Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label RRI. Show all posts
Showing posts with label RRI. Show all posts

Perang Informasi Pada 30 September 1965

Polemik Pembentukan Kolone ke V atau Angkatan Ke V, serta Konflik dengan Malaysia sering disebut-sebut sebagai Titik Nol Peristiwa September 1965. Gambar atas : Sukarelawan Dwikora (Sumber Foto : LIFE)

Sampai detik ini peristiwa Gestapu 1965 merupakan peristiwa politik paling rumit sedunia, sebab musababnya tidak pernah dibuka secara utuh walaupun sudah hampir 50 tahun berselang, tidak satupun data-data CIA mau dideklasifikasikan atau dibuka apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa itu.
Peristiwa Gestapu 1965, sebenarnya merupakan Gerakan Penjemputan paksa yang dilakukan oleh sejumlah perwira menengah (satu perwira tinggi, Brigdjen Soepardjo yang secara aneh menjadi wakil seorang Overste, bernama Untung) kepada tujuh perwira tinggi yang kemudian malah membuat berantakan seluruh lini gerakan, bukan itu saja histeria atas penjemputan paksa serta pembunuhan ini malah menghadirkan histeria luar biasa terhadap sejarah bangsa ini, pada peristiwa inilah hampir seluruh keluarga-keluarga di Indonesia terpecah, saling mencurigai, seluruh situasi diliputi ketegangan tinggi, pembantaian di mana-mana. Di masa ini bercampur baur antara : Ketakutan, Minimnya Informasi (Asimetris Informasi), Saling Intrik, Perebutan Kekuasaan dan Pembantaian yang diikuti suasana represif.

Lalu apa yang terjadi sebenarnya pada Peristiwa 1965? – Peristiwa September adalah sebuah perluasan dari Gerakan September, pemaknaan ini menjadi luas, bila Gerakan adalah sebuah aksi kecil, terbatas dan mempunyai tujuan jangka pendek, maka “Peristiwa” maknanya menjadi luas : Aksi massif, meluas, dan mempunyai tujuan jangka panjang, Sebuah rangkaian gerakan yang menggebuk semua lini, penghancuran dan pembangunan struktur baru, pemusnahan era lama dan pembangunan era baru, pembantaian kepada kelompok pendukung kekuasaan lama dan pembentukan peradaban baru, masa royan (luka) revolusi ini menjadi amat panjang dirasakan dan merupakan sebuah luka psikologis terbesar bangsa Indonesia bila mengenang sejarah masa lalunya.

Memahami Gerakan September 1965, akan sangat luas bahasannya mulai dari perluasan intrik Pengganyangan Malaysia, Konflik terusan antara AS dengan Indonesia dimana kasus Irian Barat masih jadi kerugian terbesar AS dalam sejarah diplomasi luar negerinya pasca sepeninggalnya JF Kennedy, Serangan politik PKI kepada kelompok pemodal dan kaum kaya dengan pembentukan gerakan land reform, Gertakan Bung Karno kepada Inggris untuk segera cabut dari Malaya dan membentuk sebuah zona berdikari di kawasan Asia Tenggara sampai pada isu Angkatan Ke Lima : Buruh dan Tani dipersenjatai. Rangkaian isu ini jelas membuat simpang siurnya informasi dan semakin mempertajam intrik antara kelompok-kelompok kekuatan di sekitar Presiden Sukarno.

Informasi dan pemegang Informasi adalah kata kunci dalam mengatur sebuah irama gerakan. – Disini kemampuan Suharto sebagai pemain yang muncul tiba-tiba, menjadi amat menarik bila diperhatikan dari sisi mengatur irama tensi psikologis masing-masing kekuatan, dan sebenarnya bila ditilik dari sisi kemenangan Politik maka Suharto sejak awal sudah dipastikan jadi pemenang karena Suharto memegang beberapa kunci informasi yang penting kemudian informasi itu disirkulasi untuk menekan banyak pihak dan menggebuk banyak pihak sampai pada puncaknya kenaifan Sukarno memberikan Surat 11 Maret 1966 sebagai sebuah mandat keamanan yang kemudian dipelintir oleh klik Suharto sebagai Surat pelimpahan kekuasaan, walaupun Sukarno sampai suara serak meminta jangan dipelintir SP 11 Maret 1966 dari hanya : “Tugas Peng-amanan” menjadi “Transfer Kekuasaan” maka bisa dikatakan puncak dari Peristiwa 1965, bukanlah pada Penculikan itu sendiri tapi dilihat sampai pada titik SP 11 Maret 1966.

Ribuan buku sudah mengulas tentang Peristiwa September 1965, mungkin buku-buku ternama seperti karangan Ben Anderson, Antonie CA Dake, Wertheim, John O Sutter, Victor M Fic, Coen Hoetzappel, Peter Dale Scott, Ruth McVey, John Roosa sampai pada Buku Putih keluaran Orde Baru, semuanya berdiri di atas multisisi dalam melihat Gestapu 1965. Namun akan menjadi menarik bila kemudian kita memperhatikan dari satu skup kecil saja, yaitu : Arus Informasi, Sirkulasi Informasi dan Pola Psikologis selama hari-hari Gestapu 1965 yang menentukan pembentukan sejarah secara umum.

Arus Informasi
Di titik ini banyak simpang siur informasi, masing-masing kekuatan politik di sekitaran Sukarno sedang memperebutkan wilayah kekuasaan politik yang bertumpu pada dua hal : Pergerakan Rakyat dan Politik Penyerbuan Militer ke Malaysia. Di titik pertama PKI menjadi motor atas penguasaan wilayah-wilayah politik pergerakan rakyat, sampai pada blunder terbesar DN Aidit yaitu melakukan politik land reform sebagai tindakan head to head yang menghajar ekonomi tentara utamanya Angkatan Darat yang pada tahun 1957 mendapatkan keuntungan besar dengan menguasai banyak perkebunan-perkebunan besar yang ditinggalkan perusahaan Belanda akibat politik repatriasi atau pengusiran warga Belanda karena sikap keras kepala Luns yang menolak melepaskan Irian Barat sesuai dengan janji KMB 1949. Dan kedua, adalah intrik di internal Angkatan Bersenjata dimana kekuatan AURI sedang naik daun karena pendekatan Marsekal Omar Dhani kepada Bung Karno yang intensif sementara di tubuh Angkatan Darat sendiri sudah mulai terjadi benih rivalitas antara Nasution dan Yani, juga ada sekelompok perwira yang berdiri di luar sistem atas rivalitas elite AD di lingkaran dalam Sukarno, disisi ini Suharto berdiri sebagai ‘perwira tinggi yang tidak diperhitungkan’.

Sementara di tempat lain Subandrio terus memproduksi data-data soal berapa banyak pihak yang menentang politik perang dengan Malaysia dan disisi lain pula pihak Angkatan Darat juga memproduksi data-data serta kemungkinan yang terjadi lewat intelijennya, disini peranan S Parman amat dominan, isu Dewan Djenderal sendiri muncul dari kantor S Parman berdasarkan rekaman yang banyak beredar di banyak kalangan. Sukarno mendapatkan banyak hal tapi seperti biasanya, Sukarno selalu melihat bentuk konfliknya sehingga ia tahu harus berdiri di posisi mana, disini menurut banyak pihak sudah banyak yang mengeluarkan isu bahwa PKI akan memberontak, tapi selalu ditepis, termasuk pengakuan eks Ajudan Bung Karno, Brigdjen Sugandhi yang melaporkan soal PKI ini namun Sugandhi diusir keluar oleh Bung Karno, hal ini diungkapkan oleh Antonie CA Dake dalam Sukarno File, namun oleh Mangil hal ini kemudian dibantah.

Suharto orang yang diuntungkan di segala lini keadaan, mulai dari Informasi Pra Gerakan sampai pada Kemampuannya mengendalikan Pasukan dan Informasi ke Tengah masyarakat (Sumber foto : Antara)

Informasi adalah sebuah data yang akan sangat tepat bila didapat dengan amat tepat pula dan boleh dikatakan hanya Suharto-lah yang memegang kendali atas data gerakan, kekuatan politik, sirkulasi penyebaran informasi dan kendali pasukan yang berpihak pada dirinya dan siap berhadapan dengan siapapun yang menentang atas penafsiran-penafsiran politiknya tentang Gerakan Untung 1965 termasuk berhadapan dengan Presiden Sukarno.

Kolonel Latif dan Eksepsi 10 Mei 1978 :
Sampai pada tahun 1978, peristiwa 1965 menjadi amat gelap, fokus para elite politik saat itu bukanlah pada “Peristiwa Gerakan yang terjadi antara 30 September 1965-1 Oktober 1965” tapi pada penghimpunan kekuatan-kekuatan dalam pendongkelan Bung Karno dan Pembubaran PKI sebagai pematahan kaki politik Bung Karno ke arah massa rakyat. Barulah pada tahun 1978 muncul sidang atas Kolonel Latief yang secara mengejutkan membuka tabir tahap pertama informasi dan menjadi perbincangan hangat di koran-koran pada tahun 1978 yang sedikit banyak juga mempengaruhi gerakan politik mahasiswa di tahun 1978 dimana saat itu Orde Baru sedang kuat-kuatnya.

Dua informasi penting Latief adalah pertemuan dengan Suharto di rumahnya dan pertemuan Suharto di Rumah Sakit pada malam sebelum penjemputan para Jenderal. Pertemuan pertama tidak pernah dibahas banyak sejarawan, tapi pertemuan kedua adalah pertemuan yang paling terkenal dan banyak dijadikan acuan para Sejarawan bahwa Suharto memegang informasi penting atas gerakan, namun Suharto menahan diri, hal ini harus diperjelas lagi, apakah kualitas informasi yang diterima Suharto sama dengan informasi yang ada di tangan DN Aidit, Sukarno, Subandrio, Yani, S Parman dan kelompok SUAD ataukan sudah spesifik? Banyak pihak belum menjawab itu.

Namun eksepsi Latief di tahun 1978 memperjelas bahwa Suharto sendiri yang muncul tiba-tiba di jam 6.00 pagi dan sudah menentukan posisinya untuk secara langsung berhadapan pada Sukarno dengan menolak perintah untuk menghadapkan Jenderal-Jenderal Angkatan Darat yang memiliki kendali pasukan sudah menjadi indikasi bahwa Suharto memiliki kekuatan tersembunyi dalam memenangkan keadaan.

Perebutan RRI dan Penerbitan Koran



Harian Rakjat Secara Mengejutkan Terbit Pada 2 Oktober 1965, Sebagai Satu-Satunya Koran Yang Mendukung Gerakan Untung 1965 (Sumber Foto : Arsip Perpustakaan Nasional)
Gerakan Untung 1965 adalah “Gerakan Paling Konyol” dan seolah-olah dirancang untuk gagal, bagaimana bisa Gerakan Militer sekaligus berimplikasi pada Gerakan Politik tidak memiliki Plan A, Plan B dan pemahaman yang luas atas rencana gerakan?. Bagaimana bisa Gerakan yang mampu melempar Jenderal-Jenderal ke atas truk tidak memiliki jalur logistik, pasukan bantuan tempur cadangan dan jaringan informasi ke tingkat elite. –Sepenuhnya setelah jam 5 pagi tanggal 1 Oktober 1965, Gerakan Untung adalah sebuah spekulasi.

Perebutan RRI dalam Gerakan Untung 1965, sesungguhnya melawan ke dua hal : Di sisi lain penekanan pada barisan Jenderal di tubuh Angkatan Darat dan di sisi lain menekan Bung Karno yang ditinggalkan dalam list Dewan Revolusi yang dirilis secara sepihak oleh Overste Untung. “Kudeta Untung pada Angkatan Darat” adalah menurunkan pangkat para Jenderal menjadi dibawah pangkat Letnan Kolonel disini Untung akan mengendalikan Angkatan Darat, sementara di pihak lain Sukarno masih saja terus menjadikan Nasution sebagai pihak yang dicurigai dan tidak langsung bertindak dalam penguasaan keadaan, hal ini berlangsung sampai pada jam 12.00 siang 1 Oktober 1965.

Suharto yang sudah bertindak tepat dan taktis memanggil kesatuan yang dilaporkan oleh Letkol Sadjiman yang disuruh Mayjen Umar Wirahadikusumah tentang data pasukan yang tidak dikenal berada di Monas. Suharto mengatakan pada pihak Umar Wirahadikusumah sebagai Pangdam V Jaya saat itu untuk tenang dan membiarkan dirinya mengendalikan situasi serta take over Pimpinan Angkatan Darat selama Ahmad Yani menghilang.


Selain mengontrol Informasi di RRI dan Koran-Koran, Suharto Berhasil Mengontrol keluar masuknya Pasukan dari Luar Kota Djakarta ke Djakarta, di Djakarta Suharto berkuasa penuh dan seakan-akan menjadikan Sukarno sebagai tawanan kota sejak 1 Oktober 1965 (Sumber Photo : Antara)

Di titik ini Suharto sudah mengetahui bahwa Letkol Untung menggunakan “pasukan yang tak dikenal” itu untuk proyek-nya dalam pemanggilan paksa para Jenderal, Suharto berada pada pengendalian terdepan dengan menyuruh para wakil komandan batalion take over kekuasaan dari Komandan batalyon masing-masing pasukan yaitu : Banteng Raiders 434/Diponegoro dan Banteng Raiders 530/Brawijaya. Sementara pasukan Untung semakin tidak jelas, setelah pengumuman berita RRI jam 6 pagi, tidak ada kejelasan dari pihak Untung untuk melakukan tindakan-tindakan politiknya. Pasukan Untung menyebar di jalan-jalan dan bahkan ditemukan kelaparan di jalan by pass. Disini kemudian Suharto tidak lagi menjadikan pasukan Untung sebagai musuh yang diperhitungkan.

Suharto melihat dan mungkin di titik ini belum mengetahui informasi posisi Presiden Sukarno berdiri di pihak mana, hanya saja posisi tinggal Sukarno antara jam 9.00 pagi sampai jam 19.00 malam adalah di Halim Perdanakusumah, Sukarno tinggal, berdiskusi, memanggil anak buahnya, serta memerintahkan berada di rumah Komodor Susanto. Disini Suharto menolak pemanggilan Sukarno sekaligus secara implisit menganggap markas Halim baik langsung atau langsung mengetahui Gerakan Untung 1965 yang sudah resmi oleh Suharto dijadikan musuhnya ketika Suharto berkata setelah mendengar pidato Untung di RRI pada pukul 7.00 pagi : “Untung adalah PKI dan anak didik Alimin”. Di sini secara sepihak Suharto sudah menafsirkan siapa musuhnya, dia berdiri dari ruang abstrak, asimetris informasi menjadi ruang yang penuh kejelasan dan menggiring opini serta mematerialkan siapa musuhnya yaitu : PKI, disini sekaligus melebur bahwa gerakan itu tidak semata-mata dilakukan oleh internal Angkatan Darat tapi sebuah gerakan meluas yang melibatkan kepentingan sipil. Kondisi menjadi jelas di pihak Suharto, tapi bukan pihak Sukarno.

Sukarno di Posisi yang Membingungkan Dan Cenderung Selama Jam-Jam Pertama Tidak Mengerti Keadaan (Sumber Photo : Antara)

Memang di buku Antonie CA Dake, dikatakan setidak-tidaknya Sukarno-lah yang mengetahui seluruh sirkulasi gerakan, sementara Victor M Fic, menjadikan Sukarno sebagai seorang tua yang mengharapkan pensiun dan Suharto sebagai penyelamat keadaan, tapi banyak sisi lain juga yang menjadikan “Sukarno memang tidak tau apa-apa atas rencana gerakan dan akibat dari gerakan” yang jelas dari seluruh situasi adalah “Kecurigaan berlebihan Sukarno pada Nasution, selama masa ‘hilangnya’ Yani, Sukarno sama sekali tidak menyebut-nyebut Nasution sebagai pengganti posisi Yani dan memegang kendali Angkatan Darat, padahal Nasution adalah satu-satunya perwira tertinggi di Angkatan Darat. Tapi di depan RE Martadinata, Leimena, dan beberapa ajudannya, Sukarno mengajukan nama-nama seperti : Sukendro yang ditolaknya menggantikan Yani karena pemarah, Suharto yang ditolaknya karena terlalu ‘koppig’ atau keras kepala, lalu muncul nama Pranoto Reksosamudro, yang eks rivaal Suharto semasa di Diponegoro. Ditolaknya Suharto sebagai Menpangad adalah sebuah keputusan pertama untuk mengetest kekuatan de facto Suharto sebagai penguasa politik Indonesia pasca di jam-jam pertama penculikan Yani.

Suharto yang bertindak amat cepat bergerak taktis sekali, langkah pertamanya adalah mengatur arus informasi. Pada jam 18.00 Pasukan Suharto sudah menguasai RRI, penguasaan RRI adalah legitimasi terbesar kemenangan Suharto, Suharto sendiri mengumumkan berita bahwa kendali Angkatan Darat ada pada dirinya jam 21.00 wib, hampir semua orang Indonesia mendengar, barulah surat Presiden Sukarno yang dibawa RE Martadinata bahwa kendali Angkatan Darat dipegang oleh Pranoto Reksosamudro diumumkan jam 00.15 wib, ini artinya tengah malam berita itu diumumkan, dan juga mendahului keputusan Suharto, banyak pihak kemudian terpecah menjadi dua dalam pertaruhan politik itu yaitu : “Siapa pengendali keadaan sesungguhnya, Sukarno atau Suharto?” disini Suharto jelas naik kekuatan politiknya karena secara cepat kedudukannya menjadi setara dengan Sukarno.

Setelah keadaan yang membingungkan termasuk tiadanya pegangan kepastian dari banyak agen-agen intelijen yang mengamati keadaan seperti dari CIA siapa pemegang kekuasaan sesungguhnya, taruhan politik diperjelas lagi dengan kemenangan Suharto yaitu ‘seluruh surat kabar dikuasai Suharto via terusan komanda ke Pangdam V Jaya/Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah, disini Suharto mampu mengatur arus sirkulasi informasi. Seluruh surat kabar dilarang terbit pada 2 Oktober 1965, anehnya yang terbit hanya Harian Rakyat surat kabar diluar kendali Angkatan Darat dan surat kabar Angkatan Darat “Berita Yudha” dan “Harian Angkatan Bersendjata”. Dalam tajuk rencananya Harian Rakyat, koran yang berafiliasi dengan PKI menyatakan bahwa Gerakan Untung 1965 merupakan gerakan internal Angkatan Darat tapi harus didukung. Sementara dua koran Angkatan Darat “mengutuk Gestapu 1965”. Disini Suharto sudah menjadikan dirinya perumus keadaan paling jelas, PKI menjadi pihak paling bersalah atas Gerakan Untung 1965 sementara Angkatan Darat adalah pihak yang harus melawan aksi PKI, tidak ada ruang abu-abu disini, tidak ada ruang pertanyaan, untuk itu koran lain diluar Harian Rakyat dan milik Angkatan Bersendjata dilarang terbit termasuk koran Kompas yang netral. –Suharto tidak menghendaki wilayah abu-abu disini-.

Analisa Psikologis Tokoh Penting Politik di Seputaran September 1965 Terhadap Informasi dan Keadaan,
Sukarno :
Berposisi kerap mengubah-ubah keadaan, hal ini menunjukkan dia tidak mengetahui secara persis situasi, kerap memberikan keputusan pada anak buahnya termasuk kemana dia akan tinggal setelah penculikan Untung. – Terlalu menjadikan Nasution sebagai paranoid politiknya yang utama. Baru bertindak rasional setelah 30 hari peristiwa setelah memerintahkan salah seorang menterinya Oei Tjoe Tat untuk menganalisa keadaan, sampai saat ini analisa Sukarno tentang Gestapu 1965 yaitu : Keblingernya Pemimpin PKI, Aksi Subversif Nekolim dan Adanya oknum-oknum yang Memanfaatkan keadaan, adalah analisa paling luas dan menyeluruh, analisa Sukarno ini adalah : “Ibu dari segala Ibu analisa tentang Gerakan September 1965.

Suharto :
Paling banyak memiliki informasi, bersikap amat tenang, melakukan tindakan-tindakan politik yang amat tepat, memperpanjang situasi untuk melihat lawan politiknya. Tidak berubah-ubah sikap tanda ia mengetahui arah keadaan dan mengerti benar kekuatan dirinya serta mengatur irama kecepatan keadaan. Suharto dengan cepat membentuk jaringan politiknya di kalangan elite Jenderal yang memegang kendali pasukan, di lingkaran dalam ia punya Ali Moertopo dan Yoga Sugama yang secara efektif mengoperasikan gabungan kekuatan intelijen dan penguasaan pasukan. Di lingkaran luar ia mengendalikan Jenderal-Jenderal yang sejak awal tidak begitu menyukai Sukarno seperti Brigjen Kemal Idris dan Brigjen HR Dharsono yang kebanyakan berasal dari Siliwangi dan di pihak lain Suharto juga mengendalikan Jenderal yang dekat dengan kelompok Sukarno tapi mendukung dirinya seperti Brigadir Jenderal Soemitro.

AH Nasution :
Pasca Gerakan Untung 1965 memiliki kehancuran psikologis luar biasa karena anaknya ditembak mati, tidak mau berhadapan head to head dengan Bung Karno, tidak segera mengambil kendali pasukan, terlalu gamang dalam melihat keadaan namun secara tepat memilih di tempat yang aman. Ia mengungsi ke kamar kerja Suharto, dan ketinggalan waktu 24 jam oleh Suharto, waktu yang tidak bisa sempat ia raih kembali kemudian malah mengantarkan dirinya menjadi orang paling sengsara selama Orde Baru karena dikucilkan dan dijadikan musuh politik terbesar Suharto mulai dari Fosko TNI sampai pada Petisi 50. AH Nasution adalah pariah politik terbesar selama Orde Baru.

DN Aidit :
Posisi terpentingnya adalah pra Gestapu 1965, banyak mengeluarkan isu, namun pada jam-jam menjelang Gerakan Untung 1965 dikabarkan menghilang, menurut laporan TEMPO pada tahun 2006, dia dijemput oleh Pasukan Bersenjata. Namun dirinya kemudian ditemukan di Yogyakarta lalu diambil paksa oleh Pasukan Yasir Hadibroto. Dia sama sekali tidak melakukan apa-apa pasca gerakan untung kecuali rumor tentang suratnya kepada anggota PKI lainnya dengan menyebut Sukarno sebagai ‘Sosro’ dan Subandrio sebagai ‘Tjeweng’ dimana ia mengeluh tak ada gerakan apa-apa dari Sosro dan Tjeweng. Disini DN Aidit menjadi amat pasif dan lemah.

Letkol Untung
Bertindak gegabah, emosional, tidak rasional dan separuh tidak bertanggung jawab pada pasukannya, ia sendiri dikabarkan lari dan tertangkap di Pekalongan. Apa yang terjadi pada diri Letkol Untung sampai ia nekat mengambil paksa para Jenderal adalah misteri terbesar.

Sjam Kamaruzzaman :
Informan yang berdiri di banyak pihak dan menjadi banyak misteri dalam segala hal di seputaran Gestapu 1965. Pertanyaan terbesar dalam kasus Gestapu 1965 dan peranan Sjam disini adalah “Siapakah yang memerintahkan menembak mati para Djenderal pada saat penjemputan paksa”.

Sjam ini punya posisi unik, dia mengenal Suharto semasa di Pathook pada diskusi-diskusi politik pada tahun 1945, berkenalan dengan bapak mertua DN Aidit, Komisaris Polisi Moedigdo yang tewas pada 1948. Dan banyak kenal dengan seluruh pentolan-pentolan tinggi Partai. Menurut AM Hanafi, Sjam ini adalah seorang Polisi dan pernah dibawa DN Aidit ke rumah AM Hanafi tapi diusir oleh AM Hanafi.

Semoga sejarah Gestapu 1965 bisa dikembangkan lebih lanjut detil dan menguraikan kepada banyak cerita agar ke depan generasi muda Indonesia tidak lagi mengalami masa kelam dan menyedihkan dalam kehidupan sebagai bangsa dan sebagai negara. Sekali lagi, sejarah adalah sebuah penalaran atas penafsiran.

Gelombang Sejarah Radio

Radio Philips Tombstone produksi Belanda 1930-1940-an.

Radio hadir di negeri ini hampir seabad lalu.
OLEH: WENRI WANHAR

SETIAP tanggal 11 September diperingati sebagai Hari Radio karena pada tanggal itu, 69 tahun lalu, kali pertama Radio Republik Indonesia (RRI) mengudara. Radio tersebut hasil merebut kantor radio Jepang (Hosokyoku). Stasiun RRI yang pertama di Jawa ada delapan buah, yakni bekas Hosokyoku, di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang.

Pada masa revolusi (1945-1949), selain RRI, dikenal juga radio-radio perjuangan. Di antaranya Radio Pemberontakan di Surabaya, Malang, dan Solo, di mana Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan; Radio Internasional Indonesia di Kediri; Gelora Pemuda di Madiun; Radio Militer dan Radio Indonesia Raya di Yogyakarta; Radio Perjuangan di Semarang; dan Rimba Raya di Aceh.

Sejarah radio di negeri ini sebetulnya sudah dimulai sejak 91 tahun silam. Gubernur Jenderal de Fock meresmikan pemancar radio Malabar di Bandung pada 5 Mei 1923. Inilah stasiun radio pertama yang menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda. (Baca: Malabar Bubar ditangan Laskar)
*****
Malabar Bubar di Tangan Laskar

Radio Malabar, 1915. Foto: KITLV.

Simbol paling ampuh radio kolonial. Hancur-lebur di tangan Republiken.
OLEH: WENRI WANHAR

BANDUNG, 5 Mei 1923. Pagi-pagi sekali Gubernur Jenderal de Fock beserta rombongan keluar dari penginapan di hotel Preanger. Iring-iringan kendaraan bergerak melintasi Dayeuhkolot ke arah perbukitan Bandung Selatan. Setelah melampaui Ciwidey, sampailah mereka di kaki Gunung Malabar.

Hari itu de Fock meresmikan pemancar radio Malabar, “stasiun radio pertama yang menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda,” tulis Haryadi Suadi dalam Riwayat Radio Republik Indonesia.
Pemancar Malabar dibangun Cornelius Johannes de Groot (1883-1927), alumnus teknik listrik dan rekayasa mekanis Delftse Polytechnische School, Karlsruhe, Jerman.

“Dalam disertasi yang berjudul Radiotelegrafie In The Tropen, Groot mengemukakan perlunya hubungan radio secara langsung antara Nederland dan Hindia Belanda. Dia yakin, secara teknis hal itu bisa dilakukan,” tulis buku The Year-book of Wireless Telegraphy & Telephony terbitan Marconi Press Agency Limited, 1920.

Pria bertubuh tambun itulah yang memimpin Departemen Pos Telepon dan Telegraph (PTT) Hindia Belanda melakukan serangkaian percobaan komunikasi radio untuk menghubungkan Hindia Belanda dengan Belanda.
Akhir 1916, Groot mulai mendirikan pemancar di kaki Gunung Malabar. Perangkat teknologinya dipesan dari perusahaan elektronik Telefunken, Jerman. Medan yang berat tak menyurutkan langkahnya. Peralatan berat berupa besi-besi dan mesin-mesin diangkut lewat jalan kecil, menanjak dan berliku ke lokasi pemasangan antena yang terjal.

Berbeda dari pemasangan antena pada umumnya, Groot merentangkan antena pada dua sisi lereng gunung sepanjang kurang lebih duaribu meter. Ketinggian rentangan kabel rata-rata 250-750 meter di atas permukaan laut, atau rata-rata 350 meter di atas permukaan tanah.

Perjuangan Groot tak sia-sia. Dia berhasil menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda. Ini menandai titik tolak kemajuan dunia telekomunikasi penyiaran. Sejawaran Rudolf Mrazek, penulis buku Engineers of Happy Land, menyebut pemancar Malabar di pegunungan Jawa Barat adalah titik fokus alamiah dan simbol paling ampuh radio Hindia Belanda.

Groot meningal dunia pada 1 Agustus 1927. Namanya diabadikan oleh Walikota Bandung B. Coops sebagai nama jalan di kota itu: Dr de Grootweg (kini Jalan Siliwangi).
Kini, Groot dan pemancar Malabar hanya tinggal cerita. Kompleks stasiun radio Malabar yang megah itu hancur-lebur saat meletus peristiwa Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946. “Saya yang menghancurkan,” kata Entang Muchtar, dikutip Her Suganda dalam Jendela Bandung.

Entang bersama tiga kawannya menghancurkan stasiun radio Malabar dengan dinamit setelah mendapat perintah dari Mayor Daan Yahya. “Bumi seakan terguncang dan suara ledakan sangat memekakkan telinga. Ledakan pertama disusul ledakan-ledakan berikutnya sehingga seluruh bangunan luluh-lantak.”

*****
Empat tahun kemudian, Belanda melakukan percobaan siaran radio gelombang pendek (shortwave atau SW) melalui pemancar PCJ dari laboratorium Philips di Eindhoven ke Hindia Belanda. Merujuk situs Radio Nederland Wereldomroep, sewaktu melakukan siaran percobaan itu, almanak bertanggal 11 Maret 1927.
Untuk memuluskan ujicoba tersebut, beberapa hari sebelumnya pihak Belanda telah mengantar sebuah pesawat radio tombstone merek Philips seri 703 A kepada Sri Mangkunegara VII, penguasa Pura Mangkunegaran. Penguasa Keraton Solo itu mempercayakan Ir Sarsito melayani radio itu.

Sejumlah orang berkumpul di Pura Mangkunegaran, Surakarta. Sekian pasang mata tertuju pada Sarsito yang nampak hati-hati, putar-putar tuning mencari baris gelombang yang selaras. Terdengar suara bersuit-suit sangat keras. Terkadang menggelegar seperti geluduk. Tapi lebih sering, “menggero sebagai mengaumnya harimau. Maka terkejutlah sekalian pendengar karena ketakutan,” tulis SRV Gedenkboek, 1936.

Begitu Sarsito menemukan gelombang yang tepat, terdengar suara orang berkata-kata. Sekali pun hanya berbisik-bisik, sekalian pendengar senang dan tertawa. Ketika mendengar suara musik yang tiada ketahuan siapa yang memainkannya, tercenganglah mereka. Itulah kali pertama orang-orang di Pura Mangkunegaran melihat dan mendengar radio.

Dua puluh hari kemudian, Ratu Wilhelmina menyapa rakyat di wilayah koloninya dari laboratorium radio Philips. Siaran internasional yang dipancarkan secara live pada 31 Maret 1927 itu berhasil ditangkap di Australia, Amerika Latin, Afrika dan Asia Tenggara, termasuk di Pura Mangkunegaran, Surakarta.
Sarsito, dalam Triwindoe Mangkunegoro VII Gedenkboek (1939) menceritakan, malam  itu orang-orang di Pura Mangkunegaran berkumpul di Prangwedanan bersama Mangkunegara VII dan permaisuri Gusti Ratu Timur. Mereka mendengarkan siaran langsung pidato Ratu Wilhelmina. “Itu adalah suatu saat yang tak terlupakan,” kenang Sarsito.

Setelah pidato live Sang Ratu, selain bertalian dengan kepentingan politik kolonial, Philips melihat prospek bisnis. Semenjak itu, “Philips langsung memproduksi radio secara massal,” kata Didi Sumarsidi, ketua komunitas pecinta radio kuno Padmaditya, kepada Historia di sela pembukaan pameran radio lama bertajuk Layang Swara, di Bentara Budaya Jakarta, 24 April lalu. 

Situs resmi Philips melansir, mereka mulai serius memproduksi radio sejak 1927. Hingga 1932, Philips telah menjual satu juta radio dan langsung menjelma jadi produsen radio terbesar di dunia. Bahkan Philips mendirikan pabrik di Hindia Belanda.

Terkait Berita: