Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Soekarno. Show all posts
Showing posts with label Soekarno. Show all posts

Kisah Green Hilton Memorial Agreement Geneva 1963

Inilah perjanjian yang paling menggemparkan dunia. Inilah perjanjian yang menyebabkan terbunuhnya Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy 22 November 1963. Inilah perjanjian yang kemudian menjadi pemicu dijatuhkannya Bung Karno dari kursi kepresidenan oleh jaringan CIA yang menggunakan ambisi Soeharto. Dan inilah perjanjian yang hingga kini tetap menjadi misteri terbesar dalam sejarah ummat manusia.





 
 





Perjanjian “The Green Hilton MemorialAgreement di Genva pada 14 November 1963

Dan, inilah perjanjian yang sering membuat sibuk setiap siapapun yang menjadi Presiden RI. Dan, inilah perjanjian yang membuat sebagian orang tergila-gila menebar uang untuk mendapatkan secuil dari harta ini yang kemudian dikenal sebagai “salah satu” harta Amanah Rakyat dan Bangsa Indonesia. Inilah perjanjian yang oleh masyarakat dunia sebagai Harta Abadi Ummat Manusia. Inilah kemudian yang menjadi sasaran kerja tim rahasia Soeharto menyiksa Soebandrio dkk agar buka mulut. Inilah perjanjian yang membuat Megawati ketika menjadi Presiden RI menagih janji ke Swiss tetapi tidak bisa juga. Padahal Megawati sudah menyampaikan bahwa ia adalah Presiden RI dan ia adalah Putri Bung Karno. Tetapi tetap tidak bisa. Inilah kemudian membuat SBY kemudian membentuk tim rahasia untuk melacak harta ini yang kemudian juga tetap mandul. Semua pihak repot dibuat oleh perjanajian ini.

Perjanjian itu bernama The Green Hilton Memorial Agreement Geneva. Akta termahal di dunia ini diteken oleh John F Kennedy selaku Presiden AS, Ir Soekarno selaku Presiden RI dan William Vouker yang mewakili Swiss. Perjanjian segitiga ini dilakukan di Hotel Hilton Geneva pada 14 November 1963 sebagai kelanjutan dari MOU yang dilakukan tahun 1961. Intinya adalah, Pemerintahan AS mengakui keberadaan emas batangan senilai tak kurang dari 57 ribu ton yang terdiri dari 17 paket emas dan pihak Indonesia menerima batangan emas itu menjadi kolateral bagi dunia keuangan AS yang operasionalisasinya dilakukan oleh Pemerintahan Swiss melalui United Bank of Switzerland (UBS). Kesepakatan ini berlaku tiga tahun kemudian alias 14 November 1965 (gambar di atas hanya salah satu dari sekian lembar perjanjian).

Pada dokumen lain yang tidak dipublikasi disebutkan, atas penggunaan kolateral tersebut AS harus membayar fee sebesar 2,5% setahun kepada Indonesia. Hanya saja, ketakutan akan muncul pemimpinan yang korup di Indonesia, maka pembayaran fee tersebut tidak bersifat terbuka. Artinya hak kewenangan pencairan fee tersebut tidak berada pada Presiden RI siapapun, tetapi ada pada sistem perbankkan yang sudah dibuat sedemikian rupa, sehingga pencairannya bukan hal mudah, termasuk bagi Presiden AS sendiri.
Account khusus ini dibuat untuk menampung aset tersebut yang hingga kini tidak ada yang tau keberadaannya kecuali John F Kennedy dan Soekarno sendiri. Sayangnya sebelum Soekarno mangkat, ia belum sempat memberikan mandat pencairannya kepada siapapun di tanah air. Malah jika ada yang mengaku bahwa dialah yang dipercaya Bung Karno untuk mencairkan harta, maka dijamin orang tersebut bohong, kecuali ada tanda-tanda khusus berupa dokumen penting yang tidak tau siapa yang menyimpan hingga kini. Demikianlah dokumen penting yang penulis baca dan hasil wawancara penulis dengan nara sumber dengan para tetua di dalam negeri dan wawancara dengan narasumber di Belanda, Prancis, Jerman, Singapura, Malaysia dan Hong Kong.

Bagi AS, perjanjian Green Hilton adalah perjanjian terbodoh bagi AS, karena AS mengakui aset tersebut yang sebetulnya merupakan harta rampasan perang. Menurut dokumen yang penulis baca. Harta tersebut berasal dari sitaan AS ketika menaklukkan Jerman dalam perang dunia. Jerman juga mengakui bahwa harta tersebut disita Jerman ketika menyerang Belanda. Belanda pun mengakui bahwa harta tersebut merupakan rampasan harta yang dilakukan VOC ketika menjajah Indonesia.

Berdasarkan fakta yang dijumpai di lapangan, harta ini sudah pernah mau dicairkan pada 1986-1987 tapi gagal, lalu ada percobaan lagi awal 2000, juga gagal. Kini, ketika krisis menerpa AS dan dunia yang hampir membunuh sebagian besar rakyat AS, pemerintah Obama mencoba meyakinkan dunia melalui titah Puas di Vatikan bahwa AS berhak mencairkan harta ini. Atas dasar untuk kepentingan ummat manusia, agaknya hati Vatikan mulai luluh. Konon kabarnya, Vatikan telah memberikan restu itu tanpa mengabaikan bantuan kepada rakyat Indonesia.

Menurut sebuah sumber di Vatikan, ketika Presiden AS menyampaikan niat tersebut kepada Vatikan, Puas sempat bertanya apakah Indonesia telah menyetujuinya. Kabarnya, AS hanya memanfaatkan fakta MOU antara negara G-20 di Inggris dimana Presiden Indonesia SBY ikut menandatangani suatu kesepakatan untuk memberikan otoritas kepada keuangan dunia IMF dan World Bank untuk mencari sumber pendanaan alternatif. Konon kabarnya, Vatikan berpesan agar Indonesia diberi bantuan. Mungkin bantuan IMF sebesar USD 2,7 milyar dalam fasilitas SDR (Special Drawing Rights) kepada Indonesia pertengahan tahun lalu merupakan realisasi dari kesepakatan ini, sehingga ada isyu yang berkembang bahwa bantuan tersebut tidak perlu dikembalikan. Oleh Bank Indonesia memang bantuan IMF sebesar itu dipergunakan untuk memperkuat cadangan devisa negara. Penulis pikir DPR RI harus ikut mengklarifikasi soal status uang bantuan IMF ini.

Kalau benar itu, maka betapa nistanya rakyat Indonesia. Kalau benar itu terjadi betapa bodohnya Pemerintahan kita dalam masalah ini. Kalau ini benar terjadi betapa tak berdayanya bangsa ini, hanya kebagian USD 2,7 milyar. Padahal harta tersebut berharga ribuan trilyun dollar AS. Aset itu bukan aset gratis peninggalan sejarah, aset tersebut merupakan hasil kerja keras nenek moyang kita di era masa keemasan kerajaan di Indonesia. Sebab dulu, beli beras saja pakai balokan emas sebagai alat pembayarannya. Bahkan kerajaan China membeli rempah-rempah ke Indonesia menggunakan balokan emas.

Lalu bagaimana nasib tersebut, kita sebagai bangsa yang besar masih perlu mengkaji lebih lanjut. Pemerintah bersama rakyat perlu membentuk Tim Besar dan lobby yang besar ditingkat internasional untuk menduduk kembali soal harta yang disepakati dalam The Green Hilton Memorial Agreement ini. Karena ini sudah menjadi fakta sejarah yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Pemerintahan SBY tidak bisa melakukan penyelidikan harta ini secara diam-diam dan hanya kalangan terbatas. Sebab harta ini milik rakyat dan bangsa Indonesia. Bukan milik pribadi Bung Karno. Keberhasilan lobby politik Bung Karno yang luar biasa ini harus diteruskan dan jangan dimentahkan begitu saja.

Kisah Sukarno dan Jakarta Yang Bercerita

Sebuah kota bukan sekedar tembok-tembok beton, ia adalah susunan narasi..sebuah penceritaan

Minggu ini warga DKI Jakarta akan mencari Gubernurnya, saya rasa sudah cukuplah kita memahami siapa yang akan memimpin Jakarta sesuai dengan pilihan kita dan aturan demokrasi yang fair, mungkin yang terbaik di hari minggu yang rileks ini kita bercerita bagaimana sebuah kota menjadi tata ruang yang bercerita.

Dari seluruh pemimpin-pemimpin Indonesia sepanjang negeri ini berdiri. Mungkin yang paling terobsesi dengan Jakarta adalah Sukarno, Dia-lah yang mengubah wajah Jakarta yang tadinya hanya berpusat sebagai tempat kongkow sosialita Hindia Belanda yang berpusar di Harmoni Societet, menjadi skup Jakarta yang meluas, sebuah Jakarta yang tidak terbatas hanya Harmoni Societet, tetapi Jakarta yang hidup di jantung degup rakyat banyak, sebuah etalase bagi panggung kerakyatan. Bila di masa De Jonge, Batavia adalah role model keberhasilan kolonial dalam pemerintahan tata kota dengan pembangunan perumahan elite bagi juragan-juragan perkebunan, jenderal-jenderal Hindia Belanda dan pejabat tinggi Gubernemen, maka bagi Sukarno : “Jakarta bukan saja kemenangan rakyat untuk berdaulat, tapi juga menceritakan pada dunia bagaimana rakyat hidup di tengah kota, budaya urban rakyat kecil tidak digusur oleh pemodal”Sukarno, sendiri secara terus terang berkata “Aku menyukai orang-orang mencuci di sepanjang kanal Gadjah Mada-Hayam Wuruk”

Bagi Sukarno, Jakarta adalah sebuah penceritaan kemenangan, sebuah titik nol kilometer nyawa yang dibangun untuk menghidupkan sebuah bangsa. -Bila di akhir masa kekuasaannya, ia diledek oleh para mahasiswa KAMI sebagai orang tua pikun “Patung dikira celana”. Maka sesungguhnya, Bung Karno menangis melihat tingkah anak muda Indonesia yang gagap memahami seni, gagal mencintai kebudayaan.
Ada satu sisi yang menarik dalam konsep penceritaan tata ruang kota Sukarno untuk Jakarta, terutama sekali soal monumen. -Sukarno memang pada awalnya adalah seorang Arsitek, ketika menjadi mahasiswa ia memiliki nilai sempurna untuk menggambar. Imajinasinya hidup, bila ia menggambar sesuatu ia tidak sekedar menggambar objek tapi menggambar bagaimana objek itu bergerak dan bekerja, penafsiran bukanlah sekedar suatu yang beku dan mati, ia menafsirkan dengan amat lugas, ia paham ruang dialektik suatu karya.

Kekaguman Sukarno dengan monumen adalah ketika ia mengunjungi Rusia pada medio tahun 1950-an,  Ia melihat sendiri bagaimana patung-patung dan monumen menjadi gambaran cita-cita sebuah bangsa. Tapi puncak kekaguman Sukarno bukanlah di Moskow, namun ketika ia mengunjungi Amerika Serikat pada tahun 1956 saat ia melihat Monumen Kemerdekaan Amerika Serikat, sebuah patung obelisk dengan julangannya yang meninju langit, disitu Sukarno terdiam bahkan hatinya bergetar, dia berpikir “dari patung inilah Jefferson memulai pemikirannya, seluruh bangsa bergerak menuju pembebasannya”. Sukarno juga mengunjungi Mesir, ia berdiri di depan Piramida, lalu ia mengunjungi sungai Nil bersama Gamal Abdel Nasser, Sukarno paham bangsa Mesir baru tak perlu bikin monumen karena sejarahnya sendiri adalah Monumen.

Di Jakarta Sukarno kemudian gandrung membangun jiwa dari sebuah bangsa ini. Pertama kali yang ia bangun adalah Monumen Nasional.  Konsep Monumen Nasional (Monas) sebenarnya diinginkan Sukarno karena ia terobsesi dengan Menara Eiffel, kepada beberapa orang Sukarno mengeluh karena Presiden De Gaulle memusuhinya dan tak mengundangnya ke Paris, padahal ia amat ingin ke Paris dan melihat Eiffel, Sukarno pernah membaca satu cerita yang ditulis pada sebuah koran tentang bagaimana berkebudayaannya kota Paris, sehingga ketika pasukan NAZI Jerman masuk, salah seorang komandan pasukannya menangis karena harus mengebom sisi-sisi kota. -Bagaimana bisa saya menghancurkan kebudayaan. Kata komandan Pasukan NAZI Jerman itu, seorang Kolonel Angkatan Darat-. Sukarno menceritakannya ini pada satu pagi di tahun 1953, dengan seorang arsitek ternama bernama Silaban. Tapi rencana ini ditunda karena kisruh politik, soal Parlemen yang melebar ke pengusiran warga Belanda sampai pada pemberontakan daerah.

Lalu Bung Karno berkhayal dan berimajinasi,  ”Apakah kita bisa menjadikan Jakarta sebagai ‘Tweede de Eiffel?’ apakah bisa Eiffel yang nyawa orang Perancis bisa dibangun dalam nyawa orang Jakarta, dengan apa rakyat Indonesia mengenangnya. “Silaban, saya paham setiap manusia pasti mengenang dimana ia berasal, dimana ia lahir, orang Amerika Serikat mengenang negaranya dengan Gedung Putih dan gedung-gedung yang tinggi itu, orang Perancis mengenang menara Eiffel, bagaimana dengan orang Indonesia? dengan apa ia mengenang negaranya? ‘ Sukarno menatap mata Silaban dengan amat tajam.

Saat itu tahun 1953sebagai Presiden RI ia tidak begitu sibuk, karena pekerjaan sebagai pemimpin praktis diambil Perdana Menteri di Kabinet, ia tidak lagi memegang ruang eksekusi pemerintahan. Ia hanya sekedar pralambang dari kepemimpinan politik. Saat itu Indonesia menganut Demokrasi Parlementer. – Di tahun 1954 diadakan sayembara membangun Monumen Nasional. Sukarno sudah mendapatkan data-data bahwa kemungkinan Jepang akan membayar biaya ganti rugi Perang. Sementara di Parlemen sendiri Konferensi Medja Bundar 1949 digugat oleh kelompok Murba, mereka minta dibatalkan. Sukarno mengambil kesempatan politik : -Mengusir Belanda, menjadikan Proyek perebutan Irian Barat sebagai politik diam-diam menendangi pantat orang Parlemen dan menjadikan Revolusi Nasional pengalihan aset sebagai pusat perjuangan baru. Sukarno berhitung dana Pampasan Jepang akan cukup membiayai proyek-proyek baru tersebut. Ia juga akan menjadikan Jakarta sebagai kota lambang Revolusi.

Pada tahun 1960, sudah masuk sekitar 100-an karya konsep Monumen Nasional, namun panitia sama sekali tak ada yang meloloskan. -Akhirnya dengan sedikit putus asa, panitia menunjuk Silaban untuk membuat gambarnya, namun Silaban membuat gambar dengan nada spektukular, sangat luar biasa besar. Ketika diajukan kepada Bung Karno, Bung Karno menggeleng-geleng “Biayanya terlalu tinggi, ekonomi kita tidak cukup biayai ini” kata Bung Karno. Silaban membalasnya dengan agak ketus “Ya, tunggu saja Pak sampai ekonomi kita membaik”. Sukarno melotot dan berkata “Aku bukan orang yang diciptakan untuk menunggu, kerjakan tapi sesuaikan dengan keadaan”


Akhirnya Silaban tetap mengerjakan dengan dibantu RM Soedarsono sebuah monumen bergaya minimalis tapi begitu bernyawa, di atas lahan 80 hektar. Sukarno menggunakan kebiasaan tata ruang kabupaten untuk membangun tata ruang kota DKI. Dalam tata ruang kabupaten ada ciri pokok yang dikenal : Alun-Alun, Masjid Agung di sebelah barat Alun-Alun, Keraton Kadipaten di sebelah utara Alun-Alun dan Kantor Kepatihan Kadipaten dan Karesidenan di sebelah selatan Kadipaten. -Nuansa ini diikuti Bung Karno, ia memerintahkan tanah Ikada 80 Hektar adalah Alun-Alun Indonesia, sebuah lapangan kebudayaan.

Pembangunan Monas Medio tahun 1960-an (Sumber Photo : LIFE)

Monas adalah ‘Lapangan Kebudayaan’ disitu Bung Karno bermimpi besar, akan ada panggung teater, Museum dan seluruh pergerakan kesenian rakyat bermula disitu, kemudian dari titik garis lurus Monas akan bertemu dengan Gelora Bung Karno yang melambangkan ‘Suasana Gerak Olah Raga Rakyat’ Bung Karno bermimpi : Kelak disuatu hari bangsa ini akan menjadi bangsa besar, dimana Rakyatnya yang bebas merdeka  membangun kehidupan, menguasai olahraga dunia”.  Stadion Gelora Bung Karno Senayan di masanya adalah Stadion paling besar sedunia.

Bung Karno juga membangun patung-patung, namun ada ciri khas Bung Karno yaitu bila ia membangun Patung, ia membangun sebuah penceritaan, sudut-sudut kota bernarasi. Seperti misalnya Patung Selamat Datang, ia membuat dua orang melambai, ‘Datanglah datang di Tanah Jakarta, Tanah Gerbang Indonesia”. Begitu kata M. Yamin, salah seorang Menteri Sukarno yang amat gandrung dengan Kebudayaan,  melihat Hotel Indonesia dan meninjau rencana pembuatan Patung Selamat Datang, tak lama kemudian M Yamin meninggal sebelum sempat pembukaan Hotel Indonesia dan peresmian Patung Selamat Datang.

Di Cikini ada hadiah Patung yang teramat cantik dari Pemerintahan Moskow,   Patung ini dibuat oleh ayah anak Matvel Manizer dan Otto Manizer, seorang ahli pahat dari Sovjet Uni. Patung ini bercerita seorang anak bangsa dari kaum tani berjuang pergi bertempur dan ibunya menangis. Bung Karno karena patung bukan sekedar sosok, tapi Patung adalah sebuah media reflektif yang dihentikan oleh waktu sebagai cermin bagaimana kenangan disimpan di laci-laci langit pikiran banyak orang.

Konflik Sukarno-Suharto membuat Jakarta terkepung tentara (Sumber Photo : LIFE)

Di akhir pemerintahannya ketika pasukan tak dikenal mengepung Istana Negara, Gubernur DKI yang juga teman ngobrol Bung Karno, Henk Ngantung ditangkap tentara Pro Suharto karena ia bagian dari Lekra, seluruh kawan-kawan Bung Karno satu persatu diciduk. Bung Karno sendirian dalam ruang sunyi-nya. Ia memilih Ali Sadikin sebagai ganti Sudiro, Sukarno tak begitu suka dengan Sudiro yang terlalu birokratis, ia ingin Ali paham bagaimana cara pikir Sukarno.

Soeharto tahu bahwa pengangkatan Ali Sadikin adalah ‘bargain’ diam-diam dengan Sukarno bahwa Angkatan Darat akan berhadapan ‘head to head’ dengan Angkatan Laut, apalagi di Surabaya Panglima KKo Hartono sudah siap perang dengan Soeharto. “Tinggal tunggu perintah Bung Karno”.  Tapi Soeharto tak terpancing untuk mendongkel Ali, bahkan Ali didiamkan sampai tahun 1977.

Justru Jakarta di Jaman Ali Sadikin inilah, mengalami lompatan luar biasa.  Ali Sadikin dijadikan barometer untuk mengukur tingkat keberhasilan memimpin Jakarta. Ali bukanlah pemimpin DKI yang sekedar nge boss, tapi ia benar-benar membawa Jakarta melompati sejarah, dari sekedar The Big Village menjadi kota modern yang berkebudayaan sesuai dengan apa yang diinginkan Sukarno.

Di tangan Ali, Jakarta dibawa sebagai kota dengan warganya bergerak. Ia membangun gelanggang-gelanggang kesenian, ia membangun pasar-pasar rakyat, ia membangun jalan-jalan. Di tengah masa kekuasaan Suharto yang tak begitu menyukainya dan Ali disuruh nyari duit sendiri untuk pembangunan DKI padahal Pemerintah Pusat baru saja dapat bantuan besar dari negara maju. Ali Jalan terus!…ia pakai dana judi untuk bangun Jakarta dan ini ia bertarung dengan banyak orang. Sikap keras Ali dikenang banyak orang sebagai tonggak nol kilometer kepemimpinan DKI.

Tugu Tani, Landmark terbesar DKI setelah Monas Pernah terancam digusur karena dangkalnya penafsiran sejarah atas tata ruang kota (Sumber Photo : LIFE)

Setelah era Sukarno dan mundurnya Ali Sadikin di tahun 1977, Jakarta hanya sekedar kota yang bergerak tanpa arah.  Manusia Indonesia gagal mengapresiasi sejarah. Ada cerita soal Patung-Patung di Jakarta yang menarik,  saat itu di akhir tahun 1982 Letjen (Purn) Sarwo Edhie Wibowo berkata dalam sebuah wawancara yang momennya waktu itu adalah ‘Peringatan hari kesaktian Pancasila’. Sarwedi berkata : “Patung itu patung Pak Tani Komunis. Mana ada petani kita sikap angkuhnya begitu. Tidak ada! Di Indonesia mana ada petani yang angkuh? Petani kita sopan-sopan,” Lalu ucapan itu dibumbui kalimat provokatif : “Kalau patung Pak Tani BTI (Barisan Tani Indonesia-organisasi PKI Red), apa haru kita pasang terus?”. Cetusan Sarwedi saat itu menjadi polemik yang amat menarik dan berita di koran-koran. Berbondong-bondong pejabat lain menjilat ucapan Sarwedi, seperti Daoed Joesoef yang katanya orang berbudaya itu ia berkata : “. “Kalau benar patung Pak Tani dan istrinya itu melambangkan petani bersenjata seperti dalam pikiran negara-negara komunis, sudah jelas untuk zaman sekarang sudah tidak tepat lagi,”

Untung ucapan-ucapan penggusuran Patung Pak Tani di counter oleh Adam Malik, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI, bung Kancil yang terkenal dengan prinsip hidupnya ’semua bisa diatur’.  berkata keras :
“Salah sama sekali jika dikatakan bahwa patung itu berbau kolone kelima,” kata Wapres. Menurut Adam Malik, tatkala mengunjungi Uni Soviet sekitar 1960, Bung Karno memintanya–waktu itu ia menjabat Dubes di Moskow –mencari pematung terkenal Rusia, Manizer, untuk membuat patung perjuangan pembebasan Irian Barat. “Dengan demikian patung tersebut bukan hadiah atau hasil pemikiran orang Soviet, melainkan pesanan dan pemikiran Bung Karno sendiri,”
(Majalah Tempo, 16 Oktober 1982)

Soeharto tentu berhati-hati melihat polemik ini, waktu itu Gubernur DKI R Suprapto juga tidak menanggapi ucapan emosional Sarwo Edhie Wibowo soal patung Pak Tani itu.  Dan sampai sekarang Patung Pak Tani tetap menjadi simbol prapatan Cikini, sebuah landmark kota Jakarta yang tak tergusur.

Tapi apakah kemudian Patung Pak Tani yang selamat, tentu tidak dimasa setelah Ali Sadikin banyak patung yang dipindah, yang paling terkenal adalah pemindahan patung Diponegoro karya pematung Italia yang sudah amat terkenal di Monas dipindah ke Jalan Diponegoro tanpa memperhatikan konteks.

Di masa Sutiyoso pernah ada ide bahwa setiap jalan yang bernama Pahlawan akan dibuatkan patung-nya,  ide Sutiyoso ini kelak jadi tertawaan banyak orang karena selain berbiaya besar, bagaimana patung adalah penceritaan bukan hanya membangun sosok yang kaku. Di masa Orde Baru yang terkenal dengan sikap ‘Anti Intelektual’ terhadap kebudayaan yang menyangkut ruang kekuasaan maka Patung-Patung yang didirikan di masa itupun berkisar soal sosok, soal perkelahian seperti pejuang yang mengangkat bambu runcing, jarang dibangun patung yang bercerita, satu-satunya patung yang bercerita dan menjadi landmark di masa Orde Baru adalah patung Arjuna Wijaya yang dibangun Nyoman Nuarta, Suharto menggambarkan dirinya di masa pertarungan maraton dengan Bung Karno, selain semar yang jadi idola Suharto, Suharto yang gemar berpuasa itu selalu mengindentikkan dirinya dengan Arjuna, sementara Bung Karno diidentikkan dengan Adipati Karno, pertarungan Arjuna dengan Adipati Karno dimana di pihak Arjuna kusir kudanya adalah Kresna dan dipihak Adipati Karno kusir kudanya adalah Prabu Salya.  Suharto mendeskripsikan puncak Mahabharata adalah pertarungan antara Arjuna dan saudara kandung lain bapak, Adipati Karno. Dan sejarah memang mencatat Suharto memenangkan pertempurannya 1966/1967 sementara Sukarno di internir di wisma Yaso, terpuruk dan menua, seperti Patung Pancoran yang dilibas dua baris jalan layang.

Anton DH Nugrahanto.

(Dimuat pertama kali di Kompasiana, bila mencopas harus ditulis nama penulis dan media kompasiana sebagai media pertama pemuatan tulisan).




Tanggal 6 Juni dan Kisah Kelahiran Bung Karno


Soekemi Sosrodihardjo seorang guru muda dari Surabaya yang ditugaskan untuk mengajar di Sekolah Rakyat (setingkat SD) di Bali, tepatnya di Banjar Paketan-Liligundi-Buleleng, Singaradja Bali. Setelah mengajar Sukemi senang sekali berjalan-jalan mengelilingi desa dan melihat kehidupan sosial masyarakatnya. Bahkan Soekemi sering mencatat bagaimana rakyat desa bergerak.

Satu hal yang diperhatikan Soekemi adalah budaya dari banjar Bali yang amat marak itu, sebuah kegiatan sakral dan penuh harmoni. Tiap ada upacara-upacara suci di Pura Bali sendiri ada tarian sakral bernama Tari Rejang. Tarian ini ditarikan khusus perempuan dengan gerakan amat halus, tarian ini bisa amat indahnya bila dilatari bulan purnama dan malam bersih penuh bintang, sehingga penontonnya bisa menjadi amat tenang, khidmat dan penuh syukur pada Tuhan.

Suatu saat Soekemi menonton bersama temannya yang seorang guru juga dari Jawa, tarian ini. Ia terpesona dengan dua orang perempuan cantik, tapi ia tak tau siapa namanya kedua perempuan itu. Namun kemudian ada kesempatan dimana Soekemi melempar bunga, dan lemparan bunga itu mengenai seorang penari cantik dengan mata bulat bulan ‘Ni Nyoman Srimben’. Ia penari yang amat cantik dengan bibir yang tebal manis, dan alis mata yang amat hitam, tersenyum pada Soekemi, saat itulah cinta pertama jatuh pada dua hati anak manusia.

“Perkenalan adalah takdir, menjadi teman adalah pilihan dan mencintai seseorang kerap diluar kendali dari diri seorang yang sedang jatuh cinta” Soekemi sudah jatuh cinta, ia telah memilih dan ia sanggup menghadapi resikonya apa saja.

Rupanya Ni Nyoman Srimben juga jatuh hati pada pemuda dari Jawa ini, -“Ia seorang guru ayah” kata Nyoman Srimben kepada ayahnya I Nyoman Pasek ketika menghaturkan cerita tentang pemuda pilihan hatinya. I Nyoman Pasek tentunya menolak “dia berbeda agama dengan kita” Soekemi sendiri beragama Islam, dan Nyoman Pasek menghendaki Srimben menikah saja dengan pemuda dari banjar-nya sendiri ketimbang pemuda yang berasal dari Jawa, dari tempat yang jauh.

Tapi cinta telah mengikat dua perasaan ini, cinta telah menjadikan dua cerita antara Soekemi dan Srimben sebagai naluri aksara puisi, Soekemi melihat dua mata Srimben, ada getaran, bukan saja ia melihat masa depan dirinya sendiri, tapi masa depan yang lebih besar, ‘namun ia tak mengerti’. Srimben sendiri melihat Soekemi juga dengan perasaan sama, ada perasaan pertanggungjawaban bahwa cinta ini harus diteruskan, -apapun resikonya-.

Lalu Soekemi bertanya pada Srimben “Apakah kau mencintaiku” lalu Srimben diam lama dia melihat sawah luas membentang hijau di desanya, udara langit putih bersih dan daun-daun pohon kamboja mengayun lembut. –Srimben mengangguk penuh arti-. Akhirnya Soekemi berani melamar menikah pada ayah Srimben, Bapak Nyoman Pasek. Namun Nyoman Pasek secara halus menolak.

Akhirnya dipilih suatu sikap yang berani, yaitu : Ngarorod atau Kawin Lari. Di Tengah Malam Soekemi membawa lari Srimben, lalu dikejar-kejar penduduk desa dan Soekemi berlindung di tempat seorang Polisi. Penyelesaiannya adalah ke Pengadilan, di Pengadilan tampaknya cinta dua anak manusia ini tak bisa dipisahkan, akhirnya semua orang yang menyaksikan rela dengan ikhlas menyatukan dua perbedaan ini karena keberanian dan pertanggungjawaban Soekemi serta Srimben dalam menjalankan cintanya, Soekemi hanya dimintai denda atas tindakannya melakukan Ngarorod, dan keluarga Srimben menyetujui Soekemi menikah dengan Ni Nyoman Srimben.

Pernikahan ini berlangsung damai, tiba-tiba datang surat dari penilik sekolah yang mengabarkan bahwa Soekemi harus pindah ke Blitar dan bertugas disana. Ni Nyoman Srimben ikut Soekemi, dengan menumpang perahu layar mereka mengarungi selat Bali menuju Jawa, tampak dari kejauhan pulau Jawa berkabut, keindahan pulau Jawa dengan ratusan nyiur di pantai membuat Srimben merasa bergetar, ada suara lembut menyapa kalbunya ‘Disinilah masa depanmu bermula’.

Di Blitar, Soekemi dan Srimben hidup amat sederhana, seperti layaknya penduduk Jawa yang lain, hidup dalam suasana keprihatinan suasana orang yang dijajah, tiap pagi Srimben harus menumbuk padi, menjaga tumbukannya tidak dimakan ayam, ia mencuci dan segala bentuk kegiatan lainnya, ia mencintai suaminya dengan amat sangat yang tiap hari dengan sepeda warna hitam itu pergi ke sekolah mengajar. Di tahun pertama pernikahannya, lahirlah seorang anak perempuan dan diberikan nama sebagai Soekarmini. Gembiralah rumah kecil pak guru itu dengan hadirnya anak perempuan yang lucu.

Suatu siang Srimben bermimpi tentang bulan purnama terang sekali, ia bermimpi berjalan di ruang yang bergolak, kemudian melanjutkan ke ruang yang tenang. Ia berdoa semoga mimpinya ini berjalan ke arah kebaikan, tak lama setelah mimpinya ini ada, ia hamil. Di tengah kehamilannya ini ia kerap bermimpi tentang sinar matahari berwarna kuning muda bangkit dari balik cakrawala, dan entah kenapa Srimben sangat menyukai warna pagi matahari. Soekemi senang bukan kepalang, melihat isterinya hamil lagi. Ia mengelus-elus perut isterinya dan membacai surat al fatihah, ia berharap anak ini akan menjadi berguna bagi keluarga dan bangsanya. Anak ini akan dipenuhi oleh rasa cinta, dipenuhi keberanian dalam menghadapi kehidupan dan ketabahan dalam penderitaan untuk mencapai tujuan. Anak ini harus menjadi seorang yang kuat, begitu harapan Soekemi.

Lalu tanggal 6 Juni 1901, jam 6 pagi meledaklah suara tangis bayi, Soekemi berdiri dari tempat duduknya, ia mendatangi dukun bayi yang membantu proses kelahiran…”Anakmu laki-laki, Pak Guru…laki-laki” kata dukun bayi itu dengan wajah senang seraya memberi selamat dan Soekemi dengan dada berdegup kencang berlari ke sudut rumah lalu mengucapkan syukur.

Malamnya Soekemi menuliskan surat kepada keluarga isterinya di Buleleng dengan kata-kata singkat : “Anakku telah lahir, anak kedua, dia laki-laki dan kuberikan nama Koesno. Semoga ini menjadi awal yang baik dari semuanya”. Tulis Soekemi di tengah pelita yang redup.

Bayi itu sehat, gemuk dan pipinya merah. Bayi ini sangat tampan. Bahkan beberapa kerabat Soekemi yang mengunjungi terpesona dengan ketampanan bayi ini. Satu hal yang sangat disenangi Srimben dalam merawat bayi ini adalah menghadapkannya ke timur matahari, dengan cahaya matahari yang merekah, wajah tampan bayi merah ini tertimpa alur-alur cahaya pagi lalu Srimben berucap “ Lihatlah anakku, lihatlah sang Fajar bangkit dari peraduannya, kau lahir ketika sang fajar bangkit dan menerangi dunia, kau lahir bukan saja membawa hari baru, tapi sebuah jaman baru…..”

Bung Karno semasa sekolah di HBS (Sumber Photo : Yayasan Idayu)

Kelak di kemudian hari ucapan Srimben ini semacam profetik (ramalan) yang dinisbahkan pada diri anak ini, seorang anak yang kemudian sakit-sakitan dan diganti nama menjadi SUKARNO.
Sukarno kecil tumbuh dengan gembira, ia suka berenang-renang dikali, memancing dan bermain gasing. Ia tak mau kalah dalam permainan “Bagi Sukarno, ia tak boleh dikalahkan” kenang Sukarno kelak dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams.

Karena kemiskinan Sukarno kerap hidup kekurangan, ia harus menumbuk beras sendiri, ia berjalan kaki ke sekolah tanpa sepatu. Yang paling sedih diingat Sukarno adalah ketika hari menjelang lebaran, banyak anak-anak bermain petasan, ledakan petasan dimana-mana, ia ingin membakar petasan, ia iri teman lainnya bisa membeli dan membakar petasan menyambut malam takbiran. Sukarno ingin merayakan menjelang lebaran dengan petasan “aku ingin petasan…ingin sekali” tapi Sukarno kecil tau, ayahnya tak punya uang, ia tak tega meminta pada bapaknya. Kemudian yang ia lakukan adalah menangis di kamar, ia melingkari wajahnya dengan bantal yang penuh air mata, ia ingin petasan. ‘keinginan anak-anak yang lumrah’. Tak lama ketika Sukarno menangis, datanglah seseorang teman ayahnya mengetuk pintu dan memberikan sebungkus petasan pada Soekemi “ini untuk anakmu” lalu Soekemi memanggil Sukarno dan memberikan sebungkus petasan itu “Ini untuk kamu, hati-hati mainnya” Bukan main gembira hati Sukarno, kenangan ini ia tak bisa lupakan seumur hidupnya, ia juga sadar ‘tangisan yang tulus adalah doa yang didengar Tuhan”. Dan memang sepanjang hidupnya Sukarno kerap menangis diam-diam untuk bangsanya.

Sukarno dibawa ayahnya ke rumah indekost HOS Tjokroaminoto di Jalan Plampitan, Surabaya.. saat itu Sukarno diterima di HBS Surabaya, Pak Tjokro adalah kawan dekat ayah Sukarno, “Jagalah baik-baik anakku” kata Soekemi, Pak Tjokro dengan kumis yang tegas itu memegang pundak Sukarno “Nah, kau sekarang di HBS, kau harus bertanggung jawab bukan saja pada hidupmu, tapi juga bangsamu” nasihat Pak Tjokro dengan mata tajam dan wajah yang teduh. Sukarno mengangguk pelan, lalu ia diantarkan ke kamarnya yang gelap, kecil dan agak kotor, -karena kamar yang lain sudah penuh-. Tapi Sukarno menerima dengan gembira, ia memang punya watak selalu senang dalam keadaan apapun. Bagi Sukarno ‘mengeluh adalah tanda kelemahan jiwa, bergembiralah di tiap hidupmu, seberat apapun masalahmu…gembiralah…gembiralah” itu prinsip Sukarno dalam menjalani kehidupan.

Banyak kawan-kawan yang mengenang Sukarno adalah seorang pelajar yang cerdas, pembaca buku, pintar menggambar – salah satu yang paling diingat adalah ketika di kelas sedang ada pelajaran menggambar bebas, Sukarno muda menggambar anjing dan kandangnya, gambar anjing itu amat hidup dan membuat guru Belandanya terperangah, ia memamerkan gambar Sukarno- tapi nilai gambar itu tetap tidak boleh tinggi dari gambar anak Belanda, diam-diam Sukarno mulai tau bahwa bangsanya terjajah.

Sukarno cepat bila mengerjakan PR, setelah selesai mengerjakan PR ia mengusili kawan kost yang lain, hingga kalau malam banyak kamar ditutup pintunya ‘untuk menghindari gangguan Sukarno’. Akhirnya Sukarno iseng-iseng pidato sendirian di kamar, ia meniru seorang dalang dan meniru Pak Tjokro yang sedang berpidato. Bila Sukarno kecil berpidato ia bergerak seakan-akan seorang aktor yang bisa menggenggam dunia, “Kebebasan…Kebebasan..dan Kebebasan” teriak Sukarno meniru Danton tokoh revolusi Perancis dalam khayalannya itu. Lalu anak-anak melongok keluar jendela kamar dan dengan malas-malasan kembali lagi ke meja belajarnya sambil mengomel “Ah, Paling itu Si No…ingin menguasai dunia” kata mereka.

Dan memang Sukarno kelak menguasai dunia, dibawah pesonanya banyak negara-negara terinspirasi untuk merdeka, dibawah jalan hidupnya kemerdekaan Indonesia direbut, bangsa Indonesia memiliki martabatnya, merebut kehormatannya dan berdiri sebagai bangsa besar di dunia. Dan Sukarno-lah alasan terbesar bangsa ini berdiri-.

-Hari ini 6 juni 2012 dan Bung Karno ulang tahun, Selamat Ulang Tahun Bung Karno…………-

Jakarta, 6 Juni 2012
(Anton DH Nugrahanto)

Catatan : Nama Ibunda Sukarno adalah Ni Nyoman Srimben, pada tahun 1954 sebagai Presiden RI, Sukarno menghadiahkan nama Ida Ayu atau Idayu kepada Ibunda-nya dengan disaksikan banyak pejabat RI dan dari negara sahabat, sebuah penghargaan terbesar dari seorang anak kepada ibunya.

Bung Karno dan Peta Dunia


Pernahkah anda memperhatikan peta dunia?, yang anda lihat pasti posisi Asia di tengah, Asia menjadi centrum dari tata gambar peta. Tahukah anda bahwa seluruh peta dunia yang beredar sekarang, peta dunia yang digantungkan di sekolah-sekolah seluruh dunia, di seluruh kantor resmi negara dan dipelajari anak-anak sekolah adalah pengaruh Bung Karno?

Awalnya setelah KMB 1949, dan penyerahan kedaulatan, Bung Karno berpikir tentang tatanan dunia setelah peperangan Indonesia, keberhasilan Indonesia memperpendek perang dengan Belanda dia meletakkan Indonesia sebagai centrum dari segala centrum gerakan kemerdekaan di Asia dan Amerika Latin. Pemahaman Bung Karno tentang meletakkan Asia sebagai centrum dunia ini dipengaruhi dua orang, yaitu : Tan Malaka dan Ki Ageng Suryomentaram.

Beberapa bulan setelah Proklamasi Agustus 1945, Tan Malaka berhasil dihubungi pemuda-pemuda di Bogor, lalu lewat Maruto Nitimihardjo, Tan Malaka berhasil dibawa ke Djakarta, disana juga telah hadir beberapa orang, setelah pidato Tan Malaka yang terkenal di Cikini atas permintaan mahasiswa Prapatan 10, Tan Malaka bertemu dengan Bung Karno yang diantar dokter pribadinya Suharto ke sebuah rumah lalu dibawa ke kamar gelap tanpa lampu disana Bung Karno dan Tan Malaka berbicara berdua, selama berjam-jam Bung Karno digembleng apa arti kemerdekaan dan meletakkan Indonesia dalam peradaban dunia. Bung Karno paham. Tapi kemudian Tan Malaka terseret arus gerakan yang lain dan berpisah jarak dengan Bung Karno.

Di bulan Maret 1950 Bung Karno kedatangan tamu dari Yogyakarta bernama Ki Ageng Suryo Mentaram, Ki Ageng Suryo Mentaram adalah anak dari Sultan Hamengkubuwono VIII yang telah meminta berhenti sebagai Pangeran dan menjalani kehidupan sebagai ahli kebatinan. Ia seorang pangeran yang unik, tapi brilian dalam memahami kehidupan, dia juga adalah orang yang mempengaruhi Bung Karno tentang konsep kemanusiaan dan kebangsaan, serta konsep harga diri sebagai manusia.

Pada tahun 1938 sebelum kekalahan Belanda dengan Jepang di tahun 1942, ia diam-diam menyusun kekuatan militer dengan melatih silat ratusan pemuda lalu sempat digerebek rumahnya oleh PID, Intel Hindia Belanda dan diseret ke penjara tapi kemudian Sultan HB VIII turun tangan menyelamatkan adiknya itu dengan uang jaminan, Ki Ageng menyadari ‘waktunya sudah dekat’ untuk Belanda pergi dari Indonesia dan di tahun 1942 sebelum lembaga Putera (Pusat Tenaga Rakyat) terbentuk dimana Bung Karno, Hadji Mas Mansjur, Hatta dan Ki Hadjar Dewantoro jadi pemangkunya, mengunjungi Ki Ageng Suryo mentaram untuk meminta doa restu, sekaligus disana dinasihati agar Putera segera membentuk pertahanan militer.

“Kehormatan manusia terletak pada keberaniannya, keberanian-lah yang membuat manusia ada” kata Ki Ageng Suryomentaram kepada Bung Karno. Pada pertemuan Ki Ageng Suryomentaram di Istana Merdeka, Ki Ageng berpesan pada Bung Karno agar untuk menjadi bangsa terhormat, maka ‘sadarilah diri kita ada’. Pesan Ki Ageng Suryomentaram inilah yang kemudian diresapi Bung Karno. Dan atas dasar Ki Ageng Suryomentaram didirikanlah PETA (Pembela Tanah Air) walaupun di buku-buku sejarah sering disebut Gatot Mangkoepradja menuliskan dengan jempol darah untuk meminta Jepang mendirikan Tentara Rakyat (PETA).

Setelah kepulangan Ki Ageng Suryomentaram Bung Karno berpikir dalam-dalam tentang Indonesia, kenapa Indonesia selalu tersingkir, kenapa Indonesia bangsa yang besar ini ‘seolah-olah tak ada di mata dunia’. Lalu Bung Karno duduk lama di perpustakaannya di Istana dan bergelut dengan puluhan buku, kebiasaan Bung Karno adalah ketika ia sudah mendapatkan ide tentang memikirkan sesuatu maka ia memerintahkan beberapa orang pegawai Istana mencari buku-buku dengan judul yang dimaksud, lalu buku-buku itu dibentangkan halamannya, jarang bagi Bung Karno menyelesaikan satu buku, sekali ia baca buku ia bisa membaca sepuluh buku, ia dengan cepat membaca struktur, menarik substansi daripada isi, lalu mencoret-coret isi tersebut disamping buku, notes-notes ini yang kemudian jadi pokok pikiran Bung Karno, inilah bedanya Bung Karno dengan Hatta yang bersih dari coretan dan Hatta selalu berdisiplin menyelesaikan satu buku yang dibacanya dengan rinci, tak boleh satu halaman-pun lecek, Hatta adalah pecinta fanatik buku, sementara Bung Karno lebih kepada perusak buku dan senang mengacak-acaknya, yang penting baginya substansi pemikiran sebuah buku ketemu.

Saat itu yang ia pikirkan adalah ‘Rahasia dibalik hilangnya Indonesia dari peradaban’, Bung Karno membuka catatan-catatan sejarah masa lalu Indonesia, ia membaca History of Java yang kemudian dihubungkan dengan buku Revolusi Perancis lalu ia meloncat ke buku tentang Geopolitik Karl Haushofer, ia meloncat lagi ke buku filsafat eksistensialisme dari berbagai macam buku akhirnya bertemu pada satu titik : “Keberadaan ditentukan oleh Perhatian, Keberadaan ditentukan oleh kesadaran ‘bahwa saya ada’…” ketika Bung Karno sampai pada kesimpulan tersebut lalu matanya menumpu pada Peta yang menggantung di perpustakaan Istana. Ia tercekat ‘dimanakah Indonesia?’ kemudian ia berdiri dari tempat duduknya dan mendekat ke peta, ‘Atlas ini tidak menempatkan Indonesia sebagai bagian utuh dunia, Indonesia hanya digambarkan garis-garis kecil. Kemudian ia teringat Tan Malaka dan Ki Ageng Suryomentaram tentang hakikat ‘keberadaan’.

Sebelum tahun 1900, pusat atlas dari dunia adalah Eropa, barulah pada tahun 1910-an, Amerika Serikat membuat atlas resmi yang menjadikan benua Amerika sebagai pusat Atlas. Seluruh Atlas dunia tidak menempatkan Asia sebagai pusat dunia. Bung Karno di tahun 1935 sudah meramalkan pusat dari dunia adalah Asia, lalu di masa masa Revolusi, Bung Karno sering mengobarkan pidato ‘Kelak dunia berpusat di Asia, seluruh dunia akan datang bangsa-bangsa Asia, untuk itu kita harus merdeka’ dan Indonesia adalah salah satu bangsa pertama yang merebut kemerdekaannya. Bung Karno melakukan hitung-hitungan bahwa Indonesia akan menjadi bangsa terkuat di Asia setelah melakukan penetrasi terhadap geopolitik dunia, namun untuk pertama-tama sebelum masuk pada penetrasi geopolitik, Bung Karno ingin dunia sadar bahwa Indonesia ada, dan Bung Karno berpikir bagaimana meletakkan Asia dan Indonesia sebagai pusat dunia dalam atlas.

Setelah merenung bermalam-malam tentang soal menyadarkan dunia bahwa ‘Indonesia ada’, akhirnya Bung Karno berpikir untuk membuat peta dunia. Suatu pagi Bung Karno mengundang sarapan Muhammad Yamin dan beberapa orang, Bung Karno senang sekali dengan M Yamin, jika Yamin bercerita soal kehebatan masa lalu Jawa di tengah bangsa-bangsa di dunia, walaupun harus diuji kebenaran fakta sejarah, tapi Yamin berhasil membuat definisi soal wawasan geopolitik Gadjah Mada dan jaringan Nusantara yang membentuk geopolitik keIndonesiaan. “Yamin, aku ingin membuat Peta dimana Asia dibuat jadi centris-nya, dimana Indonesia dengan ‘gagah’ berada di tengah-tengah bangsa di dunia”. Yamin langsung menyambar :”Coba saja panggil Pak Djamalludin, mungkin dia bisa” yang dimaksud Djamaluddin adalah Adinegoro, seorang jurnalis Indonesia terkemuka pada tahun 1920-an.

Djamaluddin yang punya nama pena Adinegoro itu, merupakan orang Indonesia pertama yang belajar soal Jurnalistik secara khusus, ia belajar langsung ke Jerman, disana ia berguru dengan Professor E. Dofivat. Ketika belajar di Jerman ini juga Adinegoro bergabung dengan perkumpulan yang bernama Asiatische Verein, persatuan Asia, sebuah embrio gerakan besar yang menyadarkan kebesaran Asia ditengah-tengah dunia yang sedang bergolak. Saat Adinegoro belajar di Jerman juga ia menekuni dengan jeli buku Karl Haushofer yang berjudul : Geopolitik Des Pasifischen Ozeans. Dalam buku Politik Lautan Teduh diramalkan bahwa bangsa Melayu (Indonesia) akan jadi bangsa Merdeka dan menjadi bangsa maritim terkuat di dunia. Kesadaran ini juga yang terus mendorong Adinegoro untuk menekuni sejarah geopolitik dan kerap menulis tentang laporang Perang Dunia yang meletus di tahun 1939 sampai dengan tahun 1945.

Rupanya pemikiran Bung Karno dan Djamaluddin Adinegoro satu ordinat, mereka terus berdiskusi soal Kartografi yang intinya meletakkan Asia ditengah-tengah. Bung Karno berkata “Pak Adinegoro, saya paham Asia akan jadi pusat dunia, dan saya akan mengarahkan Indonesia jadi bangsa terkuat di Asia, Indonesia yang menyumbangkan bagi peradaban dunia, Indonesia menjadi bangsa yang mampu menciptakan kesejahteraan dunia, pusat budaya, pusat Ilmu Pengetahuan, itu obsesiku, lalu dengan meletakkan Indonesia ke dalam titik sentral Asia, dan menjadi Asia sebagai pusat dunia adalah fase awal dalam membentuk kesadaran ‘bahwa kita ada’.

Itulah pesan Bung Karno pada Adinegoro, lalu Adinegoro mengajak kawannya Adam Bachtiar untuk menyusun Atlas dengan Asia sebagai pusatnya, pada tahun 1952 peta itu selesai dan diserahkan pada Bung Karno, penerbit Peta itu adalah Penerbitan ‘Djambatan Amsterdam’ yang kemudian namanya menjadi singkat saja ‘Penerbit Djambatan’. Bung Karno memerintahkan Peta terbitan Djambatan itu digunakan resmi di sekolah-sekolah, kantor negara dan umum. Lalu peta itu menyebar, setelah pamor Bung Karno naik di Konferensi Asia Afrika, Peta versi Djambatan ini ditiru banyak bangsa di dunia.

Sejak itulah peta yang menggunakan Asia sebagai pusatnya paling banyak digunakan diseluruh dunia, Peta versi Penerbit Djambaran. Hanya Amerika Serikat yang masih menggunakan Peta dengan menempatkan Amerika Serikat sebagai pusat dunia, lain negara menggunakan peta yang hampir persis dengan penerbit Djambatan ini.

Inilah peran Bung Karno di masa lalu, inilah mimpi bangsaku di masa lalu, dan ketika di hari-hari ini Indonesia dipertontonkan oleh para politisi maling di Pengadilan, mereka yang maling dan berdebat di televisi-televisi, betapa malunya kita kalau kita sadar sejarah, bahwa bangsa Indonesia dibentuk oleh manusia-manusia bervisi raksasa, idealisme dan besar kemudian diperintah dan dipimpin sebarisan maling yang saling berdebat memamerkan kepandaian mereka mencuri uang negara di depan mata rakyat, seraya rakyatnya kelaparan dan BBM dinaikkan tanpa pembelaan negara berjuang memberikan subsidi.

Jadi jika anda melihat TV dan mendengarkan radio bagaimana maling berdebat, palingkanlah mata anda ke Atlas dunia, disitu kita pernah punya mimpi Indonesia sebagai bangsa besar.

Perang Informasi Pada 30 September 1965

Polemik Pembentukan Kolone ke V atau Angkatan Ke V, serta Konflik dengan Malaysia sering disebut-sebut sebagai Titik Nol Peristiwa September 1965. Gambar atas : Sukarelawan Dwikora (Sumber Foto : LIFE)

Sampai detik ini peristiwa Gestapu 1965 merupakan peristiwa politik paling rumit sedunia, sebab musababnya tidak pernah dibuka secara utuh walaupun sudah hampir 50 tahun berselang, tidak satupun data-data CIA mau dideklasifikasikan atau dibuka apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa itu.
Peristiwa Gestapu 1965, sebenarnya merupakan Gerakan Penjemputan paksa yang dilakukan oleh sejumlah perwira menengah (satu perwira tinggi, Brigdjen Soepardjo yang secara aneh menjadi wakil seorang Overste, bernama Untung) kepada tujuh perwira tinggi yang kemudian malah membuat berantakan seluruh lini gerakan, bukan itu saja histeria atas penjemputan paksa serta pembunuhan ini malah menghadirkan histeria luar biasa terhadap sejarah bangsa ini, pada peristiwa inilah hampir seluruh keluarga-keluarga di Indonesia terpecah, saling mencurigai, seluruh situasi diliputi ketegangan tinggi, pembantaian di mana-mana. Di masa ini bercampur baur antara : Ketakutan, Minimnya Informasi (Asimetris Informasi), Saling Intrik, Perebutan Kekuasaan dan Pembantaian yang diikuti suasana represif.

Lalu apa yang terjadi sebenarnya pada Peristiwa 1965? – Peristiwa September adalah sebuah perluasan dari Gerakan September, pemaknaan ini menjadi luas, bila Gerakan adalah sebuah aksi kecil, terbatas dan mempunyai tujuan jangka pendek, maka “Peristiwa” maknanya menjadi luas : Aksi massif, meluas, dan mempunyai tujuan jangka panjang, Sebuah rangkaian gerakan yang menggebuk semua lini, penghancuran dan pembangunan struktur baru, pemusnahan era lama dan pembangunan era baru, pembantaian kepada kelompok pendukung kekuasaan lama dan pembentukan peradaban baru, masa royan (luka) revolusi ini menjadi amat panjang dirasakan dan merupakan sebuah luka psikologis terbesar bangsa Indonesia bila mengenang sejarah masa lalunya.

Memahami Gerakan September 1965, akan sangat luas bahasannya mulai dari perluasan intrik Pengganyangan Malaysia, Konflik terusan antara AS dengan Indonesia dimana kasus Irian Barat masih jadi kerugian terbesar AS dalam sejarah diplomasi luar negerinya pasca sepeninggalnya JF Kennedy, Serangan politik PKI kepada kelompok pemodal dan kaum kaya dengan pembentukan gerakan land reform, Gertakan Bung Karno kepada Inggris untuk segera cabut dari Malaya dan membentuk sebuah zona berdikari di kawasan Asia Tenggara sampai pada isu Angkatan Ke Lima : Buruh dan Tani dipersenjatai. Rangkaian isu ini jelas membuat simpang siurnya informasi dan semakin mempertajam intrik antara kelompok-kelompok kekuatan di sekitar Presiden Sukarno.

Informasi dan pemegang Informasi adalah kata kunci dalam mengatur sebuah irama gerakan. – Disini kemampuan Suharto sebagai pemain yang muncul tiba-tiba, menjadi amat menarik bila diperhatikan dari sisi mengatur irama tensi psikologis masing-masing kekuatan, dan sebenarnya bila ditilik dari sisi kemenangan Politik maka Suharto sejak awal sudah dipastikan jadi pemenang karena Suharto memegang beberapa kunci informasi yang penting kemudian informasi itu disirkulasi untuk menekan banyak pihak dan menggebuk banyak pihak sampai pada puncaknya kenaifan Sukarno memberikan Surat 11 Maret 1966 sebagai sebuah mandat keamanan yang kemudian dipelintir oleh klik Suharto sebagai Surat pelimpahan kekuasaan, walaupun Sukarno sampai suara serak meminta jangan dipelintir SP 11 Maret 1966 dari hanya : “Tugas Peng-amanan” menjadi “Transfer Kekuasaan” maka bisa dikatakan puncak dari Peristiwa 1965, bukanlah pada Penculikan itu sendiri tapi dilihat sampai pada titik SP 11 Maret 1966.

Ribuan buku sudah mengulas tentang Peristiwa September 1965, mungkin buku-buku ternama seperti karangan Ben Anderson, Antonie CA Dake, Wertheim, John O Sutter, Victor M Fic, Coen Hoetzappel, Peter Dale Scott, Ruth McVey, John Roosa sampai pada Buku Putih keluaran Orde Baru, semuanya berdiri di atas multisisi dalam melihat Gestapu 1965. Namun akan menjadi menarik bila kemudian kita memperhatikan dari satu skup kecil saja, yaitu : Arus Informasi, Sirkulasi Informasi dan Pola Psikologis selama hari-hari Gestapu 1965 yang menentukan pembentukan sejarah secara umum.

Arus Informasi
Di titik ini banyak simpang siur informasi, masing-masing kekuatan politik di sekitaran Sukarno sedang memperebutkan wilayah kekuasaan politik yang bertumpu pada dua hal : Pergerakan Rakyat dan Politik Penyerbuan Militer ke Malaysia. Di titik pertama PKI menjadi motor atas penguasaan wilayah-wilayah politik pergerakan rakyat, sampai pada blunder terbesar DN Aidit yaitu melakukan politik land reform sebagai tindakan head to head yang menghajar ekonomi tentara utamanya Angkatan Darat yang pada tahun 1957 mendapatkan keuntungan besar dengan menguasai banyak perkebunan-perkebunan besar yang ditinggalkan perusahaan Belanda akibat politik repatriasi atau pengusiran warga Belanda karena sikap keras kepala Luns yang menolak melepaskan Irian Barat sesuai dengan janji KMB 1949. Dan kedua, adalah intrik di internal Angkatan Bersenjata dimana kekuatan AURI sedang naik daun karena pendekatan Marsekal Omar Dhani kepada Bung Karno yang intensif sementara di tubuh Angkatan Darat sendiri sudah mulai terjadi benih rivalitas antara Nasution dan Yani, juga ada sekelompok perwira yang berdiri di luar sistem atas rivalitas elite AD di lingkaran dalam Sukarno, disisi ini Suharto berdiri sebagai ‘perwira tinggi yang tidak diperhitungkan’.

Sementara di tempat lain Subandrio terus memproduksi data-data soal berapa banyak pihak yang menentang politik perang dengan Malaysia dan disisi lain pula pihak Angkatan Darat juga memproduksi data-data serta kemungkinan yang terjadi lewat intelijennya, disini peranan S Parman amat dominan, isu Dewan Djenderal sendiri muncul dari kantor S Parman berdasarkan rekaman yang banyak beredar di banyak kalangan. Sukarno mendapatkan banyak hal tapi seperti biasanya, Sukarno selalu melihat bentuk konfliknya sehingga ia tahu harus berdiri di posisi mana, disini menurut banyak pihak sudah banyak yang mengeluarkan isu bahwa PKI akan memberontak, tapi selalu ditepis, termasuk pengakuan eks Ajudan Bung Karno, Brigdjen Sugandhi yang melaporkan soal PKI ini namun Sugandhi diusir keluar oleh Bung Karno, hal ini diungkapkan oleh Antonie CA Dake dalam Sukarno File, namun oleh Mangil hal ini kemudian dibantah.

Suharto orang yang diuntungkan di segala lini keadaan, mulai dari Informasi Pra Gerakan sampai pada Kemampuannya mengendalikan Pasukan dan Informasi ke Tengah masyarakat (Sumber foto : Antara)

Informasi adalah sebuah data yang akan sangat tepat bila didapat dengan amat tepat pula dan boleh dikatakan hanya Suharto-lah yang memegang kendali atas data gerakan, kekuatan politik, sirkulasi penyebaran informasi dan kendali pasukan yang berpihak pada dirinya dan siap berhadapan dengan siapapun yang menentang atas penafsiran-penafsiran politiknya tentang Gerakan Untung 1965 termasuk berhadapan dengan Presiden Sukarno.

Kolonel Latif dan Eksepsi 10 Mei 1978 :
Sampai pada tahun 1978, peristiwa 1965 menjadi amat gelap, fokus para elite politik saat itu bukanlah pada “Peristiwa Gerakan yang terjadi antara 30 September 1965-1 Oktober 1965” tapi pada penghimpunan kekuatan-kekuatan dalam pendongkelan Bung Karno dan Pembubaran PKI sebagai pematahan kaki politik Bung Karno ke arah massa rakyat. Barulah pada tahun 1978 muncul sidang atas Kolonel Latief yang secara mengejutkan membuka tabir tahap pertama informasi dan menjadi perbincangan hangat di koran-koran pada tahun 1978 yang sedikit banyak juga mempengaruhi gerakan politik mahasiswa di tahun 1978 dimana saat itu Orde Baru sedang kuat-kuatnya.

Dua informasi penting Latief adalah pertemuan dengan Suharto di rumahnya dan pertemuan Suharto di Rumah Sakit pada malam sebelum penjemputan para Jenderal. Pertemuan pertama tidak pernah dibahas banyak sejarawan, tapi pertemuan kedua adalah pertemuan yang paling terkenal dan banyak dijadikan acuan para Sejarawan bahwa Suharto memegang informasi penting atas gerakan, namun Suharto menahan diri, hal ini harus diperjelas lagi, apakah kualitas informasi yang diterima Suharto sama dengan informasi yang ada di tangan DN Aidit, Sukarno, Subandrio, Yani, S Parman dan kelompok SUAD ataukan sudah spesifik? Banyak pihak belum menjawab itu.

Namun eksepsi Latief di tahun 1978 memperjelas bahwa Suharto sendiri yang muncul tiba-tiba di jam 6.00 pagi dan sudah menentukan posisinya untuk secara langsung berhadapan pada Sukarno dengan menolak perintah untuk menghadapkan Jenderal-Jenderal Angkatan Darat yang memiliki kendali pasukan sudah menjadi indikasi bahwa Suharto memiliki kekuatan tersembunyi dalam memenangkan keadaan.

Perebutan RRI dan Penerbitan Koran



Harian Rakjat Secara Mengejutkan Terbit Pada 2 Oktober 1965, Sebagai Satu-Satunya Koran Yang Mendukung Gerakan Untung 1965 (Sumber Foto : Arsip Perpustakaan Nasional)
Gerakan Untung 1965 adalah “Gerakan Paling Konyol” dan seolah-olah dirancang untuk gagal, bagaimana bisa Gerakan Militer sekaligus berimplikasi pada Gerakan Politik tidak memiliki Plan A, Plan B dan pemahaman yang luas atas rencana gerakan?. Bagaimana bisa Gerakan yang mampu melempar Jenderal-Jenderal ke atas truk tidak memiliki jalur logistik, pasukan bantuan tempur cadangan dan jaringan informasi ke tingkat elite. –Sepenuhnya setelah jam 5 pagi tanggal 1 Oktober 1965, Gerakan Untung adalah sebuah spekulasi.

Perebutan RRI dalam Gerakan Untung 1965, sesungguhnya melawan ke dua hal : Di sisi lain penekanan pada barisan Jenderal di tubuh Angkatan Darat dan di sisi lain menekan Bung Karno yang ditinggalkan dalam list Dewan Revolusi yang dirilis secara sepihak oleh Overste Untung. “Kudeta Untung pada Angkatan Darat” adalah menurunkan pangkat para Jenderal menjadi dibawah pangkat Letnan Kolonel disini Untung akan mengendalikan Angkatan Darat, sementara di pihak lain Sukarno masih saja terus menjadikan Nasution sebagai pihak yang dicurigai dan tidak langsung bertindak dalam penguasaan keadaan, hal ini berlangsung sampai pada jam 12.00 siang 1 Oktober 1965.

Suharto yang sudah bertindak tepat dan taktis memanggil kesatuan yang dilaporkan oleh Letkol Sadjiman yang disuruh Mayjen Umar Wirahadikusumah tentang data pasukan yang tidak dikenal berada di Monas. Suharto mengatakan pada pihak Umar Wirahadikusumah sebagai Pangdam V Jaya saat itu untuk tenang dan membiarkan dirinya mengendalikan situasi serta take over Pimpinan Angkatan Darat selama Ahmad Yani menghilang.


Selain mengontrol Informasi di RRI dan Koran-Koran, Suharto Berhasil Mengontrol keluar masuknya Pasukan dari Luar Kota Djakarta ke Djakarta, di Djakarta Suharto berkuasa penuh dan seakan-akan menjadikan Sukarno sebagai tawanan kota sejak 1 Oktober 1965 (Sumber Photo : Antara)

Di titik ini Suharto sudah mengetahui bahwa Letkol Untung menggunakan “pasukan yang tak dikenal” itu untuk proyek-nya dalam pemanggilan paksa para Jenderal, Suharto berada pada pengendalian terdepan dengan menyuruh para wakil komandan batalion take over kekuasaan dari Komandan batalyon masing-masing pasukan yaitu : Banteng Raiders 434/Diponegoro dan Banteng Raiders 530/Brawijaya. Sementara pasukan Untung semakin tidak jelas, setelah pengumuman berita RRI jam 6 pagi, tidak ada kejelasan dari pihak Untung untuk melakukan tindakan-tindakan politiknya. Pasukan Untung menyebar di jalan-jalan dan bahkan ditemukan kelaparan di jalan by pass. Disini kemudian Suharto tidak lagi menjadikan pasukan Untung sebagai musuh yang diperhitungkan.

Suharto melihat dan mungkin di titik ini belum mengetahui informasi posisi Presiden Sukarno berdiri di pihak mana, hanya saja posisi tinggal Sukarno antara jam 9.00 pagi sampai jam 19.00 malam adalah di Halim Perdanakusumah, Sukarno tinggal, berdiskusi, memanggil anak buahnya, serta memerintahkan berada di rumah Komodor Susanto. Disini Suharto menolak pemanggilan Sukarno sekaligus secara implisit menganggap markas Halim baik langsung atau langsung mengetahui Gerakan Untung 1965 yang sudah resmi oleh Suharto dijadikan musuhnya ketika Suharto berkata setelah mendengar pidato Untung di RRI pada pukul 7.00 pagi : “Untung adalah PKI dan anak didik Alimin”. Di sini secara sepihak Suharto sudah menafsirkan siapa musuhnya, dia berdiri dari ruang abstrak, asimetris informasi menjadi ruang yang penuh kejelasan dan menggiring opini serta mematerialkan siapa musuhnya yaitu : PKI, disini sekaligus melebur bahwa gerakan itu tidak semata-mata dilakukan oleh internal Angkatan Darat tapi sebuah gerakan meluas yang melibatkan kepentingan sipil. Kondisi menjadi jelas di pihak Suharto, tapi bukan pihak Sukarno.

Sukarno di Posisi yang Membingungkan Dan Cenderung Selama Jam-Jam Pertama Tidak Mengerti Keadaan (Sumber Photo : Antara)

Memang di buku Antonie CA Dake, dikatakan setidak-tidaknya Sukarno-lah yang mengetahui seluruh sirkulasi gerakan, sementara Victor M Fic, menjadikan Sukarno sebagai seorang tua yang mengharapkan pensiun dan Suharto sebagai penyelamat keadaan, tapi banyak sisi lain juga yang menjadikan “Sukarno memang tidak tau apa-apa atas rencana gerakan dan akibat dari gerakan” yang jelas dari seluruh situasi adalah “Kecurigaan berlebihan Sukarno pada Nasution, selama masa ‘hilangnya’ Yani, Sukarno sama sekali tidak menyebut-nyebut Nasution sebagai pengganti posisi Yani dan memegang kendali Angkatan Darat, padahal Nasution adalah satu-satunya perwira tertinggi di Angkatan Darat. Tapi di depan RE Martadinata, Leimena, dan beberapa ajudannya, Sukarno mengajukan nama-nama seperti : Sukendro yang ditolaknya menggantikan Yani karena pemarah, Suharto yang ditolaknya karena terlalu ‘koppig’ atau keras kepala, lalu muncul nama Pranoto Reksosamudro, yang eks rivaal Suharto semasa di Diponegoro. Ditolaknya Suharto sebagai Menpangad adalah sebuah keputusan pertama untuk mengetest kekuatan de facto Suharto sebagai penguasa politik Indonesia pasca di jam-jam pertama penculikan Yani.

Suharto yang bertindak amat cepat bergerak taktis sekali, langkah pertamanya adalah mengatur arus informasi. Pada jam 18.00 Pasukan Suharto sudah menguasai RRI, penguasaan RRI adalah legitimasi terbesar kemenangan Suharto, Suharto sendiri mengumumkan berita bahwa kendali Angkatan Darat ada pada dirinya jam 21.00 wib, hampir semua orang Indonesia mendengar, barulah surat Presiden Sukarno yang dibawa RE Martadinata bahwa kendali Angkatan Darat dipegang oleh Pranoto Reksosamudro diumumkan jam 00.15 wib, ini artinya tengah malam berita itu diumumkan, dan juga mendahului keputusan Suharto, banyak pihak kemudian terpecah menjadi dua dalam pertaruhan politik itu yaitu : “Siapa pengendali keadaan sesungguhnya, Sukarno atau Suharto?” disini Suharto jelas naik kekuatan politiknya karena secara cepat kedudukannya menjadi setara dengan Sukarno.

Setelah keadaan yang membingungkan termasuk tiadanya pegangan kepastian dari banyak agen-agen intelijen yang mengamati keadaan seperti dari CIA siapa pemegang kekuasaan sesungguhnya, taruhan politik diperjelas lagi dengan kemenangan Suharto yaitu ‘seluruh surat kabar dikuasai Suharto via terusan komanda ke Pangdam V Jaya/Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah, disini Suharto mampu mengatur arus sirkulasi informasi. Seluruh surat kabar dilarang terbit pada 2 Oktober 1965, anehnya yang terbit hanya Harian Rakyat surat kabar diluar kendali Angkatan Darat dan surat kabar Angkatan Darat “Berita Yudha” dan “Harian Angkatan Bersendjata”. Dalam tajuk rencananya Harian Rakyat, koran yang berafiliasi dengan PKI menyatakan bahwa Gerakan Untung 1965 merupakan gerakan internal Angkatan Darat tapi harus didukung. Sementara dua koran Angkatan Darat “mengutuk Gestapu 1965”. Disini Suharto sudah menjadikan dirinya perumus keadaan paling jelas, PKI menjadi pihak paling bersalah atas Gerakan Untung 1965 sementara Angkatan Darat adalah pihak yang harus melawan aksi PKI, tidak ada ruang abu-abu disini, tidak ada ruang pertanyaan, untuk itu koran lain diluar Harian Rakyat dan milik Angkatan Bersendjata dilarang terbit termasuk koran Kompas yang netral. –Suharto tidak menghendaki wilayah abu-abu disini-.

Analisa Psikologis Tokoh Penting Politik di Seputaran September 1965 Terhadap Informasi dan Keadaan,
Sukarno :
Berposisi kerap mengubah-ubah keadaan, hal ini menunjukkan dia tidak mengetahui secara persis situasi, kerap memberikan keputusan pada anak buahnya termasuk kemana dia akan tinggal setelah penculikan Untung. – Terlalu menjadikan Nasution sebagai paranoid politiknya yang utama. Baru bertindak rasional setelah 30 hari peristiwa setelah memerintahkan salah seorang menterinya Oei Tjoe Tat untuk menganalisa keadaan, sampai saat ini analisa Sukarno tentang Gestapu 1965 yaitu : Keblingernya Pemimpin PKI, Aksi Subversif Nekolim dan Adanya oknum-oknum yang Memanfaatkan keadaan, adalah analisa paling luas dan menyeluruh, analisa Sukarno ini adalah : “Ibu dari segala Ibu analisa tentang Gerakan September 1965.

Suharto :
Paling banyak memiliki informasi, bersikap amat tenang, melakukan tindakan-tindakan politik yang amat tepat, memperpanjang situasi untuk melihat lawan politiknya. Tidak berubah-ubah sikap tanda ia mengetahui arah keadaan dan mengerti benar kekuatan dirinya serta mengatur irama kecepatan keadaan. Suharto dengan cepat membentuk jaringan politiknya di kalangan elite Jenderal yang memegang kendali pasukan, di lingkaran dalam ia punya Ali Moertopo dan Yoga Sugama yang secara efektif mengoperasikan gabungan kekuatan intelijen dan penguasaan pasukan. Di lingkaran luar ia mengendalikan Jenderal-Jenderal yang sejak awal tidak begitu menyukai Sukarno seperti Brigjen Kemal Idris dan Brigjen HR Dharsono yang kebanyakan berasal dari Siliwangi dan di pihak lain Suharto juga mengendalikan Jenderal yang dekat dengan kelompok Sukarno tapi mendukung dirinya seperti Brigadir Jenderal Soemitro.

AH Nasution :
Pasca Gerakan Untung 1965 memiliki kehancuran psikologis luar biasa karena anaknya ditembak mati, tidak mau berhadapan head to head dengan Bung Karno, tidak segera mengambil kendali pasukan, terlalu gamang dalam melihat keadaan namun secara tepat memilih di tempat yang aman. Ia mengungsi ke kamar kerja Suharto, dan ketinggalan waktu 24 jam oleh Suharto, waktu yang tidak bisa sempat ia raih kembali kemudian malah mengantarkan dirinya menjadi orang paling sengsara selama Orde Baru karena dikucilkan dan dijadikan musuh politik terbesar Suharto mulai dari Fosko TNI sampai pada Petisi 50. AH Nasution adalah pariah politik terbesar selama Orde Baru.

DN Aidit :
Posisi terpentingnya adalah pra Gestapu 1965, banyak mengeluarkan isu, namun pada jam-jam menjelang Gerakan Untung 1965 dikabarkan menghilang, menurut laporan TEMPO pada tahun 2006, dia dijemput oleh Pasukan Bersenjata. Namun dirinya kemudian ditemukan di Yogyakarta lalu diambil paksa oleh Pasukan Yasir Hadibroto. Dia sama sekali tidak melakukan apa-apa pasca gerakan untung kecuali rumor tentang suratnya kepada anggota PKI lainnya dengan menyebut Sukarno sebagai ‘Sosro’ dan Subandrio sebagai ‘Tjeweng’ dimana ia mengeluh tak ada gerakan apa-apa dari Sosro dan Tjeweng. Disini DN Aidit menjadi amat pasif dan lemah.

Letkol Untung
Bertindak gegabah, emosional, tidak rasional dan separuh tidak bertanggung jawab pada pasukannya, ia sendiri dikabarkan lari dan tertangkap di Pekalongan. Apa yang terjadi pada diri Letkol Untung sampai ia nekat mengambil paksa para Jenderal adalah misteri terbesar.

Sjam Kamaruzzaman :
Informan yang berdiri di banyak pihak dan menjadi banyak misteri dalam segala hal di seputaran Gestapu 1965. Pertanyaan terbesar dalam kasus Gestapu 1965 dan peranan Sjam disini adalah “Siapakah yang memerintahkan menembak mati para Djenderal pada saat penjemputan paksa”.

Sjam ini punya posisi unik, dia mengenal Suharto semasa di Pathook pada diskusi-diskusi politik pada tahun 1945, berkenalan dengan bapak mertua DN Aidit, Komisaris Polisi Moedigdo yang tewas pada 1948. Dan banyak kenal dengan seluruh pentolan-pentolan tinggi Partai. Menurut AM Hanafi, Sjam ini adalah seorang Polisi dan pernah dibawa DN Aidit ke rumah AM Hanafi tapi diusir oleh AM Hanafi.

Semoga sejarah Gestapu 1965 bisa dikembangkan lebih lanjut detil dan menguraikan kepada banyak cerita agar ke depan generasi muda Indonesia tidak lagi mengalami masa kelam dan menyedihkan dalam kehidupan sebagai bangsa dan sebagai negara. Sekali lagi, sejarah adalah sebuah penalaran atas penafsiran.

Kekecewaan Seorang Jepang


PADA 15 Februari 1958, Presiden Sukarno menyerahkan sebuah teks kepada Shigetada Nishijima untuk disimpan di biara Buddha Shei Shoji di Minatoku, Tokyo. Teks itu berisi kenangan Sukarno kepada dua orang Jepang yang membantu perjuangan Indonesia: Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro.
 
Di biara Buddha itu kemudian dibuat monumen Sukarno (Soekarno hi) bertuliskan: “Kepada sdr. Ichiki Tatsuo dan sdr. Yoshizumi Tomegoro. Kemerdekaan bukanlah milik suatu bangsa saja, tetapi milik semua manusia. Tokyo, 15 Februari 1958. Soekarno.” 
 
Ichiki Tatsuo lahir di kota kecil Taraki, prefektur Kumamoto, bagian selatan Kyushu. Dia anak ketiga dari enam bersaudara. Ketika kecil, orangtuanya bercerai, dia ikut ibunya. Ichiki dibesarkan saat Jepang berada pada masa transisi. Kebebasan dan demokrasi selama zaman Taisho (1912-1926) mulai tergerus oleh tekanan militer pada masa Showa (1926-1989). Banyak pemuda desa seperti juga Ichiki bercita-cita mencari kehidupan baru di Amerika Selatan atau Samudra Pasifik bagian selatan, yaitu Asia Tenggara.
 
Kesempatan itu pun datang. Datang surat dari teman sekampung, Tsuruoka Kazuo, yang sukses mendirikan toko kelontong –dikenal dengan sebutan toko Jepang– di kota Pagar Alam, dekat Palembang, Sumatra Selatan. Isinya: mengundang Ichiki untuk datang dan bekerja di studio foto Miyahata di Palembang. Saat itu Ichiki berusia 21 tahun. Dia meninggalkan bangku sekolah menengah sebelum lulus dan magang di sebuah studio foto, dekat kampungnya. Pada 22 Januari 1928, Ichiki pun berangkat.
 
“Dia bermimpi menjalankan studio foto terbesar di Samudra Pasifik bagian selatan,” tulis Goto dalam “Life and Death of Abdul Rachman (1906-49): One Aspect of Japanese-Indonesian Relationships,” Indonesia, Vol 22, 1976.
 
Pada 1933, Ichiki datang ke Bandung karena saudara mudanya, Naohiro yang menyusulnya pada akhir 1929, meninggal dunia. Ichiki tak kembali ke Palembang tapi tetap di Bandung dan bekerja di studio foto. Merasa tak nyaman, dia jadi kondektur bus. Tak cocok, dia meninggalkan pekerjaan ini dan tinggal di rumah Iti, perempuan dari keluarga miskin di sebuah kampung di Sumedang. Dia menemukan kedamaian, bahkan merasa hampir sepenuhnya sebagai orang Indonesia. “Ini adalah kelahiran baru Ichiki Tatsuo,” tulis Kenichi.
 
Dalam kehidupan keras di kampung ini, Ichiki memupuk pengetahuan bahasa Indonesia sampai dia menyusun kamus Indonesia-Jepang. Ichiki tetap mengikuti perkembangan politik di Jepang. Untuk itu, dia sering pergi ke Klub Jepang di Bandung. Dia juga melahap koran dan majalah JepangTerkadang dia menerjemahkan artikel bertopik semangat Jepang Bushido lalu menjualnya koran-koran lokal.
 
Machida Taisaku, pemimpin senior Klub Jepang di Bandung, merekomendasikan Ichiki ke koran Nichiran Shogyo Shinbun, yang dijalankan Kubo Tatsuji, advokat pendukung Asianisme. Pada Juli 1937, koran ini merger dengan Jawa Nippo dan berubah nama menjadi Toindo Nippo (Harian Hindia Timur) tapi tetap anti-Belanda. Pemerintah Hindia Belanda, yang menganggap Jepang sebagai ancaman, meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan Ichiki dan kawan-kawannya.
 
Pada 1938, untuk mendiskusikan proyek Toindo Nippo lebih kongkret, Ichiki kembali ke Tokyo. Tapi sebelum berangkat ke Indonesia, dia menerima telegram dari Belanda di Batavia yang melarangnya masuk kembali ke Jawa karena kegiatan anti-Belandanya. Ichiki pun bekerja sebagai peneliti paruh waktu di Biro Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri dan di Staf Umum Angkatan Darat.
 
Pada 1940-an, Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda secara bertahap memperkuat embargo ekonominya kepada Jepang. “Hal ini bahkan mengakibatkan semakin pentingnya arti Indonesia bagi Jepang. Pada saat itu, pemimpin-pemimpin Jepang mulai membicarakan secara terang-terangan ‘pembebasan’ Indonesia,” tulisnya Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
 
Pada masa ini, Ichiki berteman dekat dengan Joseph Hassan, pejuang kemerdekaan Indonesia yang secara diam-diam dikirim ke Jepang oleh teman Jepangnya, seperti Machida Taisaku and Sato Nobuhide. “Ichiki dan Hassan akan menghabiskan berjam-jam dengan antusias berbicara tentang hari esok rakyat Indonesia setelah mereka dibebaskan,” tulis Kenichi.
 
Setelah menggulingkan Belanda pada Maret 1942, Jepang disambut dengan suka cita sebagai Saudara Tua. Namun, suasana itu tak berlangsung lama. Jepang segera melarang berbagai aktivitas politik. Ichiki pun kecewa.
 
Pada sesi Imperial Diet (Majelis Perwakilan Tertinggi Jepang) awal 1943, Perdana Menteri Hideki Tojo menyebutkan akan memberikan kemerdekaan bagi Filipina dan Burma di akhir tahun 1943, tapi Indonesia tidak disebut. Sekali lagi, Ichiki frustasi dan lambat-laun membenci negerinya sendiri.
 
 
Bendera PETA
Pada Oktober 1943, Jepang membentuk Pembela Tanah Air (Peta) –kelak menjadi inti dari angkatan bersenjata Indonesia. Ichiki bekerja sebagai petugas paruh waktu di Divisi Pendidikan Peta di Bogor. Dia membangun sebuah rumah terpencil di perkebunan karet dan menyebut dirinya –karena kulitnya agak gelap– “gagak dari Bogor.” Pekerjaannya menerjemahkan manual tentara Jepang seperti Rikugun Hohei Soten(Manual Infantri) dan menjadi editor majalah Heiho, Pradjoerit. Melalui karyanya, dia merasa masih bisa melayani masyarakat Indonesia. Ichiki juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi Asia Raya.
 
Pada 15 Agustus 1945, berita kekalahan Jepang sampai pada Ichiki. Jepang, yang melalui Perdana Menteri Kuniaki Koiso, pengganti Tojo, berjanji memberikan “kemerdekaan Indonesia di kemudian hari” pada 7 September 1944, mengingkari dan mematuhi perintah Sekutu, serta menyatakan tak ada hubungannya lagi dengan masalah kemerdekaan Indonesia. Ichiki merasa Jepang telah mengkhianati rakyat Indonesia dua kali: pada awal dan akhir pendudukan.
 
Di hari Jepang menyerah, Ichiki menyatakan berpisah dengan Jepang. Dia menentang tentara Sekutu dan pendaratan pasukan Belanda, serta bertekad untuk berbagi dengan rakyat Indonesia akan nasib ibu pertiwi barunya, Republik Indonesia, bukan sebagai seorang Jepang Tatsuo Ichiki, tapi sebagai pemuda Abdul Rachman. Nama Abdul Rachman diberikan oleh H. Agus Salim ketika menjadi penasihat Divisi Pendidikan Peta, sebagai bentuk penghargaan kepadanya yang memihak Republik.
 
Pada masa perang kemerdekaan, Abdul Rachman memimpin Pasukan Gerilya Istimewa di Semeru, Jawa Timur, yang disegani Belanda. Pasukan yang dibentuk pada 1948 ini merupakan satuan khusus di bawah militer Indonesia yang beranggotakan sekira 28 orang tentara Jepang yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka disebut zanryu nihon hei atau prajurit yang tinggal di belakang.
 
Pada 9 Januari 1949, desa terpencil Dampit dekat Malang, Jawa Timur, yang merupakan salah satu medan pertempuran paling sengit, menjadi akhir riwayat sang samurai. Abdul Rachman berlari ke depan melawan arus peluru Belanda untuk mendorong pasukan Indonesia, yang mulai ragu melihat kekuatan Belanda, agar menyerang. Alhasil, beberapa peluru Belanda menembus dahinya.
 
 

Secuil Kisah Hidup Suharto


KISAH HIDUP SUHARTO

OLEH: ANTON

Suharto adalah manusia paling kontroversial di Indonesia. Nilai kontroversinya jauh melebihi Sukarno. Bila Bung Karno dikenal dunia karena ulahnya yang begitu mencengangkan dan sering bikin kejutan, maka Suharto lebih pada nilai misteriusnya. Misteri Suharto adalah kekuasaan yang begitu besar, dan itu dibangun dengan cara yang mungkin orang akan juga tercengang yaitu sikap : Diam. Pendiam bagi Suharto bukan hanya watak tapi merupakan latihan menahan diri yang ekstrem. Bahkan Rosihan Anwar yang pernah bersama Suharto di tahun 1949 sebagai wartawan Republikein mengunjungi Panglima Sudirman di persembunyiannya menghadapi sikap aneh dari seorang Overste (letnan kolonel) muda ini dengan sikap diamnya. “Saya bersama Overste Suharto dan seorang juru potret Frans Mendur menemui Jenderal Sudirman di persembunyiannya sekitar pedalaman hutan Wonosobo, saya diantar oleh Overste Suharto namun sepanjang perjalanan satu hari penuh tidak pernah Suharto bicara sedikitpun, baru ketika ia mempersilahkan kami meminum degan (air kelapa muda) baru ia berkata singkat “Silahkan” setelah itu tidak ada kata-kata lagi. Demikian kira-kira kesan Rosihan Anwar yang ia sering ungkap ke publik jauh-jauh hari ketika Orde Baru sudah berkuasa. Diam itu modal, dan itu adalah prinsip Suharto. Dengan filsafat diam ia membangun kekuasaannya dengan begitu perkasa dan tidak pernah terkalahkan oleh kekuatan politik lokal apapun. Namun ironisnya kekuasaan Orde Baru yang begitu besar justru jatuh karena paradoks-paradoks masyarakat yang dibangunnya. Begitu juga dengan kekejamannya, korupsi bahkan lebih jauh lagi merubah secara fundamental haluan bangsa ini yang diarahkan oleh founding fathers sebagai negara kesejahteraan bersama menjadi negara milik kaum kroni, mungkin sampai detik ini.

Suharto lahir juga dari sebuah sikap aneh seorang ibu. Sukirah, adalah nama Ibu Suharto. Dalam otobiografinya ‘Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya’ yang disusun G Dwipayana, Sukirah digambarkan oleh Suharto sebagai ibu muda yang sedang sulit memikirkan masalah-masalah rumah tangga. Namun banyak catatan di buku-buku sejarah Suharto lain yang banyak menyebutkan Sukirah sedang mengalami problem mental yang sangat sulit. Apa problem mental itu tidak pernah ada penjelasan yang gamblang sampai saat ini. Hanya saja proses kelahiran Suharto merupakan yang berat bagi Sukirah, sebelum Suharto (yang lahir 8 Juni 1921) berumur 40 hari, Sukirah harus menghadapi talak cerai suaminya Kertosudiro. Seorang mantri ulu-ulu (pengatur irigasi) miskin yang kelak sebagai ayah Suharto tidak memainkan peran banyak dalam kehidupan Suharto bahkan banyak pengamat Suharto seperti RE Elson. Suharto tidak pernah menunjukkan rasa hormat yang layak kepada Kertosudiro sebagai ayah kandung. Lalu apakah Kertosudiro itu ayah kandung Suharto? Inilah misteri terbesar dari Suharto yang kerap banyak disebut sebagai anak lembu petheng (anak hasil dari hubungan gelap) dan meyakini bahwa Kertosudiro bukanlah ayah kandung Suharto. Banyak catatan beredar mengenai hal ini, bahkan pelontarnya tidak tanggung-tanggung seperti : Mantan Menteri Penerangan yang dekat dengan Suharto, Mashuri. Mashuri sendiri pernah membuat pernyataan yang menghebohkan bahwa Suharto adalah anak seorang pedagang keliling Cina yang cukup kaya raya. Namun ada juga yang berpendapat bahwa ayah kandung Suharto adalah kerabat Keraton Yogyakarta. Pada tahun 1974 pernah muncul pemberitaan yang menghebohkan dari majalah gossip bernama ‘POP’ sebuah liputan yang menurunkan kisah lama yang beredar bahwa Suharto adalah anak dari Padmodipuro, seorang bangsawan dari trah Hamengkubowono II. Suharto kecil yang umur 6 tahun dibuang ke desa dan disuruh diasuh oleh Kertosudiro. Hal ini kemudian dibantah keras oleh Suharto. Dengan separuh murka Suharto mengadakan konferensi pers di Bina Graha bahwa liputan mengenai asal-usulnya dirinya yang anak bangsawan bisa saja merupakan tunggangan untuk melakukan subversif. Suharto dengan caranya sendiri ingin mengesankan bahwa dia adalah anak desa. Mitos Suharto sebagai anak desa ini digunakan untuk mengaitkan dirinya dengan mayoritas bangsa Indonesia yang di tahun 70-an adalah petani dan menghindarkan kesan bahwa Junta Militer yang dipimpinnya adalah gerakan elite.

Konsep anak haram banyak disebut oleh para biografer Suharto untuk menjelaskan asal-usuk Suharto. Ketidakjelasan asal-usul Suharto secara genealogi sampai sekarang masih belum terpecahkan. Namun dari semua itu Bayi Suharto berada di dunia dengan kondisi keluarga yang kurang menguntungkan. Sukirah yang stress dan senang bertapa serta ayahnya yang datang dan pergi jelas tidak menguntungkan bagi Suharto. Sukirah pernah ditemukan hampir mati disuatu tempat karena memaksa dirinya berpuasa ngebleng (tidak makan dan minum selama 40 hari) di suatu tempat yang tersembunyi dan hilangnya Sukirah sempat pernah membuat panik penduduk desa kemusuk, sehingga para penduduk mencarinya. Sadar dengan kondisi Sukirah yang kurang baik, keluarga Sukirah akhirnya memutuskan untuk menyerahkan pengurusan bayi Suharto kepada kakak perempuan Kertosudiro, isteri dari Kromodiryo. Putra Kromodiryo Amat Idris sangat menyayangi Suharto kecil tiap sore bayi kecil Suharto dibopong-bopong sambil mengitari persawahan. Setelah Suharto bisa jalan ia kerap diajak oleh Kromodiryo ke sawah. Dalam otobiografinya Suharto masih ingat ketika ia berumur empat tahun melihat kaki Kromodiryo terluka karena sabitnya terlepas dari gagang saat sedang bekerja di sawah. Dalam psikologi anak umur antara tiga tahun sampai lima tahun adalah masa golden time, Alam psikologi Suharto tentunya sangat dipengaruhi masa-masa ini. Ibunya yang berat pikiran namun melakukan tapa berat untuk menjawab kesulitan hidupnya jelas akan menurun pada waktu Suharto yang kelak dikemudian hari sangat senang melakukan puasa dan melatih diri untuk menahan apapun atau berlatih menyembunyikan ekspresi emosi-emosinya. Latihan-latihan ini kelak sangat berguna sebagai senjata paling ampuh dalam menghadapi situasi paling sulit sekalipun. Namun keterpecahan keluarga, rasa terbuang oleh keluarga dan tidak diperhatikan akan membangkitkan sikap ingin melindungi keluarganya secara berlebihan inilah yang ketika dimasa Orde Baru nanti sikap yang paling banyak dibenci oleh setiap orang ketika melihat sosok Suharto.

Suharto tidak seperti anak desa lainnya yang harus bekerja di sawah. Dalam usia yang sangat muda ia disekolahkan oleh ayahnya. Inilah yang banyak mengundang pertanyaan para ahli sejarah bahwa Suharto bukan sekedar anak petani desa yang miskin, tapi dia anak haram dari orang kaya yang memperhatikan dirinya dan menyerahkan pada Kertosudiro untuk mengurusnya. Suharto bukanlah murid yang cerdas dan tidak ada berita-berita mengenai masa Suharto di Sekolah Rakyat (setingkat SD). Ini berbeda misalnya dengan cerita Sukarno sewaktu dia masih di SD yang banyak berkisah tentang masa sekolahnya dan apa yang dibacanya, begitu juga dengan Hatta dan Sjahrir. Kesan Suharto di masa SD itu hanya pada ingatannya tentang kerbau-kerbau yang dengan bangga dimilikinya. Dunia Suharto hanya berkutat pada penggembalaan kerbau jauh dari cerita-cerita anak yang didapat dari buku-buku yang kerap dibaca anak-anak SD dari keluarga terdidik seperti Sjahrir yang sejak kecil sudah akrab dengan Karl May atau cerita dari novel-novel Charles Dickens. Setelah ikut dengan kakeknya Atmodiwiryo, Harto kecil tiap usai sekolah menggembalakan kerbau disawahnya, ia senang sekali membawa kerbaunya meniti pematang sawah dan memandikannya. Suatu saat kerbau yang digembalakannya terperosok ke parit dekat pematang sawah dan Suharto tidak bisa mengeluarkan kerbau itu ia lalu menangis keras-keras. Orang-orang berdatangan dan menolong kerbau milik Harto kecil ini. Kenangan tentang kerbau yang terperosok ini diuraikan dalam biografi resminya. Suharto jarang berkelahi dia anak pendiam dan tidak usil atau arogan seperti Sukarno kecil . Namun entah kenapa dia pernah sekali berkelahi dengan temannya sampai berdarah-darah, menurut Suharto karena temannya itu mengatainya ‘Den Bagus Tahi Mabul’ Suharto mengenang anak kecil itu mrongos (tonggos) dan agak pincang, sebuah penggambaran teatrikal orang jahat di benak Suharto. Julukan Den Bagus Tahi Mabul (Den Bagus Tahi Kering) ini sedikit banyak mengungkapkan bahwa setidak-tidaknya penduduk desa tahu bahwa Suharto bukanlah anak jelata, tapi kemungkinan anak keraton yang dipisah dari lingkungannya.

Ditengah masalah keluarga yang menderanya, Suharto terus melakukan kegiatan sekolahnya. Ia sama sekali tidak mendapat perhatian kasih sayang orang tua yang layak. Sepanjang umurnya dihabiskan ngenger kesana kemari. Bahkan setiap tahun ia selalu menyaksikan keluarganya selalu bertengkar karena Suharto kerap menjadi rebutan. Tentu sedikit banyak hal ini mempengaruhi jiwa Suharto kecil. Kebimbangan akan status dirinya diimbangi dengan masa bermain yang mungkin juga berpengaruh terhadap pribadi Suharto. Ada satu hal yang menarik bila diperhatikan dari Suharto muda, yaitu : boleh dikatakan Suharto adalah kawan yang menyenangkan bila ia bermain sesuatu, ia tidak pernah menceritakan masa bermainnya sebagai masa pembentukan watak, tapi menyiratkan pada kita bahwa ia adalah seorang yang pendiam tapi bisa bergabung dengan komunitasnya serta disenangi. Ini berbeda misalnya dengan Bung Karno muda yang dipenuhi kisah keberanian, merasa unggul dan pengalaman yang lucu-lucu seperti keberaniannya masuk ke dalam lapangan Sepak Bola kemudian dia dikeroyok sinyo-sinyo Belanda. Suharto hanya anak kampung biasa yang gemar bermain bola, sebelum bermain bola kawan-kawan Suharto datang mencari Suharto, dan Suharto sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya kawan-kawannya membantu pekerjaan itu seperti menimba air. Ada hal yang menarik juga masa muda Soeharto tidak pernah ia bekerja di sawah. Suharto sering digambarkan menggembalakan kerbau, tapi tidak pernah diceritakan ia memacul sawah dan bekerja sebagai petani. Apakah ini berarti memang ia benar-benar anak Keraton yang terasingkan di desa?

Pada tahun 1931 Suharto masuk Schakelschool di Wonogiri, disini ia bersama Sulardi, putra kedua Prawirohardjo menetap di Selogiri pada rumah Sudiarto, kakak tertua Sulardi. Sulardi bisa dikatakan adalah satu-satunya orang yang bersahabat dengan Suharto di masa muda. Di luar nama Sulardi tidak pernah ada nama lain yang disebut Suharto kecuali secara sekilas ada orang kampungnya yang suka bermain bola Kamin dan Warikin. Kelak setelah menjadi Presiden dua orang ini diundang Pak Harto ke Istana. Sulardi ini punya teman sekelas bernama Siti Hartinah, puteri dari bangsawan Mangkunegaran yang ditugaskan di Wonogiri Raden Mas Soemorharjomo. Melalui Sulardi-lah Suharto banyak tahu tentang Siti Hartinah ini, namun Suharto agaknya di awal-awal tidak ambil peduli, ia lebih banyak pusing memikirkan masalah keluarganya. Tak lama Suharto tinggal di Selogiri, ia balik lagi ke Wonogiri lagi-lagi ayahnya Kertosudiro datang menyusul Suharto dan membawa Harto muda ke rumah keluarga Hardjowijono yang juga merupakan kerabat ayahnya. Di rumah Hardjowijono ini banyak diberitakan Suharto diperlakukan layaknya seperti kacung. Namun ketabahan hati Suharto menerima semua pekerjaan yang diberikan padanya membentuk jiwa yang patuh. Dalam jiwa anak muda ada dua pilihan bila ia menghadapi situasi tidak menyenangkan. Ia memberontak dengan melawan semua aturan yang dianggapnya tidak nyaman atau ia akan mematuhi secara total apa yang diperintahkan kepadanya, sehingga kepatuhan itu sendiri akan menutupi ketidaknyamanan dirinya. Rupanya Harto memilih yang kedua, ia bersedia untuk menjadi orang patuh. Kepatuhannya ini kelak yang kemudian membawa dia pada kecocokan dalam bidang militer.

Terkait Berita: