya disebut sebagai ‘menu perjuangan’ oleh kaum propagandis,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol.

Salah satu menu populer ialah bubur campuran ubi, singkong, dan katul, yang disebut Bubur Perjuangan atau Bubur Asia Raya. Jepang melalui organisasi perempuan bentukannya, Fujinkai, aktif mengajarkan dan menyebarluaskan menu dan bahan pangan baru ini. “Besok sore mulai jam 5 di Dai Kurabu (Harmoni) Huzinkai (atau Fujinkai) akan mengadakan pertunjukan cara membuat Bubur Perjuangan, khusus untuk kaum ibu-ibu dan gadis-gadis. Diharap kaum wanita mengunjunginya,” tulis Sinar Baroe, 5 Maret 1945.
Dalam acara demonstrasi tersebut diterangkan bahwa bubur ini mengandung zat-zat yang penting bagi tubuh. “Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat bubur tersebut ialah: 200 gram jagung, 400 gram ubi, 400 gram ketela pohon, 200 gram sayuran. Bumbunya: brambang, bawang, salam, laos (lengkuas), terasi, lombok, santen dan garam. Bubur ini dimakan dengan ikan teri atau ikan kerang,” tulis Sinar Baroe, 8 Maret 1945.  

Selain melakukan sosialisasi, Jepang memerintahkan ketua tonarigumi (rukun tetangga) untuk mengawasi anggota masyarakatnya supaya mau makan Bubur Perjuangan, bukan nasi putih. Dapur sering digeledah secara mendadak. “Kalau ada seseorang yang diketemukan makan nasi putih, dia akan diperingatkan dan bahkan kadang-kadang dilaporkan kepada kenpeitai,” tulis Aiko Kurasawa.

Menu perjuangan lain adalah Roti Asia (to-a pan) yang terbuat dari tepung ketela (aci atau tapioka), tepung kedelai, atau tepung beras biasa. “Sekarang saban bulan diadakan pencatatan tentang persediaan tepung tapioka itu oleh Noji Sido Kyoku dan Dinas pertanian,” tulis Soeara Asia, 9 Juli 1942. Kantor Penerangan Tepoeng juga melakukan sosialisasi. “Diberitahukan kepada sekalian penduduk di Priangan Syuu bahwa pada tiap-tiap hari mulai dari pukul 9 pagi hingga pukul 2 siang diperbolehkan datang di kantor tersebut untuk menerima pelajaran dari hal pembikinan Roti Asia.” Demikian pengumuman yang disiarkan di koran Tjahaja, 14 November 1942.

Boeng Djenggot, penulis kolom Pengisi Podjok harian Borneo Shimboen, 29 September 1943, menulis bahwa Roti Asia yang sudah dia cicipi bisa dijadikan makanan untuk menyambut Lebaran. “Ketika Bung (Djenggot) berada di Bandung tempo hari, sempat juga merasakan Roti Asia yang dibikin dari tepung Asia (ketela pohon), yang meskipun rasanya belum sebanding dengan roti biasa, tapi bolah lah,” tulisnya.
Menurut Aiko Kurasawa, makanan pengganti, Bubur Perjuangan dan Roti Asia, tentu saja tak memuaskan dan bahkan hina bagi orang Jawa. Mereka lebih suka makan nasi karena, “kalau belum makan nasi, belum makan.”

Gagasan menu perjuangan membuat rakyat kekurangan gizi, terutama masyarakat di pedesaan. Honger oedeem (busung lapar) pun mewabah. Memburuknya kesejahteraan sosial meningkatkan angka kematian pada 1944 di seluruh karesidenan –kecuali Jakarta dan Priangan– dan menurunkan angka kelahiran. “Rakyat di pedesaan sering mengatakan bahwa sewaktu pendudukan Jepang rakyat sulit memiliki tenaga dan keinginan untuk memenuhi fungsi reproduksi karena kelaparan dan kesulitan-kesulitan keseharian lainnya,” tulis Aiko Kurasawa. Dan untuk kali pertama dalam sejarah Jawa modern, populasi Jawa menurun.
*****

Jepang juga mengerahkan rakyat menjadi tenaga kerja paksa (romusha) di proyek-proyek pembangunan seperti lapangan terbang, benteng pertahanan, dan pabrik-pabrik militer. Untuk melancarkan mobilisasi tersebut, Jepang membentuk tonarigumi (rukun tetangga) dan nogyo kumiai (koperasi pertanian). (Baca: Terowongan Neyama Romusha, Romusha di Seberang Lautan, dan Rakyat Yogyakarta Diselamatkan Selokan).
*****
Terowongan Neyama Romusha


Sebuah terowongan, dikerjakan ribuan romusha, dibangun untuk mengalirkan banjir ke Samudra Hindia.

