Pesan Rahbar

Home » , , , , , , , , , , » Jepang Mencengkeram Pedesaan, Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai, Bubur Perjuangan dan Roti Asia, Terowongan Neyama Romusha, Romusha di Seberang Lautan, Rakyat Yogyakarta Diselamatkan Selokan, Membebaskan Sultan Yogya, Geraf [Gerakan Rakyat Anti Fasis] Bergerak, Djojobojo Menentang Jepang

Jepang Mencengkeram Pedesaan, Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai, Bubur Perjuangan dan Roti Asia, Terowongan Neyama Romusha, Romusha di Seberang Lautan, Rakyat Yogyakarta Diselamatkan Selokan, Membebaskan Sultan Yogya, Geraf [Gerakan Rakyat Anti Fasis] Bergerak, Djojobojo Menentang Jepang

Written By Unknown on Wednesday, 10 December 2014 | 17:11:00

Propaganda Jepang. Foto: KITLV.

Untuk tujuan perang, Jepang memobilisasi dan mengontrol rakyat hingga pedesaan.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI, MF. MUKTHI, ARYONO

KEBIJAKAN Jepang selama perang, baik di Jepang maupun di negera-negara jajahannya seperti Indonesia, dimaksudkan untuk kepentingan perang. Tujuan akhirnya membangun kawasan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya di bawah kepemimpinan Jepang. Untuk itu, Jepang mencengkeram kehidupan rakyat pedesaan.

Menurut Aiko Kurasawa, sejarawan Universitas Keio Jepang, kebijakan Jepang di pedesaan Jawa memadukan mobilisasi (doin) dan kontrol (tosei). Jepang memobilisasi rakyat untuk meningkatkan produktivitas pertanian, terutama padi, lalu menyerahkannnya dalam bentuk “wajib serah padi.” (Baca: Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai dan Bubur Perjuangan dan Roti Asia).
*****
Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai


Jepang memperkenalkan padi horai dari Taiwan ke Indonesia untuk memasok pasukannya di medan perang.

PADI yang ditanam di Jawa sebelum perang secara kasar dikelompokkan menjadi dua jenis: pade cere (padi tak berambut) dan padi bulu (padi berambut). Orang Jawa lebih menghargai padi bulu ketimbang padi cere karena lebih enak dan dianggap bermutu lebih tinggi, sehingga harganya pun lebih mahal.

Ketika menduduki Indonesia, pemerintah militer Jepang mendorong petani agar menanam padi cere yang lebih produktif. Setiap hektarnya, padi cere bisa menghasilkan panen lebih tinggi karena tahan terhadap musim kering dan bisa tumbuh di tanah yang kurang subur.

“Apa yang penting bagi pemerintah Jepang bukanlah rasa yang enak atau mutu yang tinggi, melainkan memaksimalkan produksi secara keseluruhan,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol. Produksi bahan makannan, terutama padi, untuk memasok pasukan Jepang di medan perang mendapat prioritas.

Awalnya Jepang frustrasi dengan rendahnya produktivitas beras di Jawa. Mereka menganggap produktivitas bisa ditingkatkan dengan memilih bibit padi yang lebih cocok bagi Jawa. Selain menyarankan penggunaan bibit padi cere, Jepang memperkenalkan beberapa jenis padi baru yang cocok dengan kondisi ekologi Jawa. Serangkaian percobaan pun dilakukan di Bogor Noji Shinkenjo (Stasiun Percobaan Pertanian Bogor). “Salah satu bibit baru yang direkomendasikan oleh stasiun ini ialah beras horai dari Taiwan,” tulis Aiko Kurasawa.

Padi horai mula-mula berasal dari beras Jepang tapi lama-lama dicampur dengan beras lokal Taiwan. Jepang mengunggulkan padi horai karena “batang padi di Nippon lebih besar dan lebih banyak mengeluarkan padi daripada yang terdapat di daerah-daerah Selatan. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan di daerah-daerah Selatan meninggalkan batang padi di sawah dan membiarkannya hingga busuk guna memupuk tanah,” tulis harian Kita-Sumatora-Sinbun, 12 Juni 1944, yang terbit di Medan.

Menurut Shigeru Sato, “Japanization in Indonesia Re-Examined: The Problem of Self-Sufficiency in Clothing,” dalam Imperial Japan and National Identities in Asia 1895-1945 karya Li Narangoa dan Robert Cribb, padi horai termasuk varietas indica sehingga identik dengan padi cere. Masa pertumbuhannya pendek. Rata-rata varietas padi lokal membutuhkan 170 hari untuk matang, sedangkan padi Horai masak dalam 110 hari.

Ada banyak macam padi horai. Namun, tulis Pandji Poestaka, 15 September 1943, yang memberikan hasil lebih baik di Jawa hanya ada 1-2 jenis. Kemungkinan besar padi horai yang didatangkan ke Indonesia adalah jenis taichu dan kanan ni go, yang juga diperkenalkan di Malaysia. 

Syutyokan (Residen) Cirebon, Ichibangase, yang pernah menjadi pejabat kolonial di Taiwan, paling bernafsu memperkenalkan bibit Taiwan ini dan membawa serta bibit bersamanya ke Indonesia. Wilayahnya ditunjuk untuk percobaan pertama budidaya padi horai –selain karesidenan Kedu. Bibitnya dibagikan cuma-cuma kepada para petani.

Pada mulanya, petani ragu untuk mengesampingkan padi bulu karena mutunya yang mereka banggakan. Namun pemerintah Jepang berusaha mempromosikan padi horai itu dengan memanfaatkan kebiasaan petani meminjam bibit dari para pialang padi dan orang lain sebelum masa tanam serta membayarnya kembali setelah panen.

“Dalam menggantikan para pialang padi tersebut,” tulis Aiko Kurasawa, “kantor desa didorong supaya meminjamkan padi kepada petani dan hanya jenis bibit baru (horai) yang dipasok.”
Secara bertahap petani mulai terbiasa menanam bibit baru melalui cara lunak semacam ini. “Wajib serah padi” kepada pemerintah Jepang juga membuat petani tak punya pilihan selain memilih padi produktivitas tinggi: horai dan cere. Alhasil, sejak adanya padi horai, produksi padi bulu berkurang lebih dari setengahnya.

Media memberitakan kesuksesan penanaman padi horai. Asia Raya, 3 Mei 1943, melaporkan, “penanaman padi horai yang kali pertama dilakukan beberapa bulan berselang dan dalam bulan Februari 1943 sudah dipetik hasilnya dengan memuaskan.” Upacara pemotongan padi horai di Palimanan, Cirebon, dihadiri Syutyokan Cirebon, Ichibangase. “Setelah diadakan perhitungan hasilnya sawah itu di luar dugaan, 1 ha menghasilkan 42 kuintal,” tulis Soeara Asia, 26 Mei 1944.  

Meski penanaman padi horai dilakukan intensif, padi bulu tak sepenuhnya hilang karena para pejabat Jepang tetap lebih menyukai beras bermutu tinggi itu untuk kebutuhan mereka sendiri. Sedangkan padi horai diproduksi untuk kebutuhan militer Jepang di medan perang. “Akan tetapi, diragukan apakah mereka bisa memperoleh beras yang enak sebanyak yang mereka inginkan, karena banyak petani menyatakan bahwa mereka biasanya mengatur supaya beras yang bermutu rendah yang diserahkan kepada pemerintah, dan berusaha menyimpan yang bermutu tinggi untuk mereka sendiri, sejauh mereka mempunyai pilihan untuk itu,” tulis Aiko Kurasawa.

Sejak awal, para petani tak suka dengan padi horai. Mereka menanamnya karena dipaksa Jepang. Padi horai pun hanya bertahan selama pembawanya menduduki Indonesia. Sementara padi bulu dan padi cere sebagai padi lokal tetap menjadi andalan petani Indonesia sampai sekarang.
*****

Bubur Perjuangan dan Roti Asia


Jepang memaksa penduduk memakan "menu perjuangan" sebagai pengganti nasi.

PADA masa pendudukan Jepang, petani harus menyerahkan sejumlah besar padi yang mereka hasilkan. Padahal petani terbiasa menanam padi secukupnya untuk konsumsi sendiri, dan hanya sedikit yang mereka jual ke pasar. Mereka juga umumnya petani kecil, yang mengolah sepetak tanah sendiri atau sewaan kurang dari setengah hektar. Mereka menderita kemiskinan yang kronis dan hampir selalu terlilit utang dan terikat sistem ijon. Kelaparan pun melanda.

Untuk menutupi kekurangan beras, menurut sejarawan Universitas Keio, Jepang, Aiko Kurasawa, Jepang mendorong masyarakat memakan jagung, singkong, atau kedelai. Bahkan tanaman yang sebelumnya tak pernah dimakan atau hanya jadi lalaban seperti bonggol pisang, pepaya, dan daun singkong. Sebagai sumber protein pengganti, bekicot jadi pilihan. Penduduk juga terpaksa memakan badur (semacam keladi), yang harus dipotong-potong dan direndam air asin dulu untuk menghilangkan getahnya yang beracun.
Jepang juga memperkenalkan resep-resep baru untuk makanan-makanan pelengkap itu. “Resep-resep itu umumnya disebut sebagai ‘menu perjuangan’ oleh kaum propagandis,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol.

Salah satu menu populer ialah bubur campuran ubi, singkong, dan katul, yang disebut Bubur Perjuangan atau Bubur Asia Raya. Jepang melalui organisasi perempuan bentukannya, Fujinkai, aktif mengajarkan dan menyebarluaskan menu dan bahan pangan baru ini. “Besok sore mulai jam 5 di Dai Kurabu (Harmoni) Huzinkai (atau Fujinkai) akan mengadakan pertunjukan cara membuat Bubur Perjuangan, khusus untuk kaum ibu-ibu dan gadis-gadis. Diharap kaum wanita mengunjunginya,” tulis Sinar Baroe, 5 Maret 1945.
Dalam acara demonstrasi tersebut diterangkan bahwa bubur ini mengandung zat-zat yang penting bagi tubuh. “Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat bubur tersebut ialah: 200 gram jagung, 400 gram ubi, 400 gram ketela pohon, 200 gram sayuran. Bumbunya: brambang, bawang, salam, laos (lengkuas), terasi, lombok, santen dan garam. Bubur ini dimakan dengan ikan teri atau ikan kerang,” tulis Sinar Baroe, 8 Maret 1945.  

Selain melakukan sosialisasi, Jepang memerintahkan ketua tonarigumi (rukun tetangga) untuk mengawasi anggota masyarakatnya supaya mau makan Bubur Perjuangan, bukan nasi putih. Dapur sering digeledah secara mendadak. “Kalau ada seseorang yang diketemukan makan nasi putih, dia akan diperingatkan dan bahkan kadang-kadang dilaporkan kepada kenpeitai,” tulis Aiko Kurasawa.

Menu perjuangan lain adalah Roti Asia (to-a pan) yang terbuat dari tepung ketela (aci atau tapioka), tepung kedelai, atau tepung beras biasa. “Sekarang saban bulan diadakan pencatatan tentang persediaan tepung tapioka itu oleh Noji Sido Kyoku dan Dinas pertanian,” tulis Soeara Asia, 9 Juli 1942. Kantor Penerangan Tepoeng juga melakukan sosialisasi. “Diberitahukan kepada sekalian penduduk di Priangan Syuu bahwa pada tiap-tiap hari mulai dari pukul 9 pagi hingga pukul 2 siang diperbolehkan datang di kantor tersebut untuk menerima pelajaran dari hal pembikinan Roti Asia.” Demikian pengumuman yang disiarkan di koran Tjahaja, 14 November 1942.

Boeng Djenggot, penulis kolom Pengisi Podjok harian Borneo Shimboen, 29 September 1943, menulis bahwa Roti Asia yang sudah dia cicipi bisa dijadikan makanan untuk menyambut Lebaran. “Ketika Bung (Djenggot) berada di Bandung tempo hari, sempat juga merasakan Roti Asia yang dibikin dari tepung Asia (ketela pohon), yang meskipun rasanya belum sebanding dengan roti biasa, tapi bolah lah,” tulisnya.
Menurut Aiko Kurasawa, makanan pengganti, Bubur Perjuangan dan Roti Asia, tentu saja tak memuaskan dan bahkan hina bagi orang Jawa. Mereka lebih suka makan nasi karena, “kalau belum makan nasi, belum makan.”

Gagasan menu perjuangan membuat rakyat kekurangan gizi, terutama masyarakat di pedesaan. Honger oedeem (busung lapar) pun mewabah. Memburuknya kesejahteraan sosial meningkatkan angka kematian pada 1944 di seluruh karesidenan –kecuali Jakarta dan Priangan– dan menurunkan angka kelahiran. “Rakyat di pedesaan sering mengatakan bahwa sewaktu pendudukan Jepang rakyat sulit memiliki tenaga dan keinginan untuk memenuhi fungsi reproduksi karena kelaparan dan kesulitan-kesulitan keseharian lainnya,” tulis Aiko Kurasawa. Dan untuk kali pertama dalam sejarah Jawa modern, populasi Jawa menurun.
*****

Jepang juga mengerahkan rakyat menjadi tenaga kerja paksa (romusha) di proyek-proyek pembangunan seperti lapangan terbang, benteng pertahanan, dan pabrik-pabrik militer. Untuk melancarkan mobilisasi tersebut, Jepang membentuk tonarigumi (rukun tetangga) dan nogyo kumiai (koperasi pertanian). (Baca: Terowongan Neyama Romusha, Romusha di Seberang Lautan, dan Rakyat Yogyakarta Diselamatkan Selokan).
*****
Terowongan Neyama Romusha


Sebuah terowongan, dikerjakan ribuan romusha, dibangun untuk mengalirkan banjir ke Samudra Hindia.

PADA 17 November 1942, Sungai Brantas meluap, merendam 150 desa dan 9.000 rumah di Kabupaten Tulungagung. Luapan air juga menghancurkan areal pertanian. Genangan air di daerah hilir membentuk tanah berawa yang luas, yang oleh penduduk setempat disebut “campur darat.”

Untuk mengatasinya, pemerintah Karesidenan Kediri membangun sebuah terowongan melalui wilayah perbukitan untuk menguras air yang masih menggenangi rawa-rawa ke Samudra Hindia. Selain itu, diharapkan terowongan itu bisa menjaga tanaman padi, yang sedang diintensifkan Jepang untuk menyuplai pasokan makanan tentaranya di medan perang.  

Menurut sejarawan Universitas Keio Jepang, Aiko Kurasawa, pemrakarsa pembangunan terowongan tersebut adalah Residen Enji Kihara, lulusan Akademi Militer Jepang dan pernah menjabat kepala Departemen Pembangunan Kantor Gubernur Jenderal di Taiwan. Pembangunan dimulai pada Februari 1943.
Sebagai pelaksana proyek, sebuah koperasi irigasi diorganisasikan di bawah pangreh praja yang bertanggung jawab atas pencarian buruh dan pengamanan dana pembangunan. Proyek terowongan ini membutuhkan 20 ribu romusha dengan dana f.750 ribu; sebanyak f.300 ribu disediakan karesidenan dan sisanya pemerintah militer.

“Karena tidak ada buldoser dan jarang terdapat dinamit, seluruh pekerjaan dilakukan dengan tenaga manusia,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol.
Beberapa bulan pertama pekerjaan berjalan lancar, dengan mempekerjakan lebih dari 10 ribu romusha per hari. Mereka mengeruk tanah dengan alat sederhana yang dibawa dari desa masing-masing. Setiap romusha mendapat upah sebesar f.0.14 per hari, sudah dipotong pajak dan makanan. Sedangkan mandor menerima upah f.0.38, sudah dipotong pajak.

Shigaru Sato dalam War, Nationalism, and Peasants menerangkan, untuk mengerjakan terowongan itu, dibuatlah saluran terbuka dengan meratakan punggung bukit. Batu-batu kapur di dasar punggung bukit harus dihancurkan namun tak tersedia cukup bubuk peledak. Permintaan bantuan kepada Departemen Transportasi Jepang di Jakarta ditolak. Bantuan datang dari kepala Departemen Industri, Tennichi Koichi. Dia berminat pada proyek terowongan itu yang dia anggap memiliki potensi meningkatkan produksi pertanian.

“Atas persetujuan atasannya, Yamamoto Moichiro, Tennichi setuju mengalihkan beberapa bubuk peledak yang telah disisihkan dari program pertambangan batu bara di Bayah (Banten Selatan),” tulis Sato.
Sebelum meledakkan bukit, staf Residen Kediri menerima informasi dari warga bahwa rawa-rawa itu sebelumnya menjadi landasan bagi korps penerbangan Angkatan Laut Belanda; dan ketika Belanda mundur mereka membenamkan beberapa bom. Ketika melakukan penyisiran, ditemukan 23 bom. Sebuah dealer bahan peledak milik seorang Tionghoa mengambil 10-20 ton bubuk peledak kuning dari bom-bom itu.
Selain menggunakan peledak, karesidenan juga meminjam mesin pengebor dan kompresor dari Ishihara Sangyo Co. Ltd. Departemen Administrator Militer di Jakarta mengirim seorang kapten Angkatan Darat, seorang insinyur sipil yang berpengalaman dalam pembangunan terowongan. Pembangunan terowongan pun dimulai pada Oktober 1943.

“Residen Kihara antusias. Dia sering bekerja di lokasi konstruksi, menggunakan bor dan mengatur dinamit sendiri. Sampai pada satu kesempatan dia keracunan gas yang dihasilkan oleh ledakan di dalam terowongan dan harus dibawa keluar dari terowongan,” tulis Sato.

Pembangunan menghadapi kendala. Masalah dana bisa diatasi tapi mobilisasi romusha tersendat, bahkan berkurang. Selain karena berlokasi di daerah tertutup rawa dan hutan penuh binatang buas, bahkan diyakini banyak hantu dan roh jahat, dan malaria merebak. Penduduk juga mendapatkan kabar bahwa pekerjaan itu sangat berat. Beberapa romusha tinggal tulang terbungkus kulit. Banyak yang sakit, bahkan meninggal dunia.
Pangreh praja dan pejabat desa dikerahkan dan diberi kuota untuk merekrut romusha. Untuk memenuhi kuota itu, mereka melakukan “bujukan” yang bersifat memaksa. Seorang kepada desa Gurah di Tulungagung mengirim sekitar 500 orang dari desanya.

Target awal pembangunan terowongan rampung awal Juni tapi meleset jadi Juli 1944. Terowongan itu, yang dalam bahasa Jawa disebut Tumpak Oyot (Akar Gunung), diterjemahkan Nishida, penterjemah yang bekerja di Karesidenan Kediri, menjadi Neyama: ne artinya akar dan yama berarti gunung. “Di antara penduduk lokal dan para buruh yang dimobilisasi membangun terowongan itu menyebutnya Neyama romusha,” tulis Sato.

Terowongan Neyama, tulis Aiko Kurasawa, membuat petani di wilayah tetangganya terbebas dari banjir. Tapi terowongan itu membawa akibat yang tak diperhitungkan sebelumnya. Nganjuk, wilayah Kediri utara, kekurangan air.

Terowongan tersebut masih bekerja baik hingga Jepang angkat kaki dari Indonesia. Kerusakan perlahan menghampiri antara lain oleh banjir bandang pada 1955. Empat tahun kemudian, terowongan dibangun kembali sebagai bagian dari Proyek Pembangunan Umum Sungai Brantas dengan biaya dari dana pampasan perang Jepang sebesar US$1.972.000. Proyek ini digarap dua perusahaan konstruksi Jepang, Nippon Koei dan Kashima Kensetsu, di bawah pengawasan Departemen Pekerjaan Umum. Pekerjaan selesai pada April 1961.

Karena Terowongan Neyama dianggap belum cukup menangani banjir di Tulungagung, terutama banjir windon setiap delapan tahun sekali, pemerintah Orde Baru membangun Neyama II yang diresmikan pada 1986.   

Neyama kini menjadi objek wisata karena pemandangan dan terowongan drainase besarnya yang melewati gunung. Namun, di balik keindahan itu, ratusan bahkan mungkin ribuan romusha menjadi korbannya.
*****
Romusha di Seberang Lautan


Berharap mendapat kehidupan yang lebih baik, mereka justru berhadapan dengan kematian. “Death Railway” menjadi saksi kekejaman Jepang semasa perang.

BANJARNEGARA, Jawa Tengah, 1943. Karja Wiredja meninggalkan desanya, Matukara. Bersama ribuan romusha lainnya, Karja menjadi tenaga kerja kasar di Thailand. Di sana dia menjadi mandor pada proyek pembangunan jalan kereta api Nong Pla Duk (Thailand)-Thanbyuzayet (Burma, kini Myanmar) sepanjang 415 km. Untuk hasil kerjanya, Karja mendapat dua sen per hari.
“Waktu itu lurah bilang kita boleh ikut Nippon,” ujar Karja, seperti dikutip dari Suara Independen, 1 Agustus 1995.

Sadin, pemuda asal Kuningan, Jawa Barat, tak pernah berpikir akan pergi sejauh itu. Dia pergi ke Cirebon untuk sebuah pekerjaan yang dijanjikan tapi ternyata dia dikirim ke Thailand. Belum sampai di tujuan, para romusha ini mendapat pelayanan tidak manusiawi. “Rombongan yang semula berjumlah 1.500 orang itu hanya sisa beberapa ratus orang setelah tiba di Singapura,” tulis Aiko Kurosawa dalam Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945.

“Aku tahu bahwa mereka diangkut dengan gerbong-gerbong yang tertutup rapat tanpa udara, dipadatkan seperti hewan dalam jumlah ribuan sekaligus,” tulis Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Tapi, “kondisi yang lebih menyedihkan justru menunggu mereka yang beruntung tetap hidup dalam perjalanan menuju tujuan mereka,” tulis Aiko.

Sejak Desember 1941, Thailand jatuh ke tangan Jepang. Dari Thailand, pasukan Jepang menginvasi Burma dan merebutnya dari kontrol Inggris. Untuk mempertahankan pasukannya di Burma, Jepang mengirimkan pasukan dan perbekalan ke Burma melalui laut. Tapi jalur laut rentan dari serangan Sekutu, sehingga Jepang memikirkan jalur alternatif.

Pada Juni 1942, Jepang memulai proyek pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan Thailand-Burma dengan mendatangkan baja dan tenaga kerja (romusha) dari wilayah-wilayah yang didudukinya. Selain romusha dari Jawa, ada romusha dari China, Malaya, Vietnam, juga tentara Sekutu yang tertawan Jepang. Total ada lebih 100 ribu romusha Asia Tenggara dan 55 ribu tawanan Sekutu.
Para romusha mendapat bayaran setara pekerja kasar umumnya, meski tak semua sama. Diperkirakan, menurut Aiko, upah harian mereka f. 0,70-1,00. Jumlah ini sedikit lebih tinggi dari ketetapan dalam “Persetujuan Pemasokan Romusha Antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut”: f. 0,50 per hari dan harus disisihkan f. 3,00 untuk dikirim kepada keluarga mereka setiap bulan. Namun, seringkali upah mereka dipotong oleh mandor atau pejabat yang mengkoordinasikannya.

Nasib romusha dalam pembangunan jalan kereta api, yang dikenal dengan istilah “Death Railway”, amat memilukan. Mandor atau serdadu Jepang berlaku kejam. Medannya berat, menembus lembah dan hutan lebat. Mereka bekerja di bawah guyuran hujan, jalanan berlumpur, atau terik menyengat. Jatah makanan minim. Fasilitas dan tenaga medis tak memadai, sementara wabah kolera, disentri, dan sebagainya berjangkit. Bahkan, seperti kesaksian Sadin, romusha yang tidak bisa bekerja lagi lantaran sakit, dikubur hidup-hidup. “Seolah-olah ada perhitungan bahwa akan lebih murah untuk memasok romusha baru daripada mengambil risiko merawat atau memulihkan kembali mereka yang sakit,” tulis Aiko.

Tak heran jika banyak romusha dan tawanan Sekutu yang tewas. Commonwealth War Graves Commission, organisasi nirlaba yang bergerak menyantuni para keluarga tentara Sekutu yang jadi korban Perang Dunia II, melalui situsnya www.cwgc.org, mencatat, “Sepanjang pembangunan jalur itu, kira-kira 13.000 tawanan perang tewas dan dimakamkan di sepanjang lintasan. Diperkirakan 80.000-100.000 warga sipil juga tewas dalam proyek yang sama, terutama para buruh yang dibawa dari Malaya dan Hindia Belanda, atau wajib militer di Siam (Thailand) dan Burma.”

Tak ada angka pasti berapa jumlah romusha asal Jawa yang tewas. Dalam "Notes on the Thai-Burma Railway, Part II: Asian Romusha; The Silenced Voices of History" David Boggett menulis, dari 200.000-500.000 romusha asal Jawa yang dikerahkan, hanya sekitar 70 ribu yang masih hidup ketika perang berakhir.

Banyak romusha melarikan diri. Bagi mereka yang sial, bisa saja tewas di perjalanan atau di tangan Jepang. Sedangkan yang bernasib baik bisa kembali ke daerah asal atau tempat aman ketika perang berakhir. “Sadin dan yang masih sempat melarikan diri seperti dia berpencaran di Malaya dan Thailand,” tulis Aiko. Dia akhirnya berhasil kembali ke tanah air meski harus menunggu lebih dari 10 tahun.

Sedangkan Karja sempat nikah-cerai di Thailand. Karena itu pula dia tertinggal kapal Palang Merah Internasional yang membawa para romusha kembali ke daerah asal. Karja terpaksa menetap di tanah rantau dan baru bisa pulang ke desanya 52 tahun kemudian.

*****
Rakyat Yogyakarta Diselamatkan Selokan

Sultan Hamengku Buwono IX bersama para pembesar militer Jepang di Jakarta, 1942. Sumber: Repro Buku Takhta Untuk Rakyat.

Selokan Mataram menyelamatkan banyak nyawa warga Yogyakarta.

DI MUSIM hujan, selokan –yang dipenuhi sampah– sering meluap dan menimbulkan banjir. Namun, di masa pendudukan Jepang, selokan telah menyelamatkan nyawa rakyat Yogyakarta dari kerja paksa (romusha) dan menekan kekurangan pangan.

Pada 1940, Dorodjatun ditasbihkan menjadi Sultan Hamengku Buwono IX. Tak lama kemudian Jepang datang. Di Jakarta, pada 1 Agustus 1942, dia dilantik untuk kali kedua sebagai Sultan Yogyakarta oleh Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang. Sultan menerima wewenang dari Jepang untuk mengurus pemerintahan Kesultanan yang dinamai Kochi (Daerah Istimewa). (Baca: Membebaskan Sultan Yogya)
*****
Membebaskan Sultan Yogya

Pasukan Belanda di lapangan udara Maguwo Yogyakarta dalam agresi militer Belanda kedua, Desember 1948. Foto: KITLV.

Para perwira dan tentara Belanda meyakini serangannya ke Yogyakarta untuk membebaskan Sultan. Ternyata, mereka keliru.

PADA 4 Januari lalu diperingati Yogyakarta Kota Republik untuk mengenang pemindahan ibukota Republik Indonesia pada 4 Januari 1946 karena keadaan Jakarta tak aman dan keselamatan para pemimpin terancam oleh tentara NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda).

Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan sekaligus perjuangan. Namun, ancaman datang ketika Belanda melanggar gencatan senjata Perjanjian Renville dan melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Belanda memulai serangan dengan pesawat-pesawat pembom ke berbagai tempat terutama pangkalan militer, diikuti penerjunan 500 tentara, dan segera setelah itu pasukan Belanda memasuki kota. Selama seminggu berikutnya, pasukan Belanda berhasil merebut kota-kota penting baik di Jawa mupun Sumatra.

Menurut George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Belanda mengabarkan kepada dunia bahwa perlawanan Republik hanya sedikit dan penduduk menyambut mereka sebagai penyelamat. Banyak tentara Belanda juga menyebarkan kampanye ini karena yakin bahwa mereka sedang membebaskan penduduk dari penguasa yang tidak disukai.
“Slogan dari mereka yang dibawa-bawa di Yogyakarta adalah ‘Ke Jogja untuk membebaskan Sultan’,” tulis Kahin.

Karena itu, sementara para pemimpin Republik diasingkan, Sultan Hamengkubuwono IX tetap berada di Yogyakarta tetapi ruang geraknya dibatasi atau menjadi tahanan rumah.
Kendati demikian, menurut Kustiniyati Mochtar, “Pak Sultan dari Masa ke Masa,” dalam Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Sultan tetap dapat berkomunikasi dengan rakyatnya dengan cara fluistercampagne (dari mulut ke mulut), sehingga berbagai instruksi bisa sampai kepada rakyat. Misalnya, instruksi agar rakyat tetap setia dan hanya patuh kepada Ngarsa Dalem (sebutan untuk Sultan), yang dipatuhi seluruh rakyat.

Terkesan dengan wibawa Sultan, Belanda berusaha merangkul dan mengajaknya bekerja sama. Belanda meyakinkan Sultan bahwa tak ada gunanya mengandalkan nasibnya kepada suatu Republik yang masih demikian lemah. Belanda mengirim utusan, yaitu Residen EM Stok, Dr Berkhuis, penguasa militer Belanda di Yogyakarta Kolonel van Langan, Husein Djajadiningrat, dan Sultan Hamid II, untuk mendekati Sultan. Setelah usaha mereka tak membuahkan hasil, berikutnya dikirim seorang direktur bank Belanda yang mengumbar janji akan memberikan dana tak terbatas untuk Keraton Yogyakarta, saham di Perusahaan Pelayaran Belanda (KPM) dan Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda. Jika mau bekerja sama, Belanda juga akan menjadikan Sultan sebagai penguasa seluruh Jawa dan Madura.

Utusan-utusan itu tak pernah bertemu langsung dengan Sultan, yang mewakilkan kepada saudaranya seperti Pangeran Prabuningrat, Pangeran Murdaningrat, atau Pangeran Bintoro. Mereka melaporkan kapada Sultan tentang tawaran-tawaran itu.

“Reaksi Hamengku Buwono IX hanya senyum sinis,” tulis Kustiniyati. “Pada waktu itu Hamengku Buwono IX tampaknya benar-benar sedang gandrung kemerdekaan dan keinginannya hanya satu: agar Belanda segera enyah dari bumi Indonesia.”

Menurut Kahin, dengan menolak semua tawaran itu, Belanda akhirnya terpaksa mengakui bahwa mereka telah salah menilai Sultan Hamengku Buwono IX. Dengan demikian, Belanda telah melakukan kekeliruan dalam usaha menguasai Republik Indonesia karena “salah perhitungan yang fundamental mengenai watak Sultan Hemangku Buwono IX,” tulis Kahin, “Sultan dan Belanda” termuat dalam Tahta untuk Rakyat.
Para perwira dan tentara Belanda, yang mempercayai serangannya untuk membebaskan Sultan dari tiga tahun penahanan oleh para penguasa Republik, tak menyadari bahwa “sejak permulaan revolusi Sultan sudah merupakan seorang pemimpin Republik yang terkemuka,” tulis Kahin.
*****

Kewajiban yang ditetapkan Jepang membuat penduduk di sejumlah daerah menderita luar biasa. Mereka dipaksa menyetorkan bahan makanan. Mereka pergi menjadi romusha untuk membangun proyek-proyek seperti jalan, rel kereta api, lapangan terbang, dan menggali batubara. Mereka mendapatkan gaji, tapi tak sebanding dengan pekerjaannya yang berat. Alhasil, ribuan nyawa menjadi korban.

Sultan, dengan segala cara, berusaha keras untuk melindungi rakyatnya dari kekejaman fasisme Jepang. Hasilnya, massa rakyat Yogya memiliki nasib lebih mujur dibanding daerah lain.
“Mengelakkan permintaan Jepang sama sekali tak akan mungkin, tetapi Sultan Hamengku Buwono IX cukup pandai ‘mengelabui’ tentara Jepang,” demikian tertulis dalam bunga rampai Takhta Untuk Rakyat, yang dihimpun Mohamad Roem dkk.

Sultan menyembunyikan statistik yang sebenarnya, baik perihal penduduk maupun hasil panen padi dan populasi ternak. Dia berhasil meyakinkan Jepang bahwa daerahnya tak mampu menghasilkan bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan penduduk. Alasannya, wilayah Yogyakarta terlalu sempit dan hanya sedikit tanah yang dapat ditanami karena sebagian selalu tergenang air pada musim hujan. Sementara wilayah lainnya kering dan tak subur untuk pertanian.

Soal daerah-daerah yang tergenang hujan, Sultan tak mengada-ada. Di Adikarto, harian Tjahaja 10 November 1942 melaporkan, hujan turun membuat kali Serang naik dan menggenangi desa-desa sekitarnya seperti Karangwuni, Sogan, Ngentak, Dukuh, dan Modinan. Banjir tersebut merusak padi di persawahan dan kerugian ditaksir sekira 1.550 rupiah. Pada Januari 1943, tulis Tjahaja 18 Januari 1943, banjir besar menghantam bendungan dan tanggul di sepanjang sungai Code, Opak, Progo, Gajah Wong, dan Kedung Semirangan. Kerugiannya ditaksir sekira 31.560 rupiah.

Agar daerahnya dapat menyetorkan hasil bumi kepada Jepang, Sultan meminta dana untuk membangun irigasi. Tak disangka, Jepang memberikan dana untuk membangun saluran dan pintu air untuk mengatur air hujan dari daerah tergenang ke laut, terutama di daerah Adikarto serta membangun saluran-saluran untuk mengalirkan air dari Kali Progo ke daerah kering yang kekurangan air di daerah Sleman ke arah timur.
Saluran dan pintu air yang dibangun tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Selokan Mataram. Dalam bahasa Jepang disebut Gunsei Hasuiro dan Gunsei Yosuiro. Kedua proyek saluran ini mampu membantu wilayah Yogyakarta menekan kekurangan pangan dengan hasil pertanian, sekalipun beberapa persen disetorkan kepada Jepang.

Pembangunan Selokan Mataram juga menghindarkan warga Yogyakarta dari panggilan menjadi romusha. Sebab, pembangunan saluran sepanjang puluhan kilometer dan harus dilengkapi dengan bendungan, tanggul, jembatan, dan lain-lain memerlukan banyak tenaga. Inilah yang dipakai sebagai alasan Sultan untuk menolak perintah pengiriman penduduk untuk dijadikan romusha.
*****
Kebijakan mobilisasi Jepang dipadukan dengan kontrol ketat oleh pemerintah. Rakyat diharapkan mempunyai pemikiran yang seragam dan melakukan konformitas (kesesuaian sikap dan perilaku dengan nilai dan kaidah yang diberlakukan Jepang), seperti yang selalu terjadi dalam rezim-rezim totaliter.
“Dengan demikian, mobilisasi di Jawa selalu dijalankan di dalam kerangka acuan yang ditetapkan oleh dan di bawah kontrol ketat pemerintah militer,” ujar Aiko dalam diskusi edisi terbaru bukunya, Politik Jepang di Jawa, di Aula The Japan Foundation, Jakarta Pusat, 15 September 2014. Buku ini diangkat dari disertasi Aiko di Universitas Cornell tahun 1988 dan kali pertama terbit dalam bahasa Indonesia pada 1993 berjudul Mobilisasi dan Kontrol.

Selain dengan tangan besi militer, kontrol masyarakat juga dilakukan dengan propaganda, seperti melalui gambar hidup (film) dan menara bernyanyi (radio). Propaganda ini, kata sejarawan Didi Kwartanada, mengutip George Kanahele, pionir kajian pendudukan Jepang di Indonesia asal Hawaii, untuk “winning the hearts and minds of the people.”

Melalui layar lebar itu, kata Aiko, mungkin penduduk baru kali pertama mengenal Sukarno. “Semboyan Bung Karno seperti ‘mari kita berjuang bersama-sama Dai Nippon sampai mencapai kemenangan terakhir’ dan ‘Amerika kita setrika, Inggris kita linggis’ menarik hati penduduk desa, dan film-film semacam itu mempunyai pengaruh tertentu untuk mencegah meletusnya perasaan anti-Jepang,” kata Aiko. (Baca: Geraf [Gerakan Rakyat Anti Fasis] Bergerak dan Djojobojo Menentang Jepang)

*****
ANTI FASIS,
Geraf Bergerak


Dengan dukungan dana dari Belanda, Amir Sjarifuddin menyusun organisasi bawah tanah yang menentang fasisme Jepang.

BELANDA menyadari keunggulan Jepang. Kekalahan sudah pasti, namun Belanda tak ingin menyerah. Belanda mencari cara agar tetap bisa melawan Jepang. Charles van der Plass, mantan Gubernur Jawa Timur, kemudian ditugasi untuk membangun sebuah gerakan bawah tanah.

Namun van der Plass kurang memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. P.J.A. Idenburg, mantan Sekretaris Kabinet Gubernur Jenderal, mengusulkan agar memilih Amir Sjarifuddin, pegawai Departemen Ekonomi di Batavia yang jadi pendiri Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Pembentukan Gerindo pada Mei 1937 merupakan respons terhadap bahaya fasisme yang mengancam demokrasi. Gerindo ibarat partai pelarian aktivis-aktivis dari semua partai yang dilarang pemerintah. Sesuai kebijakan Komintern (Komunis Internasional), tulis Wilson dalam Orang dan Partai Nazi di Indonesia, “Gerindo membuka diri kepada semua kekuatan sosial politik, termasuk kerja sama dengan pemerintah kolonial untuk menggalang kekuatan massa menyambut bahaya fasisme.”

Pada 1939 Gerindo, berkoalisi dengan Parindra dan PSII, membentuk Gabungan Politik Indonesia (Gapi), yang menawarkan kerja sama kepada pemerintah Belanda agar membentuk milisi yang akan menghadapi fasisme. “Tampaknya tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk menanggapi usulan Gapi,” tulis Wilson, “dan Ratu menyatakan penolakannya.” Meski demikian, Gerindo tetap membentuk Barisan Pemuda Gerindo yang melakukan latihan militer.

Pada 1940, ketika ditangkap karena aktivitasnya dalam PKI ilegal, Amir ditawari pilihan: dibuang ke gulag Digul atau bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Amir memilih yang kedua. Belanda memberikan uang sebanyak 25.000 gulden untuk menyusun jaringan bawah tanahnya. Amir mencari hubungan kerjasama dengan Pamudji, melalui Atmadji, yang telah dikenalnya dengan baik sebagai sesama anggota Gerindo Surabaya.

Pada Mei 1940, sebuah pertemuan dilakukan di Rawamangun, Jakarta. Hadir dalam pertemuan ini dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Pamudji (PKI ilegal), Subekti dan Atmaji (Gerindo), Sujoko (Barisan Rakyat Solo), Armunanto (Persatuan Sopir Indonesia, pernah kontak dengan PKI 1935 yang didirikan oleh Musso), Widarta (Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia, seorang komunis), Kiai Haji Zaenal Mustofa (pimpinan pondok pesantren di Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat), serta Liem Koen Hian (dekat dengan grup Tan Ling Djie dan Oei Gee Hwat yang merupakan sel PKI di kalangan keturunan Tionghoa). “Pertemuan ini kemudian memunculkan organisasi Gerakan Rakyat Antifasis (Geraf),” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Keberadaan Geraf sejalan dengan taktik front rakyat.

Menjelang invasi Jepang, pertemuan kedua di rumah Tjipto Mangunkusumo di Sukabumi berhasil membentuk pimpinan Geraf yang terdiri atas Amir, Pamudji, Sukajat, Armunanto, dan Widarta. Sedangkan Tjipto sebagai penasihat. Setelah itu terbentuklah cabang-cabang Geraf di Jakarta, Jawa Barat, dan hampir di setiap kota di Jawa. Basis utamanya berada di Surabaya. “Gerakan bawah tanah Amir ini adalah gerakan bawah tanah yang terbesar di antara gerakan bawah tanah lainnya,” tulis Frederiek Djara Wellem dalam Amir Sjarifoeddin: Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.

Namun, menurut Gie, tak jelas apakah Geraf merupakan organisasi baru yang dibuat Amir atau hanya salah satu sel yang dibinanya. Sampai seberapa jauh kebenaran aktivitas Geraf juga tak dapat dicek karena sumber tentang Geraf hanya berasal dari Sidik Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Sidik menulis buku tersebut semata untuk propaganda politis daripada sebuah usaha menuliskan sejarah. “Hatta sendiri,” tulis Gie, “tidak pernah mendengar tentang Geraf dan tidak percaya jika dr. Tjipto yang dikenalnya secara baik mau bergabung dalam gerakan komunis.” Sepertinya Hatta yang kelak akan menyelamatkan Amir menganggap Amir bergerak dalam PKI, bukan Geraf. Terlepas dari itu, Jepang telah menetapkan Geraf sebagai kelompok berbahaya dan harus dilumpuhkan.

Segera setelah menduduki Indonesia, Jepang mengambil-alih aparatur pemerintah Belanda yang terdiri dari orang Indonesia. Orang-orang yang bekerja sebagai mata-mata dan tergabung dalam polisi rahasia Belanda (PID), tulis Slamet Muljana, juga ikut ditarik untuk membantu kelancaran pemerintahan baru. Dalam waktu tak terlalu lama, Jepang memiliki gambaran jelas tentang berbagai aliran di Indonesia dan bagaimana sikap mereka terhadap Jepang. Gerakan bawah tanah yang mengadakan kontak dengan pemerintah Hindia Belanda pun terbongkar. Penangkapan dimulai.

“Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi antifasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa hidup kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat,” tulis Jacques Leclerc dalam Amir Sjarifuddin: Antara Negara dan Revolusi.

Amir sendiri menjadi buronan utama polisi rahasi Jepang (kempeitai). Dia, tulis Wellem, hampir tak bisa dikenali lagi karena memelihara janggut dan kumis. Namun akhirnya dia tertangkap dan dimasukkan ke penjara, dari Kalisosok Surabaya, Salemba, Glodok, Cipinang,   Sukamiskin Bandung, Salemba, dan kembali lagi ke Kalisosok. Ini ditempuh Jepang untuk mencegah pendukung Amir meloloskannya dari penjara. “Dalam tahanan,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 2,  “Amir disiksa di luar perikemanusiaan. Badannya kurus, kering, dan tinggal tulang semata.” Amir dikenai hukuman mati, meski kemudian diubah menjadi hukuman seumur hidup.

Sel Geraf yang dipimpin Kiai Haji Zaenal Mustofa juga bernasib buruk. Kiai Mustofa dan santrinya tewas dalam perlawanan bersenjata di Singaparna, Jawa Barat, karena menentang penghormatan kepada matahari (seikerei) dan Kaisar Jepang. Subekti yang memimpin sel Geraf Indramayu, Jawa Barat, juga tewas dalam bentrokan dengan Jepang.

Sel Geraf yang masih bergerak adalah yang dipimpin Widarta dan Hendromartono, seorang pemimpin buruh. Widarta, sekretaris Geraf yang juga generasi ketiga yang memimpin PKI, lolos dari penangkapan. Ironisnya, Widarta yang terlibat dalam revolusi Tiga Daerah (Brebes, Tegal, Pemalang) antara Oktober sampai Desember 1945, kemudian dieksekusi mati oleh mahkamah PKI yang dipimpin Amir Sjarifuddin.
Sepertinya keraguan Gie terhadap Geraf mendapatkan jawabannya. Dalam Madiun 1948: PKI Bergerak, Harry Poeze menyebut Geraf sebagai “organisasi yang tak berbentuk”.
 
*****
Selain propaganda melalui media massa, Jepang melakukan indoktrinasi melalui pembentukan wadah semimiliter (seinendan, keibodan) dan organisasi massa Jawa Hokokai; pengenalan bahasa Jepang; menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar di sekolah; dan melarang sekolah-sekolah Belanda. Selain itu, kegiatan di luar sekolah sebagai bagian dari indoktrinasi adalah Kursus Kiai yang disponsori Kantor Urusan Agama (Shumubu).

“Terkait indoktrinasi kiai pedesaan, ini mengingatkan kita pada ‘mobilisasi’ kaum rohaniawan untuk tujuan-tujuan politik yang masih berlangsung hingga hari ini,” ujar Didi.

Akibat tekanan ekonomi yang buruk dan kemarahan terhadap para pemimpin desa yang dilematis antara kepentingan rakyat atau tuntutan pemerintah, muncullah pemberontakan di beberapa daerah, diawali oleh Pemberontakan Pesantren Sukamanah di Tasikmalaya.

Menurut Didi, dalam buku Aiko kurang dibahas soal ianfu (wanita penghibur) karena isu ini memang baru muncul pada 1990-an. Begitu pula peran orang Tionghoa di pedesaan. Padahal mereka memainkan peranan cukup penting dalam perekonomian desa, selaku pemilik penggilingan beras, juragan hasil bumi, maupun pembunga uang (mindering).
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: