Radio Philips Tombstone produksi Belanda 1930-1940-an.
Radio hadir di negeri ini hampir seabad lalu.
OLEH: WENRI WANHAR
SETIAP tanggal
11 September diperingati sebagai Hari Radio karena pada tanggal itu, 69
tahun lalu, kali pertama Radio Republik Indonesia (RRI) mengudara. Radio tersebut hasil merebut kantor radio Jepang (Hosokyoku). Stasiun RRI yang pertama di Jawa ada delapan buah, yakni bekas Hosokyoku, di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang.
Pada masa revolusi (1945-1949), selain RRI,
dikenal juga radio-radio perjuangan. Di antaranya Radio Pemberontakan
di Surabaya, Malang, dan Solo, di mana Bung Tomo mengobarkan semangat
perjuangan; Radio Internasional Indonesia di Kediri; Gelora Pemuda di
Madiun; Radio Militer dan Radio Indonesia Raya di Yogyakarta; Radio
Perjuangan di Semarang; dan Rimba Raya di Aceh.
Sejarah radio di negeri ini sebetulnya
sudah dimulai sejak 91 tahun silam. Gubernur Jenderal de Fock meresmikan
pemancar radio Malabar di Bandung pada 5 Mei 1923. Inilah stasiun radio
pertama yang menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda. (Baca: Malabar Bubar ditangan Laskar)
*****
Malabar Bubar di Tangan Laskar
Radio Malabar, 1915. Foto: KITLV.
Simbol paling ampuh radio kolonial. Hancur-lebur di tangan Republiken.
OLEH: WENRI WANHAR
BANDUNG, 5 Mei
1923. Pagi-pagi sekali Gubernur Jenderal de Fock beserta rombongan
keluar dari penginapan di hotel Preanger. Iring-iringan kendaraan
bergerak melintasi Dayeuhkolot ke arah perbukitan Bandung Selatan.
Setelah melampaui Ciwidey, sampailah mereka di kaki Gunung Malabar.
Hari itu de Fock meresmikan pemancar
radio Malabar, “stasiun radio pertama yang menghubungkan Belanda dan
Hindia Belanda,” tulis Haryadi Suadi dalam Riwayat Radio Republik Indonesia.
Pemancar Malabar dibangun Cornelius
Johannes de Groot (1883-1927), alumnus teknik listrik dan rekayasa
mekanis Delftse Polytechnische School, Karlsruhe, Jerman.
“Dalam disertasi yang berjudul Radiotelegrafie In The Tropen, Groot
mengemukakan perlunya hubungan radio secara langsung antara Nederland
dan Hindia Belanda. Dia yakin, secara teknis hal itu bisa dilakukan,”
tulis buku The Year-book of Wireless Telegraphy & Telephony terbitan Marconi Press Agency Limited, 1920.
Pria bertubuh tambun itulah yang
memimpin Departemen Pos Telepon dan Telegraph (PTT) Hindia Belanda
melakukan serangkaian percobaan komunikasi radio untuk menghubungkan
Hindia Belanda dengan Belanda.
Akhir 1916, Groot mulai mendirikan
pemancar di kaki Gunung Malabar. Perangkat teknologinya dipesan dari
perusahaan elektronik Telefunken, Jerman. Medan yang berat tak
menyurutkan langkahnya. Peralatan berat berupa besi-besi dan mesin-mesin
diangkut lewat jalan kecil, menanjak dan berliku ke lokasi pemasangan
antena yang terjal.
Berbeda dari pemasangan antena pada
umumnya, Groot merentangkan antena pada dua sisi lereng gunung sepanjang
kurang lebih duaribu meter. Ketinggian rentangan kabel rata-rata
250-750 meter di atas permukaan laut, atau rata-rata 350 meter di atas
permukaan tanah.
Perjuangan Groot tak sia-sia. Dia
berhasil menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda. Ini menandai titik
tolak kemajuan dunia telekomunikasi penyiaran. Sejawaran Rudolf Mrazek,
penulis buku Engineers of Happy Land, menyebut pemancar Malabar di pegunungan Jawa Barat adalah titik fokus alamiah dan simbol paling ampuh radio Hindia Belanda.
Groot meningal dunia pada 1 Agustus
1927. Namanya diabadikan oleh Walikota Bandung B. Coops sebagai nama
jalan di kota itu: Dr de Grootweg (kini Jalan Siliwangi).
Kini, Groot dan pemancar Malabar hanya
tinggal cerita. Kompleks stasiun radio Malabar yang megah itu
hancur-lebur saat meletus peristiwa Bandung Lautan Api pada 24 Maret
1946. “Saya yang menghancurkan,” kata Entang Muchtar, dikutip Her
Suganda dalam Jendela Bandung.
Entang bersama tiga kawannya
menghancurkan stasiun radio Malabar dengan dinamit setelah mendapat
perintah dari Mayor Daan Yahya. “Bumi seakan terguncang dan suara
ledakan sangat memekakkan telinga. Ledakan pertama disusul
ledakan-ledakan berikutnya sehingga seluruh bangunan luluh-lantak.”
*****
Empat tahun kemudian, Belanda melakukan percobaan siaran radio gelombang pendek (shortwave atau SW) melalui pemancar PCJ dari laboratorium Philips di Eindhoven ke Hindia Belanda. Merujuk situs Radio Nederland Wereldomroep, sewaktu melakukan siaran percobaan itu, almanak bertanggal 11 Maret 1927.
Untuk memuluskan ujicoba tersebut, beberapa hari sebelumnya pihak Belanda telah mengantar sebuah pesawat radio tombstone
merek Philips seri 703 A kepada Sri Mangkunegara VII, penguasa Pura
Mangkunegaran. Penguasa Keraton Solo itu mempercayakan Ir Sarsito
melayani radio itu.
Sejumlah orang berkumpul di Pura
Mangkunegaran, Surakarta. Sekian pasang mata tertuju pada Sarsito yang
nampak hati-hati, putar-putar tuning mencari baris gelombang
yang selaras. Terdengar suara bersuit-suit sangat keras. Terkadang
menggelegar seperti geluduk. Tapi lebih sering, “menggero sebagai
mengaumnya harimau. Maka terkejutlah sekalian pendengar karena
ketakutan,” tulis SRV Gedenkboek, 1936.
Begitu Sarsito menemukan gelombang yang
tepat, terdengar suara orang berkata-kata. Sekali pun hanya
berbisik-bisik, sekalian pendengar senang dan tertawa. Ketika mendengar
suara musik yang tiada ketahuan siapa yang memainkannya, tercenganglah
mereka. Itulah kali pertama orang-orang di Pura Mangkunegaran melihat
dan mendengar radio.
Dua puluh hari kemudian, Ratu Wilhelmina
menyapa rakyat di wilayah koloninya dari laboratorium radio Philips.
Siaran internasional yang dipancarkan secara live pada 31 Maret
1927 itu berhasil ditangkap di Australia, Amerika Latin, Afrika dan
Asia Tenggara, termasuk di Pura Mangkunegaran, Surakarta.
Sarsito, dalam Triwindoe Mangkunegoro VII Gedenkboek (1939)
menceritakan, malam itu orang-orang di Pura Mangkunegaran berkumpul di
Prangwedanan bersama Mangkunegara VII dan permaisuri Gusti Ratu Timur.
Mereka mendengarkan siaran langsung pidato Ratu Wilhelmina. “Itu adalah
suatu saat yang tak terlupakan,” kenang Sarsito.
Setelah pidato live Sang Ratu,
selain bertalian dengan kepentingan politik kolonial, Philips melihat
prospek bisnis. Semenjak itu, “Philips langsung memproduksi radio secara
massal,” kata Didi Sumarsidi, ketua komunitas pecinta radio kuno
Padmaditya, kepada Historia di sela pembukaan pameran radio lama bertajuk Layang Swara, di Bentara Budaya Jakarta, 24 April lalu.
Situs resmi Philips melansir, mereka
mulai serius memproduksi radio sejak 1927. Hingga 1932, Philips telah
menjual satu juta radio dan langsung menjelma jadi produsen radio
terbesar di dunia. Bahkan Philips mendirikan pabrik di Hindia Belanda.
Post a Comment
mohon gunakan email