PADA 17 November 1942, Sungai Brantas meluap, merendam 150 desa dan 9.000 rumah di Kabupaten Tulungagung. Luapan air juga menghancurkan areal pertanian. Genangan air di daerah hilir membentuk tanah berawa yang luas, yang oleh penduduk setempat disebut “campur darat.”

Untuk mengatasinya, pemerintah Karesidenan Kediri membangun sebuah terowongan melalui wilayah perbukitan untuk menguras air yang masih menggenangi rawa-rawa ke Samudra Hindia. Selain itu, diharapkan terowongan itu bisa menjaga tanaman padi, yang sedang diintensifkan Jepang untuk menyuplai pasokan makanan tentaranya di medan perang.  

Menurut sejarawan Universitas Keio Jepang, Aiko Kurasawa, pemrakarsa pembangunan terowongan tersebut adalah Residen Enji Kihara, lulusan Akademi Militer Jepang dan pernah menjabat kepala Departemen Pembangunan Kantor Gubernur Jenderal di Taiwan. Pembangunan dimulai pada Februari 1943.
Sebagai pelaksana proyek, sebuah koperasi irigasi diorganisasikan di bawah pangreh praja yang bertanggung jawab atas pencarian buruh dan pengamanan dana pembangunan. Proyek terowongan ini membutuhkan 20 ribu romusha dengan dana f.750 ribu; sebanyak f.300 ribu disediakan karesidenan dan sisanya pemerintah militer.

“Karena tidak ada buldoser dan jarang terdapat dinamit, seluruh pekerjaan dilakukan dengan tenaga manusia,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol.
Beberapa bulan pertama pekerjaan berjalan lancar, dengan mempekerjakan lebih dari 10 ribu romusha per hari. Mereka mengeruk tanah dengan alat sederhana yang dibawa dari desa masing-masing. Setiap romusha mendapat upah sebesar f.0.14 per hari, sudah dipotong pajak dan makanan. Sedangkan mandor menerima upah f.0.38, sudah dipotong pajak.

Shigaru Sato dalam War, Nationalism, and Peasants menerangkan, untuk mengerjakan terowongan itu, dibuatlah saluran terbuka dengan meratakan punggung bukit. Batu-batu kapur di dasar punggung bukit harus dihancurkan namun tak tersedia cukup bubuk peledak. Permintaan bantuan kepada Departemen Transportasi Jepang di Jakarta ditolak. Bantuan datang dari kepala Departemen Industri, Tennichi Koichi. Dia berminat pada proyek terowongan itu yang dia anggap memiliki potensi meningkatkan produksi pertanian.

“Atas persetujuan atasannya, Yamamoto Moichiro, Tennichi setuju mengalihkan beberapa bubuk peledak yang telah disisihkan dari program pertambangan batu bara di Bayah (Banten Selatan),” tulis Sato.
Sebelum meledakkan bukit, staf Residen Kediri menerima informasi dari warga bahwa rawa-rawa itu sebelumnya menjadi landasan bagi korps penerbangan Angkatan Laut Belanda; dan ketika Belanda mundur mereka membenamkan beberapa bom. Ketika melakukan penyisiran, ditemukan 23 bom. Sebuah dealer bahan peledak milik seorang Tionghoa mengambil 10-20 ton bubuk peledak kuning dari bom-bom itu.
Selain menggunakan peledak, karesidenan juga meminjam mesin pengebor dan kompresor dari Ishihara Sangyo Co. Ltd. Departemen Administrator Militer di Jakarta mengirim seorang kapten Angkatan Darat, seorang insinyur sipil yang berpengalaman dalam pembangunan terowongan. Pembangunan terowongan pun dimulai pada Oktober 1943.

“Residen Kihara antusias. Dia sering bekerja di lokasi konstruksi, menggunakan bor dan mengatur dinamit sendiri. Sampai pada satu kesempatan dia keracunan gas yang dihasilkan oleh ledakan di dalam terowongan dan harus dibawa keluar dari terowongan,” tulis Sato.

Pembangunan menghadapi kendala. Masalah dana bisa diatasi tapi mobilisasi romusha tersendat, bahkan berkurang. Selain karena berlokasi di daerah tertutup rawa dan hutan penuh binatang buas, bahkan diyakini banyak hantu dan roh jahat, dan malaria merebak. Penduduk juga mendapatkan kabar bahwa pekerjaan itu sangat berat. Beberapa romusha tinggal tulang terbungkus kulit. Banyak yang sakit, bahkan meninggal dunia.
Pangreh praja dan pejabat desa dikerahkan dan diberi kuota untuk merekrut romusha. Untuk memenuhi kuota itu, mereka melakukan “bujukan” yang bersifat memaksa. Seorang kepada desa Gurah di Tulungagung mengirim sekitar 500 orang dari desanya.

Target awal pembangunan terowongan rampung awal Juni tapi meleset jadi Juli 1944. Terowongan itu, yang dalam bahasa Jawa disebut Tumpak Oyot (Akar Gunung), diterjemahkan Nishida, penterjemah yang bekerja di Karesidenan Kediri, menjadi Neyama: ne artinya akar dan yama berarti gunung. “Di antara penduduk lokal dan para buruh yang dimobilisasi membangun terowongan itu menyebutnya Neyama romusha,” tulis Sato.

Terowongan Neyama, tulis Aiko Kurasawa, membuat petani di wilayah tetangganya terbebas dari banjir. Tapi terowongan itu membawa akibat yang tak diperhitungkan sebelumnya. Nganjuk, wilayah Kediri utara, kekurangan air.

Terowongan tersebut masih bekerja baik hingga Jepang angkat kaki dari Indonesia. Kerusakan perlahan menghampiri antara lain oleh banjir bandang pada 1955. Empat tahun kemudian, terowongan dibangun kembali sebagai bagian dari Proyek Pembangunan Umum Sungai Brantas dengan biaya dari dana pampasan perang Jepang sebesar US$1.972.000. Proyek ini digarap dua perusahaan konstruksi Jepang, Nippon Koei dan Kashima Kensetsu, di bawah pengawasan Departemen Pekerjaan Umum. Pekerjaan selesai pada April 1961.

Karena Terowongan Neyama dianggap belum cukup menangani banjir di Tulungagung, terutama banjir windon setiap delapan tahun sekali, pemerintah Orde Baru membangun Neyama II yang diresmikan pada 1986.   

Neyama kini menjadi objek wisata karena pemandangan dan terowongan drainase besarnya yang melewati gunung. Namun, di balik keindahan itu, ratusan bahkan mungkin ribuan romusha menjadi korbannya.
*****
Romusha di Seberang Lautan


Berharap mendapat kehidupan yang lebih baik, mereka justru berhadapan dengan kematian. “Death Railway” menjadi saksi kekejaman Jepang semasa perang.

BANJARNEGARA, Jawa Tengah, 1943. Karja Wiredja meninggalkan desanya, Matukara. Bersama ribuan romusha lainnya, Karja menjadi tenaga kerja kasar di Thailand. Di sana dia menjadi mandor pada proyek pembangunan jalan kereta api Nong Pla Duk (Thailand)-Thanbyuzayet (Burma, kini Myanmar) sepanjang 415 km. Untuk hasil kerjanya, Karja mendapat dua sen per hari.
“Waktu itu lurah bilang kita boleh ikut Nippon,” ujar Karja, seperti dikutip dari Suara Independen, 1 Agustus 1995.

Sadin, pemuda asal Kuningan, Jawa Barat, tak pernah berpikir akan pergi sejauh itu. Dia pergi ke Cirebon untuk sebuah pekerjaan yang dijanjikan tapi ternyata dia dikirim ke Thailand. Belum sampai di tujuan, para romusha ini mendapat pelayanan tidak manusiawi. “Rombongan yang semula berjumlah 1.500 orang itu hanya sisa beberapa ratus orang setelah tiba di Singapura,” tulis Aiko Kurosawa dalam Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945.

“Aku tahu bahwa mereka diangkut dengan gerbong-gerbong yang tertutup rapat tanpa udara, dipadatkan seperti hewan dalam jumlah ribuan sekaligus,” tulis Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Tapi, “kondisi yang lebih menyedihkan justru menunggu mereka yang beruntung tetap hidup dalam perjalanan menuju tujuan mereka,” tulis Aiko.

Sejak Desember 1941, Thailand jatuh ke tangan Jepang. Dari Thailand, pasukan Jepang menginvasi Burma dan merebutnya dari kontrol Inggris. Untuk mempertahankan pasukannya di Burma, Jepang mengirimkan pasukan dan perbekalan ke Burma melalui laut. Tapi jalur laut rentan dari serangan Sekutu, sehingga Jepang memikirkan jalur alternatif.

Pada Juni 1942, Jepang memulai proyek pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan Thailand-Burma dengan mendatangkan baja dan tenaga kerja (romusha) dari wilayah-wilayah yang didudukinya. Selain romusha dari Jawa, ada romusha dari China, Malaya, Vietnam, juga tentara Sekutu yang tertawan Jepang. Total ada lebih 100 ribu romusha Asia Tenggara dan 55 ribu tawanan Sekutu.
Para romusha mendapat bayaran setara pekerja kasar umumnya, meski tak semua sama. Diperkirakan, menurut Aiko, upah harian mereka f. 0,70-1,00. Jumlah ini sedikit lebih tinggi dari ketetapan dalam “Persetujuan Pemasokan Romusha Antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut”: f. 0,50 per hari dan harus disisihkan f. 3,00 untuk dikirim kepada keluarga mereka setiap bulan. Namun, seringkali upah mereka dipotong oleh mandor atau pejabat yang mengkoordinasikannya.

Nasib romusha dalam pembangunan jalan kereta api, yang dikenal dengan istilah “Death Railway”, amat memilukan. Mandor atau serdadu Jepang berlaku kejam. Medannya berat, menembus lembah dan hutan lebat. Mereka bekerja di bawah guyuran hujan, jalanan berlumpur, atau terik menyengat. Jatah makanan minim. Fasilitas dan tenaga medis tak memadai, sementara wabah kolera, disentri, dan sebagainya berjangkit. Bahkan, seperti kesaksian Sadin, romusha yang tidak bisa bekerja lagi lantaran sakit, dikubur hidup-hidup. “Seolah-olah ada perhitungan bahwa akan lebih murah untuk memasok romusha baru daripada mengambil risiko merawat atau memulihkan kembali mereka yang sakit,” tulis Aiko.

Tak heran jika banyak romusha dan tawanan Sekutu yang tewas. Commonwealth War Graves Commission, organisasi nirlaba yang bergerak menyantuni para keluarga tentara Sekutu yang jadi korban Perang Dunia II, melalui situsnya www.cwgc.org, mencatat, “Sepanjang pembangunan jalur itu, kira-kira 13.000 tawanan perang tewas dan dimakamkan di sepanjang lintasan. Diperkirakan 80.000-100.000 warga sipil juga tewas dalam proyek yang sama, terutama para buruh yang dibawa dari Malaya dan Hindia Belanda, atau wajib militer di Siam (Thailand) dan Burma.”

Tak ada angka pasti berapa jumlah romusha asal Jawa yang tewas. Dalam "Notes on the Thai-Burma Railway, Part II: Asian Romusha; The Silenced Voices of History" David Boggett menulis, dari 200.000-500.000 romusha asal Jawa yang dikerahkan, hanya sekitar 70 ribu yang masih hidup ketika perang berakhir.

Banyak romusha melarikan diri. Bagi mereka yang sial, bisa saja tewas di perjalanan atau di tangan Jepang. Sedangkan yang bernasib baik bisa kembali ke daerah asal atau tempat aman ketika perang berakhir. “Sadin dan yang masih sempat melarikan diri seperti dia berpencaran di Malaya dan Thailand,” tulis Aiko. Dia akhirnya berhasil kembali ke tanah air meski harus menunggu lebih dari 10 tahun.

Sedangkan Karja sempat nikah-cerai di Thailand. Karena itu pula dia tertinggal kapal Palang Merah Internasional yang membawa para romusha kembali ke daerah asal. Karja terpaksa menetap di tanah rantau dan baru bisa pulang ke desanya 52 tahun kemudian.

*****
Rakyat Yogyakarta Diselamatkan Selokan

Sultan Hamengku Buwono IX bersama para pembesar militer Jepang di Jakarta, 1942. Sumber: Repro Buku Takhta Untuk Rakyat.

Selokan Mataram menyelamatkan banyak nyawa warga Yogyakarta.

DI MUSIM hujan, selokan –yang dipenuhi sampah– sering meluap dan menimbulkan banjir. Namun, di masa pendudukan Jepang, selokan telah menyelamatkan nyawa rakyat Yogyakarta dari kerja paksa (romusha) dan menekan kekurangan pangan.

Pada 1940, Dorodjatun ditasbihkan menjadi Sultan Hamengku Buwono IX. Tak lama kemudian Jepang datang. Di Jakarta, pada 1 Agustus 1942, dia dilantik untuk kali kedua sebagai Sultan Yogyakarta oleh Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang. Sultan menerima wewenang dari Jepang untuk mengurus pemerintahan Kesultanan yang dinamai Kochi (Daerah Istimewa). (Baca: Membebaskan Sultan Yogya)
*****
Membebaskan Sultan Yogya

Pasukan Belanda di lapangan udara Maguwo Yogyakarta dalam agresi militer Belanda kedua, Desember 1948. Foto: KITLV.

Para perwira dan tentara Belanda meyakini serangannya ke Yogyakarta untuk membebaskan Sultan. Ternyata, mereka keliru.

PADA 4 Januari lalu diperingati Yogyakarta Kota Republik untuk mengenang pemindahan ibukota Republik Indonesia pada 4 Januari 1946 karena keadaan Jakarta tak aman dan keselamatan para pemimpin terancam oleh tentara NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda).

Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan sekaligus perjuangan. Namun, ancaman datang ketika Belanda melanggar gencatan senjata Perjanjian Renville dan melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Belanda memulai serangan dengan pesawat-pesawat pembom ke berbagai tempat terutama pangkalan militer, diikuti penerjunan 500 tentara, dan segera setelah itu pasukan Belanda memasuki kota. Selama seminggu berikutnya, pasukan Belanda berhasil merebut kota-kota penting baik di Jawa mupun Sumatra.

Menurut George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Belanda mengabarkan kepada dunia bahwa perlawanan Republik hanya sedikit dan penduduk menyambut mereka sebagai penyelamat. Banyak tentara Belanda juga menyebarkan kampanye ini karena yakin bahwa mereka sedang membebaskan penduduk dari penguasa yang tidak disukai.
“Slogan dari mereka yang dibawa-bawa di Yogyakarta adalah ‘Ke Jogja untuk membebaskan Sultan’,” tulis Kahin.

Karena itu, sementara para pemimpin Republik diasingkan, Sultan Hamengkubuwono IX tetap berada di Yogyakarta tetapi ruang geraknya dibatasi atau menjadi tahanan rumah.
Kendati demikian, menurut Kustiniyati Mochtar, “Pak Sultan dari Masa ke Masa,” dalam Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Sultan tetap dapat berkomunikasi dengan rakyatnya dengan cara fluistercampagne (dari mulut ke mulut), sehingga berbagai instruksi bisa sampai kepada rakyat. Misalnya, instruksi agar rakyat tetap setia dan hanya patuh kepada Ngarsa Dalem (sebutan untuk Sultan), yang dipatuhi seluruh rakyat.

Terkesan dengan wibawa Sultan, Belanda berusaha merangkul dan mengajaknya bekerja sama. Belanda meyakinkan Sultan bahwa tak ada gunanya mengandalkan nasibnya kepada suatu Republik yang masih demikian lemah. Belanda mengirim utusan, yaitu Residen EM Stok, Dr Berkhuis, penguasa militer Belanda di Yogyakarta Kolonel van Langan, Husein Djajadiningrat, dan Sultan Hamid II, untuk mendekati Sultan. Setelah usaha mereka tak membuahkan hasil, berikutnya dikirim seorang direktur bank Belanda yang mengumbar janji akan memberikan dana tak terbatas untuk Keraton Yogyakarta, saham di Perusahaan Pelayaran Belanda (KPM) dan Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda. Jika mau bekerja sama, Belanda juga akan menjadikan Sultan sebagai penguasa seluruh Jawa dan Madura.

Utusan-utusan itu tak pernah bertemu langsung dengan Sultan, yang mewakilkan kepada saudaranya seperti Pangeran Prabuningrat, Pangeran Murdaningrat, atau Pangeran Bintoro. Mereka melaporkan kapada Sultan tentang tawaran-tawaran itu.

“Reaksi Hamengku Buwono IX hanya senyum sinis,” tulis Kustiniyati. “Pada waktu itu Hamengku Buwono IX tampaknya benar-benar sedang gandrung kemerdekaan dan keinginannya hanya satu: agar Belanda segera enyah dari bumi Indonesia.”

Menurut Kahin, dengan menolak semua tawaran itu, Belanda akhirnya terpaksa mengakui bahwa mereka telah salah menilai Sultan Hamengku Buwono IX. Dengan demikian, Belanda telah melakukan kekeliruan dalam usaha menguasai Republik Indonesia karena “salah perhitungan yang fundamental mengenai watak Sultan Hemangku Buwono IX,” tulis Kahin, “Sultan dan Belanda” termuat dalam Tahta untuk Rakyat.
Para perwira dan tentara Belanda, yang mempercayai serangannya untuk membebaskan Sultan dari tiga tahun penahanan oleh para penguasa Republik, tak menyadari bahwa “sejak permulaan revolusi Sultan sudah merupakan seorang pemimpin Republik yang terkemuka,” tulis Kahin.
*****

Kewajiban yang ditetapkan Jepang membuat penduduk di sejumlah daerah menderita luar biasa. Mereka dipaksa menyetorkan bahan makanan. Mereka pergi menjadi romusha untuk membangun proyek-proyek seperti jalan, rel kereta api, lapangan terbang, dan menggali batubara. Mereka mendapatkan gaji, tapi tak sebanding dengan pekerjaannya yang berat. Alhasil, ribuan nyawa menjadi korban.

Sultan, dengan segala cara, berusaha keras untuk melindungi rakyatnya dari kekejaman fasisme Jepang. Hasilnya, massa rakyat Yogya memiliki nasib lebih mujur dibanding daerah lain.
“Mengelakkan permintaan Jepang sama sekali tak akan mungkin, tetapi Sultan Hamengku Buwono IX cukup pandai ‘mengelabui’ tentara Jepang,” demikian tertulis dalam bunga rampai Takhta Untuk Rakyat, yang dihimpun Mohamad Roem dkk.

Sultan menyembunyikan statistik yang sebenarnya, baik perihal penduduk maupun hasil panen padi dan populasi ternak. Dia berhasil meyakinkan Jepang bahwa daerahnya tak mampu menghasilkan bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan penduduk. Alasannya, wilayah Yogyakarta terlalu sempit dan hanya sedikit tanah yang dapat ditanami karena sebagian selalu tergenang air pada musim hujan. Sementara wilayah lainnya kering dan tak subur untuk pertanian.

Soal daerah-daerah yang tergenang hujan, Sultan tak mengada-ada. Di Adikarto, harian Tjahaja 10 November 1942 melaporkan, hujan turun membuat kali Serang naik dan menggenangi desa-desa sekitarnya seperti Karangwuni, Sogan, Ngentak, Dukuh, dan Modinan. Banjir tersebut merusak padi di persawahan dan kerugian ditaksir sekira 1.550 rupiah. Pada Januari 1943, tulis Tjahaja 18 Januari 1943, banjir besar menghantam bendungan dan tanggul di sepanjang sungai Code, Opak, Progo, Gajah Wong, dan Kedung Semirangan. Kerugiannya ditaksir sekira 31.560 rupiah.

Agar daerahnya dapat menyetorkan hasil bumi kepada Jepang, Sultan meminta dana untuk membangun irigasi. Tak disangka, Jepang memberikan dana untuk membangun saluran dan pintu air untuk mengatur air hujan dari daerah tergenang ke laut, terutama di daerah Adikarto serta membangun saluran-saluran untuk mengalirkan air dari Kali Progo ke daerah kering yang kekurangan air di daerah Sleman ke arah timur.
Saluran dan pintu air yang dibangun tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Selokan Mataram. Dalam bahasa Jepang disebut Gunsei Hasuiro dan Gunsei Yosuiro. Kedua proyek saluran ini mampu membantu wilayah Yogyakarta menekan kekurangan pangan dengan hasil pertanian, sekalipun beberapa persen disetorkan kepada Jepang.

Pembangunan Selokan Mataram juga menghindarkan warga Yogyakarta dari panggilan menjadi romusha. Sebab, pembangunan saluran sepanjang puluhan kilometer dan harus dilengkapi dengan bendungan, tanggul, jembatan, dan lain-lain memerlukan banyak tenaga. Inilah yang dipakai sebagai alasan Sultan untuk menolak perintah pengiriman penduduk untuk dijadikan romusha.
*****
Kebijakan mobilisasi Jepang dipadukan dengan kontrol ketat oleh pemerintah. Rakyat diharapkan mempunyai pemikiran yang seragam dan melakukan konformitas (kesesuaian sikap dan perilaku dengan nilai dan kaidah yang diberlakukan Jepang), seperti yang selalu terjadi dalam rezim-rezim totaliter.
“Dengan demikian, mobilisasi di Jawa selalu dijalankan di dalam kerangka acuan yang ditetapkan oleh dan di bawah kontrol ketat pemerintah militer,” ujar Aiko dalam diskusi edisi terbaru bukunya, Politik Jepang di Jawa, di Aula The Japan Foundation, Jakarta Pusat, 15 September 2014. Buku ini diangkat dari disertasi Aiko di Universitas Cornell tahun 1988 dan kali pertama terbit dalam bahasa Indonesia pada 1993 berjudul Mobilisasi dan Kontrol.

Selain dengan tangan besi militer, kontrol masyarakat juga dilakukan dengan propaganda, seperti melalui gambar hidup (film) dan menara bernyanyi (radio). Propaganda ini, kata sejarawan Didi Kwartanada, mengutip George Kanahele, pionir kajian pendudukan Jepang di Indonesia asal Hawaii, untuk “winning the hearts and minds of the people.”

Melalui layar lebar itu, kata Aiko, mungkin penduduk baru kali pertama mengenal Sukarno. “Semboyan Bung Karno seperti ‘mari kita berjuang bersama-sama Dai Nippon sampai mencapai kemenangan terakhir’ dan ‘Amerika kita setrika, Inggris kita linggis’ menarik hati penduduk desa, dan film-film semacam itu mempunyai pengaruh tertentu untuk mencegah meletusnya perasaan anti-Jepang,” kata Aiko. (Baca: Geraf [Gerakan Rakyat Anti Fasis] Bergerak dan Djojobojo Menentang Jepang)

*****
ANTI FASIS,
Geraf Bergerak


Dengan dukungan dana dari Belanda, Amir Sjarifuddin menyusun organisasi bawah tanah yang menentang fasisme Jepang.

BELANDA menyadari keunggulan Jepang. Kekalahan sudah pasti, namun Belanda tak ingin menyerah. Belanda mencari cara agar tetap bisa melawan Jepang. Charles van der Plass, mantan Gubernur Jawa Timur, kemudian ditugasi untuk membangun sebuah gerakan bawah tanah.

Namun van der Plass kurang memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. P.J.A. Idenburg, mantan Sekretaris Kabinet Gubernur Jenderal, mengusulkan agar memilih Amir Sjarifuddin, pegawai Departemen Ekonomi di Batavia yang jadi pendiri Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Pembentukan Gerindo pada Mei 1937 merupakan respons terhadap bahaya fasisme yang mengancam demokrasi. Gerindo ibarat partai pelarian aktivis-aktivis dari semua partai yang dilarang pemerintah. Sesuai kebijakan Komintern (Komunis Internasional), tulis Wilson dalam Orang dan Partai Nazi di Indonesia, “Gerindo membuka diri kepada semua kekuatan sosial politik, termasuk kerja sama dengan pemerintah kolonial untuk menggalang kekuatan massa menyambut bahaya fasisme.”

Pada 1939 Gerindo, berkoalisi dengan Parindra dan PSII, membentuk Gabungan Politik Indonesia (Gapi), yang menawarkan kerja sama kepada pemerintah Belanda agar membentuk milisi yang akan menghadapi fasisme. “Tampaknya tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk menanggapi usulan Gapi,” tulis Wilson, “dan Ratu menyatakan penolakannya.” Meski demikian, Gerindo tetap membentuk Barisan Pemuda Gerindo yang melakukan latihan militer.

Pada 1940, ketika ditangkap karena aktivitasnya dalam PKI ilegal, Amir ditawari pilihan: dibuang ke gulag Digul atau bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Amir memilih yang kedua. Belanda memberikan uang sebanyak 25.000 gulden untuk menyusun jaringan bawah tanahnya. Amir mencari hubungan kerjasama dengan Pamudji, melalui Atmadji, yang telah dikenalnya dengan baik sebagai sesama anggota Gerindo Surabaya.

Pada Mei 1940, sebuah pertemuan dilakukan di Rawamangun, Jakarta. Hadir dalam pertemuan ini dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Pamudji (PKI ilegal), Subekti dan Atmaji (Gerindo), Sujoko (Barisan Rakyat Solo), Armunanto (Persatuan Sopir Indonesia, pernah kontak dengan PKI 1935 yang didirikan oleh Musso), Widarta (Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia, seorang komunis), Kiai Haji Zaenal Mustofa (pimpinan pondok pesantren di Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat), serta Liem Koen Hian (dekat dengan grup Tan Ling Djie dan Oei Gee Hwat yang merupakan sel PKI di kalangan keturunan Tionghoa). “Pertemuan ini kemudian memunculkan organisasi Gerakan Rakyat Antifasis (Geraf),” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Keberadaan Geraf sejalan dengan taktik front rakyat.

Menjelang invasi Jepang, pertemuan kedua di rumah Tjipto Mangunkusumo di Sukabumi berhasil membentuk pimpinan Geraf yang terdiri atas Amir, Pamudji, Sukajat, Armunanto, dan Widarta. Sedangkan Tjipto sebagai penasihat. Setelah itu terbentuklah cabang-cabang Geraf di Jakarta, Jawa Barat, dan hampir di setiap kota di Jawa. Basis utamanya berada di Surabaya. “Gerakan bawah tanah Amir ini adalah gerakan bawah tanah yang terbesar di antara gerakan bawah tanah lainnya,” tulis Frederiek Djara Wellem dalam Amir Sjarifoeddin: Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.

Namun, menurut Gie, tak jelas apakah Geraf merupakan organisasi baru yang dibuat Amir atau hanya salah satu sel yang dibinanya. Sampai seberapa jauh kebenaran aktivitas Geraf juga tak dapat dicek karena sumber tentang Geraf hanya berasal dari Sidik Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Sidik menulis buku tersebut semata untuk propaganda politis daripada sebuah usaha menuliskan sejarah. “Hatta sendiri,” tulis Gie, “tidak pernah mendengar tentang Geraf dan tidak percaya jika dr. Tjipto yang dikenalnya secara baik mau bergabung dalam gerakan komunis.” Sepertinya Hatta yang kelak akan menyelamatkan Amir menganggap Amir bergerak dalam PKI, bukan Geraf. Terlepas dari itu, Jepang telah menetapkan Geraf sebagai kelompok berbahaya dan harus dilumpuhkan.

Segera setelah menduduki Indonesia, Jepang mengambil-alih aparatur pemerintah Belanda yang terdiri dari orang Indonesia. Orang-orang yang bekerja sebagai mata-mata dan tergabung dalam polisi rahasia Belanda (PID), tulis Slamet Muljana, juga ikut ditarik untuk membantu kelancaran pemerintahan baru. Dalam waktu tak terlalu lama, Jepang memiliki gambaran jelas tentang berbagai aliran di Indonesia dan bagaimana sikap mereka terhadap Jepang. Gerakan bawah tanah yang mengadakan kontak dengan pemerintah Hindia Belanda pun terbongkar. Penangkapan dimulai.

“Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi antifasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa hidup kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat,” tulis Jacques Leclerc dalam Amir Sjarifuddin: Antara Negara dan Revolusi.

Amir sendiri menjadi buronan utama polisi rahasi Jepang (kempeitai). Dia, tulis Wellem, hampir tak bisa dikenali lagi karena memelihara janggut dan kumis. Namun akhirnya dia tertangkap dan dimasukkan ke penjara, dari Kalisosok Surabaya, Salemba, Glodok, Cipinang,   Sukamiskin Bandung, Salemba, dan kembali lagi ke Kalisosok. Ini ditempuh Jepang untuk mencegah pendukung Amir meloloskannya dari penjara. “Dalam tahanan,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 2,  “Amir disiksa di luar perikemanusiaan. Badannya kurus, kering, dan tinggal tulang semata.” Amir dikenai hukuman mati, meski kemudian diubah menjadi hukuman seumur hidup.

Sel Geraf yang dipimpin Kiai Haji Zaenal Mustofa juga bernasib buruk. Kiai Mustofa dan santrinya tewas dalam perlawanan bersenjata di Singaparna, Jawa Barat, karena menentang penghormatan kepada matahari (seikerei) dan Kaisar Jepang. Subekti yang memimpin sel Geraf Indramayu, Jawa Barat, juga tewas dalam bentrokan dengan Jepang.

Sel Geraf yang masih bergerak adalah yang dipimpin Widarta dan Hendromartono, seorang pemimpin buruh. Widarta, sekretaris Geraf yang juga generasi ketiga yang memimpin PKI, lolos dari penangkapan. Ironisnya, Widarta yang terlibat dalam revolusi Tiga Daerah (Brebes, Tegal, Pemalang) antara Oktober sampai Desember 1945, kemudian dieksekusi mati oleh mahkamah PKI yang dipimpin Amir Sjarifuddin.
Sepertinya keraguan Gie terhadap Geraf mendapatkan jawabannya. Dalam Madiun 1948: PKI Bergerak, Harry Poeze menyebut Geraf sebagai “organisasi yang tak berbentuk”.
 
*****
Selain propaganda melalui media massa, Jepang melakukan indoktrinasi melalui pembentukan wadah semimiliter (seinendan, keibodan) dan organisasi massa Jawa Hokokai; pengenalan bahasa Jepang; menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar di sekolah; dan melarang sekolah-sekolah Belanda. Selain itu, kegiatan di luar sekolah sebagai bagian dari indoktrinasi adalah Kursus Kiai yang disponsori Kantor Urusan Agama (Shumubu).

“Terkait indoktrinasi kiai pedesaan, ini mengingatkan kita pada ‘mobilisasi’ kaum rohaniawan untuk tujuan-tujuan politik yang masih berlangsung hingga hari ini,” ujar Didi.

Akibat tekanan ekonomi yang buruk dan kemarahan terhadap para pemimpin desa yang dilematis antara kepentingan rakyat atau tuntutan pemerintah, muncullah pemberontakan di beberapa daerah, diawali oleh Pemberontakan Pesantren Sukamanah di Tasikmalaya.

Menurut Didi, dalam buku Aiko kurang dibahas soal ianfu (wanita penghibur) karena isu ini memang baru muncul pada 1990-an. Begitu pula peran orang Tionghoa di pedesaan. Padahal mereka memainkan peranan cukup penting dalam perekonomian desa, selaku pemilik penggilingan beras, juragan hasil bumi, maupun pembunga uang (mindering).

Terkait Berita: